HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Peninjauan terhadap keadaan wilayah sub-das Citarum Hulu dimaksudkan untuk memberikan informasi umum tentang lokasi penelitian. Ada 6 karakteristik DAS utama yang dibutuhkan oleh model MWSWAT sebagai input data maupun pembanding pada proses validasi. Karakteristik tersebut antara lain; (1) kondisi fisiografi DAS; (2) iklim; (3) kondisi hidrologi DAS; (4) penggunaan lahan; (5) karakteristik tanah, dan (6) sedimentasi. 1. Kondisi Fisiografi Sub-DAS Citarum Hulu adalah salah satu bagian dari DAS Citarum dan terletak di bagian paling hulu dari aliran Sungai Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai induk sepanjang 269 km yang bermula di Situ Cisanti di daerah Gunung Wayang, dan mengalir melalui 9 kabupaten (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Cianjur, Kab. Purwakarta, Kab. Karawang, Kab. Bekasi, Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Sumedang) dan 3 kota (Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Cimahi). Sungai Citarum bermuara di Muara Gembong, Kab. Karawang. Di sungai tersebut terdapat 3 waduk yaitu Jatiluhur (1963), Saguling (1986) dan Cirata (1988). Ketiga waduk ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan dan salah satunya adalah sebagai PLTA yang menghasilkan tenaga listrik 1400 MW. Di bidang pertanian, Sungai Citarum dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanian seluas ha ( 2010). Sub-DAS Citarum Hulu yang dijadikan wilayah penelitian berada pada 7 o 3`7`` 7 o 14`56`` LS dan 107 o 37` 41`` 107 o 48` 43`` BT. Ditinjau dari batas administrasinya, di sebelah selatan dan timur sub-das Citarum Hulu berbatasan dengan Kabupaten Garut, sedangkan di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Menurut data spasial yang diperoleh dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Bogor, kawasan sub-das Citarum Hulu yang diteliti termasuk kedalam bagian sub-das Hulu yang lebih besar. Garis batas sub-das daerah penelitian tidak tepat berimpit dengan batas DAS Hulu Citarum milik Limnologi Bogor, hal ini

2 disebabkan perbedaan penggunaan software GIS dalam mendelineasi batas sub- DAS. Sebagian kawasan Hulu Citarum juga pernah dikaji oleh Yusuf (2010), di lokasi DAS Cirasea menggunakan model MWSWAT. Titik outlet sungai yang digunakan adalah PDA Cirasea Cengkrong, sehingga apabila titik outlet PDA Cirasea Cengkrong dan titik outlet PDA Majalaya didelineasi posisinya bersebelahan dengan sedikit terjadi overlap (bertumpangan). Delineasi kedua titik outlet tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Lokasi sub-das penelitian terhadap sub-das Cirasea Sub-DAS observasi berada pada rentang elevasi mdpl. Sebagian besar merupakan dataran tinggi yang berada pada mdpl sebanyak 75% dari luas keseluruhan dan sisanya adalah daerah perbukitan bergelombang. Kondisi tersebut adalah wajar, mengingat lokasinya yang dikelilingi deretan pegunungan. Aliran sungai bermula dari deretan pegunungan di Kab Bandung bagian selatan. Di sebelah barat terdapat Gunung Wayang (2162 m) dan Gunung Malabar (2321 m), di sebelah selatan terdapat Gunung Kencana (2182 m) dan

3 Gunung Kendeng (2608 m), sedangkan di sebelah timur terdapat punggungpunggung tak beraturan akibat intrusi yang berujung di Gunung Guntur (2248 m). Kawasan dikelilingi oleh deretan pegunungan tersebut berdampak pada hampir semua anak sungai yang berinduk di Citarum mempunyai lereng terjal dan jalur yang pendek. Sifat tersebut berbeda dengan sifat aliran sungai utamanya. Kondisi kemiringan lereng sangat memengaruhi karakteristik hidrologi. Air hujan yang jatuh ke tanah akan cepat terkonsentrasi dan dengan sistem drainase yang lambat mengakibatkan potensi terjadinya banjir di hulu. Sub-DAS Citarum Hulu memiliki dataran rendah di bagian hilir yang mengarah ke tengah cekungan Bandung yang dikelilingi deretan pegunungan. Visualisasi kondisi topografi sub- DAS pada Gambar 16. Gambar 16. Peta topografi sub-das Citarum Hulu Sub-DAS Citarum hulu memiliki kondisi kemiringan lereng berkisar antara datar hingga sangat curam, dengan rentang dalam satuan derajat 0 o 65 o. Wilayah kelerengan yang relatif curam berada pada wilayah yang memiliki elevasi tinggi, yaitu daerah di sekeliling Pegunungan Bandung bagian selatan. Kemiringan

4 lereng daerah penelitian yang diklasifikasikan menjadi 6 kelas rentang slope (kemiringan lereng) dalam satuan derajat pada Gambar 17. Gambar 17. Peta kemiringan lahan sub-das Citarum Hulu Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan komponen yang sangat mempengaruhi karakteristik aliran air dalam suatu kawasan DAS. Kedua faktor tersebut menentukan besar dan kecepatan volume run-off (Asdak, 2002). Kedua elemen tersebut melengkapi pembentukan HRU di dalam model MWSWAT. 2. Iklim Ada 6 elemen penyusun iklim yang datanya dibutuhkan sebagai input model MWSWAT, yaitu curah hujan (harian), temperatur udara (maksimum minimum), kecepatan angin, kelembaban relatif, dan radiasi surya. Data iklim diperoleh dari BMKG Pusat Jakarta ditambah data curah hujan harian dari stasiun Cibeureum (Dinas PSDA) dan stasiun Paseh (PLN). Kondisi iklim ratarata bulanan di daerah penelitian pada rentang waktu tahun 2004 sampai 2008 pada Tabel 5.

