BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan anggaran untuk pengadaan barang/jasa (Killen dan Kamauff, 1995)

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak organisasi menghabiskan paling sedikit satu pertiga dari keseluruhan anggaran untuk pengadaan barang/jasa (Killen dan Kamauff, 1995) tak terkecuali pengadaan pada sektor publik yang pada umumnya termasuk bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah selain dari gaji pemerintah dan tunjangan sosial (Transparency International Indonesia, 2011). Meskipun demikian terdapat penelitian yang menemukan adanya ketidakefisienan pada proses pengadaan barang/jasa kemudian akan turut berdampak pada kinerja pengadaan (Gupta, Jha dan Gupta, 2010). Oleh sebab itu proses pengadaan barang/jasa perlu dilakukan secara online untuk dapat membantu pemerintah dalam mengontrol pengeluaran yang dilakukan instansi pemerintah dan pada akhirnya turut berdampak pada kinerja pengadaan barang/jasa. E-procurement termasuk salah satu alat pengadaan barang/jasa online yang dapat digunakan instansi pemerintah dalam mengontrol pengeluaran instansi pemerintah sampai akhirnya juga diharapkan oleh banyak pihak dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik pada sektor pemerintahan seperti meningkatkan transparansi, efisiensi,efektivitas dan akuntabilitas (Croom dan Jones, 2005; Rotchanakitumnuai, 2013; Seong dan Lee, 2004). E-procurement dapat menjadi alat untuk mencapai tatakelola pemeritah yang baik karena e- procurement memberikan kesempatan untuk semua pihak turut terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa secara virtual baik dengan melakukan tender 1

2 maupun mengawasi proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah (Purwanto, Ibty dan Rofikoh, 2008). Namun untuk mencapai hal tersebut maka organisasi sektor publik harus lebih dulu mengadopsi e- procurement. Beberapa penelitian terdahulu telah menyelidiki mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi e-procurement di beberapa Negara seperti studi literatur di Amerika, United Kingdom dan Australia (Vaidya, 2006), studi eksploratori di United Kingdom (Croom dan Jones, 2005), studi kasus implementasi e-procurementpada tigabelas Pemerintah Kota di Jerman (Huntgeburth, Steininger dan Parasie 2012), studi kasus di Denmark (Henriksen dan Mahnke, 2004), studi kasus di Korea (Seong dan Lee, 2004). Penelitianpenelitian di berbagai negara tersebut menghasilkan model penelitian yang berbeda-beda sesuai dengan faktor eksternal dan faktor internal dari negara-negara tersebut.selain itu, banyak dari penelitian tersebut dilakukan di negara barat yang memiliki perbedaan rantai penawaran dengan negara di Asia (Chow, et al. 2008). Dengan demikian maka strategi untuk mendorong adopsi e-procurement di Indonesia dapat pula berbeda dengan negara lain. Indonesia termasuk negara yang turut menyadari pentingnya e- procurement sebagai alat untuk menciptakan good governance. Hal ini nampak melalui beberapa peraturan terkait dukungan mengenai implementasi e- procurement seperti Kepres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010 yang kemudian dipertegas dengan Perpres No. 70 Tahun 2012 terkait kewajiban kepada seluruh instansi 2

3 pemerintah untuk menerapkan e-procurement terhitung mulai tahun 2012; Inpres No. 17 Tahun 2011 yang berisi kewajiban mengenai 75% paket pengadaan instansi vertikal dilakukan melalui e-procurement sejak tahun anggaran 2012 dan 40% paket pengadaan instansi Pemerintah daerah dilakukan lewat e-procurement; Inpres No. 1 Tahun 2013 yang mewajibkan 100% instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menerapkan e-procurement. Meskipun peraturan yang mendorong adopsi e-procurement di lingkungan pemerintahan Indonesia telah ada sejak tahun 2003 namun pelaksanaan adopsi e- procurement tidak dilaksanakan secara merata di semua lini pemerintahan yang terdapat di Indonesia. Pilot project adopsi e-procurement telah diprakarsai oleh Layanan Pengadaan Barang dan Jasa secara Elektronik (LPSE) Pusat sejak tahun 2007 terhadap beberapa daerah di Indonesia seperti Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Gorontalo sebagai lokasi pilot project untuk penerapan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik. Hal ini sesuai dengan Surat Nomor 0192/M.PPN/05/2007 (Fahrurozin, 2014).Perkembangan adopsi LPSE dari berbagai provinsi di Indonesia mengalami dinamika dari tahun ke tahun. Hal ini tampak pada tabel 1.1 di bawah ini yang diambil dari website Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) berisi gambaran mengenai dinamika jumlah Pemerintah Provinsi yang melakukan lelang menggunakan Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE). Table 1.1 Perkembangan Jumlah Pemprov yang melakukan Lelang Menggunakan LPSE dari

4 Tahun Jumlah PemProv Sumber: LKPP (2012) Dinamika adopsi e-procurement oleh Pemerintah Provinsi di Indonesia inilah yang menimbulkan motivasi peneliti untuk menyelidiki mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi e-procurement teristimewa pada SKPD level Provinsi karena Indonesia termasuk negara heterogenitas dalam berbagai aspek dan menganut sistem otonomi daerah (Transparency International Indonesia, 2011; Purwanto, Ibty dan Rofikoh, 2008). Dengan demikian maka untuk mendorong adopsi e-procurement di Indonesia perlu memperhatikan potensi dan kemampuan dari Pemerintah Provinsi masing-masing.pemerintah Provinsi termasuk bagian yang terdekat dengan masyarakat dan memahami kebutuhan bisnis lokal. Bila meninjau dari sisi penelitian maka telah terdapat beberapa penelitian mengenai adopsi e-procurement di sektor publik yang menggunakan perspektif individu sebagai unit analisis (Vaidya, Sajeev dan Callender, 2006; Aboelmaged, 2010; Suliantoro, Ghozali dan Wibowo, 2015) dengan berdasarkan pada teori psikologi seperti Theory of Reasoned Action(Fishbein dan Ajzen 1975) maupun teori sosiologi seperti Innovation Diffusion Theory(Rogers, 2003) yang disesuaikan dengan konteks sistem informasi. Namun Chau dan Tam (1997) menyatakan bahwa teori mengenai adopsi teknologi yang menggunakan individu sebagai unit analisis menjadi kurang sesuai ketika konteks inovasi dan unit analisis menjadi semakin kompleks serta spesifik.selain itu menurut Henriksen dan Mahnke (2004), pada konteks organisasi sektor publik teristimewa dengan 4

5 sistem desentralisasi membutuhkan keputusan dari banyak pihak yang terdapat di organisasi untuk mengadopsi suatu inovasi. Adopsi inovasi yang semakin kompleks dan spesifik seperti e-procurement membutuhkan keputusan level organisasi yang dilakukan pada konteks antar organisasi. Oleh sebab itu untuk memahami mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi e-procurement oleh organisasi sektor publik dapat berdasarkan pada sudut pandang teknologi, motivasi dan kemampuan internal organisasi serta lingkungan di luar organisasi (Technology-Organizational- Environmen framework: TOE framework). Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) telah membuat model mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan adopsi e-procurement pada tiga belas Pemerintah Kota di Jerman dengan menggunakan TOE framework yaitu keunggulan relatif (relative advantage), kesiapan organisasidan lingkungan eksternal (facilitating environment). Penelitian dari Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) merupakan multiple case study yang masih memerlukan pengujian secara empiris. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk menguji model dari Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) dengan melakukan modifikasi model sesuai konteks penelitian di lingkungan Pemerintah Provinsi Indonesia. Pendekatan studi kasus termasuk bentuk ideal untuk mengembangkan hipotesis (Chwelos, Benbasat dan Dexter, 2001) sehingga penelitian ini akan menguji secara empiris penelitian dari Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) dengan menggunakan pendekatan survei untuk menguji model secara statistik. 5

6 Hubungan antara faktor eksternal dan faktor organisasional pada model penelitian ini juga diuji dengan berdasarkan pada teori neo institusional dan teori strukturasi. Teo, Wei dan Benbasat (2003) telah menggunakan teori institusional untuk dapat menjelaskan faktor lingkungan di sekitar organisasi yang berpengaruh terhadap keputusan perusahaan-perusahaan di Singapura untuk mengadopsi Financial Electronic Data Interchange (FEDI).Lebih lanjut Chatterjee, Grewal dan Sambamurthy (2002) maupun Rai, Brown dan Tang (2009) menggunakan teori strukturasi untuk menjelaskan peranan aktor dalam organisasi untuk turut mempengaruhi keputusan adopsi inovasi teknologi informasi seperti e- procurement maupun e-commerce. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan teori neo institusional, teori strukturasi dan TOE framework untuk dapat menjelaskan mengenai peran lingkungan sekitar maupun aktor dalam organisasi yang mempengaruhi keputusan adopsi e-procurement pada lingkup organisasi sektor publik. Penelitian ini fokus pada keputusan adopsi aktual e-procurement pada level organisasi. Alasan penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena terdapat kemungkinan hasil penelitian yang dilakukan oleh Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) di Jerman akan memiliki hasil berbeda ketika dilakukan di Indonesia mengingat terdapat perbedaan karakteristik sistem pemerintahan yang memungkinkan proses pengadaan di lingkungan Pemerintah Jerman dan Pemerintah Indonesia turut berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya lebih pada indikator yang menjadi ukuran bagi tiga konstruk berdasarkan pada TOE 6

7 framework, teori institusional dan teori strukturasi. Indikator centralization untuk mengukur konstruk kesiapan organisasi dikeluarkan dalam penelitian ini karena tidak sesuai dengan konteks pengadaan barang dan jasa pada pemerintahan di Indonesia yang menganut sistem otonomi daerah (Transparency International Indonesia, 2011).Henriksen dan Mahnke (2005) yang menganalisa mengenai sistem pengadaan terpusat di Denmark menemukan bahwa solusieprocurementterpusatbertentangandengan kekuatanpengadaandesentralisasi. Penelitian ini juga hanya memasukkan keunggulan relatif Teknologi Informasi (TI) sebagai faktor teknologi seperti yang terdapat pada TOE framework karena termasuk konstruk yang tetap stabil mempunyai pengaruh terhadap adopsi suatu inovasi teknologi informasi (Karahanna, Straub dan Chervany, 1999). Ada juga perbedaan pada indikator-indikator untuk mengukur konstruk lingkungan eksternal. Perbedaan indikator tersebut antara lain dimensi penerimaan antara penyedia lokal diganti dengan kesiapan penyedia seperti dalam penelitian Chwelos, Benbasat dan Dexter (2001) maupun dimensi legal framework yang diperluas menjadi tekanan eksternal. Penelitian ini menggunakan dimensi penerimaan penyedia lokal karena dianggap lebih cocok untuk menjelaskan mengenai kondisi penyedia barang/jasa yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di Jawa Barat, Propinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Barat adalah beberapa paket lelang yang mengalami pengulangan proses lelang karena dianggap tidak memenuhi syarat. Menurut hasil evaluasi sementara ternyata hanya sedikit peserta yang memasukkan dokumen penawaran. Hal ini 7

8 disebabkan oleh penyedia barang/jasa yang belum terbiasa dengan teknologi informasi dan komunikasi, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi dari penyedia yang kurang memadai, serta kurang ada pemahaman mengenai proses lelang dengan menggunakan sistem aplikasi LPSE (Purwanto, Ibty dan Rofikoh, 2008). Dengan demikian maka sebelum penyedia barang/jasa siap menerima e- procurement maka penyedia barang/jasa harus memiliki kesiapan untuk menggunakan e-procurement. Adapula dimensi legal framework yang menjadi salah satu indikator untuk mengukur konstruk lingkungan eksternal diperluas menjadi tekanan eksternal untuk dapat mengukur mengenai tekanan dari lingkungan di sekitar organisasi yang mempengaruhi organisasi untuk mengadopsi e-procurement. Huntgeburth, Steininger dan Parasie (2012) menemukan bahwa legal frameworkmenjadi prediktor yang lemah untuk keputusan adopsi aktual Pemerintah Kota di Jerman karena bukan hal yang mengejutkan lagi harus ada peraturan yang mengatur mengenai sarana elektronik. Frumkin dan Galaskiewicz (2004) yang menemukan bahwa organisasi sektor publik lebih rentan terhadap tekanan eksternal yang berasal dari peraturan atau lembaga lain untuk mengadopsi suatu struktur atau sistem (Ashworth, Boyne dan Delbridge, 2007). Dengan demikian untuk mengukur mengenai tekanan lingkungan sekitar yang berpengaruh terhadap keputusan adopsi e-procurement tidak hanya bersumber dari peraturan namun juga dari lembaga lain yang pada penelitian ini disebut sebagai tekanan eksternal. Meskipun ada harapan bahwa melalui adopsi aktual e-procurement dapat meningkatkan kinerja pengadaan barang/jasa (Quesada, dkk. 2010; Rai, Brown 8

9 dan Tang, 2009), namun Roman (2013) menemukan bahwa adopsi e-procurement gagal untuk mentransformasikan manfaat dari e-procurement seperti yang disebutkan oleh studi-studi yang tengah populer. Penelitian ini akan menyelidiki apakah fenomena adopsi e-procurement dapat memberikan konsekuensi yang baik dalam bentuk pengadaan barang/jasa menjadi lebih baik atau tidak. Berdasarkan pada latar belakang inilah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Anteseden dan Konsekuensi Adopsi Aktual E-procurement. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pertanyaan-pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah faktor teknologi (keunggulan relative TI) berpengaruh terhadap adopsi aktual e-procurement SKPD level Pemerintah Provinsi? 2. Apakah faktor kesiapan organisasi (komitmen politikal, sumberdaya keuangan,dan kecanggihan teknologi informasi) berpengaruh terhadap adopsi aktual e-procurement SKPD level Pemerintah Provinsi? 3. Apakah faktor lingkungan eksternal(kesiapan penyedia barang/jasa, pengaruh dari organisasi lain, dan tekanan eksternal) berpengaruh terhadap adopsi aktual e-procurement SKPD level Pemerintah Provinsi? 4. Apakah adopsi aktual e-procurement berpengaruh terhadap kinerja pengadaan barang/jasa pada SKPD level Pemerintah Provinsi? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki secara empiris mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan adopsi aktual oleh Satuan Kerja Perangkat 9

10 Daerah (SKPD) level Pemerintah Provinsi dan dampak adopsi aktual e- procurement terhadap kinerja pengadaan barang/jasa. 1.4 Kontibusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan adopsi aktual pada suatu organisasi teristimewa di sektor publik seperti Pemerintah Provinsi dan dampak dari adopsi aktual e- procurement terhadap kinerja pengadaan barang/jasa.hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dalam rangka menetapkan Undang-Undang yang mengatur mengenai sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik. 1.5 Sistematika Pembahasan Penulisan penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan. Bab ini menyajikan gambaran umum yang menjadi dasar pelaksanaan penelitian.bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori dan Penyusunan Hipotesis Uraian pada bab II berisi tinjauan teoritis mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan e-procurement, frameworktoe, teori 10

11 strukturasi dan teori neo-institusional. Selain itu, adapula penelitianpenelitian sebelumnya sebagai landasan dalam penyusunan hipotesis serta kerangka pemikiran teoritis yang mendasari penelitian ini. Bab III: Metode Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian.metode penelitian ini berisi rincian mengenai populasi dan sampel, teknik pengambilan data, definisi dan pengukuran konstuk, pengujian instrumen penelitian, dan metode analisis data. Bab IV: Analisis Data dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum responden, hasil pengolahan data penelitian, serta pembahasannya. Bab V: Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Penelitian. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan penelitian ini. Bab ini berisikan kesimpulan penelitian, keterbatasan dan saran-saran bagi peneliti-peneliti berikutnya yang tertarik untuk mengembangkan penelitian ini dan pihak-pihak lain yang terkait. 11