PEWARISAN KARAKTER KOMPONEN HASIL DAN PEMANFAATAN SEGREGAN TRANSGRESIF PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING DALAM RANGKA PERBAIKAN HASIL YUNANDRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEWARISAN KARAKTER KOMPONEN HASIL DAN PEMANFAATAN SEGREGAN TRANSGRESIF PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING DALAM RANGKA PERBAIKAN HASIL YUNANDRA"

Transkripsi

1 PEWARISAN KARAKTER KOMPONEN HASIL DAN PEMANFAATAN SEGREGAN TRANSGRESIF PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING DALAM RANGKA PERBAIKAN HASIL YUNANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2 2

3 3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pewarisan Karakter Komponen Hasil dan Pemanfaatan Segregan Transgresif Persilangan Cabai Besar dan Keriting dalam Rangka Perbaikan Hasil adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Yunandra NIM A

4 4 RINGKASAN YUNANDRA. Pewarisan Karakter Komponen Hasil dan Pemanfaatan Segregan Transgresif Persilangan Cabai Besar dan Keriting dalam Rangka Perbaikan Hasil. Dibimbing oleh MUHAMAD SYUKUR dan AWANG MAHARIJAYA. Perakitan varietas cabai berdaya hasil tinggi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya hasil cabai. Kegiatan seleksi memiliki peran yang sangat penting dalam rangka perakitan varietas cabai berdaya hasil tinggi. Seleksi menjadi efektif dan efisien ketika genotipe segregan transgresif berhasil diperoleh pada generasi awal sehingga dapat mempercepat perolehan galur-galur harapan berdaya hasil tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pewarisan karakter komponen hasil pada tanaman cabai dan memperoleh kandidat galur harapan segregan transgresif homozigot pada awal generasi bersegregasi. Penelitian ini terdiri dari 3 percobaan, yaitu studi pewarisan karakter hasil dan komponen hasil cabai, seleksi genotipe cabai segregan transgresif, dan verifikasi genotipe cabai segregan transgresif pada populasi terseleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti. Pewarisan karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non-aditif, dimana aksi gen non-aditif ini terdiri dari aksi gen dominan dan epistasis. Terdapat genotipe diduga segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi untuk karakter umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Segregan transgresif terverifikasi pada karakter hasil dan komponen hasil populasi F3. Genotipe terverifikasi segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman sebanyak 10 genotipe F3 dari 20 genotipe F2 terpilih yang diduga segregan transgresif. Genotipe F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan. Kata kunci: aditif, dominan, epistasis, segregan transgresif, seleksi

5 5 SUMMARY YUNANDRA. Inheritance of Yield Component Characters and Transgressive Segregant Utilization in Big Chili and Curling Pepper Crosses for Yield Improvement. Supervised by MUHAMAD SYUKUR and AWANG MAHARIJAYA. Varieties assembly of high yield pepper is one of the methods for increasing pepper productivity. Plant selections are important part in varieties assembly. Effective and efficient selections could be achieved when transgressive segregant genotypes successfully obtained on early generation thus shorten time to obtain promising high yield lines. This study aims to obtain genetic information about yield component characters inheritance in pepper and obtain new transgressive segregant homozygous candidate lines in early generation. This study consists of three experiments: observation of pepper yield component characters inheritance, pepper transgressive segregant genotypes selection, and verification pepper transgressive segregant genotypes in selected population. Pepper yield component characters were controlled by additive and nonadditive gene action, where non-additive gene action consists of dominant gene and epistatic. There were expected transgressive segregant genotypes in selected F2 population for flowering age, harvesting age, pedicel length, fruit length, number of fruit, and yield characters. Transgressive segregant verified in all yield component characters of F3 population. Transgressive segregants were verified for yield component characters in F3 population. Ten F3 genotypes from twenty selected F2 genotypes were suspected transgressive segregants for yield character. Genotypes of F , F , F , F , F , F , F , F , F , and F were recommended as new candidate lines. Keywords: additive, dominant, epistatic, selection, transgressive segregant

6 6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 7 PEWARISAN KARAKTER KOMPONEN HASIL DAN PEMANFAATAN SEGREGAN TRANSGRESIF PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING DALAM RANGKA PERBAIKAN HASIL YUNANDRA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi

9 9 Judul Tesis : Pewarisan Karakter Komponen Hasil dan Pemanfaatan Segregan Transgresif Persilangan Cabai Besar dan Keriting dalam Rangka Perbaikan Hasil Nama : Yunandra NIM : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Muhamad Syukur, SP MSi Ketua Dr Awang Maharijaya, SP MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr Tanggal Ujian: 19 Agustus 2016 Tanggal Lulus:

10 10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan, rahmat, dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul Pewarisan Karakter Komponen Hasil dan Pemanfaatan Segregan Transgresif Persilangan Cabai Besar dan Cabai Keriting dalam Rangka Perbaikan Hasil. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Almarhum ayahanda Asrab dan ibunda Nursiam, S.Pd.I tercinta yang tiada hentinya selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang, pengorbanan, dukungan, dan motivasi. Abang Hendri SE dan kak Afrida Wahyuli SE, abang Syafriwan ST, abang Yudi Ansar Amd dan kak Dyaning Tyas Nugraheni SPd atas doa dan dukungan selama ini. 2. Prof. Dr. Muhamad Syukur, SP MSi dan Dr. Awang Maharijaya, SP MSi selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran, masukan, kesabaran, dan motivasi yang telah diberikan selama ini. 3. Dr. Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi dan Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tesis ini menjadi lebih baik. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan kesempatan melanjutkan studi magister melalui program beasiswa BPP-DN Teman-teman Labdik Pemuliaan Tanaman: kak Abdul Hakim SP, kak Ady Daryanto SP MSi, kak Arya Widura SP MSi, Estriana Riti SP, Faradila Putri SP MSi, M. Ridha Alfarabi Istiqlal SP MSi, kak Dr. Marlina Mustafa SP MP, mbak Nura SP MSi, Pak Rudi Hermanto SP, mbak Siti Hapshoh SP MSi, mbak Siti Marwiyah SP MSi, Tustiah SP, dan mbak Zahratul Mila SP MSi atas bantuan tenaga, kerja sama, kebersamaan, dan ikatan kekeluargaan yang erat. 6. Teman-teman seperjuangan di program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Angkatan 2013 atas persahabatan dan kekeluargaannya. 7. Mas Undang SP MSi dan Pak Darwa atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. 8. Tiara Yudilastari, SP atas bantuan, kerjasama, dukungan, motivasi, doa, semangat, dan menjadi pendengar setia keluh kesah penulis. Tiada yang sempurna pada karya manusia, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada umumnya. Bogor, Agustus 2016 Yunandra

11 11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Studi Pewarisan Karakter Hasil Seleksi dan Kemajuan Seleksi Segregan Transgresif 6 3 STUDI PEWARISAN KARAKTER HASIIL DAN KOMPONEN HASIL CABAI Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 23 4 SELEKSI GENOTIPE CABAI SEGREGAN TRANSGRESIF Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 30 5 VERIFIKASI SEGREGAN TRANSGRESIF PADA POPULASI TERSELEKSI Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 41 6 PEMBAHASAN UMUM 42 7 SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan Saran 45 DAFTAR PUSTAKA 46 RIWAYAT HIDUP 50 xii xii

12 12 DAFTAR TABEL 3.1 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan potensi rasio (hp) Nilai tengah dan ragam karakter Nilai tengah dan ragam karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Nilai tengah dan ragam karakter diameter buah, tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman cabai Uji efek maternal populasi F1 dan F1R pada karakter komponen hasil cabai Jumlah gen pengendali (n) dan derajat dominansi (hp) pada karakter komponen hasil cabai Uji skala pada karakter komponen hasil cabai Uji skala gabungan pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Uji skala gabungan pada karakter diameter buah, tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman cabai Perkiraan efek gen pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Perkiraan efek gen pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Komponen ragam dan heritabilitas pada karakter komponen hasil cabai Korelasi pearson karakter komponen hasil terhadap bobot buah per tanaman cabai Nilai indeks seleksi karakter panjang buah, jumlah buah per tanaman, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman cabai Segregan transgresif pada 300 tanaman F2 cabai Segregan transgresif pada 30 tanaman F2 cabai terseleksi Kemajuan seleksi pada karakter komponen hasil cabai Heritabilitas dalam arti luas dan sempit (realized) karakter komponen hasil pada populasi F3 cabai Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter umur berbunga, umur panen, dan bobot per buah cabai Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter diameter buah, jumlah buah, dan panjang buah cabai Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter panjang tangkai buah, tebal daging buah, dan bobot buah per tanaman cabai 40 DAFTAR GAMBAR 1.1 Bagan alir penelitian Skema persilangan pada cabai Sebaran data populasi F2 karakter umur berbunga dan umur panen cabai Sebaran data populasi F2 karakter bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah cabai Sebaran data populasi F2 karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah cabai Sebaran data populasi F2 karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman cabai 17

13 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) banyak ditanam di seluruh dunia baik sebagai rempah-rempah maupun sebagai tanaman sayur dan cabai juga termasuk salah satu sayuran solanaceae kedua yang paling penting di dunia setelah tomat (Hasanuzzaman dan Golam 2011). Produktivitas cabai di Indonesia masih tergolong rendah, yakni sebesar 8.35 ton ha -1 pada tahun 2014 (BPS 2015) sedangkan potensi hasil yang dapat dicapai adalah ton ha -1 (Rubatzky dan Yamaghuci 1999). Rendahnya produktivitas cabai di Indonesia dikarenakan banyak faktor, salah satunya adalah petani belum banyak menggunakan varietas unggul berdaya hasil tinggi. Varietas unggul cabai bisa didapat dari serangkaian program pemuliaan tanaman yang tepat. Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu program pemuliaan tanaman. Sumber keragaman genetik didapat dari introduksi, hibridisasi, mutasi maupun rekayasa genetika. Hibridisasi atau persilangan dua galur murni merupakan teknik yang paling umum digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Tetua galur murni atau dalam keadaan homozigot akan menghasilkan turunan F1 heterozigot yang seragam dan segregasi akan muncul pada generasi F2 (Sofiari dan Kirana 2009). Kegiatan seleksi dapat dilakukan pada populasi F2 yang bersegregasi tersebut. Informasi genetik merupakan hal yang penting dalam menyeleksi hasil persilangan untuk mendapatkan varietas unggul, terutama informasi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif. Analisis pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah gen yang mengendalikan karakter tersebut, aksi gen yang mengendalikan, dan informasi genetik lainnya (Arif et al. 2011). Melalui informasi pewarisan karakter yang digunakan, kegiatan seleksi akan menjadi lebih efektif dan efisien. Seleksi pada beberapa karakter komponen hasil lebih efektif daripada hanya seleksi pada satu karakter hasil per tanaman. Hal ini dikarenakan produktivitas cabai sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil seperti bobot buah, diameter buah, panjang buah, panjang tangkai buah, tebal daging buah dan jumlah buah. Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman yaitu memilih tetua persilangan. Selanjutnya untuk memprediksi frekuensi segregan transgresif dapat dilakukan dengan persilangan dialel. Informasi daya gabung umum dari persilangan dialel dengan asumsi tidak ada linkage, tidak ada epistasis dan tidak ada efek maternal dapat diketahui aksi gen aditif (Kuczyñska et al. 2007). Aksi gen aditif berhubungan dengan lokus homozigot pada tanaman menyerbuk sendiri (Griffing 1956), sehingga frekuensi segregan transgresif dapat diprediksi. Kandidat tetua dengan daya gabung umum baik ini dipilih sebagai tetua yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan biparental. Tanaman F1 hasil silangan dua tetua galur murni umumnya homogen heterozigot, sedangkan hasil perkawinan sendiri (selfing) F2 heterogen akan terdiri dari genotipe-genotipe homozigot, genotipe heterozigot, dan genotipe campuran homozigot dengan heterozigot. Genotipe-genotipe hasil segregasi generasi F2 ini terdapat genotipe-genotipe yang bersifat segregan transgresif, yaitu segregasi gen

14 2 pada sifat-sifat kuantitatif dari zuriat hasil persilangan dua tetua yang memiliki jangkauan sebaran yang melampaui jangkauan sebaran kedua tetuanya (Poehlman dan Sleper 1996). Seleksi pada zuriat yang memiliki jangkauan sebaran melampaui jangkauan sebaran kedua tetuanya, belum tentu menghasilkan turunan yang keragaannya sama dengan tetuanya. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh genotipe dan interaksi genotipe dengan lingkungan yang akan mengaburkan penarikan kesimpulan mengenai nilai fenotipe tanaman (Jambormias dan Riry 2009). Oleh karena itu proses seleksi memakan waktu yang lama hingga generasi F6 atau F7 untuk mendapatkan galur harapan. Metode seleksi berbasis indeks merupakan salah satu metode seleksi yang cukup populer dilakukan pada generasi F2. Menurut Sumarno dan Zuraida (2006) metode seleksi berbasis indeks dapat menghasilkan genotipe-genotipe terbaik untuk karakter-karakter yang dilibatkan dalam penyusunan indeks. Seleksi akan memberikan respon yang baik apabila menggunakan kriteria seleksi yang tepat. Karakter yang digunakan sebagai penyusun indeks merupakan karakter-karakter yang memberikan pengaruh cukup besar pada peningkatan daya hasil. Individuindividu terpilih pada generasi F2 dengan nilai heritabilitas yang tinggi ketika digalurkan menjadi generasi F3 diharapkan mengalami kemajuan seleksi yang positif. Jambormias et al. (2011) menyatakan bahwa generasi F3 dapat menyediakan informasi kekerabatan dalam bentuk informasi antar famili dan dalam famili. Informasi antar famili dan dalam famili ini berguna dalam menentukan suatu genotipe telah seragam atau masih bersegregasi. Genotipe dikatakan segregan transgresif apabila memiliki ragam dalam famili yang rendah. Indikasi ragam dalam famili rendah dapat dilihat dari ragam genotipe F3 lebih rendah atau sama dengan ragam tetua. Tetua merupakan galur murni yang apabila ditanam tingkat keragamannya rendah sehingga dapat dijadikan indikator dalam menentukan genotipe F3 telah seragam atau masih bersegregasi. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh informasi tentang pewarisan karakter hasil dan komponen hasil pada tanaman cabai. 2. Memperoleh kandidat galur harapan segregan transgresif homozigot pada awal generasi bersegregasi. 1.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Terdapat pola pewarisan aditif dan dominan pada persilangan cabai besar dan keriting 2. Terdapat minimal satu kandidat genotipe cabai homozigot bersifat segregan transgresif 3. Terdapat minimal satu karakter hasil dan komponen hasil yang bersifat segregan transgresif.

15 3 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama, pewarisan karakter hasil dan komponen hasil yang bertujuan untuk mendapatkan informasi genetik tentang pewarisan karakter hasil dan komponen hasil pada tanaman cabai. Kemudian dilanjutkan dengan percobaan kedua, seleksi genotipe cabai yang diduga sebagai segregan transgresif yang bertujuan untuk memperoleh genotipe dengan jangkauan sebaran yang melebihi jangkauan sebaran kedua tetuanya. Selain itu juga dilakukan percobaan ketiga yaitu evaluasi keragaan genotipe cabai, karakter hasil dan komponen hasil pada tanaman hasil seleksi yang diduga segregan transgresif yang bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa genotipe yang diseleksi benar sebagai genotipe segregan transgresif. Keseluruhan kegiatan penelitian disajikan dalam bentuk diagram alir (Gambar 1.1). Gambar 1.1 Bagan alir penelitian

16 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman khas yang memiliki kandungan capsaicin. Centre of origin cabai adalah daerah selatan dari Meksiko yang menyebar hingga Columbia. Capsicum annuum L. merupakan cabai yang paling banyak di tanam. Cabai termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk perdu. Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder) dengan jumlah yang banyak (Poulos, 1993), dimana dari akar lateral tersebut keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Akar tanaman cabai bisa tumbuh mencapai kedalaman satu meter (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Sebagian besar batang cabai menjadi berkayu pada pangkal batang yang umumnya tumbuh tegak, sangat bercabang, dan tinggi m. diameter batang cabai dapat mencapai hingga 1 cm. Warna batang beragam dari hijau, hijau kecoklatan dan sering juga terdapat semburat ungu pada bagian buku (Poulos 1993). Daun cabai memiliki bentuk yang bervariasi, mulai dari lancip sampai dengan bulat telur dengan ujung daun yang lancip dan tepinya yang rata. Warna daun cabai bervariasi, dari mulai hijau, hijau tua, sampai hijau keunguan. Ukuran daun bervariasi dengan helaian daun lanset dan bulat telur lebar (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Tanaman cabai berbunga pada bagian aksilar buku percabangan utama yang kemudian terbentuk bunga pada setiap buku berikutnya (OECD 2006). Bunga cabai termasuk bunga hermafrodit. Petal bunga Capsicum annuum terdiri atas 5-7 helai yang umumnya berwarna putih atau ungu. Bunga cabai memiliki 3 orientasi arah tumbuh yakni: ke bawah, intermediet, dan tegak ke atas (Bosland and Votava 1999). Buah cabai dapat diklasifikasikan sebagai buah non-klimaterik (Lounds et al. 1993). Warna buah cabai bervariasi, yaitu: hijau, kuning, atau bahkan ungu ketika muda dan kemudian berubah menjadi merah, jingga, atau campuran bersamaan dengan meningkatnya umur buah. Falusi dan Morakinyo (1994) menjelaskan bahwa terdapat berbagai variasi bentuk buah pada Capsicum annuum L. Bentuk buah cabai, mulai dari pendek, panjang, bulat, oval, sampai keriting. Buah cabai juga memiliki buah tunggal yang tumbuh pada buku, namun juga lebih dari satu (fasiculate) tumbuh dalam satu buku (Kusandriani 1996). 2.2 Studi Pewarisan Karakter Hasil Karakter hasil dan komponen hasil merupakan karakter kuantitatif yang dapat dibedakan berdasarkan nilai ukuran. Karakter kuantitatif biasanya dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini mengakibatkan karakter kuantitatif banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Mangoendijojo (2003) menyatakan bahwa pengambilan data terhadap karakter kuantitatif dilakukan dengan melakukan pengukuran. Karakter kuantitatif umumnya mengikuti sebaran data yang menyebar normal dan kontinyu. Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan kontinyu. Sedangkan sebaran kontinyu dan tidak normal

17 5 mengindikasikan karakter tersebut dikendalikan oleh adanya pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor (Falconer dan Mackay 1996). Analisis rata-rata generasi merupakan salah satu analisis yang sering digunakan untuk mempelajari pewarisan suatu karakter tanaman. Analisis rata-rata generasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengkaji model efek genetik lain yang diluar model aditif-dominan (Derera dan Musimwa 2015). Analisis ratarata generasi ini dapat digunakan untuk mempelajari pola pewarisan karakter kuantitatif dan kualititatif tanaman, pewarisan ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik maupun biotik, ataupun pewarisan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Analisis rata-rata generasi menggunakan populasi yang terdiri dari dua populasi tetua, satu populasi F1, dua populasi silang balik (Backcross) dan populasi F2. Pengujian pada analisis rata-rata generasi terbagi menjadi dua, yaitu: uji skala individu dan uji skala gabungan. Uji skala individu digunakan model tiga parameter yang dijelaskan oleh Mather dan Jinks (1982), yaitu: A=2BCP1-P1-F1; B=2BCP2- P2-F1; C=4F2-2F1-P1-P2 untuk menduga kesesuaian model aditif-dominan. Apabila hasil uji skala individu tidak ada sesuai dengan model aditif-dominan maka dilanjutkan dengan uji skala gabungan (m = ½P1 + ½ P2 + 4F2-2BCP1-2BCP2; [d] = ½P1 - ½P2; [h]=6bcp1 + 6BCP2-8F2 - F1-1½P1-1½P2; [i]= 2BCP1 + 2BCP2-4F2; [j]=2bcp1 - P1 2BCP2 + P2; [l]=p1 + P2 + 2F1 + 4F2 4BCP1 4BCP2) untuk menambahkan kontribusi dari epistasis (interaksi non-alelik). Uji ini menghasilkan dugaan untuk tiga parameter mean (m), efek aditif [d], efek dominan [h] selain itu juga menghasilkan dugaan tiga parameter epistasis interaksi aditif x aditif [i], interaksi aditif x dominan [j] dan interaksi dominan x dominan [l]. Hasil uji skala gabungan dapat menjelaskan tipe aksi gen yang mengendalikan suatu karakter. Apabila nilai [h] dan [l] signifikan serta memiliki tanda yang sama disebut sebagai tipe komplementasi, sedangkan apabila nilai [h] dan [l] signifikan serta memiliki tanda yang berbeda disebut sebagai tipe duplikasi (Mather dan Jinks, 1982). Masing-masing tipe aksi gen dapat dimanfaatkan pada program pemuliaan tanaman. Aksi gen komplementasi dapat dimanfaatkan dalam merakit suatu varietas hibrida (Hasanuzzaman dan Golam 2011). Hal ini dikarenakan efek gen non-aditif lebih besar pada karakter tersebut. Namun apabila ingin melakukan kegiatan seleksi dapat dilakukan pada generasi lanjut, dimana tingkat homozigositas sudah cukup tinggi. Sedangkan apabila aksi gen duplikasi kurang tepat dimanfaatkan untuk merakit suatu varietas hibrida, hal ini dikarenakan mengurangi manfaat yang terjadi dari heterozigositas karena pembatalan dominasi dan efek epistasis (Dhall dan Hundal 2006). 2.3 Seleksi dan Kemajuan Seleksi Seleksi merupakan salah satu kegiatan dalam program pemuliaan tanaman yang cukup penting. Kegiatan seleksi ini bertujuan untuk meningkatkan frekuensifrekuensi gen yang diinginkan (Falconer dan Mackay 1996). Peningkatan frekuensi gen diharapkan membuat karakter yang kita seleksi menjadi lebih baik dan unggul. Kegiatan seleksi tanaman akan menjadi lebih efektif apabila menggunakan metode seleksi yang tepat dan sesuai dengan tanaman yang akan diseleksi. Secara umum metode seleksi tanaman dapat dibagi menjadi dua, yaitu: metode seleksi untuk tanaman menyerbuk sendiri dan menyerbuk silang.

18 6 Pada tanaman menyerbuk sendiri untuk populasi heterozigot homozigot dapat menggunakan seleksi massa dan untuk populasi bersegregasi dapat menggunakan seleksi pedigree, seleksi bulk, single seed descent, dan seleksi silang balik. Sedangkan pada tanaman menyerbuk silang, metode seleksi yang digunakan berupa seleksi massa, seleksi ear to raw, dan seleksi berulang (seleksi berulang fenotipe, seleksi berulang daya gabung umum, seleksi berulang untuk daya gabung khusus, dan seleksi berulang resiprokal) (Sleper dan Poehlman 2006). Menurut Baihaki (2000) kemajuan seleksi didasarkan pada perubahan ratarata penampilan yang dicapai suatu populasi dalam setiap siklus seleksi. Nilai harapan kemajuan seleksi berguna menduga berapa besar pertambahan nilai sifat tertentu akibat seleksi dari nilai rata-rata populasi. Kemajuan seleksi sangat tergantung pada nilai heritabilitas populasi tanaman dan intensitas seleksi yang digunakan. Semakin tinggi nilai heritabilitas dan intensitas seleksi, maka kemajuan seleksi semakin tinggi. Nilai kemajuan seleksi pada generasi awal pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kemajuan seleksi pada generasi lanjut. Hal ini dikarenakan pada generasi awal tingkat keragaman genetik dan nilai heritabilitas masih tinggi. Intensitas seleksi merupakan jumlah individu yang akan diseleksi dari suatu populasi. Pada populasi dengan tingkat keragaman yang tinggi sebaiknya digunakan intensitas seleksi yang tinggi pula. Sebaliknya, apabila tingkat keragaman rendah sebaiknya intensitas seleksi yang digunakan tidak terlalu tinggi. 2.4 Segregan Transgresif Segregan transgresif merupakan individu-individu hasil segregasi yang memiliki keragaan di luar rentang keragaan tetuanya (Sleper dan Poehlman 2006). Keragaan yang berada diluar rentang tetuanya akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan pada suatu genotipe turunan. Sehingga apabila genotipe segregan transgresif ini dilanjutkan, segregasi pada turunannya sudah tidak terlalu tinggi. Pada tanaman menyerbuk sendiri tingkat homozigositas cukup tinggi membutuhkan waktu yang cukup lama hingga 6-7 generasi. Hal ini dikarenakan, telah terjadi fiksasi pada berbagai lokus sehingga populasi telah menjadi homogen homozigot. Modifikasi dari seleksi dapat dilakukan untuk memotong waktu yang lama tersebut. Salah satu teknik dapat digunakan adalah dengan memilih tanamantanaman F2 yang berada pada posisi kanan atau kiri kurva normal. Segregan transgresif membentuk dua gugus segregan dalam spektrum sebaran, yaitu lebih kecil dari sebaran tetua dengan keragaan rendah dan lebih besar dari sebaran tetua dengan keragaan tinggi (Jambormias dan Riry 2009). Setelah pemilihan tanaman F2 yang memiliki keragaan melebihi kedua tetua, selanjutnya dilihat tingkat keragaman pada generasi turunannya. Menurut Jambormias dan Riry (2009) famili segregan transgresif ditandai oleh nilai tengah yang tinggi dan ragam dalam famili yang kecil. Famili segregan transgresif ini diharapkan tidak perlu menunggu hingga 6-7 generasi untuk menjadi galur murni, cukup dengan 4-5 generasi sudah menjadi galur murni yang homogen homozigot.

19 7 3 STUDI PEWARISAN KARAKTER HASIL DAN KOMPONEN HASIL CABAI Abstrak Pewarisan karakter komponen hasil cabai dipelajari dari populasi yang berasal dari persilangan cabai keriting (IPB C120) dan cabai besar (IPB C5), antara lain F2, F1, silang balik ke tetua termasuk kedua tetua. Uji skala individu (satu atau lebih skala A, B, dan C) dan uji skala gabungan yang signifikan mengindikasikan adanya aksi gen epistasis. Model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif-aditif dan interaksi aditif-dominan sesuai untuk karakter umur panen, bobot per buah, dan diameter buah. Model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif-aditif dan interaksi dominan-dominan sesuai untuk karakter tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif-dominan dan interaksi dominan-dominan sesuai dengan karakter umur berbunga, panjang tangkai buah, dan panjang buah. Heritabilitas dalam arti luas termasuk kategori tinggi untuk karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang buah, diameter buah, jumlah buah, bobot buah per tanaman serta kategori sedang untuk karakter panjang tangkai buah, dan tebal daging buah. Heritabilitas dalam arti sempit termasuk dalam kategori tinggi hanya pada karakter panjang buah. Kategori sedang untuk karakter umur panen, bobot buah, panjang tangkai buah, diameter buah, tebal daging buah, serta kategori rendah untuk karakter umur berbunga, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Kata kunci: epistasis, heritabilitas, komponen hasil, pewarisan Abstract Pepper yield component characters inheritance was studied in population of curling (IPB C120) and big chili pepper (IPB C5) crosses which consists of F2, F1, and first back crosses generation including both parents. The significant scaling test (one or more scales in A, B and C) and joint scaling test indicated the presence of epistasis gene action. Influence of additive-additive and additive-dominant interaction model was found suitable in harvesting age, fruit weight, and fruit diameter characters. Influence of additive-additive and dominant-dominant interanction model was found suitable for pericarp thickness, number of fruit per plant and yield. Influence additive-dominant and dominant-dominant model was suitable for flowering age, pedicel length and fruit length characters. High broadsense heritability were found in flowering age, harvesting age, fruit weight, fruit length, fruit diameter, number of fruit per plant, and yield characters while medium broad-sense heritability were found in pedicel length and pericarp thickness characters. High narrow-sense heritability only found in for fruit length character while medium narrow-sense heritability were found in harvesting age, fruit weight, pedicel length, fruit diameter, and pericarp thickness characters. Low narrowsense heritability were found in flowering age, number of fruit per plant and yield charater. Keywords: epistasis, heritability, inheritance, yield components

20 8 3.1 Pendahuluan Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk sayuran solanaceae kedua yang penting di dunia setelah tomat (Hasanuzzaman dan Golam 2011). Kebutuhan akan cabai semakin meningkat setiap tahunnya. Peningkatkan produktivitas cabai dapat dilakukan dengan cara menggunakan varietas unggul berdaya hasil tinggi. Varietas unggul cabai bisa didapat dari serangkaian program pemuliaan tanaman yang tepat. Keragaman genetik merupakan faktor yang berpengaruh terhadap berhasilnya suatu program pemuliaan tanaman. Informasi genetik merupakan hal yang penting dalam menyeleksi hasil persilangan terutama informasi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif. Analisis pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah gen yang mengendalikan karakter tersebut, aksi gen yang mengendalikan, dan informasi genetik lainnya (Arif et al. 2011). Selain itu, pola pewarisan, variabilitas genetik dan heritabilitas suatu karakter merupakan parameter genetik penting yang berkaitan dengan proses seleksi dan penggabungan karakter-karakter penting dalam suatu genotipe (Alia et al. 2004). Analisis rata-rata generasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengkaji model efek genetik lain yang diluar model aditif-dominan (Derera dan Musimwa 2015). Penjelasan mengenai aksi gen aditif dan dominan dapat diperoleh dari penilaian perbandingan komponen linier yang terdiri dari aditif [d], dominan [h], aditif x aditif [i], aditif x dominan [j], dan dominan x dominan [l]. Studi pewarisan karakter hasil dan komponen hasil menjadi penting dalam memaksimalkan penggunaan potensi genetik dalam program pemuliaan yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pewarisan karakter hasil dan komponen hasil pada tanaman cabai. 3.2 Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013-Juli 2014 (pembentukan populasi) dan Agustus-Desember 2014 (pengujian). Pembentukan populasi dilakukan di perumahan IPB Alam Sinar Sari, sedangkan untuk pengujian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua cabai keriting (IPB C120) dan tetua cabai besar (IPB C5), turunan pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R) masing-masing ditanam sebanyak 40 tanaman, backcross ke tetua betina (BCP1) sebanyak 100 tanaman, backcross ke tetua jantan (BCP2) sebanyak 100 tanaman, dan turunan kedua (F2) sebanyak 300 tanaman. Pembentukan populasi dilakukan dengan melakukan persilangan buatan dan selfing. Populasi yang dibentuk adalah F1, F1R, BCP1, dan BCP2. Populasi P1, P2, F2 diperoleh dari selfing, sedangkan populasi F1, F1R, BCP1, dan BCP2 diperoleh dari persilangan buatan. Pembentukan populasi dilakukan dengan melakukan persilangan buatan dan selfing mengikuti skema persilangan pada Gambar 3.1. Populasi yang dibentuk adalah F1, F1R, BCP1, dan BCP2. Populasi P1, P2, F2 diperoleh dari selfing, sedangkan populasi F1, F1R, BCP1, dan BCP2 diperoleh dari persilangan buatan.

21 9 P1 x P2 P2 x P1 P1 x F1 x P2 F1R BCP1 F2 BCP2 Gambar 3.1 Skema persilangan pada cabai Persilangan pembentukan populasi akan dilaksanakan secara buatan di Perumahan IPB Alam Sinar Sari. Benih cabai disemai pada tray semai dengan media tanam campuran media tanam dan pupuk kandang (1:1). Setelah bibit berumur 40 hari (atau memiliki 4-5 helai daun) dipindahkan ke polibag (ukuran 40 cm x 35 cm) berisi 10 kg campuran topsoil dan pupuk kandang (2:1). Pemupukan dengan NPK dengan cara di kocor 5 g L -1 air sebanyak 250 ml per tanaman dan pupuk daun 5 g L -1 air diberikan seminggu sekali. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan insektisida, fungisida, akarisida yang diaplikasikan jika diperlukan. Emaskulasi dan penyerbukan dilakukan pagi hari pada pukul WIB. Emaskulasi menggunakan pinset yang telah disterilkan dengan alkohol 70%, pada saat bunga belum mekar untuk tetua betina reseptif. Tepung sari diambil dari bunga tetua jantan yang telah antesis. Selanjutnya tepung sari ditempelkan ke stigma betina yang reseptif. Bunga yang telah diserbuki ditutup dengan selotif dan diberi label yang berisi informasi genotipe tetua persilangan dan tanggal persilangan. Selfing dilakukan dengan menyungkup tanaman cabai, agar terhindar dari kontaminasi serbuk sari lain. Karakter yang diamati adalah karakter komponen hasil, yaitu: 1. Umur berbunga (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal 1 bunga yang mekar sempurna. 2. Umur panen (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal 1 buah sudah layak panen. 3. Bobot buah (g), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman dari panen kedua dan diukur menggunakan timbangan analitik. 4. Diameter buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur mengunakan jangka sorong digital. 5. Tebal daging buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua. Buah dibelah secara melintang dan diukur tebal daging buahnya menggunakan jangka sorong digital. 6. Panjang buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung buah. 7. Panjang tangkai buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung tangkai buah. 8. Jumlah buah per tanaman (buah), dihitung setiap kali panen dengan menjumlahkan jumlah buah tiap panen selama 8 minggu. 9. Bobot buah total per tanaman (g/tan), dihitung dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen selama 8 minggu.

22 10 Analisis data dilakukan mengacu pada Limbongan et al. (2008) dan Arif et al. (2012) yaitu: 1. Uji normalitas pada populasi F2 Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran populasi F2, untuk mengetahui aksi gen dari karakter-karakter yang diamati. Uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-smirnov. 2. Efek maternal Uji efek maternal menggunakan pengujian dua populasi dengan uji t-student pada nilai tengah populasi F1 dan F1R. Rumus uji-t mengacu pada (Steel dan Torrie 1981): µ F1 µf1r t = S F1 S F1R Keterangan µf1= Nilai Tengah populasi F1 S F1 = Simpangan baku populasi F1 µf1r= Nilai Tengah populsi F1R S F1R = Simpangan baku populasi F1R 3. Jumlah gen pengendali karakter Jumlah gen pengendali karakter (menunjukkan jumlah kelompok gen yang terdiri dari beberapa gen minimal dari setiap kelompok) mengacu pada Mather dan Jinks (1982): 2 (µp1 µp2) n = 4H Keterangan: n = Jumlah faktor efektif (gen pengendali) VE = ragam lingkungan VF2 = ragam populasi F2 µp1 = Nilai tengah P1 H = 4((VBCP1+VBCP2)-(VF2-VE)) µp2 = Nilai tengah P2 4. Besaran nilai derajat dominansi Pendugaan besaran nilai dominansi menggunakan analisis potensi rasio (hp) menurut Petr dan Frey (1966): µf1 µmp hp = µhp µmp Keterangan: µf1 = Nilai rata-rata F1 µmp = Nilai tengah/mid parent kedua tetua µhp = Nilai tengah tetua tertinggi (high parent) Derajat dominansi diduga dengan menggunakan tabel klasifikasi derajat dominansi berdasarkan potensi rasio pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan potensi rasio (hp) Nilai hp Derajat Dominansi hp < -1 Overdominan hp = -1 Resesif sempurna -1 < hp < 0 Resesif parsial hp = 0 Tidak ada dominansi/aditif 0 < hp < 1 Dominan parsial hp = 1 Dominan sempurna hp > 1 Overdominan

23 11 5. Kelayakan model genetik Pendugaan kelayakan model genetik mengacu pada Mather dan Jink (1982). Uji skala individu digunakan model tiga parameter yang dijelaskan oleh Mather and Jinks (1982), yaitu: A=2BCP1-P1-F1; B=2BCP2-P2-F1; C=4F2-2F1-P1- P2. untuk menduga kesesuaian model aditif-dominan. Apabila hasil uji skala individu tidak ada sesuai dengan model aditif-dominan maka dilanjutkan dengan uji skala gabungan (m = ½P1 + ½ P2 + 4F2-2BCP1-2BCP2; [d] = ½P1 - ½P2; [h]=6bcp1 + 6BCP2-8F2 - F1-1½P1-1½P2; [i]= 2BCP1 + 2BCP2-4F2; [j]=2bcp1 - P1 2BCP2 + P2; [l]=p1 + P2 + 2F1 + 4F2 4BCP1 4BCP2) untuk menambahkan kontribusi dari epistasis (interaksi non-alelik). Uji ini menghasilkan dugaan untuk tiga parameter mean (m), efek aditif [d], efek dominan [h] selain itu juga menghasilkan dugaan tiga parameter epistasis interaksi aditif x aditif [i], interaksi aditif x dominan [j] dan interaksi dominan x dominan [l]. 6. Komponen ragam Komponen ragam yang dihitung adalah ragam fenotipe (VF2), lingkungan (VE), genotipe (VG), silang balik (backcross) (VBC), ragam aditif (VA), dan ragam dominan (VD). Ragam fenotipe berasal dari ragam F2. 7. Pendugaan nilai heritabilitas Pendugaan nilai heritabilitas terdiri dari nilai heritabilitas dalam arti luas mengacu pada Allard (1960); Syukur et al. (2015) dan heritabilitas dalam arti sempit megacu pada Warner (1952). h 2 VF2 (VF1 + VP1 + VP2)/3 bs = h 2 ns = VF2 2VF2 (VBCP1 + VBCP2) VF2 Keterangan: h 2 bs = Heritabillitas arti luas VF1 = Ragam populasi F1 h 2 ns = Heritabilitas arti sempit VF2 = Ragam populasi F2 VBCP1 = Ragam populasi silang balik ke P1 VBCP2 = Ragam populasi silang balik ke P2 VP1 = Ragam populasi P1 VP2 = Ragam populasi P2

24 Hasil dan Pembahasan Nilai tengah, ragam, dan selang data populasi biparental untuk karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah disajikan pada Tabel 3.2. Populasi F2 merupakan populasi dengan tingkat keragaman tertinggi, diikuti oleh populasi BCP1 dan BCP2. Populasi P1, P2, F1 dan F1R lebih seragam dibanding BCP1, BCP2, dan F2. Keragaman tertinggi pada populasi F2 dikarenakan populasi ini merupakan segregasi yang paling maksimal. Populasi P1 dan P2 merupakan tetua galur murni yang homozigot dan homogen, artinya setiap individu memiliki komposisi genetik yang sama. Populasi F1 dan F1R dalam keadaan heterozigot dan setiap individu memiliki komposisi genetik yang sama atau homogen. Tabel 3.2 Nilai tengah dan ragam karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Karakter Populasi P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2 UB (hari) Nilai tengah Ragam Selang UP (hari) Nilai tengah Ragam Selang BB (g) Nilai tengah Ragam Selang PTB (cm) Nilai tengah Ragam Selang PB (cm) Nilai tengah Ragam Selang Keterangan: UB=umur berbunga, UP=umur panen, BB=bobot per buah, PTB=panjang tangkai buah, dan PB=panjang buah.

25 13 Selang data BCP2 untuk karakter bobot per buah memiliki nilai maksimum yang melebihi nilai maksimum pada populasi F2. Populasi BCP2 merupakan hasil silang balik ke tetua P2 yang memiliki bobot buah jauh lebih tinggi dibandingkan tetua P1, hal inilah yang mengakibatkan nilai maksimum BCP2 lebih tinggi dibandingkan F2. Tingkat keragaman karakter bobot per buah pada populasi F2 tetap lebih tinggi daripada populasi BCP2 yakni sebesar 5.46 dibandingkan ragam populasi BCP2 sebesar 5.22 (Tabel 3.2). Nilai tengah, ragam, dan selang data populasi biparental untuk karakter diameter buah, tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman disajikan pada Tabel 3.3. Populasi F2 merupakan populasi dengan tingkat keragaman tertinggi, diikuti oleh populasi BCP1 dan BCP2. Populasi P1, P2, F1 dan F1R lebih seragam dibanding BCP1, BCP2, dan F2. Selang data BCP2 pada karakter diameter buah, tebal daging buah, dan bobot buah per tanaman nilai maksimumnya melebihi selang data F2. Hal ini diduga akibat dari silang balik ke tetua P2 yakni IPB C5 (Cabai besar) yang nilai tengahnya tinggi, sehingga nilai maksimumnya lebih baik daripada F2. Populasi F2 pada karakter-karakter tersebut tetap memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan populasi BCP2 walaupun dari nilai maksimumnya lebih baik pada populasi BCP2. Tabel 3.3 Nilai tengah dan ragam karakter diameter buah, tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman cabai Karakter DB (mm) Populasi P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2 Nilai tengah Ragam Selang TDB (mm) Nilai tengah Ragam Selang JB (buah) Nilai tengah Ragam Selang BBPT (g) Nilai tengah Ragam Selang Keterangan: DB=diameter buah, TDB=tebal daging buah, JB=jumlah buah, dan BBPT=bobot buah per tanaman.

26 Uji Normalitas pada Populasi F2 Uji normalitas sebaran data populasi F2 dilakukan untuk melihat suatu karakter menyebar normal atau tidak normal. Sebaran data populasi F2 yang kontinyu dan normal dapat dikatakan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (poligenik), sedangkan sebaran kontinyu dan tidak normal mengindikasikan karakter tersebut dikendalikan oleh adanya pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor (Falconer dan Mackay 1996). Sebaran data populasi F2 kontinyu dan tidak normal terdapat pada karakter umur berbunga (pvalue <0.010) dan umur panen (p-value <0.010) (Gambar 3.2) Mean StDev N 300 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Umur berbunga (HST) Umur berbunga (HST) (a) Mean StDev N 273 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Umur panen (HST) Umur panen (HST) (b) Gambar 3.2 Sebaran data populasi F2 karakter (a) umur berbunga dan (b) umur panen cabai Sebaran data populasi F2 karakter bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah disajikan pada Gambar 3.3. Sebaran data populasi F2 kontinyu dan normal terdapat pada karakter panjang buah (p-value >0.150) dan tebal daging buah (p-value >0.150). Hal ini dapat diartikan karakter panjang buah dikendalikan oleh banyak gen (poligenik). Karakter bobot per buah dan diameter buah memiliki sebaran yang tidak normal (p-value <0.010) dan kontinyu. Sebaran kontinyu dan tidak normal mengindikasikan karakter bobot per buah dan diameter buah dikendalikan oleh adanya pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor.

27 Mean StDev N 252 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Bobot per buah (g) Bobot per buah (g) (a) Persentase Mean StDev N 268 KS P-Value >0.150 Frekwensi Mean StDev N Panjang buah (cm) Panjang buah (cm) (b) Mean StDev N 268 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Diameter buah (mm) Diameter buah (mm) (c) Gambar 3.3 Sebaran data populasi F2 karakter (a) bobot per buah (b) panjang buah dan (c) diameter buah cabai Sebaran data populasi F2 karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah disajikan pada Gambar 3.4. Karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah memiliki sebaran yang normal (p-value <0.150) dan kontinyu. Sebaran kontinyu dan normal mengindikasikan karakter bobot per buah dan diameter buah dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) (Falconer dan Mackay 1996).

28 Mean StDev N 268 KS P-Value > Mean StDev N Persentase Frekwensi Panjang tangkai buah (cm) Panjang tangkai buah (cm) (a) Mean Mean StDev N 267 KS P-Value > StDev N 267 Persentase Frekwensi Tebal daging buah (mm) Tebal daging buah (mm) (b) Gambar 3.4 Sebaran data populasi F2 karakter (a) panjang tangkai buah dan (b) tebal daging buah cabai Sebaran data populasi F2 karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman disajikan pada Gambar 3.5. Sebaran data populasi F2 karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman kontinyu dan tidak menyebar normal (p-value <0.010). Pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor merupakan gen-gen pengendali dari karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman tersebut. Beberapa penelitian juga melaporkan hal yang sama untuk karakter bobot buah per tanaman dan jumlah buah. Hasil penelitian Nura (2015) menunjukkan karakter jumlah buah memiliki sebaran data F2 tidak menyebar normal dan kontinyu, sedangkan hasil penelitian Arif (2010) menunjukkan karakter bobot buah per tanaman memiliki sebaran data F2 tidak menyebar normal dan kontinyu.

29 Mean StDev N 169 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Jumlah buah (buah) Jumlah buah (buah) 180 (a) Mean StDev N 238 KS P-Value < Mean StDev N Persentase Frekwensi Bobot buah per tanaman (g) Bobot buah per tanaman (buah) (b) Gambar 3.5 Sebaran data populasi F2 karakter (a) jumlah buah dan (b) bobot buah per tanaman cabai Efek Maternal Uji efek maternal dilakukan untuk menduga suatu karakter dipengaruhi oleh gen yang berada di luar inti atau ekstrakromosomal. Uji efek maternal menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada semua karakter komponen hasil cabai antara F1 dan F1R (Tabel 3.4). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tetua betina terhadap pewarisan karakter-karakter komponen hasil cabai. Hal ini dapat juga diartikan bahwa gen-gen dalam inti yang mengendalikan karakter komponen hasil pada penelitian ini. Tabel 3.4 Uji efek maternal populasi F1 dan F1R pada karakter komponen hasil cabai Karakter Nilai Tengah F1 F1R t-value p-value Umur berbunga (HST) 25.23± ± Umur panen (HST) 81.38± ± Bobot per buah (g) 9.45± ± Panjang tangkai buah (cm) 4.35± ± Panjang buah (cm) 14.02± ± Diameter buah (mm) 12.49± ± Tebal daging buah (mm) 1.41± ± Jumlah buah (buah) 89.53± ± Bobot buah per tanaman (g) ± ±

30 18 Beberapa penelitian juga menunjukkan hal yang sama seperti pada karakter umur berbunga, diameter buah, panjang buah (Hilmayanti et al. 2006); karakter umur panen dan bobot per buah (Arif et al. 2012) tidak terdapat pengaruh tetua betina. Pewarisan karakter pada penelitian ini tidak perlu dipisahkan antara F1 dan F1R, karena F2 yang dihasilkan dari F1 ataupun F1R segregasinya tidak berbeda Jumlah Kelompok Gen Pengendali Karakter dan Derajat Dominansi Jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman adalah 1 kelompok gen efektif. Arif et al. (2012) melaporkan karakter umur berbunga jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan sebanyak 1 kelompok gen, sedangkan bobot per buah dilaporkan dikendalikan oleh 18 kelompok gen pengendali. Perbedaan jumlah kelompok gen pengendali pada karakter bobot per buah diduga karena populasi yang digunakan berbeda. Jumlah gen-gen efektif karakter tebal daging buah dan diameter buah dikendalikan oleh 2 kelompok gen efektif, sedangkan karakter bobot per buah dan diameter buah dikendalikan oleh 3 kelompok gen efektif (Tabel 3.5). Tabel 3.5 Jumlah kelompok gen pengendali (n) dan derajat dominansi (hp) pada karakter komponen hasil cabai Karakter n hp Derajat Dominansi Umur berbunga (HST) Over dominan Umur panen (HST) Over dominan Bobot per buah (g) Resesif parsial Panjang tangkai buah (cm) Dominan parsial Panjang buah (cm) Dominan parsial Diameter buah (mm) Aditif Tebal daging buah (mm) Dominan parsial Jumlah buah (buah) Over dominan Bobot buah per tanaman (g) Dominan parsial Karakter umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan jumlah buah memiliki nilai potensi rasio Hp>1 atau Hp<-1. Hal ini menunjukkan bahwa pada karakter umur berbunga, umur panen, dan jumlah buah dikendalikan oleh gen dominan dengan aksi gen over dominan. Nilai potensi rasio karakter bobot per buah berada pada kisaran -1<Hp<0, ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial. Karakter diameter buah dikendalikan oleh aksi gen aditif. Beberapa hasil penelitian memperoleh hasil yang sama untuk karakter bobot per buah (Hari et al. 2004) dan diameter buah (Hilmayanti et al. 2006). Karakter panjang tangkai buah, tebal daging buah dan bobot buah per tanaman memiliki nilai potensi rasio 0<Hp<1. Hal ini menunjukkan bahwa pada karakter panjang tangkai buah, panjang buah, tebal daging buah dan bobot buah per tanaman dikendalikan oleh gen dominan dengan aksi gen dominan parsial (Tabel 3.5).

31 Kelayakan Model Genetik Uji Skala Individu Uji skala individu yang berbeda nyata pada A, B dan C baik itu satu atau lebih mengindikasikan bahwa pada penelitian ini terdapat epistasis atau interaksi antar lokus (Tabel 3.6). Nilai A semua karakter menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata kecuali bobot buah per tanaman, artinya model aditif-dominan tidak sesuai untuk model genetik. Walaupun nilai A dan B karakter bobot buah per tanaman tidak berbeda nyata, model aditif-dominan tidak dapat digunakan karena nilai C karakter ini berbeda nyata. Apabila nilai C signifikan mengindikasikan adanya tipe interaksi [l] yaitu pengaruh interaksi dominan x dominan. Menurut Hill et al. (1998) apabila model aditif dominan tidak sesuai maka perlu dilakukan uji ke model lainnya yang melibatkan interaksi gen antar lokus. Tabel 3.6 Uji skala pada karakter komponen hasil cabai Karakter A B C Umur berbunga (HST) ** ** ** Umur panen (HST) ** ** ** Bobot per buah (g) ** ** ** Panjang tangkai buah (cm) ** ** ** Panjang buah (cm) ** ** ** Diameter buah (mm) ** ** ** Tebal daging buah (mm) ** tn ** Jumlah buah (buah) ** ** ** Bobot buah per tanaman (g) tn tn * Keterangan: **= berbeda nyata pada α 0.01, *= berbeda nyata pada α 0.05, dan tn= tidak berbeda nyata pada α Uji Skala Gabungan Parameter model genetik menurut Mather dan Jinks (1982) digunakan untuk menguji tipe interaksi antar lokus. Model genetik yang diduga paling sesuai adalah ketika nilai χ 2 tidak berbeda nyata. Namun apabila lebih dari satu nilai χ 2 yang tidak berbeda nyata, untuk menentukan model yang sesuai dapat dilakukan dengan melihat nilai duga yang terkecil. Model genetik yang sesuai untuk karakter umur berbunga, panjang tangkai buah dan panjang buah adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen, yaitu m [d] [h] [j] [l] (Tabel 3.7). Model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan dan interaksi dominan x dominan umur berbunga dan panjang buah sama dengan hasil penelitian Hasanuzzaman dan Golam (2011). Sedangkan Patil (2011) juga menghasilkan model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan dan interaksi dominan x dominan untuk karakter panjang buah.

32 20 Tabel 3.7 Uji skala gabungan pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Model Genetik Umur berbunga Umur panen Bobot Per buah Panjang tangkai buah Panjang buah m [d] ** ** ** ** ** m [d] [h] ** ** ** ** ** m [d] [h] [i] ** tn * ** ** m [d] [h] [j] ** ** ** ** ** m [d] [h] [l] ** ** ** ** * m [d] [h] [i] [j] ** tn tn ** ** m [d] [h] [i] [l] ** tn * ** * m [d] [h] [j] [l] tn tn ** tn tn Keterangan: m = nilai tengah; d = pengaruh aditif; h = pengaruh dominan; i = pengaruh interaksi aditif x aditif; j = pengaruh interaksi aditif x dominan; l = pengaruh interaksi dominan x dominan; **=berbeda nyata pada α 0.01; *=berbeda nyata pada α 0.05; tn = tidak berbeda nyata pada taraf α 0.05 berdasarkan uji χ² Model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi aditif x dominan sesuai untuk karakter umur panen, bobot per buah (Tabel 3.7) dan diameter buah (Tabel 3.8) dengan lima komponen, yaitu m [d] [h] [i] [j]. Hal yang sama dilaporkan oleh Arif et al. (2012) karakter umur panen dipengaruhi oleh interaksi aditif-aditif dan interaksi aditif-dominan. Hasil penelitian Santos et al. (2014) karakter diameter buah dan bobot per buah juga dipengaruhi oleh interaksi aditif-aditif dan interaksi aditif-dominan. Tabel 3.8 Uji skala gabungan pada karakter diameter buah, tebal daging buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman cabai Model Genetik Diameter buah Tebal daging Jumlah buah Bobot buah per tanaman buah m [d] ** ** ** ** m [d] [h] ** ** ** ** m [d] [h] [i] tn tn tn tn m [d] [h] [j] ** ** ** ** m [d] [h] [l] ** ** ** ** m [d] [h] [i] [j] tn tn tn tn m [d] [h] [i] [l] tn tn tn tn m [d] [h] [j] [l] ** ** ** ** Keterangan: m = nilai tengah; d = pengaruh aditif; h = pengaruh dominan; i = pengaruh interaksi aditif x aditif; j = pengaruh interaksi aditif x dominan; l = pengaruh interaksi dominan x dominan; **=berbeda nyata pada α 0.01; *=berbeda nyata pada α 0.05; tn = tidak berbeda nyata pada taraf α 0.05 berdasarkan uji χ² Model genetik yang sesuai untuk karakter tebal daging buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen, yaitu m [d] [h] [i] [l] (Tabel 3.8). Hasil yang sama dilaporkan oleh Hasanuzzaman

33 21 dan Golam (2011) pada karakter buah dan penelitian Navhale et al. (2014) untuk karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman. Pendugaan parameter model genetik yang cocok mengacu pada Navhale et al. (2014) dengan melihat nilai karakter yang berbeda nyata seperti: m, [d], [h], [i], [j], dan [l] mengindikasikan adanya aksi gen aditif, dominan dan epistasis serta interaksinya. Apabila nilai [h] dan [l] signifikan serta memiliki tanda yang sama disebut sebagai tipe komplementasi, sedangkan apabila nilai [h] dan [l] signifikan serta memiliki tanda yang berbeda disebut sebagai tipe duplikasi (Mather and Jinks, 1982). Hasil penelitian menunjukkan karakter umur berbunga, panjang tangkai buah, dan panjang buah (Tabel 3.8) memiliki interaksi gen komplementasi. Adanya interaksi gen komplementasi ini program pemuliaan dapat dilanjutkan dengan memanfaatkan efek heterosis dalam merakit suatu varietas hibrida. Hal ini dikarenakan efek gen non-aditif lebih besar pada karakter tersebut. Menurut Hasanuzzaman dan Golam (2011) dengan adanya interaksi gen komplementasi seleksi pada generasi awal segregasi tidak akan memberikan kontribusi yang besar untuk perbaikan karakter-karakter ini. Sedangkan menurut Navhale et al. (2014) modifikasi seleksi bulk dianjurkan apabila terdapat interaksi gen komplementasi, dimana seleksi dilakukan setelah tangkat homozigositas sudah cukup tinggi. Tabel 3.9 Perkiraan efek gen pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Efek Gen Umur berbunga Umur panen Bobot per Panjang tangkai Panjang buah buah buah m ** ** ** ** ** [d] tn tn ** tn ** [h] ** ** ** ** ** [i] tn ** ** tn tn [j] ** tn * ** * [l] ** tn * ** ** Komplementasi - Duplikasi Komplementasi Komplementasi Keterangan: m = nilai tengah; d = pengaruh aditif; h = pengaruh dominan; i = pengaruh interaksi aditif x aditif; j = pengaruh interaksi aditif x dominan; l = pengaruh interaksi dominan x dominan; **=berbeda nyata pada α 0.01; *=berbeda nyata pada α 0.05; tn = tidak berbeda nyata pada taraf α 0.05 berdasarkan uji t Karakter bobot per buah (Tabel 39), tebal daging buah, dan bobot buah per tanaman (Tabel 3.10) memiliki interaksi gen duplikasi karena [h] dan [l] signifikan dengan arah tanda yang berbeda. Komplementasi akan meningkatkan heterosis, sedangkan duplikasi menyebabkan heterosis turun. Hal ini akan mengurangi manfaat yang terjadi dari heterozigositas karena pembatalan dominasi dan efek epistatis (Dhall dan Hundal, 2006). Pada kasus ini, menurut Sharma and sharma (1995) menunda seleksi akan lebih efektif untuk mendapatkan respon seleksi yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian ini karakter hasil menunjukkan semua jenis aksi gen, yaitu aditif, dominan dan epistasis. Pada kondisi ini untuk peningkatan karakter tersebut prosedur seleksi standar dapat dilakukan untuk mengeksploitasi efek gen aditif. Selain itu, disaat bersamaan harus hati-hati dalam melakukan seleksi

34 22 agar efek gen dominan tidak hilang dengan harapan efek dominan tersebut terkumpul. Menurut Pathak et al. (2014) pemuliaan seleksi berulang resiprokal tampaknya menjadi metode terbaik karena akan memanfaatkan ketiga jenis efek gen aditif, dominan dan epistasis yang menghasilkan terkumpulnya rekombinan yang diinginkan pada generasi lanjut. Tabel 3.10 Perkiraan efek gen pada karakter umur berbunga, umur panen, bobot per buah, panjang tangkai buah, dan panjang buah cabai Efek Gen Diameter buah Tebal daging Jumlah buah Bobot buah per tanaman buah m ** ** ** ** [d] ** ** ** ** [h] ** ** ** ** [i] ** ** ** ** [j] * * * * [l] tn * tn * - Duplikasi - Duplikasi Keterangan: m = nilai tengah; d = pengaruh aditif; h = pengaruh dominan; i = pengaruh interaksi aditif x aditif; j = pengaruh interaksi aditif x dominan; l = pengaruh interaksi dominan x dominan; **=berbeda nyata pada α 0.01; *=berbeda nyata pada α 0.05; tn = tidak berbeda nyata pada taraf α 0.05 berdasarkan uji t Komponen Ragam dan Heritabilitas Nilai heritabilitas yang termasuk dalam kategori tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan lingkungan pada penampilan fenotipik suatu tanaman. Nilai heritabilitas tinggi khususnya heritabilitas arti sempit memainkan peran penting dalam meningkatkan efektivitas seleksi (Syukur et al. 2015). Heritabilitas arti luas pada semua karakter yang diuji berkisar antara 36.78% sampai 89.37% atau dapat diklasifikasikan dari sedang (25%<h<50%) hingga tinggi (>50%) (Tabel 3.11). Heritabilitas dalam arti luas pada semua karakter berada pada kisaran tinggi kecuali untuk karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah yang berada pada kisaran sedang. Beberapa penelitian cabai juga menunjukkan bahwa nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi pada umur berbunga (Singh et al. 2014; Syukur and Rosidah 2014), umur panen (Nsabiera et al. 2013), bobot per buah dan panjang buah (Santos et al. 2014), diameter buah (Santos et al. 2014), jumlah buah (Sreelathakumary and Rajamony 2004) dan bobot buah per tanaman (Syukur et al. 2010). Heritabilitas arti sempit karakter jumlah buah dan umur panen nilainya jauh lebih rendah dibandingkan heritabilitas arti luas. Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama (Marame et al. 2009; Sharma et al. 2014). Hal ini menunjukkan proporsi ragam aditif lebih kecil dibandingkan ragam dominan. Heritabilitas arti sempit untuk karakter panjang buah berada pada kisaran tinggi. Nilai heritabilitas arti sempit yang nilainya mendekati heritabilitas arti luas menunjukkan pengaruh aditif lebih besar dibandingkan pengaruh dominan. Karakter umur panen, bobot per buah dan diameter buah memiliki heritabilitas arti sempit yang sedang (Tabel 3.11). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, seperti Syukur dan Rosidah (2014) heritabilitas arti sempit pada karakter

35 23 umur berbunga tinggi, sedangkan diameter buah rendah. Hasil penelitian Ben- Chaim dan Paran (2000) serta Santos (2014) bobot per buah memiliki heritabilitas arti sempit yang tinggi. Nilai heritabilitas dalam arti sempit karakter umur berbunga dan bobot buah per tanaman berada pada kisaran rendah. Tabel 3.11 Komponen ragam dan heritabilitas pada karakter komponen hasil cabai Komponen UB UP BB PTB PB DB TDB JB BBPT Ragam P Ragam P Ragam F Ragam BCP Ragam BCP Ragam F Rasio aditif Rasio non-aditif h 2 bs (%) h 2 ns (%) Keterangan: UB=Umur berbunga, UP=Umur panen, BB=Bobot per buah, PTB=Panjang tangkai buah, PB=Panjang buah, DB=Diameter buah, TDB=Tebal daging buah, JB=Jumlah buah dan BBPT=Bobot buah per tanaman. 3.4 Simpulan Model genetik yang sesuai untuk karakter umur berbunga, panjang tangkai buah dan panjang buah adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif-dominan dan interaksi dominan-dominan; model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif-aditif dan interaksi aditif-dominan sesuai untuk bobot per buah dan diameter buah; model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditifaditif dan interaksi dominan-dominan sesuai untuk tebal daging buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman. Heritabilitas dalam arti luas pada semua karakter berada pada kisaran tinggi kecuali untuk karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah yang berada pada kisaran sedang, sedangkan heritabilitas arti sempit berada pada kisaran tinggi hanya pada karakter panjang buah.

36 24 4 SELEKSI GENOTIPE CABAI SEGREGAN TRANSGRESIF Abstrak Seleksi pada program pemuliaan tanaman dilakukan dalam rangka memilih kandidat galur yang berdaya hasil tinggi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013-Juli 2014 (pembentukan populasi) dan Agustus-Desember 2014 (pengujian). Pembentukan populasi dilakukan di perumahan IPB Alam Sinar Sari, sedangkan untuk pengujian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Penelitian bertujuan untuk memperoleh kandidat galur harapan segregan transgresif pada populasi F2 dengan memanfaatkan indeks seleksi terboboti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter panjang buah, jumlah buah, dan bobot per buah memiliki korelasi positif dan sangat nyata terhadap bobot buah per tanaman. Karakter panjang buah, jumlah buah, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman digunakan sebagai dasar dalam pemilihan genotipe yang dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Hasil seleksi indeks terpilih 30 genotipe F2, yakni F , 14, 16, 22, 35, 36, 50, 56, 62, 70, 74, 87, 104, 115, 120, 125, 136, 141, 142, 145, 146, 147, 149, 176, 180, 181, 184, 185, 199, 215, dan 238. Terdapat genotipe segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi untuk karakter umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Kata kunci: indeks seleksi, segregan transgresif, seleksi Abstract Selections in plant breeding program were conducted to choose high yield line candidates. The studies were conducted from September 2013 to July 2014 (population establishment) and from August 2014 to December 2014 (experiment). Population establishments took place in Alam Sinar Sari IPB Housing, whereas trials took place in Leuwikopo Experimental Field, IPB. This study aims to obtain transgressive segregant line candidates in F2 population by utilize selection weighted index. Results showed character of fruit length, number of fruit, and fruit weight had positive correlation and significant against yield. Character of fruit length, number of fruit, and fruit weight had positive and significant correlation toward yield. Character of fruit length, number of fruit, fruit weight, and yield were used as basis parameters for genotype selection for next generation. Thirty F2 genotype: F , 14, 16, 22, 35, 36, 50, 56, 62, 70, 74, 87, 104, 115, 120, 125, 136, 141, 142, 145, 146, 147, 149, 176, 180, 181, 184, 185, 199, 215, and 238 were selected. There were selected segregan transgressive genotypes in F2 population for flowering age, harvesting age, pedicel length, fruit length, number of fruit, and yield characters. Keywords: index selection, selection, transgressive segregant

37 Pendahuluan Seleksi pada program pemuliaan tanaman dilakukan dalam rangka memilih kandidat galur yang berdaya hasil tinggi. Menurut Syukur et al. (2011) seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai keragaman genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi, sehingga hal tersebut sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Heritabilitas yang tinggi dapat diartikan penampilan fenotipik lebih dipengaruhi oleh genetik dibandingkan pengaruh lingkungan. Seleksi pada karakter daya hasil akan menjadi lebih efektif apabila diikuti dengan seleksi pada karakter komponen hasil lainnya. Hal ini dikarenakan produktivitas cabai sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil seperti bobot buah, diameter buah, panjang buah, tebal daging buah dan jumlah buah. Metode seleksi pada beberapa karakter sekaligus dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah metode indeks seleksi. Menurut Sumarno dan Zuraida (2006) metode seleksi berbasis indeks dapat menghasilkan genotipe-genotipe terbaik untuk karakter-karakter yang dilibatkan dalam penyusunan indeks. Seleksi akan memberikan respon yang baik apabila menggunakan kriteria seleksi yang tepat. Karakter-karakter yang digunakan sebagai karakter penyusun indeks merupakan karakter-karakter yang memberikan pengaruh cukup besar pada peningkatan daya hasil. Seleksi dilakukan pada populasi F2 yang merupakan populasi dengan segregasi atau tingkat keragaman paling tinggi. Genotipe-genotipe hasil segregasi generasi F2 ini terdapat genotipe-genotipe yang bersifat segregan transgresif, yaitu segregasi gen pada sifat-sifat kuantitatif dari zuriat hasil persilangan dua tetua yang memiliki jangkauan sebaran yang melampaui jangkauan sebaran kedua tetuanya (Poehlman dan Sleper 1996). Genotipe-genotipe yang diduga segregan transgresif ini apabila dilanjutkan ke generasi selanjutnya akan menjadi galur harapan dengan ragam dalam famili yang rendah. Famili segregan transgresif ini diharapkan tidak perlu menunggu hingga 6-7 generasi untuk menjadi galur murni, cukup dengan 4-5 generasi sudah menjadi galur murni yang homogen homozigot. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kandidat galur harapan segregan transgresif pada populasi F2 dengan memanfaatkan seleksi indeks terboboti. 4.2 Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan bersamaan dengan percobaan sebelumnya pada bulan September 2013-Juli 2014 (pembentukan populasi) dan Agustus-Desember 2014 (pengujian). Pembentukan populasi dilakukan di perumahan IPB Alam Sinar Sari, sedangkan untuk pengujian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua cabai keriting (IPB C120) dan tetua cabai besar (IPB C5), turunan pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R) masing-masing ditanam sebanyak 40 tanaman, backcross ke tetua betina (BCP1) sebanyak 100 tanaman, backcross ke tetua jantan (BCP2) sebanyak 100 tanaman, dan turunan kedua (F2) sebanyak 300 tanaman. Pembentukan populasi dilakukan dengan melakukan persilangan buatan dan selfing. Populasi yang dibentuk adalah F1, F1R, BCP1, dan BCP2. Populasi P1, P2, F2 diperoleh dari selfing, sedangkan populasi F1, F1R, BCP1, dan BCP2 diperoleh dari persilangan buatan.

38 26 Karakter yang diamati adalah karakter komponen hasil, yaitu: 1. Umur berbunga (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal 1 bunga yang mekar sempurna. 2. Umur panen (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal buah sudah layak panen. 3. Bobot buah (g), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman dari panen kedua dan diukur menggunakan timbangan analitik. 4. Diameter buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur mengunakan jangka sorong digital. 5. Tebal daging buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua. Buah dibelah secara melintang dan diukur tebal daging buahnya menggunakan jangka sorong digital. 6. Panjang buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung buah. 7. Panjang tangkai buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung tangkai buah. 8. Jumlah buah per tanaman (buah), dihitung setiap kali panen dengan menjumlahkan jumlah buah tiap panen selama 8 minggu. 9. Bobot buah total per tanaman (g/tan), dihitung dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen selama 8 minggu. Seleksi dilakukan berdasarkan indeks seleksi terboboti dengan melihat korelasi antara karakter komponen hasil terhadap bobot buah per tanaman dengan rumus yang mengacu pada Falconer (1976): I = a1z1+ a2z2 + a3z anzn, dimana Zn = (x x ) / ( σ 2 ) Keterangan: I = nilai indeks total suatu fenotipe a = pembobot masing-masing peubah Z = nilai fenotipe yang telah distandardisasi x = rataan peubah dari suatu genotipe x = rataan peubah dari suatu total seluruh genotipe σ 2 = ragam Pembobotan yang digunakan sebagai berikut: panjang buah (+1), jumlah buah (+2), bobot per buah (+1), dan bobot buah per tanaman (+3). Hasil seleksi berdasarkan indeks seleksi dilihat kembali nilai tengah semua karakter yang diamati. Apabila memiliki nilai tengah yang melebihi nilai tengah tetua tertinggi diduga sebagai genotipe segregan transgresif. 4.3 Hasil dan Pembahasan Seleksi Berdasarkan Indeks Seleksi dalam rangka untuk meningkatkan daya hasil dapat dilakukan berdasarkan beberapa karakter. Seleksi berdasarkan beberapa karakter dapat menjadi lebih efektif dibandingkan hanya berdasarkan pada produksi atau bobot buah per tanaman. Menurut Sutjahjo et al. (2007) seleksi menjadi efektif apabila pemilihan karakter yang menjadi seleksi indeks berdasarkan pada nilai heritabilitas dan korelasi karakter tersebut terhadap bobot buah per tanaman. Karakter

39 27 komponen hasil yang diamati memiliki korelasi yang positif dan sangat nyata terhadap bobot buah per tanaman, kecuali karakter umur berbunga dan umur panen (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Korelasi pearson karakter komponen hasil terhadap bobot buah per tanaman cabai Karakter Koefisien korelasi Umur berbunga (HST) tn Umur panen (HST) tn Bobot per buah (g) 0.601** Panjang tangkai buah (cm) 0.457** Panjang buah (cm) 0.509** Diameter buah (mm) 0.561** Tebal daging buah (mm) 0.309** Jumlah buah (buah) 0.745** Keterangan: ** = berkorelasi nyata pada α 0.01; * = berkorelasi nyata pada α 0.05; tn = tidak berkorelasi nyata pada α 0.05 Karakter bobot per buah, panjang buah, dan jumlah buah dipilih sebagai karakter dasar dalam menentukan genotipe yang akan dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Pemilihan ketiga karakter ini sebagai dasar dalam seleksi indeks dikarenakan memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih baik dibandingkan dengan karakter lainnya. Karakter diameter buah juga memiliki nilai koefisien korelasi yang cukup baik yakni sebesar (Tabel 4.1), tetapi tidak digunakan sebagai karakter seleksi indeks. Hal ini dikarenakan karakter diameter buah pada penelitian ini bukan menjadi karakter utama dalam kegiatan seleksi. Berdasarkan nilai heritabilitas dan korelasi maka terpillih karakter bobot per buah, jumlah buah, dan panjang buah serta bobot buah buah per tanaman yang menjadi karakter seleksi indeks pada kegiatan seleksi. Pembobotan yang dilakukan berbeda antar karakter yang dipilih. Karakter bobot buah per tanaman memiliki bobot yang paling tinggi, yakni diberi skor 3 karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe dengan produktivitas yang tinggi. Jumlah buah per tanaman diberi skor 2 karena karakter ini memiliki korelasi yang paling tinggi dibandingkan karakter lainnya. Panjang buah dan bobot buah masing-masing diberi skor 1 karena diharapkan terpilih cabai keriting yang memiliki buah cukup panjang dan memiliki bobot lebih baik dari tetua cabai keriting. Intensitas seleksi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 10%, artinya dari 300 tanaman F2 dipilih sebanyak 30 individu F2 yang akan dilanjutkan ke generasi F3. Hasil seleksi berdasarkan indeks sebanyak 30 genotipe dapat dilihat pada Tabel 4.2. Genotipe F merupakan genotipe yang memiliki nilai indeks tertinggi, yakni sebesar Genotipe F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe-genotipe yang memiliki nilai indeks cukup tinggi dengan nilai indeks lebih dari 10 (Tabel 4.2).

40 28 Tabel 4.2 Nilai indeks seleksi karakter panjang buah, jumlah buah per tanaman, bobot per buah, dan bobot buah per tanaman cabai Genotipe PB JB BB BBPT I F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F Keterangan: PB=panjang buah, JB=jumlah buah, BB=bobot per buah, BBPT=bobot buah per tanaman, I=nilai indeks Seleksi Genotipe Cabai Segregan Transgresif Frekuensi, persentase dan distribusi segregan transgresif pada populasi F2 disajikan pada Tabel 4.3. Karakter komponen hasil yang diamati pada penelitian ini terdapat individu-individu F2 yang diduga segregan transgresif kecuali pada karakter bobot per buah dan diameter buah. Karakter jumlah buah merupakan karakter dengan individu F2 yang diduga segregan transgresif paling banyak, yakni sebesar 49.67% dengan total 149 individu. Karakter komponen hasil lain yang diduga segregan transgresif adalah karakter umur berbunga (15.67%), umur panen

41 29 (34.00%), panjang tangkai buah (4.67%), panjang buah (4.00%), tebal daging buah (0.33%), dan bobot buah per tanaman (12.33%) (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Segregan transgresif pada 300 tanaman F2 cabai Nilai Segregan transgresif Karakter tetua Frekuensi tertinggi Jumlah Persentase* Kisaran Umur berbunga (HST) Umur panen (HST) Bobot per buah (g) Panjang tangkai buah (cm) Panjang buah (cm) Diameter buah (mm) Tebal daging buah (mm) Jumlah buah (buah) Bobot buah per tanaman (g) *persentase segregan transgresif dikalkulasi dari total 300 tanaman F2 cabai Segregan transgresif jumlah buah yang tinggi pada populasi F2 diduga disebabkan oleh aksi gen over dominan, adanya interaksi gen komplementasi dan heritabilitas arti sempit yang jauh lebih rendah dibanding heritabilitas arti luas. Sehingga populasi F2 dalam keadaan heterozigot memiliki fenotipe yang lebih baik atau melebihi genotipe homozigot dominan. Penelitian Somashakar et al. (2006) juga menghasilkan genotipe segregan transgresif pada beberapa populasi F2 cabai hasil persilangan dua galur murni. Beberapa penelitian pada tanaman lain juga melaporkan adanya individu segregan transgresif seperti pada tomat (Kshirsagar 2006), kacang tanah (Jaylaxmi 2000), dan kapas (Pradeep dan Sumalini 2003). Tabel 4.4 Segregan transgresif pada 30 tanaman F2 cabai terseleksi Nilai Segregan transgresif Karakter tetua Frekuensi tertinggi Jumlah Persentase* Kisaran Umur berbunga (HST) Umur panen (HST) Bobot per buah (g) Panjang tangkai buah (cm) Panjang buah (cm) Diameter buah (mm) Tebal daging buah (mm) Jumlah buah (buah) Bobot buah per tanaman (g) *persentase segregan transgresif dikalkulasi dari total 30 tanaman F2 cabai terseleksi Frekuensi, persentase dan distribusi segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi disajikan pada Tabel 4.4. Hasil seleksi populasi F2 sebanyak 30 tanaman menunjukkan pada beberapa karakter komponen hasil terdapat segregan transgresif. Karakter umur berbunga terdapat 7 individu F2 segregran transgresif, umur panen 23 individu F2 segregan transgresif, panjang tangkai buah 5 individu F2 segregan

42 30 transgresif, panjang buah 7 individu segregan transgresif, jumlah buah 29 individu F2 segregan transgresif, dan 20 individu F2 segregan transgresif pada karakter bobot buah per tanaman. Karakter bobot per buah, diameter buah, dan tebal daging buah tidak ditemukan individu F2 terseleksi yang segregan transgresif. Genotipegenotipe yang melebihi nilai tengah tetua tersebut diduga akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan, sehingga ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya tidak bersegregasi kembali. 4.4 Simpulan Karakter panjang buah, jumlah buah, dan bobot per buah memiliki nilai korelasi positif dan sangat nyata terhadap bobot buah per tanaman sehingga karakter-karakter tersebut digunakan sebagai dasar dalam pemilihan genotipe yang akan dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Hasil seleksi indeks terpilih 30 genotipe F2, yakni F , 14, 16, 22, 35, 36, 50, 56, 62, 70, 74, 87, 104, 115, 120, 125, 136, 141, 142, 145, 146, 147, 149, 176, 180, 181, 184, 185, 199, 215, dan 238. Terdapat genotipe diduga segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi untuk karakter umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman.

43 31 5 VERIFIKASI SEGREGAN TRANSGRESIF PADA POPULASI TERSELEKSI Abstrak Seleksi merupakan kegiatan utama dan menentukan dalam rangka merakit varietas baru berdaya hasil tinggi. Penelitian dilaksanakan pada bulan April November 2015 di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Penelitian bertujuan untuk membuktikan bahwa genotipe yang terpilih merupakan genotipe segregan transgresif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemajuan seleksi karakter yang menjadi kriteria seleksi menunjukkan nilai positif, kecuali karakter jumlah buah. Heritabilitas dalam arti luas pada populasi F3 memiliki pola yang sama seperti populasi F2. Karakter panjang buah dan bobot buah per tanaman memiliki nilai heritabilitas dalam arti sempit (realized) yang sama seperti populasi F2. Segregan transgresif terverifikasi pada karakter komponen hasil dan populasi F3. Genotipe F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan. Kata kunci: heritabilitas, kemajuan seleksi, segregan transgresif, seleksi Abstract Selection was major and decisive activity in new high yield varieties assembly. The study was conducted from April 2015 to November 2015 at Leuwikopo Experimental Field, IPB. This study aims to verify that selected genotypes were transgressive segregant genotypes. Results showed that selection character selection improvement which becomes criteria selection showed positive value, except for number of fruit character. Broad sense heritability on F3 population had the similar pattern to F2 population. Fruit length and yield character having similar narrow sense heritability (realized) to F2 population. Transgressive segregants were verified on yield component characters and F3 population. Genotypes of F , F , F , F , F , F , F , F , F , and F were recommended as new line candidates. Keywords: heritability, selection, selection advance, transgressive segregant

44 Pendahuluan Seleksi merupakan kegiatan utama dan menentukan dalam rangka merakit varietas baru berdaya hasil tinggi. Menurut Syukur et al. (2011) seleksi akan efektif jika populasi tersebut mempunyai keragaman genetik yang luas dan heritabilitas yang tinggi, sehingga hal tersebut sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Apabila nilai heritabilitas tinggi dapat diartikan keragaan fenotipik tanaman lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan. Keragaman genetik luas dengan nilai heritabilitas yang tinggi diharapkan memperoleh kemajuan genetik yang baik. Kegiatan seleksi biasanya membutuhkan waktu yang sangat lama hingga mendapatkan varietas baru atau galur murni. Seleksi berlangsung efektif apabila berhasil memfiksasi segregan transgresif pada generasi awal (Jambormias dan Riry 2009). Segregan transgresif merupakan individu-individu hasil segregasi yang memiliki keragaan di luar rentang keragaan tetuanya (Sleper dan Poehlman 2006). Selain itu, pada generasi lanjut genotipe segregan transgresif dapat diartikan sebagai genotipe yang ragam dalam familinya rendah atau tidak bersegregasi dan memiliki ragam antar famili yang tinggi. Persilangan tetua galur murni atau dalam keadaan homozigot akan menghasilkan turunan F1 heterozigot yang seragam dan segregasi akan muncul pada generasi F2 (Kirk et al. 2012). Seleksi pada generasi F2 sangat efektif karena memiliki tingkat keragaman yang paling tinggi. Hasil seleksi atau turunan dari generasi F2 didapatkan generasi F3. Menurut Jambormias et al. (2011) generasi F3 dapat menyediakan informasi kekerabatan dalam bentuk informasi antar famili dan dalam famili. Percobaan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa genotipe yang terpilih merupakan genotipe segregan transgresif. 5.2 Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015-November 2015 di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB. Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua cabai keriting (IPB C120) dan tetua cabai besar (IPB C5) masing-masing ditanam sebanyak 40 tanaman, turunan kedua (F2) sebanyak 300 tanaman, dan turunan ketiga (F3) sebanyak 30 genotipe yang berasal dari populasi F2 terpilih, masingmasing genotipe digalurkan sebanyak 20 tanaman sehingga total F3 yang ditanam sebanyak 600 tanaman. Populasi F3 berasal dari kegiatan seleksi pada populasi F2 yang dibiarkan menyerbuk sendiri (selfing) untuk mendapatkan benih F3. Karakter yang diamati adalah karakter komponen hasil, yaitu: 1. Umur berbunga (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal 1 bunga yang mekar sempurna. 2. Umur panen (HST), dihitung saat tanaman telah memiliki minimal buah sudah layak panen. 3. Bobot buah (g), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman dari panen kedua dan diukur menggunakan timbangan analitik. 4. Diameter buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur mengunakan jangka sorong digital.

45 33 5. Tebal daging buah (mm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua. Buah dibelah secara melintang dan diukur tebal daging buahnya menggunakan jangka sorong digital. 6. Panjang buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung buah. 7. Panjang tangkai buah (cm), diambil rata-rata 5 buah setiap tanaman mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung tangkai buah. 8. Jumlah buah per tanaman (buah), dihitung setiap kali panen dengan menjumlahkan jumlah buah tiap panen selama 8 minggu. 9. Bobot buah total per tanaman (g/tan), dihitung dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen selama 8 minggu. Analisis data yang dilakukan yaitu dengan menghitung nilai ragam masingmasing galur terpilih, kemajuan seleksi dan nilai heritabilitas mengacu pada Mattjik dan Sumertajaya (2002) dan Syukur et al. (2012). 1. Kemajuan seleksi Kemajuan seleksi adalah selisih antara nilai tengah turunan hasil seleksi dengan nilai tengah populasi yang diseleksi. G = x F 3 x F 2 Keterangan: G = Kemajuan seleksi x F 3 = Nilai tengah populasi F3 x F 2 = Nilai tengah populasi F2 2. Heritabilitas arti luas Pendugaan nilai heritabilitas arti luas menggunakan metode Mahmud- Kramer (1951) yang dimodifikasi dengan memanfaatkan data σ 2 2 P1, σ P2 dan σ 2 F3. 2 h (bs) = σ F3 2 (σ P1 2 Keterangan: h (bs) 2 )(σ 2 P2 ) 2 100% σ F3 = Heritabilitas arti luas 2 σ F2 = Ragam populasi F2 2 σ P1 = Ragam tetua P1 2 σ P2 = Ragam tetua P2 3. Heritabilitas arti sempit Pendugaan nilai heritabilitas arti sempit populasi F3 mengacu pada Syukur et al. (2015) menggunakan rumus realized heritability. h 2 ns = G S x F3 x F2 = x SF2 x F2 2 Keterangan: h ns = Heritabilitas arti sempit x F2 = nilai tengah populasi F2 G = kemajuan seleksi S = differensial seleksi x F3 = nilai tengah populasi F3 x SF2 = nilai tengah tanaman F2 yang terseleksi 4. Verifikasi genotipe segregan transgresif Verifikasi famili seragam atau segregan transgresif dilakukan dengan melihat hasil analisis ragam pada populasi F3. Apabila ragam dalam famili rendah dan ragam antar famili tinggi maka dapat dikatakan genotipe tersebut

46 34 genotipe segregan transgresif. Pendugaan nilai ragam pada populasi F3 mengacu pada Mattjik dan Sumertajaya (2002). N σ 2 = 1 N (x i μ) 2 i=1 Keterangan: σ 2 = Ragam N = Jumlah populasi x i = Rata-rata tanaman ke-i µ = Rata-rata populasi Genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan baru berdaya hasil tinggi adalah genotipe dengan nilai ragam dalam famili rendah, memiliki kemajuan seleksi yang positif, dan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. 5.3 Hasil dan Pembahasan Kemajuan Seleksi dan Heritabilitas Rata-rata populasi F2, populasi F3, dan perolehan kemajuan seleksi pada karakter komponen hasil disajikan pada Tabel 5.1. Kemajuan seleksi pada karakter yang menjadi kriteria seleksi menunjukkan nilai kemajuan yang positif, kecuali pada karakter jumlah buah. Karakter bobot buah mengalami kemajuan sebesar 0.04 g dari 4.80 g menjadi 4.84 g, panjang buah mengalami kemajuan sebesar 1.69 cm dari 9.38 cm menjadi cm, dan bobot buah per tanaman mengalami kemajuan sebesar g dari g menjadi g (Tabel 5.1). Karakter jumlah buah mengalami kemajuan seleksi yang negatif, yakni sebesar buah dari buah menjadi buah. Kemajuan seleksi yang negatif pada karakter jumlah buah diduga karena karakter ini lebih dikendalikan oleh aksi gen non-aditif, sehingga ketika digalurkan kembali bersegregasi. Tabel 5.1 Kemajuan seleksi pada karakter komponen hasil cabai No. Karakter Rata-rata F2 Rata-rata F3 Kemajuan seleksi 1 Umur berbunga (HST) Umur panen (HST) Bobot per buah (g) Panjang tangkai buah (cm) Panjang buah (cm) Diameter buah (mm) Tebal daging buah (mm) Jumlah buah (buah) Bobot buah per tanaman (g) Karakter lain yang mengalami kemajuan seleksi positif adalah karakter panjang tangkai buah. Karakter tersebut mengalami kemajuan sebesar 0.57 cm, dari 3.56 cm menjadi 4.13 cm. Kemajuan seleksi panjang tangkai buah menjadi positif diduga akibat dari kegiatan seleksi yang mengarah ke tetua keriting, dimana salah satu ciri dari cabai keriting memiliki panjang tangkai buah yang lebih baik

47 35 dibandingkan cabai besar. Karakter umur berbunga dan umur panen merupakan karakter yang diharapkan mengalami kemajuan yang negatif dengan tujuan mendapatkan genotipe yang memiliki umur genjah. Karakter umur panen dan umur buah mengalami kemajuan seleksi sebesar HST dan HST, yakni dari HST menjadi HST untuk umur berbunga dan HST menjadi HST untuk umur panen (Tabel 5.1). Karakter diameter buah dan tebal daging buah merupakan karakter yang mengalami kemajuan seleksi negatif. Kemajuan seleksi diameter buah sebesar mm dari 9.22 mm menjadi 8.92 mm, sedangkan kemajuan seleksi tebal daging buah sebesar mm dari 1.23 mm menjadi 1.18 mm (Tabel 5.1). Diameter buah dan tebal daging buah merupakan karakter yang tidak termasuk dalam kriteria seleksi. Hal ini diduga yang menyebabkan kemajuan seleksi karakter diameter buah dan tebal daging buah menjadi negatif. Hasil penelitian Egea-Gilabert et al. (2008) menunjukkan karakter panjang buah juga mengalami nilai tengah F3 yang lebih baik dibandingkan nilai tengah F2, sedangkan diameter buah mengalami penurunan nilai tengah dari generasi sebelumnya. Heritabilitas dalam arti luas pada populasi F3 memiliki pola yang sama pada populasi F2. Heritabilitas arti luas pada semua karakter yang diuji berkisar antara 36.01% sampai 73.06% atau dapat diklasifikasikan dari sedang (25%<h<50%) hingga tinggi (>50%) (Tabel 5.2). Heritabilitas dalam arti luas populasi F3 pada semua karakter berada pada kisaran tinggi, kecuali karakter panjang tangkai buah dan tebal daging buah yang berada kisaran sedang. Nilai heritabilitas yang termasuk dalam kategori tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan lingkungan pada penampilan fenotipik suatu tanaman. Tabel 5.2 Heritabilitas dalam arti luas dan sempit (realized) karakter komponen hasil pada populasi F3 cabai No. Karakter h 2 bs h 2 ns (Realized) 1 Umur berbunga (HST) (a) 2 Umur panen (HST) Bobot per buah (g) Panjang tangkai buah (cm) (a) 5 Panjang buah (cm) Diameter buah (mm) (b) 7 Tebal daging buah (mm) (b) 8 Jumlah buah (buah) (b) 9 Bobot buah per tanaman (g) Keterangan: (a) = Nilai heritabilitas yang melebihi 100 dianggap nilai h 2 ns = 100%, (b) = nilai heritabilitas yang kurang dari 0 dianggap nilai h 2 ns = 0%. Nilai heritabilitas dalam arti sempit (realized) karakter komponen hasil pada populasi F3 disajikan pada Tabel 5.2. Karakter panjang buah dan bobot buah per tanaman merupakan karakter yang memiliki pola nilai heritabilitas dalam arti sempit yang sama dengan populasi F2. Nilai heritabilitas dalam arti sempit (realized) panjang buah sebesar 51.82% masuk dalam kategori tinggi (>50%) dan

48 36 bobot buah per tanaman sebesar 18.50% masuk dalam kategori rendah (<25%) (Tabel 5.2). Kedua karakter ini merupakan karakter utama yang menjadi kriteria dalam seleksi indeks. Hal ini yang mengakibatkan karakter panjang buah dan bobot buah per tanaman memiliki pola yang serupa, baik pada populasi F2 ataupun pada turunannya atau populasi F3 setelah dilakukan seleksi. Karakter umur berbunga, umur panen, dan panjang tangkai buah merupakan karakter yang memiliki nilai heritabilitas dalam arti sempit (realized) tinggi (>50%). Karakter umur berbunga dan panjang tangkai buah memiliki nilai lebih dari 100% yakni masing-masing sebesar % dan %. Nilai heritabilitas yang melebihi 100% ini akibat menggunakan persamaan heritabilitas realized yang memanfaatkan data kemajuan seleksi. Ketika nilai kemajuan seleksi suatu karakter sangat baik, dapat mengakibatkan nilai heritabilitas realized menjadi lebih besar dari 100%. Hal sebaliknya apabila nilai kemajuan seleksi negatif dapat mengakibatkan nilai heritabilitas realized menjadi kecil dari 0% atau menjadi negatif seperti pada karakter diameter buah, tebal daging buah, dan jumlah buah (Tabel 5.2) Verifikasi Genotipe Segregan Transgresif Genotipe dikatakan segregan transgresif apabila memiliki nilai tengah lebih tinggi dari kedua tetua dengan nilai ragam dalam famili yang rendah. Indikasi ragam dalam famili rendah dapat dilihat dari ragam genotipe F3 lebih rendah atau sama dengan ragam tetua. Tetua yang digunakan pada penelitian ini merupakan galur murni sehingga tingkat keragaman rendah. Genotipe F3 dengan tingkat keragaman lebih rendah atau mendekati ragam tetua dapat dinyatakan sebagai genotipe segregan transgresif atau sudah tidak bersegregasi lagi. Nilai tengah dan ragam karakter populasi P1, P2, F2, F3, dan genotipe F3 disajikan pada umur berbunga, umur panen, dan bobot per buah disajikan pada Tabel 5.3. Karakter umur berbunga terdapat dua genotipe yang terverifikasi segregan transgresif, yaitu: F dan F Genotipe F memiliki umur berbunga lebih genjah dari tetua dengan ragam dalam famili sebesar 3.53 lebih rendah dari ragam tetua P2 (4.43) tapi tidak lebih rendah dibanding tetua P1 (3.51), sedangkan genotipe F memiliki ragam dalam famili yang tidak lebih rendah tetapi mendekati ragam kedua tetua yakni sebesar 4.87 (Tabel 5.3). Karakter umur panen terdapat tiga genotipe yang lebih genjah dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari kedua tetua yaitu: F , F , dan F Umur panen genotipe F lebih genjah memiliki ragam sebesar lebih kecil dari ragam tetua P1 (66.13) tapi tidak lebih baik dibanding tetua P2 (56.50), sedangkan F memiliki ragam yang tidak lebih rendah tetapi mendekati ragam kedua tetua yakni sebesar Karakter bobot per buah tidak terdapat genotipe terverifikasi segregan transgresif. Akan tetapi terdapat satu genotipe yang memiliki nilai ragam dalam famili rendah lebih dari kedua tetua, yaitu: F Genotipe F3 dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari tetua P2 (1.35) tapi tidak lebih rendah dari tetua P1 (0.37) terdapat sebanyak 22 genotipe (Tabel 5.3). Genotipe-genotipe dengan nilai tengah tidak melebihi kedua tetua yang memiliki ragam dalam famili rendah merupakan genotipe homozigot.

49 37 Tabel 5.3 Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter umur berbunga, umur panen, dan bobot per buah cabai Genotipe Umur berbunga (HST) Nilai tengah Ragam Karakter Umur panen (HST) Nilai tengah Ragam Bobot per buah (g) Nilai tengah Ragam P1 (IPB C120) P2 (IPB C5) F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F Keterangan: Angka yang dicetak tebal menunjukkan genotipe dengan nilai tengah lebih tinggi dan ragam lebih rendah dibandingkan kedua tetua (genotipe segregan transgresif).

50 38 Karakter diameter buah dan panjang buah tidak terdapat genotipe segregan transgresif dikarenakan nilai tengah F3 tidak ada yang melebihi kedua tetua. Karakter diameter buah terdapat satu genotipe yang memiliki nilai ragam lebih rendah dari kedua tetua yaitu: F Nilai ragam genotipe F3 yang lebih rendah dari ragam tetua P2 (2.03) tapi tidak lebih rendah dari ragam tetua P1 (0.46) terdapat pada hampir semua genotipe F3 kecuali pada genotipe F yang memiliki nilai ragam sebesar Karakter panjang buah terdapat dua genotipe yang memiliki nilai ragam lebih rendah dari kedua tetua yaitu genotipe F dan F Genotipe F3 dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari tetua P1 (1.69) tapi tidak lebih rendah dari tetua P2 (0.69) terdapat sebanyak 17 genotipe. Genotipe dengan nilai ragam yang lebih rendah dari tetua merupakan genotipe homozigot. Karakter jumlah buah terdapat dua genotipe terverifikasi segregan transgresif, yaitu: F dan F Kedua genotipe ini memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari tetua P1 (260.44) tapi tidak lebih rendah dari tetua P2 (110.73) (Tabel 5.4). Karakter tebal daging buah yang memiliki nilai ragam lebih rendah dari nilai ragam kedua tetua sebesar 0.03 terdapat hampir pada semua genotipe, tetapi nilai tengahnya tidak ada yang melebihi kedua tetua. Genotipe dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari tetua merupakan genotipe homozigot. Karakter panjang tangkai buah terdapat lima genotipe terverifikasi segregan transgresif, yaitu: F , F , F , F dan F Genotipe homozigot dengan nilai ragam genotipe F3 lebih rendah dari ragam tetua P1 (0.15) tapi tidak lebih rendah dari ragam tetua P2 (0.09) terdapat sebanyak 13 genotipe F3. Karakter bobot buah per tanaman terdapat sepuluh genotipe terverifikasi segregan transgresif yaitu genotipe F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F Genotipe F3 dengan nilai ragam dalam famili lebih rendah dari tetua tapi tidak memiliki nilai tengah melebihi tetua atau genotipe homozigot terdapat sebanyak lima genotipe yaitu genotipe F , F , F , F , dan F Sedangkan genotipe F dan F merupakan genotipe yang memiliki nilai ragam yang tidak lebih rendah dari kedua tetua akan tetapi memiliki nilai ragam yang mendekati kedua tetua yakni masing-masing sebesar dan Secara umum dari ke-30 genotipe yang diuji terverifikasi sebagai genotipe segregan transgresif sebanyak 17 genotipe, dimana minimal terdapat satu karakter yang segregan transgresif pada satu genotipe. Genotipe F merupakan genotipe yang segregan transgresif pada tiga karakter yakni karakter umur panen, panjang tangkai buah dan bobot buah per tanaman. Genotipe terverifikasi segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman sebanyak 10 genotipe F3 dari 20 genotipe F2 terpilih yang diduga segregan transgresif. Nilai tengah bobot buah per tanaman dari genotipe F3 yang diuji dapat terlihat bahwa tidak semua menunjukkan nilai yang tinggi. Genotipe F3 yang nilai ragamnya tinggi memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan genotipe terverifikasi segregan transgresif. Hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh aksi gen dominan.

51 39 Tabel 5.4 Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter diameter buah, jumlah buah, dan panjang buah cabai Karakter Genotipe Diameter buah (mm) Jumlah buah (buah) Panjang buah (cm) Nilai tengah Ragam Nilai tengah Ragam Nilai tengah Ragam P1 (IPB C120) P2 (IPB C5) F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F Keterangan: Angka yang dicetak tebal menunjukkan genotipe dengan nilai tengah lebih tinggi dan ragam lebih rendah dibandingkan kedua tetua (genotipe segregan transgresif).

52 40 Tabel 5.5 Nilai tengah dan ragam populasi F3 karakter panjang tangkai buah, tebal daging buah, dan bobot buah per tanaman cabai Karakter Genotipe Panjang tangkai buah (cm) Tebal daging buah (mm) Bobot buah per tanaman (g) Nilai tengah Ragam Nilai tengah Ragam Nilai tengah Ragam P1 (IPB C120) P2 (IPB C5) F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F F Keterangan: Angka yang dicetak tebal menunjukkan genotipe dengan nilai tengah lebih tinggi dan ragam lebih rendah dibandingkan kedua tetua (genotipe segregan transgresif).

53 41 Pengaruh aksi gen dominan ini mengakibatkan individu yang terpilih pada populasi F2 apabila dilanjutkan mengandung gen-gen heterozigot untuk karakter yang diuji. Hasil studi pewarisan karakter bobot buah per tanaman rasio non-aditif lebih besar daripada rasio aditif. Selain itu, hasil pengujian efek gen epistasis pada karakter bobot buah per tanaman menunjukkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh efek gen epistasis duplikasi. Menurut Jambormias (2014) bila terdapat pengaruh aksi gen epistasis duplikasi, maka terdapat gen-gen dominan yang bersifat epistatik bagi sifat penting. Ketika gen-gen heterozigot dengan aksi gen dominan dan epistasis duplikasi maka membuat fenotipe tanaman menjadi lebih baik dari genotipe terverifikasi segregan transgresif Rekomendasi Kandidat Galur Harapan Genotipe yang direkomendasikan menjadi kandidat galur harapan adalah genotipe terverifikasi segregan transgresif yang memiliki kemajuan seleksi positif, dan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi untuk karakter bobot buah per tanaman. Genotipe F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan. Sepuluh genotipe segregan transgresif ini dipilih berdasarkan segregan transgresif yang terverifikasi pada karakter bobot buah per tanaman. Nilai tengah kesepuluh genotipe segregan transgresif ini melebihi tetua tertinggi yakni tetua cabai besar (P2) sebesar Simpulan Kemajuan seleksi karakter yang menjadi kriteria seleksi menunjukkan nilai positif, kecuali karakter jumlah buah. Heritabilitas dalam arti luas pada populasi F3 memiliki pola yang sama seperti populasi F2. Karakter panjang buah dan bobot buah per tanaman memiliki nilai heritabilitas dalam arti sempit (realized) yang sama seperti populasi F2. Pendugaan nilai heritabilitas pada populasi F2 sesuai dengan nilai heritabilitas sebenarnya pada populasi F3. Segregan transgresif terverifikasi pada karakter hasil dan komponen hasil populasi F3. Genotipe F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan.

54 42 6 PEMBAHASAN UMUM Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu program pemuliaan tanaman. Hibridisasi atau persilangan dua tetua galur murni digunakan sebagai metode memperoleh keragaman genetik. Tetua yang digunakan merupakan tetua cabai keriting (IPB C120) dan cabai besar (IPB C5) yang memiliki jarak genetik cukup jauh. Selain itu, Istiqlal (2014) melaporkan bahwa IPB C120 dan IPB C5 memiliki daya gabung umum yang tergolong tinggi. Informasi daya gabung umum dari persilangan dialel dengan asumsi tidak ada linkage, tidak ada epistasis dan tidak ada efek maternal dapat diketahui aksi gen aditif (Kuczyñska et al. 2007). Aksi gen aditif berhubungan dengan lokus homozigot pada tanaman menyerbuk sendiri (Griffing 1956). Kedua tetua ini digunakan dalam pembentukan populasi persilangan biparental untuk mempelajari pewarisan karakter hasil dan komponen hasil. Selain itu, diharapkan juga mendapat kandidat galur harapan segregan transgresif. Hasil segregasi generasi F2 terdapat genotipe-genotipe yang bersifat segregan transgresif, yaitu segregasi gen pada sifat-sifat kuantitatif dari zuriat hasil persilangan dua tetua yang memiliki jangkauan sebaran yang melampaui jangkauan sebaran kedua tetuanya (Poehlman dan Sleper 1996). Segregan transgresif dapat memangkas waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan. Fiksasi gen-gen homozigot pada awal generasi dapat dilakukan apabila memanfaatkan seleksi berdasarkan segregan transgresif, yakni dengan memilih individu F2 yang memiliki nilai tengah diluar jangkauan sebaran tetuanya. Pewarisan sifat tanaman menyerbuk sendiri yang berperan lebih besar adalah aksi gen aditif. Karakter-karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif pada individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua diduga efek dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua ketika dilanjutkan tidak bersegregasi kembali atau sudah seragam, hal ini dikarenakan telah terfiksasinya gen-gen homozigot dominan. Segregan transgresif pada tanaman menyerbuk sendiri menjadi sangat efektif karena berhubungan dengan aksi gen aditif. Tanaman cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat penyerbukan silang alami yang tinggi. Ritonga (2013) melaporkan persentase penyerbukan silang alami berbasis benih pada genotipe cabai IPB C120 sebesar 16.76% dan IPB C5 sebesar 8.63% dan berbasis tanaman pada genotipe cabai IPB C120 sebesar 25.58% dan IPB C5 sebesar 14.46%. Tingkat penyerbukan silang alami yang tinggi biasanya berpengaruh pada aksi gen yang mengendalikan suatu karakter. Penyerbukan silang alami tanaman tomat sangat rendah yakni sebesar % dan umumnya terjadi pada varietas dengan tangkai putik yang panjang dan kepala putik yang terbuka (Delaplane dan Mayer 2000). Menurut Amaefula et al. (2014) karakter bobot buah per tanaman tomat lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif sedangkan menurut Saputra et al. (2014) jumlah buah pada tomat juga dikendalikan oleh aksi gen aditif. Sedangkan penyerbukan silang pada jagung yang tinggi, aksi gen nonaditif lebih berperan dalam pewarisan sifat. Hasil penelitian Sujiprihati et al. (2003) rasio non-aditif jauh lebih besar dibandingkan rasio aditif pada karakter hasil biji jagung. Tanaman-tanaman menyerbuk silang umumnya dikendalikan oleh aksi gen non-aditif sehingga memiliki nilai heterosis yang tinggi. Genotipe cabai dengan tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi mengikuti pola tanaman

55 menyerbuk silang, yakni memiliki nilai heterosis yang tinggi pada karakter tertentu. Riyanto et al. (2008) melaporkan karakter bobot buah per tanaman cabai memiliki nilai heterosis yang cukup tinggi mencapai %, sedangkan Daryanto et al. (2010) melaporkan karakter jumlah buah pada cabai juga memiliki nilai heterosis yang cukup tinggi mencapai 74.50%. Tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi pada cabai dapat mengakibatkan suatu karakter tidak lagi dikendalikan oleh aksi gen aditif, tetapi lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen non-aditif. Oleh karena itu segregan transgresif pada tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat penyerbukan silang alami tinggi dapat menjadi bias. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi tetua tertinggi belum tentu disebabkan oleh berkumpulnya gen homozigot dominan melainkan akibat dari aksi gen non-aditif atau dominan. Individu F2 tersebut merupakan individu dalam keadaan heterozigot yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua, ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya akan bersegregasi kembali atau bukan genotipe segregan transgresif. Tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi mengakibatkan pada beberapa karakter pada penelitian ini menunjukkan rasio non-aditif lebih besar dibandingkan rasio aditif, yakni pada karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Karakter-karakter dengan aksi gen non-aditif menunjukkan individu F2 yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua lebih banyak dibandingkan karakter-karakter dengan aksi gen aditif. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua diduga akibat aksi gen non-aditif atau dominan, sehingga individu F2 dalam keadaan heterozigot menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan individu F2 dalam keadaan homozigot dominan. Karakter jumlah buah merupakan karakter dengan individu F2 yang diduga segregan transgresif paling banyak, yakni sebesar 49.67% dengan total 149 individu. Karakter bobot per buah dan diameter buah berbanding terbalik dengan karakter jumlah buah, yakni tidak terdapat individu F2 yang diduga segregan transgresif untuk kedua karakter tersebut. Fenomena ini diduga akibat kedua karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif, selain itu diduga akibat menggunakan tetua yang sangat distinct (berbeda). Karakter bobot per buah dan diameter buah tetua cabai keriting IPB C120 sangat jauh berbeda dengan bobot per buah dan diameter buah tetua cabai besar IPB C5. Genotipe terpilih yang diduga segregan transgresif terdapat pada karakter umur berbunga sebanyak 7 genotipe, umur panen sebanyak 23 genotipe, panjang tangkai buah 5 genotipe, panjang buah 5 genotipe, jumlah buah 29 genotipe, dan bobot buah per tanaman sebanyak 20 genotipe. Tiga puluh genotipe terpilih yang diduga segregan transgresif ini harus diverifikasi kembali kebenarannya. Melihat keragaman pada generasi lanjut genotipe F2 ini adalah salah satu cara verifikasi bahwa genotipe tersebut segregan transgresif. Genotipe F2 terpilih digalurkan masing-masing sebanyak 20 tanaman per genotipe. Genotipe F3 atau famili-famili F3 ini digunakan untuk verifikasi segregan transgresif. Menurut Jambormias dan Riry (2009) untuk mendeteksi famili-famili segregan transgresif dapat dilakukan dengan melihat famili-famili berkeragaan terbaik atau nilai tengah lebih tinggi dari tetua dan sudah seragam. Pewarisan karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman merupakan karakter yang dikendalikan oleh aksi non-aditif lebih besar dibandingkan aksi gen aditif. Tujuh genotipe F2 diduga segregan transgresif 43

56 44 untuk karakter umur berbunga setelah verifikasi ternyata hanya tiga genotipe F3 yang segregan transgresif, sedangkan dari 23 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif untuk karakter umur panen terverifikasi empat genotipe F3 yang segregan transgresif. Karakter jumlah buah memiliki 29 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif terverifikasi 2 genotipe F3 yang segregan transgresif, sedangkan dari 20 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman terverifikasi 10 genotipe F3 yang segregan transgresif. Segregan transgresif terverifikasi untuk karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman pada genotipe F3 tidak sebanyak pendugaan awal. Hal ini diduga akibat dari aksi gen yang mengendalikan karakter umur berbunga, umur panen, dan jumlah buah. Ketiga karakter ini aksi gen nonaditif yang lebih berperan dalam pewarisan daripada aksi gen aditif. Genotipe F2 yang diduga segregan transgresif kemungkinan dalam keadaan heterozigot yang memiliki fenotipe lebih baik dari kedua tetua sehingga ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya kembali bersegregasi. Karakter yang lebih banyak dikendalikan aksi gen non-aditif menyebabkan genotipe yang diduga segregan transgresif ketika verifikasi bersegregasi kembali atau bukan segregan transgresif. Hal ini berbanding terbalik dengan karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan aksi gen aditif ketika verifikasi tidak bersegregasi kembali atau seragam. Karakter panjang buah diduga segregan transgresif sebanyak 7 genotipe F2 ketika verifikasi ketujuh genotipe tersebut sudah seragam, selain itu genotipe-genotipe lain yang memiliki nilai tengah tidak melebihi kedua tetua juga sudah seragam. Karakter panjang buah terverifikasi 19 genotipe F3 homozigot atau sudah seragam dari 30 genotipe yang diuji. Karakter bobot per buah dan diameter buah tidak terdapat genotipe yang diduga segregan transgresif untuk karakter tersebut, tetapi saat verifikasi karakter bobot per buah dan diameter buah sudah seragam. Karakter bobot per buah terdapat 24 genotipe F3 dan diameter buah terdapat 29 genotipe F3 yang sudah seragam. Genotipe F3 yang sudah seragam untuk karakter bobot per buah dan diameter buah diduga karena sudah berkumpulnya gen-gen homozigot dominan dan resesif, selain itu kedua karakter tersebut juga lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif akan menghasilkan genotipe segregan transgresif sesuai dugaan pada populasi F2 dengan individu yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua. Hal ini berbanding terbalik dengan karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen non-aditif. Karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen nonaditif belum tentu menghasilkan genotipe segregan transgresif sesuai dengan dugaan awal. Individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah melebihi tetua ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya bisa bersegregasi kembali dikarenakan individu tersebut dalam keadaan heterozigot. Salah satu upaya untuk mengurangi kesalahan dalam memilih individu segregan transgresif yakni dengan cara menurunkan intensitas seleksi. Intensitas seleksi yang diturunkan ini bertujuan agar selain individu-individu yang memiliki nilai tengah lebih tinggi dari kedua tetua juga ikut terpilih individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah cukup tinggi akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot.

57 45 7 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh gen-gen yang berada didalam inti. Pewarisan karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non-aditif, dimana aksi gen non-aditif ini terdiri dari aksi gen dominan dan epistasis. 2. Terdapat genotipe diduga segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi untuk karakter umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman. 3. Segregan transgresif terverifikasi pada karakter hasil dan komponen hasil populasi F3. Genotipe terverifikasi segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman sebanyak 15 genotipe F3 dari 20 genotipe F2 terpilih yang diduga segregan transgresif. F , F , F , F , F , F , F , F , F , dan F merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan. 7.2 Saran Hasil analisis segregan transgresif menunjukkan tidak semua genotipe yang diduga segregan transgresif pada populasi F2 merupakan genotipe segregan transgresif pada genotipe atau famili-famili F3. Karakter-karakter dengan aksi gen non-aditif yang lebih berperan dalam pewarisan sifat perlu dilakukan perlakuan khusus yakni dengan menurunkan intensitas seleksi agar selain individu-individu yang memiliki nilai tengah lebih tinggi dari kedua tetua akibat aksi gen non-aditif juga ikut terpilih individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah cukup tinggi akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan. Tetua dengan jarak genetik yang tidak terlalu jauh sebagai tetua persilangan disarankan untuk meningkatkan peluang mendapatkan genotipe segregan transgresif.

58 46 DAFTAR PUSTAKA Alia Y, A Baihaki, N Hermiati, Y Yuwariah Pola pewarisan karakter jumlah berkas pembuluh kedelai. Zuriat. 15(1): Allard RW Principle for Plant Breeding. New York (US): John Wiley and Son Inc. Amaefula C, Agbo CU, Nwofia GE Hybrid vigour and genetic control of some quantitative traits of tomato (Solanum lycopersicum L.). Open Journal of Genetics. 4: Arif BA Pendugaan parameter genetik beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada tiga kelompok cabai (Capsicum annuum L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arif BA, Sujiprihati S, Syukur M Pewarisan sifat beberapa karakter kualitatif pada tiga kelompok cabai. Buletin Plasma Nutfah. 17(2): Arif BA, Sujiprihati S, Syukur M Pendugaan parameter genetik pada beberapa persilangan antara cabai besar dengan cabai keriting (Capsicum annuum L.). J Agron Indonesia. 40(2): [BPS] Badan Pusat Statistik Luas panen, produksi dan produktivitas cabai tahun [27 Juni 2016]. Baihaki A Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Ben-Chaim A, I Paran Genetic analysis of quantitative traits in pepper (Capsicum annuum). Journal of the American Society for Horticultural Science. 125(1): Bosland PW, Votava E Peppers: Vegetables and Spice Capsicums. New York (US): CABI Publishing. Daryanto A, Sujiprihati S, Syukur M Heterosis dan daya gabung karakter agronomi cabai (Capsicum annuum L.) hasil persilangan half diallel. J Agron Indonesia. 38(2): Delaplane KS, Mayer DF Crop Pollination by Bees. New York (US): CABI Publishing. Derera J, Musimwa TR Why SR52 is such a great maize hybrid? I. Heterosis and generation mean analysis. Euphytica. 205(1):1-15. Dhall RK, Hundal JS Genetics of yield attributes in chilli (Capsicum annuum). The Indian Journal of Agricultural Sciences. 76(11): Egea-Gilabert C, Bilotti G, Requena ME, Ezziyyani M, Vivo-Molina JM, Candela ME Pepper morphological traits related with resistance to Phytophthora capsici. Biologia Plantarum. 52(1): Falconer DS, Mackay TFC Introduction to Quantitative Genetics. Fourth edition. Malaysia (MY): Longman. Falusi OA, Morakinyo JA Intra and interspecific hybridization in the genus Capsicum. African Crop Science Journal. 2(2): Griffing B Concept of general and specific combining ability in relation to diallel crossing systems. Aust J Biol Sci. 9: Hari RM, Kurniawati T, Nasrullah Pola pewarisan karakter buah tomat. Zuriat. 20(2):

59 Hasanuzzaman M, Golam F Gene actions involved in yield and yield contributing traits of chilli (Capsicum annuum L.). Australian Journal of Crop Science. 13: Hill J, Becker HC, Tigerstedt PMA Quantitative and Ecological Aspects of Plant Breeding. London (GB): Chapman and Hall. Hilmayanti I, Dewi W, Murdaningsih, Rahardja M, Rostini N, Setiamihardja R Pewarisan karakter umur berbunga dan ukuran buah cabai merah (Capsicum annuum L.). Zuriat. 16(2): Istiqlal MRA Pewarisan karakter kuantitatif hasil persilangan cabai besar dan keriting. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jambormias E Analisis genetik dan segregan transgresif berbasis informasi kekerabatan untuk potensi hasil dan panen serempak kacang hijau [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jambormias E, Riry J Penyesuaian data dan penggunaan informasi kekerabatan untuk mendeteksi segregan transgresif sifat kuantitatif pada tanaman menyerbuk sendiri (suatu pendekatan dalam seleksi). J Budidaya Pertanian. 5(1): Jambormias E, Sutjahjo SH, Jusuf M, Suharsono Using information from relatives and path analysis to select for yield and seed size in soybean (Glycine max L. Merrill). SABRAO J Breed Genet. 43(1): Jaylaxmi V Transgressive segregation of physiological and yield attributes in groundnut (Arachis hypogae L.). Crop Improv. 27(1): Kshirsagar DB, Bhalekar MN, Patil RS, Kute NS, Patil SB Transgressive segregation in F3 generation of intervarietal crosses of tomato (Solanum lycopersicon L.). Vegetable Science. 40(2): Kuczyñska A, Surma M, Adamski T Methods to predict transgressive segregation in barley and other self-pollinated crops. J Appl Genet. 48(4): Kusandriani, Y Botani Tanaman Cabai Merah. Dalam Duriat AS, Hadisoeganda AWW, Soetiarso TA, Prabaningrum L (eds). Teknologi Produksi Cabai Merah. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Limbongan YL, Aswidinnoor H, Purwoko BS, Trikoesoemaningtyas Pewarisan sifat pada sawah (Oryza sativa L.) terhadap cekaman suhu rendah. Bul Agron. 36(2): Lounds NK, Baranas M, Bosla PW Relationship between Post harvest water loss and physical properties of pepper fruit (Capsicum annuum L.). Hort Science. 28: Mangoendidjojo W Dasar Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta (ID): Kanisius. Marame F, L Desalegne, C Fininsa, R Sigvald Genetic analysis for some plant and fruit traits, and its implication for a breeding program of hot pepper (Capsicum annuum var. annuum L.). Hereditas. 146: Mather SK, Jinks JL Biometrical Genetic. Ed. ke-3. New York (US): Chapman and Hall. Navhale VC, Dalvi VV, Wakode MM, Bhave SG, Devmore JP Gene action of yield and yield contributing characters in chilli (Capsicum annuum L.). Electronic Journal of Plant Breeding. 5(4):

60 48 Nsabiera V, Ochwo-Ssemakula M, Seruwagi M, Ojiewo P, Gipson P Combining ability for yield resistance to disease, fruit yield and yield factors among hot pepper (Capsicum annuum L.) genotypes in Uganda. International Journal of Plant Breeding. 7: Nura Peningkatan keragaman genetik cabai tahan terhadap penyakit antraknosa melalui hibridisasi dan iradiasi sinar gamma [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. OECD Consensus document on the biology of the Capsicum annuum complex (chili peppers, hot peppers, and sweet peppers). OECD Environment, Healt, and Safety Publication. 2(36):1-48. Pantalone, VR, Burton JW, Carter TE Soybean fibrous root heritability and genotypic correlations with agronomic and seed quality traits. Crop science. 36(5): Pathak N, Singh MN, Mishra MK, Saroj SK Estimates of gene effects and detection of epistasis for yield characters in mungbean [Vigna radiata (L.) Wilczek]. Journal of Food Legumes. 27(4): Patil BT Generation mean analysis in Chilli (Capsicum annuum). Vegetable Science. 38(2): Petr FC, Frey KJ Genotype correlation, dominance, and heritability of quantitative characters in oat. Crop Sci. 6: Poehlman JM, Sleper DA Breeding Field Crops (Ed 4). Iowa (US): Iowa State University Press. Poulos JM Capsicum L. Plant resources of south-east Asia 8: Pradeep T, Sumalini K Transgressive segregation for yield and yield component in some inter and intra specific crosses of desi cotton. Madras Agric J. 90(1-3): Ritonga AW Penyerbukan silang alami beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum l.) dan penentuan metode pemuliaannya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riyanto A, Sujiprihati S, Hendrastuti HS Pendugaan daya abung dan heterosis karakter hortikultura cabai (Capsicum annuum L.). Agrin 12(2): Rubatzky VE, Yamaguchi M Sayuran Dunia 3: Prinsip Produksi, dan Gizi. Bandung (ID): Penerbit ITB. Santos RMC, do Rêgo ER, Borém A, Nascimento MF, Nascimento NFF, Finger FL, Rêgo MM Epistasis and inheritance of plant habit and fruit quality traits in ornamental pepper (Capsicum annuum L.). Genetics and Molecular Research. 13(4): Saputra HE, Syukur M, Aisyah SI. Pendugaan daya gabung dan heritabilitas komponen hasil tomat pada persilangan dialel penuh. J Agron Indonesia 42(3): Sharma SN, Sharma RK Genetic architecture of harvest index in tetraploid wheat (T. durum Desf.). Indian Journal of Genetics and Plant Breeding. 55(3): Sharma VK, CS Semwal, SP Uniyal Genetic variability, heritability and genetic advance in chilli, Capsicum annuum L. International Journal of Farm Sciences. 4(4):

61 Singh P, Cheema DS, Dhaliwal MS, Garg N Heterosis and combining ability for earliness, plant growth, yield and fruit attributes in hot pepper (Capsicum annuum L.) involving genetic and cytoplasmic-genetic male sterile lines. Scientia Horticulturae. 168: Sleper DA, Poehlman JM Breeding Field Crop. Ed ke 8. Iowa (US): Blackwell Publishing. Sofiari E, Kirana R Analisis pola segregasi dan distribusi beberapa karakter cabai. J Hort. 19(3): Somashakar, Patil SA, Salimath PM Identification of superior genotypes in segregating (F2 and F3) population in chilli (Capsicum annuum L.). Karnataka J Agric Sci. 19(3): Sreelathakumary I, Rajamony L Variability, heritability and genetic advance in chilli (Capsicum annuum L.). Journal of Tropical Agriculture. 42: Steel RGD, Torrie JH Principles and Procedurs of Statistics. A biometrical approach. 2 nd Ed. London (GB): McGraw-Hill. Sujiprihati S, Saleh GB, Ali ES Heritability, performance and correlation studies on single cross hybrids of tropical maize. Asian Journal of Plant Sciences 2(1): Sumarno N, Zuraida Hubungan korelatif dan kausatif antara komponen hasil dengan hasil kedelai. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. 25(1): Sutjahjo SH, Rustikawati AW, Sandhi SG Kajian genetik dan seleksi genotipe S5 kacang hijau (Vigna radiata) menuju kultivar berdaya hasil tinggi dan serempak panen. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian. 11(1): Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Undang Diallel analysis using Hayman Method to study genetik parameters of yield components in pepper (Capsicum annuum L.). Hayati J Biosci. 17: Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Kusumah DA Pendugaan ragam genetik dan heritabilitas karakter komponen hasil beberapa genotipe cabai. Jurnal Agrivigor. 10(2): Syukur M, Rosidah S Estimation of genetic parameter for quantitative characters of pepper (Capsicum annuum L.). Journal of Tropical Crop Science. 1(1):1-7. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R Teknik Pemuliaan Tanaman. Edisi Revisi. Bogor (ID): Penebar Swadaya. Yunianti R, Sujiprihati S Pewarisan Ekstrakromosonal. Dalam Syukur M, Sastrosumarjo S. Sitogenetika Tanaman. Edisi kedua. Bogor (ID): IPB Press. 49

62 50 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru, 14 Mei Penulis merupakan anak terakhir dari empat bersaudara pasangan Bapak Asrab dan Ibu Nursiam. Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 11 Pekanbaru dan diterima di Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan lulus pada tahun Tahun 2013 penulis melanjutkan studi pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama program S2, penulis aktif dalam Forum Organisasi Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) Departemen Agronomi dan Hortikultura sebagai Anggota Divisi Budaya, Olahraga, dan Seni periode 2014/2015. Penulis juga dipercaya menjadi asisten praktikum mata kuliah Genetika untuk Pemuliaan Tanaman pada tahun ajaran 2015/2016 dan Pengantar Pemuliaan Tanaman tahun ajaran 2015/2016. Akhir tahun 2015 penulis terlibat aktif sebagai panitia penyelenggara konferensi dan seminar internasional SABRAO 2015 (Society for Advancement of Breeding Research in Asia and Oceania). Penulis memperoleh kesempatan dalam beberapa kegiatan sebagai peserta poster dalam Konferensi dan Seminar Internasonal SABRAO 2015 di Indonesia, serta pemakalah oral dalam Seminar Nasional PERIPI Komda Riau 2016 di Pekanbaru-Riau.

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies cabai yang telah dikenal, diantaranya C. baccatum, C. pubescent,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Solanes, famili Solanaceae, dan genus Capsicum. Tanaman ini berasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PENDAHULUAN Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk kedalam genus Capsicum, termasuk diantaranya

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL Estimation of genetic parameters chilli (Capsicum annuum L.) seeds vigor with half diallel cross

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Divisi Sub-divisi Class Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto KERAGAMAN GENETIK DAN HERITABILITAS KARAKTER KOMPONEN HASIL PADA POPULASI F2 BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS INTRODUKSI DENGAN VARIETAS LOKAL GENETIC VARIABILITY AND HERITABILITY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 5 Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 1. Tanaman menyerbuk sendiri 2. Dasar genetik Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Lebih terperinci

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai Abdullah Bin Arif 1 *, Sriani Sujiprihati 2, dan Muhamad Syukur 2 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl.

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Fitri Yanti 11082201730 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing NIP NIP Mengetahui : Ketua Program Studi Agroekoteknologi

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing NIP NIP Mengetahui : Ketua Program Studi Agroekoteknologi Judul : Seleksi Individu M3 Berdasarkan Karakter Umur Genjah dan Produksi Tinggi Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) Nama : Yoke Blandina Larasati Sihombing NIM : 100301045 Program Studi : Agroekoteknologi

Lebih terperinci

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI Metode Pemuliaan Introduksi Seleksi Hibridisasi penanganan generasi bersegregasi dengan Metode silsilah (pedigree) Metode curah (bulk) Metode silang balik (back

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Seleksi Perbaikan hasil dan kualitas hasil melalui pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara seleksi, baik seleksi langsung terhadap karakter yang bersangkutan maupun seleksi

Lebih terperinci

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.) Abdullah B. Arif 1*, Linda Oktaviana 2, Sriani Sujiprihati 3, dan Muhamad

Lebih terperinci

KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH:

KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH: KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH: AMALUDDIN SYAHPUTRA 130301037 AGROEKOTEKNOLOGI / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.)

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) HERITABILITY AND GENETIC GAINS OF F2 POPULATION IN CHILLI (Capsicum annuum L.) Zuri Widyawati *), Izmi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan.

I. PENDAHULUAN. berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pertambahan penduduk dan berkembangnya industri pengolahan makanan yang berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan. Kebutuhan kacang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia kedelai

Lebih terperinci

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A34403052 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A34403052 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI Oleh Wahyu Kaharjanti A34404014 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 EVALUASI

Lebih terperinci

Jurnal Pertanian Kepulauan, Vol.3. No.2, Oktober 2004 : ( ) 115

Jurnal Pertanian Kepulauan, Vol.3. No.2, Oktober 2004 : ( ) 115 Jurnal Pertanian Kepulauan, Vol.3. No., Oktober 004 : (115-14) 115 KERAGAAN, KERAGAMAN GENETIK DAN HERITABILITAS SEBELAS SIFAT KUANTITATIF KEDELAI (Glycine max L. Merrill) PADA GENERASI SELEKSI F5 PERSILANGAN

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI BREEDING OF BLACK RICE VARIETY FOR DROUGHT TOLERANCE AND HIGH YIELD I Gusti Putu Muliarta Aryana 1),

Lebih terperinci

FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU

FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU Kepada Yth.: Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Gd. E, Lt. 3 Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai termasuk tanaman dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman.

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman berkaitan erat dengan proses seleksi. Seleksi hanya dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai Cabai merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan. Cabai dikenal di Eropa pada abad ke-16, setelah diintroduksi oleh Colombus saat perjalanan pulang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

KERAGAAN GENERASI SELFING-1 TANAMAN JAGUNG (Zea mays) VARIETAS NK33

KERAGAAN GENERASI SELFING-1 TANAMAN JAGUNG (Zea mays) VARIETAS NK33 KERAGAAN GENERASI SELFING-1 TANAMAN JAGUNG (Zea mays) VARIETAS NK33 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agroteknologi oleh ERICK

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 2 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.3, Juni (606) :

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.3, Juni (606) : Keragaan Fenotipe Berdasarkan Karakter Agronomi Pada Generasi F 2 Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. Merril.) The Phenotypic Diversity Based on Agronomic Character of Soybean Varieties in the F

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi penelitian terletak di Kebun Percobaan Leuwikopo. Lahan yang digunakan merupakan lahan yang biasa untuk penanaman cabai, sehingga sebelum dilakukan penanaman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar

I. PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar dan banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanaman ini dapat dikonsumsi segar sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis adalah tanaman herba monokotil dan tanaman semusim iklim panas. Tanaman ini berumah satu dengan bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer dan Palmer, 1990). Tinggi tanaman jagung berkisar

Lebih terperinci

PEWARISAN KARAKTER KUANTITATIF HASIL PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING MUHAMMAD RIDHA ALFARABI ISTIQLAL

PEWARISAN KARAKTER KUANTITATIF HASIL PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING MUHAMMAD RIDHA ALFARABI ISTIQLAL PEWARISAN KARAKTER KUANTITATIF HASIL PERSILANGAN CABAI BESAR DAN KERITING MUHAMMAD RIDHA ALFARABI ISTIQLAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 ii iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Seleksi dan Kemajuan Seleksi Karakter Komponen Hasil pada Persilangan Cabai Keriting dan Cabai Besar

Seleksi dan Kemajuan Seleksi Karakter Komponen Hasil pada Persilangan Cabai Keriting dan Cabai Besar ISSN 085-916 e-issn 337-365 Tersedia daring http://jai.ipb.ac.id Yunandra et al. / J. Agron. Indonesia 45():169-174 J. Agron. Indonesia,, 45():169-174 DOI: https://dx.doi.org/10.4831/jai.v45i.131 Seleksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Efisiensi Keberhasilan Hibridisasi Buatan Keberhasilan suatu hibridisasi buatan dapat dilihat satu minggu setelah dilakukan penyerbukan. Pada hibridisasi buatan kacang tanah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Sejarah Singkat Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci

DESKRIPSI VARIETAS BARU

DESKRIPSI VARIETAS BARU PERMOHONAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DESKRIPSI VARIETAS BARU Kepada Yth.: Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Kantor Pusat Deprtemen Pertanian, Gd. E, Lt. 3 Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan,

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas dan Korelasi untuk Menentukan Kriteria Seleksi Cabai (Capsicum annuum L.) Populasi F5

Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas dan Korelasi untuk Menentukan Kriteria Seleksi Cabai (Capsicum annuum L.) Populasi F5 Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas dan Korelasi untuk Menentukan Kriteria Seleksi Cabai (Capsicum annuum L.) Populasi F5 The Estimation of Varian Component, Heritability, and Correlation to Determine

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penanaman di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga Bogor. Kebun percobaan memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata sama dengan

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : HENDRI SIAHAAN / 060307013 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ilmiah Tanaman Kedelai Klasifikasi ilmiah tanaman kedelai sebagai berikut: Divisi Subdivisi Kelas Suku Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Magnoliophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

SELEKSI DAYA HASIL CABAI (Capsicum annuum L.) POPULASI F2 HASIL PERSILANGAN IPB C110 DENGAN IPB C5 HENDI FERDIANSYAH A

SELEKSI DAYA HASIL CABAI (Capsicum annuum L.) POPULASI F2 HASIL PERSILANGAN IPB C110 DENGAN IPB C5 HENDI FERDIANSYAH A SELEKSI DAYA HASIL CABAI (Capsicum annuum L.) POPULASI F2 HASIL PERSILANGAN IPB C110 DENGAN IPB C5 HENDI FERDIANSYAH A24061762 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai dengan Juli 2009 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pepaya merupakan salah satu komoditi buah penting dalam perekonomian Indonesia. Produksi buah pepaya nasional pada tahun 2006 mencapai 9.76% dari total produksi buah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada penelitian F 5 hasil persilangan Wilis x B 3570 ini ditanam 15 genotipe terpilih dari generasi sebelumnya, tetua Wilis, dan tetua B 3570. Pada umumnya

Lebih terperinci

THE PERFORMANCES FROM FIRST GENERATION LINES OF SELECTED CHILI PEPPER (Capsicum frutescens L.) LOCAL VARIETY

THE PERFORMANCES FROM FIRST GENERATION LINES OF SELECTED CHILI PEPPER (Capsicum frutescens L.) LOCAL VARIETY PENAMPILAN GALUR GENERASI PERTAMA HASIL SELEKSI DARI CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) VARIETAS LOKAL THE PERFORMANCES FROM FIRST GENERATION LINES OF SELECTED CHILI PEPPER (Capsicum frutescens L.) LOCAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan lingkungan hidup yang indah dan nyaman. Cabai (Capsicum sp.) disamping

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM

VII. PEMBAHASAN UMUM VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai mengandung sekitar 40% protein, 20% lemak, 35% karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan Kebun Percobaan BPTP Natar,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan Kebun Percobaan BPTP Natar, 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan Kebun Percobaan BPTP Natar, Lampung Selatan mulai Maret 2013 sampai dengan Maret 2014. 3.2 Bahan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan komoditas ini dari tahun ke tahun mengalami lonjakan

Lebih terperinci