5 Tabel 5. Kondisi iklim rata-rata bulanan daerah penelitian (tahun ) Bulan Parameter Iklim CH (mm) Temp ( o ) Kelembaban (%) Kec. Angin (m/det) Radiasi Surya (MJ.m -2.hari -1 ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : BMKG Pusat Jakarta (2011) Curah Hujan Wilayah penelitian terletak di daerah pegunungan selatan Bandung, Wilayah yang diwakili oleh stasiun Paseh dan stasiun Cibeureum ini mengalami musim kemarau pada bulan Juni sampai Agustus. Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah ini termasuk Zona Agroklimat C2. Pada zona tersebut bulan kering (curah hujan < 100 mm) terjadi selama 3 4 bulan dan bulan basah (curah hujan > 200 mm) berlangsung selama 5 6 bulan. Stasiun Bandung mewakili dataran Bandung yang termasuk zona Agroklimat E3. Perbedaan tersebut wajar mengingat letaknya yang berjauhan dari DAS yang diteliti. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidth Ferguson, daerah penelitian digolongkan pada tipe iklim D, dengan bulan basah yang berlangsung selama 6 bulan dan bulan kering selama 4 bulan dan tingkat kebasahan sedang. Distribusi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 18. Sebaran curah hujan pada ketiga stasiun hujan yang digunakan datanya tidaklah sama dan memiliki variasi. Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 19 berikut memperlihatkan curah hujan rata-rata bulanan tahun Dari grafik terlihat bahwa rata-rata curah hujan terbesar dalam satu tahun terjadi pada stasiun Cibeureum (15.5 mm).

6 Gambar 18. Lokasi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di daerah penelitian Air hujan yang jatuh ke dalam DAS ditransformasi menjadi debit sungai melalui aliran permukaan dan aliran di dalam tanah, selain menguap kembali melalui proses evapotranspirasi. Berdasar posisinya terhadap wilayah penelitian, curah hujan yang turun ke DAS didominasi oleh curah hujan yang datanya tercatat pada stasiun Paseh dan Cibeureum. Meskipun letaknya berdekatan namun curah hujan yang tercatat di kedua stasiun ini berbeda. Variasi beberapa curah hujan beberapa stasiun hujan di dalam kawasan DAS yang dimodelkan akan dihitung ulang oleh MWSWAT menggunakan metode polygon Thiessen P (mm) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Bulan Bandung Paseh Cibeureum Gambar 19. Curah hujan rata-rata bulanan tahun 2001 di tiap stasiun hujan

7 3. Kondisi Hidrologi DAS Data debit harian Sungai Citarum Hulu yang digunakan untuk melihat kondisi hidrologi sungai diperoleh dari PDA milik Dinas PU Pengairan. PDA yang digunakan sebagai titik outlet pencatatan data debit adalah PDA yang terletak di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung (koordinat 07 o 24` 00`` LS 107 o 34` 00`` BT). Besarnya aliran debit ditentukan oleh lengkung aliran menggunakan Metoda Hymos Manning dengan persamaan yang dibuat berdasarkan data pengukuran debit dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009, dengan H adalah ketinggian muka air sungai yang tercatat, (Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010). Pemilihan lokasi outlet sungai didasarkan oleh ketersediaan data debit sungai dan sedimentasi yang memadai dibanding PDA lainnya. Bentuk delineasi batas area sub-das Citarum Hulu yang merupakan daerah tangkapan pada Gambar 20. Gambar 20. Daerah tangkapan air daerah penelitian Gambar 21 menggambarkan fluktuasi debit rata-rata bulanan dari tahun 1990 sampai 2009 di PDA Majalaya. Berdasarkan gambar tersebut debit aliran minimum terjadi di bulan September (1.01 m 3 /det) dan maksimum di bulan April

8 (10.88 m 3 /det). Pada bulan Mei hingga Oktober debit rata-rata bulanan berada di bawah nilai rata-ratanya (5.16 m 3 /det) Q(m 3 /det) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Gambar 21. Debit bulanan rata-rata di PDA Majalaya (tahun ) Gambar 22 menunjukkan debit sungai harian dari tahun 1999 sampai Debit aliran tertinggi yang dicapai pada rentang tahun tersebut adalah m 3 /det. Diagram batang pada posisi 0 m 3 /det menunjukkan kekosongan data pencatatan debit, antara lain terjadi pada bulan September 2002, bulan Desember 2003, dan bulan April Pada tahun-tahun yang terdapat kekosongan data debit dapat digunakan untuk set-up dan kalibrasi model MWSWAT dengan memisahkan menjadi bulan basah bulan kering Q (m 3 /det) Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan-09 Tanggal Gambar 22. Debit aliran sungai harian PDA Majalaya (tahun )

9 Kondisi debit di sub-das penelitian juga dapat diidentifikasi melalui nilai Coefficient of River Regime (CRR). CRR atau KRS adalah suatu koefisien yang merupakan perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata minimum di suatu sungai. Nilai koefisien tersebut menyatakan kestabilan aliran sungai dari tahun ke tahun. Semakin kecil koefisien CRR, semakin baik kondisi hidrologi DAS tersebut (Asdak, 2002). Kurva CRR aliran sungai daerah penelitian tahun pada Gambar 23. Penggambaran kurva terputus karena kurang lengkapnya pencatatan data pada bulan-bulan tertentu dalam periode tahunan tertentu Qmax/Qmin Tahun Qmin Qmax CRR Gambar 23. Kurva CRR daerah penelitian (tahun ) Jika melihat pola pergerakan kurva CRR, dapat diperkirakan nilai koefisien berada di atas 50 sejak tahun 2005 dan mulai meningkat lebih besar hingga kemudian akhirnya menurun hingga mencapai nilai pada tahun Pada rentang 10 tahun tersebut CRR tertinggi sebesar dicapai tahun Kondisi DAS dalam kondisi baik salah satu kriterianya bila CRR < Penggunaan Lahan Kondisi penggunaan lahan di suatu DAS dideskripsikan melalui peta penggunaan lahan. Fungsi peta adalah memberikan informasi spasial penyebaran

10 beberapa tipe penggunaan lahan yang ada di kawasan DAS yang diteliti, sebagai salah satu basis dalam perhitungan besarnya erosi dan sebagai input bagi model MWSWAT. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2001 yang diperoleh dari BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, teridentifikasi 9 klasifikasi penggunaan lahan, yaitu; hutan, perkebunan, kebun campuran, padang rumput/ilalang, semak belukar, ladang/tegalan, sawah, kawasan pemukiman dan kawasan industri. Penyebaran berbagai jenis penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Penggunaan lahan daerah penelitian tahun 2001 Data statistik penggunaan lahan dari daerah seluas ha diberikan pada Tabel 6. Penggunaan lahan yang terluas di wilayah penelitian adalah perkebunan (39.28%) yang tersebar mengelilingi sub-das di bagian barat dan timur. Kawasan hutan berada pada dataran tinggi pegunungan. Luasan hutan tersebut belum mencapai 30% kawasan konservasi dari wilayah yang diteliti. Kemudian, kegiatan pertanian kebun campuran merupakan porsi terluas ketiga (15.43%) yang letaknya tersebar di bagian tengah DAS hingga hilir.

11 Tabel 6. Jenis penggunaan lahan dan luasnya (tahun 2001) Luas Penggunaan Lahan ha % Hutan Kawasan industri Kawasan pemukiman Kebun campuran Ladang/tegalan Perkebunan Sawah Semak belukar Padang rumput Penggunaan lahan berupa sawah (11.69%) umumnya berada dekat dengan alur tepian sungai, sedangkan semak belukar merupakan penggunaan lahan yang tersempit di wilayah DAS (0.05%). Semak belukar tersebut dapat berasal dari kegiatan pertanian yang telah ditinggalkan ataupun hutan yang baru dibuka untuk berladang. Berdasar pengamatan spasial pada peta tersebut, di tahun 2001 di wilayah penelitian belum terdapat penggunaan lahan padang rumput. Pola kegiatan pertanian di sub-das Citarum Hulu bervariasi secara umum bergantung pada fisiografi, iklim, kondisi lahan, dan kebiasaan petani. Kegiatan bertani dominan adalah padi dan sayur, jenis sayur yang ditanam terutama di wilayah Kertasari adalah jenis wortel, kol, kentang, daun bawang dan bawang. Waktu tanam sayuran bergilir sesuai musim. Selain itu, tanaman hias juga merupakan komoditas yang diusahakan oleh petani. Sedangkan kegiatan berladang umumnya merupakan tumpangsari tanaman palawija, sehingga tanaman yang banyak dijumpai di area ladang adalah padi yang ditumpangsarikan dengan jagung, singkong dan beberapa adalah ubi jalar. 5. Karakteristik Tanah Klasifikasi tanah yang terdapat dalam peta tanah adalah Taksonomi Tanah (Puslitanak, 1992) atau Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1990). Berdasarkan peta tanah semi detail skala 1: yang diperoleh dari Limnologi LIPI, terdapat 11 SPT (Satuan Peta Tanah) di sub-das Citarum Hulu yang dikelompokkan kedalam 3 Ordo yang terpisah, yaitu; (1) Inceptisols; (2) Andisols; dan (3) Mollisols. SPT merupakan satuan lahan dengan satuan-satuan

12 tanahnya yang diteliti dan ada kaitannya dengan kemungkinan penggunaan lahan secara maksimum (Puslittanak, 1993). Satu SPT dapat terdiri dari satu sampai 4 satuan tanah. Karakteristik tanah yang diambil sebagai database karakteristik tanah adalah yang paling dominan. Daftar SPT, keterangan dan kode ID di dalam database MWSWAT diberikan pada Tabel 7. Model MWSWAT menyesuaikan database karakteristik tanah melalui SOIL_ID yang telah ditambahkan di dalam kolom attributes peta tanah. Jenis tanah dan formasinya dianggap tidak berubah pada periode yang lama sehingga peta tanah ini dapat digunakan sebagai input yang sama pada simulasi menggunakan skenario penggunaan lahan di tahun-tahun yang berbeda. Tabel 7. Satuan Peta Tanah (SPT) dan SOIL_ID yang digunakan pada database MWSWAT No. SPT Keterangan ID/SEQN SNAM ORDO 1. 2 Aeric Tropaquepts 6999 aetpq-6999 Inceptisols 2. 8 Typic Eutropepts 7000 tyeup-7000 Inceptisols Oxic Humitropepts 7001 oxhtp-7001 Inceptisols Thaptic Hapludands 7002 thhpd-7002 Andisols Eutric Hapludands 7003 euhpd-7003 Andisols Typic Hapludands 7004 tyhpd-7004 Andisols Aquic Hapludolls 7005 aqhdl-7005 Mollisols Typic Hapludolls 7006 tyhte-7006 Mollisols Typic Hapludolls 7007 thah-7007 Mollisols Oxic Argiudolls 7008 oath-7008 Mollisols Oxic Argiudolls 7009 oatt-7009 Mollisols Tanah ordo Mollisols merupakan jenis tanah yang paling banyak ditemukan di wilayah penelitian (62%),sedangkan yang paling sedikit adalah jenis tanah ordo Inceptisols (7%). Peta tanah di wilayah penelitian diberikan pada Gambar 25. Tanah-tanah di daerah penelitian merupakan tanah yang bahan asalnya berupa bahan vulkanis dan termasuk kedalam fisiografi aluvial, sehingga sebagian besar termasuk tanah yang potensial untuk kegiatan pertanian. Meskipun potensial, kondisi topografi menjadi salah satu faktor pembatas, terutama di wilayah berbukit dan pegunungan yang memiliki lereng yang curam. Keadaan topografi tersebut memerlukan tindakan konservasi tanah.

13 Gambar 25. Peta tanah sub-das Citarum Hulu 6. Sedimentasi Data sedimen observasi yang diperoleh merupakan data suspended sediment (sedimen melayang). Besarnya angkutan sedimen melayang dihitung dari besarnya debit air yang mengalir di sungai dengan menggunakan persamaan: (Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010). Rumus ini diperoleh berdasarkan data pengukuran tahun Dengan persamaan tersebut dan berdasarkan data debit aliran sungai harian maka data angkutan sedimen melayang harian setiap tahun di PDA Majalaya dapat dihitung. Hal yang sama dilakukan untuk data sedimen yang digunakan untuk proses kalibrasi di tahun Kurva lengkung yang menggambarkan hubungan debit dan sedimen melayang diberikan pada Gambar 26.

14 Angkutan Sedimen Melayang (ton/hr) Qs = *Qw R² = Debit Aliran Sungai (m 3 /det) 1 Gambar 26. Rating curve suspended sediment di PDA Majalaya Fluktuasi sedimen melayang yang terangkut aliran Sungai Citarum Hulu pada tahun 2007 beserta grafik debit disajikan pada Gambar 27. Dari kedua kurva pada Gambar 27 terlihat bahwa fluktuasi sedimen melayang memiliki kecenderungan yang sama dengan fluktuasi debit aliran sungai yang mengalir Q (m 3 /det) Suspended sediment (ton/hari) 0 01-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des-07 Tanggal 0 Discharge Suspended sediment Gambar 27. Debit aliran sungai dan sedimen melayang PDA Majalaya 4.2 Model MWSWAT Penggunaan model MWSWAT tergantung pada ketersediaan data yang diperoleh di lokasi penelitian. Periode waktu simulasi dipilih pada rentang waktu yang ketersediaan datanya lengkap. Ilustrasi ketersediaan data yang diperoleh dari lapang diberikan pada Gambar 28.

15 DATA Iklim Curah hujan Temperatur (max-min) Kelembaban Kecepatan angin Radiasi surya Curah hujan Stasiun Bandung Stasiun Paseh Stasiun Cibeureum Hidrologi Debit sungai Sedimentasi Spasial (GIS) Penggunaan lahan Peta tanah Erosi DEM TAHUN Gambar 28. Ketersediaan data di lapangan Dengan melihat ketersediaan data pada Gambar 28 maka yang berpotensi untuk dipilih adalah data pada tahun 2001, 2005 dan Data debit aliran sungai harian pada tahun 2005 terdapat kekosongan di bulan April sehingga simulasi pada ketiga tahun tersebut dilakukan pada rentang bulan Mei hingga Desember. Tahun 2001 dipilih sebagai rentang waktu proses kalibrasi model MWSWAT. 1. Delineasi Sub-DAS Delineasi atau pembentukan sub-das dilakukan secara otomatis (Automatic Watershed Delineaation AWD). Model MWSWAT menggunakan fitur AWD yang terdapat di MapWindow GIS sebelum melakukan penentuan HRU. Delineasi terhadap peta DEM memberikan batas DAS beserta pembagian sub-das yang menyusunnya. Dengan menggunakan angka treshold (ambang batas) terbentuk 15 sub-das pada daerah penelitian seluas ha. Peta DEM yang telah terdelineasi ditunjukkan pada Gambar 29. Aliran Sungai Citarum bermula dari sub-basin nomor 8 dan memasuki outlet penelitian di sub-basin nomor 15, sehingga debit simulasi MWSWAT yang dikalibrasi adalah debit yang mengalir pada sub-das nomor 15. Panjang sungai utama hingga mencapai titik outlet adalah km. Rincian luas setiap sub- DAS disajikan pada Tabel 8.

16 Gambar 29. Peta DEM terdelineasi Tabel 8. Luas setiap sub-das hasil delineasi MapWindow GIS Luas Area Nomor ha % Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Sub-DAS Luas sub-das yang terbentuk bervariasi antara 6.48 ha sampai dengan ha. Antara sub-basin yang satu dengan yang lainnya terhubung melalui aliran sungai utama. Penggunaan GIS dalam model MWSWAT memberikan

17 kemudahan untuk melihat kaitan antar sub-basin dalam hal posisi, aliran air, sedimen, dan zat hara yang terangkut aliran sungai. 2. Penentuan HRU Setiap HRU yang terbentuk merupakan kombinasi khusus dari sub-das, penggunan lahan, jenis tanah dan rentang lereng. Pembagian sub-das telah dilakukan pada proses AWD, sehingga penentuan HRU terfokus pada penambahan informasi penggunaan lahan dan karakteristik tanah. Peta penggunaan lahan dan tanah yang digunakan sebagai input hanya menyimpan informasi angka ID (identity) saja. Angka ID tersebut harus dihubungkan dengan kode pada database MWSWAT. Selain itu, pengelompokkan HRU juga dipisahkan berdasar rentang kemiringan lahan. Rentang kemiringan lahan (%) yang dimasukkan adalah 0, 3, 15, 30, 45, 60 dan 99 (Arsyad, 2009) Pembentukan HRU menggunakan kriteria Multiple HRU s dengan persen treshold area landuses (10%), soil (5%) dan slope (5%). Hal ini berarti apabila persentase suatu penggunaan lahan, tanah dan kemiringan berturut-turut di bawah 10%, 5% dan 5% dalam suatu sub-das maka tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Gambar 30. Tampilan Hasil HRU

18 Pemilihan kombinasi angka treshold dalam proses menjalankan model MWSWAT bergantung pada ukuran luas DAS yang diobservasi dan tingkat ketelitian yang diinginkan oleh user. Perbedaan penggunaan besarnya angka treshold juga akan mempengaruhi output hasil simulasi sehingga penting untuk menentukan ukuran yang tepat agar simulasi memberikan hasil yang terbaik. Hasil HRU yang terbentuk di daerah penelitian ditulis dalam bentuk file.txt, seperti ditunjukkan oleh gambar screenshoot pada Gambar 30. Jumlah HRU yang terbentuk 568 pada 15 sub-das. Laporan hasil HRU juga memuat kuantitas dan persentase penggunaan lahan, tanah dan kemiringan lahan di daerah DAS yang terdelineasi. Tampilan output pembentukan HRU disajikan pada Gambar 31. Gambar 31. HRU yang terbentuk melalui proses Step 2: Creates HRU s 3. Simulasi Model MWSWAT Model MWSWAT baru dapat dijalankan setelah file-file input diselesaikan. Periode simulasi selama 8 bulan dimulai dari bulan Mei 2001 sampai dengan bulan Desember Fase warm up model (percobaan penggunaan model) dilakukan dengan menggunakan data periode 1 Januari April Fase warm up model MWSWAT adalah bagian dari proses yang paling esensial

19 untuk memantapkan kondisi base flow (aliran dasar) pada simulasi hingga kondisi keseimbangan dalam proses hidrologi tercapai. Beberapa metode harus dipilih terlebih dahulu sebelum dilakukan simulasi, yang disesuaikan dengan periode simulasi, sumber data iklim, perhitungan curah hujan, aliran sungai, frekuensi waktu simulasi dan opsi file-file yang dibuat. Untuk Rainfall/Runoff/Routing menggunakan Daily/CN/Daily, Rainfall distribution menggunakan Skewed normal, perhitungan ET potensial dengan metode Penman Monteith, untuk Channel water routing dipilih metode Muskingum, sedangkan Crack flow dan Channel dimensions menggunakan pilihan Not active. Hasil simulasi sebagai output model MWSWAT diberikan dalam bentuk harian, bulanan maupun iktisar tahunan. Output simulasi dapat ditemukan pada file output.txt di dalam folder TxtInOut. Tampilan hasil simulasi pada tahun 2001 dengan periode bulanan diperlihatkan pada Gambar 32. Gambar 32. Tampilan hasil simulasi pada tahun 2001 Hasil simulasi debit aliran Sungai Citarum Hulu periode bulanan dengan model MWSWAT dan data observasi lapangan disajikan pada Gambar 33. Hubungan antara debit hasil simulasi dan hasil observasi secara statistik dapat dilihat pada Gambar 34.

20 Q (cms) P (mm) 0 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 30 Bulan (2001) P (mm) Qobservasi Qsimulasi Gambar 33. Data debit hasil simulasi dan hasil observasi sebelum kalibrasi model Simulasi y = 1.168x R² = Observasi Gambar 34. Perbandingan statistik R 2 debit hasil simulasi dan hasil observasi Hasil yang diperoleh menunjukkan base flow dan peak flow debit simulasi melebihi data observasi. Dengan menggunakan perbandingan statistik antara debit hasil simulasi model dan hasil observasi lapang periode bulanan didapatkan nilai R 2 sebesar 0.48 dan NSE sebesar Nilai tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan perbandingan statistik periode harian, yaitu 0.20 untuk R 2 dan 0.12 pada nilai NSE.

21 Nilai perbandingan debit bulanan tersebut ternyata lebih rendah performanya bila dibandingkan dengan simulasi untuk sedimen melayang. Grafik sedimen melayang hasil simulasi berada di bawah data hasil observasi pada peak flow maupun pada base flow. Secara statistik hubungan hasil simulasi dan data observasi digambarkan pada nilai R 2 sebesar 0.52 dan 0.31 untuk nilai NSE. Sama halnya seperti debit, angka statistik harian untuk sedimen melayang lebih rendah dari periode bulanannya, yaitu 0.01 NSE dan 0.16 untuk R 2. Qsed (ton/day) Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Bulan (2001) Sed_observasi Sed_simulasi Gambar 35. Data sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi sebelum kalibrasi model Simulasi y = 0.858x R² = Observasi Gambar 36. Perbandingan statistik R 2 sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi Hasil simulasi sedimen melayang aliran Sungai Citarum Hulu periode bulanan dan data hasil observasi lapangan dapat dilihat pada Gambar 35.

22 Hubungan antara sedimen melayang hasil simulasi dan hasil observasi secara statistik ditunjukkan pada Gambar Kalibrasi Model MWSWAT Perbandingan hasil simulasi model dan data hasil observasi secara statistik yang ditunjukkan oleh nilai R 2 dan NSE menunjukkan hasil yang belum cukup baik dan belum mendekati keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena data yang digunakan pada model MWSWAT tidak cukup lengkap menggambarkan karakteristik daerah yang diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan melalui proses kalibrasi model. Setelah model MWSWAT terkalibrasi dan memiliki hubungan yang cukup dekat dengan data observasi, maka model tersebut perlu diuji dengan menggunakan data dari tahun yang berbeda. Model MWSWAT merupakan model hidrologi yang menggunakan banyak parameter dalam proses perhitungannya. Dari sekian banyak parameter tersebut, kalibrasi hanya dilakukan pada parameter-parameter yang signifikan memengaruhi hasil simulasi. Prosedur kalibrasi dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Pada penelitian ini proses kalibrasi model dilakukan secara manual trial-error. Proses simulasi dilakukan selama 2 tahun yaitu dari 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2001, namun kalibrasi debit aliran sungai dan sedimen hanya dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Mei hingga Desember Tahun 2000 digunakan sebagai periode warm up model. Selama kalibrasi model untuk debit aliran sungai dan sedimen, beberapa parameter perlu disesuaikan agar memberikan output mendekati data observasi di lapangan. Hasil simulasi debit aliran dan sedimen melayang sebelum dikalibrasi menunjukkan nilai perbedaan antara debit bulanan rata-rata observasi dan simulasi berturut-turut sebesar 30.39% dan 93.11%. Nilai statistik yang diperoleh adalah NSE dan R untuk debit serta NSE dan R untuk simulasi sedimen. Hasil tersebut masih jauh dari yang diharapkan sehingga dilakukan langkah pengaturan secara manual pada beberapa parameter input yang terdapat di dalam model, yang sensitif terhadap perubahan output. Terdapat 12 parameter yang disesuaikan nilainya seperti ditampilkan pada Tabel 9.

23 Tabel 9. Parameter-parameter input model MWSWAT yang disesuaikan Parameter Model Keterangan Nilai akhir Debit Aliran OV_N Nilai koefisien kekasaran manning n CN2 Bilangan kurva ( 0.9)* SOL_AWC Kapasitas air tersedia di lapisan tanah SOL_K Konduktivitas hidrolik dalam keadaan saturated GW_DELAY Groundwater delay ESCO Faktor kompensasi evaporasi tanah ALPHA_BF Faktor base flow alfa CH_K2 Konduktivitas hidrolik efektif saluran utama Sedimen Melayang LAT_SED Konsentrasi sedimen di aliran lateral dan groundwater SPEXP Parameter eksponen untuk menghitung sedimen tertahan di jalur penelusuran sedimen SLSSUBBSN Panjang lereng rata-rata USLE_P Faktor pengelolaan pada persamaan USLE *semua nilai parameter CN2 diseluruh DAS dikalikan dengan bilangan pengali 0.9 Penyesuaian parameter-parameter model meningkatkan nilai NSE dan R 2 simulasi debit berturut-turut menjadi 0.54 dan 0.69 dengan selisih debit rata-rata bulanan sebesar 3.96%. Hasil ini berbeda dengan kalibrasi debit harian yang nilainya lebih rendah, yaitu NSE 0.37 dan R Kalibrasi simulasi sedimen melayang bulanan menghasilkan NSE 0.51 dan R dengan selisih sedimen melayang rata-rata bulanan sebesar 9.26%. Gambar 37. Hasil simulasi debit sebelum dan setelah kalibrasi model

24 Hasil simulasi debit dan sedimen melayang setelah proses kalibrasi ditunjukkan berturut-turut pada Gambar 37 dan Gambar 38. Scattergram nilai R 2 untuk debit dan sedimen melayang setelah kalibrasi model pada Gambar 39 dan Gambar 40. Parameter yang paling berpengaruh terhadap bentuk kurva debit hasil simulasi agar mendekati hasil debit observasi adalah OV_N dan CN2, sedangkan pengaturan parameter lain seperti SOL_AWC, SOL_K, dan lainnya bersifat menghaluskan bentuk kurva sehingga menaikkan nilai NSE dan R 2. Proses kalibrasi akan menjadi lebih sulit bila dilakukan selama periode harian dalam kurun satu tahun penuh karena terdapat dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Gambar 38. Hasil simulasi sedimen sebelum dan setelah kalibrasi model

25 Gambar 39. Nilai R 2 debit sebelum dan setelah kalibrasi model Penyesuaian terhadap parameter input model selama kalibrasi memberikan hasil meningkatnya nilai NSE dan R 2 serta menurunkan persentase beda rata-rata output simulasi dan observasi. Bentuk kurva sedimen melayang bentuknya hampir serupa dengan kurva debit, karena nilai sedimen melayang dihitung berdasarkan pada besarnya debit. Kurva debit dan sedimen melayang bentuknya mengikuti kurva observasi kecuali pada bulan Juni, yang memiliki selisih gap. Gambar 40. Nilai R 2 sedimen melayang sebelum dan setelah kalibrasi model Apabila model MWSWAT yang telah terkalibrasi dijalankan dengan menggunakan data input iklim yang sama dengan tahun peta penggunaan lahan kemudian output model dibandingkan dengan data observasi, maka keakuratan

26 model semakin kecil. Untuk itu diperlukan kalibrasi kembali sehingga output model dapat merepresentasikan data yang diperoleh dari observasi. Sebagai contoh, apabila model MWSWAT yang parameternya telah terkalibrasi di tahun 2001 digunakan untuk menyimulasikan prediksi debit menggunakan input data iklim tahun 2005 dan peta penggunaan lahan tahun 2005 maka hasilnya menjadi semakin buruk dan tidak akurat. Ketidakakuratan tersebut ditandai oleh nilai R 2 dan NSE yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai yang diperoleh dari proses kalibrasi. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan karakteristik hujan pada tahun 2001 dan 2005 dalam hal kuantitas maupun pola penyebarannya. Nilai NSE dan R 2 tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan kalibrasi kembali. Proses tersebut memakan waktu lebih lama, sehingga dalam penelitian ini dampak penggunaan lahan terhadap respon hidrologi di sub-das Hulu Citarum menggunakan set data input dan parameter terkalibrasi pada tahun Hidrograf debit sungai harian hasil observasi dan simulasi ditunjukkan pada Gambar 41, sedangkan scattergram R 2 ditunjukkan pada Gambar Debit (m 3 /det) Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des-05 Tanggal Qob Qsim Gambar 41. Hidrograf debit sungai harian hasil simulasi dan hasil observasi dengan menggunakan set data input tahun 2005

27 y = 2.015x R² = Simulasi Observasi Gambar 42. Scattergram R 2 debit sungai harian hasil simulasi dan hasil observasi dengan menggunakan set data input tahun Simulasi Model MWSWAT Hasil Kalibrasi Simulasi model dilakukan dengan menjalankan model yang sudah dikalibrasi selama periode kalibrasi tanpa ada perubahan pada set data input lain. Kondisi iklim tahun 2001 dijadikan dasar simulasi, sedangkan peta penggunaan lahan yang disimulasikan adalah peta penggunaan lahan tahun 1994 dan Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap peta penggunaan lahan periode tahun 1994, 2001 dan 2005 diketahui bahwa telah terjadi alih fungsi lahan berupa pengurangan luas area hutan, kebun campuran, perkebunan dan sawah. Pengurangan luas tersebut berdampak pada meluasnya area perkebunan, padang rumput/ilalang dan semak belukar seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Penggunaan lahan sub-das Citarum Hulu tahun 1994, 2001 dan 2005 Luas (ha) Persentase Luas (%) Perubahan Lahan (ha) Penggunaan lahan Tahun 1994 Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 1994 Tahun 2001 Tahun Hutan Kawasan Industri Kawasan pemukiman Kebun campuran Ladang/tegalan Padang rumput/ilalang Perkebunan Sawah Semak belukar Σ

28 Penggunaan lahan di daerah penelitian pada tahun 1994 dan 2005 memiliki klasifikasi yang serupa dengan penggunaan lahan pada tahun 2001, begitu pula dengan luas wilayahnya. Bila dibandingkan dengan tahun 2001 yang digunakan sebagai dasar tahun simulasi, maka penutupan lahan yang baik berturut-turut adalah penggunaan lahan tahun 1994, 2001 kemudian penggunaan lahan tahun Hal ini berdasarkan analisis spasial yang memperlihatkan luasan hutan di tahun 1994 mencapai >54% dari luas wilayah sub-das. Gambar 43. Peta penggunaan lahan tahun 1994 Pada tahun 2001 dan 2005 luas kawasan hutan ini berkurang hingga < 30% dan luas hutan yang mengalami alih fungsi lahan mencapai ha. Pada rentang waktu tahun 1994 sampai dengan 2005 selain hutan, wilayah sawah pun mengalami penurunan ha. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan terbesar adalah perkebunan yang luas bertambah ha. Penggunaan lahan selengkapnya di daerah penelitian pada tahun 1994 dan 2005 ditunjukkan pada Gambar 43 dan Gambar 44.

29 Gambar 44. Peta penggunaan lahan tahun 2005 Hasil prediksi aliran permukaan (surface runoff), hasil air (water yield), dan hasil sedimen (sediment yield) dapat dilihat pada Tabel 11. Bila dilihat dari nilai maka penggunaan lahan tahun 1994 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini ditandai oleh rendahnya nilai CRR pada periode bulan Mei sampai dengan Desember (3.22). Nilai CRR pada penggunaan lahan 2001 mencapai 4.53 dan untuk penggunaan lahan tahun 2005 sebesar Tabel 11. Hasil water yield, surface runoff dan sediment yield simulasi MWSWAT pada penggunaan lahan tahun 1994, 2001 dan 2005 Water Yield (mm) Surface Runoff (mm) Sediment Yield (t/ha) Bulan Prespitasi 2001 (mm) Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Σ Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan di sub- DAS Citarum Hulu wilayah Majalaya berpengaruh terhadap respon hidrologi terutama pada hasil air (water yield), aliran permukaan (surface runoff) dan hasil sedimen (sediment yield). Penyebab meningkatnya aliran permukaan dan hasil sedimen dari tahun 1994 ke tahun 2005 diduga berasal dari berkurangnya area hutan yang tertutup tumbuhan dan meningkatnya lahan terbuka yang minim

30 tanaman pelindung terhadap erosi (kawasan industri, kawasan pemukiman, kebun campuran, ladang/tegalan, padang rumput dan semak belukar). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan adalah yang paling besar. Tetapi tanaman-tanaman perkebunan yang diusahakan di daerah penelitian seperti teh dan kina memiliki daya pelindung tanah terhadap bahaya erosi yang lebih rendah dari tanaman yang ada di kawasan hutan. Kurangnya tanaman pelindung di area terbuka menyebabkan hilangnya penahan air dan menurunkan kemampuan tanah meresapkan air sehingga aliran permukaan dan sedimen sebagai hasil proses erosi meningkat. Hasil prediksi debit aliran sungai dan sedimen ditunjukkan pada Gambar 45 dan Gambar Debit (m 3 /det) Mei Mei Jun Jul Jul Agust Sep Sep Okt Nop Nop Des-01 Tanggal Gambar 45. Prediksi debit sungai harian tahun 1994, 2001 dan 2005 Dalam hal debit aliran, pola yang ditunjukkan melalui hidrograf pada tahun 1994, 2001 dan 2005 memiliki bentuk yang agak serupa. Dari ketiga tahun tersebut, debit aliran tahun 1994 dan 2005 memiliki pergerakan yang hampir serupa. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2001 yang relatif berada di atas hidrograf debit aliran tahun 1994 dan 2005, terutama pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan. Debit aliran tahun 1994 memiliki karakteristik yang relatif stabil dibandingkan debit aliran pada tahun 2001 dan 2005, karena ketika terjadi hujan tidak terjadi peningkatan yang signifikan pada debit aliran. Hal tersebut memberi gambaran bahwa dengan jumlah dan intensitas hujan serta iklim yang sama, penggunaan lahan tahun 2001 cenderung kurang mampu menahan dan meresapkan air hujan yang turun sehingga peluang untuk terjadinya runoff semakin besar. Tujuan diadakannya tindakan konservasi dan perbaikan penggunaan lahan adalah untuk menekan runoff dan meningkatkan kapasitas baseflow pada suatu DAS.

31 350 Sedimen melayang (ton/bulan) Mei Juni Juli Agustus Setember Oktober November Desember Bulan Gambar 46. Prediksi sedimen melayang bulanan tahun 1994, 2001 dan 2005 Keadaan debit aliran pada ketiga tahun yang disimulasikan berbeda dengan sedimen melayang. Prediksi sedimen melayang tahun 1994 dan 2001 hampir serupa, ditandai dengan bentuk hidrograf yang berimpit, kecuali pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan yang dimulai pada bulan September hingga Desember. Prediksi sedimen melayang pada tahun 2005 menunjukkan besarnya sedimen yang terangkut pada aliran sungai lebih besar dari tahun 1994 dan Berdasarkan bentuk grafik sedimen melayang pada Gambar 46 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan tahun 2005 menghasilkan sedimen melayang yang lebih besar dari tahun 1994 dan 2001, dan kuantitasnya akan semakin bertambah terutama pada bulan-bulan yang banyak terjadi hujan.

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN 4.1 Topografi dan Tata Sungai DAS Citarum Hulu merupakan suatu cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan Tangkuban Perahu di daerah utara dengan puncaknya antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Data 5.1.1 Analisis Curah Hujan Hasil pengolahan data curah hujan di lokasi penelitian Sub-DAS Cibengang sangat berfluktuasi dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian berada di sub-das Citarum Hulu, Kecamatan Bandung, Provinsi Jawa Barat seperti yang tampak pada Gambar 3 (BAPPEDA Provinsi Jawa Barat dan peta

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

Bab V Analisa dan Diskusi

Bab V Analisa dan Diskusi Bab V Analisa dan Diskusi V.1 Pemilihan data Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi pemodelan debit

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk 11 KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi Desa Lamajang terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah 1474 ha dengan batas desa

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Studi Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah Patikraja dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT

ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT Fadli Irsyad 1 dan Eri Gas Ekaputra 1 1 Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Univ. Andalas, Padang 25163 *

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Cibengang yang secara geografis terletak di ketinggian 1130 mdpl dengan koordinat 06º57 56,6 lintang selatan dan 107º53 23,2 bujur

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Curah hujan diukur setiap hari dengan interval pengukuran dua puluh empat jam dengan satuan mm/hari. Pengukuran curah hujan dilakukan oleh Automatic

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pengolahan data sekunder menggunakan hasil study screening dan laporan monitoring evaluasi BPDAS Brantas tahun 2009 2010. Analisis data dilakukan sejak bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Data curah hujan yang terekam pada alat di SPAS Cikadu diolah menjadi data kejadian hujan harian sebagai jumlah akumulasi curah hujan harian dengan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara, wilayah DAS Serayu, beberapa kabupaten yang masuk kedalam kawasan Daerah Tangkapan Air Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Januari 2012 di Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) Cikadu Kecamatan Arjasari Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut :

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut : BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut : 5.1 Kesimpulan 1. Sedimen pada Embung Tambakboyo dipengaruhi oleh erosi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C Kriteria yang digunakan dalam penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah adalah sebagai berikut: Bulan kering (BK): Bulan dengan C

Lebih terperinci

BAB III METODA ANALISIS

BAB III METODA ANALISIS BAB III METODA ANALISIS 3.1 Metodologi Penelitian Sungai Cirarab yang terletak di Kabupaten Tangerang memiliki panjang sungai sepanjang 20,9 kilometer. Sungai ini merupakan sungai tunggal (tidak mempunyai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Faktor Erosivitas Faktor erosivitas hujan yang didapatkan dari nilai rata rata curah hujan bulanan dari stasiun-stasiun hujan yang terdekat dengan lokasi penelitian.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DESKRIPSI WILAYAH STUDI. Kondisi DAS Citarum Propinsi Jawa Barat mempunyai beberapa sungai besar, antara lain Sungai Cisadane, Sungai Cimanuk, Sungai Citanduy, Sungai Cimandiri,

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR ANALISA KETERSEDIAAN AIR 3.1 UMUM Maksud dari kuliah ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologi suatu Wilayah Sungai yang yang berada dalam sauatu wilayah studi khususnya menyangkut ketersediaan airnya.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG V-1 BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG 5.1. Analisis Sedimen dengan Metode USLE Untuk memperkirakan laju sedimentasi pada DAS S. Grubugan digunakan metode Wischmeier dan Smith

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI Puji Harsanto 1, Jaza ul Ikhsan 2, Barep Alamsyah 3 1,2,3 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan,

Lebih terperinci

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT Jurnal Teknik Pertanian Lampung Vol.7, No. 1: 1-8 ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT ANALYSIS OF SURFACE RUNOFF COEFFICIENT ON VARIOUS

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sub DAS Cisadane Hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu merupakan bagian dari DAS Cisadane yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hilir, tengah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karateristik Daerah Penelitian 4.1.1. Topografi DAS Citarum hulu merupakan cekungan yang dikelilingi oleh beberapa pegunungan, dimana pada bagian utara terdapat pegunungan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi DAS Cipasauran IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Aliran Sungai Cipasauran secara geografis terletak pada 06 13 51-06 17 33 LS dan 105 49 50-105 56 40 BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. DAS Cipasauran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI Metode Mann-Kendall merupakan salah satu model statistik yang banyak digunakan dalam analisis perhitungan pola kecenderungan (trend) dari parameter alam

Lebih terperinci

ABSTRAK Faris Afif.O,

ABSTRAK Faris Afif.O, ABSTRAK Faris Afif.O, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, November 2014, Studi Perencanaan Bangunan Utama Embung Guworejo Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Dosen Pembimbing : Ir. Pudyono,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA Hendra Kurniawan 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memiliki Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang merupakan satu-satunya alat pendeteksi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Analisis Debit Banjir Di Sungai Tondano Berdasarkan Simulasi Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Email:tommy11091992@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis, adalah sebagai berikut :. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan

Lebih terperinci

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det DEBIT ANDALAN Debit Andalan (dependable discharge) : debit yang berhubungan dgn probabilitas atau nilai kemungkinan terjadinya. Merupakan debit yg kemungkinan terjadinya sama atau melampaui dari yg diharapkan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST); Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo. Sebagian besar Sub-sub DAS KST secara administratif

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA 4.1 Tinjauan Umum Dalam merencanakan normalisasi sungai, analisis yang penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diskripsi Lokasi Studi Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas areal potensial 1432 ha. Dengan sistem

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Analisis Debit DI Daerah Aliran Sungai Batanghari Propinsi Jambi (Tikno) 11 ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Sunu Tikno 1 INTISARI Ketersediaan data debit (aliran sungai)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tata Guna Lahan Tata guna lahan merupakan upaya dalam merencanakan penyebaran penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi

Lebih terperinci

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak 13 Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 1 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak TAHUN PERIODE JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 25 I 11 46 38 72 188 116 144 16 217

Lebih terperinci

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR 1 Rika Sri Amalia (rika.amalia92@gmail.com) 2 Budi Santosa (bsantosa@staff.gunadarma.ac.id) 1,2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

L A M P I R A N D A T A H A S I L A N A L I S I S

L A M P I R A N D A T A H A S I L A N A L I S I S L A M P I R A N D A T A H A S I L A N A L I S I S Lampiran 1. Data Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun BMG Karang Panjang, Ambon Tahun 1997-2006 Curah hujan (mm) bulan Total Rataan Tahun Jan Peb Mar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Tangkapan Hujan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan stasiun curah hujan Jalaluddin dan stasiun Pohu Bongomeme. Perhitungan curah hujan rata-rata aljabar. Hasil perhitungan secara lengkap

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN Analisis debit Sungai Cidanau dilakukan untuk mendapatkan ketersediaan air pada DAS Cidanau. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi pada jumlah air yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1 HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1 Hidayat Pawitan Laboratorium Hidrometeorologi Geomet IPB Jl. Raya Pajajaran, Bogor 16144 hpawitan@indo.net.id Abstrak Hidrologi DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off). BAB VII. EROSI DAN SEDIMENTASI A. Pendahuluan Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang erosi pada DAS, Nilai Indeks Erosivitas Hujan, Faktor Erodibilitas Tanah, Faktor Tanaman atau Faktor

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA

ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA ANALISA KETERSEDIAAN AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI BARITO HULU DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE NRECA Salmani (1), Fakhrurrazi (1), dan M. Wahyudi (2) (1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci