II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pertanian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pertanian"

Transkripsi

1 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan rumahtangga pertanian sebagai rumah tangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas risiko sendiri (BPS, 1995). Dari batasan tersebut jelas bahwa produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) dan sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura rurnah tangga pertanian. Lebih lanjut dalam teori ekonomi, rumahtangga petani dianggap sebagai rumahtangga yang bertindak rasional sebagai satu unit keputusan ekonomi dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki pada kegiatan produksi maupun konsumsi dengan kendala anggaran untuk memaksimalkan kepuasan (Ellis, 1988). Karakteristik rumahtangga pertanian menurut Ellis (1988) adalah (1) memiliki akses terhadap lahan baik menggarap lahan pertanian sendiri maupun menggarap lahan pertanian petani lain untuk mendapatkan penerimaan berupa penerimaan tunai maupun penerimaan fisik berupa hasil pertanian yang kemudian digunakan untuk konsumsi anggota rumahtangga, (2) menggunakan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi usahatani sebagai bentuk manajemen terhadap sumberdaya yang dimiliki, (3) memiliki sejumlah modal yang tidak hanya digunakan untuk kegiatan produksi, melainkan juga untuk kegiatan konsumsi rumahtangga. Konsep rumahtangga pertanian awal yang berkembang adalah konsep neoklasik yang menempatkan rumahtangga petani hanya sebagi produsen produk pertanian, dimana konsep ini hanya menunjukan keterkaitan keputusan petani dalam mengelola sejumlah input produksi yang dimiliki untuk menghasilkan sejumlah output. Penggunaan input produksi yang optimal akan menghasilkan produksi yang maksimal, dimana penggunaan input dipengaruhi oleh harga input. Jika harga input meningkat maka penggunaan input akan dibatasi. Namun jika dikatkan dengan harga output, peningkatan harga output akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya sehingga membutuhkan tambahan input produksi. Kondisi yang memberi keuntungan bagi petani ditunjukan apabila

2 9 tambahan produk yang dihasilkan akibat penambahan satu satuan input atau dikenal dengan marginal physical product (MPP) sama dengan rasio harga input dengan harga output. Konsep neoklasik ini hanya membahas tentang keputusan petani dalam mengelola kegiatan produksi dengan alokasi input untuk menghasilkan output, namun belum mempertimbangkan peran petani yang juga sebagai konsumen hasil usahataninya sekaligus konsumen barang-barang di pasar serta keputusan ekonomi rumahtangga petani lainnya. Teori model rumahtangga pertanian yang sudah mempertimbangkan rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen dikemukakan Chayanov (1966) dalam Ellis (1988) yang menyatakan bahwa rumah tangga memaksimumkan utilitas dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usaha tani guna memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Model ini belum mempertimbangkan keberadaan pasar tenaga kerja, namun telah menganggap rumahtangga pertanian menjual sekaligus mengkonsumsi hasil usahtaninya dengan asumsi petani mempunyai lahan untuk usahatani. Model ini berkembang setelah dikemukakan teori ekonomi neoklasik yang menganggap petani hanya sebagi produsen sehingga teori ini hanya mempertimbangkan bagaimana petani mengalokasikan sejumlah input untuk menghasilkan output (Ellis, 1988). Penyempurnaan teori ekonomi rumahtangga neoklasik menjadi new home economics menganggap rumahtangga pertanian sebagai produsen hasil usahatani dan konsumen barang di pasar sekaligus konsumen dari hasil usahataninya sendiri. Diawali oleh teori alokasi waktu dari Becker (1965) yang menyatakan utilitas rumah tangga tidak diturunkan langsung dari konsumsi barang pasar tetapi dari alokasi waktu untuk menghasilkan produk akhir yang dikonsumsi rumah tangga. Artinya rumahtangga pertanian memaksimalkan kepuasan dengan mengatur pilihan terhadap konsumsi barang pasar, konsumsi hasil usahatani sendiri dan konsumsi waktu santai dengan kendala anggaran. Konsumsi waktu santai diperhitungkan karena diduga menyebabkan adanya earning forgone (pendapatan yang hilang). Teori ini belum memperhitungkan tenaga kerja luar keluarga, perilaku rumahtangga yang memproduksi non market good serta rumahtangga yang menjual sebagian produk usahataninya ke pasar.

3 10 Model ekonomi rumahangga secara simultan dikemukakan oleh Nakajima (1986) yang menyatakan perilaku rumah tangga pertanian sebagai produsen, penyedia dan pengguna tenaga kerja dan konsumen dapat terjadi bersamaan. Dalam hal ini, rumahtangga pertanian mengatur penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan mengkonsumsi hasil usahatani sendiri dengan tujuan mengatur pendapatan rumahtangga yang terbatas dalam kegiatan produksi dan konsumsi (keputusan simultan). Nakajima mengidentifikasi perbedaan rumahtangga pertanian dengan usahatani komersil, dimana rumahtangga pertanian memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga, mengkonsumsi hasil usahatani sendiri serta melakukan kegiatan produksi sebagai satu kesatuan unit yang memaksimalkan kepuasaan dengan sumberdaya yang dimiliki, sedangkan usahtani komersil memaksimalkan penggunaan input produksi untuk memaksimalkan keuntungan. Teori ini mempertimbangkan kemungkinan rumah tangga menjual sebagian hasil usaha tani (semi komersil) dan eksistensi pasar tenaga kerja. Barnum dan Square (1979) dalam Ellis (1988) mengembangkan model ekonomi rumahtangga yang mempertimbangkan respon rumahtangga terhadap perubahan faktor internal rumahtangga dan pasar (perubahan harga input dan output) dengan asumsi : rumahtangga dapat menggunakan tenaga kerja dalam keluarga maupun luar keluarga, ketersediaan lahan sebagai faktor produksi adalah tetap, rumahtangga mengkonsumsi hasil produksinya sendiri dan waktu santai untuk memaksimalkan utilitas serta preferensi rumahtangga petani untuk mengkonsumsi hasil produksinya sendiriatau menjual hasil produksinya untuk kebutuhan konsumsi non usahatani. Pengembangan model new home economics juga dilakukan Ellis (1988) yang menyatakan adanya keputusan simultan antara produksi dan konsumsi dengan pasar tenaga kerja yang kompetitif. Model Rumah Tangga Pertanian Singh (1986) menyatakan dalam rumah tangga pertanian, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal. disamping pengaruh faktor eksternal pasar input dan output. Keseimbangan pasar inputoutput terbuka terhadap pengaruh sumber-surnber perubahan seperti peraturan dan kebijakan pemerintah. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara

4 11 bersama-sarna akan menentukan tingkat pendapatan rumah tangga. Penjualan langsung produksi usahatani menghasilkan pendapatan tunai bagi rumah tangga. Namun, produksi itu juga dapat disimpan (walaupun hanya sementara) sebagai cadangan konsumsi atau kemudian dijual seluruhnya untuk meningkatkan daya beli. Pendapatan rumah tangga dialokasikan pada berbagai pengeluaran. Adanya kendala anggaran mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengurangi pengeluaran pangan dan preferensi untuk menabung. Penggunaan model perilaku ekonomi rumah tangga sebagai pendekatan analisis ketahanan pangan rumah tangga memungkinkan digunakannya indikator proses yang meliputi keputusankeputusan produksi dan indikator hasil yang mencakup keputusan pemanfaatan output produksi dan pendapatan untuk berbagai tujuan pengeluaran rumah tangga secara bersamaan. Singh (1986) menyatakan rumah tangga diasumsikan hanya memperoleh pendapatan tunai dari surplus penawaran (marketed surplus) sehingga keputusan mengkonsumsi output usaha tani sendiri akan terkait dengan keputusan pengeluaran lain dalam rumah tangga. Definisi rumahtangga pertanian dalam penelitian Asmarantaka (2007) adalah satu unit kelembagaan keluarga, hidup bersama yang setiap saat memutuskan secara bersama produksi pertanian, konsumsi, reproduksi dan menyatukan anggaran. Sesuai dengan prinsip ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya selalu bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimalkan utilitas, sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan. Perubahan perilaku rumahtangga pertanian dipengaruhi kekuatan pasar (supply dan demand) dan juga pengaruh faktor eksternal (sosial, lingkungan dan karakteristik keluarga). Pendapatan total rumahtangga berasal dari pendapatan dari pertanian maupun diluar pertanian yang kemudian digunakan untuk kegiatan produksi, konsumsi, tabungan dan investasi (biaya kesehatan dan pendidikan) Dalam analisis ekonomi rumahtangga pertanian, rumahtangga pertanian dianggap berada dalam lingkungan pasar persaingan sempurna, pasar persaingan tidak sempurna dan atau dalam lingkungan antara pasar bersaing dengan tidak bersaing. Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat tiga model persamaan dalam

5 12 analisis rumahtangga pertanian, yaitu model recursive, model non recursive, dan model persamaan simultan. Pada pasar persaingan sempurna, model yang digunakan adalah model recursive, yaitu persamaan simultan satu arah antara keputusan produksi dan konsumsi. Pasar output dan inputnya bersaing sempurna, harga input dan harga output adalah peubah eksogen terhadap rumahtangga pertanian, dimana pada kondisi mengabaikan biaya transaksi dan apakah rumahtangga pertanian mengkonsumsi produk hasilnya sendiri atau menjual atau membeli apa yang dibutuhkan untuk konsumsi. Demikian pula dengan penggunaan tenaga kerja, tidak dipertimbangkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga atau sewa, menyewa tenaga kerja luar keluarga atau menawarkan tenaga kerja dalam keluarga (Barnum and Squire, 1979 dalam Asmaratanka, 2007). Untuk kondisi pasar bersaing tidak sempurna, digunakan model persamaan simultan dua arah atau model non recursive, dimana pada kondisi ini rumahtangga pertanian menunjukan adanya kegagalan pasar, karakteristik produk pertanian yang berat dan mudah rusak serta risiko dari variasi harga dan adanya diskrimnasi dalam pasar tenaga kerja sehingga keputusan produksi mempengaruhi keputusan konsumsi dan sebaliknya. Model ini memasukan harga input ataupun harga output sebagai peubah endogen dan harga yang digunakan adalah harga bayangan (Kusnadi, 2005). Sedangkan model persamaan simultan digunakan untuk menangkap kompleksitas dan perubahan peubah ekonomi yang mempengaruhi ekonomi rumahtangga, dimana peubah tersebut memungkinkan adanya hubungan simultan dua arah antara keputusan produksi dan konsumsi, keterkaitan penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan produksi dan keterkaitan pendapatan baik dari pertanian maupun di luar pertanian dengan persamaan konsumsi baik pangan dan non pangan serta persamaan tabungan dan investasi, dalam bentuk persaman struktural dan persamaan identitas. Bentuk analisis dapat berdasarkan perbedaan geografis atau teknologi, berdasarkan komoditi tertentu yang diusahakan rumahtangga pertanian. Dalam penelitian yang menggunakan persamaan simultan, peubah harga output input dan upah tenga kerja dianggap sebagai peubah eksogen.

6 Ketahanan Pangan Rumahtangga Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan regional, ketahanan pangan rumahtangga adalah pilar yang harus dibangun. Pangan yang tersedia secara nasional harus mampu diakses oleh rumahtangga, termasuk rumahtangga petani yang mempunyai daya beli rendah terhadap pangan. Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks, seperti dijelaskan dalam Undang Undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pangan dalam suatu wilayah atau rumahtangga. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan kemampuan atau akses terhadap pangan tersebut. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996) mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.

7 14 Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005). Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan oleh empat element penting, yakni: ketersediaan pangan, aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup, keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional), keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (LIPI, 2005). Ketahanan pangan mempunyai faktor determinan, yaitu ketersediaan dan daya beli rumahtangga terhadap pangan (Hardono, 2002). Menurut kajian ketahanan pangan dan kemiskinan oleh Omotesho (2007), faktor-faktor yang menentukan status ketahanan pangan rumahtangga adalah akses pada fasilitas kesehatan, ukuran rumahtangga, ukuran usahatani dan pengeluaran pangan rumahtangga. Pengukuran tingkat ketahanan pangan menjadi penting dilakukan dalam menentukan kebijakan ketahanan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga tidak hanya melalui Angka Kecukupan Energi dan Angka Kecukupan Protein, tetapi juga harus dilihat dari porsi pengeluaran pangan yang menunjukkan kemampuan dari rumah tangga dalam mencukupi pangan. Menurut Handewi et al., 2001, rumah tangga yang menghabiskan 70 % pendapatannya untuk konsumsi pangan menunjukkan rumah tangga yang rawan pangan. Hal ini didasarkan pada dimensi dan ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan batas garis kemiskinan dengan menggunakan tingkat pendapatan rumah tangga melalui porsi pengeluaran pangan. Rumah tangga miskin biasanya kehilangan akses untuk mencukupi pangan (FAO, 2005). Dengan demikian, kondisi kemiskinan dalam rumah tangga merupakan kondisi yang rawan pangan. Oleh karena itu, tingkat pendapatan dalam rumah tangga merupakan faktor yang penting dalam upaya pemantapan ketahanan pangan. Penghitungan ketahanan

8 15 pangan rumahtangga juga dilakukan Faridi (2010) dimana ketahanan pangan rumahtangga dicerminkan oleh keseimbangan gizi dari pangan yang dikonsumsi rumahtangga dan perbandingan pengeluaran pangan dengan pendapatan rumahtangga. Berikut ini dirangkum beberapa indikator ketahanan pangan yang telah dirumuskan. Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan Sumber Tahun Indikator Ketahanan Pangan Sayogyo dalam Handono (2002) 1991 Pendapatan rumah tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan Maxwell and Frankenberger 1992 Indikator Proses: Ketersediaan Pangan Berkaitan dengan Produksi Pertanian sendiri, Iklim, Akses terhadap SDA dan Pasar Akses Pangan : Strategi RT Memenuhi Kekurangan Pangan / daya beli terhadap pangan Indikator Dampak: Langsung : Konsumsi dan Frekuensi Pangan Tidak Langsung : Penyimpanan Pangan dan Status Gizi DEPTAN RI 2004 Penilaian Keanekaragaman Pangan : Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi dalam Muhilai et.al (1998) 2004 TKE = {(Jumlah Konsumsi Energi/ Kapita/ Hari) / (Kecukupan Energi [2000 kkal])} x 100 % TKP = {(Jumlah Konsumsi Protein/ Kapita/ Hari)/ (Kecukupan Protein [52 gram])} x 100 % TKE / TKP < 70 % : RT defisit Kalori dan atau Protein UU Pangan No 7 tahun Kecukupan Ketersedian Pangan : 240 hari : Cukup. Stabilitas Ketersediaan Pangan : Kebiasaan makan 3 kali sehari. Aksesbilitas : Pemilikan Lahan (Langsung/ Tidak; produksi sendiri/ beli). Kualitas/ Keamanan Pangan : Ada/ tidak bahan makanan yang mengandung protein hewani/ nabati.

9 16 Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga adalah menggunakan gabungan dua indikator ketahanan pangan, yakni pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Handewi et al., 2001). Tabel 2. Indikator Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan Konsumsi Energi Per Unit Ekuivalen Orang Dewasa Pangsa Pengeluaran rendah jika pengeluaran pangan 60 % dari pengeluaran total Tahan Pangan Cukup : 80 % dari syarat kecukupan energi Kurang : < 80 % dari syarat Kurang Pangan kecukupan gizi Sumber : Toole (1991) dalam Handewi et.al.2001 Pangsa Pengeluaran tinggi : jika pengeluaran pangan > 60 % dari pengeluaran total Rentan Pangan Rawan Pangan Ketahanan pangan rumah tangga dengan keragaman indikator yang telah dirumuskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor ketersediaan pangan dan daya beli adalah faktor determinan (faktor yang sangat menentukan). Jika menggunakan definisi ketahanan pangan dalam UU Pangan, maka ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari ketersediaan pangan di rumah tangga (baik produksi sendiri maupun beli), keterjangkauan terhadap pangan yang ditentukan oleh pendapatan keluarga, konsumsi pangan yang ditunjukan dengan porsi pengeluaran pangan dan kualitas gizi. Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang hendak dibeli. Sementara untuk pengeluaran pangan keluarga Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, ) menunjukkan pengeluaran bagi keluarga miskin berkisar 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara %. Hal ini sesuai dengan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan

10 17 pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat (Soekirman, 2000 dalam Ginting, 2012). Sedangkan menurut asumsi Berg, 1986 dalam Ginting 2012 persentasi pengeluaran pangan keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : pengeluaran pangan <45 % dikatergorikan sebagai keluarga kaya, pengeluaran pangan % dikategorikan sebagai keluarga menengah, dan pengeluaran pangan >80 % termasuk kategori keluarga miskin. Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras, sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah. Menurut Faridi (2005), karakteristik anggota rumahtangga seperti jenis kelamin, usia, dan kegiatan anggota keluarga mennetukan kebutuhan kalori anggota keluarga yang selanjutnya menentukan tingkat ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu kompleknya permasalahan dan faktor yang mempengaruhi, maka sampai saat ini belum ada cara yang paling sempurna untuk menilai dan menerangkan semua aspek yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga merupakan faktor langsung yang mempengaruhi ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu pada simpanan bahan pangan (food storage) dan ketersediaan pangan pokok (staple food) di rumah kemarin (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Jika dikaitkan dengan keputusan-keputusan yang dihadapi oleh rumahtangga pertanian, maka indikator ketahanan pangan rumahtangga pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Ketersediaan pangan yang diproksi dari jumlah produksi pangan rumahtangga pertanian yang tidak dijual dan jumlah pangan (beras) yang

11 18 dibeli di pasar serta jumlah raskin yang dikonsumsi. Rumahtangga petani dinyatakan tahan pangan jika ketersediaan pangan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi anggota keluarga b. Akses rumahtangga petani terhadap pangan yang diproksi dari persentase jumlah pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga atau pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga petani. Dalam perilaku ekonomi rumahtangga, jumlah pendapatan yang digunakan untuk pangan ini terkait dengan kegiatan konsumsi pangan yang mencerminkan jumlah pengeluaran pangan rumahtangga petani. Dalam struktur pengeluaran rumahtangga pertanian, jumlah pengeluaran non pangan dan tabungan rumahtangga perlu dipertimbangkan karena hal ini akan mempengaruhi keputusan petani dalam mengalokasikan pengeluaran rumahtangga untuk pangan. c. Utilisasi atau aspek pemanfaatan dari konsumsi pangan yang diproksi dari angka kecukupan gizi sebagai indikator hasil ketahanan pangan rumahtangga. Kecukupan gizi merupakan perbandingan antara total konsumsi energi rumahtangga dengan angka kecukupan energi seluruh anggota keluarga (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004). Pemenuhan pangan dengan indikator kecukupan gizi akan berpengaruh pada kualitas sumberdaya manusia dalam rumahtangga pertanian Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena: 1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi. 3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Suryana, 2004)

12 19 Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk. Akses ekonomi masyarakat terhadap pangan sangat ditentukan oleh pendapatan masyarakat, sehingga kebijakan ketahanan pangan hendaknya dikaitkan pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pengentasan kemiskinan untuk memperbaiki daya beli masyarakat terhadap pangan. 3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. (Badan Ketahanan Pangan, 2006) Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis

13 20 pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi. Permasalahan ketahanan pangan rumahtangga petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya pendapatan rumahtangga sehingga mengakibatkan daya beli terhadap pangan rendah. Dimensi yang fundamental dalam rendahnya pendapatan yang mencerminkan kemiskinan adalah food security (ketahanan pangan), karena kemiskinan menyebabkan hilangnya akses untuk mencukupi pangan (FAO, 2005). Rumah tangga miskin menggunakan tidak kurang dari 80 % dari seluruh pengeluarannya untuk pengeluaran pangan dan 60 % diantaranya untuk beras (Siswono, 2001). Jadi ketergantungan rumah tangga miskin pada pangan sangat besar bahkan merealokasikan dana pendidikan dan kesehatan guna mengalihkan ke pangan. Jenis pangan inferior menjadi pilihan, walau tidak kaya dengan kandungan energi dan protein sehingga berdampak pada menurunnya konsumsi energi dan protein. Bagi rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, kendala anggaran akan mempengaruhi perubahan porsi pengeluaran, baik pangan maupun non pangan dan preferensi menabung. Pengurangan alokasi sumber daya untuk pengeluaran pangan akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Pemerintah berupaya menjaga ketahanan pangan rumah tangga petani dengan program yang baik langsung maupun tidak langsung mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Berdasarkan jenis bantuan yang diberikan, program tersebut terdiri dari program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan berupa pemberian bantuan natura yang bertujuan untuk pemenuhan konsumsi sesaat dan program pemberdayaan ekonomi berupa bantuan

14 21 modal untuk kegiatan produktif masyarakat. Program raskin (beras untuk keluarga miskin) merupakan program yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan dan mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga pertanian. Sedangkan salah satu program yang secara tidak langsung bertujuan untuk ketahanan pangan rumah tangga pertanian dan bersifat pemberdayaan ekonomi rumahtangga adalah program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dengan tujuan peningkatan pendapatan dan produksi petani sehingga memperbaiki daya beli terhadap pangan dan ketersediaan/cadangan pangan rumahtangga. Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) adalah program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani sehingga mampu meningkatkan daya beli terhadap pangan dan program beras untuk masyarakat miskin yang bertujuan mengurangi pengeluaran pangan dan meningkatkan ketersediaan pangan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Program Pemberdayaan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dilaksanakan oleh petani (pemilik dan/atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani miskin di perdesaan melalui koordinasi Gapoktan sebagai lembaga yang dimiliki dan dikelola oleh petani. Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) tahun 2011 mengacu kepada pola dasar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 09/Permentan/ OT.140/2/2011 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/3/201 untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM-PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung 4 (empat) sukses Kementerian Pertanian yaitu (1) swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Strategi dasar yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, optimalisasi potensi

15 22 agribisnis, fasilitasi modal usaha petani kecil, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan. Dana BLM PUAP yang disalurkan Kementrian Pertanian kepada Gapoktan dimanfaatkan sebagai modal usaha yang dikelola secara berkelanjutan oleh pengurus Gapoktan sesuai RUB (Rencana Usaha Bersama). Dana BLM PUAP kemudian disalurkan pada kelompok tani sesuai RUK (Rencana Usaha Kelompok) yang diajukan masing-masing kelompok tani. Dana PUAP di setiap kelompok tani diberikan pada anggota kelompok tani sebagai modal usaha produktif petani sesuai dengan RUA (Rencana Usaha Anggota). Dilakukan pelaporan berkala oleh Gapoktan dan kelompok tani tentang perkembangan usahatani petani penerima BLM-PUAP. PUAP yang berkelanjutan diharapkan berkembang menjadi unit usaha simpan pinjam otonom atau Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Sementara penyaluran Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan Raskin menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan Raskin. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 kg hingga 20 kg, dan pada 2009 menjadi 15 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 sampai sekarang ini kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS (Badan Pusat Statistik).

16 23 Program ini dilaksanakan sebagai konsekuensi logis dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang subsidinya ditarik oleh pemerintah pusat. Kenaikan harga BBM tersebut jelas berdampak pada naiknya harga bahan pangan (sembilan bahan pokok), salah satunya beras. Program Raskin ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 Kg/rumah tangga miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp 1600,00/Kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di pegang oleh Perum Bulog. Sasaran dari Program Raskin ini adalah meningkatkan akses pangan kepada keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam rangka menguatkan ketahanan pangan rumah tangga dan mencegah penurunan konsumsi energi dan protein Penelitian Terdahulu Studi empiris tentang kemiskinan dan ketahanan pangan dilakukan oleh Saputra (2008) menyatakan adanya hubungan lurus antara pendapatan masyarakat dengan pola konsumsi pangan masyarakat miskin, dimana 80 % dari pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian keterbatasan pendapatan, berimplikasi pada kerawanan pangan. Analisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian dilakukan oleh Hardono (2002) dengan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukan faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga pada indikator : produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan, pengeluaran pangan dan kecukupan energi adalah luas sawah garapan, alokasi tenaga kerja, harga padi, pendapatan istri, perbedaan lokasi dan agroekosistem, pendapatan disposable, jumlah anggota keluarga, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, non pangan dan pendidikan. Upaya peningkatan akses rumahtangga pertanian terhadap pangan terkendala oleh tidak responsifnya luas garapan terhadap perubahan harga padi, jumlah tenaga kerja dan modal usaha. Ketersediaan pangan responsif terhadap harga padi dan pendapatan, sedangkan kecukupan energi ditentukan oleh

17 24 pengeluaran pangan dan jumlah anggota keluarga. Nilai tabungan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan dan cadangan pangan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada peningkatan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga padi, luas garapan, alokasi waktu berburuh dan cadangan pangan. Faktor eksternal yang menurunkan ketahanan pangan rumahtangga adalah kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani. Asmarantaka (2007) menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani yang dikaitkan dengan tingkat ketahanan pangan, menggunakan model persamaan simultan dan metode 2 SLS. Hasil analisis menunjukkan pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga pertanian di desa pangan dan perkebunan termasuk dalam kategori tahan pangan berdasarkan pendekatan setara beras, dimana ketahanan pangan tertinggi terdapat pada desa perkebunan dan terendah di desa pangan. Dengan demikian, konsep ketahanan pangan tidak selalu searah dengan ketersediaan produksi, tetapi ditentukan oleh akses ketersediaan pangan melalui tingkat pendapatan rumahtangga pertanian. Model persamaan simultan menunjukan bahwa produksi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja sehingga peningkatan penggunaan tenaga kerja akan berdampak positif terhadap produktifitas usahatani yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani sehingga mendukung ketahanan pangan rumahtangga. Pengeluaran konsumsi, investasi pendidikan, kesehatan dan tabungan dipengaruhi dan responsif terhadap pendapatan. Peningkatan harga output komoditas utama maupun kenaiakan harga input mempunyai dampak positif terutama bagi desa pangan, yaitu peningkatan pendapatan usahatani, tabungan dan biaya investasi. Penelitian lain tentang ekonomi rumahtangga dilakukan Rochaeni (2005) dengan pembahasan tentang waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga pertanian menggunakan model persamaan simultan dengan metode 2 SLS. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa alokasi waktu kerja anggota rumahtangga petani lebih banyak pada non usahatani karena pendapatan dari non usahatani lebih besar dari pendapatan usahatani. Pengeluaran total rumahtangga pertanian terbesar dialokasikan untuk konsumsi pangan dan non pangan, yakni sebesar 50,52 % dari pendapatan total rumahtangga, sedangkan untuk investasi

18 25 sebesar 22,77 % dari pendapatan total rumahtangga. Perubahan curahan kerja anggota rumahtangga akan berpengaruh pada tingkat pendapatan rumahtangga. Sementara perubahan harga input dan output padi menurunkan curahan kerja suami pada usahatani padi dan meningkatkan pendapatan dari non usahatani padi. Hasil penelitian Smith dan Strauss (1986) dalam Singh et.all (1986) menggunakan data Sierra Leone merupakan simulasi data mikro untuk mengetahui konsekuensi intervensi kebijakan terhadap berbagai tipe rumahtangga yang menunjukan bahwa kenaikan harga padi memperbaiki gizi penduduk pedesaan secara keseluruhan. Bagi rumahtangga berpendapatan rendah yang umumnya mempunyai persediaan jumlah padi lebih banyak untuk dijual sebagai tambahan keuntungan, maka kenaikan harga padi memberi dampak positif terhadap status gizi. Tambahan keuntungan ketika harga padi naik dapat digunakan untuk mengimbangi kenaikan harga pangan lain yang dibeli untuk dikonsumsi sehingga status gizi mereka bertambah baik. Penelitian ini membahas peranan bantuan modal PUAP dalam meningkatkan produktifitas usahatani dan pendapatan petani serta proporsi raskin dalam pengeluaran pangan rumahtangga sehingga diketahui peranan kedua program penanggulangan kemiskinan tersebut terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani.

PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen) FANNY SEPTYA

PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen) FANNY SEPTYA PERANAN PUAP DAN RASKIN DALAM PERILAKU EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI (Kasus di Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen) FANNY SEPTYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 SURAT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 26 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Penelitian 3.1.1 Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian Pada umumnya rumahtangga pertanian di pedesaan mempunyai ciri semi komersial karena penguasaan skala

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus menjadikan kondisi tersebut sebagai titik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 54 V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI 5. by Kondisi Umum Wilayah Penelitian 5. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian Wilayah Kecamatan Sadang memiliki luas 5.7212,8

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Becker (1965), mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku rumahtangga (household behavior). Teori tersebut memandang rumahtangga sebagai pengambil

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan No.60, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Pangan. Gizi. Ketahanan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5680) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI 69 VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI 6.1. Kinerja Umum Model Hal yang perlu diperhatikan di dalam model adalah terpenuhinya kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM 2007-2015 Pendahuluan 1. Target utama Kementerian Pertanian adalah mencapai swasembada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Terdahulu

II. LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Terdahulu digilib.uns.ac.id 11 II. LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian penelitian sebelumnya telah mengkaji masalah tentang pendapatan dan perpindahan angkatan kerja pedesaan bekerja di sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan merupakan suatu rancangan kerja penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan konsep dan teori dalam menjawab

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM BESARAN KARAKTERISTIK MARKETABLE SURPLUS BERAS Oleh : Nunung Kusnadi Rita Nurmalina

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep marketable dan marketed surplus, serta faktor-faktor yang memepengaruhinya.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman pangan yang sampai saat ini dianggap sebagai komoditi terpenting dan strategis bagi perekonomian adalah padi, karena selain merupakan tanaman pokok bagi sebagian

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks. Selain terkait aspek hukum (hak), ketahanan pangan juga mencakup aspek pasar, waktu, tempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Raskin merupakan penyempurnaan dari Instrumen Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK) karena penurunan daya beli sejak krisis ekonomi tahun 1997.

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa ketahanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN 7.1. Hasil Validasi Model Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai faktor ekonomi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal Yayuk FB Pembekalan KKP Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB 14 Mei 2011 CONTOH : Hasil identifikasi

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2010-2014 Oleh Prof. Dr.Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Disampaikan pada (KIPNAS) Ke-10 diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden 1. Umur Umur merupakan suatu ukuran lamanya hidup seseorang dalam satuan tahun. Umur akan berhubungan dengan kemampuan dan aktivitas seseorang dalam melakukan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI 84 VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI 7.1. Hasil Validasi Model Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sebelum melakukan simulasi untuk menangkap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah komoditas strategi karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka ketersediaan pangan harus dapat dijamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan nasional. Ketahanan pangan menurut Food and

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan nasional. Ketahanan pangan menurut Food and BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1996, Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB Gedung Badan Ketahanan Provinsi Nusa Tenggara Barat 1. ALAMAT Badan Ketahanan Provinsi Nusa Tenggara Barat beralamat di Jl. Majapahit No. 29 Mataram Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketahanan Pangan 2.1.1. Defenisi Ketahanan Pangan Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain : 1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu serta sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan Masyarakat

Ketahanan Pangan Masyarakat Ketahanan Pangan Masyarakat TIK : MAHASISWA DIHARAPKAN MAMPU MENJELASKAN KONSEP UMUM, ARAH DAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN Pendahuluan Pada akhir abad ini penduduk dunia sudah 6 miliar Thomas Malthus (1798):

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah tropis. Sehingga berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: 978-602-18962-9-7 KETAHANAN PANGAN: SUATU ANALISIS KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP KEBUTUHAN RUMAH TANGGA PETANI DI KABUPATEN GAYO LUES Siti Wahyuni 1)

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 08 TAHUN 2017 TENTANG PENGANEKARAGAMAN PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA DISKUSI REGULER EVALUASI POLITIK PANGAN PEMERINTAHAN SBY-KALLA. Yogyakarta, 6 Februari 2007

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA DISKUSI REGULER EVALUASI POLITIK PANGAN PEMERINTAHAN SBY-KALLA. Yogyakarta, 6 Februari 2007 SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA DISKUSI REGULER EVALUASI POLITIK PANGAN PEMERINTAHAN SBY-KALLA Yogyakarta, 6 Februari 2007 Assalaamu alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Yang Saya Hormati: Pimpinan Pusat

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketahanan pangan Konsep ketahanan pangan (food security) mulainya berkembang pada tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci