KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR DIDI ACHMADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR DIDI ACHMADI"

Transkripsi

1 KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR DIDI ACHMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2013 Didi Achmadi NRP A

4 RINGKASAN DIDI ACHMADI. Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU. Garam merupakan komoditas vital yang memainkan peranan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun berbagai kegiatan industri. Kebutuhan garam secara nasional selalu meningkat setiap tahunnya dan tidak dapat dipenuhi dari produksi garam dalam negeri. Sampang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki comparative adventages berupa tambak garam rakyat terluas di Pulau Madura. Pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan kebutuhan garam nasional sekaligus untuk meningkatkan perekonomian daerah. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam, (2) menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan tambak garam, (3) menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam, (4) merumuskan arahan strategi untuk pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan yang memiliki potensi untuk ekstensifikasi tambak garam seluas ha meliputi ha tutupan lahan eksisting berupa sawah, ha berupa tambak budidaya, ha ladang/tegalan, ha rawa, 5.72 ha semak belukar, dan 0.74 ha berupa kebun campuran. Land rent tipe penggunaan lahan berupa aktivitas perdagangan, jasa, rumah huni, kebun jambu air, kebun jati, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun pisang, dan kebun mangga lebih tinggi dibandingkan land rent tambak garam yang berkisar antara Rp1 675 dan Rp2 954 per m 2 /tahun. Sementara ladang, kebun bambu, dan tambak budidaya land rent-nya di bawah tambak garam. Kaitannya dengan arahan pengembangan tambak garam dilihat dari kesesuaian lahan, land rent dan penggunaan lahan eksisting maka lahan yang memungkinkan adalah yang memiliki kelas sesuai untuk tambak garam dengan tipe penggunaan berupa tambak budidaya, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, ladang, kebun pisang, kebun mangga, dan kebun bambu. Semua metode pemanenan garam secara finansial layak untuk dilanjutkan (NPV > 0, IRR > discount rate). Berdasarkan kriteria Net BCR dan payback period metode geomembrane lebih menguntungkan dan lebih cepat terjadinya BEP dibandingkan dengan metode maduris dan portugis. Kombinasi strategi yang dipilih sebagai strategi prioritas untuk pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang adalah: (1) memperkuat kelembagaan petani garam untuk mengawal pemerintah dalam rangka penegakan regulasi, (2) meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam, dan (3) memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi dari pemerintah. Kata kunci: tambak garam, land rent, analisis finansial, A WOT, Kabupaten Sampang

5 SUMMARY DIDI ACHMADI. Study for Development of Conventional Salt Pond Center in the South Coast Region of Sampang Regency, East Java Province. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and DYAH RETNO PANUJU. Salt is a vital commodity that has an important role either for consumption or for various industrial activities. Salt demand has been increasing annually and apparently domestic production has not fulfilled the demand. Sampang is one of regency in Jawa Timur Province which has comparative advantages because of its widest conventional salt pond in Madura island. Development of conventional salt pond center in the south coast region of Sampang Regency is an attempt to address the national shortage of salt and also to increase regional economic. This research aims: (1) to identify potential land for extension of the salt ponds, (2) to analyze land rent of various land use types and compare it with salt ponds, (3) to determine and to compare the financial benefits among harvesting methods in the salt production, and (4) to formulate the strategic direction for development of conventional salt pond center at the study sites. The results show that there were hectares of potential land for extending salt ponds consisting of ha of paddy fields, ha of aquaculture ponds, ha of field/moor, ha of swamp, 5.72 ha of scrub and 0.74 ha of mixed gardens. Land rent of trade and service activity, residential, jambu air orchard, teak garden, irrigated field, rainfed, banana plantation and mango orchard were higher than land rent of salt pond which was ranging from to Rp2 954 IDR per m 2 per year. While paddy field, bamboo gardens, and fish ponds were underneath salt pond. Salt ponds regarding its suitability, land rent and type of land use could be extended in these type of land use respectively, i.e: aquaculture ponds, rainfed cropland, swamp, shrub, paddy fields, banana plantation, mango orchards, and bamboo gardens. All of harvesting methods in salt production are financially feasible to continue (NPV > 0; IRR > discount rate). Payback period and Net BCR show that the geomembrane method was more profitable than the maduris and the portugis method. Combination of strategic alternatives selected by A WOT as the primary strategy to develop conventional salt pond center in the south coast region of Sampang Regency are: (1) strengthening the institutions of salt farmers to assist regulations enforcement, (2) increasing volume of production and increasing salt quality, and (3) expanding and streamlining the distribution network by government intervention. Keywords: salt pond, land rent, financial analysis, A WOT, Sampang Regency

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR DIDI ACHMADI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIANBOGOR BOGOR 2013

8

9 Judul Tesis Nama NRP : Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur : Didi Achmadi : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Ketua Dyah Retno Panuju, SP, M.Si. Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 28 Januari 2013 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Widiatmaka, DAA.

11 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah dengan judul Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus dan Dyah Retno Panuju, SP, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 3. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 4. Pemerintah Kabupaten Sampang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini. 5. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun kelas reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih yang istimewa disampaikan kepada isteriku tercinta drh. Ratih Dwi Astuti dan anakku tersayang Muhammad Revah al-banna beserta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Februari 2013 Didi Achmadi

12

13 i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN iii iv v 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengusahaan Garam di Indonesia Kesesuaian Lahan Tambak 9 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Alat Metode Pengumpulan Data Teknik Analisis Data Operasi Tumpang Susun (Overlay Operation) Penghitungan Land Rent Analisis Finansial Analisis A WOT 22 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG Kondisi Geografis dan Administratif Kondisi Demografi Kondisi Perekonomian Kondisi Fisik Lokasi Penelitian Topografi Jenis dan Kedalaman Efektif Tanah Iklim Oseanografi 33 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Areal untuk Ekstensifikasi Tambak Garam Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Garam Potensi Ekstensifikasi Tambak Garam Land Rent Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Tambak Garam 43

14 ii 5.3 Analisis Finansial Pengusahaan Garam Arahan Pengembangan Tambak Garam Strategi Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat Faktor Strategi Internal dan Eksternal Analisis Matriks Internal-Eksternal (Matriks IE) Analisis Matriks Space Analisis SWOT Strategi Pengembangan Tambak Garam 59 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 62 DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN 68

15 iii DAFTAR TABEL 1 Penetapan harga garam oleh pemerintah ( ) 9 2 Jumlah sampel land rent tipe penggunaan lahan 14 3 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran tahapan penelitian 15 4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam 18 5 Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) 23 6 External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) 24 7 Luas wilayah administrasi Kabupaten Sampang 28 8 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun Jenis tanah lokasi penelitian Kondisi iklim di Kabupaten Sampang Luas tutupan lahan Hasil analisis kesesuaian lahan tambak garam Hasil identifikasi potensi ekstensifikasi lahan tambak garam Nilai land rent tiap tipe penggunaan lahan dan perbandingannya dengan land rent tambak garam Perbedaan metode maduris, portugis, dan geomembrane Hasil analisis finansial pengusahaan garam IFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang EFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang 55

16 iv DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian 6 2 Distribusi lahan produksi garam nasional tahun Lokasi penelitian 12 4 Bagan alir tahapan penelitian 16 5 Matriks internal-eksternal 25 6 Matriks space 26 7 Matriks SWOT 27 8 Jenis tanah lokasi penelitian 32 9 Tutupan lahan Skema proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam Kesesuaian lahan tambak garam Potensi untuk ekstensifikasi lahan tambak garam Kisaran land rent tiap tipe penggunaan lahan Produksi dan nilai produksi garam metode pemanenan maduris, portugis, dan geomembrane Hasil analisis matriks internal-eksternal (Matriks IE) Posisi sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang pada matriks space Hasil analisis matriks SWOT pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang 59

17 v DAFTAR LAMPIRAN 1 Zonasi karakteristik lokasi penelitian 69 2 Lahan sesuai untuk tambak garam yang masuk dalam kawasan lindung dan ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengawasan jalan (ruwasja) 70 3 Penyusun land rent tambak garam 70 4 Hasil uji t berpasangan land rent tipe penggunaan lahan dibandingkan dengan land rent tambak garam 71 5 Cash flow analysis untuk analisis finansial metode pemanenan pada pengusahaan garam 77 6 Kuesioner untuk analisis A WOT 80 7 Penilaian tingkat konsistensi pembobotan faktor SWOT pada analisis A'WOT 81

18

19 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan perkembangan industri di seluruh dunia. Untuk memenuhi permintaan tersebut, tercatat tidak kurang dari 108 negara mengusahakan produksi garam dengan memanfaatkan berbagai sumber dan berbagai cara. Dari jumlah produksi garam dunia sebanyak sekitar 266 juta ton pada tahun 2010, Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 720 ribu ton. Produsen terbesar garam di dunia adalah China dengan produksi 62.7 juta ton, diikuti Amerika Serikat (45 juta ton), India (18.6 juta ton), Jerman (16.6 juta ton), dan Australia (12 juta ton) (Brown et al. 2012). Produksi garam di Indonesia pada umumnya dilakukan secara tradisional yaitu dengan memanfaatkan sinar matahari untuk menguapkan air laut di atas tambak garam di wilayah pesisir. Sentra produksi garam di Indonesia tersebar di 9 (sembilan) provinsi dengan jumlah luas lahan tambak produktif ha dengan produktivitas rata-rata ton/ha/tahun. Lahan tambak produktif tersebut lebih dari 60% atau seluas ha berada di Jawa Timur. Di antara seluruh tambak garam produktif di Jawa Timur tersebut ha atau 94% berada di Pulau Madura yang tersebar di Kabupaten Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Pulau ini menyumbang hampir 60% produksi garam nasional setiap tahunnya (KKP 2010). Kabupaten Sampang memiliki luas tambak garam rakyat terbesar di Madura. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa dari keseluruhan tambak garam produktif di Madura, ha merupakan tambak garam rakyat. Di antara seluruh luas tambak garam rakyat tersebut, ha atau hampir 66% berada di Kabupaten Sampang terutama di bagian pesisir selatan. Hal ini merupakan comparative advantage yang dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian Kabupaten Sampang. Berdasarkan potensi tersebut, RTRW Kabupaten Sampang mengarahkan pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang yang tersebar di 6 (enam) kecamatan: Kecamatan Sampang, Camplong, Torjun, Pangarengan, Jrengik dan Sreseh (Bappeda Sampang, 2010). Besarnya potensi tersebut tidak diikuti dengan baiknya hasil pembangunan di Kabupaten Sampang. Tingkat kemiskinan Kabupaten Sampang tahun 2009 sebesar 31.94%, tergolong tertinggi di Provinsi Jawa Timur yang tingkat kemiskinannya 16.68% (Bappeprov Jatim 2011). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sampang Tahun 2010 terendah (59.58) dan menjadi beban bagi Provinsi Jawa Timur yang sudah mencapai IPM (BPS dan Bappeda Sampang 2011; Bappeprov Jatim 2011). Pemprov Jatim (2011) juga menunjukkan bahwa Kabupaten Sampang masuk dalam kelompok daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita rendah di Jawa Timur. Pengembangan wilayah Kabupaten Sampang seharusnya tidak dipisahkan dari konsep pembangunan berimbang (balanced development). Pembangunan daerah yang berimbang menurut Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2009) adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan

20 2 setiap daerah yang jelas-jelas beragam. Potensi Kabupaten Sampang berupa lahan tambak garam rakyat yang luas itu sudah selayaknya dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Apalagi belakangan ini pemerintah memberikan perhatian serius untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat dalam rangka program swasembada garam nasional (KKP 2010a). Pemerintah mengupayakan pengaturan tata niaga garam melalui kebijakan impor garam dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No.20/M- DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-DAG/PER/10/2007. Dengan ketentuan tersebut importir garam iodisasi dilarang mengimpor garam dalam masa 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan setelah panen raya garam rakyat. Jumlah garam yang dapat diimpor juga diatur secara proporsional berdasarkan jumlah garam rakyat yang dibeli dari petani. Peraturan ini diikuti dengan ketentuan perubahan harga garam rakyat dari harga 145 ribu rupiah per ton garam KP1 (kualitas 1) dan 100 ribu rupiah per ton garam KP2 pada tahun 2004 naik secara bertahap hingga menjadi 750 ribu per ton (KP1) dan 550 ribu per ton (KP2) pada tahun Dengan peraturan-peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi petani garam sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya Garam merupakan salah satu komoditi unggulan bagi Kabupaten Sampang (Bappeda Sampang 2011a). Adanya perhatian pemerintah dan mulai membaiknya harga dan tata niaga garam merupakan kesempatan bagi kabupaten ini untuk meningkatkan pendapatan wilayah sekaligus mengejar ketertinggalannya dari daerah lainnya di Jawa Timur. Untuk itulah, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang ada, diperlukan upaya mengoptimalkan pengusahaan garam sebagai salah satu potensi pembangunan. Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang ini diharapkan bisa memberikan arahan dan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam rangka meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan pendapatan wilayah sekaligus mendukung mewujudkan Provinisi Jawa Timur dan Pulau Madura khususnya sebagai salah satu daerah tumpuan utama keberhasilan pencanangan swasembada garam nasional. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), sampai dengan tahun 1997 produksi garam Indonesia selalu mampu untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional. Namun, sejak tahun 1998 sampai 2001 produksi garam lokal menurun tajam sebagai akibat musim kering yang sangat pendek karena terjadinya badai la nina yang membawa banyak hujan di Indonesia. Untuk menutupi kekurangan, kebutuhan garam konsumsi nasional dipasok melalui impor dari negara lain, terutama Australia dan India. Sementara itu, kebutuhan garam nasional terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan peningkatan kebutuhan garam dari tahun 2007 sebesar ton terus bertambah hingga ton pada tahun 2010 (Kemenperin 2010). Kebutuhan garam nasional ini terus meningkat

21 sampai 3.4 juta pada tahun 2011 (KKP 2011). Padahal produksi garam nasional dalam kondisi normal hanya sekitar 1.2 juta ton setiap tahunnya (KKP 2009, 2010). Dengan demikian, hampir satu setengah dekade sejak tahun 1998 hingga sekarang produksi garam dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan garam nasional. Kekurangan pemenuhan garam untuk konsumsi beberapa tahun terakhir sekitar 200 ribu ton (KKP 2009, 2010a, 2011), sedangkan untuk kebutuhan industri jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 misalnya, produksi garam dalam negeri sedang tinggi yaitu sekitar 1.4 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan 3.4 juta ton garam yang meliputi garam konsumsi sebesar 1.6 juta ton dan garam industri sebesar 1.8 juta ton harus mengimpor garam sebanyak 2 juta ton meliputi garam konsumsi sebesar 200 ribu ton dan garam industri sebesar 1.8 juta ton (KKP 2011). Langkah yang paling memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat adalah upaya pemenuhan kebutuhan garam konsumsi sebanyak 200 ribu ton tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan pada dasarnya sudah banyak memberikan intervensi berupa program/kegiatan dan anggaran guna menuju pemenuhan kebutuhan garam nasional. Dalam upaya ini, Madura dengan potensi tambak garam yang besar mendapat perhatian untuk mengoptimalkan potensi lahan tambak yang dimiliki. Upaya peningkatan produksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam tersebut di atas dapat dilakukan secara ekstensifikasi maupun intensifikasi. Upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan ekstensifikasi lahan tambak diperlukan untuk perencanaan jangka panjang dengan memperhatikan ketersediaan dan kesesuaian lahan. Upaya ekstensifikasi ini harus terkendali dan terencana karena perluasan tambak yang tidak terkendali dan terencana akan menimbulkan kerusakan lingkungan terutama ekosistem mangrove (Saru 2007). Ekstensifikasi lahan tambak juga harus memperhatikan land rent dari tipe penggunaan lahan yang akan dikonversi karena dalam mekanisme pasar kegiatan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatan dengan land rent yang lebih rendah (Rustiadi et al. 2009). Hasil perhitungan land rent ini akan menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan arahan konversi lahan. Upaya intensifikasi untuk peningkatan produktivitas pada dasarnya sudah dilakukan para petani garam dibantu dengan program pemerintah pusat dan pemerintah setempat melalui kegiatan normalisasi saluran air sekunder, perbaikan tambak, dan penggunaan ramsol (garam solusi). Upaya intensifikasi ini secara umum menghasilkan jumlah produksi garam yang lebih baik. Terkait dengan hal ini perlu dicermati dua metode pemanenan garam di Madura yaitu metode maduris dan metode portugis dengan ciri pembedanya terletak pada perlakuan pada tambak/petak kristalisasi (Syafii 2006). Metode portugis melengkapi petak kristalisasi dengan pembuatan lantai dari garam sedangkan pada metode maduris hanya menggunakan tanah tambak yang dikeraskan. Dengan metode portugis dihasilkan garam berkualitas baik (KP1) tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit, sedangkan dengan metode maduris dihasilkan garam kualitas di bawahnya (KP2) tetapi dengan jumlah yang lebih banyak. Penelitian Amalia (2007) di Desa Pinggir Papas Kabupaten Sumenep menunjukkan metode Portugis lebih layak dan menguntungkan dibandingkan dengan metode maduris. Hasil penelitian tersebut saat ini tidak bisa langsung 3

22 4 digunakan sebagai pertimbangan preferensi petani garam di Kabupaten Sampang karena biaya faktor produksi belum tentu sama, disamping adanya perubahan harga pada tiap-tiap kualitas garam pada tahun Selain dengan kedua metode tersebut, pada tahun 2011 berkembang penggunaan geomembrane dalam pengusahaan garam. Penggunaan geomembrane di lokasi penelitian sebagai alas petak kristalisasi garam baru diterapkan oleh PT. Garam. Penggunaan metode geomembrane ini dapat dijadikan pertimbangan untuk digunakan juga oleh petani garam rakyat. Oleh karena itu, performa penggunaan geomembrane dan kedua metode sebelumnya perlu untuk diketahui serta dianalisis secara finansial sehingga dapat diketahui metode yang dapat memberikan keuntungan lebih baik. Untuk mengembangkan sentra tambak garam rakyat ini pemerintah perlu merumuskan strategi pembangunan yang tepat. Agar lebih tepat, strategi ini perlu memperhatikan masukan dari stakeholders dalam pengusahaan garam. Strategi ini diperlukan dalam kerangka pengembangan wilayah sekaligus membantu pencapaian swasembada garam nasional. Memperhatikan beberapa hal di atas, maka empat pertanyaan penelitian yang dikaji adalah: 1. Berapa luasan lahan yang potensial untuk ekstensifikasi tambak? 2. Bagaimana land rent berbagai tipe penggunaan lahan dibandingkan tambak garam? 3. Diantara metode pemanenan maduris, portugis, dan geomembrane dalam pengusahaan garam, metode apa yang paling menguntungkan secara finansial bagi petani garam? 4. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan pengusahaan garam rakyat di lokasi penelitian? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam. 2. Menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan tambak garam. 3. Menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam. 4. Merumuskan arahan dan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan terkait pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian. 2. Menambah khazanah keilmuan bagi para peneliti yang berminat untuk melakukan kajian lebih mendalam.

23 5 1.5 Kerangka Pemikiran Sebagai bagian dari pengembangan wilayah Gerbang Kertosusila Plus sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Jawa Timur, Madura diharapkan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur yang berperan penting dalam mendukung perkembangan kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, pariwisata, transportasi, dan industri (Bappeprov Jatim 2010). Pertumbuhan ekonomi di Madura perlu diusahakan untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan sumber daya alam berbasis lokal serta memperhatikan nilai sosial-budaya dan lingkungan masyarakat setempat. Kabupaten Sampang dengan sumber daya alam berupa lahan tambak terluas di antara seluruh kabupaten di Madura serta didukung oleh arahan rencana pola ruang RTRW Kabupaten Sampang Tahun melalui penetapan sentra tambak garam rakyat di 6 (enam) kecamatan pesisir selatan diharapkan bisa menjadi produsen garam yang bisa diandalkan. Pengembangan tambak garam rakyat di kabupaten ini diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus mendukung Pulau Madura sebagai salah satu daerah tumpuan utama keberhasilan pencanangan swasembada garam nasional. Pengembangan tambak di Kabupaten Sampang pada dasarnya merupakan penerapan konsep pembangunan berimbang (balanced development). Konsep pembangunan berimbang ditandai oleh Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2009) dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap daerah yang jelas-jelas beragam. Potensi Kabupaten Sampang yang berupa lahan tambak garam rakyat yang luas itu sudah selayaknya dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Kekurangan pemenuhan garam untuk konsumsi secara nasional beberapa tahun terakhir sekitar 200 ribu ton (KKP 2009, 2010a, 2011). Peningkatan produksi garam di sentra tambak garam rakyat merupakan salah satu upaya untuk menjawab kekurangan pemenuhan garam konsumsi nasional sekaligus meningkatkan perekonomian Kabupaten Sampang, baik melalui ekstensifikasi maupun evaluasi metode pengusahaannya. Identifikasi potensi ekstensifikasi lahan perlu memperhatikan kelas kesesuaian lahan, penggunaan lahan eksisting, perijinan/hak pengelolaan lahan, dan berbagai regulasi. Metode pengusahaan garam yang dipilih sebaiknya yang menunjukkan performa terbaik. Selain itu, diperlukan perumusan strategi yang tepat untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang. Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat tersebut perlu memperhatikan sumber daya yang dimiliki disamping tetap memanfaatkan isu-isu strategis yang berkembang baik di tingkat lokal maupun nasional. Aspek formal dan teoritis juga perlu menjadi pertimbangan agar pengembangan bisa berjalan lebih baik. Sementara itu, penyerapan pendapat dari pihak-pihak terkait (stakeholders) akan sangat membantu guna mempertajam penyusunan rumusan strategi. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.

24 6 Potensi tambak garam di Kabupaten Sampang Isu strategis: - Meningkatnya kebutuhan garam nasional & rendahnya produksi garam dalam negeri - Swasembada garam nasional - Perbaikan harga garam tahun 2011 Aspek formal - teoritis: - Peraturan perundangan - RTRW Provinsi Jawa Timur - RTRW Kabupaten Sampang - Konsep pembangunan berimbang Kajian pengusahaan garam rakyat: 1) Analisis lahan potensi untuk ekstensifikasi 2) Analisis land rent penggunaan lahan tambak garam 3) Penilaian secara finansial metode pemanenan garam Isu Lokal: 1) Tambak: comparative advantage Kabupaten Sampang 2) Berkembangnya tiga metode pemanenan garam: maduris, portugis, dan geomembrane Penyerapan informasi dari stakeholders Strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat Arahan pengembangan sentra tambak garam rakyat Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

25 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia Menurut Raharjo (1984), secara prinsip garam diproduksi dengan tiga cara. Cara pertama yaitu menambang batu garam (shaft mining). Cara ini hampir sama dengan pola yang dipakai untuk menambang batu bara yang dilanjutkan dengan menggiling dan mengayaknya sesuai dengan ukuran kristal garam yang dikehendaki. Cara kedua yaitu membor sumur garam (drilling well). Dengan cara ini garam dalam tanah dieksploitasi dengan membuat sumur bor yang dilanjutkan dengan mengalirkan air ke dalamnya sehingga endapan garam terlarut. Larutan garam ini dipompa keluar untuk diproses lebih lanjut. Cara ketiga yaitu penguapan air laut atau air asin (brine) danau garam dengan bantuan sinar matahari (solar evaporation). Produksi garam di Indonesia dilakukan melalui proses penguapan air laut menggunakan sinar matahari (solar evaporation). Selama ini garam di Indonesia diproduksi oleh Badan Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PT. Garam dan petani-petani garam atau yang dikenal sebagai pegaraman rakyat (Hernanto dan Kwartatmono 2001). Pengusahaan garam dengan solar evaporation dimulai dengan memasukkan air laut ke dalam tambak ketika air laut pasang. Air ini kemudian dialirkan secara bertahap ke dalam beberapa tambak pemekatan dan akhirnya dialirkan ke petak kristalisasi. Prinsipnya, pembuatan garam dari laut terdiri atas langkah proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Kristal garam yang terbentuk dipisahkan dari air induk dengan jalan dikeruk. Garam yang dihasilkan dari cara ini tidak hanya mengandung NaCl tetapi masih terkontaminasi oleh garam-garam lainnya seperti MgCl 2, CaCl 2, CaSO 4 dan lain-lain. Proses kristalisasi yang demikian disebut kristalisasi total (Purbani 2001). Dengan solar evaporation, produksi garam sangat tergantung pada iklim. Hernanto dan Kwartatmono (2001) menggambarkan beberapa faktor iklim di Indonesia dibandingkan dengan di Australia. Secara umum, musim kemarau di Indonesia relatif pendek yaitu hanya 4 6 bulan, sedangkan di Australia sekitar 9 10 bulan kemarau per tahun. Curah hujan daerah pembuatan garam di Indonesia cukup besar yaitu mm/musim, sedangkan di Australia mm/musim. Total hujan daerah garam di Indonesia (khususnya Madura) yaitu berkisar mm/tahun, sedangkan curah hujan di daerah ladang garam di Australia mm/tahun. Kelembaban di Indonesia 60% 80% sedangkan di Australia 30% 40%, berarti kecepatan penguapan air laut di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Australia. Perbedaan faktor iklim tersebut menghasilkan produktifitas yang sangat berbeda yaitu sekitar ton/ha/tahun di Indonesia, sedangkan di Australia sangat tinggi yaitu berkisar ton/ha/tahun. Sumber daya alam yang sangat mendukung di Australia menghasilkan garam yang sangat melimpah sehingga melampaui kebutuhan dalam negerinya. Dari gambaran sederhana ini maka tidak heran kalau Indonesia menutupi kekurangan pemenuhan garam nasional melalui impor garam dari Australia.

26 8 Pengusahaan garam di Indonesia dilakukan di 9 (sembilan) provinsi (Gambar 2). Pusat pembuatan garam di Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan Madura. Beberapa sentra andalan produksi garam nasional yaitu Kabupaten Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sumenep, Pamekasan, dan Sampang. Usaha tani garam masih merupakan usaha rakyat dengan sistem penggaraman kristalisasi total yaitu seluruh zat yang terkandung diendapkan tidak hanya natrium klorida tetapi juga beberapa mineral pengotor sehingga produktivitas dan kualitasnya masih rendah. Gambar 2 Distribusi lahan produksi garam nasional tahun 2009 (Diolah dari KKP 2010) Sebelum tahun 2011, di Madura dikenal dua metode pemanenan garam yaitu metode maduris dan metode portugis (Syafii 2006). Metode maduris biasa digunakan oleh masyarakat petani garam karena metode ini lebih mudah diterapkan. Dengan metode maduris, proses pemanenan garam sudah dapat dilakukan di awal musim sehingga lebih cepat menghasilkan uang. Berbeda halnya dengan metode maduris, metode portugis biasa digunakan oleh PT Garam. Pada metode portugis pemanenan garam tidak dapat dilakukan di awal musim karena didahului dengan pembuatan lantai garam pada petak kristalisasi. Lantai garam ini merupakan garam hasil penguapan air laut pada petak kristalisasi yang tidak dipanen dalam kurun waktu kurang lebih 30 hari. Hasil penelitian Amalia (2007) di Desa Pinggir Papas (Sumenep) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan metode maduris, metode portugis lebih layak dan menguntungkan untuk dijalankan pada usaha tambak garam pada luas lahan satu hektar. Kualitas garam hasil metode portugis secara umum juga lebih bagus daripada garam hasil metode maduris. Tata niaga garam yang buruk di daerah setempat maupun di Madura secara umum dan terbatasnya musim kemarau menyebabkan petani setempat masih menggunakan metode

27 maduris disamping karena sudah dilakukan secara turun temurun, dan caranya lebih mudah. Produksi garam rakyat tersedia dalam bentuk KP1 (kualitas 1), KP2 (kualitas 2), maupun garam dengan kualitas di bawahnya (KP3) (Disperindagtam Sampang 2010). Pemerintah beberapa kali melakukan upaya pengaturan tata niaga garam untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani garam. Selama Periode sudah digulirkan Harga Penetapan Pemerintah (HPP) sebanyak 5 (lima) kali (Tabel 1). Untuk garam KP1 dan KP2 ditetapkan selalu meningkat setiap kali terbit ketentuan, terakhir masing-masing ditetapkan seharga 750 ribu dan 550 ribu per ton pada tahun 2011, sedangkan untuk KP3 sejak tahun 2007 tidak diatur lagi karena diharapkan agar petani tidak memproduksinya lagi. 9 Tabel 1 Penetapan harga garam oleh pemerintah ( ) Harga pada tahun (Rp/ton) Jenis garam 2004 a 2005 b 2007 c 2008 d 2011 e KP1 (Nacl > 94.7% KP2 (85% < NaCl < 94.7%) KP3 (NaCl < 85%) a Kepmenperindag No. 376/MPP/Kep/6/2004; b Permendag No.20/M-DAG/PER/9/2005; c Perdirjen Perdagangan Luar Negeri No.8/DAGLU/TER/10/2007; d Kepdirjen Perdagangan Luar Negeri No:07/DAGLU/PER/7/2008; e Perdirjen Perdagangan Luar Negeri No:02/DAGLU/ PER/5/ Kesesuaian Lahan Tambak Evaluasi kesesuaian lahan sangat penting untuk mengidentifikasi daerahdaerah yang mempunyai potensi untuk penggunaan tertentu sehingga dapat dikembangkan secara intensif. Dalam penentuan kesesuaian lahan diperlukan kriteria untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Persyaratan tersebut dapat berhubungan dengan penggunaan lahan itu sendiri (biofisik), kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan kelembagaan (Conant et al. 1983). Menurut Poernomo (1988), identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk pengembangan budidaya penting artinya dalam rangka penataan ruang daerah yang sesuai dengan peruntukannya. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan baik antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi untuk budidaya laut/pantai yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi budidaya yang akan diterapkan. Budidaya tambak di Indonesia sudah mulai dikembangkan semenjak ratusan tahun yang lalu. Sstudi tentang kesesuaian lahan untuk tambak telah banyak dilakukan diantaranya oleh Jamil (2005), Alaudin (2004) dan Mustafa et al. (2008) di Sulawesi Selatan; Pantjara et al. (2008) di Sulawesi Tenggara; Rudiastuti (2011) di Indramayu; dan Yulianto (2011) di Kalimantan Selatan. Studi ini untuk pengembangan budidaya perikanan tambak, tetapi beberapa karakteristik fisiknya masih relevan digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan tambak garam. Pengembangan lahan untuk tambak harus memperhatikan beberapa faktor fisik utama, yaitu: topografi, hidrologi, kondisi tanah, kualitas air, dan iklim (Poernomo 1992; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007; Mustafa et al. 2008).

28 10 Selain kelima faktor fisik tersebut, Tarunamulia et al. (2008) dan Pantjara et al. (2008) mempertimbangkan tipe penutup dan penggunaan lahan sehubungan dengan status kesesuaian pengembangan pertambakan. Kaitannya dengan topografi, kemiringan lereng dapat mempengaruhi kemampuan suatu lahan dalam pengisian air tambak, terutama tambak yang dikelola secara tradisional. Chanratchakool et al. (1995) menyarankan kemiringan lereng lahan yang baik untuk pertambakan adalah yang relatif datar. Tanah yang relatif datar akan mempermudah pengaturan tata aliran air sekaligus meminimalkan biaya konstruksi (Soegianto dan Suwatmono 2002). Menurut Pantjara et al. (2008) lahan dengan kemiringan lereng di atas 4% sudah tidak sesuai dikembangkan untuk aktivitas pertambakan. Sehubungan dengan aspek hidrologi, jarak dari sumber air berpengaruh terhadap jumlah air yang bisa dikelola. Jarak tambak dari sungai dan/atau laut sebagai sumber air mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tambak (Poernomo 1992; Rudiastuti 2011). Hidrologi juga berkenaan dengan amplitudo pasang surut yang dikaitkan dengan elevasi lahan. Kisaran pasang surut perlu diketahui lebih dulu untuk menetapkan apakah suatu daerah berada dalam batas air pasang surut sehingga bisa ditentukan kelayakannya. Menurut Poernomo (1992), pada pertambakan semi intensif dan terutama ekstensif, elevasi lahan harus berada di antara atau sedikit lebih tinggi dari rataan surut rendah/mean low water level (MLWL) dan lebih rendah dari rataan pasang tinggi/mean high water level (MHWL). Rentang amplitudo pasang surut yang sesuai untuk pengembangan lahan tambak tambak berkisar (Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Kondisi tanah yang perlu dievaluasi dalam penentuan kesesuaian untuk aktivitas pertambakan meliputi kedalaman tanah, tekstur tanah, ketebalan gambut, kedalaman pirit serta kualitas tanah (Mustafa et al. 2008). Menurut Purbani (2011) kaitannya dengan karakteristik tanah, dalam pengusahaan tambak garam porositas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan produksi garam. Karena itu dalam memilih lahan untuk tambak, tekstur tanah sangat penting untuk diperhatikan. Makin kasar tanah berarti porositas semakin tinggi sehingga kurang cocok untuk tambak (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Pantjara et al. (2008) tekstur tanah berupa lempung liat berpasir (sandy clay loam) sangat cocok untuk aktivitas pertambakan. Selain kedap (tidak bocor), tanah bertekstur lempung liat berpasir dapat mendukung konstruksi tambak yang kokoh (Taslihan et al. 2003). Kualitas air juga menentukan keberhasilan aktivitas pertambakan. Dalam pengusahaan garam faktor penting yang mempengaruhi produksi garam adalah mutu air laut. (Purbani 2001). Menurut Hernanto dan Kwartatmono (2001) air laut yang baik adalah yang memiliki kandungan garam relatif tinggi dan tidak tercampur aliran muara sungai tawar. Akan lebih baik jika air laut jernih, tidak tercampur dengan lumpur dan limbah buangan. Air laut juga harus diwaspadai dari pencemaran logam berat seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), dan raksa (Hg), serta cemaran arsen (As) (DIKA Deperindag 2001). Aspek kualitas air ini harus diketahui kelayakannya sebelum mengarahkan pengembangan pertambakan di suatu kawasan. Faktor iklim merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengusahaan garam. Kondisi cuaca ideal yang diharapkan di wilayah ladang

29 garam adalah kecepatan angin lebih dari 5 m/detik dan arah angin tidak berubahubah, suhu udara lebih dari 32 C, kelembaban udara kurang dari 50%, curah hujan rendah, hari hujan rendah, serta penyinaran matahari 100% yang memungkinkan untuk tingginya proses evaporasi. Panjang musim kemarau juga berpengaruh langsung kepada kesempatan yang diberikan untuk membuat garam dengan bantuan sinar matahari. Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara mempengaruhi kecepatan penguapan air, makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap. Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut (Purbani 2001). Mengingat kondisi tambak garam yang dilakukan di sentra-sentra garam yang masih bersifat tradisional, maka menurut BRKP dan BMG (2005) berbagai parameter iklim berikut ini sangat menentukan keberhasilan produksi garam. Secara garis besar kondisi iklim yang menjadi persyaratan agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam adalah: 1. Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam dibawah 1300 mm/tahun. 2. Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan. Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan (120 hari). 3. Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat. 4. Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah tersebut, peguapan akan makin cepat. Berkaitan dengan tutupan lahan yang juga menjadi pertimbangan dalam kriteria kesesuaian lahan, Giap et al. (2005) menjelaskan bahwa perbedaan tingkat kesesuaian lahan untuk suatu kategori tutupan lahan menunjukkan besarnya waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati tutupan lahan tersebut serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Tarunamulia et al. (2008) dan Pantjara et al. (2008) membagi beberapa jenis penutup lahan menurut tingkat kesesuaiannya. Berbagai jenis penutupan lahan dikategorikan ke dalam kelas sesuai, dari kesesuaian rendah/sesuai marjinal hingga kesesuaian tinggi/sangat sesuai. Beberapa jenis penutupan lahan lainnya dikategorikan tidak sesuai seperti mangrove (primer), permukiman, hutan, dan fasilitas umum. 11

30 3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang meliputi 6 (enam) kecamatan yang daerahnya terdapat area tambak yaitu Kecamatan Sreseh, Jrengik, Torjun, Pangarengan, Sampang, dan Camplong. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah selama 8 bulan, yaitu dari bulan April sampai dengan bulan November Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Lokasi penelitian 3.2 Jenis Data dan Alat Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data langsung dari responden yang ditentukan berdasarkan keterwakilannya, diperoleh melalui metode wawancara dan kuesioner. Data sekunder berupa peta-peta tematik (kelerengan, tekstur tanah, curah hujan, dan rencana kawasan lindung), peta RBI skala 1: sebagai peta dasar, citra satelit (Ikonos 2010 dan GDEM 30 m), dokumen perencanaan, dan berbagai peraturan perundangan. Alat-alat yang digunakan antara lain receiver GPS, digital camera, dan beberapa perangkat lunak seperti ArcGIS 9.3, Expert Choice 11, SPSS Statistic 17, dan Microsoft Office.

31 Metode Pengumpulan Data Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan dengan cara menginventarisasi dan menelusuri data melalui buku, internet, peta, paraturan-perundangan, penelitian terdahulu maupun beberapa instansi terkait atau lembaga independen lainnya. Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara dan kuesioner. Data untuk menganalisis luasan lahan yang memungkinkan untuk ekstensifikasi tambak diperoleh melalui pengumpulan data sekunder berupa petapeta tematik, citra satelit, peraturan perundangan, dan dokumen perencanaan yang diperoleh dari instansi pemerintah maupun instansi independen. Beberapa peta tematik ada yang dibuat sendiri seperti peta kelerengan, peta jarak dari pantai, peta jarak dari sungai, dan peta tutupan lahan. Beberapa peta tematik lainnya diperoleh dengan memanfaatkan peta yang sudah tersedia seperti peta tekstur tanah, peta curah hujan, dan peta rencana kawasan lindung. Data untuk penghitungan land rent dikumpulkan dengan metode purposive sampling. Unit sampel yang digunakan adalah pemilik, pengelola, dan/atau pihak yang bisa memberi informasi terkait obyek sebagai responden. Data yang dikumpulkan adalah input dan output penggunaan lahan yang diatasnya dilakukan aktivitas ekonomi yang menghasilkan manfaat serta dapat dihitung atau dinilai dengan uang (tangible benefit). Komoditi yang dinilai hanya tradeable comodity. Tipe penggunaan lahan ini diturunkan dari kelas penutupan lahan hasil digitasi citra. Jumlah sampel ditentukan sebanyak 124 responden yang diperoleh secara proporsional berdasarkan wilayah sebaran tiap tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian. Tipe penggunaan lahan yang memiliki wilayah sebaran tinggi diambil sampel lebih banyak dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan yang memiliki wilayah sebaran rendah sebagaimana ditunjukkan Tabel 2. Khusus untuk sampling tipe penggunaan lahan berupa tambak garam, sampel yang diambil merupakan lahan garam rakyat yang menggunakan metode maduris. Metode maduris ini biasa diterapkan di pegaraman rakyat yang ada di seluruh kecamatan lokasi penelitian. Untuk analisis finansial dari ketiga metode pemanenan garam, data diambil dari tambak PT. Garam yang berada di Desa Pangarengan, Kecamatan Pangarengan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam memperoleh sampel yang memiliki karakteristik edafik dan klimat yang sama atau mendekati sama karena lokasinya yang berdekatan. Tambak yang dijadikan sampel merupakan petak kristalisasi dengan jumlah luasan seragam (7 200 m 2 ). Data dikumpulkan melalui purposive sampling berupa data produksi dari ketiga metode pemanenan garam selama satu musim pada tahun Jumlah sampel masing-masing sebanyak 4 (empat) unit petak kristalisasi mewakili metode portugis dan geomembrane, sedangkan untuk metode maduris hanya terdapat 2 (dua) unit sampel, sehingga jumlah keseluruhan adalah 10 unit sampel. Hasil yang diperoleh dijadikan dasar penghitungan manfaat (benefit) pada analisis finansial tiap-tiap metode pemanenan garam. Perumusan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di pesisir selatan Kabupaten Sampang ini menggunakan teknik analisis A WOT. A WOT merupakan metode hybrid antara AHP (Analytical Hierarcy Process) dan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) (Kangas et al. 2001). Dengan teknik analisis ini, data dikumpulkan dalam dua tahap. Tahap pertama dengan

32 14 mengumpulkan faktor SWOT yang meliputi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan tantangan). Data tahap pertama ini diperoleh dari studi literatur dan wawancara dengan stakeholder. Tahap kedua ditujukan untuk memperoleh bobot dan rating dari tiap-tiap faktor internal dan eksternal seperti metode AHP. Responden dipilih sebanyak 8 (delapan) orang yang merupakan tokoh-tokoh kunci (key informan) meliputi petani garam, asosiasi petani garam, instansi pemerintah setempat (Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan), PT Garam, anggota legislatif, dan akademisi. Kelas penutupan lahan Tabel 2 Jumlah sampel land rent tipe penggunaan lahan Tipe penggunaan lahan Wilayah sebaran (kecamatan) Jumlah sampel (responden) Tambak garam 1. Tambak garam 6 12 Tambak budidaya 2. Tambak budidaya (udang, bandeng) 1 2 Sawah 3. Sawah irigasi (padi - padi - tembakau) Sawah tadah hujan (padi - jagung tembakau) Ladang/ tegalan 5. Ladang (jagung - tembakau) 6 12 Kebun campuran 6. Pisang Mangga Jambu air Bambu Kebun Jati 2 4 Permukiman 11. Rumah huni (sewa) Perdagangan (toko sembako) Jasa (bengkel motor) 6 12 Hutan Hutan Mangrove Mangrove Rawa Rawa Semak belukar Semak belukar Tidak dianalisis Sungai Sungai Lainnya - Jumlah Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan empat teknik analisis yaitu: operasi tumpang susun (overlay operation), penghitungan land rent, analisis finansial, dan analisis A WOT. Operasi tumpang susun (overlay operation) digunakan untuk menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam. Penghitungan land rent digunakan untuk menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan land rent tambak garam. Analisis finansial dengan kriteria yang dievaluasi meliputi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), dan payback period digunakan untuk menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam. Analisis A WOT digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian. Secara lebih rinci keempat teknik analisis ini ditunjukkan pada Tabel 3. Adapun bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

33 Tabel 3 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran tahapan penelitian Tujuan Jenis data Sumber data Teknik analisis Keluaran Menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam - Peta kelerengan (1: ) - Peta tekstur tanah (1: ) - Peta curah hujan (1: ) - Peta jarak dari pantai (1:25 000) - Peta jarak dari sungai (1:25 000) - Peta tutupan lahan (1:10 000) - Peta rencana kawasan lindung (1: ) dan regulasi terkait - Peta RBI Tahun 1999 (1:25 000) - Diekstrak dari Global DEM v2 (USGS) - Peta land system skala 1: (BBSDLP) - RTRW - Buffering garis pantai Buffering sungai - Citra ikonos 2010 (PT. Aerovisi Utama) - RTRW, Regulasi terkait - Bakosurtanal Operasi tumpang susun (overlay operation) - Peta potensi untuk ekstensifik asi lahan tambak garam 2. Menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan tambak garam. - Harga dan volume input produksi - Harga dan volume output produksi - Harga sewa rumah - Responden (unit rensponden: pemilik, pengelola, dan/ atau pihak yang bisa memberi informasi terkait obyek) - Penghitungan land rent tiap penggunaan lahan - Land rent peng-gunaan lahan rumah tinggal menggunakan sewa per tahun - Uji nilai t Informasi perbandingan land rent tambak dengan bentuk penggunaan lainnya 3. Menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam - Data volume produksi dan biaya operasional tiap bulan selama satu musim (tahun 2011) - Harga pasaran setempat tiap kualitas garam (tahun 2011) - Data primer (purposive sampling) - NPV - IRR - Net BCR - Payback period Informasi hasil analisis finansial 4. Merumuskan arahan dan strategi pengembanga n sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian Wawancara dengan kuesioner - Petani garam - Asosiasi Petani garam - Bappeda - DKPP - Disperindagtam - PT. Garam - Anggota legislatif - Akademisi Analisis A WOT Rumusan strategi

34 16 Penyusunan kriteria kesesuaian lahan tambak - Kelerengan - Tekstur - Curah hujan - Buffer dari garis pantai - Buffer dari sungai - Tutupan lahan Overlay operation: Pertimbangan Regulasi: Peta potensi untuk ekstensifikasi tambak garam Peta kesesuaian lahan tambak garam Identifikasi lahan sesuai untuk ekstensifikasi tambak garam - Rencana kawasan lindung - Buffer dari garis pantai (100 m) - Buffer dari sungai besar 100 m, 50 m dari sungai kecil di luar pemukiman/perkotaan) - Buffer 200 m dari mata air - Suaka alam (mangrove) - Buffer jalan (arteri primer 20.5 m, kolektor primer 12.5 m, lokal primer (11 m) Interpretasi citra ikonos tahun 2010 Peta tutupan lahan Tipe penggunaan lahan Analisis land rent tipe penggunaan lahan 1. Arahan ekstensifikasi 2. Arahan metode pengusahaan garam yang dianjurkan 3. Rumusan strategi Area of interest Groundchek Survei responden/ data lapangan Analisis finansial pengusahaan garam (maduris, portugis, geomembrane): NPV, IRR, Net BCR, payback period Analisis A WOT Gambar 4 Bagan alir tahapan penelitian Operasi Tumpang Susun (Overlay Operation) Proses identifikasi areal untuk ekstensifikasi tambak garam didahului dengan analisis kesesuaian lahan. Pada analisis ini salah satu peubah yang digunakan adalah tutupan lahan yang dibuat dari hasil interpretasi citra ikonos tahun Citra yang digunakan merupakan citra yang sudah melalui proses koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Dengan kedua proses koreksi tersebut,

35 citra berada pada sistem koordinat yang benar dan memiliki nilai piksel yang sesuai dengan yang sebenarnya (Barus dan Wiradisastra 2000). Pada proses interpretasi, citra didigitasi secara manual dengan skala tampilan 1: pada peta dasar berupa peta RBI tahun 1999 skala 1: Proses digitasi ini menghasilkan peta tutupan lahan yang selanjutnya digunakan pada operasi tumpang susun dalam pembuatan peta kesesuaian lahan tambak garam. Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus 2004). Untuk menilai tingkat kesesuaian lahan dalam rangka ekstensifikasi tambak digunakan teknik operasi tumpang susun (overlay operation) melalui sistem informasi geografis (SIG). Klasifikasi kesesuaian lahan dalam penelitian ini menggunakan kategori tingkat kelas. Kelas yang digunakan terdiri dari 3 (tiga) kelas dalam ordo S (sesuai) dan 1 (satu) kelas dalam ordo N (tidak sesuai). Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut: Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable). Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 : cukup sesuai (moderately suitable) Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan meningkatkan masukan (input) yang diperlukan. Kelas S3 : sesuai marjinal (marginally suitable) Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan. Kelas N : tidak sesuai (not suitable) Lahan ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari. Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini diulas secara deskriptif untuk menunjukkan sub-kelas kesesuaiannya. Sub-kelas lahan menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam tiap kelas kesesuaian (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan Tambak Garam Sebelum dimulai operasi tumpang susun, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kriteria kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Kriteria kesesuaian tambak garam dalam penelitian ini menggunakan 6 (enam) peubah relevan yang diadaptasi dari kriteria kesesuaian lahan tambak budidaya udang yang disusun Pantjara et al. (2008). Peubah-peubah tersebut yaitu: kelerengan lahan (t), tekstur tanah (s), curah hujan (e), jarak dari garis pantai (p), jarak dari sungai (r), dan tutupan lahan (c). Penggunaan kriteria tambak budidaya ini dipandang masih koheren dengan kriteria tambak garam. Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, tambak yang digunakan untuk memproduksi garam pada musim kemarau juga dimanfaatkan sebagai untuk budidaya udang/bandeng 17

36 18 pada musim penghujan. Namun demikian, penggunaan peubah pada kriteria kesesuaian lahan tambak garam perlu dilakukan penyesuaian sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan teknis maupun yuridis. Peubah Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N Kelerengan lahan (t) (%) a 0 2 > 2 3 > 3 4 > 4 Tekstur tanah (s) a lempung liat berpasir liat berpasir (sandy clay) liat berdebu (silty clay) debu, pasir (silt, sand) (sandy clay loam) Curah hujan (e) (mm/thn) b < < < > Jarak dari garis pantai (p) (m) a > > > c, > Jarak dari sungai (r) (m) a > > > Tutupan lahan (c) a tambak garam, tegalan, belukar sawah, kebun rawa, tambak budidaya permukiman, hutan, mangrove d Sumber: a Pantjara et al. (2008). b BRKP dan BMG (2005). c Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang menetapkan sempadan pantai 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat sebagai kawasan lindung. d Tarunamulia et al. (2008). Peubah curah hujan disesuaikan kembali mengacu pada BRKP dan BMG (2005) yang menyebutkan bahwa curah hujan tahunan yang sesuai untuk tambak garam di bawah mm/tahun. Penyesuaian ini perlu dilakukan karena curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan feseabiltas suatu kawasan untuk pengusahaan garam dengan solar evaporation. Peubah jarak dari garis pantai meter dan kelas tutupan lahan berupa mangrove juga disesuaikan berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun Menurut Poernomo (1992), dua faktor yang juga mempengaruhi pemasokan air dalam mengoperasikan tambak adalah elevasi lahan dan sifat pasang surut. Kedua faktor tersebut menjadi tolok ukur daya dukung lahan pantai untuk pertambakan yang penilaiannya dilakukan terlebih dahulu untuk menetapkan apakah suatu daerah layak untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dalam penelitian ini, kedua faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai peubah dalam kriteria kesesuaian lahan tambak garam karena kondisi eksisting sudah menunjukkan bahwa di lokasi penelitian sudah banyak aktivitas pertambakan yang dikelola secara tradisional-ekstensif. Di lokasi penelitian, air laut bisa masuk ke areal pertambakan pada saat pasang tanpa bantuan pompa air. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung lahan pantai memungkinkan untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dengan demikian kaitannya dengan aspek topografi, penggunaan peubah kelerengan saja sudah bisa digunakan untuk mengidentifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian.

37 Penggunaan Peubah Kriteria dan Pertimbangan Regulasi Terkait Operasi tumpang susun dilakukan pada peta tematik seluruh peubah kriteria kesesuaian lahan tambak garam dengan memperhatikan karakteristik yang ada di lokasi penelitian. Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, tambak garam eksisting tersebar pada dua jenis zona yang memiliki karakteristik berbeda seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada zona I terdapat sungai besar yang lebarnya mencapai 300 meter. Didukung dengan tingkat kelerengan yang sangat rendah, air laut dapat masuk ke daratan pada saat pasang melalui sungai besar tersebut sehingga memungkinkan dikembangkan tambak garam pada jarak jauh melebihi meter dari garis pantai. Untuk itu berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona I ini tidak menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p), melainkan hanya menggunakan peubah jarak dari sungai (r). Hal ini diperlukan agar dapat melakukan proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam walaupun berada di luar jarak meter dari garis pantai. Sebaliknya, pada zona II tidak terdapat sungai besar. Seluruh tambak garam eksisting pada zona ini hanya berada dalam jarak meter dari garis pantai. Pada zona II ini keberadaan tambak garam sangat bergantung dengan dekatnya jarak dari pantai. Akses air dari laut ke darat pada saat pasang dapat melalui sungai-sungai kecil atau kanal-kanal yang dibuat masyarakat setempat. Untuk itu, berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona II ini hanya menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p). Kelas kesesuaian lahan hasil operasi tumpang susun tersebut ditentukan berdasarkan kelas kesesuaian terjelek dari tiap-tiap faktor sehingga akan diperoleh kesesuaian lahan aktual. Kesesuaian lahan aktual menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) merupakan kelas kesesuaian lahan dalam keadaan alami, belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada di setiap satuan peta. Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini akan dibahas secara deskriptif sehingga diketahui macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Selain penetapan kriteria tersebut, juga mempertimbangkan berbagai regulasi terkait agar lokasi yang teridentifikasi memiliki kesesuaian untuk ekstensifikasi tambak garam berada dalam area yang memungkinkan dilakukan aktivitas pertambakan. Berbagai regulasi tersebut antara lain terkait dengan pengelolaan kawasan lindung serta pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan umum primer (arteri, kolektor, lokal). Regulasi yang dipertimbangkan terkait pengelolaan kawasan lindung yaitu Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Regulasi yang dipertimbangkan terkait pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan umum primer yaitu Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Undang-undang Pengelolaan Kawasan Lindung melindungi kawasan sekitar mata air sekurang-kurangnya dalam radius 200 meter di sekitar mata air, sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman, dan kawasan 19

38 20 pantai berhutan bakau sebagai kawasan suaka alam. Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melindungi sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Undangundang tentang Jalan mengatur tentang perlunya ruang pengawasan jalan (ruwasja) di samping kanan kiri ruang milik jalan (rumija) yang dalam hal ini diperlukan untuk pengamanan konstruksi serta pengamanan fungsi jalan. Dalam penelitian ini konsep pengamanan ruwasja dan rumija mengacu pada Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kabupaten Sampang yaitu ditetapkan selebar 41 meter (buffer 20.5 m) untuk jalan arteri primer, 25 meter (buffer 12.5 m) untuk jalan kolektor primer, dan 22 meter (buffer 11 m) untuk jalan lokal primer (Bappeda Sampang 2011b) Penghitungan Land Rent Menurut Barlowe (1978) land rent dianggap sebagai suatu surplus yang merupakan bagian dari jumlah nilai produk atau total pendapatan dari sisa setelah pembayaran yang didasarkan pada jumlah faktor biaya atau total biaya. Manfaat ekonomi suatu lahan umumnya dapat dinilai dari pendapatan bersih per m 2 lahan pertanian untuk penggunaan tertentu. Land rent diartikan juga sebagai surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Land rent secara operasional dapat diukur sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi per tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut. Secara matematis, land rent dapat dirumuskan sebagai berikut (Sitorus et al. 2007): Dimana : = P i : volume output produksi ke-i H i : harga output ke-i B j : input produksi ke-j C j : harga/biaya input ke-j Biaya yang diperhitungkan meliputi biaya total terdiri dari biaya tunai (explisit cost) dan biaya tidak tunai (implisit cost). Biaya tidak tunai misalkan biaya tenaga kerja dalam keluarga. Penghitungan land rent dilakukan terhadap manfaat ekonomi dari tipe penggunaan lahan pada tahun Dalam analisis ini, khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak diperhitungkan. Khusus penghitungan land rent tipe penggunaan lahan berupa rumah tinggal dihitung dari hasil menyewakan atau mengontrakan rumahnya dikurangi biaya total pemeliharaan selama satu tahun dibagi luas bangunan (m 2 ). Biaya total dalam hal ini meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perawatan rumah yang disewakan atau dikontrakan selama satu tahun seperti pengecatan ulang dan perbaikan. Untuk penghitungan land rent tipe penggunaan lahan yang membutuhkan waktu panen bertahun-tahun seperti kebun jati dihitung dari hasil panen dikurangi

39 seluruh biaya produksi dibagi luasan lahan yang digunakan (m 2 ) dan umur tanaman (tahun). Biaya faktor produksi yang dihitung disesuaikan dengan nilai sekarang (present value) tahun Analisis Finansial Analisis finansial dilakukan terhadap metode pemanenan garam di lokasi penelitian yaitu metode maduris, portugis, dan geomembrane melalui cash flow analysis. Pada penyusunan cash flow, depresiasi (penyusutan) marupakan salah satu aspek yang dihitung sebagai biaya dengan cara dikurangkan dari angka pendapatan sebelum pajak. Depresiasi tersebut kemudian ditambahkan kembali untuk menghitung jumlah total arus kas pada periode operasi karena pada kenyataannya tidak ada pergerakan arus kas (Soeharto 1995). Pengusahaan garam di lokasi penelitian merupakan aktivitas ekonomi sektor primer yang tidak dikenakan pajak sehingga pada penelitian ini depresiasi tidak dimunculkan pada penyusunan cash flow-nya. Kriteria yang dilihat dalam analisis cash flow pada penelitian ini yaitu NPV, IRR, Net BCR, dan payback period. NPV merupakan selisih antara benefit (penerimaan) dengan cost (pengeluaran) yang telah di-present-value-kan. Kriteria ini mengatakan bahwa suatu usaha akan dipilih apabila NPV > 0. Apabila NPV kurang dari nol, maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan. Secara umum rumus matematisnya dituliskan sebgai berikut (Rustiadi et al. 2009): ( ) = (1 + ) Dimana: B t : manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series (tahun, bulan, dan sebagainya) ke-t (Rp) C t : biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada time series ke-t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya) (Rp) i : merupakan tingkat suku bunga yang relevan t : periode ( 1, 2, 3, n) IRR adalah nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol. IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu usaha akan diterima bila IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital atau lebih besar dari suku bunga yang didiskonto yang telah ditetapkan, dan pada kondisi sebaliknya maka industri akan ditolak. Secara matematis IRR ditulis sebagai berikut (Rustiadi et al. 2009): = + ( ) Dimana: i : tingkat discount rate pada saat NPV positif ; i : tingkat discount rate pada saat NPV negatif ; NPV : nilai NPV positif NPV : nilai NPV negatif 21

40 22 Net BCR merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif (sebagai pembanding) dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Net BCR menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Jika Net BCR > 1 berarti NPV > 0 dan memberikan tanda suatu proyek layak. Jika Net BCR < 1 berarti NPV < 0 dan memberikan tanda suatu proyek tidak layak. Net BCR = 1 berarti NPV = 0, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal), sehingga terserah kepada penilaian pengambil keputusan. Net BCR secara matematis dituliskan sebagai berikut (Soekartawi 1995): = ( ) (1 + ) ; ( ) > 0 ( ) (1 + ) ; ( ) > 0 Dimana: B t : benefit kotor yang disebabkan adanya investasi pada periode ke-t C t : biaya kotor yang disebabkan adanya investasi pada periode ke-t n : umur ekonomis usaha i : tingkat suku bunga bank Payback period (periode pengembalian) merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi, dihitung dari aliran kas bersih. Aliran kas bersih adalah selisih pendapatan/manfaat (benefit) terhadap biaya (cost). Payback period tidak memperhitungkan nilai waktu dari uang sehingga tidak memperhitungkan discount factor. Semakin cepat periode pengembalian suatu proyek maka akan lebih disukai. Dalam pengusahaan garam, aliran kas tiap periode (bulan) berubah-ubah maka garis kumulatif cashflow tidak lurus. Dalam hal ini digunakan rumus (Soeharto 1995): = ( 1) + 1 Dimana: Cf : biaya pertama An : aliran kas pada tahun n n : tahun pengembalian ditambah Analisis A WOT A WOT merupakan metode yang menunjukkan bagaimana AHP dan SWOT dapat digunakan dalam proses penentuan suatu strategi (Kangas et al. 2001). Osuna dan Aranda (2007) melakukan kombinasi antara SWOT dan AHP untuk perencanaan strategi dalam pengembangan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Tujuan metode A WOT adalah untuk mengurangi subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancaman. Metode A WOT yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan AHP untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) dalam

41 pengambilan suatu keputusan strategi. A WOT dalam menentukan prioritas Strategi dilakukan secara rasional berdasarkan fakta dan persepsi responden (expert). Analisis A WOT melalui beberapa tahapan, diawali dengan pengumpulan data kuesioner melalui survei dan wawancara. Data yang diperoleh berupa faktor internal (kekuatan dan kelemahan) maupun faktor eksternal (peluang dan ancaman) dikerucutkan dan dijadikan bahan untuk mendapatkan bobot dan rating masing-masing faktor SWOT, dimana bobot didapat dari AHP. Selanjutnya dilakukan analisis faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS), analisis matriks internal-eksternal (IE), analisis matriks space dan tahap pengambilan keputusan dengan SWOT Analisis Faktor Strategi Internal Eksternal Analisis faktor strategi internal dan eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam merumuskan Strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang. 1. Analisis Faktor Strategi Internal Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang menentukan strategi. Bagian dari analisis ini adalah membuat matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 5. Langkah-langkah pembuatannya sebagai berikut: a. Menyusun sebanyak 5 sampai dengan 10 faktor-faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 1. b. Memasukkan bobot masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 2 dari hasil AHP gabungan semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga nilai jumlah bobot sama dengan satu. c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh) masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan dengan memberi skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata rating dari semua responden. Untuk desimal dibawah 0.5 dibulatkan ke bawah, sedangkan 0.5 ke atas dibulatkan ke atas. d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1. e. Menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai jumlah skor faktor internal. Nilai jumlah skor digunakan dalam analisis matriks internal-eksternal (IE). Tabel 5 Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) Faktor-faktor strategi internal Bobot Rating Skor Kekuatan: dst. Kelemahan: dst. Jumlah Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2009) 23

42 24 2. Analisis Faktor Strategi Eksternal Analisis faktor strategi eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor peluang dan ancaman yang menentukan strategi. Analisis ini diawali dengan membuat matriks External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 6. Langkah-langkah pembuatannya sebagai berikut: a. Memasukkan sebanyak 5 sampai dengan 10 faktor-faktor peluang dan ancaman pada kolom 1. b. Memberikan bobot masing-masing faktor peluang dan ancaman pada kolom 2 dari hasil AHP gabungan semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga nilai jumlah bobot sama dengan satu. c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh) masing-masing faktor peluang dan ancaman dengan memberi skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata dari semua responden. Untuk desimal dibawah 0.5 dibulatkan ke bawah, sedangkan 0.5 ke atas dibulatkan ke atas. d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1. e. Menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai jumlah skor faktor eksternal. Nilai jumlah skor digunakan dalam analisis matriks internaleksternal (IE). Tabel 6 External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) Faktor-faktor strategi eksternal Bobot Rating Skor Peluang: dst. Ancaman: dst. Jumlah Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2009) Analisis Matriks Internal-Eksternal (IE) Model matriks internal-eksternal (IE) digunakan untuk memposisikan strategi sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabuaten Sampang. Data yang digunakan adalah jumlah skor faktor internal dan jumlah skor faktor eksternal. Matriks internal eksternal ditunjukkan pada Gambar 5. Menurut Rangkuti (2009), matriks internal-eksternal dapat mengidentifikasi suatu strategi yang relevan berdasarkan sembilan sel matriks IE. Kesembilan sel tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam tiga strategi utama yaitu: 1. Growth strategy, adalah strategi yang didesain untuk pertumbuhan sendiri (sel 1, 2, dan 5) atau melalui diversifikasi (sel 7 dan 8). 2. Stability strategy, merupakan penerapan strategi yang dilakukan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan (sel 4). 3. Retrenchment strategy, adalah strategi dengan memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan.

43 25 Nilai jumlah skor faktor strategi eksternal Nilai jumlah skor faktor strategi internal Tinggi Rata-rata Lemah GROWTH GROWTH RETRENCHMENT Tinggi Konsentrasi melalui Konsentrasi melalui Turnaround integrasi vertikal integrasi horizontal 3 Sedang 2 Rendah STABILITY Hati-hati GROWTH Diversifikasi konsentrik 5 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi 8 GROWTH Diversifikasi konglomerat 6 RETRENCHMENT Captive company atau Disinvestment 9 RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi Sumber: Rangkuti (2009) Gambar 5 Matriks internal-eksternal Analisis Matriks Space Matriks space berfungsi untuk mempertajam strategi yang akan diambil dalam pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabuaten Sampang. Menurut Rangkuti (2009), matriks space digunakan untuk mengetahui posisi dan arah perkembangan selanjutnya suatu perusahaan. Data yang digunakan merupakan selisih dari jumlah skor faktor internal (kekuatan kelemahan) dan selisish dari jumlah skor faktor eksternal (peluang ancaman). Marimin (2008) menjelaskan bahwa posisi perusahaan dapat dikelompokkan kedalam empat kuadran seperti ditunjukkan pada Gambar 6, dimana: 1. Kuadran I, menandakan posisi sangat menguntungkan, dimana perusahaan memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan menerapkan strategi pertumbuhan yang agresif. 2. Kuadran II, menunjukkan perusahaan menghadapi berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi.

44 26 3. Kuadran III, pada kuadran ini perusahaan mempunyai peluang yang sangat besar, disisi lain memiliki kelemahan internal. Menghadapi situasi ini perusahaan harus berusaha meminimalkan masalah-masalah internal untuk dapat merebut peluang pasar. 4. Kuadran IV, menunjukkan perusahaan berada pada situasi yang tidak menguntungkan, karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal. Berbagai peluang Kuadran III Strategi konservatif Kuadran I Strategi agresif Kelemahan internal Kekuatan internal Kuadran IV Strategi defensif Kuadran II Strategi kompetitif Berbagai ancaman Gambar 6 Matriks space Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk menentukan rencana dan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang dalam kerangka pengembangan wilayah. Rangkuti (2009) menjelaskan bahwa analisis SWOT dapat menunjukkan indikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) sebagai analisis situasi dalam kondisi yang ada. Analisis SWOT membandingkan antara faktor internal dengan faktor eksternal sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi. Dalam pengambilan keputusan, matriks SWOT ini perlu merujuk kembali matriks IE dan hasil analisis matriks space sehingga dapat diketahui kombinasi strategi yang paling tepat (Marimin 2008). Untuk memperoleh gambaran secara jelas, disusun matriks SWOT seperti disajikan pada Gambar 7.

45 27 Faktor internal Faktor eksternal Opportunities (O) Menentukan 5-10 faktorfaktor peluang eksternal Strengths (S) Menentukan 5-10 faktorfaktor kekuatan internal Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran I Waknesses (W) Menentukan 5-10 faktor-faktor kelemahan internal Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran III Threats (T) Menentukan 5-10 faktorfaktor ancaman eksternal Strategi ST Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran II Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Digunakan jika perusahaan berada pada kuadran IV Sumber: Marimin (2008) dan Rangkuti (2009) Gambar 7 Matriks SWOT

46 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG 4.1 Kondisi Geografis dan Administratif Luas wilayah Kabupaten Sampang km 2. Kabupaten Sampang terdiri 14 kecamatan, 6 kelurahan dan 180 Desa. Batas administrasi wilayah kabupaten Sampang adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Selat Madura. Pada sisi barat dan timur masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Sampang terletak 100 km dari Surabaya, yang dapat ditempuh melalui Jembatan Suramadu kurang lebih 5 menit dan dilanjutkan dengan perjalanan darat 1.5 jam. Gambaran kecamatan dan luas wilayahnya di Kabupaten Sampang ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah administrasi Kabupaten Sampang No Kecamatan Luas (km 2 Persentase ) (%) 1. Sreseh Torjun Pangarengan Sampang Camplong Omben Kedungdung Jrengik Tambelangan Banyuates Robatal Karang Penang Ketapang Sokobanah Jumlah Sumber: BPS (2011) 4.2 Kondisi Demografi Persebaran penduduk di wilayah Kabupaten Sampang secara keseluruhan tidak merata. Persebaran penduduk cenderung berorientasi ke wilayah pusat pemerintahan atau pusat perekonomian daerah seperti kawasan pertanian, perikanan, peternakan, industri, pertambangan, perdagangan dan jasa. Kecamatan Sampang merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi, mencapai jiwa/km 2. Hal ini wajar mengingat Kecamatan Sampang merupakan wilayah pusat pemerintahan dan ibu kota kabupaten Sampang. Wilayah lain yang tingkat kepadatan penduduk tinggi adalah Kecamatan Camplong.

47 Jumlah penduduk Kabupaten Sampang pada tahun 2010 sebanyak jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar jiwa/km 2. Jumlah ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2009 yaitu sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk jiwa/km2. Jumlah penduduk di tiap kecamatan dan tingkat kepadatan penduduknya terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2010 Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) Luas area (km 2 ) Kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ) Sreseh Torjun Pangarengan Sampang Camplong Omben Kedungdung Jrengik Tambelangan Banyuates Robatal Karangpenang Ketapang Sokobanah Jumlah Sumber : BPS (2011) Tabel 8 memperlihatkan komposisi penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Sampang terlihat seimbang meskipun secara kuantitatif lebih banyak penduduk perempuan. Di antara penduduk jiwa, 51.25% penduduk perempuan dan 48.75% penduduk laki-laki. Di seluruh kecamatan di Kabupaten Sampang jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan penduduk lakilaki. Berdasarkan hasil Susenas 2009, penyebaran penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Sampang, terutama pada sektor pertanian yang%tasenya mencapai 69.94%, kemudian sektor perdagangan, rumah makan dan akomodasi yaitu 10.67%, kemudian sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan 6.57%, kemudian sektor industri pengolahan yaitu 4.23% dan sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi sebesar 3.71%. Sektor pertanian merupakan lapangan usaha utama bagi sebagian besar penduduk di Kabupaten Sampang, mengingat pada sektor ini tidak menuntut kualifikasi pendidikan formal tertentu (BPS 2010a). 29

48 Kondisi Perekonomian Tiga sektor ekonomi utama Kabupaten Sampang adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor-sektor jasa. Sektor pertanian merupakan roda utama yang menggerakkan perekonomian daerah ini. Subsektor pertanian yang dikembangkan meliputi pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan dan perikanan. Bidang usaha pertanian tanaman pangan potensial mengembangkan beberapa komoditi andalan di antaranya padi sawah dan ladang, jagung, ubi kayu, dan keledai. Pola sebaran daerah produksinya sebagai berikut: produksi padi sawah terkosentrasi di tiga kecamatan yaitu Jrengik, Sampang, dan Torjun. Komoditi padi ladang banyak dihasilkan di Kecamatan Omben dan Kedungdung. Tanaman jagung banyak terdapat di Kecamatan Ketapang dan Sokobanah. Ubi kayu paling banyak berada di Kecamatan Omben dan Banyuates. Sentra produksi kedelai ada di Kecamatan Karangpenang. Tanaman sayur-sayuran yang potensial menjadi komoditi unggulan adalah cabe dan bawang merah. Jambu air yang ada di Kecamatan Camplong dan Sampang berpeluang menjadi komoditi buah unggulan. Bidang usaha perkebunan, tanaman tembakau merupakan sumber penghasilan utama masyarakat sampang, meskipun belakangan ini mengalami penurunan luas lahan dan produktifitas. Ada tiga kecamatan yang dominan menghasilkan tembakau yaitu Ketapang, Camplong, dan Karang Penang. Komoditi lain di bidang perkebunan adalah jambu mente. Produksi jambu mente terkosentrasi di tiga kecamatan yaitu Sokobanah, Ketapang, dan Banyuates. Bidang usaha peternakan, hewan ternak yang banyak dibudidayakan adalah sapi, kambing, domba, itik, ayam buras, ayam ras, dan ayam broiler. Populasi ternak sapi banyak terdapat di Kecamatan Ketapang, Sokobanah, dan Sampang. Ternak kambing banyak dikembangkan di Kecamatan Sampang dan Sokobanah. Peternakan unggas jenis ayam buras banyak terdapat di Kecamatan Banyuates dan Ketapang, ternak ayam pedaging terpusat di Kecamatan Banyuates, dan itik banyak terdapat di Kecamatan Camplong dan Sampang. Di sektor perdagangan, komoditas andalan ekspor adalah batik tulis, kulit sapi dan udang. Data hasil Sensus Ekonomi 2006 dalam KKP (2010b) menunjukkan bahwa sektor perdagangan dan peyediaan makanan dan minuman cukup dominan dalam kegiatan perekonomian Kabupaten Sampang. Pengusahaan garam merupakan salah satu sektor strategis bagi Kabupaten Sampang. Walaupun garam merupakan komoditas andalan di wilayah Kabupaten Sampang, sumbangannya tidak begitu besar terhadap sektor pertambangan dan penggalian (BPS 2010b). Ini terjadi karena pengusahaan garam di Kabupaten Sampang sebagian besar dilakukan secara tradisional dan diusahakan oleh rakyat dengan kepemilikan lahan yang relatif sempit dan tersebar sehingga secara keseluruhan nilai tambah ekonominya rendah, disamping terbatasnya masa produksi garam yang hanya bisa dilakukan pada musim kemarau. Tercatat terdapat 6 kecamatan yang dapat mengusahakan garam, yaitu Kecamatan Sreseh, Jrengik, Pangarengan, Torjun, Sampang, dan Camplong. Kedepan pengusahaan garam sangat potensial untuk dikembangkan jika dikelola serius mengingat Kabupaten Sampang merupakan sentra garam terbesar nasional.

49 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian Topografi Secara topografis, wilayah kabupaten Sampang terdiri dari berbagai jenis kelerengan, yaitu 0 sampai 2%, diatas 2 sampai 15%, diatas 15 sampai 25%, diatas 25 sampai 40% dan diatas 40% dengan rincian sebagai berikut (Bappeda Sampang 2010): - Kelerengan 0 2% meliputi luas ha atau 54.70% dari luas wilayah lokasi penelitian kecuali daerah genangan air, pada wilayah ini sangat baik untuk pertanian tanaman semusim. - Kelerengan 2 15% meliputi luas ha atau 41.41% dari luas wilayah lokasi penelitian, baik sekali untuk usaha pertanian dengan tetap mempertahankan usaha pengawetan tanah dan air. Selain itu pada kemiringan ini cocok juga untuk konstruksi/permukiman. - Kelerengan 15 25% dan 25 40% meliputi luas ha atau 2.44% dari luas wilayah lokasi penelitian. Daerah tersebut baik untuk pertanian tanaman keras/tahunan, karena daerah tersebut mudah terkena erosi dan kapasitas penahan air yang rendah. Karenanya lahan ini pun tidak cocok untuk konstruksi. - Kelerengan > 40% meliputi luas ha atau 1,45% dari luas wilayah lokasi penelitian. Daerah ini termasuk kedalam kategori kemiringan yang sangat terjal (curam) dimana lahan pada kemiringan ini termasuk lahan konservasi karena sangat peka terhadap erosi, biasanya berbatu diatas permukaannya, memiliki run off yang tinggi serta kapasitas penahan air yang rendah. Karenanya lahan ini tidak cocok untuk konstruksi. Pada daerah tropis seperti di Kabupaten Sampang, ketinggian wilayah merupakan unsur penting yang menentukan persediaan fisik tanah. Dengan adanya perbedaan tinggi akan menentukan perbedaan suhu yang berperan dalam menentukan jenis tanaman yang cocok untuk diusahakan. Disamping itu ketinggian juga erat hubungannya dengan unsur kemampuan tanah yang lain, misalnya lereng dan drainase Jenis dan Kedalaman Efektif Tanah Dilihat dari jenis tanah di lokasi penelitian (Tabel 9 dan Gambar 8), bagian yang terluas adalah tanah dari jenis aluvial hidromorf yakni seluas ha atau meliputi 25.07%, tersebar di seluruh kecamatan di lokasi penelitian. Diikuti oleh jenis tanah Kompleks grumusol kelabu dan litosol dengan luas sekitar ha atau 23.82% yang mendominasi jenis tanah di Kecamatan Camplong. Pada kedua jenis tanah ini terdapat tambak yang diusahakan untuk produksi garam rakyat. Sementara untuk proporsi jenis tanah terendah adalah jenis kompleks mediteran, grumusol, regosol dan litosol seluas ha (0.48%) yang terdapat di bagian utara Kecamatan Sampang dan Torjun. Kedalaman efektif tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Kedalaman efektif adalah tebalnya lapisan tanah dari permukaan sampai kelapisan bahan induk atau tebalnya lapisan tanah yang dapat ditembus perakaran tanaman. Makin dalam lapisan tanah, maka kualitas tanah makin baik untuk usaha pertanian.

50 32 Tabel 9 Jenis tanah lokasi penelitian No Jenis tanah Luas (ha) Proporsi (%) 1. Aluvial hidromorf Aluvial kelabu kekuningan Asosiasi hidromorf kelabu dan planosol coklat keke Asosiasi litosol dan mediteran coklat kemerahan Grumusol kelabu Kompleks grumusol kelabu dan litosol Kompleks mediteran merah dan litosol Kompleks mediteran, grumusol, regosol dan litosol Litosol Jumlah Sumber: Diadaptasi dari Bappeda (2010) Kedalaman efektif tanah di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan dalam 5 (lima) kategori, yaitu < 30 cm, cm, cm, cm dan > 120 cm. Kedalaman efektif tanah di lokasi penelitian didominasi oleh tanah yang mempunyai kedalaman efektif tanah diatas 120 cm, yakni seluas ha atau 79.10%. Tanah dengan kedalaman efektif tanah terendah adalah sebanyak 899 ha atau sekitar 2.42% dari seluruh luas lokasi penelitian. Gambar 8 Jenis tanah lokasi penelitian

51 4.4.3 Iklim Seperti daerah di Indonesia pada umumnya Kabupaten Sampang mempunyai iklim tropis yang ditandai dengan adanya 2 (dua) musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan bulan April dan musim kemarau berlangsung antara bulan April sampai bulan Oktober. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Sampang adalah sekitar mm/tahun, sedangkan rata-rata jumlah hari-hari hujan mencapai 6.47 hh/tahun. Berdasarkan data yang ada, curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Kedungdung yakni mm/tahun, sedangkan curah hujan terendah terdapat di Kecamatan Sreseh yakni mm/tahun. Profil klimatologi Kabupaten Sampang ditunjukkan pada Tabel 10. Curah hujan merupakan variabel penting dalam kesesuaian pengusahaan tambak garam. Di antara rata-rata curah hujan keenam kecamatan di lokasi penelitian, semua kecamatan memungkinkan untuk pengembangan tambak garam secara tradisional yang memanfaatkan sinar matahari karena curah hujan dibawah 1300 mm/tahun (BRKP dan BMG 2005). Semakin rendah curah hujan, maka semakin baik untuk pengusahaan garam. Kecamatan Tabel 10 Kondisi iklim di Kabupaten Sampang Klimatologi (Rata-rata) Curah hujan (mm/th) Hari-hari hujan (hh/th) Suhu ( o C) Kelembaban udara (%) 33 Kecepatan angin (km/jam) Sreseh Jrengik Pangarengan Torjun Sampang Camplong Omben Kedungdung Jrengik Tambelangan Banyuates Robatal Karangpenang Ketapang Sokobanah Rata-rata Sumber : Bappeda Sampang (2010). Keterangan (-) tidak ada data Oseanografi Salah satu aspek oseanografi yang menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian untuk pengembangan lahan untuk tambak adalah amplitudo pasang surut. Pasang surut adalah proses naik turunnya muka air laut yang teratur, disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari serta benda-benda angkasa lainnya. Rentang amplitudo pasang surut yang sesuai untuk

52 34 pengembangan lahan tambak tambak berkisar (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Di lokasi penelitian, air tambak yang diusahakan masyarakat berasal dari Selat Madura. KKP (2010c) menunjukkan bahwa pasang surut di perairan Selat Madura adalah tipe pasang surut campuran dengan dominasi harian ganda (mixed semi-diurnal). Tipe pasang surut ini diketahui dari komponen utama pasang surut. Amplitudo komponen pasang surut utama di perairan Selat Madura sebagai berikut: - AM 2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan) = 34 - AS 2 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi matahari) = 14 - AK 1 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari) = 32 - O 1 (amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari) = 11 Dari nilai komponen pasang surut utama tersebut diperoleh nilai F (Form- Zahl) atau konstanta pasang surut (tidal constant) sebesar 0.89 atau berada dalam kisaran 0.25 < F < 1.50 yang berarti tipe pasang surut campuran (mixed type) yang dominan ke harian ganda (mixed semi-diurnal). Dalam sehari semalam terjadi dua kali pasang. Dari konstanta harmonik pasang surut tersebut diperoleh nilai - Highest high water level (HHWL) = 91 cm - Mean high water level (MHWL) = 43 cm - Mean sea level (MSL) = 0 cm - Mean low water level (MLWL) = 43 cm - Lowest low water level (MLWL) = 91 cm Menurut KKP (2010c), dengan kemiringan lahan 0 sampai 4% memungkinkan air laut dapat masuk ke lahan pegaraman pada saat pasang, namun pada saat surut air laut tidak dapat memasuki lahan pegaraman. Untuk itu di lokasi dilakukan pembuatan tanggul lahan pegaraman di titik terluar yang lebih tinggi (HHWL) dari kondisi pasang tertinggi dan pembuatan pintu air dari saluran primer atau sekunder agar air laut tidak kembali lagi ke laut.

53 35 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Areal untuk Ekstensifikasi Tambak Garam Proses identifikasi areal untuk ekstensifikasi tambak garam didahului dengan analisis kesesuaian lahan. Pada analisis ini salah satu peubah yang digunakan adalah tutupan lahan yang dibuat dari hasil interpretasi citra ikonos tahun 2010 seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil analisis menunjukkan bahwa hampir setengah tutupan lahan di lokasi penelitian berupa sawah (Tabel 11). Tambak garam merupakan tutupan lahan dengan luas areal terbesar kedua yaitu ha atau 16.70% dari luas keseluruhan lokasi penelitian ( ha). Diketahui pula terdapat tambak yang hanya digunakan untuk budidaya ikan (bandeng dan udang) seluas ha (0.49%). Selebihnya tutupan lahan berupa ladang/tegalan (13.36%), kebun campuran (2.91%), permukiman (15.35%), hutan (2.70%), mangrove (0.74%), rawa (0.59%), semak belukar (0.23%), sungai (1.66%), dan lainnya (0.05%). Pada kriteria kesesuaian lahan tambak garam, tutupan lahan berupa tambak garam, tegalan dan semak belukar masuk dalam kelas sangat sesuai (S1). Sawah dan kebun campuran masuk dalam kelas cukup sesuai (S2). Tutupan lahan berupa rawa dan tambak budidaya masuk dalam kelas sesuai marjinal (S3). Permukiman, hutan, dan mangrove masuk dalam kelas tidak sesuai (N). Kelas tutupan lahan lainnya hasil ground chek berupa alun-alun kabupaten dan pasir pantai sehingga juga dimasukkan dalam kelas tidak sesuai (N). Gambar 9 Tutupan lahan

54 36 Tabel 11 Luas tutupan lahan No. Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%) 1. Tambak garam Tambak budidaya Sawah Ladang/tegalan Kebun campuran Permukiman Hutan Mangrove Rawa Semak belukar Sungai Lainnya Jumlah Perbedaan tingkat kesesuaian lahan untuk suatu kategori tutupan lahan menunjukkan besarnya waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati jenis dan tutupan lahan tersebut serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan (Giap et al. 2005). Kategori kesesuaian lahan tinggi menunjukkan waktu dan biaya investasi yang dibutuhkan minimum untuk mengembangkan sistem pertambakan tersebut dan menguntungkan secara berkelanjutan. Sebaliknya untuk kesesuaian lahan rendah menunjukkan investasi atau waktu yang tinggi untuk mengkonversi lahan eksisting tersebut. Tambak garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang dimanfaatkan untuk pengusahaan garam pada musim kemarau sedangkan pada musim penghujan dimanfaatkan untuk budidaya ikan. Berbeda dengan tambak garam, tambak budidaya diusahakan sepanjang tahun untuk budidaya ikan dan/atau udang. Konstruksinya berbeda dan memiliki dasar lebih dalam ( m) dibandingkan dengan tambak garam yang hanya dibutuhkan kedalaman 5 15 cm untuk meja kristalisasi pada tambak garam. Meskipun secara teknis memungkinkan namun demikian dibutuhkan biaya yang tinggi untuk pengurugan tanah dalam mengkonversi lahan ini menjadi tambak garam sehingga dalam penelitian ini ditetapkan masuk dalam kelas sesuai marjinal (S3). Menurut Panjara et al. (2008) mangrove merupakan salah satu tutupan lahan yang sesuai (S3) untuk tambak, akan tetapi dalam penelitian ini mangrove ditetapkan tidak sesuai (N) mengingat kelas tutupan lahan tersebut masuk dalam kawasan suaka alam yang dilindungi sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Perlindungan terhadap mangrove ini bertujuan untuk melestarian hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangnya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Laporan Tarunamulia et al. (2008) juga menunjukkan bahwa mangrove lebih menguntungkan jika dibiarkan sesuai dengan peruntukan yang sekarang atau sebagai lahan konservasi.

55 Proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 10. Dalam proses identifikasi tersebut, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah: kesesuiaan lahan, penggunaan lahan eksisting, perijinan/hak pengelolaan lahan, dan berbagai regulasi agar lokasi yang teridentifikasi berada dalam area yang memungkinkan untuk dilakukan aktivitas pertambakan. Namun demikian, pada tahap ini pertimbangan perijinan/hak pengelolaan lahan tidak dilakukan karena keterbatasan data. 37 Operasi Tumpang Susun Peta Kesesuaian Lahan Tambak garam - Berbagai Regulasi - Perijinan/hak Pengelolaan Lahan Penggunaan Lahan Eksisting Potensi Ekstensifikasi Lahan Tambak Garam Gambar 10 Skema proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Garam Operasi tumpang susun untuk memperoleh kelas kesesuaian lahan tambak garam diadaptasi dari Pantjara et al. (2008) yang menggunakan peubah kelerengan lahan (t), tekstur tanah (s), curah hujan (e), jarak dari garis pantai (p), jarak dari sungai (r), dan tutupan lahan (c). Kelerengan lahan berkaitan dengan kemudahan pengelolaan tata aliran air dan minimalisasi biaya konstruksi. Tekstur tanah berkaitan dengan porositas tanah agar air tidak merembes. Curah hujan berkaitan dengan kemampuan dan kesempatan faktor klimat dalam menguapkan air laut di atas tambak dalam proses kristalisasi garam. Jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut sebagai bahan baku dalam pengusahaan garam. Tutupan lahan berkaitan dengan waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Peubah curah hujan diadaptasi dari BRKP dan BMG (2005) yang mensyaratkan curah hujan tahunan yang rendah yaitu dibawah 1300 mm/tahun agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam. Penentuan kelas kesesuaian lahan juga mempertimbangkan perlindungan atas sempadan pantai sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 27 Tahun Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis spasial lebih lanjut telah dilakukan proses buffer sepanjang garis pantai dengan lebar 100 meter ke arah darat yang bertujuan untuk memberi ruang (space) yang akan berfungsi sebagai jalur hijau (green belt). Sehubungan dengan penggunaan peubah jarak dari garis pantai atau jarak dari sungai dalam kaitan pertimbangan jarak dari sumber air, pelaksanaan operasi tumpang susun disesuaikan dengan karakteristik jenis zona seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada zona I terdapat sungai besar yang lebarnya mencapai 300 meter dan didukung dengan tingkat kelerengan yang sangat rendah. Pada zona I ini air laut dapat masuk ke daratan pada saat pasang hingga melebihi jarak meter dari garis pantai. Untuk itu berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas

56 38 air laut pada zona I ini tidak menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p), melainkan hanya menggunakan peubah jarak dari sungai (r). Sebaliknya pada zona II tidak terdapat sungai besar. Seluruh tambak garam eksisting pada zona ini hanya berada dalam jarak meter dari garis pantai. Pada zona II ini keberadaan tambak garam sangat bergantung dengan dekatnya jarak dari pantai. Akses air dari laut ke darat pada saat pasang dapat melalui sungai-sungai kecil atau kanal-kanal yang dibuat masyarakat setempat. Untuk itu, berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona II ini hanya menggunakan peubah jarak dari garis pantai (p). Hasil analisis spasial terhadap kesesuaian lahan tambak garam diperlihatkan pada Gambar 11. Diketahui terdapat ha lahan sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan tambak garam, meliputi ha sangat sesuai (S1), ha cukup sesuai (S2) dan ha sesuai marjinal (S3) yang tersebar pada enam kelas tutupan lahan berupa tambak garam, tambak budidaya, sawah, ladang/tegalan, kebun campuran, semak belukar, dan rawa (Tabel 12). Pada zona I, kelas kesesuaian lahan S1 lebih banyak berada pada lahan yang relatif dekat dengan sungai. Ini menunjukkan bahwa lahan kelas S1 relatif akan lebih mudah dalam pengelolaan pemanfaatan air laut sebagai bahan baku pembuatan garam. Keadaan ini juga didukung dengan kelas lereng yang datar ( 2%) sehingga memudahkan air laut bisa masuk ke daratan pada saat air pasang. Kemudahan dalam memperoleh air laut ini menjadi faktor yang sangat penting guna meminimalkan biaya karena pengusahaan garam membutuhkan pasokan air laut dalam jumlah yang sangat besar. Keadaan ini harus didukung juga dengan tekstur tanah yang tidak porous sehingga air laut yang ditampung di atas tambak garam tidak mudah merembes ke dalam tanah. Gambar 11 Kesesuaian lahan tambak garam

57 Tabel 12 Hasil analisis kesesuaian lahan tambak garam Tutupan lahan (eksisting) Kelas kesesuaian lahan (ha) Persentase S1 S2 S3 Jumlah (%) Tambak garam Tambak budidaya Sawah Ladang/tegalan Kebun campuran Semak belukar Rawa Jumlah Lahan kelas S2 dan S3 berada lebih jauh dari sungai yang dapat mengakibatkan produktivitasnya akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lahan kelas S1. Dalam hal ini, lahan kelas S2 dan S3 pada zona I ini tergolong ke dalam sub-kelas S2r dan S3r yang artinya lahan tersebut masuk ke dalam kelas cukup sesuai dan sesuai marjinal dengan faktor pembatas jarak dari sungai (r). Dengan mengetahui faktor pembatas tersebut, maka selanjutnya dapat diantisipasi dengan upaya perbaikan seperti pembuatan kanal baru atau revitalisasi kanal yang sudah ada sebagai akses masuknya air laut yang melalui sungai ke areal pegaraman. Penggunaan kincir angin yang dioperasikan pada saat air pasang sebagaimana banyak ditemui di pesisir selatan Kabupaten Sampang juga dapat melengkapi upaya perbaikan tersebut guna mempercepat pemindahan air laut di kanal menuju tambak garam sehingga kanal bisa segera diisi dengan air laut yang baru. Upaya ini juga harus didukung dengan pembuatan tambak reservoir yang memadai untuk menampung air laut sebanyak-banyaknya mengingat pengusahaan garam membutuhkan bahan baku berupa air laut dalam jumlah besar. Pada zona II, lahan kelas S1 berada dekat dengan pantai sedangkan lahan kelas S2 dan S3 berada lebih jauh ke arah darat. Dalam hal ini, lahan kelas S2 dan S3 pada zona II ini tergolong ke dalam sub-kelas S2p dan S3p yang artinya lahan tersebut masuk ke dalam kelas cukup sesuai dan sesuai marjinal dengan faktor pembatas jarak dari garis pantai (p). Upaya perbaikan yang perlu dilakukan pada tiap-tiap kelas di zona II ini kurang lebih sama dengan upaya perbaikan dalam kelas S2r dan S3r pada zona I yaitu secara prinsip mengusahakan agar air laut bisa masuk sebanyak-banyaknya ke arah lahan kelas S2 dan S3 baik melalui sungaisungai kecil maupun kanal-kanal buatan. Hal ini diperlukan karena pemanfaatan air laut pada saat pasang oleh lahan kelas S2 dan S3 akan berkompetisi dengan lahan kelas S1 yang notabene berada lebih dekat dengan pantai. Lahan kelas N pada zona II ini pada umumnya disebabkan oleh kelerengan (t) lahan yang lebih besar dari 4% sehingga digolongkan sebagai sub-kelas Nt. Selama peubah kriteria lainnya memenuhi dan secara teknis memungkinkan maka upaya perbaikan dapat dilakukan asalkan tingkat kemiringannya masih landai ( 8%) sehingga lahan bisa masuk ke dalam kelas sesuai. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan berupa pekerjaan pemapasan dan pengurugan tanah. Namun demikian, pertimbangan ekonomi dalam hal ini harus menjadi perhatian utama karena upaya perbaikan tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit disamping harus berhadapan dengan faktor pembatas yang akan dijumpai selanjutnya. Untuk lahan kelas N pada kelerengan bergelombang atau berbukit (kelerengan > 8%) 39

58 40 menurut Poernomo (1992) sebaiknya dihindari untuk lokasi pertambakan mengingat akan banyak memerlukan pekerjaan memapas dan mengurug dalam merubah morfologi tanah dan ini akan memakan biaya yang sangat besar. Selain itu dikhawatirkan air laut tidak bisa masuk ke areal tersebut secara optimal pada saat pasang. Lahan kelas N di lokasi penelitian tidak ada yang memiliki faktor pembatas berupa curah hujan. Hal ini karena unsur klimat tersebut di seluruh pesisir selatan Kabupaten Sampang memenuhi syarat untuk pengusahaan garam. Untuk lahan kelas N di semua zona, yang memiliki faktor pembatas berupa tekstur tanah (subkelas Ns), tutupan lahan (sub-kelas Nc), jarak dari garis pantai (sub-kelas Np), maupun jarak dari sungai (sub-kelas Nr) sebaiknya tidak perlu dilakukan upaya perbaikan karena diyakini pengusahaan garam di areal tersebut tidak akan bisa berlangsung secara lestari Potensi Ekstensifikasi Tambak Garam Setelah diketahui tingkat kesesuaian lahan, maka dalam proses identifikasi potensi ekstensifikasi untuk tambak garam rakyat ini harus dipilah antara tutupan lahan berupa tambak garam eksisting dan tutupan lahan non-tambak garam. Tutupan lahan berupa tambak garam eksisting teridentifikasi seluas ha. Luasan areal ini lebih kecil dibandingkan dengan areal tambak garam pada peta tutupan lahan yang diketahui memiliki luas ha (Tabel 11). Hal ini karena terdapat tambak garam eksisting yang berada pada areal sempadan pantai, yaitu 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, yang dinyatakan memiliki kelas tidak sesuai (N) sebagai akibat regulasi pengelolaan kawasan lindung. Pada tutupan lahan non-tambak garam yang memiliki kesesuaian untuk pengusahaan tambak ini selanjutnya perlu mempertimbangkan berbagai regulasi terkait agar lokasi tersebut berada dalam area yang memungkinkan dilakukan aktivitas pertambakan. Berbagai regulasi tersebut antara lain berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung serta pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan umum primer yang dalam penelitian ini hanya meliputi jalan arteri primer, kolektor primer, dan lokal primer. Dalam kaitan pengelolaan kawasan lindung, regulasi yang dipertimbangkan yaitu Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Keputusan Presiden tentang Pengelolaan Kawasan Lindung beserta Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melindungi kawasan pantai berhutan bakau sebagai kawasan suaka alam dan melindungi sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Keputusan Presiden tentang Pengelolaan Kawasan Lindung beserta Peraturan Pemerintah tentang Sungai melindungi kawasan sekitar mata air sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air dan sempadan sungai. Sungai di sekitar tambak garam dan di sekitar potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian merupakan sungai tidak bertanggul yang berada di luar kawasan perkotaan sehingga sempadan sungai ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50

59 meter di kiri kanan sungai kecil. Selain regulasi ini juga mempertimbangkan Rencana Kawasan Lindung dalam RTRW Kabupaten Sampang Tahun Dalam kaitan pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan, regulasi yang dipertimbangkan yakni Undang-undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Undang-undang tentang Jalan mengatur tentang perlunya ruang pengawasan jalan di samping kanan kiri ruang milik jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada dibawah pengawasan penyelenggara jalan yang berfungsi untuk pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Dalam penelitian ini konsep ruang pengawasan jalan dan ruang milik jalan mengacu pada Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kabupaten Sampang yaitu ditetapkan selebar 41 m untuk jalan arteri primer, 25 meter untuk jalan kolektor primer, dan 22 meter untuk jalan lokal primer (Bappeda Sampang 2011b). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat lahan sesuai untuk dikembangkan menjadi tambak garam yang masuk dalam kawasan lindung seluas ha dan masuk dalam ruang milik jalan serta ruang pengawasan jalan seluas ha (Lampiran 2). Areal yang masuk dalam kawasan lindung tidak dimasukkan sebagai lahan potensi untuk ekstensifikasi tambak garam untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Begitu pula areal yang masuk ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan juga tidak dimasukkan dalam lahan potensi ekstensifikasi tambak garam untuk pengamanan konstruksi serta pengamanan fungsi jalan. Perlunya pertimbangan regulasi pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan ini karena aktivitas pertambakan dipandang dapat menurunkan kekuatan konstruksi jalan. Setelah mempertimbangkan kesesuaian lahan dan regulasi terkait maka diketahui potensi untuk ekstensifikasi lahan tambak garam seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Hasil identifikasi potensi ekstensifikasi lahan untuk tambak garam diketahui seluas ha (Tabel 13). Sebagian besar lahan potensi tersebut masuk ke dalam kelas S2 yaitu seluas ha. Lahan dengan kelas S1 hanya teridentifikasi seluas ha, selebihnya kelas S3 diketahui seluas ha. Lahan eksisting yang teridentifikasi memiliki potensi untuk ekstensifikasi lahan tambak garam tersebut didominasi tutupan lahan berupa sawah yaitu seluas ha (89.32%). Selanjutnya menyusul tutupan lahan berupa tambak budidaya ha (6.35%), ladang/tegalan ha (2.29%), rawa ha (1.77%), semak belukar 5.72 ha (0.24%), dan kebun campuran 0.74 ha (0.03%). Areal yang teridentifikasi memiliki potensi untuk ekstensifikasi tambak garam ini pada dasarnya bisa direalisasikan untuk dikelola oleh petani garam rakyat maupun oleh PT. Garam, tergantung status kepemilikan lahan. Jika lahan teridentifikasi merupakan lahan milik rakyat maka tentu bisa dikembangkan menjadi tambak garam untuk dikelola oleh rakyat. Apabila lahan yang teridentifikasi potensi merupakan lahan milik PT. Garam maka tentu bisa dikembangkan menjadi tambak garam untuk dikelola oleh PT. Garam. Namun jika lahan teridentifikasi merupakan lahan milik pemerintah maka pengelolaannya bisa dilakukan oleh rakyat atau PT. Garam. Dalam hal ini, keputusan untuk pengembangan tambak garam dan kebijakan mengenai pihak yang akan mengelolanya dikembalikan kepada pemilik lahan. 41

60 42 Gambar 12 Potensi untuk ekstensifikasi lahan tambak garam Tabel 13 Hasil identifikasi potensi ekstensifikasi lahan tambak garam Tutupan lahan (eksisting) Potensi ekstensifikasi (ha) S1 S2 S3 Jumlah Persentase (%) Tambak garam Tambak budidaya Sawah Ladang/tegalan Kebun campuran Semak belukar Rawa Jumlah Data panen garam kabupaten sampang tahun 2011 menunjukkan total produksi dari lokasi penelitian sebesar ton dengan produktivitas tambak garam optimal mencapai 133 ton/ha/musim (DKPP Sampang 2011). Upaya ekstensifikasi lahan tambak garam bisa meningkatkan produksi garam sesuai dengan kelas kesesuaian lahannya. Jika diasumsikan lahan potensi ekstensifikasi dengan kelas S1 bisa memproduksi garam dengan produktivitas 80% dari produktivitas optimal (106 ton/ha/musim), kelas S2 memiliki produktivitas 60% (80 ton/ha/musim), dan kelas S3 memiliki produktivitas 40% (53 ton/ha/musim) maka dapat diestimasi potensi tambahan produksi garam dari pesisir selatan

61 Kabupaten Sampang. Dengan memperhatikan luasan areal lahan potensi ekstensifikasi pada tiap-tiap kelas kesesuaiannya maka potensi tambahan produksi garam setiap musimnya yaitu dari lahan kelas S1 sebesar ton, dari lahan kelas S2 sebesar ton dan dari lahan kelas S3 sebesar ton. Dengan demikian, jika seluruh lahan potensi ekstensifikasi direalisasikan maka potensi penambahan produksi garam secara keseluruhan yaitu sebanayak ton/musim. Dalam kaitan swasembada garam nasional, jika memperhatikan kekurangan garam konsumsi beberapa tahun terakhir secara nasional yaitu sebesar 200 ribu ton/tahun sebagaimana disebutkan KKP (2009, 2010a, 2011) maka tidak cukup teratasi kalau hanya mengandalkan upaya ekstensifikasi lahan tambak garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang. Perlu upaya ekstensifikasi dari lokasi lainnya, disamping tetap mengupayakan langkah optimalisasi produksi garam. Namun demikian, upaya ekstensifikasi lahan tambak garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang ini memiliki potensi untuk bisa menutupi 90% kekurangan garam konsumsi nasional Land Rent Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Tambak Garam Menurut Barlowe (1978) land rent dianggap sebagai suatu surplus nilai produk atau total pendapatan setelah dikurangi total biaya. Nilai land rent dalam penelitian ini dimaknai sebagai pendapatan bersih yang diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi per tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut (Rustiadi et al. 2009). Tambak garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang diusahakan untuk produksi garam pada musim kemarau dan untuk budidaya ikan (bandeng dan/atau udang) pada musim penghujan. Penghitungan land rent tambak garam dan tipe penggunaan lahan lainnya dimaksudkan agar diketahui perbandingan gambaran surplus ekonomi dari tiap tipe penggunaan lahan tersebut. Dengan memperhatikan land rent tambak garam dibandingkan tipe penggunaan lahan lainnya akan diketahui secara logis menurut hukum ekonomi pasar tipe penggunaan lahan apa yang memungkinkan beralih fungsi menjadi tambak garam, sejauh memenuhi kriteria kesesuaiannya. Tipe penggunaan lahan yang dianalisis adalah berkaitan dengan bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan di atas lahan tersebut selama satu tahun. Tambak milik rakyat di pesisir selatan Kabupaten Sampang diusahakan dalam bentuk tambak garam dan beberapa diusahakan sebagai tambak budidaya. Tambak budidaya sepanjang tahun diusahakan untuk budidaya ikan yang pada umumnya polikultur bandeng-udang. Berbeda dengan tambak budidaya, tambak garam diusahakan untuk produksi garam pada musim kemarau dan untuk budidaya ikan (bandeng dan/atau udang) pada musim penghujan. Penghitungan land rent tambak garam hanya dilakukan pada pengusahaan garam rakyat yang menggunakan metode maduris. Dari penghitungan yang dilakukan, hasil produksi garam pada musim kemarau tersebut memberikan kontribusi yang sangat dominan (96.4%) dibandingkan dengan budidaya ikan (3.6%) seperti ditunjukkan pada Lampiran 3.

62 44 Hasil penghitungan land rent berbagai tipe penggunaan lahan dan perbandingannya dengan land rent tambak garam disajikan pada Tabel 14. Hasil uji-t (α = 0.05) menunjukkan bahwa land rent semua tipe penggunaan lahan berbeda nyata dengan land rent tambak garam kecuali tipe penggunaan kebun mangga dan kebun pisang. Aktivitas perdagangan dan jasa mempunyai nilai land rent paling besar disusul rumah huni dengan nilai kali lipat berturut-turut , dan 9.81 terhadap tambak garam. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sitorus et al. (2007) dan Rustiadi et al. (2009) yang menyatakan bahwa penggunaan lahan untuk villa, aktivitas perdagangan/jasa dan permukiman secara umum memiliki land rent lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk aktivitas pertanian. Land rent kebun jambu air (Syzgium aquem) juga relatif tinggi, masih di atas kebun jati, dengan nilai 4.63 kali lipat land rent tambak garam. Hal ini tidak mengherankan karena komoditas yang dikenal dengan nama pasar jambu air camplong tersebut merupakan buah khas Sampang-Madura yang merupakan varietas unggul serta mendapat apresiasi pasar lokal dan regional yang cukup tinggi (Pubiati dan Suryadi 2005). Tipe penggunaan lahan sawah irigasi dengan kisaran land rent Rp3 651 Rp4 742 per m 2 /tahun dengan pola tanam padi-padi-tembakau, sawah tadah hujan dengan pola tanam padi-jagung-tembakau, kebun pisang, dan kebun mangga memiliki nilai tengah land rent di atas tambak garam yang berkisar Rp1 675 Rp2 954 per m 2 /tahun. Ladang dengan pola tanam jagung-tembakau, kebun bambu, dan terendah tambak budidaya polikultur bandeng-udang memiliki nilai tengah land rent di bawah tambak garam. Tabel 14 Nilai land rent tiap tipe penggunaan lahan dan perbandingannya dengan land rent tambak garam Tipe penggunaan lahan Kisaran nilai land rent (rupiah/m 2 /tahun) Nilai tengah (rupiah/ m 2 / tahun) Nilai kali lipat terhadap tambak garam Nilai t hitung Signifikansi uji t berpasangan terhadap tambak garam (α = 0.05) Tambak budidaya Kebun bambu Ladang Tambak garam Kebun mangga Kebun pisang Sawah tadah hujan Sawah irigasi Kebun jati Kebun jambu air Rumah huni Jasa (bengkel) Perdagangan

63 Dalam kaitan upaya ekstensifikasi tambak garam, land rent akan menjadi salah satu pertimbangan karena dalam mekanisme pasar kegiatan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi akan mampu menggeser kegiatan dengan land rent yang lebih rendah (Rustiadi et al. 2009). Lahan eksisting dengan land rent lebih tinggi dibandingkan dengan tambak garam cenderung tidak akan dialihfungsikan tipe penggunaannya menjadi lahan pegaraman. Gambar 13 menunjukkan bahwa jika sekalipun lahannya potensial untuk ekstensifikasi tambak garam, maka sawah irigasi (padi-padi-tembakau), kebun jati, dan kebun jambu air cenderung tidak akan dikonversi menjadi tambak garam karena lebih menguntungkan jika tipe penggunaannya tetap seperti kondisi eksisting. Namun tipe penggunaan tambak budidaya, kebun bambu, ladang (jagung-tembakau), kebun mangga, kebun pisang, dan sawah tadah hujan (padi-jagung-tembakau) selama memiliki potensi untuk ekstensifikasi tambak garam bisa mempengaruhi pemilik lahan untuk dikonversi menjadi tambak garam. Preferensi untuk konversi lahan ini tentu dengan mempertimbangkan secara lebih mendalam manfaat ekonomi yang dihasilkan masing-masing lahan pada tiap-tiap tipe penggunaannya Keterangan: Land rent (rupiah/m 2 /tahun) Tipe penggunaan lahan 1. Tambak ikan budidaya (udang, bandeng) 2. Kebun bambu 3. Ladang (jagung - tembakau) 4. Tambak garam 5. Kebun mangga 6. Kebun pisang 7. Sawah tadah hujan (padi - jagung - tembakau) 8. Sawah irigasi (padi - padi - tembakau) 9. Kebun jati 10. Kebun jambu air Gambar 13 Kisaran land rent tiap tipe penggunaan lahan 5.3 Analisis Finansial Pengusahaan Garam Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, garam diusahakan dengan tiga macam metode pemanenan yaitu metode maduris. portugis dan geomembrane. Perbedaan prinsip pada ketiga metode tersebut berkaitan dengan penggunaan alas pada petak kristalisasi. Metode maduris hanya menggunakan tanah tambak yang dikeraskan menggunakan alat yang dalam bahasa setempat disebut glidik. Metode portugis menggunakan lantai garam yang diperoleh dari produksi garam yang tidak dipanen selama kurang lebih 30 hari di awal musim. Metode geomembrane menggunakan alas membran berbahan polimer yang terbuat dari high-density polyethylene (HDPE). Metode maduris biasa digunakan dalam pegaraman rakyat karena metode ini lebih mudah diterapkan, sedangkan metode portugis dan geomembrane biasa digunakan oleh PT. Garam. Namun demikian, sejak beberapa

64 46 tahun terakhir ada sebagian petani garam rakyat di sekitar lahan pegaraman PT. Garam di Desa Pangarengan Kecamatan Pangarengan yang juga mulai mencoba menggunakan metode portugis. Secara lebih lengkap, perbedaan dari ketiga metode tersebut ditunjukkan pada Tabel 15. Analisis finansial pengusahaan garam diawali dengan pengumpulan data hasil produksi garam pada metode pemanenan maduris. portugis maupun geomembrane. Di lokasi pengambilan sampel, pengusahaan garam dengan metode maduris menggunakan interval pemanenan setiap 7 hari (satu pekan) sehingga satu bulan bisa empat kali panen. Metode portugis dan geomembrane menggunakan interval 10 harian (dasarian) sehingga dalam satu bulan bisa tiga kali panen. Analisis finansial yang dilakukan menggunakan harga garam yang berlaku setempat di tempat panen (tambak) pada tahun Metode maduris menghasilkan garam kualitas sedang (KP2) dengan harga Rp per ton. Metode portugis dan geomembrane menghasilkan garam kualitas tinggi (KP1) dengan harga Rp per ton. Lantai garam pada metode portugis pada akhir musim juga dipungut dan dihargai sebagai garam kualitas rendah (KP3) Rp per ton. Rekapitulasi jumlah dan nilai produksi tiap-tiap metode pemanenan garam per unit produksi per bulannya ditunjukkan pada Gambar 14. Uraian Lantai petak kristalisasi Pembuatan pematang Pemanenan Kualitas garam Tabel 15 Perbedaan metode maduris, portugis, dan geomembrane Metode pemanenan garam Maduris Portugis Geomembrane Berupa tanah yang Berupa polimer HDPE dikeraskan (geomembrane) Dibuat dari tanah yang dibentuk menjadi gundukan pematang - Dapat dilakukan di awal musim - Memerlukan alat pencacah untuk memecahkan dan memisahkan garam dari tanah KP2 (sebagian besar) Dibuat dari garam 1 bulan pertama yang tidak dipanen Tanah yang dibuat gundukan dan dikokohkan dengan susunan batu bata putih (optional) - Baru dapat dilakukan 1 Dibuat dari tanah yang dibentuk menjadi gundukan pematang - Dapat dilakukan di bulan setelah awal musim awal musim - Memerlukan alat - Tidak memerlukan pencacah untuk alat pencacah karena memecahkan dan garam dapat memisahkan garam lantai dipisahkan dengan garam mudah dari geomembrane - KP1 (panen reguler) KP1 (seluruhnya) - KP3 (merupakan lantai garam yang juga dipungut di akhir musim) Satu unit produksi garam meliputi tambak bouzem (reservoir) untuk penampungan air laut, tambak peminihan sebagai areal penguapan, dan petak kristalisasi sebagai tempat pembentukan kristal garam. Di lokasi penelitian luasan petak kristalisasi kurang lebih seperempat dari jumlah luas keseluruhan satu unit produksi. Dengan unit sampel petak kristalisasi masing-masing seluas m 2 berarti dibutuhkan luas keseluruhan kurang lebih m 2 atau sekitar 3 ha. Pemanenan garam pada metode maduris dan geomembrane sudah dapat dilakukan pada awal-awal musim produksi (akhir Juni), sedangkan pada metode

65 portugis baru bisa memulai pemanenan satu bulan setelahnya. Ini disebabkan karena pada metode portugis ada masa pembuatan lantai garam yang diperoleh dari produksi garam yang tidak dipanen selama satu bulan pertama. Hasil panen garam dari tiap-tiap metode pemanenan tersebut kemudian dijadikan dasar penghitungan manfaat (benefit) pada analisis finansial tiap-tiap metode pemanenan garam yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel Produktivitas (ton/7200m 2 ) Portugis (KP3) Maduris (KP2) Portugis (KP1) Geomembrane (KP1) Nilai Produksi (juta rupiah/7200m 2 ) Gambar 14 Produksi dan nilai produksi garam metode pemanenan maduris, portugis, dan geomembrane Hasil analisis finansial menunjukkan ketiga metode pemanenan pada pengusahaan garam tersebut layak untuk dilanjutkan. Terlihat dari Net Present Value yang positif (NPV > 0), Internal Rate of Return diatas tingkat suku bunga yang berlaku di daerah penelitian (IRR > discount rate), dan Net Benefit Cost Ratio lebih besar dari satu (Net BCR > 1). Kriteria Tabel 16 Hasil analisis finansial pengusahaan garam Metode pemanenan garam Maduris Portugis Geomembrane NPV (Rp) IRR (%) (discount rate 12.86%) Net BCR Payback period Net BCR merupakan tingkat besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah yang digunakan (Rustiadi et al. 2009). Dengan demikian, dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa metode geomembrane merupakan metode yang paling menguntungkan dibandingkan dengan kedua metode lainnya karena

66 48 memiliki nilai net BCR paling tinggi (5.90). Metode portugis (net BCR = 3.83) lebih menguntungkan dibandingkan metode maduris (net BCR = 2.55). Hal ini sejalan dengan laporan Amaliya (2007) yang menunjukkan keunggulan metode portugis dibandingkan dengan metode maduris pada pengusahaan garam di Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Payback period menunjukkan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi. Semakin cepat periode pengembalian suatu proyek atau terjadinya break event point (BEP) maka akan lebih disukai (Soeharto 1995). Metode geomembrane selain paling menguntungkan juga memiliki payback period paling pendek (2.93 bulan), akan tetapi petani garam rakyat belum bisa menerapkannya karena geomembrane tidak tersedia di pasar retail dalam negeri. Metode maduris menunjukkan payback period lebih singkat (3.92 bulan) dibandingkan dengan metode portugis (4.11 bulan) sehingga banyak diminati petani garam rakyat sekalipun memiliki Net BCR lebih rendah. Preferensi petani garam rakyat menggunakan metode maduris juga disebabkan oleh tidak jauh berbedanya harga garam KP1 dan garam KP2 pada tahun-tahun sebelumnya, disamping proses pengusahaannya yang lebih mudah diterapkan. Memperhatikan keragaan produksi maupun hasil analisis finansial tersebut diatas, maka untuk pengembangan jangka pendek, petani garam sebaiknya mulai mengalihkan penggunaan metode maduris ke metode portugis. Dengan metode portugis kuantitas maupun kualitas hasil produksi lebih baik daripada metode maduris yang umum digunakan petani garam rakyat saat ini. Investasi yang dibutuhkan pada kedua metode ini relatif tidak jauh berbeda serta peralatan yang dibutuhkan sama-sama tersedia di pasar setempat. Arahan ini akan lebih feasible jika mendapat dukungan pasar maupun dari pemerintah selaku regulator penentu harga garam untuk mendeterminasikan harga yang jelas pada tiap-tiap kualitas garam. Sementara itu, penggunaan metode geomembrane bisa mulai dipersiapkan untuk pengembangan jangka menengah dan jangka panjang disamping tetap melakukan pengembangan teknologi lainnya. Diseminasi pemanfaatan metode pengusahaan garam dengan keragaan produksi yang baik secara akumulatif akan mampu meningkatkan produksi garam dalam negeri. Jika apresiasi pasar terhadap garam kondusif, penggunaan metode pemanenan garam dengan keragaan yang baik akan meningkatkan pendapatan petani garam. Keadaan ini secara makro akan meningkatkan ekonomi daerah. 5.4 Arahan Pengembangan Tambak Garam Pengembangan tambak garam dalam penelitian ini secara fisik dimaknai sebagai upaya mencari potensi untuk ekstensifikasi lahan yang bisa dikembangkan menjadi tambak garam. Konsekuensi logis dari upaya ini adalah konversi tipe penggunaan lahan eksisting yang memiliki kesesuaian menjadi tambak garam. Menurut Sitorus (2004), tipe penggunaan lahan yang sesuai dengan tujuan peruntukan dipakai sebagai titik awal proses, diperoleh dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik (termasuk penggunaan lahan saat ini) dan kondisi ekologis umum. Selain itu, dampak yang diperkirakan terhadap lingkungan juga menjadi faktor penting bagi keputusan tentang tipe penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan suatu daerah.

67 Secara umum, menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada 6 (enam) aspek, yaitu: (1) aspek teknis menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan; (2) aspek lingkungan yaitu berkaitan dengan dampaknya terhadap lingkungan; (3) aspek hukum, yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; (4) aspek politik atau kebijakan pemerintah; (5) aspek sosial menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan sosial, penggunaan lahan tidak boleh hanya menguntungkan seseorang, melainkan juga harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dan sekitarnya; dan (6) aspek ekonomi, yaitu penggunaan lahan yang optimal yang memberi keuntungan setinggi-tingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya. Terkait aspek teknis, dalam penelitian ini sudah dilakukan evaluasi kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana sudah dibahas pada Subbab 5.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat ha lahan sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan tambak garam yang terdiri atas lahan kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3). Lahan kelas S1 artinya tidak mempunyai pembatas yang besar untuk dikembangkan sebagai tambak garam, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi garam dan tidak akan menaikkan masukan (input) yang telah biasa diberikan. Lahan kelas S2 artinya lahan yang mempunyai pembataspembatas agak berat untuk penggunaan tambak garam yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan serta meningkatkan input yang diperlukan. Lahan kelas S3 menunjukkan bahwa lahan mempunyai pembataspembatas sangat berat untuk penggunaan tambak garam yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan. Selain dari tiga kelas tersebut masuk ke dalam kelas tidak sesuai (N), yang menunjukkan bahwa lahan tersebut mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah untuk digunakan sebagai tambak garam secara lestari. Sehubungan dengan aspek lingkungan dan aspek hukum, proses identifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam dalam penelitian ini juga sudah mempertimbangkan regulasi terkait agar lokasi tersebut berada dalam area yang memungkinkan dilakukan aktivitas pertambakan. Kaitannya dengan aspek lingkungan, penelitian ini sudah mempertimbangkan pengelolaan kawasan lindung. Areal yang masuk dalam kawasan lindung tidak dimasukkan dalam lahan potensi untuk ekstensifikasi tambak garam untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Namun demikian, upaya ekstensifikasi tambak garam ini masih perlu didahului dengan kajian eksternalitas/ dampak yang akan ditimbulkan serta dilengkapi dengan data status lahan atau perijinan mengenai penggunaan lahan tertentu. Identifikasi ekstensifikasi tambak garam dalam penelitian ini juga mempertimbangkan regulasi tentang pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan primer sebagaimana diuraikan pada subbab sebelumnya. Undang-undang nomor 38 tahun 2008 tentang Jalan mengatur tentang perlunya ruang pengawasan jalan di samping kanan kiri ruang milik jalan yang berfungsi untuk pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Undangundang tersebut mengatur tentang larangan (berikut sanksinya) aktivitas yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan maupun di 49

68 50 ruang pengawasan jalan. Perlunya pertimbangan regulasi pengamanan ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan ini karena aktivitas pertambakan dipandang dapat menurunkan kekuatan konstruksi jalan. Areal yang masuk ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan tidak dimasukkan dalam lahan potensi ekstensifikasi tambak garam untuk pengamanan konstruksi serta pengamanan fungsi jalan. Mengingat hasil identifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian sebagian besar lahan eksisting berupa sawah dengan luasan areal ha (89.32%), maka berkaitan dengan aspek hukum, regulasi yang juga perlu diperhatikan kedepannya adalah Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Regulasi ini salah satunya bertujuan untuk melindungi dan menjamin tersedianya kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Regulasi mengenai LP2B ini belum dimasukkan dalam pertimbangan pada penelitian ini karena dokumen perencanaan dan penetapan serta pemetaan zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan maupun lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan belum tersedia di instansi pemerintah daerah Kabupaten Sampang. Mengenai aspek politik atau kebijakan pemerintah pada dasarnya sudah jelas. Pemerintah setempat melalui RTRW Kabupaten Sampang mengarahkan pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang yang tersebar di 6 (enam) kecamatan: Kecamatan Sampang, Camplong, Torjun, Pangarengan, Jrengik dan Sreseh (Bappeda Sampang, 2010). Di enam kecamatan inilah dilakukan identifikasi potensi ekstensifikasi dalam penelitian ini. Selain itu, pemerintah Kabupaten Sampang menyatakan bahwa garam merupakan salah satu komoditi unggulan bagi Kabupaten Sampang (Bappeda Sampang 2011a). Dua hal tersebut sudah menunjukkan selarasnya upaya pengembangan tambak garam di lokasi penelitian dengan aspek kebijakan pemerintah. Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang ini merupakan salah satu manifestasi berpadunya pendekatan regional dan pendekatan sektoral/komoditas dalam upaya pengembangan wilayah. Berkenaan dengan aspek sosial, dalam penelitian ini tidak dibahas. Namun demikian diyakini bahwa pengembangan (ekstensifikasi) tambak garam tidak akan hanya menguntungkan seseorang, melainkan juga akan bermanfaat bagi masyarakat lainnya. Aktivitas pengusahaan garam di lokasi penelitian membutuhkan (1) tenaga penggarap yang bertanggung jawab dalam produksi garam, yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan manthong, (2) tenaga-tenaga pungut yang dibutuhkan dalam proses pemanenen, (3) tenagatenaga angkut yang dibutuhkan untuk mengangkut garam hasil panen ke collecting point, dan (4) buruh-buruh kasar yang dibutuhkan dalam menaikkan garam di collecting point ke atas kendaraan pengangkut. Selain itu, penyedia jasa angkutan (truk) juga akan merasakan manfaat dengan bertambahnya hasil produksi garam sebagai konsekuensi logis akibat pengembangan tambak rakyat. Pengembangan tambak garam yang dilakukan secara terencana dan melalui pertimbangan komprehensif akan mampu membuka lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja tambahan yang secara makro pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian wilayah. Terakhir berkaitan dengan aspek ekonomi, pada penelitian ini dilakukan pendekatan analisis land rent, yang dimaknai sebagai pendapatan bersih yang

69 diterima suatu bidang lahan tiap meter persegi per tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut. Land rent berbagai tipe penggunaan lahan dianalisis kemudian dibandingkan dengan land rent tambak garam. Dengan demikian diketahui tipe penggunaan lahan apa saja yang setara, lebih menguntungkan, atau kurang menguntungkan dibandingkan dengan tambak garam yang mempunyai kisaran land rent Rp1 675 Rp2 954 per m 2 /tahun. Kisaran land rent ini hanya diambil dari sampel pengusahaan garam rakyat yang menggunakan metode maduris. Selain metode maduris yang biasa diterapkan di pegaraman rakyat, di pesisir selatan Kabupaten Sampang juga terdapat metode portugis dan geomembrane yang umum digunakan di lahan pegaraman milik PT. Garam. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa metode geomembrane dan portugis memberikan keuntungan finansial yang lebih baik dibandingkan dengan metode maduris. Untuk itulah, selain arahan pengembangan secara fisik (ekstensifikasi), maka arahan pengembangan secara teknik pengusahaan garam perlu juga diberikan untuk mengoptimalkan produktivitas. Pengalihan penggunaan metode maduris ke metode portugis maupun geomembrane diyakini akan meningkatkan land rent tambak garam sehingga akan mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi lagi. Namun demikian, khusus arahan pengalihan metode pemanenan garam maduris ke geomembrane harus mempertimbangkan kondisi aktual petani garam rakyat setempat terutama berkaitan dengan daya belinya. Hal ini karena harga geomembrane tidak murah yaitu sekitar 22 juta rupiah per meter persegi sebagaimana ditunjukkan dalam cash flow analysis (Lampiran 5). Dalam kaitan arahan pengembangan tambak garam melalui ekstensifikasi, maka secara operasional setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu kesesuaian lahan, land rent dan penggunaan lahan eksisting. Dalam analisis, arahan pengembangan tambak garam ini juga sudah mempertimbangkan aspek regulasi agar areal yang dinyatakan sebagai potensi ekstensifikasi tambak garam berada pada lokasi yang memungkinkan untuk dilaksanakan aktivitas pertambakan. Lahan yang bisa dialihfungsikan penggunaannya menjadi tambak garam harus memiliki kelas sesuai (S1 S3) agar pengusahaan garam bisa lestari/berkelanjutan. Lahan yang diarahkan untuk dikonversi yaitu lahan yang memiliki land rent lebih rendah dari tambak garam. Pelaksanaan konversinya sebaiknya dimulai dari penggunaan lahan yang land rent-nya rendah. Dalam hasil analisis, diketahui terdapat tutupan lahan yang teridentifikasi memiliki kesesuaian namun tidak dilakukan penghitungan land rent karena pertimbangan teknis yaitu rawa dan semak belukar. Akan tetapi kedua tutupan lahan tersebut diyakini memiliki land rent jauh lebih rendah dibandingan dengan land rent tambak garam sehingga dimasukkan ke dalam arahan ekstensifikasi selama memiliki kelas sesuai untuk tambak garam. Penggunaan lahan eksisting juga perlu diperhatikan karena berkaitan dengan tingkat kesulitan dalam upaya pengalihfungsiannya. Tipe penggunaan kebun mangga dan kebun bambu misalnya, sekalipun menurut pertimbangan kelas kesesuaian dan land rent memungkinkan untuk dikonversi, namun karena upaya konversinya diyakini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, maka disarankan untuk dijadikan prioritas terakhir dalam upaya ekstensifikasi ini. Berbeda dengan tambak budidaya, sekalipun memiliki kelas S3, namun karena secara teknis 51

70 52 diyakini mudah direvitalisasi menjadi tambak garam maka diarahkan sebagai prioritas utama untuk dikonversi menjadi tambak garam. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas serta memperhatikan analisis-analisis sebelumnya maka lahan yang memungkinkan untuk ekstensifikasi tambak garam adalah yang memiliki kelas sesuai untuk tambak garam dengan tipe penggunaan berturut-turut dari prioritas utama hingga terakhir yaitu berupa tambak budidaya, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, ladang, kebun pisang, kebun mangga, dan kebun bambu. 5.5 Strategi Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat Perumusan arahan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang dalam kerangka pengembangan wilayah sekaligus membantu pencapaian swasembada garam nasional diperoleh melalui analisis A WOT. Untuk mencapai rumusan tersebut dilakukan beberapa tahapan analisis antara lain dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor strategi internal dan eksternal Faktor Strategi Internal dan Eksternal Proses perumusan strategi melalui tiga tahap analisis yaitu tahap pengumpulan atau identifikasi data, tahap analisis, dan tahap pengambilan keputusan (Rangkuti 2009). Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis data yang diperoleh untuk menyusun rumusan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian Identifikasi Faktor Strategi Internal dan Eksternal Pada tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekadar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi faktor strategi internal dan faktor strategi eksternal. Hasil identifikasi faktor strategi tersebut diuraikan sebagai berikut: A. Faktor Strategi Internal a. Kekuatan 1. Potensi SDA (ketersediaan lahan tambak yang luas dan air laut, didukung iklim yang sesuai) 2. Teknik pengusahaan garam yang dikenal secara turun temurun 3. Peralatan sederhana dan mudah diperoleh 4. Tenaga kerja yang selalu tersedia 5. Sudah ada jaringan pemasaran 6. Ketersediaan koperasi petani garam 7. Sudah ada kelompok/organisasi petani garam b. Kelemahan 1. Infatruktur yang kurang menunjang kawasan 2. Pengusahaan tambak garam yang tergantung cuaca 3. Rendahnya kualitas SDM dan kelembagaan, posisi tawar petambak garam lemah

71 4. Kurangnya akses sumber permodalan, banyak petambak garam terjerat tengkulak 5. Masih rendahnya kualitas garam rakyat 6. Minimnya sentuhan teknologi B. Faktor Strategi Eksternal a. Peluang 1. Tingginya permintaan akan garam dan terus meningkat 2. Mulai ada perhatian serius dari pemerintah, misal melalui pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) dan berbagai upaya mengatasi permasalahan garam 3. Regulasi penetapan harga garam rakyat yang semakin baik 4. Kebijakan pemerintah pusat memproteksi garam rakyat dari garam impor 5. Dukungan RTRW untuk Pengusahaan garam 6. Introduksi pemanfaatan teknologi geomembrane b. Ancaman 1. Masuknya garam impor (garam konsumsi) pada masa larangan impor garam (antara 1 bulan sebelum panen raya dan 2 bulan sesudah panen raya garam rakyat) 2. Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah (HPP) secara efektif, harga di pasaran selalu bergejolak. 3. Pasar yang hegemonik dan monopolistik, penentuan harga dikuasai pabrik/pedagang besar. 4. Adanya praktik kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan regional 5. Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang garam, mengaburkan keberpihakannya pada petambak garam rakyat. 6. Konversi lahan tambak menjadi area terbangun Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal Setelah dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor strategi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) selanjutnya dilakukan penyusunan matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) dan External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS). Penyusunan matriks ini untuk mengetahui tingkat kepentingan yang ditunjukkan dengan bobot dan tingkat pengaruh yang ditunjukkan dengan rating faktor-faktor tersebut dalam penentuan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang. Penilaian tingkat konsistensi pembobotan faktor SWOT dari seluruh responden dilakukan dengan melihat nilai consistency ratio (CR). Nilai ini menunjukkan baik atau tidaknya consistency index (CI) yang berpengaruh pada kesahihan hasil. Menurut Marimin (2008), rasio dianggap baik apabila CR 0.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa CR pembobotan faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yaitu berturut-turut sebesar 0.023, 0.008, 0.013, (Lampiran 7). Ini menunjukkan bahwa pembobotan pada seluruh faktor tersebut dapat dikatakan baik/konsisten sehingga perumusan strategi dapat dilanjutkan tanpa perlu revisi pembobotan. 53

72 54 A. Analisis Faktor Strategi Internal Melalui analisis faktor internal dengan matriks IFAS, diperoleh kekuatan yang dapat dikembangkan dan kelemahan yang harus diminimalkan pada pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang (Tabel 17). Dari seluruh faktor kekuatan, yang dipandang memiliki tingkat kepentingan paling tinggi adalah potensi sumber daya alam (SDA) (bobot 0.192) sedangkan keberadaan kelompok petani garam dinilai memiliki tingkat kepentingan paling rendah (bobot 0.021). Dilihat dari tingkat pengaruhnya, faktor sumberdaya alam dipandang memiliki tingkat pengaruh sangat kuat (rating 4) menyusul dibawahnya faktor teknik pengusahaan garam, peralatan, tenaga kerja, dan jaringan pemasaran. Faktor kelompok petani garam dan koperasi petani garam dipandang memiliki tingkat pengaruh paling lemah dibandingkan dengan faktor lainnya (rating 2). Pada seluruh faktor kelemahan, faktor yang dinilai paling penting adalah kualitas SDM dan kelembagaan (bobot 0.115) menyusul kemudian faktor ketergantungan cuaca (0.111). Faktor kualitas garam sebagai ukuran penentu harga per-tonnya ternyata tidak dipandang sebagai faktor yang penting, dapat diketahui dengan bobotnya yang paling rendah (0.036). Dari tingkat pengaruhnya, faktor infrastruktur, teknik pengusahaan garam, peralatan, tenaga kerja, dan jaringan pemasaran dipandang memiliki pengaruh agak kuat (rating 3), sedangkan faktor kualitas garam dan sentuhan teknologi dipandang memiliki pengaruh paling lemah (rating 2). Tabel 17 IFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang Faktor-faktor strategi internal Bobot Rating Skor Kekuatan: A Potensi SDA B Teknik pengusahaan garam C Peralatan D Tenaga kerja E Jaringan pemasaran F Koperasi petani garam G Kelompok petani garam Kelemahan: A Infrastruktur B Ketergantungan cuaca C Kualitas SDM dan kelembagaan D Akses modal E Kualitas garam F Sentuhan teknologi Jumlah B. Analisis Faktor Strategi Eksternal Matriks EFAS digunakan untuk melakukan analisis terhadap faktor strategi eksternal, baik menyangkut peluang maupun ancaman dalam pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang

73 (Tabel 18). Di antara seluruh faktor peluang, tingginya permintaan dan perhatian serius pemerintah dipandang memiliki tingkat kepentingan tertinggi (bobot dan 0.119) sedangkan faktor dukungan RTRW ternyata dipandang memiliki tingkat kepentingan paling rendah (bobot 0.020). Dilihat dari tingkat pengaruhnya, faktor tingginya permintaan dinilai memiliki pengaruh sangat kuat (rating 4). Faktor perhatian serius pemerintah, proteksi garam rakyat, dan teknologi geomembrane memiliki tingkat pengaruh di bawahnya (rating 3). Faktor yang dinilai memberikan pengaruh paling lemah diantara faktor lainnya (rating 2) adalah faktor regulasi penetapan harga dan dukungan RTRW. Mengenai faktor ancaman, tidak berfungsinya HPP (Harga Penetapan Pemerintah) dan adanya garam impor dipandang memiliki tingkat kepentingan paling tinggi (bobot dan 0.122) sedangkan konversi lahan tambak menjadi area terbangun ternyata memiliki tingkat kepentingan paling rendah. Dilihat dari tingkat pengaruhnya, tidak berfungsinya HPP dipandang memiliki pengaruh sangat kuat (rating 4) sedangkan faktor tingginya permintaan, pasar yang hegemonistik dan monopolistik, banyak munculnya asosiasi petani garam yang mengaburkan keberpihakannya pada petambak garam rakyat, serta adanya kartel dagang dinilai memiliki tingkat pengaruh di bawahnya (rating 3). Sementara itu, faktor konversi lahan dipandang memiliki tingkat pengaruh paling lemah sebagai faktor ancaman (rating 2). Tabel 18 EFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang Faktor-faktor strategi eksternal Bobot Rating Skor Peluang: A Tingginya permintaan B Perhatian serius pemerintah C Regulasi penetapan harga D Proteksi garam rakyat E Dukungan RTRW F Teknologi geomembrane Ancaman: A Garam impor B Tidak berfungsinya HPP C Pasar yang hegemonistik dan monopolistik D Kartel dagang E Asosiasi garam F Konversi lahan Jumlah Analisis Matriks Internal-Eksternal (Matriks IE) Analisis matriks internal-eksternal (IE) digunakan untuk memperoleh strategi yang lebih detail. Berdasarkan hasil analisis faktor strategi internal dan eksternal, diperoleh nilai jumlah skor faktor internal sebesar dan nilai jumlah skor faktor eksternal sebesar Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang memiliki faktor internal dan faktor eksternal yang tergolong kuat 55

74 56 (tinggi). Apabila masing-masing parameter ini dipetakan ke dalam matriks IE, dapat dilihat bahwa pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang berada pada sel 1 (Gambar 15). Artinya, strategi yang diperlukan yaitu melalui strategi pertumbuhan (growth) dengan lebih berkonsentrasi pada integrasi vertikal. Menurut Rangkuti (2009), strategi pertumbuhan dengan integrasi vertikal dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya internal maupun eksternal. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat kepentingan dan/atau kuatnya tingkat pengaruh, baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Implementasinya dapat dilakukan melalui backward integration (mengambil alih fungsi supplier) atau dengan cara forward integration (mengambil alih fungsi distributor). Bagi pemerintah selaku pembuat strategi dan kebijakan, kaitannya dengan pengembangan sentra tambak garam rakyat, strategi dengan mengambil alih secara penuh fungsi supplier tentu tidak mungkin karena pengusahaan garam di lokasi dijalankan oleh masyarakat. Akan tetapi melakukan intervensi dalam bentuk kegiatan/proyek guna penguatan kapasitas petani garam akan sangat membantu untuk meningkatkan kemampuan produksinya. Sementara itu, terkait pengambilalihan fungsi distributor sangat mungkin dilakukan pemerintah dalam hal ini diwakili BUMN yang bergerak di bidangnya, misalnya memaksimalkan peran PT. Garam dalam rangka penyerapan dan pendistribusian garam rakyat. Nilai Jumlah skor faktor strategi eksternal Nilai jumlah skor faktor strategi internal Tinggi Rata-rata Lemah GROWTH GROWTH RETRENCHMENT Tinggi Konsentrasi melalui Konsentrasi melalui Turnaround integrasi vertikal integrasi horizontal 3 Sedang 2 Rendah (3.019, 3.127) STABILITY Hati-hati GROWTH Diversifikasi konsentrik 5 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi 8 GROWTH Diversifikasi konglomerat 6 RETRENCHMENT Captive company atau disinvestment 9 RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi Gambar 15 Hasil analisis matriks internal-eksternal (Matriks IE)

75 5.5.3 Analisis Matriks Space Matriks space digunakan untuk mempertajam strategi hasil analisis matriks IE (Gambar 16). Tujuannya adalah untuk melihat posisi sentra tambak garam rakyat serta melihat arah perkembangan selanjutnya. Parameter yang digunakan diambil dari matriks IFAS dan EFAS, yaitu selisih skor faktor strategi internal (kekuatan kelemahan) dan selisih skor faktor eksternal (peluang ancaman) dengan perhitungan sebagai berikut: Kekuatan Kelemahan = = Peluang Ancaman = = Gambar 16 menunjukkan bahwa posisi sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang berada pada kuadran II. Ini merupakan situasi dimana sentra tambak garam rakyat tersebut menghadapi berbagai ancaman, namun masih memiliki kekuatan internal. Menurut Marimin (2008), strategi yang harus dilakukan perusahaan yang berada pada kuadran II adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang guna menghadapi ancaman. 57 Berbagai peluang Kuadran III Strategi konservatif Kuadran I Strategi agresif Kelemahan internal 0.275, Kekuatan internal Kuadran IV Strategi defensif Kuadran II Strategi kompetitif Berbagai ancaman Gambar 16 Posisi sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang pada matriks space Seluruh peluang yang teridentifikasi pada analisis sebelumnya pada dasarnya harus bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat pada masa mendatang. Peluang ini dibutuhkan untuk menghadapi kuatnya faktor ancaman dari luar terutama berkaitan dengan tata niaga garam antara lain: 1. Pelanggaran importasi garam padahal sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 44 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Bentuk pelanggaran dapat berupa overquote maupun terkait waktu pelaksanaan impor. Laporan DIKA Deperindag (2001) menunjukkan bahwa sebagian importir garam melakukan impor melebihi kebutuhan produksi dan sisanya dijual ke pasar bebas, sehingga peredaran garam rakyat menjadi terganggu. 2. Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah (HPP) padahal sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri nomor 2

76 58 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani Garam. 3. Pasar yang hegemonik dan monopolistik yang menyebabkan penentuan harga dikuasai pabrik/pedagang besar. Bentuk pasar yang oligopsoni menyebabkan timpangnya posisi tawar antara pembeli yang jumlahnya sedikit namun kuat dengan petani garam rakyat selaku penjual yang jumlahnya banyak namun lemah dalam berbagai hal. 4. Adanya praktik kartel dalam perdagangan garam di tingkat lokal dan regional. Kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu. Keadaan ini memperparah bentuk pasar yang hegemonik monopolistik sehingga harga garam lebih mudah dikendalikan pabrik/pedagang besar. 5. Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang garam. Asosiasi ini pada mulanya dibutuhkan untuk membela kepentingan petani garam rakyat, misalnya dalam hal pemberian tanda sah surat pernyataan importir produsen (IP) garam iodisasi terkait perolehan garam dari petani garam rakyat sebagaimana diatur dalam Ketentuan Impor Garam. Jumlah garam rakyat yang diserap akan menentukan jumlah garam impor yang bisa didatangkan oleh IP garam iodisasi dari luar negeri. Dengan demikian keberadaan asosiasi ini secara tidak langsung menentukan jumlah garam (iodisasi) yang bisa diimpor. Akan tetapi karena jumlahnya yang banyak menyebabkan pengendalian dan pengawasannya sulit dilakukan oleh instansi yang membidangi garam. Aspek tata niaga sangat menentukan keberlanjutan pengusahaan suatu komoditas. Tata niaga garam yang baik, yang menguntungkan semua pihak, dapat menjamin tetap berlangsungnya aktivitas pengusahaan garam selama masih didukung sumber daya yang ada. Kuatnya faktor ancaman dalam pengusahaan garam seperti ditunjukkan pada Gambar 16 tidak bisa diatasi dengan hanya mengandalkan faktor kekuatan internal. Kekuatan yang dimiliki haruslah bisa memanfaatkan faktor peluang yang ada. Faktor peluang yang bisa diharapkan untuk mengatasi permasalahan tata niaga garam ini adalah perhatian serius dari pemerintah. Dengan fungsi regulator dan kewenangan yang dimiliki, pemerintah diharapkan bisa lebih tegas dalam penegakan regulasi yang sudah ditetapkan. Intervensi pemerintah dalam tata niaga garam merupakan langkah mutlak yang harus diambil untuk memperbaiki pengusahaan garam dalam negeri Analisis SWOT Penentuan alternatif strategi yang sesuai untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang dalam kerangka pengembangan wilayah, dilakukan dengan membuat matriks SWOT (Gambar 17). Memperhatikan hasil dari kedua analaisis matriks IE dan matriks space, maka posisi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang berada pada kuadran II. Oleh karena itu, kombinasi strategi alternatif yang dipilih adalah strategi ST (Strenghts-Threats) sebagai strategi utama, yaitu menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman, disamping tetap memanfaatkan peluang (opportunity) jangka panjang.

77 Dengan analisis SWOT yang dilakukan, dirumuskan 9 (sembilan) rumusan strategi yang dapat dikembangkan. Berdasarkan posisi sentra tambak garam rakyat yang ada di kuadran II, maka ditetapkan 3 (tiga) rumusan strategi prioritas, yaitu: (1) Memperkuat kelembagaan petani garam untuk mengawal pemerintah dalam rangka penegakan regulasi; (2) Meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam, baik melalui produksi maupun pemrosesan pasca panen, guna mengimbangi garam impor; dan (3) memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi dari pemerintah mengingat bentuk pasar garam yang hegemonistik-monopolistik serta terjadi kartel dagang di tingkat lokal dan regional. 59 Faktor Eksternal Faktor Internal Strengths (S) 1. Potensi SDA 2. Teknik pengusahaan garam 3. Peralatan 4. Tenaga kerja 5. Jaringan pemasaran 6. Koperasi petani garam 7. Kelompok petani garam Weaknesses (W) 1. Infrastruktur 2. Ketergantungan cuaca 3. Kualitas SDM dan kelembagaan 4. Akses modal 5. Kualitas garam 6. Sentuhan teknologi Opportunities (O) 1. Tingginya permintaan 2. Perhatian serius pemerintah 3. Regulasi penetapan harga 4. Proteksi garam rakyat 5. Dukungan RTRW 6. Teknologi geomembrane Threats (T) 1. Garam impor 2. Tidak berfungsinya HPP 3. Pasar yang hegemonistik dan monopolistik 4. Kartel dagang 5. Asosiasi garam 6. Konversi lahan Strategi SO 1. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya dalam rangka meningkatkan produksi (S 1-5 & O 1-6 ). 2. Perencanaan yang matang terkait introduksi teknologi (S 1-4 & O 6 ). Strategi ST 1. Memperkuat kelembagaan petani garam guna mengawal pemerintah dalam penegakan regulasi (S 6-7 & T 1-6 ) 2. Meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam (S 1-4 & T 1 ). 3. Memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi pemerintah (S 5-7 & T 3-4 ). Strategi WO 1. Membenahi keterbatasan SDM, infrastruktur dan teknologi (W 1-6 & O 1-6 ). 2. Membuka dan/atau memudahkan akses permodalan bagi petani garam (W 5 & O 2-6 ). Strategi WT 1. Meningkatkan kualitas SDM dan memperkuat kelembagaan petani garam (W 3 & O 1-6 ). 2. Meningkatkan koordinasi antar stakeholder (pemerintah, petani, pabrik/pedagang) (W 1-6 & O 1-6 ) Gambar 17 Hasil analisis matriks SWOT pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang Strategi Pengembangan Tambak Garam Berdasarkan rangkaian hasil teknik analisis A WOT di atas, maka ditetapkan 3 (tiga) rumusan strategi prioritas untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang. Pertama, memperkuat kelembagaan petani garam untuk mengawal pemerintah dalam rangka penegakan regulasi. Organisasi-organisasi petani garam di lokasi penelitian berupa kelompok petani garam dan asosiasi petani garam. Pada tahun 2011 tercatat terdapat 237 kelompok petani garam Pengembangan Usaha Garam

78 60 Rakyat (PUGAR) dan 9 asosiasi petani garam rakyat (DKPP Sampang 2011; DISPERINDAGTAM Sampang 2010). Organisasi-organisasi ini harus dikuatkan sumber daya manusia maupun sistem kelembagaannya. Upaya peningkatan sumber daya manusia dan kelembagaan ini dapat dilaksanakan melalui kegiatan berupa penyuluhan dan pelatihan, baik yang bersifat teknis pengusahaan garam maupun berkaitan dengan kemampuan manajerial. Keberadaan koperasi garam juga harus diberdayakan misalnya dibantu dengan pelatihan manajemen organisasi dan pemberian bantuan dana bergulir. Semua upaya memperkuat kelembagaan petani garam rakyat yang dilakukan terutama dalam rangka meningkatkan posisi tawar petani garam rakyat di hadapan pabrik/pedagang besar yang secara hegemoni menguasai pasar garam. Kuatnya kelembagaan petani juga diharapkan juga bisa mengawal pemerintah dalam penegakan regulasi yang sudah ada. Kedua, meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam, baik melalui produksi maupun pemrosesan pasca panen, guna mengimbangi garam impor. Pada tahun 2011, rata-rata produktivitas pegaraman rakyat tiap desa di pesisir selatan Kabupaten Sampang bervariasi berkisar ton/ha/tahun (DKPP Sampang 2011). Penyebab rendahnya produksi garam di lahan-lahan garam yang memiliki produktivitas harus diketahui terlebih dahulu untuk selanjutnya bisa diberikan stimulan solusi penyelesaiannya. Lahan garam yang sudah berproduksi dengan baik juga perlu dipertahankan atau bahkan kalau masih bisa ditingkatkan lagi. Garam rakyat yang sebagian besar masuk dalam kategori KP2, bahkan ada beberapa yang masih masuk dalam kategori KP3 perlu ditingkatkan kualitasnya sehingga sebagian besar garam rakyat masuk ke dalam kategori KP1. Peningkatan kualitas garam rakyat ini dapat dilakukan melalui perbaikan selama proses produksi maupun melalui proses tambahan pasca panen. Berdasarkan hasil analisis pada subbab sebelumnya, maka pengalihan metode pengusahaan garam rakyat dari maduris ke portugis atau bahkan geomembrane diyakini akan sangat membantu dalam peningkatan kuantitas maupun kualitas garam rakyat. Semua upaya tersebut di atas perlu dilakukan agar garam rakyat mampu mengimbangi garam impor, setidaknya bisa mengurangi ketergantungan kebutuhan garam nasional terhadap garam impor. Peningkatan volume produksi dan kualitas garam rakyat ini harus dilakukan secara komprehensif. Air laut sebagai bahan baku yang terbebas dari cemaran berbahaya dan memenuhi syarat harus dipastikan tersedia melimpah dan dapat diakses dengan mudah. Infrastruktur pendukung seperti jalan akses di areal pegaraman, kanal-kanal untuk masuknya air laut, dan/atau dermaga untuk pengangkutan garam via kapal (jika dibutuhkan) harus memadai. Penyediaan fasilitas produksi yang memadai dan revitalisasi lahan tambak garam yang kurang produktif juga perlu dilaksanakan. Upaya penelitian dan introduksi teknologi tepat guna untuk peningkatan produksi dan kualitas garam juga perlu dikembangkan, disamping tetap memperhatikan potensi ekstensifikasi lahan tambak garam sebagaimana telah dilakukan dalam penelitian ini. Ketiga, memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi dari pemerintah mengingat bentuk pasar garam yang hegemonistikmonopolistik serta terjadi kartel dagang di tingkat lokal dan regional. Petani garam rakyat melalui kelembagaan yang ada harus mampu mengembangkan sistem jalur distribusi dan jaringan pemasaran garam yang efisien dan

79 menguntungkan semua pelaku usaha penggaraman. Namun demikian, mengingat dominannya faktor ancaman dalam pengusahaan garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang sebagaimana diuraikan dalam sub-bab sebelumnya, maka intervensi pemerintah dalam tata niaga garam mutlak diperlukan. Pemerintah juga perlu mendorong terciptanya stabilitas harga yang menguntungkan petani garam, tentu juga tanpa merugikan pabrik/pedagang besar selaku pembeli. Kedepannya, juga perlu dibangun kemitraan terpadu antara petani garam, pengusaha/pedagang dan pemerintah. Keberhasilan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang dalam kerangka pengembangan wilayah ini sangat bergantung pada komitmen para stakeholder yang didukung dengan monitoring dan evaluasi secara berkala. Pemerintah perlu mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam usaha garam dan sampingannya baik dari sektor hulu sampai hilir sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani garam dan secara makro akan mampu memperbaiki ekonomi daerah dalam kerangka pengembangan wilayah sekaligus membantu pencapaian swasembada garam nasional. 61

80 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulan beberapa hal sebagai berikut: 1. Lahan yang memiliki potensi untuk ekstensifikasi tambak garam seluas ha meliputi ha tutupan lahan eksisting berupa sawah, ha berupa tambak budidaya, ha ladang/tegalan, ha rawa, 5.72 ha semak belukar, dan 0.74 ha berupa kebun campuran. 2. Land rent tipe penggunaan lahan yang berada di atas land rent tambak garam dari yang tertinggi hingga terendah yaitu perdagangan, jasa, rumah huni, kebun jambu air, kebun jati, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun pisang, dan kebun mangga. Land rent penggunaan lahan yang berada di bawah land rent tambak garam adalah ladang, kebun bambu, dan tambak budidaya. 3. Semua metode pemanenan garam secara finansial layak untuk dilanjutkan (NPV > 0, IRR > discount rate). Berdasarkan kriteria Net BCR dan payback period metode geomembrane lebih menguntungkan dan lebih cepat terjadinya BEP dibandingkan dengan metode maduris dan portugis. 4. Arahan pengembangan tambak garam dilihat dari kesesuaian lahan, land rent dan penggunaan lahan eksisting adalah pada lahan yang memiliki kelas sesuai untuk tambak garam dengan tipe penggunaan berupa tambak budidaya, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, ladang, kebun pisang, kebun mangga, dan kebun bambu. 5. Strategi prioritas untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang adalah: (1) memperkuat kelembagaan petani garam untuk mengawal pemerintah dalam rangka penegakan regulasi, (2) meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam, dan (3) memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi dari pemerintah. 6.2 Saran Saran dari hasil penelitian ini adalah: 1. Dalam melakukan ekstensifikasi, pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sampang disarankan untuk diarahkan ke lahan-lahan yang sesuai dan berpotensi untuk tambak garam dimulai dari tutupan lahan yang land rent-nya rendah yaitu berupa tambak budidaya, ladang/tegalan, kebun campur, dan sawah (tadah hujan). 2. Upaya ekstensifikasi tambak garam disarankan perlu didahului dengan kajian eksternalitas/dampak yang akan ditimbulkan serta dilengkapi dengan data status lahan atau perijinan mengenai penggunaan lahan tertentu. Selain itu juga perlu mempertimbangkan dokumen perencanaan dan penetapan serta pemetaan zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) apabila sudah tersedia.

81 3. Untuk pengembangan jangka pendek, petani garam sebaiknya mulai beralih dari penggunaan metode maduris ke metode portugis. Penggunaan metode geomembrane bisa mulai dipersiapkan untuk pengembangan jangka menengah dan jangka panjang. 4. Kriteria kesesuaian lahan tambak garam perlu disempurnakan lagi dengan turut mempertimbangkan hasil penelitian ini serta dilengkapi dengan beberapa peubah yang belum digunakan seperti amplitudo pasang surut yang dikaitkan dengan elevasi lahan, kedalaman tanah, kualitas air laut terutama berkaitan dengan kandungan garam dan tingkat ketercemarannya, beberapa unsur iklim yang dianggap signifikan, dan peubah-peubah relevan lainnya yang dipandang memberikan pengaruh dalam pengusahaan garam. 63

82 64 DAFTAR PUSTAKA Alaudin MHR Analisis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Perencanaan Strategis Pengembangan Tambak Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Teluk Awarange Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amaliya RW Analisis Finansial Usaha Tambak Garam di Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [BAPPEDA Sampang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sampang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang Tahun Sampang (ID): Bappeda Kabupaten Sampang. [BAPPEDA Sampang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sampang. 2011a. Rencana Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten Sampang Sampang (ID): Bappeda Kabupaten Sampang. [BAPPEDA Sampang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sampang. 2011b. Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kabupaten Sampang. Sampang (ID): Bappeda Kabupaten Sampang. [BAPPEPROV Jatim] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun Surabaya (ID): Bappeda Provinsi Jawa Timur. [BAPPEPROV Jatim] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur Target dan Upaya Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Jawa Timur. Makalah disampaikan pada Semiloka Review Peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TPKD) dan Rapat Koordinai Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD); Surabaya, 9 Juni Surabaya (ID): Bappeda Provinsi Jawa Timur. Barlowe R Land Resource Economy. 3rd Edition. New Jersey (US): Prentice Hall Inc. Barus B, Wiradisastra US Sistem Informasi Geografi, Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Laporan Eksekutif Hasil Susenas 2009 Kabupaten Sampang. Sampang (ID): BPS Kabupaten Sampang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010b. Produk Domestik Regional Bruto 2009 Kabupaten Sampang. Sampang (ID): BPS Kabupaten Sampang. [BPS] Badan Pusat Statistik Sampang Dalam Angka Sampang (ID): BPS Kabupaten Sampang. [BPS] Badan Pusat Statistik dan [BAPPEDA Sampang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sampang Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Sampang. Sampang (ID): BPS dan Bappeda Kabupaten Sampang.

83 [BRKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan, [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika Prototip Informasi Iklim dan Cuaca untuk Tambak Garam. Jakarta (ID): Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati BRKP dan Puslitbang BMG. Brown TJ, Walters AS, Idoine NE, Shaw RA, Wrighton CE, Bide T World Mineral Production. Nottingham (GB): British Geological Survey. Natural Environment Research Council. pp Chanratchakool P, Turnbull JF, Funge-Smith SJ, Limsuwan C Health Management in Shrimp Ponds. Second edition. Bangkok (TH): Aquatic Animal Health Research Institute, Department of Fisheries, Kasetsart University Campus. Conant F, Rogers P, Baumgarder M, Mc Kell C, Dasman R, Reining P Resource Inventory and Baseline Study Methods for Developing Countries Washington DC (US): American Association for the Advancement of Science Publication. [DIKA Deperindag] Direktorat Industri Kimia Anorganik Departemen Perindustrian dan Perdagangan Pertumbuhan Permintaan dan Penyediaan Garam serta Kebijaksanaan Penanganan Garam di Indonesia. Dalam: Burhanuddin S, editor. Forum Pasar Garam Indonesia. Prosiding Peluang Pasar Garam di Indonesia; 2001 Juli 24; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm [DISPERINDAGTAM Sampang] Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang Profil Garam Rakyat. Makalah disampaikan pada Kunjungan Kerja Menteri PDT di Kabupaten Sampang; Sampang, 17 November Sampang (ID): Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang. [DKPP Sampang] Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sampang Permasalahan Pergaraman Rakyat di Kabupaten Sampang. Makalah disampaikan pada Kunjungan Kerja Menteri PDT di Kabupaten Sampang; Sampang, 17 November Sampang (ID): Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Sampang. [DKPP Sampang] Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sampang Data Panen Garam Kelompok PUGAR Kabupaten Sampang Tahun Sampang (ID): Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Sampang. Giap DH, Yi Y, Yakupitiyage A GIS for land evaluation for shrimp farming in Haiphong of Vietnam. Ocean and Coastal Management. 48(1): Hardjowigeno S, Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Hernanto B, Kwartatmono DN Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Di dalam: Burhanuddin S, editor. Forum Pasar Garam Indonesia. Prosiding Peluang Pasar Garam di Indonesia; 2001 Juli 24; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm

84 66 Jamil K Kajian Kesesuian Lahan dan Kelayakan Ekonomis Pengembangan Budidaya Perikanan Pesisir di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kangas J, Pesinen M, Kurttila M, Kajanus M A WOT: Integrating the AHP with SWOT Analysis. Proceedings 6 th ISAHP; August 2 4, 2001; Berne, Switzerland. Berne (CH): ISAHP. pp [Kemenperin] Kementerian Perindustrian Kemenperin Genjot Produksi Garam Nasional. [Internet]. [diunduh 2012 Mei 6]. Tersedia pada: Garam-Nasional-Cheetam-Salt-Ltd-kabupaten-Nagekeo-Tandatangani-Mou. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan Menuju Swasembada Garam. Jakarta (ID): Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2010a. Program Swasembada Garam Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Kebijakan Pergaraman Menuju Swasembada Garam Konsumsi Tahun 2012; Jakarta, 18 Mei Jakarta (ID): Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, KKP. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2010b. Masterplan Kawasan Minapolitan Garam Pulau Madura. Jakarta (ID): Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, KKP. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2010c. Buku Atlas Pesisir dan Pulau-pulau Kecil: Bantuan Teknis Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Sampang. Jakarta (ID): Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, KKP. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan Perbedaan Data Bukan Alasan Impor. [Internet]. [diunduh 2012 April 6]. Tersedia pada: Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grasindo, PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Mustafa A, Hasnawi, Paena M, Rachmansyah, Sammut J Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak di Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. 3(2): Osuna E, Aranda A Combinating SWOT and AHP Techniques For Strategic Planning. Vina del Mar (CL): ISAHP. pp Pantjara B, Utojo, Aliman, Mangampa M Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur. 3(1): Parwati E, Carolita I, Effendy I Aplikasi Data Landsat dan SIG untuk Potensi Lahan Tambak di Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital. 1: [PEMPROV JATIM] Pemerintah Provinsi Jawa Timur Strategi Percepatan Pencapaian Target Indikator Kinerja Utama Jawa Timur Tahun 2011 Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi Kinerja Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur; Surabaya, 23 Maret Surabaya (ID): Bappeda Provinsi Jawa Timur.

85 Poernomo A Pembuatan Tambak Udang di Indonesia Seri Pengembangan No. 7. Maros (ID): Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. 30 hal. Poernomo A Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Pubiati T, Suryadi A Jambu Air Camplong Buah Unggulan Sampang Madura. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 27(5): Rahardjo S Oceanografi. Bogor (ID): Laboratorium Oceanografi, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Rudiastuti AW Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Sistem Informasi Budidaya Tambak Udang PT. Indonusa Yudha Perwita [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saru A Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sitorus SRP Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID): Tarsito. Sitorus SRP, Sehani, Panuju DR Analisis Hirarki Desa serta Land Rent Tipe Penggunaan Lahan pada Suatu Toposekuens di Kabupaten Karang Anyar. Dalam: Solusi Miskelola Tanah dan Air untuk Memaksimalkan Kesejahteraan Rakyat. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional IX HITI;, 2007 Desember 5 6; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. hlm Soegianto B, Suwatmono B Pembuatan dan Iodisasi Garam. Dalam: Prosiding Makalah Pelaksanaan Forum/Workshop Hasil Penelitia (Buku II Sumberdaya Nonhayati Laut); 2002 Desember; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm Soeharto I Manajemen Proyek, Dari Konseptual sampai Operasional. Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Soekartawi Analisis Usaha Tani. Jakarta (ID): UI Press. Syafii A Potret Pemberdayaan Petani Garam. Surabaya (ID): Untag Press. Tarunamulia, Mustafa A, Sammut J Model Analisis Spasial Kesesuaian Lahan Tambak Skala Semi-detail Berdasarkan Peubah Kunci Tambak Sistem Ekstensif dan Semi-intensif. Jurnal Riset Akuakultur. 3(3): Taslihan A, Supito, Sutikno E, Callinan RB Teknik Budidaya Udang secara Benar. Jakarta (ID): Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Yulianto Studi Kesesuaian Lahan Tambak Udang di Kawasan Eks Pelabuhan Batubara di Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografi [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 67

86 68 LAMPIRAN LAMPIRAN

87 Lampiran 1 Zonasi karakteristik lokasi penelitian 69

88 70 Lampiran 2 Lahan sesuai untuk tambak garam yang masuk dalam kawasan lindung dan ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengawasan jalan (ruwasja) Uraian Kelas kesesuaian (ha) S1 S2 S3 Jumlah Kawasan lindung Rumija dan ruwasja arteri primer Rumija dan ruwasja kolektor primer Rumija dan ruwasja lokal primer Jumlah Lampiran 3 Penyusun land rent tambak garam Kecamatan Sampel ke- Land rent pemanfaatan lahan (rupiah/m2/tahun) Produksi garam Budidaya ikan (musim kemarau) (musim penghujan) Sreseh Jrengik Pangarengan Torjun Sampang Camplong Jumlah Persentase 96.4% 3.6%

89 71 Lampiran 4 Hasil uji t berpasangan land rent tipe penggunaan lahan dibandingkan dengan land rent tambak garam

90 72

91 73

92 74

93 75

94 76

95 77 Lampiran 5 Cash flow analysis untuk analisis finansial metode pemanenan pada pengusahaan garam Cash Flow Pengusahaan Garam Metode Maduris Dengan Discount Rate 12,86% pertahun (1,07% perbulan) Sumber: Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) BRI Bulan Mei 2011 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan No. Uraian Satuan Discount Rate (%) dan Discount Factor I. Biaya 1 Sewa lahan tambak 3 ha Rp. 18,000,000 2 Persiapan lahan Rp. 6,000,000 3 Peralatan Rp. Lelet (1 unit) Rp. 90,000 Pencacah (4 unit) Rp. 200,000 Pengais (3 buah) Rp. 450,000 Glidik (1 buah) Rp. 300,000 Sorkot (2 buah) Rp. 200,000 Kincir (5 buah) Rp. 3,000,000 Mesin pompa air (2 buah) Rp. 7,000,000 HR dan insentif penggarap Rp. 748,000 1,632,000 1,592,000 1,592,000 1,632,000 1,592,000 Biaya pemungutan garam Rp. 282,000 1,500,000 1,701,000 1,951,500 1,767,000 1,611,000 Bahan Bakar mesin pompa air Rp. 100, , , , , ,000 Perawatan mesin (termasuk oli) Rp. 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 PBB Rp. 270,000 Total Biaya Rp. 35,240,000 1,130,000 3,372,000 3,533,000 4,053,500 3,639,000 3,443,000 Present Value Total Biaya Rp. 35,240,000 1,118,019 3,300,872 3,421,806 3,884,297 3,450,126 3,229,687 II. Manfaat 1 Penjualan hasil pungutan garam K2 (Rp ,-/ton) Rp. - 3,615,381 19,230,750 21,807,671 25,019,206 22,653,824 20,653,826 Total Manfaat - 3,615,381 19,230,750 21,807,671 25,019,206 22,653,824 20,653,826 Present Value Total Manfaat Rp. - 3,577,047 18,825,103 21,121,317 23,974,845 21,478,027 19,374,207 III. Total Manfaat Bersih Rp. (35,240,000) 2,485,381 15,858,750 18,274,671 20,965,706 19,014,824 17,210,826 Akumulasi Total Manfaat Bersih (35,240,000) (32,754,619) (16,895,869) 1,378,802 22,344,507 41,359,331 58,570,156 IV. Present Value Total Manfaat Bersih ` (35,240,000) 2,459,028 15,524,231 17,699,511 20,090,548 18,027,901 16,144,520 V. Akumulasi Present Value Total Manfaat Bersih Rp. (35,240,000) (32,780,972) (17,256,741) 442,771 20,533,318 38,561,219 54,705,739 VI Net Present Value (NPV) Rp. 54,705,739 > 0 layak VII. Internal Rate of Return (IRR) % 30.43% Lebih besar dari tingkat suku bunga bank (12,86%) layak VIII. Net BCR > 1 layak IX. Payback Period bulan 3.92

96 78 Cash Flow Pengusahaan Garam Metode Portugis Dengan Discount Rate 12,86% pertahun (1,07% perbulan) Sumber: Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) BRI Bulan Mei 2011 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan No. Uraian Satuan Discount Rate (%) dan Discount Factor I. Biaya 1 Sewa lahan tambak 3 ha Rp. 18,000,000 2 Persiapan lahan dan Pemasangan bata pematang Rp. 6,800,000 3 Peralatan Rp. Lelet (1 unit) Rp. 90,000 Pencacah (4 unit) Rp. 200,000 Pengais (3 buah) Rp. 450,000 Glidik (1 buah) Rp. 300,000 Sorkot (2 buah) Rp. 200,000 Kincir (5 buah) Rp. 3,000,000 Mesin pompa air (2 buah) Rp. 7,000,000 Bata putih (Rp /1.000 buah) Rp. 3,920,000 HR dan insentif penggarap Rp. 748,000 1,632,000 1,592,000 1,592,000 1,632,000 1,592,000 Biaya pemungutan garam Rp ,000 1,886,250 2,431,500 2,025,000 4,471,500 Bahan Bakar mesin pompa air Rp. 126, , , , , ,000 Perawatan mesin (termasuk oli) Rp. 51,000 51,000 51,000 51,000 51,000 PBB Rp. 270,000 Total Biaya Rp. 39,960, ,000 2,208,000 3,781,250 4,596,500 3,960,000 6,366,500 Present Value Total Biaya Rp. 39,960, ,733 2,161,425 3,662,243 4,404,631 3,754,465 5,972,060 II. Manfaat 1 Penjualan hasil pungutan garam K1 (Rp ,-/ton) Rp ,308,330 36,677,062 47,279,140 39,374,978 33,366,648 Penjualan hasil pungutan garam K3 (Rp ,-/ton) 22,962,500 Total Manfaat - - 5,308,330 36,677,062 47,279,140 39,374,978 56,329,148 Present Value Total Manfaat Rp ,196,358 35,522,724 45,305,597 37,331,306 52,839,246 III. Total Manfaat Bersih Rp. (39,960,000) (874,000) 3,100,330 32,895,812 42,682,640 35,414,978 49,962,648 Akumulasi Total Manfaat Bersih (39,960,000) (40,834,000) (37,733,670) (4,837,857) 37,844,782 73,259, ,222,407 IV. Present Value Total Manfaat Bersih ` (39,960,000) (864,733) 3,034,933 31,860,481 40,900,966 33,576,841 46,867,186 V. Akumulasi Present Value Total Manfaat Bersih Rp. (39,960,000) (40,824,733) (37,789,800) (5,929,318) 34,971,647 68,548, ,415,674 VI Net Present Value (NPV) Rp. 115,415,674 > 0 layak VII. Internal Rate of Return (IRR) % 37.69% Lebih besar dari tingkat suku bunga bank (12,86%) layak VIII. Net BCR > 1 layak IX. Payback Period bulan 4.11

97 79 Cash Flow Pengusahaan Garam Metode Geomembrane Dengan Discount Rate 12,86% pertahun (1,07% perbulan) Sumber: Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) BRI Bulan Mei 2011 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan No. Uraian Satuan Discount Rate (%) dan Discount Factor I. Biaya 1 Sewa lahan tambak 3 ha Rp. 18,000,000 2 Persiapan lahan dan pemasangan geomembran Rp. 6,800,000 3 Peralatan Rp. Lelet (1 unit) Rp. 90,000 Pencacah (4 unit) Rp. - Pengais (3 buah) Rp. 450,000 Glidik (1 buah) Rp. 300,000 Sorkot (2 buah) Rp. 200,000 Kincir (5 buah) Rp. 3,000,000 Mesin pompa air (2 buah) Rp. 7,000,000 Geomembran (Rp. 22 juta/ m2), butuh 3600 m2 Rp. 7,920,000 HR dan insentif penggarap Rp. 748,000 1,632,000 1,592,000 1,592,000 1,632,000 1,592,000 Biaya pemungutan garam Rp ,750 2,178,000 3,190,500 3,546,000 3,205,500 2,592,750 Bahan Bakar mesin pompa air Rp. 173, , , , , ,000 Perawatan mesin (termasuk oli) Rp. 70,000 70,000 70,000 70,000 70,000 PBB Rp. 270,000 Total Biaya Rp. 43,760,000 1,419,750 4,226,000 5,198,500 5,824,000 5,253,500 4,600,750 Present Value Total Biaya Rp. 43,760,000 1,404,696 4,136,858 5,034,887 5,580,893 4,980,829 4,315,708 II. Manfaat 1 Penjualan hasil pungutan garam K1 (Rp ,-/ton) Rp. - 9,697,911 42,349,976 62,037,465 68,949,961 62,329,131 50,414,555 Total Manfaat - 9,697,911 42,349,976 62,037,465 68,949,961 62,329,131 50,414,555 Present Value Total Manfaat Rp. - 9,595,084 41,456,660 60,084,957 66,071,827 59,094,075 47,291,095 III. Total Manfaat Bersih Rp. (43,760,000) 8,278,161 38,123,976 56,838,965 63,125,961 57,075,631 45,813,805 Akumulasi Total Manfaat Bersih (43,760,000) (35,481,839) 2,642,137 59,481, ,607, ,682, ,496,498 IV. Present Value Total Manfaat Bersih ` (43,760,000) 8,190,387 37,319,802 55,050,070 60,490,934 54,113,246 42,975,387 V. Akumulasi Present Value Total Manfaat Bersih Rp. (43,760,000) (35,569,613) 1,750,189 56,800, ,291, ,404, ,379,826 VI Net Present Value (NPV) Rp. 214,379,826 > 0 layak VII. Internal Rate of Return (IRR) % 69.14% (lebih besar dari tingkat suku bunga bank (12,86%), menguntungkan VIII. Net BCR > 1 layak IX. Payback Period bulan 2.93

98 80 Lampiran 6 Kuesioner untuk analisis A WOT KUESIONER ANALISIS A WOT (AHP-SWOT) UNTUK PENYUSUNAN ARAHAN STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR DIDI ACHMADI A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

99 81 PENGANTAR Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan ini saya : Nama : Didi Achmadi NRP : A Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah melakukan penelitian tugas akhir (tesis) dengan judul: Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuesioner untuk perumusan arahan strategi kebijakan pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang. Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini dengan jawaban yang akurat agar data tersebut dapat dianalisis dan menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner ini saya ucapkan terima kasih. Interviewer/Pemohon, Didi Achmadi

100 82 BAGIAN I IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :.. 2. Alamat :.. 3. Pekerjaan/Jabatan :.. 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. No. Telp/HP :.. Responden,... BAGIAN II PEMBOBOTAN Cara Menjawab Kuesioner : Responden hanya menentukan nilai antara 1 9 dengan memberi tanda silang (X) pada nilai yang dipilih. Ketentuan pembobotan masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini: Nilai Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain 7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan dengan nilai sebelum 2,4,6,8 dan setelahnya Contoh Pemberian Pembobotan: Jika Faktor A mutlak lebih penting dari Faktor B, maka diisi Faktor A Faktor B atau, Jika Faktor B lebih penting dari Faktor A, maka diisi \: Faktor A Faktor B Sebelum melakukan pembobotan, Responden akan diminta mengurutkan tiap-tiap faktor berdasarkan tingkat kepentingannya. Semakin kecil nomor urutan, semakin besar tingkat kepentingan faktor tersebut. Sebagaimana contoh berikut: Faktor Urutan A 2 B 3 C n n

101 83 DAFTAR PERTANYAAN 1. Beberapa faktor internal berupa KEKUATAN (STRENGTH) yang dapat mempengaruhi pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang antara lain sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pertimbangan dan pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya maka urutannya adalah: Faktor Urutan A. Potensi SDA (ketersediaan lahan tambak yang luas dan air laut, didukung iklim yang sesuai) B. Teknik pengusahaan garam yang dikenal secara turun temurun C. Peralatan sederhana dan mudah diperoleh D. Tenaga kerja yang selalu tersedia E. Sudah ada jaringan pemasaran F. Ketersediaan koperasi petani garam G. Sudah ada kelompok/organisasi petani garam Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing faktor tersebut? Potensi SDA Teknik pengusahaan garam Potensi SDA Peralatan Potensi SDA Tenaga kerja Potensi SDA Jaringan pemasaran Potensi SDA Koperasi petani garam Potensi SDA Kelompok/ organisasi petani garam Teknik pengusahaan garam Peralatan Teknik pengusahaan garam Tenaga kerja Teknik pengusahaan garam Jaringan pemasaran Teknik pengusahaan garam Koperasi petani garam Teknik pengusahaan Kelompok/ organisasi garam petani garam Peralatan Tenaga kerja Peralatan Jaringan pemasaran Peralatan Koperasi petani garam Peralatan Kelompok/ organisasi petani garam Tenaga kerja Jaringan pemasaran Tenaga kerja Koperasi petani garam Tenaga kerja Kelompok/ organisasi petani garam Jaringan pemasaran Koperasi petani garam Jaringan pemasaran Kelompok/ organisasi petani garam Koperasi petani garam Kelompok/ organisasi petani garam 2. Beberapa faktor internal berupa KELEMAHAN (WEAKNESS) yang dapat mempengaruhi pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang antara lain sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pertimbangan dan pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya maka urutannya adalah:

102 84 Faktor A. Infatruktur yang kurang menunjang kawasan B. Pengusahaan tambak garam yang tergantung cuaca C. Rendahnya kualitas SDM dan kelembagaan, posisi tawar petambak garam lemah D. Kurangnya akses sumber permodalan, banyak petambak garam terjerat tengkulak E. Masih rendahnya kualitas garam rakyat F. Minimnya sentuhan teknologi Urutan Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing faktor tersebut? Infrastruktur Ketergantungan cuaca Infrastruktur Kualitas SDM dan kelembagaan Infrastruktur Akses modal Infrastruktur Kualitas garam Infrastruktur Sentuhan teknologi Ketergantungan Kualitas SDM dan cuaca kelembagaan Ketergantungan cuaca Akses modal Ketergantungan cuaca Kualitas garam Ketergantungan cuaca Sentuhan teknologi Kualitas SDM dan kelembagaan Akses modal Kualitas SDM dan kelembagaan Kualitas garam Kualitas SDM dan kelembagaan Sentuhan teknologi Akses modal Kualitas garam Akses modal Sentuhan teknologi Kualitas garam Sentuhan teknologi 3. Beberapa faktor eksternal berupa PELUANG (OPPORTUNITY) yang dapat mempengaruhi pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang antara lain sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pertimbangan dan pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya maka urutannya adalah: Faktor A. Tingginya permintaan akan garam dan terus meningkat B. Mulai ada perhatian serius dari pemerintah, misal melalui pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) dan berbagai upaya mengatasi permasalahan garam C. Regulasi penetapan harga garam rakyat yang semakin baik D. Kebijakan pemerintah pusat memproteksi garam rakyat dari garam impor E. Dukungan RTRW untuk Pengusahaan garam F. Introduksi pemanfaatan teknologi geomembrane Urutan Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing faktor tersebut?

103 85 Tingginya Perhatian serius permintaan pemerintah Tingginya Regulasi permintaan penetapan harga Tingginya Proteksi garam permintaan rakyat Tingginya Dukungan RTRW permintaan Tingginya Teknologi permintaan geomembrane Perhatian serius Regulasi pemerintah penetapan harga Perhatian serius Proteksi garam pemerintah rakyat Perhatian serius Dukungan RTRW pemerintah Perhatian serius Teknologi pemerintah geomembrane Regulasi penetapan Proteksi garam harga rakyat Regulasi penetapan Dukungan RTRW harga Regulasi penetapan Teknologi harga geomembrane Proteksi garam Dukungan RTRW rakyat Proteksi garam Teknologi rakyat geomembrane Teknologi Dukungan RTRW geomembrane 4. Beberapa faktor eksternal berupa ANCAMAN (THREAT) yang dapat mempengaruhi pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang antara lain sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pertimbangan dan pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya maka urutannya adalah: Faktor A. Masuknya garam impor (garam konsumsi) pada masa larangan impor garam (antara 1 bulan sebelum panen raya dan 2 bulan sesudah panen raya garam rakyat) B. Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah (HPP) secara efektif, harga di pasaran selalu bergejolak. C. Pasar yang hegemonik dan monopolistik, penentuan harga dikuasai pabrik/pedagang besar D. Adanya praktik kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan regional (kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu) E. Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang garam, mengaburkan keberpihakannya pada petambak garam rakyat F. Konversi lahan tambak menjadi area terbangun Urutan Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing faktor tersebut?

104 86 garam impor tidak berfungsinya HPP garam impor pasar yang hegemonistik dan monopolistik garam impor kartel dagang garam impor asosiasi garam garam impor konversi lahan tak berfungsinya HPP pasar yang hegemonistik dan monopolistik tidak berfungsinya kartel dagang HPP tidak berfungsinya asosiasi garam HPP tidak berfungsinya konversi lahan HPP pasar yang hegemonistik dan kartel dagang monopolistik pasar yang hegemonistik dan asosiasi garam monopolistik pasar yang hegemonistik dan konversi lahan monopolistik kartel dagang asosiasi garam kartel dagang konversi lahan asosiasi garam konversi lahan BAGIAN III PENENTUAN RATING Rating ditentukan terhadap faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman) berdasarkan pengaruhnya terhadap pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang. Dalam menentukan rating, dilakukan dengan cara memberikan tanda V pada kolom Nilai Rating pada tabel yang telah disediakan pada angka yang dianggap paling sesuai dengan kondisi saat ini. Ketentuan penilaian dalam penentuan rating ini mengacu pada skala rating sebagai berikut: Nilai rating 4 : sangat kuat Nilai rating 2 : agak lemah Nilai rating 3 : agak kuat Nilai rating 1 : sangat lemah 1. Faktor Strategi Internal Kekuatan A. Potensi SDA (ketersediaan lahan tambak yang luas dan air laut, didukung iklim yang sesuai) B. Teknik pengusahaan garam yang dikenal secara turun temurun C. Peralatan sederhana dan mudah diperoleh D. Tenaga kerja yang selalu tersedia E. Sudah ada jaringan pemasaran F. Ketersediaan koperasi petani garam G. Sudah ada kelompok/organisasi petani garam Nilai Rating

105 87 Kelemahan A. Infatruktur yang kurang menunjang kawasan B. Pengusahaan tambak garam yang tergantung cuaca C. Rendahnya kualitas SDM dan kelembagaan, posisi tawar petambak garam lemah D. Kurangnya akses sumber permodalan, banyak petambak garam terjerat tengkulak E. Masih rendahnya kualitas garam rakyat F. Minimnya sentuhan teknologi 2. Faktor Strategi Eksternal Peluang A. Tingginya permintaan akan garam dan terus meningkat B. Mulai ada perhatian serius dari pemerintah, misal melalui pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) dan berbagai upaya mengatasi permasalahan garam C. Regulasi penetapan harga garam rakyat yang semakin baik D. Kebijakan pemerintah pusat memproteksi garam rakyat dari garam impor E. Dukungan RTRW untuk Pengusahaan garam F. Introduksi pemanfaatan teknologi geomembrane Ancaman A. Masuknya garam impor (garam konsumsi) pada masa larangan impor garam (antara 1 bulan sebelum panen raya dan 2 bulan sesudah panen raya garam rakyat) B. Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah (HPP) secara efektif, harga di pasaran selalu bergejolak. C. Pasar yang hegemonik dan monopolistik, penentuan harga dikuasai pabrik/pedagang besar D. Adanya praktik kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan regional E. Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang garam, mengaburkan keberpihakannya pada petambak garam rakyat F. Konversi lahan tambak menjadi area terbangun Nilai Rating Nilai Rating Nilai Rating Terima Kasih atas Kerjasamanya

106 88 Lampiran 7 Penilaian tingkat konsistensi pembobotan faktor SWOT pada analisis A'WOT RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR KEKUATAN (STRENGTHS ) DINORMALKAN A B C D E F G A B C D E F G Faktor A Potensi SDA B Teknik pengusahaa n garam Potensi SDA Teknik pengusahaan garam Peralatan Tenaga kerja Jaringan pemasaran Koperasi petani garam Kelompok petani garam Potensi SDA A Potensi SDA B Teknik pengusahaan garam Teknik pengusahaan garam Peralatan Tenaga kerja Jaringan pema-saran Koperasi petani garam Kelompok petani garam C Peralatan C Peralatan D Tenaga D Tenaga kerja kerja E Jaringan pemasaran F Koperasi petani garam G Kelompok petani garam Jumlah Faktor E Jaringan pemasaran F Koperasi petani garam G Kelompok petani garam Jumlah Rataan Banyaknya Kriteria n = 7 Rataan Consistency Vector (p) = Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = (CR < 0.1 konsisten) Random Indeks (RI)* = 1.32 Consistency Index (CI) = (p n)/(n 1) = Average (W') A*W' Consitency vector = A*W'/ W' RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR KELEMAHAN (WEAKNESSES ) DINORMALKAN A B C D E F A B C D E F Infra-struktur Ketergantungan cuaca Kualitas SDM dan kelembagaan Akses modal Kualitas garam Sentuhan teknologi Faktor Faktor Infra-struktur Ketergantungan cuaca Kualitas SDM dan kelembagaan A Infrastruktur A Infrastruktur B Ketergantungan cuaca C Kualitas SDM dan kelembagaan B Ketergantungan cuaca C Kualitas SDM dan kelembagaan Akses modal Kualitas garam Sentuhan teknologi D Akses modal D Akses modal E Kualitas garam E Kualitas garam F Sentuhan teknologi F Sentuhan teknologi Jumlah Jumlah Rataan Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = (CR < 0.1 konsisten) Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p n)/(n 1) = *Sumber: Tabel Oarkride dalam Marimin (2008) Average (W') A*W' Consitency vector = A*W'/ W'

107 89 Lampiran 7 (Lanjutan) RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR PELUANG (OPPORTUNITIES ) DINORMALKAN A B C D E F A B C D E F Tingginya permintaan Perhatian serius pemerintah Regulasi penetapan harga Proteksi garam rakyat Dukungan RTRW Teknologi geomembrane Faktor Faktor Tingginya permintaan Perhatian serius pemerintah Regulasi penetapan harga A Tingginya permintaan A Tingginya permintaan Proteksi garam rakyat Dukungan RTRW Teknologi geomembrane Average (W') A*W' Consitency vector = A*W'/ W' B Perhatian serius pemerintah C Regulasi penetapan harga D Proteksi garam rakyat B Perhatian serius pemerintah C Regulasi penetapan harga D Proteksi garam rakyat E Dukungan RTRW E Dukungan RTRW F Teknologi geomembrane F Teknologi geomembrane Jumlah Jumlah Rataan Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = (CR < 0.1 konsisten) Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p n)/(n 1) = RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR ANCAMAN (THREATS ) DINORMALKAN A B C D E F A B C D E F Garam impor Tidak berfungsinya HPP Pasar yang hegemonistik dan monopolistik Kartel dagang Asosiasi garam Konversi lahan Faktor Faktor garam impor tidak berfungsinya HPP A Garam impor A Garam impor B Tidak berfungsinya HPP C Pasar yang hegemonistik dan monopolistik B Tidak berfungsinya HPP C Pasar yang hegemonistik dan monopolistik pasar yang hegemonistik dan monopolistik kartel dagang asosiasi garam konversi lahan D Kartel dagang D Kartel dagang E Asosiasi garam E Asosiasi garam F Konversi lahan F Konversi lahan Average (W') A*W' Consitency vector = A*W'/ W' Jumlah Jumlah Rataan Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = (CR < 0.1 konsisten) Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p n)/(n 1) = *Sumber: Tabel Oarkride dalam Marimin (2008)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia Menurut Raharjo (1984), secara prinsip garam diproduksi dengan tiga cara. Cara pertama yaitu menambang batu garam (shaft mining). Cara ini hampir sama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring

Lebih terperinci

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang meliputi 6 (enam) kecamatan yang daerahnya terdapat area tambak yaitu Kecamatan Sreseh,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG 4.1 Kondisi Geografis dan Administratif Luas wilayah Kabupaten Sampang 1 233.30 km 2. Kabupaten Sampang terdiri 14 kecamatan, 6 kelurahan dan 180 Desa. Batas administrasi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terbentang sepanjang 3.977 mil diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik terdiri dari luas daratan 1.91

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Zainul Hidayah. Dosen Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura ABSTRAK

Zainul Hidayah. Dosen Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura ABSTRAK PEMODELAN DINAMIKA SISTEM EFEKTIVITAS PROGRAM PEMBERDAYAAN USAHA GARAM RAKYAT DI PESISIR SELAT MADURA (STUDI KASUS KONVERSI LAHAN GARAM TRADISIONAL MENJADI LAHAN GARAM GEOMEMBRAN) Zainul Hidayah Dosen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) Kesesuaian Lahan Perikanan berdasarkan Faktor-Faktor Daya Dukung Fisik di Kabupaten Sidoarjo Anugrah Dimas Susetyo dan Eko Budi Santoso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al.,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan juga termasuk produk yang tidak memiliki subtitusi (Suhelmi et al., BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Garam merupakan komoditas yang keberadaannya sangat penting dan belum ada produk tertentu yang dapat menggantikannya berdasarkan aspek fungsi dan kegunaannya. Garam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN.. 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN.. 1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman.. i..vi.. viii.. ix I. PENDAHULUAN.. 1 1.1. Latar Belakang.. 1 1.2. Identifikasi Masalah..5 1.3. Rumusan Masalah.. 6 1.4. Tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya Perikanan di Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng Fadhil Surur Laboratorium Keahlian Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Kepulauan, Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sehingga sektor pertanian memegang peranan penting sebagai penyedia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan bahan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia sebagai negara agraris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi penduduk, menempatkan daerah ini sebagai daerah suplai beras dan penyangga

PENDAHULUAN. swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi penduduk, menempatkan daerah ini sebagai daerah suplai beras dan penyangga PENDAHULUAN Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil beras di luar Pulau Jawa, yang berperan penting dalam upayah pelestarian swasembada beras. Produksi yang melebihi kebutuhan konsumsi

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jenis tanah yang subur. Berdasarkan karakteristik geografisnya Indonesia selain disebut sebagai negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR 17 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR NIRMALASARI IDHA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 26 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN Kerangka Pemikiran

III. METODE KAJIAN Kerangka Pemikiran III. METODE KAJIAN A. Kerangka Pemikiran Program PUGAR merupakan salah satu strategi pencapaian swasembada garam nasional oleh pemerintah dengan visi pencapaian target produksi garam 304.000 ton dan misi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan merupakan komoditi tanaman pangan kedua setelah padi. Akhir-akhir ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan merupakan komoditi tanaman pangan kedua setelah padi. Akhir-akhir ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung memiliki kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan merupakan komoditi tanaman pangan kedua setelah padi. Akhir-akhir ini tanaman jagung semakin meningkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tambak Garam Ditinjau Dari Aspek Fisik Di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati

Evaluasi Kesesuaian Tambak Garam Ditinjau Dari Aspek Fisik Di Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 181-187 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr Evaluasi Kesesuaian Tambak Garam Ditinjau Dari Aspek Fisik Di Kecamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS (Kasus : Kecamatan Sipahutar, Kababupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) Oleh : IRWAN PURMONO A14303081 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh karena itu, tantangan

Lebih terperinci

PRODUKSI GARAM INDONESIA

PRODUKSI GARAM INDONESIA PRODUKSI GARAM IDOESIA o A 1.1 eraca Garam asional eraca garam nasional merupakan perbandingan antara kebutuhan, produksi, ekspor, dan impor komoditas garam secara nasional dalam suatu periode tertentu.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka Barat yang meliputi desa-desa pesisir di Kecamatan Muntok, Kecamatan Simpang Teritip, Kecamatan Kelapa, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PEMETAAN POTENSI PENGEMBANGAN LAHAN TAMBAK GARAM DI PESISIR UTARA KABUPATEN PAMEKASAN

PEMETAAN POTENSI PENGEMBANGAN LAHAN TAMBAK GARAM DI PESISIR UTARA KABUPATEN PAMEKASAN PEMETAAN POTENSI PENGEMBANGAN LAHAN TAMBAK GARAM DI PESISIR UTARA KABUPATEN PAMEKASAN Makhfud Efendy 1, Rahmad Fajar Sidik 2, Firman Farid Muhsoni 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 % dari total luas

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 % dari total luas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alam sebagai penghasil garam. Secara geografis, Indonesia kaya akan sumber daya mineral. Indonesia juga merupakan salah satu negara maritim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT

PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT PENGGUNAAN ZAT ADITIF RAMSOL DALAM MENINGKATKAN MUTU GARAM RAKYAT 1 Mahfud E, 2 Rahmad F. Sidik, 1 Haryo T 1 Prodi Ilmu Kelautan UTM, 2 Prodi TIP UTM e-mail: mahfudfish@gmail.com Abstrak Garam merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci