Bab IV Sejarah Pembentukan Cekungan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Sejarah Pembentukan Cekungan"

Transkripsi

1 Bab IV Sejarah Pembentukan Cekungan Pengertian tentang sejarah pembentukan cekungan didapatkan dengan menggabungkan tiga buah metoda yaitu metoda analisis geohistory, metoda analisis sejarah termal dan metoda gravitasi, ketiga metoda akan digabungkan dengan harapan mendapatkan hasil yang paling benar. Penentuan umur baik untuk data sumur maupun data lintasan seismik didasarkan pada kesimpulan zona biostratigrafi (Ryacudu, 25) yang kemudian dirubah menjadi umur absolut menggunakan zonasi blow hasil modifikasi LEMIGAS, 1994 (lampiran B). IV.1 Kurva Kompaksi Kurva kompaksi diperlukan untuk membuat sejarah pemendaman baik dalam satu dimensi maupun dalam dua dimensi, yaitu ketika melakukan pengupasan kebelakang (backstripping) Untuk mendapatkan ketebalan paleostratigrafinya, selain itu juga untuk mengkoreksi nilai konduktifitas panas yang terukur. Hal tersebut perlu dilakukan dikarenakan nilai konduktifitas panas yang terukur telah dirata-rata baik persatuan batuan, maupun persumur. Kurva kompaksi didapatkan dari plot data porositas terhadap kedalaman yang kemudian diregresikan sesuai dengan model kurva kompaksi yang diinginkan. Dalam analisis selanjutnya kurva kompaksi yang digunakan adalah model kurva kompaksi powerlaw hasil modifikasi dari model soliditas batuan dari Baldwin dan Buttler, 1985 (dalam Kesumajana, 25). Kurva kompaksi yang digunakan berasal dari 2 sumur pemboran di cekungan Sumatra Selatan (Gambar IV.1) dengan parameter kurva kompaksi yang digunakan adalah : A=63. %, b1= dan b2=.21 (Kesumajana, 25). 69

2 Kurva Kompaksi Serpih Beberapa Sumur di Cekungan Sumatera Selatan Porositas (%) Kedalaman (meter) 15 2 porositas (%) 25 3 Kurva kompaksi Powerlaw Baldwin and Butler, 1985 (Pz=Po+aZ^b) Kurva kompaksi eksponensial Sclater and Christie, 198 [Pz=Po exp (-cz)] Kurva kompaksi eksponensial Falvey and Middleton, 1981 (1/pz=1/po+kZ) Gambar IV.1. Beberapa model kurva kompaksi untuk cekungan Sumatera Selatan (Kesumajana,25) IV.2 Pembentukan Cekungan Berdasarkan Sejarah Pemendaman Untuk mendapatkan pengertian tentang sejarah pembentukan cekungan maka dilakukan analisis geohistori dua buah penampang lintasan hasil interpretasi dari penampang seismik komposit mewakili pola umum graben pada Cekungan Sumatra Selatan. Kedua penampang tersebut adalah: 7

3 1. lintasan S14-S17 melalui Kompleks Graben Limau Tepus mewakili graben pola Sumatra, 2. lintasan S23 melalui Graben Saung naga mewakili graben pola Sunda. Untuk memperjelas penggambaran ketiga pola tersebut ditambahkan pula analisis geohistori 1D pada sumur-sumur pemboran dan sumur bayangan disekitar ketiga penampang seismik. Pada penampang seismik bagian atas ditambahkan ketebalan lapisan tererosi dengan mengasumsikan bahwa pada posisi terdalam endapan post-rift setiap lintasan tidak mengalami erosi. Dengan demikian ketebalan endapan post-rift di setiap posisi pada lintasan seismik dapat digambarkan untuk kondisi sebelum terjadi proses erosi terakhir. Umur awal tererosi diasumsikan sama dengan 1.85 juta tahun lalu yaitu kala Plio-Pleistosen. Profil sejarah pemendaman pada setiap lintasan seismik tertera pada Gambar IV.2a hingga 2e dan Gambar IV.3a hingga 3e. Baratlaut 1 Tenggara -1 Kedalaman (km) Post-Rift Syn-Rift -6 Pre-Rift Sesar Jarak (km) Gambar IV.2a Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S14-S17 menggambarkan sejarah pemendaman pada Kompleks Graben Limau-Tepus masa kini dengan panjang Garis biru=post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam=sesar. 71

4 Baratlaut Tenggara 1-1 Kedalaman (km) Lapisan Tererosi Post-Rift Syn-Rift Pre-Rift Sesar Jarak (km) Gambar IV.2b Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S14-S17 menggambarkan sejarah pemendaman pada Kompleks Graben Limau-Tepus pada kondisi 1.65 jt th lalu sebelum tererosi dengan panjang 63.5 km. Garis berwarna orange=post-rift 2 (maksimum sedimen diendapkan sebelum tererosi=1.65 jt. th), garis biru=post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah Pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam adalah sesar. Baratlaut 1 Tenggara -1 Kedalaman (km) Post-Rift Syn-Rift -6 Pre-Rift Sesar Jarak (km) Gambar IV.2c Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S14-S17 menggambarkan sejarah pemendaman pada Kompleks Graben Limau-Tepus pada kondisi 17.9 jt. th lalu dengan panjang km Garis biru =Post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau= Syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam =sesar. 72

5 Baratla 1 Tenggara -1 Kedalaman (km) Syn-Rift Pre-Rift Sesar Jarak (km) Gambar IV.2d Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S14-S17 menggambarkan sejarah pemendaman pada Kompleks Graben Limau-Tepus pada kondisi kondisi 25 jt. th lalu dengan panjang 32.8 km Garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis=merah Pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam=sesar. Baratlaut 5 Rekonstruksi Simple Shear (sudut 1 derajat) Syn-Rift Tenggar Pre-Rift -5-1 Kedalaman (km) Syn-Rift Pre-Rift Sesar Hasil Rekonstruksi Bidang Moho bidang moho Jarak (km) Gambar IV.2e Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S14-S17 menggambarkan sejarah pemendaman pada Kompleks Graben Limau-Tepus pada kondisi kondisi 25 jt. th untuk mendapatkan kedalaman bidang moho dilakukan restorasi simple shear. Kedalaman bidang moho didapatkan pada km Garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam=sesar, garis Ungu=bidang moho. 73

6 Timurlaut Baratdaya -1 Kedalaman (km) Jarak (km) Gambar IV.3a Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S23 menggambarkan sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga masa kini dengan panjang penampang km. Garis biru=post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam=sesar. Timurlaut 1 Baratdaya Kedalaman (km) Jarak (km) Gambar IV.3b Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S23 menggambarkan sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga kondisi 1.65 jt th lalu sebelum tererosi dengan panjang km Garis berwarna orange=post-rift 2 (maksimum sedimen diendapkan sebelum tererosi = 1.65 jt. th), garis biru=post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam adalah sesar. 74

7 1 Timurlaut Baratdaya Kedalaman (km) Jarak (km) Gambar IV.3c Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S23 menggambarkan sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga kondisi 17.9 jt th dengan panjang km Garis berwarna biru=post Rift 1 (17.9 jt. th), garis hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis = sesar. Timurlaut Baratdaya 1 Kedalaman (km) Jarak (km) Gambar IV.3d Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S23 menggambarkan sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga kondisi 25 jt. th lalu dengan panjang km Garis berwarna hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam = sesar. 75

8 1 Timurlaut Baratdaya Kedalaman (km) Jarak (km) Gambar IV.3e Profil sejarah pemendaman pada hasil interpretasi lintasan seismik komposit S23 menggambarkan sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga kondisi 3.4 jt th lalu s dengan panjang km Garis berwarna hijau=syn-rift (25 jt. th) garis merah=pre-rift (3.4 jt. th.) dan garis hitam = sesar. Dari penampang S14-S17 didapatkan bahwa prediksi kedalaman bidang moho adalah antara km. Dengan mengetahui panjang setiap penampang hasil rekonstruksi maka besaran penipisan kerak dapat dihitung: Tabel IV.1. faktor beta dari rekonstruksi penampang Umur S14 S23 Panjang (km) faktor Panjang (km) faktor masa kini jt. th jt. th jt. th jt. th Profil sejarah pemendaman 1D untuk setiap graben tergambar pada Gambar IV.4, IV.5 dan IV.6. setiap sumur yang dianalisis hingga kedalaman batuan dasar, bila ternyata ada sumur yang tidak sampai ke batuan dasar maka sumur kedalamannya akan ditambahkan dari penampang korelasi sumur. Profil sejarah pemendaman dan profil sejarah subsiden tektonik yang didapatkan dari Kompleks Graben Jambi memperlihatkan bahwa pada fasa rifting (

9 jt. th.) sumur Tempino 176 (kurva berwarna jingga pada Gambar IV.4) memiliki ketebalan terbesar 2114 m, baru kemudian sumur Batu Ampar-1 (kurva berwarna kuning pada Gambar IV.4) dengan ketebalan fasa rifting 355 m dan sumur Gelam- 1 (kurva berwarna biru tua pada Gambar IV.4) dengan ketebalan fasa rifting 262 m, sedangkan pada ketiga sumur sisanya tidak terdapat fasa rifting, hal ini ditunjukkan oleh belum terdapat sedimen pada umur fasa rifting terjadi, pada penampang korelasi stratigrafi A1 dan A2 pada bab III (Gambar III.4 dan III.5) ketiga sumur tersebut berada pada tinggian. Bila diperhatikan pada penampang korelasi stratigrafi A1 dan A2 pada bab III (Gambar III.4 dan III.5) maka dapatlah diketahui bahwa ketiga sumur yang memiliki fasa rifting berada pada graben yang berbeda. Dari ketebalan sedimen pada fasa rifting dapat disimpulkan bahwa Graben Tempino-Kenali Asam tempat sumur Tempino 176 berada memiliki penurunan dasar cekungan yang sangat cepat (415 m per jt. th). Hal tersebut ditunjang dengan ciri sedimen yang diendapkan pada Graben Tempino-Kenali Asam pada saat terjadi rifting adalah endapan batial. Sedangkan pada kedua sumur lainnya diendapkan sedimen pada lingkungan marginal atau laut dangkal. Berbeda dengan Kompleks Graben Jambi, pada Kompleks Graben Limau - Tepus profil sejarah pemendaman dan tektonik hampir seragam dan memiliki endapan syn-rift yang menipis menjauhi pusat cekungan, kecuali pada sumur Gambir-1 (berwarna jingga pada Gambar IV.5) karena sumur tersebut tidak mencapai dasar cekungan melainkan bila diteruskan hingga sediment terdalam akan menembus sesar utama pada Kompleks Graben Limau - Tepus seperti terlihat pada penampang korelasi stratigrafi F pada bab III (Gambar III.12). Sumur Lembak-8 (berwarna biru muda pada Gambar IV.5) dibor pada tinggian di sisi timur graben tersebut sehingga tidak memiliki endapan syn-rift seperti terlihat pada penampang korelasi stratigrafi F pada bab III (Gambar III.12). Dari kelima sumur yang memiliki endapan fasa rifting, berturut-turut dari arah dalaman sumur Tepus-1 (berwarna oranye pada Gambar IV.5) memiliki ketebalan endapan syn-rift 1995 m, sumur Tepus 2 (berwarna coklat pada Gambar IV.5) dengan ketebalan 266 m, 77

10 sumur Petanang-1 (berwarna hijau pada Gambar IV.5) dengan ketebalan 664 m, Pandan-B1 (berwarna kuning pada Gambar IV.5) dengan ketebalan 191 m dan Gambir-1 (berwarna jingga pada Gambar IV.5), dengan ketebalan fasa rifting 996 m, dan pada sumur Sirut-1 (berwarna putih pada Gambar IV.5) memiliki ketebalan 181 m. Dari keenam sumur yang memiliki fasa rift hanya satu sumur yaitu Sirut-1 yang berada di tepi cekungan memiliki kedalaman pemboran hingga mencapai batuan dasar, sedangkan lima sumur sisanya tidak menembus batuan Kurva Total Subsiden Sumur-sumur di Kompleks Graben Jambi Umur (jt. th.) kedalaman (km) Batu Ampar - 1 Tempino Sukajaya - 1 Bayung Lincir - 1 Kuku Lambar - 1 Gelam Kurva Tektonik Subsiden Sumur-sumur di Kompleks Graben Jambi Umur (jt. th.) kedalaman (km) Batu Ampar - 1 Tempino Sukajaya - 1 Bayung Lincir - 1 Kuku Lambar - 1 Gelam Gambar IV.4 Profil sejarah pemendaman (dibagian atas) dan profil sejarah subsiden tektonik (dibagian bawah) dari enam buah sumur yang menggambarkan sejarah pemendaman satu dimensi pada Kompleks Graben Jambi. 78

11 dasar. Sehingga kedalaman batuan dasar diperkirakan berdasarkan penampang korelasi stratigrafi lintasan F pada Gambar III.8. Pada graben ini kelima sumur berada pada satu graben yang sama dengan sumur Tepus-2 berada pada posisi cekungan terdalam, dengan endapan sedimen fluvial. Kurva Total Subsiden Sumur-sumur di Kompleks Graben Limau-Tepus Umur (jt. th.) Kedalaman (km) Lembak - 8 Gambir-1 Tepus - 2 Tepus - 1 Petanang - 1 Pandan - B1 Sirut Kurva Tektonik Subsiden Sumur-sumur di Kompleks Graben Limau-Tepus Umur (jt. th.) Kedalaman (km) Lembak - 8 Gambir-1 Tepus - 2 Tepus - 1 Petanang - 1 Pandan - B1 Sirut Gambar IV.5 Profil sejarah pemendaman (dibagian atas) dan profil sejarah subsiden tektonik (dibagian bawah) dari enam buah sumur yang menggambarkan sejarah pemendaman satu dimensi pada Kompleks Graben Limau-Tepus 79

12 Profil sejarah pemendaman pada Graben Saung Naga yang memiliki fasa rifting hanya diperlihatkan oleh sumur Saung Naga-1 (berwarna orange pada Gambar IV.6), dengan ketebalan sedimen yang diendapkan pada fasa rifting setebal 1425 m. Sama halnya dengan Kompleks Graben Limau Tepus, pada Graben Saung Naga sedimen pada fasa rift diisi oleh endapan lakustrin hingga delta/laut marginal. Kurva Total Subsiden Sumur-sumur di Graben Saung Naga Umur (jt. th.) Kedalaman (km) Koneng Saungnaga Sugih Waras - 1 Temelat Kurva Tektonik Subsiden Sumur-sumur di Graben Saung Naga Umur (jt. th.) Kedalaman (km) Koneng Saungnaga Sugih Waras - 1 Temelat Gambar IV.6 Profil sejarah pemendaman (dibagian atas) dan profil sejarah subsiden tektonik (dibagian bawah) dari empat buah sumur yang menggambarkan sejarah pemendaman satu dimensi pada Graben Saung Naga 8

13 Dalam sejarah pemendaman yang didapatkan hanyalah ketebalan lapisan sedimen saja, sedangkan untuk mendapatkan ketebalan kerak diperlukan analisis lain yang dapat memberikan ketebalan kerak, diantaranya menggunakan analisis gravitasi dan analisis profil temperatur berdasarkan data gradien geotermal atau alir bahang masa kini ataupun data pengukuran temperatur persumur. Kedua analisis ini akan memberikan pendugaan kedalaman kerak. IV.3 Analisis Gravitas Anomali Bouguer Analisis lintasan gravitas dilakukan dengan data gravitas anomali Bouguer hasil digitasi ulang dari peta anomali Bouguer yang dikeluarkan oleh Puslitbang Geologi (Gambar IV.7a). Untuk melihat adanya efek anomali lokal maka dibuat peta anomali residual yang merupakan turunan pertama dari anomali Bouguer (Gambar IV.7b). Untuk melakukan pendugaan kedalaman kerak dilakukan analisis 3 buah lintasan gravitas yang berseusaian dengan lintasan seismik komposit sehingga posisi statigrafi dari setiap lapisan sedimen diketahui, sedangkan data densitas rata-ratanya yang diambil dari sumur pemboran yang berada disekitar penampang yang dianalisis. Hasil pendugaan kedalaman kerak seperti terlihat pada Gambar IV.8, IV.9, dan IV.1. Agak sukar untuk mendapatkan ketebalan kerak dari analisis profil gravitasi yang dilakukan pada ketiga arah penampang seismik. Akan tetapi masih dapat ditentukan bahwa ketebalan tertipis dari kerak adalah sekitar 15 km dan tertebal adalah 21 km. Terdapat tubuh batuan yang memiliki nilai densitas lebih besar dari densitas kerak yaitu sebesar 3-32 kg m 3, tubuh batuan ini diduga adalah sebuah intrusi yang dapat dijumpai di ketiga lintasan yang dianalisis. Dari ketiga penampang gravitasi yang dianalisis batuan intrusi tersebut tidak pernah meyentuh batuan sedimen pada cekungan di atasnya, walaupun pada lintasan S3-S6 sangat dekat dengan batuan sedimen diatasnya. 81

14

15

16

17 Tabel IV.2. Ringkasan data alir bahang masa kini untuk cekungan sedimen di Indonesia (Thamrin, 1987) Cekungan Temperature Gradient (GG) (C/1m) Thermal Conductivity K (mcal/cm.cuºc) Heat Flow Value (Q) 1-6 cal/ºcm 2 sec.=hfu) N. Sumatra C. Sumatra S. Sumatra Sibolga Bengkulu Sunda N.W. Java Biliton & Pati South Java N.E. Java N.E. Java Sea Makasar Asem-Asem/Pasir Barito Kutei Tarakan E. Natuna W. Natuna Salawati Bintuni Thamrin 1987; Situmorang dkk, 1983; Siswoyo dkk, 1979 selain melakukan pengukuran gradien geotermal juga melakukan pengukuran konduktifitas panas batuan, hal tersebut mereka lakukan untuk mendapatkan nilai alir bahang yang dihitung berdasarkan data gradien geotermal dan konduktifitas panas. Data konduktifitas panas rata rata di Cekungan Sumatra Selatan adalah 4.9±.15 milli kal.ºc cm -1 s -1 (Situmorang dkk, 1983) atau dalam satuan MKS 2.5±.6 dalam satuan J s -1 m -1 C -1 atau W m -1 C -1 ( J s -1 = W; 1 mili kal.ºc cm -1 s -1 =.4184 W m -1 C -1 ). Secara umum nilai rata-rata per jenis litologi di cekungan Sumatra Selatan disajikan oleh Thamrin, 1987 seperti pada Tabel IV.3. Detail persumur performasi diperikan oleh Siswoyo dkk, 1979 yang tersaji pada lampiran A. 85

18 Tabel IV.3. Nilai rata-rata konduktifitas panas tiap jenis litologi di Cekungan Sumatra Selatan (Thamrin, 1987). A G E PLIOCENE STRATI- GRAPHIC UNITS KAF MEF CONDUCTIVITY OF ROCK TYPE IN milli cal / ºC cm sec. METAMORPHIC SHALE STANDSTONE LIMESTONE ROCKS LATE ABF 3.83 ± ±.82 (63 samples) (23 samples) _ MIOCENE MIDDLE GUF EARLY OLIGOCENE BRF TAF LAF 4.39 ±.58 (82 samples) _ 6.96 ± 1.18 (162 samples) 6.3 ± 1.6 (3 samples) _ PRE TERTIARY Bm _ 7.73 ± 1.42 (2 samples) Untuk menggambarkan lebih jelas sebaran gradien geotermal dan alir bahang di cekungan Sumatra Selatan Ryacudu (25) membuat peta gradien geotermal dan alir bahang berdasarkan data hasil pengukuran dari Thamrin (1987) (Gambar IV.11 dan IV.12). Dengan adanya kedua peta tersebut akan mempermudah bila hendak melakukan pemodelan termal yang membutuhkan nilai alir bahang atau gradien geotermal pada daerah yang tidak memiliki kedua data tersebut. Pemodelan termal dilakukan pada sumur-sumur yang memiliki nilai konduktifitas panas dan gradien geotermal alir bahang, perlu juga diketahui batuan dasar dari tiap sumur yang dianalisis. Untuk mendapatkan kedalaman kerak yang tidak mengalami penipisan, dipilih sumur sumur yang berada pada paparan, atau tinggian yang dicirikan dengan dangkalnya kedalaman batuan dasar. Dengan anggapan bahwa sumur sumur berada pada tinggian yang tidak mengalami penipisan kerak. 86

19 Gambar IV.11. Peta Gradien Geotermal yang disusun berdasarkan data pengukuran gradien geotermal yang dilakukan oleh Thamrin, 1987 (Ryacudu,25) 87

20 Gambar IV.12. Peta alir bahang masa kini yang disusun berdasarkan data pengukuran gradien geotermal yang dilakukan oleh Thamrin, 1987 (Ryacudu,25) 88

21 Data yang digunakan dalam membuat model ini adalah data pengukuran alir bahang masa kini dipermukaan, konduktifitas panas setiap satuan batuan. Terdapat lima buah sumur yang berada pada tinggian dan memiliki persyaratan data yang cukup seperti pada Tabel IV.4. Nilai konduktifitas panas perkedalaman akan dikoreksi oleh porositas yang didapatkan dari kurva kompaksi seperti yang telah dikemukakan pada sub-bab IV-1. Tabel IV.4. Daftar sumur dan data yang digunakan dalam pemodelan termal. Well name LEBONG-2 LEBONG-3 MENGGALA-1 MUSI-12 MUSI-14 TD (m) K GG Q (HFU) Q(mWm -2 ) Formasi Tebal (m) K (Wm -3 C -1 ) Tebal (m) K (Wm -3 C -1 ) Tebal (m) K (Wm -3 C -1 ) Tebal (m) K (Wm -3 C -1 ) Tebal (m) K (Wm -3 C -1 ) KAF/MEF ABF GUF BRF TAF LAF BM Gambar IV.13 memperlihatkan profil temperatur terhadap kedalaman dari lima buah sumur yang berada pada tinggian. Pemodelan ini menghasilkan kedalaman moho (diasumsikan = 5ºC) ternyata berada sangat dekat ke permukaan, yaitu km pada sumur Lebong-2 dan terbesar km pada sumur Menggala- 1. Hal yang sama dilakukan untuk tiga puluh sembilan buah sumur tanpa memperhatikan posisinya dalam cekungan (Gambar IV.14). dari profil itu didapatkan bahwa kedalaman terkecil dari bidang moho sebesar km pada sumur Sengeti 9 dan terbesar 2.31 km pada sumur Kuang 1 dengan kisaran kedalaman rata-rata antara km. Dari pemodelan temperatur dua dimensi memperlihatkan hal yang sama (Gambar IV.15, IV.16, IV.17), kedalaman litosfera tidak lebih dari 2 km. 89

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31 Berdasarkan interpretasi dari pemodelan temperatur lintasan interpretasi seismik, pemodelan temperatur data sumur pemodelan data gravitasi menunjukkan bahwa kisaran kedalaman bidang moho berada diantara km dengan rata-rata kedalaman 15.6 km, sedangkan kisaran kedalaman litosfera pada kedalaman km dengan rata-rata kedalaman 45 km. Dengan menggunakan nilai rata-rata kedalaman bidang moho yang menunjukkan ketebalan kerak maka nilai faktor- dapat ditentukan. Persamaan kesetimbangan isostasi digunakan untuk mendapatkan faktor-, sumur Lebong-3 digunakan sebagai acuan karena memiliki kedalaman bidang moho mendekati 15.6 km dan terletak pada Palembang platform. Sumur Lebong-3 ini dianggap tidak mengalami proses rifting. Data kedalaman sedimen dari masing-masing sumur yang akan dianalisis didapatkan dari model sejarah pemendaman. Hasil perhitungan faktor- tersaji pada Tabel IV.8. Faktor- pada akhir dari fasa rifting (25 jt. th.) pada Komplek Graben Jambi memiliki nilai maksimum 1.3 pada sumur Tempino-176 dengan kedalaman bidang moho berada pada kedalaman km. Pada Kompleks Graben Limau- Tepus memiliki nilai maksimum 1.51 pada sumur Tepus-1 dan kedalaman bidang moho berada pada kedalaman km, sedangkan pada Graben Saung Naga hanya dijumpai pada sumur Saung Naga-1 dengan faktor sebesar 1.37 dengan kedalaman bidang moho 15.4 km. karena sejarah pemendaman masih terus berlanjut sampai akhirnya tererosi pada umur Plio-Pleistosen (1.85 jt. th.) maka faktor pun terus bertambah sedangkan kedalaman bidang moho akan mendangkal. Tabel ringkasan untuk tiap sumur tersaji pada Tabel IV.8 untuk faktor dan pada Tabel IV.9 untuk kedalaman bidang moho. 99

32 Tabel IV.8. Tabel faktor- yang didapatkan pada akhir fasa rifting (25 jt. th.) dan pada saat sebelum tererosi (1.85 jt. th.) kecuali pada Tepus-1 dantepus-2. Bagian atas untuk Komplek Graben Jambi, bagian tengah untuk Kompleks Graben Limau-Tepus dan bagian bawah untuk Graben Saung Naga Faktor- Kompleks Graben Jambi Sumur Umur jt. th jt. th. 25 jt. th. Batu Ampar Bayung Lincir Kuku Lambar Gelam Tempino Sukajaya Faktor- Kompleks Graben Limau-Tepus Sumur Umur jt. th jt. th. 12 jt. th. 14 jt. th. 25 jt. th. Sirut Pandan Petanag Tepus Tepus Gambir Lembak Faktor- Graben Saung Naga Sumur Umur jt. th jt. th. 25 jt. th. Temelat Sugih Waras Saung Naga Koneng

33 Tabel IV.9. Tabel kedalaman bidang moho yang didapatkan pada akhir fasa rifting (25 jt. th.) dan pada saat sebelum tererosi (1.85 jt. th.) kecuali pada Tepus-1 dantepus-2. Bagian atas untuk Komplek Graben Jambi, bagian tengah untuk Kompleks Graben Limau-Tepus dan bagian bawah untuk Graben Saung Naga Kedalaman Bidang Moho Kompleks Graben Jambi Sumur Umur jt. th jt. th. 25 jt. th. Batu Ampar km km km Bayung Lincir km km Kuku Lambar km km Gelam km km km Tempino km km km Sukajaya km km Kedalaman Bidang Moho Kompleks Graben Limau-Tepus Sumur Umur jt. th jt. th. 12 jt. th. 14 jt. th. 25 jt. th. Sirut km km km Pandan km km km Petanag km km km Tepus km km km km Tepus km km km km Gambir km km km Lembak km km Kedalaman Bidang Moho Graben Saung Naga Sumur Umur jt. th jt. th. 25 jt. th. Temelat km km Sugih Waras km km Saung Naga km km 15.4 km Koneng km km IV.5 Sejarah Pemanasan Cekungan dan Kematangan Hidrokarbon Untuk mendapatkan sejarah temperatur yang benar maka perlu dilakukan validasi kurva sejarah kematangan, untuk itu dilakukan validasi dengan terlebih dahulu merubah data sejarah temperatur menjadi data sejarah kematangan hidrokarbon (nilai pantulan vitrinit) menggunakan model kinetik Arhenius (telah dibahas pada Bab II). Kurva pantulan vitrinit masa kini hasil pemodelan selanjutnya akan dibandingkan dengan data pengukuran pantulan vitrinit, bila telah cocok maka model sejarah temperatur telah benar. 11

34 IV.5.1 Pantulan Vitrinit Pantulan vitrinit adalah inikator kematangan hidrokarbon yang paling umum digunakan dalam dunia industri. Akan tetapi dalam pengunaannya harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat memberikan hasil yang erratic bila terjadi supresi atau kesalahan dalam identifikasi material organik (Lo, 1992, Lin, 1993, dalam Sosrowidjojo dkk, 1994) atau memberikan nilai pantulan vitrinit rendah untuk batuan induk yang sudah matang (Mukhopadhyay, 1994). Terutama bila pantulan vitrinit berasal dari material organik tumbuhan darat atau lakustrin dan mengalami pemanasan yang cepat (Lo, 1992, Lin, 1993, dalam Sosrowidjojo dkk., 1994). Lo (1993) mengatakan bahwa tingkat supresi berhubungan dengan jumlah hidrogen indeks yang dikandung oleh material organik. Batuan induk di cekungan Sumatra Selatan umumnya memiliki jenis kerogen type II (Sosrowidjojo dkk, 1994; Rashid dkk, 1999; Kamal, 1999), sehingga harus dikoreksi bila memiliki HI tinggi. Koreksi dilakukan menggunakan kurva koreksi hasil penelitian Syaifudin, 1999 dalam tesisnya. Untuk memudahkan pengkoreksian dibuat suatu persamaan linear regresi (Tabel II.4), dengan hasil koreksi seperti yang tergambar pada Gambar IV.2, yang selanjutnya akan digunakan sebagai validator dalam memodelkan sejarah pemanasan %Ro %RO corr trend line %Ro 5 trend line %Ro corr Gambar IV.2. Nilai pantulan vitrinit terkoreksi di cekungan Sumatra Selatan 12

35 IV.5.2 Sejarah Kematangan Hidrokarbon Dengan menggunakan nilai pantulan vitrinit yang terkoreksi sebagai validator maka sejarah perkembangan temperatur dapat dinyatakan benar bila kurva nilai pantulan vitrinit hasil model bersesuaian dengan data. Salah satu contoh adalah pada sumur Batu Ampar-1 pada Kompleks Graben Jambi bila digunakan alir bahang konstan menggunakan alir bahang masa kini maka nilai kematangan hidrokarbon akan menjadi berlebihan dan tidak cocok dengan data pantulan vitrinit hasil pengukuran yang telah koreksi (Gambar IV.21. bagian kiri atas), sedangkan dengan menerapkan alir bahang berubah terhadap waktu akan didapatkan kurva kematangan yang bersesuaian (Gambar IV.21. bagian kanan atas) Dengan menggunakan sejarah alir bahang tersebut maka sejarah pemanasan cekungan pun dapat digambarkan dengan benar, perbandingan antara menggunakan alir bahang konstan dan berubah terhadap waktu tersaji pada Gambar IV.22. Dengan menerapkan hal serupa pada setiap sumur maka kurva sejarah alir bahang didapatkan seperti terlihat pada Gambar IV.23 (kurva selengkapnya di Lampiran E). dari ke 17 buah sumur yang dianalisis nilai alir bahang masa kini terbesar adalah mili Wm -2 pada sumur Tepus-2, dan nilai terendah adalah mili W m -2 pada sumur Sukajaya-1. sedangkan untuk alir bahang masa lalu Nilai tertinggi berada pada sumur Sirut-2 dengan nilai 2 mili W m -2 pada umur 14 jt. th. Resume untuk setiap sumur tersaji pada Tabel IV.1. 13

36 . Kurva Kematangan Hidrokarbon di Batu Ampar-1 Ro (%) Kurva Kematangan Hidrokarbon di Batu Ampar Ro (%) Kedalaman (km) Kedalaman (km) %Ro %Ro Co rr Mid Mature Mean Gas gen %Ro mo del Early mature Late Mature End Mean Gas gen %Ro %Ro Co rr Mid Mature Mean Gas gen %Ro mo del Early mature Late Mature End Mean Gas gen Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Sumur Batu Ampar Alir Bahang (mwm -2 ) 35 HTF Umur (jt. Th.) Gambar IV.21 Kematangan Hidrokarbon dan Alir Bahang terhadap Waktu Sumur Batu Ampar-1 di Komplek Graben Jambi. Kurva kiri atas adalah kurva kematangan menggunakan nilai alir bahang konstan Kurva kanan atas adalah kurva kematangan menggunakan nilai alir bahang berubah terhadap waktu. Kurva bawah sejarah alir bahang yang digunakan untuk mendapatkan kurva kematangan kanan atas 14

37 Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon Sumur Batu ampar-1 Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon Sumur Batu Ampar Umur (jt. th) Umur (jt. th) kedalaman (km) kedalaman (km) Postrift SynRift Early Mature (.5 %Ro) Late Mature (.95 %Ro) Late Mature (2.5 %Ro) TAF TD Mid Mature (.75 %Ro) Late Mature (1.2 %Ro) Postrift SynRift Early Mature (.5 %Ro) Late Mature (.95 %Ro) Late Mature (2.5 %Ro) TAF TD Mid Mature (.75 %Ro) Late Mature (1.2 %Ro) Kurva Sejarah Pemanasan Sumur Batu Ampar-1 Kurva Sejarah Pemanasan Sumur Batu Ampar Umur (jt. th) Umur (jt. th) Postrift TAF SynRift TD kedalaman (km) Postrift TAF SynRift TD kedalaman (km) Gambar IV.22 Kurva Kematangan hidrokarbon terhadap waktu (Gambar atas) dan kurva sejarah pemanasan (Gambar bawah). Pada bagian kiri atas, model kematangan hidrokarbon menggunakan alir bahang konstan, menunjukkan bahwa Formasi Syn-rift telah matang pada umur sekitar 2 jt. th. Dan kematangan berakhir pada umur sekitar 8.5 jt. th. Pada bagian kanan atas, model kematangan hidrokarbon menggunakan alir bahang berubah terhadap waktu menunjukkan awak kematangan Formasi Syn-rift 16 jt. th. Dan masih berada pada tahap pembentukan hidrokarbon Mid Mature ( % Ro) hingga masa kini. Pada Gambar kiri bawah, sejarah pemanasan cekungan menggunakan alir bahang konstan menunjukkan cekungan pernah mencapai temperatur tertinggi hingga diatas 27ºC pada umur 1.65 jt. th. Pada Gambar kanan bawah, sejarah pemanasan cekungan menggunakan alir bahang berubah terhadap waktu, menunjukkan cekungan pernah mencapai temperatur tertinggi hanya sampai diatas 15ºC pada umur jt. th, menurun hingga umur 1.65 dan kembali naik hingga temperatur 132ºC pada masa kini. 15

38 Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Kompleks Graben Jambi Batu Ampar-1 Tempino-176 Sukajaya-1 Bayung Lincir Sirut-2 Pandan-B1 Petanang-1 Tepus-2 Tepus-1 Gambir-1 Lembak-8 Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Graben Limau - Tepus 25 2 Kuku Lambar-1 Gelam Alir Bahang (mwm-2) 15 1 Alir Bahang (mwm-2) Umur (jt. Th.) Umur (jt. Th.) 1 5 Temelat-1 Sugih Waras-1 Saung Naga-1 Koneng-1 Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Graben Saung Naga Alir Bahang (mwm-2) Umur (jt. Th.) 1 5 Gambar IV.23 Kurva sejarah alir bahang, Gambar kiri atas untuk Komplek Graben Jambi, bagian kanan atas untuk Komplek Graben Limau-Tepus dan tengah bawah untuk Graben Saung Naga. Pada Komplek Graben Jambi terjadi kenaikan alir bahang pada umur 16-5 jt. th. Pada Komplek Graben Limau-Tepus terjadi kenaikan alir bahang pada umur 14-7 jt. th. Pada Graben Saung Naga terjadi kenaikan alir bahang pada umur 25 jt. th. pada sumur Saung Naga-1 dan 1-8 pada sumur susanya. 16

39 Tabel IV.1. Nilai alir bahang masa kini dan maksimum nilai alir bahang pada masa lalu dengan umur kejadiannya. Alir bahang Alir bahang masa Lalu Nama Sumur masa kini Umur Alir bahang (mili W m -2 ) (jt. th.) (mili W m -2 ) Kompleks Graben Jambi Batu Ampar Tempino Sukajaya Bayung Lincir Kuku Lambar Gelam Rata-rata 86.7 Kompleks Graben Limau-Tepus Sirut Pandan-B Petanang Tepus Tepus Gambir Lembak Rata-rata 93.1 Graben Saung Naga Temelat Sugih Waras Saung Naga Koneng Rata-rata Kematangan hidrokarbon pada Kompleks Graben Jambi digambarkan pada sumur yang dianggap mewakili yaitu sumur Tempino-176. Pada sumur tingkat kematangan hidrokarbon telah sampai pada akhir dari pembentukan hidrokarbon (Base Gas Window setara dengan 2.5%Ro) pada kedalaman km pada sumur Tempino-176, dengan kedalaman Top Oil Window (setara dengan.6%ro) berada pada kedalaman 1.72 km dan Top Gas Window (setara dengan 1.2%Ro)berada pada kedalaman km (Gambar IV.24). bila digunakan dasar Synrift (dasar Formasi Gumai) sebagai acuan untuk menunjukkan sejarah kematangan yang terjadi pada sumur Tempino-176 (Gambar IV.25), maka hidrokarbon pertama kali terbentuk pada umur 21.3 jt. th. (pertengahan Miosen Awal) berupa pembentukan minyak (Early Mature Oil generation setara dengan.6%ro) dan awal pembentukan gas (Main Gas Generation setara dengan 1.2%Ro) terjadi pada umur jt. th. (Miosen Tengah) dan akhir dari 17

40 pembentukan gas (End of Gas Generation setara dengan 2.5%Ro) pada umur jt. th. (mendekati akhir dari Miosen Akhir). Kurva selengkapnya untuk sumur-sumur lain yang dianalisis dapat dilihat pada lampiran E. Kurva Kematangan Hidrokarbon di Tepus-1 Ro (%) Top Oil Windows km Top Gas Windows km Kedalaman (km) %Ro %Ro Co rr Mid Mature Mean Gas gen Base Gas Windows km %Ro model Early mature Late Mature End Mean Gas gen Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Sumur Tempino Umur (jt. Th.) Gambar IV.24. Kurva Kematangan Hidrokarbon masa kini yang diperlihatkan oleh model pantulan vitrinit di sumur Tempino-176 pada Kompleks Graben Jambi (gambar kiri). Kurva alir bahang terhadap waktu pada sumur Tempino-176 (gambar kanan) 35 HTF Alir Bahang (mwm -2 ) Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon Sumur Tempino Umur (jt. th) Top oil Window 21.3 jt th Top gas Window jt th kedalaman (km) GUF Syn Rift 3.5 TD Early Mature (.6 %Ro) 4. Mid Mature (.75 %Ro) Late Mature (1.2 %Ro) Late Mature (.95 %Ro) Late Mature (2.5 %Ro) base gas Window jt th Gambar IV.25. Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon di sumur Tempino-176 pada Kompleks Graben Jambi. 18

41 Kematangan hidrokarbon pada Kompleks Graben Limau-Tepus digambarkan pada sumur yang dianggap mewakili graben ini yaitu sumur Tepus-1. Pada sumur ini tingkat kematangan hidrokarbon telah sampai pada akhir dari pembentukan hidrokarbon (Base Gas Window setara dengan 2.5%Ro) pada kedalaman km pada sumur Tepus-1, dengan kedalaman Top Oil Window (setara dengan.6%ro) berada pada kedalaman km dan Top Gas Window (setara dengan 1.2%Ro) berada pada kedalaman km (Gambar IV.26). Bila digunakan dasar Synrift (dasar Formasi Lemat Ang. Konglomerat) sebagai acuan untuk menunjukkan sejarah kematangan yang terjadi pada sumur Tepus-1 (Gambar IV.27), maka hidrokarbon pertama kali terbentuk pada umur jt. th. (awal Miosen Awal) berupa pembentukan minyak (Early Mature Oil generation setara dengan.6%ro) dan awal pembentukan gas (Main Gas Generation setara dengan 1.2%Ro) terjadi pada umur 18.6 jt. th. (Miosen Tengah) dan akhir dari pembentukan gas (End of Gas Generation setara dengan 2.5%Ro) pada umur 16 jt. th. (mendekati akhir dari Miosen Akhir). Kurva selengkapnya untuk sumursumur lain yang dianalisis dapat dilihat pada lampiran E. Kurva Kematangan Hidrokarbon di Tepus-1 Ro (%) Top Oil Windows km Top Gas Windows km Kedalaman (km) %Ro %Ro Co rr Mid Mature Mean Gas gen Base Gas Windows km %Ro model Early mature Late Mature End Mean Gas gen Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Sumur Tepus Umur (jt. Th.) Gambar IV.26. Kurva Kematangan Hidrokarbon masa kini yang diperlihatkan oleh model pantulan vitrinit di sumur Tepus-1 pada Kompleks Graben Limau-Tepus (gambar kiri). Kurva alir bahang terhadap waktu pada sumur Tepus-1 (gambar kanan) 35 HTF Alir Bahang (mwm -2 ) 19

42 Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon Sumur Tepus Umur (jt. th) Top oil Window jt th Gambar IV.27. Top gas Window 18.6 jt th ABF BRF TAF Lemat Lemat Angg KGL Early Mature (.6 %Ro) Late Mature (.95 %Ro) End Gas Generation (2.5 %Ro) GUF GUF TAF (GRM) Benakat TD Mid Mature (.75 %Ro) Main Gas Generation (1.2 %Ro) base gas Window 16 jt th Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon di sumur Tepus-1 pada Kompleks Graben Limau-Tepus kedalaman (km) Kematangan hidrokarbon pada Graben Saung Naga digambarkan pada sumur yang dianggap mewakili graben ini yaitu sumur Saung Naga-1. Pada sumur ini tingkat kematangan hidrokarbon hingga masa kini masih berada pada pertengahan pembentukan minyak (Mid Mature Oil Generation setara dengan.75%-.95%ro). Top Oil Window (setara dengan.6%ro) dijumpai pada kedalaman km (Gambar IV.28). Bila digunakan dasar Synrift (dasar Formasi Benakat) sebagai acuan untuk menunjukkan sejarah kematangan yang terjadi pada sumur Saung Naga-1 (Gambar IV.29), maka hidrokarbon pertama kali terbentuk pada umur jt. th. (Akhir Oligosen Akhir) berupa pembentukan minyak (Early Mature Oil Generation setara dengan.6%ro) dan sejak umur 25.5 jt. th. hingga masa kini masih berada pada tahapan pertengahan pembentukan minyak (Mid. Mature Oil Generation setara dengan.95%ro). Kurva selengkapnya untuk sumur-sumur lain yang dianalisis dapat dilihat pada lampiran E. 11

43 Kurva Kematangan Hidrokarbon di Saung Naga-1 Ro (%) Top Oil Windows km Kedalaman (km) 2. Kurva Alir Bahang terhadap Waktu di Sumur Saung Naga Alir Bahang (mwm -2 ) %Ro %Ro Co rr Mid Mature Mean Gas gen %Ro model Early mature Late Mature End Mean Gas gen 35 HTF Umur (jt. th.) Gambar IV.28. Kurva Kematangan Hidrokarbon masa kini yang diperlihatkan oleh model pantulan vitrinit di sumur Saung Naga-1 pada Graben Saung Naga (gambar kiri). Kurva alir bahang terhadap waktu pada sumur Saung Naga-1 (gambar kanan) Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon Sumur Saung Naga Umur (jt. th) Top oil Window jt th GUF TAF Benakat Early Mature (.6 %Ro) Late Mature (.95 %Ro) Late Mature (2.5 %Ro) BRF LAF TD Mid Mature (.75 %Ro) Late Mature (1.2 %Ro) kedalaman (km) Gambar IV.29. Kurva Sejarah Kematangan Hidrokarbon di sumur Saung Naga- 1 pada Graben Saung Naga. 111

44 IV.6 Analisis Berdasarkan analisis data gravitas anomali Bouguer pada tiga buah penampang interpretasi seismik pada ketiga penampang mengindikasikan adanya tubuh batuan yang memiliki densitas lebih besar dari batuan dasar yang diperkirakan sebagai batuan intrusi. Tubuh intrusi yang tidak sampai menembus ke batuan sedimen, akan tetapi dari data sumur Tempino-176 pada Kompleks Graben Jambi dijumpai lima sill batuan beku andesit yang menembut sekuen syn-rift, dengan demikian bahwa umur batuan beku intrusi paling tidak berumur lebih muda dari endapan syn-rift. Secara normal kerak kontinen memiliki kedalaman bidang moho berkisar antara 3-4 km, akan tetapi berdasarkan model temperatur lintasan interpretasi seismik, pemodelan temperatur data sumur pemodelan data gravitasi menunjukkan bahwa kisaran kedalaman bidang moho berada diantara km dengan rata-rata kedalaman 15.6 km, sedangkan kisaran kedalaman litosfera pada kedalaman km dengan rata-rata kedalaman 45 km. Hall dan Morley, 24, mengatakan bahwa berdasarkan model tomografi dataran Sunda adalah area dengan kecepatan seismik rendah di bagian litosfera dan mantel dibawahnya (Gambar IV.3), dan sangat kontras dengan litosfera kontinental India dan Australia di bagian barat laut dan tenggara dataran Sunda, yang kemungkinan lebih dingin, lebih tebal dan lebih kuat. Dataran Sunda adalah suatu pengecualian yang hanya dapat dibandingkan dari sisi luas dan memiliki kecepatan rendah dengan Afrika Selatan dan area sekitarnya, keduanya memiliki aktifitas tektonik yang kuat. Mantel dengan kecepatan gelombang seismik rendah biasanya diinterpretasikan sebagai elevated temperature. Hal ini terlihat konsisten dengan tingginya alir bahang permukaan pada Dataran Sunda, yang memperlihatkan alir bahang dari mantel yang tinggi. Secara umum diseluruh dunia alir bahang dari mantel berkisar antara 2-3 mili W/m 2 (Artemeivera dan Mooney, 1999; Wang dkk, 2 dalam Hall dan Morley, 24), sedangkan hasil tomografi menunjukkan bahwa alir bahang mantel di Dataran Sunda lebih besar dari 4 mili W/m

45 Gambar IV.3 Peta tomografi di Dataran Sunda memperlihatkan Dataran Sunda merupakan kerak benua yang panas (berwarna merah) dan dikelilingi oleh kerak samudra yang dingin (berwarna biru). (Hall dan Morley, 24) Madon dan Watts, 1998; Watcharanantakul dan Morley, 2 (dalam Hall dan Morley, 24). terdapat kontribusi alir bahang yang signifikan dari litosfera yang lebih dalam. Proses ini bertanggungjawab untuk menyebabkan tingginya heatflow yang terjadi, dan dari data gravitasi maupun model burial history juga menunjukkan bahwa ketebalan elastik litosfera yang tipis. Untuk mendapatkan nilai alir bahang mantel dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Allen dan Allen, 25) Q Q m Ay c, dengan Q adalah alir bahang permukaan, Qm adalah alir bahang mantel dan A adalah internal heat production dan yc adalah ketebalan kerak. Pada cekungan Sumatra Selatan dengan nilai alir bahang rata-rata 17.9 mili W/m 2, bila A=3x1-6 mw/m 2 dan ketebalan kerak 15.6 km maka akan didapatkan alir bahang mantel sebesar mili W/m 2. Berdasarkan model yang didapatkan maka sejarah pembentukan cekungan belakang busur adalah sebagai berikut: Awal pembentukan cekungan rift dimulai pada umur awal Oligosen Akhir (3.4 jt.th.) pada saat itu kedalaman bidang moho berkisar pada kedalaman km, fasa rift berakhir pada awal Miosen Awal (25 jt.th.) pada saat itu kedalaman 113

46 bidang moho berkisar pada kedalaman km, fasa sag dimulai pada umur awal Miosen Awal hingga saat ini, perubahan kedalaman bidang moho terjadi pada umur batas antara Pliosen dan Pleistosen (1.85 jt. jh.) memberikan kedalaman bidang moho antara km. Dengan demikian maka kedalaman bidang moho (ketebalan kerak) di cekungan Sumatra Selatan dangkal bukan saja hanya pada masa kini melainkan saja sejak awal pembentukan cekungan paling tidak pada umur awal Oligosen Akhir (3.4 jt.th.). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap lagi tentang sejarah pembentukan cekungan belakang busur Sumatra Selatan perlu dikaji pembentukan cekungan rift pada tepi barat Daratan Sunda karena memberikan ciri-ciri yang sama dengan Cekungan Sumatra Selatan yaitu memiliki nilai alir bahang tinggi, bahkan Cekungan Sumatra Tengah memiliki nilai alir bahang tertinggi diantara cekungan-cekungan belakang busur tepi barat Daratan Sunda bahkan cekungan se Indonesia (Thamrin, 1987 lihat Tabel IV.2). Menurut Sapiie dan Hadiana (27) terdapat perbedaan pendapat tentang pembentukan rift pada cekungan-cekungan Indonesia bagian barat pada umur Paleogen, sebagian peneliti mengatakan bahwa sistim rift di tepi barat Daratan sunda adalah hasil dari proses extention murni, yang disebabkan naiknya mantel pada masa orogenesa berumur Miosen, sebagian lagi mengatakan bahwa sistim rift dikontrol oleh pensesaran strike-slip, kemungkinan akibat pergerakan lempeng selama Pre-tersier hingga Eosen. Bila diperhatikan dominasi arah umum cekungan di Cekungan Sumatra Selatan menurut Ryacudu (25) arah umum cekungan didominasi oleh arah umum U3ºT hingga U5ºT (pola Jambi) yang teridentifikasi sebanyak 2 cekungan (Gambar III.4 dan Tabel III.1), sedangkan cekungan dengan arah umum sejajar dengan subduksi pada Miosen (pola Sumatra) hanya teridentifikasi 1 buah cekungan saja (Gambar III.4 dan Tabel III.3). Hal tersebut sudah tentu akan melemahkan pernyataan bahwa bahwa sistim rift di tepi barat daratan sunda adalah hasil dari proses extention murni. Hal senada juga dijelaskan oleh Sapiie dan Hadiana (27). Sapiie dan Hadiana (27) berdasarkan model sandbox yang diaplikasikan pada cekungan belakang busur Sumatra Tengah, menunjukkan 114

47 bahwa deformasi Paleogen adalah hasil bentukan extention yang simultan sepanjang geometri sesar listrik dan menunjukkan bahwa sebagian besar deformasi terjadi sepanjang struktur tua pada basemen sebagai hasil dari sistim sesar mendatar dekstral. Menurut Pulunggono dkk. (1992) pada umur Jura Atas hingga Kapur bawah pada tepi barat Daratan Sunda terjadi tumbukan lempeng konvergen oblique antara Lempeng Samudra India dengan Daratan Sunda dengan arah U33ºT. Mekanisme tumbukan ini menyebabkan kompresi pada tepian Daratan Sunda yang menghasilkan mekanisme simple shear yang membentuk lineamen berarah U3ºT (lineamen Musi dan Lematang) sesar strike-slip dengan arah pergerakan dextral dan meniliki lineamen antitetik Berarah U-S (sesar Lenggaran-Lagan atau Benakat Gulley dan sesar Kikim) berupa sesar strike-slip dengan arah pergerakan sinistral tapi belum bergerak (Gambar IV.31 dan Gambar IV.32). Gambar IV.31. Tumbukan lempeng oblique antara Lempeng Samudra India dan Daratan Sunda dari Jura Akhir hingga masa kini dan efeknya (Pulunggono dkk, 1992) 115

48 Gambar IV.32. Moddel Elipsoid Jura Akhir hingga masa kini dan efeknya (Pulunggono dkk, 1992) Selanjutnya perbedaan rejim stress terjadi pada umur Kapur Atas hingga Tersier Bawah (akibat dari melambatnya kecepatan lempeng India hingga <1 cm/th dari 15-2 cm/th, Daly dkk, 1987) yang menyebabkan lineamen berarah U-S mengalami extension yang membentuk graben-graben misalkan benakat Gulley. Sesar Lematang yang berarah U3ºT secara perlahan berubah dari sesar strikeslip menjadi sesar normal sejalan dengan pembentukan depresi Lematang menjadi cekungan sedimen yang diisi oleh sedimen Tersier (Pulunggono dkk., 1992), demikian pula sesar-sesar yang berarah U3ºE membentuk sesar normal. Lineamen yang berarah U32ºT yang merupakan arah Barisan sudah mulai terbentuk pada Tersier Awal, akan tetapi hanya pada Miosen Tengah elemen struktur ini terlihat sebagai barisan pegunungan berupa sesar strike-slip yang aktif. Rejim kompresi yang terjadi pada Miosen Tengah hingga sekarang menyebabkan terjadinya inversi (sesar Lematang, sesar Saka). Sesar Lenggaran-Lagan (Benakat Gulley) sesar Kikim menjadi sesar wrench yang bergerak mendatar kanan. Perlipatan dan sesar upthrusting yang disebabkan oleh pergerakan kompresi mulai terlihat di area cekungan belakang busur dan mencapai puncaknya pada umur 116

49 Plio-Pleistosen. Jadi sejak Miosen tengah dan seterusnya arah sesar wrench berarah U-S dan pergerakan kompresi didapatkan pada area cekungan belakang busur. Hal yang menarik adalah kecuali di daerah dimana terjadi aktifitas pergerakan menganan lateral sesar wrench seperti pada Benakan Gulley, terbentuk struktur antiklin di area cekungan belakang busur Sumatra Selatan dengan arah sumbu lipatan searah dengan arah U3ºT. Pengunungan Barisan telah benarbenar menjadi pegunungan pada umur Plio-Pleistosen. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Pulunggono dkk (1992); Sapiie dan Hadiana (27) diatas, menunjukkan bahwa mekanisme pembentukan cekungan belakang busur Sumatra Selatan bahkan semua cekungan di tepi barat Daratan Sunda (Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra tengah dan Cekungan Sumatra Selatan) terbentuk bukan dari mekanisme extention murni. Cekungan Sumatra Selatan terbentuk akibat mekanisme extension yang mengaktifkan kembali sesar-sesar tua yang menembus batuan dasar, sehingga membentuk pola cekungan yang tidak sama dengan pola rift akibat extension murni dari subduksi Miosen, bahkan di Cekungan Sumatra Selatan arah cekungan yang dominan berkembang adalah pola Jambi dengan awah umum U3ºT hingga U5ºT. Berdasarkan hasil kalibrasi menggunakan nilai pantulan vitrinit maka model perkembangan pemanasan cekungan atau alir bahang tidak konstan terhadap waktu, melainkan akan menaik pada fasa rift kemudian menurun dan akan menaik lagi pada masa kini, implikasinya bila digunakan alir bahang konstan dari data alir bahang masa kini dalam memodelkan kematangan hidrokarbon pada umumnya akan menghasilkan nilai yang terlalu tinggi. 117

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Permasalahan

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Permasalahan Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Permasalahan Cekungan belakang busur di Indonesia umumnya berupa cekungan yang kaya akan hidrokarbon dengan mekanisme pembentukan cekungan didominasi oleh mekanisme

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Analisa Data Litologi dan Stratigrafi Pada sumur Terbanggi 001, data litologi (Tabel 4.1) dan stratigrafi (Tabel 4.2) yang digunakan untuk melakukan pemodelan diperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH MEKANISME PEMBENTUKAN CEKUNGAN TERSIER TERHADAP SEJARAH TEMPERATUR DAN PEMBENTUKAN HIDROKARBON DI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DISERTASI

PENGARUH MEKANISME PEMBENTUKAN CEKUNGAN TERSIER TERHADAP SEJARAH TEMPERATUR DAN PEMBENTUKAN HIDROKARBON DI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DISERTASI PENGARUH MEKANISME PEMBENTUKAN CEKUNGAN TERSIER TERHADAP SEJARAH TEMPERATUR DAN PEMBENTUKAN HIDROKARBON DI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG

BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG BAB IV MODEL EVOLUSI STRUKTUR ILIRAN-KLUANG IV.1. Analisis Geometri Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan arahnya, sesar yang ada didaerah sepanjang struktur Iliran- Kluang dapat dibedakan atas tiga kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Topik Kajian Topik yang dikaji yaitu evolusi struktur daerah Betara untuk melakukan evaluasi struktur yang telah terjadi dengan mengunakan restorasi palinspatik untuk mengetahui mekanismenya

Lebih terperinci

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku berumur Paleozoic-Mesozoic

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian III.1 Kerangka Tektonik Daratan Sunda adalah inti kontinen Asia Tenggara (Gambar III.1), saat ini pada sisi barat, selatan dan timurnya dibatasi oleh subduksi dan zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Platform Musi terletak di Sub-Sub Cekungan Palembang Selatan, merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan Sumatra Selatan diketahui sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi di Cekungan Sumatra Tengah telah dimulai sejak tahun 1924. Pemboran pertama di lokasi Kubu #1 dilakukan pada tahun 1939, kemudian dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakan busur yang dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timur laut, ketinggian Lampung

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Dalam mencari cadangan minyak dan gas bumi, diperlukan adanya kegiatan eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas yang sudah

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan. Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantaranya: 1. Komplek Batuan Pra -Tersier Komplek

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG

PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG PEMODELAN KEMATANGAN HIDROKARBON DAERAH KOTABUMI, KABUPATEN LAMPUNG UTARA, PROPINSI LAMPUNG TUGAS AKHIR B Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu cekungan Tersier yang mempunyai prospek hidrokarbon yang baik adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat atau sering

Lebih terperinci

ANALISIS BURIAL GEOHISTORY PLATFORM MUSI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN

ANALISIS BURIAL GEOHISTORY PLATFORM MUSI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN ANALISIS BURIAL GEOHISTORY PLATFORM MUSI, CEKUNGAN SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR B Diajukan Sebagai Syarat Dalam Mencapai Kelulusan Strata Satu (S-1) Di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN...

II Kerogen II Kematangan II.2.2 Basin Modeling (Pemodelan Cekungan) II.3 Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii IZIN PENGGUNAAN DATA... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tatanan tektonik daerah Kepala Burung, Papua memegang peranan penting dalam eksplorasi hidrokarbon di Indonesia Timur. Eksplorasi tersebut berkembang sejak ditemukannya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Sumatera Pulau Sumatera merupakan pulau yang memiliki orientasi fisiografi berarah barat laut dan terletak di bagian barat Paparan Sunda dan di selatan Lempeng

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan terletak antara Paparan Sunda di sebelah timur laut dan jalur tektonik Bukit Barisan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

Kerangka Geologi Daerah Penelitian

Kerangka Geologi Daerah Penelitian Bab II Kerangka Geologi Daerah Penelitian II.1 Geologi Regional Daerah Penelitian Lapangan Batang terletak di Sumatera Tengah. Sumatra Tengah dibatasi oleh paparan sunda di sebelah timur, disebelah Barat

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Cekungan Sumatera Tengah II.1.1 Stratigrafi Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari satuan-satuan stratigrafi dari tua ke muda yaitu : Batuan dasar atau basement

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR Terdapat tiga domain struktur utama yang diinterpretasi berdasarkan data seismik di daerah penelitian, yaitu zona sesar anjakan dan lipatan di daerah utara Seram

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN

BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN BAB III ANALISIS DINAMIKA CEKUNGAN 3.1. Pembuatan Model Sejarah Geologi Model sejarah geologi yang dianalisis pada penelitian ini adalah model kurva sejarah pemendaman seperti yang telah dibahas pada bab

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Kerangka Tektonik (a) 5 (b) Gambar 1. Posisi tektonik Cekungan Sumatera Selatan dan pembagian subcekungan di Cekungan Sumatera Selatan (Laporan Internal PT. PERTAMINA EP Asset

Lebih terperinci

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih 62 Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih V.1 Restorasi Penampang Rekontruksi penampang seimbang dilakukan untuk merekonstruksi pembentukan suatu deformasi struktur. Prosesnya meliputi menghilangkan bidang-bidang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduksi dengan mengacu pada konsep-konsep dasar analisis geologi yang diasumsikan benar dan konsep-konsep seismik

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, baik dari jumlah minyak dan gas yang telah diproduksi maupun dari perkiraan perhitungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM Cekungan Asri merupakan bagian dari daerah operasi China National Offshore Oil Company (CNOOC) blok South East Sumatera (SES). Blok Sumatera Tenggara terletak pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Sumatera Barat South West Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Lapangan YTS Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra Selatan dan dikelola oleh PT. Medco E & P sebagai lapangan terbesar penghasil

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian

Lebih terperinci

IV.3. Analisis Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan Genetiknya IV.3.1. Tipe sesar ektensional

IV.3. Analisis Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan Genetiknya IV.3.1. Tipe sesar ektensional IV.3. Analisis Struktur Iliran-Kluang Berdasarkan Genetiknya IV.3.1. Tipe sesar ektensional Pada penampang seismik dapat diamati dengan baik bahwa sesar-sesar pada deformasi ekstensional berupa sesar normal

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat 41 Bab IV Analisis Data IV.1 Data Gaya Berat Peta gaya berat yang digabungkan dengn penampang-penampang seismik di daerah penelitian (Gambar IV.1) menunjukkan kecenderungan topografi batuan dasar pada

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional Bab II Geologi Regional II.1 Struktur dan Tektonik Cekungan Sumatera Selatan merupakan tipe cekungan belakang busur (back-arc basin) yang berumur Tersier dan diperkirakan mempunyai ukuran panjang sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Pendahuluan Pulau Kalimantan berada di tenggara dari lempeng Eurasia besar. Di sebelah utara berbatasan dengan lempeng semudra Laut Cina Selatan, di timur dibatasi oleh sabuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa permasalahan yang dihadapi dan menjadi dasar bagi penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa permasalahan yang dihadapi dan menjadi dasar bagi penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Interpretasi dan pemetaan struktur bawah permukaan pada dasarnya merupakan sebuah usaha untuk menggambarkan perkembangan arsitektur permukaan bumi sejalan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR

BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR BAB V ANALISIS SEKATAN SESAR Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba menganalisis suatu prospek terdapatnya hidrokarbon ditinjau dari kondisi struktur di sekitar daerah tersebut. Struktur yang menjadi

Lebih terperinci

Kerangka Tektonik dan Geologi Regional

Kerangka Tektonik dan Geologi Regional BAB II Kerangka Tektonik dan Geologi Regional II.1. Kerangka Tektonik Dalam kerangka tektonik Indonesia, Pulau Sulawesi dan Selat Makassar berada dalam pengaruh tektonisasi yang komplek oleh beberapa lempeng

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii DAFTAR ISI Halaman Judul HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii HALAMAN PERNYATAAN... v SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN I.1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik Indonesia dianggap sebagai hasil pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Papua Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Secara regional ada beberapa Formasi yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan diantara : 1. Komplek Batuan Pra-Tersier Kompleks

Lebih terperinci

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ii PERNYATAAN.. iii KATA PENGANTAR.. iv SARI... v ABSTRACT.. vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Lokasi

Lebih terperinci

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar Gambar 5.21. Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar mendatar dengan mekanisme horsetail, dengan struktur sesar

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori 1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 4 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Struktur Regional Struktur PRB terletak kurang lebih 57 km arah baratlaut dari Pangkalan Berandan dan termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatera terletak di sepanjang tepi baratdaya dari Sundaland (tanah Sunda), perluasan Lempeng Eurasia yang berupa daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching Penampang hasil pengolahan dengan perangkat lunak Ipi2win pada line 08 memperlihatkan adanya struktur antiklin. Struktur ini memiliki besar tahanan jenis

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH Cekungan Sumatra Tengah merupakan salah satu cekungan besar di Pulau Sumatra. Cekungan ini merupakan cekungan busur belakang yang berkembang di sepanjang

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA

BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA BAB IV PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA GEOFISIKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan 2 data geofisika, yaitu gravitasi dan resistivitas. Kedua metode ini sangat mendukung untuk digunakan dalam eksplorasi

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB IV PEMAPARAN DATA Ketersediaan Data Data Seismik Data Sumur Interpretasi

BAB IV PEMAPARAN DATA Ketersediaan Data Data Seismik Data Sumur Interpretasi DAFTAR ISI JUDUL... PENGESAHAN. i PERNYATAAN. ii IJIN PENGGUNAAN DATA iii KATA PENGANTAR.... v SARI...... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... 1 DAFTAR GAMBAR... 3 BAB I PENDAHULUAN... 8 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang dioperasikan oleh Atlantic Richfield Bali North Inc (ARCO),

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK

BAB IV INTERPRETASI SEISMIK BAB IV INTERPRETASI SEISMIK Analisa dan interpretasi struktur dengan menggunakan data seismik pada dasarnya adalah menginterpretasi keberadaan struktur sesar pada penampang seismik dengan menggunakan bantuan

Lebih terperinci