PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF"

Transkripsi

1 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Tiga Kelompok Cabai (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2010 Abdullah Bin Arif NIM A

3 3 ABSTRACT ABDULLAH BIN ARIF. Estimation of Genetic Parameter on Several Qualitative and Quantitative Characters of Three Groups of Chili (Capsicum annuum L.). Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR. Selection method is one of the most important factors in determining the success of chili breeding program. Selection method will be effective if it is supported by a complete knowledge of genetic character inheritance. The objective of this study is to obtain information about inheritance pattern of qualitative and quantitative characters of chili. The research was carried out in stepwise way : step1 AND step 2 i.e development genetic materials; and field evaluation to study of qualitative and quantitative characters inheritance. The result showed that all qualitative characters are controlled by one gene. Several qualitative characters are influenced by completely-dominant gene action while other characters are influenced by partially-dominant gene action. There are no significant differences between F1 and F1 reciprocal for all quantitative characters, except productivity per plant. The m[d][h] genetic model is the most suitable for dicotomous height and fruit wall thickness. The m[d][h][i][j] genetic model is suitable for fruit weight of (IPB C9 x IPB C10) hybrid. The m[d][h][i][l] genetic model is suitable for days to harvest and fruit diameter of (IPB C-9 x IPB C-10) hybrid; and fruit weight of (IPB C105 x IPB C5) hybrid. The m[d][h][j][l] genetic model is suitable for days to harvest of (IPB C105 x IPB C5) hybrid. The gene action of productivity and days to flowering are complementer epistasis. Broad-sense and narrow-sense heritabilities range from low to high. Key words: inheritance, qualitative characters, quantitative characters, Capsicum annuum L.

4 4 RINGKASAN ABDULLAH BIN ARIF. Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Tiga Kelompok Cabai (Capsicum annuum L.). Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas hortikultura unggulan nasional dan memiliki keragaman genetik yang tinggi. Luasnya daerah tumbuh yang tersebar menjadi salah satu indikasi tingginya keragaman genetik tanaman cabai. Sayuran buah ini mempunyai prospek ekonomi yang menguntungkan, digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, industri makanan, minuman, dan farmasi yang meningkat pesat di Indonesia. Berdasarkan data statistik diperoleh total pertanaman sayuran di Indonesia sebesar ha dan 19.42% dari total areal pertanaman sayuran tersebut ditanami oleh komoditas cabai. Produktivitas cabai merah di Indonesia rata-rata 6.3 ton/ha. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produkivitas cabai di Indonesia diantaranya adalah belum banyak digunakannya varietas berdaya hasil tinggi dan serangan hama penyakit. Upaya perbaikan sifat tanaman, baik sifat kualitatif maupun kuantitatif, memerlukan beberapa tahapan pemuliaan antara lain: perluasan keragaman genetik, analisis pewarisan sifat, seleksi, pengujian dan pelepasan varietas. Analisis pewarisan sifat (karakter) kualitatif dan kuantitatif sangat penting dalam program pemuliaan tanaman. Analisis pewarisan sifat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah gen yang mengendalikan sifat tersebut, aksi gen yang mengendalikan, serta informasi-informasi genetik lainnya. Informasi genetik tersebut sangat berguna dalam tahapan seleksi, sehingga seleksi dapat lebih efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pola pewarisan sifat kualitatif dan kuantitatif pada tanaman cabai. Tahapan pembentukan materi genetik bertujuan untuk membentuk rekombinasi baru dan tanaman silang balik (back cross) yang digunakan untuk bahan tanaman studi pewarisan pada persilangan cabai besar dengan cabai rawit dan persilangan cabai keriting dengan cabai besar. Percobaan studi pewarisan sifat kualitatif dan kuantitatif di lapangan bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: (1) pengaruh tetua betina (maternal effect) terhadap karakter-karakter yang diamati, (2) jumlah gen yang mengendalikan terhadap masing-masing karakter yang diamati, (3) model interaksi gen, (4) nilai ragam genetik, ragam aditif, ragam lingkungan dan ragam fenotipik, dan (5) nilai heritabilitas. Penelitian ini dilakukan di KP Leuwikopo IPB dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman IPB. Penelitian ini terdiri dari dua penelitian yang berbeda genotipe persilangan yaitu (1) Studi pewarisan antara persilangan cabai besar dengan cabai rawit, (2) Studi pewarisan antara persilangan cabai keriting dengan cabai besar. Masing-masing penelitian terdapat dua tahapan yaitu (1) Pembentukan materi genetik, (2) Studi pewarisan sifat kualitatif dan kuantitatif di lapangan. Bahan tanaman yang digunakan adalah tiga kelompok tetua cabai (Capsicum annuum L.) yaitu cabai besar (IPB C9 & IPB C5), cabai keriting (IPB C105) dan cabai rawit (IPB C10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua karakter kualitatif dikendalikan oleh satu gen. Ada beberapa karakter kualitatif yang dipengaruhi

5 oleh aksi gen dominan penuh dan yang lainnya dipengaruhi oleh aksi gen dominan tidak penuh (sebagian). Tidak terdapat perbedaan antara F1 dan F1R untuk semua karakter kuantitatif kecuali karakter produktivitas per tanaman. Model genetik m[d][h] sesuai untuk karakter tinggi dikotomous dan tebal daging buah. Model genetik m[d][h][i][j] sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10. Model genetik m[d][h][i][l] sesuai untuk karakter umur panen dan diameter buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan bobot per buah pada persilangan IPB C105 x IPB C5. Model genetik m[d][h][j][l] sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5. Karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman dikendalikan oleh aksi gen epistasis komplementer. Heritabilitas dalam arti luas dan dalam arti sempit berada pada kisaran rendah sampai tinggi. Kata kunci: Capsicum annuum L., aksi gen, model genetik, karakter kualitatif dan kuantitatif. 5

6 6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau peninjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 7 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA TIGA KELOMPOK CABAI (Capsicum annuum L.) ABDULLAH BIN ARIF Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

8 Judul Tesis : Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Tiga Kelompok Cabai (Capsicum annuum L.) 8 Nama NIM : Abdullah Bin Arif : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. Ketua Dr. Muhamad Syukur, SP. MSi. Anggota Diketahui Koordinator Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 1 April 2010 Tanggal Lulus :

9 9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Tiga Kelompok Cabai (Capsicum annuum L.). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Allah SWT atas karunia dan limpahan rahmat yang telah diberikan kepada hamba sehingga dapat menyelesaikan tesis ini 2. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS dan Dr. Muhamad Syukur SP. MSi selaku dosen pembimbing untuk semua ilmu, bimbingan, arahan, saran dan masukan yang sangat berarti sejak penyusunan sampai selesainya tesis ini 3. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. Kusumo MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, arahan dan saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik 4. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas MSc selaku Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi tanaman yang telah memberikan masukan, arahan dan saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik 5. Dr. Rahmi Yunianti, SP. MSi yang telah memberikan masukan, arahan dan saran selama penelitian 6. Seluruh staf pengajar Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas ilmu yang telah diberikan 7. Orang tua yang tercinta (Bapak Arifin dan Ibu Kamarya) atas doa yang tidak pernah putus, harapan, motivasi, kepercayaan, jerih payah, dukungan moril dan materiil serta limpahan kasih sayang yang tiada pernah henti 8. Saudara-saudara penulis (Diana, Teddy, Ina, Mitha dan Deby) yang tiada henti mendukung kemajuan penulis 9. Linda Oktaviana yang selalu setia menemani penulis 10. DIKTI atas beasiswa yang telah diberikan melalui program beasiswa unggulan 11. Maksum, Amin, Mba Nofi, Bang Anton, Resqi, Astri, Santi, Mba Cici, Mba Mawi, Joko, Mitha, Ady, Hakim, Tiara, Ita, Nehemia dan Pak Darwa atas bantuannya 12. Teman-teman S2 di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas doa dan bantuannya 13. Semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis harapkan saran. Semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, April 2010 Abdullah Bin Arif

10 10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangkalan, Madura tanggal 24 Januari 1986 dari Bapak Moh Arifin dan ibu Kamarya. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan, penulis mendapat beasiswa dari DIKTI melalui program beasiswa unggulan. Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Metode Statistika, dan Perancangan Percobaan, serta asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman.

11 11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Botani dan Morfologi... 4 Syarat Tumbuh Cabai... 7 Pemuliaan Tanaman Cabai... 8 Karakter Kualitatif dan Kuantitatif... 9 Heritabilitas Pewarisan Ekstrakromosomal Derajat Dominansi dan Jumlah Gen Pengendali Aksi Gen BAHAN DAN METODE Tahapan Pembentukan Materi Genetik Studi Pewarisan Sifat Kualitatif dan Kuantitatif di Lapangan Pengamatan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Daun Warna Batang Muda Posisi Bunga Warna Buah Muda Tekstur Permukaan Buah Tinggi Dikotomous Umur Berbunga Umur Panen Bobot per Buah Diameter Buah Panjang Buah Tebal Daging Buah Bobot Buah Total per Tanaman Pembahasan Umum KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran... 77

12 12 Halaman DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 82

13 13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Nisbah Sebaran Populasi F2 pada Karakter Resistensi Tanaman Terhadap Penyakit Bentuk Daun pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C105 x IPB C Nilai X 2 hitung Bentuk Daun pada Populasi (F1 x IPB C105) dan F2 IPB C105 x IPB C Warna Batang Muda pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C Nilai X 2 hitung Warna Batang Muda pada Populasi F1 x IPB C9 dan F2 IPB C9 x IPB C Posisi Bunga pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C Nilai X 2 hitung Posisi Bunga pada Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C Posisi Bunga pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C Nilai X 2 hitung Posisi Bunga pada Populasi F2 IPB C5 x IPB C Warna Buah Muda pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C Nilai X 2 hitung Warna Buah Muda pada Populasi F2 IPB C5 x IPB C Tekstur Permukaan Buah pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C105 x IPB C Nilai X 2 hitung Tekstur Permukaan Buah pada Populasi F1 x IPB C105 dan F2 IPB C105 x IPB C Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Tinggi Dikotomous Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Tinggi Dikotomous Nilai Parameter Genetik dan t-hitung pada Karakter Tinggi Dikotomous Persilangan IPB C105 x IPB C Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Tinggi Dikotomous Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Umur Berbunga Nilai Potensi Rasio Karakter Umur Berbunga pada Dua Persilangan Nilai Skewness dan Kurtosis pada Populasi F2 Karakter Umur Berbunga.. 43

14 14 Halaman 21. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Umur Berbunga Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Umur Panen Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Umur Panen Uji Skala Individu pada Karakter Umur Panen Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Umur Panen Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Umur Panen Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Bobot per Buah Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Bobot per Buah Uji Skala Individu pada Karakter Bobot per Buah Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Bobot per Buah Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Bobot per Buah Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Diameter Buah Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Diameter Buah Uji Skala Individu pada Karakter Diameter Buah Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Diameter Buah Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Diameter Buah Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Panjang Buah Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Panjang Buah Uji Skala Individu pada Karakter Panjang Buah Nilai Skewness dan Kurtosis pada Karakter Panjang Buah Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Panjang Buah Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Tebal Daging Buah Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Tebal Daging Buah Nilai Parameter Genetik dan t-hitung pada Karakter Tebal Daging Buah Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Tebal Daging Buah Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Bobot Buah Total per Tanaman... 68

15 15 Halaman 47. Nilai Tengah dan Simpangan Baku Karakter Bobot Buah Total per Tanaman pada Beberapa Populasi Nilai Skewness dan Kurtosis pada Karakter Bobot Buah Total per Tanaman Nilai Heritabilitas Karakter Bobot Buah Total per Tanaman pada Tiga Persilangan... 70

16 16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Persilangan Cabai Besar dengan Cabai Rawit atau Cabai Keriting Bentuk Daun Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Bentuk Daun Warna Batang Muda Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Warna Batang Muda Posisi Bunga Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Posisi Bunga Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Posisi Bunga Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C Warna buah muda Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Warna Buah Muda Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C Bagan Persilangan dan Model Genetik untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Tekstur Permukaan Buah Sebaran Populasi F2 IPB C105 x IPB C5 Karakter Tinggi Dikotomous Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Tinggi Dikotomous Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Umur Berbunga Sebaran Populasi F2 Karakter Umur Berbunga Sebaran Populasi F2 Karakter Umur Panen Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Umur Panen Sebaran Populasi F2 Karakter Bobot per Buah Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Bobot per Buah Sebaran Populasi F2 IPB C9 x IPB C10 Karakter Diameter Buah Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Diameter Buah Sebaran Populasi F2 Karakter Panjang Buah... 60

17 17 Halaman 23. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Panjang Buah Sebaran Populasi F2 IPB C9 x IPB C10 Karakter Tebal Daging Buah Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Tebal Daging Buah Sebaran Populasi F2 Karakter Bobot Buah Total per Tanaman... 69

18 18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tetua - tetua Cabai... 83

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Capsicum annuum L. secara ekonomi merupakan spesies yang paling berpotensi karena paling luas dibudidayakan sehingga banyak menghasilkan kultivar-kultivar baru yang mempunyai keunggulan tertentu (Djarwaningsih 2005). Sayuran buah ini mempunyai prospek ekonomi yang menguntungkan, digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, industri makanan, dan farmasi yang meningkat pesat di Indonesia. Manfaat utama cabai bagi konsumen adalah sebagai bahan penyedap atau bumbu masakan. Selain dapat dikonsumsi dalam bentuk segar, cabai sangat dibutuhkan sebagai bahan baku bagi beberapa industri seperti sambal, saus, variasi bumbu, oleoresin, pewarna dan lain-lain (Duriat 1996), juga digunakan untuk pembuatan obat-obatan (analgesik) (Hilmayanti et al. 2006). Selain mengandung zat yang rasanya pedas (capcaisin), cabai juga mengandung provitamin A dan Vitamin C (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas hortikultura unggulan nasional dan memiliki keragaman genetik yang tinggi. Luasnya daerah tumbuh yang tersebar menjadi salah satu indikasi tingginya keragaman genetik tanaman cabai. Berdasarkan data statistik diperoleh total pertanaman sayuran di Indonesia sebesar ha dan 19.42% dari total areal pertanaman sayuran tersebut ditanami oleh komoditas cabai (Direktorat Jenderal Hortikultura 2009). Pada tahun 2007 terjadi penambahan areal pertanaman cabai dari ha menjadi ha. Namun luasnya areal pertanaman belum diikuti dengan tingginya produktivitas. Produktivitas cabai merah di Indonesia rata-rata 6.3 ton/ha (Direkorat Jenderal Hortikultura 2009). Potensi hasil cabai merah dapat mencapai ton/ha (Duriat 1996), sedangkan potensi hasil yang dapat dicapai adalah ton/ha untuk cabai hibrida (Prajnanta 2007). Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia diantaranya adalah belum banyak digunakannya varietas berdaya hasil tinggi, kurang tersedianya benih berkualitas, kurangnya penerapan teknologi budidaya yang sesuai, penanganan pasca panen dan adanya serangan hama penyakit.

20 2 Keragaman genetik yang luas pada cabai, merupakan modal dasar bagi program pemuliaan tanaman. Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman pada suatu populasi tanaman memiliki arti penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Demikian juga Poehlman (1979) menyatakan bahwa pemulia tidak akan dapat melakukan perbaikan karakter tanaman jika tidak ada keragaman genetik. Keragaman genetik dapat diperoleh melalui berbagai macam cara antara lain introduksi, mutasi, hibridisasi dan ploidisasi. Hilmayanti et al. (2006) menyatakan pada umumnya pemuliaan cabai dilakukan melalui hibridisasi yang diikuti dengan seleksi. Produktivitas dan kualitas cabai yang masih rendah, mendorong pemulia untuk melakukan perbaikan karakter-karakter cabai. Upaya perbaikan karakterkarakter pada cabai, baik karakter kualitatif maupun kuantitatif memerlukan beberapa tahapan pemuliaan antara lain: perluasan keragaman genetik, analisis pewarisan karakter, seleksi, pengujian dan pelepasan varietas. Analisis pewarisan karakter kualitatif dan kuantitaif sangat penting dalam program pemuliaan tanaman. Analisis pewarisan karakter digunakan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah gen yang mengendalikan karakter tersebut, aksi gen yang mengendalikan, serta informasi-informasi genetik lainnya. Informasi genetik tersebut sangat berguna dalam tahapan seleksi, sehingga seleksi dapat lebih efektif dan efisien (Allard 1960). Falconer (1988) mengemukakan bahwa dalam mempelajari pewarisan karakter, pendugaan besarnya ragam aditif, ragam dominan, serta heritabilitas merupakan hal penting. Ragam aditif merupakan kontribusi utama kemiripan di antara falmili, sehingga merupakan faktor penentu utama dalam penurunan karakter. Ragam dominan merupakan hasil interaksi dalam suatu alel dari beberapa gen pada lokus yang bersegregasi. Poelhman (1979) menyatakan bahwa pendugaan heritabilitas mengantarkan pada suatu kesimpulan apakah pewarisan karakter tersebut diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana karakter tersebut dapat diturunkan pada generasi selanjutnya. Seleksi pada cabai akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika karakter yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh variasi

21 3 genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan genetik. Seleksi terhadap karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan untuk karakter yang menunjukkan nilai heritabilitas rendah, seleksi dapat dilakukan pada generasi akhir (Zen 1995). Informasi-informasi tersebut dapat membantu pemulia dalam mempercepat perakitan varietas unggul. Tujuan Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pola pewarisan beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada tanaman cabai. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada pewarisan ekstrakromosomal untuk semua karakter yang diamati. 2. Karakter kualitatif dan kuantitatif pada tanaman cabai dikendalikan oleh pengaruh aditif-dominan. 3. Karakter kuantitatif pada tanaman cabai memiliki nilai heritabilitas yang tinggi.

22 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai termasuk tanaman dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum annuum L. Terdapat lima spesies cabai yang telah dibudidayakan yaitu Capsicum annuum (cabai besar), Capsicum frutescens (cabai rawit), Capsicum chinense, Capsicum baccatum, dan Capsicum pubescens (cabai gendot). C. annuum, C. chinense dan C. frutescens mempunyai sifat yang mirip. Terdapat sembilan varietas dalam Capsicum annuum yaitu Capsicum annuum var. abreviatum, Capsicum annuum var. acuminatum, Capsicum annuum var. cerasiforme, Capsicum annuum var. conoides, Capsicum annuum var. fasciculatum, Capsicum annuum var. grossum, Capsicum annuum var. annuum, Capsicum annuum var. glabriusculum dan Capsicum annuum var. longum (Irish 1898 dalam: Djarwaningsih 2005). Sembilan varietas tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuk, ukuran, posisi buah (tegak atau menggantung), warna dan rasanya. Capsicum annuum L. berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi cm, biasanya hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya menggantung, mahkota bunga berwarna putih atau ungu, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan; bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, seperti lonceng atau berbentuk bulat; warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan; posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat. C. annuum var. glabriusculum diduga merupakan nenek moyang liar dari tanaman budidaya C. annuum var. annuum dan di antara keduanya dapat terjadi persilangan secara bebas dan mudah. Varietas glabriusculum ini mempunyai ciri-ciri buah dengan rasa sangat pedas, garis tengah kurang dari 13 mm, posisi buah tegak dan mudah luruh yang berlawanan dengan ciri-ciri budidayanya (Djarwaningsih 2005). Capsicum baccatum L. berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di

23 5 bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung; mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas; bentuk buah bulat memanjang; warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah; posisi buah tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat. Capsicum baccatum var. baccatum mempunyai ciri-ciri: mahkota bunga berwarna putih dengan bercak kuning pada tabung mahkotanya, kepala sari berwarna kuning, buahnya berwarna merah dengan posisi tegak dan mudah luruh bila sudah masak. C. baccatum var. baccatum tersebut diduga merupakan nenek moyang liar dari C. baccatum var. pendulum karena keduanya dapat menghasilkan hibrid fertil (Djarwaningsih 2005). Capsicum frutescens L. berupa terna atau setengah perdu, tinggi cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahun. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas, kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut. Warna buah setelah masak adalah merah, posisi buah tegak. Biji berwarna kuning pucat (Djarwaningsih 2005). Capsicum pubescens, berupa perdu, tinggi cm, biasanya hanya semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas; buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau coklat; posisi buah menggantung, biji berwarna hitam (Djarwaningsih 2005). Nenek moyang liarnya masih belum diketahui, tetapi jenis ini menunjukkan kekerabatan yang erat dengan jenis-jenis liar dari Amerika Selatan yaitu C. eximium, C. cardenasii dan C. tovari, dan salah satu di antaranya diduga merupakan nenek moyang liarnya (Heiser 1986). Di Indonesia baru diketahui

24 6 ditanam di Jawa (Ciwidey, Sindanglaya, Cibodas dan dataran tinggi Dieng) (Djarwaningsih 1986). Capsicum chinense, berupa terna atau setengah perdu, tinggi cm. Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas; mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng atau kerucut. Biji berwarna kuning pucat (Djarwaningsih 2005). Jenis ini tersebar hampir meluas di Amerika Selatan bagian utara dan India Barat serta dibudidayakan sangat umum di daerah Amazone. Buahnya bervariasi dalam ukuran dan warna serta mempunyai rasa yang sangat pedas. Sejauh ini nenek moyang liarnya belum ditemukan, tetapi diduga berasal dari tipe liar C. frutescens. Hal ini dimungkinkan karena C. chinense berkerabat dekat dengan C. frutescens (Heiser 1986). Cabai termasuk tanaman dikotil yang berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe percabanganya tegak atau menyebar dengan karakter yang berbedabeda tergantung spesiesnya. Untuk membedakan ketiganya dapat mengamati komposisi bunga dan buah dari masing-masing spesies (Kusandriani 1996). Diantara kultivar-kultivar cabai terdapat perbedaan kepala putik terhadap kotak sari yang disebut heterostyly. Tanaman cabai merupakan tanaman tropika yang memiliki sifat menyerbuk sendiri dengan variasi penyerbukan silang yang tinggi tergantung genotipe dan lingkungan (Dascalov 1998). Persilangan (crossing) sering terjadi pada bunga yang memiliki tangkai putik (stilus) yang panjang dan kepala putik (stigma) lebih tinggi dari pada kotak sari. Penyerbukan sendiri terjadi pada bunga yang memiliki tangkai sari yang pendek, sehingga letak kepala putik lebih rendah dari pada kepala sari (Kusandriani dan Permadi 1996). Capsicum annuum L. merupakan spesies yang paling banyak dibudidayakan dan bernilai secara ekonomis. Spesies ini secara umum memiliki ciri-ciri morfologi dengan struktur perakaran yang diawali dari akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang ke samping dengan akar-akar rambut (Kusandriani 1996). Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan bahwa akar tunggang yang kuat pada cabai dapat menghujam ke dalam hingga mencapai

25 7 kedalaman satu meter bahkan lebih. Spesies ini diperkirakan mempunyai pusat asal di Meksiko, kemudian menyebar ke daerah Amerika Selatan dan Tengah, ke Eropa dan sekarang telah tersebar luas di daerah tropik dan subtropik. Tanaman cabai memiliki tangkai daun yang panjang, daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau sampai hijau tua dengan tepinya rata. Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama daun tersebut tersusun secara spiral. Daun berbulu lebat atau jarang, tergantung pada spesiesnya (Kusandriani 1996). Bunga tanaman cabai umumnya bersifat tunggal dan tumbuh pada ujung ruas, serta merupakan bunga sempurna (hermafrodit). Bunga jantan dan betina terdapat pada satu bunga. Mahkota bunga berwarna putih atau ungu tergantung kultivarnya, helaian mahkota bunga berjumlah lima atau enam helai. Pada dasar bunga terdapat daun buah berjumlah lima helai kadang-kadang bergerigi. Setiap bunga mempunyai satu putik, kepala putik berbentuk bulat. Benang sari berjumlah lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala sari berbentuk lonjong. Ukuran buah cabai beragam dari pendek sampai panjang, sedangkan ujungnya runcing atau tumpul. Bentuk buah umumnya memanjang. Kedudukan buah adalah buah tunggal pada masing-masing ruas (ketiak daun) atau kadangkadang fasciculate (bergerombol). Permukaan kulit dan warna buah bervariasi dari halus sampai bergelombang, warna mengkilat sampai kusam, hijau, kuning, coklat atau kadang-kadang ungu pada waktu muda dan menjadi merah ketika matang (Kusandriani 1996). Syarat Tumbuh Cabai Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi hingga mencapai ketinggian m dpl, namun pertumbuhan cabai akan lebih cepat pada dataran rendah (Sutarya dan Grubben 1995). Sumarni (1996) menyatakan tanaman cabai dapat dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian tempat hingga m dpl. Cabai tumbuh optimal di tanah regosol dan andosol. Kadar keasaman (ph) tanah yang cocok untuk penanaman cabai secara intensif adalah 6-7. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai ph lebih dari tujuh maka tanaman cabai akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan gejala

26 8 klorosis atau daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Pada tanah yang mempunyai ph yang kurang dari lima tanaman cabai juga akan menjadi kerdil karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) atau keracunan Aluminium (Al). Ketinggian tempat berpengaruh pada jenis hama dan penyakit yang menyerang cabai. Di dataran tinggi, penyakit yang menyerang biasanya disebabkan oleh cendawan. Di lahan dataran rendah biasanya penyakit yang menyerang disebabkan oleh bakteri. Curah hujan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan produksi buah cabai. Curah hujan yang ideal untuk bertanam cabai adalah mm/tahun. Curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman kekeringan dan membutuhkan air untuk penyiraman. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi bisa merusak tanaman cabai serta membuat lahan penanaman dengan kelembaban yang tinggi. Kelembaban yang cocok bagi tanaman cabai berkisar antara 70-80%, terutama saat pembentukan bunga dan buah. Kelembaban yang melebihi 80% memacu pertumbuhan cendawan yang berpotensi menyerang dan merusak tanaman. Sebaliknya, iklim yang kurang dari 70% membuat cabai kering dan mengganggu pertumbuhan generatifnya, terutama saat pembentukan bunga, penyerbukan, dan pembentukan buah. Suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai yaitu C untuk siang hari dan 20 0 C untuk malam hari. Tanaman dan buah cabai rentan terhadap kerusakan suhu dingin. Suhu rendah cenderung membatasi perkembangan aroma dan warna. Penyerbukan dan pembuahan optimum pada suhu antara C, namun bunga tidak akan terbuahi pada suhu di bawah 16 0 C atau di atas 32 0 C karena produksi tepung sari yang tidak baik (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Menurut Pitojo (2003) curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kelembaban udara meningkat dan mendorong pertumbuhan penyakit tanaman. Pemuliaan Tanaman Cabai Cabai termasuk jenis tanaman menyerbuk sendiri, walaupun ada kemungkinan menyerbuk silang, dimana penyerbukan silang sering terjadi di lapangan, terutama oleh serangga atau angin. Proses pemuliaan tanaman cabai

27 9 diawali dengan mendapatkan variabilitas genetik, kemudian melalui kegiatan seleksi pada sumber genetik yang bervariasi dilakukan persilangan dan seleksi lanjutan (Kusandriani dan Permadi 1996). Proses selanjutnya adalah pemurnian, uji generasi lanjut, uji multilokasi, kemudian pelepasan varietas. Salah satu kegiatan pemuliaan yang sangat penting adalah menciptakan keragaman genetik. Sumber keragaman genetik dapat diperoleh dengan cara introduksi, hibridisasi, mutasi dan lain-lain. Hibridisasi antara tanaman dengan sifat yang berbeda merupakan cara yang umum dilakukan untuk mendapatkan variasi genetik dalam populasi. Menurut Hilmayanti et al. (2006) pada umumnya pemuliaan tanaman cabai dilakukan melalui hibridisasi yang diikuti dengan seleksi. Poehlman dan Sleper (1995) menyatakan keragaman genetik juga dapat terjadi melalui mutasi, poliploidisasi, persilangan interspesifik dan rekayasa genetika. Setelah terbentuk keragaman genetik maka perlu dilakukan tahapan seleksi. Kusandriani dan Permadi (1996) mengemukkan bahwa metode pemuliaan pada tanaman cabai yang digunakan pada umumnya adalah seleksi massa, seleksi galur murni, silang balik (backcross), seleksi pedigree, dan SSD (Single Seed Descent). Seleksi merupakan inti dari pemuliaan tanaman yang memiliki hubungan erat dengan tujuan pemuliaan tanaman. Allard (1960) menyatakan bahwa kenaikan hasil merupakan tujuan utama bagi pemuliaan tanaman dan upaya untuk meningkatkan hasil atau perbaikan sifat tanaman, diperlukan kegiatan pemuliaan tanaman. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan seleksi, namun kegiatan seleksi memerlukan informasi tentang genetik dan pewarisannya sehingga seleksi dapat efektif dan efisien. Karakter kualitatif dan kuantitatif Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan kelas atau jenis, misal: warna bunga, ketahanan terhadap penyakit, bentuk buah dan lain-lain. Bentuk sebaran karakter kualitatif adalah tegas, gen pengendali karakter kualitatif berupa gen mayor, serta karakter kualitatif sangat sedikit dipengaruhi oleh lingkungan. Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa cara pengambilan data pada karakter kualitatif dapat dilakukan secara visualisasi baik

28 10 dengan kontrol yang telah distandarisasi maupun dengan skoring (penilaian). Karakter kualitatif lebih cenderung mengikuti sebaran Mendel yaitu sebarannya tidak normal. Tanaman pada generasi F2 akan mengalami segregasi sesuai dengan hukum Mendel. Aksi dan interaksi gen yang berbeda akan membuat pola segregasi berbeda. Tipe aksi gen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (interlokus) dan interaksi antar alel pada lokus yang sama (intralokus). Karakter kualitatif yang dikendalikan oleh satu lokus dua alel per lokus maka interaksi intralokus dominan akan menghasilkan perbandingan segregasi fenotipe 3 : 1 pada keturunan F2, sedangkan jika tidak ada dominansi menghasilkan nisbah 1 : 2 : 1. Pada karakter yang dikendalikan dua lokus dengan dua alel per lokus akan menghasilkan nisbah 12 : 3 : 1 jika interaksi interlokus epistasis dominan, 9 : 3 : 4 untuk epistasis resesif, 15 : 1 untuk duplikasi epistasis dominan, 9 : 7 untuk duplikasi epistasis resesif, dan 13 : 3 untuk interaksi inhibitor/epistasis dominan-resesif (Welsh 1991). Tabel 1, menunjukkan contoh nisbah sebaran fenotipik populasi F2 pada karakter resistensi tanaman terhadap penyakit. Tabel 1. Nisbah Sebaran Populasi F2 pada Karakter Resistensi Tanaman Terhadap Penyakit (Roy 2000 dimodifikasi oleh Yunianti 2007) Tipe Ketahanan Tahan Agak Tahan Rentan Sangat Rentan 1. Dikendalikan 1 pasang gen a. Dominan b. Resesif Dikendalikan 2 pasang gen a. Dominan b. Epistasis resesif c. Epistasis dominan d. Epistasis dominan-resesif e. Epistasis resesif duplikat f. Epistasis dominan duplikat g. Interaksi duplikat h. Interaksi kompleks Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan dari segi nilai ukuran dan bukan jenisnya, atau karakter-karakter yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya

29 11 merupakan karakter-karakter yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh sejumlah gen dimana pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dibandingkan pengaruh lingkungan, walaupun secara bersama-sama gen-gen tersebut dapat mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan. Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa pada karakter kuantitatif, pengambilan data memerlukan pengukuran terhadap peubah yang diamati. Karakter kuantitatif lebih cenderung mengikuti sebaran normal. Pada penelitian Hari et al. (2005) menunjukkan bahwa sebaran frekuensi karakter panjang dan diameter buah pada populasi F2 tanaman tomat menyebar normal dan dikendalikan oleh banyak gen. Karakter kuantitatif cenderung mengikuti sebaran normal dan kontinyu. Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu. Selanjutnya Roy (2000) menambahkan bahwa karakter yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk leptokurtic). Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif. Heritabilitas Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya (potensi suatu individu untuk mewariskan karakter tertentu pada keturunannya). Seberapa besar keragaman fenotipe yang terwariskan, diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas (Sujiprihati et al. 2003). Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Sesuai dengan komponen ragam genetiknya. heritabilitas dibedakan menjadi dua yaitu heritabilitas dalam arti luas (broad-sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow-sense heritability). Heritabilitas dalam arti

30 12 luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dengan ragam fenotipe (h 2 bs = σ 2 g / σ 2 p). Poehlman (1995) menambahkan ragam genetik total (σ 2 g) terdiri dari ragam genetik aditif (σ 2 a) ragam genetik dominan (σ 2 d) dan ragam genetik epistasis (σ 2 i). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h 2 ns = σ 2 a / σ 2 p). Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat. Pada tanaman, ada banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan cara antara lain dengan perhitungan ragam turunan, dengan regresi parent offspring dan dengan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam. Metode yang digunakan untuk menduga nilai tersebut tergantung dari populasi yang dimiliki oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai. Nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila kurang dari 20%, cukup tinggi pada 20-50%, tinggi jika lebih dari 50%. Akan tetapi nilai-nilai ini sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Sujiprihati et al. 2003). Nilai heritabilitas sangat diperlukan dalam memilih karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi. Seleksi dapat dilakukan secara langsung terhadap karakter yang ingin diperbaiki atau secara tidak langsung dengan menggunakan karakter yang lainnya, misalnya seleksi untuk meningkatkan daya hasil dapat dilakukan secara langsung dengan memilih genotipe yang mempunyai daya hasil tinggi jika daya hasil mempunyai nilai heritabilitas tergolong sedang atau tinggi. Jika daya hasil mempunyai nilai heritabilitas rendah maka lebih baik seleksi dilakukan secara tidak langsung menggunakan karakter yang lain. Pemilihan karakter selain daya hasil untuk dijadikan kriteria seleksi adalah berdasarkan nilai heritabilitas dan keeratan hubungan masing-masing karakter dengan daya hasil.

31 13 Pewarisan Ekstrakromosomal Yunianti dan Sujiprihati (2006) menyatakan bahwa pewarisan ekstrakromosomal adalah pewarisan yang dikendalikan oleh gen yang ada di luar inti. Ciri-ciri suatu karakter diwariskan secara ekstrakromosomal adalah (1) zuriat hasil persilangan berbeda dengan zuriat hasil persilangan resiprokalnya, (2) tetua betina memberikan sumbangan yang lebih besar kepada zuriatnya dibandingkan tetua jantan, sehingga karakter-karakter keturunan mewarisi karakter dari tetua betinanya, (3) karakter-karakter tersebut tidak dapat dipetakan pada kromosom atau kelompok keterpautan tertentu, (4) tidak terjadi segregasi pada karakter tersebut, (5) nisbah segregasi tidak mengikuti hukum Mendel. Terdapat tiga kategori pewarisan ekstrakromosomal, yaitu pewarisan menular, pewarisan sitoplasmik (pewarisan maternal) dan efek maternal (Yunianti dan Sujiprihati 2006). Pada tanaman umumnya hanya dikenal 2 tipe yaitu pewarisan sitoplasmik dan efek maternal. Pewarisan sitoplasmik terjadi apabila faktor yang menentukan karakter zuriat terdapat di luar nukleus. Pemindahan faktor tersebut hanya berlangsung melalui sitoplasma dan bertahan selama beberapa generasi. Organel di luar nukleus yang berpotensi sebagai pembawa faktor pewarisan sitoplasmik pada tanaman adalah kloroplas dan mitokondria. Menurut Mogensen dan Rusche (2000) plastid pada tanaman dapat diwariskan dari tetua kepada zuriat melalui tiga cara yaitu maternal, paternal dan biparental. Namun studi pada kebanyakan tanaman berbunga menunjukkan bahwa plastid tanaman diwariskan secara maternal. Disamping itu menurut Russel (1998) pewarisan sitoplasmik terjadi karena jumlah sitoplasma gamet betina biasanya jauh lebih banyak daripada sitoplasma gamet jantan. Efek maternal terjadi apabila genotipe nukleus dari tetua betina menentukan fenotipe zuriatnya, tanpa dipengaruhi oleh tetua jantan, sehingga apapun genotipe zuriatnya, fenotipenya akan sama dengan tetua betina. Biasanya efek ini hanya berpengaruh pada satu generasi. Roach dan Wuff (1987) mengemukakan terdapat tiga tipe efek maternal yaitu genetik sitoplasmik, fenotipik maternal dan pembuahan ganda. Yunianti dan Sujiprihati (2006) menyatakan bahwa terdapat efek maternal pada pewarisan rasa pahit pada

32 14 kecambah tanaman lupin. Efek maternal dapat terlihat dengan cara membandingkan turunan pertama (F1) dan turunan pertama resiprokal (F1R). Menurut Stansfield (1991) apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Gardner dan Snustad (1984) menyatakan bahwa antara keturunan F1 dengan keturunan F1 resiproknya tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti hukum Mendel. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pengaruh tetua betina (dikendalikan oleh gen inti), persilangan resiprokal dapat digabungkan untuk memperoleh keturunan berikutnya dan segregasi F2 akan mengikuti hukum Mendel. Derajat Dominansi dan Jumlah Gen Pengendali Derajat dominansi terkait dengan besaran nilai potensi gen tetua yang terwariskan kepada zuriat. Terdapat dua tipe derajat dominansi yaitu derajat dominansi yang berupa interaksi alel pada lokus yang sama (intralokus) dan derajat dominansi yang berupa interaksi alel pada lokus yang berbeda (interlokus). Gen yang saling berinteraksi memiliki beberapa kemungkinan pengaruh derajat dominansi yaitu derajat dominansi aditif, dominan dan epistasis. Derajat dominansi aditif merupakan besarnya nilai tengah populasi heterozigot (F1) yang sama dengan rataan nilai tengah antar populasi homozigot/tetua (MP). Derajat dominansi dominan merupakan besarnya populasi heterozigot (F1) yang melebihi rataan nilai tengah populasi tetua/mp (dominan parsial) atau setara dengan nilai tengah populasi tetua (dominan lengkap) atau melebihi nilai tengah populasi tetua (over dominan). Mangoendidjojo (2003) mengemukakan derajat dominansi epistasis memiliki pola perbandingan nilai tengah F1 yang beragam terhadap nilai tengah populasi tetua, hal ini disebabkan derajat dominansi pada suatu lokus yang bersifat saling menutupi pengaruh gen pada lokus lain. Derajat dominansi dapat diduga dengan menghitung nilai potensi rasio (hp). Menurut Petr dan Frey (1966) jika nilai hp suatu karakter yang berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, jika nilai hp suatu karakter yang berada pada

