I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3"

Transkripsi

1 I. RENCN KEGITN PEMELJRN MINGGUN (RKPM) MINGGU 3. TUJUN JR: Dapat Menjelaskan Teori oundary Making untuk tahap Demarkasi dan dminstrasi/manajemen batas wilayah..pokok HSN/SU POKOK HSN: Teori oundary Making : 1. Demarkasi (Penegasan) dan 2. dministrasi/ manajemen atas Wilayah (lebih ditekankan ke batas wilayah darat) C. MEDI JR : Handout D. METODE EVLUSI DN PENILIN a. Kuis E. METODE JR: STR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. KTIVITS MHSISW a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.erdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. KTIVITS DOSEN DN NM DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo a) Demarkasi II. HN JR Setelah penentuan titik dan garis batas di peta dalam tahap delimitasi, selanjutnya diperlukan proses demarkasi. Demarkasi adalah proses penegasan batas, yaitu menentukan posisi titik dan garis yang sesungguhnya di lapangan. Titik-titik batas yang sudah disepakati dalam proses delimitasi ditransformasi ke lapangan dan secara fisik ditandai dengan pembangunan tugu atau pilar batas, pos jaga, tembok atau fasilitas lainnya. Demarkasi ini dilakukan untuk menentukan koordinat titik batas melalui aktivitas survey pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi, peralatan dan metode yang memadai. Untuk survey lapangan, peran surveyor geodesi sangatlah vital agar dihasilkan titik-titik dengan koordinat yang akurat. Selain itu, penggunaan teknologi serta pendekatan ilmiah yang memadai adalah hal yang wajib untuk memperoleh posisi titik-titik batas yang akurat dan atau presisi. Pada tahap ini, kolaborasi antara pihak-pihak yang terlihat sangat diperlukan dan tidak bisa dihindari untuk menghasilkan titik-titik batas yang dapat diterima dan mengikat oleh para pihak. 1

2 dministrasi dan manajemen batas wilayah Menurut Jones (1945), demarkasi garis batas wilayah negara bukan akhir dari proses panjang boundary making, tetapi merupakan awal untuk memasuki tahap selanjutnya berupa tahap administrasi. Sebagai bagian dari tahap akhir dari proses boundary making tahap administrasi dalam perkembangannya tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah managemen kawasan wilayah perbatasan (Pratt, 2006). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut theory of boundary making, kegiatan dministration/management pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataannya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi di lapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi/management berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas di lapangan (Sutisna, 2008). Tujuan akhir dari manajemen garis batas dan kawasan perbatasan negara seharusnya berakhir dengan transisi menuju hidup berdampingan secara damai dan sejahtera terutama bagi masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan wilayah negara. Tahap terakhir menurut Jones (1945), adalah administrasi atau pengelolaan batas wilayah. dministrasi dan pengelolaan ini melibatkan aktivitas pemeliharaan titik-titik batas oleh negara-negara bertetangga yang dipisahkan oleh titik-titik batas tersebut. Tidak hanya terkait dengan pemeliharaan titik batas, administrasi sesungguhnya lebih penting dalam hal menciptakan situasi yang kondusif di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait dengan keamanan, aktivitas sosial budaya, dan terutama ekonomi. Menurut Jones (1945), empat tahapan penentuan batas wilayah seperti telah diuraikan di atas, tidak selalu dilakukan dengan kronologi dan urutan yang sama yaitu alokasi yang dilanjutkan delimitasi lalu diteruskan dengan demarkasi dan diakhiri dengan administrasi. Keempat tahap ini bisa saja tumpang tindih atau bertampalan satu sama lain, bisa berubah urutannya, atau bisa dilakukan dalam periode waktu yang terpisah sangat jauh (tahunan). Sebagai contoh, tahap alokasi dan delimitasi mungkin bisa diselesaikan sekaligus dalam satu kali pertemuan atau konferensi. Sementara itu, ada kalanya proses alokasi sudah rampung sementara proses delimitasinya baru dimulai bertahun-tahun kemudian. Masih menurut Jones (1945), ada juga kasus yang dalam hal ini batas wilayah sudah didelimitasi bertahun-tahun sebelumnya tetapi belum didemarkasi di lapangan karena suatu hal. Selain itu, beberapa kasus batas wilayah dan perbatasan masih tetap terlantar tidak dikelola dengan baik, padahal demarkasi sudah selesai bertahun-tahun, sementara ada kasus sebaliknya yang dalam hal ini pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan sudah dilakukan secara de facto meskipun kenyataannya belum ada proses delimitasi atau demarkasi, bahkan kadang sebelum proses untuk pengalokasian wilayah dirampungkan. Kutipan pernyataan dari Jones yang sangat perlu diperhatikan adalah karena penentuan batas pada prinsipnya merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari tahap alokasi sampai tahap administrasi, maka kesalahan pada satu tahap akan memiliki akibat pada tahap berikutnya. Oleh sebab itu tersedianya data dan informasi yang tepat tentang perbatasan harus disiapkan sedini mungkin. Data dan informasi yang terbaik adalah yang diperoleh secara langsung di lapangan (Jones,1945). 2

3 Manajemen kawasan perbatasan erikut akan diuraikan secara singkat pola manajemen perbatasan, karakteristik perbatasan, tujuan manajemen perbatasan dan manajemen kawasan perbatasan. a. Pola manajemen perbatasan. Menurut Oscar Martinez, 1994 (lake, 1998: 57), ada 4 pola manajemen kawasan perbatasan antar negara. Pola tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan hubungan antar negara yang berbatasan. Empat pola tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram yang disajikan pada Gambar 1. POL MNJEMEN PERTSN (Oscar Martinez,1994) lienated orderlands order Lines Co-Existent orderlands Interdependent orderlands Integrated orderlands Gambar 1: Pola manajemen kawasan perbatasan menurut Oscar Martinez (1994) dalam lake, (1998: 57). Perkembangan model tata kelola dimulai dari model lienated (saling menjauhkan diri) kemudian Co-Existent (hidup berdampingan secara damai), selanjutnya Interdependent (saling tergantung) dan akhirnya ke model Integrated. Dalam hal connectivity, intensitas dan kuantitasnya pada model llenated boleh dikatakan tidak ada, kemudian terus meningkat mulai dari model Co-Existent, Interdependent sampai model Integrated. Dalam hal prosperity, terus akan meningkat mulai dari model Co-Existent, Interdependent dan baru akan tercapai secara baik dan seimbang (equal) pada model Integrated. b. Karakteristik Perbatasan Tata kelola kawasan perbatasan memerlukan informasi geospasial tentang karaketristik perbatasan. Karakteristik perbatasan wilayah negara dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok (lake, 1998: 55-57) yaitu: Sejarah perbatasan (oundary history), Legal status, tipe garis dan kawasan perbatasan, kondisi Geografi Fisis (Physical geography), kondisi Sosial-Ekonomi, dan kondisi aksesibilitas/infrastruktur. c. Tujuan manajemen perbatasan 3

4 Tujuan manajemen perbatasan negara pada awalnya akan ditentukan oleh masing-masing negara sesuai kebijakan politik luar negerinya. Tetapi prinsip dasar tujuan manajemen perbatasan negara secara umum dapat dirumuskan untuk mencapai: perdamaian antar negara, keamanan nasional, kesejahteraan di kawasan perbatasan (borderland prosperity) dan efektifitas pemerintah dalam mengelola masing-masing wilayah untuk melayani masyarakat/pelayanan publik (antara lain connectivity orang dan barang). Tujuan manajemen perbatasan dapat terwujud bila ada goodwill dari Pemerintah kedua negara serta pengaturan yang baik pada kerjasama di tataran praktis. Selain itu manajemen perbatasan perlu dikelola secara moderen. Manajemen kawasan perbatasan secara moderen memerlukan informasi yang bersifat keruangan (geospasial) (lake, 1998: 57). d. Manajemen perbatasan (lake, 1998: 57-59) 1. Manajemen boundary line dan kawasan perbatasan Manajemen perbatasan wilayah negara yang baik harus didasarkan atas dokumen perjanjian (treaty) dan dokumen lainnya yang terkait garis batas wilayah negara yang sudah jelas status hukumnya (legal). da dua jenis manajemen boundary line, pertama manajemen data & informasi data fisik titik-titik batas: data koordinat titik-titik batas, deskripsi garis batas, peta batas dan data yuridis: treaty, peraturan perundangan masing-masing negara terkait batas wilayah negara, semua dokumen terkait proses keberadaan garis batas (kesepakatan penegasan, proses surat menyurat, dll). Semua data tersebut harus diadministrasikan/diarsipkan secara baik oleh suatu badan resmi, misalnya NPP (adan Nasional Pengelola Perbatasan). Fakta yang ada menunjukan bahwa data dan informasi tersebut tidak diarsipkan secara baik (sistematis) dan terserak di berbagai instansi sehingga saat diperlukan sulit mencarinya. Kedua, manajemen lapangan yaitu perlu dimonitor kemungkinan titikk/pilar batas rusak atau bergeser posisinya atau ada perubahan secara alami/ bencana alam. ila terjadi pergeseran pilar batas maka data koordinat yang telah disepakati menjadi penting untuk merekonstruksi kembali posisi batas. Manajemen kawasan perbatasan negara harus menjadi bagian dari RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) mulai dari tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota, karena kawasan perbatasan negara menurut UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Dalam penataan ruang wilayah, teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis/Geospasial) sebaiknya digunakan sebagai sistem pendukung keputusan. 2. Manajemen kses (ccess Management) Manajemen akses sangat erat kaitannya dengan manajemen keamanan (security management) namun sering bersifat paradoks. ila akses perbatasan dibuka seluas-luasnya, maka dari aspek keamanan harus dikelola dengan sangat baik. Dalam hal connectivity, idealnya para pelintas batas harus dapat melintas garis batas dengan mudah, cepat dan aman. Pegawai pemerintah kedua negara seperti: bea cukai, polisi, imigrasi, jasa transportasi, pelayanan kesehatan perlu disiapkan secara baik. Tingkat keterbukaan akses sangat tergantung pada kebijakan pemerintah kedua negara. 3. Manajemen Keamanan (Security management) 4

5 ktivitas keamanan di perbatasan akan sangat tergantung pada politik hubungan luar negeri kedua negara, aspek geografis dan peluang ekonomi. Masyarakat kedua negara khususnya di perbatasan harus diberi pemahaman dan kesadaran keamanan perbatasan dari hal-hal berikut: a) Pendatang haram: migran gelap, penyelundup, orang yang akan melakukan sabotase, teroris, pengungsi dan penjahat. b) arang haram: narkotik, senjata, barang-barang selundupan, barang pornografi dan barang/makanan yang terkontaminasi. c) ahaya kesehatan: pelintas batas yang terinfeksi penyakit berbahaya dan menular, pencemaran lingkungan, penyakit-penyakit berbahaya lainnya. d) Serangan militer. Dalam sistem pertahanan moderen kawasan perbatasan ditempatkan sebagai daerah pertahanan terhadap pasukan invasi lawan. 4. Manajemen pelintas batas Ketika jumlah penduduk meningkat dan sumberdaya serta lapangan kerja di suatu negara terbatas maka pelintas batas akan meningkat. Manajemen pelintas batas adalah termasuk menyiapkan sumberdaya yang diperlukan bagi pelintas batas, meliputi misalnya: cadangan minyak dan gas, air bersih, cadangan bahan pokok, fasilitas kesehatan dan obat-obatan. Untuk itu antara kedua negara perlu bekerjasama dengan tepat dalam hal berbagi tentang sumberdaya tersebut, ada perjanjian formal untuk eksploitasi sumberdaya dan ada komite yang bertugas untuk malaksanakan perjanjian. Kerjasama dalam penanganan pelintas batas sangat penting dan menjadi suatu potensi untuk membangun kerjasma kedua negara yang lebih luas. 5. Manajemen Lingkungan Manajemen lingkungan yang baik di dalam dunia yang bersifat global tidak akan bisa tercapai tanpa kerjasama antar negera khususnya kerjasama pelintas batas. Kerjasama yang sangat penting perlu dilakukan dalam hal: proteksi species berbahaya, penelitian di bidang lingkungan, kontrol polusi, perlindungan hewan yang dilindungi dan ekoturisme. 6. Managemen Krisis Manajemen krisis bila terjadi sesuatu di perbatasan harus ada di setiap level pemerintahan, tingkat pusat (nasional) maupun pemerintah lokal. Di tingkat nasional kebijakan ditempuh agar bila terjadi insiden di perbatasan sebaiknya dicegah agar tidak terjadi eskalasi secara politis. Mekanisme penanganan insiden dilakukan melalui komisi perbatasan bersama (Joint oundary Commission) yang telah dibentuk. Sedangkan di tingkat lokal, penyelesian persoalan harian ditangani oleh petugas-petugas perbatasan (imigrasi, polisi, dll) untuk mencegah eskalasi masalah. Pertemuan rutin dari petugas perbatasan kedua negara perlu selalu dilakukan untuk saling tukar informasi dan merencanakan kerjasama penanganan masalah lokal. Data dan Informasi perbatasan Untuk proses manajemen perbatasan antar negara, diperlukan berbagai informasi baik informasi geospasial maupun non spasial. Informasi geospasial adalah data tentang lokasi geografis yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan 5

6 kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. erbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial: Koordinat titik-titik batas, peta batas sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial: Perjanjian, Peraturan perundang-undangan terkait batas wilayah negara dari negara yang bersangkutan 2. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas): berbagai peta tematik, data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Data dan informasi tersebut disusun dalam basis data dijital perbatasan, selanjutnya diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan Sistem Informasi Geografis/Geospasial (SIG). SIG adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berarti nama tempat atau koordinat di bumi (posisi), sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi layer-layer yang selanjutnya dapat digunakan untuk studi pola-pola kegiatan manusia seperti batas wilayah dengan segala konsekuensinya (Wood, 2000: 75). III. EVLUSI a) Dalam penegasan batas daerah Provinsi atau kabupaten/kota, sebutkan tahapantahapan yang harus dilakukan. Sebutkan sumber- sumber hukum yang dapat digunakan untuk penegasan batas daerah kabupaten/kota, jelaskan b) Untuk penentuan posisi pilar batas daerah kabupaten/kota, pengukuran dilakukan dengan metode GPS. Tipe alat GPS apa yang harus dipakai dan metode apa yang dilakukan untuk pengukuran posisi tersebut. erapa ketelitian koordinat yang disaratkan, jelaskan. c) Jelsakan konsep manajemen perbatasan menurut Oscar Martin. d) Karakteristik kawasan perbatasan perlu diketahui untuk manajemen perbatasan, jelaskan e) Dalam manajemen perbatasan, dikenal ada manajemen border line dan boundary, jelaskan f) Kebutuhan data dan informasi apa saja yang diperlukan dalam manajemen perbatasan g) Jelaskan tentang manajemen lingkungan perbatasan h) Jelaskan tentang manajemen boundary line dan kawasan perbatasan i) Jelaskan tentang Manajemen kses (ccess Management) j) Jelaskan tentang manajemen pelintas batas k) Jelaskan tenatng manajemen Manajemen Keamanan (Security management) l) Jelaskan tentang manajemen krisis perbatasan 6

7 Jawaban soal evaluasi akan didiskusikan di kelas. DFTR CN (REFERENSI): 1. nonim, 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Organisation, New York. 2. nonim, 2000, Handbook on the Delimitation of Maritime oundaries, United Nations Organisation, New York. 3. nonim, 2007, Permendagri No. 1 tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan atas Daerah. 4. Donaldson, J.W & Williams,.J., 2008, Delimitation and Demarcation: nalysing the Legacy of Stephen. Jones's : oundary-making, Geopolitics, 13:4, , Publisher: Routledge, To link to this article: 5. Jones,.,S., 2000, oundary Making, Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and oundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., uffalo, New York. 6. Sutisna, S., 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan atas Wilayah, akosurtanal 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Relevansi Teori Boundary Making

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan sengketa batas wilayah darat: pengertian, penyebab dan cara-cara penyelesian sengketa batas, hubungan sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Aspek Geospasial dalam

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 A.TUJUAN AJAR Dapat menjelaskan Sengketa Batas Maritim dan penyelesaiannya B. POKOK BAHASAN: Penyebab sengketa batas maritim Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Alokasi dan Delimitasi:

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB 3 IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI UU NOMOR 4 TAHUN 2011 MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK KELAUTAN

BAB 3 IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI UU NOMOR 4 TAHUN 2011 MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK KELAUTAN BAB 3 IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI UU NOMOR 4 TAHUN 2011 MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK KELAUTAN Informasi geospasial tematik (IGT) merupakan informasi geospasial (IG) yang menggambarkan satu

Lebih terperinci

Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas

Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Oleh: Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Disampaikan dalam : Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial Jakarta, 27 April 2016 KERANGKA PAPARAN Pentingnya Informasi Geospasial Permasalahan Informasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13 A. TUJUAN AJAR: Mampu menjelaskan peran geodesi dan geomatika dalam kegiatan penetapan, penegasan dan manajemen batas wilayah. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan delimitasi batas maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Tujuan delimitasi Prinsip delimitasi Konvensi PBB

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/LEMBAGA : BAKOSURTANAL 1 PROGRAM SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL Meningkatnya Pemanfaatan Peta Dasar Dalam Mendukung Pembangunan

Lebih terperinci

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA Muthia Septarina Abstrak Sengketa perbatasan antar negara merupakan suatu ancaman yang konstan bagi keamanan dan perdamaian bukan hanya secara nasional

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2018 TENTANG

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2018 TENTANG BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2018 TENTANG PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL DAN INFORMASI GEOSPASIAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Peta laut, Basepoint (Titik Pangkal), dan Baseline (Garis Pangkal) untuk delimiasi batas maritim. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PRT/M/2014

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PRT/M/2014 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PRT/M/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Lebih terperinci

Misi BAKOSURTANAL 6. Kebijakan 7. Program

Misi BAKOSURTANAL 6. Kebijakan 7. Program PROGRAM BAKOSURTANAL TAHUN 2003 DALAM PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA DAN KAWASAN TERTINGGAL LAINNYA A. PENDAHULUAN Badan Koordinasi Survei

Lebih terperinci

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111 Alternatif Peta Batas Laut Daerah Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 (Studi Kasus: Perbatasan Antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik) ALTERNATIF PETA BATAS LAUT DAERAH BERDASARKAN

Lebih terperinci

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan.

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan. Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan www.arissubagiyo.com Latar belakang Kekayaan alam yang melimpah untuk kesejahterakan rakyat. Pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan peraturan serta untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur dibentuk pada tahun 1959 melalui Undang-undang Nomor 27 tahun 1959. Sebelumnya Berau merupakan Daerah Istimewa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka membangun infratsruktur data spasial, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, setidaknya ada 5 (lima) komponen utama yang dibutuhkan, yaitu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang optimal government terutama dibidang kerja sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang optimal government terutama dibidang kerja sama dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Republik Demokratik Timor Leste sebagai negara baru yang sedang berkembang memerlukan berbagai kebijakan pemerintahan di segala bidang dalam mencapai tujuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA AGREEMENT. Pengesahan. RI - Republik Singapura. Timur Selat Singapura. Wilayah. Laut. Garis Batas. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI HIDROLOGI, HIDROMETEOROLOGI, DAN HIDROGEOLOGI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data Batas Wilayah

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data Batas Wilayah LAMPIRAN 6 KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL DASAR BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS 2012 Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan konsep dan pengertian batas wilayah B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Pengertian Batas wilayah dan tipologi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI HIDROLOGI, HIDROMETEOROLOGI DAN HIDROGEOLOGI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 23 TAHUN : 2016 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 21 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA INFORMASI GEOSPASIAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain POTRET KETIMPANGAN Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain Lebih dari 186.658 hektar area yang ditetapkan kawasan hutan merupakan perkampungan penduduk

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR: 10 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SATU DATA PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI,

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG DAN PERENCANAAN PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN DALAM KERANGKA KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS)

ANALISIS RUANG DAN PERENCANAAN PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN DALAM KERANGKA KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Triarko Nurlambanga Dwi Nurcahyadi Adi Wibowo Pusat Penelitian Geografi Terapan Departemen Geografi, FMIPA Universitas Indonesia ANALISIS RUANG DAN PERENCANAAN PENATAAN RUANG BERKELANJUTAN DALAM KERANGKA

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN KOMITMEN GLOBAL INDONESIA

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN KOMITMEN GLOBAL INDONESIA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN KOMITMEN GLOBAL INDONESIA Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010 MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN BIDANG: WILAYAH DAN TATA RUANG (dalam miliar rupiah) PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS 2012 2013 2014 I PRIORITAS BIDANG PEMBANGUNAN DATA DAN INFORMASI SPASIAL A

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan menjelaskan alasan mengapa penulis mengambil judul dari masalah yang dialami atau disebut juga latar belakang, rumusan masalah dan batasan masalah dari judul

Lebih terperinci

BAB I. Potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan

BAB I. Potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan BAB I Potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan A. Laut Tiongkok Selatan dan Claimant States Laut Tiongkok Selatan 1, terletak di wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok, Taiwan, dan sebagian negara ASEAN

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, - 1 - SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG SATU DATA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH Dalam kegiatan penetapan dan penegasan batas (delimitasi) terdapat tiga mendasar, yaitu: pendefinisian, delineasi, dan demarkasi batas. Hubungan ketiganya

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG SATU DATA INDONESIA (VERSI 9)

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG SATU DATA INDONESIA (VERSI 9) RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG SATU DATA INDONESIA (VERSI 9) Forum Konsultasi Publik 18 Mei 2017 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 2 STRUKTUR RANCANGAN PERPRES Bab I. Bab II. Ketentuan Umum Tujuan dan Strategi

Lebih terperinci

BAB I KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RPJMD KABUPATEN BANYUASIN

BAB I KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RPJMD KABUPATEN BANYUASIN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan selama beberapa dekade ini cukup menjadi perhatian di beberapa negara termasuk di Indonesia. Seiring berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017

PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 Dalam perkembangan pergaulan internasional saat ini, tidak mungkin

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa Bumi, Air dan Kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMUNIKASI. INFORMASI. Jaringan. Giopasial. Nasional. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG JARINGAN INFORMASI GEOSPASIAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu

METODE PENELITIAN. deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pengalihan fungsi lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota semakin banyak terjadi pada saat sekarang. Hal ini seiring dengan permintaan pembangunan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR PROSEDUR PENYIMPANAN DAN MEKANISME PENYIMPANAN UNTUK PENGARSIPAN DATA GEOSPASIAL DAN INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung 24 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung Badan Pertanahan Nasional adalah suatu lembaga Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut Ada dua peraturan yang dijadikan rujukan dalam penulisan Tugas Akhir ini, yaitu UU No.32 Tahun 2004 yang menerangkan tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393) PERATURAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI PERTAHANAN NEGARA

KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI PERTAHANAN NEGARA 2012, No.86 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI PERTAHANAN NEGARA KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI PERTAHANAN NEGARA 1. Latar Belakang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem informasi adalah suatu sistem manusia dan mesin yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan. Tujuan dari sistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K No.31, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA WILAYAH. Geospasial. Informasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.403, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Pengamanan. Wilayah Perbatasan. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGAMANAN WILAYAH

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota ma 8upun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4 UNIVERSITAS GADJAH MADA SEKOLAH VOKASI PROGRAM DIPLOMA TEKNIK SIPIL Alamat : Jl. Yacaranda 1, Sekip Unit IV, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 7112126, 545193, 6491300 Faks. (0274) 545193, E mail : dts_ugm@yahoo.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN WALIKOTA MADIUN,

WALIKOTA MADIUN WALIKOTA MADIUN, WALIKOTA MADIUN PERATURAN WALIKOTA MADIUN NOMOR 85 TAHUN 2014 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MADIUN WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Informasi merupakan sumberdaya organisasi yang sangat penting untuk dikelola, meliputi data dan informasi, perangkat keras, perangkat lunak, dan tenaga. Operasional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halaman 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Utara Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Halaman 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Utara Tahun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (1) menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengorganisasi informasi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengorganisasi informasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemetaan kriminal sudah lama menjadi bagian terpenting dari analisis kriminal. Sebelum ditemukannya komputer, pemetaan tindak kejahatan sudah dilakukan secara manual

Lebih terperinci

Abstrak PENDAHULUAN.

Abstrak PENDAHULUAN. PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH ANTARA PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH

Lebih terperinci

SILABUS SMA. Sumber Belajar

SILABUS SMA. Sumber Belajar SILABUS SMA Satuan Pendidikan : SMA Mata Pelajaran : Geografi Kelas/Semester : XII Kompetensi Inti : 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin,

Lebih terperinci

7. SIMPULAN DAN SARAN

7. SIMPULAN DAN SARAN 7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Metode analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dengan SPLL, yang dikembangkan dalam penelitian ini telah menjawab hipotesis, bahwa penerapan konsep marine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

BAB I PENDAHULUAN. atau merevisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-undang tentang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 mewajibkan setiap wilayah provinsi dan juga kabupaten/kota untuk menyusun atau merevisi peraturan daerah tentang

Lebih terperinci

KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN PARTISIPATIF Kendala pengembangan kawasan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTANSELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTANSELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTANSELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI BIDANG PEKERJAAN UMUM KABUPATEN TANAH BUMBU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci