PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM. Oleh : RADJAB TAMPUBOLON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM. Oleh : RADJAB TAMPUBOLON"

Transkripsi

1 PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM Oleh : RADJAB TAMPUBOLON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Bogor, September 2007 Radjab Tampubolon P

3 ABSTRAK RADJAB TAMPUBOLON. Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Dibimbing oleh BUNASOR SANIM (Ketua Komisi), M. SRI SAENI dan RIZALDI BOER (Anggota Komisi). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganialisis perubahan tutupan lahan, perubahan karakteristik hidrologis dan pengaruhnya terhadap nilai ekonomi sumberdaya air bagi pengguna jasa lingkungan (PLTA dan PDAM). Penelitian dilakukan selama tahun 2006 di DAS Citarum Wilayah Hulu meliputi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur dengan luas 486,237 ha. Aktor-aktor ekonomi yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur serta PDAM Purwakarta (Tirta Dharma) dan PDAM DKI Jakarta (PT. Thames Jaya) di DAS Citarum Wilayah Hilir sebagai pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) DAS Citarum. Metode dan tehnik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analysis supervised classification untuk mengetahui perubahan tutupan lahan, model GR4J untuk menduga debit, volume air dan sedimentasi, analisis kimia air dan replacement cost sebagai tehnik valuasi ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode telah terjadi penurunan tutupan lahan hutan (pohon) dengan laju 2.23 % ( ha) per tahun. Penurunan luas tutupan lahan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya, yang tumbuh 9.81 % ( ha) per tahun. Perubahan tutupan lahan tersebut menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu berupa penurunan debit air masuk lokal (DAML) dengan laju 1.49% (3.14 m 3 /dt) dan volume air masuk lokal (VAML) dan 4.20% ( juta m 3 ), peningkatan rasio Q max-min 5.99% (rata-rata ), peningkatan laju sedimentasi rata-rata juta m juta m 3 (total 3 waduk) setiap tahun yang membahayakan terutama Waduk Saguling dan Cirata, dan penurunan kualitas kimiawi air di Sungai Citarum. Perubahan tutupan lahan dan karakteristik hidrologis tersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi ( keuntungan yang hilang ) bagi PLTA dan PDAM. Besarnya keuntungan yang hilang akibat penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu bagi PLTA adalah sebesar Rp /MWh energi listrik atau Rp /m 3 air yang digunakan PLTA, sedangkan bagi PDAM adalah Rp /m 3 (PDAM Purwakarta) Rp /m 3 (PDAM DKI Jakarta). Berkaitan dengan besarnya kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap PLTA dan PDAM maka upaya pengendalian pemanfaatan (tataguna) lahan dan tindakantindakan konservasi sangat diperlukan dengan tetap mempertahankan luas minimal hutan. Keuntungan yang hilang tersebut dapat digunakan sebagai investasi lingkungan untuk perbaikan kualitas lingkungan (replacement cost) di DAS Citarum Wilayah Hulu.

4 ABSTRACT RADJAB TAMPUBOLON. The Effect of Environmental Quality on Externality Cost of Citarum Water Users. Under the supervision of BUNASOR SANIM (Chair), M. SRI SAENI and RIZALDI BOER (Committee Members). The objectives of this research were to analyze land cover changes, changes in hydrological characteristics and their effects on the economic value of water resources affecting the environmental services beneficiaries (Hydroelectric Power Plant, HEPP and Drinking Water Companies, DWC). This research was conducted in 2006 in the upper Citarum River Basin, including the Saguling, Cirata, and Jatiluhur catchments, covering the total area of 486,237 ha. The economic actors under this study included Saguling HEPP, Cirata HEPP, and Jatiluhur HEPP as well as Tirta Darma DWC (Purwakarta) and PT Thames Jaya DWC (Jakarta) in the downstream of Citarum River Basin as the beneficiaries of environmental services of Citarum River Basin. The method employed in this study was the supervised classification analysis, model GR4-J, to relate the effects of land cover changes on water discharge, water volume, and sedimentation, water chemistry, and the replacement cost method for economic valuation of environmental services among the beneficiaries (HEPP, DWC). The results of this study showed that during the 1992 to 2003 period there has been a reduction of forest (tree) cover at the rate of 2.23% ( ha annually. The reduction of forest cover was mainly caused by an increase in the land clearing for settlement, and other social facilities which grew at the rate of 9.81% (2404,5 ha) annually. This land use change has caused changes in hydrological characteristics of the upper Citarum River Basin as demonstrated by the reduction of local water discharge as high as 1.49% (3.14 m 3 /sec) and the volume of local water input as high as 4.20% ( m 3 ), the increase of Q max /Q min as high as 5.99% (at the average of ), the increase in sediment yield as high as to million m 3 annually (for the three dams) and thus threatening (especially) the Saguling and Cirata dams, as well as the decrease in the chemical water quality of Citarum River. The changes in land use and hydrological characteristics has caused an economic loss (opportunity cost) among the HEPPs and DWCs. The amount of the opportunity cost due to environmental degradation of Upper Citarum River Basin suffered by the HEPPs was as high as Rp 7,645/Mwh electricity or Rp /m 3 water used by HEPP), and Rp /m 3 (Purwakarta DWC) Rp /m 3 (Jakarta DWC). Because of the significant economic loss caused by environmental degradation of the upper Citarum River Basin on HEPP and DWC, the efforts for controlling land use allocation and soil conservation deem very necessary, by assigning permanent forest cover area. The amount as reflected by opportunity cost could be used as environmental investment for improving environmental quality (replacement cost) in the upper Citarum River Basin.

5 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-Undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM Oleh : RADJAB TAMPUBOLON Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi : Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Nama Mahasiswa : Radjab Tampubolon Nrp : P Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menyetujui: Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc. Ketua Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. H. M. Sri Saeni, MS Anggota Mengetahui: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Plh Ketua, Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan, Dr. Ir. Etty Riani, MS Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal : 6 September 2007

8 RIWAYAT HIDUP Radjab Tampubolon adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari Ayahanda H. Dja Pardamean Tampubolon dan Ibunda Hj. Djamilah Harahap. Dilahirkan di Sidapdap, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Oktober Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Tapanuli Selatan dan SMA Negeri 2 di Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 1981 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Program Perintis II (PP-II) dan pada tahun 1982 menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dengan Jurusan Manajemen Hutan. Pendidikan S-1 Fakultas Kehutanan diselesaikan pada tahun 1985 dengan penelitian Pengaruh Blue Stained Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Ramin (Gonystilus bancanus, Kurz) di Inhutani III, Sampit Kalimantan Tengah. Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Hj. Pipih Pujiastuti, BSc dan dikaruniai 3 putra yaitu Abdul Manan Tampubolon (22 th), Bahroin Idris Tampubolon (19 th), dan Choirul Sabat Tampubolon (16 th). Pada saat ini penulis adalah Direktur Utama PT. Dalla Billa Sejati, Bogor, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bogor dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor serta aktif menjadi pembina beberapa asosiasi dunia usaha di Kota Bogor. Tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana IPB bidang Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan pada tahun 2002 melanjutkan ke jenjang S-3 pada program yang sama dengan spesialisasi Kebijakan Lingkungan (ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan) melalui Program Langsung (continual improvement). Pada tanggal 6 September 2007, penulis berhasil menyelesaikan studi Program S-3 dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Terima kasih. Penulis

9 KATA PENGANTAR Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Muhammad Sri Saeni, MS dan Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan teramat penting dalam menyusun karya tulis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada manajemen UBP. Saguling, UP. Cirata, PJT-II (PLTA Jatiluhur), PDAM Tirta Dharma Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, BBSDL, Balai Tanah, Balai Agroklimat, Walikota Bogor, KPU Kota Bogor, KADIN Kota Bogor dan PT. Dalla Billa Sejati serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungannya baik moril maupun materil. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada masa yang akan datang. Bogor, September 2007 Radjab Tampubolon

10 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SINGKATAN... Halaman i ii iii vii x xiii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Pendekatan Ekosistem Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Novelty (Kebaruan) Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air Kerusakan Ekosistem DAS Pencemaran Air Sedimentasi Jasa Lingkungan DAS Selain Air Keanekaragaman Hayati Sekuestrasi Karbon Rekreasi dan Penelitian Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Konsep Valuasi Ekonomi Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Pendekatan Kurva Permintaan iii

11 Pendekatan Non Kurva Permintaan Pendekatan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan DAS Berkaitan Kepemilikan Sumberdaya Air Berkaitan Kualitas Air Review Penelitian Terdahulu KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN SWP DAS Citarum Perum Jasa Tirta II Jatiluhur Latar Belakang Pembentukan Perum Jasa Tirta II Daerah Kerja Perusahaan Maksud, Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan Tugas Pokok dan Lapangan Usaha Arah Pengembangan Perusahaan Unit Bisnis Pembangkitan Saguling Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling PLTA Saguling Unit Pembangkitan Cirata Latar Belakang Tahap Pelaksanaan Kegiatan Usaha Organisasi Dampak Pembangunan PLTA Cirata Pengelolaan PLTA Cirata PDAM Tirta Dharma Letak Daerah dan Topografi Iklim Daerah Kependudukan Visi dan Misi PDAM PDAM Tirta Dharma PT. Thames PAM Jaya Empat Kepedulian TPJ Penggabungan Thames Water dan RWE PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN Latar Belakang Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Metode Analisis Perubahan Tutupan Lahan Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Tutupan Lahan Simpulan iv

12 5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN Latar Belakang Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS Analisis Perubahan Debit dan Volume pada Dua Sistem Penggunaan Lahan Pendugaan Sedimentasi Hasil dan Pembahasan Sifat Hujan Dan Hubungan Dengan DAML dan VAML Karakteristik Air Keluar Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Tutupan Lahan Dengan Simulasi GR4J Volume Sedimen Simpulan PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR Latar Belakang Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air Simpulan PERUBAHAN PRODUKSI Latar Belakang Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi Produksi Energi Listrik Produksi Air Minum Simpulan ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN Latar Belakang Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Metode Bahan Metode Perhitungan Biaya Marjinal Lingkungan Metode AdPerhitungan A Kesediaan Membayar Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan v

13 Potensi Kerugian Ekonomi PLTA Kerugian Ekonomi PDAM Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu Karakteristik Responden Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan Simpulan PEMBAHASAN UMUM Perubahan Tutupan Lahan dan Karakteristik Hidrologis Perubahan Tutupan Lahan dan Curah Hujan Perubahan Tutupan Lahan, Debit dan Volume Perubahan Tutupan Lahan, Kualitas Air dan Sedimentasi Perubahan Karakteristik Hidrologis, Produksi PLTA dan PDAM dan Biaya Marjinal Lingkungan Perubahan Produksi Energi Oleh Listrik PLTA Produksi Air Minum PDAM 190 Biaya Marjinal Lingkungan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA vi

14 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling Kapasitas per unit PLTA Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun Kondisi sekilas PT Thames PAM Jaya (2002) Komposisi tutupan lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan Laju perubahan tutupan lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu Matriks perubahan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari tahun Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode Keragaman DAML harian di DAS Citarum Wilayah Hulu 106 Pada periode Uji-t pengaruh curah hujan terhadap DAML harian periode Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu ( ) Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan Rasio Qmax-min ( ) vii

15 21. Keragaman DAK Harian di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA ( ) Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur Frekuensi terjadinya DMA kritis Parameter model hasil validasi berdasarkan data sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi sub DAS Saguling Dan DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling Wilayah Hulu Perkembangan volume sedimen 3 Waduk Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu Volume sedimen hasil simulasi Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM Perubahan kualitas air Waduk Saguling Perubahan kualitas air Waduk Cirata Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Tirta Dharma Purwakarta Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Thames PAM Jaya Jakarta Baku mutu kualitas air berdasarkan air berdasarkan PP Nomor 82 Tahun Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode antara tahun Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur ( ) Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA viii

16 46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun Biaya pemeliharaan WTP Ubrug (PDAM Tirta Dharma) Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun Sidik ragam (Anova) penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya Neraca Kebutuhan Air DAS Citarum Hasil Analisa Logit WTP ix

17 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Kerangka pemikiran (Pendekatan Ekosistem) Identifikasi aktor-aktor ekonomi Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum Sistem hidrologi dan sumberdaya air Struktur Model GR4J Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas lingkungan Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda Kurva marginal WTP (CV dan EV) PLTA dan PDAM pada kondisi lingkungan tahun 1992, 1997 dan Peta lokasi penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum) Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata Diagram alir analisis perubahan penutupan lahan (tataguna lahan) Peta tutupan lahan DAS Citarum Peta tutupan lahan DAS Citarum Grafik perubahan tutupan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode Keragaman DAML di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun Hubungan CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Saguling x

18 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Cirata Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Jatiluhur Grafik rasio Qmax-min tahun Keragaman DAK Harian di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Saguling Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Cirata Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Jatiluhur Grafik DMA bulanan rata-rata pada musim kemarau dan musim hujan di ketiga waduk Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan Hubungan DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 dan Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 QP03) Perkembangan volume sedimen waduk tahun Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman (3 waduk) dengan volume sedimen hasil simulasi (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, ) berdasarkan tahun inisial Rata-rata produksi listrik Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tahun Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil Simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan Hubungan PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil Simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan Rata-rata volume air bersih PDAM Purwakarta xi

19 40. Rata-rata volume air minum PT. Thames Jaya Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan Biaya marginal lingkungan 3 PLTA Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 dan xii

20 DAFTAR SINGKATAN 1. ADB : Asian Development Bank 2. AJI : Activities Jointly Implementation 3. BML : Biaya Marjinal Lingkungan 4. BOD : Biological Oxygen Demand 5. CDM : Clean Development Mechanism 6. CEMAGREF : Di Indonesia: Balai Penelitian Mekanisasi Pertanian 7. CER : Certified Emission Reduction 8. COD : Chemical Oxygen Demand 9. CoP : Conference of Parties 10. CV : Compensation Variation 11. CVM : Contingent Valuation Method 12. DAK : Debit Air Keluar 13. DAML : Debit Air Masuk Lokal 14. DAS : Daerah Aliran Sungai 15. DCC : Dam Control Center 16. DKI : Daerah Khusus Ibukota Jakarta JAKARTA 17. DMA : Duga Muka Air 18. DO : Dissolved Oxygen 19. DTA : Daerah Tangkapan Air 20. ENSO : El Nino and Shoutern Occeeation 21. ETM : Enhanced Thematic Mapper 22. ETP : Evapo tranpirasi Potensial 23. EV : Equivalent Variation 24. FAO : Food and Agriculture Organization 25. FMIPA : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 26. GITET : Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 27. GR4J : Genie Rural 4 (parameter) Journalier 28. Gwh : Giga watt hour 29. IBRD : International Bank for Reconstruction and Development xiii

21 30. IPB : Institut Pertanian Bogor 31. ITB : Institut Teknologi Bandung 32. JI : Jointly Implementation 33. KK : Kepala Keluarga 34. KPH : Kesatuan Pemangkuan Hutan 35. KPP : Kantor Pelayanan Pelanggan 36. KWh : Kilo Watt hour 37. Litbang : Penelitian dan Pengembangan 38. LS, BT : Lintang Selatan, Bujur Timur 39. LULUF : Land Use and Land Use Change and Foresty 40. MCK : Mandi, Cuci, Kakus 41. MWh : Mega Watt hour 42. NET : Nilai Ekonomi Total 43. NRM : National Resource Management 44. OECF : Overseas Economic Cooperation and Fund 45. PAM : Perusahaan Air Minum 46. PAS : Prior Appropriation System 47. PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum 48. PJB : Pembangkit Jawa Bali 49. PJT II : Perusahaan Umum Jasa Tirta II 50. PLN : Perusahaan Listrik Negara 51. PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air 52. POJ : Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur 53. PPSDA LP UNPAD : Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran 54. RMU : Remove Unit 55. RS : Riparian System 56. SD : Sekolah Dasar 57. SDM : Sumberdaya Manusia 58. SUTET : Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 59. SWC : Standard Water Convertion 60. SWP : Satuan Wilayah Pengelolaan xiv

22 61. SWS : Satuan Wilayah Sungai 62. TEV : Total Economic Value 63. TPJ : Thames PAM Jaya 64. UBP : Unit Bisnis Pembangkitan 65. UNDP : United Nation For Development and Programm 66. UPC : Unit Pembangkit Cirata 67. VAK : Volume Air Keluar 68. VAML : Volume Air MAsuk Lokal 69. WALHI : Wahana Lingkungan Hidup 70. WTA : Willingness to Accept 71. WTP : Willingness to Pay xv

23 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum DS memiliki luas total 1,348 juta ha ( km²) merupakan 48% dari luasan Jawa Barat (Departemen Kehutanan, 1990) dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk, di dalamnya mengalir sungai Citarum dengan panjang 300 km (mulai dari dataran Bandung hingga Bekasi) dengan potensi sumberdaya air total 12,95 milyar m³ per tahun. Selain itu, di dalam DAS Citarum terdapat tiga waduk yaitu Saguling di wilayah hulu, Cirata di wilayah tengah dan Jatiluhur-Juanda di wilayah hilir. Air DAS Citarum tersebut 7,65 miliar m³ (59,07%) sudah dikelola atau dimanfaatkan sedangkan 5,35 miliar m³ belum dikelola. Penggunaan air terkelola 62% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, 23,9% pembangkit listrik tenaga air (PLTA), 6% air baku perusahaan air minum (PDAM), 2,3% rumah tangga dan industri dan 5,89% penggunaan lainlain. (PJT II, 2005, Indonesia Power, 2002). Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di segala sektor yang tinggi telah menyebabkan tekanan yang sangat besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menurunkan daya dukung wilayah Jawa Barat, terutama perubahan tataguna lahan dan konversi hutan (land use change and forestry). Gabel dan Folmer (2000) menyatakan bahwa besarnya dampak lingkungan yang terjadi adalah perkalian jumlah penduduk dengan konsumsi perkapita dan kerusakan lingkungan per unit konsumsi, dengan notasi I = PCB (I = dampak, P= penduduk, C= konsumsi, B= kerusakan lingkungan per unit konsumsi). Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan penduduk akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan peningkatan laju kerusakan lingkungan dan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya dampak lingkungan yang terjadi. Dinas Tata Kota dan Pemukiman Jawa Barat dan ITB (2002) menyatakan bahwa proyeksi peningkatan penduduk di DAS Citarum Hulu (Sub DAS Saguling) akan naik sebesar 30% dalam kurun waktu 10 tahun yaitu dari 5,6 juta

24 2 orang pada tahun 2001 menjadi 7,3 juta orang pada tahun Akumulasi dampak negatif dari kegiatan antropogenik telah menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim (global warming and climate change). Keadaan tersebut menyebabkan hujan turun secara tidak merata baik dari segi jumlah maupun distribusi dan sulit untuk diprediksi. Pemanasan global dan perubahan iklim tersebut menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap ketersediaan air untuk berbagai penggunaan seperti kebutuhan rumahtangga, irigasi pertanian dan industri. Sebagai contoh, Pawitan (2003) menyatakan bahwa telah terjadi selisih mm rataan curah hujan tahunan antara dua periode pengamatan ( dan ) pada banyak stasiun di sepanjang Jawa bagian selatan dan untuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengalami kecenderungan penurunan curah hujan periode pengamatan sebesar 10 mm per tahun. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kondisi DAS Citarum khususnya wilayah hulu telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi debit air tinggi, dan pencemaran air berat. Peningkatan luas lahan kritis di daerah tangkapan akan menyebabkan menurunnya kapasitas serap dan simpan lahan terhadap air dan menimbulkan aliran permukaan (surface run off), sehingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi sebesar 2,22 mm per tahun di Saguling telah melewati ambang batas toleransi sebesar 0,8-1,0 mm per tahun. Bila keadaan ini berlanjut, sisa umur pakai Waduk Saguling akan kurang dari 34 tahun sebagaimana direncanakan. Besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim kemarau akan menyebabkan tidak stabilnya kuantitas pasokan air untuk menggerakkan turbin. Degradasi lingkungan berupa pencemaran air baik yang berasal dari pertanian, pemukiman dan industri menyebabkan karat pada peralatan dan instalasi produksi energi listrik PLTA dan peningkatan penggunaan bahan kimia PDAM serta pada proses pengolahan air. Kondisi ini menimbulkan potensi kerugian (opportunity cost) bagi PLTA dan PDAM karena tidak dapat berproduksi konstan pada kapasitas yang direncanakan.

25 3 Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai. 2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk dan sumur. 3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus-menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah. Pengelolaan DAS memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS (Chandler dan Suyanto, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Untuk tujuan tersebut diperlukan

26 4 penelitian tentang kondisi atau status lingkungan (state of nature) terkini DAS Citarum Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap biaya eksternalitas pengguna air seperti PLTA dan PDAM. Untuk menjawab tujuan penelitian, dikembangkan hipotesa dan pertanyaan penelitian. Hipotesa penelitian adalah sebagai berikut : 1. Selama periode DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami perubahan penutup lahan; 2. Perubahan penutup lahan tersebut telah menyebabkan perubahan karakteristik hidrologis; 3. Perubahan karakteristik hidrologis telah menimbulkan biaya eksternalitas bagi pengguna air; sedangkan pertanyaan penelitian adalah : Berapa besar biaya eksternalitas pengguna air Citarum sebagai akibat degradasi kualitas lingkungan? 1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dan pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan ekosistem dan identifikasi terhadap aktor-aktor ekonomi. Pada Gambar 1 ditampilkan kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem Pendekatan Ekosistem Paling tidak ada 4 (empat) komponen utama penyusun ekosistem dalam suatu DAS yaitu komponen fisik (tanah), biologi (vegetasi), manajemen (manusia) dan iklim (curah hujan). Keempat komponen tersebut membentuk suatu kesatuan yang terintegrasi antara satu dengan yang lain, sehingga perubahan pada suatu komponen akan mempengaruhi komponen lain. Vegetasi (hutan) merupakan komponen ekosistem yang paling rentan (fragile) terhadap perubahan dan berdampak luas terhadap komponen ekosistem yang lain. Ekosistem DAS tersebut menghasilkan jasa lingkungan antara lain adalah sumberdaya air, biodiversitas flora dan fauna, penambat karbon, rekreasi dan penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

27 5 Keterangan : : Pengaruh parsial : Pengaruh kolektif : Pengaruh antar ekosistem Hujan Iklim Manajemen Manusia EKOSISTEM DAS Tanah Fisik Biologi Hutan Biologi Fisik dan Kimia KUANTITAS DAN KUALITAS AIR Debit Fluktuasi Sedimen REPLACEMENT COST Pemeliharaan turbin, waduk, kolam BIAYA MARGINAL LINGKUNGAN Kehilangan Produksi Penggunaan Bahan Kimia Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem. Indikator utama kesehatan suatu ekosistem DAS adalah kondisi karakteristik hidrologis berupa debit dan volume air, sedimentasi dan kualitas kimiawi sumberdaya air baik berupa fisik, kimia maupun biologi yang terdapat di badan-badan air seperti sungai, danau dan waduk. Karakteristik hidrologis DAS tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada komponen ekosistem wilayah hulu terutama perubahan pada penutup lahan sebagai akibat perubahan tataguna lahan. Perubahan karakteristik DAS tersebut berdampak pada

28 6 pengguna (pemanfaat) sumberdaya air baik sebagai sumberdaya energi bagi PLTA maupun sumber air baku air minum bagi PDAM dalam menghasilkan produknya. Beberapa dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah meningkatnya biaya pemeliharaan peralatan dan waduk atau kolam tampung, meningkatnya penggunaan bahan kimia dan muaranya adalah potensi kehilangan produksi semakin besar setiap tahunnya. Keadaan ini akan menyebabkan kerugian bagi PLTA dan PDAM. Tindakan konservasi di wilayah hulu DAS sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki dan memulihkan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh DAS, agar laju pertumbuhan kerugian PLTA dan PDAM dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan atau mendatangkan keuntungan. Konservasi tersebut membutuhkan biaya yang besar dengan waktu yang relatif lama. Untuk itu diperlukan suatu valuasi ekonomi dikaitkan dengan pengguna jasa lingkungan. Komponen ekosistem yang divaluasi adalah : 1. Perubahan tataguna lahan dan penutup hutan (land use change and forest) pada tahun 1992 dan Pemilihan tataguna lahan dan hutan sebagai komponen yang dianalisa dikarenakan tataguna lahan dan hutan merupakan komponen ekosistem yang paling sensitif dan fragile serta berdampak penting baik on-site maupun off-site. Proses perubahan terjadi di wilayah hulu DAS. 2. Kuantifikasi perubahan karakteristik hidrologis (fisik, kimia dan biologi) yang terdapat dalam waduk PLTA dan kolam tampung (PDAM) dan perubahan karakteristik hidrologis DAS (debit dan fluktuasi). Pemilihan parameter fisik, kimia, biologi, sedimen dan debit air dikarenakan parameter tersebut merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan ekosistem dan tingkat pengelolaan DAS. Proses ini terjadi di wilayah tengah (transisi) DAS. 3. Penilaian ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna (users) dilakukan berdasarkan besarnya tambahan biaya lingkungan (environmental marginal cost) yang harus dikeluarkan oleh pengguna sebagai akibat penurunan kualitas jasa lingkungan yang diterima (biaya ekstenalitas). Pendekatan teori (grand theory model) yang digunakan adalah pembentukan fungsi permintaan, yang merupakan turunan (derivasi) dari utilitas yang diterima oleh pengguna pada

29 7 tingkat pendapatan tertentu. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi jenis jasa lingkungan (environmental services) yang menyebabkan tambahan biaya dalam proses produksi. Proses ini terjadi di wilayah hilir DAS. 4. Penetapan besarnya biaya marjinal lingkungan atau biaya eksternalitas untuk setiap output produksi para pengguna PLTA atau PDAM. Nilai tersebut merupakan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi perbaikan lingkungan di wilayah hulu DAS, dengan penggunaan harga bayangan (shadow price). Penggunaan harga pasar memang akan menyebabkan underprice bagi perhitungan nilai jasa lingkungan, tetapi sangat berguna dalam memberikan gambaran willingness to pay pengguna jasa lingkungan. Proses ini merupakan umpan balik (causal loop) ke ekosistem DAS Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi Pendekatan ekonomi dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi aktor-aktor ekonomi yang terlibat (sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2) dan perilakunya baik yang berada di DAS wilayah hulu maupun di wilayah hilir dalam penggunaan jasa lingkungan Perumusan Masalah Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat interaksi antara komponen penyusunnya yaitu komponen biologis (vegetasi), komponen fisik (tanah), komponen klimatologis (hujan) dan manusia (pengelola). Komponen-komponen tersebut saling terkait (intercorrelation), saling tergantung (interdependent), terdapat aliran bahan dan energi (flow of material and energy) dan membentuk suatu sistem ekologis (system). Terjadinya gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen ekosistem tersebut menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem. Dari keempat komponen tersebut, komponen vegetasi (penutup lahan) merupakan faktor yang paling sensitif terhadap perubahan dan memiliki dampak yang lebih besar dan luas kepada komponen ekosistem lainnya (Purwanto dan Ruitjer, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Kerusakan tata guna lahan terutama hutan di daerah hulu

30 8 menyebabkan degradasi kualitas jasa lingkungan di daerah hilir berupa peningkatan laju erosi dan sedimentasi, fluktuasi debit air yang semakin besar, dan kualitas air yang semakin menurun. HULU HILIR 1 Wil. Hilir-2 Down-stream Konsumen-2 End-user WTA-3/WTP-3 R Cost 2 Wil. Hulu Up-stream Produsen-1 Supplier-1 WTP-1/WTA-1 PJT - II Wil. Hilir-1 In-stream Demander-1 Konsumen-1 Supplier-2 WTP-2/WTA-2 R Cost 1 PLTA & PDAM HILIR 2 Gambar 2. Identifikasi aktor aktor ekonomi. Hasil kajian FAO/UNDP (1990) memperkirakan bahwa 8 dari 15 satuan wilayah sungai (SWS) yang ada di Jawa dan Madura telah mencapai kondisi kritis dalam penyediaan air baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius di musim kemarau. Faktor penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan DAS terutama di daerah hulu berupa perubahan tataguna lahan terutama hutan dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut meningkatkan erosi, sedimentasi, pencemaran kimiawi air sungai atau waduk dan menyebabkan pendangkalan waduk dan korosivitas pada turbin dan sangat merugikan PLTA (PJT II, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan DAS wilayah

31 9 hulu sangat penting dan strategis bagi pembangkit listrik tenaga hidro seperti PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, disamping juga manfaat yang sangat besar bagi irigasi pertanian, perikanan dan penyedia air bersih untuk minum bagi kebutuhan rumahtangga seperti perusahaan air minum (PAM). Sanim (2003) menyatakan bahwa 52% air tanah digunakan sebagai bahan air baku PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan air baku. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984 dan terus meningkat sampai tahun Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam daripada pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan air baku PAM. Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air tercemar. Terjadinya pencemaran air sungai telah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh PAM dalam mengelola air baku. Keadaan tersebut diperparah oleh krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, sehingga berdampak keberadaan perusahaan daerah air minum (PDAM). Sebanyak 87 dari 303 PDAM di Indonesia berada dalam keadaan kritis (Anonim, 1999 dalam Bunasor, 2003). Beberapa PDAM termasuk PDAM Bekasi Jawa Barat terancam disita Bank Dunia karena dililit utang Rp. 56,971 milyar. Hingga tahun 2003, hutang 87 PDAM yang kondisinya parah telah mencapai Rp. 4,1 trilyun terhadap lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB dan JBIC. Pada kondisi tersebut, semakin memudahkan perusahaan asing dalam mewujudkan rencananya untuk menguasai jaringan distribusi air di Indonesia (Sanim, 2003). Dengan demikian perbaikan lingkungan daerah hulu DAS Citarum sangat berdampak positif terhadap PDAM DKI Jakarta khususnya.

32 10 Permasalahan lingkungan hidup timbul disebabkan adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas sumberdaya alam dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia. Semakin besar jumlah dan eksploitasi sumberdaya alam itu, dampaknya terhadap degradasi kualitas lingkungan juga cenderung meningkat menurut dimensi ruang (lokal, regional dan global) dan waktu (jangka panjang) terhadap lingkungan (Tietenberg, 1992). Kasus di daerah aliran sungai merupakan bukti nyata, aktivitas di hulu seperti penebangan pohon secara liar (illegal logging), pertanian non-konservasi, kegiatan rumahtangga, menimbulkan dampak negatif di daerah hilir seperti penurunan kualitas air, erosi dan sedimentasi (Landell-Mills dan Porras, 2002). Untuk menyeimbangkan antara hulu dan hilir, maka aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus mendapatkan perhatian yang sejajar. Kegiatan produksi dan ekonomi di hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di daerah hilir. Kerusakan lingkungan di daerah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan seperti keadaan semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan (Pearce et. al, 1994). Pengalaman negara-negara Philippina (Francisca, 2003; Jensen, 2003; Rosales, 2003; Salas, 2004), Vietnam (Bui et. al, 2004), dan Sri Lanka (Kallesoe, 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di daerah hulu DAS sangat menguntungkan pengguna air di daerah hilir. Masalah utama yang dihadapi dalam melakukan valuasi jasa lingkungan adalah keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan DAS tidak mempunyai nilai pasar (non-marketted) langsung atau belum dapat dinyatakan secara jelas seberapa besar nilai ekonomi yang dikandungnya (tidak memiliki nilai moneter langsung). Di dalam ekonomi, hal ini dikenal dengan eksternalitas, karena keuntungan atau

33 11 manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Aplikasi ekonomi lingkungan ke dalam pengambilan kebijakan perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan seperti sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, valuasi keuntungan dan biaya serta faktor diskonto (discounting factor). Dampak lingkungan dari pengelolaan DAS mempunyai kompleksitas yang tinggi terutama dalam mengintegrasikan dan mengkuantifikasi nilai ekonomi dampak pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) dan kesulitan dalam menilai keterkaitan atau hubungan antara hulu dan hilir DAS. Pemilihan metode atau teknik valuasi ekonomi jasa lingkungan DAS terutama off-site stream impact sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan pengelolaan ekosistem DAS. Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama bertanggung jawab dalam penjagaan kawasan lindung (guardianship) dan pengelolaan sumberdaya alam (stewardship) melalui mekanisme pembayaran (transfer payment) dari pengguna air di wilayah hilir (PLTA dan PDAM) kepada penyedia jasa lingkungan (environmental services) sebagai biaya pengganti (replacement cost) merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan lingkungan DAS, terutama di daerah hulu. Dari uraian terdahulu, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Perubahan tataguna lahan terutama hutan telah menyebabkan kerusakan ekosistem DAS Citarum terutama wilayah hulu, sehingga menurunkan kualitas jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti pengaturan tata air (debit dan fluktuasi), kualitas air (kimia, fisika dan biologi) dan erosi serta sedimentasi. 2. Degradasi jasa lingkungan yang dihasilkan DAS tersebut selain merugikan penyedia di wilayah hulu (on-site), juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pengguna (PLTA dan PDAM) di wilayah hilir (off-site) sebagai akibat adanya tambahan biaya (marginal cost) dan kehilangan potensi untuk berproduksi maksimal secara konstan pemeliharaan waduk dan turbin

34 12 (PLTA), pengerukan sedimen (PLTA dan PDAM), pemakaian bahan kimia (PDAM), pemeliharaan mesin produksi dan pipa distribusi (PDAM). Kehilangan produksi untuk berproduksi maksimal secara konstan antara lain disebabkan debit air rendah (musim kemarau), debit air besar (musim hujan) tidak termanfaatkan maksimal, turbin dan mesin pabrik tidak dapat dioperasikan maksimal. 3. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh DAS dilakukan valuasi ekonomi. Mengingat jasa lingkungan merupakan public goods, penilaian dilakukan secara tidak langsung (indirect valuation) yaitu dengan menghitung nilai ekonomi total dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap pengguna air (PLTA dan PDAM) dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti (replacement cost method) Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu. 2. Menganalisis pengaruh perubahan penutup lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu. 3. Menganalisis pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Dasar bagi penetapan besarnya nilai ekonomi jasa lingkungan DAS dikaitkan dengan pengguna air. 2. Dasar bagi penyusunan kebijakan, peraturan dan pengambilan keputusan dalam bidang pengelolaan DAS. 3. Dasar bagi pemberian kompensasi atas jasa lingkungan yang disediakan oleh masyarakat hulu yang relatif terbelakang dan miskin oleh masyarakat di daerah hilir yang relatif lebih maju dan kaya.

35 13 4. Dapat dijadikan sebagai tolok ukur data (benchmarking data) bagi penelitian selanjutnya dalam bidang jasa lingkungan DAS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Novelty (Kebaruan) Sutjahjo dan Herison (2006) menyatakan bahwa novelty adalah hal hal baru yang belum pernah ditemukan atau dilakukan pada penelitian sebelumnya. Novelty dalam penelitian dapat berupa pembaruan pendekatan (approach), obyek penelitian atau pendekatan dan obyek. Novelty penelitian ini : 1. Objek penelitian dilakukan secara komprehensif terhadap pengaruh kualitas lingkungan bagi eksternalitas biaya pengguna sumberdaya air dimulai dari wilayah hulu, tengah hingga hilir. 2. Penggunaan volume air hasil simulasi model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan perubahan biaya eksternalitas pengguna air. 3. Diperolehnya besaran biaya eksternalitas setiap output pengguna air (Rp/MWh energi listrik yang dihasilkan PLTA atau Rp/m³ air minum yang dihasilkan PDAM) Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup wilayah penelitian adalah DAS Citarum Wilayah Hulu (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur) yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu merupakan wilayah konservasi, produsen atau supplier jasa lingkungan. Wilayah tengah merupakan wilayah transisi hulu-hilir, distributor jasa lingkungan, wilayah budidaya dan permukiman. Wilayah hilir umumnya merupakan wilayah budidaya, industri, permukiman dan pengguna atau demander jasa lingkungan. Analisis biofisik dan kimia dilakukan terhadap penutup lahan dan perubahannya tahun 1992 dan 2002, kuantitas dan kualitas air dan perubahannya (debit, sedimen, fisik, kimia dan biologi) di Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Analisis ekonomi meliputi aktor

36 14 aktor ekonomi, pengguna air komunitas hulu dan komunitas hilir. Pengguna air komunitas hulu adalah pengguna air yang berada paling dekat dengan sumber air, sedangkan pengguna air komunitas hilir adalah pengguna air yang berada paling jauh dengan sumber air. Penilaian ekonomi pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi dan efisiensi ekonomi PLTA dan PDAM menggunakan harga bayangan (shadow price) dengan teknik valuasi replacement cost. Penelitian yang dilakukan merupakan analisis pengaruh kualitas lingkungan DAS Citarum terhadap biaya eksternalitas terhadap penggunaan sumberdaya air oleh PLTA (Saguling, Cirata, Jatiluhur) dan PDAM (Purwakarta, DKI Jakarta). Air yang dimaksud adalah air yang terdapat, mengalir di Sungai Citarum dan ketersediaannya baik dalam jumlah maupun mutu. Aspek ekonomi yang dikaji didasarkan besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan pengguna air di wilayah hilir sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan yang dihasilkan oleh wilayah hulu. PLTA dan PDAM adalah merupakan konsumen jasa lingkungan dan wilayah (masyarakat) hulu adalah penyedia. Analisis data dan informasi diarahkan untuk menentukan besarnya biaya tersebut untuk setiap unit output produksi dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti. Keterbatasan penelitian ini terutama berkaitan kurangnya data dan informasi tentang hubungan antara penutup lahan dengan karakteristik hidrologis DAS luasan besar pada kerangka waktu (time frame) yang lama, misalnya tahun. Kecuali itu, keterbatasan lainnya adalah minim-nya data-data teknis berkaitan dengan hubungan antara debit, volume air, sedimentasi serta kualitas air terhadap peralatan dan produksi PLTA dan PDAM, sehingga menyulitkan dalam menganalisis kecenderungan (trend analysis) yang terjadi. Keterbatasan lain penelitian ini adalah ketersedian waktu dan dana yang terbatas serta keterbatasan pengetahuan khususnya bidang ketehnikan kelistrikan dan pengolahan air, sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis dan pembahasan yang lebih mendalam dan menyeluruh.

37 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Menurut Undang-Undang RI No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pasal 1 ayat 11, daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan ekosistem alam yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) dan membentuk tatanan hidro-orologis yang spesifik. Pada dasarnya, daratan Indonesia habis dibagi dalam wilayah DAS. Departemen Kehutanan (1990) menetapkan 61 DAS kritis yang terdiri dari 39 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS prioritas dan 22 SWP DAS super prioritas dan termasuk di dalamnya DAS Citarum. Umumnya, DAS dibagi menjadi tiga wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir. Asdak (2004) mencirikan bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan topografi besar. Bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir. Bagian tengah merupakan transisi di antara hulu dan hilir. Masing-masing bagian tersebut saling berkaitan, bagaian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat dipakai untuk menganalisis dampak suatu aktivitas terhadap lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir. Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat menghasilkan produk berupa barang dan jasa lingkungan, baik yang dapat diukur (tangible) maupun yang tidak terukur (intangible). Oleh karenanya dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi sehingga bisa

38 16 memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Analisis biaya-manfaat sering digunakan sebagai alat bantu kebijakan dalam pengelolaan lingkungan (Pearce, et al 1994). Tideman (1996) menyatakan bahwa pengelolaan DAS adalah pemanfaatan secara rasional sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alami. Setiap masukan ke dalam DAS mengalami proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem. Sebagai contoh, curah hujan, bahan terlarut kimiawi dan erosi merupakan masukan ke dalam ekosistem DAS, sedangkan debit air, sedimen dan limbah cair merupakan keluarannya. Vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai merupakan komponen DAS yang berfungsi sebagai prosesor. Pengelolaan DAS bertujuan untuk dapat menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti air minum, irigasi, industri, tenaga listrik dan pariwisata. Untuk itu, pengelolaan bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas (Manan, 1977). Kondisi DAS bagian hulu yang baik sangat diperlukan karena berbagai alasan (PJT II, 2002) diantaranya: 1. Bagi PLTA Pencemaran air sungai yang terus meningkat akan menyebabkan korosi pada mesin turbin dan peralatan dari bahan logam lainnya, sehingga menurunkan produktivitas energi listrik, menurunkan umur pakai dan menimbulkan biaya pemeliharaan yang besar. Erosi, banjir dan tanah longsor menyebabkan pendangkalan pada waduk, sehingga menurunkan kapasitas terpasang turbin (daya dorong air rendah), menurunkan umur pakai waduk, menimbulkan biaya pengerukan yang tinggi dan juga akan menurunkan produksi energi listrik. 2. Bagi PDAM Pencemaran air sungai (sumber air baku) akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia, kebutuhan akan peralatan pengolahan (water treatment plant) yang lebih canggih dan menimbulkan biaya yang besar. Kondisi ini akan

39 17 menaikkan harga jual, menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air. 3. Bagi irigasi Pertanian sangat membutuhkan sistem irigasi yang memadai dan dapat mengalirkan air dalam jumlah, kualitas dan kontinuitas yang terjamin, sehingga memberikan kepastian penentuan musim tanam, peningkatan masa budidaya (indeks pertanaman) dan prakiraan hasil panennya. 4. Bagi perikanan Pencemaran air sungai sangat merugikan usaha perikanan terutama perikanan jaring apung di waduk. Kerugian terbesar umumnya disebabkan naiknya air dalam ke permukaan (upwelling) sebagai akibat banjir dari hulu dan terjadinya denitrifikasi. 5. Bagi pariwisata Waduk yang luas dan air yang bersih merupakan tempat wisata yang sangat menarik dan dapat dijadikan sebagai fasilitas olahraga air. Keadaan ini memberikan nilai ekonomi yang cukup besar bagi pengelola waduk. Menurut Alikodra (2000), pengelolaan DAS secara terpadu merupakan jawaban atas permasalahan yang dihadapi, yaitu dengan : 1. Menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi pengelola, 2. Integrasi dengan pemerintah daerah, mengembangkan data dasar (database) dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), 3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya secara berkelanjutan, 4. Melindungi air dari pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai daya dukung optimalnya, 5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai, 6. Menerapkan pola produksi bersih, 7. Mempertahankan kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Sungai Citarum memiliki panjang 300 km dari dataran Bandung hingga Bekasi, mengalir sepanjang wilayah DAS Citarum dengan luas ha merupakan sumberdaya air bagi PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur,

40 18 PDAM Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, irigasi pertanian dan perikanan. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum. Ada tiga pokok penting dalam pengelolaan DAS (Sheng, 1968), yang berinteraksi satu dengan yang lain secara terpadu dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat sebagai titik sentralnya. Ketiga faktor itu adalah air, lahan dan pengelolaan. Interaksi ketiga faktor tersebut secara optimal akan menghasilkan air dan tata air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, indikator dalam menilai interaksi dalam sistem pengelolaan DAS adalah : 1. Indikator ekonomi, yaitu pengelolaan yang mampu mendukung produktivitas optimal bagi hajat hidup dan kepentingan orang banyak. 2. Indikator sosial, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan manfaat secara merata bagi kepentingan hidup orang banyak.

41 19 3. Indikator lingkungan, yaitu pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi. 4. Indikator teknologi, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan nilai tambah bagi penggunaan sumberdaya alam Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air Pada sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan dengan komponen utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dapat merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dan dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapo-transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Ffolliot, 1981). Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air. Dalam sistem hidrologi ini peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap komponen lingkungan tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan dengan demikian, mempengaruhi besar kecilnya aliran air permukaan (Asdak, 2004). Penelitian mengenai aspek kelembagaan dan partisipasi dalam pengelolaan DAS secara terpadu telah dilakukan oleh Kolopaking (1998). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pengelolaan DAS terpadu dengan perhutanan sosial berdimensi skala ekonomi yang melibatkan tiga pihak yaitu pemerintah (Departemen Kehutanan), swasta dan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun telah terjadi pengurangan curah hujan global, tetapi dengan adanya pemanasan suhu permukaan laut akan terjadi peningkatan penguapan dan tentunya diikuti oleh peningkatan curah hujan. Pengaruh peningkatan gas rumah kaca terutama gas CO 2 dan penggundulan hutan akibat konversi ke penggunaan lahan lainnya, telah menimbulkan dinamika sumberdaya air dunia saat ini.

42 20 Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menunjukkan perubahan iklim global adalah dari kecenderungan data aliran DAS yang ada di dunia. Sulandari (2005) menyatakan bahwa Chief dan McMahon telah melakukan pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume aliran dari 142 sungai di dunia dengan data 50 sampai dengan 162 tahun dan luas DAS seribu km² sampai delapan juta km², dan sampai pada kesimpulan bahwa walau didapatkan terjadinya kecenderungan dan perubahan nyata dalam sejumlah lokasi, namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Dalam sejumlah kasus dimana kecenderungan tersebut terjadi, perubahan kondisi biofisik DAS akan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian ketersediaan air di masa depan dalam kaitannya dengan perubahan iklim global (Boer, 2003). Secara umum sistem hidrologi suatu DAS disajikan pada Gambar 4. Menurut Sanim (2003) air memiliki nilai sebagai barang (instrumental value) dan juga memiliki nilai lain seperti sosial, kultural dan lingkungan (intrinsic value). Air memiliki sifat terbuka (open access) dan menjadi milik umum (public good), maka sumberdaya air mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas sebagai akibat dari ketidakjelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya. Di daerah hilir, air digunakan sebagai sumber daya dalam berbagai bentuk penggunaan dengan skala yang bervariasi, diantaranya sebagai sumberdaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan sebagai sumber bahan baku air minum (PDAM). Di daerah hulu, air digunakan sebagai sumber air minum rumahtangga dan kebutuhan irigasi pertanian dan perikanan. Menurut Anwar (1995) sumberdaya air memiliki karakteristikkarakteristik khusus sebagai berikut : 1. Mobilitas, air yang bersifat cair mudah mengalir, menguap dan meresap di berbagai media, sehingga sangat sulit untuk melaksanakan penegasan hak atas sumberdaya ini secara ekslusif agar dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar.

43 21 Gambar 4. Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004). 2. Sifat skala ekonomi yang melekat dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air. 3. Penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitas dalam keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan umum. 4. Kapasitas dan asimilasi dari badan air, zat cair mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui. 5. Penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan air selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya. 6. Penggunaannya yang serba guna, dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak individu dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum. 7. Nilai-nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air, sebagian besar masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersilkan.

44 Kerusakan Ekosistem DAS Munadi (2001) menyatakan bahwa pengkajian kerusakan dapat dilakukan pada beberapa ukuran yaitu waktu terjadinya kerusakan, besarnya kerusakan dan struktur kerusakan yang terjadi, dilihat dari organisme penghuni ekosistem. Kerusakan akan berakibat ketidakseimbangan ekosistem dan akan mempengaruhi ekosistem itu sendiri dan ekosistem lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar sungai yaitu kerusakan daerah sekitarnya dan tingginya tingkat pencemaran. Belum terintegrasinya pengelolaan wilayah hulu dan hilir, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan pendangkalan pada bagian hilir. Penyebabnya adalah lemahnya pengendalian pembangunan pada wilayah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai (misal pemanfaatan kawasan lindung untuk permukiman). Terjadinya konflik pemanfaatan ruang yang sifatnya lintas daerah otonom yang saling berbatasan (Yunus, 2005). Aktivitas manusia cenderung mengarah pada pengrusakan dalam mengeruk sumberdaya alam yang tersedia. Rangkaian tindakan pengrusakan terhadap alam masih marak dilakukan dan mungkin akan terus mewarnai kehidupan masyarakat (Muhammad dan Nuryani, 2002). Kerusakan DAS tidak bisa terlepas dari rusaknya hutan di daerah hulu. Kerusakan hutan khususnya yang berfungsi sebagai kawasan lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu dan hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang (Depkimpraswil, 2003). Kejadian banjir yang terus berulang merupakan hasil dari kerusakan sistem dalam hal ini adalah daerah aliran sungai (Irianto, 2003). Banjir selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lahan pertanian. Sitorus (1998 dan 2003) mengatakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena penjenuhan tanah oleh air, erosi, terkumpulnya garam (salinisasi) di daerah perakaran, terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. Sayangnya beberapa kalangan belum menaruh perhatian yang memadai terhadap banjir besar yang akan terus terjadi. Pemanfaatan sumberdaya

45 23 alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dengan sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan segenap penduduk, kondisi pemerataan pendapatan serta potensi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Kerusakan lingkungan seperti DAS akan menurunkan produktivitas sumberdaya alam serta memunculkan berbagai macam masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan hidup (Todaro, 2000). Dalam tinjauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dikeluarkan setiap tahun, memprediksikan dan memperingatkan akan terjadinya bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang sudah sedemikian parahnya. Kepulauan Indonesia mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Kejadian banjir menempati urutan pertama dalam frekuensi terjadinya bencana. Jumlah kejadian banjir mencapai 302 kali dengan korban jiwa sebanyak orang (WALHI, 2004). Kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan. Semakin berkurangnya luasan hutan sebagai daerah resapan di hulu menyebabkan laju aliran naik dan banjir meningkat (Soemarwoto, 2001). Laju aliran naik jika hutan dikonversi menjadi bangunan, pemukiman, dan jalan Pencemaran Air Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan sebagai hajat hidup orang banyak. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya, sehingga sumberdaya air perlu dilindungi agar dapat tetap dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan generasi sekarang dan mendatang. Oleh karena itu, aspek penghematan dan pelestarian sumberdaya air perlu ditanamkan pada segenap pengguna air (Yunus, 2005).

46 24 Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan manusia ternyata telah menimbulkan berbagai efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan hidupnya. Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan upaya untuk dapat hidup layak merangsang manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi kaidah yang ada dalam tatanan lingkungan hidup. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian, penebangan hutan, domestik dan lainnya terhadap sumberdaya air berupa semakin menurunnya kualitas air yang dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air (Efendi, 2000). Permasalahan utama sumberdaya air saat ini adalah menyangkut kuantitas yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kualitas air yang layak untuk keperluan domestik juga semakin langka diperoleh. Oleh karena itu, perlu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dengan seksama. Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air atau udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air atau udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka aktivitas manusia meningkat baik pada bidang pertanian, industri, rumahtangga dan lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah yang disebabkan oleh hasil buangan kegiatan tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dilakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu pada sumber air, baku mutu limbah cair dan sebagainya. Baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Menurut klasifikasi dan kriteria mutu air dapat dibedakan menjadi empat kelas (PP No. 82, 2001), yaitu :

47 25 1. Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 2. Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 3. Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 4. Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tetapi bukan berarti semua air sudah tercemar. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. (Saeni, 1989). Untuk memudahkan pembahasan mengenai berbagai jenis zat pencemar, pencemaran air dapat dikelompokkan atas 9 kelompok berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya yaitu padatan terlarut, bahan buangan yang membutuhkan oksigen, mikroorganisme, komponen organik sintetik, hara tanaman, minyak, senyawa anorganik dan mineral, bahan radioaktif dan panas. Pengelompokan tersebut bukan merupakan pengelompokan yang baku, karena suatu jenis zat pencemar mungkin dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kelompok. (Saeni, 1989). Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, diperlukan pengujian untuk menentukan sifat-sifat air, sehingga dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya adalah nilai ph, keasaman dan alkalinitas, suhu, warna, bau dan rasa,

48 26 jumlah padatan, oksigen terlarut (dissolved oxygen), kandungan logam berat, kandungan minyak, dan kandungan bahan radioaktif (Fardiaz, 2003). Secara alamiah, sungai tercemar pada daerah permukaan air saja, tetapi terkadang sungai mengalami pencemaran berat, sehingga zat pencemar dapat masuk melalui proses infiltirasi sampai kedalaman lapisan tanah tertentu. Pada musim kering proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun, karena arus air mengalir perlahan dan jumlahnya menurun diperparah lagi oleh penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menghasilkan bahan kimia ke udara. Macam limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dampaknya terhadap pencemaran adalah : a. Kegiatan Pertanian Sutamiharja (1978), mengemukakan bahwa kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam pupuk buatan dan pestisida. Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P akan dapat menyuburkan perairan, yang dapat mendorong pertumbuhan ganggang dan tumbuhan akuatik lainnya (Odum, 1993). Keberadaan hara yang berlebihan dapat memicu terjadinya pengayaan (eutrofikasi) perairan dan dapat memicu pertumbuhan secara pesat mikroalga dan tumbuhan air yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem akuatik secara keseluruhan (Effendi, 2000). Selain itu aktivitas pertanian nonkonservasi berpengaruh besar terhadap erosi dan sedimentasi yang terangkut ke perairan. Hasil penelitian Sutika (1984) pada perairan Sungai Ciliwung menyatakan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat pada daerah hulu perairan sungai ini bersumber dari daerah pertanian dan sekitarnya. Dari hasil penelitian Hariyadi (1985), pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu bahwa persentasi lahan sawah, perkebunan, tegalan pada DAS Ciliwung Hulu, berpengaruh nyata terhadap nilai BOD 5 dan ortofosfat. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa wilayah DAS Citarum bagian hulu telah mengalami degradasi lingkungan, ditunjukkan

49 27 dengan penurunan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis kimia terhadap contoh air, menunjukkan bahwa zat-zat pencemar didominasi oleh yang bersumber dari kegiatan industri dibandingkan dengan rumahtangga dan pertanian. b. Pemukiman Kegiatan pembangunan pemukiman baru (perumahan) diawali dengan pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah. Menurut Arsjad (1989), erosi tanah yang akan terjadi pada lahan yang terbuka sangat tinggi, karena tanah tidak terlindungi dari pukulan butir hujan dan kekuatan dari daya angkut aliran permukaan. Sebagian dari tanah yang tererosi ini akan masuk ke badan perairan sungai, sehingga akan menurunkan kualitas airnya. Menurut Puspaningsih (1997) perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi permukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi indikator tingginya laju erosi tanah adalah kekeruhan, dan kandungan sedimen pada dasar sungai. Pada lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan menghasilkan limbah domestik yang berupa sampah padat (organik dan anorganik), limbah rumahtangga (organik, diterjen dan sebagainya), yang dapat menurunkan kualitas air pada perairan sungai penerimanya. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada daerah permukiman padat penduduk dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai. Saeni (1989) menyatakan bahwa di Indonesia telah banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai yang melalui daerah perkotaan, daerah padat penduduk dan wilayah perindustrian. Hasil penelitian Sutika (1984), menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat berasal dari limbah domestik daerah pemukiman pada perairan Sungai Ciliwung yang berada pada wilayah Kota Bogor sampai dengan DKI Jakarta. Nilai BOD 5 pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu juga dipengaruhi oleh keberadaan daerah pemukiman yang berada di sekitarnya. Limbah yang dihasilkan dari pemukiman (limbah domestik) adalah sumber limbah organik di perairan. Bahan pencemar sampah rumahtangga menimbulkan gas hidrogen sulfida (H 2 S) yang berbau busuk, apabila bakteri aerobik dan anaerobik tidak

50 28 dapat mengurai secara sempurna (Wahyudi dan Bilal, 1976). Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air. Parameter 1. Padatan total 2. Bahan padatan terendapkan 3. BOD 4. COD 5. Nitrogen total 6. Ammonia-Nitrogen 7. Klorida 8. Alkalinitas 9. Minyak dan lemak Satuan (mg/l) (ml/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) Pencemaran berat Pencemaran sedang Pencemaran ringan Sumber : Wahyudi dan Bilal (1976). c. Kegiatan Penebangan Hutan Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang lebih tinggi. Luas hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1995). Pengalihfungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Penutup hutan yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen. Zat padat yang terendap disebut sebagai sedimen (Kimmins, 1987). Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat aquatik. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan. Sedimen

51 29 menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidup dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000). d. Kegiatan Industri dan Pertambangan Pencemaran oleh kegiatan industri dan pertambangan sangat tergantung pada jenis kegiatan industri dan pertambangan. Sebagai contoh industri penyamakan kulit, pada umumnya meliputi jenis zat pencemar yang tinggi dari zat tersuspensi protein, CaCO 3, Ca(OH) 2, CaSO 4, Na 2 S, asam tanat, zat warna, H 2 SO 4, Cr dan logam lainnya dihasilkan dari proses perendaman, pengapuran, pengasaman dan penyamakan (Rao dan Datta, 1979). Logam berat yang berasal dari industri dan pertambangan dapat bersifat racun bagi tanaman. Metcalf dan Eddy (1991) menyebutkan, bahwa logam berat penting yang terlarut dalam air dan berpengaruh terhadap pertumbuhan makhluk hidup serta bersifat racun adalah Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Fe dan Hg. Menurut Sutamiharja (1978), pengaruh logam berat terlarut dalam air terhadap tanaman tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan variasi bentuk kimianya. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan adanya kerusakan kimia biologik, yaitu terakumulasinya pada sel-sel yang mengandung gugus sulfida, sehingga mengakibatkan struktur sel rusak, tidak berfungsinya pembelahan sel dan tidak berfungsinya sistem pembagian air dalam sel. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air sungai yang digunakan untuk kegiatan pertanian (Bronson, et al., 1975 dalam Shainberg dan Oster, 1978) terdapat pada Tabel 2. Kegiatan pertambangan yang dilakukan akan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan dengan terbentuknya endapan, perubahan ph, masuknya logam-logam berat beracun dan merubah arah saluran dan aliran air. Pertambangan terbuka merupakan sumber pencemar yang menimbulkan kerusakan paling tinggi berupa pelumpuran dan kekeruhan yang berasal dari kerusakan pinggiran sungai.

52 30 Tabel 2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian. Unsur Al (Alumunium) As (Arsen) Be (Berylium) B (Boron) Cd (Kadmium) Cr (Krom) Co (Kobalt) Cu (Tembaga) F (Fluor) Fe (Besi) Pb (Timbal) Li (Litium) Mn (Mangan) Mo (Molibdenum) Ni (Nikel) Se (Selenium) V (Vanadium) Zn (Seng) Sumber : Shainberg dan Oster (1978). Untuk pemberian air terus menerus (mg / l) 5,00 0,10 0,10 0,75 0,01 0,10 0,05 0,20 1,00 5,00 5,00 2,50 0,20 0,01 0,20 0,02 0,10 2,00 Untuk penggunaan sampai 20 tahun, pada tekstur tanah sangat halus, ph 6,0 8,5 (mg/l) 20,00 2,00 0,50 2,00-10,00 0,50 1,00 5,00 5,00 15,00 20,00 10,00 2,5 2 10,00 0, ,020 0,020 1,00 10,00 Menurut Darmono (1995), kegiatan pertambangan merupakan sumber pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya (1) berhubungan dengan estetika seperti bau, warna, rasa (2) berbahaya bagi tumbuhan dan hewan, (3) mengganggu kesehatan manusia, (4) menimbulkan kerusakan ekosistem Sedimentasi Asdak (2004) menyatakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit dan erosi tanah lainnya. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi di daerah tangkapan air, diukur pada periode dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau pengukuran langsung di dalam waduk. Hasil sedimen pada waduk sangat ditentukan oleh tingkat erosi lahan di wilayah hulu. Faktor - faktor yang mempengaruhi erosi juga merupakan penentu hasil sedimen yaitu kondisi fisik lahan, aliran permukaan, debit, tataguna lahan, tindakan konservasi, erodibilitas, kerapatan drainase dan luas DAS (Julien, 1992; Morris dan Fan, 1998; Sa ad,

53 ; Syarif dan Kodoati, 2005). Secara sederhana hasil sedimen dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Asdak, 2004) yaitu Qs = 0,0864. C. Q, dimana Qs = debit sedimen (ton/ha), C = konsentrasi sedimen, Q = debit sungai (m³ / dt). Penelitian yang dilakukan oleh Sa ad (2002), di DAS Hulu Ciliwung menyimpulkan bahwa untuk menduga hasil sedimen pada sungai dapat menggunakan rumus : Y = x Ep 0,704. Ro 0,646. CP 0,005. A -0,747 Keterangan : Y = sedimen sungai (ton ha ¹), Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha ¹), Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³), CP = faktor tanaman dan tindakan konservasi tanah, A = luas Sub DAS (ha). Rumus tersebut dapat digunakan untuk DAS DAS lain yang memiliki kemiripan tinggi (berdasarkan koefisien Nash). Hubungan antara perubahan tataguna lahan dan hutan DAS dengan erosi, sedimentasi, kuantitas dan kualitas air telah banyak dilakukan. Misalnya, Sihite (2004) menyimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan menjadi kebun kopi di DAS Besai Lampung telah menyebabkan peningkatan erosi dari 8,29 ton/ha (1975) menjadi 49,85 ton/ha (1997) dan rasio debit maksimum minimum naik dari 7-16 ( ) menjadi ( ), sehingga mendatangkan kerugian per tahun ( ) sebesar Rp 16,473 milyar naik menjadi Rp 63,493 milyar ( ). Di DAS Krueng Aceh ditemukan bahwa telah terjadi penurunan volume aliran sungai tahunan sebesar 417,4 mm dan debit aktual turun sebesar 32,1% antara tahun (Balai Agroklimat dan Hidrologi, 2004) Jasa Lingkungan DAS Selain Air Keanekaragaman Hayati Disamping air, DAS menghasilkan jasa lingkungan yang lain berupa keanekaragaman hayati, sekuestrasi karbon, rekreasi dan penelitian (Pagiola et. al, 2002). Jasa lingkungan keanekaragaman hayati dikonsumsi oleh konsumen yang

54 32 sulit diidentifikasi ambang batas permintaan dan pasokan, sehingga sulit mencari pembeli individual. Disamping itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pengusaha telah berpartisipasi aktif dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati dengan kesediaan membayar. Peningkatan kesadaran publik akan manfaat dan ancaman keanekaragaman hayati menyebabkan individu dan komunitas menjadi penjual yang proaktif, sehingga pertumbuhan dan diversifikasi pasar telah menghasilkan inovasi yang nyata dalam desain komoditas dan mekanisme pembayarannya (Williams, et al, 2001). Setiap mekanisme berusaha mengurangi resiko pasar, mengatasi pengaruh ambang batas dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan penurunan resiko dan biaya transaksi, maka partisipasi pasar akan semakin meningkat. Kendala utama adalah biaya transaksi yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan perdagangan terutama di negara berkembang. (Landell-Mills and Porras, 2002) Sekuestrasi Karbon Pohon (hutan) dalam proses fotosintesis melakukan pengikatan gas CO 2 dari udara dan membentuk biomas yang terdiri dari karbohidrat (C 6 H 12 O 6 ) dan oksigen (O 2 ) dan melepaskan sejumlah energi. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO 2 dan kaitannya dengan penurunan jumlah gas CO 2 (gas rumah kaca) di atmosfer telah banyak diteliti (Hairiah et al, 2001). Di dalam CoP7 (Conference of Parties ke-7) bulan November 2001 di Marakesh (Maroko) diputuskan bahwa kegiatan LULUCF (Land use and land use change of forestry) di negara-negara maju diizinkan sebagai rosot karbon (carbon sequestration) di bawah CDM (clean development mechanisme) pada periode komitmen pertama dan berpedoman pada Protokol Kyoto 1997 pasal 3.3 dan 3.4. Kegiatan yang dilakukan secara domestik atau melalui JI (jointly implementation) dalam proyek deforestasi, ini dapat menghasilkan unit penyerapan (remove unit RMU) untuk memenuhi target penurunan emisi negara-negara maju (Murdiyarso, 2003). Pasar bagi penggantian kapasitas pohon dalam sekuestrasi dan simpanannya (sebagai jasa lingkungan) belum terwujud. Proses pembentukan pasar tidaklah mudah dan belum tercapai satu platform perdagangan tingkat transaksi (lokal, nasional, regional, dan internasional) mekanisme pembayaran

55 33 dan derajat partisipasi pemerintah. Perdagangan karbon dengan jumlah komoditas ekuivalen 1 ton karbon telah meminimalisasi biaya transaksi. Perdagangan internasional dalam bentuk AIJ (activities jointly implementation) dan CDM untuk penggantian karbon umumnya dilakukan melalui negosiasi individual dengan industri pengembangan pasar yang masih terbatas (Sulandri, 2005). Walaupun diizinkan LULUCF dalam skema CDM masih diwarnai perdebatan dan pembahasan antara lain hanya berlaku pada periode pertama ( ), terbatas pada kegiatan reforestasi dan tidak lebih dari 1% total emisi pihak investor, namun Indonesia memliki potensi yang sangat besar untuk berperan dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui CDM dan mekanisme lainnya seperti CER (certified emission reduction) (Murdiyoso, 2003) Rekreasi dan Penelitian Keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam suatu DAS merupakan komoditas yang ditawarkan di pasar ekoturisme (wisata alami). Saat ini, pasar bagi ekoturisme dirasakan perkembangannya masih lambat terutama disebabkan pandangan operator turisme yang menganggap keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati sebagai komoditi gratis dan belum mampu membangkitkan kesediaan membayar konsumen. Bila kondisi ini berlangsung terus, maka dikhawatirkan jasa rekreasi yang ditawarkan DAS kurang mendapat tanggapan dari pasar baik domestik maupun manca negara (Pagiola, et. al, 2002). Kondisi DAS memilki ekosistem dan keindahan lansekap yang spesifik dan keanekargaman hayati yang tinggi baik dalam jenis maupun jumlah telah mengundang peneliti lokal, nasional dan internasional untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam berbagai hal terutama berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan jenis tanaman berhasiat obat (madicinal plant), pengembangan bioteknologi dan industri biogenetika yang spektakuler telah menjadikan penelitian terhadap keanekaragaman hayati dipandang sebagai komoditas yang dapat dipasarkan bahkan dengan harga jual yang tinggi. Bauman et.al (2001) menyatakan bahwa sebagian besar keanekaragaman hayati dunia

56 34 terdapat di negara-negara selatan (berkembang), akan tetapi yang lebih mendapatkan manfaat darinya adalah negara-negara utara (maju). Negara - negara maju dengan dalih melakukan penelitian telah meraup hasil yang sangat besar berupa hak paten dan intelektual, industri biogenetika dan perdagangan produknya ke negara-negara berkembang yang sebenarnya didapatkan dari negara berkembang. Pembentukan pasar bagi penelitian dan hasilnya yang adil (fair) merupakan upaya yang harus dilakukan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan dunia Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS Perubahan karakteristik hidrologis sangat dipengaruhi oleh perubahan karakteristik biofisik seperti perubahan penutup lahan, morfometrik dan geometrik DAS. Perubahan penutup dan tataguna lahan merupakan faktor yang paling rentan dan dominan berpengaruh terhadap karakteristik hidrologis suatu DAS (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2005). Ada beberapa cara untuk melihat hubungan antara hujan-aliran permukaan pada suatu skala DAS, diantaranya adalah (Andreassian, 2003) : 1. Berdasarkan perbandingan antara dua DAS yang berdekatan. Perbandingan antara dua DAS yang hampir sama (Hewlett 1982 dalam Andreassian, 2003), yang pengawasannya terus menerus hingga diperoleh perilaku-perilaku hidrologis yang cukup stabil. Kemudian, salah satu dari kedua DAS tersebut diberi perlakuan, sementara yang lainnya tetap tidak diberi perlakuan. Setelah adanya perlakuan, hubungan awal yang diperoleh digunakan untuk merekonstruksi kembali perlakuan DAS. Perbandingan diperoleh antara aliran aktual (yang diukur) dan berdasarkan aliran yang direkonstruksikan (diduga) dari pengaruh hidrologis perlakuan DAS. 2. Simulasi DAS kontrol sebenarnya. Seringkali tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi sebuah DAS yang terkontrol. Biasanya dibatasi oleh ketersediaan data jangka panjang curah hujan aliran permukaan untuk DAS yang diperlakukan. Pada kondisi ini sangat sulit untuk memutuskan efek-efek perubahan sebagaimana masa sebelum dan sesudah perubahan yang berbeda

57 35 di Stasiun Klimatologi (Hewlett, 1982, Cosandey dan Robinson, 2000). Untuk mengembalikan kepada situasi DAS-DAS yang berpasangan, maka dapat diperoleh dengan melakukan simulasi DAS kontrol yang nyata, sebagai sebuah model hujan-aliran permukaan. Sebagai contoh, kalibrasi sebuah model sebelum perlakuan, dan menggunakannya dengan curah hujan observasi untuk merekonstruksi aliran permukaan setelah perlakuan. DAS kontrol yang sebetulnya akan terdiri dari model kalibrasi sebelum perlakuan, yang dapat digunakan untuk mensimulasi aliran kontrol. Pengaruh dari perlakuan merupakan pengurangan dari perbandingan antara aliran simulasi dengan aliran hasil pengamatan. Selanjutnya, Andressian (2003) memperkenalkan model GR4J untuk menduga pengaruh perlakuan suatu DAS terhadap karakteristik aliran permukaan, dengan struktur model sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5. Gambar 5. Struktur model GR4J (Sumber : Perrin 2003).

58 36 Untuk mendeteksi sebuah DAS berdasarkan model curah hujan aliran permukaan Lorup et.al (1998) menggambarkan 3 langkah metodologi yang menggunakan model curah hujan aliran permukaan dengan maksud : 1. Menyeleksi suatu periode referensi, bagian dari periode ini digunakan untuk mengkalibrasi model parameter mewakili periode referensi. 2. Validasi dari model curah hujan aliran permukaan pada bagian kedua periode referensi dan menggunakan sebuah pendekatan statistik. 3. Gunakan model kalibrasi tersebut untuk mensimulasi aliran permukaan dan membandingkan aliran permukaan simulasi dengan observasi yang diijinkan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Todaro (2000) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan pada akhirnya harus dipikul dengan biaya yang cukup tinggi. Kelompok yang pertama dan paling banyak menanggung beban kerusakan lingkungan adalah penduduk miskin. Degradasi lingkungan menyebabkan menyusutnya tingkat produktivitas lahan pertanian per kapita. Karena pengelolaan dan pengolahan lahan marjinal merupakan sumber nafkah utama sehingga penduduk setempat yang paling menderita sehubungan dengan kerusakan lingkungan seperti banjir. Mereka tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan air bersih, sehingga 80% wabah penyakit menimpa penduduk miskin. Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi pendapatan merupakan salah satu penyebab terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan selama ini (Tietenberg, 1992). Kerusakan lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak seperti banjir. Banjir selanjutnya menimbulkan pencemaran air dan kelangkaan air bersih, membawa limbah padat dan berbahaya, degradasi kualitas tanah, kemerosotan biodiversitas yang akan berdampak pada kesehatan berupa menyebarnya penyakit menular akibat tercemarnya air, kondisi kesehatan setiap penduduk memburuk akibat kelangkaan air bersih, penyakit akibat banjir dan limpahan sampah, teracuninya air, penyusutan gizi kalangan penduduk miskin. Sedangkan dampak terhadap produktivitas adalah waktu dari para penduduk di desa banyak terbuang untuk

59 37 sekedar mencari air, sebagian kegiatan produktif terpaksa ditunda karena air bersih untuk kebutuhan sehari-hari tidak tersedia, pencemaran sumber-sumber air di bawah permukaan tanah, penurunan kemampuan adaptasi ekosistem dan hilangnya sejumlah besar sumberdaya lingkungan hidup yang esensial, sehingga perlindungan alam menjadi lemah (Todaro, 2000). Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya sosial berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya pembangunan ekonomi (Randal, 1987). Yang menjadi masalah adalah siapa yang harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah yang mengalami pencemaran (Suparmoko, 1997). Di dunia yang fana ini tidak ada sesuatu yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap menguntungkan tadi. Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya penebangan hutan terutama di daerah hulu. Dengan penebangan dan penghancuran di daerah hulu akan hancur pula sumberdaya plasma nutfah dan meningkatkan laju erosi dan banjir menghancurkan kesuburan tanah; memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi serta merusak tanaman atau semua milik manusia di daerah hilir (Yunus, 2005). Jadi disamping kegiatan itu memiliki biaya yang sungguh-sungguh harus dibayar sendiri, ternyata juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain. Oleh karena itu biaya lingkungan itu adalah nyata dan harus diperhitungkan dalam kegiatan pembangunan.

60 Konsep Valuasi Ekonomi Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Sebagai dasar untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio. Untuk itu diperlukan suatu penilaian atau pemberian nilai (harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan. Tanpa pemberian nilai dalam rupiah atau dollar sulit untuk menyatakan bahwa kegiatan itu layak adanya (Field, 1994). Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya dan logis untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Nilai atau perhitungan moneter dapat menunjukkan keperdulian yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan lingkungan, dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan, sebagai dasar pembanding secara kuantitatif dalam bentuk moneter terhadap beberapa alternatif pilihan dalam pemutusan suatu kebijakan atau pemanfaatan dana (NRM, 2001). Penilaian merupakan upaya menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat (Ramdan, et al. 2003). Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai seberapa besar nilai sumberdaya alam sangat tergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut mencakup : apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilaian dan sebagainya (Ramdan, et.al, 2003). Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka, sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan,

61 39 pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam (Duer, 1993). Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian berupa bencana atau kerusakan (Hussen, 2000). Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan lingkungan. Menurut Pearce et. al (1994), sebelum memberikan nilai dalam arti uang (moneter), perlu dipahami nilai macam apa sajakah yang dapat diberikan kepada suatu sumberdaya alam atau lingkungan. Konsep nilai ini bermacammacam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Pada dasarnya nilai lingkungan dibedakan menjadi : (a) nilai atas dasar penggunaan (instrumental value atau use value) dan (b) nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai yang melekat tanpa penggunaan (intrinsic value atau non use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan; sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah nilai yang melekat pada lingkungan tersebut. Atas dasar penggunaanya nilai itu dibedakan lagi atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (inderect use value), nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value).

62 40 Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan juga dibedakan menjadi nilai atas dasar warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value). Jadi dalam menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai totalnya (total economic value - TEV), merupakan penjumlahan nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya (Randal, 1987). Apabila ekonomi diaplikasikan pada isu-isu lingkungan, maka dapat diharapkan adanya kesadaran yang lebih mendalam untuk meningkatkan kualitas lingkungan, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan yang diharapkan. Peningkatan kualitas lingkungan juga merupakan peningkatan ekonomi apabila meningkatkan kepuasan atau kesejahteraan sosial (NRMP, 2001). Secara grafik, hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan disajikan pada Gambar 6. NILAI EKONOMI TOTAL (TOTAL ECONOMIC VALUE) NILAI DIGUNAKAN (USE VALUE) NILAI TIDAK DIGUNAKAN (NON USE VALUE) Direct Use Value Indirect Use Value Option Value Bequest Value Existence Value Output yang dimanfaatkan langsung Pangan Biomasa Rekreasi Kesehatan Manfaat Fungsional Fungsi Ekologis Pengendalian Banjir Pemanfaatan dimasa depan Keanekaraga man hayati Konservasi Habitat Habitat Perubahan tidak dapat kembali Habitat Spesies Langka Nilai Keterukuran Kepada Individu Semakin Rendah Gambar 6. Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan. (Sumber : Munasinghe, 1993).

63 Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi Kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan, terbagi paling sedikit menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu mereka yang berpihak pada pertumbuhan dan mereka yang berpihak pada konservasi. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan lingkungan dapat terjadi apabila pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat. Jadi sumberdaya alam dan lingkungan juga merupakan faktor penting dari pertumbuhan ekonomi. Apabila kualitas lingkungan turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan kemampuan untuk tumbuh. Kemungkinan lain akan muncul adalah apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan tujuan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan, maka tindakan ini juga dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Apabila pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta upaya pengendalian kerusakan atau pencemaran tidak dihentikan, maka kegiatan ekonomi menurun dengan cepat, terutama ketika pertumbuhan penduduk sedang berkembang. Secara praktis, antra ekonomi dan lingkungan memang berinteraksi satu sama lain dan saling menentukan. Aktivitas ekonomi menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung secara terus-menerus karena adanya kendala lingkungan. Jika pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan maka eksploitasi sumberdaya harus ditingkatkan dan produk sisa atau limbah kembali ke lingkungan. Eksploitasi sumberdaya yang meningkat dari waktu ke waktu akan menguras sumberdaya alam yang tersedia dan akhirnya sistem ekonomi akan memburuk (Yakin, 1997). Kepentingan ekonomi dan lingkungan sebenarnya bisa sama-sama tercapai dan tidak akan terkesan kontradiktif. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan antara dua faktor tersebut memerlukan pendekatan yang cocok bagi pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan. Secara teoritis dan praktis, penilaian ekonomi sumberdaya alam dengan berdasarkan biaya moneter dari kegiatan ekstraksi dan distribusi sumberdaya semata sering telah

64 42 mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan. Untuk mendukung penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan, maka biaya lingkungan akibat degradasi itu harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi tidak hanya pola konsumsi dan perdagangan, tetapi juga terhadap semua sumberdaya (Pearce et.al, 1994). Tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kualitas sumberdaya alam dan lingkungan dapat menjadi pembatas proses pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin tercapai apabila ada pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan yang memadai. Jadi dalam mengambil keputusan dan penerapan kebijakan di segala tingkatan masyarakat, pertimbangan-pertimbangan lingkungan perlu menjadi komponen yang terpadu. Untuk menuju sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan guna menunjang pembangunan berkelanjutan, maka setiap kegiatan perekonomian harus melakukan internalisasi. Proses ini secara konseptual benar-benar memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak lain sebagai salah satu komponen biaya produksinya. Tuntutan yang dilontarkan adalah berupa penghilangan dampak negatif yang menimpa orang lain melalui proses pemurnian atau pembersihan yang mengharuskan setiap pelaku ekonomi untuk mengeluarkan biaya tambahan, sehingga dampak negatif dimasukkan ke dalam perhitungan biaya (NRMP, 2003) Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Metode penilaian sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dibagi dua pendekatan yaitu metode berdasarkan kurva permintaan (demand curve approach) atau berdasarkan willingness to pay (WTP) dan metode berdasarkan non-kurva permintaan (non-demand curve approach) atau non-wtp. Metode berdasarkan kurva permintaan terdiri dari contingent valuation method, metode biaya perjalanan (travel cost method), dan metode harga hedonik (hedonic pricing method). Sedangkan metode berdasarkan non-kurva permintaan terdiri dari metode dosis-respon (dose-response method), metode biaya pengganti

65 43 (replacement cost), metode perilaku mitigasi (mitigation behaviour), dan metode berdasarkan opportunity cost Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Dixon dan Sherman (1990), Pearce et al (1994), Yakin (1997) menyatakan bahwa tidak ada satu metode valuasi ekonomi jasa lingkungan yang superior dapat digunakan untuk semua penilaian. Masing-masing metode valuasi memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga pemilihan metode yang tepat sangat tergantung pada tujuan valuasi ekonomi jasa lingkungan dan karakteristik penyebabnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi hasil akhir dari penelitian. Komparasi dari beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan yang umum digunakan dengan keunggulan dan kelemahannya disajikan pada Tabel Pendekatan Kurva Permintaan Salah satu pendekatan kurva permintaan (demand curve approach) adalah metode Willingness to pay (WTP) (Pearce, et al, 1994 ) atau kesediaan untuk membayar yaitu kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh konsumen tersebut. Dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan.

66 44 3. melalui suatu survai untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik. Penghitungan WTP dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu penghitungan terhadap nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi maupun penghitungan secara langsung dengan cara melakukan survai lapangan. Dalam WTP, surplus konsumen adalah selisih dari harga yang bersedia dibayarkan konsumen dengan harga aktual yang dibayarkan Pendekatan Non Kurva Permintaan Metode damage cost avoided, replacement cost dan substitute cost merupakan metode pendekatan berdasarkan bukan kurva permintaan (Pearce et.al, 1994, King dan Mazzota, 2005). Metode ini didasarkan pada kesediaan individu untuk membayar biaya preventif, biaya pengganti dan biaya substitusi atas menurunnya kualitas jasa lingkungan. Metode ini dapat digunakan untuk : 1. Menilai jasa peningkatan kualitas air dengan mengukur biaya pengendalian emisi. 2. Menilai jasa perlindungan erosi dari hutan dengan mengukur biaya pengerukan sedimentasi di daerah hilir. 3. Menilai jasa penjernihan air dengan mengukur biaya penyaringan dan perlakuan kimiawi terhadap air. 4. Menilai jasa perlindungan pantai dari ombak dengan mengukur biaya pembangunan tembok penahan ombak. 5. Menilai jasa habitat dan pemeliharaan ikan dengan mengukur pembibitan dan pelaksanaan program.

67 45 Tabel 3. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan. Metode Valuasi Keunggulan dan Kelemahan Validitas Reliabilitas Kelengkapan Kepraktisan Kelemahan Penggunaan Umum Contingent Valuation Sedang Sangat tinggi - Sangat tinggi. - Dapat mengukur kesejahteraan Tinggi - Potensi bias besar. - Butuh sumber daya penelitian yang besar. - Umumnya diterapkan di negara maju. Perubahan Habitat dan wilayah Travel Cost Sedang Sedang - Rendah - Dapat mengukur kesejahteraan Sedang - Sulit mendapatkan informasi tingkat kesenangan. - Tidak memasukkan biaya kesempatan dalam perhitungan. - Sulit menjelaskan hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan. Wisata dan rekreasi Hedonic Pricing Sedang Sedang - Rendah - Dapat mengukur kesejahteraan Sedang - Faktor intervensi terlalu besar dalam penentuan harga properti. - Tidak bisa mengestimasi nilai eksistensi. Keamanan dan kenyamanan Dose- Response Sedang Sangat rendah - Tinggi - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan Sedang - Mensyaratkan data harus lengkap. - Sulit memperkirakan fungsi efek dosis yang sinergistik. - Sulit merancang model dari keragaman respon oleh produsen. Pencemaran Air, Udara dan Bunyi Replacement Cost Sedang Sangat rendah - Tinggi - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan Sedang - Aplikasi teknik ini belum banyak dilakukan. - Sulit mengestimasi keuntungan dan kerugian secara keseluruhan. Restorasi habitat. Mitigation Behaviour Sedang Sedang - Rendah - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan Sedang - Diperlukan kesadaran lingkungan yang tinggi dari masyarakat. - Memiliki kemampuan ekonomi yang memadai. Biaya Preventif Opportunity cost Sedang Sedang - Rendah - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan Sedang - Aplikasi teknik ini belum banyak dilakukan. - Sulit mengestimasi biaya yang harus ditanggung karena ini bukan metode langsung. Pemeliharaan biodiversitas, (Sumber : Dixon dan Sherman, 1990; Pearce, et al, 1994; Yakin, 1997)

68 46 Metode ini memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan metode ini antara lain adalah : 1. Dapat menyediakan indikator nilai ekonomi dengan ketersediaan data dan dapat menjelaskan hubungan antar barang substitusi. 2. Pengukuran biaya yang menghasilkan keuntungan dapat lebih mudah dilakukan walaupun tidak memiliki pasar (non-marketed goods). 3. Metode valuasi untuk mengestimasi kesediaan membayar dapat dilaksanakan walaupun data dan informasi terbatas. Kelemahan metode ini antara lain adalah : 1. Membutuhkan informasi tingkat substitusi antara barang pasar dan sumberdaya, padahal beberapa sumberdaya lingkungan memiliki substitusi langsung dan tidak langsung. 2. Dapat digunakan setelah proyek selesai dan beroperasi. 3. Barang dan jasa lingkungan yang dibayarkan biaya penggantinya hanya mewakili sebagian dari jasa lingkungan yang disediakan oleh jasa lingkungan Pendekatan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan DAS Berkaitan Kepemilikan Sumberdaya Air. Lipper dan Zilberman (1999) dalam van den Berg (1999) menyatakan bahwa ada 2 sistem kepemilikan sumberdaya air yang didasarkan pada jarak antara masing-masing dengan sumber air yaitu riparian system (RS) dan prior appropriation system (PAS). Riparian adalah individu yang paling dekat dengan sumber air yang disebut komunitas hulu (X1) dan yang lebih jauh disebut komunitas hilir (X2). Alokasi sumberdaya air pada saat musim kemarau (debit kecil) akan dioptimalkan oleh komunitas hulu dan apabila pada saat musim hujan (debit besar) maka air dapat dimanfaatkan oleh komunitas hilir. Secara grafis kurva permintaan X1 dan X2 disajikan pada Gambar 7. Ketika pasokan air rendah maka komunitas hulu dapat menggunakan air yang tersedia hingga X1=A1.

69 47 A D1(W) D1+D2(W) W¹ C D W0 E G H A1 A2 Gambar 7. Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air. (Sumber : Lipper dan Zilberman, 1999 dalam van den Berg, 1999) Ketika pasokan air tinggi maka permintaan air dihulu sama dengan permintaan air di hilir (dapat terpuaskan) dengan keragaman biaya sebesar Wo dimana X1=X2=A1=A2. Surplus konsumen, ketika pasokan air rendah adalah sebesar AwoG dan ketika pasokan air tinggi adalah sebesar AwoH Berkaitan Kualitas Air Johansson (2000) dalam Gabel dan Folmer (2000), menyatakan bahwa perbaikan kualitas lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jasa lingkungan yang dapat dibeli oleh individu pada tingkat pendapatan tertentu. Apabila kualitas lingkungan meningkat, maka individu akan menurunkan jumlah barang yang diminta dengan tetap mempertahankan tingkat kegunaan dari jasa lingkungan tersebut. Apabila kualitas lingkungan menurun, maka individu akan menaikkan permintaan jumlah barang yang diminta dengan resiko mendapatkan tingkat kegunaan yang menurun. Oleh karena setiap individu akan berusaha mempertahankan kegunaan pada tingkat tertentu, maka individu akan melakukan kompensasi dari pendapatannya untuk perbaikan kualitas lingkungan (compensation and equivalent variation atau disingkat CV dan EV). Secara grafik disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

70 48 X ( Kuantitas) E F Y=xº A B C Garis Biaya G D Kurva Indiferen Z ( Kualitas lingkungan) Gambar 8. Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas lingkungan. Rupiah (Rp) CV=Mc-MB Mc EV=MB-MA MB 2 Marginal WTP (EV) MA 1 Marginal WTP (CV) zº z¹ Z ( Kualitas lingkungan) Gambar 9. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda. (Sumber : Johansson, 2000 dalam Gabel dan Folmer, 2000). Biaya pengganti (replacement cost) didasarkan pada estimasi besarnya biaya yang disediakan oleh pengguna jasa lingkungan untuk menghindari kerusakan lingkungan (avoid cost) atau biaya restorasi dan rehabilitasi lingkungan

71 49 (replacement cost) atau biaya substitusi atas jasa lingkungan yang mengalami kerusakan (King and Mazzotta, 2005 ; Hanley and Splash, 1995 ; Hussen, 2000 ; Pearce et al, 1994). Dengan kata lain, biaya pengganti dapat diasumsikan sebagai manfaat jasa lingkungan akibat peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi, restorasi dan konservasi ekosistem (Field, 1994). Kesediaan pengguna jasa lingkungan mengkompensasikan pendapatannya dimaksudkan untuk dapat mempertahankan tingkat utilitas tertentu yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan estimasi biaya pengganti tersebut, maka asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Besarnya biaya kompensasi yang dibayarkan pengguna jasa lingkungan sama dengan besarnya biaya perbaikan lingkungan di wilayah hulu. 2. Kualitas lingkungan tahun 2002 lebih buruk dibandingkan tahun Rp MBI2 MBI1 E F 3 GB = Y = X0 A B C Garis Biaya MAI1 MAI2 2 G D H I3 I2 I1 1 z2 z1 z3 Z ( Kualitas lingkungan) Gambar 10. Kurva marginal WTP (CV dan EV) pada berbagai kondisi lingkungan. 3. Apabila prinsip pada Gambar 8 dan Gambar 9 dikembangkan lebih lanjut, maka diperoleh Gambar 10.

72 50 4. Garis biaya (budget line) y = p Xo dimana y = pendapatan tetap, p = harga barang privat dan Xo = jumlah barang privat yang diminta. Karena jasa lingkungan tidak memiliki harga pasar maka nilai p = 0 (free of charge), sehingga biaya maksimal lingkungan (environmental cost) GB = y = Besarnya biaya marginal lingkungan MBI1 = rata-rata kenaikan biaya marginal lingkungan tahun Z 1 dan MBI2 = rata-rata kenaikan biaya marginal lingkungan tahun Z Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan adalah sebesar CV1 + CV2. Dimana CV1 = (MBI2 MBI1) dan CV2 = (MBI1 GB). 7. Kompensasi sebesar (CV1 + CV2) oleh pengguna jasa lingkungan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi rehabilitasi dan konservasi Review Penelitian Terdahulu Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa dari 12 tipe penggunaan lahan di DAS Citarum, penggunaan lahan terluas adalah kebun campuran dan permukiman (26,98%) dan tegalan (15,60%), sedangkan sawah di wilayah datar dan berlereng masing-masing 19,03% dan 7,68% serta hutan sebesar 9,9% dari luas DAS sebesdar ha. Selanjutnya, Wahyunto et.al (2001) melaporkan bahwa telah terjadi pengurangan luas lahan hutan dan sawah di daerah aliran sungai Citarik (bagian hulu DAS Citarum) sebagai akibat pertumbuhan penduduk, pembangunan dan industri. Suryani dan Agus (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pada periode di DAS Cijalupang, kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling luas mengalami pengurangan yaitu 7,27% ( ha), lahan hutan 2,35% (65,51 ha), lahan sawah 0,93% (26,10 ha) dan semak 0,67% (18,67 ha). Akan tetapi, terjadi penambahan luas lahan tegalan 5,64% ( ha), permukiman 5,11% ( ha) dan pertumbuhan teh 0,46% (1.292 ha). Perubahan penggunaan lahan meningkatkan total hasil air tahunan meskipun tidak signifikan (+0,35%). Perubahan signifikan terjadi pada aliran permukaan meningkat sebesar 12,37% dan aliran dasar menurun 2,54%.

73 51 Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pengalihan fungsi lahan non sawah menjadi lahan sawah di DAS Citarum telah menyebabkan meningkatnya potensi terjadinya longsor. Lahan sawah lebih peka terhadap longsor mulai dari lereng dengan kemiringan diatas 3% sedangkan lahan non sawah baru pada elevasi diatas 8%. Kecuali faktor curah hujan, potensi longsor dipengaruhi oleh kondisi tanah dan vegetasi. Jangkauan akar tanaman dapat mempengaruhi tingkat kerawanan longsor (tanaman pangan semusim lebih rawan longsor bila dibandingkan dengan tanaman keras-pohon). Volume tanah longsor di wilayah lahan sawah rawan longsor berkisar antara m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta Rp. 16 juta per hektar) dan wilayah non sawah berkisar antara m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta Rp. 20,3 juta per hektar). Sutono et. al (2003) dalam Kurnia et. al (2004) mengemukakan bahwa lahan sawah lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi di DAS Citarum, potensi erosi lahan sawah lebih rendah (0,33 1,45 ton/ha/th) dibandingkan dengan lahan kering (5,7 16,5 ton/ha/th). Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah lahan hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran dan tegalan. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Secara lengkap rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum. Penggunaan Rata-rata erosi / DTA (ton/ha/th) lahan Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hilir Hutan 0,13 0,24 0,14 0,24 Kebun campur 8,40 15,40 36,84 30,38 Karet 0,00 8,85 11,39 40,75 Permukiman 0,03 0,02 0,15 0,02 Sawah 0,33 0,40 1,45 1,13 Semak belukar 1,12 1,61 0,47 0,95 Tegalan 22,02 61,31 40,05 35,66 Teh 23,11 26,94 9,65 33,48 Sumber : Sutono et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004)

74 52 Tala ohu et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa keberadaan lahan sawah di DAS Citarum berpengaruh baik terhadap daya sangga air potensial dibandingkan dengan lahan non sawah (perkebunan teh, perkebunan karet, semak belukar, kebun campuran, tegalan dan permukiman dan industri). Rata-rata daya sangga air potensial di DAS Citarum untuk lahan sawah adalah 0,094 m dan rata-rata tertimbang untuk non sawah adalah 0,074 m. Besarnya biaya pengganti untuk fungsi pengendalian banjir (bila lahan sawah dialihkan menjadi non sawah) adalah USD 4,970 juta/th. Watung et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) mengemukakan bahwa mempertahankan lahan sawah ( ha) di DAS Citarum akan mempreservasi (mendaur ulang penggunaan) air tanah sebesar m³/th. Dengan menggunakan nilai biaya pengganti setara dengan USD (air digunakan kembali untuk irigasi) dan USD (air digunakan kembali untuk air minum). Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2002) menunjukkan bahwa cadangan air tanah di Sub DAS Cilalawi, Cikao dan Ciherang (wilayah hulu Waduk Jatiluhur) masih cukup baik. Di Sub DAS Cilalawi sebanyak 47% volume hujan menjadi cadangan air tanah, di Sub DAS Cikao sebanyak 54% dan Sub DAS Ciherang sebanyak 46%. Selanjutnya hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) menunjukkan bahwa simulasi neraca air DAS dengan melakukan perubahan penggunaan lahan, yaitu menambah luas lahan hutan 10% dari masing-masing Sub DAS, dapat meningkatkan produksi air DAS dan menurunkan aliran permukaan sebanyak 15% (Sub DAS Cilalawi), 0,8% (Sub DAS Cikao) dan 25% (Sub DAS Ciherang). Simulasi dengan model AGNPS menunjukkan bahwa penambahan luas hutan (10%) dapat menurunkan aliran permukaan 8,96%, erosi permukaan 86,82% dan sedimen 40,47% (Sub DAS Cilalawi), erosi permukaan 80,85% dan sedimen 5,72% (Sub DAS Cikao), erosi permukaan 75% dan sedimen 4,55% (Sub DAS Ciherang). Rizaldi Boer et. al. (2004) menyatakan bahwa DAS Citarum sangat rentan terhadap perubahan iklim. Apabila tidak ada perubahan iklim dan tingkat penggunaan air Sungai Citarum 10% dari aliran tahunan (7.660 juta³) maka akan menimbulkan defisit air di wilayah hilir seperti Karawang, Bekasi dan

75 53 Purwakarta, bahkan defisit dapat mencapai 60 juta m³/th. Dengan menaikkan curah hujan persen dari saat ini, ketersediaan air di Citarum tetap tidak memenuhi bila pengambilan air sungai sebesar 10% dari aliran tahunannya dan sebagian besar wilayah hilir tersebut akan mengalami kekurangan air. Republika (2005) dalam hariannya menyatakan bahwa pengelolaan DAS Citarum menghadapi kendala tata ruang. Buruknya pemetaan ruang wilayah hulu sungai menjadi penyebabnya ha (65%) lahan kritis berada diarea DAS Citarum dan Ciliwung (di Jawa Barat ha). Bangunan rumah, industri dan kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya kondisi wilayah hulu Citarum (Nandang, BP DAS Citarum-Ciliwung Bogor). Hasil penelitian Prihadi (2005) menunjukkan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam kondisi buruk, didasarkan pada kadar sulfat, fosfat, zat organik, H 2 S, amonia dan nitrit sudah melebihi ambang batas baku mutu lingkungan. Jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata sebesar keramba telah melebihi ambang batas kapasitasnya yaitu sebesar keramba. Sedangkan Ismail (2007) telah menghitung nilai ekonomi total (NET) sumberdaya air Waduk Jatiluhur (Ir.H.Djuanda) adalah Rp. 160,197 miliar/th yang terdiri dari nilai guna langsung (NGL) sebesar Rp. 149,266 miliar/th (93,18%), nilai guna tidak langsung (NGTL) Rp. 3,328 miliar/th, nilai pilihan (NP) Rp. 3,520 miliar/th dan nilai bukan guna (NBG) Rp. 4,081 miliar/th. Nilai guna langsung terbesar adalah pemanfaatan air untuk pembangkit energi listrik PLTA Jatiluhur sebesar Rp. 72,131 miliar/th. Penurunan kualitas air waduk akibat tingginya konsentrasi H 2 S telah menyebabkan karat (korosif) pada komponen peralatan PLTA sehingga menurunkan umur ekonomisnya dan memperbesar biaya operasional sebesar persen. Asdak (2007) dalam Pikiran Rakyat (2007) menyatakan bahwa tingkat sedimentasi sungai Citarum saat ini mencapai tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan data 1998 hingga tahun 2004 laju sedimentasi sungai Citarum di mulut Waduk Saguling mencapai 4 juta m³/th. Tingginya laju sedimentasi akan

76 54 mempengaruhi kinerja PLTA yang menggunakan sumberdaya air sungai Citarum sebagai energi pembangkitnya. Tingginya laju sedimentasi ini juga menujukkan tingginya degradasi sumberdaya lahan dan air di wilayah hulu Citarum. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan upaya yang konkrit misalnya pemberian insentif kepada masyarakat hulu Citarum yang mengkonservasi lahannya melalui penanaman kembali hutan dan lahan yang terdegradasi. Hasil review penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu belum melakukan : 1. Penelitian tentang pengaruh kualitas lingkungan terhadap biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air mulai dari hulu (penyedia jasa lingkungan) sampai dengan hilir (pengguna/pemanfaat) secara parsial dan komprehensif belum pernah dilakukan. 2. Penggunaan model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan biaya eksternalitas. 3. Penelitian biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air sebagai akibat degradasi lingkungan untuk setiap output produksi (Rp/MWh produksi energi listrik PLTA dan m³ air minum produksi PDAM).

77 3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. SWP DAS Citarum Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Citarum DS terletak dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang meliputi 4 wilayah Kabupaten dan 5 wilayah administrasi pengelolaan hutan (KPH). SWP DAS tersebut terbagi dalam beberapa wilayah Sub SWP DAS, DAS dan Sub DAS, antara lain Sub SWP DAS Citarik, Ciminyak, Cibuni, Cisokan, Cililin, Cipicung, Cikapundung, Cibeet, Cikondang dan Cipunagara. Luas wilayah SWP DAS Citarum DS sebesar ha, yang terdiri dari kawasan hutan 22,44% dan sisanya sebagian besar terdiri dari persawahan (24,84%), perkebunan (15,08%), perladangan (21,15%), pemukiman dan lain-lain (16,49%) dengan luas wilayah prioritasnya ha. Dalam SWP DAS tersebut terdapat lahan kritis seluas ha, sekitar ha terletak di luar kawasan hutan dan ha terletak di dalam kawasan hutan. Jenis tanah pada umumnya lasotol, aluvial glei, andosol-grumosol, podzolik merah, mediteran brown forest dan regosol-renzina. Topografi lapangan pada umumnya datar sampai bergunung. Berdasarkan pembagian tipe iklim menurut Schmidt & Ferguson wilayah ini termasuk dalam dalam tipe iklim C dan D, dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunan mm. Kondisi tata air (angkutan sedimen pada air sungai dan fluktuasi debit) SWP DAS Citarum DS, Tahun 1980 s/d 1982 adalah sebagai berikut : 1. Sub SWP DAS Cikapundung, sedimentasi: 0,008 juta ton/th, rasio Q maxmin sebesar Sub SWP DAS Ciminyak, sedimentasi : 0,03 juta ton/th, (0,24 mm/th). 3. Sub SWP DAS Cibeet, sedimentasi : 0,40 juta ton/th, (2,09 mm/th). 4. Sub SWP DAS Cikondang Cipunagara, sedimentasi : 6,1 juta ton/th, (21,7 mm/th).

78 56 Jumlah penduduknya orang, dengan kepadatan rata-rata 640 orang/km² dengan pertambahan penduduk 1,67%/tahun. Mata pencaharian penduduk pada umumnya bertani (16,94%), berdagang (5,74%), pegawai (4,71%), nelayan (1,02%), buruh dan lain-lain (15,77%). Dalam SWP DAS Citarum, terdapat Waduk dan Bendungan Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Ir. H. Djuanda) yang perlu diamankan melalui upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Sehubungan dengan itu pada Pelita V sasaran kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada SWP DAS telah ditetapkan seluas ha, untuk sasaran kegiatan di luar kawasan hutan seluas ha dan di dalam kawasan hutan ha, yang dilaksanakan antara lain pada Sub SWP DAS Citarik- Cikapundung, Ciminyak-Cisokan, Cibuni-Cisadea, DAS Cikao-Cibeet dan Cipunagara-Ciasem. (Departemen Kehutanan, 1990). Pada Gambar 10 disajikan Peta Lokasi Penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum) Perum Jasa Tirta II Jatiluhur Moto perusahaan ini adalah Berkembang dan Berbakti yang diwujudkan dengan kerja keras dan disiplin di dalam melaksanakan tugas pokok setiap jajaran organisasi. Hal ini terbukti dengan diraihnya Sertifikat Sistem Jaminan Mutu ISO-9001 tahun 1994 dengan ruang lingkup penyediaan air baku untuk DKI Jakarta, pembangkitan dan penyaluran listrik PLTA Ir.H. Djuanda. Diharapkan tahun-tahun mendatang perusahaan akan selalu dapat meningkatkan kepuasan pelanggan serta mempertahankan Perum Jasa Tirta II (PJT II) sebagai perusahaan yang sehat dan wajar tanpa pengecualian, untuk turut serta membangun ekonomi regional dan nasional berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang profesional Latar Belakang Pembentukan Perum Jasa Tirta II Pengembangan sumberdaya air terpadu sungai-sungai di Jawa Barat bagian utara menjadi satu kesatuan hidrologis dengan Citarum sebagai sumber utama. Bentuk pengelolaan bendungan atau waduk, PLTA dan jaringan pengairan Jatiluhur sejak dibentuk tahun 1957 sampai dengan sekarang adalah :

79 57 Gambar 11. Peta Lokasi Penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum). 1. Proyek Serbaguna Jatiluhur ( ) Pembangunan Proyek Nasional Serbaguna Jatiluhur yang meliputi Waduk atau Bendungan Utama dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta sarana sistem pengairan dinyatakan selesai pada tahun Proyek serbaguna Jatiluhur merupakan Tahap I dari pengembangan sumberdaya air di Wilayah Sungai Citarum dengan tujuan utama meningkatkan produksi bahan pangan nasional yaitu beras. Untuk mengenang jasa salah satu putra terbaik bangsa Indonesia, bendungan dan PLTA Jatiluhur diresmikan dengan nama Ir. H. Djuanda. 2. Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur ( ) Agar potensi yang timbul dengan selesainya proyek Jatiluhur dapat diusahakan secara maksimal maka dibentuk Badan Usaha Negara dengan nama Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1967 tanggal 24 Juli Perum Otorita Jatiluhur ( ) Sebagai Badan Usaha, pada waktu itu PN Jatiluhur dalam usahanya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan. Penyediaan air untuk pertanian yang bersifat sosial diusahakan secara komersil, sehingga

80 58 pengelolaan sumberdaya air menjadi tidak harmonis dan tujuan utama proyek menjadi tidak tercapai. Agar pemanfaatan dan pengembangan potensi-potensi yang timbul dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka pengurusannya harus didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah membentuk perusahaan umum dengan nama Perusahaan Otorita Jatiluhur (POJ). Dengan dibentuknya POJ, maka badan-badan atau proyekproyek dan dinas-dinas yang berada dibawah pengembangannya dan tugas serta kewajibannya menyangkut tujuan, tugas dan lapangan usaha POJ, dilebur kedalam POJ. Badan badan tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Departemen Pekerjaan Umum), Proyek Pengairan Tersier Jatiluhur (Departemen Dalam Negeri), PN Jatiluhur, (Departemen Perindustrian), Jawatan Pekerjaan Umum Jawa Barat Wilayah Purwakarta (Provinsi Jawa Barat). 4. Perum Jasa Tirta II ( 1999 Sekarang ) Perum Otorita Jatiluhur dibentuk berdasar PP Nomor 20 Tahun 1970, kemudian disesuaikan dengan PP Nomor 35 Tahun 1980 dan pada Tahun 1990 disesuaikan lagi dengan PP Nomor 32. Dengan terbitnya PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum, maka POJ diubah dan disesuiakan dengan nama Perum Jasa Tirta II ( PJT II ) berdasarkan PP Nomor 94 Tahun Sifat usaha PJT II adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan Daerah Kerja Perusahaan Wilayah kerja PJT II mencakup 74 sungai dan anak sungainya yang menjadi kesatuan hidrologis Jawa Barat bagian utara. Daerah kerja PJT II berada di wilayah sungai Citarum dan sebagian sungai Ciliwung-Cisadane meliputi daerah seluas kurang lebih km². Wilayah pelayanan Perum Jasa Tirta II pada dua Provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta yang mencakup sebagian Jakarta Timur, Jakarta Utara, Kota dan Kabupaten Bekasi, Karawang,

81 59 Purwakarta, Subang, sebagian Indramayu, sebagian Sumedang, Bandung termasuk Kota Bandung, Cianjur dan sebagian Kabupaten Bogor Maksud, Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan Maksud didirikannya PJT II adalah menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan atau sumber-sumber air termasuk pemberian informasi, rekomendasi, penyuluhan dan bimbingan. Tujuan Perusahaan adalah turut membangun ekonomi nasional dengan berperan serta melaksanakan program pembangunan nasional didalam pengelolaan air, sumber-sumber air dan ketenagalistrikan. Visi perusahaan adalah terwujudnya perusahaan yang terkemuka dan berkualitas dalam pengelolaan air dan sumberdaya air untuk memberikan pelayanan terbesar dalam penyediaan air untuk berbagai kebutuhan dan sumbangan terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan visi perusahaan ditetapkan misi sebagai berikut : 1. Penyediaan air baku untuk minum, listrik, pertanian, industri, pelabuhan, penggelontoran dan kebutuhan lainnya. 2. Pembangkitan dan penyaluran listrik tenaga air. 3. Pengembangan kepariwisataan dan pemanfaatan lahan. 4. Mempertahankan ketahanan pangan melalui penyediaan air pertanian dan pengendalian bahaya banjir dengan upaya pelestarian perlindungan lingkungan melalui pemberian informasi, rekomendasi dan penyuluhan. 5. Memaksimalkan laba dan meningkatkan keuntungan berdasarkan prinsip bisnis untuk terjaminnya kelestarian aset negara dan kesinambungan pelayanan kepada masyarakat Tugas Pokok dan Lapangan Usaha. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor. 94 Tahun 1999 tanggal 13 Oktober 1999 dan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 18/KPTS/M/2000 tanggal 15 Desember 2000, tentang Pedoman Kegiatan

82 60 Operasional Perum Jasa Tirta II, tugas, lapangan usaha dan kegiatan perusahaan meliputi : 1. Tugas Pokok ; a. Eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan dan ketenagalistrikan ; b. Pengusahaan air, sumber-sumber air dan ketenagalistrikan ; c. Pengelolaan DAS antara lain perlindungan, pengembangan dan penggunaan air serta sumber air ; d. Rehabilitasi prasarana ketenagalistrikan. 2. Unit Usaha dan Pelayanan Umum Pelaksanaan tugas-tugas pokok dan lapangan usaha PJT II diselenggarakan oleh unit-unit usaha dalam rangka memobilisasi usaha dari potensi yang ada di perusahaan meliputi pengelolaan prasarana dan sarana pengairan, ketenagalistrikan dan pelayanan umum, sebagai tugas pemerintah yang bersifat sosial, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Unit-unit usaha a. Unit usaha perlistrikan Daya terpasang PLTA Ir.H Djuanda di Jatiluhur antara tahun telah ditingkatkan (up rating) dari 150 MW menjadi 187 MW. Produksi listrik ratarata dalam setahun 900 juta kwh, sebagian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan pengembangan usaha, sedangkan sisanya dijual ke PT. PLN (Persero), melalui tegangan 150 KV dan 70 KV. PJT II tidak menyalurkan langsung kepada konsumen. Selain itu pada sistem pengairan terdapat banyak bangunan terjun dengan potensi Microhydro antara 50 kva kva. b. Unit usaha air baku. Menyediakan dan menyalurkan air baku dari sumber-sumber air, bagi PDAM Kabupaten dan PAM Jaya mencapai 473 juta m³ (2001). Disamping itu menyediakan pula air baku kawasan industri dan zona-zona industri di daerah kerja perusahaan, mencapai 195 juta m³ (2001). c. Unit usaha Kepariwisataan. Jatiluhur merupakan salah satu tujuan wisata di Jawa Barat dengan obyek danau buatan yang sangat luas (8.300 ha), dengan pemandangan alam yang

83 61 sangat indah dipadukan dengan karya teknis hidrolis berupa bendungan yang sangat besar serta PLTA. Usaha Kepariwisataan dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas purna proyek serba guna Jatiluhur yang berada di sekitar waduk Jatiluhur untuk penginapan, pertemuan, olahraga dan rekreasi air. Tahun 2002 dilengkapi dengan gedung serba guna yang dapat menampung lebih dari 300 orang peserta, disamping bisa digunakan perhelatan seperti pesta perkawinan dan lain - lain. Di bidang wisata air telah diperbaharui sebuah kapal motor. d. Usaha lain-lainnya adalah sebagai berikut : (1) Pemanfaaatan lahan. Dalam upaya pengamanan dari pemanfaatan tanpa ijin dan mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan negara, PJT II menyediakan jasa pemanfaatan lahan dengan cara sewa dalam waktu tertentu atau kerjasama usaha. (2) Pelayanan rekayasa teknik dan jasa laboratorium. Bagi pemanfaat potensi di lingkungan perusahaan, PJT II menyediakan pelayanan rekayasa tehnik antara lain penyelidikan tanah, pengukuran, dan perencanaan teknis untuk bangunan pengairan. Di samping itu, PJT II menyediakan jasa pelayanan laboratorium untuk penelitian kualitas air yang merupakan salah satu laboratorium rujukan di Jawa Barat. (3) Jasa alat-alat berat. PJT II memiliki berbagai jenis alat berat untuk pemeliharaan jaringan pengairan, dapat disewakan kepada pihak lain untuk kegiatan di lingkungan daerah kerja PJT II. 2. Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi Dalam rangka penyediaan bahan pangan nasional terutama beras, perusahaan senantiasa mengupayakan penyediaan air rata-rata sejumlah 5,75 miliar m³ setiap tahun. PJT II mengelola dan menyediakan air irigasi untuk sawah seluas ha di Pantura, meliputi ha sawah mendapatkan air dari Waduk Jatiluhur (irigasi Jatiluhur) dan ha sawah dari sumber setempat (irigasi selatan Jatiluhur).

84 62 Dari lahan sawah tersebut dihasilkan 2,9 juta ton gabah kering pungut, setara dengan 40% produksi Jawa Barat atau 8% produksi nasional. Jika harga dasar gabah Rp ,- per kg, maka lahan sawah irigasi yang dikelola PJT II menghasilakan pendapatan sebesar Rp. 3,522 triliun. Menurut pakar pertanian, penyediaan air untuk produksi padi adalah 20% dengan demikian kontribusi PJT II dalam penyediaan air bernilai lebih kurang Rp. 710 miliyar/tahun. Dalam pengelolaan DAS, PJT II mempunyai kewenangan pengelolaan dalam batas-batas aliran sungai (in-stream), serta melaksanakan kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sarana serta prasarana pengairan. Selain itu juga turut serta dalam upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan air dan sumber-sumber air dengan memberikan informasi, rekomendasi, penyuluhan atau bimbingan kepada pemanfaat air dan sumber-sumber air. 3. Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1232/KMK.013/1989, jo. Nomor : 316/KMK.016/1994 serta petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi (PPEL&K) di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum tahun 1992 Nomor : UM MN/500, Perum Jasa Tirta II telah melaksanakan Program Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi sejak tahun Dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada Koperasi dan Usaha Kecil serta Program Sarjana Pelaksana Konsultasi Manajemen Koperasi (PK MK), PJT II telah memberikan bantuan dana kepada KUD Desa tertinggal sebanyak 598 mitra binaan dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp. 2,4 milyar. Pada tahun 1996 PUKK PJT II (pada saat itu POJ) mendapat penghargaan UPAKARTI dari Pemerintah Arah Pengembangan Perusahaan Arah Pengembangan Perusahaan difokuskan pada : 1. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan prasarana produksi yang ada.

85 63 2. Program peningkatan produksi air baku dan pariwisata diharapkan dapat dilaksanakan dengan bermitra sektor swasta. 3. Peningkatan kemampuan dana perusahaan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah, khususnya mendukung pemenuhan pangan nasional melalui pengembangan pendapatan dari tarif pemanfaatan sumberdaya air. 4. Melaksanakan pengkajian tentang Pembentukan Badan Pengelolaan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Way Seputih. Selain itu, program kegiatan bidang pengembangan perusahaan meliputi pengembangan unit usaha, menambah kemampuan perusahaan, penugasan pemerintah, pemanfaatan lahan, pengembangan sumberdaya air dan pengendalian banjir. a. Pengembangan Unit Usaha 1). Tarif Energi Air PJT II akan menjajagi kemungkinan pengenaan tarif kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata. Perhitungan tarif, sementara ini adalah Rp. 5,-/kWh 2). Operasi Minihydro di Curug Minihydro di Curug selesai tahun 2002 dengan kapasitas pembangkitan 6,3 MW. Sebagian dari produksi listrik yaitu sebesar 3,0 MW dapat dipasarkan ke PLN dan sebagian lagi yaitu sebesar 3,3 MW untuk dipakai sendiri. 3). Peningkatan air baku untuk Bandung Raya dari 340 liter/detik menjadi liter/detik dengan membangun saluran terowongan antara SWS (Interbasin Cibutarua) dioperasikan mulai tahun 2001, bekerjasama dengan investor swasta. 4). Peningkatan pariwisata diupayakan melalui kerjasama dengan swasta untuk investasi pembangunan fasilitas bermain anak-anak, pembangunan agro wisata, conference room dan rehabilitasi kolam renang. 5). Perubahan Kepmen PU No. 375/1993 jo No. 361/1996 tentang pemanfaatan lahan dan situ diperlukan untuk investasi jangka panjang. 6). Penambahan modal perusahaan untuk memberdayakan lahan-lahan potensial.

86 64 7). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13/1998 dimungkinkan mendirikan anak perusahaan. Calon anak perusahaan direncanakan adalah kegiatan pariwisata dan jasa konsultansi. b. Peningkatan Kemampuan Perusahaan Peraturan Menteri No. 52/PRT/1991 menetapkan bahwa biaya operasi pemeliharaan (OP) jaringan irigasi bersumber dari pemerintah. Mengingat selama ini biaya OP jaringan irigasi bersumber dari subsidi silang PJT II, maka diharapkan dengan tersedianya dana dari pemerintah tersebut dapat meningkatkan kemampuan perusahaan. Selain itu, dilaksanakan program berupa konstruksi fisik, pelatihan, desain dan studi terdiri dari : a. Metropolitan Bandung Urban Development Program. Proyek prioritas I (pada periode RJP) berkaitan dengan pengembangan sumber daya air yaitu Cibutarua Interbasin Canal, untuk menaikan kehandalan pasok air sungai Cisangkuy untuk PDAM Kabupaten Bandung dan peningkatan pasok air sungai Citarik di Kecamatan Tanjung Sari. b. Rehabilitasi Pompa Tarum Timur. Rehabilitasi 6 unit pompa telah beroperasi sejak tahun 1968 dengan sumber dana bantuan Pemerintah Perancis. Penandatanganan kontrak pelaksanaan pada bulan Agustus 1995 dan diselesaikan c. Pembangunan Minihydro Power Plant Bendung Curug. Pekerjaan desain, manufacturing dan pemasangan mini hydro 2x3 MW yang dibiayai oleh dana bilateral dari pemerintah Perancis, yang semula dijadwalkan selesai pertengahan tahun 1998, baru selesai akhir tahun d. Pengendalian Banjir Sungai Citarum. Pelaksanaan Proyek Pengendalian Banjir mendesak di Citarum Hulu dana bantuan dari OECF dan ADB. e. Rehabilitasi Situ Lembang. Dalam rangka mengantisipasi peningkatan permintaan pasok air baku di daerah Cimahi, maka diperlukan peningkatan daya tampung Situ Lembang sehingga mampu menambah pasokan air baku sebesar 200 liter/detik (2003). f. Rehabilitasi situ-situ yang masih berfungsi sebagai penyediaan air irigasi dan pengendalian banjir.

87 65 g. Jatiluhur Water Resources Management Project Preparation Study. Menyangkut penyiapan desain teknik peningkatan Saluran Induk Tarum Barat, Tarum Timur, termasuk pembangunan sypon kali Bekasi, Bendungan Cikarang dan Cibeet untuk meningkatkan kualitas air baku ke PT.Thames PAM Jaya dan peningkatan kapasitas pemompaan ke Saluran Tarum Barat Unit Bisnis Pembangkitan Saguling PT. Indonesia Power adalah salah satu anak perusahaan listrik milik PT. PLN (Persero) yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dengan nama PT. PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali (PT.PLN PJB I dan II) dan pada tanggal 3 Oktober 2000 PT.PLN PJB I resmi berganti nama menjadi PT. Indonesia Power. PT. Indonesia Power meiliki unit bisnis pembangkitan dan pemeliharaan. Unit-unit bisnis pembangkit tersebut adalah : Unit Bisnis Pembangkit Suralaya, Tanjung Priok, Saguling, Kamojang, Mrica, Semarang, Perak, Grati dan Bali serta unit jasa pemeliharaan. Kiprah PT. Indonesia Power dalam pengembangan usaha penunjang di bidang pembangkit tenaga listrik juga dilakukan dengan membentuk anak perusahaan PT. Cogindo Daya Perkasa (saham 99,9%) yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan dan manajemen sinergi dengan penerapan konsep Cogeneration dan Distributed Generation, juga PT. Indonesia Power mempunyai saham 60% di PT. Arta Daya Coalindo yang bergerak di bidang usaha perdagangan batu bara. Aktivitas kedua anak perusahaan ini diharapkan dapat lebih menunjang peningkatan pendapatan perusahaan di masa mendatang. UBP Saguling merupakan salah satu Unit Pelaksana Pengusahaan yang berada di bawah PT. Indonesia Power dan sebelumnya bernama PLN Sektor Saguling terbentuk sesuai dengan surat PLN Pusat No. 064/DIR/1984 tanggal 10 Mei 1984 yang mengelola PLTA Saguling. Dengan adanya perubahan Struktur Organisasi dalam rangka menuju kearah spesialisasi, maka keluar surat keputusan Pemimpin PLN Pembangkit dan Penyaluran Jawa bagian Barat NO. 006.K/023/KJB/1991 tanggal 28 Pebruari 1991 dan SK Direksi PT. PLN PJB I

88 66 No. 001.K/030/DIR/1995 tanggal 16 Oktober 1995, yaitu yang semula mengelola 1 unit ditambah 7 unit hingga 8 unit PLTA, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling. No PLTA Tahun Operasi Daya Terpasang Total MW Saguling Kracak Ubrug Pleangan Lamajan Cikalong Bengkok & Dago Pasir Kondang 1985, , , ,1982, , x 175,17 3 x 6,30 2 x 5.94, 1 x 6,48 3 x 1.08, 1 x 2.02, 1 x 1,61 3 x 6,52 3 x 1,05 3 x 1.05, 1 x x 2.49, 2 x 2,46 700,72 18,90 18,36 6,87 19,56 19,20 3,85 9,90 Sumber : Profil UBP Saguling, Sedangkan misi dari Unit Bisnis Pembangkit Saguling ialah Mengelola Bisnis Pembangkit Hidro dan Memberdayakan Sumberdaya Melalui Kemitraan, Guna Menjamin Kontinuitas Dan Pertumbuhan Perusahaan Dalam Jangka Panjang, dan mottonya adalah Mari...Kita Bersinergi Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling disajikan pada Gambar 12. GENERAL MANAJER MANAJER HUMAS - ENJINER PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN - ENJINER LINGKUNGAN, ASURANSI DAN KS MNGR SISTEM &SDM MNGR KEU MNGR PEMELIHARAAN MNGR OPR & NIAGA MNGR SUB UNIT BISNIS ANEKA USAHA PLTA SAGULING MW PLTA UBRUG MW PLTA LAMAJAN MW PLTA BENGKOK 3.85 PLTA SAGULING MW PLTA UBRUG MW PLTA LAMAJAN MW PLTA BENGKOK 3.85 MW Gambar 12. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling. (Sumber : Profil UBP Saguling, 2006).

89 67 Dengan komitmen dan kebijakan yang dicanangkan tahun 1999 (Strategi Rencana Jangka Panjang Tahun ) dan ditindaklanjuti didalam Rencana Kerja dan Anggaran serta Kontrak Manajemen Tahun berjalan didapat hasil dengan diraihnya sertifikat : a. Sertifikat Zero Accident (Nihil kecelakaan periode ). b. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bendera Emas Tahun 2001 dan c. Sertifikat System Manajemen Mutu ISO 9001 Versi 2000 Tahun d. Sertifikat System Manajemen Lingkungan ISO Tahun e. Penghargaan Forum Efficiency Drive Program Terbaik I Tahun f. Penghargaan Terbaik I Kategori Bersahabat Dengan Lingkungan Tahun Memberdayakan sumberdaya seperti tanah, bangunan, fasilitas bengkel dan SDM untuk memperoleh pendapatan lain di luar bisnis utama dengan mengembangkan usaha-usaha komersil antara lain : a. Pengelolaan pemberdayaan dengan dikelola sendiri, bekerjasama dengan pihak kedua dengan cara bagi hasil maupun kemitraan. b. Penelitian kualitas air waduk, danau, dan kawasan terbuka hijau untuk melihat tingkat pencemaran, kerjasama dengan PPSDAL LP UNPAD dan ITB dilaksanakan per triwulan. c. Pemantauan dan pengukuran sedimentasi di waduk dilaksanakan per semester serta penghijauan disekitar waduk. d. Pasang rambu pengaman dan patok batas dipinggir waduk. Peduli lingkungan melalui program community development pemanfaatan aset lahan surutan di pinggir waduk oleh masyarakat sekitarnya diantaranya ialah: a. Pengobatan medis dan alternatif secara gratis dan donor darah. b. Mengadakan khitanan massal. c. Bea siswa dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi dan pertandingan olah raga serta perbaikan sarana umum (MCK, jalan, fasilitas ibadah, dan lain - lain).

90 PLTA Saguling PLTA Saguling terletak sekitar 30 km sebelah barat Kota Bandung dan 100 km sebelah tenggara DKI Jakarta dengan kapasitas terpasang 4 x 175,18 MW dan produksi listrik rata-rata per tahun = 2,158 GWh (CF = 35,12%). Fungsi PLTA Saguling dalam kelistrikan se-jawa dan Bali, selain untuk memikul beban puncak juga berfungsi sebagai pengatur frekuensi sistem. Hal ini dimungkinkan dengan diterapkannya peralatan LFC (Load Frequency Control) di PLTA Saguling. Sampai saat ini telah beroperasi 3 PLTA Sistem Kaskade di aliran sungai Citarum dan salah satunya adalah PLTA Saguling yang lokasinya berada paling hulu. Sedangkan bagian hilirnya berturut-turut adalah PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur. Energi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling disalurkan melalui GITET (gardu induk tegangan ekstra tinggi) Saguling dan diinterkoneksikan ke sistem se-jawa dan Bali melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET 500 KV) untuk selanjutnya melalui GITET dan Gardu Distribusi disalurkan ke konsumen. Untuk menjaga keandalan unit pembangkit, maka dilaksanakan pemeliharaan, baik yang bersifat rutin, predictive maintenance maupun periodik. Begitu pula untuk mengetahui lebih dini jika terjadi kelainan-kelainan pada kondisi bangunan air, secara rutin dilaksanakan pemantauan instrumentasi (monitoring) yang meliputi pemantauan survai, geoteknik, instrumentasi DAM dan sedimentasi. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling disajikan pada Tabel 6. Dalam rangka pelestarian lingkungan, dilakukan pemantauan kualitas air waduk, penghijauan daerah aliran sungai dan pembersihan sampah dan gulma air secara rutin. Sedangkan untuk pemantauan curah hujan di DAS Citarum (DTA Saguling) dan debit air masuk waduk serta air keluar pembangkit dipantau dengan sistem telemetering.

91 69 Tabel 6. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling. Uraian Waduk Duga Muka Air Maksimum Duga Muka Air Minimum Luas Waduk (+ 643 m) Isi seluruhnya Isi Efktif Bendungan Type Tinggi Elevasi Puncak Bendungan Panjang Puncak Isi Tubuh Bendungan Generator Merk Type Kapasitas Tegangan Arus Frekuensi Putaran Turbin Merk Type Kapasitas Putaran Debit pada Head Normal Head (Maks, Normal, Min) Sumber : Profil UBP Saguling, : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : + 643,00 m + 623,00 m ha 875 juta m³ 611,5 juta m³ Dimensi / Merek Urugan batu dengan inti kedap air 99,00 m 650,20 m 301,40 m 2,79 juta m³ Mitsubishi Setengah Payung, 3 Phase, Synchronous 4 x 206,1 MVA 16,5 kv Amp. 50 Hz 333 Rpm Toshiba Francis Vertical 4 x 178,8 MW 333 Rpm 4 x 54,8 m³/det. 363,6 m (maks), 355,7 m (normal), 343,4 m (min) 3.4. Unit Pembangkitan Cirata Latar Belakang Daerah pengaliran sungai (DPS) Citarum merupakan daerah yang subur, bergunung-gunung dan dianugerahi curah hujan yang tinggi. Sungai Citarum tidak pernah kering sepanjang tahun dan airnya digunakan penduduk untuk berbagai keperluan seperti rumahtangga, pengairan, pembangkit tenaga listrik dan lain - lain. Dalam memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, pemerintah menentukan kebijaksanaan penghematan penggunaan bahan bakar minyak. Pemanfaatan potensi tenaga air sebagai energi listrik makin bertambah penting mengingat keterbatasan sumber energi primer disamping usaha konservasi air. Pembangunan proyek PLTA Cirata merupakan salah satu pemanfaatan potensi tenaga air di

92 70 Sungai Citarum yang letaknya di wilayah Kabupaten Bandung, kurang lebih 60 km barat laut Kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan Purwakarta. PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat (PIKITDRO JABAR) adalah unit PLN yang diserahi untuk menangani pembangunan pusat-pusat listrik tenaga air di wilayah Jawa Barat. Salah satu diantaranya adalah proyek PLTA Cirata yang dapat membangkitkan energi listrik rata-rata sebesar 1,428 juta kilowatt jam per tahun. Untuk itu perlu dibangun sebuah bendungan tipe urugan batu dengan permukaan berlapis beton sebagai bahan kedap air setinggi 125 meter, dengan ketinggian air maksimum 223 m diatas permukaan laut. PLTA Cirata dibangun sejak bulan Januari Pada akhir bulan September 1988 telah dapat beroperasi dengan kapasitas penuh melalui kedelapan turbin dan generatornya, sehingga Cirata dapat memiliki 8 unit pembangkit listrik dengan total daya terpasang MW. Tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Cirata melalui generator dengan tegangan 16,5 kv dinaikkan menjadi 500 kv melalui trafo utama, kemudian melalui Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kv (GITET) Cirata, energi tersebut disalurkan ke sistem interkoneksi 500 KV Jawa- Madura-Bali (Jamali), Jaringan 500 kv tersebut dikendalikan oleh pusat pengaturan dan penyaluran beban (P3B) Gandul Jakarta. UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, dengan bangunan Power House 4 lantai dibawah tanah yang pengoperasiannya dikendalikan dari ruang kontrol Switchyard berjarak ± 2 km dari mesin-mesin pembangkit yang terletak di Power House. PLTA Cirata, sejak pertama dioperasikan pada tahun 1988 dikelola oleh PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat (PLN JB) Sektor Cirata. Pada tanggal 3 Oktober 1995 terjadi restrukturisasi di PLN (Persero) yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan, yaitu PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali I dan II (PT.PJB I dan PT.PJB II), sehingga Sektor Cirata masuk wilayah kerja PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II. Kemudian pada tahun 1997, sektor Cirata berubah nama menjadi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II Unit Pembangkitan Cirata (UP. Cirata). Dengan perkembangan organisasi sejak tanggal 3 Oktober 2000, PT.PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II berubah menjadi PT.

93 71 Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali, unit pembangkitan Cirata (PT. PJB UP Cirata) Tahap Pelaksanaan Tahap-tahap pelaksanaan pembangunan Proyek PLTA Cirata meliputi : 1. Survai pendahuluan, dimulai tahun Studi kelayakan dilaksanakan tahun Studi analisis dampak lingkungan dimulai tahun Perencanaan terinci dilaksanakan Pebruari 1981 Oktober Tahap pembangunan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Pekerjaan prasarana yang dimulai pada bulan April 1983, meliputi pembangunan jalan hantar, Base Camp, perbaikan dan peningkatan fasilitas jalan, pemasangan jaringan listrik untuk konstruksi dan sebagainya. Disamping itu, terdapat pekerjaan-pekerjaan relokasi jalan, jembatan dan fasilitas umum seperti terminal air, bangunan sekolah, balai desa, sarana mandi, cuci dan kakus (MCK). b. Pekerjaan utama meliputi : -LOT I : Pembuatan bendungan, bangunan pelimpah dan terowongan penggerak dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co (Jepang). -LOT II -LOT III -LOT IV -LOT V : Pembuatan bangunan pengambilan air, terowongan tekan, tangki pendatar air, rumah pembangkit, saluran pembuang, dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co (Jepang) bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co (Jepang). : Pekerjaan pipa pesat (penstock), dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai (Jepang) bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra. : Gate, Screen dan Valve (pintu, saringan dan katup) dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai (Jepang) bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra. : Turbin dilaksanakan oleh Kontraktor Voest Alpine (Austria) bekerjasama dengan PT. Wasamitra.

94 72 -LOT VI : Generator dilaksanakan oleh kontraktor Elin Union (Austria) bekerjasama dengan PT. Brantas Abipraya. -LOT VII : Trafo utama dan serandang hubung (switchyard), dilaksanakan oleh Kontraktor Cogelex (Perancis) bekerjasama dengan PT. Cita Contrac. -LOT VIII : Jaringan transmisi dilaksanakan oleh kontraktor Brown Boveri (Jerman Barat) bekerjasama dengan PT. Mega Eltra. -LOT IX : Special equipment, terdiri dari beberapa paket pengadaan alat-alat berat, dan peralatan telekomunikasi dilaksanakan oleh PT. United Tractors, PT. Triguna Utama, Sumitomo Co., PT. Natela, CV.3R Electronics. Konsultan : NEW JEC (New Japan Engineering Consultant) bekerjasama dengan PT. Indra Karya. Dengan adanya System Joint Operation (kerjasama antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional) diharapkan akan didapat keuntungan-keuntungan bagi kontraktor nasional antara lain alih teknologi bagi kontraktor nasional, memacu pertumbuhan kontraktor nasional, dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing. c. Pekerjaan telemetering hidrologi dan sistem peringatan banjir dilaksanakan oleh Puslitbang KIM-LIPI Kegiatan Usaha Produksi dan sistem pengoperasian kegiatan usaha inti adalah pembangkit tenaga listrik dengan total daya terpasang MW, terdiri atas Cirata I (4 unit masing-masing operation daya terpasang 126 MW) yang mulai dioperasikan tahun 1988 dengan total daya terpasang 504 MW. Cirata I dan II mampu memproduksi energi listrik rata-rata 1,428 GWh per tahun dan disalurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kv ke sistem interkoneksi Jawa- Madur-Bali (Jamali). Kapasitas per unit PLTA disajikan pada Tabel 7.

95 73 Tabel 7. Kapasitas per unit PLTA. Jenis Pembangkit Mulai Beroperasi Kapasitas PLTA Unit 1 25 Mei MW PLTA Unit 2 29 Februari MW PLTA Unit 3 10 Agustus MW PLTA Unit 4 15 Agustus MW PLTA Unit 5 15 Agustus MW PLTA Unit 6 15 Agustus MW PLTA Unit 7 15 April MW PLTA Unit 8 15 April MW Total MW Sumber : Profil PJB Unit Cirata, Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1,428 GWh, dioperasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing-masing kw dengan putaran 187,5 rpm. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m³/dt. Mengoperasikan unit pembangkit Cirata dapat dilakukan dengan 3 mode sistem pengoperasian : 1. Mode operasi local manual, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara manual dari panel unit control Power House. 2. Mode operasi local auto, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara automatic dari panel unit control di ruang Power House. 3. Mode operasi remote, yaitu sistem pengoperasian yang menggunakan teknologi tinggi berbasis komputer dimana unit dioperasikan dari kontrol desk di ruang kontrol Switchyard yang berjarak ± 2 km dari lokasi pembangkit listrik. Dalam mengoperasikan seluruh unit pembangkit listrik PLTA Cirata mengutamakan menggunakan mode operasi remote untuk mengoperasikan dan mengontrol semua sistem, karena lebih efisien dan efektif. Namun demikian operator di lokasi rumah pembangkit selalu siap dengan mode operasi local auto maupun mode operasi local manual. Kinerja operasional Unit Pembangkitan Cirata beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hasil availability factor dan forced outrage rate diatas standar kelas dunia dari NERC EAF = 89,59 EFOR = 4,46 dan SOFF = 7,22. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh

96 74 Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non-apbn serta dana PLN juga mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). b. CDC (Commonth Wealth Development Cooperation). c. SC (Suppliers Credits). d. Pemerintah Austria. Total biaya pembangunan PLTA Cirata meliputi Penyediaan dan Biaya Pembangunan Cirata I sebesar :IBRD (USD ), CDC (USD ), SC (USD ), dan dari APBN + Non-APBN (USD ), sedangkan Cirata II sebesar Rp ,00,-, Swiss Franc (SFR) ,00,-, Belanda (NTD) ,00,-, Jepang (Yen) ,00, Organisasi Organisasi UP Cirata, sejak 21 Oktober 1999 mengalami perubahan mengikuti perkembangan organisasi di PLN PJB yang fleksibel dan dinamis sehingga mampu menghadapi dan menyesuaikan situasi bisnis yang selalu berubah. Perubahan yang mendasar dari unit pembangkit adalah dipisahkannya fungsi operasi dan fungsi pemeliharaan, sehingga unit pembangkit menjadi organisasi yang clear and clean dan hanya mengoperasikan pembangkit untuk menghasilkan GWh seperti yang disajikan pada Gambar 12. a. Sumberdaya Manusia Manusia adalah aset terpenting dalam perusahaan, sehingga UP Cirata memberikan kesempatan kepada seluruh pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi agar menjadi SDM yang profesional. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan kerja yang menggairahkan dan memotivasi mereka untuk selalu bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Sikap profesionalisme para pegawai tetap dipertahankan dan ini terlihat dari hasil kinerja perusahaan yang semakin membaik.

97 75 MANAJER ENJINIRING AUDITOR Root Cause Analysis O & M Task Review (Evahiare & Empowering) Audit Manajemen Audit Keuangan OPERASI LK3 Perencanaan & Pengendalian Operasi Produksi A,B,C,D Analis DBME Analis Kinerja Unit Kesehatan dan keselamatan kerja Sistem manajemen mutu dan Manajemen resiko Lingkungan PEMELIHARAAN MANAJER Perencanaan & Pengendalian Pemeliharaan Pemeliharaan mesin Pemeliharaan listrik Pemeliharaan instrumen & kontrol Pemeliharaan sipil, monitoring DAM dan Power house Inventory Control dan Catalogger Akuntansi Anggaran & Keuangan Sistem Informasi Terpadu SDM & ADMINISTRASI SDM & Adm. Kepegawaian Pelatihan & pengembangan SDM Sekretariat, Humas & Keamanan Pengadaan kontrak bisnis dan Administrasi gudang Sarana Gambar 13. Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata. (Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006). b. Manajemen Sumberdaya Energi Air merupakan sumber energi utama yang digunakan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik sebanyak 8 unit. Oleh karena itu dibangun waduk Cirata seluas 62 Km² dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m, sehingga volume air waduk 2,165 juta m³ dan isi efektif waduk 796 juta m³. Air waduk ini dikelola baik jumlah maupun mutunya agar tidak mengganggu atau merusak mesin-mesin pembangkit.

98 76 c. Manajemen Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Ramah lingkungan merupakan trend dunia usaha yang berkembang dewasa ini, sehingga setiap industri dituntut untuk mengelola lingkungan dengan baik berstandar internasional, aman serta berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan terhadap komponen : a. Fisika dan kimia meliputi iklim dan kualitas udara serta fisiografi dan geologi. b. Kualitas air dengan parameter sesuai dengan peruntukannya. c. Sedimentasi, berupaya penelitian tingkat erosi tahunan. d. Sosial ekonomi dan budaya yang meliputi pariwisata, pertanian pasang surut, perikanan dan penghijauan di sekitar waduk. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan prioritas utama dalam menunjang keberhasilan setiap unit kerja. Oleh karena,dilaksanakan penyuluhan dan mensosialisasikan program zero accident serta membudayakan etos kerja yang aman. d. Aspek Lingkungan Pembangunan Proyek PLTA Cirata membutuhkan tanah seluas kurang lebih ha, untuk daerah konstruksi dan genangan air, sehingga menimbulkan masalah kependudukan yang cukup besar. Kecuali itu genangan air akan menimbulkan pula perubahan lingkungan fisik dan biofisik lainnya. Sehubungan dengan itu telah dilakukan studi analisis dampak lingkungan sejak awal perencanaan proyek, sehingga dapat diperkirakan dan dipantau perubahan lingkungan yang akan terjadi, serta diusahakan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dan memacu dampak positif pembangunan PLTA Cirata. Dalam penanganan masalah lingkungan tersebut, telah dijalin kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga penelitian antara lain : a. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD untuk studi analisis dampak lingkungan. b. Pemerintah Daetah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta dalam menyelesaikan masalah pemindahan penduduk dan pembebasan tanah.

99 77 c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan untuk meneliti hidrologi dan sedimentasi. d. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD bekerjasama dengan ICLARM (Internasional Center for Living Aquatic Resources Management) Manila, untuk membantu Studi Pengembangan Akuakultur dan Perikanan dalam rangka pemukiman kembali penduduk yang terkena proyek PLTA Saguling dan Cirata. e. Dinas Perikanan dan Provinsi Jawa Barat dengan Unit Pelaksana Teknis untuk penanganan penyaluran penduduk dalam bidang perikanan. f. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta dalam penelitian peninggalan sejarah dan penyelamatannya. g. Kantor Wilayah VI Departemen Parpostel Jawa Barat untuk pendidikan dan latihan pariwisata dalam penelitian pengembangan pariwaisata. h. Banyak penelitian lain yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang langsung maupun tidak langsung bermanfaat bagi PLTA Cirata Dampak Pembangunan PLTA Cirata 1. Dampak Positif a. Menghasilkan listrik dengan daya terpasang 1008 MW dan energi per tahun sebesar 1,428 juta kwh, sehingga menambah daya dan keandalan pada sistem kelistrikan. b. Menghemat bahan bakar minyak. c. Meningkatkan keandalan penyediaan air waduk Jatiluhur untuk air minum dan irigasi. d. Memacu perkembangan industri dan perekonomian. e. Mengembangkan usaha perikanan dan pariwisata. f. Menyediakan lapangan kerja baru. 2. Dampak Negatif a. Tergenangnya lahan Luas tanah yang diperlukan untuk daerah genangan kurang lebih ha yang meliputi Kabupaten Bandung (38%), Kabupaten Cianjur (41%), dan Kabupaten Purwakarta (21%). Selain itu masih diperlukan kurang lebih

100 ha tanah yang terletak diluar daerah genangan untuk pembangunan konstruksi. Perincian tata guna lahan daerah tergenang : (1) Tanah desa (perumahan) 219 ha (2) Sawah ha (3) Ladang dan Perkebunan ha (4) Kehutanan 689 ha (5) Tanah Negara (jalan, sungai, dan lain-lain) 186 ha Jumlah ha b. Pemindahan Penduduk Jumlah penduduk yang harus dipindahkan dari daerah genangan tercatat kepala keluarga (KK), yang tersebar di tiga Kabupaten yaitu : (1). Kabupaten Bandung KK (2). Kabupaten Cianjur KK (3). Kabupaten Purwakarta 865 KK Selain itu terdapat pula KK penduduk yang terpengaruh proyek yaitu mereka yang bertempat tinggal di atas daerah genangan yang mempunyai tanah atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan, yang tersebar di tiga daerah tersebut yaitu : (1). Kabupaten Bandung 596 KK (2). Kabupaten Cianjur KK (3). Kabupaten Purwakarta 186 KK Pada dasarnya sasaran kebijakan pemindahan penduduk ialah mengusahakan peningkatan kesejahteraan masyarakat atau paling tidak mempertahankan taraf kesejahteraan hidup yang sama dengan saat sebelum masyarakat dipindahkan. Alternatif penyaluran penduduk serta sasaran yang digariskan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat adalah dengan jumlah KK. Dampak negatif lain yang diperkirakan mempunyai potensi berkembang, sehingga perlu dipantau : 1. Kemungkinan-kemungkinan eksplosi gulma air. 2. Kemungkinan timbulnya berbagai penyakit karena adanya genangan air.

101 79 3. Kemungkinan meningkatnya erosi, sampah dan limbah kota yang menyebabkan pencemaran serta mempercepat pendangkalan waduk Pengelolaan PLTA Cirata PT.PJB UP Cirata diserahi tugas untuk menangani pengelolaan PLTA Cirata baik operasi dan pemeliharaan Unit-Unit Pembangkit dan alat bantunya maupun bangunan bangunan air dan lingkungannya. Operasi PLTA Cirata dikendalikan dari Ruang Kontrol di Switchyard yang berjarak 2 km dari mesinmesin pembangkit yang terdapat di rumah pembangkit di dalam tanah. Sistem tersebut dimungkinkan dengan adanya unit mikro processer ASCE (automatic sequence control equipment) dan unit komputer SCE (supervisory control equipment) yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya mesin pembangkit. Operator dengan bantuan keyboard dan layar monitor dapat men-start dan stop unit, mengatur tegangan, MVAR dan beban. Event recorder akan selalu memberikan informasi kondisi peralatan, parameter-parameternya dan data-data operasi yang diperlukan. Alarm timbul bila terjadi gangguan atau kondisi tidak normal pada peralatan-peralatan unit, dan event recorder akan mencatat jenis gangguan tersebut secara otomatis. Tujuh buah kamera televisi ditempatkan pada lokasi-lokasi penting di areal PLTA Cirata dan dapat dimonitor langsung dari Ruang Kontrol tersebut. Hubungan dengan Pusat Pengatur Beban di Gandul, Jakarta, dapat dilakukan melalui radio, telepon, Jwatt dan telex. Pada bendungan Cirata terdapat DAM Control Centre (DMCC) yang dilengkapi dengan hidrological monitoring telemetering system yang berfungsi untuk memantau secara tepat waktu (real time) kondisi hidrometeorologi di catchment area, tinggi muka air waduk, debit air yang masuk waduk, meramalkan banjir yang akan tiba, dan memberikan tanda atau signal bila hujan atau debit yang masuk melebihi batas tertentu. Data tersebut bersumber dari 15 stasiun pengukur hujan atau debit yang tersebar di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta yang dipantau secara Telemeteri melalui 3 stasiun pengulang (repeater). Untuk komunikasi data sistem ini dihubungkan pula dengan DAM Control Centre PLTA Saguling dan Puslitbang Air Departemen Pekerjaan Umum di Bandung. Di tepi sungai hilir bendungan dan Pusat Pembangkit, ditempatkan 12

102 80 buah Discharge Warning Station yang digunakan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat bila air akan dikeluarkan dari waduk maupun dari pusat pembangkit. Bangunan bendungan dan tumpukan di sekitarnya, rumah pembangkit dan terowongan-terowongan pelengkapnya serta tebing-tebing disekitar PLTA, dipantau stabilitasnya dengan mempergunakan instrumeninstrumen pengukur perubahan letak, perubahan tegangan - tegangan, rembesan, dan lain - lain. Sedimentasi yang terjadi didalam waduk diukur secara periodik dan dipantau perkembangannya. Usaha - usaha untuk mencegah peningkatan sedimentasi dilakukan melalui pemantauan lingkungan hidup dan koordinasi dengan instansi-instansi terkait PDAM Tirta Dharma Letak Daerah dan Topografi Tirta Dharma adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Purwakarta secara geografis terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Barat yaitu 107º10-107º30 Bujur Timur dan 6º 25-6º45 Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang. Luas Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km 2 dan luas Kota Purwakarta adalah 24,83 km 2 Topografi Kabupaten Purwakarta secara geografis diklasifikasikan dalam 3 wilayah yaitu Kabupaten Purwakarta Bagian Utara yang meliputi Kecamatan Cempaka, Purwakarta, dengan ketinggian antara m diatas permukaan laut (dpl), Kabupaten Purwakarta Bagian Barat yang meliputi Kecamatan Jatiluhur (Sukatani), yang merupakan permukaan air danau Jatiluhur dengan ketinggian 107 m dpl. Sedangkan tanah daratan yang ada disekitarnya berda pada ketinggian kurang lebih 400 m dpl dan Kabupaten Purwakarta Bagian Selatan dan timur meliputi Kecamatan Plered, Maniis, Tegalwaru, Sukatani Darangdan, Bojong dan Wanayasa (Kiara Pedes, Pasawahan), dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl.

103 81 Iklim Daerah Keadaaan Iklim di Kabupaten Purwakarta pada umumnya beriklim tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi dengan curah hujan rata-rata mm/th. Wilayah Kabupaten Purwakarta terbagi dalam 2 zona hari hujan yaitu : 1. Zona dengan suhu berkisar antara C, meliputi wilayah Kecamatan Purwakarta, Campaka Plered, Jatiluhur, Tegalwaru, Pasawahan dan Kecamatan Sukatani. 2. Zona Dengan suhu berkisar anatara C, meliputi wilayah kecamatan Darangdan, Bojong dan Kecamatan Wanayasa. Kependudukan Jumlah rumahtangga dan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2000 (hasil sensus penduduk tahun 2000) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun No Kecamatan Rumah Tanga Jumlah Penduduk ( KK ) ( Jiwa ) Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka Jumlah Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta (Purwakarta Dalam Angka, 2002). Proyeksi pertumbuhan rata-rata penduduk Kabupaten Purwakarta antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 didasarkan pada hasil sensus penduduk Kabupaten Purwakarta tahun sebesar 2,25% per tahun. Berdasarkan angka perkiraan pertumbuhan penduduk seperti tersebut, maka pertumbuhan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan Tahun 2006 dapat diproyeksikan sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

104 82 Tabel 9. Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun No Kecamatan Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka Tahun Jumlah Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta (Purwakarta Dalam Angka, 2002). Perkembangan pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk masyarakat Kabupaten Purwakarta dilakukan secara bertahap dan sampai saat ini dari 11 Kecamatan yang ada, baru 6 Ibu Kota Kecamatan yang telah dilayani Air Bersih PDAM Kabupaten Purwakarta. Ibu Kota Kecamatan tersebut, adalah Kecamatan Purwakarta (Kota Purwakarta dan Desa Pasawahan), Kecamatan Jatiluhur (Kota Jatiluhur), Kecamatan Wanayasa (Kota Wanayasa), Kecamatan Campaka (Kota Campaka), Kecamatan Plered (Kota Plered), dan Kecamatan Darangdan (Pasir Angin) Visi dan Misi PDAM Tirta Dharma Tirta Dharma sebagai salah satu instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan umum, dituntut untuk senantiasa meningkatkan pelayanan yang prima. Untuk mewujudkannya dibutuhkan visi dan misi yang jelas. Visi dan misi PDAM Kabupaten Purwakarta adalah Menuju Pelayanan Prima Air Bersih Terhadap Masyarakat. Tujuan utama didirikan PDAM adalah mewujudkan dan meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air minum bagi masyarakat secara adil dan merata yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, berkesinambungan dan merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Sampai sejauh ini pengelolaan sarana dan prasarana air bersih pada umumnya belum dilaksanakan secara efisien, sebagian besar PDAM belum mampu dengan baik melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih, baik kuantitas, kualitas maupun kontuinitas. Salah satu penyebab antara lain adalah belum dimilikinya

105 83 perencanaan pengelolaan yang menyeluruh, yang disusun dengan memperhatikan kondisi internal maupun eksternal PDAM. PT. Thames PAM Jaya PT. Thames PAM Jaya (TPJ) yang didirikan pada Februari 1998 merupakan perusahaan patungan yang 95% dimiliki oleh Thames Water. Dalam perjanjian kerjasama 25 tahun dengan PAM Jaya, TPJ mengelola, mengoperasikan, memelihara dan mengembangkan sistem pasokan air air bersih ke lebih dari 2,5 juta orang dan juga mendapat kewenangan untuk menangani seluruh aktivitas pananggihan rekening air kapada lebih dari pelanggan (per September 2002) sementara kewenangan penetapan tarif air tetap pada Pemerintah Daerah. Kondisi sekilas TPJ (2002) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kondisi sekilas PT. Thames PAM Jaya (2002). No. Komponen Keterangan 1. Investasi per akhir Maret 2002 Rp. 3090,8 milyar 2. Total pengembangan dan > 965,7 km (panjang total jaringan pada 1997 perbaikan jaringan adalah km) 3. Total sambungan > (total sambungan per tahun 1997 adalah ) 4. Penggantian meter air kecil > Penggantian meter air besar > Total penggantian meter air > Supervisi / Analisa kualitas air sampel air / bulan 8. Penurunan jumlah air tak Dari 57,6 % menjadi 48,59 % per September terhitung Kinerja pengolahan air Sertifikat ISO 9002 untuk manajemen proses (April 2000) 10. Jumlah populasi yang terlayani 2,7 juta (jumlah populasi di dalam area TPJ : 4,5 juta) 11. Cakupan layanan 60,35 % 12. Volume air yang terjual 529,7 juta m³ (1998 September 2002) 13. Kapasitas produksi : o Buaran I liter per detik o Buaran II liter per detik o Pulo Gadung liter per detik o Instalasi Kecil Condet 50 liter per detik Sumber : Profil PT Thames PAM Jaya, 2006

106 Empat Kepedulian TPJ Empat kepedulian TPJ dalam menjalankan strategi operasional perusahaan yaitu menerapkan standar internasional pada pengoperasian jaringan air di Jakarta, membangun infrastruktur sebagai bagian dari investasi, pengembangan karyawan, dan peduli terhadap masyarakat. a. Penerapan standar internasional Komitmen TPJ untuk menerapkan standar internasional terbukti antara lain dengan mendapatkan ISO 9002 untuk manajemen proses pada bulan April Saat ini, air bersih yang diproduksi TPJ telah memenuhi ketentuan Departemen Kesehatan RI. Dalam meningkatkan efisiensi pelayanan, TPJ juga telah mengimplementasikan teknologi baru, diantaranya adalah sistem informasi geografis (GIS) untuk kepentingan manajemen asset, peralatan deteksi suara kebocoran di bawah tanah, dan alat pembaca meter genggam yang digunakan pembaca meter, yang secara otomatis dapat ditransfer ke sistem komputer. Selain itu, terdapat 13 kantor pelayanan pelayanan (KPP) yang tersebar di lokasi yang mudah dicapai pelanggan dan siap melayani pelanggan selama jam kerja. TPJ juga menyediakan Call Center 24 jam untuk melayani keluhan melalui telepon, baik untuk masalah rutin maupun darurat. TPJ juga menerapkan standar internasional untuk bidang keselamatan dan kesehatan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Thames Water International untuk operasi di kawasan Asia Pasifik, antara lain prosedur keselamatan dan kesehatan yang terperinci dan juga pelatihan teratur bagi para staf, dengan penekanan pada peranan tiap karyawan untuk menjaga keselamatan diri mereka dan orang lain serta mencegah terjadinya cedera. b. Investasi di bidang infrastruktur Komitmen kedua terlihat dari fakta bahwa sampai September 2002 telah diselesaikan pembangunan dan perbaikan lebih dari 960 km jaringan, penggantian lebih dari Rp 390 milyar telah ditanamkan untuk pembangunan jaringan distribusi air. Dengan infrastruktur yang solid, TPJ berhasil menambah sambungan baru yang berarti memperluas daerah layanan hingga lebih dari 60%.

107 85 c. Pengembangan karyawan Merupakan kebijakan Thames Water untuk sebanyak mungkin mempekerjakan dan memajukan staf lokal. Untuk itu, pelatihan dan pendidikan sudah menjadi prioritas. Di TPJ, hal ini dibuktikan dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti program strata 2 Manajemen Bidang Air di Universitas Indonesia dan baru-baru ini TPJ menjalankan Program Pengembangan Strata 1 yang dimulai pada September Selain itu, pegawai TPJ tingkat tertentu juga diikutsertakan dalam Program Manajer Operasional selama 18 bulan yang diadakan Thames Water. d. Peduli terhadap masyarakat dan sekitarnya. Komitmen ke 4 merupakan tanggungjawab sosial perusahaan diwujudkan melalui kerjasama dengan masyarakat setempat dalam upaya memberikan kontribusi yang membangun dengan manfaat yang tidak hanya akan dirasakan sesaat namun berjangka panjang. Salah satu contoh adalah proyek Marunda yang telah mendapat penghargaan Wordaware Business Award Melalui proyek ini, sejak tahun 1999 rumahtangga kurang mampu di daerah ini dapat menikmati sambungan air bersih, yang biayanya hanya sepertiga dari air eceran yang harus mereka beli sebelumnya. Pasokan air bersih ke rumah-rumah ini secara dramatis telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menerimanya. Sejalan dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial yang dianut oleh Thames Water, TPJ telah berkomitmen untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam meningkatkan kualitas hidup mereka Penggabungan Thames Water dan RWE Penggabungan Thames Water dan RWE telah menciptakan satu perusahaan pengelolaan air bersih dan limbah ketiga terbesar di dunia dengan 43 juta pelanggan di seluruh dunia. Penggabungan ini memungkinkan Thames Water untuk menimba lebih banyak pengetahuan dan keahlian dari seluruh dunia, sementara pengaruh dan kekuatan finansial RWE merupakan keuntungan bagi Thames Water untuk mengembangkan dan melebarkan bisnis secara global. RWE adalah One Group, Multi Utilities Suatu Pemenuhan standar : Kepuasan Pelanggan.

108 86 Seratus tahun pengalaman, keahlian dan inovasi merupakan landasan RWE Group dalam beroperasi. Seluruh bisnis utamanya yang meliputi listrik,gas,air dan pengelolaan limbah memiliki standar dunia. Nama RWE identik dengan organisasi yang berorientasi pada pelanggan dapat diandalkan dan berpikiran maju. Budaya korporasi yang dijalankan oleh RWE adalah : a. Struktur dan proses yang inovatif Sebuah perusahaan induk yang memayungi seluruh operasi dan rantai kegiatan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kelompok ini. Tiap anak perusahaan memfokuskan diri pada sebuah bisnis utama, yang terdiri mulai dari sumber daya dan produksi hingga penjualan dan distribusi. Pengelolaan biaya yang efektif, kekuatan inovatif, pelayanan menyeluruh, hubungan baik dengan pelanggan seiring dengan layanan dan kualitas handal merupakan prioritas utama dari tiap anak perusahaan. b. Komitmen yang mendunia Bisnis internasional merupakan bagian yang penting dari strategi pengembangan usaha di RWE. Saat ini, RWE berkiprah di lebih dari 120 negara di seluruh dunia, dan bisnis internasional menyumbangkan sekitar sepertiga dari total pendapatannya. Selama tahun anggaran , RWE Group meraih pendapatan sebesar kira-kira Euro 63 miliar dan mempekerjakan sekitar karyawan di seluruh dunia. c. Budaya baru TPJ ditentukan oleh 6 nilai utama 1. Hubungan kerja yang terbuka, saling percaya, mendengarkan dan memahami. 2. Komitmen kepada seluruh karyawan. 3. Bekerja sama secara team dalam memecahkan permasalahan. 4. Komitmen terhadap peningkatan kinerja melalui inovasi. 5. Mendukung sepenuhnya inisiatif-inisiatif yang muncul. 6. Komitmen yang kuat kepada pelanggan kita.

109 87 d. Ukuran keberhasilan 1. Target-target kerja yang jelas bagi setiap departemen. 2. Perbaikan proses kerja menuju peningkatan efisiensi kerja. 3. Penyusunan standar-standar kinerja (hasil akhir,waktu). 4. Peningkatan kerjasama antar departemen. 5. Membangun semangat kerjasama dan kelompok kerja antar departemen. 6. Pemimpin-pemimpin kelompok dan proyek. 7. Membina hubungan-hubungan dengan pihak luar, membangun kesadaran masyarakat.

110 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan tanaman keras (tahunan). Kecuali fungsi produksi (ekonomi) dan sosial, vegetasi tersebut juga memiliki fungsi perlindungan (ekologi) wilayah DAS. Penggunaan lahan dan perubahannya dapat dijadikan indikator tingkat dan dinamika kegiatan manusia (antropogenik) pada suatu wilayah. Sandy (1982) menyatakan bahwa peningkatan kegiatan antropogenik tersebut menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan tataguna lahan dan hutan (landuse change and forestry). Pada umumnya, lahan yang diperuntukan untuk menampung aktivitas manusia tidak mencukupi sehingga menggunakan areal peruntukan lain (melalui konversi) seperti halnya lahan hutan. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menyebabkan perubahan terhadap penutup lahan (land cover) baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitasnya. Peranan penutup lahan dalam suatu ekosistem DAS sangat penting khususnya untuk perlindungan sumberdaya air dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ditujukan untuk mengetahui perubahan penutup lahan DAS Citarum khususnya wilayah hulu pada periode Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan penutup lahan dilaksanakan terhadap Peta Tataguna Lahan dan Citra Satelit Multi Temporal DAS Citarum 1992 dan 2002 yang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Ketiga Sub DAS tersebut berada dalam administrasi pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung dan Kota

111 89 Cimahi. Secara geografis, wilayah penelitian terletak pada 6º 30 LS - 7º 12 LS serta 107º 00 BT - 107º 55 BT. Pengolahan data dan interpretasi citra tersebut dilaksanakan di Laboratorium Penginderaan Jauh, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan dan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian berlangsung mulai Februari 2006 sampai dengan Mei Bahan dan Metode Analisis Perubahan Penutup Lahan Untuk mengetahui perubahan penutup lahan yang terjadi khususnya di DAS Citarum Wilayah Hulu periode , maka dilakukan analisis penutup lahan. Bahan yang diperlukan adalah : 1. Peta tataguna lahan dan citra satelit multi temporal 1992 dan Peta rupa bumi Indonesia (RBI) atau Peta Topografi Satu unit komputer dan software ER-Mapper. Analisis penutup lahan tersebut dilakukan dengan menginterpretasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui jenis penutup lahan, komposisi dan distribusi spasialnya. Diagram alir, tahapan analisis penutup lahan dan interpretasinya disajikan pada Gambar 14. Menurut Balsem and Buurman (1989) dalam Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1998), klasifikasi penutup lahan menggunakan sistem klasifikasi yang disusun oleh terdapat 12 kelas utama yaitu tegalan, persawahan, perladangan, padang rumput, perkebunan, semak, wanatani, reboisasi, hutan, air, tanah tandus, dan pemukiman. Dalam penelitian ini, dilakukan penggolongan penutup lahan sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman, perkebunan, tegalan dan waduk. Sebelum menganalisis data mentah (raw data) citra satelit dan pembatasan wilayah kerja (image cropping) dilakukan koreksi terhadap kesalahan (distorsion) radiometri dan geometri, sehingga diperoleh gambaran (image) yang lebih kontras sesuai dengan obyek, bentuk dan ukuran atau skalanya.

112 90 - Data landsat Tahun Peta Topografi (RBI) Tahun 1990-an - Peta Landuse Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun Koreksi geometri - Penajaman - Kroping - Data landsat Tahun Peta Topografi (RBI) Tahun 2002 Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 2002 Digital Analysis (Supervised Classification) Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 1992 Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 2002 Konfirmasi dan Validasi lapangan Peta Tataguna Lahan Tahun 1992 Peta Tataguna Lahan Tahun 2002 Overlay Perubahan Tataguna Lahan Tahun Gambar 14. Diagram alir analis perubahan penutup lahan (tataguna lahan). Teknik analisis digital (analysis supervised classification) digunakan untuk menganalisis data citra satelit melalui aplikasi software ER Mapper, dengan hasil akhir disajikan dalam bentuk data spasial (peta), data tabular dan naskah (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Dalam penelitian ini, analisis lebih lanjut tentang perubahan penutup lahan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (overlaying), difokuskan pada penutup lahan yang diduga signifikan pengaruhnya terhadap karakteristik hidrologis DAS yaitu dari penggunaan lahan untuk hutan dan pemukiman.

113 Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Penutup Lahan Interpretasi terhadap Peta Landuse dan Citra Satelit TM dan 2002 menghasilkan data jenis penutup lahan, kuantifikasi dan perubahannya baik pada masing-masing Sub DAS maupun secara keseluruhan DAS Citarum. Untuk memudahkan analisa, penutup lahan dikelompokkan ke dalam delapan jenis, yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman (pemukiman, perkantoran, industri, infrastruktur, lapangan udara, lapangan golf dan lahan terbuka), perkebunan (karet, kakao, kina, teh, kebun bunga dan kebun campuran), tegalan (sayuran dan palawija) dan waduk. Peta penutup lahan DAS Citarum disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16, dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Gambar 15. Peta penutup lahan DAS Citarum 1992.

114 92 Gambar 16. Peta penutup lahan DAS Citarum Berdasarkan hasil analisis digital peta tahun 1992 dan 2002 didapatkan total luas DAS Citarum adalah ha yang dapat dibagi dalam dua bagian wilayah, yaitu DAS Citarum Wilayah Hulu dan DAS Citarum Wilayah Hilir. DAS Citarum Wilayah Hulu seluas ha yang terdiri dari Sub DAS Saguling seluas ha (52,81%), Sub DAS Cirata seluas ha (32,31%) dan Sub DAS Jatiluhur seluas ha (14,88%) dan DAS Citarum Wilayah Hilir seluas ha. Pembagian kedua wilayah tersebut didasarkan pada Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) Bagian Utara dan Bagian Selatan. Batasan luas Sub DAS tersebut berpedoman pada batas-batas topografi (igir-igir, perbukitan dan pegunungan) dan bendungan (dam) di wilayah hilir masingmasing Sub DAS. Akan tetapi dalam kaitannya dengan daerah tangkapan air (DTA) atau catchment area, batas Sub DAS berpedoman pada tingkat pengaruh hidrologis Sub DAS yang berada di hulu terhadap Sub DAS wilayah hilir.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM. Oleh : RADJAB TAMPUBOLON

PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM. Oleh : RADJAB TAMPUBOLON PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM Oleh : RADJAB TAMPUBOLON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan

Lebih terperinci

7. PERUBAHAN PRODUKSI

7. PERUBAHAN PRODUKSI 7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN 8.1. Latar Belakang Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ABSTRAK ABSTRACT R. TAMPUBOLON 1, B. SANIM 2, M. SRI SAENI 3, DAN R. BOER 4 ISSN

ABSTRAK ABSTRACT R. TAMPUBOLON 1, B. SANIM 2, M. SRI SAENI 3, DAN R. BOER 4 ISSN Analisis Perubahan Kualitas Lingkungan Daerah Aliran Sungai Citarum Jawa Barat dan Pengaruhnya Terhadap Biaya Produksi PLTA dan PDAM (Studi Kasus PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur, PDAM Purwakarta,

Lebih terperinci

5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN

5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5.1. Latar Belakang Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura (Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 21) telah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN JASA LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TONDANO *)

PENGEMBANGAN JASA LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TONDANO *) PENGEMBANGAN JASA LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TONDANO *) Oleh: Ir. Semuel P. Ratag, MP **) A. PENDAHULUAN Kejadian-kejadian banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kesulitan memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan merupakan sumber air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan asset multi guna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa lingkungan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan perlunya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan antar generasi,

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam terbaharukan maupun tidak. Udara, lahan, air, minyak bumi, hutan dan lain-lain merupakan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Air Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi mahluk hidup dan tanpa air maka tidak akan ada kehidupan. Dalam Pasal 5 UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna Wonogiri merupakan satu - satunya bendungan besar di sungai utama Bengawan Solo yang merupakan sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

Drought Management Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan

Drought Management Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan Drought Management Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan Oleh : Gatot Irianto Fakta menunjukkan bahhwa kemarau yang terjadi terus meningkat besarannya (magnitude), baik intensitas, periode ulang dan lamanya.

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS)

PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Taufiq, dkk., Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit terhadap Keseimbangan Air Hutan 47 PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) Mohammad Taufiq 1),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sungai Citarum merupakan gabungan beberapa wilayah luas sungai dengan luas sekitar 13.000 km2. Sumber daya air ini telah digunakan untuk mensuplai kebutuhan

Lebih terperinci

Disampaikan pada Seminar Nasional Restorasi DAS, 25 Agustus 2015

Disampaikan pada Seminar Nasional Restorasi DAS, 25 Agustus 2015 Oleh : Prabang Setyono & Widhi Himawan Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email : prabangsetyono@gmail.com 1 widhi_himawan@rocketmail.com 2 Pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Penilaian Masyarakat di sekitar Sungai Terhadap Keberadaan Ekosistem Sungai Siak Sungai Siak sebagai sumber matapencaharian bagi masyarakat sekitar yang tinggal di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR Syahrir Yusuf Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Value of Water Economic of

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n J U R U S A N G E O G R A F I FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

DRAFT LAPORAN TUGAS AKHIR

DRAFT LAPORAN TUGAS AKHIR DRAFT LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN SISTEM SUPLAI AIR BAKU DKI JAKARTA DARI WADUK JATILUHUR Oleh: Agus Saputra Triadi Bramono 15004071 15003073 Pembimbing: Dr. Ir. M. Syahril Badri Kusuma PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN TUGAS... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN MOTTO... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan

I. PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai km 2 dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas mencapai 11 800 km 2 dengan curah hujan berkisar antara 1 370 hingga 2 960 mm per tahun (Nippon Koei, 1998). Secara

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

SIMULASI NORMALISASI SALURAN TARUM BARAT MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS. Endah Kurniyaningrum 1 dan Trihono Kadri 2

SIMULASI NORMALISASI SALURAN TARUM BARAT MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS. Endah Kurniyaningrum 1 dan Trihono Kadri 2 SIMULASI NORMALISASI SALURAN TARUM BARAT MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS Endah Kurniyaningrum 1 dan Trihono Kadri 2 1 Almuni Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis.

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum Bab III Studi Kasus III.1 Daerah Aliran Sungai Citarum Sungai Citarum dengan panjang sungai 78,21 km, merupakan sungai terpanjang di Propinsi Jawa Barat, dan merupakan salah satu yang terpanjang di Pulau

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan laut dan daratan. Bagi manusia, kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Dieng merupakan salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500 sampai dengan 2093

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci