Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:
|
|
- Adi Sudjarwadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut: 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Tabel 4.1 Revisi pasal 3 Permendagri no 1 tahun 2006 A Ayat Pasal 3 Pasal 3 1 Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah. Penegasan batas daerah berpedoman pada dokumen hukum paling kuat berdasarkan keputusan kajian Tim Penegasan Batas Daerah Kekurangan pada pasal ini adalah penggunaan Undang-undang pembentukan daerah sebagai pedoman penegasan batas. Undang-undang pembentukan daerah yang merupakan dasar hukum pembentukan daerah tidak menyatakan dengan jelas titik-titik koordinat batas daerah. Undang-undang pembentukan daerah hanya mendekripsikan nama-nama daerah yang berbatasan dengan daerahnya. Selain itu peta lampiran undang-undang pembentukan daerah juga tidak jelas dan cenderung menimbulkan perbedaan penafsiran antar Undang-undang pembentukan daerah. Oleh karena itu, Undang-undang Pembentukan daerah sebaiknya tidak dijadikan pedoman utama dalam penegasan batas daerah. sebaiknya batas daerah berpedoman pada bukti hukum terkuat hasil keputusan kajian Tim Penegasan Batas. 48
2 Tabel 4.2 Revisi pasal 4 Permendagri no 1 tahun 2006 B. Ayat Pasal 4 Pasal 4 1 Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : a. penelitian dokumen ; a. penelitian dokumen ; b. pelacakan batas; b. deliniasi batas; c. pemasangan pilar batas; c. pelacakan batas; d. pengukuran dan penentuan posisi d. pemasangan pilar batas; pilar batas; e. pembuatan peta batas. e. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; f. pembuatan peta batas. Pada pasal ini sebaiknya ditambahkan tahapan deliniasi batas. Deliniasi batas adalah tahapan penentuan batas di atas peta. deliniasi batas dilakukan menggunakan peta foto atau dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Dengan menggunakan peta foto maupun citra resolusi tinggi, identifikasi batas dapat dilakukan dengan menentukan koordinat dari batas-batas daerah melalui digitasi citra. Sehingga tahap pelacakan hanya dilakukan jika diperlukan saja. Selain itu, pemasangan pilar titik ikat pada daerah sungai, jalan, rel kereta, dan saluran irigasi tidak perlu dilakukan karena koordinat pada daerah-daerah tersebut dapat diperoleh melalui tahapan ini. Pemasangan pilar cukup pada area yang dianggap perlu. Sehingga biaya yang diperlukan dalam proses penegasan batas dapat diminimalisir. Tabel 4.3 Revisi pasal 5 Permendagri no 1 tahun 2006 C. Ayat Pasal 5 Pasal 5 1 Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen-dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum oleh setiap daerah. 49
3 Pada pasal ini disebutkan bahwa dokumen yang dimaksud meliputi peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah serta dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Hal ini dinilai kurang sesuai karena berbeda dengan teknis yang ada dilapangan, pada teknisnya setiap daerah mengajukan dokumen-dokumen untuk dijadikan bukti hukum atas batas daerahnya. Sebagian besar dokumen-dokumen yang diajukan menyajikan batasbatas daerah yang berbeda. penelitian dokumen diperlukan untuk memilih dokumen-dokumen yang memiliki kekuatan hukum terkuat untuk diputuskan sebagai acuan batas daerah. oleh karena itu, penggunaan kata dokumen yang disepakati sebaiknya diganti menjadi dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum. Dengan demikian, proses penegasan batas daerah tidak terhambat oleh proses memperoleh kesepakatan yang sulit dicapai. Bagian selanjutnya merupakan analisis revisi hasil identifikasi lampiran penjelasan Permendagri no 1 tahun 2006, sebagai berikut: Tabel 4.4 Revisi bagian 1 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 D. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem grid pada proyeksi Transverse Mercator. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem proyeksi Transverse Mercator yang cakupannya dibatasi pada area λ=±3 o atau dengan lebar zona 6 o serta faktor perbesaran pada meridian sentral sebesar Kesalahan pada bagian ini adalah dalam mendefinisikan Universal Tranverse Mercator(UTM) sebagai sistem grid. Grid adalah garis tempat kedudukan titiktitik dengan absis atau orinat yang sama, digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan koordinat pada peta. Sedangkan, Universal Tranverse Mercator merupakan sebuah sistem proyeksi peta. Definisi teknis yang ada pada suatu Peraturan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami secara umum. Namun, pemberian definisi harus sesuai sehingga tidak bergeser dari makna sebenarnya. 50
4 Tabel 4.5 Revisi bagian 2 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 E. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masing-masing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masingmasing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Bagian ini berisi penjelasan singkat tentang teknis penegasan batas daerah. kesalahan terdapat pada penulisan Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, yaitu pada penggunaan kata penetapan. Kata penetapan tidak dapat lagi dipakai karena Permendagri no 1 tahun 2006 hanya melingkupi masalah penegasan batas daerah. Tabel 4.6 Revisi bagian 3 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 F. Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 5 (lima) kegiatan yaitu: Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 6 (enam) kegiatan yaitu: 1) Penelitian dokumen 1) Penelitian dokumen 2) Pelacakan batas 2) Diliniasi batas 3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar 3) Pelacakan batas batas 4) Pemasangan pilar batas 4) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas 5) Pembuatan peta batas 5) Pemasangan pilar batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. 6) Pembuatan peta batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Penjelasan pada bagian ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 4 Permendagri no 1 tahun
5 Tabel 4.7 Revisi bagian 4 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 G. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka tim tersebut bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut untuk memilih dasar hukum terkuat yang akan dijadikan landasan dalam penegasan batas daerah Penggunaan kata kesepakatan sebaiknya ditinjau ulang. jika mengandalkan kesepakatan, batas daerah hanya akan menjadi masalah yang rumit untuk selesaikan. Salah satu kendala dalam penegasan batas yang terjadi saat ini adalah kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam menetapkan batas antar daerah, sehingga penyelesaian masalah penegasan batas daerah menjadi terhambat. Seharusnya Batas daerah merupakan wewenang pemerintah pusat dalam memutuskannya. Setiap daerah cukup mengajukan bukti dasar hukum terkait batas daerahnya, sedangkan pemilihan dasar hukum terkuat dalam penegasan batas daerah seluruhnya diserahkan kepada tim pengkaji. Tabel 4.8 Revisi bagian 5 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 H. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titik-titik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titiktitik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. 52
6 c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. Kriteria potensi batas daerah berdasarkan pada: a) Tingkat kepadatan, b) Nilai ekonomi, c) Sumber daya alam, d) Nilai budaya, dll. Pada bagian perapatan PBU(Pilar Batas Utama) disebutkan bahwa Kerapatan PBU berdasarkan potensi daerah. Bagian ini dinilai kurang lengkap karena tidak terdapat penjelasan tentang kriteria dalam menentukan potensi daerah tersebut tinggi atau rendah. Oleh karena itu, pada bagian ini perlu ditambahkan kriteria dalam menentukan potensi daerah. Adapun kriteria kerapatan pilar batas yang tertera dalam buku Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah berdasarkan pada : 1. Tingkat kepadatan, 2. Nilai ekonomi, 3. Sumber daya alam, 4. Nilai budaya, dll. Tabel 4.9 Revisi bagian 6 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 I. Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). --revisi gambar perlu dilakukan oleh pihak Kemendagri-- Kesalahan pada bagian ini terletak pada sketsa untuk spesifikasi bentuk pilar batas tipe C untuk batas kecamatan, dengan ukuran pilar 30 cm x 30 cm, tinggi 50 cm serta kedalaman 75 cm di bawah tanah. Sedangkan pada sketsa gambar 2 ukuran pilar yang diberikan 40 cm x 40 cm, tinggi 75 cm serta 53
7 kedalaman 100 cm di bawah tanah. Untuk sketsa pilar tipe C dapat dilihat pada Gambar 4.1, sebagai berikut: Gambar 4.1 Kesalahan sketsa bentuk pilar tipe C 54
8 Tabel 4.10 Revisi bagian 7 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 J. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran GPS harus memenuhi Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Utama(PBU) sebesar ±15 cm Panjang Baseline Lama Pengamatan Satu frekuensi Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Pengukuran koordinat ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi. Namun, nilai ketelitian dari pilar batas utama dalam Permendagri no 1 tahun 2006 tidak dispesifikasikan. jika dilihat dari skala peta batas daerah, yaitu 1 : (untuk propinsi), 1: (untuk kabupaten), dan 1 : (untuk kota), maka untuk keperluan pengeplotan di peta tersebut, tuntutan terhadap ketelitian titik acuan sebenarnya tidak terlalu ketat. Kalau kita mengacu pada toleransi ketelitian pengeplotan sebesar 0.1 mm di peta, maka sebenarnya tingkat ketelitian titik acuan dalam orde beberapa m sudahlah memadai. mengingat bahwa koordinat titik-titik batas juga akan digunakan untuk perhitungan luas daerah secara kuantitatif, dan juga dengan pertimbangan bahwa titik acuan juga sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan lainnya di samping untuk keperluan verifikasi titik-titik awal dan juga rekonstruksi titik-titik batas seandainya diperlukan, maka ketelitian koordinat relatif titik acuan sebaiknya berada pada level beberapa cm. Seandainya level cm, karena sesuatu hal tidak dapat dicapai, maka ketelitian relatif pada level 1-2 dm pada prinsipnya masih memadai (abidin, 2001). Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan 55
9 Penegasan Batas Daerah(2002) standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah : Untuk PBU dan PABU : ±15 cm Untuk PBA dan PABA : ±25 cm Selain itu, lamanya pengamatan dalam pengamatan GPS juga tidak dispesifikasikan. Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan Penegasan Batas Daerah(2002) lamanya pengamatan GPS adalah: Tabel 4.11 Lama Pengamatan Penentuan Posisi Pilar Batas Antara Menggunakan GPS[Kemendagri,2002] Panjang Baseline Satu frekuensi Lama Pengamatan Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Tabel 4.12 Revisi bagian 8 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 K. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran dapat dilakukan secara loop memancar (sentral), secara jaring trilaterasi atau secara poligon tergantung situasi dan kondisi daerah. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran GPS dapat dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial tergantung situasi dan kondisi daerah. penentuan posisi GPS umumnya dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial. Tidak ada istilah pengukuran GPS dilakukan dengan metode poligon atau metode loop memancar. Metode poligon digunakan pada pengukuran terestris dengan mengukur sudut dan jarak antar titik. Sedangkan GPS adalah metode penentuan posisi dari suatu titik secara ekstra-terestris yaitu penentuan posisi dengan melakuan pengukuran atau pengamatan ke benda/objek di 56
10 angkasa, dalam hal ini berupa satelit. Sedangkan pengggunaan istilah metode loop memancar dinilai kurang tepat karena seharusnya istilah yang benar adalah moda memancar/sentral/radial. Tabel 4.13 Revisi bagian 9 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 L. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilarpilar batas daerah mempunyai koordinat sistem nasional, maka harus dikaitkan ke titik Orde Nol atau Orde Satu yang merupakan jaring kontrol nasional. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilar-pilar batas mempunyai sistem koordinat nasional, pilar-pilar batas diikatkan pada Jaring Kontrol Geodesi Nasional orde nol dan satu. Jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan satu maka pilar batas daerah dapat diikatkan pada titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat ke sistem proyeksi UTM harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o Untuk dapat terikat pada jaring kontrol geodesi nasional, pengikatan koordinat dapat juga dilakukan dengan menggunakan titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o. ketelitian dari titik-titik koordinat orde nol dan satu lebih baik dari titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4. Oleh karena itu, pemakaian orde nol dan orde satu lebih diutamakan. Namun jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan orde satu pada area pengukuran, penggunaan titik ikat orde 2, 3 dan 4 masih dapat digunakan. Tabel 4.14 Revisi bagian 10 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 M. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Antara(PBA) adalah ±25 cm Bagian ini tidak terdapat spesifikasi ketelitian Pilar Batas Antara 57
11 Tabel 4.15 Revisi bagian 12 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 N. Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem Grid : Universal Transverse Mercator b) Lebar Zone : 6 derajat c) Angka Perbesaran : pada Meridian tengah d) Jarak Meridian Tepi : m di sebelah Timur dan sebelah Barat Meridian Tengah e) Ellipsoid Referensi : Spheroid WGS-84 f) Sistem Referensi Koordinat (1) Primer : Grid Geografi (2) Sekunder : Grid Metrik Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem proyeksi : Universal Transverse Mercator b) Ellipsoid Referensi : WGS-84 c) Garis kerangka peta: (1) Primer : Gratikul (2) Sekunder : Grid Bagian ini dinilai kurang sesuai karena spesifikasi yang diberikan dapat lebih disederhanakan. Penulisan lebar zona, angka perbesaran, dan jarak meridian tepi tidak perlu dispesifikasikan, karena ketiga hal tersebut sudah merupakan ciri khas dari sistem proyeksi Universal Transverse Mercator. Kesalahan juga terdapat pada penggunaan istilah sistem referensi koordinat. Pada bagian ini sistem grid di identikan dengan sistem referensi koordinat. Definisi Sistem referensi koordinat yang benar adalah sistem (termasuk teori, konsep, deskripsi fisis dan geometris, serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sistem referensi digunakan sebagai acuan untuk menyatakan nilai suatu titik. Realisasi praktis dari sistem referensi adalah kerangka referensi. Kerangka referensi digunakan untuk pendeskripsian secara kuantitatif posisi dan pergerakan titik titik, sedangkan grid adalah garis tempat kedudukan titik-titik dengan absis atau orinat yang sama,. Selain itu, penggunaan istilah grid geografi dan grid metrik juga tidak sesuai karena grid merupakan garis bantu yang menyajikan informasi dalam satuan metrik. Oleh karena itu, sebaiknya istilah grid geografi diganti menjadi gratikul, sedangkan istilah grid matrik diganti menjadi grid UTM. 58
12 Tabel 4.16 Revisi bagian 14 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 O. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. (1) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual dan jika perlu diadakan penyesuaian skala menggunakan Pantograph. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. Dengan skala peta dasar yang sama atau lebih besar. (2) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual. Jika menggunakan peta dengan skala yang lebih besar, maka diperlukan suatu penyesuaian skala menggunakan Pantograph dan melalui tahap generalisasi kartografi. Metode penurunan/kompilasi hanya bisa dilakukan pada peta dengan skala yang sama atau skala yang lebih besar. Selain itu, jika menggunakan metode turunan/kompilasi dari peta dasar dengan skala peta yang lebih besar proses penyesuaian tidak cukup dengan menggunakan Pantograph, diperlukan adanya proses generalisasi kartografi untuk dapat menggambarkan peta batas daerah tersebut. Generalisasi kartografi adalah proses pengaturan kepadatan objek yang disajikan terhadap skala peta. Selain itu, tahun pembuatan peta dasar juga harus diperhatikan agar keterbaruan data tetap terjaga. 59
Bab III KAJIAN TEKNIS
Bab III KAJIAN TEKNIS 3.1 Persiapan Penelitian diawali dengan melaksanakan studi literatur. Studi literatur dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: a. Konsep batas daerah b. Perundang-undangan
Lebih terperinciBab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Bab II TEORI DASAR 2.1 Batas Daerah A. Konsep Batas Daerah batas daerah adalah garis pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah administrasi adalah wilayah
Lebih terperinciPENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR
PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR Oleh : Bilal Ma ruf (1), Sumaryo (1), Gondang Riyadi (1), Kelmindo Andwidono Wibowo (2) (1) Dosen Jurusan Teknik
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI
Lebih terperinciPEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH
LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 1 Tahun 2006 TANGGAL : 12 Januari 2006 PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH I. Batas Daerah di Darat A. Definisi teknis 1. Koordinat adalah suatu besaran untuk
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING 4.1 ANALISIS IMPLEMENTASI Dari hasil implementasi pedoman penetapan dan penegasan batas daerah pada penetapan dan penegasan Kabupaten Bandung didapat beberapa
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Batas Darat
BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Batas Darat Batas darat ialah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis yang memisahkan daratan atau bagiannya kedalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan
Lebih terperinciURGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)
URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif
Lebih terperinciMENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA
MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Edisi : I Tahun 2003 KERJASAMA ANTARA DEPARTEMEN DALAM NEGERI DENGAN BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAAN NASIONAL Cibogo, April 2003 MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Oleh:
Lebih terperinciBEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin
BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA Hasanuddin Z. Abidin Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 e-mail : hzabidin@gd.itb.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun
Lebih terperinci2012, No Batas Daerah di Darat
2012, No.1252 16 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH A. TEKNIS PENEGASAN BATAS DAERAH 1. Batas Daerah di Darat a. Definisi
Lebih terperinciBUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR: 9 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA
SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR: 9 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciSPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR
SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR i Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 3 1 Ruang lingkup... 4 2 Istilah dan definisi... 4 2.1 Istilah Teknis Perpetaan... 4 2.2 Istilah Tata Ruang... 5 3 Penyajian Muka
Lebih terperinciPROVINSI KALIMANTAN BARAT TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang
Lebih terperinciBAB III PELAKSANAAN PENELITIAN
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada BAB III ini akan dibahas mengenai pengukuran kombinasi metode GPS dan Total Station beserta data yang dihasilkan dari pengukuran GPS dan pengukuran Total Station pada
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI KABUPATEN PURBALINGGA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang :
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA
PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN,
Lebih terperinciSISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN
16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan
Lebih terperinciMateri : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) TEKNIS PENGUKURAN DAN PEMETAAN KOTA Surabaya, 9 24 Agustus 2004 Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT
Lebih terperinciKajian Implementasi Metode Penetapan Batas Administrasi Kota/Kabupaten (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Barat)
Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Kajian Implementasi Metode Penetapan Batas Administrasi Kota/Kabupaten (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Barat) HARY
Lebih terperinciBAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA
BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA III.1. Tujuan Penentuan Batas Wilayah negara baik itu darat maupun laut serta ruang diatasnya merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara. Tujuan kegiatan penentuan
Lebih terperinciINFORMASI GEOSPASIAL UNTUK PEMETAAN BATAS DAERAH 1) Kol. Drs. Cpt. Suyanto 2)
INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK PEMETAAN BATAS DAERAH ) Kol. Drs. Cpt. Suyanto ) I. PENDAHULUAN Topografi Kodam disingkat Topdam adalah Badan pelaksana Kodam yang berkedudukan langsung di bawah Pangdam. Topdam
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 30 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 30 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciMENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1996 TENTANG PENGUKURAN DAN PEMETAAN UNTUK PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang
Lebih terperinciBAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis
BAB I KONSEP SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi
Lebih terperinciMEMBACA DAN MENGGUNAKAN PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI)
MEMBACA DAN MENGGUNAKAN PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI) Disarikan dari Buku Panduan Praktis Membaca dan Menggunakan Peta Rupa Bumi Indonesia Karangan M. Eddy Priyanto, Edisi I, Pusat Pelayananan Jasa dan
Lebih terperinciBAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING
BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING APLIKASI GIS UNTUK PEMBUATAN PETA INDIKATIF BATAS KAWASAN DAN WILAYAH ADMINISTRASI DIREKTORAT PENGUKURAN DASAR DEPUTI BIDANG SURVEI, PENGUKURAN DAN PEMETAAN BADAN PERTANAHAN
Lebih terperinciPENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA
PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA SISTIM GPS SISTEM KOORDINAT PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Singkatan : Global Positioning System Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang
Lebih terperinciPENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA
PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA 1. SISTIM GPS 2. PENGANTAR TANTANG PETA 3. PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang boleh dimanfaatkan
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.
DAFTAR PUSTAKA 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita. 2. Abidin, Hasanuddin Z.(2002). Survey Dengan GPS. Cetakan Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita. 3. Krakiwsky, E.J.
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN BOALEMO DENGAN KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, REPUBLIK
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Cakupan
BAB IV ANALISIS Meskipun belum dimanfaatkan di Indonesia, tetapi di masa mendatang kerangka CORS dapat menjadi suatu teknologi baru yang secara konsep mampu memenuhi kriteria teknologi yang dibutuhkan
Lebih terperinci2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1038, 2016 KEMENDAGRI. Batas Desa. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG
PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN EMPAT LAWANG NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI EMPAT LAWANG, Menimbang
Lebih terperinciPROYEKSI PETA DAN SKALA PETA
PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA Proyeksi Peta dan Skala Peta 1. Pengertian Proyeksi peta ialah cara pemindahan lintang/ bujur yang terdapat pada lengkung permukaan bumi ke bidang datar. Ada beberapa ketentuan
Lebih terperinciPENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) Jl. Raden Saleh, 43 jakarta 10330 Phone : 62.021.3143080 Fax. 62.021.327958 E-mail : Coremap@indosat.net.id
Lebih terperinciBAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH
BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2016 TENTANG BATAS DAERAH KOTA PONTIANAK DENGAN KABUPATEN MEMPAWAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan
Lebih terperinciGPS vs Terestris (1)
untuk KADASTER Dr. Hasanuddin Z. Abidin Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 E-mail : hzabidin@gd.itb.ac.id vs Terestris (1) Pada survai dengan tidak diperlukan
Lebih terperinciANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL
ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,
Lebih terperinciDAFTAR ISI ii KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..i DAFTAR ISI ii BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 1.2.Dasar Hukum Pelaksanaan Pekerjaan 2 1.3.Maksud dan Tujuan. 3 1.4.Ruang dan Lingkup Pekerjaan.....3 1.4.1. Pengukuran
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut
BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut Ada dua peraturan yang dijadikan rujukan dalam penulisan Tugas Akhir ini, yaitu UU No.32 Tahun 2004 yang menerangkan tentang Pemerintahan Daerah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH
BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh
Lebih terperinciBAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER
BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER III.1 Peta Dasar Peta yang digunakan untuk menentukan garis batas adalah peta
Lebih terperinciMENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2014 KEMENAKERTRANS. Hak Atas Tanah. Transmigran. Pengurusan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGURUSAN
Lebih terperinciTugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika
Tugas 1 Survei Konstruksi Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB Krisna Andhika - 15109050 TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012 Latar Belakang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGURUSAN HAK ATAS TANAH TRANSMIGRAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGURUSAN HAK ATAS TANAH TRANSMIGRAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciK NSEP E P D A D SA S R
Mata Kuliah : Sistem Informasi Geografis (SIG) Perikanan. Kode MK : M10A.125 SKS :2 (1-1) KONSEP DASAR DATA GEOSPASIAL OLEH SYAWALUDIN A. HRP, SPi, MSc SISTEM KOORDINAT DATA SPASIAL SUB POKOK BAHASAN 1
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Lebih terperinciPERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciModul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta
MODUL KULIAH Modul 13-1 Modul 13 Proyeksi Peta 13.1 Pengertian Proyeksi Peta Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan
Lebih terperinciINFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN
INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut
Lebih terperinciKAJIAN TEKNIS TERHADAP PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DI WILAYAH DARAT
KAJIAN TEKNIS TERHADAP PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DI WILAYAH DARAT TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Lebih terperinciCORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE LAPORAN PENENTUAN ARAH KIBLAT MASJID SYUHADA PERUMAHAN BEJI PERMAI, DEPOK PT. Mahakarya Geo Survey DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR GAMBAR... 2 DAFTAR TABEL... 2 1. PENDAHULUAN...
Lebih terperinciBUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Titik kontrol pada proses pembuatan peta selalu dibutuhkan sebagai acuan referensi, tujuannya agar seluruh objek yang dipetakan tersebut dapat direpresentasikan sesuai
Lebih terperinciMengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?
Nama : Muhamad Aidil Fitriyadi NPM : 150210070005 Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Jenis proyeksi yang sering di gunakan di Indonesia adalah WGS-84 (World Geodetic System) dan UTM (Universal
Lebih terperinciPemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan
PERPETAAN - 2 Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yang sebagian datanya diperoleh dari photo
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;
- Hal. 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; a. Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik b.
Lebih terperinciREKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off
Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA REKONSTRUKSI/KOREKSI Rekonstruksi/Restorasi Koreksi geometri Mosaik Koreksi radiometri/koreksi topografi TRANSFORMASI Penajaman citra Transformasi spasial/geometri : merubah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 217 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN KABUPATEN MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PENELITIAN
BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab IV ini akan dibahas mengenai analisis pelaksanaan penelitian sarta hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada bab III. Analisis dilakukan terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU TIMUR, Menimbang : a.
Lebih terperinciKLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA
PERPETAAN - 2 KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan Extra
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1252, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Wilayah Batas Daerah. Penegasan. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1242, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Pengukuhan. Standar. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2017 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN MELAWI KALIMANTAN BARAT DENGAN KABUPATEN LAMANDAU KALIMANTAN
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA
BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA A. Dasar Hukum Pembagian Wilayah 1. UUD 1945 Hasil Amandemen Kerangka Yuridis mengenai pembagian wilayah dapat dilihat pada
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBy. Y. Morsa Said RAMBE
By. Y. Morsa Said RAMBE Sistem Koordinat Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan yang menentukan bagaimana koordinatkoordinat yang bersangkutan merepresentasikan titik-titik. Jenis sistem koordinat:
Lebih terperinciMekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial
Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Dasar Hukum FUNGSI RDTR MENURUT PERMEN PU No 20/2011 RDTR dan peraturan
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2016 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN BULELENG DENGAN KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciGambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas
MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA A. Tujuan Praktikum - Praktikan memahami dan mampu melakukan register peta raster pada MapInfo - Praktikan mampu melakukan digitasi peta dengan MapInfo B. Tools MapInfo
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka kebijakan penetapan batas desa sebagai
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat
BAB II DASAR TEORI Pada bab II ini akan dibahas dasar teori mengenai sistem referensi koordinat, sistem koordinat dan proyeksi peta, yang terkait dengan masalah penentuan posisi geodetik. Selain itu akan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG BATAS DAERAH KABUPATEN BANYUASIN DENGAN KABUPATEN PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR
Lebih terperinciLAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA A. PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA I. Penetapan Batas
Lebih terperinciBAB III PELAKSANAAN PENELITIAN
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi
Lebih terperinciMODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA
MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA A. Tujuan Praktikum - Praktikan memahami dan mampu melakukan register peta raster pada MapInfo - Praktikan mampu melakukan digitasi peta dengan MapInfo B. Tools MapInfo
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 217 TENTANG BATAS DAERAH KOTA BEKASI DENGAN KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciAdipandang YUDONO
Pengenalan Kartografi Adipandang YUDONO 11 E-mail: adipandang@yahoo.com Outline Apa itu Kartografi? Peta Definisi Peta Hakekat Peta Syarat-syarat yang dikatakan peta Fungsi peta Klasifikasi peta Simbol-simbol
Lebih terperinciBab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang
Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Pendataan dengan menggunakan Sistem Manajemen dan Informasi Objek Pajak dilaksanakan mulai tahun 1993 sampai dengan saat ini. Dengan sistem ini pendataan dilakukan
Lebih terperinciIV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok
ANALISIS PENELITIAN Materi penelitian akan dianalisis secara keseluruhan dalam bab ini. Pertama kali analisis mengenai karakteristik peta blok yang digunakan dalam penelitian, kemudian analisis mengenai
Lebih terperinciBAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia
BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia Tanah merupakan bagian dari alam yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di atas bidang tanah.
Lebih terperinci