BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik

Transkripsi

1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980an. Berbeda dalam kasus industri berbasis sumber daya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi di dalam dan di sekitar kota. Pertanian dan industri berdampingan, bahkan kadang berebut lahan di seputar pusat-pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan baku antara desa dan kota (Sodik, Jamzani dan Dedi Iskandar (2007)). Untuk meninjau adanya keberhasilan pembangunan ekonomi akibat adanya peran sektor industri di Propinsi Kalimantan Timur, dapat dilihat dalam tabel PDRB ADHK Propinsi di Pulau Kalimantan tahun di bawah ini; Tabel 1.1.Perbandingan PDRB ADHK Propinsi Di Pulau Kalimantan Tahun (Dalam Juta Rupiah) Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara PDRB Total Sumber: BPS ADHK menurut propinsi di Kalimantan Timur. (Lampiran 1). Berdasarkan data pada tabel 1.1 PDRB ADHK Propinsi di Pulau Kalimantan diatas dapat dijelaskan bahwa dengan adanya peran sektor industri mampu meningkatkan PDRB Propinsi khususnya Propinsi Kalimantan timur. Sehingga PDRB memiliki nilai yang paling tinggi di Pulau Kalimantan. 1

2 Mengutip dari Chenery (1975) dalam Kuncoro (2001), bahwa suatu perekonomian yang maju ditandai oleh meningkatnya pendapatan per kapita yang seiring dengan adanya transisi dari perekonomian yang bertumpu di sektor pertanian menuju sektor industri. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan sektor industri dapat meningkatkan pertumbuhan suatu daerah. Jika persebaran industri tersebut merata secara spasial, maka diasumsikan pertumbuhan ekonomi juga akan merata disetiap daerah. Akan tetapi pada kenyataannya, pertumbuhan industri tersebut tidak diiringi dengan persebaran industri yang merata secara spasial. Hal ini disebabkan setiap daerah belum tentu mempunyai syarat-syarat untuk dapat menjadi daerah industri. Sehingga kegiatan industri cenderung berkelompok pada daerah tertentu. Fenomena pengelompokan aktivitas industri tersebutlah yang sering disebut dengan fenomena aglomerasi industri. Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi dan selanjutnya dengan adanya aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi menimbulkan masalah wilayah, khususnya di Propinsi Kalimantan Timur. Salah satu masalah yang sering muncul dengan adanya pembangunan adalah masalah ketimpangan wilayah. Ketimpangan regional dapat terjadi akibat adanya heterogenitas dan beragamnya karakteristik suatu wilayah yang menyebabkan adanya kecenderungan terjadinya ketimpangan antar sektor 2

3 ekonomi suatu wilayah atau daerah (Syahfrizal (1997)). Besar kecilnya tingkat ketimpangan yang terdapat pada suatu wilayah dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pertumbuhan pembangunan khususnya di Propinsi Kalimantan Timur. Ketimpangan wilayah pada mulanya di tandai dengan adanya wilayah sektor unggulan yang berkontribusi besar bagi pembangunan dan sebaliknya sektor non unggulan yang akan membebani pembangunan. Sehingga, daerah yang lebih maju memiliki tingkat pembangunan yang lebih cepat dan akan terus berkembang meninggalkan daerah yang dinilai masih terbelakang. Sehingga jika hal tersebut tidak diminimalisir akan menyebabkan berbagai macam dampak negatif yang kemungkinan akan timbul (Mopangga (2011)). Berdasarkan penelitian Scott dan Storper (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Regions, Globalization, Development mengajukan pentingnya pelibatan wilayah dan konsep-konsep geografi ekonomi dalam mengkaji pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Scot dan Storper melihat fenomena aglomerasi sebagai fokus dari pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu aspek-aspek yang mendasari munculnya aglomerasi harus dipahami dengan baik. Aglomerasi yang dapat maju dan berkembang sampai pada tingkatan global, namun pada saat yang bersamaan mempunyai kemampuan untuk mengurangi disparitas pendapatan dan kemakmuran di seluruh wilayah adalah tujuan yang ingin dicapai. Penguatan aspek-aspek institusi, sumberdaya manusia, termasuk umpan balik negatifnya seperti kecemburuan sosialnya harus diupayakan jalan keluarnya. Seperti yang dijelaskan 3

4 oleh Scott dan Storper (2003), merupakan sebuah rumusan konseptual yang muncul dari observasi diberbagai wilayah di seluruh dunia. Hal yang selanjutnya yang dapat diajukan, apakah pertumbuhan ekonomi memang akan bekerja lebih cepat apabila industri dan aktivitas ekonomi lainnya diaglomerasikan. Untuk menjawab ini perlu dilihat konsep dan kritik terhadap aglomerasi yang dipublikasikan sejak fenomena ini diidentifikasikan. Wiliamson (1965) mengajukan hipotesis bahwa aglomerasi hanya berarti banyak pada tahap awal dari pembangunan ekonomi. Ketika infrastruktur transportasi dan komunikasi masih langka dan aksebilitas ke pusat modal masih terbatas, efisiensi dapat ditingkatkan dengan mengkonsentrasikan produksi dalam ruang yang berdekatan, namun begitu infrastuktur semakin meningkat dan pasar berkembang, kepadatan yang ada akan lebih memilih geografi ekonomi yang lebih menyebar. Berdasarkan pengujian Brulhart dan Sbergami (2009) yang menganalisis pertumbuhan ekonomi dari 108 negara, menyimpulkan bahwa aglomerasi yang hanya mampu meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) sampai pada tingkat tertentu dari pembangunan ekonomi, yaitu sebesar USD. Setelah melewati itu, trade off antara pertumbuhan ekonomi dan kesetaraan antar wilayah menjadi tidak relevan lagi. Artinya, pada tahap ini aglomerasi menjadi semakin tidak penting karena pertumbuhan akan terus berjalan, baik tetap melalui aglomerasi ataupun tidak. Melihat hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi spasial 4

5 (aglomerasi) dan pertumbuhan ekonomi tidak selalu nampak sederhana dan linier (Brulhart dan Sbergami, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Henderson (2003) yang menganalisis data dari 70 negara pada periode menemukan bahwa urbanisasi (dan secara otomatis aglomerasi yang ada di dalamnya) tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun kota-kota yang berstatus primate sangat menguntungkan untuk memicu pertumbuhan di kelompok negara miskin dan berkembang. Studi lain yang dilakukan di Eropa oleh Crozed dan Koenig (2007) yang menganalisis data pertumbuhan ekonomi di negara Uni Eropa pada periode untuk mengekplorasi efek dari konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan ekonomimanunjukkan hal yang sebaliknya, dimana wilayah dengan distribusi aktivitas produksi internal wilayah yang terpusat (teraglomerasi) menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada yang tidak terpusat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bosker (2006) yang juga menganalisis 208 wilayah di Eropa selama 25 tahun menunjukkan hasil yang sama dengan Henderson (2003) dan Brulhart (2009) yang dimana wilayah yang lebih padat (teraglomerasi) tumbuh lebih pelan daripada wilayah lainnya. Selain itu, Bosker (2006) juga menemukan bahwa wilayah miskin yang dikelilingi wilayah lain yang relatif sama miskinnya akan tumbuh lebih cepat daripada wilayah miskin yang dikelilingi wilayah yang lebih kaya. 5

6 Berdasarkan empat kajian tersebut, dapat dibuktikan bahwa aglomerasi (apapun kondisi ideal yang ingin dicapai) tidak selalu menghasilkan efek pertumbuhan secara permanen. Terlebih aglomerasi sendiri masih berpotensi mendatangkan banyak permasalahan sebagaimana diuraikan sendiri oleh Scott dan Storper (2003) terutama di wilayah perkotaan dimana fenomena ini berlangsung (urbanisasi dan permasalahan kota lainnya). Dalam penelitian yang dilakukannya, Scott dan Storper (2003) tidak membahas tentang hipotesa wiliamson (1965) mengenai kontribusi perkembangan tegnologi transportasi dan komunikasi yang akan membuat aktivitas ekonomi lebih tersebar pada fase pertengahan atau lanjut dari aglomerasi. Namun, lebih menekankan pada linkages antara industri, pasar kerja dan institusi (ruang kesempatan lokasional) di dalam wialayah sebagai alasan untuk membuat aglomerasi tetap relevan. Dengan pendapat seperti ini, Scott dan Storper (2003) tidak mempertimbangkan peran lebih jau dari kemajuan transportasi dan komunikasi terhadap perkembangan aktivitas ekonomi, termasuk kemungkinan penyebarannya secara spasial. Scott dan Storper tidak membahas kemungkinan relevansi keberadaan pasar baru (baik pasar bahan baku, pasar pemasaran, pasar tenaga kerja) yang tercipta di bagian lain dari wilayah atau wilayah lain di dalam negara sebagai konsekuensi dari pembangunan infrastruktur ke seluruh bagian wilayah. Pasar baru ini yang kemungkinan membuat industri dan aktivitas ekonomi lainnya untuk berani keluar dari kuncian aglomerasi, tentunya setelah melalui kalkulasi produksi yang matang. Urgensi wilayah menurut Scott dan Storper (2003) dibatasi hanya pada pandangan terhadap aglomerasi dimana keberhasilannya 6

7 memang sangat tergantung pada faktor endogen-eksogen yang ada di dalam wilayah tersebut. Di dalam perkembangannya, aglomerasi industri menunjukkan gejala penyebaran dan perpindahan ke arah luar dari lokasi awal aglomersi. Hal ini nampak misalnya di kawasan barat-timur jawa (Jakarta dan Surabaya) dimana pertumbuhan industri-industri di pusat aglomerasi pada periode sebelumnya menurun dan industri-industri baru di kawasan pinggiran mulai tumbuh (Kuncoro (2002) dan Tilaar (2010)). Jika dilihat dari lingkup nasional, intensitas aglomerasi (diukur dari partisipasi angkatan kerja) di Jawa semakin menurun dan Sumatera semakin meningkat dari tahun ke tahun (Kuncoro (2013)). Perubahan pola ini disebabkan oleh pembangunan infrastuktur transportasi dan fasilitas komunikasi yang mulai menyebar ke seluruh wilayah sehingga pemilihan lokasi tak seketat sebelumnya. Selain itu, kota sebagai tempat berlangsungnya aglomerasi mulai mengalami proses pemadatan (densifikasi), sehingga ruang untuk mengintensifkan aglomerasi lebih lanjut tidak tersedia. Efek lebih lanjut dari kebijakan ekonomi dan pembangunan wilayah yang tidak seimbang yang membuat efek negatif dari aglomerasi industri menjadi lebih nampak adalah ketimpangan regional. ketimpangan ini nampak jelas berdasarkan respon pemerintah dalam melihat ketimpangan regional melalui kebijakankebijakan stimulus seperti yang dicontohkan oleh Scott dan Storper (2003) seperti penyediaan infrastruktur, pengurangan pajak, alokasi dana desentralisasi (Dana alokasi khusus), pelatihan dan paket stimulus lainnya. Seperti yang diuraikan oleh 7

8 Scott dan Storper (2003), aglomerasi industri memerlukan kapasitas wilayah dan faktor endogen yang memungkinkan ruang kesempatan lokasional untuk tumbuh dan penyebaran pengetahuan dan tegnologi terjadi. Demikian pula kasus-kasus yang terjadi di Propinsi Kalimantan Timur. Di Propinsi Kalimantan Timur, diketahui bahwa merupakan salah satu daerah industri yang berada di Indonesia, sehingga dengan adanya faktor industri tersebut memungkinkan terjadinya aglomerasi industri di Propinsi Kalimantan Timur tersebut. Disamping itu, menurut faktor pertumbuhan ekonomi bahwa daerah yang mengalami kemajuan di bidang pembangunan dan pendapatan akan mengalami masalah disparitas regional di daerah industri yang teraglomerasi di wilayah Propinsi Kalimantan Timur. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengengkat judul Aglomerasi Industri Dan Disparitas Regional Di Propinsi Kalimantan Timur. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapat saya sampaikan rumusan masalah adalah sebagai berikut; 1. Bagaimanakah aglomerasi industri dan disparitas regional di Propinsi Kalimantan Timur? 2. Sektor apakah yang berpotensi dikembangkan di Propinsi Kalimantan Timur? 8

9 C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah; a. Untuk menganalisa aglomerasi industri dan disparitas regional di Propinsi Kalimantan Timur b. Untuk mengetahui sektor industri unggulan pada Propinsi Kalimantan Timur 2. Manfaat Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai sumber masukan yang bermanfaat bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan dan regional ekonomi, terutama dalam strategi meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan pembangunan di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya, sebagai tambahan referensi dan wawasan mengenai aglomerasi industri dan disparitas regional di Propinsi Kalimantan Timur. Serta sumbangan ilmiahnya adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran demi memajukan kemajuan ilmu pengetahuan dalam pengembangan ilmu ekonomi, khususnya ekonomi regional dan pembangunan. 9