BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur dibentuk pada tahun 1959 melalui Undang-undang Nomor 27 tahun Sebelumnya Berau merupakan Daerah Istimewa berdasarkan Undang-undang Darurat tahun Sedangkan Kabupaten Kutai Timur dibentuk pada tahun 1999 melalui Undang-Undang No. 47 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Kabupaten Kutai Timur merupakan hasil Pemekaran dari Kabupaten Kutai. Di dalam Pasal 10 ayat 4 UU No. 47 tahun 1999 cakupan batas wilayah Kabupaten Kutai Timur di sebelah utara dengan Kecamatan Kelay dan Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau. Pada tahun 2017 masih terdapat batas antara Kabupaten Berau dan Kutai Timur yang belum disepakati serta masih adanya perbedaan pendapat batas menurut masingmasing kabupaten. Penetapan kembali batas antara kedua kabupaten perlu dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaanya. Penegasan batas wilayah antara Kabupaten Berau dan Kutai Timur terhambat karena banyaknya titik batas daerah, juga kondisi medan atau topografi yang sulit dijangkau bila harus survei lapangan serta keterbatasan anggaran dan SDM yang pelacakan batas memerlukan waktu yang lama. Ketidakjelasan batas antara kedua daerahdapat menghambat proses pengelolaan sumber daya dan lingkungan wilayah. Pemerintah Kalimantan Timur telah menyusun rencana pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yang merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. Rencana pembentukan DOB itu yaitu DOB Berau Pesisir Selatan yang rencananya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Berau dan DOB Kabupaten Kutai Utara yang rencananya dibentuk dari pemekaran daerahkabupaten Kutai Timur. Pelaksanaan pembentukan kedua Kabupaten masih terhambat karena masih adanya masalah tapal batas antara Kabupaten Berau dengan Kabupaten Kutai Timur. Kejelasan batas wilayah merupakan salah satu syarat utama untuk pembentukan DOB tersebut sehingga diperlukan penyelesaian masalah batas di Kabupaten Berau dan Kutai Timur secepat mungkin.

2 2 Proses penetapan dan penegasan batas daerah memerlukan kajian teknis, kultural dan administratif diperlukan untuk memperkuat argumentasi masing-masing wilayah. Pembahasan tentang wilayah perbatasan antara kedua kabupaten masih dalam proses perundingan, telahada beberapa kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Berau dan Kutai Timur tentang batas wilayahnya. Kenyataan di lapangan sendiri belum ditentukan batasnya dan masih berupa garis imajiner titik-titik batas dan belum diperkuat dengan penegasan di lapangan. Solusi alternatif penegasan antara kedua kabupaten dapat dilakukan dengan metode kartometrik diatas peta kerja untuk menghemat waktu dan biaya. Berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004, Pemerintahan Daerah mempunyai wewenang yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan di wilayahnya. Sehingga penetapan dan penegasan batas wilayah sangat penting dan bernilai strategis mengingat tingginya nilai tata batas sangat penting dan krusial bagi suatu pemerintahan daerah. Kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh diselenggarakan melampaui batas daerah yang telah ditetapkan. Permendagri No. 76 tahun 2012 menyebutkan bahwa penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batasdaerah yang dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan atau survei di lapangan, yangdituangkan dalambentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Metode kartometrik ini diharapakan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau. Sehubungan terbitnya Permendagri No. 76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, maka terdapat peluang untuk melakukan penegasan batas antar daerah daerah Kabupaten Berau dan Kutai Timur dengan kartometrik. I.2. Rumusan Masalah Kawasan batas Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur masih ada segmen batas yang belum mempunyai kejelasan garis batasnya. Adanya perbedaan pendapat tentangbatas antar kabupaten menut kedua kabupaten menghambat proses penegasan batas. Perbedaan klaim batas mempengaruhi proses pengelolaan sumberdaya alam dan

3 3 sumberdaya manusia di kedua wilayah.selain itu ketidakjelasan batas masih menjadi penghambat proses pembentukan DOB hasil pemekaran kedua daerah. Berdasarkan hal tersebut Penetapan dan penegasan batas di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur perlu segera dilaksanakan dan disepakati. Penetapan kembali batas wilayah antara kedua kabupaten perlu dilakukan untuk menyesuaikan batas antara Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Selama ini penegasan batas sering dilakukan dengan metode survei lapangan, tetapi dimungkinkan pilar batas yang ada tidak mewakili garis batas yang tepat di lapangan selain itu kegiatan survei lapangan untuk penentuan batas daerah memerlukan biaya yang lebih banyak dan waktu yang relatif lebih lama. Masalah yang dihadapi dalam proses penetapan kembali dan penegasan batas antara kedua kabupaten dapat disminimalkan dengan metode kartometrik. Penentuan titik-titik koordinat batas dapat dilakukan dengan survei lapangan ataupun metode kartometrik. Penarikan batas dengan metode kartometrik diharapkan dapat menjadi solusi penegasan batas antar daerah yang keadaan medannya sulit dijangkau terutama wilayah diluar pulau jawa. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana langkah penentuan dan penegasan batas wilayah dengan menggunakan metode kartometrik? 2. Apakah penegasan batas secara kartometrik dapat digunakan untuk penyelesaian masalah penegasan batas antara daerah Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur? I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah: 1. Studi kasus penetapan batas dilakukan untuk batas daerah antara Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. 2. Penarikan atau deliniasi garis batas daerah dilakukan langsung di atas peta kerja secara kartometris. 3. Output yamg diharapkan berupa peta penetapan batas daerah antara Kabupaten berau dengan kabupaten Kutai Timur dan koordinat titik-titik batasnya.

4 4 Tujuan dari penelitian ini adalah: I.5. Tujuan 1. Penerapan metode kartometrik untuk penentuan dan penegasan batas antara Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. 2. Deliniasi batas daerah secara kartometrik pada peta kerja. 3. Menghasilkan peta penetapan batas daerah antara Kabupaten Berau dan Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur dengan metode kartometrik. Manfaat dari kegiatan ini adalah: I.6. Manfaat 1. Mempercepat upaya penetapan kembali dan penegasan batas antara daerah Kabupaten Berau dan Kutai Timur. 2. Mempercepat proses pembentukan DOB Kutai Utara dan DOB Berau Pesisir Selatan. 3. Metode kartometrik dapat dijadikan solusi penyelesaian permasalahan batas dengan lebih cepat dan lebih sedikit anggaran. 4. Mengurangi frekuensi kegiatan survei lapangan karena penentuan dan penegasan batas bisa dilakukan diatas peta atau citra dengan metode kartometrik. I.7. Tinjauan Pustaka Kegiatan dan penelitian tentang topik yang berkaitan dengan penelitian ini telah dilakukan sebelumnya oleh: Rambe (2014) dengan judul memiliki tujuan menghasilkan peta kerja dan membuat peta batas desa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kartometrik untuk melakukan pemetaan batas desa melalui tahan ajudikasi hingga tahap survei lapangan untuk mengetahui perubahan batas ajudikasi dengan batas hasil survei lapangan. Sulaksono (2014) memiliki tujuan untuk menghasilkan peta batas Daerah Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah dengan metode kartometrik. Datayang digunakan yaitu peta RBI dengan citra SPOT dan SRTM. Penelitian ini memiliki hasil akhir berupa peta batas daerah sementara Kabupaten Lamandau. Prihananto (2012) yang berjudul Delimitasi Batas Wilayah Menggunakan Teknologi Inderaja Dengan Menggunakan Citra Ikonos dan SRTM 30 Dalam Rangka Percepatan

5 5 Penataan Batas Wilayah Daerah Otonom Di Indonesia kegiatan yang dilakukan yaitu penetapan dan pengegasan batas daerah tetapi metode yang digunakan berbeda. Kegiatan penelitian ini memiliki kesamaan penggunaan metode kartometrik dalam prosespenetapan dan penegasan batas wilayah. Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan kegiatan sebelumnya tersebut adalah cakupan wilayahnya antara dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur dan pertimbangan penarikan garis dalam penetapan garis batasnya. I.8. Landasan Teori I.8.1. Batas Daerah Batas daerah di darat adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumidapat berupa tanda-tanda alam seperti punggung bukit (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Dalam Permendagri No. 76 tahun 2012, disebutkan bahwa penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batasdaerah yang dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan atau survei di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Metode kartometrik ini diharapakan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau. Hadiwijoyo (2008) mendefinisikan batas sebagai tanda pemisah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, baik berupa tanda alamiahmaupun buatan. Pengertian perbatasan dapat dibedakan menjadi dua istilah yaitu boundary dan frontier. Definisi kedua istilah tersebut memiliki kesamaan yaitu merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan batas suatu wilayah. Misalnya untuk menggambarkan batas daerah antara dua negara yang bertetangga. Istilah boundary digunakan kerena fungsinya yang mengikat atau membatasi suatu limit politik dapat digambarkan dalam suatu wilayah negara. Sedangkan istilah frontier merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan daerah perbatasan. Frontier digunakan karena daerah perbatasan merupakan daerah yang terletak di depan (front) atau dibelakang (hinterland) dari suatu wilayah khususnya perbatasan negara.

6 6 Proses penentuan batas terdiri dari proses penetapan dan penegasan batasdaerah. Penegasan batas ini dilakukan dengan menggunakan pedoman dari Permendagri No 76 Tahun Penegasan batas daerah merupakan masalah yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri juga dijelaskan mengenai tujuan penegasan batas daerah dan bagaimana tahapan yang dilakukan untuk menentukan batas daerah. Tujuan penegasan batas daerah antara lain untuk mewujudkan daerah yang tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas daerah suatu daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis. Berdasarkan tujuan tersebut dapat dikatakan bahwa batas daerah memiliki peran penting dalam pemerintahan, berikut adalah beberapa alasan penting mengapa batas daerah harus dilakukan penentuan dan penegasan, yaitu: 1. Batas daerah yang tidak jelas akan memicu konflik di wilayah yang Berbatasan. 2. Overlapping cakupan wilayah. 3. Duplikasi pelayanan pemerintah atau tidak mendapatkan pelayanan Pemerintah. 4. Overlapping perijinan lokasi usaha. 5. Perebutan untuk mengelola sumberdaya alam. Batas daerah di suatu wilayah dapat berupa batas darat dan atau batas laut.untuk melakukan penegasan batas daerah di darat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu melakukan penyiapan dokumen, melakukan pelacakan batas, melakukan pengukuran dan penentuan posisi batas dan membuat peta batas. Penyiapan dokumen dilakukan berdasarkan undang-undang mengenai pembentukan daerah yang saling berbatasan, dilengkapi dengan peta dasar ataupeta topografi dan jika tersedia ditambahkan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan batas daerah yang disepakati kedua daerah yang berbatasan. I.8.2. Teori Boundary Making Jones (1945) merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas suatu negara. Didalam teori tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu allocation, delimitation, demarcation, dan administration. Teori Boundary making yang dikemukakan Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Alokasi teritorial suatu wilayah

7 7 ditentukan berdasarkan keputusan atau pernyataan politik, selanjutnya delimitasi batas ditentukan sesuai dengan perjanjian (treaty) yang telah mengikatnya. Untuk menegaskan batas di lapangan, maka dilakukan penegasan batas (demarkasi) dan akhirnya dilakukan pengadministrasian batas. Dalam bentuk diagram, teori boundary makimg diilustrasikan pada gambar I.1 berikut: Alocation Delimitation Demarcation Adminitration Gambar I.1 Proses teori boundary making, (Jones 1945) Di dalam tahapan boundary making diperlukan suatu peta. Peran peta didalam boundary making, antara lain: 1. Sebagai alat dalam negoisasi dalam rangka penetapan batas wilayah (tahap delimitasi) 2. Sebagai alat dan pedoman dalam proses transformasi batas wilayah dari tahap delimitasi ke tahap demarkasi dilapangan 3. Untuk menggambarkan dan menyajikan batas wilayah yang telah dibuat pada tahap delimitasi dan demarkasi. Jika dalam tahap demarkasi belum juga dilakaukan, peta hasil delimitasi tetap dapat digunakan untuk menunjukan letak batas wilayah yang disepakati Theory boundary making yang dikemukakan oleh Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Menurut Sutisna (2008) Dalam konteks batas daerah di Indonesia keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah. Untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah msing-masing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Alokasi sebagai keputusan politik

8 8 keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 25 A, Pasal 4 UU No.32/2004 dan Pasal-pasal UU tentang pembentukan masing masing daerah. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap ini delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik diatas peta. Ada tiga konsekuensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu: pertama, delimitasi batas diderah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada giliranya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah. Kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah. Ketiga, seleseikan delimitasi cakupan wilyah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Dalam tahap delimitasi ini, hal yang sangat penting adalah terkait peta batas hasil dari kesepakatan yang nantinya akan dilampirkan dan untuk tahap demarkasi selanjutnya. Sehingga peta harus memiliki aspek yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi: skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti dilapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik dilapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas. Administrasi merupakan tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah yaitu dengan mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembanganya administrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah

9 9 pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan Pratt (2006) dalam Sutisna (2008). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut Theory Boundary Making kegiatan administrasi/ managemen pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataanya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi dilapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi/managemen berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas dilapangan. I.8.3. Pemekaran Wilayah Ratnawati (2009) istilah pemekaran daerah kadang silih berganti untuk menggantikan istilah pembentukan daerah. Pemekaran yang terjadi di Indonesia merupakan pemecahan satu daerah otonom ke beberapa daerah otonom. Menurut Saile (2009) pemekaran daerah bukan merupakan persoalan yang mudah karena akan menimbulkan persoalan baru dalam penetapan batas-batas wilayah administratif suatu daerahyang terkena pemekaran tersebut. Perubahan batas wilayah darat antar daerah sebagai akibat pemekaran sering menjadi persoalan rumit untuk diputuskan oleh Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah karena sulit untuk mengakomodasi secara adil dan komprehensif aspirasi masyarakat, sehingga yang terjadi justru sengketa (Ratnawati, 2009). Regulasi pemekaran daerah diatur dengan Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No, 78 tahun 2007 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Berdasarkan pasal 16 PP 129 tahun 2000 pemekaran daerah mencakup tahapan kegiatan: a. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; b. pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; c. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;

10 10 d. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; e. berdasarkan rekomendasi pada huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut; f. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; g. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; h. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden i. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan. Daerah yang mengalami pemekaran memiliki beberapa syarat sebelum pemekarannya di setujui oleh pemerintah pusat, seperti persyaratan fisik kewilayahannya yang meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Syarat lainnya agar dapat dilakukan pemekaran disuatu daerah dilihat berdasarkan kemampuan ekonomi, potensi yang dimiliki, sosial dan budaya, kependudukan, luas daerah serta pertahanan dan keamanan. Pemekaran wilayah dapat dilakukan jika suatu daerah memenuhi syarat yang ditentukan serta mendapatkan persetujuan pemerintah pusat dengan disetujuinya undang-undang mengenai pembentukan daerah baru tersebut. Salah

11 11 satunya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 yang berisi Tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur Dan Kota Bontang. Pembentukan kabupaten dan kota baru ini bertujuan meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Pada tahun 1999 Kabupaten Bulungan Dan Kabupaten Kutai menjadi salah satu bagian dari Provinsi Kalimantan Timur. Kedua kabupaten ini mengalami pembagian wilayah menjadi beberapa kabupaten lainnya. Pembentukan daerah baru ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemekaranwilayah yang terjadi di Kabupaten Kutai yaitu pembentukan Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur. Kabupaten Kutai saat ini mengalamiperubahan nama menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara. I.8.4. Metode Kartometrik Mengacu kepada Permendagri No. 76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penelusuran atau penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran atau penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Dari pengertian ini, untuk penelusuran dan penarikan garis batas serta pengukuran dan perhitungan posisi (koordinat), jarak serta luas cakupan wilayah, terlebih dahulu harus disiapkan peta kerja. Peta kerja ini dibuat menggunakan peta dasar (peta RBI) sebagai acuan dan peta-peta atau informasi geospasial lain seperti citra satelit sebagai pendukung. Secara garis besar, penetapan batas daerah terdiri dari 4 (empat) kegiatan yaitu: 1. Penyiapan dokumen. 2. Pelacakan batas. 3. Pengukuran dan penentuan posisi batas. 4. Pembuatan peta batas. Penyiapan dokumen terdiri atas dokumen yang bersifat yuridis dan dokumen teknis. Dokumen yang harus disiapkan pada tahapan ini adalah: a. Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Daerah.

12 12 b. Peta Dasar, dengan skala peta terbesar dan edisi terbaru yangtersedia. c. Dokumen dan peta lainnya yang disepakati oleh daerah yang berbatasan. d. Pembuatan peta kerja. e. Dokumen yang disiapkan, dituangkan dalam berita acara. Pekerjaan awal yang sangat penting dalam penegasan batas daerah secara kartometrik adalah menyiapkan dan membuat peta kerja yang akan digunakan dalam pelacakan untuk mencapai kesepakatan batas antara daerah yang berbatasan dan digunakan untuk menentukan koordinat titik-titik batas. Dalam hal peta dasar maka perlu tersedia peta dasar yang memadai baik dari aspek skala maupun ketelitian dan kebenaran informasi yang terkandung di dalam peta dasar tersebut. Pelacakan secara kartometrik adalah penelusuran garis batas daerah dengan menentukan posisi titik-titik koordinat dan mengidentifikasi cakupan wilayah pada peta kerja dengan tahapan sebagai berikut: 1. Penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja berpedoman pada Undang-Undang pembentukan daerah dan dokumen lain yang disepakati. 2. Ploting koordinat titik-titik batas yang tercantum dalam dokumendokumen batas daerah; 3. Dalam hal diperlukan, penelusuran batas dapat dilakukan survei lapangan. 4. Hasil penelusuran/penarikan batas berupa garis batas sementara dan daftar titik-titik koordinat batas dituangkan dalam peta kerja. Memilih letak titik dan garis batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan kepentingan politik. Tahap memilih letak ini biasanya merupakan fase yang sangat kritis untuk mencapai kesepakatan letak titik dan garis batas. Kaidah-kaidah penarikan garis batas, dapat menerapkan hal-hal sebagai berikut : a. Penggunaan bentuk-bentuk batas alam. Detil-detil pada peta yang merupakan batas alam dapat dinyatakan sebagai batas daerah. Penggunaan detil batas alam pada peta akan memudahkan penegasan batas daerah. b. Penggunaan bentuk-bentuk batas buatan. Penegasan batas daerah dapat juga menggunakan unsur-unsur buatan manusia seperti: jalan, jalan kereta api, saluran irigasi, pilar dan sebagainya.

13 13 Pengukuran dan penentuan posisi batas yaitu mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang sebagian besar bersifat teknis (kartometrik). Pengukuran dan penentuan posisi secara kartometrik dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Pengukuran titik-titik koordinat batas dengan pengambilan (ekstraksi) titiktitik koordinat pada jalur batas dengan interval tertentu menggunakan peta kerja. b. Pengukuran berpedoman pada hasil pelacakan yang disepakati. c. Hasil pengukuran dalam bentuk daftar titik-titik koordinat batas daerah. d. Hasil pengukuran dan penentuan posisi dituangkan dalam berita acara. Pembuatan peta batas yaitu penggambaran peta batas merupakan rangkaian kegiatan pembuatan peta dari peta dasar dan/atau data citra dalam format digital yang melalui proses kompilasi dan generalisasi yang sesuai dengan tema informasi yang disajikannya. Peta harus dapat menyajikan informasi dengan benar sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu setiap peta harus memenuhi aspek-aspek spesifikasi peta. I.8.5. Georeferensi Georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah suatu proses pemberian koordinat peta pada citra yang sebenarnya telah planimetris. Menurut Witmer dkk (2004) georefensi peta raster secara otomatis yaitu metode untuk registrasi peta raster secara otomatis terhadap titik acuan yang telah teregistrasi koordinatnya dengan cara penentuan titik kontrol pada peta raster terhadap data target yang telah tergeorefensi. I.8.6. Sistem Informasi Geografis Prahasta (2009) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis merupakan sebuah sistem yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya. Komponen penyusun SIG, antara lain data masukan data keluaran, manajemen data, manipulasi dan analisis data. Data masukan melingkupi penyediaan data siap olah di perangkat lunak SIG. Data keluaran, menghasilkan data yang dibutuhkan oleh pengguna dalam berbagai format. Manajemen data, bertanggungjawab pada pengorganisasian data baik data spasial maupun atribut sehingga mudah dioperasikan kembali. Terakhir, manipulasi dan analisis data bertanggungjawab atas penentuan informasi yang dapat

14 14 dihasilkan oleh SIG dan pemodelan data untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Menurut Prahasta (2002), analisis pada Sistem Informasi Geografis (SIG) dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. 1. Fungsi analisis atribut Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar basis data dan perluasan operasi basisdata. Pada kegiatan ini fungsi analisis atribut yang digunakan adalah operasi dasar basis data. Operasi dasar basis data mencakup : a. Membuat basis data baru (create database) b. Menghapus basis data (drop database) c. Membuat tabel basis data (create table) d. Menghapus tabel basis data (drop table) e. Mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert) f. Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basis data (seek,find,search,retrieve) g. Mengubah dan mengedit data yang terdapat didalam tabel basis data (update,edit) h. Menghapus data dari tabel basis data (delete, zap, pack) i. Membuat indeks untuk setiap tabel basis data 2. Fungsi analisis spasial terdiri dari: a. Klasifikasi (reclassify) Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya, dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang dinyatakan dalam presentase nilai-nilai kemiringan. b. Network (jaringan) Fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (points) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering

15 15 digunakan dalam bidang-bidang transportasi dan utility (misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi telepon dan lain-lain). Fungsi analisis Network dapat menghitung jarak terdekat antara dua titik menggunakan kombinasi segmen-segmen yang menghubungkan titik awal dan titik akhir. Jarak antar banyak segmen dihitung dan menentukan jarak terpendek dari kombinasi segmen yang ada. c. Overlay Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. Sebagai contoh, untuk menghasilkan wilayah untuk budidaya tanaman tertentu diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air, dan jenis tanah. d. Buferring Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. Data spasial ini akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran lingkaran yang mengelilingi titik titik pusatnya. e. Analisis tiga dimensi (3D Analyst) Fungsi ini terdiri dari sub sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Misalnya, untuk menampilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan, dan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi. f. Digital Image Processing Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. Fungsi analisis spasial ini terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra digital seperti koreksi radiometrik, geometrik, filtering, clustering dan lain sebagainya. Arronoff (1989) mendifinisikan GIS Dalam hubungannya dengan teknologi komputer, sebagai sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), memanipulasi dan analisis data, serta

16 16 keluaran sebagai hasil akhir (output). Sedangkan Burrough, 1986 mendefinisikan GIS sebagai sistem berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan mengaktifkan kembali data yang mempunyai referensi keruangan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. Aronoff (1989) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dasar untuk merepresentasikan komponen spasial dari informasi geografis, yaitu pendekatan model vektor dan pendekatan model raster. Pada model vektor, objek atau kondisi nyata digambarkan dengan menggunakan titik dan garis untuk mendefinisikan batasbatasnya di dalam peta. Posisi masing-masing objek di dalam peta diatur menggunakan sistem referensi koordinat. Setiap objek model (data) vektor di dalam peta memiliki nilai koordinat yang unik. Titik, garis dan poligon dipergunakan untuk merepresentasikan penyebaran objek geografis atau kondisi di dunia nyata. Pada model data raster, objek nyata direpresentasikan dalam bentuk grid-grid teratur. Posisi objek geografis atau kondisi nyata, didefinisikan berdasarkan posisi baris dan kolom lokasi grid. Representasi objek di dunia nyata menjadi grid-grid tertentu ditentukan oleh kemampuan resolusi spasial, karena posisi objek tersebut didefinisikan berdasarkan nomor baris dan nomor kolom grid yang mana posisi objeknya juga terekam oleh grid terdekat. Ilustrasi pemodelan kenampakan nyata (real world) menjadi model data raster dan model data vektor, dapat dilihat pada Gambar I.11.:

17 17 Gambar I.2. Pemodelan data vektor dan raster (Sumber : Aronoff, 1989) Komponen penyusun SIG, antara lain data masukan data keluaran, manajemen data, manipulasi dan analisis data. Data masukan melingkupi penyediaan data siap olah di perangkat lunak SIG. Data keluaran, menghasilkan data yang dibutuhkan oleh pengguna dalam berbagai format. Manajemen data, bertanggungjawab pada pengorganisasian data baik data spasial maupun atribut sehingga mudah dioperasikan kembali. Sumber data SIG diantaranya ialah peta analog (peta administrasi wilayah, peta tanah), data dari sistem penginderaan jauh (berupa citra satelit, foto udara), data hasil survey lapangan dan data GPS. Peta analog (berformat raster) dan data dari sistem penginderaan jauh (berformat raster) dikonversi ke dalam format vektor menggunakan perangkat lunak GIS, untuk selanjutnya diolah bersama dengan data hasil survei lapangan dan data GPS yang ada.

18 18 I.8.7. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) SRTM merupakan citra yang saat ini banyak digunakan untuk melihat secara cepat bentuk permukaan. SRTM 30 adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global diseluruh permukaan bumi. Data SRTM adalah data elevasi muka bumi yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and Space Administration). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi ketinggian dari produk peta 2D, seperti kontur profil. Ketelitian bisa mencapai 15 m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi. Data DEM yang cakupan wilayah 30 meter Gambar I.3. Persebaran data DEM resolusi 30 meter SRTM memiliki struktur data yang sama seperti format grid lainya, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel memiliki wakil nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS 1984, bukan dari permukaan laut, tetapi karena datum WGS 1984 hampir berhimpit dengan permukaan laut maka untuk skala tinjau dapat diabaikan perbedaan diantara keduanya Latief (2009). I.9. Hipotesis Hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah dapat dilakukannya penetapan batas wilayah antara dua daerah atau lebih secara kartometrik. Penentuannya dilakukan secara langsung di atas peta kerja dan tanpa memerlukan survey lapangan. Penentuan garis batas secara kartometrik dalam penelitian ini

19 19 dilakukan karena bannyaknya hambatan apabila harusdihadapi karena luasnya daerah penelitian, medan yang susah dijangkau, kurangnya SDM serta terbatasnya anggaran yang tersedia. Hasil penetapan batas dalam penelitian ini merupakan asumsi penulis yang didasarkan pada data dari Kabupaten Berau serta Kabupaten Kutai Timur. Penetapan batas daerah menghasilkan Peta Penetapan Batas antara Kabupaten Berau dengan Kabupaten Kutai timur. Penarikan garis berdasarkan batas penanda alam ataupun penanda buatan. Penetapan dan penegasan batas secara kartometrik diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian masalah tumpang tindih klaim batas di daerah.

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1038, 2016 KEMENDAGRI. Batas Desa. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1252, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Wilayah Batas Daerah. Penegasan. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA A. Dasar Hukum Pembagian Wilayah 1. UUD 1945 Hasil Amandemen Kerangka Yuridis mengenai pembagian wilayah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yaitu negara yang tiap daerahnya masuk dalam sistem tata negara yang terintegrasi. Dalam segala hal pimpinan tingkat daerah bertanggung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393) PERATURAN

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka kebijakan penetapan batas desa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN KAMPUNG DAN PERUBAHAN STATUS KAMPUNG MENJADI KELURAHAN DENGAN

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo

Arrafi Fahmi Fatkhawati Noorhadi Rahardjo Penetapan Batas Daerah Secara Kartometrik Menggunakan Citra Spot Antara Kabupaten (Kalimantan Utara) Dengan Kabupaten Kutai Timur Dan Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) Arrafi Fahmi Fatkhawati Arrafi.fahmi.f@mail.ugm.ac.id

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Nomor 10 Tahun Tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Nomor 10 Tahun Tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Nomor 10 Tahun 2007 Tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERANAN STRATEGIS PETADALAM PENETAPAN BATAS WILAYAH DESA

PERANAN STRATEGIS PETADALAM PENETAPAN BATAS WILAYAH DESA PERANAN STRATEGIS PETADALAM PENETAPAN BATAS WILAYAH DESA Antara lain membahas: Peta dan Batas Wilayah Batas Wilayah Desa Karakteristik Peta Jenis-jenis Peta Batas Wilayah Peran Strategis Peta dan Batas

Lebih terperinci

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015 STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN Klaten, 21 Oktober 2015 Kabupaten Klaten merupakan bagian dari Kawasan Andalan Subosukawonosraten dgn arahan pengembangan kawasan andalan pertanian,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN EMPAT LAWANG NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI EMPAT LAWANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR i Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 3 1 Ruang lingkup... 4 2 Istilah dan definisi... 4 2.1 Istilah Teknis Perpetaan... 4 2.2 Istilah Tata Ruang... 5 3 Penyajian Muka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah Pemerintah Provinsi Banten hingga pertengahan tahun 2015 ini telah menyelesaikan penegasan atas 20 segmen batas daerah di delapan kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang luas, terdiri atas sepertiga wilayah daratan dan dua pertiga wilayah lautan. Untuk membangun Negeri Indonesia yang besar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan nusantara yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI GROBOGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU TIMUR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 G199 Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Rainhard S Simatupang 1), Khomsin 2) Jurusan

Lebih terperinci

Bab III KAJIAN TEKNIS

Bab III KAJIAN TEKNIS Bab III KAJIAN TEKNIS 3.1 Persiapan Penelitian diawali dengan melaksanakan studi literatur. Studi literatur dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: a. Konsep batas daerah b. Perundang-undangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di kawasan agropolitan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisis data dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Tampilan 3D DEM SRTM Klasifikasi Dari hasil confusion matrix didapatkan ketelitian total hasil klasifikasi (KH) untuk citra Landsat 7 ETM akuisisi tahun 2009 sebesar 82,19%. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan citra

Lebih terperinci

Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak

Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia   Abstrak ANALISA PENENTUAN BATAS LAUT ANTARA PROVINSI DKI JAKARTA DAN PROVINSI BANTEN BERDASARKAN UU NOMOR 23 TAHUN 2014 (Studi Kasus : 22 Pulau di Kepulauan Seribu) Yuwono 1, Deasy Rosyida Rahmayunita 2 1,2 Departemen

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berhubung dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Isfandiar M. Baihaqi

Isfandiar M. Baihaqi ASPEK PERPETAAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Isfandiar M. Baihaqi 0813

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa penataan desa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa pembentukan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

Abstrak PENDAHULUAN.

Abstrak PENDAHULUAN. PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH ANTARA PROVINSI JAWA TIMUR DAN PROVINSI BALI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 PENENTUAN BATAS PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1)

Lebih terperinci

REGISTRASI PETA TUTORIAL I. Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO)

REGISTRASI PETA TUTORIAL I. Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO) TUTORIAL I REGISTRASI PETA Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO) A. Dasar Teori Peta dasar yang digunakan sebagai sumber dalam pemetaan yang berupa gambar citra/peta hasil proses

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan sumber daya yang sangat penting dalam aspek kehidupan manusia. Tanah adalah modal dasar dari berbagai macam pembangunan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH Dalam kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut Provinsi Nusa Tenggara Barat menggunakan dua prinsip yaitu, pertama mengacu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1)

Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur. Ari Wahono 1) Analisis DEM SRTM untuk Penilaian Kesesuaian Lahan Kopi dan Kakao: Studi Kasus di Kabupaten Manggarai Timur Ari Wahono 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat C I N I A The 2 nd Conference on Innovation and Industrial Applications (CINIA 2016) Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut Ada dua peraturan yang dijadikan rujukan dalam penulisan Tugas Akhir ini, yaitu UU No.32 Tahun 2004 yang menerangkan tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389); Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389); PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN, PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111 Alternatif Peta Batas Laut Daerah Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 (Studi Kasus: Perbatasan Antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik) ALTERNATIF PETA BATAS LAUT DAERAH BERDASARKAN

Lebih terperinci

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Informasi Geospasial Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial Deputi Bidang Infrastruktur Informasi Geospasial Badan Informasi Geospasial

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pekerjaan penetapan dan penegasan batas daerah di laut akan mencakup dua kegiatan

Lebih terperinci

SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya

SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA SKEMA DAN MEKANISME PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CAGAR BUDAYA Peta Sebaran Lokasi Cagar Budaya Disampaikan dalam Workshop Pengelolaan Data Geospasial

Lebih terperinci