KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005"

Transkripsi

1 KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 A. Produk Domestik Bruto Pertanian Dua fenomena besar, yaitu krisis ekonomi dan El-nino, yang melanda Indonesia telah menimbulkan goncangan pada hampir semua sektor perekonomian, termasuk Sektor Pertanian. Fenomena tersebut telah menimbulkan pesimisme yang besar bagi pembangunan pertanian, namun seiring dengan upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan, keragaan Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan selama periode telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, secara agregat PDB pada seluruh subsektor pertanian meningkat dengan rata-rata 1,7 4,7 persen/tahun (Tabel 1). PDB Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan naik menjadi 2,88 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis ( ) yang hanya mencapai 0,44 persen, bahkan dibanding periode tahun (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1,97 persen. Subsektor Tanaman Bahan Makanan menunjukkan kinerja yang semakin baik, dimana laju pertumbuhannya naik 2,24 persen, bahkan pada tahun 2004 meningkat pesat menjadi 7,22 persen.. Hal yang sama juga terjadi pada Subsektor Perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi daripada periode sebelum krisis yang tumbuh sebesar 4,50 persen. Sedangkan Subsektor Peternakan pertumbuhannya masih dibawah periode sebelum krisis (4,69 persen/tahun) dan kurang stabil, namun terdapat kecenderungan yang semakin baik. Kondisi tersebut dipandang cukup baik mengingat selama masa krisis ekonomi ( ) Sektor Pertanian telah terperosok ke dalam perangkap spiral pertumbuhan rendah. Laju pertumbuhan Sektor Pertanian total pada masa krisis hanya tumbuh sebesar 0,40 persen/tahun, bahkan pada beberapa subsektor justru tumbuh negatif. Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami kontraksi luar biasa, yaitu tumbuh negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada tahun Selain jauh lebih mampu bertahan, kedua subsektor tersebut juga mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian, pertumbuhan kedua subsektor tersebut pada pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil. VI-212

2 Tabel 1. Tingkat (Rp milyar) dan Laju Pertumbuhan (%/Tahun) PDB Sektor Pertanian, Tahun Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Pertanian dan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian, Peternakan, Kehutanan,Perikanan Total PDB (1) (2) (3) (4) = (5) (6) (7) = (8) Rata-rata : Trend(%/th): ,71 4,37 4,69 1,97 2,39 5,08 2,31 7, ,99-3,30 2,10 0,44-17,64 14,39 0,40-4, ,24 4,50 4,67 2,88 1,68 4,95 3,20 4, ,35-3,64-1,98-1,51 1,70 4,78-0,41 5, ,52 9,85 8,36 4,13 2,29 4,83 4,08 3, ,91 5,67 5,63 2,60 1,97 4,09 2,76 4, ,88 6,30 4,32 3,18 0,11 4,04 3,07 4, ,22 2,00 5,09 5,77 2,33 7,88 5,82 5,62 VI-213

3 Tabel 2. Tingkat (Rp milyar) dan Proporsi (%) PDB Subsektor Pertanian Triwulanan, Sektor/Subsektor Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Total Pertanian Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Persentase PDB per sub sektor Sektor/Subsektor Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Triw. II Triw. III Triw. IV Total Triw. I Total Pertanian 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Tanaman Bahan Makanan 57,86 50,68 46,68 41,68 49,42 57,40 51,11 47,34 39,88 49,25 55,88 Perkebunan 10,40 15,07 20,24 17,03 15,71 10,29 14,99 19,90 18,00 15,78 10,81 Peternakan 12,80 12,14 11,60 14,30 12,64 12,56 12,08 11,59 15,04 12,71 13,23 Kehutanan 5,73 7,87 7,16 9,29 7,45 6,40 7,37 6,73 8,86 7,27 6,07 Perikanan 13,21 14,24 14,33 17,69 14,77 13,35 14,45 14,44 18,22 14,98 14,01 VI-214

4 Perbaikan kinerja pemulihan ekonomi tersebut juga terlihat dari indeks PDB Pertanian (Gambar 1), yang menunjukkan peningkatan secara konsisten sejak tahun 2000, dan mulai tahun 2003 Sektor Pertanian sedang menuju pertumbuhan berkelanjutan. Subsektor Pertanian dan Subsektor Peternakan telah terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah yang berlangsung selama periode tahun , dan pada tahun 2003 tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Perkembangan indeks PDB tersebut menunjukkan bahwa kedua subsektor tersebut adalah yang paling ringan terkena dampak krisis dan mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan Pertanian dan Peternakan Total Pertanian Total PDB Gambar 1. Indeks PDB sektor Pertanian pada Harga Konstan 2000 (1996 = 100) Sumber: BPS Bila dilihat dari struktur PDB masing-masing subsektor (Tabel 2), subsektor Tanaman Bahan Makanan masih memberikan sumbangan devisa yang paling tinggi diantara subsektor pertanian yang lain. Proporsi Subsektor Tanaman Bahan Makanan (TBM) ini masih berkisar % dari total sumbangan sektor pertanian. Pada triwulan I tahun 2005, proporsi subsektor TBM ini adalah 55,88 persen, turun dibandingkan periode yang sama pada tahun 2004 (57,40 persen). Penurunan tersebut sedikit banyak menggambarkan turunnya insentif dari usahatani tanaman pangan di tingkat lapangan. Semakin meningkat biaya VI-215

5 produksi dan rendahnya harga output karena panen raya merupakan penjelas yang dapat diterima terhadap penurunan pangsa subsektor tersebut. Sayangnya, kondisi yang semakin baik ini belum sepenuhnya stabil. Data statistik menunjukkan bahwa pada triwulan II tahun 2005 laju PDB Sektor Pertanian menurun. Pada triwulan II tahun 2005, laju PDB turun 1,63 persen bila dibandingkan dengan triwulan I tahun 2005 atau turun 0,96 persen dibanding periode yang sama pada tahun Namun demikian, secara agregat PDB sektor pertanian semester I tahun 2005 masih meningkat 0,33 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahunh B. Kesempatan Kerja Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan pengangguran kronis. Kebijakan yang paling superior untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor karena kebijakan tersebut mampu mengatasi defisit neraca pembayaran sekaligus mampu pula menurunkan pengangguran. Kebijakan ekspansif melalui peningkatan output justru akan menambah defisit neraca pembayaran dan sebaliknya kebijakan kontraktif akan gagal mengatasi pengangguran. Tingkat dan laju pengangguran di Indonesia cukup tinggi. Sebelum periode krisis ( ) rata-rata pengangguran terbuka adalah 4,2 juta orang dengan laju 16,84 persen, meningkat menjadi 5,5 juta orang dengan laju 17,20 persen pada saat krisis ( ) dan meningkat lagi menjadi 8,9 juta orang dengan laju 11,08 persen dalam masa pemulihan ( ) (Tabel 3). Peningkatan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia yang tinggi, selain disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang besar juga karena laju peningkatan angkatan kerja yang lebih besar dibanding kesempatan kerja yang tersedia. Pada periode , rata-rata jumlah angkatan kerja mencapai 87 juta orang meningkat menjadi 105 juta orang pada periode Pada periode sebelum krisis ( ), laju angkatan kerja per tahun 2,65 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 2,08 persen. Begitu juga pada periode dimana laju angkatan kerja per tahun 1,9 persen lebih besar dibanding laju kesempatan kerja yang hanya mencapai 1,1 persen. VI-216

6 Fenomena tidak berimbangnya antara laju kesempatan kerja dan angkatan kerja ini terlihat nyata pada tahun 2004 dan 2005 sehingga menyebabkan tingkat penganguran semakin tinggi. Tingkat partisipasi kerja pada tahun 2005 tumbuh positif sebesar 0,70 persen/tahun, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2004 yang justru turun sebesar 0,35 persen/tahun. Tingkat pengangguran terbuka naik sebesar 4,06 persen/tahun, selisih 1,03 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun Tabel 3. Perkembangan Kesempatan Kerja di Indonesia, (orang) Bekerja Pengangguran Total Angkatan Tahun Terbuka Kerja Rata-rata (orang) Trend (%/tahun): (3.60) Sumber : Keadaan Angkatan Kerja, BPS VI-217

7 Sebagai gambaran lebih rinci, sebaran penyerapan tenaga masing-masing sektor pembangunan dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tebel tersebut terlihat bahwa selama periode , sektor pertanian masih merupakan sektor dengan pangsa penyerapan tenaga kerja terbesar. Pangsa penyerapan sektor pertanian berkisar 45 persen dari total penduduk yang bekerja dengan laju pertumbuhan 1,01 persen/tahun.. Bila dibandingkan proporsi penyerapan tenaga kerja antara tahun 2004 dan 2005 terhadap total angkatan kerja terlihat bahwa pada tahun 2004 penyerapan tenaga kerja di pertanian proporsinya tumbuh negatif sebesar -5,66 persen/tahun, namun naik kembali pada tahun 2005 menjadi sebesar 2,97 persen/tahun.. Proporsi penyerapan tenaga kerja kedua terbesar adalah Sektor Perdagangan. Penyerapan di sektor ini sekitar 20 persen dari total penyerapan tenaga kerja. Sektor ini pada periode mampu tumbuh 2,29 persen per tahun, bahkan pada tahun 2004 (year on year) pertumbuhan tersebut mencapai 10,84 persen/tahun. Namun proporsi yang besar tersebut turun drastis pada tahun 2005, dimana sektor tersebut justru tumbuh negatif sebesar -1,16 persen/tahun. Belum kondusifnya iklim berusaha dan kondisi makroekonomi membuat sektor ini mengalami penurunan dalam menyerap tenaga kerja. Seiring dengan perbaikan ekonomi nasional, kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian meningkat cukup mengesankan yaitu dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis ( ) menjadi 41,08 juta orang, atau naik 1,19persen/ tahun pada masa pemulihan ( ) (Tabel 5). Peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa Sektor Pertanian sudah lepas dari cengkeraman krisis ekonomi sejak tahun Kemampuan penyerapan tenaga kerja Sektor Pertanian tersebut adalah sekitar 45 persen angkatan kerja nasional hanya berasal dari kegiatan Sektor Pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang sistem vertikal usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya diperhitungkan, maka kemampuan Sektor Pertanian tentu akan lebih besar lagi. Walaupun kemampuan Sektor Pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, di sisi lain justru menjadi beban bagi Sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian telah mengupayakan semaksimal mungkin untuk menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati VI-218

8 Tabel 4. Proporsi (%) dan Pertumbuhan (%/tahun) Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Utama 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 Proporsi (%) Growth (%/th) Lapangan Usaha Utama Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan ,01-5,66 2,97 2 Industri Pengolahan ,63-3,70 5,26 3 Bangunan ,42 11,97-2,71 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan ,29 10,84-1,16 4 Hotel 5 Angkutan Pergudangan dan Komunikasi ,03 10,95 1,31 Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan ,31-13,89-7,31 6 Bangunan, Rumah dan Jasa Perusahaan 7 Jasa Kemasyarakatan ,64 6,89 0,58 8 Lainnya* ,61 42,78-21,17 Total Angkatan Kerja ,12 0,98 1,31 VI-219

9 Tabel 5. Perkembangan Kesempatan Kerja Pertanian dan Nonpertanian di Indonesia, (orang) Tahun Bekerja Total Angkatan Pertanian Non Pertanian Kerja Rata-Rata (orang) Trend (5/tahun) (3.04) (0.75) (2.53) (2.29) (0.10) (2.44) (5.66) Sumber: Keadaan Angkatan Kerja, BPS oleh rumah tangga tani melalui program pengembangan sistem dan usaha agribisnis. C. Insiden Kemiskinan Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum adalah prevalensi jumlah penduduk miskin. Kemampuan negara berkembang seperti Indonesia untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara konsisten merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan karena kemiskinan, utamanya di wilayah VI-220

10 pedesaan, merupakan salah satu kendala utama dalam pengembangan Sektor Pertanian. Penduduk miskin di pedesaan terutama yang hidup di sektor Pertanian mempunyai kemampuan amat terbatas dalam permodalan dan pengetahuan teknologi pertanian sehingga kemampuan mereka dalam meningkatkan kapasitas produksi pertaniannya melalui pengembangan teknologi juga terbatas. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan, utamanya di wilayah pedesaan, merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan nasional. Pemerintahan Orde Baru telah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan menurun sangat signifikan yaitu dari 44,2 juta orang atau 40,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,3 persen atau 15,3 juta orang pada tahun 1996, sementara di wilayah perkotaan menurun dari 10,0 juta orang atau 38,8 persen pada tahun 1978 menjadi 7,2 juta orang atau 9,7 persen (Tabel 6). Secara absolut jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan hampir dua kali lipat dibanding jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada Sektor Pertanian, maka permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan Sektor Pertanian. Dengan kata lain, Sektor Pertanian amat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan Sektor Pertanian minimal akan banyak memberikan kontribusi pada penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Krisis multidimensi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar 32 juta orang atau 26 persen di pedesaan dan hampir 18 juta orang atau 22 persen di perkotaan. Namun pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi sekitar 25 juta orang atau 21,1 persen di pedesaan dan sekitar 13 juta orang atau 14,5 persen di perkotaan (Tabel 6). Walaupun secara absolut maupun relatif jumlah penduduk miskin masih lebih tinggi pada tahun 2002 dibanding tahun 1996 (sebelum krisis multidimensi), fakta penurunan insiden kemiskinan secara konsisten tersebut merupakan salah satu prestasi luar biasa pembangunan Indonesia pada periode pemulihan ekonomi. Penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan ini tidak terlepas dari pertumbuhan Sektor Pertanian yang cukup tinggi, utamanya subsektor Tanaman Bahan Makanan selama periode tersebut. VI-221

11 Tabel 6. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Persentase penduduk miskin Jumlah penduduk miskin (juta jiwa) Total Tahun Kota+ Kota Desa Kota Desa Kota+ Desa Pertanian Desa ,8 40,4 40,1 10,0 44,2 54, ,8 33,4 33,3 8,3 38,9 47, ,0 28,4 28,6 9,5 32,8 42, ,1 26,5 26,9 9,3 31,3 40, ,1 21,2 21,6 9,3 25,7 35, ,1 16,1 17,4 9,7 20,3 30, ,8 14,3 15,1 9,4 17,8 27, ,4 13,8 13,7 8,7 17,2 25, ,7 12,3 11,3 7,2 15,3 22, ),3) 13,6 19,9 17,7 9,6 24,9 34, ),2) 21,9 25,7 24,2 17,6 31,9 49, ),3) 19,5 26,1 23,5 15,7 32,7 48,4 26, ),4) 14,60 22,38 19,14 12,3 26,4 38,7 20, ) 9,79 24,84 18,41 8,6 29,3 37,9 23, ) 14,46 21,10 18,20 13,3 25,1 38,4 20, ) ) ) Sumber : BPS (2002) 1) Berdasarkan standar kemiskinan tahun ) Susenas, Desember ) Susenas reguler Februari, tanpa Timor-Timur 4) Susenas 2000, tanpa NAD dan Maluku 5) Pengumuman Pers BPS. Berdasarkan data prevalensi kemiskinan dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun kesejahteraan penduduk pedesaan dan perkotaan jauh lebih baik daripada periode (masa krisis), dan sudah mendekati keadaan tahun Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, adalah pertumbuhan Sektor Pertanian. Salah satu studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan Sektor Pertanian dalam menurunkan total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penu-runan signifikan jumlah penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor Pertanian. Selain itu, bukti yang lebih kuat tentang peningkatan kesejahteraan petani adalah menurunnya jumlah absolut anggota rumah tangga tani yang masih hidup dalam kemiskinan yaitu dari 26 juta orang pada tahun 1999 menjadi 20,6 juta VI-222

12 orang pada tahun 2002 (Tabel 6). Walaupun tidak dapat ditunjukkan dengan angka spesifik, jika melihat peningkatan secara signifikan laju pertumbuhan Sektor Pertanian pada tahun 2003, maka dapat dipastikan bahwa jumlah anggota rumah tangga tani yang masih miskin pada tahun 2003 jauh lebih kecil daripada tahun Dengan demikian, pembangunan yang dilaksanakan selama periode tahun telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan. Pendataan rumah tangga miskin secara nasional pada tahun 2005 oleh BPS sampai dengan 15 September 2005 baru mencapai 90% atau rumah tangga miskin yang terdata sebanyak Rumah Tangga Miskin (RTM) dari Satuan Lingkungan Setempat (SLS). Jumlah rumah tangga miskin tersebut mengalami peningkatan secara nasional dibandingkan pada tahun Penduduk miskin pada tahun 2004 sebanyak 36,1 juta jiwa atau sekitar 9 juta RTM (Tabel 6). BPS memperkirakan bahwa sampai selesai pendataan, jumlah RTM secara nasional pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 15,5 juta atau sekitar 62 juta jiwa. Namun jumlah ini bukan berarti penduduk miskin melonjak tajam. Perkiraan jumlah tersebut lebih besar karena data lama tidak memasukkan penduduk sangat miskin dan mendekati miskin. Penghitungan kemiskinan sekarang ini menggunakan pendekatan moneter atau pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan dasar. Ada tiga kategori rumah tangga miskin, yaitu : (1) kategori sangat miskin dengan kemampuan minimum mengkonsumsi pangan sama atau kurang dari kalori/orang/hari dan pengeluaran nonmakanan (PNM) senilai Rp ,00/orang/bulan; (2) kategori miskin dengan konsumsi pangan kalori/orang/hari dan PNM setara Rp ,00/orang/bulan; dan (3) kategori mendekati miskin dengan konsumsi pangan kalori/orang/hari dan PNM setara Rp ,00/orang/bulan. Tentang kategori rumah tangga, asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap rumah tangga miskin rata-rata memiliki empat anggota rumah tangga. Dengan demikian maka pengeluaran rumah tangga sangat miskin adalah sebesar 4 x Rp atau Rp /orang/bulan. Cara penghitungan yang sama juga berlaku pada kategori rumah tangga miskin dan mendekati miskin. Kategori miskin dan mendekati miskin ini dimasukkan dalam penghitungan agar pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penduduk miskin tidak terjun menjadi semakin miskin. Prediksi membengkaknya jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 mudah dipahami karena ketidakpastian ekonomi, seperti kenaikan harga BBM VI-223

13 yang akan membuat masyarakat yang berada dalam kategori miskin tersebut terpuruk ke dalam kategori miskin absolut, yaitu kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Jika rencana pemerintah menaikkan harga BBM akhir tahun ini jadi dilaksanakan, maka bisa menimbulkan masalah krusial dan bumerang bagi upaya penanggulangan kemiskinan. D. Nilai Tukar Petani Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu rasio antara indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, berarti semakin sejahtera tingkat kehidupan petani. Pada periode sebelum krisis multidimensi ( ), NTP nasional mencapai rata rata 106,08 dengan pertumbuhan sebesar 0,95 persen per tahun. Selama periode krisis ( ), NTP mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 2,60 persen, sedangkan pada masa pemulihan krisis naik kembali sebesar 2,90 persen. Pertumbuhan NTP pada tahun terus membaik secara konsisten hingga mencapai pertumbuhan 6,80 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar, yang melebihi pertumbuhan sebelum masa krisis. Walaupun secara nominal rata- rata NTP meningkat pada tahun 2004 hingga mencapai 119,19 laju pertumbuhannya menurun dari 6,80 persen menjadi 4,32 persen. Penurunan drastis terjadi pada periode Januari Mei 2005, yaitu dari 119,19 menjadi atau turun sekitar 16,81 persen (Tabel 7). Namun patut dicatat bahwa perbaikan NTP tersebut tidak merata antar wilayah. Perbaikan NTP lebih awal dan lebih cepat di Jawa daripada di luar Jawa. Di pulau Jawa, perbaikan NTP mulai terjadi pada tahun 2001 dengan laju rata-rata 5,07 persen per tahun selama periode tahun Sedangkan di luar Jawa perbaikan NTP baru terjadi pada tahun 2002 dengan laju rata-rata 0,20 persen per tahun pada periode yang sama. Ini berarti bahwa perbaikan tingkat kesejahteraan petani di Jawa terjai lebih awal dan lebih besar daripada di luar Jawa. Pada tahun 2004, NTP di Jawa secara nominal terus meningkat walaupun tidak sebesar pada tahun sebelumnya. Pada tahun tersebut NTP di Jawa hanya tumbuh 1,51 persen. Di luar Jawa, pertumbuhan NTP sejak 2002 terus dipertahankan hingga pada tahun Pertumbuhan NTP tertinggi di Jawa dan luar Jawa masing-masing adalah 108,86 persen dan 7,86 persen. VI-224

14 Pada tahun 2005, gejolak perekonomian yang ditandai dengan melonjaknya harga minyak dunia yang berdampak terhadap jalannya roda ekonomi nasional menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun. Hingga bulan Mei 2005, NTP di Jawa turun 19,86 persen yaitu dari 129,52 pada tahun 2004 menjadi 103,80. Di Luar Jawa, tekanan ekonomi sejak awal 2005 hingga bulan Mei menyebabkan NTP menurun tajam dari pertumbuhan tertinggi sejak krisis sebesar 7,86 persen menjadi persen. Tabel 7. Perkembangan Nilai Tukar Petani (1993 = 100). Tahun Jawa Luar Jawa Indonesia ,00 100,00 100, ,19 103,93 106, ,75 108,44 110, ,46 99,76 106, ,24 102,01 108, ,14 99,96 106, ,28 91,97 98, ,02 89,85 96, ,81 85,85 99, ,74 88,01 103, Rata-rata: ,33 102,83 106, ,21 95,96 102, ,63 89,39 102, Trend (%/tahun) ,35-0,52 0, ,09-5,18-4, ,07 0,20 2, ,19-2,31-1, ,45-4,45 2, ,26 2,51 4, ,92 6,65 6, Sumber : BPS. Keterangan : Tahun 2005 sampai dengan bulan Mei. VI-225

15 E. Efektifitas Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah Efektifitas kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dapat dilihat dari dampaknya terhadap harga jual gabah di tingkat petani, yaitu apakah harga jual gabah petani meningkat, tidak jatuh pada saat musim panen raya dan stabil sepanjang tahun. Hasil-hasil analisis adalah sebagai berikut 1 : 1. HPP atau harga dasar gabah dalam jangka panjang (menggunakan data tahunan) dapat meningkatkan harga jual gabah petani dengan elastisitas 0,787 yang artinya setiap HPP atau harga dasar naik 10% maka harga jual gabah petani akan naik 7,87%. 2. Selama bulan Januari sampai dengan Juni 2005, harga jual aktual GKP petani berkisar antara Rp 1.393/kg sampai dengan Rp 1.473/kg atau rata-rata Rp 1.433/kg (Tabel 8). Harga aktual tersebut berada di sekitar 4,77 10,81% atau rata-rata 7,74% di atas HPP. Harga aktual paling rendah yang terjadi pada musim panen raya (April-Mei) masih berada 4,77 4,79% di atas HPP. Ini berarti bahwa HPP pada tahun 2005 sangat efektif untuk mencegah turunnya harga aktual gabah petani pada saat panen raya. 3. Koefisien variasi harga gabah petani selama Januari Juni 2005 adalah 2,21% (Tabel 8). Ini berarti bahwa kebijakan HPP berhasil menjaga stabilitas harga jual gabah petani. Tabel 8. Efektifitas HPP Gabah Januari Juni Bulan Harga Petani HPP Efektifitas (Rp/kg) (Rp/kg) (%) Januari 1.433, ,76 Februari 1.473, ,81 Maret 1.435, ,94 April 1.393, ,79 Mei 1.393, ,77 Juni 1.468, ,40 Rataan 1.432, ,74 STDEV 31, CV(%) 2, Sumber : BPS, diolah. 1 Prajogo U. Hadi Evaluasi Kebijakan Harga Dasar Gabah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. VI-226

16 Dalam jangka yang sangat pendek (bulanan), harga jual gabah petani ternyata dipengaruhi secara positif oleh harga beras di tingkat grosir dan secara negatif oleh luas areal panen padi dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,409 dan 0,021. Artinya, setiap kenaikan (atau penurunan) harga beras di tingkat grosir 10% akan meningkatkan (atau menurunkan) harga gabah petani 4,09%, dan setiap kenaikan (atau penurunan) luas areal panen padi 10% harga jual gabah di tingkat petani akan turun (atau naik) 0,21% (ceteris paribus). Jika pada saat yang bersamaan harga beras di tingkat grosir turun (mungkin karena penurunan harga beras di pasar dunia dalam rupiah, meningkatnya impor beras atau meningkatnya pasokan dari produksi dalam negeri) dan luas areal panen padi meningkat, maka harga jual gabah di tingkat petani akan menurun lebih cepat. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin meningkatkan harga gabah petani guna memperbaiki tingkat pendapatan petani dan produksi beras nasional, maka HPP atau harga dasar gabah harus naik setiap tahunnya yang disertai dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir yaitu pengendalian impor beras dengan instrumen pengenaan tarif impor yang selama ini sebesar Rp 430/kg dan pengaturan impor. Ketentuan tentang importasi beras, sebagaimana yang tertuang dalam SK Memperindag No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras, adalah sebagai berikut : Impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP Beras) dan importir yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras). Impor beras dilarang dalam masa 1 bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya (ditetapkan oleh Menteri Pertanian), dengan kata lain, impor beras hanya boleh dilakukan diluar masa-masa yang telah ditetapkan tersebut. Pelaksanaan importasi beras oleh IT beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan sesuai dengan persetujuan impor yang diberikan oleh Dirjen perdagangan Luar Negeri. Beras yang diimpor oleh IP Beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan atau dipindahtangankan. VI-227

17 Hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tarif dan pengaturan impor tersebut secara simultan berhasil mencegah turunnya harga beras di tingkat grosir sebesar 21,65% dan mencegah naiknya volume impor beras sebesar 2,3 juta ton 2. Upaya-upaya lain yang perlu ditempuh adalah : (1) mencegah terjadinya impor ilegal, baik yang tanpa dokumen maupun yang menggunakan dokumen palsu (pada tahun 2003 jumlah impor ilegal beras mencapai sekitar 1,63 juta ton 2 ); dan (2) BULOG perlu lebih mengutamakan melakukan pembelian beras dari dalam negeri pada saat panen raya dengan harga pembelian pemerintah (untuk gabah dan beras) dengan jumlah yang memadai untuk menyerap kelebihan produksi. D:\data\data\Anjak-2005\Kinerja Mikro Pemb. 2 Prajogo U. Hadi et al Strategi dan Kebijakan Perdagangan Pertanian Pasca AoA-WTO. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. VI-228

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

DINAMIKA INDIKATOR EKONOMI MAKRO SEKTOR PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

DINAMIKA INDIKATOR EKONOMI MAKRO SEKTOR PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI DINAMIKA INDIKATOR EKONOMI MAKRO SEKTOR PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian PENDAHULUAN Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 Oleh : Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc Rektor dan Senat Guru Besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 11/02/73/Th. VIII, 5 Februari 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN IV 2013 BERKONTRAKSI SEBESAR 3,99 PERSEN Kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan IV tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan besar untuk menggerakkan roda perekonomian. Pada saat usaha besar tidak mampu mempertahankan eksistensinya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah negara. Peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan makanan utama merupakan peran strategis terkait

Lebih terperinci

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No.24/05/33/Th.IV, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2010 PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun 2010 meningkat sebesar 6,5 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN PERIODE TAHUN

LAPORAN AKHIR ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN PERIODE TAHUN LAPORAN AKHIR ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN PERIODE TAHUN 2000 2004 Oleh: Nizwar Syafa at Supena Friyatno Armen Zulham Achmad Djauhari M. Suryadi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06/05/33/Th.III, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2009 PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN I TH 2009 TUMBUH 5,5 PERSEN PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH Dilihat dari segi kandungan proteksi dan kemampuan untuk mengefektifkannya, harga dasar gabah pembelian pemerintah (HDPP) yang

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 50/08/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2009 Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011 No. 43/08/63/Th XV, 05 Agustus 20 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-20 Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II-20 tumbuh sebesar 5,74 persen jika dibandingkan triwulan I-20 (q to q)

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN No. 026/08/63/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2009 terhadap triwulan I-2009 (q to q) mencapai angka 16,68 persen. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007 KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007 Ringkasan Kemungkinan kembali Ke Kebijakan Harga Dasar Gabah (HGD) 1. Kebijakan Kebijakan Harga Pembelian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06 /11/33/Th.I, 15 Nopember 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN III TH 2007 TUMBUH 0,7 PERSEN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008 BADAN PUSAT STATISTIK No.43/08/Th. XI, 14 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II- Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014 BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Periode RPJMD Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2013 beserta semua capaian kinerjanya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 27 / VIII / 16 Mei 2005 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PDB INDONESIA TRIWULAN I TAHUN 2005 TUMBUH 2,84 PERSEN PDB Indonesia pada triwulan I tahun 2005 meningkat sebesar 2,84 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012 No. 09/02/91/Th. VII, 05 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012 Ekonomi Papua Barat tahun 2012 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 15,84

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/05/72/Thn XIV, 25 Mei 2011 PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2011 MENGALAMI KONTRAKSI/TUMBUH MINUS 3,71 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003 No. 12/VII/16 Februari 2004 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2003 PDB INDONESIA TAHUN 2003 TUMBUH 4,10 PERSEN! PDB Indonesia selama tahun 2003 meningkat sebesar 4,10 persen dibandingkan tahun 2002.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN 2010 No. 46/11/51/Th. IV, 5 Nopember PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN III TAHUN PDRB Provinsi Bali I meningkat sebesar 2,65 persen dibanding triwulan sebelumnya (q-to-q). Peningkatan terjadi di hampir semua

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 16/02/Th. XVII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2013 MENCAPAI 5,78 PERSEN Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2013 tumbuh sebesar 5,78

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara No. 063/11/63/Th.XVII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2013 Secara umum pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan triwulan III-2013 terjadi perlambatan. Kontribusi terbesar

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011 TUMBUH 6,5 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 55/08/Th. XVI, 2 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013 TUMBUH 5,81 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06 /11/33/Th.II, 17 Nopember 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN III TH 2008 TUMBUH 1,1 PERSEN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/08/33/Th.III, 10 Agustus 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN II TH 2009 TUMBUH 1,8 PERSEN Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran

Lebih terperinci

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. No. 064/11/63/Th.XVIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2014 Perekonomian Kalimantan Selatan pada triwulan III-2014 tumbuh sebesar 6,19 persen, lebih lambat dibandingkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 No. 40/08/36/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 PDRB Banten triwulan II tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) mengalami pertumbuhan sebesar 2,17 persen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Musyawarah perencanaan pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan pembangunan pertanian periode 2005 2009 dilaksanakan melalui tiga program yaitu :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN BPS PROVINSI MALUKU No. 01/05/81/Th.XV, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN PDRB Maluku pada triwulan IV tahun 2013 bertumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 23/05/61/Th. XIII, 10 Mei 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN I TAHUN 2010 Kinerja perekonomian Kalimantan Barat pada triwulan I-2010 dibandingkan triwulan IV-2009,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian memegang peranan penting dalam tatanan pembangunan nasional. Peran yang diberikan sektor pertanian antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam. Letaknya yang secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa menjadikan Indonesia memiliki iklim tropis yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 No. 63/08/Th. XVII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2014 TUMBUH 5,12 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/08/31/Th.IX, 15 AGUSTUS 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 06/05/33/Th.II, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2008 PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN I TH 2008 TUMBUH 5,2 PERSEN PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun 2008 meningkat sebesar

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 49/08/73/Th. IX, 5 Agustus 2015 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015 TUMBUH 7,62 PERSEN MENINGKAT DIBANDING TRIWULAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/05/18/Th.XIV, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN I TAHUN 2014 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,28 PERSEN Dalam menyusun rencana pembangunan ekonomi dibutuhkan informasi

Lebih terperinci

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan PIDATO MENTERI PERTANIAN Pada Pertemuan dengan Harian The Jakarta Post Tanggal 10 Agustus 2004 SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014 No. 048/08/63/Th XVIII, 5Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II- tumbuh sebesar 12,95% dibanding triwulan sebelumnya (q to q) dan apabila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di segala bidang merupakan arah dan tujuan kebijakan pemerintah Indonesia. Hakikatnya sosial dari pembangunan itu sendiri adalah upaya peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 12/02/Th. XIII, 10 Februari 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2009 MENCAPAI 4,5 PERSEN Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 meningkat sebesar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci