HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN"

Transkripsi

1 HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 RINGKASAN SYAFRUDDIN. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Kompetensi Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh: AMRI JAHI dan RICHARD W.E. LUMINTANG. Kompetensi petani mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani dalam usahatani mete. Variabel bebas meliputi: umur, pendidikan, pengalaman berusahatani mete, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan, jumlah pohon mete, produksi mete, konsumsi media, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan. Variabel terikat adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani mete. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan: (1) Distribusi petani mete pada sejumlah karakteristik yang diamati, (2) Kompetensi yang perlu dikuasai petani mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, (3) Hubungan antara karakteristik para petani mete itu dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 91 orang ditentukan dengan cluster sampling. Data dikumpulkan dari bulan Juli sampai September Data dianalisis dengan menggunakan Konkordansi Kendall W. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas petani dalam penelitian ini berumur tua, berpendidikan formal SLTP atau yang sederajat, memiliki pengalaman cukup banyak, motivasi tinggi, berpendapatan tinggi, lahan yang luas, sedikit pohon mete, memiliki sedikit tanggungan keluarga, konsumsi media cukup tinggi, produksi mete rendah, cukup melakukan kontak dengan penyuluh, dan tidak pernah mengikuti pelatihan. Kompetensi usahatani yang harus dikuasai atau dibentuk oleh petani adalah: (a) Aspek pengetahuan yaitu: : (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani Ternak, dan (4) Aspek modal. (b) Aspek keterampilan yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Pemasaran hasil dan (4) Aspek modal. (c) Aspek sikap yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Beberapa karakteristik petani mete yang menunjukkan hubungan nyata dengan kompetensi mereka adalah: (1) Umur, (2) Pendidikan formal, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Selain itu, terdapat hubungan nyata antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu dibentuk/dikuasai petani dalam penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete.

3 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA adalah benar karya tulis saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2006 SYAFRUDDIN P

4 HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN KOMPETENSI MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA SYAFRUDDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCASARJANA ISNTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

5 Judul Tesis Nama NIM Program Studi : Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Kompetensi Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara : Syafruddin : P : Ilmu Penyuluhan Pembangunan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 16 Januari 2006 Tanggal Lulus:

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kelurahan Teomokole, Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada tanggal 28 Oktober 1977 dari Ibu yang bernama Muzna dan Ayah Marmaini (alm). Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus SMA Negeri 1 Kabaena dan terdaftar di Universitas Haluoleo (UNHALU) pada tahun yang sama melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMB) di program studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, lulus tahun Tahun 2003 penulis melanjutkan studi program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) dengan biaya sendiri.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku anggota komisi, yang telah banyak mencurahkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran. Pemerintah Kabupaten Bombana, semua rekan-rekan mahasiswa PPN penulis ucapkan terima kasih atas segala dorongan dan kerjasamanya dalam penyelesaian tesis ini. Karya ini juga penulis persembahkan kepada: 1. Ibunda tercinta: Muzna, saudara-saudaraku: Hariadi, S.Ag, Arianti, S.Sos, dan Yuliana, A.Md., yang telah banyak membantu penulis baik materi maupun moral hingga studi ini dapat diselesaikan. 2. Isteri tersayang: Herawati, S.P., M.Si., yang telah memberikan dorongan dan perhatian. 3. Masyarakat Kecamatan Kabaena dan Kabaena Timur, yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data penelitian. Semoga karya ini dapat bermanfaat. Amin. Bogor, Januari 2006 Penulis

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 5 Kegunaan Penelitian... 6 Definisi Istilah... 7 TINJAUAN PUSTAKA... 9 Karakteristik Petani... 9 Umur... 9 Pendidikan Pengalaman Usahatani Motivasi Jumlah Tanggungan Keluarga Pendapatan Luas Lahan Konsumsi Media Kontak dengan Penyuluh Pelatihan Ringkasan Kompetensi Pengertian Kompetensi Unsur-unsur Kompetensi Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Mete Aspek Budidaya Teknologi Pertanian Kombinasi Cabang Usaha Aspek Modal Aspek Tenaga Kerja Pemasaran Hasil Ringkasan Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani Hubungan Umur dengan Kompetensi Hubungan Pendidikan dengan Kompetensi Hubungan Pengalaman dengan Kompetensi Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Kompetensi Hubungan Luas Lahan dengan Kompetensi Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi... 50

9 Hubungan Konsumsi Media dengan Kompetensi Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Kompetensi Hubungan Pelatihan dengan Kompetensi Ringkasan METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Desain Penelitian Data dan Instrumentasi Data Instrumentasi Validitas Instrumen Reliabilitas Instrumen Pengumpulan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Pendahuluan Distribusi Karakteristik Petani Distribusi Petani Berdasarkan Umur Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal Distribusi Petani Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga.. 68 Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete Pengetahuan Petani tentang Usahatani Mete Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Karakteristik dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Pengetahuan Petani

10 dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Karakteristik dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Keterampilan Petani dalam berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Karakteristik dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengalaman dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani

11 dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan sikap Petani dalam Berusahatani Mete Pembahasan Karakteristik Petani Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN I LAMPIRAN II

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Distribusi Petani Berdasarkan Umur Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal Distribusi Petani Berdasarkan Pengalaman Berusahatani Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan Pengetahuan Petani dalam Usahatani Mete Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Pengatahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete... 99

13 30. Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Keterampilan Petani dalam berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Umur dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengalaman dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Konsumsi Media dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan sikap Petani dalam Berusahatani Mete

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Sulawesi Tenggara Kuesioner penelitian

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Menguasai aspek budidaya dan teknologi pertanian, mampu mengkombinasikan cabang-cabang usahatani ternak, menguasai aspek permodalan dan tenaga kerja, dan dapat memasarkan produk-produk yang dikelolanya adalah beberapa ciri petani mete yang kompeten. Petani yang kompeten mampu memanfaatkan dengan baik faktor-faktor yang berpotensi mendukung keberhasilan dan menghindari faktor-faktor yang berpotensi merugikan usahatani. Kompetensi merupakan kecakapan atau kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menjalankan perannya dengan baik (Suparno, 2001: 14). Kompetensi dalam hal ini lebih ditekankan pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang seharusnya dikembangkan dalam melakukan pekerjaan tertentu, sehingga individu tersebut mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan benar. Hasil kerja yang diperoleh merupakan manifestasi dari kompetensi, oleh karena itu kualitas kerja menunjukkan tingkat kompetensi seseorang terhadap profesinya. Keberhasilan petani dalam usahatani sangat ditentukan oleh kemampuan petani menguasai tehnik budidaya. Tehnik budidaya mencakup kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen, dan pengolahan pascapanen (Sastrahidayat, 1990: 103). Setiap tahapan dalam suatu periode perkembangan tanaman memerlukan penanganan khusus. Petani memerlukan kemampuan khusus untuk tiap tahapan tersebut.

16 Kemampuan petani menguasai teknologi pertanian juga sangat mendukung keberhasilan usahatani. Kehadiran teknologi pertanian membantu petani dalam mengelola usahataninya, misalnya menghemat tanaga kerja, mempercepat proses pengolahan lahan, pascapanen dan sebagainya. Penguasaan teknologi yang perlu dimiliki petani meliputi mengoperasikan alat mekanisasi pertanian, dan menggunakan teknologi pascapanen. Usahatani tidak dapat mengandalkan satu komoditas tanaman untuk mendapatkan keuntungan. Petani membutuhkan kemampuan yang baik dalam memilih dan menentukan kombinasi cabang usahatani. Melihat peluang yang tepat untuk mengkombinasikan usahatani yang saling menguntungkan. Mengenali jenis tanaman atau ternak yang baik untuk dikombinasikan dengan jenis tanaman usahatani pokok. Petani yang kompeten mampu mengelola kombinasi usahatani yang dipilih secara menguntungkan. Pengelolaan usahatani tidak terlepas dari masalah modal. Penguasaan terhadap aspek permodalan merupakan hal penting bagi petani. Aspek modal dimaksud adalah menentukan jumlah modal yang diperlukan untuk aspek budidaya, tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Kebutuhan modal berbeda untuk tiap fase produksi, oleh karena itu petani harus mampu menentukan jumlah modal yang diperlukan untuk menjamin efisiensi penggunaannya. Adanya kebutuhan terhadap modal, menuntut petani untuk memiliki pengetahuan tentang cara memperoleh modal. Mengetahui cara memperoleh modal agar tidak terjebak rentenir, mengetahui syarat-syarat untuk memperoleh modal dari lembaga keuangan pemerintah atau swasta, dan mengetahui jalur yang harus dilalui untuk memperoleh modal.

