BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH"

Transkripsi

1 BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah suatu perundang-undangan yang berlaku dalam lingkup nasional. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka daerah mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan yang berada di wilayah lautnya. Dalam hal ini batas daerah di laut menjadi bernilai strategis sehingga penentuan dan penegasan batas daerah di laut juga menjadi semakin penting (Abidin, 2001). Namun pada kenyataannya, UU No.22/1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No.22/1999 rawan terjadi salah interpretasi oleh daerah karena UU tersebut menyatakan bahwa provinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 3). Ini adalah definisi membagi teritori bahwa ada laut provinsi dan laut kabupaten/kota sehingga dapat memicu konflik perebutan sumber daya alam di laut. Padahal yang dimaksud adalah mengatur kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini kemudian disempurnakan dalam UU No.32/2004 Pasal 18 dengan menyebutkan istilah kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan ini hanya berlaku untuk mengelola sumber daya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut seperti kekuasaan daerah atas wilayah darat (Arsana, 2005). 7

2 UU No.32/2004 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut pada provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Ditegaskan di sini bahwa tidak disebutkan 4 mil laut untuk kewenangan laut kabupaten/kota mengingat tidak mungkin bagi kabupaten /kota mengklaim selebar 4 mil laut apabila provinsinya juga tidak bisa mengklaim wilayah laut secara penuh hingga 12 mil laut (makna Pasal 18 ayat 5). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat penting bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di laut. Hal ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut agar dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Agar seluruh pekerjaan penentuan batas wilayah dilaksanakan secara optimal, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan petunjuk teknis yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 (Permendagri No.1/2006) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang mengacu kepada UU No.32/2004. Pedoman inilah yang akan dijadikan petunjuk teknis terbaru di dalam pekerjaan penetapan batas daerah di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap provinsi dan kabupaten/kota yang belum dan akan menentukan batas kewenangan di wilayah laut, harus berpedoman pada Permendagri No.1/2006. Di bawah ini dijelaskan lebih lanjut mengenai dasar hukum penentuan batas laut daerah tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan UU terbaru yang menggantikan UU No.22/1999 yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun pasal dalam UU No.32/2004 yang berkaitan tentang penegasan batas laut antara lain yaitu : 8

3 a.pasal 18 ayat 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. b.pasal 18 ayat 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dan/atau di dasar laut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. c.pasal 18 ayat 3. Kewenangan mengelola yang dimaksud pada ayat 1 meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut; Pengaturan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan hukum; Ikut serta memelihara keamanan; Ikut serta mempertahankan kedaulatan negara. d.pasal 18 ayat 4. Batas kewenangan paling jauh bagi provinsi adalah 12 mil, sementara untuk kabupaten/kota adalah sepertiganya. e.pasal 18 ayat 5. Apabila jarak antar provinsi kurang dari 24 mil, maka kewenangan mengelola dibagi sama jarak atau dengan prinsip garis tengah (median line) untuk kabupaten/kota adalah sepertiga kewenangan provinsi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Permendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah ini merupakan petunjuk teknis untuk penegasan batas yang mengacu pada UU No. 32/2004. Pasal-pasal pada Permendagri No.1/2006 yang terkait tentang penetapan batas laut antara lain : a.pasal 1 ayat 6. Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut. b. Pasal 1 ayat 10. Pelacakan batas daerah di laut adalah kegiatan untuk menentukan letak batas di laut berdasarkan kesepakatan dan penentuan lokasi titik acuan. c. Pasal 1 ayat 11. Titik acuan adalah titik yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan posisi titik awal. d.pasal 1 ayat 12. Titik awal adalah titik koordinat yang terletak pada garis pantai dan ditetapkan sebagai titik untuk menentukan garis dasar. e. Pasal 1 ayat 13. Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan. 9

4 f. Pasal 15 ayat 2. Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi : 1. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan, diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota ke arah laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak. 2. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah. 3. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah. 4. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. 2.2 Aspek Teknis Penetapan Batas Laut Daerah Berdasarkan aspek hukum penetapan batas laut daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai aspek teknis dalam pekerjaan penetapan batas laut. Dimana aspek teknis yang akan dijelaskan berikut adalah aspekaspek geodesi Garis Pantai dan Garis Air Rendah Garis pantai adalah garis batas antara laut dan darat. Dalam kamus hidrografi IHO (1970) disebutkan bahwa garis pantai adalah garis pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Secara periodik tinggi permukaan air laut selalu berubah, sehingga terdapat dua variasi yang ekstrim, yaitu bentuk garis pantai pada saat pasang tinggi dan pada surut 10

5 rendah. Garis pantai yang teridentifikasi secara visual di lapangan saat survei dilakukan adalah perpotongan bidang permukaan air sesaat terhadap topografi pantai. Garis pantai yang tergambar di atas peta adalah perpotongan antara topografi pantai dengan kedudukan tertentu tinggi muka laut yang ditetapkan sebagai bidang referensi vertikal. Penggunaan garis air tinggi rata-rata, garis air tertnggi atau garis air terendah sebagai bidang permukaan laut yang dipotongkan dengan topografi pantai akan sangat tergantung dari aplikasi surveinya, antara lain untuk penetapan batas wilayah, pembuatan peta navigasi atau peta perencanaan wilayah. Dalam tugas akhir ini, garis pantai diperlukan untuk menetapkan batas wilayah Kabupaten Selayar. Berdasarkan Permendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dalam Pasal 1 ayat 13, dinyatakan bahwa garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan. Garis air rendah didefinisikan sebagai perpotongan bidang permukaan air laut rendah dengan pantai. Dengan kata lain, garis air rendah adalah suatu garis sepanjang pantai atau tepi laut dimana permukaan air laut berada saat kedudukan air terendah. Secara praktis bidang pertemuan tersebut diwakili oleh muka surutan peta atau chart datum (Djunarsjah, 1998). Chart datum digunakan sebagai referensi kedalaman suatu titik. Selanjutnya bidang referensi kedalaman tersebut disebut datum vertikal. Dalam UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, garis air rendah didefinisikan sebagai garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah. Penetapan garis air rendah secara teliti merupakan pekerjaan yang rumit karena pertemuan antara daratan dan lautan pada dasarnya bukan merupakan suatu bidang yang tetap (Djunarsjah, 2003). Kedudukan garis air rendah yang selalu berubah tersebut disebabkan oleh adanya dinamika muka laut dan perubahan daratan akibat dari pengaruh astronomis dan non astronomis. Dalam prakteknya, garis air rendah ditunjukkan dengan ciri-ciri yang mudah dikenal pada peta, misalnya pinggir pulau. Adanya faktor skala pada peta, menyebabkan perbedaan yang sangat kecil antara garis air rendah dengan garis air tinggi pada saat pasang, sehingga kedua garis dapat digambarkan berimpit. Ilustrasi mengenai garis air rendah dan garis air tinggi dapat dilihat pada gambar

6 Muka Air Tinggi Garis Air Tinggi Muka Laut Rata-rata Muka Air Rendah Garis Air Rendah Gambar 2.1 Garis air rendah dan garis air tinggi Titik Acuan (Reference points) dan Titik Awal (Basepoints) Titik Acuan adalah titik yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan posisi titik-titik awal. Dalam proses penetapan dan penegasan batas di laut, hanya titiktitik acuan yang direpresentasikan di daerah pantai dengan suatu pilar atau tugu. Sementara titik awal dan titik batas laut tidak ditandai dengan pilar atau tugu karena selalu berada di bawah permukaan laut. Titik Awal atau Titik Pangkal merupakan titik-titik yang mempunyai koordinat geografis yang dapat digunakan untuk membentuk suatu Garis Dasar dimana batas laut suatu daerah akan ditentukan. Dalam hal ini titik awal menjadi penting karena sebagai dasar dalam penetapan suatu garis dasar. Dalam penetapan batas laut antara dua daerah yang bertetangga, penentuan titik awal merupakan hal yang sangat penting, karena hal ini menjadi dasar dalam penarikan garis dasar dari kedua daerah yang bersangkutan. Titik awal tidak dapat terlihat secara fisik di lapangan karena tidak diberi tanda fisik. Titik awal terletak pada air rendah, dan air rendah itu sendiri terletak di bawah permukaan air laut. Tetapi posisi titik awal dapat diketahui atau direkonstruksi dengan bantuan alat pengukur terhadap titik-titik acuan atau titik referensi dengan menentukan asimut dan jaraknya. 12

7 2.2.3 Garis Dasar (Baselines) Garis Dasar atau Garis Pangkal adalah acuan awal untuk menentukan batas wilayah laut suatu daerah. Dalam kaitannya dengan penentuan batas laut suatu negara pantai, dimana tertera dalam UNCLOS 1982 pasal 5, disebutkan bahwa pengertian garis pangkal adalah mengacu kepada suatu garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang diukur pada kedudukan Garis Air Rendah (Low Water Line) sepanjang pantai yang ditunjukkan pada peta skala besar resmi dari suatu negara pantai. Dimana dari garis dasar ini lebar laut suatu daerah akan ditentukan. Pada dasarnya dalam UNCLOS 1982 dikenal beberapa macam garis dasar atau garis pangkal, antara lain: Garis Dasar Normal (Normal Baseline) Garis Dasar Lurus (Straight Baseline) Garis Penutup (Closing Line) Garis Dasar Kepulauan (Archipelagic Baseline) UNCLOS 1982 memberikan kebebasan kepada setiap negara pantai untuk menentukan garis dasar yang akan digunakan untuk menetapkan batas wilayah perairan negaranya. Dalam hal penentuan batas laut antara dua daerah, maka diperlukan kesepakatan mengenai penentuan garis dasar diantara daerah yang bersangkutan. Berikut ini akan diberikan penjelasan terperinci mengenai masing masing garis dasar tersebut. A. Garis Dasar Normal (Normal Baseline) Menurut UNCLOS 1982 (pasal 5, 6,11, dan 13) garis dasar normal didefinisikan sebagai garis air rendah sepanjang tepian daratan dan sekeliling pulau, atol, dan batas instalasi pelabuhan permanen yang ditandai dengan simbol yang sesuai pada peta laut skala besar. Ilustrasi dari garis dasar normal dapat dilihat pada gambar

8 Gambar 2.2 Garis Dasar Normal B. Garis Dasar Lurus (Straight Baseline) Garis Dasar Lurus merupakan alternatif lain dalam cara penarikan garis dasar dimana dalam kondisi geografi tertentu, tidak dimungkinkan untuk menarik garis dasar normal. Garis dasar lurus ini merupakan garis-garis lurus yang menghubungkan titik tertentu pada garis air rendah sepanjang pantai. Titik-titik tertentu tersebut dikenal sebagai titik-titik belok dari garis dasar lurus atau titik-titik awal. Adapun ketentuan-ketentuan tentang Garis Dasar Lurus ini dimuat dalam pasal 7 UNCLOS 1982, yang pengaturannya antara lain sebagai berikut: 1. Di tempat tempat dimana garis pantai menjorok jauh dan menikung ke dalam, atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis dasar darimana lebar laut wilayah diukur. 2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis dasar lurus tersebut akan tetap berlaku sampai diubah oleh negara pantai. 14

9 3. Penarikan garis dasar lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pantai, dan zona zona maritim yang terletak di dalam garis dasar demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. 4. Garis dasar lurus tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali jika diatasnya didirikan mercusuar atau bangunan permanen lainnya yang selalu timbul di atas permukaan laut, atau kalau secara umum penggunaannya sudah disepakati secara internasional. Ilustrasi dari garis dasar lurus dapat dilihat pada gambar 2.3 Gambar 2.3 Garis Dasar Lurus Dalam menetapkan panjang garis dasar lurus yang akan digunakan untuk penetapan batas wilayah laut daerah dapat ditetapkan jarak maksimum garis dasar lurus adalah 12 mil laut. Hal yang dapat dijadikan alasan atas disarankannya dalam pemilihan 12 mil laut tersebut adalah diterapkan untuk mendapatkan batas maksimum garis batas yang dapat diklaim oleh daerah di wilayah laut, yaitu batas wilayah laut propinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan perairan kepulauan. 15

10 C. Garis Penutup (Closing Line) Pada prinsipnya garis penutup merupakan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik pada muara sungai, teluk, instalasi pelabuhan dan sebagainya yang panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Terdapat dua macam garis penutup, yaitu: a. Garis Penutup Sungai Dalam pasal 9 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa apabila terdapat suatu sungai mengalir langsung ke laut, maka garis pangkal yang ditarik adalah suatu garis lurus yang melintasi mulut sungai atau muara sungai antara titik-titik pada garis air rendah kedua tepi sungai. Ilustrasi dari garis penutup sungai dapat dilihat pada gambar 2.4 Gambar 2.4 Garis Penutup Sungai b. Garis Penutup Teluk Ketentuan mengenai garis penutup teluk dalam UNCLOS 1982 diatur pada pasal 10. Menurut UNCLOS 1982 tersebut, teluk didefinisikan sebagai suatu lekukan pantai, dimana luasnya sama atau lebih luas dari luas setengah lingkaran yang mempunyai garis tengah yang melintasi mulut lekukan tersebut. Dalam penentuan garis penutup teluk, perlu diperhatikan dua kriteria sebagai berikut: 16

11 UNCLOS 1982 hanya memperbolehkan garis penutup pada teluk yang diakui baik secara historis maupun secara yuridis, menjadi bagian dari suatu negara pantai. Daerah teluk yang akan ditarik garis pangkalnya harus dilakukan pengujian secara matematis dengan metode setengah lingkaran. Ilustrasi dari garis penutup teluk dapat dilihat pada gambar 2.5 Gambar 2.5 Garis penutup Teluk Pengujian dengan metode setengah lingkaran dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan kedua titik masuk alamiah (natural entrance point). Kedua titik tersebut harus terletak pada kedudukan air rendah, kemudian dilakukan penghitungan luas dengan rumus setengah lingkaran (A2) dan luas perairan bila ditarik garis penutupnya (A1). Kategori teluk ialah apabila luas hitungan setengah lingkaran lebih kecil dibanding luas perairan teluk. Penarikan garis penutup teluk tidak boleh melebihi 24 mil laut. 17

12 Gambar 2.6 Konfigurasi pantai yang merupakan teluk Dari gambar 2.6 di atas, dapat dilihat bahwa: A1 = Luas perairan yang dibatasi oleh garis air rendah dengan garis penutup teluk. A2 = Luas setengah lingkaran yang berdiameter sepanjang garis penutup teluk. Karena A1 > A2, maka bentuk konfigurasi pantai di atas merupakan suatu teluk. Gambar 2.7 Konfigurasi pantai yang bukan berupa teluk 18

13 Dari gambar 2.7 di atas, dapat dilihat bahwa: A1 = Luas perairan yang dibatasi oleh garis air rendah dengan garis penutup teluk. A2 = Luas setengah lingkaran yang berdiameter sepanjang garis penutup teluk. Karena A2 > A1, maka bentuk konfigurasi pantai di atas bukan merupakan suatu teluk. D. Garis Dasar Lurus Kepulauan (Archipelagic Baseline) Garis dasar lurus kepulauan didefinisikan sebagai garis dasar lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau karang-karang terluar. Untuk lebih jelasnya, garis dasar lurus kepulauan diperlihatkan pada gambar 2.8 Gambar 2.8 Garis Dasar lurus Kepulauan Dalam peraturan UNCLOS, garis dasar lurus kepulauan hanya dapat diterapkan oleh suatu negara kepulauan yang memenuhi kriteria-kriteria serta kondisi geografi yang sesuai dengan ketentuan ketentuan UNCLOS Adapun ketentuan-ketentuan tentang garis dasar kepulauan ini dimuat dalam pasal 47 UNCLOS 1982 yaitu antara lain: 1. Suatu negara kepulauan dapat menarik garis dasar kepulauan apabila perbandingan antara wilayah perairan dan wilayah daratannya adalah antara 1 : 1 sampai dengan 9 : 1. 19

14 2. Panjang dari setiap garis dasar kepulauan tidak boleh lebih dari 100 mil laut, kecuali 3 % dari jumlah seluruh garis dasar boleh mencapai panjang maksimal 125 mil laut. 3. Garis dasar kepulauan tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut (Low Tide Elevation), kecuali kalau di tempat tersebut sudah didirikan mercusuar atau bangunan permanen lainnya yang selalu timbul di atas permukaan laut, atau kalau elevasi surut tersebut masih dalam kawasan Laut Wilayah dihitung dari pulau terdekat Satuan Jarak (Unit Of Distance) Satuan jarak yang umum digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah perairan yang diukur dari garis dasar adalah mil laut (nautical mile). Satuan mil laut didefinisikan sebagai suatu panjang busur meridian yang membentuk sudut satu menit ( 1 ) pada titik pusat lengkungan meridian. Pada tahun 1929, IHO sepakat untuk menetapkan satuan panjang standar dan berlaku umum yaitu 1 mil laut sama dengan 1852 meter Penentuan Garis Batas Daerah di Laut Penentuan garis batas daerah ke arah laut lepas dan kepulauan dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan batas batas wilayah daerah yang memiliki pantai yang bebas, pantai yang berdampingan, pantai yang berhadapan, batas daerah terhadap pulaunya di luar garis batas dan batas daerah dengan negara tetangga Pantai yang Bebas Untuk pantai yang bebas, pengukuran batas sejauh 12 mil laut untuk batas wilayah laut daerah provinsi dan 4 mil laut untuk batas wilayah kabupaten dan kota dari garis dasar lurus, pengukuran garis batasnya dapat dilakukan seperti dijelaskan pada gambar

15 Gambar 2.9 : Pengukuran Batas pada Pantai yang bebas Garis yang menunjukkan batas wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota ditentukan berdasarkan garis dasar atau garis pangkal. Pada kondisi yang memungkinkan, garis batas wilayah ditarik sejajar dengan garis dasar yang diperoleh dengan cara diukur tegak lurus dari garis dasar sejauh 12 mil laut untuk wilayah laut provinsi dan 4 mil laut untuk wilayah laut daerah kabupaten dan kota Pantai Daerah yang Saling Berdampingan Batas wilayah laut dari dua daerah yang saling berdampingan, ditetapkan dengan garis tegak lurus pada garis dasar ditarik dari titik batas antara 2 daerah di darat, dan ditetapkan berdasarkan prinsip garis tengah (median). Garis tengah merupakan garis yang titik-titiknya mempunyai jarak yang sama terhadap titik-titik terdekat pada garis dasar kedua daerah yang berdampingan tersebut. Pengukuran batas bersama daerah berdampingan dapat dilihat pada gambar

16 Gambar 2.10 Penarikan garis tengah pada daerah yang berdampingan Cara penarikan garis tengah pada gambar di atas adalah sebagai berikut: 1. Sebuah garis tegak lurus terhadap garis pantai ditarik atau kemiringan garis pantai ditarik berdasarkan titik 1. Garis tersebut merupakan perpanjangan dari garis batas wilayah daerah di darat. 2. Titik 2 ditentukan sedemikian rupa dimana jarak titik 2 ke titik 1 ( garis 12 ) dan titik 2 ke titik awal terdekat salah satu daerah adalah sama. Dari gambar tersebut titik awal yang terdekat adalah titik c yang terdapat pada daerah B. 3. Titik 3 berada pada garis dimana titik titik sepanjang garis tersebut mempunyai jarak yang sama terhadap titik c dan titik 1. Titik 3 yang merupakan titik tengah berikutnya ditentukan sedemikian rupa, dimana jarak titik 3 ke titik 1, titik 3 ke titik c, dan titik 3 ke titik a adalah sama. 4. Selanjutnya diperoleh titik 4 dan titik 5 dengan cara yang sama, sehingga garis garis yang dihasilkan akan membentuk garis tengah. 22

17 Pantai Daerah yang Saling Berhadapan Untuk kondisi dimana dua daerah yang mempunyai pantai yang berhadapan, akan terdapat masalah dalam penentuan batas wilayah perairannya apabila jarak antar kedua provinsi kurang dari 24 mil laut atau antar kabupaten/kota kurang dari 8 mil laut, karena apabila wilayah perairan yang demikian ditentukan secara normal, maka akan salling tumpang tindih. Oleh karena itu penarikan garis batas wilayah untuk kasus demikian didasarkan pada prinsip garis tengah. Gambar 2.11 Penarikan garis tengah pada daerah yang berhadapan Cara penarikan garis tengah pada gambar 2.11 di atas adalah sebagai berikut : 1. Dari titik awal 1 ke titik awal 2 ditarik sebuah garis lurus. Pada garis tersebut ditentukan titik tengahnya dan ditarik garis tegak lurus dengan garis Titik-titik yang berada pada garis tegak lurus tersebut mempunyai jarak yang sama ke titik 1 dan titik 2. Pada garis sumbu tersebut ditentukan titik A sedemikian rupa dimana titik A tersebut mempunyai jarak yang sama terhadap titik 1, 2, dan 4. Maka garis a yang didapat adalah garis sama jarak. 3. Titik tengah berikutnya yaitu titik B diperoleh dengan menarik garis sama jarak b yaitu memiliki jarak yang sama ke titik 1,3, dan 4. 23

18 4. Dengan cara yang sama ditentukan titik-titik tengah berikutnya. Garis yang menghubungkan titik-titik tengah A, B, C dan seterusnya merupakan garis sama jarak Batas Daerah Terhadap Pulaunya di Luar Garis Batas Untuk mengukur batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. Kemudian untuk wilayah laut kabupatennya diukur sejauh 4 mil laut. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.12 Gambar 2.12 : Penarikan batas daerah terhadap pulaunya di luar garis batas Peta Batas Daerah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah akan membutuhkan suatu peta yang memuat batas-batas wilayahnya. Dalam peta tersebut terdapat data-data dan informasi tentang wilayah daerah tersebut, sehingga dapat dijadikan acuan untuk perencanaan dan pembangunan wilayah sesuai dengan penataan ruang wilayahnya sebagai pedoman dalam pemanfaatan sumber daya alamnya secara optimal. 24

19 Berbeda dengan batas daerah di darat dimana pemisah antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta, batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dengan dilampirkan daftar koordinat geografis titik batas luarnya di peta. Daftar koordinat geografis titik batas ini adalah daftar posisi titik batas yang ditulis dalam derajat lintang dan bujur. Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 17 disebutkan bahwa peta batas daerah berpedoman pada penggunaan skala minimal yaitu 1 : untuk peta wilayah daerah propinsi, 1: untuk wilayah daerah kabupaten, dan 1: untuk wilayah daerah kota. Dalam penentuan batas wilayah laut daerah propinsi, kabupaten dan kota, skala peta yang digunakan disesuaikan dengan berpedoman pada tingkat ketelitian minimal yang digunakan dalam penataan ruang wilayah yang diatur dalam Permendagri di atas. 25

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura BAB II DASAR TEORI 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura Seperti yang telah kita ketahui, permasalahan batas maritim untuk Indonesia dengan Singapura sudah pernah disinggung dan disepakati

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH Dalam kegiatan penetapan dan penegasan batas (delimitasi) terdapat tiga mendasar, yaitu: pendefinisian, delineasi, dan demarkasi batas. Hubungan ketiganya

Lebih terperinci

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999 ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999 Danar Guruh Pratomo Program Studi Teknik Geodesi, FTSP-ITS guruh@geodesy.its.ac.id Abstrak Lahirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 61-1998 diubah: PP 37-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 72, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut Ada dua peraturan yang dijadikan rujukan dalam penulisan Tugas Akhir ini, yaitu UU No.32 Tahun 2004 yang menerangkan tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan nusantara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Heryoso Setiyono, Ibnu Pratikto, Hariyadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang Abstrak UU No 32

Lebih terperinci

BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA

BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA III.1. Tujuan Penentuan Batas Wilayah negara baik itu darat maupun laut serta ruang diatasnya merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara. Tujuan kegiatan penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses desentralisasi dalam

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA 3.1 Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia Penyeleksian data untuk pemetaan Laut Teritorial dilakukan berdasarkan implementasi UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal

Lebih terperinci

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara A393 Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara, dan Melisa Ayuningtyas, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH Dalam kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut Provinsi Nusa Tenggara Barat menggunakan dua prinsip yaitu, pertama mengacu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK Penentuan posisi merupakan salah satu kegiatan untuk merealisasikan tujuan dari ilmu geodesi. Dan salah satu wujud penentuan posisi tersebut adalah penentuan posisi di laut yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia Unsur yang ditampilkan pada Peta Laut Teritorial Indonesia, meliputi : unsur garis pantai, unsur garis pangkal, unsur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA DI LAUT NATUNA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR Pada dasarnya pekerjaan penetapan batas wilayah di laut akan mencakup dua kegiatan utama, yaitu penetapan batas wilayah laut secara kartometrik

Lebih terperinci

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT Aspek-aspek Geodetik... ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT Joko Hartadi Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta email: jokohartadi@upnyk.ac.id

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1252, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Wilayah Batas Daerah. Penegasan. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006

BAB IV ANALISIS. IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006 BAB IV ANALISIS IV.1 Perbandingan Peta IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006 Berikut ini ditampilkan perbandingan antara peta garis dasar normal

Lebih terperinci

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK Batasan masalah dalam tugas akhir ini adalah penetapan batas laut yang lebih tepatnya Zona Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut PEMBUKAAN Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka kebijakan penetapan batas desa sebagai

Lebih terperinci

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 G199 Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Rainhard S Simatupang 1), Khomsin 2) Jurusan

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pekerjaan penetapan dan penegasan batas daerah di laut akan mencakup dua kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang didominasi oleh dua per tiga wilayah perairan laut dari keseluruhan wilayah. Sebagai Negara Kepulauan,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA A. Dasar Hukum Pembagian Wilayah 1. UUD 1945 Hasil Amandemen Kerangka Yuridis mengenai pembagian wilayah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Aspek Geospasial dalam

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN

BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN Garis batas maritim antara Indonesia dengan Singapura sebelumnya telah disepakati khususnya pada

Lebih terperinci

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER III.1 Peta Dasar Peta yang digunakan untuk menentukan garis batas adalah peta

Lebih terperinci

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111 Alternatif Peta Batas Laut Daerah Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 (Studi Kasus: Perbatasan Antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik) ALTERNATIF PETA BATAS LAUT DAERAH BERDASARKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL)

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL) Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL) DIKA AYU SAFITRI 3507 100 026 Page 1 Latar Belakang

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

Abstrak PENDAHULUAN.

Abstrak PENDAHULUAN. PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH ANTARA PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

KAJIAN KEPEMILIKAN SUMBER DAYA ALAM NON HAYATI DALAM WILAYAH 12 MIL LAUT (STUDI KASUS : Pulau Pagerungan Besar dan Kecil, Kabupaten Sumenep) Abstrak

KAJIAN KEPEMILIKAN SUMBER DAYA ALAM NON HAYATI DALAM WILAYAH 12 MIL LAUT (STUDI KASUS : Pulau Pagerungan Besar dan Kecil, Kabupaten Sumenep) Abstrak KAJIAN KEPEMILIKAN SUMBER DAYA ALAM NON HAYATI DALAM WILAYAH MIL LAUT (STUDI KASUS : Pulau Pagerungan Besar dan Kecil, Kabupaten Sumenep) Resdian Prima Noviawan, M Taufik Program Studi Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 6/1996, PERAIRAN INDONESIA *9315 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 6 TAHUN 1996 (6/1996) Tanggal: 8 AGUSTUS 1996 (JAKARTA) Sumber: LN. 1996/73;

Lebih terperinci

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT Dalam penentuan batas laut, setiap negara pantai diberikan wewenang oleh PBB untuk menentukan batas lautnya masing-masing dengan menjalankan pedoman yang terkandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR Rosmi Hasibuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Overlap claming

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017 ANALISIS PENGARUH PEMILIHAN PETA DASAR TERHADAP PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT SECARA KARTOMETRIS (Studi Kasus : Kabupaten Sumenep, Jawa Timur) Ajeng Kartika Nugraheni Syafitri, Moehammad Awaluddin,

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 maka salah satu prioritas utama bagi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN

I. BAB I PENDAHULUAN I. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 pulau dengan dua pertiga diantaranya merupakan wilayah lautan. Berdasarkan UNCLOS (United

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kartografi Kelautan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kartografi Kelautan BAB II DASAR TEORI 2.1 Kartografi Kelautan Kartografi merupakan sebuah disiplin yang meliputi ilmu, teknik, dan seni dalam proses perancangan dan produksi peta. Seperti halnya kartografi pada umumnya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan kondisi geografisnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya yang berupa perairan. Kondisi geografis tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Bab II TEORI DASAR 2.1 Batas Daerah A. Konsep Batas Daerah batas daerah adalah garis pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah administrasi adalah wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS ALTERNATIF BATAS WILAYAH LAUT KOTA SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL

ANALISIS ALTERNATIF BATAS WILAYAH LAUT KOTA SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL ANALISIS ALTERNATIF BATAS WILAYAH LAUT KOTA SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL Anggi Tiarasani, L.M Sabri, ST, MT *, Moehammad Awaluddin, ST, MT * Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik, Unversitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI. Tabel 3.1 Tahapan Penetapan Batas Laut

BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI. Tabel 3.1 Tahapan Penetapan Batas Laut BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI Kegiatan penetapan batas laut antara dua negara terdiri dari beberapa tahapan.kegiatan penetapan batas beserta dengan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG MENGESAHKAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH PAPUA NUGINI TENTANG BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI

MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI e FIAT JUSTITIA MS & PARTNERS LAW OFFICE NEWSLETTER 10 September 2016 www.msp-lawoffice.com MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI Kajian terhadap Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Peta laut, Basepoint (Titik Pangkal), dan Baseline (Garis Pangkal) untuk delimiasi batas maritim. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 3509 100 005 Dengan bimbingan Ir. Yuwono MS. Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Informasi Geospasial

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Informasi Geospasial BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Informasi Geospasial Pada umumnya data dapat di definisikan sebagai kelompok teratur simbol-simbol yang mewakili kuantitas, tindakan, benda dan sebagainya. Dari definisi tersebut,

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI Dr. Sri Handoyo dan Ir. Tri Patmasari, M.Si Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL Disampaikan pada Dialog Publik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015 STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN Klaten, 21 Oktober 2015 Kabupaten Klaten merupakan bagian dari Kawasan Andalan Subosukawonosraten dgn arahan pengembangan kawasan andalan pertanian,

Lebih terperinci

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT 2.1 Peta Laut Peta laut adalah representasi grafis dari permukaan bumi yang menggunakan simbol, skala, dan sistem proyeksi tertentu yang mengandung informasi serta menampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017 ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN GARIS PANTAI TERHADAP BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI DI SELAT BALI Muhammad Maulana M.A., Moehammad Awaluddin, Fauzi Janu A. *) Program

Lebih terperinci

1. SIMBOL, NOTASI, DAN KODE UNSUR, UNSUR-UNSUR PERAIRAN PETA DASAR

1. SIMBOL, NOTASI, DAN KODE UNSUR, UNSUR-UNSUR PERAIRAN PETA DASAR K 0K LAMPIRAN II PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2010 TANGGAL 1. SIMBOL, NOTASI, DAN KODE UNSUR, UNSUR-UNSUR PERAIRAN PETA DASAR dan/ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 15 16 A. Garis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang RI merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Berada diantara benua Asia dan Australia dan dua Samudera Hindia dan Pasifik. RI dikelilingi oleh lautan

Lebih terperinci