BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat dan di Lahan Gambut Kabupaten Kubu Raya Hingga saat ini, sekitar 50 persen dari lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dengan 1,7 juta hektar (ha) yang sedang atau akan digunakan sebagai perkebunan (WWF Kalimantan Barat, 2014 (tidak dipublikasikan)). Luas keseluruhan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat adalah ha (Tabel 1). Kabupaten Ketapang memiliki perkebunan kelapa sawit paling luas ( ha) dan Kota Singkawang memiliki perkebunan kelapa sawit paling kecil (6117 ha). Kabupaten Kubu Raya tempat penelitian dilaksanakan memiliki luas perkebunan kelapa sawit ha. Tabel 1. Luasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat tahun 2014 Kabupaten Total Luas Areal (ha) Total Produksi (ton tahun -1 ) Perkebun KK Landak Sambas Bengkayang Singkawang Sanggau Sekadau Sintang Melawi Kapuas Hulu Ketapang Kayong Utara Kubu Raya Total Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat (2014) Wilayah Kabupaten Kubu Raya berdasarkan Peta Jenis Tanah memiliki luas lahan gambut sekitar ha atau 49,1% luas total kabupaten. Identifikasi kelas kedalaman lahan gambut dibedakan menjadi 4 kelas, yakni gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam, dan gambut sangat dalam (Tabel 2). Pengembangan lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya mengacu pada Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Peraturan

2 6 Menteri Pertanian No. 14/2009, terutama pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter (gambut dangkal dan gambut sedang) dan pada kawasan area penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar, 2012). Tabel 2. Luas dan perentase lahan gambut per kecamatan menurut kedalaman di Kabupaten Kubu Raya Kecamatan Tipe Gambut Luas ha persentase (%) Sungai Raya Gambut Dangkal ,98 Gambut Sedang ,77 Gambut Dalam ,39 Gambut Sangat Dalam ,63 Rasau Jaya Gambut Dangkal ,15 Gambut Sedang ,09 Sungai Ambawang Gambut Dangkal 201 0,06 Gambut Sedang ,72 Gambut Dalam ,56 Gambut Sangat Dalam ,15 Kuala Mandor Gambut Dangkal ,69 Gambut Sedang ,58 Sungai Kakap Gambut Dangkal ,20 Gambut Sedang ,41 Teluk Pakedai Gambut Dangkal ,96 Terentang Gambut Dangkal ,23 Gambut Sedang ,61 Gambut Sangat Dalam ,57 Kubu Gambut Dangkal ,78 Gambut Sedang ,80 Batu Ampar Gambut Dangkal ,74 Gambut Sangat Dalam ,05 Jumlah ,00 Sumber: Krisnohadi (2011) Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya terdapat lahan gambut yang cukup sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3). Kelas lahan S2 tersebar di Kecamatan: Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Sungai Raya, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3423, 1678, 2424, 1451, 670, dan 1021 ha. Kelas lahan

3 7 S3 tersebar di Kecamatan: Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Rasau Jaya, Sungai Ambawang, Sungai Raya, Sungai Kakap, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3016, 11760, 14570, 12749, 12189, 22941, 2522, 2304, d a n ha. Sebagian lahan gambut lainnya masuk ke dalam kelas lahan tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit dengan luas sekitar 49 ha. Faktor pembatas utama pengembangan kelapa sawit di Kabuapten Kubu Raya adalah drainase tanah yang sangat buruk (tergenang permanen) sehingga ph tanah sangat masam pada kedalaman kurang dari 3,5 m. Drainase merupakan keadaan tata air dalam tubuh profil tanah yang merupakan resultan atau hasil akhir dari gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run off). Kedalaman muka air tanah ikut mempengaruhi keadaan drainase karena gerakan air kapiler ke arah permukaan tanah ikut mempengaruhi tubuh tanah. Air tanah yang tergenang pada lahan gambut mengakibatkan profil terlalu basah, pori-pori cenderung terisi air sehingga oksigen menjadi kurang. Pada lokasi kelas lahan S2 ini, ratarata saluran drainase telah teratur, sehingga kemungkinan perakaran pohon kelapa sawit relatif mudah berkembang (Krisnohadi, 2011). Tingkat ph gambut merupakan salah satu faktor pembatas utama yang memiliki kemungkinan untuk menghambat produktivitas tanaman kelapa sawit. ph adalah parameter yang dikendalikan oleh sifat-sifat reaksi elektrokimia koloid-koloid tanah. Istilah ini menunjukkan kemasaman dan kebasaan tanah yang derajadnya ditentukan oleh kadar ion hidrogen di dalam tanah. Tingkat kemasaman tanah dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh perakaran tanaman dimana setiap unsur hara di dalam tanah ketersediaannya secara maksimal dijumpai pada kisaran tertentu (Damayanti, 2002). Secara teoritis ph optimum untuk pertumbuhan tanaman antara 6,0-7,0, karena pada kisaran ph tersebut ketersediaan unsur-unsur hara tanaman terdapat dalam jumlah besar dan kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air sehingga mudah diserap akar tanaman. Demikian pula mikroorganisme tanah akan menunjukan aktivitas terbesar pada kisaran ph ini. Rata-rata nilai ph lahan gambut Kabupaten Kubu Raya tergolong masam dengan kisaran 3,25-4,40, dan ini masih kurang memenuhi syarat tumbuh tanaman kelapa sawit. Oleh karena itu, diperlukan usaha peningkatan ph tanah untuk menghasilkan produksi yang optimal, termasuk mengurangi reaksi asam humat atau fulvat lahan gambut.

4 8 Tabel 3. Kelas kesesuaian lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya Kelas Lahan S2d S3, f, n, d Faktor Pembatas Luas ha % Drainase tanah sedang, ph tanah masam ,36 Kesuburan tanah rendah, drainase tanah buruk ,59 N Tidak sesuai 49 0,005 Sumber: Krisnohadi (2011) Jumlah ,00 2. Penelitian-Penelitian Mengenai Lahan Gambut Rumbang et al. (2009) melaksanakan penelitian di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah terhadap tipe penggunaan lahan gambut untuk lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan kelapa sawit, lahan karet, masing-masing dengan tiga ulangan. Lahan gambut yang dijadikan lokasi penelitian di Kalimantan Barat merupakan lahan gambut pedalaman dengan kedalaman sedang (1-2 m) dan berat volume antara 0,130-0,163 g cm -3 serta dikelompokkan ke dalam gambut hemik. Hasil pengukuran terhadap rata-rata emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan ph gambut dari 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007 dan hasil pengukuran di 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat pada periode pengukuran 2006 dan 2007 diperoleh adanya hubungan yang linier antara tinggi muka air gambut dengan besaran emisi CO2. Rata-rata emisi CO 2 yang dilepas dari lahan gambut di Kalimantan Barat berkisar 0,35-1,10 g CO2 m -2 jam -1, sedangkan emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah hanya berkisar 0,35-0,67 g CO2 m -2 jam -1. Pada tipe penggunaan lahan yang sama (lahan ditanam dengan tanaman semusim), rata-rata emisi CO 2 yang dilepas 4 tipe lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar 0,35-0,67 g CO2 m -2 jam -1, tidak jauh berbeda dengan rata-rata emisi CO 2 yang dilepas oleh lahan gambut di Kalimantan Barat yaitu berkisar 0,35-0,69 g CO2 m -2 jam -1. Pada lahan gambut di Kalimantan Barat, emisi CO 2 dari lahan karet dan kelapa sawit (kelompok tanaman tahunan) lebih tinggi dibandingkan dengan lahan jagung dan lidah buaya (Rumbang et al., 2009). Antara ph gambut dengan emisi CO2 lahan gambut terdapat hubungan linier. Hal ini terjadi

5 9 baik pada lahan gambut Kalimantan Tengah maupun lahan gambut Kalimantan Barat pada semua periode pengukuran. Semakin meningkat ph gambut maka emisi CO2 lahan gambut juga semakin tinggi. Peningkatan ph gambut berkaitan dengan lama lahan dikelola untuk lahan pertanian, pemberian ameliorant dan pemupukan, serta muka air tanah. Makin lama lahan dikelola untuk lahan pertanian maka semakin banyak amelioran dan pupuk yang sudah diberikan ke dalam tanah sehingga ph gambut semakin meningkat, karena tanpa amelioran dan pemberian pupuk pertumbuhan tanaman di lahan gambut terhambat (Rumbang et al., 2009). Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,981, dan nyata berkorelasi positif terhadap ph dengan nilai r = 0,862. Reaksi tanah nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,901. Eh nyata berkorelasi negatif terhadap fluks CH4 dengan nilai r = -0,982. Peningkatan kadar air mengakibatkan oksigen bebas dalam tanah berkurang. Penggunaan substrat oleh mikroba yang mengandung oksigen sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan Eh. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air tanah dengan Eh. Kondisi Eh berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan Eh akan menyebabkan peningkatan ph (Rumbang et al., 2009). Radjagukguk (2000) meneliti mengenai perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Reklamasi atau konversi lahan gambut untuk pertanian mencakup tindakan drainase dan pembukaan lahan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam sifat-sifat fisik, kimia, dan bahkan biologi lahan gambut. Disamping itu, praktek budi daya tanaman juga mempunyai dampak terhadap sifat-sifat tanah gambut tersebut. Dalam hal sifat-sifat fisik, drainase mengakibatkan subsidensi gambut yang berlangsung relatif cepat dalam 4 hingga10 tahun pertama, dan kemudian melambat sampai laju yang agak konstan. Dengan terjadinya subsidensi dan pemadatan, akan terjadi berbagai perubahan dalam sifat-sifat fisik tanah termasuk meningkatnya berat volume, dan menurunnya porositas total, difusi O2 ke dalam gambut, kapasitas udara, volume air tersedia, dan laju infiltrasi air. Setelah didrainase dan pengolahan tanah, laju dekomposisi gambut meningkat yang menyumbang juga pada peningkatan berat volume. Dalam hal sifat-sifat kimia, drainase dan pengolahan tanah meningkatkan pelepasan CO2 karena meningkatnya laju dekomposisi gambut, yang pada gilirannya menghasilkan pemasaman. Maas (2000) melaksanakan penelitian tentang laju dekomposisi gambut dan dampaknya pada status hara pada berbagai tingkat pelindian. Penelitian ini merupakan percobaan simulasi

6 10 gambut kondisi lapangan yang dikerjakan dengan skala laboratorium. Contoh gambut saprik berasal dari gambut tebal Kalimantan Barat dan gambut topogen dari Rawapening Jawa Tengah. Pelindian secara berkala mempercepat laju degradasi dan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, sedang pelindian kontrol mampu menekan laju degradasi dan menurunkan laju kehilangan nutrisi tanaman. Penelitian oleh Jauhiainen et al. (2014), mengenai dinamika suhu dan emisi CO2 heterotrofik, fluks N2O, dan CH4 di bawah kondisi naungan (shading) yang berbeda pada lahan pertanian gambut dan lahan gambut yang terdegradasi di Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa pemberian naungan terhadap permukaan gambut menyebabkan perbedaan suhu gambut dan memiliki pengaruh yang nyata pada laju emisi gas rumah kaca, dengan emisi meningkat 25 persen untuk setiap 1 C perubahan suhu pada kedalaman gambut 5 cm di lahan pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lafleur et al. (2005); Minkkinen et al. (2007); and Mäkiranta et al. (2009) yang mendapatkan tingkat dekomposisi bahan organik di lahan gambut meningkat secara positif dengan peningkatan suhu. Penelitian yang dilakukan (1) Penelitian survey untuk mengetahui besaran fluks CO2 heterotropik aktual di perkebunan kelapa sawit lahan gambut dengan berdasarkan umur tanam kelapa sawit dan kedalaman permukaan air gambut, (2) Percobaan laboratorium menggunakan kolom gambut dari pipa PVC berdiameter 3 inci yang berisi gambut yang diambil dari lokasi penelitian. Terdapat perlakuan 5 level genangan air pada kolom gambut percobaan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman permukaan air dengan fluks CO2 heterotropik.. Ketiga, melaksanakan penelitian lapangan untuk mengetahui peran tanaman penutup tanah jenis Mucuna bracteata dan Calopogonium mucunoides dalam menekan fluks CO2 heterotropik. B. Landasan Teori 1. Karakteristik Gambut a. Pembentukan Gambut Gambut adalah material yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dari hasil dekomposisi jaringan vegetasi, atau dapat pula dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga ketebalan >30 cm. Unsur utama material gambut adalah C (karbon) dengan bobot isi sekitar 100 kg m -3. Gambut pada daerah tropis kebanyakan terbentuk pada masa holosen dengan sebagian kecil terbentuk pada masa pleistosen (Anshari et al., 2004). Pada proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik

7 11 seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1986). Dataran sungai yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek berupa cekungan hingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif tertimbun oleh karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dengan kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Unsur-unsur utama pembentuk gambut adalah karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan beberapa oksida dalam jumlah kecil seperti SiO2, Al2O, Fe2O5 dan sulfur. b. Ragam Jenis Gambut Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan asal bahan atau penyusunannya, tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan, tingkat kematangan dan ketebalan lapisan bahan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunannya gambut dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan 1) Gambut lumutan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman air, termasuk plankton dan sejenisnya. 2) Gambut seratan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman sphagnum dan rumputan. 3) Gambut kayuan adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan serta tanaman semak dibawahnya. Berdasarkan tingkat kesuburan, gambut dibedakan menjadi 3 golongan yakni gambut eutronik, gambut oligotrofik dan gambut mesotrofik. 1) Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium karbonat (CaCO3), sebagian besar berada pada daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rerumputan serta bersifat netral atau alkalin. 2) Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat masm (ph<4). 3) Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik. Berdasarkan wilayah iklim gambut dibedakan antara gambut tropik dan gambut beriklim sedang. 1) Gambut tropik adalah gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik. 2) Gambut Iklim sedang adalah gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya memiliki 4 musim.

8 12 Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (ph 4-5). Gambut tropik mengalami curah hujan yang tinggi, evaporasi yang tinggi, suhu tahunan yang tinggi dan bahan asal berupa bahan yang terdiri dari kayu-kayuan. Berdasarkan proses pembentukan, gambut dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen: 1) Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. 2) Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi. Berdasarkan sifat kematangan, gambut dapat dibedakan atas 3 jenis yakni gambut fibrik, gambut hemik dan gambut saprik. 1) Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah dicirikan dengan tingginya kandungan bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keasliannya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0,15-2 mm; 2) Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang; 3) Gambut Saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang. Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organik, gambut dibedakan dalam 4 kategori yakni : 1) Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 2) Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 3) Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 4) Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm. c. Klasifikasi Tanah Gambut Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol menurut Sistem Taksonomi Tanah USDA yang lebih banyak dipakai dalam pengklasifikasian tanah di Indonesia (Barchia, 2006). Menurut Hardjowigeno (1993), untuk mencegah terjadinya pengklasifikasian kembali setelah tanah diusahakan, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi Histosol, yaitu: 1) Kandungan minimum bahan organik.

9 13 2) Ketebalan lapisan bahan organik. 3) Kemungkinan terjadinya subsiden bila drainase diperbaiki. Histosol merupakan tanah dengan sifat-sifat serbagai berikut: 1) Kandungan C-organik >12% bila bagian mineral tidak mengandung liat, atau >18% bila bagian mineral mengandung 60% liat,dan tabalnya mencapai: a) 10 cm atau kurang bila terdapat di atas kontak litik atau paralitik, dengan catatan bahwa tebal lapisan bahan organik tersebut paling sdikit 2 kali lebih tebal dari lapisan mineral di atas kontak litik/paralitik, atau b) Tidak diperhatikan ketebalannya bila lapisan bahan organik tersebut terdapat di atas bahan-bahan fragmental. 2) Mempunyai lapisan dengan bahan organik tinggi seperti di atas dengan permukaan lapsian tersebut terdapat pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan memiliki salah satu ketebalan berikut: a) 60 cm atau lebih bila kandungan serat meliputi 3/4 volume atau lebih, atau bila BV lembab <0,1 g cm -3. b) 40 cm atau lebih bila lapisan bahan organik tersebut jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah diadakan perbaikan drainase, dan bahan organik terdiri dari saprik, hemik, atau fibrik kurang dari 2/3 volume dan BV lembab 0,1 g cm -3 atau lebih. c) Mempunyai kandungan bahan organik tinggi seperti di atas yang tidak terdapat lapisan tanah mineral setebal 40 cm atau lebih, baik di permukaan ataupun yang batas atasnya terletak pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan tidak mempunyai laisan tanah mineral, yang tebal kumulatif 40 cm dan terletak pada kedalaman kurang dari 80 cm. d. Karakteristik Fisik Gambut Tanah gambut yang terbentuk dari vegetasi hutan rawa tropika relatif heterogen. Terdapatnya batang pohon, ranting, dan akar kasar yang masih menunjukkan banyak ciri tanaman aslinya. Sifat-sifat fisik tanah gambut merupakan produk dari banyak perubah yang berinteraksi, yang menghasilkan bahan-bahan yang beragam dalam derajat dekomposisinya (Barchia, 2006).

10 14 1) Berat volume (BV) BV gambut merupakan parameter yang paling penting dan merupakan resultan dari dekomposisi bahan gambut. Semakin matang gambut maka semakin tinggi BV (Driessen dan Rochimah, 1976). Menurut Notohadiprawiro (1997), gambut dataran rendah dicirikan dengan nilai BV yang relatif rendah yang biasanya berkisar antara 0,1-0,3 g cm -3. BV gambut dengan kematangan fibrik adalah <0,1 g cm -3, kematangan hemik berkisar 0,07-0,18 g cm -3 dan kematangan saprik >2,0 g cm -3 (Andriesse, 1988), sementara kerapatan jenis gambut (particle density) 1,4 g cm -3 (Driessen dan Rochimah, 1976). Karena gambut mempunyai BV yang rendah maka daya dukung (bearing capacity) gambut juga rendah. Daya dukung gambut kayuan yang telah didrainase dengan baik hanya sekitar 0,21 kg cm - 2, sedangkan tanah mineral umumnya mencapai 0,48-0,56 kg cm -2 (O brien dan Wickens, 1975). 2) Porositas Porositas total gambut relatif tinggi umumnya dalam kisaran 70-95% (Nugroho et al., 1997). Berat volumen gambut merupakan resultan dari dekomposisi vahan gambut. Semakin matang tanah gambut akan diikuti oleh peningkatan berat volume tanah, dan akan diikuti oleh penurunan porositas tanah. 3) Daya tambat air (water holding capacity) Daya tambat air atas dasar berat kering bahan gambut sangat tinggi. Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik 850 hingga 3000%, hemik %, dan saprik <450% (Andriesse, 1988). Kadar lengas gambut ditentukan oleh kematangan gambut. Kadar lengas tanah gambut jauh lebih besar dibandingkan tanah mineral. Kadar lengas gambut yang belum mengalami perombakan sebesar % bobot, sedangkan yang mengalami perombakan sebesar % bobot (Boelter,1969). Tabel 4. Kemampuan menyerap dan menyimpan air dari tiga jenis gambut No. Nilai Lengas Fibrik Hemik Saprik 1. Kemampuan maksimum memegang air (%) Kesetaraan lengas Kebutuhan air untuk penjenuhan 100 cm gambut kering (g) 4. Kebutuhan air setara dengan 100 cm 3 gambut kering (g) 5. Berat 100 cm 3 gambut kering

11 15 Tabel 5. Hubungan kematangan, warna dan kadar lengas maksimum tanah gambut No. Tingkat Kematangan Kerapatan Warna Kadar lengas maksimum (%) 1. Fibrik <0,1 Coklat muda kekuningan, 850 >3000 coklat tua, coklat kemerahan 2. Hemik 0,07 0,18 Coklat tua, Coklat kemerahan Saprik >0,2 Coklat tua, coklat hitam, hitam <450 4) Daya hantar air (hydraulic conductivity) Daya hantar air tanah gambut ke arah vertikal sangat rendah sedangkan ke arah lateral relatif tinggi. Daya hantar air akan menurun dengan meningkatnya dekomposisi (Barchia, 2006). Menurut Vijarnson (1996), daya hantar air tanah gambut tropika bervariasi antara 0,001-0,032 cm detik -1. Daya hantar air yang baik untuk pengembangan pertanian berkisar 0,36 cm jam -1 atau lebih lambat lagi lebih baik (Noor, 2001). 5) Lapisan bawah Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marin atau pasir. Gambut terhampar di atas pasir kuarsa yang mempunyai keseburan rendah, dibandingkan lempung marin. Lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), sehingga jika lapisan atas gambut terkuras habis misalkan oleh pembakaran maka akan terbentuk tanah asam sulfat asam. Dalam keadaan tergenang (anaerob) tanah sulfat asam tidak menimbulkan masalah bagi tanaman karena pirit bersifat stabil. Tetapi pada keadaan aerob karena pengeringan alami maka pirit berubah menjadi tidak stabil atau teroksidasi sehingga melepaskan asam sulfat dan oksida besi, akibatnya terjadi peningkatan keasaman baik pada tanah maupun pengeringan (ph 2-5). 6) Penurunan muka air Penurunan muka air atau amblesan yang terjadi ditanah gambut sangat tergantung kegiatan yang ada dan pengatusan. Besar kecilnya amblesan dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut umur reklamasi, dan ketebalan lapisan gambut. Gambut fibrik lebih besar mengalami amblesan dibandingkan dengan gambut hemik dan saprik.

12 16 Tabel 6. Laju amblesan di lahan gambut No. Ketebalan gambut (cm) Laju amblesan (cm bulan -1 ) , , ,72 4. >300 0,92 Gambut di Indonesia (Tabel 7) rata-rata memiliki BV antara 0,07-0,27 g cm -3, porositas berkisar 83,62-95,13% dan kandungan air dapat mencapai 1272% (Nugroho dan Widodo, 2001). Semakin rendah nilai BV pada gambut akan diikuti secara linier oleh peningkatan porositas tanah dan kandungan air tanah kapasitas jenuh. Pori-pori tanah dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka akan semakin tinggi air yang dapat ditambat pada tanah gambut. Porositas total dan distribusi ukuran pori sangat menentukan besarnya pengikatan air oleh tanah gambut (Barchia, 2006). Tabel 7. Berat volume, kandungan air, porositas, dan shrinkage tanah gambut Berat volume Porositas (g cm -3 ) (%) Kadar air jenuh (%) 0,27 83,62 301,40 0,20 88,57 443,91 0,18 89,41 451,82 0,14 90,35 633,66 0,12 91,84 729,17 0,07 94, ,54 0,07 95, ,20 Sumber: Nugroho dan Widodo (2001) e. Karakteristik Kimia Gambut 1) Tingkat ph yang rendah Sebagian besar gambut berada di lapisan marin yang mengandung pirit dan juga sebagian lahan berasosiasi dengan tanah mineral sulfat. Tanah mineral sulfat dicirikan oleh kandungan pirit >2% atau kadar S>0,75% terletak pada jeluk <50% dari permukaan tanah. Pirit terbentuk dari reduksi sulfat (oleh bakteri Desulfovibrio sp atau desulfomaculum sp) yang diikuti pembentukan besi sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur menjadi FeS2, yang disebut pirit. Pirit dalam keadaan anaerob bersifat stabil, tetapi dalam keadaam aerob akan teroksidasi

13 17 menghasilkan hidrogen (H + ) dan ion sulfat (SO4 +2 ) (Noor, 2001). Reaksi kimia dapat dilihat sebagai berikut (Subba-Rao, 1994): 2FeS2 + 2H2O + 7O2 2FeSO4 + 2H2SO4 4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 2Fe(SO4)3 + 2H2O2 Fe2(SO4)3 + FeS2 3FeSO4 + 2S 2S + 3O2 + 2H2O 2H2SO4 Oksidasi pirit ini akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai ph 2-3. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan ph<4. Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan juga oleh tingginya kandungan asamasam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah gambut juga disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam organik, seperti asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Tanah gambut yang berasal dari kayu banyak mengandung lignin cenderung mempunyai nilai ph yang rendah dengan korelasi seperti persamaan: ph = 7,08 0,034 lignin, r = 0,80 (Salampak, 1999) 2) Kapasitas Tukar Kation (KTK) KTK tanah gambut berkisar dari <50 sampai lebih dari 100 cmol(+) kg -1 bila dinyatakan atas dasar berat, tetapi relatif rendah bila dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 2000). Menurut Kuscow (1971), KTK tanah gambut dapat berkisar antara 100 hingga 300 me 100 g -1. KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia (Tabel 8) sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Driessen, 1978). Menurut Vijarnsorn (1996), KTK tanah gambut terutama ditentukan oleh fraksi lignin dan substansi humat yang relatif stabil, termasuk asam-asam humat dan fulvat yang bersifat hidrofilik dan agresif yang biasanya membentuk komplek stabil dengan ion-ion logam. Oleh karena itu, KTK tanah gambut sangat bergantung kepada ph (Radjagukguk, 2000). Tingginya nilai KTK gambut juga disebabkan oleh muatan negatif bergantung ph yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1976).

14 18 Tabel 8. Komposisi senyawa gambut ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation Senyawa Bobot (%) KTK (me 100 g -1 ) Lignin Senyawa humik Selulosa 0, Hemiselulosa Lainnya <5 - Bahan organik gambut Sumber: Driessen (1978) 3) Kejenuhan Basa (KB) Kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut kandungan abu semakin rendah dan kandungan Ca dan Mg dan kejenuhan basa menurun (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa gambut pedalaman Kalimantan Tengah umumnya rendah, sebaliknya pada gambut pantai didapatkan relatif tinggi. KB gambut pedalaman Kalimantan Tengah sebesar 3,88-4,97% dan gambut pantai antara 7,44-8,13% (Barchia, 2006). Beberapa penelitian lain mengungkapkan bahwa KB gambut mempunyai kejenuhan basa kurang dari 10% (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim, 1987; Salampak, 1999). 4) Kandungan C-organik dan N-total Kandungan C-organik dan N-total tanah gambut tergolong tinggi. Kisaran kandungan C-organik tanah gambut berkisar antara 54,3-57,84% (Riwandi, 2000; Barchia, 2002) dengan rata-rata 57,23% (Sabiham et al., 1997). Kandungan N-total tanah gambut di Indonesia berkisar antara kg N ha -1 atau setara dengan 1,2-1,8% pada lapisan 0-20 cm, dan sebagian besar dalam bentuk N kompleks organik (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986). 5) Nisbah C/N Nisbah C/N gambut berkisar antara Bila nilai nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikroorganisme tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya, sedangkan bila nisbah C/N antara 20-30, dapat terjadi immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah gambut. Dengan nisbah C/N lebih dari 30 maka N

15 19 pada tanah gambut sukar tersedia bagi tanaman, meskipun kandungan N-total gambut tinggi, namun unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk N- organik dan pada tingkatan nisbah C/N yang tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikroorgnisme tanah. Nitrogen tanah yang terdapat dalam bentuk kompleks organik menjadi tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah menjadi bentuk N anorganik, yaitu melalui proses asimilasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Hal yang berkaitan dengan pelepasan gas rumah kaca dari lahan gambut adalah bila gambut dengan nilai nisbah C/N yang tinggi ini teroksidasi karena adanya pengembangan jaringan drainase dan reklamasi, aktivitas mikroorganisme tanah akan meningkat untuk merombak atau mendekomposisi gambut dan melepaskan gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2 ke atmosfer (Barchia, 2006). 6) Kandungan Hara Mikro Kandungan unsur hara mikro tanah gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation tanah gambut dapat membentuk ikatan komplek dengan unsur mikro, sehingga unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, adanya reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas (Tabel 9), namun dalam beberapa kasus kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan mineral yang ada di lapisan bawah gambut. Gambut ombrogen Indonesia terkategori gambut oligotrofik dengan tingkat ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang sangat rendah (Tabel 10), serta kemasaman tanah yang tinggi. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian berhadapan dengan masalah sifat dan perilaku kimia dari bahan gambut (Sabiham et al., 1997). Tabel 9. Kandungan beberapa unsur mikro pada gambut tropika di Indonesia Unsur Mikro Kandungan (kg ha -1 ) 0-25 cm cm Kobal (Co) 0,1-0,2 0,05 0,10 Tembaga (Cu) 0,8-8,0 0,2 0,8 Besi (Fe) Mangan (Mn) 4,1-25 1,1 7,1 Molibdenum (Mo) 0,6-1,0 0,3 0,6 Seng (Zn) 2,8-4,4 1,8 4,8 Sumber: Driessen (1978)

16 20 Tabel 10. Kadar unsur hara lapisan olah gambut Lunang Sumatera Barat Unsur Hara Tebal Gambut (cm) >200 Ca (me/100g) 2,14 4,05 3,44 8,37 Mg (me/100g) 1,74 1,83 2,53 5,76 K (me/100g) 0,31 0,23 0,18 0,36 Cu (ppm) 1,44 2,09 1,42 2,77 Zn (ppm) 5,31 6,39 4,17 3,94 Mn (ppm) Fe (ppm) SO4 (ppm) Sumber: Taher dan Zaini (1989) 7) Kandungan Asam Humat dan Asam Fulvat Humus tanah gambut mempunyai hubungan erat dengan tingkat dekomposisi bahan gambut yang membentuknya. Jumlah humus terekstraksi dari bahan gambut yang meningkat bila proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Bahan gambut yang tahan terhadap dekomposisi menghasilkan bahan humus yang stabil. Bahan humus yang stabil adalah asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Pada proses humifikasi bahan gambut akan menghasilkan asam humat dan fulvat (Gambar 1 dan 2). Asam humat mengandung senyawa aromatik lebih banyak dari pada asam fulvat, sedangkan asam fulvat mengandung senyawa alifatik lebih banyak dari pada asam humat. Asam-asam organik aromatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi fenolat-oh yang tinggi, sedangkan asam-asam organik alifatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi COOH yang tinggi. Bahan gambut yang kandungan ligninnya relatif lebih tinggi mengandung asam humat lebih banyak dibandingkan dengan bahan gambut yang kandungan selulosanya relatif tinggi. Bahan gambut yang mengandung lignin yang relatif tinggi biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah relatif tinggi tidak tahan terhadap dekomposisi (Barchia, 2006).

17 21 Sisa Tanaman Selulosa, Karbohidrat lain Protein Lignin, Tanin Senyawa Fenol hasil metabolisme Senyawa Fenol Hasil dekomposisi Kondensasi/ polimerisasi Bahan Humat Gambar 1. Dekomposisi sisa tanaman membentuk bahan humat (Kononova, 1968) Digunakan jasad renik Dioksidasi menjadi CO 2 Enzim Fenol oksidase Lignin Fenol aldehida Asam fenol Polifenol Kuinon Enzim Fenol oksidase Selulosa dan bahanbahan lain nonlignin Digunakan jasad mikro Senyawa amino Asam Humat Asam Fulvat Senyawa amino Gambar 2. Degradasi senyawa Lignin menjadi asam Humat (Stevenson, 1982)

18 22 Lamanya pengusahaan lahan gambut untuk pertanian akan meningkatkan bahan yang tahan terhadap dekomposisi seperti lignin yang membentuk bahan humus pada gambut, sebaliknya kandungan selulosa dan hemiselulosa akan menurun (Salampak, 1999). Ekosistem lahan gambut tropika di Indonesia umunya anaerob dan bahan gambut yang terbentuk sebagian besar berasal dari tanaman kayu. Gambut yang terbentuk dari kayu hutan hujan tropika mengandung lignin yang tinggi. Gambut yang telah atau sedang mengalami dekomposisi membentuk komponen-komponen utama seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, protein, tannin, dan kutin (Wershaw et al., 1996). 2. Kesesuaian Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit a. Dasar Tata Guna Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung dapat mengubah ekosistem gambut untuk membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dengan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan lingkungan menurun, fungsi produksi akan terganggu (Maltby dan Immirzi, 1996). Karena itu, lahan gambut bersifat piasan (marginal) dan rapuh (fragile). Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan faktor dinamika lahan dan faktor keuntungan. b. Kendala Pemanfaatan Lahan Gambut Menurut Andriesse (1988), terdapat delapan faktor pembatas yang menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Faktor pembatas ini pada tingkat tertentu dapat menjadi sangat serius sehingga lahan gambut dinilai percuma untuk dikembangkan kembali. Karena itu, sistem pengelolaan lahan gambut memerlukan upaya pencegahan atau antisipasi terhadap degradasi lahan agar produksi tanaman dapat terus kontinu dan kelestarian gambut tetap terpelihara. Berikut ini beberapa masalah yang sering terjadi pada pengembangan lokasi budi daya kelapa sawit di lahan gambut tropis. 1) Sebagian besar lahan gambut berada di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-asam organik lainnya. Selain itu, lahan gambut bisa juga berada di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara;

19 23 2) Lahan gambut dapat mengalami perubahan lingkungan fisik secara cepat setelah dilakukan reklamasi menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob, dan adanya amblesan; 3) Lahan gambut mudah mengalami degradasi kesuburan karena pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Sementara itu, abu hasil pembakaran yang mengandung hara relatif mudah tererosi dan hilang melalui aliran limpasan; 4) Lahan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) cukup tinggi. Selain itu, adanya resiko organism pengganggu tanaman (gulma, hama, dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria dan cacing) cukup tinggi. c. Kesesuaian Lahan Gambut Lahan gambut yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan lokasi budi daya memerlukan reklamasi. Namun, permasalahan yang dihadapi biasanya adanya perubahan yang terjadi setelah reklamasi. Selain itu, banyak ditemukan kesulitan dalam penilaian secara ekonomi biaya-biaya reklamasi. Andriesse (1988) memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan berkenaan dengan reklamasi sebagai berikut: 1) Reklamasi buatan untuk lahan gambut pasang surut sebaiknya didahului dengan menilai keuntungan dan kerugian untuk bahan perencanaan yang baik; 2) Pengembangan dari lahan gambut pasang surut sebaiknya tidak dilakukan secara besarbesaran. Reklamasi yang dilakukan di permukiman spontan sering menimbulkan masalah ke depannya; 3) Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan setelah pengatusan dan pencegahan banjir. Berbagai kemungkinan pengembangan pertanian, diantaranya pengatusan dangkal, pengatusan menengah, dan pengatusan dalam yang diikuti dengan pemilihan komoditas tanaman untuk mempercepat terbentuknya ampas (wastage) gambut. Menurut Hardjowigeno (1998), sistem dan metode evaluasi kesesuaian terhadap lahan gambut belum dapat dibakukan. Karena beberapa pakar belum sepakat tentang penentuan faktor yang mempengaruhi potensi dan pembatas pengembangan lahan gambut. Hingga saat ini, penilaian kesesuaian lahan hanya berdasarkan sifat lahan penciri dengan criteria berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, bukan berdasarkan hasil percobaan. Radjagukguk dan Setiadi

20 24 (1989) menilai kesesuaian lahan gambut dari segi ketebalan lapisan organiknya, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kesesuaian lahan gambut untuk berbagai jenis tanaman pertanian berdasarkan ketebalannya No. Jenis Tanaman Ketabalan Gambut (cm) > Padi sawah S2 S3-2. Pangan lahan kering (padi gogo, kedelai, jagung) S1 S2 S3 3. Hortikultura (kubis cina, papaya, nanas, rambutan) S1 S1 S1 4. Perkebunan (kelapa, kelapa sawit, karet, cokelat) S1 S2 S2 5. Tanaman industri (rami dan tanaman obat-obatan) S1 S2 S2 Sumber: Radjagukguk dan Setiadi (1989) Keterangan: S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = kurang sesuai Tabel 12. Penilaian kesesuaian parameter tanah di lahan rawa untuk persawahan, tanaman semusim, dan tanaman tahunan Unsur Kelas Kesesuaian S1 S2 S3 N1 N2 Jeluk Mempan (cm) a >75 >50 >25 >10 >10 b >75 >50 >25 >10 >10 c >75 >50 >50 >25 >25 ph pada (0-30 cm) a 6-7 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 - b 6-7 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 - c 5,5-7,5 4,5-7, Sedang- Rendah- Rendah Sangat Kesuburan Tanah a Tinggi Sedang- Tinggi b Tinggi Sedang- Tinggi c Tinggi Sedang- Tinggi Sedang- Rendah Sedang- Rendah Rendah Rendah- Sangat Rendah Rendah- Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Kejenuhan Al (%) a >20 >40 >60 >80 - b >20 >40 >70 >90 - c >40 >60 >80 >100 - Kejenuhan Pirit (cm) a >100 >75 >50 >25 - b >150 >100 >75 >50 -

21 25 Lanjutan Tabel 12 c >100 >75 >50 >25 - Pengatusan a Baik Baik, agak Agak Agak - cepat cepat cepat Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Ketebalan Gambut (cm) b Baik Baik, agak cepat c Terhamb at Baik, agak lambat Agak cepat Sangat terhamba t terhambat Agak cepat terhambat Sangat cepat a <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 b <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 c <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 a <1500 <1500 <100 <150 >150 b <1500 <1500 <100 <150 >150 c <1500 <1500 <100 <150 >150 Kematangan Gambut a Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) b Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) c Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) Sumber: Maas dan Subagyo (1996) Keterangan: a = untuk tanaman sayuran b = untuk tanaman tahunan c = untuk tanaman persawahan Hemik Hemik Hemik Hemik- Fibrik Hemik- Fibrik Hemik- Fibrik Emisi CO2 di Lahan Gambut Sektor kehutanan masih merupakan pengemisi gas rumah kaca atau GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Sektor ini juga mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim berkembang. Besarnya emisi salah satunya dapat mengacu pada hasil perhitungan Second National Communication (SNC) (KLH, 2009),

22 26 yang menyatakan tingkat emisi tahun 2000 sebesar juta ton CO2-e, secara keseluruhan dan juta ton CO2-e untuk sektor LULUCF (land use, land use change and forestry). Besarnya emisi tersebut terutama berasal dari besarnya deforestasi. Beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yaitu penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman (Kementerian Kehutanan, 2011). Fluks (flux) adalah kecepatan pengaliran gas rumah kaca, misalnya kecepatan pergerakan CO2 dari dekomposisi bahan organik tanah ke atmosfer dalam satuan berat gas per luas permukaan tanah dalam satuan waktu tertentu (misalnya dengan satuan mg m -2 jam -1 ). Emisi gas rumah kaca (GRK) adalah proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfer. Gas rumah kaca atau greenhouse gases merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca berfungsi untuk menjaga temperatur permukaan bumi agar tetap hangat. Namun jika kosentrasi gas rumah kaca meningkat, efek rumah kaca yang dihasilkan akan menyebabkan pemanasan global (global warming) (Kementerian Kehutanan, 2011). Jenis-jenis gas rumah kaca pada umumnya merupakan hasil dari aktivitas makhluk hidup terutama manusia. Kecuali gas karbondioksida (CO2) yang merupakan hasil dari proses respirasi makhluk hidup dan terbentuk secara alami, jenis gas rumah kaca yang lain merupakan dampak dari hasil perkembangan industri dan teknologi. Jenis-jenis gas rumah kaca diantaranya CO2, metana (CH4), nitrous oxide (N2O), hydrofluorocarbon (HFCs), dan perfluorocarbon (PFCs). a. Emisi CO2 Saat Pembukaan Hutan Dalam keadaaan alami lahan gambut merupakan penambat (net sink) dari karbon. Apabila hutan gambut dibuka maka akan terjadi emisi yang sangat tinggi disebabkan oleh pembakaran dan pengaruh drainase. Sekitar separoh dari 200 t C ha -1 yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah, karena dijadikan papan dan plywood, akan bertahan, sedangkan separoh lainnya yang terdiri dari cabang dan ranting pohon serta pohon yang masih kecil seringkali dibakar (Agus, 2007). Seiring dengan itu lebih dari 10 cm lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 ton C ha -1. Dengan demikian sekitar 160 ton C atau 587 ton CO2 ha -1 akan teremisi dalam proses pembukaan hutan gambut (Agus, 2007).

23 27 b. Emisi CO2 dari Perkebunan Kelapa Sawit Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 ton CO2 atau setara dengan 100 ton C ha -1 dalam bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2007). Berdasarkan review literatur, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber). Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Didapatkan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase akan teremisi sekitar 9,1 ton CO2 ha -1 tahun -1. Wösten (2001), dengan metode penelitian pengamatan subsiden bahkan memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha -1 tahun -1 (Agus, 2007). Dengan menggunakan hubungan yang pertama (9,1 ton emisi CO2 ha -1 tahun -1 untuk setiap 10 cm kedalaman drainase), untuk kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 ton ha -1 tahun -1 atau 1820 ton ha -1 selama 25 tahun. Jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 ton ha -1 selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha -1. Jumlah emisi CO2 dalam satu siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 ton ha -1 (Agus, 2007). Emisi dari sistem pertanian tanaman semusim. Berbagai sistem tradisional tanaman pangan dan sayur-sayuran secara sengaja membakar semak dan lapisan gambut untuk mendapatkan beberapa ton abu penyubur tanah. Apabila setiap tahunnya terbakar 2,5 cm gambut maka emisi yang terjadi adalah sekitar 55 ton CO2 ha -1 tahun -1 (Agus, 2007). Drainase yang pada umumnya berkedalaman 30 cm berpotensi pula menyumbangkan emisi CO2 sebanyak 27 ton ha -1 tahun -1 sehingga emisi berjumlah 82 ton ha -1 tahun -1 atau 2050 ton CO2 selama 25 tahun. Jumlah ini lebih dari tiga kali emisi dari pembukaan hutan (Agus, 2007). Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut. Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah. Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya mempercepat emisi CO 2. Kebakaran dapat

24 28 menurunkan simpanan karbon di jaringan tanaman dan di dalam gambut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, peningkatan muka air tanah, misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat emisi (Agus, 2007). Pertumbuhan tanaman merupakan proses penangkapan CO 2 dari atmosfer ke dalam jaringan tanaman melalui fotosintesis. Melalui proses pertumbuhan tanaman, terutama tanaman pohon-pohonan, maka simpanan karbon pada sebidang lahan akan meningkat. 4. Hubungan Suhu Gambut terhadap Emisi CO2 Di daerah tropis, fluktuasi suhu harian dan tahunan relatif tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan lahan gambut di sebelah utara lintang bumi. Secara umum terjadi peningkatan suhu setelah deforestasi dan juga terjadi peningkatan fluktuasi suhu harian di permukaan gambut dan karenanya sangat memungkinkan terjadinya peningkatan dekomposisi gambut. Hirano et al. (2009) melaporkan hubungan emisi CO2 dengan suhu sangat jelas ditemukan untuk gambut tropis, melalui pemantauan selama 4 tahun menggunakan alat pemantau otomatis (per jam ) terhadap dua variabel (suhu dan emisi CO2) di hutan rawa gambut, diperoleh dua kali lipat tingkat emisi CO2 seketika di lapangan pada rentang suhu 5 C (dari 24 C hingga 29 C) (termasuk emisi respirasi autotrofik). Disamping itu, Stephens dan Stewart (1977) mengkombinasikan penelitian lapangan dan laboratorium jangka panjang di lahan gambut subtropis Everglades (Florida) menunjukkan bahwa oksidasi gambut yang diekspresikan sebagai penurunan permukaan gambut sebanyak dua kali lipat dengan peningkatan suhu 10 C. Brady (1997) melaporkan fluksi CO2 dari inkubasi sampel permukaan gambut tropis dari Sumatera juga menemukan fluks CO2 dua kali lipat antara 25 C dan 35 C. Brady (1997) dan Hirano et al. (2009) menemukan bahwa peningkatan suhu memiliki efek lebih besar pada tingkat emisi CO2 dibandingkan kelembaban tanah atau kedalaman permukaan air gambut. Pada skala lanskap, suhu permukaan gambut di hutan rawa gambut utuh lebih rendah dan lebih konstan daripada hutan gambut yang telah mengalami deforestasi dan yang telah dikembangkan/dialih fungsikan (Jaya, 2007), bukan hanya karena lantai hutan terlindung dari sinar matahari langsung, tetapi juga karena didinginkan oleh penguapan dari permukaan gambut, yang biasanya memiliki kandungan air yang tinggi. Setelah deforestasi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan gambut meningkat dan begitu juga terjadi kenaikan suhu

25 29 permukaan gambut. Di Kalimantan Tengah, rata-rata suhu siang hari gambut pada kedalaman 5 cm adalah 4,4 C lebih tinggi (29,9 C) di lahan gambut terdegradasi terbuka dengan suhu udara di atas permukaan gambut ini adalah 32,4 C, dibandingkan dengan yang di dekat hutan gambut yang tidak mengalami pengatusan (25,5 C) dengan suhu udara di atas permukaan gambut 26,4 C, suatu perbedaan sebesar 6 C (Jauhiainen et al., 2005, 2008). Jaya (2007) melaporkan perbedaan lebih besar di lokasi lain di Kalimantan Tengah sebesar 7,3 C, yaitu antara rata-rata suhu harian permukaan gambut di lahan pertanian sebesar 30,2 C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 33,4 C, dan hutan gambut yang relatif utuh dan beredekatan dengan lahan pertanian sebesar 22,9 C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 28,8 C. Sedangkan dibandingkan dengan hutan yang mengalami kerusakan berat yang berada bersebelahan, rata-rata suhu permukaan gambut harian dan suhu udara siang hari adalah 26,7 C dan 30,4 C, menunjukkan bahwa bahkan menghapus bagian dari penutup kanopi dapat memberi efek terhadap permukaan gambut dan suhu udara. 5. Dekomposisi Bahan Organik Gambut dan Produksi CO2 Pada proses penguraian bahan organik dalam tanah ditemukan beberapa tahap proses. Biota tanah termasuk cacing tanah memegang peranan penting pada penghancuran bahan organik pada tahap awal proses. Pekerjaan selanjutnya dilakukan oleh mikroba. Enzim-enzim yang dihasilkan mikroba mengubah senyawa organik secara kimiawi, hal ini ditandai pada bahan organik yang sedang mengalami proses penguraian maka kandungan zat organik yang mudah terurai akan menurun dengan cepat. Unsur karbon menyusun kurang lebih 45-50% dari bobot kering tanaman dan binatang. Apabila bahan tersebut dirombak oleh mikroba, O2 akan digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik dan akan dibebaskan CO2. Selama proses penguraian mikroba akan mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar antara 10-70% tergantung kepada sifat-sifat tanah dan jenis-jenis mikroba yang aktif. Setiap 10 bagian C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10) untuk membentuk plasma sel. Dengan demikian C- organik yang dibebaskan dalam bentuk CO2 dalam keadaan aerobik hanya 60-80% dari seluruh kandungan karbon yang ada. Hasil perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4, H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa

26 30 tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total reaksi aerobik yang terjadi adalah sebagi berikut: (CH2O)x + O > CO2 + H2O + hasil antara + nutrien + humus + sel + energi Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung pada keadaan aerobik dan anaerobik (Gaur, 1982). Hasil akhir dari perombakan aerobik merupakan produk metablisme biologi berupa CO2, H2O, panas, unsur hara, dan sebagian humus. Hasil akhir perombakan anaerobik terutama berupa CH4 dan CO2 dan sejumlah hasil antara, timbul bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Haug, 1980). a. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap peran mikroorgnisme tanah Bakteri dan fungi merupakan mikroorgnisme yang paling penting dalam tanah yang berhubungan dengan dekomposisi tanah dan siklus hara. Selain itu pada tanah-tanah yang mempunyai aerasi yang baik, bakteri dan fungi sangat dominan, sebaliknya bakteri sendiri terlibat hampir pada semua proses biologi dan perubahan kimia dalam lingkungannya yang mengandung sedikit atau tanpa O2 (Alexander, 1977). Jumlah bakteri yang ada didalam tanah dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi pertumbuhannya, seperti temperatur, kelembaban, aerasi, dan sumber energi. Tetapi secara umum populasi yang terbesar terdapat di horizon permukaan. Mikroorganisme tanah lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah karena bahan organik lebih tersedia. Oleh karena itu mikroorganisme lebih banyak berada pada lapisan tanah yang paling atas (Alexander, 1977). Udara tanah dapat memiliki kandungan CO2 yang cukup tinggi sehingga mampu menurunkan ph tanah yang mempunyai daya sanggah yang rendah, dan akan menurunkan ph antara 0,5-1 unit untuk tanah yang memiliki daya sanggah yang tinggi tetapi tidak pernah di bawah ph 5,5-6,0. Kemasaman tanah dapat ditanggulangi dengan cara pengapuran untuk menetralkan H + dengan OH - dan sekaligus menambah kandungan Ca dan Mg (Sutanto, 2005). Jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorgnisme tanah menurut Sutedjo (1966) dipengaruhi oleh kondisi lembab dan temperatur yang sesuai. Pada kondisi tersebut 1 kilogram tanah dapat mengeluarkan atau membebaskan sekitar 1-30 miligram karbon sebagai CO2. b. Pengelompokan bakteri tanah Bakteri-bakteri tanah dapat dikelompokkan dalam beberapa kriteria sebagai berikut (Pelczar dan Chan, 1988): 1) Berdasarkan sumber makanan, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006) digolongkan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp),

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut 3 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun selalu jenuh air atau tergenang air dangkal. Swamp adalah istilah umum untuk rawa yang menyatakan wilayah lahan atau

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008).

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA PENYEBAB Kebakaran hutan penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan Salah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN Terbentuknya gambut pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman 1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap tanaman pada ph 6-7, karena pada ph tersebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya serta sebagian kecil di pulau

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN. Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN. Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si Musim hujan Tanah mineral Tanah Organik PERMASALAHAN AIR Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai akibat dari volume

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai 30-45 juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley et al., 2008). Sebagian

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi. Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri lainnya.

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Di Indonesia tanah jenis Ultisol cukup luas yaitu sekitar 38,4 juta hektar atau sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan kondisi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi No Tahun Bulan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1987 206 220 368 352 218 17 34 4 62 107 200 210 1998 2 1989 183 198 205 301 150

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut 2.1.1. Pengertian Tanah Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PENGARUH JENIS DAN DOSIS BAHAN ORGANIK PADA ENTISOL TERHADAP ph TANAH DAN P-TERSEDIA TANAH Karnilawati 1), Yusnizar 2) dan Zuraida 3) 1) Program

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Beberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Beberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio IV HSIL DN PEMHSN 4.1 eberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-io 4.1.1 Sifat Kimia Tanah Gambut Sebelum Perlakuan Sifat tanah gambut berbeda dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Dalam beberapa tahun terakhir ini, sistem berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sedang digalakkan dalam sistem pertanian di Indonesia. Dengan semakin mahalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah Ananas comosus (L) Merr. Tanaman ini berasal dari benua Amerika, tepatnya negara Brazil.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Organik Asal Hasil analisis ph, KTK, kadar air, padatan terlarut (TSS), C-organik, N- total dan C/N pada bahan serasah pinus (SP), gambut kering (GK),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Ultisol dan Permasalahan Kesuburannya Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai sumber daya alam sangat penting dalam meyediakan sebahagian besar kebutuhan hidup manusia, terutama pangan. Pada saat ini kebutuhan akan pangan tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Paremeter pertumbuhan tanaman yang diukur dalam penelitian ini adalah pertambahan tinggi dinyatakan dalam satuan cm dan pertambahan diameter tanaman dinyatakan dalam satuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah-tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Unsur Hara Lambang Bentuk tersedia Diperoleh dari udara dan air Hidrogen H H 2 O 5 Karbon C CO 2 45 Oksigen O O 2

Lebih terperinci

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN Hubungan air tanah dan Tanaman Fungsi air bagi tanaman Menjaga tekanan sel Menjaga keseimbangan suhu Pelarut unsur hara Bahan fotosintesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Tanah Gambut Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah yang terdapat pada deposit gambut. Ia mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan kedalaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-8 SUMBERDAYA LAHAN

PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-8 SUMBERDAYA LAHAN PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-8 SUMBERDAYA LAHAN Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Dr. Ir. Budiarto, MP. Program Studi Agribisnis UPN Veteran Yogyakarta 1 TANAH PERTANIAN Pertanian berasal dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci