BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR"

Transkripsi

1 BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Biologi Populasi Undur-Undur Laut (Crustacea: Hippidae) di Pantai Selatan Jawa Tengah, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Ali Mashar NIM C

4 iv RINGKASAN ALI MASHAR. Biologi Populasi Undur-Undur Laut (Crustacea: Hippidae) di Pantai Selatan Jawa Tengah. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, MENNOFATRIA BOER, ACHMAD FARAJALLAH, dan NURLISA A. BUTET. Undur-undur laut atau mole crab atau kepiting pasir merupakan komponen penting dari komunitas makrobentos di pantai berpasir, baik di daerah tropis maupun bermusim empat. Pesisir Indonesia merupakan salah satu daerah sebaran undur-undur laut, terutama famili Hippidae, terutama di pesisir selatan Jawa Tengah, diantaranya Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Undur-undur laut yang banyak dijumpai di kedua wilayah tersebut berasal dari famili Hippidae, yaitu Emerita emeritus dan Hippa adactyla, selain itu juga dijumpai undur-undur laut jenis lain dari famili Albuneidae, yaitu Albunea symmysta. Undur-undur laut E. emeritus paling sering dijumpai dan dengan kelimpahan paling tinggi. Seiring dengan semakin banyak masyarakat mengenal nilai ekonomi undurundur laut, semakin tinggi tingkat pemanfaatan undur-undur laut, sehingga tekanan terhadap populasi dan habitat undur-undur laut juga makin tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan yang bijak dalam pemanfaatan undur-undur laut agar lestari dan berkelanjutan baik secara ekologi maupun ekonomi. Sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan undur-undur laut tersebut, maka diperlukan data biologi populasi undur-undur laut secara lengkap. Hal ini menjadi makin penting dikarenakan penelitian aspek biologi populasi undur-undur laut di wilayah tropis, termasuk Indonesia, masih jarang dilakukan, bahkan belum ada yang meneliti aspek biologi populasi undur-undur laut secara lengkap. Penelitian tentang biologi populasi undur-undur laut, terutama famili Hippidae, di pantai Cilacap dan Kebumen diharapkan menjadi awal dan pelopor bagi penelitian undur-undur laut secara lengkap, baik biologi, ekologi, maupun ekonomi, di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji diversitas dan dinamika kelimpahan jenis undur-undur laut famili Hippidae, 2) melakukan verifikasi dan validasi jenis undur-undur laut famili Hippidae secara genetik, 3) mengkaji dinamika populasi undur-undur laut famili Hippidae, 4) mengkaji potensi produksi telur undur-undur laut famili Hippidae jenis Emerita emeritus, dan 5) mengestimasi produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut famili Hippidae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman atau diversitas undurundur laut di pesisir selatan Jawa Tengah relatif tinggi dengan teridentifikasinya secara morfologi tiga jenis undur-undur laut di pantai Bunton Cilacap dan pantai Bocor Kebumen sebagaimana disebut di paragraf awal. Bahkan undur-undur laut jenis A. symmysta merupakan penemuan pertama (first record) undur-undur laut ini di lokasi studi. Berdasarkan jenis kelamin, undur-undur laut betina umumnya didapatkan selalu lebih banyak dibanding jantan, terutama pada E. emeritus dan H. adactyla. Kelimpahan undur-undur laut E. emeritus selalu dijumpai paling tinggi dari undur-undur laut jenis lainnya. Namun, kelimpahan undur-undur laut pada setiap wilayah pantai berpasir dapat berbeda-beda, tergantung kepada intensitas aktivitas manusia di daerah pantai berpasir tersebut.

5 v Ketiga spesies undur-undur laut yang ditemukan di lokasi penelitian sudah diverifikasi dan divalidasi secara genetik. Undur-undur laut Hippa adactyla dengan gen 16S rrna dan Albunea symmysta dengan gen COI oleh peneliti lain yang hasilnya juga disitir penulis pada karya tulis ini. Sedangkan Emerita emeritus dari kedua lokasi penelitian sudah divalidasi pada penelitian ini dengan menggunakan gen COI dan 16S rrna. Dalam proses validasi ini didapatkan pula informasi bahwa populasi E. emeritus dari pantai Cilacap dan Kebumen diduga satu populasi atau populasinya bercampur dengan memperhatikan nilai jarak genetik undur-undur laut dari kedua lokasi. Berkaitan dengan aspek pertumbuhan, undur-undur laut secara umum mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif, artinya pola pertambahan panjang undur-undur laut lebih dominan dibanding pola pertambahan bobotnya. Undurundur laut betina lebih cepat tumbuh dibanding jantan, kecuali H. adactyla di pantai Cilacap dimana pertumbuhan undur-undur laut jantan lebih cepat dari betina. Undur-undur laut famili Hippidae secara umum mempunyai umur harapan hidup atau lifespan kurang dari 3 tahun, kecuali E. emeritus jantan di pantai Kebumen. Berdasarkan jenis kelamin, lifespan jantan lebih tinggi dari betina, kecuali H. adactyla di pantai Cilacap dimana lifespan betina lebih tinggi dari jantan. Secara reproduksi, undur-undur laut jenis E. emeritus dari pantai Bunton Cilacap mempunyai energi reproduksi rata-rata 20-21% yang berarti bahwa E. emeritus telah mencurahkan 20-21% untuk aktivitas reproduksi. Undur-undur laut famili Hippidae dan biota-biota lain yang mempunyai sifat dan karakter yang sama dengan undur-undur laut mempunyai energi reproduksi yang berbeda-beda antar spesies dan wilayah. Dalam penelitian ini juga dikaji potensi sumbangan biomass undur-undur laut terhadap ekosistem sekitar habitatnya dengan melihat nilai produktivitas sekunder undur-undur laut. Berdasarkan nilai produktivitas sekunder undur-undur laut di kedua lokasi penelitian membuktikan bahwa undur-undur laut mempunyai peran secara ekologis yang terukur dalam rantai makanan di perairan pantai selatan Jawa Tengah. Populasi undur-undur laut di pantai Bunton Cilacap mempunyai nilai produktivitas sekunder yang lebih tinggi dari populasi undur-undur laut di pantai Bocor Kebumen. Dari perhitungan nilai produktivitas sekunder juga dapat diduga umur populasi undur-undur laut. Populasi undur-undur laut di pantai selatan Jawa Tengah mempunyai umur populasi dugaan 2-4 generasi per tahun dengan umur populasi dugaan tertinggi pada H. adactyla dari pantai Bocor Kebumen, yaitu 4 generasi per tahun. Kata kunci: dinamika populasi, Hippidae, produksi telur, produktivitas sekunder, undur-undur laut, validasi genetik

6 vi SUMMARY ALI MASHAR. Population Biology of Mole Crab (Crustacea: Hippidae) in Southern Beach of Central Java. Supervised by YUSLI WARDIATNO, MENNOFATRIA BOER, ACHMAD FARAJALLAH, and NURLISA A. BUTET. Mole crab or sand crab is an important component of macrobenthic community on the sandy beach, in tropics and subtropics area. Indonesia is one of distribution areas of mole crab of family Hippidae, especially in southern coast of Central Java, including Cilacap and Kebumen coastal. Mole crabs that often found in both areas are Emerita emeritus and Hippa adactyla from family Hippidae, but it also encountered other mole crab from family Albuneidae, namely Albunea symmysta. E. emeritus is mole crab that most frequently encountered and with the highest abundance. Along with more and more people recognize the economic value of mole crab, the utilization rate of mole crab is higher, so that the pressure on the population and habitat of mole crab are also higher. Therefore, it is necessary wisely management to exploit mole crab, both ecologically and economically sustainable. As a basis to determine policies of mole crab management, it is needed the completely data of mole crab population biology. It is more important because of the research about population biology of mole crab in tropics area, including Indonesia, still rare, even no one has studied aspects of population biology of mole crab completely. This study is expected to be the beginning and the pioneer for mole crab research completely in Indonesia, both biology, ecology, and economics. This study aims to: 1) assess the diversity and abundance dynamics of mole crab family Hippidae, 2) verificate and validate mole crab family Hippidae genetically, 3) assess the population dynamics of mole crab family Hippidae, 4) assess the egg production potential of mole crab E. emeritus, and 5) estimate the annual secondary productivity of mole crab family Hippidae. The results showed that the diversity of mole crab on the south coast of Central Java is relatively high with morphological identification of three types of mole crab at Bunton beach, Cilacap and Bocor beach, Kebumen as showed in first paragraph. Even A. symmysta was the first record from the study area. Generally, the female mole crab always found more than the male, especially in E. emeritus and H. adactyla. The abundance of E. emeritus always met the highest of other mole crabs. However, the abundance of mole crab can vary in every region of sandy beach, depending on intensity of human activity on sandy beach area. The three species of mole crab that found at study site has been genetically verificated and validated, H. adactyla with 16S rrna gene and A. symmysta with COI gene by other researchers. While E. emeritus has been verificated and validated in this study using COI and 16S rrna genes. In his validation process also obtained information that the population of E. emeritus on Cilacap and Kebumen beaches are one population or mixed population based on genetic distance of mole crab from both locations.

7 vii Base on growth aspect, generally, mole crab s growth pattern is negative allometric, the mean is the length pattern more dominant than the weight pattern. Female have grow faster than males, except Hippa adactyla at Cilacap, males grow faster than females. The growth rate of mole crab effect on life expectancy (lifespan) of mole crab. Generally, lifespan of mole crab family Hippidae is less than 3 years, except lifespan on males of H. adactyla at Cilacap beach. Lifespan of males mole crab higher than females, except H. adactyla at Cilacap beach. Mole crabs Emerita emeritus from Bunton beach Cilacap have reproduction energy average about 20-21%, which means that E. emeritus been devoting 20-21% energy for reproduction activity. Reproduction energy of mole crab family Hippidae and others biota that have same characteristics are different among species and location. In this study also examines the biomass contribution potential of mole crab to ecosystem surrounding mole crab habitat based on the value of secondary productivity of mole crab. Based on the value of secondary productivity of mole crab in both study areas prove that mole crabs have measurable ecological role in the food chain in the south coastal waters of Central Java. The secondary productivity of mole crab population on Bunton beach Cilacap higher than mole crab population on Bocor beach. Furthermore, mole crab population on the south coast of Central Java have the estimated population ages 2-4 generations per year with the highest of estimated population age on H. adactyla in Bocor beach Kebumen, which is 4 generations per year. Key words: egg production, genetic validation, Hippidae, mole crab, population dynamic, secondary productivity

8 viii Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 ix BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 x Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Dr Hawis Madduppa, SPi, MSi Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Dr Handoko Adi Susanto, SPi, MSc

11 xi

12 xii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 sampai dengan Juni 2014 ini ialah biologi undur-undur laut, dengan judul Biologi Populasi Undurundur Laut (Crustacea: Hippidae) di Pantai Selatan Jawa Tengah. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Pimpinan IPB mulai dari Kepala Divisi MSPi, Ketua Departemen MSP, Dekan FPIK, Dekan SPs IPB, dan Rektorat IPB yang telah memberikan kesempatan, ijin, bantuan, dan dukungannya bagi penulis untuk melaksanakan studi program doktor di PS SDP, 2. Direktorat Jenderal DIKTI Kemenristek-Dikti yang telah memberikan beasiswa bantuan biaya studi dan penelitian kepada penulis melalui skema BPPS/BPPDN dan Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT-BOPTN), 3. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc, Prof Dr Ir Mennofatria Boer, Dr Ir Achmad Farajallah, MSi, dan Dr Ir Nurlisa A. Butet, MSc sebagai komisi pembimbing penulis yang telah banyak memberikan saran dan masukan dari mulai penulisan proposal, penelitian hingga penyusunan disertasi, 4. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc yang juga telah berkontribusi besar dalam mendapatkan dana tambahan untuk penelitan dan analisis laboratorium, 5. Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi dan Prof Dr Ir Ridwan Affandi yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi doktor, baik tertulis maupun lisan, dan atas saran dan masukannya, 6. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka, Dr Hawis Madduppa, SPi, MSi sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan Dr Handoko Adi Susanto, SPi, MSc sebagai penguji luar komisi pada sidang promosi terbuka atas saran dan masukannya, 7. Tim Hebat penulis, terutama Bapak Sugeng, Yuyun Qonita MSi, Agus Alim Hakim MSi, Surya Gentha Akmal SPi, Wahyu Muzammil MSi, Dewi Masithoh SPi, dan Puji Utari Ardika MSi atas segala bantuan dan kerjasamanya selama sampling, aktivitas laboratorium, dan pengolahan data, 8. Mas Mukhlis, staf akademik PS SDP, mas Aji, dan staf TU MSP, atas segala bantuannya selama perkuliahan, penelitian, dan proses tugas akhir, dan 9. Keluarga tercinta, istri tercinta (Nissa Dwi Astari), anak-anak (Muthi Aulia Putri Mashar (almh.), Amyra Tsania Putri Mashar, dan Ammar Aqeela Putra Mashar), keluarga besar abah H. Alwi Chanafi (alm.) dan mane Hj. Toipah (almh.), keluarga besar papap Tatang Ruchyat dan mamah Tati Maryati, dan kerabat, serta para sahabat atas dukungan, pengertian, dan do anya. Penulis memohon maaf atas kesalahan dan kekurangan selama penulis menyelesaikan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Ali Mashar

13 xiii DAFTAR ISI RINGKASAN iv SUMMARY vi PRAKATA xii DAFTAR TABEL xv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR ISTILAH xvii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Hipotesis 3 Ruang Lingkup Penelitian 3 Kebaruan (Novelty) 4 2 DIVERSITAS DAN KELIMPAHAN UNDUR-UNDUR LAUT DI 5 PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan 5 Bahan dan Metode 5 Hasil dan Pembahasan 7 Jenis undur-undur laut 7 Komposisi undur-undur laut 8 Kelimpahan undur-undur laut 10 Simpulan 11 3 UNDUR-UNDUR LAUT Albunea symmysta (LINNAEUS, 1758) 12 SEBAGAI PENEMUAN PERTAMA DARI PANTAI SELATAN JAWA, INDONESIA Pendahuluan 12 Bahan dan Metode 12 Hasil dan Pembahasan 13 4 VERIFIKASI DAN VALIDASI SECARA GENETIK SPESIES 16 UNDUR-UNDUR LAUT Emerita emeritus (CRUSTACEA: HIPPIDAE) Pendahuluan 16 Bahan dan Metode 17 Hasil dan Pembahasan 19 Amplikasi DNA 19 Jarak genetik dan filogenetik 21 Jarak genetik intra- dan interspesies 25 Urutan basa nukleotida 26 Simpulan 27 5 DINAMIKA POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE 28 DARI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan 28

14 xiv Bahan dan Metode 28 Hasil dan Pembahasan 30 Hubungan panjang dan bobot 30 Sebaran frekuensi ukuran panjang karapas 36 Pendugaan parameter pertumbuhan 42 Simpulan 47 6 PRODUKSI TELUR UNDUR-UNDUR LAUT JENIS EMERITA 48 EMERITUS DARI PANTAI BUNTON, KABUPATEN CILACAP Pendahuluan 48 Bahan dan Metode 48 Hasil dan Pembahasan 51 Jumlah telur 51 Diamter telur 52 Volume telur 53 Energi reproduksi 53 Simpulan 55 7 PRODUKTIVITAS SEKUNDER UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI 56 HIPPIDAE DARI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan 56 Bahan dan Metode 57 Hasil dan Pembahasan 58 Biomassa (B) tahunan 58 Produktivitas sekunder (P) tahunan 61 Rasio P/B 62 Simpulan 64 8 PEMBAHASAN UMUM 65 9 SIMPULAN DAN SARAN 75 Simpulan 75 Saran 75 DAFTAR PUSTAKA 76 DAFTAR RIWAYAT HIDUP 84

15 xv DAFTAR TABEL 1 Komposisi hasil tangkapan per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 2 Persentase komposisi hasil tangkapan per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 3 Kelimpahan rata-rata per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 4 Jarak genetik antara individu Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari ordo dekapoda bedasarkan gen COI 5 Jarak genetik antara individu Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari famili Hippidae bedasarkan gen 16S rrna 6 Situs variabel gen COI pada Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen 7 Situs variabel gen 16S rrna pada Emerita emeritus yang berasal pantai Cilacap dan pantai Kebumen 8 Hubungan panjang dan bobot undur-undur laut dari pantai Cilacap 30 9 Hubungan panjang dan bobot undur-undur laut dari pantai Kebumen Kisaran ukuran panjang karapas undur-undur laut hasil penelitian di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 11 Parameter pertumbuhan dan lifespan undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 12 Perkembangan penelitian undur-undur laut di Indonesia dan dunia DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi penelitian. Kotak hitam menunjukkan lokasi pengambilan contoh undur-undur laut pantai Cilacap dan pantai Kebumen 2 Fluktuasi kelimpahan bulanan undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 3 Spesimen Albunea symmysta (Linnaeus 1758) (jantan) dari pantai Bocor, Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah 4 Albunea symmysta (Linnaeus 1758) (15.5 mm) A. Karapas anterior. B. Pereopod kiri II dactyl (tampak lateral). C. Antennules. D. Pereopod kiri III dactyl (tampak lateral). E. Telson jantan (tampak dorsal) 5 Visualisasi hasil amplifikasi gen COI Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen

16 xvi 6 Visualisasi hasil amplifikasi gen 16S rrna Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen 7 Target gen COI Emerita emeritus berdasarkan gen COI dari Lithodes nintokuae 8 Target gen 16S rrna Emerita emeritus berdasarkan gen 16S rrna dari Lithodes nintokuae 9 Konstruksi pohon filogeni Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lain dari infraordo Anomura dan ordo Decapoda berdasarkan gen COI 10 Konstruksi pohon filogeni Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari famili Hippidae berdasarkan gen 16S rrna 11 Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Emerita emeritus jantan dan betina di pantai Cilacap 12 Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Emerita emeritus jantan dan betina di pantai Kebumen 13 Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Hippa adactyla jantan dan betina di pantai Kebumen 14 Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Hippa adactyla jantan dan betina di pantai Kebumen 15 Sebaran ukuran panjang karapas dan plot von Bertalanffy Emerita emeritus di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 16 Sebaran ukuran panjang karapas dan plot von Bertalanffy Hippa adactyla di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 17 Pola rekrutmen undur-undur laut Emerita emeritus di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 18 Pola rekrutmen undur-undur laut Hippa adactyla di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 19 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy dan lifespan undur-undur laut Emerita emeritus di pantai Cilacap dan Kebumen 20 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy dan lifespan undur-undur laut Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen 21 Stadia telur pada undur-undur laut (Dari kiri ke kanan: stadia 1, stadia 2, stadia 3) 22 Jumlah telur Emerita emeritus rata-rata per individu per bulan pengamatan 23 Diameter telur rata-rata Emerita emeritus per butir per bulan pengamatan 24 Volume telur Emerita emeritus rata-rata per butir Energi reproduksi rata-rata Emerita emeritus berdasarkan berat kering egg mass dan tubuh tanpa egg mass

17 xvii 26 Energi reproduksi rata-rata Emerita emeritus berdasarkan penurunan berat kering tubuh betina 27 Biomassa tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen 28 Produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen 29 Rasio P/B tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen 30 Distribusi undur-undur laut famili Hippidae di Indonesia Pola arus perairan Pulau Jawa bulan Agustus DAFTAR ISTILAH Biologi populasi BLAST n Complex species Cryptic species Dinamika populasi Energi reproduksi GenBank Laju eksploitasi : ilmu yang mempelajari sekumpulan individu dengan sifat-sifat tertentu di suatu tempat/habitat : (Basic Local Alignment Search Tool-nucleotide) pilihan menu dari situs NCBI (National Center for Biotechnology Information) yang digunakan untuk memastikan kebenaran suatu spesies dan mengetahui kedekatan dengan spesies lain : satu spesies diklasifikasikan dalam beberapa nama spesies akibat keragaman morfologi yang kompleks : dua atau lebih spesies yang berbeda diklasifikasikan dalam satu nama spesies akibat karakteristik morfologi yang samar : cara populasi spesies tertentu berkembang/tumbuh dan menyusut serta sebab-sebab peningkatan dan penurunan jumlah populasi tersebut : konsep batasan identifikasi populasi dan stok serta parameter perubahan, yaitu pendugaan pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami, dan penangkapan : energi yang dicurahkan oleh suatu biota untuk melakukan proses reproduksi : situs NCBI yang memuat informasi dasar mengenai bioteknologi (termasuk informasi dasar DNA) : bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama biota tersebut masih hidup atau jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor, baik faktor alam maupu faktor penangkapan

18 xviii Marka genetik Mole crab Mortalitas alamiah : penciri individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu yang menunjukkan genotipe suatu individu. Bentuknya dapat berupa penampilan fenotipe/morfologi tertentu, kandungan senyawa (protein atau produk biokimia tertentu), berkas (band) pada suatu lembar hasil elektroforesis gel atau kromatogram, atau hasil pembacaan sekuensing : nama umum atau internasional undur-undur laut yang masuk dalam famili Hippidae : kematian suatu sumberdaya hayati yang disebabkan oleh beberapa faktor alamiah, meliputi fakor predasi, termasuk kanibalisme, penyakit, stress pada waktu pemijahan, kelaparan, dan umur yang tua Mortalitas penangkapan : kematian suatu sumberdaya hayati yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan yang dilakukan terusmenerus Pertumbuhan Populasi Produktivitas sekunder Sand crab Sekuensing Yutuk : pertambahan ukuran panjang dan berat dalam suatu waktu : sekumpulan individu dengan ciri-ciri yang sama (spesies) yang hidup di tempat yang sama dan memiliki kemampuan bereproduksi di antara sesamanya : kecepatan energi kimia mengubah bahan organik menjadi simpanan energi kimia baru oleh organisme heterotrof : nama umum atau internasional undur-undur laut yang masuk dalam superfamili Hippoidea : sebuah prosedur untuk menentukan urutan nukleotida dalam sampel DNA yang berguna dalam taksonomi, identifikasi, dan karakterisasi : nama lokal undur-undur laut di lokasi penelitian, terdiri dari yutuk jambe untuk Emerita emeritus, yutuk batok untuk Hippa adactyla, dan yutuk kethek untuk Albunea symmysta.

19 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Undur-undur laut atau mole crab atau kepiting pasir merupakan komponen penting dari komunitas makrobentos pantai berpasir terbuka di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun bermusim empat (Efford 1976; Haley 1982). Pesisir Indonesia merupakan salah satu daerah sebaran undur-undur laut, terutama undurundur laut famili Hippidae, di antaranya pesisir barat Sumatera, pantai selatan Jawa, dan Maluku (Boyko & Harvey 1999; Boyko 2002; Haye et al. 2002), serta pesisir selatan Yogyakarta (Mursyidin 2007). Di antara daerah-daerah pesisir tersebut, undur-undur laut di pesisir selatan Jawa Tengah, terutama di Kabupaten Cilacap dan Kebumen, dapat dijumpai sepanjang tahun dan sudah banyak dieksploitasi. Undur-undur laut yang banyak dijumpai di kedua wilayah tersebut berasal dari famili Hippidae, yaitu Emerita emeritus dan Hippa adactyla. Selain itu, juga dapat dijumpai undur-undur laut dari famili Albuneidae, yaitu Albunea symmysta. Diantara ketiganya, E. emeritus paling sering dijumpai dan ditemukan dengan kelimpahan paling tinggi (Mashar et al. 2014). Undur-undur laut memiliki peran ekologi yang cukup penting pada habitat alaminya di perairan intertidal, yaitu berperan dalam siklus atau rantai makanan (sebagai makanan bagi hewan pantai, seperti burung pantai/laut, ikan, dan sea otter) dan sebagai indikator lingkungan perairan, yaitu sebagai bioindikator pencemaran pestisida, tumpahan minyak, merkuri, dan indikasi kandungan asam domoik (neurotoksin yang dihasilkan oleh diatom) (Siegel & Wenner 1984; Wenner 1988; Pérez 1999; Dugan et al. 2005) serta spesies indikator dan organisme model pada kajian pengaruh panas buangan pembangkit listrik tenaga atom (Subramoniam 2014). Undur-undur laut juga mempunyai nilai kesehatan yang cukup tinggi, di antaranya mengandung protein, omega-3, dan omega-6 cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan (Hartono et al. 2011; Mursyidin 2007; Santoso et al. 2015). Lebih dari itu, undur-undur laut juga mempunyai nilai ekonomi yang tidak sedikit bagi lima komponen masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Cilacap dan Kebumen, yaitu kelompok penangkap (nelayan), pengumpul, pengolah, pedagang, dan konsumer atau yang mengkonsumsi undur-undur laut (Bhagawati et al. 2016). Seiring dengan semakin banyak masyarakat mengenal nilai ekonomi undurundur laut, maka semakin banyak masyarakat pesisir yang menjadi nelayan undurundur laut sebagai salah satu alternatif mata pencaharian. Kondisi tersebut berdampak pada tekanan yang makin tinggi pada populasi dan habitat undur-undur laut. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah pengelolaan yang bijak dalam pemanfaatan undur-undur laut agar populasinya tetap lestari sehingga fungsi ekologi, sekaligus fungsi ekonominya tetap dapat berjalan secara harmonis. Sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan undur-undur laut tersebut, maka diperlukan data biologi populasi undur-undur laut secara lengkap. Penelitian undur-undur laut di dunia sebenarnya telah banyak dilakukan meliputi aspek pertumbuhan (Fusaro 1978; Sastre 1991), kandungan logam berat (Pérez 1999), reproduksi (Kanagalakshmi 2011), kebiasaan makan (Wenner 1977),

20 2 dinamika populasi (Defeo & Cardoso 2002; Petracco et al. 2003), komposisi spesies (Boonruang & Phasuk 1975), distribusi (Boyko & Harvey 1999), filogenetik molekuler (Haye et al. 2002), dan kajian etnotaksonomi undur-undur laut (Bhagawati et al. 2016). Namun, penelitian tersebut sebagian besar dilakukan di daerah subtropis atau beriklim empat. Penelitian tentang undur-undur laut di daerah tropis, termasuk di Indonesia, masih jarang dilakukan. Bahkan untuk penelitian aspek biologi populasi undur-undur laut secara komprehensif di wilayah tropis dan di Indonesia belum ada yang menelitinya, padahal informasi aspek biologi populasi sangat penting sebagai salah satu dasar dalam merumuskan suatu kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan. Oleh karena itu, penelitian untuk menggali data dan informasi biologi populasi undur-undur laut, terutama famili Hippidae, penting dilakukan di pantai-pantai berpasir wilayah Indonesia yang selama ini diketahui sebagai habitat undur-undur laut, di antaranya pantai selatan Jawa Tengah yang meliputi pantai berpasir Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Perumusan Masalah Undur-undur laut memiliki peran ekologi yang cukup penting di perairan intertidal, di antaranya berperan dalam siklus atau rantai makanan di daerah intertidal dan sebagai indikator lingkungan perairan daerah intertidal. Selain nilai ekologi, undur-undur laut juga ternyata memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, yaitu mengandung protein, omega-3, dan omega-6 yang cukup tinggi sehingga banyak masyarakat yang mengkonsumsinya, terutama masyarakat pesisir selatan Jawa Tengah. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut dan makin dikenal luas keberadaan dan nilai gizinya, maka makin banyak kelompok masyarakat daerah pesisir yang menerima manfaat dari keberadaan undur-undur laut, yaitu kelompok kelompok penangkap (nelayan), pengumpul, pengolah, pedagang, dan konsumer undur-undur laut. Kondisi tersebut menjadikan undur-undur laut menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi cukup penting bagi masyarakat pesisir di pantai selatan Jawa Tengah, lebih khusus masyarakat pesisir Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Seiring dengan makin banyak masyarakat yang mengetahui nilai ekonomi undur-undur laut, maka semakin banyak masyarakat yang mengeksploitasi undurundur laut, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual dan dijadikan mata pencaharian alternatif. Kondisi tersebut berdampak pada tekanan yang makin tinggi pada populasi dan habitat undur-undur laut. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mengantisipasi tekanan yang makin tinggi, terutama terhadap populasi undur-undur laut, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan undur-undur laut untuk mencegah eksploitasi undur-undur laut yang tidak terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian undur-undur laut. Upaya pengelolaan undur-undur laut tersebut harus dilakukan secara bijak agar populasi undur-undur laut tetap lestari, baik secara ekologi maupun secara secara ekonomi. Sebagai salah satu dasar penting dalam merumuskan kebijakan pengelolaan undur-undur laut tersebut, maka dibutuhkan data biologi populasi undur-undur laut secara lengkap. Dengan demikian, penelitian biologi populasi undur-undur laut secara lengkap atau komprehensif penting untuk dilakukan.

21 3 Penelitian ini bertujuan untuk: Tujuan Penelitian 1. mengkaji diversitas dan dinamika kelimpahan jenis undur-undur laut famili Hippidae, 2. melakukan verifikasi dan validasi jenis undur-undur laut famili Hippidae secara genetik, 3. mengkaji dinamika populasi undur-undur laut famili Hippidae, 4. mengkaji potensi produksi telur undur-undur laut famili Hippidae jenis Emerita emeritus, dan 5. mengestimasi produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut famili Hippidae. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi dasar dalam upaya pengelolaan sumber daya undur-undur laut secara lestari dan berkelanjutan, terutama bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Hipotesis Kondisi undur-undur laut yang berada pada habitat yang telah terganggu oleh aktivitas manusia lebih tertekan dibanding undur-undur laut yang berada pada habitat yang belum terganggu oleh aktivitas manusia. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan nilai beberapa parameter biologi populasi undur-undur laut pada habitat yang telah terganggu oleh aktivitas manusia nilainya lebih rendah, meliputi kelimpahan rata-rata, energi reproduksi, dan produktivitas sekunder. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian terdiri dari ruang lingkup lokasi dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) lokasi penelitian, yaitu: 1. Lokasi yang mewakili habitat undur-undur laut yang banyak aktivitas manusia, yaitu pantai Bocor, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, dan 2. Lokasi yang mewakili habitat undur-undur laut yang sangat sedikit aktivitas manusia, yaitu pantai Bunton, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Ruang lingkup materi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Verifikasi dan validasi undur-undur laut Emerita emeritus secara genetik, 2. Kajian diversitas dan dinamika kelimpahan jenis undur-undur laut, 3. Kajian dinamika populasi undur-undur laut famili Hippidae, 4. Kajian potensi produksi telur undur-undur laut jenis Emerita emeritus, dan 5. Kajian produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut famili Hippidae.

22 4 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Informasi tentang keberadaan tiga spesies undur-undur laut infraordo Anomura dalam satu lokasi di pantai selatan Jawa Tengah, 2. Informasi pertama tentang keberadaan undur-undur laut Albunea symmysta di pantai selatan Jawa Tengah, 3. Informasi dinamika populasi undur-undur laut famili Hippidae Emerita emeritus dan Hippa adactyla di wilayah Indonesia, 4. Informasi potensi produksi telur undur-undur laut Emerita emeritus di wilayah Indonesia, dan 5. Informasi estimasi produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut famili Hippidae Emerita emeritus dan Hippa adactyla di wilayah Indonesia.

23 5 2 DIVERSITAS DAN KELIMPAHAN UNDUR-UNDUR LAUT DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan Undur-undur laut pasir merupakan biota bentik yang hidup di pantai berpasir (Efford 1976; Haley 1982), termasuk pantai berpasir Indonesia, di antaranya pesisir barat Sumatera, pantai selatan Jawa, dan Maluku (Boyko & Harvey 1999; Boyko 2002; Haye et al. 2002). Di pantai selatan Jawa, undur-undur laut banyak ditemukan di pantai berpasir selatan Jawa Tengah, di antaranya pantai Kebumen dan Cilacap (Mashar & Wardiatno 2013ab; Wardiatno et al. 2014; Osawa et al.2010). Undur-undur laut memiliki beberapa peran ekologis cukup penting di daerah intertidal, meliputi sebagai makanan bagi hewan pantai dan sebagai bioindikator pencemaran pestisida atau DDT, tumpahan merkuri, dan indikasi kandungan asam domoik (Siegel & Wenner 1984, Wenner 1988; Pérez 1999; Dugan et al. 2005; Lafferty et al. 2013). Undur-undur laut juga mengandung protein dan omega-3 serta omega-6 cukup tinggi, yaitu kandungan protein 32.32% (Anonim 2007 in Hartono et al. 2011), omega % (Mursyidin et al in Hartono et al. 2011), dan omega % % (Mursyidin 2007) sehingga cukup baik untuk dikonsumsi, terutama untuk anak-anak dalam masa pertumbuhan. Kegiatan eksploitasi undur-undur laut di pantai berpasir Cilacap dan Kebumen cenderung makin meningkat dari tahun ke tahun, yang ditandai dengan peningkatan jumlah nelayan penangkap undur-undur laut. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan undur-undur laut di pesisir Cilacap bagian timur, jumlah nelayan undur-undur laut meningkat dari 5 (lima) orang pada tahun 2007 menjadi sekitar 50 orang pada tahun Kondisi tersebut jika tidak dikendalikan dapat memberikan tekanan makin tinggi pada populasi dan habitat undur-undur laut. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumber daya undur-undur laut agar tetap lestari, baik secara ekologi maupun ekonomi. Informasi tentang jenis undurundur laut, meliputi kelimpahan dan komposisi per jenis, penting untuk diketahui dalam pengelolaan sumber daya undur-undur laut. Chapter ini sudah dipublikasi dalam jurnal nasional terakreditasi DIKTI, yaitu Jurnal Ilmu Kelautan 19(4): Tahun 2014 dengan judul sama dengan judul chapter ini. Bahan dan Metode Bahan utama penelitian ini adalah undur-undur laut. Undur-undur laut didapatkan dari daerah gelombang pecah di pantai (swash zone) yang lebarnya dapat mencapai 8-30 meter tergantung kondisi gelombang (Mann 2000; Wardiatno et al. 2013, 2014) di pantai Bocor, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen (7 o 47'33,7" LS dan 109 o 40 00,9 BT hingga 7 o 47'54,8" LS dan 109 o 41'36,4" BT)), dan pantai Bunton, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap (7 o 41'26,60" LS dan 109 o 09 30,70 BT hingga 7 o 41'25,20" LS dan 109 o 09'17,30" BT) (Gambar 1). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif.

24 6 Gambar 1. Lokasi penelitian. Kotak hitam menunjukkan lokasi pengambilan contoh undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen (Sumber peta:

25 7 Pengumpulan contoh undur-undur laut di pantai Bocor, Kebumen, dilakukan selama 12 bulan dari Maret 2012 hingga Februari Pengumpulan contoh undur-undur laut di pantai Bunton, Cilacap, dilakukan selama 12 bulan dari Juni 2013 hingga Mei Penangkapan contoh undur-undur laut di kedua wilayah tersebut dilakukan dengan alat bantu berupa alat tangkap tradisional nelayan setempat yang dinamakan sorok. Alat tangkap sorok bentuknya seperti alat sorok padi pada saat dijemur, terbuat dari sebatang bambu sebagai pegangan dengan panjang antara sekitar 1.8 meter, ujungnya dipasang papan kecil dengan ukuran 20 x 60 cm yang fungsinya untuk menyorok. Prinsip kerja alat ini cukup sederhana, yaitu dengan menyorok atau menyisir permukaan pantai berpasir dalam posisi secara horisontal terhadap pantai di daerah swash zone. Ketika pada daerah sorokan tampak ada gundukan kecil yang berdenyut-denyut, maka segera gali gundukan tersebut karena kemungkinan di dalamnya terdapat undur-undur laut. Jadi, alat tangkap sorok ini sifatnya mendeteksi keberadaan undur-undur laut di daerah sapuan alat tangkap sorok. Jarak daerah sapuan sorok adalah sekitar 2 km di pantai Bunton Cilacap dan 3 km di pantai Bocor Kebumen, sehingga luas sapuan sorok pada penelitian ini adalah m 2 di pantai Bunton Cilacap dan m 2 di pantai Bocor Kebumen. Analisis data yang dilakukan pada penelitian adalah analisis komposisi setiap jenis undur-undur laut secara deskriptif. Selain itu dilakukan analisis kelimpahan setiap jenis undur-undur laut dengan membandingkan jumlah undurundur laut yang tertangkap dengan luas daerah sapuan sorok, yang secara sederhana dapat ditulis dengan notasi matematika: K = N/A; dimana: K = kelimpahan undurundur laut (ekor/m 2 ); N = jumlah undur-undur laut yang tertangkap (ekor); dan A = luas area sapuan sorok (m 2 ). Jenis undur-undur laut Hasil dan Pembahasan Undur-undur laut yang diperoleh selama penelitian adalah 3 (tiga) spesies, baik yang didapatkan di pantai Bocor, Kebumen maupun pantai Bunton, Cilacap, terdiri dari 2 (dua) spesies dari famili Hippidae (Emerita emeritus dan Hippa adactyla), dan 1 (satu) spesies dari famili Albuneidae, yaitu Albunea symmysta. Ditemukannya tiga spesies undur-undur laut tersebut semakin memperkuat hasil penelitian Mashar dan Wardiatno (2013ab) yang mengidentifikasi ketiga spesies undur-undur laut tersebut secara morfologi. Ketiga spesies undur-undur laut tersebut telah mendapatkan konfirmasi dari taksonom undur-undur laut, yaitu Dr. Christopher B. Boyko dari Division of Invertebrate Zoology, American Museum of Natural History, New York, USA (Komunikasi pribadi 2013). Ditemukannya undur-undur laut famili Hippidae dan Albuneidae dalam satu lokasi juga merupakan kenyataan yang jarang terjadi. Hal tersebut dikarenakan habitat kedua famili undur-undur laut tersebut memang berbeda, yaitu famili Hippidae hidup di daerah intertidal yang relatif dangkal, sedangkan famili Albuneidae umumnya hidup di daerah subtidal. Undur-undur laut famili Albuneidae genus Albunea masih dapat ditemukan pada kedalaman sekitar meter (Boyko & Harvey 1999; Corsini-Foka & Kalogirou 2013). Oleh karena itu, apabila di suatu pantai berpasir ditemukan undur-undur laut famili Hippidae, maka

26 8 jarang ditemukan undur-undur laut famili Albuneidae, begitu juga sebaliknya. Kejadian ini sama seperti ditemukannya undur-undur laut famili Hippidae dan Albuneidae di pantai Phuket Thailand pada penelitian tahun (Boonruang & Phasuk 1975). Komposisi undur-undur laut Jumlah undur-undur laut yang tertangkap dan terkumpul selama penelitian adalah ekor, dimana ekor berasal dari pantai Bocor, Kebumen, dan ekor berasal dari pantai Bunton, Cilacap. Secara lengkap, komposisi dan presentase hasil tangkapan undur-undur laut untuk setiap jenis dan setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Lokasi Penelitian Pantai Bocor, Kebumen Pantai Bunton, Cilacap Jenis Undur-undur Hasil Tangkapan (ekor) Laut Jantan Betina Total Emerita emeritus Hippa adactyla Albunea symmysta Emerita emeritus Hippa adactyla Albunea symmysta Tabel 2. Persentase komposisi hasil tangkapan per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Lokasi Penelitian Pantai Bocor, Kebumen Pantai Bunton, Cilacap Jenis Undur-undur Laut Proporsi Hasil Persentase Tangkapan (%) Total (%) Jantan Betina Emerita emeritus Hippa adactyla Albunea symmysta Emerita emeritus Hippa adactyla Albunea symmysta Keterangan: Data pada Tabel 2 berhubungan/berdasarkan data Tabel 1, yaitu persentase dari hasil tangkapan terhadap total hasil tangkapan, baik untuk jantan, betina, maupun total, pada masing-masing jenis undur-undur laut dan lokasi penelitian Berdasarkan tabel-tabel di atas diketahui bahwa undur-undur laut Emerita emeritus paling banyak didapatkan di kedua lokasi penelitian, disusul Hippa adactyla, dan yang paling sedikit adalah Albunea symmysta, dengan persentase komposisi E. emeritus 70.5%-75.3%; H. adactyla 22.,5%-24.7%; dan A. symmysta 2.2%-4.8%. Undur-undur laut E. emeritus selalu didapatkan dalam jumlah yang

27 9 paling besar di setiap pengampilan contoh undur-undur laut, dan Albunea symmysta selalu dijumpai dalam jumlah yang paling sedikit, bahkan di beberapa waktu pengambilan contoh tidak didapatkan undur-undur laut A. symmysta. Kenyataan bahwa undur-undur laut Emerita emeritus selalu didapatkan jauh lebih banyak dari jenis undur-undur laut lainnya menunjukkan adanya dominasi populasi undur-undur laut E. emeritus. Kondisi ini semakin memperkuat informasi dari Boyko and McLaughlin (2010) dan Haye et al. (2002) bahwa undur-undur laut genus Emerita, terutama jenis E. emeritus, banyak tersebar di pantai berpasir wilayah Asia Tenggara. Undur-undur laut genus Hippa secara umum banyak dijumpai di perairan Australia (Poore 2004). Jadi diduga, keberadaan undur-undur laut jenis H. adactyla yang ditemukan di lokasi penelitian yang berada di bagian utara Samudra Hindia ada kaitannya dengan undur-undur laut genus Hippa yang tersebar di perairan Australia yang berada di bagian timur Samudra Hindia. Adapun undur-undur laut A. symmysta ditemukan dalam jumlah yang paling sedikit, bahkan terkadang tidak didapatkan pada pengambilan contoh, merupakan kondisi yang wajar. Hal tersebut dikarenakan habitat undur-undur laut A. symmysta sebenarnya ada di daerah intertidal bagian bawah hingga daerah tidal, bahkan pernah ditemukan pada kedalaman sekitar 50 dan 150 meter (Boyko & Harvey 1999; Corsini-Foka & Kalogirou 2013). Sedangkan daerah pengambilan contoh undur-undur laut pada penelitian ini adalah daerah intertidal bagian atas, sehingga wajar jika undur-undur laut A. symmysta ditemukan dalam jumlah sedikit. Undurundur laut A. symmysta yang didapatkan di daerah intertidal diduga sedang mencari makanan, di antaranya bangkai undur-undur laut famili Hippidae. Berdasarkan jenis kelamin, undur-undur laut betina selalu lebih banyak, baik di kedua lokasi penelitian maupun untuk setiap jenis undur-undur laut tersebut. Bahkan, untuk jenis E. emerita, betina ditemukan jauh lebih banyak dari jantannya, dengan komposisi betina mencapai 78.2%-92.9%. Hasil yang sama juga dijumpai pada penelitian Boonruang and Phasuk (1975) bahwa undur-undur laut betina selalu dijumpai dengan komposisi lebih tinggi dari jantan, bahkan untuk jenis E. emeritus komposisi betina bisa mencapai hingga sekitar 95%. Komposisi undur-undur laut betina yang jauh lebih besar dibanding jantan diduga sebagai bentuk adaptasi alami dari undur-undur laut tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa dalam siklus reproduksi undur-undur laut, setelah telur-telur menetas, mereka mengalami fase planktonik yang cukup lama, antara 3-4 bulan (Ricketts et al. 1992; Israel et al. 2006)). Selama fase planktonik tersebut, peluang kelangsungan hidupnya relatif kecil, terutama karena adanya peluang predasi yang tinggi terhadap larva-larva undur-undur laut tersebut di daerah intertidal. Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensinya di dalam, undur-undur laut didominasi oleh betina sehingga diharapkan semakin banyak telur yang dihasilkan untuk mengimbangi kehilangan larva yang tinggi pada fase planktonik. Selain itu, komposisi betina lebih dominan dapat disebabkan karena kebutuhan betina terhadap oksigen lebih tinggi untuk aktivitas reproduksi. Oleh karena itu, undur-undur laut betina akan mencari lokasi yang berpotensi kandungan oksigennya tinggi, baik dari pergerakan ombak maupun dari udara. Swash zone adalah wilayah di pantai tinggi kandungan oksigennya, sehingga undur-undur laut betina banyak menuju daerah tersebut agar terjamin kebutuhan oksigennya untuk

28 10 aktivitas reproduksi. Oleh karena itu, undur-undur laut betina lebih banyak dijumpai di daerah swash zone daripada jantan sebagaimana terjadi di lokasi penelitian. Kelimpahan undur-undur laut Kelimpahan undur-undur laut untuk setiap jenisnya di setiap lokasi penelitian secara rinci disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 2. Tabel 3. Kelimpahan rata-rata per jenis undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Lokasi Penelitian Pantai Bocor, Kebumen Pantai Bunton, Cilacap Jenis Undur-undur Laut Kelimpahan Rata-rata (ekor/100 m 2 ) Emerita emeritus 5 Hippa adactyla 2 Albunea symmysta 1 Emerita emeritus 34 Hippa adactyla 10 Albunea symmysta 1 Gambar 2. Fluktuasi kelimpahan bulanan undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen

29 11 Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 2 di atas diketahui bahwa undur-undur laut Emerita emeritus mempunyai kelimpahan paling tinggi dibanding dua jenis undur-undur laut lainnya, hampir 3 kali lipat dari kelimpahan undur-undur laut Hippa adactyla, baik di pantai Bocor, Kebumen maupun di pantai Bunton, Cilacap. Berdasarkan pengamatan bulanan, terlihat bahwa kelimpahan undur-undur laut tertinggi ditemukan pada pengamatan bulan Oktober di pantai Bocor dan bulan Juli dan Oktober di pantai Bunton. Jika dilihat per lokasi penelitian, kelimpahan undurundur laut famili Hippidae yang dijumpai di pantai Bunton, Cilacap jauh lebih tinggi dibanding yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen. Dikarenakan belum ada kajian tentang kelimpahan ketiga jenis undur-undur laut tersebut di lokasi lain, maka nilai kelimpahan untuk setiap undur-undur laut pada penelitian ini hanya bisa dibandingkan antar lokasi penelitian pada penelitian ini. Rendahnya kelimpahan undur-undur laut di pantai Bocor Kebumen, terutama untuk famili Hippidae, disamping karena jumlah tangkapan undur-undur laut di pantai Bocor lebih rendah dan daerah sapuan soroknya lebih luas, juga dikarenakan lokasi penangkapan undur-undur laut di pantai Bocor berdekatan (satu hamparan pantai) dengan lokasi wisata pantai di pantai Bocor, sedangkan di pantai Bunton, Cilacap, kondisi pantainya masih relatif alami dan belum ada aktivitas wisata pantai, yang ada hanya kegiatan pemancingan dari pinggir pantai dan itupun jumlahnya sedikit. Adapun pantai Bocor, sebagian pantainya adalah pantai wisata yang banyak dikunjungi ketika hari libur, dan daerah penangkapan undur-undur laut tersebut juga terkadang menjadi bagian dari kegiatan wisata pantai. Kondisi ini mengakibatkan populasi undur-undur laut di daerah tersebut tidak berkembang optimal dan untuk menjaga eksistensinya, diduga undur-undur laut tersebut berpindah habitatnya mencari lokasi atau sisi pantai berpasir lainnya yang benarbenar aman atau masih sedikit atau bahkan belum ada aktivitas manusia, terutama wisata pantai. Adapun untuk Albunea symmysta, kelimpahannya sama di kedua lokasi penelitian, yaitu 1 ekor/100 m 2, sangat rendah jika dibandingkan dengan dua jenis undur-undur laut lainnya. Hasil ini wajar dan memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa daerah intertidal memang bukan habitat sebenarnya dari A. symmysta, sehingga kelimpahannya rendah. Mereka bergerak menuju perairan intertidal, terutama untuk mencari makan. Simpulan Undur-undur laut yang ditemukan di pesisir selatan Jawa Tengah terdapat 3 (tiga) spesies, yaitu Emerita emeritus, Hippa adactyla, dan Albunea symmysta, dengan undur-undur laut betina umumnya didapatkan selalu lebih banyak dibanding jantan. Kelimpahan undur-undur laut E. emeritus selalu dijumpai paling tinggi dari undur-undur laut jenis lainnya. Namun, kelimpahan undur-undur laut pada setiap wilayah pantai berpasir dapat berbeda-beda, tergantung kepada intensitas aktivitas manusia di daerah pantai berpasir tersebut.

30 12 3 UNDUR-UNDUR LAUT Albunea Symmysta (Linnaeus, 1758) SEBAGAI PENEMUAN PERTAMA DARI PANTAI SELATAN JAWA, INDONESIA Pendahuluan Undur-undur laut dari famili Albuneidae secara umum terdistribusi cukup luas dari mulai Indo-Pasifik Barat hingga ke wilayah Atlantik (Boyko & Harvey 2002). Undur-undur laut ini hidup mengubur di dalam pasir pantai mulai dari wilayah intertidal, terutama daerah sapuan ombak (swash zone), hingga daerah subtidal (Boere et al. 2011). Undur-undur laut mempunyai kemampuan menggali pasir pantai dengan sangat cepat (Lastra et al. 2002). Keberadaan undur-undur laut di Indonesia telah diketahui dengan baik, namun studi terkait undur-undur laut famili Albuneidae masih sangat sedikit jumlahnya. Boyko dan MacLaughlin (2010) melaporkan bahwa beberapa jenis undur-undur laut subfamili Albuneidae ditemukan di sepanjang pesisir Indonesia, meliputi sub-famili Albuneinae, di antaranya genus Albunea, Parabunea, Stemonopa, Squillalbunea, dan Zygopa; dan subfamili Lepidopinae, di antaranya genus Austrolepidopa, Lepidopa, Leucolepidopa, Prealbunea, dan Paraluecolepidopa. Keberadaan undur-undur laut genus Albunea dari pesisir selatan Afrika hingga Indo Pasifik Barat secara umum pertama kali disampaikan oleh oleh Boyko & Harvey (1999). Pada tahun 1999, Boyko & Harvey (1999) melaporkan bahwa undur-undur laut Albunea symmysta dijumpai mulai dari pesisir barat Afrika Utara hingga Laut Merah, dan dari timur Pilipina hingga ke Jepang, sedangkan penemuan pertama A. symmysta di Taiwan dilaporkan pada tahun 2010 (Osawa & Chan 2010). Namun penemuan-penemuan undur-undur laut famili Albuneidae berikutnya bukanlah dari spesies A. symmysta, termasuk sebelum penelitian ini dilakukan belum pernah ada laporan ilmiah tentang keberadaan undur-undur laut A. symmysta di sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera. Dengan demikian, distribusi sebenarnya dari A. symmysta belum diketahui secara lengkap (Boyko & Harvey 1999). Oleh karena itu, penemuan undur-undur laut A. symmysta selama penelitian, baik penemuan di lokasi penelitian (pantai selatan Jawa Tengah) maupun di pantai barat Sumatera, adalah penemuan pertama (first record) undur-undur laut A. symmysta di wilayah selatan Jawa dan juga Sumatera. Dalam penelitian ini juga dideskripsikan karakter morfologi undur-undur laut A. symmysta. Chapter ini suda dipublikasi pada jurnal internasional, yaitu AACL-BIOFLUX 8(4): dengan judul First record of Albunea symmysta (Crustacea: Decapoda: Albuneidae) from Sumatra and Java, Indonesia (Mashar et al. 2015). Bahan dan Metode Dalam penelitian ini, bahan utama adalah undur-undur laut A. symmysta dari dari pantai Bocor, Buluspesantren, Kebumen sebanyak 11 ekor, terdiri dari 4 ekor jantan dan 7 ekor betina. Selain itu, juga diuji undur-undur laut A. symmysta yang

31 13 didapatkan dari dan pantai barat Sumatera, yaitu satu ekor jantan dan satu ekor betina dari pesisir Bengkulu serta satu ekor betina dari pesisir Padang Pariaman. Contoh undur-undur laut A. symmysta dari pantai Bocor diambil langsung di lokasi studi dengan bantuan nelayan lokal. Sedangkan contoh undur-undur laut dari wilayah Sumatera, peneliti mendapatkan kiriman dari responden peneliti yang terdapat di Bengkulu dan Padang Pariaman, dengan teknik pengawetan dan pengirimannya mendapatkan arahan dari peneliti. Contoh undur-undur laut yang terkumpul, pada awalnya (di lokasi studi) dipreservasi dengan alkohol 70%. Kemudian sesampainya di laboratorium, semua cairan alkohol yang mengawetkan contoh dibuang dan diganti dengan cairan alkohol 96%. Kemudian setiap contoh diambil gambarnya atau difoto. Beberapa contoh atau spesimen undur-undur laut dideposit atau disimpan di Musium Zoologi Bogor, Lembaga Penelitian Biologi, LIPI, Indonesia. Hasil dan Pembahasan Jumlah contoh atau spesimen undur-undur laut A. symmysta yang terkumpul adalah 14 ekor. Contoh atau spesimen undur-undur laut yang segar akan menampilkan pola warna hitam keabu-abuan pada karapas dan berbentuk bulat atau bundar (Gambar 3). Gambar 3. Spesimen Albunea symmysta (Linnaeus 1758) (jantan) dari pantai Bocor, Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah Berdasarkan hasil pengukuran terhadap spesimen undur-undur laut seperti yang disajikan pada Gambar 3, didapatkan beberapa ukuran karakter morfologi undur-undur laut, yaitu panjang karapas 15.5 mm; lebar karapas 16.7 mm; dan panjang somit perut dan telson 17.5 mm. Flagela antena terdiri dari 5 bagian, pangkal antena cembung, kokoh, dan berbentuk agak segitiga (subtriangular), pereopod atau kaki jalan dengan satu bagian rambut halus (subchaeta), dactylus

32 14 (duri) dan propodus halus, merus (pangkal pereopod) tanpa tulang yang kuat, ujung kaki jalan 2 dan 3 tajam, dan telson berbentuk bulat telur serta membulat pada batas distal/sisi terluar. Karapas undur-undur laut ini umumnya lebih lebar dari panjangnya. Spesimen ini juga mempunyai sub karapas berbentuk empat persegi panjang yang menutupi pereopod (kaki jalan). Karapas spesimen undur-undur laut ini mempunyai beberapa alur yang terdiri dari C1 (C = carapace), C3, C4, dan C6 hingga C10. Setiap alur mempunyai beberapa elemen alur. Pada CG1 (CG = carapace groove), elemen alur bagian tengah berada pada bagian posterior dan bagian depan setal field. CG1 juga mempunyai elemen lateral pada sisi terpisah. Elemen CG3 pendek dan rusak. Elemen CG4 hilang di bagian tengah. Elemen CG6 dan CG7 terpisah dan hanya menampilkan elemen lateral yang pendek. Elemen CG8, CG9, dan CG10 juga menampilkan elemen atau alur pendek, sementara CG11 tidak tampak (Gambar 4A). Undur-undur laut ini mempunyai karapas yang lebar, berbentuk agak persegi panjang, dan datar, batas anterior pada sisi sinus okular mempunyai 12 gigi atau duri. Karapas membuat alur pada setose (tempat tumbuh bulu halus) yang kuat (Gambar 4A), antena pendek dengan 5 flagela (Gambar 4C), subchaeta pada kaki jalan pertama, dactyl pada kaki jalan kedua mempunyai tumit berbentuk bulat halus, dan ujung kaki jalan ketiga berbentuk tajam dan agak berlekuk (Gambar 4B dan 4D). Undur-undur laut ini mempunyai telson berbentuk bulat telur dengan setae/bulu berada di tengah-tengah (Gambar 4E). Distribusi undur-undur laut jenis Albunea symmysta meliputi pesisir Indonesia, yaitu pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa, pantai timur India hingga selatan Taiwan, Pilipina, Queensland dan Pulau Lord Howe, Australia (Osawa & Chan 2010). Secara morfologi, undur-undur laut A. symmysta sangat mirip dengan undur-undur laut jenis A. groeningi dan A. okinawaensis, walaupun mereka berbeda pada alur-alur karapas dan batas posterior. Kejadian ditemukannya undur-undur laut A. symmysta di perairan Indonesia, khususnya di pesisir selatan Jawa dan juga pesisir barat Sumatera, sangat meningkatkan distribusi undur-undur laut ini di Indo- Pasifik Barat, dimana hingga saat ini hanya sedikit catatan yang telah dilaporkan tentang sebaran undur-undur laut ini. Di seluruh dunia, jenis undur-undur laut ini juga ditemukan di Afrika, Portugal, Amerika, dan Asia (Serena & Umali 1965). Berikut ini disajikan rekor atau catatan baru undur-undur laut A. symmysta dari wilayah Indo-Pasifik Barat, yaitu dari pantai selatan Jawa Tengah dan juga pantai barat Sumatera. Undur-undur laut jenis ini tidak ditemukan di pesisir Sulawesi atau pulau-pulau utama lainnya di Indonesia. Tipe pantai di pantai selatan Jawa Tengah dan pantai barat Sumatera seperti Bengkulu dan Padang Pariaman terdiri dari pasir hitam halus. Karakteristik pantai berpasir hitam halus ini membentuk habitat yang cocok untuk kehidupan undur-undur laut A. symmysta sebagaimana disampaikan Jaramillo (1994). Genus Albunea juga ternyata lebih menyukai hidup pada habitat dasar berpasir di zona sublitoral pada kedalaman < 1 m. Warna karapas undur-undur laut ini dipengaruhi oleh warna pasir di habitat tertentu (Wenner 1972). Perbedaan warna karapas adalah ciri khas dari spesies ini.

33 15 A. symmysta mungkin dapat memiliki karapas berwarna krem, tapi hal ini jarang terjadi. Gambar 4. Albunea symmysta (Linnaeus 1758) (15.5 mm) A. Karapas anterior. B. Pereopod kiri II dactyl (tampak lateral). C. Antennules. D. Pereopod kiri III dactyl (tampak lateral). E. Telson jantan (tampak dorsal). (Skala: A = 3.0 mm; B, C, & D = 1.0 mm; E = 2.0 mm)

34 16 4 VERIFIKASI DAN VALIDASI SECARA GENETIK SPESIES UNDUR-UNDUR LAUT Emerita emeritus (CRUSTACEA: HIPPIDAE) Pendahuluan Undur-undur laut merupakan sumber daya perikanan bernilai ekonomi yang hidup pada substrat berpasir di daerah intertidal. Undur-undur laut diketahui dapat dijumpai di beberapa wilayah pantai berpasir Indonesia, di antaranya pantai selatan Jawa, Bengkulu, Maluku, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (Boyko 2002; Boyko & Harvey 1999; Mashar et al. 2014; Wardiatno et al ab ). Meskipun demikian, pemanfaatan undur-undur laut untuk kepentingan ekonomi hanya dilakukan di wilayah pesisir selatan Jawa Tengah, terutama di Kabupaten Cilacap dan Kebumen. Informasi tentang manfaat ekonomi dan keberadaan undur-undur laut di kedua wilayah tersebut makin meluas, tidak hanya sekitar kedua wilayah tersebut, namun hingga ke wilayah lain di sekitarnya bahkan hingga pesisir Yogyakarta. Dampaknya nelayan yang melakukan penangkapan undur-undur laut di pesisir Cilacap dan Kebumen makin banyak, termasuk untuk mensuplai kebutuhan undurundur laut ke wilayah pesisir Yogyakarta. Kondisi tersebut jika tidak dikontrol dan tidak diatur dapat memberikan tekanan makin tinggi pada populasi undur-undur laut di kedua wilayah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumber daya undur-undur laut, terutama agar populasinya tetap lestari dan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat wilayah pesisir, terutama yang berada di wilayah pesisir Cilacap dan Kebumen. Secara morfologi, undur-undur laut yang banyak ditemukan di wilayah pesisir Cilacap dan Kebumen berasal dari famili Hippidae yang terdiri dari 2 (dua) spesies, yaitu Emerita emeritus dan Hippa adactyla, dengan kelimpahan tertinggi dijumpai pada jenis E. emeritus (Mashar et al. 2014; Wardiatno et al. 2015b; Ardika et al. 2015). Dalam rangka pengelolaan undur-undur laut, maka harus ada kepastian taksonomi (taxonomy certainty) pada undur-undur laut yang terdapat di kedua wilayah tersebut, terutama kepastian untuk jenis E. emeritus yang merupakan jenis kosmopolitan untuk undur-undur laut di kedua lokasi penelitian. Undur-undur laut H. adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen sudah divalidasi secara molekuler dengan gen 16S rrna (Muzammil et al. 2015). Pada biota akuatik, penggunaan karakter morfometrik seringkali menunjukkan fenomena cryptic species, yaitu beberapa biota yang secara morfologi seolah-olah satu spesies padahal lebih dari satu spesies, dan fenomena complex species, yaitu beberapa biota yang secara morfologi seolah-olah berbeda spesies atau lebih dari satu spesies padahal satu spesies. Kedua fenomena tersebut seringkali mengakibatkan masalah sinonim yaitu terdapat nama ganda pada satu spesies yang sama atau sebaliknya, sehingga mengakibatkan kesalahan dalam identifikasi spesies pada biota akuatik, padahal kepastian taksonomi sangat diperlukan dalam menentukan pengelolaan suatu sumber daya (Bickford et al. 2006), seperti fenomena cryptic species pada ikan pari (Arlyza et al. 2013) dan fenomena complex species pada kima (Su et al. 2014). Fenomena cryptic species

35 17 berpotensi juga terjadi di undur-undur laut. Secara morfologi, undur-undur laut famili Hippidae pada penelitian ini teridentifikasi sebagai Emerita emeritus dan Hippa adactyla. Namun pada penelitian sebelumnya, terdapat peneliti yang mengidentifikasi famili Hippidae yang terdapat di pantai selatan Jawa Tengah sebagai E. analoga, E. talpoida, dan H. ovalis (Mursyidin 2007; Darusman et al. 2014). Oleh karena itu, perlu ada kepastian spesies untuk keperluan pengelolaan undur-undur laut, sehingga identifikasi secara morfologi tersebut perlu divalidasi dengan metode yang lebih akurat untuk menghindari kesalahan identifikasi, yaitu dengan pendekatan genetik atau molekuler. Pendekatan molekuler melalui teknik DNA barcoding merupakan salah satu metode paling populer dan berkembang saat ini dalam mengatasi masalah kepastian taksonomi secara cepat dan akurat mulai dari tingkat spesies hingga subspesies dengan menggunakan fragmen sekuen nukleotida yang pendek terhadap berbagai spesies yang sulit dibedakan secara morfologi atau melalui karakter morfometrik (Tudge 2000). Gen Cythocrome Oxydase subunit I (COI) dan 16S rrna merupakan gen-gen pada DNA mitokondria yang dapat dijadikan sebagai marka molekuler untuk penentuan spesies. Sifat unik dari urutan nukleotida polimorfisme DNA mitokondria (mtdna) dapat memberikan informasi pada hubungan evolusi antara keluarga taksonomi terikat karena gen mitokondria berevolusi sekitar 10 kali lebih cepat dari DNA inti (Brown et al. 1979), sehingga mtdna adalah penanda molekuler yang berguna untuk membantu identifikasi suatu organisme (Palumbi & Cipriano 1998). Gen COI pada mitokondria merupakan gen yang berevolusi sangat lambat (Solihin 1994), sedikit mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya, serta mempunyai variasi yang sedikit (Hebert et al. 2003). Sedangkan Quan et al. (2004) menyatakan bahwa fragmen gen 16S rrna cocok untuk memeriksa hubungan filogenetik pada level spesies atau genus pada krustasea. Dengan demikian, kedua gen mitokondria tersebut dapat digunakan sebagai penanda DNA atau DNA barcoding untuk undur-undur laut pada penelitian ini. Bahan dan Metode Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah undur-undur laut jenis E. emeritus berdasarkan karakter morfologi (Mashar et al. 2014; Wardiatno et al. 2015b). Adapun untuk analisis molekuler, alat dan bahan yang digunakan di antaranya tube 1.5 ml, pengocok (shaker), mikro tip, mikro pipet, pistil, pemanas inkubator, sentrifuse, spin column, mesin visual ultraviolet, alkohol 96%, agarose 1.2%, akuades, kit Gene Aid, EtOH absolut, dan reagen PCR. Undur-undur laut E. emeritus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 20 ekor yang diambil dari undur-undur laut yang dikumpulkan dan digunakan untuk penelitian Komposisi Kelimpahan (Bab 2), dengan rincian: terdiri dari 10 ekor dari pantai Bunton Cilacap dan 10 ekor dari pantai Bocor Kebumen (untuk analisis DNA masing-masing digunakan 5 ekor per gen (COI dan 16S rrna per lokasi). Dua puluh contoh undur-undur laut E. emeritus tersebut dimasukkan ke dalam tabung koleksi berukuran 100 ml yang berisi alkohol 96% dan dibawa ke Laboratorium Biologi Molekuler Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan untuk analisis molekuler.

36 18 Isolasi dan Ekstraksi DNA. Dua puluh contoh undur-undur laut yang telah diawetkan dalam alkohol 96% diambil otot pada telson dengan bobot masingmasing 30 mg dan dicuci untuk menghilangkan kandungan alkohol. Kemudian contoh otot dikeringkan dan dimasukkan kedalam microtube untuk proses isolasi dan ekstraksi DNA menggunakan kit komersil (Gene Aid) berdasarkan manual pabrik dengan beberapa modifikasi. Uji Kualitas DNA. Kualitas DNA diuji pada gel agarosa 1.2% dengan menggunakan larutan buffer TAE1x. Cetakan DNA total yang dipakai sebanyak 2.5 μl. Visualisasi DNA total dilakukan dengan menggunakan mesin ultraviolet. Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen DNA. DNA yang memiliki kualitas baik layak dijadikan sebagai cetakan untuk amplifikasi fragmen DNA gen COI dan 16s rrna dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan kit komersial Kapa Extra Hot Start. Primer yang digunakan adalah primer universal untuk beberapa biota akuatik yang didisain oleh Butet (2013, unpublish data). Amplifikasi dilakukan pada suhu predenaturasi 94 0 C selama 5 menit, suhu denaturasi 94 0 C selama 45 detik, suhu annealing 53 0 C selama 1 menit, suhu elongasi 72 0 C selama 1 menit, suhu pascaelongasi 72 0 C selama 5 menit, dan suhu penyimpanan 15 0 C selama 10 menit. Produk PCR kemudian divisualisasi menggunakan gel agarosa 1.2% pada mesin ultraviolet. Pengurutan Produk PCR (Sekuensing DNA). Produk PCR yang memiliki kualitas baik layak dilanjutkan ke tahap sekuensing untuk ditentukan sekuen basa nukleotidanya. Sekuensing dilakukan menggunakan metode Sanger et al. (1977) dengan mengirimkan produk PCR tersebut ke perusahaan jasa pelayanan sekuensing. Pensejajaran Sekuen Nukleotida. Sekuen nukleotida hasil sekuensing disejajarkan dengan menggunakan metoda Clustal W yang terdapat pada software MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Sekuen nukleotida gen COI dan 16S rrna Emerita emeritus dengan primer forward dan reverse diedit dan dianalis untuk mendapatkan sekuen DNA dari kedua gen tersebut. Sebagai ingroup, sekuen gen COI dan 16S rrna E. emeritus disejajarkan antar contoh dan antar lokasi penelitian. Sebagai outgroup, sekuen gen COI E. emeritus disejajarkan dengan beberapa spesies lain dari ordo Decapoda dan infraordo Anomura, yaitu Panulirus stimsoni, P. ornatus, P. japonicas, P. cygnus, dan Lithodes nintokuae. Adapun untuk sekuen gen 16S rrna, sebagai outgroup disejajarkan dengan beberapa spesies lain dari famili Hippidae, meliputi E. analoga, E. brasiliensis, E. portoricensis, E. benedicti, E. talpoida, E. holthuisi, H. adactyla, dan H. pacifica. Sekuen gen COI dan 16S rrna spesies-spesies tersebut diunduh dari data GenBank. Pensejajaran sekuen COI E. emeritus pada outgroup dengan spesies lain dari ordo Decapoda dan infraordo Anomura, bukan dari famili Hippidae, dikarenakan pada data GenBank belum terdapat data basa nukleotida secara lengkap (complete genome) dari spesies-spesies yang berasal dari famili Hippidae. Demikian juga hingga tingkat superfamili, juga belum terdapat data spesies dari superfamili Hippoidea pada GenBank yang mempunyai complete genome. Oleh karena itu, sekuen COI E. emeritus disejajarkan dengan spesies yang berada pada infraordo

37 19 yang sama (Anomura) dan ordo yang sama (Decapoda) yang memiliki complete genome pada GenBank. Jarak Genetik. Jarak genetik sekuen gen COI Emerita emeritus dengan spesies lain dari ordo Decapoda dan jarak genetik sekuen gen 16S rrna E. emeritus dengan spesies lain dari famili Hippidae dihitung menggunakan metode Kimura 2 parameter yang terdapat pada program MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Hasil perhitungan jarak genetik disajikan dalam bentuk matriks data yang dapat digunakan untuk analisis hubungan kekerabatan antarspesies berdasarkan pohon filogeni. Analisis Filogeni. Analisis filogeni E. emeritus dikonstruksi antara gen COI E. emeritus dengan Panulirus stimsoni, P. ornatus, P. japonicas, P. cygnus, dan Lithodes nintokuae; dan antara gen 16S rrna E. emeritus pada penelitian ini dengan E. analoga, E. brasiliensis, E. portoricensis, E. benedicti, E. talpoida, E. holthuisi, H. adactyla, dan H. pacifica. Konstruksi pohon filogeni dibuat dengan menggunakan metode bootstrapped Neighbour-Joinning (NJ) dengan 1000 kali pengulangan yang terdapat pada program MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Amplifikasi DNA Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini, dari 20 contoh E. emeritus, terdapat delapan contoh gen COI dari E. emeritus yang berhasil teramplifikasi dengan baik, terdiri dari tiga contoh berasal dari pesisir Cilacap dan lima contoh dari pesisir Kebumen (Gambar 5). Sedangkan untuk gen 16S rrna, terdapat sepuluh contoh gen 16S rrna dari E. emeritus yang berhasil teramplifikasi dengan baik, terdiri dari lima contoh berasal dari pesisir Cilacap dan lima contoh dari pesisir Kebumen (Gambar 6). Keterangan: EK=Emerita emeritus Kebumen, EC= Emerita emeritus Cilacap Gambar 5. Visualisasi hasil amplifikasi gen COI Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen

38 20 Keterangan: EK=Emerita emeritus Kebumen, EC= Emerita emeritus Cilacap Gambar 6. Visualisasi hasil amplifikasi gen 16S rrna Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen Target gen COI pada E. emeritus di dalam penelitian ini diperkirakan berada pada situs 675 hingga yang mengacu pada gen COI spesies Anomura lainnya, yaitu Lithodes nintokuae (Gambar 7), sedangkan target gen 16S rrna diperkirakan berada pada situs 195 hingga 713 yang juga mengacu pada gen 16S rrna spesies L. nintokuae (Gambar 8). Spesies L. nintokuae merupakan spesies satu infraordo dengan E. emeritus, yaitu Anomura. Penggunaan L. nintokuae sebagai acuan dalam menentukan targen gen pada E. emeritus, baik berdasarkan gen COI maupun 16S rrna, dikarenakan pada GenBank tidak ditemukan data dengan complete genome berdasarkan gen COI dan 16S rrna pada spesies, genus, famili, dan superfamili yang sama dengan E. emeritus, namun hanya ditemukan pada tingkat infraordo Anomura yang mempunyai complete genome berdasarkan gen COI dan 16S rrna, yaitu spesies L. nintokuae. Oleh karena itu, L. nintokuae dijadikan sebagai acuan dalam menentukan target gen COI dan gen 16S rrna dari spesies E. emeritus. Gambar 7. Target gen COI Emerita emeritus berdasarkan gen COI Lithodes nintokuae

39 21 Gambar 8. Target gen 16S rrna Emerita emeritus berdasarkan gen 16S rrna Lithodes nintokuae Jarak genetik dan filogenetik Jarak genetik menggambarkan hubungan kekerabatan antarspesies. Jarak genetik fragmen gen COI antara Emerita emeritus dengan spesies lain dari ordo Decapoda dan infraordo Anomura berkisar antara dengan jarak genetik terendah terjadi antara E. emeritus Cilacap 2 dan 3, Kebumen 1 dan 3, dengan Lithodes nintokuae; dan jarak genetik tertinggi terjadi antara E. emeritus di seluruh lokasi kecuali E. emeritus Kebumen 4 dengan Panulirus stimsoni (NC ) (Tabel 4). Jarak genetik fragmen gen 16S rrna antara E. emeritus dengan spesies lain dari famili Hippidae berada pada kisaran dengan nilai genetik terendah terjadi antara E. emeritus Cilacap 3 dan 4, Kebumen 1-5, dengan E. emeritus dari India (AF246156); dan jarak genetik tertinggi terjadi antara E. emeritus Cilacap 3 dan 4, Kebumen 1-5, dengan Hippa adactyla (KF051307) (Tabel 5). Data-data dari matriks jarak genetik pada fragmen gen COI dan 16S rrna digunakan untuk analisis hubungan kekerabatan berdasarkan pohon filogeni. Pohon filogeni yang dikonstruksi berdasarkan gen COI dan gen 16S rrna ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

40 22 Tabel 4. Jarak genetik antara individu Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari ordo dekapoda bedasarkan gen COI Spesies (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (1) Emerita emeritus Cilacap 1 (2) Emerita emeritus Cilacap (3) Emerita emeritus Cilacap (4) Emerita emeritus Kebumen (5) Emerita emeritus Kebumen (6) Emerita emeritus Kebumen (7) Emerita emeritus Kebumen (8) Emerita emeritus Kebumen (9) Panulirus stimpsoni NC (10) Panulirus ornatus GQ (11) Panulirus ornatus HM (12) Panulirus japonicus NC (13) Panulirus cygnus NC (14) Lithodes nintokuae AB (15) Lithodes nintokuae NC

41 23 Tabel 5. Jarak genetik antara individu Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari famili Hippidae bedasarkan gen 16S rrna Spesies (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (1) Emerita emeritus Cilacap 1 (2) E. emeritus Cilacap (3) E. emeritus Cilacap (4) E. emeritus Cilacap (5) E. emeritus Cilacap (6) E. emeritus Kebumen (7) E. emeritus Kebumen (8) E. emeritus Kebumen (9) E. emeritus Kebumen (10) E. emeritus Kebumen (11) E. benedicti _AF (12) E. emeritus _AF (13) E. holthuisi _AF (14) E. analoga _L (15) E. analoga _L (16) E. benedicti_l (17) E. talpoida _L (18) E. talpoida _L (19) E. talpoida _L (20) E. brasiliensis _L (21) E. portoricensis _L (22) H. pacifica _AF (23) H. adactyla _KF

42 24 Gambar 9. Konstruksi pohon filogeni Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lain dari infraordo Anomura dan ordo Decapoda berdasarkan gen COI Gambar 10. Konstruksi pohon filogeni Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen serta spesies lainnya dari famili Hippidae berdasarkan gen 16S rrna

43 25 Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen COI di atas menunjukkan bahwa spesies Emerita emeritus terpisah nyata dari spesies sesama infraordo Anomura, yaitu Lithodes nintokuae dengan jarak genetik sebesar Konstruksi pohon filogeni di atas juga menunjukkan bahwa spesies E. emeritus terpisah nyata dari genus sesama ordo Decapoda, yaitu genus Panulirus, dengan nilai jarak genetik sebesar Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen 16S rrna di atas menunjukkan bahwa spesies E. emeritus terpisah nyata dari spesies sesama genus Emerita dengan nilai jarak genetik sebesar Konstruksi pohon filogeni di atas juga menunjukkan bahwa spesies E. emeritus terpisah nyata dari spesies sesama famili Hippidae, yaitu Hippa adactyla dan H. pacifica, dengan nilai jarak genetik sebesar Berdasarkan pohon filogeni tersebut juga terlihat bahwa secara ingroup, individu-individu Emerita emeritus memiliki hubungan yang sangat erat, terutama berdasarkan gen COI dengan jarak genetik intraspesies sangat kecil, yaitu kurang dari sama dengan ( 0.3%). Dalam proses konstruksi pohon filogeni E. emeritus dengan spesies lain dari famili Hippidae, infraordo Anomura, dan orde Decapoda, baik dengan gen COI maupun gen 16S rrna, dijumpai fenomena menarik pada populasi E. emeritus dari kedua lokasi penelitian. Berdasarkan kedua konstruksi pohon filogeni terlihat bahwa populasi E. emeritus Cilacap tidak terpisah secara nyata atau bercampur dengan populasi E. emeritus Kebumen. Bahkan pada konstruksi pohon filogeni E. emeritus berdasarkan gen COI terlihat populasi E. emeritus dari Cilacap dan Kebumen bercampur dalam nodus yang sama (kelompok Emerita pada Gambar 9). Pada konstruksi pohon filogeni E. emeritus berdasarkan gen 16S rrna juga terlihat ada dua contoh E. emeritus dari Cilacap (Cilacap 3, 4) yang bercampur dengan E. emeritus Kebumen dalam satu nodus (kelompok Emerita nodus paling atas pada Gambar 10). Hasil analisis filogeni dengan gen 16S rrna tersebut makin memperkuat dugaan bahwa populasi E. emeritus Cilacap dan Kebumen merupakan satu populasi dan terdapat konektivitas genetik yang kuat dari E. emeritus kedua lokasi, yang diperkuat dengan fakta bahwa secara spasial kedua lokasi tersebut berdekatan. Fenomena spesies E. emeritus tersebut juga terjadi spesies dari famili Hippidae lainnya, yaitu Hippa adactyla, yang ditemukan di Cilacap dan Kebumen. Muzammil et al. (2015) melaporkan bahwa tidak ada jarak genetik antara undurundur laut H. adactyla asal Cilacap dan Kebumen berdasarkan gen 16S rrna. Setelah dilakukan analisis filogeni dengan menggunakan metode bootsrapped Neighbour Joining Tree dengan 1000 kali pengulangan didapatkan konstruksi filogeni H. adactyla asal Cilacap dan Kebumen memiliki nilai bootstrap 100. Hal tersebut menunjukkan bahwa cabang filogeni antar populasi H. adactyla asal Cilacap dan Kebumen memiliki kekerabatan dan menunjukkan konstruksi filogeni yang tidak berubah meskipun telah diulang sebanyak 1000 kali. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa antara H. adactyla asal Cilacap dan Kebumen diperkirakan merupakan satu populasi. Jarak genetik intra- dan interpopulasi Berdasarkan gen COI, diketahui jarak genetik intrapopulasi Emerita emeritus yang berasal dari pesisir Cilacap adalah , sedangkan jarak

44 26 intrapopulasi untuk E. emeritus yang berasal dari pesisir Kebumen adalah Jarak interpopulasi antara E emeritus yang berasal dari Cilacap dan Kebumen adalah Berdasarkan gen 16S rrna diketahui jarak genetik intrapopulasi E. emeritus yang berasal dari pesisir Cilacap adalah dan yang berasal dari pesisir Kebumen adalah 0. Jarak interpopulasi antara E emeritus yang berasal dari Cilacap dan Kebumen adalah Hasil perhitungan jarak genetik intra- dan interpopulasi ini makin memperkuat dugaan bahwa populasi E. emeritus Cilacap dan Kebumen adalah bercampur atau satu populasi. Urutan basa nukleotida Urutan basa nukleotida gen COI dan 16S rrna pada E. emeritus tidak didapatkan situs spesifik yang menjadi penciri bagi masing-masing populasi. Hasil ini juga memperkuat dugaan bahwa populasi E. emeritus dari Cilacap dan Kebumen adalah satu populasi. Hal tersebut dikarenakan tidak ada basa nukleotida pada individu-individu setiap populasi yang menjadi penciri khusus yang dapat menjadi pembeda yang jelas di antara individu undur-undur laut kedua lokasi penelitian. Berdasarkan urutan basa nukleotida gen COI yang didapatkan diketahui bahwa tidak terdapat situs spesifik yang menjadi penciri bagi masing-masing populasi. Demikian juga berdasarkan urutan basa nukleotida gen 16S rrna yang didapatkan juga tidak terdapat situs spesifik yang menjadi penciri bagi masingmasing populasi. Hasil ini semakin memperkuat dugaan di atas bahwa undur-undur laut E. emeritus yang berasal dari Cilacap dan Kebumen kemungkinan adalah satu populasi. Hal tersebut dikarenakan tidak ada basa nukleotida pada individuindividu setiap populasi yang menjadi penciri khusus yang dapat menjadi pembeda yang jelas diantara individu undur-undur laut dari kedua lokasi penelitian. Berdasarkan hasil pensejajaran basa nukleotida juga diketahui adanya situs variabel, yaitu dua situs variabel pada urutan nukleotida gen COI dari kedua lokasi penelitian, yaitu perubahan situs nukleotida C menjadi T dan perubahan situs nukleotida G menjadi A; dan 13 situs variabel pada urutan nukleotida gen 16S rrna dari kedua populasi penelitian. Kedua perubahan nukleotida ini termasuk ke dalam mutasi transisi, yaitu suatu pergantian basa purin dengan basa purin lain (dalam hal ini basa nukleotida G menjadi A) atau pergantian basa pirimidin dengan basa pirimidin lain (dalam hal ini basa nukleotida C menjadi T). Secara rinci situs variabel ini ditunjukkan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6. Situs variabel gen COI pada Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen Kode Contoh Situs nukleotida ke- Emerita emeritus Cilacap 1 C G Cilacap 2 C A Cilacap 3 C A Kebumen 1 C A Kebumen 2 C G Kebumen 3 C A Kebumen 4 T A Kebumen 5 C G

45 27 Tabel 7. Situs variabel gen 16S rrna pada Emerita emeritus yang berasal dari pantai Cilacap dan pantai Kebumen Situs Nukleotida ke- Emerita emeritus Cilacap 1 C T T T G C T T T T C C A Cilacap 2 C T T T G C T T T T C C A Cilacap 3 T C C C A T A C C C T T G Cilacap 4 T C C C A T A C C C T T G Cilacap 5 C T T T G C T T T T C C A Kebumen 1 T C C C A T A C C C T T G Kebumen 2 T C C C A T A C C C T T G Kebumen 3 T C C C A T A C C C T T G Kebumen 4 T C C C A T A C C C T T G Kebumen 5 T C C C A T A C C C T T G Kode Contoh Kepastian taksonomi (taxonomy certainty) sangat diperlukan dalam menentukan pengelolaan suatu sumber daya. Suatu spesies yang memiliki taksonomi secara morfologi yang sudah jelas, perlu dilakukan identifikasi secara molekuler guna mengetahui urutan basa nukleotida. Identifikasi molekuler dengan menggunakan sekuen gen COI dan gen 16S rrna menyimpulkan bahwa 18 contoh undur-undur laut yang secara morfologi diidentifikasi sebagai E. emeritus adalah benar dan valid sebagai spesies E. emeritus berdasarkan pengunggahan pada BLASTn (Basic Local Alignment Search Tool-nucleotide) pada situs NCBI (National Center for Biotechnology Information). Delapan contoh yang divalidasi dengan gen COI memiliki tingkat kemiripan sebesar 96% dan sepuluh contoh yang divalidasi dengan gen 16S rrna mempunyai tingkat kemiripan sebesar 99% dengan data Emerita emeritus yang terdapat pada GenBank. Validasi jenis biota dengan gen COI dianggap valid seharusnya didapatkan tingkat kemiripan lebih atau sama dengan 97%, namun pada penelitian ini tingkat kemiripan contoh E. emeritus dengan data GenBank hanya 96%. Pada kasus penelitian ini, kondisi tersebut disebabkan karena pasangan basa nukleotida gen COI pada contoh E. emeritus berbeda dengan yang tersedia di GenBank. Pada penelitian ini, pasangan basa nukleotida gen COI contoh E. emeritus berasal dari bagian tengah hingga belakang, sedangkan data pasangan basa nukleotida gen COI E. emeritus yang tersedia di GenBank berasal dari bagian tengah agak ke belakang hingga bagian belakang. Kondisi ini mengakibatkan tidak semua pasangan basa nukleotida gen COI contoh E. emeritus bisa disejajarkan dengan pasangan basa nukleotida gen COI E. emeritus yang tersedia di GenBank, sehingga tingkat kemiripannya hanya sampai 96%. Simpulan Contoh undur-undur laut yang digunakan pada penelitian ini, yang secara morfologi diidentifikasi sebagai spesies Emerita emeritus telah berhasil divalidasi secara molekuler berdasarkan gen COI dengan tingkat akurasi 96% dan gen 16S rrna dengan tingkat akurasi 99% sebagai spesies E. emeritus. Secara populasi, populasi E. emeritus dari Cilacap dan Kebumen berdasarkan gen COI dan gen 16S rrna diduga satu populasi atau populasinya bercampur.

46 28 5 DINAMIKA POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE DARI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan Undur-undur laut merupakan sumber daya perikanan bernilai ekonomi yang hidup pada substrat berpasir di daerah intertidal. Undur-undur laut diketahui dapat dijumpai di beberapa wilayah pantai berpasir Indonesia, di antaranya pantai selatan Jawa, Bengkulu, Maluku, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (Boyko 2002; Boyko & Harvey 1999; Mashar et al. 2014, Wardiatno et al ab ). Wilayah pesisir Kabupaten Cilacap dan Kebumen diketahui sebagai bagian wilayah penyebaran undur-undur laut di pesisir selatan Jawa (Mashar & Wardiatno 2013 ab ; Mashar et al. 2014). Undur-undur laut famili Hippidae yang ditemukan di pesisir Cilacap dan Kebumen terdiri dari 2 spesies, yaitu Emerita emeritus dan Hippa adactyla (Mashar et al. 2014; Wardiatno et al. 2015b). Aktivitas penangkapan undur-undur laut di kedua wilayah tersebut sudah cukup intensif oleh nelayan setempat, baik untuk kebutuhan konsumsi sendiri maupun diperjualbelikan. Ini menunjukkan bahwa undur-undur laut di pesisir selatan Jawa Tengah memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Di antara wilayah-wilayah sebaran undurundur laut di Indonesia, pemanfaatan undur-undur laut untuk kepentingan ekonomi hanya dilakukan di wilayah pesisir selatan Jawa Tengah, terutama di Kabupaten Cilacap dan Kebumen, dengan pemasaran hingga wilayah selatan Yogyakarta. Pemanfaatan undur-undur laut di pesisir Kabupaten Cilacap dan Kebumen dari tahun ke tahun makin meningkat, yang ditandai dengan makin banyak jumlah nelayan penangkap undur-undur laut (Mashar et al. 2014). Selain itu, pemanfaatan undur-undur laut juga terjadi secara alami oleh burung-burung pantai, sebagaimana sering dijumpai selama penelitian. Burung pantai dan burung laut, seperti Anas platyrhynchos, Melanitta perspicillata, Branta bernicla nigricans, dan Corvus corax, diketahui sebagai pemangsa-pemangsa utama undur-undur laut (Hendricks & Hendricks 2011; Lafferty et al. 2013). Apabila aktivitas penangkapan undurundur laut tersebut tidak terkontrol, dapat memberikan tekanan makin tinggi pada populasi undur-undur laut. Akibat selanjutnya, populasi undur-undur laut dapat menurun, sehingga mengancam keberadaan undur-undur laut di alam dan berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pemanfaat undurundur laut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya undur-undur laut perlu diatur dan dikelola dengan baik agar optimal pemanfaatannya dengan memperhatikan parameter-parameter populasi undur-undur laut. Dengan demikian, perlu dikaji parameter-parameter populasi undur-undur laut, meliputi pola pertumbuhan, pola rekrutmen, dan estimasi lama masa hidup (life span), sebagai dasar pengelolaan undur-undur laut secara optimal dan berkelanjutan. Bahan dan Metode Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah undur-undur laut jenis E. emeritus dan H. adactyla. Bahan dan alat pendukung lainnya yang digunakan adalah alkohol 96% sebagai pengawet undur-undur laut, benang dan

47 29 penggaris untuk mengukur panjang karapas dan panjang total undur-undur laut, dan timbangan digital untuk menimbang bobot undur-undur laut. Undur-undur laut contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah undurundur laut yang diambil di pantai Cilacap dan Kebumen, sama dengan undur-undur laut yang digunakan pada penelitian Bab 2. Seluruh undur-undur laut contoh tersebut diukur panjang total dan panjang karapas, serta ditimbang bobotnya (bobot basah). Data panjang dan bobot tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalis pola pertumbuhan undur-undur laut. Hubungan panjang karapas dan bobot. Analisis hubungan panjang dan bobot untuk menentukan pola pertumbuhan undur-undur laut menggunakan hubungan W = L, W adalah bobot tubuh undur-undur laut (gram); L adalah panjang karapas undur-undur laut (mm), dan adalah konstanta. Pola pertumbuhan disebut isometrik jika hipotesis H0: =3 tidak dapat ditolak, dan disebut alometrik jika H1: 3 berhasil diterima melalui uji t-student (Walpole 1992). Pertumbuhan mengikuti pola isometrik berarti pola pertambahan bobot sebanding dengan pola pertambahan panjangnya. Pola pertumbuhan alometrik berarti pola pertambahan bobot lebih dominan dibanding pola pertambahan panjangnya (alometrik positif) dan sebaliknya pola pertambahan panjang lebih dominan dibanding pola pertambahan bobotnya (alometrik negatif). Pendugaan koefisien pertumbuhan menggunakan pendekatan regresi linear sederhana, sedemikian sehingga log W = log + log L. Perbandingan nilai antara undurundur laut jantan dan betina menggunakan uji t untuk 2 regresi yang berbeda (Steel & Torrie 1960). Sebaran ukuran panjang dan pola rekrutmen. Grafik histogram dibangun untuk melihat sebaran ukuran panjang karapas undur-undur laut di Cilacap dan Kebumen. Selain itu, pola rekrutmen masing-masing spesies undurundur laut juga dianalisis dengan menggunakan bantuan software FISAT II untuk mengetahui waktu puncak rekrutmen dalam kurun waktu satu tahun. Pendugaan parameter pertumbuhan. Parameter pertumbuhan, seperti L dan K, didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analysis) yang terdapat dalam program FISAT II. Umur teoritis undur-undur laut pada saat panjang sama dengan nol (t0) diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984), yaitu Log (-t0) = (Log L ) (Log K). Parameter-parameter pertumbuhan tersebut digunakan untuk membentuk persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, yaitu Lt = L (1-e [-K(t-t 0 )] ), Lt adalah panjang karapas undur-undur laut pada saat umur t (mm), L adalah panjang maksimum undur-undur laut secara teoritis (panjang asimtotik) (mm), K adalah koefisien pertumbuhan undur-undur laut (per tahun); t0 adalah umur teoritis undur-undur laut pada saat panjang sama dengan nol. Nilai K dan t0 juga digunakan sebagai dasar untuk menduga umur harapan atau lifespan undurundur laut, dengan rumus: Lifespan = t0 + (2.996/K) (Taylor 1958 in Pauly 1984).

48 30 Hubungan panjang dan bobot Hasil dan Pembahasan Hasil analisis hubungan panjang dan bobot undur-undur laut contoh secara ringkas disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9 serta Gambar 11 hingga Gambar 14. Tabel 8. Hubungan panjang dan bobot undur-undur laut dari pantai Cilacap Jenis Emerita emeritus Hippa adactyla Jenis Kelamin n (ekor) Persamaan Hubungan Panjang-Bobot Jantan W = 0.029L R 2 =0.750 Jantan W = 0.002L R 2 =0.906 Betina W = 0.022L R 2 =0.776 Betina W = 0.003L R 2 =0.868 Jantan W = 0.011L R 2 =0.850 Jantan 2 99 W = 0.001L 2.43 R 2 =0.857 Betina W = 0.005L R 2 =0.806 Betina W = 6E-05L R 2 =0.862 Pola Pertumbuhan (Setelah Dilakukan Uji t dan α=0.05) Alometrik Negatif Alometrik Negatif Alometrik Positif Tabel 9. Hubungan panjang dan bobot undur-undur laut dari pantai Kebumen Jenis Emerita emeritus Hippa adactyla Jenis Kelamin n (ekor) Persamaan Hubungan Panjang-Bobot Jantan 1 55 W = 0.001L R 2 =0.766 Jantan 2 20 W = 0.154L R 2 =0.873 Betina W = 0.001L R 2 =0.832 Betina W = 0.160L R 2 =0.782 Jantan W = 0.001L 2.49 R 2 =0.870 Jantan 2 31 W = 0.068L R 2 =0.908 Betina W = 0.001L R 2 =0.929 Betina 2 35 W = 0.015L R 2 =0.898 Pola Pertumbuhan (Setelah Dilakukan Uji t dan α=0.05) Alometrik Negatif Alometrik Negatif

49 Gambar 11. Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Emerita emeritus jantan dan betina di pantai Cilacap (W=weight=bobot; L=length=panjang karapas) 31

50 32 Gambar 12. Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Emerita emeritus jantan dan betina di pantai Kebumen (W=weight=bobot; L=length=panjang karapas)

51 Gambar 13. Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Hippa adactyla jantan dan betina di pantai Cilacap (W=weight=bobot; L=length=panjang karapas) 33

52 34 Gambar 14. Hubungan panjang karapas dan bobot undur-undur laut Hippa adactyla jantan dan betina di pantai Kebumen (W=weight=bobot; L=length=panjang karapas) Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 serta Gambar diketahui bahwa pada masing-masing jenis kelamin dari kedua spesies undur-undur laut di kedua lokasi penelitian, terlihat seperti terdapat dua kelompok populasi (subpopulasi) yang berbeda atau terpisah dengan nilai koefisien determinan (R 2 ) masing-masing cukup tinggi, yaitu lebih dari 75%. Setelah dilakukan uji t untuk 2 regresi yang berbeda pada masing-masing kelompok jenis kelamin pada setiap spesies didapatkan hasil bahwa nilai 1 dan 2 berbeda nyata (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa antara kelompok 1 dan kelompok 2 pada masing-masing jenis kelamin pada setiap spesies adalah dua kelompok yang berbeda atau terpisah sehingga mumunculkan dugaan

53 35 bahwa paling tidak terdapat dua kelompok atau subpopulasi pada masing-masing spesies, baik di pantai Cilacap maupun pantai Kebumen. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot undur-undur laut secara umum menunjukkan bahwa pola pertumbuhan undur-undur laut, baik jantan maupun betina, baik pada Emerita emeritus maupun Hippa adactyla, bersifat alometrik negatif ( <3). Ini berarti pola pertambahan panjang undur-undur laut di pantai Cilacap dan pantai Kebumen lebih dominan dibanding pola pertambahan bobotnya. Pola pertumbuhan bersifat alometrik positif hanya didapatkan pada H. adactyla betina kelompok 2 di pantai Cilacap, artinya pola pertambahan bobot lebih dominan dibanding pola pertambahan panjang. Kondisi ini secara umum sesuai dengan kondisi morfologi kedua jenis undur-undur laut famili Hippidae tersebut yang mempunyai bentuk silindiris, dimana pertumbuhannya cenderung memanjang. Setelah dilakukan uji t pada nilai individu jantan dan betina pada masing-masing spesies didapatkan hasil bahwa nilai berbeda nyata (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan undur-undur laut jantan berbeda dengan pola pertumbuhan undur-undur laut betina. Pola pertumbuhan E. emeritus dan H. adactyla yang sama dengan lokasi penelitian dijumpai di pantai Bengkulu, yaitu alometrik negatif (Edritanti et al. 2016). Pada krustase jenis lain, seperti lobster batu hijau (Panulirus homarus) di perairan Cilacap (Bakhtiar et al. 2013) dan udang mantis Harpiosquilla raphidea di perairan Tanjung Jabung Barat, Jambi (Wardiatno & Mashar 2011) juga mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif. Pola pertumbuhan undur-undur laut yang berbeda dijumpai pada undur-undur laut E. portoricensis (Sastre 1991), E. brasiliensis (Delgado & Defeo 2006), dan E. rathbunae (Ríos-Elósegui & Hendrickx 2015) yang mempunyai pola pertumbuhan isometrik, artinya pola pertambahan panjang sebanding dengan pola pertambahan bobot tubuh. Pada rajungan atau blue swimming crab (Portunus pelagicus) dan P. sanguinolentus di pesisir Mandapam, India, juga mempunyai pola pertumbuhan isometrik (Sukumaran & Neelakantan 1997 in Josileen 2011; Josileen 2011). Fenomena-fenomena yang terjadi pada pola pertumbuhan undur-undur laut dan krustase sebagaimana dijelaskan di atas, baik adanya perbedaan maupun persamaan, tidak hanya terjadi karena perbedaan kelamin dan perbedaan spesies, namun juga dipengaruhi faktor internal lain, seperti perbedaan tingkat kematangan gonad dan kebiasaan makan (Qasim 1973 dan Bal & Rao 1984 in Saha et al. 2009). Selain faktor internal, faktor eksternal juga mempengaruhi pola pertumbuhan undur-undur laut dan krustase secara umum, seperti suhu, salinitas, ketersediaan sumber makanan, dan musim (Atar & Secer 2003). Saha et al. (2009) pada penelitiannya menemukan perbedaan pertumbuhan antara jantan dan betina pada kelompok lobster (Thenus orientalis) ukuran muda di sepanjang pesisir timur India, dengan nilai betina sedikit lebih tinggi dari jantan. Pada kepiting air tawar atau blue crab (Callinectes sapidus) di danau Beymelek Lagoon, Antalya, Turki, Atar dan Seccer (2003) tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam pertumbuhan antara jantan dan betina kepiting tersebut (P <0.01). Pada jantan dan betina Portunus pelagicus dan P. sanguinolentus menunjukkan perbedaan pertumbuhan yang signifikan (Sukumaran & Neelakantan 1997 in Josileen 2011; Josileen 2011).

54 36 Pola pertumbuhan biota perairan yang bersifat alometrik negatif juga dapat disebabkan oleh tangkap lebih, kompetisi, dan potensial trofik. Pada undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla di lokasi penelitian, pola pertumbuhan undur-undur laut yang bersifat alometrik negatif lebih disebabkan oleh tingkat kompetisi, terutama kompetisi antar populasi undur-undur laut. Undur-undur laut E. emeritus dan H. adactyla di alam berada pada habitat yang sama, yaitu swash zone pada pantai atau daerah intertidal, sehingga kedua jenis undur-undur laut tersebut mempunyai peluang tertangkap yang sama ketika dilakukan sampling. Lokasi penelitian undur-undur laut ini juga banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan/krustasea lain. Hal tersebut terbukti di tempat lokasi penelitian juga terkadang didapatkan krustase dan ikan pada habitat yang sama dengan undur-undur laut dan dijumpai juga masyarakat yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring pantai (beach net) oleh masyarakat setempat. Sebaran ukuran panjang karapas Kisaran ukuran panjang karapas undur-undur laut yang didapatkan selama penelitian disajikan pada Tabel 10. Adapun sebaran ukuran panjang karapas E. emeritus dan H. adactyla disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16. Tabel 10. Kisaran ukuran panjang karapas undur-undur laut hasil penelitian di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Lokasi Penelitian Pantai Cilacap Pantai Kebumen Jenis Undur-undur Laut Emerita emeritus Hippa adactyla Emerita emeritus Hippa adactyla Jenis Kelamin Panjang Karapas (mm) Minimal Maksimal Jantan 9 51 Betina 8 63 Jantan Betina Jantan Betina 9 49 Jantan Betina Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa kisaran ukuran panjang karapas undur-undur laut yang didapatkan selama penelitian adalah 8-63 mm untuk E. emeritus dari pantai Bunton, Cilacap, 9-49 mm untuk E. emeritus dari pantai Kebumen, mm untuk H. adactyla dari pantai Cilacap, dan mm untuk H. adactyla dari pantai Kebumen. Secara umum, undur-undur laut yang ditemukan di pantai Cilacap mempunyai ukuran panjang karapas maksimal yang lebih besar dari yang ditemukan di pantai Kebumen, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla. Berdasarkan jenis kelamin, undur-undur laut betina dari pantai Cilacap, baik E. emeritus maupun H. adactyla, mempunyai panjang karapas maksimum lebih besar dari jantan, sedangkan di pantai Kebumen, panjang maksimum undurundur laut jantan lebih besar dari betina pada jenis H. adactyla. Kondisi yang sama dengan pantai Cilacap juga ditemukan di pantai Bengkulu, yang mana undur-undur

55 37 laut betina mempunyai panjang karapas maksimal yang lebih besar dari jantan, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla (Edritanti et al. 2016). Ukuran panjang karapas maksimum undur-undur laut di lokasi penelitian ini masih lebih besar dari panjang karapas maksimum undur-undur laut yang di lokasi lain, di antaranya di pantai barat Thailand 30 mm untuk Emerita emeritus (Boonruang & Phasuk 1975) dan pantai Bengkulu 42 mm untuk E. emeritus dan 39 mm untuk Hippa adactyla (Edritanti et al. 2016). Adapun untuk wilayah subtropis, tidak didapatkan informasi penelitian tentang aspek dinamika populasi E. emeritus di wilayah subtropis, namun ditemukan informasi pada genus Emerita. Secara umum, panjang karapas maksimum undur-undur laut genus Emerita di wilayah tropis lebih besar dari wilayah subtropis, di antaranya dengan E. brasiliensis yang mempunyai panjang karapas maksimum 23 mm di pantai Fora, Brasil (Veloso & Cardoso 1999) dan 24 mm di pantai Prainha, Brasil (Petracco et al. 2003); E. analoga dari pantai selatan California mempunyai panjang karapas maksimum hanya 21.9 mm (Dugan & Hubbard 1996); E. portoricensis dari Puerto Rico mempunyai panjang karapas maksimum hanya 19 mm (Sastre 1991); dan E. rathbunae yang ditemukan di Teluk Mazatlan, Meksiko, mempunyai panjang karapas maksimum 37.4 mm (Ríos-Elósegui & Hendrickx 2015).

56 38 Gambar 15. Sebaran ukuran panjang karapas dan plot von Bertalanffy Emerita emeritus di pantai Cilacap dan pantai Kebumen

57 Gambar 16. Sebaran ukuran panjang karapas dan plot von Bertalanffy Hippa adactyla di pantai Cilacap dan pantai Kebumen 39

58 40 Berdasarkan Gambar 15 dan 16 secara umum dapat diketahui bahwa undurundur laut yang didapatkan pada di kedua lokasi penelitian ini didominasi oleh undur-undur laut dengan ukuran panjang karapas antara mm, baik pada Emerita emeritus maupun Hippa adactyla, baik jantan maupun betina. Undurundur laut yang berumur muda atau berukuran kecil kurang dari 9 mm dan undurundur laut berumur tua (mendekati lifespan) hanya sedikit dijumpai di kedua lokasi penelitian. Sedikitnya undur-undur laut berumur muda kemungkinan besar dikarenakan kelemahan dari alat bantu sorok untuk mendetaksi undur-undur laut ukuran kecil, sedangkan hanya sedikit dijumpai undur-undur laut berumur tua, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla, dikarenakan faktor alami. Undur-undur laut yang berumur tua pada habitat alaminya lebih banyak menempati daerah pantai yang lebih ke bawah ke arah laut. Boonruang dan Phasuk (1975) menyatakan bahwa undur-undur laut ketika mencapai panjang maksimum, cenderung akan berpindah tempat ke daerah pantai bagian bawah. Selain itu, faktor mortalitas, terutama mortalitas alami, juga mempengaruhi rendahnya populasi undur-undur laut yang berumur tua. Berdasarkan Gambar 15 dan 16 juga terlihat adanya pertumbuhan populasi yang berbeda-beda antar lokasi penelitian dan antar jenis kelamin, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla. Pada Gambar 15 terlihat pertumbuhan populasi E. emeritus di pantai Cilacap dan Kebumen relatif sama, namun terdapat perbedaan pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin. Pada E. emeritus jantan terlihat terdapat pertumbuhan populasi 4-5 generasi per tahun, sedangkan pada betina 2-3 generasi per tahun. Kondisi yang berbeda dijumpai pada pertumbuhan populasi H. adactyla. Pada Gambar 16 terlihat terdapat pertumbuhan populasi H. adactyla 2-3 generasi per tahun di pantai Cilacap dan 3-4 generasi per tahun di pantai Kebumen. Adapun berdasarkan jenis kelamin, terlihat terdapat pertumbuhan populasi H. adactyla jantan 2-3 generasi per tahun, sedangkan pada betina 3-4 generasi per tahun. Adanya perbedaan pertumbuhan undur-undur laut tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor lingkungan, terutama kondisi suhu perairan pantai (Veloso & Cardoso 1999; Defeo & Cardoso 2002) dan salinitas (Lercari & Defeo 1999); ketersediaan sumber makanan (Dugan et al. 1994); kepadatan populasi (Lercari & Defeo 1999; Defeo et al. 2001; Mashar et al. 2014); pencemaran (Wenner 1988); dan pemangsaan (Defeo et al. 2001). Pada kasus penelitian ini, pertumbuhan populasi undur-undur laut di pantai Cilacap lebih tinggi dari pantai Kebumen. Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh faktor ketersediaan sumber makanan, kepadatan populasi, dan pencemaran. Dari sisi ketersediaan sumber makanan, pantai Bunton, Cilacap memiliki potensi ketersediaan sumber makanan alami, yaitu plankton, lebih tinggi dari pantai Bocor, Kebumen, dikarenakan lokasi pantai Bunton, Cilacap dekat dengan muara Sungai Serayu. Sungai Serayu adalah sungai besar yang membawa banyak unsur hara dari daerah hulu ke muara sungai di pesisir pantai Cilacap. Unsur hara tersebut merupakan makanan bagi plankton, sehingga semakin tinggi unsur hara suatu perairan pantai, perairan akan semakin subur, populasi plankton akan melimpah, sehingga banyak sumber makanan bagi biota perairan pemakan plankton, termasuk undur-undur laut. Dampak selanjutnya, kepadatan populasi undur-undur laut di pantai Bunton, Cilacap juga akan tinggi. Adapun dari sisi pencemaran, potensi

59 41 pencemaran perairan di pantai Bocor, Kebumen lebih tinggi dari pantai Bunton, Cilacap. Hal tersebut dikarenakan pantai Bocor, Kebumen, merupakan daerah wisata bahari yang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Potensi pencemaran dapat terjadi dari aktivitas membuang limbah padat langsung ke perairan pantai dan dari aktivitas kamar mandi di pantai yang menghasilkan limbah cair yang ujungnya dibuang juga ke perairan pantai. Selain karena meningkatkan potensi pencemaran, aktivitas wisata bahari yang intensif di pantai Bocor, Kebumen, juga memberikan tekanan langsung yang makin tinggi pada habitat undur-undur laut. Kondisi ini mengakibatkan populasi undur-undur laut di pantai Bocor, Kebumen makin berkurang, karena harus mencari habitat baru yang kondisinya tidak tercemar dan kondusif untuk tumbuh secara optimal. Berdasarkan Gambar 15 dan 16 tersebut di atas juga terlihat ada aktivitas rekrutmen kedua jenis undur-undur laut di masing-masing lokasi penelitian, baik jantan maupun betina. Untuk lebih jelas tentang potensi rekrutmen undur-undur laut famili Hippidae di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18. Gambar 17. Pola rekrutmen undur-undur laut Emerita emeritus di pantai Cilacap dan pantai Kebumen

60 42 Gambar 18. Pola rekrutmen undur-undur laut Hippa adactyla di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Berdasarkan Gambar 17 dan 18 diketahui bahwa aktivitas rekrutmen undurundur laut di pantai Cilacap dan Kebumen terjadi setiap bulan sepanjang tahun, baik pada Emerita emeritus maupun Hippa adactyla. Rekrutmen undur-undur laut bulanan besarannya fluktuatif, dengan tingkat rekrutmen bulanan tertinggi berada antara 20-30%, namun sebagian besar sekitar 20%. Dalam periode tahunan, terjadi dua kali puncak rekrutmen pada kedua spesies undur-undur laut famili Hippidae, baik di pantai Cilacap maupun Kebumen, namun dengan waktu puncak rekrutmen yang berbeda antar spesies. Pada Gambar 17 terlihat bahwa puncak rekrutmen pada E. emeritus terjadi pada waktu yang sama, baik pada jantan maupun betina, baik di pantai Cilacap maupun Kebumen, yaitu antara April-Mei dan Agustus-September. Pada Gambar 18 juga terlihat bahwa puncak rekrutmen pada H. adactyla secara umum terjadi pada waktu yang sama, baik pada jantan maupun betina, yaitu antara April-Mei dan September-Oktober, kecuali pada puncak rekrutmen kedua H. adactyla jantan di Cilacap yang terjadi antara Agustus-September. Berdasarkan keterangan di atas menunjukkan bahwa tingkat rekrutmen undur-undur laut bulanan besarannya fluktuatif atau berbeda-beda antar spesies, jenis kelamin, dan antar lokasi. Namun berkaitan dengan puncak rekrutmen terdapat indikasi terjadi pada periode April-Mei dan Agustus-Oktober pada kedua jenis undur-undur laut famili Hippidae, baik di pantai Cilacap maupun di pantai Kebumen. Pendugaan parameter pertumbuhan Berdasarkan analisis yang dilakukan melalui metode ELEFAN 1 diketahui panjang asimptotik (L ), koefisien pertumbuhan (K), dan umur saat panjang 0 mm

61 43 (t0) undur-undur laut di setiap lokasi penelitian yang secara lengkap disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Parameter pertumbuhan dan lifespan undur-undur laut famili Hippidae di pantai Cilacap dan pantai Kebumen Lokasi Penelitian Pantai Cilacap Pantai Kebumen Unduundur Laut Famili Hippidae Emerita emeritus Hippa adactyla Emerita emeritus Hippa adactyla Jenis Kelamin L (mm) Parameter Pertumbuhan K (per tahun) t0 Lifespan (tahun) Jantan (0.14) 2.98 Betina (55.13) 2.30 (0.86) (0.05) 1.25 Jantan (0.04) 0.99 Betina (0.10) 2.39 Jantan (0.20) 4.20 Betina (0.06) 1.36 Jantan (0.12) 2.60 Betina (0.10) 2.04 Berdasarkan hasil pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa di pantai Cilacap, nilai panjang maksimum dugaan undur-undur laut (L ) pada betina lebih tinggi dari undur-undur laut jantan, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla. Koefisien pertumbuhan (K) E. emeritus betina lebih tinggi dari jantan, sedangkan pada H. adactyla K jantan lebih tinggi dari betina. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan ini diketahui bahwa pertumbuhan E. emeritus betina lebih cepat dari jantan, sedangkan pada Hippa adactyla pertumbuhan jantan lebih cepat dari betina. Kondisi yang berbeda dijumpai di pantai Kebumen, dimana pertumbuhan betina lebih cepat dari jantan yang ditandai dengan nilai K yang lebih tinggi pada betina daripada jantan, baik pada Emerita emeritus maupun H. adactyla. Kondisi yang relatif sama dijumpai pada undur-undur laut di wilayah tropis lainnya, yaitu di pantai Bengkulu. Berdasarkan hasil penelitian Edritanti et al. (2016) diketahui bahwa pertumbuhan undur-undur laut H. adactyla betina lebih tinggi dari jantan dengan nilai K 1.3 per tahun pada betina dan 1.2 per tahun pada jantan. Namun pada E. emeritus, pertumbuhan jantan lebih tinggi dari betina dengan nilai K 1.6 pada jantan dan 0.99 pada betina. Adapun untuk nilai L, secara umum panjang asimtotik (L ) undur-undur laut pada spesies yang sama di pantai Cilacap dan Kebumen masih lebih tinggi dibanding pantai Bengkulu (Edritanti et al. 2016). Perbedaan tingkat pertumbuhan pada undur-undur laut tersebut sebenarnya umum terjadi. Undur-undur laut betina biasanya tumbuh lebih cepat dari undurundur laut jantan (Efford 1967 dan Osorio et al in Sastre 1991). Auyong (1981 in Sastre 1991) dan Sastre (1991) juga melaporkan bahwa pertumbuhan betina Emerita analoga dan E. portoricensis lebih tinggi dari pertumbuhan jantannya. Namun hasil yang didapatkan dari penelitian ini tidak selalu

62 44 menunjukkan kondisi tersebut, sebagaimana hasil yang didapatkan di pantai Cilacap dan Bengkulu. Perbedaan tingkat pertumbuhan undur-undur laut tersebut diduga karena adanya perbedaan spesies dan ukuran tubuh yang keduanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pauly (1994 in Welcomme 2001) bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan biota perairan dapat disebabkan oleh faktor internal, di antaranya faktor genetik yang secara langsung membatasi umur maksimum dan ukuran tubuh biota tersebut. Perbedaan iklim juga diduga berpengaruh pada tingkat pertumbuhan undur-undur laut antara jantan dan betina. Pada wilayah subtropis, secara umum pertumbuhan undur-undur laut betina lebih cepat dari jantan, contohnya pada E. analoga dan E. portoricensis (Sastre 1991). Pertumbuhan betina lebih cepat dari jantan di wilayah subtropis diduga karena perbedaan iklim, yaitu adanya musim dingin di wilayah subtropis. Di wilayah subtropis, aktivitas pertumbuhan dan reproduksi dibatasi oleh musim dingin, dimana pada musim dingin energi undur-undur laut dan biota akuatik lainnya lebih dominan digunakan untuk bertahan atau beradaptasi dengan musim dingin, padahal undur-undur laut tetap harus tumbuh dan bereproduksi. Oleh karena itu, ketika musim dingin berlalu, undur-undur laut akan memacu pertumbuhannya untuk pertumbuhan. Namun, karena betina juga harus melakukan reproduksi, maka betina akan makin mempercepat laju pertumbuhannya agar aktivitas reproduksi dapat selesai sebelum datangnya musim dingin. Dengan demikian, laju pertumbuhan undur-undur laut betina akan lebih cepat atau lebih tinggi dari jantan. Adapun undur-undur laut dan biota akuatik lainnya yang hidup di wilayah tropis seperti Indonesia, mereka tidak mempunyai faktor pembatas dari sisi iklim, yaitu tidak ada musim dingin, sehingga secara alami tidak ada faktor iklim yang mengharuskan undur-undur laut betina mempercepat laju pertumbuhannya untuk mempercepat proses reproduksinya. Nilai K dan t0 yang didapatkan juga dipergunakan untuk mengestimasi umur harapan hidup undur-undur laut (lifespan). Lifespan merupakan umur undur-undur laut pada saat panjang karapasnya (Lt) mencapai 95% dari panjang asimtotik (L ) (Taylor 1958 in Pauly 1984). Hasil perhitungan lifespan (Tabel 11) menunjukkan bahwa secara umum estimasi umur harapan hidup undur-undur laut famili Hippidae di lokasi penelitian kurang dari 3 tahun, kecuali lifespan E. emeritus di pantai Kebumen yang mencapai 4.20 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, lifespan undurundur laut betina secara umum lebih tinggi dari jantan, kecuali pada H. adactyla di pantai Cilacap dimana lifespan betina lebih tinggi dari jantan. Hasil yang tidak jauh berbeda dijumpai di wilayah tropis lain, yaitu di pantai Bengkulu, yang mana juga didapatkan lifespan undur-undur laut kurang dari 3 tahun, yaitu 1.80 tahun untuk E. emerita jantan dan 2.9 tahun untuk betina, dan 2.4 tahun untuk H. adactyla jantan dan 2.2 tahun untuk betina (Edritanti et al. 2016). Selain itu, tidak ada lagi informasi tentang lifespan undur-undur laut pada genus Emerita dan Hippa, bahkan famili Hippidae dari daerah tropis lainnya. Apabila disejajarkan lifespan undur-undur laut pada genus yang sama antara daerah tropis dengan daerah subtropis, maka diketahui bahwa lifespan undur-undur laut dari daerah tropis secara umum lebih tinggi dari daerah subtropis. Lifespan undur-undur laut E. brasiliensis di pantai Fora, Brasil, mencapai 8.6 bulan (0.72 tahun) untuk jantan dan 7.4 bulan (0.62 tahun) untuk betina (Veloso & Cardoso

63 ), lifespan E. brasiliensis di pantai Urca, Brasil mencapi 7.1 bulan (0.59 tahun) untuk jantan dan 6.1 bulan (0.51 tahun) untuk betina, sedangkan di pantai Barra del Chuy, Uruguay, mencapai 11 bulan (0.92 tahun) untuk jantan dan 16 bulan (1.33 tahun) untuk betina (Defeo & Cardoso 2002), lifespan E. portoricensis mencapai 13 bulan (1.08 tahun) untuk jantan dan 16 bulan (1.33 tahun) untuk betina (Sastre 1991), dan E. holthuisi mempunyai lifespan sekitar 8-9 bulan ( tahun) (Ansell et al in Veloso & Cardoso 1999). Berdasarkan nilai-nilai lifespan undur-undur laut di atas dari berbagai wilayah, baik tropis dan subtropis, diketahui bahwa nilai lifespan sangat bervariasi dan tidak menunjukkan pola tertentu, baik antar jenis, antar jenis kelamin, maupun antar lokasi. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa nilai lifespan undur-undur laut bisa berbeda-beda antar individu, walaupun pada jenis dan lokasi yang sama, tergantung kepada kondisi individu undur-undur laut dan lingkungan serta aktivitas-aktivitas yang berlangsung di sekitar habitatnya. Nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut di atas juga digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy undur-undur laut dan nilai lifespan, yang secara ringkas disajikan pada Gambar 19 dan 20. Gambar 19. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy dan lifespan undur-undur laut Emerita emeritus di pantai Cilacap dan pantai Kebumen

64 46 Gambar 20. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy dan lifespan undur-undur laut Hippa adactyla di pantai Cilacap dan Kebumen Berdasarkan Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa pada bulan-bulan awal fase kehidupannya, undur-undur laut mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat cepat. Pada 10 bulan pertama fase kehidupannya, tingkat pertumbuhan undur-undur laut terlihat sangat cepat yang ditunjukkan dengan panjang karapas yang sudah mencapai 43.3% hingga 91.1% dari panjang asimtotik (L ) undur-undur laut. Kemudian memasuki fase 10 bulan berikutnya, bagi undur-undur laut yang mempunyai lifespan kurang dari 20 bulan, mereka akan mencapai lifespan pada periode 10 bulan kedua. Namun bagi undur-undur laut yang mempunyai lifespan lebih dari 20 bulan, maka tingkat pertumbuhan mereka pada periode 10 bulan kedua mengalami penurunan cukup drastis, yaitu hanya sebesar 8.1% hingga 24.7%. Pada periode-periode berikutnya dari fase kehidupannya, pertumbuhan undur-undur laut makin melambat dan cenderung stagnan hingga akhirnya mencapai lifespan maksimum. Pertumbuhan undur-undur laut pada periode awal fase kehidupannya akan semakin tinggi atau cepat, dengan semakin pendek lifespan undur-undur laut. Sebagai gambaran, pada Emerita emeritus di pantai Cilacap, E. emeritus jantan mempunyai lifespan 2.98 tahun (35.8 bulan), pada 10 bulan pertama fase kehidupannya, panjang karapasnya mencapai ukuran 55.1% dari L, namun pada betina yang mempunyai lifespan lebih pendek, yaitu 1.25 tahun (15.0 bulan), sudah mencapai panjang karapas sebesar 85.3% dari L pada 10 bulan pertama fase kehidupannya. Ini menunjukkan bahwa semakin pendek lifespan, undur-undur laut akan memaksimalkan pertumbuhannya sehingga tingkat pertumbuhannya pada fase-fase awal kehidupannya akan lebih tinggi dari undur-undur laut yang mempunyai lifespan lebih lama.

65 47 Simpulan Undur-undur laut famili Hippidae yang ditemukan di pantai Bunton Cilacap mempunyai kisaran ukuran panjang karapas yang lebih lebar dan panjang karapas maksimal yang lebih besar dari yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen pada jenis yang sama. Undur-undur laut secara umum mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif, artinya pola pertambahan panjang undur-undur laut lebih dominan dibanding pola pertambahan bobotnya. Pertumbuhan undur-undur laut betina lebih tinggi dari jantan, kecuali Hippa adactyla di pantai Cilacap dimana pertumbuhan undur-undur laut jantan lebih tinggi dari betina. Aktivitas rekrutmen undur-undur laut di pantai Cilacap dan Kebumen terjadi setiap bulan sepanjang tahun, baik pada Emerita emeritus maupun Hippa adactyla, dengan puncak rekrutmen terdapat indikasi terjadi pada periode April-Mei dan Agustus-Oktober. Undur-undur laut famili Hippidae secara umum mempunyai umur harapan hidup atau lifespan kurang dari 3 tahun, kecuali Emerita emeritus jantan di pantai Kebumen. Berdasarkan jenis kelamin, lifespan undur-undur laut jantan lebih tinggi dari betina, kecuali H. adactyla di pantai Cilacap dimana lifespan betina lebih tinggi dari jantan.

66 48 5 PRODUKSI TELUR UNDUR-UNDUR LAUT JENIS Emerita emeritus DARI PANTAI BUNTON, KABUPATEN CILACAP Pendahuluan Undur-undur laut, sebagaimana telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, keberadaannya sangat penting dalam rantai makanan karena berperan sebagai konsumer tingkat pertama dalam tingkat trofik di daerah intertidal. Selain itu, undur-undur laut juga sebagai penyedia bahan makanan dengan kandungan gizi tinggi untuk masyarakat pesisir dan sekitarnya. Kegiatan penangkapan undur-undur laut di pantai selatan Jawa Tengah, terutama di pantai Bunton, Adipala, Cilacap, dilakukan hampir setiap hari. Kenyataan yang terjadi adalah sebagian besar undurundur laut yang tertangkap dalam kondisi bertelur atau membawa/menyimpan telur di abdomennya. Undur-undur laut yang paling banyak tertangkap dan dalam kondisi bertelur adalah jenis Emerita emeritus. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi produksi telur undur-undur laut ini di lokasi penelitian cukup tinggi. Informasi tentang estimasi produksi telur undur-undur laut tersebut penting diketahui sebagai informasi dasar untuk mengetahui aspek reproduksi dan juga sejarah kehidupan undur-undur laut. Studi tentang estimasi produksi telur pada undur-undur laut famili Hippidae pernah dilakukan pada E. analoga, namun hasilnya masih belum konsisten sehingga masih sulit digunakan untuk memperkirakan hasil reproduksinya atau reproductive output. Reproduction output (RO) merupakan gambaran energi terbalik yang terjadi dalam aktivitas reproduksi pada biota perairan kelompok krustase ordo Decapoda. Dengan kata lain, RO adalah energi yang disumbangkan oleh biota perairan ordo Decapoda untuk melakukan reproduksi. Nilai RO secara umum bervariasi antar spesies dan bahkan bisa bervariasi antar individu dalam spesies yang sama. Pada biota perairan betina dari ordo Decapoda, mereka dapat mencurahkan atau menggunakan sekitar 10% dari berat badannya untuk proses produksi telur. Namun demikian, sebenarnya nilai RO untuk sebagian besar biota perairan ordo Decapoda belum banyak diketahui, termasuk pada undur-undur laut famili Hippidae yang berada di pantai selatan Jawa Tengah, sehingga kondisi biologi reproduksi biota tersebut secara lengkap tidak diketahui. Oleh karena itu, penelitian untuk mengkaji estimasi produksi telur undur-undur laut ini penting untuk dilakukan. Penelitian ini menganalis karakteristik telur dan RO undur-undur laut. Hasil penelitian ini juga dibandingkan dengan hasil penelitian lain tentang estimasi produksi undur-undur laut, baik pada jenis yang sama dari lokasi lain, genus yang sama, maupun jenis biota perairan lainnya yang mempunyai habitat dan karakteristik yang sama dari ordo Decapoda, yaitu habitat di pantai berpasir dan bersifat mengubur di dalam permukaan pasir. Bahan dan Metode Bahan penelitian ini adalah undur-undur laut betina yang bertelur dari jenis Emerita emeritus. Lokasi pengambilan contoh undur-undur laut adalah di pantai Bunton, Adipala, Cilacap, sebagaimana tercantum pada Gambar 1 pada Bab 2.

67 49 Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada saat di lokasi pengambilan contoh, setiap undur-undur laut E. emeritus betina yang bertelur ditempatkan pada wadah/botol contoh sendiri-sendiri (per ekor per jenis per botol) untuk menghindari bercampurnya telur antar individu dan antar jenis undur-undur laut. Kemudian contoh undur-undur laut tersebut diawetkan dengan menggunakan alkohol 96% hingga seluruh tubuh undur-undur laut terendam alkohol. Sesampainya di laboratorium, seluruh alkohol dalam botol contoh tersebut diganti dengan alkohol 96% yang baru. Jumlah contoh atau individu undur-undur laut yang diamati setiap bulannya untuk kebutuhan analisis produksi telur adalah 50 ekor betina bertelur, sehingga selama setahun (12 bulan) pengambilan contoh, diamati sebanyak 600 ekor undur-undur laut betina bertelur. Setelah sampai di laboratorium, massa telur dari masing-masing individu undur-undur laut dilepaskan dan diletakkan di cawan petri. Kemudian dari massa telur tersebut dipisahkan tiga subcontoh, yang masing-masing subcontoh terdiri dari 100 butir telur, lalu setiap subcontoh ditimbang berat basahnya setelah dikeringkan dengan kertas tisu. Setelah seluruh telur lepas dari undur-undur laut, kemudian individu undur-undur laut tersebut juga ditimbang untuk mengetahui berat basar tanpa telur. Kemudian dari massa telur yang tersisa (setelah diambil tiga subcontoh), diambil 20 butir telur stadia 1 untuk diamati panjang dan lebar telur. Seluruh massa telur, kecuali yang 20 butir telur stadia 1, dan individu undur-undur laut, kemudian dikeringkan pada suhu 65 o C selama 24 jam. Setelah dikeringkan, kemudian tiga subcontoh dan sisa massa telur serta individu undur-undur laut tanpa telur ditimbang dengan timbangan analitik. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi jumlah telur ratarata, volume telur rata-rata, dan energi reproduksi (reproduction output) rata-rata per individu undur-undur laut. Jumlah telur rata-rata per individu undur-undur laut didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hernáez et al. 2008): NE = OM E Keterangan: NE = jumlah telur (butir); OM = berat total massa telur (mg); E = berat butir telur (mg). Berat total massa telur didapatkan dari hasil penimbangan. Adapun berat telur undur-undur laut rata-rata per butir dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hernáez et al. 2008): E = S 100 Keterangan: E = berat telur per butir (mg); S = berat subcontoh rata-rata (mg) Untuk perhitungan volume telur dilakukan berdasarkan data panjang dan lebar telur undur-undur laut stadia 1. Rasionalisasi atau digunakannya telur stadia 1 sebagai dasar penghitungan volume telur undur-undur laut atau krustasea secara

68 50 umum dikarenakan telur stadia 1 bentuknya masih bulat dan volume telur terisi penuh oleh massa telur serta belum ada rongga seperti pada stadia 2 dan stadia 3. Dengan kondisi tersebut, telur stadia 1 dianggap yang paling mewakili volume telur undur-undur laut yang sebenarnya. Sebagai gambaran, pada Gambar 21 di bawah ini disajikan perbedaan kondisi telur stadia 1 hingga stadia 3. Gambar 21. Stadia telur pada undur-undur laut (Dari kiri ke kanan: stadia 1, stadia 2, stadia 3) Berdasarkan Gambar 21 terlihat perbedaan yang jelas antar stadia pada telur undur-undur laut. Telur pada stadia 1 terlihat berwarna kuning cerah dan masih berbentuk bulat telur, telur stadia 2 ditandai dengan telur berwarna kecoklatan dan sudah terdapat rongga di sekeliling telur, dan telur stadia 3 ditandai dengan sudah adanya bintik mata pada telur (Wehrtmann 1990; Bakir et al. 2009). Untuk kebutuhan analisis volume telur, diamati panjang dan lebar sejumlah 20 butir telur dari seluruh 600 ekor undur-undur laut betina yang digunakan untuk analisis produksi telur. Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat butir telur yang diamati panjang dan lebarnya. Berdasarkan data panjang dan lebar butir tersebut, maka volume telur undur-undur laut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Turner & Lawrence 1979 in Hernáez et al. 2008): EV = 1 6 (a b2 π) Keterangan: EV = egg volume atau volume telur (mm 3 ); a = panjang telur (mm); b = Lebar telur (mm); π = 3.14 Energi reproduksi atau reproduction output (RO) adalah energi yang disumbangkan oleh biota perairan ordo Decapoda untuk melakukan reproduksi yaitu berupa massa (spesifik berat telur). Analisis energi reproduksi menggunakan berat kering dari massa telur (egg mass) dan undur-undur laut tanpa telur. Energi reproduksi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Clarke et al. 1991): RO = Berat Kering Egg Mass (mg) Berat Kering Individu tanpa Egg Mass (mg) Energi reproduksi juga dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan penurunan berat kering tubuh individu betina. Persen penurunan berat kering betina untuk menghasilkan telur dihitung dengan menggunakan rumus (Morizur et al. 1981, Somerton & Meyers 1983 in Thessalou-Legaki 1997):

69 51 RO = [1 ( ao )] 100 an Keterangan: ao = nilai intersep hubungan panjang karapas dengan berat betina yang dalam kondisi bertelur; an = nilai intersep hubungan panjang karapas dengan berat betina yang dalam kondisi tidak bertelur Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara pendekatan berat kering egg mass dan tubuh tanpa egg mass dengan pendekatan persentase penurunan berat kering tubuh betina dalam menghitung energi reproduksi undur-undur laut, maka dilakukan uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney dipilih dikarenakan hasil uji normalitas menunjukkan data energi reproduksi tersebar tidak normal. Jumlah telur Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah rata-rata telur per individu Emerita emeritus setiap bulan pengamatan adalah ± 96 butir dengan kisaran antara ± 49 hingga ± 93 butir. Secara ringkas, hasil perhitungan jumlah telur E. emeritus rata-rata per individu per bulan pengamatan disajikan pada Gambar 22. 3,000 Jumlah Telur Rata-rata (Butir/Ind.) 2,500 2,000 1,500 1, Jun 2013 Jul 2013 Ags 2013 Sep 2013 Okt 2013 Nov 2013 Des 2013 Jan 2014 Feb 2014 Mar 2014 Apr 2014 Mei 2014 Gambar 22. Jumlah telur Emerita emeritus rata-rata per individu per bulan pengamatan Berdasarkan Gambar 22 diketahui bahwa kegiatan pemijahan undur-undur laut E. emeritus terjadi sepanjang tahun. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa aktivitas rekrutmen undur-undur laut terjadi sepanjang tahun, dengan perkiraan puncak rekrutmen terjadi pada bulan Agustus dan Maret. Hasil ini memperkuat hasil penelitian pada Bab sebelumnya tentang dinamika populasi undur-undur laut yang salah satunya diperoleh infomasi bahwa aktivitas rekrutmen undur-undur laut E. emeritus di pantai Cilacap dan Kebumen terjadi setiap bulan, dengan pola rekrutmen yang berbeda-beda antar lokasi penelitian, serta puncak rekrutmen diperkirakan juga terjadi pada bulan Maret dan Agustus. Kondisi tersebut terjadi karena lokasi penelitian merupakan daerah tropis, dimana tidak ada faktor musim yang mengganggu atau menghalangi kegiatan

70 52 rekrutmen. Kondisi berbeda terjadi pada undur-undur laut di daerah empat musim. Pada daerah dengan empat musim, rekrutmen undur-undur laut, seperti E. analoga dan E. brasiliensis di benua Amerika, tidak terjadi sepanjang tahun, namun hanya terjadi antara musim semi hingga akhir musim panas atau pertengahan musim gugur, atau antara bulan Maret hingga bulan Oktober. Pada saat terjadi musim dingin tidak terjadi rekrutmen undur-undur laut, justru yang terjadi peningkatan kematian atau mortalitas (Efford 1967; Dugan 1990; Dugan et al. 1991, 1994). Berdasarkan Gambar 22 juga terlihat bahwa jumlah telur rata-rata per individu Emerita emeritus pada pengamatan bulan Juni dijumpai paling tinggi, sedangkan jumlah telur rata-rata per individu terendah teramati pada bulan April. Pada undur-undur laut, jumlah telur yang melekat pada pleopod tidak menunjukkan jumlah telur sebenarnya yang dipijahkan undur-undur laut. Sejumlah telur yang melekat pada pleopod undur-undur laut betina adalah telur-telur yang sedang dierami, jadi telur-telur tersebut sudah dibuahi dan siap ditetaskan. Jumlah telur yang melekat di pleopod sangat tergantung pada kapasitas pleopod dan ukuran atua diameter telur undur-undur laut. Selain itu, jumlah telur yang dapat dierami oleh setiap individu undur-undur laut juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, di antaranya kondisi gelombang atau ombak dan keberadaan pemangsa pada saat undur-undur laut bertelur (Wenner et al. 1987; Dugan et al. 1991). Diameter telur Telur undur-undur laut E. emeritus yang diamati diameternya adalah telur undur-undur laut stadia 1. Hal tersebut dikarenakan bentuk telur stadia 1 masih relatif sempurna, yaitu berbentuk bulat, dibanding bentuk telur pada stadia lainnya. Secara ringkas, hasil analisis diameter telur rata-rata per butir per bulan pengamatan disajikan dalam Gambar 23. Diameter Telur (mm) Jun 2013 Jul 2013 Ags 2013 Sep 2013 Okt 2013 Nov 2013 Des 2013 Jan 2014 Feb 2014 Mar 2014 Apr 2014 Mei 2014 Gambar 23. Diameter telur rata-rata Emerita emeritus per butir per bulan pengamatan Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa secara keseluruhan diameter ratarata telur undur-undur laut relatif seragam pada kisaran ± mm hingga ± mm dengan diameter rata-rata 0,420 ± 0,022 mm. Secara umum, ukuran diameter telur rata-rata antar bulan pengamatan besarannya juga relatif

71 53 seragam. Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa diameter telur rata-rata pada pengamatan bulan Januari mempunyai diameter tertinggi dan bulan Juni mempunyai diameter terendah, namun perbedaannya dengan diameter pada bulanbulan lainnya tidak terlalu besar. Volume telur Volume rata-rata telur Emerita emeritus selama satu tahun pengambilan contoh yaitu sebesar ± mm 3 dengan kisaran antara ± mm 3 hingga ± mm 3. Secara ringkas, hasil penghitungan volume telur E. emeritus rata-rata per butir disajikan pada Gambar Volume Telur Rata-rata (mm 3 ) Jun 2013 Jul 2013 Ags 2013 Sep 2013 Okt 2013 Nov 2013 Des 2013 Jan 2014 Feb 2014 Mar 2014 Apr 2014 Mei 2014 Gambar 24. Volume telur Emerita emeritus rata-rata per butir Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa volume telur undur-undur laut E. emeritus rata-rata tertinggi didapatkan pada pengamatan bulan Januari dan terendah pada bulan Juni. Sebagaimana diameter telur rata-rata, perbedaan antara volume telur tertinggi, terendah, dan volume telur pada bulan lainnya tidak terlalu jauh berbeda. Volume telur secara umum dipengaruhi oleh diameter telur. Hal tersebut terlihat dari Gambar 23 dan Gambar 24 di atas bahwa volume telur rata-rata tertinggi didapatkan pada saat diameter telur rata-rata juga tinggi, yaitu pada bulan Januari. Demikian juga volume telur rata-rata terendah didapatkan pada saat diameter telur juga terendah, yaitu pada bulan Juni. Energi reproduksi Energi yang digunakan untuk melakukan reproduksi pada setiap individu undur-undur laut berbeda-beda. Energi reproduksi dapat mengalami fluktuasi pada setiap bulan. Hasil penghitungan energi reproduksi berdasarkan pendekatan berat kering egg mass dan tubuh tanda egg mass disajikan dalam Gambar 25. Adapun hasil perhitungan energi reproduksi berdasarkan pendekatan penurunan berat kering tubuh betina disajikan pada Gambar 26.

72 54 Energi Reproduksi Rata-rata Jun 2013 Jul 2013 Ags 2013 Sep 2013 Okt 2013 Nov 2013 Des 2013 Jan 2014 Feb 2014 Mar 2014 Apr 2014 Mei 2014 Gambar 25. Energi reproduksi rata-rata Emerita emeritus berdasarkan berat kering egg mass dan tubuh tanpa egg mass Energi Reproduksi Rata-rata (%) Jun 2013 Jul Agust Sept 2013 Okt 2013 Nov 2013 Des 2013 Jan 2014 Feb 2014 Mar 2014 April 2014 Mei 2014 Gambar 26. Energi reproduksi rata-rata Emerita emeritus berdasarkan penurunan berat kering tubuh betina Berdasarkan gambar-gambar di atas diketahui bahwa berdasarkan berat kering egg mass dan tubuh tanpa egg mass, energi reproduksi rata-rata Emerita emeritus tertinggi terjadi pada bulan Oktober, yaitu sebesar ± dan terendah terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar ± dengan rata-rata energi reproduksi sebesar ± Namun berdasarkan persentase penurunan berat kering tubuh betina, energi reproduksi rata-rata E. emeritus tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 67.39% ± 9.53% sedangkan terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 2.41% ± 0.34% dengan rata-rata energi reproduksi sebesar 21.02% ± 2.97%. Jika dilihat polanya (fluktuasi naik turun grafik), secara umum kedua pendekatan dalam penghitungan energi reproduksi undur-undur laut menghasilkan pola yang relatif mirip, yang membedakan hanya waktu dan besaran energi reproduksi tertinggi dan terendah. Jika dilihat nilai rata-rata energi reproduksi secara menyeluruh dalam kurun waktu satu tahun pengamatan, juga terlihat kedua

73 55 pendekatan tersebut menghasilkan nilai rata-rata energi reproduksi yang relatif tidak jauh berbeda, yaitu antara 20-22%. Hasil uji Mann-Whitney terhadap kedua pendekatan tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara pendekatan berat kering egg mass dan tubuh tanpa egg mass dengan pendekatan persentase penurunan berat kering tubuh betina dalam menghitung energi reproduksi undurundur laut. Ini artinya bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menghitung energi reproduksi undur-undur laut, baik secara terpisah atau sendirisendiri maupun bersamaan. Ini berarti bahwa undur-undur laut jenis Emerita emeritus mencurahkan energinya sebesar 20-22% untuk proses reproduksi. Jika dibandingkan besaran energi reproduksi antara E. emerita dengan jenis undur-undur laut lainnya dan dengan biota meliang yang lain, E. emeritus mempunyai energi reproduksi paling besar. Pada famili Hippidae lainnya, E. emeritus dan Hippa adactyla di pantai Bengkulu mempunyai energi reproduksi masing-masing 5.13% dan 6.63% (Edritanti et al. 2016), biota meliang seperti Callichirus seilacheri mempunyai energi reproduksi sebesar 14.9% (Hernáez et al. 2008) dan Callianassa tyrrhena mempunyai energi reproduksi sebesar 19.6%, Eurypodius latreilli mempunyai energi reproduksi sebesar 13% (Navarrete et al. 1999), dan Phachyceles monilifer mempunyai energi reproduksi sebesar 2.0% (Leone & Mantelatto 2015). Simpulan Undur-undur laut jenis Emerita emeritus dari pantai Bunton Cilacap mempunyai energi reproduksi rata-rata 20-21% yang berarti bahwa E. emeritus telah mencurahkan 20-21% untuk aktivitas reproduksi. Undur-undur laut famili Hippidae dan biota-biota lain yang mempunyai sifat dan karakter yang sama dengan undur-undur laut mempunyai energi reproduksi yang berbeda-beda antar spesies dan wilayah.

74 56 7 PRODUKTIVITAS SEKUNDER UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE DARI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Pendahuluan Produktivitas sekunder adalah pembentukan biomasa heterotrofik pada waktu tertentu. Benke (1993 in Benke & Huryn 2007) menyatakan bahwa produktivitas sekunder adalah kecepatan organisme heterotrop mengubah energi kimia dari bahan organik yang dimakan menjadi simpanan energi kimia baru di dalam tubuhnya. Energi kimia dalam bahan organik yang berpindah dari produsen ke organisme heterotroph (konsumen primer) dan dari konsumen sekunder ke tersier dipergunakan untuk aktivitas hidup dan hanya sebagian yang dapat diubah menjadi energi kimia yang tersimpan di dalam tubuhnya sebagai produktivitas. Perkiraan produktivitas sekunder telah digunakan untuk meningkatkan pemahaman tentang isu-isu ekologi seperti transfer energi dalam komunitas, pengelolaan sumber daya perairan, analisis rantai makanan (Benke 1998 in Petracco et al. 2003), dan siklus hidup biota perairan (Sarda et al in Petracco et al. 2003). Produktivitas sekunder tahunan adalah jumlah dari semua biomasa yang dihasilkan (produksi) oleh suatu populasi selama satu tahun, termasuk produksi yang tersisa pada akhir tahun dan semua produksi yang hilang selama periode ini. Hilangnya produktivitas dapat disebabkan oleh kematian (misalnya karena penyakit, parasitisme, kanibalisme, dan predasi), hilangnya cadangan jaringan (misalnya molting dan kelaparan), dan emigrasi. Produktivitas atau produksi sekunder merupakan parameter kunci dalam ekologi populasi (Sardá et al. 2000) dan merupakan gabungan pengukuran dari kelimpahan, biomasa, laju pertumbuhan, reproduksi, kelulushidupan, dan periode perkembangan hidup (Benke 1993). Pemahaman tentang produktivitas sekunder berkaitan dengan pemahaman hubungan antara produktivitas dan biomasa. Produktivitas sekunder sangat dipengaruhi oleh biomasa, sedangkan rasio produktivitas sekunder dan biomassa (P/B) dipengaruhi oleh umur, ukuran tubuh, dan suhu (Benke & Huryn 2010). Nilai rasio P/B menunjukkan umur populasi, dan populasi dari pantai tropis cenderung menunjukkan nilai P/B jauh lebih tinggi (Vellso & Sallorenzo 2010). Produktivitas sekunder dapat digunakan sebagai variabel respon dari naikturunnya kuantifikasi pada rantai makanan, efek populasi, pengaruh gangguan alam, tumpang tindih relung, kompetisi makanan, dan penurunan keanekaragaman hayati (Benke & Whiles 2011). Produktivitas dapat membantu memvalidasi gangguan karena perubahan pada makanan yang dapat meningkatkan takson secara signifikan dalam produksi avertebtara (Benke & Huryn 2010) Produktivitas juga merupakan ukuran penting untuk memahami peran populasi dalam komunitas, dan terkait dengan komponen penting dalam populasi seperti densitas, biomasa, tingkat pertumbuhan, dan reproduksi (Benke 1993, 1996 in Veloso & Sallorenzo 2010). Produktivitas populasi bervariasi secara temporal sebagai konsekuensi perubahan kepadatan dan struktur populasi seperti selama periode rekrutmen (Veloso & Sallorenzo 2010). Penurunan nilai produktivitas

75 57 dapat mengubah struktur energetika komunitas ikan dan rantai makanan di laut (Rose et al. 2010). Pengukuran produktivitas sekunder merupakan perhitungan yang menjadi dasar penggambaran dinamika suatu ekosistem. Peningkatan produktivitas sekunder suatu lingkungan umumnya akan meningkatkan ketersediaan makanan, sehingga potensi biomassa juga akan semakin meningkat. Ekosistem yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan menggambarkan produktivitas sekunder yang berbeda pula. Laju produktivitas sekunder akan tinggi jika faktorfaktor lingkungan cocok dan optimal. Konsumen akan memanfaatkan energi yang diperoleh dari produsen, kemudian mengubahnya menjadi jaringan tubuh. Namun tidak semua energi tersebut mampu diubah menjadi jaringan tubuh, karena salah satunya akan sangat bergantung pada kemampuan biota atau kosumen tersebut dalam mengolah dan mengasimilasi makanannya. Penelitian mengenai produktivitas sekunder pada biota perairan kelompok krustasea secara internasional sebenarnya sudah banyak dilakukan, namun khusus penelitian tentang produktivitas undur-undur laut famili Hippidae, belum banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa undur-undur laut mempunyai peran penting dalam rantai makanan di daerah intertidal. Undur-undur laut berperan sebagai penyedia makanan untuk konsumer pada tingkat trofik yang lebih tinggi seperti burung laut, ikan dan predator lainnya. Salah satu cara untuk memperlihatkan fungsi ekologi undur-undur laut tersebut pada rantai makanan salah satunya adalah dengan mengestimasi produktivitas sekunder yang dihasilkan oleh undur-undur laut. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan produktivitas sekunder, yaitu biomasa, produktivitas, dan rasio P/B. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi produktivitas sekunder yang dihasilkan oleh undur-undur laut famili Hippidae, yaitu Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai selatan Jawa Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang terukur dalam menilai fungsi ekologi dari undurundur laut di ekosistem intertidal. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biota undur-undur laut famili Hippidae, yaitu E. emeritus dan H. adactyla yang ditangkap di kedua lokasi penelitian sebagaimana tersebut pada Bab 2. Metode yang digunakan adalah metode survei atau sampling selama satu tahun atau 12 bulan. Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 2, pengambilan contoh undurundur laut dilakukan dengan metode swept area menggunakan alat tangkap tradisional nelayan yang disebut sorok. Luas sapuan sorok adalah meter x 0.6 meter di lokasi penelitian pantai Bocor, Kebumen, dan meter x 0.6 meter di lokasi penelitian pantai Bunton, Cilacap. Undur-undur laut yang tertangkap, dipisahkan per jenis dan per jenis kelamin. Kemudian diawetkan dengan direndam menggunakan alkohol teknis 10%, lalu seluruh undur-undur laut contoh dibawa ke Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sesampainya di laboratorium, bahan pengawet diganti seluruhnya dengan alkohol teknis 96%. Beberapa kegiatan

76 58 selanjutnya yang dilakukan di laboratorium adalah pengukuran panjang karapas atau carapace length (CL) dan penimbangan bobot basah. Analisis data yang dilakukan selanjutnya adalah analisis sebaran frekuensi panjang, penghitungan densitas, biomassa (B), produktivitas sekunder (P), dan rasio antara produktivitas sekunder dengan biomassa (P/B). Sebaran frekuensi panjang dianalis menggunakan data panjang karapas undur-undur laut. Sebaran frekuensi panjang yang digunakan untuk menghitung produktivitas sekunder ini mengacu pada sebaran frekuensi panjang yang sudah dianalis pada Bab 6 sebelumnya. Estimasi produktivias sekunder populasi undur-undur laut dihitung dengan metode modifikasi Hynes atau metode frekuensi-panjang atau size-frequency method (Hynes & Coleman 1968; Hamilton 1969; Benke 1979; Menzie 1980). Metode size-frequency mengasumsikan bahwa distribusi size-frequency ditentukan dari contoh yang dikumpulkan sepanjang tahun mendekati kurva mortalitas ratarata kelompok. Rumus perhitungan produktivitas sekunder mengacu kepada Benke (1979), yaitu sebagai berikut: Biomassa = N i W i Rumus perhitungan produktivitas sekunder undur-undur laut adalah sebagai berikut: P = (W rata i N i ) JK Keterangan: P = produktivitas (g.m -2.thn -1 ); Ni = densitas pada selang kelas ke-i (ind.m -2 ); Wi = berat basah rata-rata pada selang kelas ke-i (gram); Wrata-i = massa yang hilang pada selang kelas ke-i (gram); ΔNi = jumlah densitas yang hilang pada selang kelas ke-i (ind.m -2 ); JK = jumlah kelas Untuk mengetahui nilai berat rata-rata pada laju pertumbuhan biomasa dari semua individu dalam populasi diperlukan rasio produktivitas dengan biomasa adalah sebagai berikut: P B = Produktivitas Biomassa Biomassa (B) tahunan Hasil dan Pembahasan Hasil perhitungan biomassa (B) tahunan undur-undur laut famili Hippidae yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 27.

77 59 Biomassa Tahunan (g/m 2 ) Emerita Hippa emeritus_kebumen adactyla_kebumen Emerita emeritus_cilacap Hippa adactyla_cilacap Jantan Betina Populasi Gambar 27. Biomassa tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa secara keseluruhan populasi Emerita emeritus dari pantai Bunton Cilacap mempunyai biomassa tahunan paling tinggi, yaitu sebesar g/m 2. Jika dibandingkan antar jenis undur-undur laut famili Hippidae, biomassa tahunan yang dihasilkan populasi E. emeritus lebih tinggi dari biomassa tahunan yang dihasilkan oleh populasi Hippa adactyla di kedua lokasi penelitian. Biomassa tahunan H. adactyla secara populasi jauh lebih rendah dari E. emeritus, yaitu hanya mencapai 1.08 g/m 2 di pantai Bocor Kebumen dan 6.04 g/m 2 di pantai Bunton Cilacap. Nilai biomassa tahunan E. emeritus yang jauh lebih besar dari H. adactyla makin menegaskan bahwa lokasi penelitian yang merupakan daerah intertidal bagian atas atau dekat pantai adalah habitat utama dari undur-undur laut E. emeritus. Tingginya biomassa tahunan E. emeritus dibanding H. adactyla dipengaruhi oleh tingginya kelimpahan dan jumlah E. emeritus yang tertangkap di lokasi penelitian. Kelimpahan dan jumlah undur-undur laut yang tertangkap berpengaruh langsung terhadap biomassa undur-undur laut. Makin tinggi kelimpahan dan jumlah undur-undur laut yang tertangkap, maka akan makin tinggi pula biomassa undur-undur laut, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2 bahwa kelimpahan dan jumlah undur-undur laut E. emeritus yang tertangkap di lokasi penelitian jauh lebih tinggi dari undur-undur laut H. adactyla, baik secara total maupun setiap bulan pengamatan. Hal ini menunjukkan pula bahwa undur-undur laut E. emeritus mendominasi populasi undur-undur laut famili Hippidae di lokasi penelitian. Berdasarkan jenis kelamin, maka terlihat bahwa undur-undur laut betina mempunyai biomassa tahunan yang lebih besar daripada undur-undur laut jantan di kedua lokasi penelitian, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla. Kemudian berdasarkan lokasi penelitian, maka biomassa tahunan undur-undur laut famili Hippidae yang ditemukan di pantai Bunton Cilacap lebih besar dari yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen, baik pada Emerita emeritus maupun Hippa adactyla.

78 60 Selain dipengaruhi oleh jumlah individu yang tertangkap, besaran biomassa tahunan undur-undur laut juga dipengaruhi oleh berat rata-rata individu yang tertangkap. Pada Bab 2 telah dijelaskan bahwa selama penelitian, undur-undur laut betina selalu ditemukan dengan jumlah yang lebih dari jantan dengan perbandingan persentase rata-rata hasil tangkapan adalah % untuk jantan dan % untuk betina. Kemudian berat rata-rata undur-undur laut betina yang tertangkap juga lebih tinggi dari jantan di kedua lokasi penelitian dan pada kedua jenis undur-undur laut famili Hippidae. Berat rata-rata E. emeritus betina adalah 5.82 g/ekor, sedangkan berat rata-rata jantan adalah 5.20 g/ekor. Adapun berat ratarata H. adactyla betina adalah 5.67 g/ekor, sedangkan berat rata-rata jantan adalah 4.90 g/ekor. Berat rata-rata undur-undur laut betina yang lebih besar dari jantan juga dipengaruhi oleh fakta bahwa sebagian besar undur-undur laut betina yang tertangkap dalam keadaan bertelur. Kondisi inilah yang menghantarkan undurundur laut betina mempunyai biomassa tahunan lebih besar dari undur-undur laut jantan. Biomassa tahunan jantan lebih kecil daripada biomassa tahunan betina juga dapat dihubungkan dengan kinerja pertumbuhan yang lebih tinggi pada betina dan mempunyai tingkat pertumbuhan berat spesifik lebih tinggi pada betina. Penelitian tentang biomassa tahunan pada undur-undur laut famili Hippiadae, sebagai bagian dari penelitian tentang produktivitas sekunder tahunan, belum banyak dilakukan. Berdasarkan studi literatur diketahui bahwa penelitian produktivitas sekunder pernah dilakukan pada undur-undur laut genus Emerita, meliputi E. holthuisi, E. brasiliensis, dan E. analoga, namun tidak dijumpai hasil penelitian produktivitas sekunder pada undur-undur laut genus Hippa. Apabila hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian produktivitas sekunder undurundur laut pada genus Emerita yang lain, maka didapatkan informasi bahwa biomassa tahunan E. emeritus dari pantai Bunton Cilacap lebih besar nilainya dari biomassa tahunan pada E. holthuisi, yaitu 0.55 g/m 2 (Ansell et al in Petracco et al. 2003). Namun jika dibandingkan dengan nilai biomassa tahunan E. brasiliensis, maka biomassa tahunan E. emeritus dari pantai Bunton Cilacap besarannya lebih kecil dari biomassa tahunan E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Prainha Brasil, yaitu g/m 2 (Petracco et al. 2003), juga lebih kecil dari besaran biomassa tahunan E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Rio de Janeiro Brasil, yaitu g/m 2 (Gianuca 1985 in Petracco et al. 2003; Veloso et al. 2010). Biomassa tahunan E. emeritus dari pantai Bunton Cilacap nilainya juga jauh lebih kecil dari E. analoga, yaitu sebesar g/m 2 (Conan et al in Petracco et al. 2003). Berdasarkan informasi di atas dapat dilihat bahwa besaran biomassa tahunan undur-undur laut berbeda-beda untuk setiap jenis atau spesies dan untuk setiap ekosistem dan lokasi geografis, walaupun pada jenis yang sama seperti pada E. brasiliensis dan E. emeritus serta H. adactyla di kedua lokasi penelitian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan besaran biomassa tahunan undur-undur laut secara umum dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis atau spesies, ekosistem, dan letak geografis undur-undur laut.

79 61 Produktivitas sekunder (P) tahunan Hasil perhitungan produktivitas sekunder (P) tahunan undur-undur laut famili Hippidae disajikan pada Gambar 28. Produktivitas Sekunder (g/m2/thn) Emerita Hippa emeritus_kebumen adactyla_kebumen Emerita emeritus_cilacap Hippa adactyla_cilacap Jantan Betina Populasi Gambar 28. Produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa undur-undur laut Emerita emeritus dari pantai Bunton Cilacap mempunyai produktivitas sekunder tahunan paling tinggi, yaitu g/m 2 /tahun. Nilai produktivitas sekunder tahunan populasi E. emeritus ini jauh lebih tinggi dari produktivitas sekunder tahunan populasi Hippa adactyla, baik yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen (4.07 g/m 2 /tahun) maupun di pantai Bunton Cilacap (12.09 g/m 2 /tahun). Berdasarkan jenis kelamin, produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut betina secara umum nilainya lebih tinggi dari produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut jantan di kedua lokasi penelitian, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla, kecuali pada betina H. adactyla dari pantai Bocor Kebumen yang nilai produktivitas sekundernya lebih rendah dari jantan. Kemudian berdasarkan lokasi penelitian, produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut famili Hippidae yang ditemukan di pantai Bunton Cilacap lebih tinggi nilainya dari yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla. Tingginya nilai produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut E. emeritus dibanding H. adactyla, undur-undur laut betina dibanding jantan, dan undur-undur laut dari pantai Bunton Cilacap dibanding dari pantai Bocor Kebumen secara langsung dipengaruhi oleh nilai biomassa tahunan masing-masing. Semakin tinggi nilai biomassa tahunannya, maka nilai produktivitas sekunder tahunannya juga akan semakin tinggi. Sebagaimana disampaikan pada subbab sebelumnya bahwa penelitian tentang produktivitas sekunder tahunan pada undur-undur laut belum banyak dilakukan. Hasil studi literatur hanya didapatkan informasi hasil penelitian produktivitas sekunder pada undur-undur laut genus Emerita, meliputi E. holthuisi, E. brasiliensis, dan E. analoga, dan tidak dijumpai hasil penelitian produktivitas

80 62 sekunder pada undur-undur laut genus Hippa. Jika dibandingkan hasil-hasil penelitian tersebut dengan hasil penelitian saat ini, sebagaimana pada biomassa tahunan, maka didapatkan pula nilai produktivitas sekunder tahunan E. emeritus dari pantai Bunton Cilacap yang lebih besar dari E. holthuisi, yaitu 6.93 g/m 2 /tahun (Ansell et al in Petracco et al. 2003); relatif seragam dengan nilai produktivitas sekunder tahunan E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Prainha Brasil, yaitu g/m 2 /tahun (Petracco et al. 2003); lebih kecil dari nilai produktivitas sekunder tahunan E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Rio de Janeiro Brasil, yaitu g/m 2 /tahun (Veloso et al. 2010; Gianuca 1985 in Petracco et al. 2003); dan juga lebih kecil dari nilai produktivitas sekunder tahunan E. analoga, yaitu sebesar g/m 2 /tahun (Conan et al in Petracco et al. 2003). Berdasarkan informasi di atas juga dapat dijelaskan bahwa nilai produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut berbeda-beda untuk setiap jenis atau spesies dan untuk setiap ekosistem dan lokasi geografis, walaupun pada jenis yang sama seperti pada E. brasiliensis dan E. emeritus serta H. adactyla di kedua lokasi penelitian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas sekunder tahunan undur-undur laut secara umum dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis atau spesies, ekosistem, dan letak geografis undur-undur laut. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa undur-undur laut mempunyai peran secara ekologi dalam mempertahankan keseimbangan rantai makanan sebagai konsumen tingkat pertama atau produsen bagi konsumen level di atasnya pada tropik level di daerah intertidal atau daerah pantai berpasir. Peran ekologi undur-undur laut tersebut akan semakin tinggi pada daerah intertidal yang dijumpai undur-undur laut dengan kelimpahan dan populasi yang cukup tinggi seperti di pantai Bunton Cilacap. Rasio P/B Hasil perhitungan rasio antara produktivitas sekunder tahunan dengan biomassa tahunan (P/B) undur-undur laut famili Hippidae disajikan pada Gambar 29. Rasio P/B Tahunan Emerita emeritus_kebumen Hippa adactyla_kebumen Emerita emeritus_cilacap Hippa adactyla_cilacap Jantan Betina Populasi Gambar 29. Rasio P/B tahunan undur-undur laut Emerita emeritus dan Hippa adactyla dari pantai Cilacap dan Kebumen

81 63 Rasio P/B adalah nilai berat rata-rata pada laju pertumbuhan biomasa dari semua individu dalam populasi. Nilai rasio P/B adalah suatu nilai dengan unit per waktu, karena setiap unit waktu dapat digunakan sebagai nilai, maka dapat dilakukan penghitungan rasio P/B tahunan, P/B mingguan, P/B harian dan seterusnya. Pada penelitian ini, nilai rasio P/B dihitung dengan satuan waktu tahunan atau rasio P/B tahunan dikarenakan data yang digunakan untuk menghitung rasio P/B adalah data selama satu tahun pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi undur-undur laut Hippa adactyla yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen secara umum mempunyai rasio P/B tahunan paling tinggi, yaitu Di pantai Bocor Kebumen, populasi H. adactyla mempunyai rasio P/B tahunan yang lebih besar dari populasi E. emeritus, sedangkan di pantai Bunton Cilacap, populasi Emerita emeritus mempunyai nilai rasio P/B tahunan lebih besar dari populasi H. adactyla. Nilai rasio P/B H. adactyla lebih besar dari E. emeritus disebabkan karena H. adactyla, terutama yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen, masih banyak yang berukuran kecil atau masih muda. Berdasarkan hasil penelitian, undur-undur H. adactyla yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen, sekitar 60% mempunyai panjang karapas kurang dari 25 mm atau tergolong masih berukuran kecil atau muda. Kenyataan tersebut dipertegas oleh Petracco et al. (2003) yang menyatakan bahwa nilai rasio P/B tahunan pada biota tinggi karena didominasi oleh biota ukuran muda. Faktor lain yang mempengaruhi rasio P/B tahunan adalah ketersediaan makanan di pantai lokasi studi. Ketersediaan makanan merupakan faktor kunci yang mempengaruhi nilai produktivitas sekunder (Downing 1984 in Petracco et al. 2003). Perairan yang mempunyai produktivitas sekunder yang tinggi menunjukkan bahwa perairan tersebut, terutama pada zona surfing, diperkirakan memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi dan memiliki ketersediaan makanan yang baik untuk undurundur laut (Petracco et al. 2003). Rasio P/B tahunan merupakan gambaran kemampuan pulih dari suatu populasi. Hasil penelitian (Gambar 33) menunjukkan bahwa secara populasi, H. adactyla di pantai Cilacap mempunyai kemampuan pulih lebih cepat dari H. adactyla di pantai Kebumen, sedangkan E. emeritus di pantai Kebumen mempunyai kemampuan pulih lebih cepat dari E. emeritus di pantai Cilacap. Berdasarkan jenis kelamin, rasio P/B tahunan undur-undur laut jantan secara umum lebih tinggi dari rasio P/B tahunan undur-undur laut betina di kedua lokasi penelitian, baik pada E. emeritus maupun H. adactyla, dengan nilai rasio P/B tahunan tertinggi didapatkan pada H. adactyla jantan yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen, yaitu sebesar Kondisi ini juga diduga dikarenakan undur-undur laut H. adactyla jantan yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen didominasi oleh undur-undur laut ukuran kecil atau muda, yaitu sekitar 77% mempunyai panjang karapas kurang dari 25 mm. Nilai rasio P/B undur-undur laut pada penelitian ini lebih kecil dari nilai rasio P/B pada E. holthuisi sebesar (Ansell et al in Petracco et al. 2003) dan E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Prainha Brasil sebesar (Gianuca 1985 in Petracco et al. 2003; Petracco et al. 2003), namun lebih besar dari nilai rasio P/B pada E. brasiliensis yang ditemukan di pantai Rio de Janeiro Brasil sebesar 2.31 (Veloso et al. 2010) dan E. analoga sebesar 0.41 (Conan et al in Petracco et al. 2003). Perbedaan nilai-nilai rasio P/B antar jenis undur-undur laut di atas dipengaruhi oleh perbedaan spesies, lingkungan, dan kondisi iklim.

82 64 Selain menggambarkan kemampuan pulih suatu populasi, nilai rasio P/B juga dapat menunjukkan umur populasi (Vellso & Sallorenzo 2010). Berdasarkan gambar di atas, maka dapat diduga umur populasi dari undur-undur laut per jenis per lokasi penelitian. Estimasi umur populasi undur-undur laut E. emeritus yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen adalah sekitar 2 generasi per tahun; sedangkan E. emeritus yang ditemukan di pantai Bunton Cilacap mempunyai dugaan umur populasi sekitar 3 generasi per tahun. Adapun undur-undur laut H. adactyla diduga mempunyai umur populasi sekitar 4 generasi per tahun untuk yang ditemukan di pantai Bocor Kebumen dan sekitar 2 generasi per tahun untuk yang ditemukan di pantai Bunton Cilacap. Dugaan umur populasi undur-undur laut dari hasil penelitian ini lebih rendah dari dugaan umur populasi undur-undur laut E. brasiliensis sebesar 7 sampai 8 generasi per tahun (Petracco et al. 2003). Simpulan Nilai produktivitas sekunder yang dihasilkan oleh undur-undur laut di kedua lokasi penelitian membuktikan bahwa undur-undur laut mempunyai peran secara ekologis yang terukur dalam rantai makanan di perairan pantai selatan Jawa Tengah. Populasi undur-undur laut di pantai Bunton Cilacap mempunyai nilai produktivitas sekunder yang lebih tinggi dari populasi undur-undur laut di pantai Bocor Kebumen. Populasi undur-undur laut di pantai selatan Jawa Tengah mempunyai dugaan umur populasi 2-4 generasi per tahun dengan dugaan umur populasi tertinggi pada H. adactyla dari pantai Bocor Kebumen, yaitu 4 generasi per tahun.

83 65 8 PEMBAHASAN UMUM Undur-undur laut merupakan hewan bentik yang banyak tersebar di pantaipantai berpasir wilayah Indonesia, baik pasir putih maupun pasir hitam. Pemanfaatannya pun untuk dikonsumsi sudah lama dilakukan oleh masyarakat di beberapa wilayah pesisir Indonesia, di antaranya pesisir Cilacap, Kebumen, Padang Bai Bali, dan Gili Trawangan Lombok. Hanya saja, seiring dengan perkembangan aktivitas ekonomi, terutama wisata pantai atau bahari, masyarakat di beberapa wilayah pesisir, seperti Padang Bai Bali dan Gili Trawangan Lombok, sudah tidak lagi menangkap undur-undur laut, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Mereka lebih memilih berkonsentrasi dengan pengembangan kegiatan wisata pantai atau bahari. Namun bagi masyarakat di beberapa wilayah pesisir lainnya, terutama wilayah pesisir selatan Jawa Tengah, undur-undur laut tersebut masih mempunyai peran cukup penting, terutama secara ekonomi. Walaupun secara ekonomi nilai undur-undur laut atau masyarakat pesisir selatan Jawa Tengah menyebutnya yutuk masih fluktuatif, tekadang tinggi dan terkadang rendah, tergantung permintaan, namun paling tidak undur-undur laut dapat memberikan manfaat bagi lima kelompok masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir selatan Jawa Tengah, yaitu kelompok penangkap (nelayan), pengumpul, pengolah, pedagang, dan konsumer atau yang mengkonsumsi undurundur laut (Bhagawati 2016). Kenyataan ini mengharuskan stakeholders, terutama pemerintah daerah, akademisi/peneliti, dan nelayan, mulai memikirkan bagaimana cara mengelola sumber daya undur-undur laut agar populasinya di alam tetap lestari sehingga masyarakat pun masih bisa memanfaatkannya secara berkelanjutan. Sebagai bagian komponen akademisi/peneliti, hal penting yang dapat dilakukan adalah menggali informasi kondisi biologi populasi undur-undur laut, meliputi jumlah jenis, kelimpahan, reproduksi, pertumbuhan, lifespan, tingkat eksploitasi, dan potensi biomassa undur-undur laut. Informasi-informasi tersebut cukup penting sebagai salah satu dasar untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya undur-undur laut secara lestari berkelanjutan. Kajian biologi populasi undur-undur laut tersebut makin penting dilakukan di pesisir selatan Jawa Tengah tersebut karena hingga saat ini belum ada informasi biologi populasi secara lengkap undur-undur laut di wilayah tropis, termasuk di wilayah Indonesia. Informasi ilmiah tentang biologi populasi undur-undur laut baru ada untuk undur-undur laut di wilayah sub-tropis atau temperate, dan itu juga tidak banyak dan tidak semua aspek biologi populasi. Dengan demikian, penelitian biologi populasi undur-undur laut di pesisir selatan Jawa Tengah, dapat menjadi awal dan pelopor untuk penelitian biologi populasi secara lengkap undur-undur laut di wilayah tropis, khususnya wilayah Indonesia. Sebagai gambaran mengenai perkembangan penelitian undur-undur laut di Indonesia dan dunia, termasuk aspek biologi populasi, disajikan pada Tabel 12.

84 66 Tabel 12. Perkembangan penelitian undur-undur laut di Indonesia dan dunia No Topik Penelitian Lokasi Referensi A Indonesia 1 Kandungan asam lemak omega 6 pada ketam pasir (Emerita spp.) 2 Pengujian undur-undur laut Emerita analoga sebagai bahan penurun kolesterol pada mencit Mus musculus 3 Pengaruh Asupan Makanan Undur- Undur Laut Terhadap Kandungan Omega 3 Pada Telur Itik 4 Aspek pertumbuhan undur-undur laut, Emerita emeritus 5 Aspek pertumbuhan undur-undur laut, Hippa adactyla 6 Kelimpahan undur-undur laut dan distribusi sedimen 7 Diversitas dan kelimpahan kepiting pasir 8 Karkateristik habitat undur-undur laut (Famili Hippidae) 9 First record of Hippa adactyla (Fabricius, 1787) 10 First record of Albunea symmysta (Crustacea: Decapoda: Albuneidae) 11 Rasio panjang-lebar karapas, pertumbuhan relatif, faktor kondisi, dan faktor kondisi relatif undur-undur laut Hippa adactyla 12 Biodiversitas undur-undur laut Indonesia dan kajian hubungan filogenik undur-undur laut 13 Biologi reproduksi undur-undur laut Emerita emeritus betina bertelur Dunia 1 Variasi musiman undur-undur laut Emerita analoga 2 Mekanisme mengubur undur-undur laut Emerita Pantai selatan Yogyakarta Pantai Glagah, Kulon Progo Pantai Kebumen Pantai Kebumen Pantai Gagak Purworejo Pantai Cilacap dan Kebumen Pantai Cilacap Pantai Cilacap dan Kebumen Pantai Kebumen dan Bengkulu Pantai Cilacap dan Kebumen Mursyidin (2007) Kardaya et al. (2011) Hartono et al. (2011) Mashar & Wardiatno (2013) Mashar & Wardiatno (2013) Darusman et al. (2014) Mashar et al. (2014) Wardiatno et al. (2014) Ardika et al. (2015) Mashar et al. (2015) Muzammil et al. (2015) - Wardiatno et al. (2015) Pantai Bengkulu Kawasan Santa Barbara, California Kingston Harbour, Jamaica Edritanti et al. (2016) Barnes & Wenner (1967) Trueman (1970)

85 67 No Topik Penelitian Lokasi Referensi 3 Komposisi spesies dan distribusi kelimpahan undur-undur laut Emerita emeritus 4 Pengaruh suhu terhadap metabolism pernafasan undur-undur laut Emerita brasiliensis Pantai Mai Kao dan Suan Maprao, Thailand Pantai Guaeci, Sao Paulo, Brazil 5 Biologi populasi undur-undur laut Kepulauan California 6 Pertumbuhan spesifik dan kelangsungan hidup undur-undur laut Emerita portoricensis 7 Divergensi dan zoogeografi undurundur laut Emerita spp. 8 Variasi lokal populasi undur-undur laut Emerita analoga 9 Tingkat kandungan merkuri pada undur-undur laut Hippa cubensis, Emerita brasiliensis, E. portoricensis, dan Lepidopa richmondi 10 Biologi populasi undur-undur laut Emerita brasiliensis 11 Pengujian eksistensi populasi undurundur laut Emerita brasiliensis pada swash zone 12 Tingkah laku mengubur undur-undur laut, sebelum dan setelah peristiwa aliran limbah penduduk ke pantai 13 Makroekologi dinamika populasi dan daur hidup undur-undur laut Emerita brasiliensis Teluk Ma-yagiiez dan Aiiasco, Puerto Rico San Diego, California, Massachusetts, South Carolina, dan Florida, USA s Pantai selatan California Golfo Triste, Venezuela Pantai Fora, Brazil Pantai Arachania dan Barra del Chuy, Uruguay Pantai Bombinhas, Santa Catarina, Brazil Pantai berpasir Atlantik, Amerika Selatan Boonruang & Phasuk (1975) Moreira et al. (1981) Wenner et al. (1988) Sastre (1991) Tam et al. (1996) Dugan & Hubbard (1996) Pérez (1999) Veloso & Cardoso (1999) Defeo et al. (2001) Boere et al. (2001) Defeo & Cardoso (2002) 14 Filogenetik undur-undur laut Emerita - Haye et al. (2002) 15 Pengasingan atau sequestration hormon ecdysteroid pada ovari undurundur laut Emerita asiatica 16 Dinamika populasi dan produksi sekunder undur-undur laut Emerita brasiliensis Pantai Elliots, Chennai, India Pantai Prainha, Rio de Janeiro, Brazil Gunamalai et al. (2003) Petracco et al. (2003)

86 68 No Topik Penelitian Lokasi Referensi 17 Pola latitudinal kelimpahan dan daur hidup undur-undur laut Emerita brasiliensis 18 Pola pasang surut pada aktivitas undur-undur laut Emerita talpoida 19 Pola pelepasan larva undur-undur laut Emerita talpoida 20 Harshness habitat dan morfodinamik: daur hidup undur-undur laut Emerita brasiliensis 21 Variasi spasial rekrutmen undur-undur laut Emerita analoga 22 Perkembangan larva secara lengkap undur-undur laut Emerita holthuisi yang dipijahkan di laboratorium 23 Plastisitas reproduksi undur-undur laut Emerita brasiliensis 24 Macroalgal fouling pada undur-undur laut Emerita analoga memfasilitasi pemangsaan burung 25 Filogeografi undur-undur laut Emerita analoga (Crustacea, Decapoda, Hippidae) 26 Produksi makrofauna: review Emerita brasiliensis 27 Novel foraging undur-undur laut Emerita analoga 28 Densitas populasi undur-undur laut Emerita asiatica dalam hubungannya dengan kandungan karbonat dan bikarbonat 29 Undur-undur laut sebagai spesies indikator dan organisme model untuk kajian pengaruh buangan air panas dari pembangkit listrik tenaga atom terhadap zona intertidal 30 Spesies baru genus Emerita dari Taiwan Pantai berpasir pesisir selatan Amerika Selatan Pantai Atlantik, Carolina Utara Pantai Atlantik, Carolina Utara Pantai berpasir Uruguayan, Uruguay Pesisir California Karachi, Pakistan Pantai Arachania dan Barra del Chuy, Uruguay Teluk Anco n, Peru Pantai Samudera Pasifik bagian timur Brazil California Pantai Kovalam, Tamil Nadu, India Pesisir Madras, India Pesisir timur laut dan barat daya Taiwan Defeo & Cardoso (2004) Forward Jr. et al. (2005) Ziegler & Forward (2005) Cardoso & Defeo (2006) Diehl et al. (2006) Siddiqi & Ghory (2006) Delgado & Defeo (2008) Hidalgo et al. (2010) Dawson et al. (2011) Petracco et al. (2012) Lafferty et al. (2013) Seethalakshmi et al. (2014) Subramoniam (2014) Hsueh (2015)

87 69 No Topik Penelitian Lokasi Referensi 31 Kelimpahan, pertumbuhan relatif, dan fekunditas Emerita rathbunae 32 Identifikasi molekuler Gum Gum : makanan undur-undur laut Hippa adactyla dari Papua Nugini Teluk Mazatlán, Tenggara Gulf of California, Mexico Teluk Blanche, Papua Nugini Ríos-Elósegui & Hendrickx (2015) Urata et al. (2015) Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa penelitian undur-undur laut di dunia, terutama di wilayah subtropis sudah lama dilakukan, khususnya di sepanjang pesisir laut Atlantik dan Pasifik, dari wilayah Amerika Utara sampai Amerika Selatan Namun, dari sekian banyak topik penelitian tentang undur-undur laut, kajian tentang biologi populasi undur-undur laut di dunia juga belum banyak dilakukan, tercatat hanya ada tiga penelitian terkait biologi populasi, yaitu Wenner et al. (1988), Dugan and Hubbard (1996), dan Veloso and Cardoso (1999). Penelitian undur-undur laut di wilayah tropis tercatat sudah dilakukan di Thailand pada tahun 1975 (Boonruang & Phasuk 1975), tapi hanya mengkaji komposisi dan distiribusi kelimpahan, belum mengkaji biologi populasi. Adapun di Indonesia, penelitian tentang undur-undur laut, secara ilmiah tercatat baru mulai dilakukan sekitar tahun 2007 (Mursyidin 2007). Penelitian undur-undur laut dari tahun 2007 hinga 2011 baru mengkaji aspek kandungan gizi undur-undur laut. Penelitian undur-undur laut di Indonesia mulai banyak dilakukan sejak tahun 2012 hingga sekarang dengan banyak aspek kajian, diantaranya aspek kandungan gizi secara lengkap, karakteristik habitat, aspek pertumbuhan, reproduksi, genetik, dan etnobiologi. Namun, penelitian tentang aspek biologi populasi undur-undur laut secara lengkap belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian aspek biologi populasi secara lengkap undur-undur laut di pantai Cilacap dan Kebumen menjadi sangat penting. Secara biologi, baik morfologi maupun molekuler, terdapat tiga jenis undurundur laut yang ditemukan di lokasi penelitian, baik di pantai Bunton Cilacap dan pantai Bocor Kebumen, yaitu dua jenis dari famili Hippidae (Emerita emeritus atau yutuk jambe dan Hippa adactyla atau yutuk batok ) dan satu jenis dari famili Albuneidae (Albunea symmysta atau yutuk kethek ). Berdasarkan eksistensinya, ketiga jenis undur-undur laut tersebut dapat dijumpai sepanjang tahun di lokasi penelitian, dengan populasi dan kelimpahan bervariasi atau fluktuatif, dan tertinggi dijumpai pada E. emeritus. Dengan kata lain, E. emeritus adalah undur-undur laut yang paling mudah, paling sering, dan paling banyak tertangkap oleh nelayan undur-undur laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa pantai Cilacap dan Kebumen merupakan habitat penting bagi undur-undur laut jenis E. emeritus, selain pantai barat Sumatera (Gambar 30).

88 70 Gambar 30. Distribusi undur-undur laut famili Hippidae di Indonesia (Sumber: Wardiatno et al. 2015) Berdasarkan Gambar 30 terlihat bahwa khusus di wilayah Indonesia, undurundur laut Emerita emeritus hanya dijumpai di pesisir barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa Tengah (lokasi penelitian). Di wilayah pesisir lainnya tempat ditemukannya undur-undur laut famili Hippidae, belum ada informasi tentang keberadaan E. emeritus selain di kedua wilayah pesisir tersebut. Selain di Indonesia, undur-undur laut genus Emerita diketahui banyak dijumpai di wilayah pesisir India, yang juga merupakan bagian dari Samudera Hindia (Haye et al. 2002; Seethalakshmi et al. 2014). Adapun Hippa adactyla masih bisa dijumpai di wilayah lain, seperti pesisir selatan Bali, Gili Trawangan, dan pesisir Sulawesi Tengah (Wardiatno et al. 2015). Dengan demikian, sebaran undur-undur laut E. emeritus di pesisir Indonesia relatif lebih terbatas dibanding H. adactyla, sehingga menuntut perhatian lebih terhadap kelestariannya di alam, terutama di lokasi penelitian yang dijumpai E. emeritus dalam jumlah yang cukup besaar. Hal tersebut dikarenakan, jika di lokasi penelitian terjadi tekanan terhadap lingkungan, habitat, dan keberadaan undur-undur laut, maka E. emeritus adalah undur-undur laut yang mempunyai peluang paling terdampak oleh kondisi tersebut dan lebih lanjut bisa mengancam kelestarian E. emeritus di pesisir Indonesia. Oleh karena itu, beberapa topik pada penelitian ini lebih fokus pada undur-undur laut E. emeritus. Secara ekologi, habitat undur-undur laut famili Hippidae berbeda dengan famili Albeneidae. Undur-undur laut famili Hippidae cenderung berada di daerah intertidal dan famili Albeneidae cenderung berada di daerah subtidal. Karakteristik alami inilah yang menyebabkan populasi dan kelimpahan undur-undur famili Hippidae yang didapatkan di lokasi penelitian, yang merupakan daerah intertidal, jauh lebih tinggi dari famili Albuneidae. Keberadaan undur-undur laut Albunea symmysta di lokasi penelitian diduga bukan hanya karena untuk mencari makanan, namun dapat menunjukkan bahwa ruang hidup A. symmysta cukup luas mulai dari intertidal hingga subtidal, karena intensitas ditemukannya A. symmysta di lokasi

89 71 penelitian cukup sering, walaupun dalam jumlah yang sedikit. Kondisi ini dapat terjadi karena daerah intertidal atau jarak antara pasang tertinggi dan surut terendah, di pantai selatan Jawa Tengah relatif pendek, yang dipengaruhi oleh karakteristik dan topografi pantainya. Dengan daerah intertidal yang pendek, maka biota-biota yang menghuni daerah subtidal, baik yang dewasa non sessil maupun yang masih bersifat planktonik, berpeluang pergerakannya dapat mencapai daerah intertidal, di antaranya untuk mencari makanan dan mencari tempat hidup yang lebih baik, seperti undur-undur laut Albunea symmysta. Berkaitan dengan pergerakan undur-undur laut secara vertikal antar zona pantai dan konektivitas undur-undur laut secara horisontal antar lokasi penelitian, maka salah satu faktor penting yang mempengaruhinya adalah stadia hidup undurundur laut pada fase larva. Pada saat stadia larva, undur-undur laut bersifat planktonik atau sebagai meroplankton, sehingga masih bisa bebas bergerak dan berpindah-pindah dari satu perairan ke perairan lainnya. Pergerakan atau mobilitas dan perpindahan undur-undur laut pada stadia larva dapat terjadi secara vertikal dari zona subtidal ke zona intertidal atau sebaliknya. Demikian juga, larva undur-undur laut dapat bergerak dan berpindah secara horisontal dari satu lokasi ke lokasi sekitarnya yang terdekat, misalkan dari pantai Cilacap ke pantai Kebumen atau sebaliknya. Adanya pergerakan larva undur-undur laut tersebut, baik secara vertikal maupun horisontal, secara intensif dalam suatu waktu dapat membangun konektivitas undur-undur laut antar populasi atau wilayah. Dengan demikian, fase meroplankton undur-undur laut mempunyai peran penting dalam menentukan pola konektivitas undur-undur laut antar populasi, apalagi fase meroplankton undurundur laut dapat berlangsung cukup lama, yaitu sekitar empat bulan. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pergerakan undur-undur laut sehingga terbangun konektivitas antar populasi undur-undur laut adalah pola arus. Pola arus akan mempengaruhi sebaran undur-undur laut pada stadia larva, baik secara spasial maupun temporal. Pola arus akan menentukan kemana saja larva undur-undur laut akan tersebar, seberapa jauh sebarannya, dan berapa lama waktu yang ditempuh untuk mencapai lokasi tertentu. Pada kasus kemungkinan bercampurnya populasi undur-undur laut famili Hippidae pantai Cilacap dan Kebumen dapat dijelaskan pula dari pola arus laut di perairan laut Pulau Jawa yang secara ringkas disajikan pada Gambar 31. Gambar 31. Pola arus perairan Pulau Jawa bulan Agustus 2014 (Sumber: Muzammil 2015)

BIOMASSA SESAAT SUMBER DAYA PERIKANAN UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: DECAPODA: HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR CILACAP DAN KEBUMEN, JAWA TENGAH

BIOMASSA SESAAT SUMBER DAYA PERIKANAN UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: DECAPODA: HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR CILACAP DAN KEBUMEN, JAWA TENGAH Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 7, No. 2, November 2016 Hal: 211-218 BIOMASSA SESAAT SUMBER DAYA PERIKANAN UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: DECAPODA: HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR CILACAP DAN KEBUMEN,

Lebih terperinci

Penentuan Parameter Desain Alat Penangkap Undur-Undur Laut di Cilacap dan Kebumen

Penentuan Parameter Desain Alat Penangkap Undur-Undur Laut di Cilacap dan Kebumen Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 08 September 2016 ISBN 978-602-70530-4-5 halaman 248-255 Penentuan Parameter Desain Alat Penangkap Undur-Undur Laut

Lebih terperinci

ASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Emerita emeritus DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar* dan Yusli Wardiatno

ASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Emerita emeritus DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar* dan Yusli Wardiatno ASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Emerita emeritus DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar* dan Yusli Wardiatno Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir Klasifikasi Emerita emeritus menurut Zipcodezoo (2012) dan Hippa ovalis menurut crust.biota.biodiv.tw (2012) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

Aspek Pertumbuhan Undur-undur

Aspek Pertumbuhan Undur-undur ASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Hippa adactyla DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar * dan Yusli Wardiatno Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MORFOLOGI DAN GENETIK UNDUR-UNDUR LAUT Albunea symmysta, Linnaeus 1758 (CRUSTACEA:HIPPOIDEA) DI PERAIRAN SUMATERA DAN JAWA

ANALISIS VARIASI MORFOLOGI DAN GENETIK UNDUR-UNDUR LAUT Albunea symmysta, Linnaeus 1758 (CRUSTACEA:HIPPOIDEA) DI PERAIRAN SUMATERA DAN JAWA ANALISIS VARIASI MORFOLOGI DAN GENETIK UNDUR-UNDUR LAUT Albunea symmysta, Linnaeus 1758 (CRUSTACEA:HIPPOIDEA) DI PERAIRAN SUMATERA DAN JAWA FEBI AYU PRAMITHASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ESTIMASI PRODUKTIVITAS SEKUNDER KEPITING PASIR

ESTIMASI PRODUKTIVITAS SEKUNDER KEPITING PASIR ESTIMASI PRODUKTIVITAS SEKUNDER KEPITING PASIR Emerita emeritus DAN Hippa ovalis PADA MARET SAMPAI MEI 2012 DI PANTAI BERPASIR, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH RANI NURAISAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

Silabus Mata Kuliah. Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB

Silabus Mata Kuliah. Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB Silabus Mata Kuliah MSP 501 Metode Penelitian Sumberdaya Perairan 2(2-0) Penerapan konsep dan metode ilmiah dalam berbagai penelitian (eksplorasi, pengembangan atau verifikasi) serta permasalahannya dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN ENI MEGAWATI SKRIPSI

STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN ENI MEGAWATI SKRIPSI STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN ENI MEGAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN 100302040 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH:

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: SAPRIL ANAS HASIBUAN 071202026/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Laksito Nugroho M 0401037 JURUSAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM Tujuan Pengelolaan Perikanan Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM suadi@ugm.ac.id Tujuan Pengelolaan tenggelamkan setiap kapal lain kecuali milik saya (sink every other boat but mine)

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN ARTIKEL ILMIAH Oleh Ikalia Nurfitasari NIM 061810401008 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2012 ARTIKEL ILMIAH diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN BURUNG PANTAI DAN POTENSI MAKANAN DI PANTAI MUARA INDAH KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN BURUNG PANTAI DAN POTENSI MAKANAN DI PANTAI MUARA INDAH KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI KEANEKARAGAMAN BURUNG PANTAI DAN POTENSI MAKANAN DI PANTAI MUARA INDAH KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH: FIVIN ENDHAKA OLIVA 090805056 DEPARTEMEN BIOLOGI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI Oleh Dina Fitriyah NIM 061810401071 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BLACK GHOST (Apteronotus albifrons) SKRIPSI OLEH : DWI AULIA ALWI 100302071 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT

ANALISIS POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT ANALISIS POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT Hippa adactyla Fabricius, 1787 (CRUSTACEAN: HIPPIDAE) BERDASARKAN PENDEKATAN MORFOMETRIK DAN GENETIK DI PANTAI BERPASIR CILACAP DAN KEBUMEN WAHYU MUZAMMIL SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK

KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK KEBIASAAN MAKANAN IKAN BELOSO (Glossogobius giuris, Hamilton-Buchanan, 1822) DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR TRI PRIHARTATIK DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

STUDI BIOEKOLOGI IKAN GELODOK (FAMILI : GOBIIDAE) DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA

STUDI BIOEKOLOGI IKAN GELODOK (FAMILI : GOBIIDAE) DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA 1 STUDI BIOEKOLOGI IKAN GELODOK (FAMILI : GOBIIDAE) DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : SABILAH FI RAMADHANI 100302041 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat

Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat Kelimpahan dan Struktur Komunitas Kima (Tridacnidae) pada Daerah Terumbu Karang di Zona Intertidal Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat Tesis Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI UNDUR-UNDUR LAUT EMERITA EMERITUS DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH DEWI AYU KUSUMAWARDANI

BIOLOGI REPRODUKSI UNDUR-UNDUR LAUT EMERITA EMERITUS DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH DEWI AYU KUSUMAWARDANI BIOLOGI REPRODUKSI UNDUR-UNDUR LAUT EMERITA EMERITUS DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH DEWI AYU KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 (The Study of Population Growth of Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897)

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Kasus Perusahaan Peternakan Rian Puspita Jaya Jakarta Selatan) SKRIPSI EVA SUSANTI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Kontribusi Taksonomi dalam Pendayagunaan Spesies: Kajian Atribut Morfologi dan Kunci Dikotomi Kepiting Yutuk (Crustacea:Hippoidea) dari Pesisir Cilacap Dian Bhagawati 1*), Sutrisno Anggoro 2), Muhammad

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TONGKOL

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TONGKOL ANALISIS PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TONGKOL (Auxis thazard) YANG DIDARATKAN DI KUD GABION PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA BELAWAN SUMATERA UTARA KARTIKA DEWI 110302011 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Oleh : MAYA RESMAYANTY C44101004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PRODUKSI TELUR DAN BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE (DECAPODA; CRUSTACEA) DI PANTAI BENGKULU QURATUL EDRITANTI

PRODUKSI TELUR DAN BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE (DECAPODA; CRUSTACEA) DI PANTAI BENGKULU QURATUL EDRITANTI PRODUKSI TELUR DAN BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT FAMILI HIPPIDAE (DECAPODA; CRUSTACEA) DI PANTAI BENGKULU QURATUL EDRITANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci