BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70
|
|
- Yuliani Kusumo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun , ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah (KNID), sangat jelas pro-desentralisasi dan lebih mengutamakan otonomi daerah yang berkedaulatan rakyat. Namun, kemampuan desentralisasi finansial yang tidak memadai menyebabkan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sebagaimana yang diharapkan tidak bisa diwujudkan secara maksimal. Permasalahan ini makin bertambah rumit saat situasi politik yang berjalan tidak menentu (Wignjosoebroto, 2010). Pada masa tahun an sistem pemerintahan yang dianut kembali pada sistem pemerintahan sentralisasi, walaupun dalam masa itu ada terbentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Otonomi daerah yang didefenisikan disini tidak hanya sebagai hak dan wewenang, tetapi juga kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang dimulai pada pertengahan tahun 1998 menuntut 1
2 pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang lebih luas dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat. Aritenang (2008 ) menegaskan bahwa krisis keuangan dan perubahan sistem politik menjadi pemicu dimulainya era desentralisasi di Indonesia. Hal ini yang telah mendorong Indonesia yang pada awalnya merupakan negara dengan sistem sentralisasi menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi. Negara ini telah memulai program desentralisasi fiskal, administrasi dan politik pada saat yang bersamaan. Sejak tahun 2001 seluruh kabupaten/kota di Indonesia melaksanakan otonomi daerah atau desentralisasi. Secara umum, otonomi daerah dilaksanakan dengan dua tujuan, yaitu tujuan politis dan tujuan administratif. Secara politis, kebijakan otonomi daerah adalah mengakomodir kebutuhan politis suatu daerah sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terjaga. Selain itu, kebijakan dimaksud juga ditujukan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat daerah. Pembelajaran tersebut tidak hanya pada tingkat pimpinan daerah provinsi sampai dengan tingkat pimpinan desa atau kelurahan bahkan sampai pada masyarakat kalangan bawah. Pada akhirnya diharapkan kebijakan ini dapat mewujudkan civil society. Secara administratif, kebijakan desentralisasi ini juga ditujukan untuk memposisikan Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama dalam menyediakan pelayanan masyarakat secara efisien dan efektif. Fungsi 2
3 pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat berjalan secara baik mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi akhir pelayanan tersebut. Harapan dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi, pemerintah daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena dengan desentralisasi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Sebab dengan makin dekat pemerintah dengan masyarakat, desentralisasi diharapkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemberian otonomi kepada daerah sangat perlu untuk memperbesar partisipasi masyarakat di seluruh Indonesia dalam memberikan keputusan yang berdampak langsung kepada daerahnya, sebab sangat tidak realistik Pemerintah Pusat membuat keputusan mengenai pelayanan masyarakat untuk seluruh wilayah negara. Demikian juga diyakini bahwa masyarakat lokal melalui kabupaten/kota memiliki pengetahuan yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh masyarakat yang dekat dengan pengambil keputusan di tingkat lokal (Siman juntak, 2003). Yunisvita (2011 ) mengatakan bahwa dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu penting yang paling mungkin setiap daerah mendinamisir kegiatan pembangunan 3
4 melalui alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting. Pertanggungjawaban yang memadai harus mempunyai sifat mudah dimengerti dan memiliki hubungan informasi yang mencerminkan kinerja pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugastugasnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam keuangan daerah memiliki dimensi dan cakupan pengaruh yang sangat besar bagi daerah yang bersangkutan dalam konteks pemerintahan, akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan pengelolaan pemerintah yang baik (Halim, 2004). Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya keuangannya secara optimal. Kabupaten/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada pemerintah pusat diusahakan seminimal mungkin. Perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dikatakan ideal apabila setiap tingkat pemerintahan dapat secara independen mengatur keuangannya untuk membiayai tugas dan wewenang daerahnya masing-masing. Konsekuensinya 4
5 adalah pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis kinerja keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Analisis kinerja keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan antara rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Analisis kinerja keuangan daerah yang dilakukan dengan menghitung rasio-rasio keuangan terhadap laporan perhitungan APBD merupakan bentuk dari akuntabilitas program, yaitu terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah pemerintah daerah telah membandingkan alternatif program yang dapat memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Untuk lebih menjamin tercapainya tujuan tersebut pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan 5
6 Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa rasio yang dapat digunakan dalam menganalisis data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain: a) rasio kemandirian, untuk menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah; b) rasio efektivitas, untuk mengukur tingkat ekonomis, efektivitas, dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah; c) rasio keserasian, untuk mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; dan d) rasio pertumbuhan dan proporsi APBD untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah (Halim, 2004). Tabel 1.1 Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran (Juta Rupiah) No. Kab./Kota Kotawaringin Barat , , , , ,97 2 Kotawaringin Timur , , , , ,48 3 Kapuas , , , , ,99 4 Barito Selatan , , , , ,69 5 Barito Utara , , , , ,94 6 Sukamara , , , , ,71 7 Lamandau , , , , ,67 8 Seruyan , , , , ,89 9 Katingan , , , , ,39 10 Pulang Pisau , , , , ,82 11 Gunung Mas , , , , ,82 12 Barito Timur , , , , ,20 13 Murung Raya , , , , ,97 14 Palangka Raya , , , , ,08 Kalimantan Tengah , , , , ,63 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah,
7 Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, sejak tahun 2001 juga telah melaksanakan otonomi daerah. Penerimaan daerah, baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan lebih banyak mengalami peningkatan ( Tabel 1.1). Peningkatan pendapatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah lebih sering diakibatkan oleh meningkatnya bantuan pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang alokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Untuk mengetahui perkembangan kemampuan keuangan daerah salah satunya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena setiap daerah dapat meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan dan mengelola PAD sehingga mengurangi ketergantungan transfer dari pemerintah pusat. PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sejak tahun 2010 di seluruh provinsi di Indonesia jumlahnya sudah melebihi total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa secara nasional pemerintah daerah terus berupaya untuk menurunkan porsi 7
8 transfer dari pemerintah pusat di dalam APBD-nya dengan terus meningkatkan PAD. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah pada Tahun tidak merata. Halim (2001) mengatakan bahwa kemampuan suatu daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB, disamping struktur sosial politik dan kelembagaan, kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. PAD di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan dan Kota Palangkaraya lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Tabel 1.2 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran (Juta Rupiah) No. Kab/Kota Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Lamandau Sukamara Seruyan Katingan Pulang Pisau Kapuas Barito Selatan Barito Timur Barito Utara Murung Raya Gunung Mas Palangka Raya Kalimantan Tengah Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah,
9 Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Alokasi Umum. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan penjumlahan dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam). Pemerintah daerah akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila Dana Bagi Hasil yang diperoleh pemerintah daerah semakin besar. Pada Dana Bagi Hasil Pajak terdapat tiga penerimaan, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan, Bagi Hasil Pajak Penghasilan, dan Bagi Hasil Cukai dari Cukai Tembakau. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN) dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke Daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antara daerah dan pelayanan antar bidang. Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu. Pemerintah pusat sangat dominan dalam hal mekanisme penyaluran Dana Perimbangan khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, baik pada saat penyalurannya maupun 9
10 berapa besar jumlah yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Selain itu potensi Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak belum optimal tergali di Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga hal ini berpengaruh terhadap besaran Dana Bagi Hasil kepada daerah. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh bargaining position daerah dalam menentukan berapa besar jumlah potensi yang menjadi bagian dari pemerintah daerah. Tabel 1.3 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun (Juta Rupiah) No. Kabupaten/Kota Kotawaringin Barat , , , , ,61 2 Kotawaringin Timur , , , , ,25 3 Kapuas , , , , ,16 4 Barito Selatan 8.428, , , , ,72 5 Barito Utara , , , , ,90 6 Sukamara , , , , ,00 7 Lamandau , , , , ,86 8 Seruyan , , , , ,00 9 Katingan , , , , ,61 10 Pulang Pisau , , , , ,59 11 Gunung Mas , , , , ,47 12 Barito Timur , , , , ,17 13 Murung Raya , , , , ,78 14 Palangka Raya , , , , ,51 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013 Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah bervariasi antara satu sama lain (Tabel 1.3). Dana Bagi Hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Tetap ( Landrent), dan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalti) merupakan penyumbang terbesar bagi Dana Bagi Hasil di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten yang menerima Dana Bagi Hasil 10
11 Bukan Pajak (S umber Daya Alam) terbesar dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya sebagian besar wilayahnya terletak pada ketinggian m di atas permukaan laut dan sisanya pada ketinggian m diatas permukaan laut. Potensi terbesar wilayah ini ada pada sektor kehutanan dan pertambangan. Sektor kehutanan sudah cukup lama turut menyumbang pemasukan bagi negara sedangkan sektor pertambangan, seperti tambang emas dan tambang intan juga memberikan andil yang cukup besar. Sementara tambang batubara sudah mulai diproduksi yang menjadi pemasukan cukup besar bagi daerah. Jenis tanah di Kabupaten Murung Raya sesuai untuk berbagai penggunaan seperti perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, tanaman pangan dan persawahan. Kabupaten Barito Selatan dan Kota Palangka Raya merupakan penerima Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terkecil dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Berbeda dengan Kabupaten Murung Raya, perekonomian Kabupaten Barito Selatan didominasi oleh Sektor Pertanian (tanaman padi sawah), Sektor Jasa, dan Sektor Perdagangan, sedangkan Kota Palangka Raya didominasi oleh Sektor Jasa kemudian disusul oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Restoran dan Hotel, dan terakhir oleh Sektor Bangunan. Sementara itu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sangat sedikit sebagai penyumbang dalam perekonomian Kota Palangka Raya. Walaupun kawasan hutan di Kota Palangka Raya terbesar namun tanahnya merupakan tanah mineral dan tanah gambut. Demikian halnya dengan 11
12 Kabupaten Barito Selatan yang berada di pesisir Sungai Barito memiliki dataran rendah dan merupakan daerah rawa pasang surut. Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah akan sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan atau tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan pengukuran kesejahteraan masyarakat, pendapatan perkapita merupakan indikator penting, dengan meningkatnya pendapatan perkapita menyebabkan akses masyarakat terhadap pendidikan kesehatan juga meningkat. Dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011 PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami peningkatan menurut harga konstan tahun 2000, seperti tersaji pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000,Selama Tahun (Juta Rupiah) No. Kab/Kota Kotawaringin Barat 9,51 9,78 10,38 10,68 11,01 11,61 2 Kotawaringin Timur 6,90 7,17 7,30 7,61 7,98 8,42 3 Lamandau 8,20 8,54 8,77 9,03 9,34 9,79 4 Sukamara 13,91 13,65 13,24 13,21 13,35 13,95 5 Seruyan 7,30 8,56 8,10 8,43 8,51 8,61 6 Katingan 7,71 7,95 8,19 8,42 8,74 9,14 7 Pulang Pisau 4,79 5,05 5,30 5,86 6,16 6,42 8 Kapuas 5,52 5,74 5,95 6,25 6,57 6,85 9 Barito Selatan 6,79 7,08 7,19 7,49 7,83 8,17 10 Barito Timur 5,49 5,69 5,97 6,60 6,83 7,13 11 Barito Utara 7,26 7,99 8,02 8,38 8,78 9,19 12 Murung Raya 8,62 8,85 9,13 9,52 9,78 10,25 13 Gunung Mas 5,22 6,24 6,64 6,80 7,01 7,34 14 Palangka Raya 4,91 5,05 5,06 5,24 5,41 6,45 Kalimantan Tengah 7,30 7,67 7,80 8,11 8,38 8,81 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah,
13 Selama Tahun PDRB per kapita menurut harga konstan tahun 2000 di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 8,01 persen, yaitu dari Rp ,- menjadi Rp ,-. Berdasarkan Tabel 1.5 juga dapat diketahui bahwa selama Tahun Kota Palangka Raya memiliki PDRB per kapita yang paling rendah, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Sukamara. No. Tabel 1.5 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun Daerah Agustus 2009 Agustus 2010 Agustus 2011 Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (orang) 1 Kotawaringin Barat , , ,81 2 Kotawaringin Timur , , ,08 3 Kapuas , , ,52 4 Barito Selatan , , ,52 5 Barito Utara , , ,70 6 Sukamara 988 5, , ,58 7 Lamandau , , ,53 8 Seruyan , , ,41 9 Katingan , , ,61 10 Pulang Pisau , , ,62 11 Gunung Mas , , ,38 12 Barito Timur , , ,07 13 Murung Raya 637 1, , ,32 14 Palangka Raya , , ,82 Kalimantan Tengah , , ,55 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012 TPT (%) Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga ditentukan oleh angka pengangguran, makin tinggi angka pengangguran mengidikasikan kinerja pembangunan ekonomi daerah makin buruk (Noor, 2013). Berdasarkan Tabel 1.5 jumlah dan persentase penduduk Provinsi Kalimantan Tengah yang menganggur terus mengalami penurunan. Pada Tahun 2009 jumlah Pengangguran di Provinsi 13
14 Kalimantan Tengah adalah orang dan turun menjadi orang pada tahun Jumlah pengangguran terbanyak berada di Kabupaten Kapuas yang mencapai orang atau sekitar 3,52 persen dari jumlah penduduk yang menganggur di Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan jumlah Pengangguran tersedikit adalah di Kabupaten Sukamara pada Tahun Penurunan angka pengangguran tidak sepenuhnya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mengingat salah satu indikator yang sering dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat saat ini adalah dengan melihat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan atau kinerja ekonomi daerah dalam bidang penyiapan modal manusia ( human capital). Modal manusia yang baik diukur melalui kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup, sedangkan kualitas non fisik tercermin dari kualitas pendidikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan daerah dengan kualitas human capital yang baik, pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pembangunan di sektor-sektor pelayanan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan. IPM yang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu: 1) kesehatan yang diukur melalui angka harapan hidup; 2) pendidikan yang diukur melalui angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3) kehidupan yang layak diukur melalui pengeluaran per kapita riil. Dengan memadukan data sosial dan ekonomi, konsep HDI memungkinkan negara-negara untuk mengambil ukuran yang lebih 14
15 luas bagi kinerja pembangunan mereka, baik secara relatif maupun absolut; disamping itu kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial mereka dapat diarahkan ke sektor atau kawasan yang memang paling membutuhkannya (Todaro, 2000). Tabel 1.6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun No. Kabupaten/Kota IPM Kotawaringin Barat 72,14 72,86 73,30 73,79 74,19 74,69 75,11 2 Kotawaringin Timur 72,90 73,36 73,97 74,34 74,74 75,14 75,40 3 Kapuas 72,58 72,89 73,22 73,60 74,00 74,33 74,48 4 Barito Selatan 72,56 72,96 73,29 73,60 74,01 74,34 74,54 5 Barito Utara 74,12 74,57 74,85 75,15 75,50 75,97 76,13 6 Sukamara 70,65 71,00 71,62 71,98 72,42 72,88 73,24 7 Lamandau 71,54 71,98 72,08 72,32 72,74 73,13 73,29 8 Seruyan 71,62 72,00 72,28 72,55 72,93 73,24 73,36 9 Katingan 71,59 72,06 72,33 72,65 73,32 73,67 73,83 10 Pulang Pisau 70,10 70,63 71,18 71,53 72,37 72,75 73,18 11 Gunung Mas 72,40 72,85 73,13 73,43 73,73 74,08 74,26 12 Barito Timur 71,66 72,17 72,72 73,00 73,33 73,75 73,86 13 Murung Raya 71,62 72,18 72,46 72,84 73,34 73,77 73,98 14 Palangka Raya 77,47 77,90 78,02 78,30 78,78 79,30 79,52 Kalimantan Tengah 72,49 73,88 74,36 74,64 75,06 75,46 75,68 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2014 Perkembangan angka IPM dari tahun ke tahun memberikan indikasi peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia setiap tahunnya. IPM Provinsi Kalimantan Tengah berada pada angka 72,35 pada Tahun 2007 meningkat 3,3 poin menjadi 75,68 pada Tahun Kondisi IPM kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah tahun dapat dilihat pada Tabel 1.6. Pada tabel ini, diketahui bahwa pada Kota Palangka Raya dengan nilai IPM sebesar 79,52 berada pada peringkat teratas di Provinsi Kalimantan Tengah melampaui angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan bahkan melampaui IPM 15
16 Nasional tahun 2013 sebesar 73,81. IPM terendah terdapat di Kabupaten Pulang Pisau dengan nilai IPM sebesar 73,18 pada tahun Hampir seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah nilai IPM provinsi, kecuali Kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya. Nilai IPM seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah selalu bergerak kearah positif atau cederung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Tengah. 1.2 Rumusan Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Provinsi Kalimantan Tengah sudah berada di atas IPM nasional, namun jika dilihat dari IPM kabupaten/kota hanya kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya yang nilai IPM berada diatas IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan IPM Nasional. Secara keseluruhan IPM kabupaten/kota nilai IPM mengalami peningkatan namun kemajuan ini tidak terlepas dari masalah kesenjangan karena masing-masing kabupaten/kota memiliki capaian komponen yang berbeda. Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel diduga dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, demikian pula dengan proses pembangunan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki daerah. Perubahan struktur ekonomi masyarakat yang 16
17 terjadi menunjukkan bahwa terjadi pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik yang menuju pada kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah memiliki hubungan yang kuat dengan pembangunan ekonomi daerah terutama melalui pendapatan dan belanja daerah yang mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Keuangan daerah dapat digunakan untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang selanjutnya dapat mensejahterakan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah memang tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek melainkan baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam penelitian ingin melihat pengaruh kinerja keuangan daerah, pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah. Karena hasil dan bukti berbeda antar satu negara dengan negara lain ataupun satu daerah dengan daerah lain menghasilkan sifat dan dampak yang tergantung pada kondisi masing-masing daerah. 17
18 Berdasarkan uraian latar belakang dirumuskan masalah untuk diteliti sebagai berikut, yaitu. 1) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 2) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 3) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah? 4) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 5) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 6) Apakah kinerja pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi, dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan 18
19 Tengah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji hal-hal sebagai berikut. 1) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 2) Pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 3) Pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah. 4) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 5) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 6) Pengaruh kinerja pembangunan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari menganalisis berbagai indikator pembangunan untuk melihat keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi secara utuh. Dengan menggunakan alat analisis penelitian berarti menambah referensi mendorong minat peneliti 19
20 selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan terutama penelitian mengenai pembangunan ekonomi daerah. 2) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembentukkan kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial dengan struktur ekonomi yang kuat. 20
I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia, adanya desentralisasi pengelolaan pemerintah di daerah dan tuntutan masyarakat akan transparansi serta akuntabilitas memaksa pemerintah baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Sejarah perjalanan pembangunan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era reformasi ditandai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara proporsional, artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab memerlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis menjadi suatu fenomena global termasuk Indonesia. Tuntutan ini mengharuskan
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN
BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya
18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia memasuki dimensi baru dalam matriks kehidupan masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya tuntutan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program di segala bidang secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan tahunan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
Lebih terperinciKEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH AGUSTUS 2012
No. 08/11/62/Th.VI, 5 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH AGUSTUS 2012 Agustus 2012 : Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Kalimantan Tengah Sebesar 3,17 persen Jumlah angkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang
Lebih terperinciKEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, AGUSTUS 2010
KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, AGUSTUS 2010 No. 02/01/62/Th.IV, 1 DESEMBER 2010 Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2010 mencapai 1.066.733 orang berkurang sekitar 34.279 orang dibandingkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi telah menjadi suatu fenomena global, tak terkecuali di Indonesia. Tuntutan demokratisasi
Lebih terperinci*) Bekerja di BPS Provinsi Kalimantan Tngah
TINJAUAN KINERJA EKONOMI REGIONAL: STUDI EMPIRIS : PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 2003 2007 OLEH : ERNAWATI PASARIBU, S.Si, ME *) Latar Belakang Kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan selama ini dalam prakteknya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah untuk kemandirian keuangan daerah. Hal ini membuat topik tentang kemandirian keuangan daerah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan sendiri urusan rumah tangga suatu daerah dengan harapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah merupakan suatu langkah pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di daerah.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak 1 Januari 2001 pemerintah Pusat dan Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
Lebih terperinci1 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era reformasi ini tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia yang menyebabkan adanya aspek akuntabilitas dan transparansi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan reformasi di segala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengembangan atau mengadakan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik. Pembangunan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi
Lebih terperinci