BAB 2 LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Jalan Tol Jalan tol merupakan suatu sarana berbayar yang ditujukan bagi setiap pengguna kendaraan yang ingin melakukan perjalanan jarak dekat maupun jarak jauh, agar mendapatkan jarak yang lebih dekat, nyaman dan aman. Maka dari itu jalan tol memiliki beberapa kriteria penting yang telah diatur dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 adalah sebagai berikut : a. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas yang tinggi; b. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 kilometer per jam dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 kilometer per jam. c. Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling rendah 8 ton; d. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran, dan dilengkapi dengan fasilitas penyebrangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan; e. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol, harus diberi bangunan pengaman yang memiliki kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan; f. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas; g. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan berdasarkan peraturan lalu lintas dan angkutan jalan; h. Ketentuan persyaratan teknik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut peraturan Mentri.

2 Pengguna jalan tol juga telah diatur dalam pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 dimana : a. Jalan tol hanya diperuntukan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor roda empat atau lebih; b. Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokan berdasarkan jenis angkutan dan tonasenya; c. Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Mentri pada Keputusan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 370/KPTS/M/ Pihak Pengelola Jalan tol merupakan infrastruktur yang dikelolah oleh banyak pihak. Kementrian Pekerjaan Umum membentuk suatu badan yang bertugas untuk mengatur penggunaan penyelengaraan jalan tol yang disebut Badan Pengatur Jalan Tol ( BPJT). Badan Pengatur Jalan Tol ( BPJT) memiliki tugas (menurut pasal 6 Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 295/PRT/M/2005 Tentang Badan Pengatur Jalan Tol) sebagai berikut : a. Merekomendasikan tarif awal dan penyesuaian tarif tol kepada mentri (kementrian pekerjaan umum); b. Melakukan pengambilan hak pengusahaan jalan tol yang telah selesai masa konsesinya dan merekomendasikan pengoperasian selanjutnya kepada mentri ( kementrian pekerjaan umum); c. Melakukan pengambilan hak sementara pengusahaan jalan tol yang telah gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan kembali pengusahaannya; d. Melakukan persiapan pengusahaan jalan tol yang meliputi analisa kelayakan finansial, study kelayakan dan penyimpangan amdal; e. Melakukan pengadaan investasi jalan tol melalui pelelangan secara transparan dan terbuka; f. Membantu proses pembebasan tanah dalam hal kepastian ketersediaannnya dana yang berasal dari badan usaha dan membuat mekanisme pembuatannya;

3 g. Memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dilakukan oleh badan usaha; dan h. Melakukan pengawasan terhadap badan usaha atas pelaksanaan seluruh kewajiban perjanjian pegusahaan jalan tol dan melaporkannya secara periodik kepada mentri (kementrian pekerjaan umum). Menurut Roseily(2013), Jalan tol merupakan salah satu infrasturktur yang dibangun oleh pemerintah. Namun pihak yang mengelolah dapat dilakukan oleh badan usaha yang memenuhi persyaratan. Adapun kegiatan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. Di Indonesia, beberapa jalan tol dikelolah oleh badan usaha (operator) yang bertanggung jawab atas beberapa ruas jalan tol. Tabel 0.1 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol 1 PT. BINTARO SERPONG DAMAI Serpong - Pondok Aren 2 PT. BOSOWA MARGA NUSANTARA Ujung Pandang Tahap PT. CITRA MARGA NUSAPHALA PERSADA TBK PT. CITRA MARGATAMA SURABAYA Harbour Road Ir. Wiyoto Wiyono, Msc Ss Waru - Bandara Juanda Waru (Aloha) - Wonokromo - Tg. Perak 5 PT. JALAN TOL SEKSI IV Makassar Seksi IV 6 PT. JASA MARGA Lingkar Dalam Kota Jakarta Padalarang - Cileunyi Jakarta-Bogor Jakarta-Tangerang Semarang Seksi A, B, C Surabaya-Gempol Bogor-Purwakarta-Padalarang Prof.DR Ir. Soedyatmo (Cengkareng) Palikanci JORR E1-3,W2-S2,E3,E1-4 JORR Seksi E1 Selatan (Taman Mini- Hankam Raya) JORR Selatan (Pd. Pinang - Taman Mini) Jakarta - Bogor - Ciawi Belmera

4 Tabel 0.2 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) (Lanjutan) No. Nama Badan Usaha Jalan Tol Ruas Tol 6 PT. JASA MARGA JORR E2 (Cikunir-Cakung) JORR W2 Selatan (Pd.Pinang-Veteran) Ulujami - Pondok Aren Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran Gempol Pasuruan Semarang Solo JORR W2 Utara 7 PT. MARGABUMI MATRARAYA Surabaya Gresik 8 PT. MARGA MANDALA SAKTI Tangerang Merak 9 PT. BINA PURI NINDYACIPTA KARYATAMA Ciranjang Padalarang 10 PT. CITRA WASPPHUTOWA Depok Antasari 11 PT. JAKARTA LINGKAR BARAT SATU JORR Seksi W1 12 PT. KRESNA KUSUMA DYANDRA MARGA Bekasi - Cawang - Kp. Melayu 13 PT. LINTAS MARGA SEDAYA Bogor-Palimanan 14 PT. MARGABUMI ADHIKARAYA Gempol Pandaan 15 PT. MARGA HANURATA INTRINSIC Kertosono Mojokerto 16 PT. MARGA NUJYASUMO AGUNG Surabaya Mojokerto 17 PT. MARGA SARANA JABAR Bogor Ring Road 18 PT. MARGA SETIAPURITAMA Semarang Batang 19 PT. MARGA TRANS NUSANTARA Kunciran Serpong 20 PT. MTD CTP EXPRESSWAY Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing) 21 PT. PEJAGAN PEMALANG TOL ROAD Pejagan Pemalang 22 PT. PEMALANG BATANG TOL ROAD Pemalang Batang 23 PT. SEMESTA MARGA RAYA Kanci Pejagan 24 PT. TRANS JABAR TOL Ciawi Sukabumi 25 PT. TRANS-JAWA PAS PRO JALAN TOL Pasuruan Probolinggo 26 PT. TRANSLINGKAR KITA JAYA Cinere Jagorawi Sumber : Roseily (2013) Dalam tabel di atas dapat dilihat, jalan tol Jakarta Bogor Ciawi di pegang oleh PT. Jasa Marga cabang Jagorawi yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah.

5 2.3 Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol Menurut Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) (berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum jalan tol), Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas (kecepatan penanganan hambatan lalu lintas), keselamatan dan unit pertolongan atau penyelamat dan bantuan pelayanan (berdasarkan pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum jalan tol). Besaran ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. Keseluruh aspek-aspek Standar Pelayanan Minimum (SPM) harus terpenuhi. Karena aspek-aspek tersebut menjadi penunjang utama agar pengguna jalan tol dapat aman dan merasa nyaman. Tabel 0.3 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol NO SUBSTANSI PELAYANAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMUM CAKUPAN / LINGKUP TOLOK UKUR - Kondisi Jalan Tol - Kekesatan - Seluruh Ruas Jalan Tol - > 0,33 mm 1 - Ketidakrataan - Seluruh Ruas Jalan Tol - IRI < 4 m/km - Tidak ada Lubang - Seluruh Ruas Jalan Tol -100% 2 - Kecepatan Tempuh Rata- Rata - Kecepatan Tempuh Rata-rata - Jalan Tol Dalam Kota - >1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005

6 Tabel 0.4 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan) - Jalan Tol Luar Kota - >1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol - Gerbang Tol sistem terbuka - < 8 detik setiap kendaraan - Aksesibilitas - Kecepatan Transaksi Rata - rata - Gerbang Tol sistem tertutup : Gardu masuk - < 7 detik setiap kendaraan 3 - Jumlah Gardu Tol Gardu Keluar - Kapasitas Sistem Terbuka - < 11 detik setiap kendaraan - < 450 kendaraan per jam per Gardu - Kapasitas Sistem Tertutup Gardu Masuk - < 500 kendaraan per jam Gardu Keluar - < 300 kendaraan per jam - Wilayah Pengamatan/ observasi Patroli - 30 menit per siklus pengamatan 4 - Mobilitas - Kecepatan Penanganan Hambatan Lalu Lintas - Mulai Informasi diterima Sampai ke Tempat Kejadian : - < 30 menit Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005

7 Tabel 0.5 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan) - Penanganan Akibat Kendaraan Mogok - Melakukan penderekan ke Pintu Gerbang Tol terdekat/ Bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis) - Patroli Kendaraan Derek - 30 menit per siklus pengamatan 5 - Keselamatan - Sarana Pengaturan Lalu Lintas : Perambuan - Kelengkapan dan Kejelasan Perintah dan Larangan serta Petunjuk -100% Marka Jalan - Fungsi dan Manfaat - Jumlah 100 % dan Reflektifitas > 80 % Guide Post / ReflektoR - Fungsi dan Manfaat - Jumlah 100 % dan Reflektifitas > 80 % Patok Kilometer Setiap 1 km - Fungsi dan Manfaat -100% - Penerangan Jalan Umum (PJU) Wilayah Perkotaan - Fungsi dan Manfaat - Lampu Menyala 100% Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005

8 Tabel 0.6 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan) - Pagar Rumija - Fungsi dan Manfaat - Keberadaan 100 % - Penanganan Kecelakaan - Korban Kecelakaan - Kendaraan Kecelakaan - Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan - Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol) - Pengamanan dan Penegakan Hukum - Ruas Jalan Tol - Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/ Kondisi Jalan Tol Dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) terdapat 3 indikator dan masing masing indikator tersebut memiliki lingkup atau cakupan dan tolak ukur. Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol ketiga indikator berikut lingkup atau cakupan dan tolak ukurnya adalah : a. Kekesatan Menurut SNI 6748:2008, kekesatan adalah koefisien gesekan antara permukaan perkerasan yang basah dengan permukaan penguji yang sedang bergerak pada kecepatan dan sudut arah gerakan tertentu. Cakupan dari kekesatan adalah seluruh luas jalan tol yang memiliki besaran tolak ukur > (lebih besar) dari 0,33 µm. Untuk mengetahui kekesatan suatu jalan, dilakukan pengujian menggunakan alat uji pendulum British (British Pendulum Tester,BPT). Berikut adalah cara untuk melakukan pengujian kekesatan menurut SNI 4427:2008 :

9 1. Basahi permukaan uji dengan air yang cukup dan ratakan dengan kuas. Lakukan beberapa kali peluncuran bandul sampai mendapatkan hasil yang konsisten, tetapi tidak perlu dicatat. Catatan : Selama peluncuran batang pendulum, segera tangkap ketika batang pendulum berbalik arah. Pada saat memulai peluncuran, angkat alat uji untuk mencegah kontak antara karet peluncur dengan permukaan uji. Setiap peluncuran batang bandul, jarum penunjuk sebelumnya harus dikembalikan pada posisi sampai menyentuh sekrup pembatas batang pendulum; 2. Ukur temperatur pada permukaan yang berdekatan dengan benda uji, dengan cara memberi air atau membasahi permukaan agar kontak penuh dengan dasar termometer, kemudian catat temperaturnya. Bila sudah menunjukan angka tetap, lakukan pengujian; 3. Basahi kembali permukaan uji dan lakukan peluncuran batang pendulum sebanyak 4 kali. Basahi kembali setiap kali sebelum peluncuran dan catat hasilnya; Catatan : Lakukan 4 kali peluncuran untuk peluncur karet alam atau 5 kali peluncuran untuk karet sintetisyang ditentukan dalam AASHTO M 261. Selama peluncuran bandul harus dilakukan dengan hati-hati, sehingga peluncur sejajar dengan permukaan yang diuji dan tidak miring agar karet peluncur tidak hanya menyentuh salah satu sisi bidang kontak. Bila terpasang miring, maka data yang diperoleh memberikan indikasi bacaan BPN yang keliru. Untuk mengurangi masalah ini dapat dilakukan dengan cara menyelipkan per klip kecil pada slot sebagaimana diperlihatkan pada gambar. Per klip tersebut akan tetap diam pada pelat punggung peluncur. b. Kerataan jalan Menurut Sudarwo dan Sugiharto (2004), tingkat kerataan jalan merupakan salah satu faktor atau fungsi pelayanan dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh pada kenyamanan pengemudi. Pada Standar Pelayanan Minimum (SPM), IRI (International Roughness Index) 4m/km merupakan tolak ukur kerataan jalan tol.

10 c. Tidak ada lubang Survei untuk aspek ini adalah dengan pemantauan langsung lokasi penelitian, dengan melihat apakah ada lubang, retakan, atau bekas tambalan yang sudah menurun. Karena lubang dapat menyebabkan kenyamanan pengguna tol berkurang seperti benturan yang dapat merusak kendaraan bahkan dapat menyebabkan kecelakaan. Maka dari itu tolak ukur mengenai tidak adanya lubang pada Standar pelayanan Mutu (SPM) di jalan tol adalah 100%. Gambar 0.1 Kondisi Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) Menurut Yani, A et al. (2012), kerusakan jalan pada perkerasan lentur diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu : -. Retak kulit buaya (Alligator Cracking) Retak yang berbentuk sebuah jaringan dari sebidang persegi banyak, kecilkecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. -. Amblas (Depression) Bentuk kerusakan yang terjadi ini berbentuk berupa amblas atau penurunan permukaan perkerasan pada lokasi tertentu (setempat) dengan atau tanpa retak. Memiliki kedalaman lebih dari 2 cm dan dapat menampung air.

11 -. Tambalan dan tambalan galian utilitas (Patching and Utility Cut Patching) Tambalan dapat dikelompokan kedalam cacat permukaan, karena pada tingkat tertentu (jika jumlah atau luas tambalan banyak) akan menggangu kenyamanan. -. Lubang (Potholes) Kerusakan ini berbentuk seperti mangkok yang dapat menampung atau meresapkan air. -. Sungkur (Shoving) Kerusakan ini membentuk jembulan pada lapisan aspal. Kerusakan biasanya terjadi pada lokasi tertentu dimana kendaraan berhenti pada kelandaian yang curam atau tikungan tajam. -. Pelepasan butir (weathering/raveling) Kerusakan ini berupa terlepasnya sebagian butir pada permukaan perkerasan yang umumnya terjadi secara meluas. Kerusakan ini biasanya dimulai dengan terlepasnya material halus dahulu yang kemudian berlanjut terlepasnya material yang lebih besar. -. Kemudian ada juga kerusakan yang berada pada pertemuan jalan dengan bahu jalan, dan sambungan pelat yang sifatnya menampung air atau meresapkan air. Oglesby (1996:275) mengelompokan kerusakan pada perkerasaan kaku menjadi beberapa tipe kerusakan. Yaitu : -. Distorsi Distorsi yang terutama terdiri dari faulting (pergeseran vertikal dari pelat beton pada sambungan atau retakan), sering kali dianggap sebagai kelemahan utama perkerasan beton dengan sambungan. Ada dua faktor yang menjadi penyebab faulting pertama adalah hilangnya dukungan pelat dan yang kedua adalah erosi pada tanah bawah (subbase). Pada tempat terjadinya faulting, pasti terdapat air bebas diatas pondasi atas dan lendutan perkerasan yang melintang pada sambungan akibat beban gandar yang berat. Hal ini menyebabkan menyambungnya material halus dari sambungan atau bergeraknya partikel halus ke bangian pelat sebelum sambungan. Hal ini bahkan dapat terjadi pada pondasi atas yang diperkuat dengan semen, sehingga memberikan gambaran betapa besar gaya yang timbul dibawah perkerasan tersebut.

12 -. Retak Retak pada perkerasan beton mempunyai beberapa bentuk dan dapat terjadi baik akibat pembebanan maupun akibat perubahan temperatur atau kelembaban. Jenis yang paling umum adalah retak pada bagian sudut. -. Disintegrasi Disintegrasi pada umumnya berbentuk retak keawetan (D-cracking = durability cracking), retak sisik, atau retak rambut. Umumnya diakibatkan oleh masalah-masalah yang berkaitan dengan desain campuran atau konstruksi. -. Polished aggregate Agregat timbul keluar sehingga menyebabkan permukaan menjadi tidak mulus. 2.5 Kecepatan Tempuh Rata-Rata Kecepatan tempuh rata-rata memiliki cakupan jalan tol dalam dan luar kota dan memliki tolak ukur (menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum). sebagai berikut : a. Kecepatan tempuh rata-rata jalan tol dalam kota harus (lebih besar atau sama dengan) 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol; b. Kecepatan tempuh rata-rata jalan tol luar kota harus (lebih besar atau sama dengan) 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol Menurut Roseily (2013), uji kecepatan tempuh rata-rata dilakukan pada saat hari biasa (jam sibuk pagi dan sore) dan pada saat hari libur dengan menggunakan metode Test-Car Runs/ Test Vehicle menggunakan average car. Kecepatan tempuh rata-rata yang baik juga menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih menggunakan jalan tol. 2.6 Aksesibilitas Aksesibilitas memiliki indikator kecepatan transaksi rata-rata dan jumlah gardu tol. Uraian cakupan dari aksesibilitas (menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 dan pasal 39 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) dan tolak ukur ialah :

13 a. Kecepatan transaksi rata-rata : 1. Gerbang tol sistem terbuka Sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan membayar tol pada saat melewati gerbang masuk atau gerbang keluar. Tolak ukur untuk gerbang tol sistem terbuka adalah 8 detik setiap kendaraan. 2. Gerbang tol sistem tertutup Sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan mengambil tanda masuk pada gerbang masuk dan membayar tol pada gerbang keluar. Tolak ukur untuk gerbang tol sistem tertutup adalah (lebih kecil atau sama dengan) 7 detik setiap kendaraan pada gardu masuk dan (lebih kecil atau sama dengan) 11 detik setiap kendaraan pada gardu keluar. b. Jumlah gardu tol : 1. Kapasitas sistem terbuka Menurut Standar Pelayanan Minimum (SPM), kapasitas gardu pada gerbang tol sistem terbuka haruslah (lebih kecil atau sama dengan) 450 kendaraan per gardu perjam. Hal ini di maksudkan agar tidak terjadi antrian panjang didepan gardu loket pembayaran, baik masuk maupun keluar. 2. Kapasitas sistem tertutup Menurut Standar Pelayanan Minimum (SPM), kapasitas gardu pada gerbang tol sistem tertutup haruslah (lebih kecil atau sama dengan) 500 kendaraan per gardu perjam pada gardu masuk dan haruslah (lebih kecil atau sama dengan) 300 kendaraan per gardu perjam pada gardu keluar. Hal ini di maksudkan agar tidak terjadi antrian panjang didepan gardu loket pembayaran, baik masuk maupun keluar. Gambar 0.2 Gerbang Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)

14 2.7 Mobilitas Indikator mobilitas (menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) adalah kecepatan penanganan hambatan lalu lintas yang memiliki beberapa cakupan, yaitu : a. Wilayah pengamatan / observasi patroli Wilayah pengamatan / observasi patroli dilakukan dengan waktu 30 menit per siklus pengamatan pengamatan di sepanjang jalan tol Jagorawi. b. Mulai informasi diterima sampai ketempat kejadian Waktu yang diperlukan mulai informasi diterima sampai tiba ditempat kejadian adalah (lebih kecil atau sama dengan) 30 menit. c. Penanganan akibat kendaraan mogok Penanganan akibat kendaraan mogok adalah dengan melakukan penderekan ke pintu gerbang tol terdekat / bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi secara gratis tanpa di pungut biaya selama masih didalam wilayah jalan tol Jagorawi. Pemungutan biaya akan dilakukan bila penderekan dilakukan hingga keluar dari area jalan tol Jagorawi. d. Patroli Kendaraan Derek Patroli dilakukan 30 menit per siklus pengamatan di sepanjang jalan tol Jagorawi. 2.8 Keselamatan Indikator keselamatan (menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) adalah kecepatan penanganan hambatan lalu lintas yang memiliki beberapa cakupan, yaitu : a. Sarana pengaturan lalu lintas Sarana pengaturan memiliki fungsi untuk mengatur keselamatan pengguna jalan tol untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Menurut PP No.32 tahun 2011, keselamatan lalu lintas adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan / atau lingkungan. Sarana pengaturan memiliki beberapa indikator, seperti :

15 1. Perambuan Perambuan memiliki cakupan berupa kelengkapan dan kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk dengan tolak ukur sebesar 100%. Menurut Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan No. 01/P/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga dengan ketentuan penempatan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga mudah terlihat dengan jelas bagi pemakai jalan dan tidak merintangi lalu-lintas kendaraan atau pejalan kaki. Gambar 0.3 Perambuan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) 2. Marka jalan Marka jalan memiliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki jumlah 100% dan memiliki refleksitas (lebih besar atau sama dengan) 80%. Menurut pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1965 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang meliputi marka adalah tanda garis membujur, garis melintang, kerucut lalu-lintas (lane divider) serta lambang-lambang lainnya yang ditempatkan pada atau di atas permukaan jalan Gambar 0.4 Garis Marka Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)

16 3. Guide post / reflektor Guide post / reflektor adalah tepian jalan yang berguna membantu pengendara untuk mengetahui jalur kendaraan, terutama pada saat malam hari di jalan yang kurang pencahayaan, dan pada saat turun kabut yang mengurangi jarak pandang. Guide post / reflektor memiliki cakupan fungsi dan manfaat dan memiliki jumlah 100% dan memiliki refleksitas (lebih besar atau sama dengan) 80%. Gambar 0.5 Guide Post / Reflektor Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) 4. Patok kilometer setiap 1 kilometer Patok kilometer setiap 1 kilometer memiliki cakupan fungsi manfaat dan memiliki tolak ukur sebesar 100% yang dimana merupakan suatu keharusan keberadaannya. Patok kilometer umumnya berada diantara pembatas jalan. Gambar 0.6 Patok Kilometer Setiap 1 Kilometer Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)

17 b. Penerangan jalan umum (PJU) Penerangan jalan umum (PJU) wilayah perkotaan memliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki tolak ukur lampu menyala 100% yang dimana merupakan keharusan. Menurut Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan Perkotaan No. 12/S/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga, lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah (underpass, terowongan). Untuk mengurangi penggunaan energi listrik, sekarang sudah banyak jalan tol yang menggunakan panel surya sebagai sumber energi untuk lampu penerangan. Gambar 0.7 Lampu Penerangan Jalan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) c. Pagar rumija Pagar rumija memliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki tolak ukur keberadaan 100%. Pagar rumija harus memiliki kekuatan yg dapat meredam benturan akibat tabrakan kendaraan, hal ini agar meminimumisir tingkat kematian akibat kecelakaan. d. Penanganan kecelakaan Penanganan kecelakaan memiliki cakupan sebagai berikut : 1. Korban kecelakaan dengan tolak ukur dievakuasi secara gratis ke rumah sakit rujukan.

18 2. Kendaraan kecelakaan di derek gratis sampai ke pool derek yang masih dalam wilayah jalan tol. Menyikapi maraknya derek liar yang justru merugikan pengguna jalan tol, maka mobil patroli di siapkan dan melakukan patroli setiap 30 menit per siklus jalan. Gambar 0.8 Alat Berat Untuk Mengevakuasi Kecelakaan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) e. Pengamanan dan penegak hukum Pengamanan dan penegak hukum memiliki cakupan ruas jalan tol dan memiliki tolakr ukur keberadaan Polisi Jalan Raya (PJR yang siap di panggil 24 jam. Polisi yang berpatroli bertugas mengamankan dan membantu pengguna jalan tol yang suatu saat membutuhkan bantuan secara tiba-tiba dalam berbagai hal. 2.9 Unit Pertolongan atau Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol memiliki indikator dan tolak ukur sebagai berikut : a. Ambulans Ambulans memliki cakupan seluruh luas jalan tol dan memiliki tolak ukur berupa 1 unit ambulans per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan paramedis). Ambulans disediakan untuk membawa

19 korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan dapat dengan cepat melakukan pertolongan. Gambar 0.9 Ambulans Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) b. Kendaraan derek Kendaraan derek memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dan memiliki tolak ukur untuk LHR > (lebih besar dari) kendaraan / hari disediakan 1 unit per jarak 5 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek, dan untuk LHR (lebih kecil atau sama dengan dari) kendaraan / hari disediakan 1 unit perjarak 10 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek. c. Polisi patroli jalan raya (PJR) Polisi patroli jalan raya (PJR) memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dan memiliki tolak ukur untuk LHR > (lebih besar dari) kendaraan / hari disediakan 1 unit per jarak 15 kilometer atau minimum 1 unit dan untuk LHR (lebih kecil atau sama dengan dari) kendaraan / hari disediakan 1 unit perjarak 20 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek. d. Patroli jalan tol Patroli jalan tol memiliki cakupan seluruh jalan tol dengan tolak ukur untuk 1 unit per jarak 15 km atau minimum 2 unit.

20 e. Kendaraan rescue Kendaraan rescue memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dengan tolak ukur memiliki 1 unit per ruas jalan tol (dilengkapi dengan peralatan penyelamatan) Gambar 0.10 Truk dan Mobil Rescue Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) f. Sistem informasi Sistem informasi memiliki cakupan informasi dan komunikasi kondisi lalu lintas dengan tolak ukur memilikinya disetiap gerbang masuk. Berfungsi untuk memantau setiap kondisi di jalan tol dan memberikan informasi tersebut kepada pengguna jalan tol. Gambar 0.11 Papan Sistem Informasi Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) 2.10 Transaksi Gerbang Tol Jalan tol Jagorawi memberlakukan transaksi tebuka dan transaksi tertutup. Transaksi terbuka ialah pengguna langsung membayar pada gerbang masuk tol, sedangkan transaksi tertutup ialah pengguna mengambil KTM (Kartu

21 Tanda Masuk), kemudian membayar pada gerbang tol tujuan. Pembayaran dapat menggunakan pembayaran tunai maupun dengan menggunakan kartu berlangganan. Opsi penggunaan kartu berlangganan dimaksudkan agar kecepatan transaksi di loket pembayaran menjadi lebih cepat. Berikut adalah ringkasan jenis transaksi di jalan tol Jagorawi. Tabel 0.7 Jenis Transaksi Gerbang Tol Gerbang Tol Tujuan Wilayah dan Asal Transaksi Ciawi Ciawi, Gadog, Puncak, Sukabumi Tertutup Bogor Kota Bogor Bagian Barat (Istana Bogor, Kebun Raya) Tertutup Sentul Perumahan Sentul City dan Jalan Tol Selatan Bogor Ring Road Tertutup Sentul Sirkuit Sentul, Babakan Madang, Kandang Kuda, Ciluer Tertutup Citeureup Citeurup, Cibinong Tertutup Kranggan Wilayah Kranggan Khusus Lalu Lintas dari Jakarta Tertutup Gunung Putri Gunung Putri ke arah Jonggol Tertutup Cimanggis Kawasan Golf Cimanggis (khusus dari Tertutup, arah Jakarta) menuju arah Jakarta Terbuka Cimanggis Barrier Gate seluruh transaksi dari arah Utama Bogor/Ciawi Tertutup Cibubur Barrier Gate transaksi untuk menuju Utama Bogor Tertutup Cibubur Satelit Wilayah Cibubur dan sekitarnya Tebuka Pasar Rebo Ke arah Kampung Rambutan dan JORR Tebuka Dukuh Akses dari Kampung Rambutan dan JORR menuju Jakarta (dan sebaliknya) Tebuka Ramp Taman Akses dari wilayah Taman Mini, Kramat Mini Jati menuju Jakarta dan sebaliknya Tebuka (Sumber : diakses pada 02 Maret 2014 ) 2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP) Menurut Roseily (2013), Dalam setiap aspek kehidupan, kita seringkali dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang krusial dan menentukan. Pilihan-pilihan tersebut harus diputuskan sebijak mungkin dengan alasan yang ilmiah, logis dan terstruktur. Hal ini juga sering terjadi dalam dunia teknik sipil, contohnya ketika

22 pemerintah sebuah daerah ingin memutuskan untuk menggunakan jasa kontraktor untuk mengerjakan proyek pembangunan jalan, tentunya pihak pemerintah harus menyeleksi kontraktor-kontraktor yang ada berdasarkan kriteria-kriteria yang objektif dan relevan dengan proyek yang bersangkutan. Permasalahan seperti ini dapat diselesaikan dengan suatu metode matematika yaitu metode analytical hierarchy process (AHP). Metode AHP ini dikembangkan oleh seorang ahli matematika, Thomas L. Saaty sejak tahun Dengan metode ini, pengambilan keputusan atas permasalahan yang kompleks akan disederhanakan dengan memecah-mecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya, lalu disusun menurut tingkatannya (hierarki), kemudian dinilai atau diberi bobot secara numerik (berskala) mengenai tingkat kepentingan (importance) dari setiap kriteria, sehingga diperoleh hasil berupa kriteria yang menjadi prioritas tertinggi dan memiliki pengaruh lebih besar pada kondisi tersebut. Dengan demikian, suatu keputusan (khususnya yang bersifat multikriteria dan perlu dinilai oleh banyak pihak) akan menjadi lebih efektif dengan didasari metode ini. Menurut Saaty (1990), dalam menentukan kriteria dari setiap permasalahan yang akan dinilai perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut : a. Lengkap, artinya setiap kriteria harus mencakup semua bagian yang penting, yang tentunya relevan dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan. b. Operasional, artinya setiap kriteria tersebut harus bermakna atau berdampak bagi pengambil keputusan sehingga dapat benar-benar dipahami. c. Tidak berlebihan, artinya setiap kriteria disusun sewajarnya dan tidak memiliki arti atau pengertian ganda. d. Minimum, artinya dalam pemilihan jumlah kriteria harus seminimum mungkin agar permasalahan dapat menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Saaty dalam teorinya juga mendeskripsikan bahwa ada 4 prinsip dalam mengambil keputusan secara AHP (Analytic Hierarchy Process), yaitu : a. Decomposition, yaitu mengurai suatu permasalahan yang kompleks ke dalam bagian-bagiannya secara hierarki.

23 b. Comparative judgments, yaitu membandingkan setiap pasangan elemen atau kriteria di dalamnya dengan skala numerik (angka) untuk menghasilkan tingkat kepentingan atau prioritas dari masing-masing elemen. Skala yang digunakan adalah angka 1-9 dengan penjelasan seperti pada Tabel 2.4. Tabel 0.8 Nilai Skala AHP dalam Kuisioner Intensitas Kepentingan , 4, 6, 8 Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain Satu elemen mutlak lebih penting dari yang lainnya Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang berdekatan Penjelasan Kedua elemen memberikan kontribusi yang sama terhadap tujuan Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak pada sebuah elemen dibanding elemen lainnya Pengalaman pertimbangan secara kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasinya telah terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung bahwa suatu elemen memiliki tingkat penegasan tertinggi atas elemen lainnya sangat jelas dan dominan Nilai ini diberikan jika diperlukan adanya kompromi antara nilainilai diatas. Kebalikan dari nilai diatas, jika aktivitas a mendapat satu angka tertentu (1-9), bila dibandingkan dengan aktivitas b maka b mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan a. c. Synthesis of Priority, yaitu penentuan prioritas di setiap tingkatan elemen mulai dari kriteria yang paling kecil yang disebut prioritas lokal. Untuk mendapatkan prioritas global, maka perlu dilakukan sintesis antara prioritas lokal. d. Logical Consistency, yaitu pengujian tingkat konsistensi pada input untuk setiap kriteria agar menjadi relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini dilakukan untuk menghindari data masukan yang tidak konsisten sehingga dapat menyebabkan analisis menjadi kurang valid. Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, metode AHP ini memiliki landasan aksiomatik berikut :

24 a. Resiprocal Comparison, artinya bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah n kali lebih penting daripada B, maka B adalah 1/n kali lebih penting dari A. b. Homogenity, artinya dalam melakukan perbandingan harus membandingkan sesuatu yang sejenis atau se-level. Misalnya, membandingkan apel dengan bola tenis tidak mungkin dalam hal rasa, namun akan lebih relevan jika membandingkannya dalam hal berat atau ukuran. c. Dependence, artinya setiap tingkatan (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) satu sama lain walaupun mungkin ada hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). d. Expectation, artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Langkah kerja proses pengambilan keputusan berdasarkan metode AHP adalah sebagai berikut : a. Menentukan tujuan atau menetapkan alternatif yang akan dipilih maupun disusun prioritasnya. b. Menguraikan setiap kriteria penilaian ke dalam struktur hierarki. Gambar 0.12 Struktur Hierarki (Sumber: diakses pada 2 maret 2014)

25 c. Memberikan penilaian dari setiap perbandingan berpasangan antar kriteria. d. Menghitung bobot dari setiap kriteria dengan matriks perbandingan berpasangan dengan susunan seperti pada Tabel 2.7 : Tabel 0.9 Matriks Perbandingan Berpasangan C 1 C 2... C n C 1 P 11 P P 1n C 2 P 21 P P 2n C n P n1 P n2... P nn C adalah kriteria, P adalah nilai perbandingan antar kriteria berpasangan, dan n adalah banyaknya kriteria yang dibandingkan. Untuk mendapatkan matriks normalisasi, kuadratkan matriks tersebut, jumlahkan nilai di setiap baris, kemudian hitung totalnya. Bobot (eigenvector) dari setiap kriteria adalah persentase di masing-masing baris. Susunannya seperti pada Tabel 2.6. Tabel 0.10 Menghitung Bobot Setiap Kriteria C 1 C 2... C n Jumlah Baris Bobot T 1 = C 1 P 11 P P 1n P 11 +P P 1n T 1 /A T 2 = C 2 P 21 P P 2n P 21 +P P 2n T 2 /A T n = C n P n1 P n2... P nn P n1 +P n P nn T n /A

26 T adalah hasil penjumlahan nilai kriteria di setiap baris dan A adalah hasil penjumlahan dari semua nilai T. e. Menentukan CI (Consistency Index) dengan persamaan berikut : CI = λ ma x -n n f. Menentukan rasio konsistensi (CR) dengan cara membagi indeks konsistensi (CI) dengan indeks random (RI). CR = RI Tabel 2.7 berikut adalah nilai rata-rata indeks random (RI) untuk setiap ordo matriks tertentu berdasarkan perhitungan Saaty dengan menggunakan 500 sampel. Tabel 0.11 Indeks Random (RI) Ordo RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59 g. Matriks perbandingan dikatakan konsisten jika nilai rasio konsistensi lebih kecil atau sama dengan 0,10 atau 10%. Dalam artikel mengenai Analytical Hierarchy Process, Nadja Kasperczyk dan Karlheinz Knickel (2010) merangkum beberapa kelebihan metode AHP menurut para peneliti lainnya, di antaranya sebagai berikut : a. Keuntungan dari AHP dibanding metode multi-kriteria lain adalah fleksibilitas dan daya tarik intuitif bagi para pengambil keputusan dan kemampuannya untuk memeriksa inkonsistensi (Ramanathan, 2001). Umumnya, pengguna metode ini berpendapat bahwa input data dalam bentuk perbandingan berpasangan lebih mudah dan nyaman. b. Selain itu, metode AHP memiliki keuntungan yang berbeda yang mengurai suatu pemecahan masalah menjadi bagian-bagian penyusunnya dan membangun sebuah hierarki dari kriteria. Di sini, kepentingan setiap elemen (kriteria) menjadi jelas (Macharis et al., 2004). c. AHP membantu menangkap penilaian evaluasi baik secara subyektif maupun obyektif. Selain itu, AHP juga menyediakan mekanisme yang berguna untuk memeriksa konsistensi dari penilaian evaluasi dan

27 alternatif, sehingga AHP dapat mengurangi keragu-raguan dalam pengambilan keputusan. d. Metode AHP mendukung pengambilan keputusan berkelompok melalui konsensus dengan menghitung rata-rata geometris dari perbandingan berpasangan individu (Zahir, 1999). e. AHP diposisikan secara unik untuk membantu pada situasi model ketidakpastian dan berisiko karena mampu menurunkan skala penilaianpenilaian yang biasanya tidak ada (Millet & Wedley, 2002). Dalam bukunya yang berjudul Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk, Marimin. (2009) juga menguraikan beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP, yaitu : a. Kesatuan, artinya AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur. b. Kompleksitas, artinya AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. c. Saling ketergantungan, artinya AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. d. Penyusunan hierarki, artinya AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. e. Pengukuran, artinya AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas. f. Konsistensi, artinya AHP melacak konsistensi logis dari pertimbanganpertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas. g. Sintesis, artinya AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. h. Tawar-menawar, artinya AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

28 i. Penilaian dan konsesus, artinya AHP tidak memaksakan konsesus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda. j. Pengulangan proses, artinya AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, beberapa pengamat menyatakan ada beberapa kelemahan dari metode AHP ini, di antaranya sebagai berikut : a. Banyak peneliti telah lama mengamati beberapa kasus di mana penyimpangan peringkat dapat terjadi ketika AHP atau beberapa variannya digunakan. Triantaphyllou (2001) membuktikan bahwa pembalikan peringkat tidak mungkin terjadi apabila menggunakan varian perkalian AHP. b. Menurut Belton (1986) dan Gear (1997), masalah utama dari kebalikan peringkat AHP adalah interpretasi terhadap bobot kriteria. Namun, AHP dan beberapa variannya dianggap oleh banyak orang sebagai metode MCDM (Multi Criteria Decision Making) yang paling dapat diandalkan. c. Metode AHP dapat dianggap sebagai metode agregasi lengkap dari jenis aditif. Masalah dari agregasi tersebut adalah bahwa dapat terjadi kompensasi antara skor yang baik pada beberapa kriteria dan skor buruk pada kriteria lain. Informasi yang rinci dan seringkali penting dapat hilang oleh agregasi tersebut. d. Dengan AHP masalah keputusan didekomposisi menjadi beberapa subsistem, sehingga ada sejumlah besar perbandingan berpasangan harus diselesaikan. Pendekatan ini memiliki kelemahan bahwa jumlah perbandingan berpasangan yang akan dibuat, dapat menjadi sangat besar (n (n-1) / 2), dan dengan demikian akan menjadi pekerjaan yang memakan waktu (Macharis et al., 2004). e. Kelemahan lain yang penting dari metode AHP adalah keterbatasan penggunaan skala 9 angka. Kadang-kadang, pembuat keputusan mungkin kesulitan untuk membedakan di antara skala. Juga, metode AHP tidak dapat mencakup fakta apabila alternatif A ternyata 25 kali lebih penting daripada alternatif C (Murphy, 1993; Belton dan Gear, 1983; Belton, 1986). Dari diskusi tentang pembatasan skala ini, Hajkowicz et al. (2000)

29 memodifikasi prosedur dalam studi mereka dengan menggunakan skala 2 angka, karena kendala waktu dari pengambil keputusan. Jadi para pengambil keputusan hanya menunjukkan apakah kriteria yang satu lebih atau kurang penting atau sama pentingnya daripada kriteria yang lainnya. Dalam penelitian ini, AHP menjadi metode yang sangat efektif dalam mengolah data penilaian di dalam penentuan prioritas dari setiap substansi pelayanan yang ada di dalam SPM (standar pelayanan minimum) jalan tol berdasarkan hasil pengumpulan data kuesioner. Analisis data tersebut akan menghasilkan susunan prioritas (peringkat) untuk menentukan tindak lanjut pengambil keputusan dalam pemenuhannya, sehingga setiap keputusan yang diambil bersifat kalkulatif dan diharapkan dapat sesuai dengan penilaian responden.

30

STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG

STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL PERATURAN NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL MENIMBANG : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL MENTERI PEKERJAAN UMUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL MENTERI PEKERJAAN UMUM PERATURAN NOMOR 392/PRT/M/2005 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL MENIMBANG: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 Tentang Jalan perlu menetapkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Jalan Tol Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005, yang dimaksud dengan jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan

Lebih terperinci

TATA CARA PENGUKURAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL

TATA CARA PENGUKURAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 16 /PRT/M/2014 TENTANG STANDAR MINIMAL TATA CARA PENGUKURAN STANDAR MINIMAL STANDAR MINIMAL CARA ALAT YANG DIGUNAKAN Perkerasan Jalur 1. Kondisi Jalan

Lebih terperinci

SAMPU V PENGADAAN TANAH INFRASTRUKTUR PU PENINGKATAN KEMAMPUAN SDM BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DENPASAR 3 OKTOBER 2012 POSISI DAYA SAING KITA 50/144 2012 2013 KUALITAS INFRA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Tol 2.1.1 Definisi Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol, sementara

Lebih terperinci

PROGRAM PENINGKATAN PELAYANAN JALAN TOL

PROGRAM PENINGKATAN PELAYANAN JALAN TOL PENGELOLA : PT. JASA MARGA B. PELAYANAN LALU LINTAS 2005 2006 1 JAGORAWI 59.00 - Penambahan lajur pada ruas : Kapasitas Jakarta-Bogor-Ciawi a. Sentul Utara - Sentul Selatan km/lajur - - 3 15.70 - - b.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. secara acak. Masing-masing responden mengisi kuesioner mengenai

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. secara acak. Masing-masing responden mengisi kuesioner mengenai BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengumpulan Data Dari hasil pengumpulan data melalui pembagian kuesioner kepada responden yakni pengguna jalan tol Jakarta-Tangerang, diperoleh 136 data yang dihimpun

Lebih terperinci

EVALUASI PRIORITAS STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL JAKARTA-TANGERANG MELALUI PEMBOBOTAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

EVALUASI PRIORITAS STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL JAKARTA-TANGERANG MELALUI PEMBOBOTAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS EVALUASI PRIORITAS STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL JAKARTA-TANGERANG MELALUI PEMBOBOTAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Steven Roseily, Amelia Makmur Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil,

Lebih terperinci

V E R S I P U B L I K

V E R S I P U B L I K PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A13311 TENTANG PENGAMBILALIHAN SAHAM (AKUISISI) PERUSAHAAN PT MARGA HANURATA INTRINSIC OLEH PT ASTRATEL NUSANTARA I. LATAR BELAKANG 1.1 Berdasarkan Peraturan

Lebih terperinci

Data untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik

Data untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik Data untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik D. Hari Pratama Divisi IT JSMR Bandung, 26 September 2014 Daftar Isi Sekilas Jasa Marga 2 Regulasi Saat Ini 3 Track Record pada Industri Jalan Tol di Indonesia

Lebih terperinci

Gambar 1 Struktur Hierarki

Gambar 1 Struktur Hierarki EVALUASI PRIORITAS SPM (STANDAR PELAYANAN MINIMUM) JALAN TOL JAGORAWI DARI SISI PENGGUNA, PENGELOLA JALAN TOL DAN AHLI TRANSPORTASI MELALUI PEMBOBOTAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS* Alexsander

Lebih terperinci

EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA

EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA Amelia Makmur Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Kristen Krida Wacana Jln. Tanjung Duren Raya 4, Jakarta Barat 11470

Lebih terperinci

Kuisioner PERHITUNGAN PEMBOBOTAN/SKORING UNTUK DATA SPM (STANDAR PELAYANAN MINIMAL) JALAN TOL JAKARTA-BOGOR TAHUN 2014

Kuisioner PERHITUNGAN PEMBOBOTAN/SKORING UNTUK DATA SPM (STANDAR PELAYANAN MINIMAL) JALAN TOL JAKARTA-BOGOR TAHUN 2014 Kuisioner PERHITUNGAN PEMBOBOTAN/SKORING UNTUK DATA SPM (STANDAR PELAYANAN MINIMAL) JALAN TOL JAKARTA-BOGOR TAHUN 2014 1. Identitas dan jawaban dari setiap responden akan di jamin ke rahasiaannya dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Marga Jateng (PT. TMJ) dalam kemitraan pemerintah dan swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. Marga Jateng (PT. TMJ) dalam kemitraan pemerintah dan swasta untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami kelembagaan PT. Trans Marga Jateng (PT. TMJ) dalam kemitraan pemerintah dan swasta untuk pembangunan Jalan Tol Semarang

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Peru BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1056, 2015 KEMEN-PUPR. Dukungan Pemerintah. Pengadaan Tanah. Jalan Tol. Badan Usaha. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor khususnya dari sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor khususnya dari sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tangerang sebagai salah satu wilayah satelit dari ibukota Jakarta mengalami pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor khususnya dari sektor pertumbuhan penduduk,

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL YANG DIBIAYAI OLEH SADAN USAHA

TATA CARA PELAKSANAAN DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL YANG DIBIAYAI OLEH SADAN USAHA MENTER! PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA TATA CARA PELAKSANAAN DUKUNGAN PEMERINTAH TERHADAP PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL YANG DIBIAYAI OLEH SADAN USAHA PERATURAN MENTER! PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERLENGKAPAN JALAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERLENGKAPAN JALAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERLENGKAPAN JALAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT, MENIMBANG : a. bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan fasilitas perlengkapan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 14 LANDASAN TEORI 2.1 Proses Hierarki Analitik 2.1.1 Pengenalan Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS YANG BERSIFAT PERINTAH DAN/ATAU LARANGAN PADA RUAS JALAN TOL LINGKAR LUAR JAKARTA (JORR) I E1 SEKSI

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol Menurut BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol)

BAB III LANDASAN TEORI Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol Menurut BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol Menurut BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) Kondisi Jalan Tol No Indikator Tolok Ukur 1 Kekesatan > 0,33 µm 2 Kerataan IRI < 4 m/km 3 Lubang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keselamatan Jalan Keselamatan jalan adalah upaya dalam penanggulangan kecelakaan yang terjadi di jalan raya yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian negara harus ditingkatkan agar tidak terpuruk karena adanya perdagangan bebas, cara untuk memperkuat perekonomian Negara adalah dengan meningkatkan

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Untuk memperkenalkan AHP, lihat contoh masalah keputusan berikut: Sebuah kawasan menghadapi kemungkinan urbanisasi yang mempengaruhi lingkungan. Tindakan apa yang harus dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 06/PRT/M/2010

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 06/PRT/M/2010 MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 06/PRT/M/2010 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENERUSAN PENGUSAHAAN JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

... Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama JALAN TOL di Indonesia, eksemplar. Mohon Kirimkan. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms)

... Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama JALAN TOL di Indonesia, eksemplar. Mohon Kirimkan. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms) Hubungi Kami 021 31930 108 021 31930 109 021 31930 070 marketing@cdmione.com T ertinggal.., begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan pembangunan infrastruktur di Indonesia, utamanya pembangunan jalan

Lebih terperinci

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK 3.1 Pengertian Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB 2 LANDASAN TEORI Analytial Hierarchy Process (AHP) Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB 2 LANDASAN TEORI 2 1 Analytial Hierarchy Process (AHP) 2 1 1 Pengertian Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN

BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN 2005 A. Analisis Implementasi Hak Keamanan Konsumen

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendahuluan Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam BAB III METODOLOGI Metodologi merupakan kumpulan prosedur atau metode yang digunakan untuk melakukan suatu penelitian. Menurut Mulyana (2001, p114), Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpasatian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab

Lebih terperinci

Kepada yang terhormat, Para Pimpinan Badan Usaha Jalan Tol di seluruh Indonesia (terlampir) SURAT EDARAN TENTANG STANDAR DESAIN GERBANG TOL

Kepada yang terhormat, Para Pimpinan Badan Usaha Jalan Tol di seluruh Indonesia (terlampir) SURAT EDARAN TENTANG STANDAR DESAIN GERBANG TOL Kepada yang terhormat, Para Pimpinan Badan Usaha Jalan Tol di seluruh Indonesia (terlampir) A. UMUM NOMOR: SURAT EDARAN /SE/M/2017 TENTANG STANDAR DESAIN GERBANG TOL Berdasarkan Peraturan Presiden Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. JALAN BEBAS HAMBATAN (Jalan Tol) Jalan bebas hambatan didefinisikan sebagai jalan untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh, baik merupakan jalan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Perkotaan Menurut MKJI 1997, segmen jalan perkotaan/semi perkotaan mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia dengan jumlah penduduk yang relatif padat. Jakarta juga dikenal sebagai kota dengan perlalulintasan tinggi karena banyaknya

Lebih terperinci

Bab II Analytic Hierarchy Process

Bab II Analytic Hierarchy Process Bab II Analytic Hierarchy Process 2.1. Pengertian Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi, pengalaman,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelompokan Jalan Menurut Undang Undang No. 38 Tahun 2004 tentang jalan, ditinjau dari peruntukannya jalan dibedakan menjadi : a. Jalan khusus b. Jalan Umum 2.1.1. Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian PT Jasa Marga (persero) Tbk. A. Sejarah PT. Jasa Marga (Persero) Tbk.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian PT Jasa Marga (persero) Tbk. A. Sejarah PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 PT Jasa Marga (persero) Tbk. A. Sejarah PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. adalah sebuah badan milik pemerintah yang bertugas

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci

EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA

EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA EVALUASI PEMENUHAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL JALAN TOL DI INDONESIA Amelia Makmur Fakultas Teknik & Ilmu Komputer Univ. Kristen Krida Wacana Jln. Tanjung Duren Raya 4, Jakarta Barat, 11470 Telp:

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-15-2004-B Perencanaan Separator Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

Penempatan marka jalan

Penempatan marka jalan Penempatan marka jalan 1 Ruang lingkup Tata cara perencanaan marka jalan ini mengatur pengelompokan marka jalan menurut fungsinya, bentuk dan ukuran, penggunaan serta penempatannya. Tata cara perencanaan

Lebih terperinci

JARINGAN LINTAS DI PROVINSI DKI JAKARTA. DINAS PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI PROVINSI DKI JAKARTA Jl. Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat 15 Juni 2016

JARINGAN LINTAS DI PROVINSI DKI JAKARTA. DINAS PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI PROVINSI DKI JAKARTA Jl. Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat 15 Juni 2016 JARINGAN LINTAS DI PROVINSI DKI JAKARTA DINAS PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI PROVINSI DKI JAKARTA Jl. Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat 15 Juni 2016 DASAR HUKUM PENGATURAN WAKTU OPERASIONAL ANGKUTAN BARANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur jalan khususnya jalan bebas hambatan atau jalan tol menjadi faktor yang menentukan dalam perkembangan ekonomi wilayah serta peningkatan

Lebih terperinci

EVALUASI JENIS DAN TINGKAT KERUSAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) (STUDI KASUS: JALAN ARIFIN AHMAD, DUMAI 13+000-19+800)

EVALUASI JENIS DAN TINGKAT KERUSAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) (STUDI KASUS: JALAN ARIFIN AHMAD, DUMAI 13+000-19+800) EVALUASI JENIS DAN TINGKAT KERUSAKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) (STUDI KASUS: JALAN ARIFIN AHMAD, DUMAI 13+000-19+800) Ahmad Yani 1, Muhammad Idham, S.T., M.Sc. 2, Hamdani

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi ABSTRAK Tulisan ini memaparkan tentang penerapan Analitycal

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI

PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI PENERAPAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) GUNA PEMILIHAN DESAIN PRODUK KURSI SANTAI Dwi Nurul Izzhati Fakultas Teknik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang 50131 E-mail : dwinurul@dosen.dinus.ac.id

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pemilihan Supplier Menurut Pujawan dan Erawan (2010) memilih supplier merupakan kegiatan strategis terutama apabila supplier tersebut memasok item yang kritis atau akan digunakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43, Pasal

Lebih terperinci

Perancangan Detail Peningkatan Ruas Jalan Cihampelas Kota Bandung Provinsi Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN

Perancangan Detail Peningkatan Ruas Jalan Cihampelas Kota Bandung Provinsi Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 UMUM Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perlintasan Sebidang

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perlintasan Sebidang BAB III LANDASAN TEORI A. Perlintasan Sebidang Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Nomor 770 Tahun 2005 tentang Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur Kereta

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43, Pasal

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012

BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, Mei 2012 BLACKSPOT INVESTIGATION WORKSHOP Surabaya, 30-31 Mei 2012 Pengemudi dan pengendara menangkap 90% informasi melalui mata mereka! Engineer harus menyampaikan informasi berguna melalui rambu-rambu dan garis

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA

TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA TUGAS AKHIR PENDIDIKAN PANCASILA Disusun oleh : Nama : Chandra Borsalino NPM : 11.12.5704 Kelas : 11 S1SI 05 Kelompok : H PS/Jurusan : S1 Sistem Informasi Pembimbing : Drs. Muhammad Idris P, MM STMIK AMIKOM

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS YANG BERSIFAT PERINTAH DAN/ATAU LARANGAN PADA RUAS TOL CIKAMPEK PURWAKARTA PADALARANG (CIPULARANG)

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Evaluasi teknis adalah mengevaluasi rute dari suatu ruas jalan secara umum meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan data yang ada atau tersedia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Evaluasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), yang dimaksud dengan evaluasi adalah pengumpulan dan pengamatan dari berbagai macam bukti untuk mengukur dampak dan efektivitas

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 147 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian Analisis Kelaikan Fungsi Jalan Secara Teknis dengan Metode Kuantitatif dimaksudkan untuk menilai fungsi suatu ruas jalan ditinjau dari segi teknis.

Lebih terperinci

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1) CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1) 1. Fungsi Marka jalan adalah : a. Untuk memberi batas jalan agar jalan terlihat jelas oleh pemakai jalan Yang sedang berlalu lintas dijalan. b. Untuk menambah dan mengurangi

Lebih terperinci

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1244, 2014 KEMENHUB. Jalan. Marka. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 34 TAHUN 2014 TENTANG MARKA JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemacetan ini tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol saja, akan tetapi juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemacetan ini tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol saja, akan tetapi juga 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari tahun ke tahun kemacetan merupakan salah satu kendala terbesar yang dihadapi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar khusunya ibu kota Jakarta. Kemacetan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 514/KPTS/M/2009 TENTANG PENYESUAIAN TARIF TOL PADA BEBERAPA RUAS JALAN TOL MENTERI PEKERJAAN UMUM,

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 514/KPTS/M/2009 TENTANG PENYESUAIAN TARIF TOL PADA BEBERAPA RUAS JALAN TOL MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTER! PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 514/KPTS/M/2009 TENTANG PENYESUAIAN TARIF TOL PADA BEBERAPA RUAS JALAN TOL MENTERI PEKERJAAN UMUM, Memmbang : Mengingat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang : a. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Lebih terperinci

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Definisi AHP (Analytic Hierarchy Process) merupakan suatu model pengambil keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty yang menguraikan masalah multifaktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Umum Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol (Pasal 1 UU No. 15

Lebih terperinci

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM

METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN GALANGAN KAPAL UNTUK PEMBANGUNAN KAPAL TANKER DI PULAU BATAM Oleh : Yuniva Eka Nugroho 4209106015 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI III - 1

BAB III METODOLOGI III - 1 BAB III METODOLOGI Perencanaan underpass di persimpangan Jl.Kapt.Sudibyo-Jl.K.S.Tubun dan Jalan Rel ini memerlukan banyak kajian yang harus ditinjau. Maka untuk mempermudah langkah-langkah penyusunan Tugas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Umum Menurut Miro (2002), seiring dengan perkembangan jaman, objek yang diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi, produksi ekonomi, pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian besar: ruas Ulujami-Rorotan, ruas Kembangan-Penjaringan, dan ruas

BAB I PENDAHULUAN. bagian besar: ruas Ulujami-Rorotan, ruas Kembangan-Penjaringan, dan ruas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan tol merupakan jalan alternatif lintas jalan umum yang dibangun oleh Pemerintah dan kepada para pemakainya dikenakan kewajiban membayar tol. Biaya tol yang dikenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Profil perusahaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Profil perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1. Profil perusahaan PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan pada tahun 1978 sebagai operator tunggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalan tol adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban

BAB I PENDAHULUAN. Jalan tol adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Jalan tol adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban membayar untuk melewati jalan yang dilalui dan merupakan jalan alternatif lintas

Lebih terperinci

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan

Pd T Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan Perambuan sementara untuk pekerjaan jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iv 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan ( decision support systems disingkat DSS) adalah bagian dari sistem informasi berbasis computer termasuk sistem berbasis

Lebih terperinci

ISSN : STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 2015

ISSN : STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 2015 SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN METODE MULTI-CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Faisal Piliang Sistem Informasi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jalan Tol dan Pintu Tol Jalan tol merupakan suatu lintasan jalan yang memberikan alternatif pergerakan kendaraan dan barang intra maupun antar kota secara lebih cepat

Lebih terperinci

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Definisi AHP (Analytic Hierarchy Process) merupakan suatu model pengambil keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty yang menguraikan masalah multifaktor

Lebih terperinci

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR A.1. A.1.1. A.1.1.1. Lajur Lalu-lintas A.1.1.2. Bahu A.1.1.3. Median A.1.1.4. Selokan Samping UJI FUNGSI TEKNIS GEOMETRIK Potongan melintang badan jalan Lebar lajur Fungsi jalan Jumlah lajur Arus Lalu-lintas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Inspeksi Keselamatan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Inspeksi Keselamatan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Inspeksi Keselamatan Jalan Komite Nasional Keselamatan Transportasi, memuat bahwa (Inspeksi Keselamatan Jalan) IKJ merupakan pemeriksaan sistematis terhadap jalan atau segmen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah menyebabkan bertambahnya juga pergerakan orang dan barang pada wilayah tersebut. Dengan bertambahnya pergerakan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lalu lintas jalan raya terdiri dari dua angkutan, yaitu angkutan penumpang dan angkutan barang. Angkutan penumpang adalah moda transportasi yang berfungsi untuk mengangkut

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan jalan bebas hambatan dan menjadi bagian dari sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.603/AJ 401/DRJD/2007 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS YANG BERSIFAT PERINTAH DAN/ATAU LARANGAN PADA RUAS JALAN JALAN TOL CIREBON (PALIMANAN KANCI)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43, Pasal

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI V.1 TINJAUAN UMUM Dalam Bab ini, akan dievaluasi tanah dasar, lalu lintas, struktur perkerasan, dan bangunan pelengkap yang ada di sepanjang ruas jalan Semarang-Godong. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan tol merupakan jalan alternatif bagi kendaraan beroda empat atau lebih dengan sistem berbayar. Jalan tol berfungsi sebagai jalan bebas hambatan yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Metode Pavement Condition Index (PCI) Pavement Condotion Index (PCI) adalah salah satu sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat kerusakan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas umum,yang berada pada permukaan tanah, diatas

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan PT. Jasa Marga (Persero) Tbk, Cabang Belmera adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan di Jakarta berdasarkan akte Notaris Kartini Muljadi,

Lebih terperinci