BAB II LANDASAN TEORI. dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. STUDENT ENGAGEMENT 1. Definisi Student Engagement Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan, kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar). Menurut National Survey on Student Engagement, student engagement adalah frekuensi siswa dalam berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan praktik pendidikan, dan memahami itu sebagai pola keterlibatan dalam berbagai kegiatan dan interaksi baik di dalam dan luar kelas selama karirnya di sekolah (dalam Barkley, 2010). Definisi lain juga dikemukakan oleh Chapman (2003) yaitu student engagement merupakan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin sekolah dengan indikator kognitif, perilaku, dan afektif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar tertentu. Sedangkan menurut Natriello (1984) student engagement merupakan partisipasi siswa di dalam kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah sebagai bagian dari program sekolah. 12

2 13 Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa student engagement adalah frekuensi siswa untuk memiliki kemauan dalam kegiatan rutin maupun program sekolah baik di dalam dan di luar kelas dengan indikator perilaku, emosional dan kognitif selama karirnya di sekolah. 2. Dimensi Student Engagement Fredericks, Blumenfeld, & Paris, (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi pada student engagement, yaitu: a. Behavioral Engagement Behavioral engagement didefinisikan sebagai keterlibatan dalam tugas belajar dan akademik, termasuk perilaku-perilaku seperti usaha, ketekunan, konsentrasi, perhatian, meminta pertanyaan dan memberikan kontribusi untuk diskusi di dalam kelas. Siswa yang memiliki keterlibatan perilaku yang positif ditandai dengan mengikuti aturan dan norma-norma kelas, serta tidak adanya perilaku yang mengganggu seperti bolos sekolah dan membuat masalah. b. Emotional Engagement Emotional engagement adalah reaksi afektif siswa di dalam kelas, seperti ketertarikan, bosan, senang, sedih dan cemas. Keterlibatan emosional dapat dinilai dengan mengukur reaksi emosional terhadap sekolah dan guru. Keterlibatan emosi berfokus pada sejauh mana reaksi positif (dan negatif) siswa terhadap guru, teman dan akademik. Keterlibatan ini mencakup rasa

3 14 memiliki dan menjadi bagian dari sekolah, serta menghargai atau mengapresiasi keberhasilan terhadap hasil akademik. c. Cognitive Engagement Cognitive engagement didefinisikan sebagai tingkat yang diinvestasikan siswa dalam pembelajaran; hal ini termasuk perhatian dan tujuannya dalam pendekatan untuk tugas sekolah dan bersedia untuk mengerahkan upaya yang diperlukan untuk memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Keterlibatan kognitif terjadi ketika individu memliki strategi dan dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating). Siswa yang terlibat secara kognitif akan memiliki keinginan untuk terlibat dalam belajar dan memiliki keinginan untuk menguasai pengetahuan. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Student Engagement Menurut Fredericks, Blumenfeld, & Paris (2004) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi student engagement, yaitu: a. School-Level Karakteristik dari sekolah dapat menurunkan keterasingan siswa dan meningkatkan involvement, engagement dan integration siswa di sekolah. Hal ini meliputi tujuan yang jelas dan konsisten, ukuran sekolah yang kecil, kebijakan dan manajemen sekolah mengenai partisipasi siswa, staff dan siswa yang mungkin untuk terlibat bekerjasama dan proses akademik yang memperbolehkan siswa untuk berkembang. Sebagai contoh, ukuran sekolah akan mempengaruhi behavioral dan emotional engagement.

4 15 Kemungkinan siswa untuk berpartisipasi dan mengembangkan hubungan sosial akan lebih baik pada sekolah yang kecil daripada yang besar. Siswa di sekolah yang kecil lebih ikut berpartisipasi pada ekstrakurikuler dan kegiatan sosial. Kemudian siswa yang merasa peraturan di sekolahnya kurang adil dalam mengimplementasikannya akan lebih sering tidak terlibat secara perilaku. b. Classroom Context Classroom context tersusun oleh beberapa dimesi diantaranya dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan otonomi dan karakteristik tugas. i. Dukungan Guru Dukungan guru dapat berupa akademik maupun interpersonal. Kualitas hubungan guru dengan murid pada tahun awal sekolah telah diasosiasikan dengan behavioral engagement seperti tingkat partisipasi dan self-directedness. Guru lebih suka dengan murid yang secara akademis kompeten, bertanggung jawab, dan dapat menyesuaikan dengan peraturan sekolah daripada mereka yang mengganggu dan agresif. Kemudian keterlibatan guru secara positif diasosiasikan dengan keterlibatan siswa, sebaliknya keterlibatan siswa yang tinggi akan memunculkan kerlibatan guru yang besar. ii. Teman Sebaya Teman sebaya juga berpengaruh pada keterlibatan siswa. Penerimaan teman sebaya pada anak-anak maupun remaja berhubungan dengan

5 16 tingkat kepuasan di sekolah (yang mana hal ini adalah aspek dari emotional engagement), dan perilaku yang tidak tepat secara sosial dan upaya dalam akademis (yang mana hal ini adalah aspek dari behavioral engagement). Kemudian anak-anak yang ditolak ketika SD memiliki partisipasi kelas yang rendah, yang mana hal ini termasuk kedalam aspek behavioral engagement, dan rendahnya ketertarikan di sekolah (yang mana hal ini termasuk kedalam aspek dari emotional engagement). iii. Struktur Kelas Struktur mengacu pada kejelasan dari harapan guru untuk perilaku akademik dan sosial dan konsekuensi apabila mereka gagal memenuhi harapannya tersebut. Guru yang memiliki harapan yang jelas dan memberikan respon yang konsisten akan memiliki siswa yang secara perilaku akan lebih terlibat. Siswa yang yang mempersepsikan normanorma tersebut secara positif akan berhubungan dengan behavioral, emotional, dan cognitive engagement. iv. Dukungan Otonomi Kelas yang memiliki dukungan otonomi dikarakteristikkan dengan pilihan, berbagi keputusan, dan tidak adanya pengendalian eksternal seperti nilai atau hadian dan hukuman sebagai alasan untuk mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. Karena dengan mengendalikan lingkungan akan mengurangi ketertarikan, tantangan dan ketekunan.

6 17 v. Karakteristik Tugas Instruksi yang otentik dan dukungan sosial pada keterlibatan di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi menunjukkan bahwa persepsi siswa SD, SMP dan SMA terhadap instruksi tersebut menjadi prediktor yang kuat dalam keterlibatan siswa. Kemudian persepsi terhadap tugas yang menantang diasosiasikan dengan setiap behavioral, emotional dan cognitive engagement. c. Individual Needs Pada pandangan mengenai kebutuhan individu, kebutuhan dasar psikologis tersebut terdiri dari need for relatedness, need for autonomy, dan need for competency. i. Need for relatedness Siswa akan lebih terlibat ketika konteks kelas dikaitkan dengan need for relatedness, hal ini sering terjadi di ruang kelas dimana guru dan teman sebaya membuat lingkungan yang peduli dan mendukung. Siswa yang mempersepsikan relatedness tinggi, yang diukur dengan kualitas emosional mereka dalam menjalin hubungan, akan lebih terilbat dibandingkan dengan yang rendah. Kemudian persepsi relatedness siswa dengan guru, orang tua dan teman sebaya juga memiliki kontribusi pada emotional engagement siswa. ii. Need for autonomy Individu mempunyai kebutuhan untuk otonomi atau keinginan melalkukan sesuatu karena alasan personal, daripada melakukan sesuatu

7 18 tetapi tindakan mereka dikendalikan oleh orang lain. Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara keterlibatan dan kebutuhan untuk otonomi. Siswa yang terlibat dengan alasan otonomi (internal), seperti melakukan kegiatan yang diluar ketertarikannya atau hanya untuk kesenangan saja, memiliki hubungan yang positif dengan behavioral engagement (seperti tingkat partisipasi dan keterlibatan dalam bekerja) dan emotional engagement (seperti ketertarikan dan kesenangan) pada sekolah SD. iii. Need for Competence Kompetensi melibatkan kontrol, strategi dan kapasitas. Ketika seseorang butuh untuk berkompetensi, mereka percaya akan dapat menentukan kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang harus dilakukan dan percaya untuk mencapai sukses. Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara persepsi terhadap kompetensi dengan keterlibatan. Persepsi terhadap kompetensi dan keyakinan untuk mengendalikan diri diasosiasikan dengan behavioral dan emotional engagement. B. PERSEPSI IKLIM SEKOLAH 1. Persepsi a. Pengertian Persepsi Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai proses dalam mengorganisir dan menginterpretasi informasi yang diterima dari luar. Menurut

8 19 Robbins (1996) persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Sedangkan menurut Chaplin (1999) persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan upaya mengamati dunia dengan memberi makna oleh indera individu dengan proses mengorganisir dan menginterpretas untuk mengenali dan mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian yang di dalamnya. 2. Iklim Sekolah a. Pengertian Iklim Sekolah Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi. Thapa dkk (2012) menambahkan bahwa iklim sekolah merupakan refleksi dari pengalaman siswa, personil sekolah dan orang tua dalam kehidupan sekolah secara sosial, emosional, etis dan akademis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Freiberg (2005) yang menyatakan bahwa iklim sekolah sebagai persepsi orang-orang yang ada di sekolah mengenai kehidupan sekolah. Sedangkan definisi iklim sekolah. Menurut

9 20 Gruenert (2008) yaitu interaksi antara orang dewasa dengan para siswa di sekolah dengan melibatkan faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya. Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah merupakan pola pengalaman orang-orang di sekolah sebagai interaksi antara orang dewasa dengan para siswa yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi di sekolah secara sosial, emosional, etis dan akademis. b. Dimensi Iklim Sekolah Adapun dimensi iklim sekolah menurut Thapa dkk (2012), yaitu: i. Safety Merasa aman secara sosial, emosional, intelektual dan fisik adalah kebutuhan dasar manusia. Merasa aman di sekolah dapat membangkitkan pembelajaran siswa dan perkembangan yang sehat pada siswa. Siswa yang berada di sekolah tanpa norma, struktur, dan hubungan yang mendukung akan merasa sering mengalami kekerasan, menjadi korban oleh temannya dan terlibat pada kegiatan yang melanggar disiplin. Bahkan hal tersebut seringkali disertai dengan meningkatnya ketidakhadiran di sekolah dan prestasi akademik siswa akan cenderung menurun. Di dalam dimesi ini terdapat aturan dan norma yang berkaitan dengan keamanan di sekolah tersebut. Peraturan

10 21 di sekolah dan persepsi yang adil mengenai peraturan tersebut berkaitan dalam menangani perilaku siswa. Sekolah yang aturannya dapat diterapkan secara efektif atau sekolah yang memiliki pengelolaan disiplin yang baik lebih memiliki tingkat kekerasan dan kenakalan yang rendah pada siswa. ii. Relationship Pola dari norma, tujuan, nilai-nilai dan interaksi di sekolah akan membentuk hubungan di sekolah yang memberikan kontribusi yang penting pada iklim sekolah. Hubungan di sekolah adalah bagaimana orang-orang di sekolah merasa terhubung dengan satu yang lainnya. Hubungan tidak hanya seperti memiliki suatu hubungan dengan orang lain melainkan dengan diri kita, seperti bagaimana kita merasa dan menjaga diri kita. Bila siswa mempersespsikan hubungan interpersonal yang positif maka siswa cenderung mau terlibat dan berperilaku yang sesuai aturan. iii. Teaching and Learning Sebagai aspek yang paling penting pada iklim sekolah, kepala sekolah dan guru sudah semestinya dapat berjuang untuk secara jelas dalam mendefinisikan norma-norma, tujuan dan nilai-nilai yang membentuk lingkungan pengajaran dan pembelajaran. Karena iklim sekolah yang positif adalah yang memberikan proses belajar mengajar yang suportif, partisipatif, saling menghargai, serta kompak.

11 22 iv. Institutional Environment Pada dimensi ini dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu school connectedness dan keadaan fisik sekolah. School connectedness merupakan kepercayaan siswa bahwa orang dewasa dan teman sebaya di sekolahnya peduli dengannya mengenai pembelajaran dan pada dirnya sendiri. School connectedness menjadi prediktor yang kuat dalam hubungannya mengenai kesehatan remaja dan hasil akademik. Pada fisik sekolah, gedung sekolah yang kecil dapat meningkatkan iklim sekolah dan tata letak sekolah yang baik dapat berdampak pada rasa aman siswa. Penelitian pada siswa SMP menunjukkan bahwa ukuran sekolah yang kecil akan mengarah ke performa akademik yang lebih baik. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi iklim sekolah menurut Noonan (2004), yaitu: i. Models Setiap guru memiliki lebih dari satu cara dalam mengajar. Hal tersebut tentu memiliki dampak yang besar pada siswa. Guru harus bertindak sebagai model yang baik, menawarkan keseimbangan pada alasan tertentu, memberikan kesepatan pada pilihan yang otentik, menunda harapan anak atau menolongnya. Siswa yang merasa diperhatikan dan

12 23 dihargai akan lebih termotivasi untuk bekerja dan peduli dengan dirinya dan orang lain. ii. Consistency Para staff sekolah harus berhati-hati dalam memberikan pesan yang jelas dan konsisten kepada siswa dan keluarganya. Sekolah harus menentukan tujuan yang harus dicapai pada guru, yang hal tersebut tidak hanya efektif tetapi kualitas program yang paling diinginkan siswa. iii. Depth Misi sekolah, janji sekolah dan ritual sekolah merupakan komponen penting pada iklim sekolah. Terutama mengingat bahwa hal tersebut seringkali menjadi kesar pertama mereka saat mengunjungi sekolah. Untuk itu hal tersebut perlu didukung seperti struktur, buku-buku, mars, kurikulum dan kegiatan kelas yang merefleksikan sekolah tersebut. Apabila elemen penting ini tidak diterapkan secara mendalam maka hal tersebut akan menghilang begitu saja. iv. Democracy Kekuatan yang secara tradisional terstruktur seperti tingkat hirarki dari atas ke bawah dapaat menakutkan dan akan sulit untuk berubah. Tetapi kelas dan sekolah yang demokratis tidak perlu terjadi perubahan yang radikal. Pendidik harus tertantang pada dirinya sendiri untuk dapat membuat iklim yang demokratis di kelas dan sekolahnya. Karena para

13 24 siswa dituntut untuk menjadi pemimpin yang professional, sehingga para siswa membutuhkan praktik dan bimbingan dari guru. v. Community Kebanyakan orang yang bekerja di sekolah akan mengatakan kepadamu bahwa sekolah tidak dapat membantumu terlalu banyak. Karena semakin sedikit komunitas sekolah yang licik, maka semakin positif iklim sekolahnya. Secara tradisional, sekolah menutup pintu satu harian sampai waktu pulang siswa. Bagaimanapun, anggota komunitas seperti tetangga, pembisnis dan terutama keluarga dapat memberikan kontribusi mereka pada kesuksesan sekolah. Bekerja sama dengan komunitas lain membuka kesempatan yang baik bagi para siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. vi. Engagement Banyak keterampilan yang melekat pada praktik pendidikan. Secara konsisten hal tersebut dapat mempengaruhi sekolah dan siswanya. Dengan diberikan kesempatan dalam mengidentifikasi masalah, siswa sebagai agents of change juga dapat mengambil bagian pada proses pendidikan baik di dalam dan luar sekolah. Pandangan ini adalah dengan melihat siswa bukan lagi sebagai sumber masalah melainkan pemecah masalah. Mengikutsertakan siswa dalam menyelesaikan masalah sama dengan mendorong siswa untuk dapat berperilaku bertanggung jawab.

14 25 vii. Leadership Membuat dan memelihara iklim sekolah yang baik perlu melibatkan staff, keluarga, anggota komunitas dan siswa di sekolah. Hal itu memerlukan pemimpin yang baik yang didukung oleh staff dan keluarga. Pemimpin yang baik harus bersedia untuk mengambil resiko untuk merubah iklim dan melibatkan semua yang terlibat dalam segala proses perubahan tersebut. 3. Persepsi Iklim Sekolah Menurut Pintrich & Schunk (1996) persepsi terhadap iklim sekolah merupakan proses penggambaran informasi tentang perasaan pribadi setiap anggota sekolah mengenai pengalamannya terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam mencapai tujuan (goal orientation), meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan, prestasi belajar siswa serta kepuasan guru terhadap kemampuannya dalam mengajar. Menurut Jessor (1991) resiko yang muncul adalah ketika persepsi siswa pada sekolahnya menjadi negatif. Mereka yang tidak suka dengan sekolahnya akan lebih sering untuk gagal secara akademis dan resiko yang lebih besar lagi akan mempunyai perilaku tidak sehat, menunjukkan masalah psikosomatik dan menurunnya kualitas hidup. Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi

15 26 keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013). Persepsi siswa terhadap sekolahnya merupakan suatu hal yang subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif dapat dipersepsi siswa secara negatif. Sehingga perbedaan persepsi ini akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013). C. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pendidikan multikultural merupakan sebuah pemikiran dimana semua siswa tanpa memperhatikan gender, kelas sosial, etnis, ras atau budaya yang berbeda harus mendapatkan peluang yang sama untuk belajar di sekolah (Banks, 2007). Gollnick & Chinn (2013) berpendapat bahwa pada pendidikan multikultural guru harus memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa, mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa dan guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong siswa dalam belajar dan menghargai pembelajaran. Menurut Banks (2007), pendidikan multikultural mempunyai 5 dimensi, yaitu: 1. Penggabungan Konten Penggabungan konten diberikan dengan sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari berbagai budaya dan kelompok untuk

16 27 mengilustrasikan suatu konsep, prinsip-prinsip, penggeneralisasian dan teori dalam pelajaran tertentu. Pemberian konten mengenai etnis dan budaya ke dalam pelajaran tertentu harus logis, tidak dibuat-buat. 2. Proses Membangun Pengetahuan Proses membangun pengetahuan dihubungkan dengan sejauh mana guru membantu murid-murid agar memahami, menyelidiki dan menentukan bagaimana asumsi budaya, kerangka acuan, perspektif dan bias dalam mempengaruhi cara dimana pengetahuan itu dibangun (Banks, 1996). 3. Pengurangan Prasangka Penggunaan pengurangan prasangka dalam pelajaran dan aktivitas oleh guru akan membantu murid-murid membentuk sikap yang positif terhadap perbedaan ras, etnis dan kelompok budaya. 4. Kesetaraan Pengajaran Guru di masing-masing bidang harus menganalisis prosedur dan gaya mengajar mereka untuk menentukan sejauh mana mereka merefleksikan isuisu multikultural. Keseimbangan dalam mengajar akan tercapai jika guru memodifikasi cara mengajar mereka sehingga dapat memfasilitasi prestasi akademik bagi murid yang memiliki perbedaan ras, budaya, gender, dan kelompok kelas sosial tertentu. 5. Menguatkan Budaya Sekolah dan Struktur Sosialnya Budaya dan organisasi sekolah harus di uji oleh seluruh pegawai sekolah. Pengelompokkan dan pemberian label pada orang tertentu, ketidakseimbangan dalam prestasi, ketidakseimbangan dalam hal

17 28 penerimaan siswa berbakat dalam program pendidikan tertentu, dan interaksi antara staf sekolah terhadap siswa berlainan etnis dan ras merupakan variabel yang penting yang perlu dikaji dalam rangka menciptakan budaya sekolah yang dapat membebaskan siswa dari perbedaan kelompok ras dan etnis serta gender. D. SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN 1. Sejarah Sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 oleh dr. Sofyan Tan. Lokasi sekolah ini terletak di Jl. Tengku Amir Hamzah Pekan I, Gang Bakul, Medan Sunggal. Gedung Sekolah Sultan Iskandar Muda berdiri di atas tanah sawah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, dengan luas kurang lebih m2. Tanah tersebut dibeli dari hasil penjualan perhiasan isterinya yang didapat dari hadiah pernikahan. Hampir selama kurang lebih 10 tahun setelah bangunan awal selesai dibangun, sekolah sempat terbelit utang di sebuah bank swasta. Pada beberapa tahun pertama, Sofyan Tan bahkan tidak sanggup mencicil bunga, apalagi membayar angsuran kreditnya. Kemudian Sofyan mendatangi sejumlah pengusaha dan pejabat negara yang dikenalnya, mencari dukungan agar sekolahnya yang menyekolahkan anak-anak miskin bisa bertahan. Ia juga membuat gerakan orangtua asuh untuk mengetuk dermawan agar memberi santunan biaya sekolah untuk siswa miskin di sekolahnya. Beberapa NGO Internasional yang sejalan dengan visi dan misi sekolahnya diajak kerjasama

18 29 seperti Caritas Switzerland, Pan Eco Foundation dsb. Mereka memberikan bantuan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur dan fasilitas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda. 2. Visi dan Misi Visi yang dianut oleh Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman. Sedangkan misi dari Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu: a. Menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat play group, TK, SD, SMP, SMA/SMK berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku dengan muatan khusus berbasis budaya, karakter, dan kewirausahaan b. Menyelenggarakan program anak asuh silang dan berantai, untuk memberdayakan generasi muda dari beragam suku yang secara ekonomi berkekurangan agar bisa melakukan mobilitas sosial c. Menyelenggarakan pendidikan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mempererat kerjasama, membangun kebersamaan, serta mengikis cara berpikir yang penuh muatan prasangka kesukuan dan kebencian rasial d. Menumbuhkan sikap saling menghormati dan menjaga toleransi antar umat beragama sesuai kepercayaan yang dianutnya.

19 30 E. DINAMIKA PERSEPSI IKLIM SEKOLAH DENGAN STUDENT ENGAGEMENT Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan, kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar). Sedangkan menurut Chapman (2003) student engagement merupakan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin sekolah dengan indikator kognitif, perilaku, dan afektif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar tertentu. Salah satu sekolah yang memiliki sistem pendidikan multikultural yaitu SMA Sultan Iskandar Muda Medan. Nilai-nilai multikultural di sekolah tersebut telah dijelaskan di dalam visi sekolah tersebut, yaitu mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman. Di dalam pendidikan multikultural, setiap anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya yang bermacam-macam di dalam lingkungan sekolah tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi. Sebagai sekolah dengan pendidikan multikultural, tentunya SMA Sultan Iskandar Muda memiliki siswa dengan berbagai etnis. Menurut Gay (2003), sekolah dengan berbagai perbedaan etnis di dalamnya seringkali membuat siswa untuk tidak senang dan tidak tertarik dengan sekolahnya. Sehingga sekolah dengan perbedaan etnis tersebut lebih mungkin siswanya untuk tidak tertarik dan tidak terlibat dalam proses pembelajaran.

20 31 Menurut Fredricks, dkk (2004) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi student engagement, salah satunya yaitu school-level. School-level merupakan hal-hal yang berkaitan dengan ukuran sekolah, peraturan yang diterapkan di sekolah dan lingkungan sekolah. Wang & Halcombe (2010) menjelaskan bahwa persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap keterlibatan siswanya. Phinney (dalam Matsumoto, 2008) menyatakan bahwa individu dengan etnis atau ras yang berbeda akan menghasilkan perbedaan psikologis pada cognition, emotion, motivation dan health. Menurut Thapa, dkk (2012) perbedaan ras dan etnis di sekolah dapat menjadi prediktor penting di dalam menentukan persepsi iklim sekolah. Dengan demikian lingkungan sekolah tersebut dapat berkaitan dengan iklim sekolah mereka. Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek pengajaran dan pembelajaran dan struktur organisasi di sekolah. Menurut Thapa dkk (2012) ada beberapa elemen yang membentuk iklim sekolah yaitu keamanan sekolah, hubungan interpersonal yang baik, proses belajar mengajar, serta lingkungan fisik sekolah. Keamanan sekolah meliputi secara fisik, verbal, dan emosional. Hubungan interpersonal yang meliputi setiap orang di sekolah menghormati dan menghargai satu sama lain, membangun hubungan yang akrab. Kemudian proses belajar dan mengajar yang efektif bagi siswa seperti proses belajar yang kondusif ataupun cara mengajar guru yang dapat dipahami.

21 32 Selanjutnya, lingkungan fisik sekolah yang berupa lingkungan yang bersih, gedung sekolah yang layak serta fasilitas sekolah yang memadai yang dapat mempermudah aktivitas siswa. Iklim sekolah yang positif memiliki ciri-ciri di antaranya hubungan baik antar warga sekolah, kemampuan warga sekolah untuk mengatasi kegagalan, metode belajar yang menunjang pembelajaran siswa, kejelasan peraturan, dan kondisi lingkungan sekolah yang nyaman. Iklim sekolah juga memiliki hubungan yang kuat terhadap prestasi siswa, ketika siswa merasa senang berada di sekolah, maka besar kemungkinannya untuk siswa tersebut mengikuti kegiatan kegiatan di sekolah dengan baik. Sebaliknya, siswa akan cenderung menghindari sekolah ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang negatif. Iklim sekolah negatif meliputi rasa tidak aman di sekolah, merasa sekolah memberikan banyak tekanan bagi siswa serta menganggap sekolah bukan menjadi tempat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Thapa dkk (2012) berpendapat bahwa di dalam iklim sekolah, ketika masyarakat sekolah saling menghargai dan saling berbagi dapat secara positif mempengaruhi keterlibatan siswanya. Penelitian yang dilakukan oleh Purwita (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap iklim sekolah dengan keterlibatan siswa di sekolah. Maka dari itu, siswa yang mempersepsikan iklim sekolah dengan positif akan mempengaruhi student engagement mereka di sekolah meskipun siswa tersebut berada pada sekolah dengan pendidikan multikultural yang memiliki siswa dengan etnis yang berbeda.

22 33 F. HIPOTESIS PENELITIAN Bedasarkan uraian di atas, maka peneliti membuat hipotesa bahwa terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap student engagement pada siswa SMA Sultan Iskandar Muda Medan.

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu di masyarakat. Kemajuan pada individu bisa dilihat dari seberapa besar perkembangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang BAB II LANDASAN TEORI A. STUDENT ENGAGEMENT 1. Definisi Student Engagement Menurut National Research Council dan Institute of Medicine (2004), dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang kehidupan, maka Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini banyak sekali program pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, salah satunya yaitu sekolah inklusi. Sekolah inklusi merupakan ketentuan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kualitas pendidikan di Indonesia selalu berusaha untuk ditingkatkan agar mencapai hasil yang semakin baik kedepannya. Pendidikan merupakan aspek terpenting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering disebut multikultural, negara Indonesia dibangun dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia yang didapatkan lewat sekolah. Setiap orang yang bersekolah harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan, kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman, diharapkan sumber daya manusia semakin berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill. Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi obyektif pembelajaran di sekolah saat ini menunjukkan permasalahan antara lain: (1) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap

Lebih terperinci

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung 1 Firdha Afrianty, 2 Sulisworo Kusdiyati 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu bersaing di era globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu faktor yang memengaruhi kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengambangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan dan membina potensi sumber daya manusia melalui kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan pada semua jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung 1 Rida Ayu Mustika, 2 Sulisworo Kusdiyati 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam

Lebih terperinci

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan 1 PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran merupakan suatu proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Selama proses pendidikan tersebut berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern yang hingga kini terus berkembang, manusia sebagai bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap menerima hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kunci utama bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam bidang pendidikan proses pembelajaran di sekolah menjadi pilar utama, karena tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional sangat ditentukan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan mutlak bagi umat manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. School Connectedness 1. Definisi School Connectedness Definisi school connectedness masih berkembang hingga saat ini. Secara umum school connectedness dijelaskan sebagai tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat. Dengan berkembangnya jaman, pendidikan turut serta berkembang. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa menuju pembangunan negara yang lebih berkualitas. Menurut Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta didik. Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia diatur dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 6. yaitu, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik seorang siswa dengan proses belajar dan seberapa terhubung mereka dengan kelas, institusi

Lebih terperinci

PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP STUDENT ENGAGEMENT PADA SISWA SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN SKRIPSI MUHAMMAD ANGGY FAJAR PURBA

PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP STUDENT ENGAGEMENT PADA SISWA SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN SKRIPSI MUHAMMAD ANGGY FAJAR PURBA PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP STUDENT ENGAGEMENT PADA SISWA SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh: MUHAMMAD ANGGY FAJAR PURBA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap Sikap atau attitude dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin yaitu aptus. Kata ini memiliki arti fit atau siap untuk beraksi. Jika mengacu pada definisi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu usaha pada tiap individu dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A. Analisis Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 3 Warungasem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 secara jelas dicantumkan bahwa salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum

Lebih terperinci

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Bekerja 1. Pengertian Motivasi Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar adalah motif ( motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997) BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berfikir dalam melaksanakan penelitian ini. Beberapa teori yang dipakai adalah teori yang berkaitan dengan komitmen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. STUDENT ENGAGEMENT Student engagement merupakan faktor prediktor penting dalam keberhasilan pembelajaran karena memperlihatkan tingkat perhatian, usaha, emosi positif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya dan dengan demikian akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu mencapai perkembangan yang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Melalui pendidikan dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Piaget, remaja usia 11-20 tahun berada dalam tahap pemikiran formal operasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Organisasi Pemerintah Daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintah yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman menuntut disiapkannya penerus bangsa yang siap menghadapi berbagai tantangan. Individu yang siap adalah individu yang sukses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir terdapat perkembangan yang signifikan dari kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan publik menyangkut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI. Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti BAB II LANDASAN TEORI A. MOTIVASI BELAJAR 1. Pengertian Motivasi Belajar Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Masih banyak sekolah yang menerapkan betapa pentingnya kecerdasan IQ (Intelligence Question) sebagai standar dalam kegiatan belajar mengajar. Biasanya, kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..).

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era kompetitif ini, Indonesia adalah salah satu negara yang sedang mengalami perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan yang semakin kompleks, terutama kita yang hidup di perkotaan yang sangat rentan pada perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya MEA di tahun 2016 dimana orang-orang dengan kewarganegaraan asing dapat bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi dan kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. organisasi dan kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gaya kepemimpinan suatu organisasi merupakan salah satu faktor lingkungan intern yang sangat jelas mempunyai pengaruh terhadap perumusan kebijaksanaan dan penentuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan Evi Ema Victoria Polii Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung Abstract This research aims to find the description and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa merupakan subjek pendidikan dengan karakteristik yang berbeda meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan perbedaan lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan sarana utama untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan dan pengetahuan dasar. Sekolah merupakan sarana yang diharapkan mampu menolong individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu fondasi yang menentukan ketangguhan dan kemajuan suatu bangsa. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dituntut untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan BAB I LATAR BELAKANG MASALAH 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan yang sangat cepat di semua sektor kehidupan khususnya dunia kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menjadi bangsa yang kian berkembang adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia mengharapkan adanya pembaharuan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mata Kuliah Psikodiagnostik merupakan mata kuliah khas dari program studi Psikologi. Mata kuliah ini menjadi khas karena hanya program studi Psikologi yang

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu cita-cita besar dari kebijakan sistem pendidikan nasional saat ini adalah dapat terjadinya revolusi mental terhadap bangsa ini. Mengingat kondisi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara mengajar 2.1.1 Pengertian Cara mengajar Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara mengajar adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Latar belakang pengelolaan pendidikan multikultural terdiri dari (1) latar

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Latar belakang pengelolaan pendidikan multikultural terdiri dari (1) latar BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Latar belakang pengelolaan pendidikan multikultural terdiri dari (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai level/jenjang pendidikan. Mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi.

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan: 1. Terdapat hubungan yang signifikan dan berarti antara kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Efficacy 1. Definisi Self-Efficacy Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif, khususnya faktor kognitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu, agar dapat mencapai potensi terbaik dari dalam diri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, pendidikan mampu melakukan proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan menunjukkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Penelitian ini akan dilakukan di UD Anugerah Sejati Embroidery

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Penelitian ini akan dilakukan di UD Anugerah Sejati Embroidery BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian ini akan dilakukan di UD Anugerah Sejati Embroidery Yogyakarta. UD Anugerah Sejati Embroidery Yogyakarta adalah perusahan yang bergerak dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi. perbincangan para pakar pendidikan dari tingkat daerah sampai dengan pusat,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi. perbincangan para pakar pendidikan dari tingkat daerah sampai dengan pusat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kualitas pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi perbincangan para pakar pendidikan dari tingkat daerah sampai dengan pusat, berbagai dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transisi dalam bidang pendidikan dapat menjadi proses yang sulit bagi para siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal. Perilaku yang

Lebih terperinci

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Manusia sebagai pemegang dan penggerak utama dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan budi-pekerti dan akhlak-iman manusia secara sistematis, baik aspek ekspresifnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu yang berhubungan dengan dunia pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan untuk berargumentasi, memberi kontribusi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah berarti keikutsertaan dalam suatu tugas yang metode pemecahannya tidak diketahui sebelumnya. Masalah merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi 1. Defenisi Motivasi Pintrich & Schunk (2002) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang mengarahkan pada suatu tujuan, yang melibatkan adanya aktivitas dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang tiada henti dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang tiada henti dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah proses belajar yang tiada henti dalam hidup, karena pendidikan mempunyai peranan penting guna kelangsungan hidup manusia. Dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial adalah sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Orang

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan 8 BAB II TELAAH TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Goal Setting Theory Goal setting theory merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Locke, 1978. Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan

Lebih terperinci