33 15 kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna, jika nilai hp = 0 menunjukkan karakter tesebut tidak ada dominansi, jika hp = 1 atau hp = -1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen over dominan. Jumlah gen pengendali menunjukkan jumlah gen-gen yang efektif yang mengendalikan ekspresi suatu karakter. Jumlah gen yang sebenarnya tidak dapat diketahui, hanya menduga jumlah gen-gen yang berkumpul dalam mengendalikan ekspresi suatu karakter. Aksi Gen Aksi gen adalah bagaimana gen mengendalikan ekspresi fenotipe. Aksi gen ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada lokus yang sama (dominan), maupun interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (epistasis). Untuk karakter kuantitatif maka interaksi gen dapat terlihat dari perbedaan penambahan nilai oleh suatu alel pada total nilai suatu genotipe. Menurut Mather dan Jink (1982) untuk menentukan tipe dan besaran aksi gen yang terlibat pada suatu pewarisan karakter kuantitatif dapat dilakukan dengan menguji kesesuaian model aditif dan dominan dengan uji skala individu dan uji skala gabungan. Uji nyata secara statistik untuk berbagai efek gen dari model ini ditentukan dengan perhitungan galat baku dari ragam nilai tengah populasi-populasi yang bersangkutan. Jika model aditif-dominan dapat menjelaskan pengaruh gen terhadap nilai tengah suatu generasi dan tidak terdapat interaksi antar lokus, maka selisih antara nilai tengah yang diamati dengan nilai harapan suatu generasi sama dengan nol. Dalam penentuan model genetik dengan menggunakan komponen rata-rata generasi harus memenuhi beberapa asumsi antara lain kedua tetua homozigot, pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh tetua betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan dan interaksi hanya terjadi antara dua gen dengan dua alel (Allard 1960). Mather dan Jink (1982) menyatakan terdapat enam komponen genetik dalam menentukan suatu model genetik yang lengkap yaitu pengaruh rata-rata

34 16 [m], jumlah pengaruh aditif [d], jumlah pengaruh dominan [h], jumlah pengaruh interaksi aditif x aditif [i], jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan [j] dan jumlah pengaruh interaksi dominan x dominan [l]. Model genetik yang diuji adalah kombinasi dari keenam komponen genetik tersebut. Ada maksimum delapan model genetik yang dapat diuji yaitu satu model dua komponen genetik (m[d]), satu model tiga komponen (m[d][h]) yang merupakan model aditifdominan, tiga model empat komponen (m[d][h][i], m[d][h][j], dan m[d][h][l]), tiga model lima komponen (m[d][h][i][j], m[d][h][i][l], dan m[d][h][j][l]), sedangkan model genetik enam komponen tidak dapat diuji. Apabila model menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan (m[d][h]) dengan uji-t, maka pengujian tidak dilanjutkan ke model selanjutnya karena dianggap tidak ada interaksi non alelik (Hill et al. 1998). Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, hingga lima komponen genetik. Model paling sesuai jika nilai X 2 hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel. Berdasarkan model genetik yang paling sesuai, maka dapat diduga besarnya nilai komponen genetik tersebut beserta dengan galat bakunya. Nyata tidaknya peran komponen genetik tersebut diuji dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel = 1.96, seperti pada uji skala individu (Singh dan Chaudhary 1979; Mather dan Jink 1982).

35 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan persilangan antara cabai keriting dengan cabai besar. Masing-masing penelitian terdapat dua tahap percobaan yaitu (1) pembentukan materi genetik, (2) studi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif di lapangan. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Galur Cabai Keriting Galur Cabai Besar Galur Cabai Rawit Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Studi Pewarisan Karakter Kualitatif dan Kuantitatif di Lapangan Analisis Data Informasi Pola Pewarisan Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Persilangan Cabai Besar dengan Cabai Rawit atau Cabai Keriting Tahapan 1. Pembentukan Materi Genetik Pembentukan materi genetik yang akan digunakan untuk studi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan cara persilangan cabai besar dengan cabai rawit, persilangan cabai keriting dengan cabai besar dan selfing pada masing-masing tetua dan F1. Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Lwikopo IPB Bogor. Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2009.

36 18 Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah tiga tetua cabai yaitu cabai besar (IPB C9 & IPB C5), cabai keriting (IPB C105) dan cabai rawit (IPB C10). Bahan tanaman tersebut dipilih berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Dzikri (2008) dan Syukur (2007). Lampiran 1 menunjukkan gambar tetua-tetua cabai yang digunakan. Rancangan Persilangan Rancangan persilangan yang digunakan adalah Rancangan Biparental dan Rancangan Silang Balik (backcross). Tetua cabai besar dan cabai rawit disilangkan (hibridisasi) untuk mendapatkan tanaman F1 dan F1R, begitu juga tetua cabai keriting dan cabai besar disilangkan (hibridisasi) untuk mendapatkan tanaman F1 dan F1R. Dari masing-masing persilangan, sebagian benihnya disimpan dan yang lainnya ditanam untuk dilakukan silang balik dengan tetuanya masing-masing serta dilakukan penyerbukan sendiri. Dengan demikian, diperoleh materi genetik F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2, F2 (F1 selfing), BCP1 (F1 x P1) dan BCP2 (F1 x P2). Pelaksanan Percobaan Percobaan ini meliputi persiapan pembentukan materi genetik. Terdapat dua cara dalam pembentukan materi genetik tersebut yaitu melalui persilangan (crossing) dan melalui penyerbukan sendiri (selfing). Materi genetik yang diperoleh dengan cara persilangan adalah F1, F1R, BCP1 dan BCP2. Pelaksanaanya meliputi: (1) persiapan, (2) kastrasi, (3) emaskulasi, (4) isolasi, (5) pengumpulan serbuk sari, (6) polenasi, (7) pelabelan. Materi genetik yang diperoleh dengan cara selfing adalah P1, P2 dan F2. Selfing dapat dilakukan dengan cara menyungkup tanaman tetua dan turunan pertama (F1), sehingga terjadi penyerbukan sendiri pada P1, P2 dan F1. Dari hal tersebut, akan diperoleh beih P1, P2 dan F2. Setelah buah berumur 6-8 Minggu Setelah Penyerbukan, buah dipanen dan diekstraksi untuk diambil benihnya.

37 Tahapan 2. Studi Pewarisan Karakter Kualitatif dan Kuantitatif di Lapangan Percobaan studi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif di lapangan bertujuan untuk mempelajari pola pewarisan pada karakter kualitatif dan kuantitatif. Dari percobaan ini diharapkan diperoleh informasi tentang: (1) pengaruh tetua betina (maternal effect) pada karakter-karakter yang diamati, (2) jumlah gen yang mengendalikan pada masing-masing karakter yang diamati, (3) model interaksi gen, (4) nilai ragam genetik, ragam aditif, ragam lingkungan dan ragam fenotipik, dan (5) nilai heritabilitas. 19 Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Lwikopo IPB Bogor. Percobaan dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Januari Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah: tetua cabai rawit (IPB C10), tetua cabai besar (IPB C5 & IPB C9) dan tetua cabai keriting (IPB C105), turunan pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R), backcross ke tetua betina (BCP1), backcross ke tetua jantan (BCP2) dan turunan kedua (F2). Masing-masing populasi memiliki jumlah tanaman sebagai berikut: Tetua cabai rawit yaitu IPB C10 = 20 tanaman Tetua cabai besar yaitu IPB C5 = 20 tanaman Tetua cabai besar yaitu IPB C9 = 20 tanaman Tetua cabai keriting yaitu IPB C105 = 20 tanaman F1 yaitu IPB C5 x IPB C10 = 20 tanaman F1 yaitu IPB C9 x IPB C10 = 20 tanaman F1 yaitu IPB C5 x IPB C105 = 20 tanaman F1R yaitu IPB C10 x IPB C5 = 20 tanaman F1R yaitu IPB C10 x IPB C9 = 20 tanaman F1R yaitu IPB C105 x IPB C5 = 20 tanaman BCP1 yaitu IPB (C9 x IPB C10) x IPB C9 = 100 tanaman BCP1 yaitu IPB (C5 x IPB C105) x IPB C5 = 100 tanaman BCP2 yaitu IPB (C9 x IPB C10) x IPB C10 = 100 tanaman

38 20 BCP2 yaitu IPB (C5 x IPB C105) x IPB C105 = 100 tanaman F2 yaitu (IPB C5 x IPB C10) x (IPB C5 x IPB C10) = 260 tanaman F2 yaitu (IPB C9 x IPB C10) x (IPB C9 x IPB C10) = 260 tanaman F2 yaitu (IPB C5 x IPB C105) x (IPB C5 x IPB C105) = 260 tanaman Pelaksanaan Percobaan Pada percobaan ini setiap genotipe dari ketiga persilangan ditanam secara bersamaan, masing-masing tetua, turuanan pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R) dari masing-masing persilangan ditanam dalam 1 bedeng. Backcross ke tetua betina (BCP1) dan backcross ke tetua jantan (BCP2) dari masing-masing persilangan ditanam dalam 5 bedeng. Turunan kedua (F2) dari masing-masing persilangan ditanam dalam 13 bedeng, dengan asumsi jumlah tersebut cukup representatif dalam peluang kemunculan genotipe bersegregasi tanaman F2. Pada percobaan ini terdapat beberapa kegiatan yaitu persemaian, pengolahan lahan, penanaman di lapangan, pemeliharaan, pengamatan dan pengambilan data, serta analisis data. Persemaian dan pengolahan lahan dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pada kegiatan persemaian, media tanam disterilisasi terlebih dahulu dalam oven pada suhu C selama tiga jam, kemudian didinginkan dan dilanjutkan dengan penyemaian benih. Benih yang telah disemai disiram setiap hari dengan tujuan menjaga kelembaban media tanam. Pemupukan dilakukan setiap satu minggu sekali setelah tanaman berumur 2 Minggu Setelah Semai (MSS), pupuk yang digunakan adalah pupuk kocor (NPK Mutiara) dengan dosis 10 g/l serta gandasil D dengan dosis 2 g/l dua kali tiap minggu. Penyemprotan pestisida, bakterisida dan fungisida dilakuakn jika terdapat hama, bakteri dan cendawan. Proses persemaian tersebut dilakukan selama ± 50 hari. Pengolahan lahan meliputi kegiatan pembukaan lahan, pembalikan tanah yang diikuti dengan pemberian pupuk kandang dan pembentukan bedengan sebanyak 69 bedeng yang masing-masing berukuran 1 m x 5 m. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan mulsa hitam perak serta pelubangan mulsa untuk lubang tanam.

39 21 Kegiatan penanaman di lapangan dimulai dengan pemindahan bibit yang telah berumur ± 50 hari setelah semai (HSS) atau sudah memiliki empat lembar daun dewasa. Bibit diadaptasikan selama tiga hari di lapangan sebelum dilakukan penanaman. Penanaman (transplanting) dilakukan pada sore hari dan tiap lubang tanam diberi ajir yang akan digunakan untuk mengikat tanaman. Kegiatan pemeliharaan dapat meliputi penyiraman, pemupukan, penyemprotan pestisida, fungisida, pewiwilan tunas bawah/air dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari (jika tidak hujan). Pemupukan diberikan setiap satu minggu dengan menggunakan pupuk NPK Mutiara dengan dosis 10 g/l. Penyemprotan pestisida, fungisida, insektisida, dan bakterisida dilakukan sebagai pencegahan dan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Pewiwilan tunas dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan ketinggian optimal. Penyiangan gulma dilakukan di sekitar lubang tanam atau bedengan, hal ini bertujuan untuk mengurangi vektor hama. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan secara berkala pada waktu pemeliharaan dan pemanenan. Pengambilan data untuk peubah hasil panen dilakukan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi & Hortikultura IPB. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif dan kuantitatif yang diamati berdasarkan perbedaan karakter yang jelas antara masing-masing tetua dan mengacu pada deskriptor cabai. Pengamatan yang dilakukan meliputi: 1. Bentuk daun, diamati pada tanaman dewasa (fase vegetatif) untuk persilangan IPB C105 x IPB C5. 2. Posisi Bunga, diamati pada fase generatif saat tanaman mulai berbunga untuk persilangan IPB C5 x IPB C10 dan IPB C9 x IPB C Warna Buah Muda, diamati pada buah masih muda untuk persilangan IPB C5 x IPB C10.

40 22 4. Warna Batang Muda, diamati pada batang tanaman cabai (fase vegetatif) yang berumur 3-4 Minggu Setelah Tanam (MST) untuk persilangan IPB C9 x IPB C Tekstur permukaan buah, diamati pada fase generatif atau saat panen untuk persilangan IPB C105 x IPB C5. 6. Umur Berbunga, diamati pada saat pertama kali bunga pertama mekar untuk persilangan IPB C5 x IPB C10 dan IPB C9 x IPB C Umur Panen, diamati pada saat pertama kali buah pertama masak (75% berwarna kemerahan) dan dihitung sejak muncul bunga pertama, untuk persilangan IPB C9 x IPB C10 dan IPB C105 x IPB C5. 8. Tinggi dikotomous (cm), diamati pada tanaman dewasa (fase vegetatif atau generatif) dengan cara mengukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh dikotomous pertama dengan menggunakan meteran untuk persilangan IPB C105 x IPB C5. 9. Panjang buah (cm), diamati pada buah hasil panen dengan cara mengukur panjang dari pangkal buah sampai ujung buah, dengan menggunakan penggaris untuk persilangan IPB C5 x IPB C10 dan IPB C9 x IPB C Diameter buah (mm), diamati pada buah hasil panen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah buah dengan menggunakan jangka sorong untuk persilangan IPB C9 x IPB C Tebal kulit buah (mm), diamati pada buah hasil panen dengan cara mengukur tebal kulit dengan menggunakan jangka sorong untuk persilangan IPB C9 x IPB C Bobot per buah (g), diamati pada buah hasil panen dengan cara menimbang satu buah dengan menggunakan timbangan neraca analitik untuk persilangan IPB C9 x IPB C10 dan IPB C105 x IPB C Produksi per tanaman (g), diamati pada seluruh buah hasil panen per tanaman dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik IPB C5 x IPB C10, IPB C9 x IPB C10 dan IPB C105 x IPB C5.

41 Analisis Data Analisis data terdiri atas dua macam yaitu berdasarkan data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dianalisis dengan uji Chi-kuadrat untuk menentukan nisbah Mendel pada populasi F2, serta untuk menentukan jumlah pasang gen yang mengendalikan karakter. Data kuantitatif pada populasi F2 yang bersegregasi dianalisis dengan uji Normalitas. Apabila karakter yang diuji menyebar normal maka dilanjutkan dengan analisis ragam yang dilakukan pada rataan setiap populasi, setelah itu dilakukan analisis heritabilitas arti luas dan arti sempit. Analisis data kualitatif dan kuantitatif tersebut terdiri atas: 1. Pendugaan pewarisan ekstrakromosomal Keberadaan pengaruh tetua betina pada pewarisan sifat kualitatif dan kuantitatif pada cabai dilakukan dengan membandingkan rata-rata dari generasi F1 dan resiprokalnya (F1R) dengan menggunakan uji-t menurut Strickberger (1976). t = Y S F1 Y F1R YF1 YF1R Keterangan: Y F1 = Nilai tengah populasi F1 Y F1 R = Nilai tengah populasi F1R S YF YF1R 1 = Simpangan baku populasi selisih F1 F1R Pendugaan nisbah fenotipe Pendugaan nisbah fenotipe bersegregasi menggunakan uji Chi-kuadrat. menurut Singh dan Chaudhary (1979): X 2 2 ( Oi Ei) = Ei Keterangan: X 2 = X 2 hitung Oi = Nilai pengamatan lapangan Ei = Nilai yang diharapkan

42 24 3. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui sebaran frekuensi pada populasi F2, serta menduga aksi gen yang mengendalikan dari masing-masing karakter yang diamati berdasarkan pola sebarannya. 4. Pendugaan jumlah gen-gen pengendali karakter Pendugaan jumlah pasang gen pengendali karakter menggunakan perhitungan jumlah gen menurut Lande (1981): N = 8( V F 2 ( X p (2V 1 F1 X + V p2 p1 2 ) + V p2 ) / 4) 5. Pendugaan besaran nilai derajat dominansi Pendugaan besaran nilai derajat dominansi menggunakan analisis potensi rasio (hp) menurut Petr dan Frey (1966): hp = X F1 HP MP MP Keterangan: hp = potensi rasio HP = Nilai tengah tetua tertinggi X F1 = Nilai rata-rata F1 MP = Nilai tengah/mid parent kedua tetua 6. Pendugaan komponen ragam Komponen ragam yang dihitung terdiri dari ragam fenotipe pada generasi F2 (VF2), ragam fenotipe pada populasi backcross (VBC), ragam genotipe (VG). ragam aditif (VA), ragam dominan (VD), dan ragam lingkungan (VE). 7. Kelayakan model genetik Kelayakan model aditif-dominan diduga dengan menggunakan metode Joint Scaling Test (Mather & Jink 1982) dengan 3 parameter genetik yaitu nilai rataan/nilai tengah (m), jumlah pengaruh gen aditif (d), dan jumlah pengaruh gen dominan (h). Bila aksi gen tidak memenuhi model aditif-dominan,

43 dilakukan pengujian untuk mengetahui ada tidaknya interaksi gen non-alelik menggunakan model epistatik dengan enam parameter (Mather & Jink 1982) Pendugaan nilai heritabilitas Pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas menurut Allard (1960), sebagai berikut: h 2 bs = V + + VF 2 F 2 ( VF1 Vp1 Vp2) / 3 Nilai heritabilitas dalam arti sempit menurut Warner (1952), sebagai berikut: h 2 ns = 2V + V F 2 F 2 ( V BCp 1 V BCp 2) Keterangan: h 2 bs = Heritabilitas dalam arti luas h 2 ns = Heritabilitas dalam arti sempit V F2 = Ragam populasi F2 V F1 = Ragam populasi F1 V p1 = Ragam populasi P1 V p2 = Ragam populasi P2 V BCP1 = Ragam populasi BCP1 V BCP2 = Ragam populasi BCP2

44 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Daun Terdapat tiga macam bentuk daun pada tanaman cabai yaitu deltoid, ovate dan lanceolate. Bentuk daun pada cabai keriting (IPB C105) berupa lanceolate, sedangkan bentuk daun cabai besar (IPB C5) berupa ovate. Gambar 2 menunjukkan bentuk daun ovate dan lanceolate. (2a) (2b) (2c) (2d) Gambar 2. Bentuk Daun. 2a & 2b) Ovate ; 2c & 2d) Lanceolate Berdasarkan hasil pengamatan karakter bentuk daun, dapat diduga bahwa bentuk daun ovate bersifat dominan terhadap bentuk daun lanceolate. Hal ini terlihat pada turunan pertama (F1) dan F1R serta backcross antara (IPB C105 x IPB C5) x IPB C5 secara keseluruhan bentuk daunnya berupa ovate (Tabel 2). Pada backcross antara (IPB C105 x IPB C5) x IPB C105 dihasilkan perbandingan bentuk daun antara ovate dan lanceolate dengan perbandingan 1 : 1. Tabel 2. Bentuk Daun pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C105 x IPB C5 Populasi Ovate Lanceolate IPB C5 10 tanaman (100.0%) - IPB C tanaman (100.0%) F1 (IPB C105 x IPB C5) 20 tanaman (100.0%) - F1R (IPB C5 x IPB C105) 20 tanaman (100.0%) - F1 x IPB C5 99 tanaman (100.0%) - F1 x IPB C tanaman ( 44.0%) 56 tanaman ( 56.0%) F2 IPB C105 x IPB C5 182 tanaman ( 75.2%) 60 tanaman ( 24.8%)

45 27 Pada populasi backcross antara (IPB C105 x IPB C5) x IPB C105 terdapat tanaman dengan bentuk daun ovate : lanceolate dengan perbandingan 1 : 1. Hal ini ditunjukkan oleh nilai X 2 hitung pada populasi backcross = lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 3). Tabel 3. Nilai X 2 hitung Bentuk Daun pada Populasi (F1 x IPB C105) dan F2 (IPB C105 x IPB C5) Populasi Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E Ovate F1 x IPB C105 Lanceolate X 2 hitung = tn F2 Ovate (IPB C105 x IPB C5) Lanceolate X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% Karakter kualitatif yang dikendalikan oleh dua alel per lokus, maka interaksi intralokus dominan akan menghasilkan perbandingan segregasi fenotipe 3 : 1 pada keturunan F2 (Welsh 1991). Pada populasi F2 (IPB C105 x IPB C5) terdapat tanaman dengan bentuk daun ovate (OO atau Oo) : lanceolate (oo) dengan perbandingan 3 : 1. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai X 2 hitung pada populasi F2 = lebih kecil dari X 2 tabel = (Tabel 3). Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa bentuk daun dikendalikan oleh satu gen dan ada pengaruh dominansi. Gambar 3 menunjukkan bagan persilangan karakter bentuk daun. IPB C105 Lanceolate (oo) X IPB C5 Ovate (OO) IPB C105 Lanceolate (oo) X F1 100% Ovate (Oo) X IPB C5 Ovate (OO) BCP1 1 Lanceolate (oo) : 1 Ovate (Oo) BCP2 100% Ovate (OO atau Oo) F2 3 Ovate (OO atau Oo) : 1 Lanceolate (oo) Gambar 3. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Bentuk Daun X

46 28 Warna Batang Muda Warna batang muda pada cabai terdiri atas dua macam yaitu warna coklat kehijauan dan warna hijau. Warna batang muda pada cabai besar (IPB C9) adalah hijau, sedangkan warna batang muda cabai rawit (IPB C10) adalah coklat kehijauan. Gambar 4 menunjukkan macam-macam warna batang muda. (4a) (4b) Gambar 4. Warna Batang Muda. 4a) Coklat Kehijauan; 4b) Hijau Karakter warna batang muda coklat kehijauan bersifat dominan terhadap hijau. Hal ini terlihat pada turunan pertama (F1) maupun F1R serta backcross antara (IPB C9 x IPB C10) x IPB C10 secara keseluruhan warna batang muda adalah coklat kehijauan (Tabel 4). Tabel 4. Warna Batang Muda pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C10 Populasi Hijau Coklat Kehijauan IPB C9 20 tanaman (100.0%) - IPB C10-18 tanaman (100.0%) F1 (IPB C9 x IPB C10) - 20 tanaman (100.0%) F1R (IPB C10 x IPB C9) - 20 tanaman (100.0%) F1 x IPB C9 50 tanaman ( 50.0%) 50 tanaman ( 50.0%) F1 x IPB C tanaman (100.0%) F2 IPB C9 x IPB C10 75 tanaman ( 28.9%) 184 tanaman ( 71.1%)

47 29 Pada populasi backcross antara (IPB C9 x IPB C10) x IPB C9 terdapat tanaman dengan warna batang muda coklat kehijauan : hijau dengan perbandingan 1 : 1 (Tabel 5). Pada populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) terdapat tanaman dengan warna batang muda antara coklat kehijauan (BB atau Bb) : hijau (bb) dengan perbandingan 3 : 1. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai X 2 hitung pada populasi F2 = lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 5). Berdasarkan perbandingan tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter warna batang muda dikendalikan oleh satu gen dan ada pengaruh dominansi karena sesuai dengan perbandingan Mendel yaitu 3 : 1. Gambar 5 menunjukkan bagan persilangan dan model genotipe untuk gen yang mengendalikan karakter warna batang muda. Tabel 5. Nilai X 2 hitung Warna Batang Muda pada Populasi F1 x IPB C9 dan F2 (IPB C9 x IPB C10) Genotipe Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E F1 x IPB C9 F2 Hijau Coklat kehijauan X 2 hitung = tn Hijau Coklat kehijauan X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% IPB C9 Hijau (bb) X IPB C10 Coklat Kehijauan (BB) IPB C9 Hijau (bb) X F1 100% Coklat Kehijauan (Bb) X IPB C10 Coklat Kehijauan (BB) BCP1 1 Coklat Kehijauan (Bb) : 1 Hijau (bb) X BCP2 100% Coklat Kehijauan (BB atau Bb) F2 3 Coklat Kehijauan (BB atau Bb) : 1 Hijau (bb) Gambar 5. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Warna Batang Muda

48 30 Posisi Bunga Terdapat tiga macam posisi bunga pada cabai yaitu pendant, intermediate dan erect. Posisi bunga pada cabai besar (IPB C5) berupa tipe pendant, cabai besar (IPB C9) berupa tipe intermediate, sedangkan cabai rawit (IPB C10) berupa tipe erect. Gambar 6 menunjukkan tipe posisi bunga cabai. (6a) (6b) (6c) (6d) (6e) (6f) Gambar 6. Posisi Bunga. 6a & 6b) Pendant; 6c & 6d) Intermediate; 6e & 6f) Erect Persilangan antara tanaman yang mempunyai posisi bunga intermediate dengan tanaman yang mempunyai posisi bunga erect dihasilkan tanaman turunan pertama (F1 & F1R) dengan posisi bunga yang intermediate dan erect (Tabel 6). Jika tanaman turunan pertama (F1) dengan posisi bunga intermediate dilakukan penyerbukan sendiri, ada sebagian tanaman dari populasi F2 dengan posisi bunga yang berbeda dengan kedua tetuanya yaitu posisi bunga pendant (Tabel 6). Hal ini diduga bahwa genotipe posisi bunga intermediate dalam keadaan heterozigot. Jika tanaman turunan pertama (F1) dengan posisi bunga intermediate disilangkan dengan tanaman tetua dengan posisi bunga intermediate dihasilkan ada sebagian tanaman turunannya pada populasi BCP1 dengan posisi bunga pendant (Tabel 6).

49 Tabel 6. Posisi Bunga pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C10 Populasi Pendant Intermediate Erect IPB C9-20 tanaman (100.0%) - IPB C tanaman (100.0%) F1-8 tanaman ( 42.1%) 11 tanaman ( 57.9%) F1R - 8 tanaman ( 40.0%) 12 tanaman ( 60.0%) F1 x IPB C9 25 tanaman (25.7%) 40 tanaman ( 41.2%) 32 tanaman ( 32.9%) F1 x IPB C10-49 tanaman ( 51.6%) 46 tanaman ( 48.4%) F2 63 tanaman (27.2%) 110 tanaman ( 47.4%) 59 tanaman ( 25.4%) 31 Pada populasi F1 & F1R terdapat tanaman dengan posisi bunga intermediate : erect dengan perbandingan 1 : 1, hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = dan 0.800, nilai tersebut lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 7). Pada populasi BCP1 terdapat tanaman dengan posisi bunga pendant : intermediate : erect dengan perbandingan 1 : 2 : 1, hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = yang lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 2; α = 5%) (Tabel 7). Tabel 7. Nilai X 2 hitung Posisi Bunga pada Populasi Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C10 Populasi Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E Pendant F1 Intermediate Erect X 2 hitung = tn Pendant F1R Intermediate Erect X 2 hitung = tn Pendant F1 x IPB C9 Intermediate Erect X 2 hitung = tn Pendant F1 x IPB C10 Intermediate Erect X 2 hitung = tn Pendant F2 Intermediate Erect X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5%

50 Pada populasi BCP2 terdapat tanaman dengan posisi bunga intermediate : erect dengan perbandingan 1 : 1, hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = yang lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 7). Karakter kualitatif yang dikendalikan oleh satu lokus dengan dua alel per lokus dan tidak ada dominansi menghasilkan nisbah 1 : 2 : 1 pada populasi F2 (Welsh 1991). Pada populasi F2 terdapat tanaman dengan posisi bunga pendant : intermediate : erect dengan perbandingan 1 : 2 : 1, hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = yang lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 2; α = 5%) (Tabel 7). Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa karakter posisi bunga dikendalikan oleh satu gen dan tidak ada dominansi. Posisi bunga pendant dikendalikan oleh gen homozigot dominan (PP), intermediate dikendalikan oleh gen heterozigot (Pp) dan erect dikendalikan oleh gen homozigot resesif (pp). Gambar 7 menunjukkan bagan persilangan dan model genotipe untuk gen yang mengendalikan karakter posisi bunga hasil persilangan IPB C9 x IPB C10. IPB C9 Intermediate (Pp) X IPB C10 Erect (pp) 32 F1 1 Intermediate (Pp) : 1 Erect (pp) IPB C9 Intermediate (Pp) X F1 Intermediate (Pp) X IPB C10 Erect (pp) BCP1 1 Pendant (PP) 2 Intermediate (Pp) 1 Erect (pp) Gambar 7. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Posisi Bunga Hasil Persilangan IPB C9 x IPB C10 X BCP2 1 Intermediate (Pp) 1 Erect F2 1 Pendant (PP) : 2 Intermediate (Pp) : 1 Erect (pp)

51 33 Posisi bunga tetua IPB C5 adalah pendant dan posisi bunga tetua IPB C10 adalah erect (Tabel 8). Posisi bunga turunan pertama (F1 & F1R) hasil persilangan antara IPB C5 x IPB C10 adalah intermediate, posisi bunga tersebut berbeda dengan posisi bunga tetuanya (Tabel 8), sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada pengaruh dominansi pada karakter posisi bunga. Pada populasi F2 terdapat tanaman dengan posisi bunga pendant : intermediate : erect dengan perbandingan 1 : 2 : 1, hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = yang lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 2; α = 5%) (Tabel 9). Gambar 8 menunjukkan bagan persilangan dan model genotipe untuk gen yang mengendalikan karakter posisi bunga hasil persilangan IPB C5 x IPB C10. Tabel 8. Posisi Bunga pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C10 Populasi Pendant Intermediate Erect IPB C5 10 tanaman (100.0%) - - IPB C tanaman (100.0%) F1-20 tanaman (100.0%) - F1R - 20 tanaman (100.0%) - F2 60 tanaman ( 25.9%) 109 tanaman ( 47.2%) 62 tanaman ( 26.9%) Tabel 9. Nilai X 2 hitung Posisi Bunga pada Populasi F2 (IPB C5 x IPB C10) Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E Pendant Intermediate Erect X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α=5% IPB C5 Pendant (PP) X F1 100% Intermediate (Pp) IPB C10 Erect (pp) X F2 1 Pendant (PP) : 2 Intermediate (Pp) : 1 Erect (pp) Gambar 8. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Posisi Bunga Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C10

52 34 Warna Buah Muda Warna buah muda pada cabai besar (IPB C5) adalah hijau tua, sedangkan cabai rawit (IPB C10) adalah hijau kekuningan. Pada populasi F2 persilangan IPB C5 x IPB C10, terdapat tiga warna buah muda yaitu hijau tua, hijau muda dan hijau kekuningan. Gambar 9 menunjukkan berbagai warna buah muda pada cabai persilangan IPB C5 x IPB C10. (9a) (9b) (9c) Gambar 9. Warna buah muda. 9a) hijau kekuningan; 9b) hijau muda; 9c) hijau tua Berdasarkan hasil persilangan antara cabai IPB C5 x IPB C10 dihasilkan 100% tanaman F1 & F1R dengan warna buah muda adalah hijau muda (Tabel 10). Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada dominansi pada karakter warna buah muda. Tabel 10. Warna Buah Muda pada Beberapa Popuasi Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C10 Genotipe Hijau Tua Hijau Muda Hijau Kekuningan IPB C5 10 tanaman (100.0%) - - IPB C tanaman (100.0%) F1-20 tanaman (100.0%) - F1R - 20 tanaman (100.0%) - F2 69 tanaman ( 30.0%) 111 tanaman ( 48.3%) 50 tanaman ( 21.7%) Pada populasi F2 terdapat tanaman dengan warna buah muda hijau tua : hijau muda : hijau kekuningan dengan perbandingan masing-masing 1 : 2 : 1. Hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung = yang lebih kecil dibandingkan nilai X 2 tabel =

53 (db = 2; α = 5%) (Tabel 11). Jika nisbah populasi F2 adalah 1 : 2 : 1, hal ini menunjukkan karakter kualitatif tersebut tidak dipengaruhi oleh dominansi (Welsh 1991). Dari hal tersebut, dapat menjelaskan bahwa karakter warna buah muda dikendalikan oleh satu gen dan tidak ada dominansi karena sesuai dengan perbandingan Mendel 1 : 2 : 1. Gambar 10 menunjukkan bagan persilangan dan model genotipe untuk gen yang mengendalikan karakter warna buah muda hasil persilangan IPB C5 x IPB C10. Tabel 11. Nilai X 2 hitung Warna Buah Muda pada Populasi F2 (IPB C5 x IPB C10) Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E Hijau Tua Hijau Muda Hijau Kekuningan X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% IPB C5 Hijau Tua (GG) X IPB C10 Hijau Kekuningan (gg) F1 100% Hijau Muda (Gg) X F2 1 Hijau Tua (GG) : 2 Hijau Muda (Gg) : 1 Hijau Kekuningan (gg) Gambar 10. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Warna Buah Muda Hasil Persilangan IPB C5 x IPB C10 Tekstur Permukaan Buah Tekstur permukaan buah pada cabai terdiri atas dua macam yaitu licin dan kasar. Tekstur permukaan buah pada cabai besar (IPB C5) adalah licin, sedangkan tekstur permukaan buah cabai keriting (IPB C105) adalah kasar (Tabel 12). Berdasarkan hasil pengamatan untuk karakter tekstur permukaan buah dapat dinyatakan bahwa tekstur permukaan buah licin bersifat dominan terhadap tekstur

54 36 permukaan buah kasar. Hal ini terlihat pada turunan pertama (F1) maupun F1R serta backcross antara (IPB C105 x IPB C5) x IPB C5 secara keseluruhan tekstur permukaan buahnya adalah licin (Tabel 12). Tabel 12. Tekstur Permukaan Buah pada Beberapa Populasi Hasil Persilangan IPB C105 x IPB C5 Genotipe Licin Kasar IPB C5 10 tanaman (100.0%) - IPB C tanaman (100.0%) F1 (IPB C105 x IPB C5) 20 tanaman (100.0%) - F1R (IPB C5 x IPB C105) 20 tanaman (100.0%) - F1 x IPB C5 99 tanaman (100.0%) - F1 x IPB C tanaman ( 51.1%) 46 tanaman ( 48.9%) F2 IPB C105 x IPB C5 161 tanaman ( 71.5%) 64 tanaman ( 28.5%) Pada populasi backcross antara (IPB C105 x IPB C5) x IPB C105 terdapat tanaman dengan tekstur permukaan buah licin dan kasar dengan perbandingan 1 : 1. Hal ini ditunjukkan oleh nilai X 2 hitung pada populasi backcross = lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 13). Pada populasi F2 (IPB C105 x IPB C5) terdapat tanaman dengan tekstur permukaan buah licin dan kasar dengan perbandingan 3 : 1. Hal ini sesuai dengan nilai X 2 hitung pada populasi F2 = lebih kecil dari X 2 tabel = (db = 1; α = 5%) (Tabel 13). Berdasarkan perbandingan tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter bentuk daun dikendalikan oleh satu gen dan terdapat pengaruh dominansi karena sesuai dengan perbandingan Mendel yaitu 3 : 1. Gambar 11 menunjukkan bagan persilangan dan model genotipe untuk gen yang mengendalikan karakter tekstur permukaan buah. Tabel 13. Nilai X 2 hitung Tekstur Permukaan Buah pada Populasi F1 x IPB C105 dan F2 IPB (C105 x IPB C5) Genotipe Fenotipe Pengamatan (O) Harapan (E) (O-E) 2 / E F1 x IPB C105 Licin Kasar X 2 hitung = tn F2 Licin IPB C105 x IPB C5 Kasar X 2 hitung = tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5%

55 37 IPB C105 Kasar (rr) X IPB C5 Licin (RR) IPB C105 Kasar (rr) X F1 100% Licin (Rr) X IPB C5 Licin (RR) BCP1 1 Licin (Rr) : 1 Kasar(rr) X BCP2 100% Licin ( RR atau Rr ) F2 3 Licin (RR atau Rr) : 1 Kasar (rr) Gambar 11. Bagan Persilangan dan Model Genotipe untuk Gen yang Mengendalikan Karakter Tekstur Permukaan Buah Tinggi Dikotomous Pada populasi F2 (IPB C105 x IPB C5), karakter tinggi dikotomous menyebar normal dan kontinyu (Gambar 12). Hal ini mengindikasikan karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (bersifat poligenik). Data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu (Pantalone et al. 1996). 99, Probability Plot of F2 Normal Mean 28,84 StDev 5,032 N 246 KS 0,038 P-Value >0, tinggi dikotomus F2 105 x 5 Mean 28,84 StDev 5,032 N 246 Percent Frequency , F ,0 22,5 27,0 F2 31,5 36,0 40,5 (12a) (12b) Gambar 12. Sebaran Populasi F2 (IPB C105 x IPB C5) Karakter Tinggi Dikotomous. 12a) Sebaran Normal; 12b) Kurva Kenormalan

56 38 Apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan persilangan resiproknya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Gardner dan Snustad 1984; Stansfield 1991). Antara keturunan F1 dengan keturunan F1 resiprokalnya tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti hukum Mendel (Gardner dan Snustad 1984). Sebaliknya, apabila tidak terdapat pengaruh tetua betina (dikendalikan oleh gen inti), persilangan resiprokal dapat digabungkan untuk memperoleh keturunan berikutnya dan segregasi F2 akan mengikuti hukum Mendel. Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata tinggi dikotomous F1 (IPB C105 x IPB C5) dan F1R (IPB C5 x IPB C105) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 14). Hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh maternal dalam pewarisan karakter tinggi dikotomous pada tanaman cabai. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter tinggi dikotomous dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti. Tidak adanya pengaruh maternal merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000; Yunianti dan Sujiprihati 2006). Tabel 14. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Tinggi Dikotomous Populasi Nilai Tengah (cm) F1 (IPB C105 x IPB C5) ± 3.58 F1R (IPB C5 x IPB C105) ± 3.37 t-hitung 1.91 tn Prob > t 0.07 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% Petr dan Frey (1966) menyatakan bahwa jika nilai hp (potensi rasio) suatu karakter yang berada pada kisaran 0 dan 1, hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Nilai potensi rasio karakter tinggi dikotomous berada pada kisaran 0 dan 1 yaitu 0.33 (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa karakter tinggi dikotomous dikendalikan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Berdasarkan jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter tinggi dikotomous, terdapat 1.74 atau 2 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 15).

57 39 Tabel 15. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Tinggi Dikotomous Populasi Nilai Tengah (cm) P1 (IPB C105) ± 6.28 P2 (IPB C5) ± 1.86 F1 (IPB C105 x IPB C5) ± 3.58 Potensi Rasio 0.33 Aksi Gen Dominan Positif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali 1.74 Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya untuk karakter tinggi dikotomous disajikan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua IPB C105. IPB C5 MP F1 IPB C Gambar 13. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Tinggi Dikotomous Berdasarkan Tabel 16, model genetik yang sesuai untuk karakter tinggi dikotomous adalah model aditif-dominan (m[d][h]). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai, hal ini karena nilai t-hitung = 0.53 menunjukkan nilai lebih kecil dari t-tabel = Jika model yang sesuai model aditif-dominan maka tidak dilanjutkan pengujian untuk model yang berikutnya (Hill et al. 1998). Berdasarkan model genetik yang paling sesuai, maka dapat diduga besarnya nilai komponen genetik tersebut beserta dengan galat bakunya. Nyata tidaknya peran komponen genetik tersebut diuji dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel = 1.96, seperti pada uji skala individu (Singh dan Chaudhary 1979; Mather dan Jink 1982). Berdasarkan efek dominan yang bernilai positif dan lebih kecil dari nilai d (efek aditif) menunjukkan bahwa aksi gen yang sesuai untuk karakter tinggi dikotomous adalah aksi gen dominan positif tidak sempurna. Hal ini sesuai juga dengan dugaan potensi rasio (hp) yang bernilai 0.33 yang juga menunjukkan aksi gen yang sesuai adalah dominan positif tidak sempurna.

58 Tabel 16. Nilai Parameter Genetik dan t-hitung pada Karakter Tinggi Dikotomous Persilangan IPB C105 x IPB C5 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter tinggi dikotomous dapat dinyatakan berada pada kisaran sedang yaitu 26.60% (Tabel 17). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter tinggi dikotomous dapat dinyatakan berada pada kisaran sedang yaitu 20.26% (Tabel 17). Tabel 17. Parameter Nilai m d 5.34 h 2.69 C 0.88 SE C 2.65 t-hitung 0.53 tn t-tabel 1.96 Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Tinggi Dikotomous Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C105) Ragam P2 (IPB C5) 3.48 Ragam F1 (IPB C105 x IPB C5) Ragam BCP1 (F1 x IPB C105) Ragam BCP2 (F1 x IPB C5) Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 26.60% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 20.26% 40 Umur Berbunga Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata umur berbunga F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9), serta (IPB C5 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C5), memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 18). Hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh maternal dalam pewarisan karakter umur berbunga pada tanaman cabai. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina pada karakter umur berbunga pada cabai merah. Hal tersebut mengindikasikan karakter umur berbunga dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti.

59 41 Tabel 18. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Umur Berbunga Populasi Nilai Tengah (HST) F1 (IPB C9 x IPB C10) ± 1.72 F1R (IPB C10 x IPB C9) ± 1.82 t-hitung 0.41 tn Prob > t 0.69 F1 (IPB C5 x IPB C10) ± 0.42 F1R (IPB C10 x IPB C5) ± 0.32 t-hitung 0.60 tn Prob > t 0.56 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% Jika nilai potensi rasio (hp) suatu karakter yang berada pada kisaran -1 dan 0, hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Nilai potensi rasio karakter umur berbunga pada persilangan IPB C9 x IPB C10 adalah -0.24, sedangkan pada persilangan IPB C5 x IPB C10 adalah (Tabel 19). Dari hal tersebut, menjelaskan bahwa karakter umur berbunga dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan pada karakter umur berbunga tanaman cabai, dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Tabel 19. Nilai Potensi Rasio Karakter Umur Berbunga pada Dua Persilangan Populasi Nilai Tengah (HST) P1 (IPB C9) ± 0.35 P2 (IPB C10) ± 1.74 F1 (IPB C9 x IPB C10) ± 1.72 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak Sempurna P1 (IPB C5) ± 0.32 P2 (IPB C10) ± 1.74 F1 (IPB C5 x IPB C10) ± 0.42 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak Sempurna Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan persilangan IPB C5 x IPB C10 untuk karakter umur berbunga disajikan pada Gambar 14. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang lebih cepat berbunga.

60 42 IPB C9 F1 MP IPB C (14a) IPB C5 F1 MP IPB C (14b) Gambar 14. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Umur Berbunga. 14a) Persilangan IPB C9 x IPB C10; 14b) Persilangan IPB C5 x IPB C10 Pada populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) dan F2 (IPB C5 x IPB C10) menunjukkan sebaran yang tidak normal dan kontinyu (Gambar 15). Karakter yang yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk leptokurtic) (Roy 2000). Berdasarkan Tabel 20, karakter umur berbunga pada populasi F2 pada kedua persilangan nilai kurtosisnya < 3, sehingga dapat dinyatakan karakter umur berbunga dikendalikan oleh banyak gen. Hasil penelitian Hilmayati et al. (2006) diperoleh sebaran populasi F2 cabai merah pada karakter umur berbunga mempunyai dua puncak dan dikendalikan oleh gen mayor yaitu dua pasang gen. Hasil penelitian Crowder (1993) menunjukkan bahwa karakter umur berbunga dikendalikan oleh sejumlah gen. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif (Roy 2000). Nilai skewness populasi F2 karakter umur berbunga bernilai positif (Tabel 20). Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter umur berbunga dipengaruhi oleh aksi gen epistasis komplementer.

61 43 Percent 99, Probability Plot of F2 9 x 10 Normal Mean 19,12 StDev 1,725 N 229 KS 0,188 P-Value <0,010 Frequency Histogram of F2 9 x ,1 15,0 17,5 20,0 F2 9 x 10 22,5 25, F2 9 x (15a) (15b) 99, Probability Plot of F2 5 x 10 Normal Mean 19,63 StDev 2,068 N 238 KS 0,169 P-Value <0, Histogram of F2 5 x 10 Largest Extreme Value Percent Frequency , F2 5 x F2 5 x (15c) (15d) Gambar 15. Sebaran Populasi F2 Karakter Umur Berbunga. 15a & 15b) (F2 IPB C9 x IPB C10); 15c & 15d) F2 (IPB C5 x IPB C10) Tabel 20. Nilai Skewness dan Kurtosis pada Populasi F2 Karakter Umur Berbunga Populasi Skewness Kurtosis F2 (IPB C9 x IPB C10) F2 (IPB C5 x IPB C10) Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter umur berbunga berada pada kisaran sedang-tinggi yaitu 31.62% pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan h 2 bs pada persilangan IPB C5 x IPB C10 adalah 74.21% (Tabel 21). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter umur berbunga berada pada kisaran rendah yaitu 0% pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 21). Nilai h 2 ns yang sama dengan nol menunjukkan bahwa ragam aditif yang diduga dari ragam backcross, nilainya lebih besar dibandingkan dengan ragam fenotipik. Jika nilai ragam aditif lebih besar dari ragam fenotipik maka nilai h 2 ns akan bernilai negatif dan dianggap nol. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) diperoleh nilai heritabilitas dalam arti luas untuk karakter umur berbunga cabai merah berada pada kisaran sedang-tinggi.

62 Tabel 21. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Umur Berbunga Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.12 Ragam P2 (IPB C10) 3.03 Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) 2.95 Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) 7.38 Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) 4.14 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 31.62% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 0.00% Ragam P1 (IPB C5) 3.03 Ragam P2 (IPB C10) 0.10 Ragam F1 (IPB C5 x IPB C10) 0.18 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 74.21% 44 Umur Panen Sebaran populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) dan F2 (IPB C105 x IPB C5) karakter umur panen menyebar normal dan kontinyu (Gambar 16). Data yang menyebar normal dan kontinyu merupakan ciri dari suatu karakter kuantitatif yang dikendalikan banyak gen (Pantalone et al. 1996). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter umur panen dikendalikan oleh banyak gen. Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh dari penelitian Greenleaf (1986) yang menunjukkan bahwa karakter umur panen pada cabai diwariskan secara oligogenik artinya dikendalikan oleh sedikit gen. Apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan dari persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Stansfield 1991). Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata umur panen populasi F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 22). Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata umur panen F1 (IPB C105 x IPB C5) dan F1R (IPB C5 x IPB C105) juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 22). Hal ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh maternal dalam pewarisan karakter umur panen pada tanaman cabai. Tidak adanya pengaruh tetua betina merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000).

63 45 99, Umur Panen of F2 9 x 10 Normal Mean 43,23 StDev 6,048 N 223 KS 0,033 P-Value >0, Umur Panen of F2 9 x 10 Normal Mean 43,23 StDev 6,048 N 223 Percent Frequency , F2 9 x F2 9 x (16a) (16b) Percent 99, Umur Panen of F2 105 x 5 Normal Mean 49,89 StDev 4,987 N 214 KS 0,041 P-Value >0,150 Frequency Umur Panen of F2 105 x 5 Normal Mean 49,89 StDev 4,987 N , F2 105 x ,5 45,0 49,5 F2 105 x 5 54,0 58,5 (16c) (16d) Gambar 16. Sebaran Populasi F2 Karakter Umur Panen. 14a & 14b) F2 (IPB C9 x IPB C10); 16c & 16d) F2 (IPB C105 x IPB C5) Tabel 22. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Umur Panen Populasi Nilai Tengah (HSB) F1 (IPB C9 x IPB C10) ± 3.56 F1R (IPB C10 x IPB C9) ± 3.54 t-hitung tn Prob > t 0.68 F1 (IPB C105 x IPB C5) ± 3.42 F1R (IPB C5 x IPB C105) ± 3.60 t-hitung 1.13 tn Prob > t 0.27 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5% Berdasarkan jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter umur panen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 adalah 0.34 atau 1 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 23). Jika nilai potensi rasio (hp) suatu karakter berada pada kisaran -1 dan 0, hal tersebut menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Nilai potensi rasio (hp) karakter umur panen berada pada kisaran -1

64 46 dan 0 yaitu (Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa karakter umur panen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 untuk karakter umur panen disajikan pada Gambar 17. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang lebih cepat panen. Tabel 23. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Umur Panen Populasi Nilai Tengah (HSB) P1 (IPB C9) ± 0.99 P2 (IPB C10) ± 3.23 F1 (IPB C9 x IPB C10) ± 3.56 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali 0.34 P1 (IPB C105) ± 3.07 P2 (IPB C5) ± 1.84 F1 (IPB C105 x IPB C5) ± 3.42 Potensi Rasio 0.09 Aksi Gen Dominan Positif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali 0.32 IPB C9 F1 MP IPB C (17a) IPB C5 MP F1 IPB C (17b) Gambar 17. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Umur Panen. 17a) Persilangan IPB C9 x IPB C10; 17b) Persilangan IPB C105 x IPB C5 Jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter umur panen adalah 0.32 atau 1 kelompok gen pada persilangan IPB C105 x IPB C5 (Tabel 23). Jika nilai hp suatu karakter yang berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa

65 47 karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Nilai potensi rasio (hp) berada pada kisaran 0 dan 1 yaitu 0.09 (Tabel 23). Hal ini menunjukkan bahwa karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5 dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C105 x IPB C5 untuk karakter umur panen disajikan pada Gambar 17. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang lebih lama umur panennya. Untuk menentukan kesesuaian model aditif-dominan suatau karakter, dapat dilakukan pengujian menggunakan uji t. Apabila model menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan (m[d][h]) dengan uji t, maka pengujian tidak dilanjutkan ke model selanjutnya karena dianggap tidak ada interaksi non alelik (Hill et al. 1998). Uji skala individu menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih besar dibandingkan dengan t-tabel pada karakter umur panen, maka model aditif-dominan tidak sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan persilangan IPB C105 x IPB C5 (Tabel 24). Tabel 24. Uji Skala Individu pada Karakter Umur Panen Persilangan Komponen Nilai C IPB C9 x IPB C10 SE C 2.97 t-hitung * IPB C105 x IPB C5 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) * = berbeda nyata pada taraf α=5 % Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, lima hingga enam komponen genetik (Mather dan Jink 1982). Model paling sesuai jika nilai X 2 hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel. Dari hal tersebut mengindikasikan perlu dilakukan analisis dengan model yang lainnya yaitu model yang terdapat komponen interaksi non-alelik. t-tabel 1.96 C SE C 2.60 t-hitung 3.97 * t-tabel 1.96

66 48 Model genetik yang sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen m[d][h][i][l] (Tabel 25). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai dibandingkan model genetik yang lainnya, hal ini karena nilai X 2 hitung = 2.12 menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel = 3.84 (db = 1; α = 0.05). Komponen parameter genetik dominan x dominan bernilai negatif (Tabel 25). Hal ini menunjukkan bahwa komponen-komponen tersebut cenderung lebih mengarah kepada tetua yang nilai rata-ratanya lebih rendah. Nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya menunjukkan adanya aksi gen epistasis duplikat. Hasil penelitian Azrai et al. (2005) menunjukkan jika nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) pada persilangan jagung Nei9008 x CML161 pada karakter ketahanan terhadap penyakit bulai, maka diduga terdapat pengaruh aksi gen epistasis duplikat yang mengendalikan karakter tersebut. Nilai komponen genetik dominan lebih besar nilainya dibandingkan nilai komponen genetik aditif pada karakter umur panen menunjukkan bahwa gen dominan berkontribusi lebih besar dibandingkan gen aditif. Hal tersebut menunjukkan bahwa aksi gen yang mengendalikan karakter umur panen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 adalah dominan duplikat. Berdasarkan Tabel 25, model genetik yang sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5 adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen m[d][h][j][l]. Model tersebut merupakan model yang paling sesuai dibandingkan model genetik yang lainnya. Hal ini karena nilai X 2 hitung = 0.39 menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel = 3.84 (db = 1; α = 0.05). Komponen parameter genetik interaksi aditif x dominan dan dominan x dominan bernilai negatif (Tabel 25). Hal ini menunjukkan bahwa komponenkomponen tersebut lebih cenderung mengarah menuju tetua yang nilai rataratanya lebih rendah. Nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya menunjukkan adanya aksi gen epistasis duplikat. Hasil penelitian Utami et al. (2005) menunjukkan jika nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) pada persilangan

67 49 padi liar x padi budidaya IR 64 pada karakter ketahanan terhadap penyakit blas ras 033, maka diduga terdapat pengaruh aksi gen epistasis duplikat yang mengendalikan karakter tersebut. Nilai komponen genetik dominan lebih besar nilainya dibandingkan nilai komponen genetik aditif menunjukkan bahwa gen dominan berkontribusi lebih besar dibandingkan gen aditif pada karakter umur panen. Dari hal tersebut, dapat diduga bahwa aksi gen yang mengendalikan karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5 adalah dominan duplikat. Tabel 25. Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Umur Panen Persilangan Parameter Nilai SE t-test m d IPB C9 x IPB C10 h i l X 2 hitung model genetik 2.11 tn m d IPB C105 x IPB C5 h j l X 2 hitung model genetik 0.39 tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter umur panen berada pada kisaran tinggi yaitu 78.01% pada persilangan IPB C9 x IPB C10, sedangkan pada persilangan IPB C105 x IPB C5 yaitu 67.15% (Tabel 26). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter umur panen berada pada kisaran rendahsedang yaitu 40.58% pada persilangan IPB C9 x IPB C10, sedangkan pada persilangan IPB C105 x IPB C5 yaitu 8.81% (Tabel 26). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang berada pada kisaran rendah-sedang diduga disebabkan oleh pengaruh gen dominan yang kontribusinya lebih besar dibandingkan pengaruh gen aditif. Nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila kurang dari 20%, cukup tinggi pada 20-50%. tinggi jika lebih dari 50%. Akan tetapi nilai-nilai ini sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Sujiprihati et al. 2006). Karakter umur panen nilai heritabilitas dalam arti luasnya berada pada kisaran

68 sedang-tinggi dengan aksi gen dominan-duplikat lebih efektif dilakukan pada generasi awal. 50 Tabel 26. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Umur Panen Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.98 Ragam P2 (IPB C10) Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 78.01% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 40.58% Ragam P1 (IPB C105) 9.41 Ragam P2 (IPB C5) 3.38 Ragam F1 (IPB C105 x IPB C5) Ragam BCP1 (F1 x IPB C105) Ragam BCP2 (F1 x IPB C5) Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 67.15% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 8.81% Bobot per Buah Sebaran populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) dan F2 (IPB C105 x IPB C5) untuk karakter bobot per buah menyebar normal dan kontinyu (Gambar 18). Data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu (Pantalone et al. 1996). Hal tersebut mengindikasikan bahwa karakter bobot per buah dikendalikan oleh banyak gen. Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata bobot per buah F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9) serta F1 (IPB C105 x IPB C5) dan F1R (IPB C5 x IPB C105) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 27). Hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh maternal dalam pewarisan karakter bobot per buah pada tanaman cabai. Tidak adanya pengaruh maternal merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000). Hasil penelitian Kurniawan dan Budiarto (2008) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh maternal dalam pewarisan bobot buah segar tomat persilangan LV 6123 x LV 5152.

69 51 99, Bobot buah F2 9 x 10 Normal Mean 1,371 StDev 0,3431 N 242 KS 0,049 P-Value >0, Histogram (with Normal Curve) of F2 9 x 10 Mean 1,371 StDev 0,3431 N 242 Percent Frequency ,1 0,0 0,5 1,0 1,5 F2 9 x 10 2,0 2,5 3,0 0 0,6 0,9 1,2 1,5 1,8 F2 9 x 10 2,1 2,4 2,7 (18a) (18b) 99, Probability Plot of F2 Normal Mean 3,923 StDev 1,185 N 232 KS 0,050 P-Value >0, F2 105 x 5 Mean 3,923 StDev 1,185 N 232 Percent Frequency , F ,5 3,0 4,5 F2 6,0 7,5 9,0 (18c) (18d) Gambar 18. Sebaran Populasi F2 Karakter Bobot per Buah. 18a & 18b) F2 (IPB C9 x IPB C10); 18c & 18d) F2 (IPB C105 x IPB C5) Tabel 27. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Bobot per Buah Populasi Nilai Tengah (g) F1 (IPB C9 x IPB C10) 1.85 ± 0.35 F1R (IPB C10 x IPB C9) 1.58 ± 0.52 t-hitung 1.37 tn Prob > t 0.19 F1 (IPB C105 x IPB C5) 4.17 ± 1.19 F1R (IPB C5 x IPB C105) 3.85 ± 0.97 t-hitung 0.66 tn Prob > t 0.52 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Pada persilangan IPB C9 x IPB C10, jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter bobot per buah adalah atau 25 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 28). Nilai potensi rasio (hp) karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 berada pada kisaran 0 dan 1 yaitu 0.35 (Tabel 28). Hal ini menunjukkan bahwa karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dikendalikan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian Hari et al. (2004) memperoleh bobot buah tomat

70 52 persilangan GM1 x GH dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 untuk karakter bobot per buah disajikan pada Gambar 19. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang bobot per buahnya lebih besar. Tabel 28. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Bobot per Buah Populasi Nilai Tengah (g) P1 (IPB C9) 2.39 ± 0.40 P2 (IPB C10) 0.73 ± 0.13 F1 (IPB C9 x IPB C10) 1.85 ± 0.35 Potensi Rasio 0.35 Aksi Gen Dominan Positif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali P1 (IPB C105) 2.34 ± 1.36 P2 (IPB C5) 8.47 ± 0.92 F1 (IPB C105 x IPB C5) 4.16 ± 1.19 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak sempurna Jumlah Gen Pengendali IPB C10 MP F1 IPB C (19a) IPB C105 F1 MP IPB C (19b) 8.47 Gambar 19. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Bobot per Buah. 19a) Persilangan IPB C9 x IPB C10; 19b) Persilangan IPB C105 x IPB C5 Jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter bobot per buah pada persilangan IPB C105 x IPB C5 adalah atau 19 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 28). Bobot buah tomat persilangan GM3

71 53 x GP dikendalikan oleh aksi gen dominansi negatif tidak sempurna (Hari et al. 2004). Nilai potensi rasio (hp) karakter bobot per buah buah pada persilangan IPB C105 x IPB C5 berada pada kisaran -1 dan 0 yaitu (Tabel 28). Hal ini menunjukkan bahwa karakter bobot per buah pada persilangan IPB C105 x IPB C5 dikendalikan aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C105 x IPB C5 untuk karakter bobot per buah disajikan pada Gambar 19. Pada gambar terlihat posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang bobot per buahnya lebih kecil. Berdasarkan uji skala individu yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih besar dibandingkan dengan t-tabel, maka model aditif-dominan tidak sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan persilangan IPB C105 x IPB C5 (tabel 29). Hal tersebut mengindikasikan perlu dilakukan analisis dengan model yang lainnya yaitu model yang terdapat komponen interaksi non-alelik. Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, dan lima serta enam komponen genetik (Mather dan Jink 1982). Tabel 29. Uji Skala Individu pada Karakter Bobot per Buah Persilangan Komponen Nilai C IPB C9 x IPB C10 SE C 0.27 t-hitung * IPB C105 x IPB C5 t-tabel 1.96 C SE C 0.97 t-hitung * t-tabel 1.96 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) * = berbeda nyata pada taraf α=5% Model genetik yang sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi aditif x dominan dengan lima komponen m[d][h][i][j] (Tabel 30). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai dibandingkan model genetik yang lainnya, hal ini karena nilai X 2 hitung = 0.81 menunjukkan nilai

72 54 terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel = 3.84 (db = 1; α = 0.05). Model genetik yang paling sesuai jika nilai X 2 hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel (Mather dan Jink 1982). Terdapat pengaruh aksi gen epistasis pada pewarisan bobot buah segar tomat dan model yang sesuai adalah m[d][h][i][j][l] (Kurniawan dan Budiarto 2008). Hasil penelitian Utami et al. (2005) menunjukkan jika nilai komponen genetik aditif dan dominan bertanda sama dengan interaksinya pada persilangan padi liar x padi budidaya IR 64 pada karakter ketahanan terhadap penyakit blas ras 173, maka diduga terdapat pengaruh aksi gen epistasis komplementer yang mengendalikan karakter tersebut. Nilai semua komponen parameter genetik bernilai positif. Pada karakter bobot per buah, nilai komponen genetik aditif dan dominan bertanda sama dengan interaksinya, hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh aksi gen epistasis komplementer. Nilai komponen genetik dominan lebih besar nilainya dibandingkan nilai komponen genetik aditif menunjukkan bahwa gen dominan berkontribusi lebih besar dibandingkan gen aditif pada karakter bobot per buah. Dari hal tersebut, dapat diduga bahwa aksi gen yang mengendalikan karakter bobot per buah adalah dominan komplementer. Tabel 30. Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Bobot per Buah Persilangan Parameter Nilai SE t-test m d IPB C9 x IPB C10 h i j X 2 hitung model genetik 0.81 tn m d IPB C105 x IPB C5 h i l X 2 hitung model genetik 0.25 tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Model genetik yang sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C105 x IPB C5 adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen m[d][h][i][l]

73 55 (Tabel 30). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai dibandingkan model genetik yang lainnya, hal ini karena nilai X 2 hitung = menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel = 3.84 (db = 1; α = 0.05). Komponen parameter genetik dominan dan interaksi aditif x aditif bernilai negatif (Tabel 30). Hasil penelitian Utami et al. (2005) menunjukkan jika nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) pada persilangan padi liar x padi budidaya IR 64 pada karakter ketahanan terhadap penyakit blas ras 033, maka diduga terdapat pengaruh aksi gen epistasis duplikat yang mengendalikan karakter tersebut. Pada karakter bobot per buah, nilai komponen genetik aditif dan dominan berlawanan tanda dengan interaksinya, hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh aksi gen epistasis duplikat. Nilai komponen genetik dominan dan interaksi dominan x dominan lebih besar nilainya dibandingkan nilai komponen genetik aditif pada karakter bobot per buah, hal ini menunjukkan bahwa gen dominan berkontribusi lebih besar dibandingkan gen aditif. Dari hal tersebut, dapat diduga bahwa aksi gen yang mengendalikan karakter bobot per buah adalah dominan duplikat. Stansfield (1983) menyatakan nilai heritabilitas berada pada kisaran sedang jika bernilai antara 20-50%. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter bobot per buah berada pada kisaran rendah-sedang yaitu 16.48% pada persilangan IPB C9 x IPB C10, sedangkan pada persilangan IPB C105 x IPB C5 yaitu 24.52% (Tabel 31). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter bobot per buah berada pada kisaran rendah yaitu 0% pada persilangan IPB C9 x IPB C10, sedangkan pada persilangan IPB C105 x IPB C5 yaitu 22.68% (Tabel 31). Hasil penelitian Kurniawan dan Budiarto (2008) menunjukkan nilai heritabilitas karakter bobot buah segar pada tomat berada pada kisaran sedang. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10 nilai heritabilitas dalam arti sempit bernilai nol, hal ini diduga disebabkan oleh ragam BCP1 atau BCP2 bernilai lebih besar dibandingkan ragam turunan kedua (F2). Nilai heritabilitas dalam arti sempit berada pada kisaran rendah diduga disebabkan oleh kontribusi gen-gen dominan lebih tinggi dibandingkan gen-gen aditif. Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang rendah akan menyebabkan kemajuan seleksi akan bernilai rendah.

74 Tabel 31. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Bobot per Buah Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.16 Ragam P2 (IPB C10) 0.02 Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.12 Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) 0.21 Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) 0.04 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 16.48% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 0.00% Ragam P1 (IPB C105) 0.92 Ragam P2 (IPB C5) 0.85 Ragam F1 (IPB C105 x IPB C5) 1.42 Ragam BCP1 (F1 x IPB C105) 1.19 Ragam BCP2 (F1 x IPB C5) 1.29 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 24.52% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 22.68% 56 Diameter buah Sebaran populasi F2 IPB C9 x IPB C10 karakter diameter buah menyebar normal dan kontinyu (Gambar 20). Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter diameter buah dikendalikan oleh banyak gen. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) mendapatkan sebaran populasi F2 karakter diameter buah pada cabai merah menyebar normal dan kontinyu. Nilai tengah karakter diameter buah dari populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) tersebut adalah sebesar 8.06 mm. 99, Probability Plot of F2 9 x 10 Normal Mean 8,063 StDev 0,8481 N 234 KS 0,056 P-Value 0, Diameter buah F2 9 x 10 Mean 8,063 StDev 0,8481 N 234 Percent Frequency , F2 9 x ,0 6,6 7,2 7,8 8,4 F2 9 x 10 9,0 9,6 10,2 (20a) (20b) Gambar 20. Sebaran Populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) Karakter Diameter Buah. 20a) Sebaran Normal; 20b) Kurva Kenormalan

75 57 Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata diameter buah F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 32). Hal ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh maternal dalam pewarisan karakter diameter buah pada tanaman cabai. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina pada pewarisan karakter diameter buah cabai pada persilangan 605 x RM G. Yunianti dan Sujiprihati (2006) menjelaskan tidak adanya pengaruh maternal merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti. Tabel 32. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Diameter Buah Populasi Nilai Tengah (mm) F1 (IPB C9 x IPB C10) 8.84 ± 0.93 F1R (IPB C10 x IPB C9) 8.25 ± 1.03 t-hitung 1.32 tn Prob > t 0.21 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Berdasarkan jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter diameter buah terdapat atau 11 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 33). Nilai potensi rasio (hp) karakter diameter buah berada pada kisaran 0 dan 1 yaitu 0.34 (Tabel 33). Hal ini menunjukkan bahwa karakter diameter buah dikendalikan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan bahwa karakter diameter buah cabai pada persilangan 605 x RM G dikendalikan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 untuk karakter diameter buah disajikan pada Gambar 21. Pada gambar terlihat posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah tetua yang diameter buahnya lebih besar. Tabel 33. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Diameter Buah Populasi Nilai Tengah (mm) P1 (IPB C9) 9.85 ± 0.60 P2 (IPB C10) 6.84 ± 0.70 F1 (IPB C9 x IPB C10) 8.84 ± 0.93 Potensi Rasio 0.34 Aksi Gen Dominan Positif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali 10.10

76 58 IPB C10 MP F1 IPB C Gambar 21. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya Karakter Diameter Buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 Berdasarkan uji skala individu yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih besar dibandingkan dengan t-tabel, maka model aditif-dominan tidak sesuai untuk karakter diameter buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 34). Hal tersebut mengindikasikan perlu dilakukan analisis dengan model yang lainnya yaitu model yang terdapat komponen interaksi non-alelik. Apabila model aditifdominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, dan lima serta enam komponen genetik (Mather dan Jink 1982). Tabel 34. Uji Skala Individu pada Karakter Diameter Buah Persilangan Komponen Nilai C IPB C9 x IPB C10 SE C 0.27 t-hitung * t-tabel 1.96 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) * = berbeda nyata pada taraf α=5% Model genetik yang sesuai untuk karakter diameter buah adalah model aditif-dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan interaksi dominan x dominan dengan lima komponen m[d][h][i][l] (Tabel 35). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai dibandingkan model genetik yang lainnya. Hal ini karena nilai X 2 hitung = 0.01 menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel = 3.84 (db = 1; α = 0.05). Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan bahwa karakter diameter buah cabai dipengaruhi oleh aksi gen epistasis duplikat. Nilai komponen genetik interaksi aditif x aditif tidak nyata pada karakter diameter buah (Tabel 35). Pada karakter diameter buah, nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan komponen genetik interaksi dominan x dominan, hal tersebut menunjukkan adanya aksi gen epistasis duplikat. Nilai komponen genetik dominan dan interaksi dominan x dominan lebih besar

77 59 nilainya dibandingkan nilai komponen genetik aditif menunjukkan bahwa gen dominan berkontribusi lebih besar dibandingkan gen aditif pada karakter diameter buah. Dari hal tersebut, dapat diduga bahwa aksi gen yang mengendalikan karakter diameter buah adalah dominan duplikat. Tabel 35. Nilai Parameter Genetik dan X 2 hitung pada Karakter Diameter Buah Parameter Nilai SE t-test m d h i l X 2 hitung model genetik 0.01 tn keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Menurut Sujiprihati et al. (2003) nilai heritabilitas berada pada kisaran sedang jika bernilai antara 20-50%. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter diameter buah berada pada kisaran sedang yaitu 40.97% (Tabel 36). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter diameter buah berada pada kisaran sedang yaitu 25.00% (Tabel 36). Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) memperoleh nilai heritabilitas karakter diameter buah cabai pada persilangan 605 x RM G berada pada kisaran rendah hingga sedang. Tabel 36. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Diameter Buah Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.36 Ragam P2 (IPB C10) 0.49 Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.79 Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) 0.91 Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) 0.35 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 40.97% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 25.00%

78 60 Panjang Buah Sebaran populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) dan F2 (IPB C5 x IPB C10) karakter panjang buah menyebar normal dan kontinyu (Gambar 22). Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter panjang buah dikendalikan oleh banyak gen. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) memperoleh sebaran populasi F2 karakter panjang buah pada cabai merah menyebar normal dan kontinyu. 99, Probability Plot of F2 9 x 10 Normal Mean 3,988 StDev 0,4642 N 241 KS 0,047 P-Value >0, Panjang Buah F2 9 x 10 Mean 3,988 StDev 0,4642 N 241 Percent Frequency ,1 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 F2 9 x 10 4,5 5,0 5,5 0 2,4 3,0 3,6 4,2 F2 9 x 10 4,8 5,4 (22a) (22b) 99, Probability Plot of F2 5 x 10 Normal Mean 6,081 StDev 1,196 N 237 KS 0,045 P-Value >0, Histogram (with Normal Curve) of F2 5 x 10 Mean 6,081 StDev 1,196 N 237 Percent Frequency , F2 5 x F2 5 x (22c) (22d) Gambar 22. Sebaran Populasi F2 Karakter Panjang Buah. 22a & 22b) F2 (IPB C9 x IPB C10); 22c & 22d) F2 (IPB C5 x IPB C10) Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata panjang buah F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 37). Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata bobot per buah F1 (IPB C5 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C5) juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 37). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh maternal dalam pewarisan karakter panjang buah pada tanaman cabai. Hasil penelitian Hilmayanti et al. (2006) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh maternal pola pewarisan karakter panjang buah pada

79 61 cabai hasil persilangan 605 x RM G. Tidak adanya pengaruh maternal pada karakter panjang buah merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti Tabel 37. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Panjang Buah Populasi Nilai Tengah (cm) F1 (IPB C9 x IPB C10) 4.76 ± 0.53 F1R (IPB C10 x IPB C9) 4.63 ± 0.69 t-hitung 0.47 tn Prob > t 0.64 F1 (IPB C5 x IPB C10) 6.62 ± 0.48 F1R (IPB C10 x IPB C5) 6.68 ± 0.46 t-hitung tn Prob > t 0.78 keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Berdasarkan jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter panjang buah terdapat atau 93 kelompok gen pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 38). Nilai potensi rasio (hp) karakter panjang buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 berada pada kisaran 0 dan 1 yaitu 0.52 (Tabel 38). Hal ini menunjukkan bahwa karakter panjang buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dikendalikan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian Hari et al. (2004) menunjukkan bahwa panjang buah tomat persilangan GM1 x GH dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 untuk karakter panjang buah disajikan pada Gambar 23. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah panjang buah tetua yang lebih panjang. Jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter panjang buah terdapat atau 19 kelompok gen yang mengendalikan pada persilangan IPB C5 x IPB C10 (Tabel 38). Nilai potensi rasio (hp) karakter panjang buah pada persilangan IPB C5 x IPB C10 berada pada kisaran -1 dan 0 yaitu (Tabel 38). Hal ini menunjukkan bahwa karakter bobot per buah pada persilangan IPB C5 x IPB C10 dikendalikan aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Panjang buah cabai persilangan 605 x RM G dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Hilmayanti et al. 2006). Secara skematis posisi relatif F1

80 62 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C5 x IPB C10 untuk karakter panjang buah disajikan pada Gambar 23. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua (MP) dan nilai tengah panjang buah tetua yang lebih pendek. Tabel 38. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Panjang Buah Populasi Nilai Tengah (cm) P1 (IPB C9) 5.30 ± 0.38 P2 (IPB C10) 3.07 ± 0.35 F1 (IPB C9 x IPB C10) 4.76 ± 0.53 Potensi Rasio 0.52 Aksi Gen Dominan Positif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali P1 (IPB C5) ± 0.93 P2 (IPB C10) 3.07 ± 0.35 F1 (IPB C5 x IPB C10) 6.62 ± 0.48 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali IPB C10 MP F1 IPB C (23a) IPB C10 F1 MP IPB C (23b) Gambar 23. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya pada Karakter Panjang Buah. 23a) Persilangan IPB C9 x IPB C10; 23b) Persilangan IPB C5 x IPB C10 Berdasarkan uji skala individu yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih besar dibandingkan dengan t-tabel, maka model aditif-dominan tidak sesuai untuk karakter panjang buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan persilangan IPB C5 x IPB C10 (Tabel 39). Hal tersebut mengindikasikan perlu dilakukan analisis dengan model yang lainnya yaitu model yang terdapat komponen interaksi non-alelik. Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan

81 pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, lima sampai dengan enam komponen genetik (Mather dan Jink 1982). 63 Tabel 39. Uji Skala Individu pada Karakter Panjang Buah Persilangan Komponen Nilai C IPB C9 x IPB C10 SE C 0.39 t-hitung * IPB C5 x IPB C10 t-tabel 1.96 C SE C 0.54 t-hitung * t-tabel 1.96 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) * = berbeda nyata pada taraf α=5% Karakter panjang buah dikendalikan oleh banyak gen, hal ini sesuai dengan nilai kurtosis < 3 (Tabel 40). Karakter yang memiliki nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic) berarti karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) (Roy 2000). Karakter panjang buah dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat yang ditunjukkan oleh nilai skewness yang bernilai negatif (Tabel 40). Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang mendekati normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang mendekati normal dan nilai skewness yang bertanda positif (Roy 2000). Tabel 40. Nilai Skewness dan Kurtosis pada Karakter Panjang Buah Persilangan Skewness Kurtosis IPB C9 x IPB C IPB C5 x IPB C Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter panjang buah berada pada kisaran rendah yaitu 14.62% pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 41). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter panjang buah berada pada kisaran sangat rendah yaitu 0% pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 41).

82 64 Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter panjang buah berada pada kisaran tinggi yaitu 99.90% pada persilangan IPB C9 x IPB C10 (Tabel 41). Hasil ini sesuai dengan penelitian Hilmayanti et al. (2006) yang memperoleh nilai heritabilitas karakter panjang buah cabai pada persilangan 605 x RM G berada pada kisaran rendah hingga sedang. Tabel 41. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Panjang Buah Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.14 Ragam P2 (IPB C10) 0.16 Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.28 Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) 0.58 Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) 0.14 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 14.62% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 0.00% Ragam P1 (IPB C5) 0.96 Ragam P2 (IPB C10) 0.35 Ragam F1 (IPB C5 x IPB C10) 0.48 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 99.90% Tebal Daging Buah Sebaran populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) karakter tebal daging buah menyebar normal dan kontinyu (Gambar 24). Hal tersebut menjelaskan bahwa karakter tebal daging buah dikendalikan oleh banyak gen. Data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu (Pantalone et al. 1996). Nilai rata-rata dari populasi F2 tersebut adalah sebesar 0.92 mm. 99, Probability Plot of F2 9 x 10 Normal Mean 0,9235 StDev 0,1293 N 238 KS 0,021 P-Value >0, Tebal kulit buah F2 9 x 10 Mean 0,9235 StDev 0,1293 N 238 Percent Frequency ,1 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 F2 9 x 10 1,1 1,2 1,3 1,4 0 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 F2 9 x 10 (24a) (24b) Gambar 24. Sebaran Populasi F2 (IPB C9 x IPB C10) Karakter Tebal Daging Buah. 24a) Sebaran Normal; 24b) Kurva Kenormalan 1,1 1,2

83 65 Apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan dari persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Stansfield 1991). Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata tebal daging buah F1 (IPB C9 x IPB C10) dan F1R (IPB C10 x IPB C9) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 42). Hal ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh maternal dalam pewarisan karakter tebal daging buah pada tanaman cabai. Tabel 42. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Tebal Daging Buah Populasi Nilai Tengah (mm) F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.87 ± 0.12 F1R (IPB C10 x IPB C9) 0.86 ± 1.15 t-hitung 0.13 tn Prob > t 0.89 keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Berdasarkan jumlah gen-gen efektif yang mengendalikan karakter tebal daging buah terdapat 4.78 atau 5 kelompok gen yang mengendalikan karakter tersebut (Tabel 43). Jika nilai hp suatu karakter yang berada pada kisaran -1 dan 0, hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Nilai potensi rasio (hp) karakter tebal daging buah berada pada kisaran -1 dan 0 yaitu (Tabel 43). Hal ini menunjukkan bahwa karakter tebal daging buah dikendalikan aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya pada persilangan IPB C9 x IPB C10 untuk karakter tebal daging buah disajikan pada Gambar 25. Pada gambar tersebut terlihat bahwa posisi F1 berada antara nilai tengah kedua tetua dan nilai tengah tebal daging buah tetua yang lebih tipis. Tabel 43. Nilai Potensi Rasio dan Jumlah Gen Pengendali Karakter Tebal Daging Buah Populasi Nilai Tengah (mm) P1 (IPB C9) 0.64 ± 0.13 P2 (IPB C10) 1.43 ± 0.08 F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.87 ± 0.12 Potensi Rasio Aksi Gen Dominan Negatif Tidak Sempurna Jumlah Gen Pengendali 4.78

84 66 IPB C10 F1 MP IPB C Gambar 25. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 Terhadap Kedua Tetuanya Karakter Tebal daging Buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10 Model genetik yang sesuai untuk karakter tebal daging buah adalah model aditif-dominan (m[d][h]) (Tabel 44). Model tersebut merupakan model yang paling sesuai, hal ini dikarenakan nilai t-hitung yaitu menunjukkan nilai lebih kecil dari t-tabel yaitu Jika model yang sesuai model aditif-dominan maka tidak dilanjutkan pengujian untuk model yang berikutnya (Hill et al. 1998). Nilai parameter dominan (h) bernilai negatif dan lebih kecil dari parameter aditif (d), hal ini menunjukkan bahwa aksi gennya bersifat dominan negatif tidak sempurna. Hal ini sesuai dengan nilai potensi rasio yang bernilai negatif. Tabel 44. Nilai Parameter Genetik dan t-hitung pada Karakter Tebal Daging Buah Parameter Nilai m 1.03 d 0.40 h C SE C 0.09 t-hitung tn t-tabel 1.96 keterangan: C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf α=5% Stansfield (1983) menyatakan nilai heritabilitas berada pada kisaran sedang jika bernilai antara 20-50%. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) pada karakter tebal daging buah dapat dikatakan sedang yaitu 28.75% (Tabel 45). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) pada karakter tebal daging buah dapat dikatakan sedang yaitu 27.54% (Tabel 45).

85 Tabel 45. Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas pada Karakter Tebal Daging Buah Komponen Nilai Ragam P1 (IPB C9) 0.02 Ragam P2 (IPB C10) 0.01 Ragam F1 (IPB C9 x IPB C10) 0.01 Ragam BCP1 (F1 x IPB C9) 0.02 Ragam BCP2 (F1 x IPB C10) 0.01 Ragam F Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) 28.75% Heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns) 27.54% 67 Bobot Buah Total per Tanaman Apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan dari persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Stansfield 1991). Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata bobot buah total F1 dan F1R pada tiga persilangan memberikan hasil yang berbeda nyata (Tabel 46). Hal ini menunjukkan ada pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter bobot buah total per tanaman pada tanaman cabai. Tabel 46. Uji t-student Populasi F1 dan F1R pada Karakter Bobot Buah Total per Tanaman Populasi Nilai Tengah (g) F1 (IPB C9 x IPB C10) 482 ± F1R (IPB C10 x IPB C9) 219 ± 82.8 t-hitung 4.96 ** Prob > t 0.00 F1 (IPB C105 x IPB C5) 336 ± F1R (IPB C5 x IPB C105) 569 ± t-hitung ** Prob > t 0.00 F1 (IPB C5 x IPB C10) 721 ± 184 F1R (IPB C10 x IPB C5) 566 ± 174 t-hitung 2.32 ** Prob > t 0.03 keterangan: ** = tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % Antara keturunan pertama (F1) dengan keturunan pertama resiprokalnya (F1R) tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti hukum Mendel (Gardner dan Snustad 1984). Dari hal tersebut, dapat

86 68 dinyatakan antara F1 dan F1R pada karakter bobot buah total per tanaman tidak dapat digabung. Adanya pengaruh tetua betina menunjukkan bahwa karakter tersebut selain dikendalikan oleh gen-gen inti juga dikendalikan oleh gen-gen di luar inti. Yunianti dan Sujiprihati (2006) menyatakan bahwa pewarisan ekstrakromosomal adalah pewarisan yang dikendalikan oleh gen yang ada di luar inti. Salah satu ciri suatu karakter diwariskan secara ekstrakromosomal adalah zuriat hasil persilangan berbeda dengan zuriat hasil persilangan resiprokalnya. Untuk mempelajari gen-gen yang mengendalikan karakter bobot buah total per tanaman, maka dilakukan analisis pendugaan terhadap nilai tengah bobot buah total per tanaman populasi P1, P2, F1, F1R, BCP1, BCP2 dan F2. Nilai tengah bobot buah total per tanaman pada F1 & F1R pada semua persilangan akan cenderung mendekati nilai tengah pada tetua betina (Tabel 47). Jika pada suatu karakter tertentu masih terdapat segregasi pada populasi F2, maka karakter tersebut dipengaruhi oleh gen-gen di dalam inti (Gardner dan Snustad 1984). Nilai tengah bobot buah total per tanaman pada F2, BCP1 dan BCP2 masih terjadi segregasi dan nilainya tidak cenderung mendekati nilai tengah F1 (Tabel 47). Hal ini menunjukkan bahwa karakter bobot buah total dikendalikan oleh gen-gen di inti dan gen-gen di luar inti. Tabel 47. Nilai Tengah dan Simpangan Baku Karakter Bobot Buah Total per Tanaman pada Beberapa Populasi Populasi Nilai Tengah ± simpangan baku (g) IPB C9 x IPB C10 IPB C105 x IPB C5 IPB C5 x IPB C10 P ± ± ± P ± ± ± F ± ± ± F1R ± ± ± BCP ± ± BCP ± ± F ± ± ± Sebaran populasi F2 IPB C9 x IPB C10, F2 IPB C105 x IPB C5 dan F2 IPB C5 x IPB C10 karakter bobot buah total menyebar tidak normal dan kontinyu (Gambar 26). Karakter yang yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk leptokurtic) (Roy

87 ). Nilai kurtosis karakter bobot buah total per tanaman pada ketiga persilangan, secara berurutan adalah 0.95, dan pada F2 (IPB C9 x IPB C10), F2 (IPB C105 x IPB C5) dan F2 (IPB C5 x IPB C10) (Tabel 48). Hal tersebut menjelaskan bahwa karakter bobot buah total per tanaman dikendalikan oleh banyak gen. Percent 99, Probability Plot of F2 9 x 10 Normal Mean 335,3 StDev 172,5 N 202 KS 0,088 P-Value <0,010 Frequency Histogram of F2 9 x 10 Largest Extreme Value Loc 256,1 Scale 134,8 N , F2 9 x F2 9 x (26a) (26b) Percent 99, Probability Plot of F2 105 x 5 Normal Mean 412,9 StDev 224,9 N 203 KS 0,099 P-Value <0,010 Frequency Histogram of F2 105 x 5 Loc 308,3 Scale 176,8 N , F2 105 x F2 105 x (26c) (26d) Probability Plot of F2 5 x 10 Normal Histogram of F2 5 x 10 Largest Extreme Value 99, Mean 491,5 StDev 260,9 N 234 KS 0,085 P-Value <0, Loc 368,9 Scale 211,5 N 234 Percent Frequency , F2 5 x F2 5 x (26e) (26f) Gambar 26. Sebaran Populasi F2 Karakter Bobot Buah Total per Tanaman. 26a & 26b) F2 (IPB C9 x IPB C10); 26c & 26d) F2 (IPB C10 x IPB C5); 26e & 26f) F2 (IPB C5 x IPB C10)

88 70 Tabel 48. Nilai Skewness dan Kurtosis pada Karakter Bobot Buah Total Persilangan Skewness Kurtosis IPB C9 x IPB C IPB C105 x IPB C IPB C5 x IPB C Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif (Roy 2000). Berdasarkan Tabel 48, nilai skewness karakter bobot buah total per tanaman pada ketiga persilangan bernilai positif yaitu 0.86, 0.68 dan 0.60 pada F2 (IPB C9 x IPB C10), F2 (IPB C105 x IPB C5) dan F2 (IPB C5 x IPB C10). Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter bobot buah total per tanaman dikendalikan oleh banyak gen dan dipengaruhi oleh aksi gen epistasis komplementer. Nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman berada pada kisaran sedang sampai tinggi (Tabel 49). Pada persilangan IPB C9 x IPB C10 nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman dapat dinyatakan tinggi, nilai h 2 bs = 72.89% dan h 2 ns = 69.28% (Tabel 49). Pada persilangan IPB C105 x IPB C5 nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman dapat dinyatakan sedang sampai tinggi, nilai h 2 bs = 56.42% dan h 2 ns = 44.60% (Tabel 49). Pada persilangan IPB C5 x IPB C10 nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman dapat dinyatakan tinggi, nilai h 2 bs = 73.08% (Tabel 49). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tinggi dapat meningkatkan nilai kemajuan seleksi (Zen 1995). Tabel 49. Nilai Heritabilitas Karakter Bobot Buah Total per Tanaman pada Tiga Persilangan Persilangan h 2 bs (%) h 2 ns (%) IPB C9 x IPB C IPB C105 x IPB C IPB C5 x IPB C

89 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1 : 2 : 1. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan nilai X 2 hitung yang diperoleh lebih kecil dibandingkan X 2 tabel. Jika nisbah populasi F2 adalah 3 : 1, dapat dinyatakan bahwa karakter tersebut dipengaruhi oleh aksi gen dominan, jika nisbah populasi F2 adalah 1 : 2 : 1, dapat dinyatakan bahwa karakter tersebut tidak ada pengaruh dominansi (Welsh 1991). Dari hal tersebut, dapat menjelaskan bahwa semua karakter-karakter kualitatif yang diamati (bentuk daun, warna batang muda, posisi bunga, warna buah muda dan tekstur permukaan buah) dikendalikan oleh satu gen. Apabila suatu karakter dikendalikan oleh tetua betina maka keturunan persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina (Stansfield 1991). Antara keturunan F1 dengan keturunan F1 resiproknya tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti hukum Mendel (Gardner dan Snustad 1984). Sebaliknya, apabila tidak terdapat pengaruh tetua betina (dikendalikan oleh gen inti), persilangan resiprokal dapat digabungkan benihnya untuk memperoleh keturunan berikutnya dan segregasi F2 akan mengikuti hukum Mendel. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh tetua betina pada semua karakter-karakter kuantitatif yang diamati kecuali bobot buah total per tanaman. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan nilai rata-rata populasi F1 & F1R. Jika nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel atau nilai Prob> t lebih dari 0.05, maka dapat dinyatakan tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata populasi F1 & F1R. Tidak adanya pengaruh maternal merupakan indikasi bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000; Yunianti dan Sujiprihati 2006). Pada karakter bobot buah total per tanaman, diduga terdapat pengaruh tetua betina. hal ini menunjukkan terdapat pengaruh gen-gen di luar inti yang mengendalikan karakter tersebut. Derajat dominansi dari masing-masing karakter kuatitatif yang diamati dapat diduga dengan menghitung nilai potensi rasio (hp). Jika nilai hp = 0 menunjukkan karakter tesebut tidak ada dominansi, jika hp = 1 atau hp = -1

90 72 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan lebih, jika berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, maka nilai rata-rata F1 cenderung mendekati nilai rata-rata tetua yang lebih tinggi. Karakter-karakter kuantitatif yang diamati yang aksi gennya berupa aksi gen dominan positif tidak sempurna meliputi tinggi dikotomous, umur panen, bobot per buah dan diameter buah. Pada penelitian Hari et al. (2004) diperoleh hasil bobot buah tomat persilangan GM1 x GH dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna. Jika nilai hp suatu karakter yang berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna (Petr dan Frey 1966). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, maka nilai rata-rata F1 cenderung mendekati nilai rata-rata tetua yang lebih rendah. Karakter-karakter kuantitatif yang diamati yang mempunyai aksi gen dominan negatif tidak sempurna meliputi panjang buah dan tebal daging buah. Dalam penelitian Hilmayanti et al. (2006) diperoleh panjang buah cabai persilangan 605 x RM G dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Demikian juga hasil penelitian Hari et al. (2004) menunjukkan bahwa bobot buah tomat persilangan GM3 x GP dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Apabila model menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan (m[d][h]) dengan uji-t, maka pengujian tidak dilanjutkan ke model yang lainnya karena dianggap tidak ada interaksi non alelik (Hill et al. 1998). Berdasarkan uji skala indivdu, model genetik yang sesuai untuk karakter tinggi dikotomous dan tebal daging buah adalah model aditif-dominan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t- hitung yang lebih kecil dibandingkan nilai t-tabel (1.96). Nilai t-hitung diperoleh dari nilai C dibagi SE C (standard error C). Nilai C = 4 (rata-rata F2) (rata-rata P1) 2 (rata-rata F1) (rata-rata P2). Jika nilai t-hitung lebih besar dari nilai t- tabel (1.96), maka dilakukan uji skala gabungan untuk melihat pengaruh interaksi antar lokus yang berbeda atau interaksi gen-gen non alelik. Hasil penelitian

91 73 Limbongan et al. (2008) menunjukkan model genetik yang sesuai untuk karakter tinggi tanaman pada padi adalah model aditif-dominan/m[d][h]. Apabila model aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari model dua, tiga, empat, dan lima komponen genetik. Model paling sesuai jika nilai X 2 hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X 2 tabel (Mather dan Jink 1982). Berdasarkan uji skala gabungan, model m[d][h][i][j] sesuai untuk karakter bobot per buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10. Model m[d][h][i][l] sesuai untuk karakter umur panen dan diameter buah pada persilangan IPB C9 x IPB C10. Model m[d][h][j][l] sesuai untuk karakter umur panen pada persilangan IPB C105 x IPB C5. Jika nilai komponen dominan lebih besar dibandingkan nilai komponen aditif maka aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut adalah aksi gen dominan. Jika nilai komponen dominan atau aditif berlawanan tanda dengan komponen interaksinya, maka diduga ada pengaruh epistasis duplikat. Jika nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) pada persilangan jagung Nei9008 x CML161 pada karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menunjukkan adanya aksi gen epistasis duplikat (Azrai et al. 2005). Karakterkarakter yang dikendalikan oleh aksi gen epistasis duplikat meliputi umur panen, panjang buah, diameter buah dan bobot per buah. Jika nilai komponen dominan atau aditif bertanda sama dengan komponen interaksinya, maka diduga ada pengaruh epistasis komplementer. Hasil penelitian Utami et al. (2005) menunjukkan jika komponen genetik aditif dan dominan bertanda sama dengan interaksinya pada persilangan padi liar x padi budidaya IR 64 pada karakter ketahanan terhadap penyakit blas menunjukkan adanya aksi gen epistasis komplementer. Karakter-karakter yang dikendalikan oleh aksi gen epistasis komplementer meliputi umur berbunga dan bobot total per tanaman. Sebaran populasi F2 karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman, menyebar tidak normal dan kontinyu. Karakter yang yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk leptokurtic) (Roy 2000). Nilai kurtosis karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman bernilai kurang dari tiga. Hal tersebut

92 74 menjelaskan bahwa karakter bobot buah total per tanaman dikendalikan oleh banyak gen. Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif (Roy 2000). Nilai skewness karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman bernilai positif. Dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter umur berbunga dan bobot buah total per tanaman dipengaruhi oleh aksi gen epistasis komplementer. Nilai heritabilitas dikatakan rendah apabila kurang dari 20%, sedang jika berada antara 20-50%, tinggi jika lebih dari 50%. Akan tetapi nilai-nilai ini sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Sujiprihati et al. 2003; Stansfield 1983). Nilai heritabilitas karakter umur panen berada pada kisaran rendah sampai tinggi, nilai heritabilitas karakter tinggi dikotomous berada pada kisaran sedang, nilai heritabilitas karakter bobot per buah berada pada kisaran rendah sampai sedang, nilai heritabilitas karakter diameter buah dan tebal daging buah berada pada kisaran sedang, nilai heritabilitas karakter panjang buah berada pada kisaran rendah sampai tinggi, dan nilai heritabilitas karakter bobot buah total per tanaman berada pada kisaran sedang sampai tinggi. Seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi (Falconer 1981). Berdasarkan jumlah gen yang mengendalikan, model genetik yang sesuai, aksi gen yang mengendalikan dan nilai heritabilitas dapat mempermudah pemulia dalam menentukan metode seleksi yang sesuai. Misalnya pada karakter bobot buah total per tanaman hasil persilangan IPB C105 x IPB C5 nilai rata-rata populasi F2 = g, nilai = g dan nilai h 2 ns = 44.60%. Jika dilakukan seleksi 5% dari jumlah populasi awal dengan nilai intensitas seleksi (i) = 2.063, dengan rumus nilai kemajuan selekasi ( G) = i h 2 ns (Allard 1960), maka akan diperoleh kemajuan seleksi sebesar g. Sehingga pada populasi yang akan datang (populasi F3) akan diperoleh nilai rata-rata bobot buah total per tanaman adalah g. Apabila seleksi terus dilakukan sampai generasi F7 maka akan terbentuk galur unggul dengan produktivitas yang tinggi.

93 75 Dengan demikian seleksi dapat lebih efektif dan efisien, jika diketahui informasi genetik yang lengkap (Allard 1960). Jika suatu karakter dikendalikan oleh aksi gen dominan, maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada awal generasi. Dalam penelitian ini, seleksi akan lebih efektif dilakukan pada generasi awal untuk semua karakter kuantitatif yang diamati. Hal ini karena semua karakter kuantitatif yang diamati dikendalikan oleh aksi gen dominan. Zen (1995) menjelaskan jika nilai heritabilitas berada pada kisaran tinggi maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada generasi awal. Metode pedigree lebih sesuai untuk karakter yang nilai heritabilitasnya berada pada kisaran tinggi. Pada penelitian ini karakter bobot buah total per tanaman akan efektif jika dilakukan pada generasi awal dengan metode pedigree. Sebaliknya, jika nilai heritabilitas berada pada kisaran rendah-sedang maka seleksi akan efektif jika dilakukan pada generasi lanjut (Zen 1995). Metode bulk lebih sesuai untuk karakter yang nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah-sedang. Pada penelitian ini, seleksi untuk karakter bobot per buah, tinggi dikotomous, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, umur berbunga dan umur panen lebih efektif dilakukan pada generasi lanjut dengan metode bulk.

94 76 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Karakter posisi bunga dan warna buah muda dikendalikan oleh satu gen dan tidak terdapat pengaruh dominansi dengan perbandingan pada populasi F2 1 : 2 : 1. Karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah dikendalikan satu gen dan dipengaruhi oleh oleh aksi gen dominan dengan perbandingan pada populasi F2 3 : 1. Pada persilangan IPB C105 x IPB C5, karakter tinggi dikotomous dikendalikan oleh banyak gen, model genetik yang sesuai adalah model aditifdominan dengan aksi gen dominan positif tidak sempurna. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran sedang. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10 dan IPB C5 x IPB C10, karakter umur berbunga dikendalikan oleh aksi gen epistasis komplementer. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah sampai tinggi. Karakter umur panen dikendalikan oleh banyak gen. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10 model genetik yang sesuai untuk karakter umur panen adalah m[d][h][i][l] dengan aksi gen dominan duplikat. Pada persilangan IPB C105 x IPB C5 model genetik yang sesuai untuk karakter umur panen adalah m[d][h][j][l] dengan aksi gen dominan duplikat. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah sampai tinggi. Karakter bobot per buah dikendalikan oleh banyak gen. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10 model genetik yang sesuai untuk karakter bobot per buah adalah m[d][h][j][l] dengan aksi gen dominan komplementer. Pada persilangan IPB C105 x IPB C5 model genetik yang sesuai untuk karakter bobot per buah adalah m[d][h][i][l] dengan aksi gen dominan duplikat. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah sampai sedang. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10, karakter diameter buah dikendalikan oleh banyak gen dan model genetik yang sesuai adalah m[d][h][i][l] dengan aksi gen dominan duplikat. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran sedang.

95 77 Persilangan IPB C9 x IPB C10 dan persilangan IPB C5 x IPB C10 mempunyai karakter panjang buah yang dikendalikan oleh banyak gen dengan aksi gen dominan duplikat. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran rendah sampai tinggi. Pada persilangan IPB C9 x IPB C10, karakter tebal daging buah dikendalikan oleh banyak gen dan model genetik yang sesuai adalah m[d][h] dengan aksi gen dominan negatif tidak sempurna. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran sedang. Pada karakter bobot buah total per tanaman terdapat pengaruh tetua betina pada ketiga persilangan dan dikendalikan oleh aksi gen epistasis komplementer. Nilai heritabilitasnya berada pada kisaran tinggi. Saran Berdasarkan aksi gen yang mengendalikan, seleksi akan lebih efektif dilakukan pada generasi awal untuk semua karakter kuantitatif yang diamati. Berdasarkan nilai heritabilitas, karakter bobot buah total per tanaman akan efektif jika dilakukan pada generasi awal dengan metode pedigree, dan karakter bobot per buah, tinggi dikotomous, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, umur berbunga dan umur panen lebih efektif jika dilakukan seleksi pada generasi lanjut dengan metode bulk. Berdasarkan nilai rata-rata bobot buah total per tanaman pada populasi F1 yang tidak terlalu tinggi pada ketiga persilangan, lebih sesuai untuk perakitan varietas bersari bebas (OP).

96 78 DAFTAR PUSTAKA Allard RW Principle of Plant Breeding. New York: John Wiley and Sons, Inc. Azrai M, Aswidinnoor H, Koswara J, Surahman M Pendugaan model genetik dan heritabilitas karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung. Zuriat 16(2): Budiyanto T Pola Pewarisan dan Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Cabai (Capsicum annuum L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Crowder LV Genetika Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Lilik Kusdarwati dan Sutarso. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Dascalov S Capsicum. Dalam: Banga SS, Banga SK, editor. Hybrid Cultivar Development. New dehli: Nalosa Publishing House. hal Djarwaningsih T Capsicum spp. (cabai): asal, persebaran dan nilai ekonomi. Biodiversitas 6(4): [Ditjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura Luas Panen Tanaman Sayuran Indonesia Periode [15 Juni 2009]. Duriat AS Cabai merah: komoditas prospek dan andalan. p.1-3. Dalam: A.S. Duriat. A. Widjaja, W. Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum (eds). Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Dzikri MA Pola Pewarisan Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Cabai (Capsicum annuum L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Falconer DS Introduction to Quantitative Genetics. Malaysia: Longman. Gardner EJ, Snustad DP Principle of Genetics. 6 th edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Greenleaf WH Pepper Breeding in Breeding Vegetable Crops. Edited by Mark. J. Basset. Florida: Vegetable Crops Department University of Florida. Geenesuille. Hari RM, Kurniawati T, Nasrullah Pola pewarisan karakter buah tomat. Zuriat 20(2):

97 Heiser CB Peppers. In: Simmonds NW (Ed). Evolution of Cros Plants. London: Longman Scientific and Technical. Hill J, Becker HC, Tigerstedt PMA Quantitative and Ecological Aspects of Plant Breeding. London: Capman and Hall. Hilmayanti I, Dewi W, Murdaningsih, Rahardja M, Rostini N, Setiamihardja R Pewarisan karakter umur berbunga dan ukuran buah cabai merah (Capsicum annuum L.).Zuriat 17(1): Kirana R, Setiamiharja R, Hermiati N, Permadi AH Pewarisan karakter jumlah bunga tiap nodus hasil persilangan Capsicum annuum L. dengan Capsicum chinense. Zuriat 16(2): Kuriawan H, Budiarto K Pola pewarisan bobot buah segar tomat (Lycopersicon esculentum Mill). Agrivita 30(2): Kusandriani Y dan Permadi AH Pemuliaan tanaman cabai. hal Dalam: A.S. Duriat. A.W.W Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, dan L Prabaningrum. Teknologi Produksi Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Kusandriani Y Botani Tanaman Cabai Merah. hal Dalam: A.S. Duriat. A.W.W Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, dan L Prabaningrum. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa. Bandung. Teknologi Produksi Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lande R The Minimum Number Of Genes Contributing to Quantitative Variation Between and Within Populations. Genetics 99: Limbongan YL, Aswidinnoor H, Purwoko BS, Trikoesoemaningtyas Pewarisan sifat toleransi padi sawah (Oryza sativa L.) terhadap cekaman suhu rendah. Buletin Agronomi 36(2): Mangoendidjojo W Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. Mather K, Jink JL Biometrical genetics: The study of continuous variation. 3 rd edition. London: Chapman and Hall. Mogensen HL, Rusche ML Occurrence of plastids in rye (Poacae) sperm cells. American Journal of Botany 87: Petr FC, Frey KC Genotypic correlation. dominans and heritability of quantitative character in oats. Crops Sci 6: Pitojo S Seri Penangkaran: Benih Cabai. Yogyakarta: Kanisius. 79

98 Poehlman JM Breding Fields Crops. Connecticut USA: The Avi Publishing Company. Inc. Westport. Poehlman JM, Sleper DA Breeding Field Crops. Fourth edition. Lowa: Lowa State University Press. Roach DA, Wulff RD Maternal effects in plant. Annual Review of Ecology and Systematics 18: Roy D Plant Breeding. Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Narosa Publ. House. Rutabatzky VE, Yamaguchi M Sayuran Dunia. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Stansfield WD Genetika. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Machidin Apandi dan Lanny T. Hardy. Jakarta: Erlangga. Stansfield WD Theory and Problem of Genetics. 2nd eds. Schaum s Outline Series. Mc Graw-Hill Inc. Sujiprihati S, Syukur M, Yunianti R Pemuliaan tanaman. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sujiprihati S, Saleh GB, Ali ES Heritability, performance and correlation studies on single cross hybrids of tropical maize. Asian Journal of Plant Science 2(1): Sumarni N Budidaya Tanaman Cabai Merah. Dalam: Duriat As, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L (Eds). Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Sutarya R, Grubben G Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Singh RS, Chaudhary BD Biometrical Methods in Quantitative Genetics Analysis. New Delhi: Kalyani Publ. Strickberger MW Genetics. 2 nd. New York: Macmillan Publ. Co. Syukur M Pelatihan Budidaya dan Agribisnis Cabai. Laporan Akhir Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syukur M Analisis Genetik dan Studi Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Collectotricum acutatum [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 80

99 81 Syukur M, Sujiprihati S, Koswara J, Widodo Pewarisan ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Collectotricum acutatum. Buletin Agronomi 35 (2): Utami D, Moeljopawiro WS, Aswidinnoor H, Setiawan A, Hanarida I Gen pengendali sifat ketahanan penyakit blas pada spesies padi liar Oryza rofipogon Griff. dan padi budidaya IR64. Agrobiogen 1(1): 1-6. Warner JN A methode of estimating heritability. Agron. J. 44: Welsh JR Fundamental of Plant Genetic and Breeding (Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman alih bahasa Mogea, J.P.). Jakarta: Erlangga. Yunianti R Keragaman dan Pendugaan Parameter Genetik serta Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) Terhadap Phytopthora capsici Leonina [Disertasi]. Bogor: Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yunianti R, Sujiprihati S Pewarisan Ekstrakromosomal. Dalam: Sarsisi Sastrosumarjo (Ed). Sitogenetika Tanaman. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zen S Parameter Genetik Padi Sawah Dataran Tinggi. Dalam: Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III. Jember: Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia.

100 LAMPIRAN 82

101 83 Lampiran 1. Tetua-tetua Cabai. a) IPB C5; (b) IPB C9; c) IPB C10; dan d) IPB C105. (a) (c) (b) (d)

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai termasuk tanaman dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum

Lebih terperinci

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Solanes, famili Solanaceae, dan genus Capsicum. Tanaman ini berasal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk kedalam genus Capsicum, termasuk diantaranya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Botani Cabai Cabai merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan. Cabai dikenal di Eropa pada abad ke-16, setelah diintroduksi oleh Colombus saat perjalanan pulang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies cabai yang telah dikenal, diantaranya C. baccatum, C. pubescent,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai Abdullah Bin Arif 1 *, Sriani Sujiprihati 2, dan Muhamad Syukur 2 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai (Capsicum sp.) berasal dari Amerika dan menyebar di berbagai negara di dunia. Cabai termasuk ke dalam famili terong-terongan (Solanaceae). Menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.) Abdullah B. Arif 1*, Linda Oktaviana 2, Sriani Sujiprihati 3, dan Muhamad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Pepaya (Carica papaya L.) termasuk dalam famili Caricaceae dan genus Carica. Famili Caricaceae ini terdiri dari empat genus yaitu Carica, Jarilla dan Jacaratial yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Divisi Sub-divisi Class Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan lingkungan hidup yang indah dan nyaman. Cabai (Capsicum sp.) disamping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang. Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang. Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Botani Tanaman Kacang Panjang Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2011), susunan klasifikasi kacang panjang secara lengkap adalah sebagai berikut Divisi Kelas Sub kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer dan Palmer, 1990). Tinggi tanaman jagung berkisar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ilmiah Tanaman Kedelai Klasifikasi ilmiah tanaman kedelai sebagai berikut: Divisi Subdivisi Kelas Suku Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Magnoliophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai 1 II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Sistematika Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sentra pertanaman kacang panjang yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sentra pertanaman kacang panjang yang mempunyai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sentra pertanaman kacang panjang yang mempunyai keanekaragaman genetik yang luas (Deanon dan Soriana 1967). Kacang panjang memiliki banyak kegunaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Kacang Tanah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis Leguminosa yang memiliki kandungan gizi sangat tinggi. Kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis adalah tanaman herba monokotil dan tanaman semusim iklim panas. Tanaman ini berumah satu dengan bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel)

Lebih terperinci

Teknik Pemuliaan Tanaman Cabai

Teknik Pemuliaan Tanaman Cabai Teknik Pemuliaan Tanaman Cabai Teknik Pemuliaan Tanaman Cabai M. Syukur, S. Sujiprihati dan R. Yunianti Bogor Agricultural University (IPB) page 1 / 13 Pendahuluan Cabai merupakan salah satu jenis sayuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

Pendugaan Parameter Genetik pada Beberapa Karakter Kuantitatif pada Persilangan antara Cabai Besar dengan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.

Pendugaan Parameter Genetik pada Beberapa Karakter Kuantitatif pada Persilangan antara Cabai Besar dengan Cabai Keriting (Capsicum annuum L. Pendugaan Parameter Genetik pada Beberapa Karakter Kuantitatif pada Persilangan antara Cabai Besar dengan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.) Estimation of Several Genetic Parameter on Quantitative Characters

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL Estimation of genetic parameters chilli (Capsicum annuum L.) seeds vigor with half diallel cross

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM

VII. PEMBAHASAN UMUM VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif Tabel 4 menunjukkan kuadrat nilai tengah pada analisis ragam untuk tinggi tanaman, tinggi tongkol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman cabai Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Paprika Tanaman paprika (Capsicum annum var. grossum L.) termasuk ke dalam kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, famili Solanaceae dan genus Capsicum. Tanaman paprika merupakan

Lebih terperinci

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.)

HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) HERITABILITAS DAN KEMAJUAN GENETIK HARAPAN POPULASI F2 PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) HERITABILITY AND GENETIC GAINS OF F2 POPULATION IN CHILLI (Capsicum annuum L.) Zuri Widyawati *), Izmi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 KENTANG (Disarikan dari PPPVH 2004) Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura I. UJI ADAPTASI 1. Ruang Lingkup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia yang digunakan sebagai sayuran maupun

Lebih terperinci

Famili Solanaceae. Rommy A Laksono

Famili Solanaceae. Rommy A Laksono Famili Solanaceae Rommy A Laksono Suku terong-terongan atau Solanaceae adalah salah satu suku tumbuhan berbunga. Suku ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi bagi kepentingan manusia. Beberapa anggotanya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Steenis (2005) klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Class : Dicotyledoneae, Ordo : Polypetales, Familia : Papilionaceae,

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar

I. PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar dan banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanaman ini dapat dikonsumsi segar sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan.

I. PENDAHULUAN. berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pertambahan penduduk dan berkembangnya industri pengolahan makanan yang berasal dari kacang tanah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan. Kebutuhan kacang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Sharma (1993), tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisio : Plantae : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class Ordo Family Genus Species

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PENDAHULUAN Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.

Lebih terperinci

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 5 Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 1. Tanaman menyerbuk sendiri 2. Dasar genetik Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi dan harga yang relatif murah. Kedelai

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Fitri Yanti 11082201730 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Cabai Secara sistematika menurut Suriana (2012) cabai dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI Metode Pemuliaan Introduksi Seleksi Hibridisasi penanganan generasi bersegregasi dengan Metode silsilah (pedigree) Metode curah (bulk) Metode silang balik (back

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mentimun Papasan Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota Cucurbitaceae yang diduga berasal dari Asia dan Afrika. Tanaman mentimun papasan memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF TOMAT SITI ZAMROH DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi penelitian terletak di Kebun Percobaan Leuwikopo. Lahan yang digunakan merupakan lahan yang biasa untuk penanaman cabai, sehingga sebelum dilakukan penanaman,

Lebih terperinci

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto

Hajroon Jameela *), Arifin Noor Sugiharto dan Andy Soegianto KERAGAMAN GENETIK DAN HERITABILITAS KARAKTER KOMPONEN HASIL PADA POPULASI F2 BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS INTRODUKSI DENGAN VARIETAS LOKAL GENETIC VARIABILITY AND HERITABILITY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang

I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pepaya merupakan salah satu komoditi buah penting dalam perekonomian Indonesia. Produksi buah pepaya nasional pada tahun 2006 mencapai 9.76% dari total produksi buah

Lebih terperinci

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A34403052 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A

POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A POLA PEWARISAN BEBERAPA KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA CABAI (Capsicum annuum L.) Oleh Muhammad Dzikri Alif A34403052 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Sharma (1993), tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisio : Plantae : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class Ordo Family Genus Species

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik, pertumbuhan akar tunggang lurus masuk kedalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar-akar cabang banyak terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kelas : Monocotyledoneae, ordo : poales, famili : poaceae, genus : Zea, dan

TINJAUAN PUSTAKA. kelas : Monocotyledoneae, ordo : poales, famili : poaceae, genus : Zea, dan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Steenis (2003) dalam taksonomi tumbuhan, tanaman jagung diklasifikasikan dalam kingdom : Plantae, divisio : Anthophyta, kelas : Monocotyledoneae, ordo : poales,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Sharma (1993), tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman apel berasal dari Asia Barat Daya. Dewasa ini tanaman apel telah menyebar di seluruh dunia. Negara penghasil utama adalah Eropa Barat, negaranegara bekas Uni Soviet, Cina,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Kedelai Hitam Tanaman kedelai merupakan tanaman budidaya yang berasal dari daerah Cina Utara sekitar 2500 SM yang kemudian menyebar ke bagian selatan cina,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman.

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman berkaitan erat dengan proses seleksi. Seleksi hanya dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jagung Manis LASS Menurut Hikam (2007), varietas LASS merupakan hasil rakitan kembali varietas jagung sintetik bernama Srikandi. Varietas LASS juga merupakan hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Singkat Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kedelai pertama kali dibudidayakan oleh orang China dan pertama kali

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Kedelai pertama kali dibudidayakan oleh orang China dan pertama kali II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman kedelai 2.1.1 Sejarah singkat Tanaman Kedelai pertama kali dibudidayakan oleh orang China dan pertama kali ditemukan di daerah Manshukuo (China Utara) berupa semak yang

Lebih terperinci