ISBN :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ISBN :"

Transkripsi

1 ISBN :

2 Disusun Oleh : Panitia Forum Ilmiah Tahunan 010 Diterbitkan Oleh : Komisariat Wilayah Riau Prosiding

3 KATA PENGANTAR Forum Ilmiah Tahunan Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah proses pembangunan yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Intensitas pembangunan dewasa ini kerapkali mengesampingkan aspek kelestarian lingkungan dalam pelaksanaannya. Kerusakan hutan akibat pembalakan, kegiatan penambangan, atau untuk keperluan pertanian dan perkebunan bukan hanya menjadi masalah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi isu internasional saat ini. Selain isu di atas, Indonesia juga termasuk kawasan dengan tingkat rawan bencana alam yang cukup tinggi dan bervariasi dari mulai banjir, longsor, kebakaran hutan dllsb. Posisi indonesia yang diapit oleh lempeng geologi yang dinamis mengakibatkan kawasan Indonesia memiliki tingkat resiko bencana gunung api, kegempaan, dan tsunami yang juga cukup tinggi. Penyebarluasan informasi mitigasi bencana yang akurat dan cepat akan sangat membantu meminimalisasi dampak bencana-bencana tersebut. Pada masa pemerintahan sentralistis, pemerintah daerah tidak memiliki peran besar dan juga tidak pernah mendapatkan keuntungan yang besar atas segala potensi yang ada di wilayahnya. Kondisi tersebut kemudian berubah drastis ketika era otonomi daerah mulai diberlakukan. Pemerintah daerah terutama kabupaten berpeluang untuk memperolah bagian atas kekayaan alam yang ada di daerahnya, sehingga mulai muncul saling klaim atas kawasan yang sama antara wilayah yang saling berbatasan dan rawan terjadinya konflik perbatasan. Disinilah penetapan batas wilayah menjadi penting sekali ditinjau dari berbagai aspek baik dari segi ekonom, sosial, maupun keamanan dalam negeri. Masalah-masalah tersebut di atas akan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, antara lain apabila ketersediaan dan pendayagunaan data geospasial (d/h peta) sudah terintegrasi di dalam tatakelola pemerintahan dan pengembangan lainnya. Peta tidak hanya dapat difungsikan sebagai tool untuk memudahkan proses komunikasi antara stakeholder terkait, namun lebih dari itu, peta dapat difungsikan untuk menunjang proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan penentuan kebijakan. Sayangnya, selama ini peta masih banyak diposisikan sebagai output proses saja dan belum dioptimalkan menjadi piranti pendukung perencanaan dan pengambilan keputusan untuk merespon permasalahan yang cukup kompleks. Forum Ilmiah Tahunan (FIT) (ISI) merupakan forum tahunan yang mempublikasikan karya ilmiah serta tekonologi terbaru dibidang Informasi Geospasial dan Geomatika yang mempertemukan para surveyor, pengusaha, peneliti, praktisi, serta pengguna peta dan informasi geospasial di baik di level pemerintahan maupun swasta. Pada Tahun 010 ini FIT ISI dirangkaikan dengan kegiatan seminar nasional dan workshop yang diselenggarakan oleh ISI Komisariat Wilayah Riau. Dan salah satu hasil dari FIT ISI 010 ini adalah Buku Prosiding. Prosiding ini disusun dari sejumlah makalah yang disampaikan pada acara Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Tahunan 010 dengan mengambil tema Optimalisasi Penggunaan Informasi Geospasial Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Untuk Peningkatan Kinerja Pembangunan Perekonomian Daerah Yang Berwawasan Lingkungan yang diselenggarakan di Pekanbaru - Riau pada tanggal Nopember 010. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara (ISI) dengan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selain itu sejumlah seponsor terutama dari beberapa perusahaan survey & pemetaan dan sejumlah vendor peralatan dan perangkat lunak terkait dengan Geodesi & Geomatika ikut juga berpartisipasi untuk mensukseskan acara FIT ISI 010 ini. Pekanbaru, Nopember 010 Editor Prosiding Page i

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...i DAFTAR ISI...ii 1. Penyediaan Tanah untuk Pemukiman di Kab. Kendal Studi Kasus Pengkaplingan Tanah Kel. Langenharjo Oleh Irawan Sumarto, Priyono Nugroho, Aryono Prihandito A. SWEPOS, Sebuah Contoh Manajemen GPS CORS di Swedia Oleh Zamilul Muttaqien... B 3. Metode Agregasi Sistem GRID Emisi Gas Rumah Kaca Untuk Kota Bandung Oleh Intan Sofiyanti, Ahmad Riqqi, R. Driejana......C 4. Permodelan Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Berbasis Proyeksi Alokasi Tutupan Lahan Metode MARKOV ( Wilayah Bandung) Oleh R. Akbar Muttaqin, Albertus Deliar, Agung Budi Harto... D 5. Kajian Akurasi Geometrik Citra SPOT Hasil Orthorektifikasi dengan Titik Kontrol Hasil Triangulasi Citra Satelit Oleh Sarif Hidayat, Agung Budi Harto, Saptomo Handoro Mertotaruno E 6. Penerapan Teknis Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DlnSAR) untuk Kajian Pemantauan dan Pengukuran Penurunan Muka Tanah (Studi Kasus : Lembang Bandung) Oleh Yoga Prasetyo, A.Janisa. F 7. Pengaturan Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah Dalam Penerapaan Kadaster 3 Dimensi Oleh Hendriatiningsih, Bambang Edhi Leksono, Wisang Wisudanar..G 8. Analisis Korelasi Jumlah Penduduk dengan Tutupan Lahan Berbasis SIG (Area Studi Wilayah Bandung) Oleh Riantini Virtriana, Albertus Deliar, Agung Budi Harto...H 9. Survey Pemetaan Bangunan Rumah Susun untuk Pendaftaran Hak Milik Dalam Sistem Kadaster 3 Dimensi Oleh S Hendriatiningsih.I Prosiding Page ii

5 10. Penggunaan Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan Prioritas Syarat Lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik Ajudikasi LMPDP (studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, DIY) Oleh Dody Hendriono, Prijono Nugroho, Yulaikhah......J 11. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Bandar udara di Indonesia Berbasis Spasial Oleh Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Edwin Hendrayana...K 1. Pembuatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis dalam Pemberian Izin Tinggi Bangunan Di sekitar Bandara Ngurah Rai - Bali Oleh Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Edwin Hendrayana...L 13. Kajian Penggunaan Citra Satelit Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan Tanah Kelurahan Kutoarjo. Kec. Kutoarjo, Kab. Purworejo Oleh Sutrisno, Harintaka, Slamet Basuki...M 14. Aplikasi SIG untuk Penghitungan Volume Galian Bukit Kerbau Terkait Kajian KKOP Pada Bandara Pattimura Ambon Oleh, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Edwin Hendrayana...N 15. Peranan Geomatika dalam Delimitasi, Demarkasi dan Managemen Batas Daerah di Darat Oleh Sumaryo, Subaryono, Sobar Sutisna, Djurdjani...O 16. Sejarah dan Perkembangan Penginderaan Jauh di Indonesia Oleh Bangun Muljo Sukojo.....P 17. Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV? Oleh Teguh Fayakun Alif, Khafid Q 18. Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Oleh Eva Novita, Arry Agung Hanatyo R 19. Aplikasi LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral dalam Pengelolaan Hutan HujanTropis di Indonesia Oleh Bobby Santoso D, Yan Mandari, Bambang Abednego.. S 0. Kajian Awal Untuk Membangun Sistem Informasi Pertanahan Desa di Cimahi Jawa Barat Oleh Didik W, S, Hendriatiningsih, Marisa Mei Ling, Andri Hernandi.....T Prosiding Page iii

6 1. Studi Awal Penentuan Kemiringan Objek Bangunan Menggunakan Metode Survey Terestrial Forum Ilmiah Tahunan Oleh Andri Hernandi, Agoes S Soedomo, Marisa Mei Ling, Brawira F. Gazayana U. Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah di Kota Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua Oleh Goyandi Dwi Ammar, dkk...v 3. Pengembangan Sistem Basis Data Batas Laut Daerah Oleh Eka Djunarsjah, Irfan Khosirun, Riki Oktapiana,Angga Trysa Yuherdha..W 4. Updating Zona Nilai Tanah Metode INDEKS Oleh Dian Novytasari.....X 5. Aplikasi GIS untuk Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran (Fire Early Warning system) Oleh Amir Sabri...Y 6. Pengembangan GNSS CORS Network Untuk Penyediaan Data Geospasial Oleh Farid Hendro Adiyanto....Z 7. Pengelolaan Data Pertanahan Menjelang 014 Oleh Irawan Sumarto, Suyus Windayana...AA 8. Pemanfaatan Citra Satelit Landsat Untuk Analisis Pola Perubahan Lahan di Wilayah Bandung Oleh Albertus Deliar, D Muhally H, Agung Budiharto...AB 9. Kajian Ketelitian Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) Menggunakan Foto Udara Non Metrik Oleh Bobby S.Dipokusumo, Ishak H Ismullah, Soni D, Miim W...AC Prosiding Page iiii

7 PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAGEMEN BATAS DAERAH DI DARAT* Oleh Ir.Sumaryo, M.Si. **, Ir.Subaryono, MA.,Ph.D**, Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc.,Ph.D..***, Ir.Djurdjani, MS.,M.Eng.,Ph.D.** sumaryo@ugm.ac.id INTISARI Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah yang saat ini mencapai 951 segemen batas (Subowo, E.,009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat belum tegasnya keberadaan batas daerah. Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan suatu daerah. Merujuk pada Teori Boundary Making yang dikemukakan oleh Stephen B Jones (1945) menyebutkan bahwa penentuan batas wilayah meliputi tahapan utama sebagai berikut: alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. Dalam setiap tahapan, peta memiliki peranan yang penting. Pengadaan peta sangat tergantung pada perkembangan teknologi pemetaan pada zamannya. Pada dua dekade terakhir perkembangan teknologi komputer, satelit, teknologi komunkasi dan informasi berkembang sangat pesat dan berpengaruh pada semua bidang termasuk dalam bidang survey pemetaan sehingga muncul term baru teknolgi pemetaan yang disebut geomatika (geomatics) Makalah ini akan menganalisis tahapan penentuan batas daerah di darat di Indonesia dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 serta peranan peta dan teknologi geomatika terkini triple S (GPS, RS, GIS) dalam setiap tahapan tersebut. Kata kunci : geomatika, delimitasi, demarkasi, manajemen dan batas daerah di darat * Makalah disampaikan pada FIT, November di Pakanbaru. **Program Pascasarjana Teknik Geomatika Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM *** Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal Prosiding Page O-1

8 I.PENDAHULUAN Batas daerah (propinsi dan kabupaten/kota) adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah di darat adalah pemisah wilayah administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta (Permendagri No.1/006). Dalam ruang lingkup batas daerah tersebut dilaksanakan penyelenggaraan kewenangan masing-masing daerah, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh diselenggarakan melampaui batas daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Subowo, E.,008), Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Data jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sampai akhir Desember 008 adalah seperti Tabel 1. Tabel 1: Perkembangan Jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia Sampai dengan akhir Desember 008. No. Periode Propinsi Kabupaten/ Kota Total s.d. Desember (sebelum Otonomi Daerah) (Setelah otonomi daerah) Sumber : Sutisna, 008, Subowo, E.,009 Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa seiring dengan bergulirnya era Otonomi Daerah sejak berlakunya Undang-undang No. tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah penambahan daerah baru terutama daerah kabupaten/kota meningkat cukup signifikan yaitu dari 77 daerah menjadi 497 daerah (79,4 %). Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah. Dari jumlah 33 daerah propinsi dan 497 daerah kabupaten/kota tersebut terdapat 951 segmen batas (Subowo, E.,009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah. Menurut Departemen Dalam Negeri sampai tahun 008 jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17 permasalahan yang melibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81 Kabupaten/kota (Subowo,E.,008). Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan daerah itu sendiri. Proses pembentukan daerah diawali dari suatu proses yang dilakukan oleh para politisi dan pejabat pemerintah di tingkat daerah sampai tingkat pusat yang berakhir dengan terbitnya undang-undang pembentukan daerah. Dengan demikian para politisi dan pajabat di daerah dan di pusat yang terlibat dalam undang-undang pembentukan suatu daerah bisa dikatakan sebagai arsitek batas daerah atau The architecs of a boundary (Alder, R.,001). Secara tidak langsung arsitek batas sebenarnya memiliki kontribusi dan harus bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa batas. bila suatu saat terjadi. Makalah ini akan membahas tahapan penentuan batas daerah di darat dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 dan peranan data dan teknologi geomatika dalam setiap tahapan Prosiding Page O-

9 tersebut. Dalam hal peranan data dan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi geomatika terkini, bukan teknologi pada zaman teori Boundary Making yang ditulis tahun 1945 yang saat itu belum ada komputer, belum ada satelit dan penginderaan jauh, belum ada GPS (Global Positining System) dan belum ada GIS (Geographical Information Syatem). II. TEORI BOUNDARY MAKING DALAM PENENTUAN BATAS DAERAH DI INDONESIA Stephen B. Jones (1945), di dalam bukunya A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas wilayah suatu negara. Di dalam teorinya tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu: Allocation, Delimitation, Demarcation dan Administration. Ke-empat ruang lingkup tersebut saling terkait satu sama lainnya, menandakan bahwa ke-empatnya merupakan satu rangkaian pengambilan keputusan yang saling berkaitan dalam pelaksanaannya (lihat ilustrasi pada Gambar 1, Sutisna, 008). Gambar 1. Teori Boundary Making 1 ( Sutisna, 008): Boundary Making Theory yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Namun demikian teori ini menurut Sutisna,S.(007) juga dapat diaplikasikan untuk batas daerah dalam konteks negara Indonesia seperti ilustrasi pada Gambar. Teori BM KONTEKS INDONESIA BATAS ADMINISTRASI/POLITIK OTONOMI DAERAH Sobar Sutisna BAKOSURTANAL 3 September 007 Alokasi Pasal 18, 5A UUD1945 Pasal,4 UU No.3/004 Pasal pada UU ttg Pembentukan Daerah Delimitasi Pasal 18 UU No.3/004 Pasal 6() UU ttg Pembentukan Daerah Peta Lampiran UU Demarkasi (Penegasan) Pasal 6(3) UU ttg Pembentukan Daerah PerMenDagri Sengketa Batas Daerah -Sosial Administrasi -Budaya / Pengelolaan-Ling Hidup -Pertahanan UU No.6/007 PP No.38/007 Berbagai PerUU Sektoral -Ekonomi -Keamanan Pelayanan Publik KesRakyat Prov Kab/kota Keputusan Politik Kebijakan Publik Survei dan Pemetaan TPBD: Pusat Prov Kab/kota PerDa MON EV SS Gambar : Teori Boundary Making konteks Indonesia (Sutisna,S., 007) 1 Diadopsi dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners (1945) Prosiding Page O-3

10 Dalam konteks nasional, keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Alokasi. Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah territorial. Setelah pada tahun 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan, alokasi cakupan wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah yang diwariskan dari penjajah Belanda. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris yang menyatakan bahwa suatu negara yang merdeka mewarisi wilayah penguasa penjajahnya. Kemudian untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah masingmasing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Penentuan cakupan wilayah daerah proipinsi dan kabupaten/kota ditetukan melalui proses keputusan politik dalam bentuk UU pembentukan daerah. Alokasi sebagai keputusan politik keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 5A, Pasal 4 UU No.3/004 dan Pasal-pasal UU tentang Pembentukan masing-masing Daerah. Delimitasi. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik di atas peta. Dalam UU pembentukan Daerah, penetapan batas daerah menyebutkan batas-batas daerah yang dibentuk secara lebih jelas dan digambarkan dalam peta wilayah sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari UU pembentukan daerah tersebut. ). Ada tiga konsekwensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada gilirannya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah. Kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah. Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo,E.,009). Demarkasi. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti di lapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas. Administrasi. Tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah adalah mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembangannya adiminstrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan (Pratt, 006 dalam Sutisna, 008). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut theory of boundary making, kegiatan Administration / management pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal Prosiding Page O-4

11 ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataannya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi di lapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi / management berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas di lapangan. (Sutisna,008). Penetuan Batas Daerah di Indonesia. Keberadaan daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dibentuk melalui undang-undang. Pada kurun waktu 1945 sampai 1999 penentuan batas daerah propinsi dan kabupaten/kota hanya sampai tahap alokasi dan delimitasi kemudian meloncat ke tahap administrasi untuk pengelolaan daerah. Bahkan pada tahap delimitasipun cakupan wilayah dan penetapan batas wilayah daerah yang dibentuk pada umumnya tidak dilengkapi dengan peta lampiran atau dilampiri peta yang secara kartografis tidak memadai, tetapi hanya disebutkan dalam pasal-pasal undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan. (Ardian, 010). Walaupun demarkasi batas di lapangan belum dilakukan namun pada era sebelum otonomi daerah hampir tidak ada masalah sengketa batas wilayah karena sistem pemerintahan yang sentralistik dan pembagian batas wilayah hanya bersifat untuk keperluan administrasi belaka (Salama, 005). Penelitian awal yang dilakukan Sumaryo (009) terhadap 60 kasus sengketa batas batas daerah dianalisis dengan teori lingkaran konflik C.W.Moore, 1986 (Vivian Louis Forbes, 001) ditemukan bahwa sengketa batas pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan (53%) yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang. Disamping itu sengketa batas wilayah juga disebabkan karena konflik struktural (45 %) seperti hubungan geografis dan psikis penduduk, konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan situasi konflik yang sengaja di ciptakan untuk kepentingan tertentu. III. PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAJEMEN BATAS DAERAH DI DARAT Dalam proses penentuan batas wilayah menurut Stephen B. Jones (1945) yang dimulai dari negosiasi untuk delimitasi batas, demarkasi dan berakhir pada kegiatan administrasi dan pengelolaan batas, diperlukan peta dan kegiatan survey pemetaan. Waktu teori Boundary Making ditulis tahun 1945 kegiatan survey pemetaan masih menggunakan teknologi konvensional. Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi khususnya teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan teknologi informasi telah mendorong perubahan paradigma survey pemetaan baik secara keilmuan maupun dalam aplikasinya. Perubahan tersebut dapat disaksikan kecenderungan umum bahwa survey pemetaan yang awalnya hanya dalam cakupan penyediaan peta, berkembang cangkupannya untuk memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan informasi geo-spasial yang dilakukan secara digital. Perkembangan paradigma tersebut melahirkan disiplin ilmu baru yang disebut Geomatika (Geomatics). Geomatika adalah sain dan teknologi yang mempelajari tentang pengukuran obyekobyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survey), pengolahan dan analisis, presentasi Prosiding Page O-5

12 (penggambaran), penyimpanan (storage), managemen dan distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai pengambilan keputusan. Peran geoamtika dalam penentuan batas dapat dilihat dari skema pada Gambar 3. Gambar 3 : Diagram skema tahapan penentuan batas daerah (Sumber : Alder, R., 001, dimodifikasi untuk batas daerah) Peranan geomatika pada tahapan alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen akan dibahas peranan peta dan teknologi geomatika. Peta akan dibahas karena peta merupakan suatu bagian yang sangat penting dari infrastruktur untuk penentuan batas (Adler, R.,1995), sedangkan peranan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi terkini Triple S yaitu Remote Sensing, GPS/GNNS dan GIS. Peranan geomatika selengkapnya diuraikan sebagai berikut : Tahap Alokasi, Tahap alokasi pada penentuan batas daerah biasanya dilakukan oleh para politisi di lembaga legislatif dan pejabat pemerintah (eksekutif) mulai dari tingkat daerah sampai pusat dan berakhir pada disahkannya suatu undang-undang pembentukan daerah. Pada tahap ini dominasi kegiatan lebih pada kegiatan politik, lobi-lobi dan negosiasi antar berbagai kelompok dan kekuatan politik. Keperluan peta Prosiding Page O-6

13 biasanya sebatas untuk bahan negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum, sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Yang diperlukan adalah posisi relatif daerah yang akan dibentuk terhadap daerah disekitarnya. Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat penting sebagai sumber informasi bagi para politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra sateli. Untuk itu para politisi perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang geodesi, kartografi atau geografi (Blake, G, 1995). Tahap Delimitasi. Pada tahap ini, aloksi wilayah yang sudah disepakati selanjutnya harus dibagi untuk masing-masing pihak dengan mendeliniasi garis batas yang lebih tepat di peta dasar dan garis batas tersebut nantinya juga disepakati untuk demarkasi di lapangan. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995Hasil akhir dari kegiatan delimitasi adalah garis batas yang telah disepakati di peta yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah. Sebagai lampiran yang tidak terpisahkan mengandung pengertian bahwa antara garis batas yang tergambar di peta dengan teks dalam pasal-pasalnya harus memiliki pengertian yang sama dan tidak boleh saling bertentangan. Dengan demikian peranan peta pada tahap delimitasi adalah sebagai instrumen dan sekaligus sebagai pedoman untuk tahap demarkasi selanjutnya. Oleh sebab itu peta yang perlu tersedia adalah peta yang memiliki kualitas yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi : skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Persoalan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya peta yang memadai atau kurang perhatiannya dari para pihak tentang arti pentingnya peta. Pada tahap ini peta yang diperlukan sebaiknya disiapkan oleh komisi teknis perbatasan dari lembaga-lembaga resmi survey pemetaan seperti Bakosurtanal, Dinas Topografi TNI-AD atau Dinas Hidrografi-Oceanografi TNI-AL. Untuk kegiatan survey pendahuluan dan pelacakan batas, teknologi GPS merupakan teknologi terkini penentuan posisi yang cepat dan mudah yang dapat segera mendapatkan koordinat titik-titik batas untuk dicantumkan dalam uandang-undang pembentukan daerah. Selain peta topografi sebagai peta dasar untuk penarikan garis batas, sering diperlukan peta-peta tamatik dan informasi spasial lain untuk mendukung tercapainya kesepakatn. Tahap Demarkasi. Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan (Jones, 1945, Prescott, 1979). Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah (Permendagri No1/006). Peranan peta pada tahap demarkasi adalah untuk menampilkan batas daerah yang telah ditegaskan di lapangan dan sebagai lampiran dalam keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Prosiding Page O-7

14 Dalam pelacakan batas untuk demarkasi, sering peta lampiran undang-undang yang sulit digunakan karena petanya sudah lama sehingga banyak ketidaksesuaian dengan kondisi lapangan saat dilakukan pelacakan. Atau di dalam peta yang ada tidak terdapat garis kontur sehingga sulit mengidentifikasi batas yang berupa watershed. Untuk itu beberapa produk teknologi remote sensing bisa digunakan. Remote Sensing Remote Sensing didefinisikan sebagai sains dan teknologi yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, atau menganalisisi karakteristik dari suatu obyek tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut.(lillesand dan Kiefer, 000). Prinsip kerjanya didasarkan atas pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energi (matahari) merambat mengenai obyek, dipantulkan oleh obyek yang kemudian direkam oleh sensor (Harintaka, 007 dalam Arsana,007). Sumber energi matahari dapat berupa cahaya tampak, panas dan sinar ultra violet (Kerle, dkk.,004). Dalam konteks ini, fotogrametri, Radar, Lidar termasuk bagian dari Remote Sensing. Karakteristik utama citra penginderaan jauh umumnya ditinjau dari 4 aspek, yaitu : resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal (Harintaka, 00, dalam Arsana, 007). Untuk kegiatan delimitasi batas daerah citra satelit yang saat ini banyak tersedia di pasaran merupakan suatu data yang potensial dapat digunakan. Citra satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan resolusi temporal yang pendek seperti IKONOS atau Quickbird yang memiliki resolusi 1 m sehingga sangat membantu untuk mengenali terrain dalam proses deliniasi garis batas. Gambar 4 : Citra satelit IKONOS, resolusi 1 meter. ( Sumber Williamson, I, 009) Citra sateli lain yang dapat digunkan adalah SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission ). SRTM merupakan suatu misi internasional pertama yang dikembangkan National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan the Prosiding Page O-8

15 National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang bertujuan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) secara global di seluruh permukaan bumi. Uji coba penggunaan data DEM dari SRTM telah dilakukan oleh Ilham, dkk. tahun 009 untuk delimitasi pada suatu segmen batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen batas batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah telah dilakukan penetapan batas melalui Kepmendagri No tahun 1989 tentang penegasan garis batas antara propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen garis batas tersebut pada umumnya berupa punggung bukit (watershed). Menggunakan peta lampiran Kepmendagri No tahun 1989 yang tersedia pelacakan garis batas di atas peta tersebut mengalami kesulitan karena di dalam peta tersebut tidak ada informasi garis kontur. Kemudian dicari alternatif menggunakan data DEM dari SRTM. Penggunaan DEM dari data SRTM sangat membantu dalam menentukan posisi dari garis batas, karena kondisi geomorfologis wilayah perbatasan di daerah penelitian dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. DEM tersebut memperkuat kenampakan terrain dari permukaan bumi khususnya kenampakan watershed seperti gambar berikut : Gambar 5 : Penarikan garis batas di punggung bukit dengan data DEM dari SRTM (Sumber Ilham, dkk.,009) GPS/GNNS GPS (Global Positioning System) adalah metode penentuan posisi dan waktu berbasis satelit yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sejak tahun Saat ini pemakaian GPS sangat populer di masyarakat untuk berbagai aplikasi. Sistem ini terdiri atas 3 segmen, yaitu segmen satelit kepunyaan Amarika berjumlah 4 satelit yang mengorbit pada 6 bidang orbit pada ketinggian Prosiding Page O-9

16 0.00 km dari permukaan bumi. Segmen kontrol satelit di Hawai, Ascension, Diego Garcia, dan Kwajalein. Segmen pengguna yang berupa reciever yang dapat digunakan secara umum untuk menangkap sinyal L1 dan L yang dipancarkan oleh setiap satelit secara terus menerus. Tiga segmen sistem GPS dapat diilustrasikan seperti Gambar 6. Segmen-segmen GPS SEGMEN SATELIT SEGMEN PENGGUNA Hermitage MCS Colorado Springs Hawaii Ou ito Buenos Aires Ascension Bahrain Kwajalein Diego Garcia Smithfield SEGMEN KONTROL SATELIT SEGMEN PENGGUNA Gambar 6 : Tiga segmen sistem GPS (satelit, kontrol dan pengguna) Prinsip dasar penentuan posisi titik P di bumi dengan GPS dapat digambarkan seperti Gambar 7. Pada Gambar 7, R adalah satelit yang memancarkan sinyal (L1,L) secara terus menerus, sinyal tersebut ditangkap oleh reciever di P. Koordinat satelit R1, R, R3, R4 pada sistem koordinat geosentris dengan datum geodetik WGS-84 diketahui. Karena kecepatan sinyal (c) yang dipancarkan satelit diketahui dan waktu rambat sinyal (ΔT) dari R sampai ke P diketahui (diukur), maka jarak PR dapat ditentukan. Bila koordinat P yang akan dicari adalah X P,Y P,Z P dan koordinat R adalah X R,Y R,Z R maka dapat dibentuk persamaan sebagai berikut (Craig,R.,010) : [(X 1 X P ) + (Y 1 Y P ) + (Z 1 Z P ) + c.δt] 1/ = PR1 [ (X X P ) + (Y Y P ) + (Z Z P ) + c.δt] 1/ = PR [ (X 3 X P ) + (Y 3 Y P ) + (Z 3 Z P ) + c.δt] 1/ = PR3... (1) [ (X 4 X P ) + (Y 4 Y P ) + (Z 4 Z P ) + c.δt] 1/ = PR4 Prosiding Page O-10

17 Diperlukan paling sedikit data dari pengamatan 4 satelit untuk dapat menyelesaiakan persamaan 1 guna menentukan X P,Y P,Z P PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Z = lintang geodetis = bujur geodetis h = tinggi elipsoid Elipsoid acuan Ekuator O h S x x y y z z 1 x x y y z z x x y y z z c. T PR 1 c. T PR c. T PR 3 x4 x y4 y z4 z c. T PR4 X Y Gambar 7 : Prinsip penentuan posisi dengan GPS Dalam perkembangannya berbagai negara mengembangkan teknologi penentuan posisi berbasis satelit, seperti GLONASS (Rusia), Galilieo ( Uni Eropa), sehingga saat ini dikenal istilah GNSS (Global Navigation Satellite System) sebagai istilah generik metode penentuan berbasis satelit. Menggunakan teknologi GPS/GNNS ini dapat diperoleh akurasi yang sangat teliti tergantung jenis reciever dan metode observasi dan pemrosesan data yang digunakan. Sebagai contoh, metode differensial GPS (observasi GPS menggunakan lebih dari satu reciever), dapat menhasilkan ketelitian sampai sub sentimeter menggunakan data fase, sedang penentuan posisi absolut dengan satu reciever dapat menghasilkan ketelitian 5 10 meter (Abidin, dkk., 005). Penggunaan tenologi GPS/GNSS pada penentuan batas daerah sebenarnya dapat digunakan pada tahap delimitasi yaitu untuk menentukan koordinat titik-titik batas yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah. Pada undangundang pembentukan daerah yang sekarang sudah ada pada umumnya tidak dilakukan, apalagi undang-undang pembentukan daerah era sebelum otonomi daerah (sebelum tahun 000) karena teknologi GPS belum ada atau kalau ada tapi belum luas pemakaiannya. Namun demikian, karena batas daerah yang dibentuk sebelum otonomi daerah pada umumnya belum dilakukan demarkasi di lapangan, maka teknologi GPS seharusnya dipakai pada saat demarkasi. Pamakaian teknologi Prosiding Page O-11

18 GPS/GNSS pada tahap demarkasi bisa digunakan untuk pelacakan batas menggunakan GPS Navigasi sehingga dihasilkan koordinat sementara dan tahap pengkuran koordinat titik-titik batas dengan GPS tipe geodetik untuk mendapatkan koordinat yang definitip sebagai dasar keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Bebrapa contoh pemakaian teknologi GPS pada tahap demarkasi batas daerah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul tahun 007 pada Gambar berikut ( Hafid, 007) : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah dirangkum pada Tabel berikut. Tabel : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah No. Data akusisi untuk Delimitasi 1 Fenomena yang menonjol/spesifik di sekitar garis batas (GPS Navigasi) Penentuan koordinat titik di foto udara atau citra satelit (GPS Navigasi) 3 Survey garis batas yang diusulkan dalam delimitasi (GPS Navigasi) 4 Klarifikasi terhadap kemajuan berbagai hal selama negosiasi Demarkasi Pelacakan batas hasil delimitasi dan pengukuran koordinat smentara (GPS Navigasi) Penentuan posisi pilar batas ( GPS Geodetik) Survey pemetaan koridor batas (GPS Pemetaan) Titik kontrol untuk pemetaan batas Administrasi/ Manajemen Penentuan posisi kejadian-kejadian penting di kawasan perbatasan (GPS Navigasi) Perapatan tanda/pilar batas (GPS Geodetik) Pemeliharaan tanda-tanda batas (rekonstruksi kalau ada yang hilang) Titik kontrol dalam pelaksanaan konstruksi dan proyek pembangunan (GPS Geodetik) 8. a 8.b. Gambar 8 : (a) Penggunaan GPS Hendheld untuk pelacakan batas (b) Penggunaan GPS Geodetik untuk pengukuran koordinat pilar batas. (Sumber Hafid, 007). Prosiding Page O-1

19 Tahap Administrasi/Manajemen. Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh the boundary engineers akan diakhiri dengan tahap manajeman batas dan kawasan perbatasan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan kawasan perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di kawasan perbatasan di daerah. Untuk proses manajemen perbatasan, kedua daerah memerlukan berbagai informasi baik informasi spasial maupun non spasial. Berbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial : Koordinat titik-titik batas, peta batas (koridor 100 m) sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial : UU pembentukan daerah, Permendagri tentang penegasan batas daerah yang bersangkutan. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas) : berbagai peta tematik, data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Basis Data Dijital Perbatasan Data dan informasi geografis tersebut disusun dalam basis data dijital. Data dan informasi geografis tersebut diklasifikasi dalam tiga bentuk yaitu : titik, garis dan poligon. Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi layer-layer, misalnya layer batas, jalan, land use, aliran (sungai), bidang-bidang tanah, dll. GIS (Geographical Information System) Selanjutnya untuk kepeluan manajemen wilayah perbatasan, basis data dijital perbatasan diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan GIS. GIS adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berati nama tempat atau koordinat di bumi, sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). GIS dapat dimanfaatkan dalam kegiatan yang terkait batas wilayah terutama pada manajemen batas dan wilayah perbatasan. Dalam manajemen wilayah perbatasan, perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaannya tentunya harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dari daerah yang bersangkutan (propinsi, kabupaten/kota). Analaisi spasial dengan GIS untuk tata ruang wilayah perbatasn dapat digambarkan sebagai berikut : Prosiding Page O-13

20 Gambar 9 : Proses analisis GIS Perbatasan. IV. KESIMPULAN Dari uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Peta sangat penting keberadaanya karena peta merupakan infrastruktur dalam seluruh tahapan penentuan batas wilayah mulai dari tahap alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen.. Teknologi geomatika terkini yang sering disebut Triple S (GPS/GNNS, Remote Sensing dan GIS) dapat dimanfaatkan dalam tahapan-tahapan penentuan batas daerah untuk menggantikan teknologi konvensional, sehingga penegasan batas daerah di lapangan dapat lebih dipercepat. 3. Sengketa batas wilayah pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang. Prosiding Page O-14

21 DAFTAR PUSTAKA Alder, R., 1995, Positioning and Mapping International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol., No.1, ISBN , Durham, UK. Alder, R., 001, Geographical Information in Delimitation, Demarcation and Management of International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol.3, No.4, ISBN , Durham, UK. Direktorat Jendral Pemerintahan Umum, Depdagri, 008, Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan antar Provinsi, Laporan, Tidak dipublikasi, Jakarta. Jones, Stephen, B.,000, Boundary Making, A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.,Inc, Buffalo, New York. Kausar dan Eko Subowo, 008, Kebijakan Penataan Batas Antar Daerah, Modul pelatihan Penegasan Batas Daerah, Jurusan Teknik Geodesi FT UGM, tidak dipublikasi, Yogyakarta. Rushworth, D., 1997, Mapping in Support of Frontier Arbitration : Delimitation and Demarcation, IBRU Boundary and Security Bulletin Spring 1997, Durham, UK. Sumaryo, 009, "Boundary Making Theory, Pada Penentuan Batas Daerah di Indonesia Dan Sengketa Batas Wilayah Pada Era Otonomi Daerah", Karya Ilmiah yang dipublikasikan dalam Prosiding F Sutisna Sobar (ed), 006, Pandang Wilayah Perbatasan: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar (ed), 004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo, 008, Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Di Indonesia, Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Jurusan Ilmu HI/UPN Veteran, Yogyakarta, November,008. Vivian Louis Forbes, 001, Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed Seas, Singapore University Press, Yusof Ishak House, Singapore. Prosiding Page O-15

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 A. TUJUAN AJAR: Mampu menjelaskan peran geodesi dan geomatika dalam kegiatan penetapan, penegasan dan manajemen batas wilayah. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur dibentuk pada tahun 1959 melalui Undang-undang Nomor 27 tahun 1959. Sebelumnya Berau merupakan Daerah Istimewa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

ISBN :

ISBN : ISBN : 978-602-98841-0-4 Disusun Oleh : Panitia Forum Ilmiah Tahunan 2010 Diterbitkan Oleh : Komisariat Wilayah Riau Prosiding KATA PENGANTAR Forum Ilmiah Tahunan Pembangunan berkelanjutan atau sustainable

Lebih terperinci

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif

Lebih terperinci

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo Penetapan Batas Daerah Secara Kartometrik Menggunakan Citra Spot Antara Kabupaten (Kalimantan Utara) Dengan Kabupaten Kutai Timur Dan Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) Arrafi Fahmi Fatkhawati Arrafi.fahmi.f@mail.ugm.ac.id

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 mewajibkan setiap wilayah provinsi dan juga kabupaten/kota untuk menyusun atau merevisi peraturan daerah tentang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM Klasifikasi Dari hasil confusion matrix didapatkan ketelitian total hasil klasifikasi (KH) untuk citra Landsat 7 ETM akuisisi tahun 2009 sebesar 82,19%. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan citra

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 8 08/07/2009 20:16 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM Teks tidak dalam format asli. Kembali LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rp) 1) Skala 1:10.000, 7 (tujuh) layer Per Nomor (NLP) ,00. Per Km² 20.

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF (Rp) 1) Skala 1:10.000, 7 (tujuh) layer Per Nomor (NLP) ,00. Per Km² 20. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL I.

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Alokasi dan Delimitasi:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan Pajak.Penerimaan Negara.Bakosurtanal. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2001 TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Misi BAKOSURTANAL 6. Kebijakan 7. Program

Misi BAKOSURTANAL 6. Kebijakan 7. Program PROGRAM BAKOSURTANAL TAHUN 2003 DALAM PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA DAN KAWASAN TERTINGGAL LAINNYA A. PENDAHULUAN Badan Koordinasi Survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1585, 2015 KEMEN-ESDM. Izin Usaha Pertambangan. Mineral. Batubara. Wilayah. Pemasangan Tanda Batas. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; pres-lambang01.gif (3256 bytes) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2001 TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/LEMBAGA : BAKOSURTANAL 1 PROGRAM SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL Meningkatnya Pemanfaatan Peta Dasar Dalam Mendukung Pembangunan

Lebih terperinci

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan.

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan. Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan www.arissubagiyo.com Latar belakang Kekayaan alam yang melimpah untuk kesejahterakan rakyat. Pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan peraturan serta untuk

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LAHAN KRITIS DAN EROSI (SILKER) MENGGUNAKAN FREE OPEN SOURCES SOFTWARE FOSS-GIS ILWIS Tahun ke 1 dari

Lebih terperinci

Abstrak PENDAHULUAN.

Abstrak PENDAHULUAN. PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH ANTARA PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, wwwbpkpgoid PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 27 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Pengertian GPS Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang berfungsi dengan baik. Sistem ini menggunakan

Lebih terperinci

Dokumen Kurikulum Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika. Lampiran III

Dokumen Kurikulum Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika. Lampiran III Dokumen Kurikulum 2013-2018 Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika Lampiran III Fakultas : Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem satelit navigasi adalah sistem yang digunakan untuk menentukan posisi di bumi dengan menggunakan teknologi satelit. Sistem ini memungkinkan sebuah alat elektronik

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandung merupakan kota kecil yang terletak di sebelah selatan Ibu Kota Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai citarum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG JENIS DAN ATAS YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia

Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia UTAMA INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006 Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia Dwi Nowo Martono, Surlan, Bambang Tedja Sukmana Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3 I. RENCN KEGITN PEMELJRN MINGGUN (RKPM) MINGGU 3. TUJUN JR: Dapat Menjelaskan Teori oundary Making untuk tahap Demarkasi dan dminstrasi/manajemen batas wilayah..pokok HSN/SU POKOK HSN: Teori oundary Making

Lebih terperinci

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai aktivitas manusia memungkinkan terjadinya perubahan kondisi serta menurunnya kualitas serta daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan rumah berbagai

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A380 Analisis Metode Delineasi pada Citra Resolusi Tinggi dalam Pembuatan Kadaster Lengkap Arinda Kusuma Wardani, Agung Budi Cahyono, dan Dwi Budi Martono Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

ISI.OR.ID FIG.NET KADASTER.GEOMATIKA.ITS.AC.ID

ISI.OR.ID FIG.NET KADASTER.GEOMATIKA.ITS.AC.ID KONSEP DASAR INTEGRASI ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERTANAHAN DALAM KEGIATAN PEMETAAN UNTUK MENUNJANG PENATAAN, PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN PERENCANAAN RUANG Dwi Budi Martono Ketua Ikatan Surveyor Indonesia

Lebih terperinci

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 G199 Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Rainhard S Simatupang 1), Khomsin 2) Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah

ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah (Geospatial Aspects in the Borders Delineation of Gorontalo City: A Case Study on Updating

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1038, 2016 KEMENDAGRI. Batas Desa. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN

Lebih terperinci

SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya

SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya Disampaikan dalam Workshop Pengelolaan Data Geospasial

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS

Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS BADAN INFORMASI GEOSPASIAL Bersama Menata Indonesia yang Lebih Baik Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS Priyadi Kardono Kepala Badan Informasi Geospasial Disampaikan dalam

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR i Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 3 1 Ruang lingkup... 4 2 Istilah dan definisi... 4 2.1 Istilah Teknis Perpetaan... 4 2.2 Istilah Tata Ruang... 5 3 Penyajian Muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Isfandiar M. Baihaqi

Isfandiar M. Baihaqi ASPEK PERPETAAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Isfandiar M. Baihaqi 0813

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA A. Dasar Hukum Pembagian Wilayah 1. UUD 1945 Hasil Amandemen Kerangka Yuridis mengenai pembagian wilayah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

Dokumen Kurikulum Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika. Lampiran III

Dokumen Kurikulum Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika. Lampiran III Dokumen Kurikulum 2013-2018 Program Studi : Teknik Geodesi dan Geomatika ampiran III Fakultas : Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Sumberdaya alam yang berlimpah baik hayati maupun non hayati yang terdapat di Provinsi Papua akan memberikan manfaat yang lebih besar jika pemanfaatannya

Lebih terperinci

Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak

Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia   Abstrak ANALISA PENENTUAN BATAS LAUT ANTARA PROVINSI DKI JAKARTA DAN PROVINSI BANTEN BERDASARKAN UU NOMOR 23 TAHUN 2014 (Studi Kasus : 22 Pulau di Kepulauan Seribu) Yuwono 1, Deasy Rosyida Rahmayunita 2 1,2 Departemen

Lebih terperinci