17 Petani yang kompeten mampu menentukan dan memilih sumber modal yang dapat menjamin keuntungan dan keamanan usahatani, menentukan sumber modal yang dapat memberikan pinjaman dengan bunga rendah, dan memilih sumber modal yang dapat memberikan pinjaman dengan syarat mudah. Sumber utama tenaga kerja usahatani adalah tenaga keluarga, tenaga kerja tambahan yang berasal dari luar keluarga diperlukan apabila skala usahatani semakin luas dan kebutuhan produksi meningkat. Petani pengelola memerlukan kemampuan untuk menguasai aspek tenaga kerja agar tercapai efesiensi dalam penggunaannya. Mengetahui jenis tenaga kerja yang memiliki potensi untuk mendukung keberhasilan usahatani. Mampu menentukan saat yang tepat untuk pencurahan tenaga kerja. Keuntungan usahatani diperoleh berdasarkan kemampuan petani memasarkan hasil usahanya. Kerugian dapat dihindari dengan pengetahuan tentang situasi pasar, kecenderungan yang selalu muncul setiap petani melakukan panen adalah turunnya harga yang disebabkan oleh banyaknya hasil panen. Petani yang kompeten mampu mengenali hal-hal seperti ini dan mempertimbangkan saat yang tepat untuk memasarkan hasil. Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan kajian mendalam melalui penelitian mengenai kompetensi petani dalam usahatani mete. Petani yang kompeten adalah petani yang menguasai aspek budidaya dan teknologi pertanian, mampu mengkombinasikan cabang-cabang usahatani ternak, menguasai aspek permodalan dan tenaga kerja, dan mampu memasarkan produk-produk yang dikelolanya.

18 Rumusan Masalah Petani sebagai pengelola berperan untuk mengambil keputusan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan usahatani yang dikelola. Petani yang kompeten dapat menekan resiko kerugian dengan memanfaatkan secara optimal faktor-faktor produksi yang ada. Sebaliknya, petani yang tidak kompeten akan bergantung pada faktor produksi yang dimiliki. Kegiatan usahatani dapat digambarkan sebagai interaksi antara petani dengan alam. Kualitas interaksi tersebut ditentukan oleh kualitas sumber daya petani, dan petani yang berkualitas adalah petani yang memiliki kompetensi. Ketersediaan potensi sumberdaya alam memberikan peluang bagi petani untuk mengolah dan mengambil manfaat guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kabupaten Bombana merupakan kawasan yang memiliki potensi usahatani mete cukup besar. Namun demikian, potensi tersebut tidak diikuti dengan produksi tinggi. Rendahnya produksi tersebut disebabkan oleh banyak faktor, namun secara spesifik tinjauan terhadap faktor petani perlu mendapat perhatian. Berdasarkan uraian di atas, secara khusus dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana distribusi para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada sejumlah karakteristik yang diamati? 2. Kompetensi apa yang perlu dikuasai petani mete itu? 3. Seberapa jauh terdapat hubungan antara karakteristik para petani mete dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete?

19 Tujuan Penelitian Kegiatan usahatani merupakan upaya petani mengelola alam untuk memperoleh keuntungan yang akan digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Petani merupakan faktor utama yang berperan mengendalikan sumber daya yang ada dan mengelolanya sehingga mampu mendapatkan produksi. Seorang petani membutuhkan kompetesi yang cukup untuk menjadi pengelola yang berhasil terhadap usahatani yang dipilih. Tiap bagian lahan berbeda variasi dan kualitasnya, demikian pula petani yang mengelolanya, memiliki kompetensi yang berbeda. Adanya variasi pada lahan dan kompetensi petani menyebabkan beragamnya pilihan bentuk usahatani dan keputusan pengelolaan yang harus dilakukan petani. Petani membuat keputusan terhadap bentuk usahatani yang dipilih, cabang usaha, pengelolaan, permodalan, dan beberapa faktor pendukung. Petani sebagai bagian dari masyarakat umumnya memiliki kebebasan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, mempelajari hal-hal baru dan mengikuti perkembangan yang ada. Hal tersebut akan membentuk karakteristik petani yang berhubungan dengan tingkat kompetensi dalam berusahatani. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menentukan: 1. Distribusi para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada sejumlah karakteristik yang diamati. 2. Kompetensi yang perlu dikuasai para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. 3. Hubungan antara karakteristik para petani mete itu dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete.

20 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan, khususnya di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara dalam merumuskan program pembangunan pertanian. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan usahatani mete. Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk memperoleh nilai guna penelitian ini adalah masyarakat, khususnya petani mete. Petani dapat memperoleh informasi mengenai jenis kompetensi yang harus mereka miliki dalam berusahatani mete dan beberapa faktor yang berhubungan dengan keberhasilan usahatani. Sistem usahatani mete yang dikembangkan masyarakat di Kabupaten Bombana saat ini meskipun telah mendapat perhatian yang cukup serius sebagai obyek penelitian, namun belum banyak memberikan perubahan mendasar kearah sistem usahatani modern. Penelitian mengarahkan perhatian utama terhadap petani sebagai pelaku usahatani, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi mendalam mengenai kompetensi mereka dalam usahatani mete. Secara khusus penelitian ini berguna: 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di bidang pengembangan pertanian khususnya menyangkut usahatani mete. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya petani mete mengenai kompetensi yang harus dimiliki dalam berusahatani mete. 3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

21 Definisi Istilah Penelitian diarahkan untuk menjelaskan hubungan karakteristik dengan kompetensi petani yang diidentifikasi sebagai variabel bebas dan terikat. Definisi istilah diperlukan untuk memberikan batasan konsep terhadap lingkup variabel yang akan diteliti. I. Karakteristik terpilih petani adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada pada diri petani, masing-masing didefinisikan sebagai berikut: 1. Umur yaitu satuan usia dalam tahun yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini dilakukan. Berdasarkan hal tersebut tingkat umur dibagi dalam tiga kategori yaitu kelompok umur muda, sedang dan tua. 2. Tingkat pendidikan formal adalah lamanya petani mengikuti pendidikan formal, yaitu berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 3. Pengalaman berusahatani yaitu lamanya petani berusahatani mete yang dinyatakan dalam tahun. Berdasarkan hal tersebut pengalaman dibagi dalam 3 kategori yaitu sedikit, cukup, dan banyak. 4. Motivasi berusahatani yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri petani untuk melakukan kegiatan usahatani mete, dalam hal ini dibagi atas tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. 5. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung sebagian atau seluruh kehidupannya oleh petani. Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi kategori sedikit, cukup, dan banyak. 6. Pendapatan adalah penghasilan atau nilai rupiah yang diperoleh petani dalam satu tahun. Pendapatan dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi.

22 7. Luas lahan adalah areal tanah pertanian (ha) yang dimanfaatkan petani dalam berusahatani mete. Luas lahan dibagi dalam kategori sempit, sedang, dan luas. 8. Jumlah pohon mete adalah banyaknya pohon mete yang produktif dan belum/tidak peroduktif. Dibagi dalam ketagori sedikit, sedang, banyak. 9. Konsumsi media adalah frekuensi petani menggunakan media tertentu untuk memperoleh informasi usahatani. Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. 10. Produksi mete adalah banyaknya mete yang dihasilkan (gelondong dan kacang mete) tiap tahun, dinyatakan dalam berat (kg). Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. 11. Kontak dengan penyuluh adalah frekuensi petani berhubungan dengan penyuluh. Dibagi dalam kategori kurang, cukup, dan sering. 12. Pelatihan adalah jumlah pelatihan yang pernah diikuti petani. Pelatihan dibagi dalam kategori tidak pernah dan pernah. II. Kompetensi usahatani mete adalah kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang petani mete berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Kompetensi tersebut adalah: 1. Kompetensi tentang tehnik budidaya tanaman mete 2. Kompetensi tentang teknologi pertanian 3. Kompetensi tentang kombinasi cabang usahatani ternak 4. Kompetensi tentang aspek modal 5. Kompetensi tentang aspek tenaga kerja 6. Kompetensi tentang pemasaran hasil.

23 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan formal, pengalaman usahatani, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan usahatani, konsumsi media, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan. Umur Salkind (1985: 31) menyebutkan bahwa umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan. Menurut Padmowihardjo (1994: 36) umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Disebutkan bahwa terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Terkait masalah umur, von Senden, et.al, (Havighurst, 1974: 6) mengamati gejala yang menyatakan bahwa terdapat periode kritis dalam tahap perkembangan selama manusia secara maksimal menerima stimuli spesifik. Tahap seperti itu hadir dalam perkembangan proses sensor utama, seperti konsepsi tentang ukuran, bentuk, dan jarak, dan juga dalam pengembangan perilaku sosial.

24 Pendidikan Slamet (2003: 20) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Menurut Soeitoe (1982: 31) pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku. Soekanto (2002: ) menyatakan pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Menurut Vaizey (1978: 34) tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kapasitas untuk dapat menikmati hidup yang biasa. Sejalan dengan hal tersebut, Rusell (1993: 39) mengemukakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang baik. Pengalaman Usahatani Menurut Padmowihardjo (1994: 19-20) pengalaman adalah suatu kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen, secara psikologi ditentukan oleh pengalaman indera. Tohir (1983: 180) menyatakan dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan (feeling).

25 Motivasi Menurut Suparno (2001: 100) motivasi merupakan keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Motivasi dijelaskan pula sebagai suatu dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Motivasi berkaitan dengan keseimbangan atau equilibrium yaitu upaya untuk dapat membuat dirinya memadai dalam menjalani hidup ini. Seseorang dapat mengatur dirinya sendiri relatif lebih bebas dari dorongan orang lain untuk menjadi lebih kompeten dengan eqiulibrium dimaksud. Padmowihardjo (1994: 135) mengemukakan motivasi berarti usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Sejalan dengan hal tersebut, Callahan dan Clark (Mulyasa 2003: 112) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu. Menurut Sudjana (1991: 162) motivasi belajar adalah motivasi insentif. Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan sekelilingnya. Suparno (2000: 83-90) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu kalau mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat. Perasaan berhasil atau the experience of success akan menimbulkan motivasi seseorang untuk mempelajari sesuatu. Selain itu, seseorang akan termotivasi untuk belajar jika yang dipelajari mendatangkan keuntungan. Keuntungan dimaksud dapat berupa nilai ekonomi maupun sosial.

26 Menurut Morgan (Tasmin, 2002: 4) dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan berada di luar diri orang tersebut. Insentif biasanya berupa hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga seseorang yang belajar akan tertarik mendapatkannya. Insentif bisa juga berupa sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung kehidupannya. Menurut Soekartawi et al (1986: ) banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Besarnya jumlah anggota keluarga yang akan menggunakan jumlah pendapatan yang sedikit akan berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kecerdasan, dan menurunya kemampuan berinvestasi (Hernanto, 1993: 94). Pendapatan Menurut Penny (1990: ) pendapatan seseorang merupakan keseluruhan dari apa yang ia peroleh dari cara pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan modal lainnya. Pendapatan dikatakan lebih lanjut merupakan suatu indikator

27 daya, status, dan pengaruhnya, tidak terdapat batas atas bagi pendapatan, meskipun terdapat batas bawah secara praktis. Batas bawah yang praktis adalah tingkat dimana orang berada dalam keadaan terombang-ambing di antara hidup dan mati, atau pada tingkat kelaparan. Tohir (1983: ) menyatakan pendapatan adalah penghasilan petani yang diperoleh dari upah keluarga, keuntungan usaha, dan bunga harta sendiri. Soekartawi et al (1986: 2-3) menyatakan bahwa pendapatan merupakan cermin kehidupan petani. Pendapatan petani yang rendah merupakan ciri petani kecil dan masuk dalam golongan petani miskin. Menurut FAO dan World Bank (2001: 13) secara umum terdapat lima strategi untuk meningkatkan pendapatan usahatani, yaitu: (1) pola intensifikasi untuk ketersediaan produksi, (2) penganekaragaman pengolahan dan produksi, (3) perluasan lahan, (4) meningkatkan pendapatan off farm untuk sektor pertanian, dan (5) meningkatkan pendapatan off farm untuk sektor non pertanian. Luas Lahan Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983: 7) lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi. Berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto (1993: 46) menyatakan luas lahan usahatani dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu (1) sempit dengan luas lahan < 0,5 ha, (2) sedang dengan luas lahan antara 0,5 sampai 2 ha, dan (3) luas dengan luas lahan > 2 ha.

28 Tohir (1983: 115) mengemukakan luas lahan yang sangat sempit dengan pengelolaan cara tradisional dapat menimbulkan: (1) kemiskinan, (2) kurang mampunya memproduksi bahan makanan pokok khususnya beras, (3) ketimpangan dalam penggunaan teknologi, (4) bertambahnya jumlah pengangguran, (5) ketimpangan dalam penggunaan sumber daya alam. Perubahan petani subsisten dari cara-cara berusahatani tradisional ke modern dianggap sebagai kunci untuk meringankan kesulitan sumber daya alam, kurangnya modal, kurangnya input langsung, keterbelakangan teknologi dan kurang berkembangnya keterampilan menusia (Penny, 1990: 14-15). Menurut Noronha dan Spears (1988: 293) lahan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan status petani. Konsumsi Media Konsumsi media merupakan askes petani untuk memperoleh informasi melalui media tertentu. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 150) surat kabar, majalah, radio, dan televisi merupakan media yang paling murah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Media massa dapat digunakan untuk mengubah pola perilaku, terutama yang kecil dan kurang penting, atau perubahan untuk memenuhi keinginan yang ada. Sejalan dengan hal tersebut, Suseno (2003: 96-97) menyatakan bahwa beberapa media yang dapat digunakan untuk menyampaikan infromasi antara lain: surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan yang sejenisnya. Media tersebut selain untuk menyampaikan infromasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain.

29 Menurut Asian Institute of Journalism (1988: 18) penting untuk memperkokoh sumber media yang ada agar masyarakat lebih banyak kesempatan untuk memperoleh informasi seperti program pembangunan yang diprioritaskan, mendidik penduduk pedesaan seperti para pemuda yang tidak bersekolah dan kelompok-kelompok yang miskin, dan menggerakkan rakyat ke arah pertumbuhan dan pembangunan yang berswadaya. Kontak dengan Penyuluh Kontak dengan penyuluh diartikan sebagai terjadinya hubungan antara petani dengan penyuluh. Menurut Soekanto (2002: 65-66) hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Hubungan yang bersifat primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka. Hubungan yang bersifat sekunder terjadi melalui perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya. Wiriaatmadja (1990: 29-30) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan tersebut dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadinya feedback. Hal ini penting bagi penyuluh, yaitu untuk dapat mengambil tindakan-tindakan selanjutnya, dengan demikian maka komunikasi tersebut dapat dilanjutkan dan dipelihara dengan baik. Dalam suatu proses komunikasi (Suparno, 2001: ) terjadi interaksi antara sumber dengan penerima. Interaksi ini berarti ada pengiriman dan penerimaan pesanpesan secara interaktif dan terus-menerus.

30 Menurut FAO (1998: 229) jasa penyuluhan memegang peranan penting dalam gerakan program diseminasi (implementasi) terhadap uji peningkatan usahatani (on-farm). Asian Productivity Organization (APO) (1994: 3) menyatakan bahwa petani diharapkan bisa mencapai hasil dengan bantuan pekerja penyuluhan: (1) Pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan memperkuat peran mereka dalam ekonomi pertanian, (2) efisiensi manajemen pada bisnis pertanian mereka, (3) mekanisme kerja yang akan mendorong partisipasi aktif petani. Pelatihan Menurut Manullang (1996: 100) pelatihan merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian dan efisiensi kerja seseorang. Siagian (1996: ) mengungkapkan pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan produktivitas kerja seseorang. Selain itu, pelatihan dapat bersifat pengembangan kemampuan yang bersangkutan untuk mempersiapkannya memikul tanggung jawab yang lebih besar dikemudian hari. Pelatihan adalah proses memperoleh keterampilan spesifik untuk melaksanakan suatu pekerjaan secara lebih baik (Jucious, 1963). Pelatihan membantu seseorang untuk menjadi terampil dan berkualitas dalam melakukan pekerjaan (Dahama, 1979). Van Dersal (1962) pelatihan digambarkan sebagai proses pengajaran, memberi tahu, atau mendidik orang-orang sehingga memiliki kualitas dalam melaksanakan perkejaan, dan memiliki kualitas untuk melaksanakan tanggung jawab dan kesulitan yang lebih besar (Halim dan Ali, 1997 : 143).

31 Pelatihan merupakan bentuk kegiatan pendidikan nonformal yang bertujuan untuk menambah kecakapan petani. Suriatna (1987: 6-7) mengemukakan bahwa pendidikan kepada petani tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan saja. Betapapun pengetahuannya bertambah, jika sikapnya masih tidak percaya diri, masih tertutup terhadap suatu inovasi, maka tidak akan terjadi perubahan perilaku. Ringkasan Karakterisrik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Karakteristik petani merupakan ciri-ciri atau sifat petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis, sehingga akan berbeda pada tiap individu. Perbedaan ini merupakan hal penting karena dalam perkembangnnya akan berperan terhadap pembentukan kepribadian, kemampuan, termasuk orientasi petani dalam mengelola usahatani. Potensi yang dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada individu petani tersebut. Umur petani memberikan gambaran mengenai kematangan mental dan akumulasi pengalaman petani. Pendidikan formal dapat memberikan penjelasan tentang pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang dimiliki petani. Selain itu, kecenderungan perilaku dan orientasi pemenuhan kebutuhan terkait dengan motivasi petani. Banyaknya tanggungan keluarga dan tingkat pendapatan dapat menjadi beban sekaligus dorongan bagi

32 petani untuk lebih giat menambah kemampuan agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Karakteristik berikutnya adalah luas lahan usahatani. Kepemilikan lahan merupakan gambaran orientasi usaha, petani komersil memiliki dorongan yang kuat untuk terus menambah kemampuan usahatani. Banyaknya akses terhadap media dapat menambah pengetahuan petani. Disamping itu, kontak dengan penyuluh baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan tambahan pada pengetahuan dan pemahaman petani tentang usahatani. Demikian pula dengan pelatihan merupakan sarana belajar untuk menambah kemampuan dengan memadukan teori dengan pengalaman petani. Oleh karena itu, karakteristik terpilih dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, pengalaman, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan, jumlah pohon mete, konsumsi media, produksi mete, kontak dengan penyuluh, dan pelatihan. Kompetensi Pengertian Kompetensi Menurut McAshan (Mulyasa, 2002: 38) competency is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviors. Syah (2002: 229) menyatakan bahwa pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas atau sebagai memiliki keterampilan dan kecakapan yang

33 disyaratkan. Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah untuk mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan (Suparno, 2001: 14). Lasmahadi (2002: 2) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motifmotif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensikompetensi akan mengarahkan tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Menurut Suparno (2001: 15) makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama. Hal ini berbeda dengan kompetensi teknis yang relatif merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan dengan menggunakan cara yang sama (usually premium for precision). Kompetensi profesional memerlukan kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda dimana terkandung tanggungjawab untuk membuat suatu keputusan. Biasanya kompetensi ini dihubungkan dengan kemampuan memecahkan masalah (Suparno, 2001: 15).

34 Menurut Willis dan Samuel (Puspadi, 2003: 120) kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Kemampuan secara fisik dan mental dapat muncul secara bersama pada saat menjalankan suatu tugas (Klausmeier dan Goodwin, 1966: 97-98), ada tiga jenis kemampuan yaitu kemampuan kognitif, psikomotor dan kemampuan afektif. Morgan, Holmes dan Bundy (1963: 31) mengemukakan bahwa kemampuan manusia secara umum terbagi dua yaitu: (1) kemampuan mental seperti pemikiran deduktif dan induktif, menciptakan sesuatu dengan pemikiran; (2) kemampuan jasmani. Klemp (Puspadi, 2003: 120) mengungkapkan A job competency in an underlying characteristic of a person which results in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Pengetahuan-pengetahuan khusus yang mencerminkan berbagai kompetensi belum dapat dikatakan sebagai kompetensi kerja. Pengetahuan secara harfiah, mengacu kepada kumpulan informasi. Kemampuan menggunakan pengetahuanpengetahuan khusus secara efektif marupakan hasil menggunakan pengetahuan yang lain. Pengetahuan khusus dapat dipertimbangkan sebagai kompetensi dengan dua alasan yaitu: pertama, dalam pengetahuan khusus terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan kedua, ada konsep serta fakta khusus yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan kompetensi yang lain. Perbedaan tingkat pengetahuan ada

35 pada tingkat: (1) motif dan sifat; (2) citra diri, peran; (3) keterampilan (Puspadi, 2003: 120). Mulyasa (2002: 40) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran mengapa dan bagaimana perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Menurut Widyarini (2004: 2) untuk survive dan meraih keberhasilan dalam hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan, mampu menyusun tujuan-tujuan, dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi: (1) Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa apa yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan survival.

36 (2) Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar yang penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan kita untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan meraih apa yang diharapkan dalam hidup. (3) Self esteem. Dalam psikologi, self esteem sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah, tidak berdaya. Pengetahuan Unsur-unsur Kompetensi Pengetahuan merupakan hirarki paling bawah dalam taksonomi kognitif Bloom, didasarkan pada kegiatan-kegiatan untuk mengingat berbagai informasi yang pernah diketahui, tentang fakta, metode atau tehnik maupun mengingat halhal yang bersifat aturan, prinsip-prinsip atau generalisasi Proses memusatkan perhatian kepada hal-hal yang akan dipelajari, belajar mengingat-ingat dan berfikir, oleh Brunner disebut sebagai cognitive strategy, suatu proses untuk memecahkan masalah baru (Suparno, 2001: 6). Menurut Brunner (Suparno, 2001: 84) pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut menurut Brunner melibatkan tiga aspek: (1) proses

37 mendapatkan informasi baru dimana seringkali informasi baru ini merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya, (2) proses transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru, (3) proses mengevaluasi, yaitu mengecek apakah cara mengolah informasi telah memadai. Sikap Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 106) sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap. Meyers (Sarwono, 2002) menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan-tindakan pribadi yang dilakukannya (Suparno, 2001: 15). Beberapa ahli (Sarwono, 2002: 232) mendefinisikan sikap sebagai a favourable or unfavourable evaluative reaction to ward something or someone, exhibited in one s belief, feelings or intended behavior (Meyers, 1996). An attitude is a disposition to serpond favourably or unfavourably to an object, person, institution or event (Azjen, 1988). Meskipun terdapat perbedaan dalam definisi tersebut, namun semuanya sependapat bahwa ciri khas sikap adalah (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda), dan (2) mengandung penilaian (setuju - tidak setuju, suka tidak suka).

38 Menurut Suparno (2001: 9) sikap mempunyai tiga karakteristik yaitu: (1) Intensitas yakni kekuatan perasaan terhadap objek, (2) Arah terhadap objek, apakah positif negatif ataupun netral, (3) Target yakni sasaran sikap, terhadap apa sikap ditujukan. Sikap dipandang mempunyai komponen afektif atau emosional, aspek konatif dan berakibat pada tingkah laku atau behavioral consequences (Suparno, 2001: 15). Gagne dalam Suparno (2001: 15) menekankan pada efek sikap terhadap pilihan-pilihan tingkah laku individu. Keadaan internal yang mempengaruhi pilihan-pillihan ini mempunyai aspek intelektual maupun aspek emosional. Hal tersebut diperoleh individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan ketiga. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi, kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu dan itulah yang dimaksud sikap. Menurut Sarwono (2002: ) sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak terapan, yaitu bahwa berdasarkan pandagan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi, dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Keterampilan Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya (Syah, 2002: 119). Keterampilan menekankan kemampuan motorik dalam kawasan psikomotor, yaitu

39 bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot. Seseorang dikatakan menguasai kecakapan motoris bukan saja karena ia dapat melakukan hal-hal atau gerakan yang telah ditentukan, tetapi juga karena mereka melakukannya dalam keseluruhan gerak yang lancar dan tepat waktu (Suparno, 2001: 11). Pengetahuan tentang cara-cara menguasai keterampilan tertentu akan mengubah arah dan intensitas motivasi seseorang. Keterampilan yang kompleks dapat dipelajari secara bertahap. Analisis tugas yang kompleks menjadi keterampilan-keterampilan bagian (part-skills), memungkinkan dikuasainya keterampilan tersebut. Jika penguasaan atas keterampilan sudah tercapai, maka akan timbul rasa puas, yang pada gilirannya mendorong orang untuk mengulangi kegiatan tersebut atau melanjutkannya ke tahap yang lebih komopleks (Suparno, 2001: 22). Menurut Reber (Syah, 2002: 119) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi atau mendayagunakan orang lain. Artinya orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil. Kemampuan mengamati secara cermat gerakan, taktik, dan kiat-kiat orang yang menjadi contoh (model) baik secara langsung maupun melalui media gambar memungkinkan keterampilan bagian dapat ditiru dengan lebih mudah. Urutan

40 langkah menjadi amat penting. Demikian pula frekuensi dan intensitas praktek akan memberi peluang dikuasainya keterampilan yang semula bersifat kaku, menjadi lancar, luwes, dan harmonis (Suparno, 2001: 23). 1. Menyiapkan Lahan Kompetensi yang Perlu Dikuasai Petani dalam Usahatani Mete Aspek Budidaya Bibit mete sangat peka terhadap kompetisi gulma, tetapi di banyak daerah produsen, terutama pada lahan miring, semua vegetasi tidak boleh dimusnahkan sebelum penanaman, dan penyiangan bersih tidak dapat dilakukan selama fase tanaman muda karena bahaya erosi air dan angin (Sastrahidayat, 1990: 142). Lahan yang digunakan untuk penanaman mente dapat berasal dari lahan alang-alang semak belukar, lahan primer atau lahan konversi. Pada lahan alangalang dan semak belukar cara pembukaan lahan dilakukan dengan pembabatan secara manual atau menggunakan herbisida. Pada lahan primer dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon, sedangkan yang dari konversi dilakukan dengan menebang atau membersihkan tanaman yang ada (Bank Indonesia, 2005: 1). Daerah-daerah yang tidak terancam bahaya erosi, semua vegetasi pohon, semak dan perdu harus dibuang sebelum menanam bibit mete. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk lazim dipraktekkan, dan gulma-gulma yang habitatnya pendek dijaga terus sampai tanaman mete muda tumbuh baik. Kalau tanaman musiman ditanam bersama dengan mete (tumpang sari), semua gulma dapat disiangi sebelum tanam (Sastrahidayat, 1990: 143).

41 2. Penanaman 2.1. Cara Tanam Menurut Darwis (2004: 8) modal dasar bagi suatu usahatani adalah benih yang bermutu dan dapat mengacu ke arah bahan tanaman yang baik serta dapat dijadikan pohon induk, maka dalam penentuan benih harus mempertimbangkan: (1) tipe genjah dengan tajuk kompak dan diameter pendek yang berbentuk kerucut/piramidal atau silindris, percabangannya banyak dan kadar pembungaannya tinggi; (2) musim pembungaan dan pembuahan pendek, serta mempunyai bunga sempurna (hermaprodit) 20 persen ke atas; (3) pohon induk seyogyanya dipilih yang berumur sekitar tahun dengan kemampuan berproduksi (gelondong mete) per meter persegi/bujur sangkar tajuk sekurangkurangnya 80 gram (800 kg per ha); (4) pada setiap tandan buah terdapat > (4 5) buah yang berukuran 8 10 gram (kering jamur) atau gelondong per kg dengan rendemen kacang 20 persen ke atas; (5) memiliki toleransi terhadap hama penyakit. Biji atau gelondong mete untuk benih sebaiknya diambil pada saat pertengahan panen (panen besar). Benih hanya mampu disimpan selama 8 bulan. Penanaman benih secara langsung, dengan atau tanpa liang tanam, telah menjadi metode pokok untuk menanam skala kecil dan skala kebun-kebun besar. Keuntungan cara ini adalah: (1) tanaman dapat mengembangkan sistem perakarannya dan terutama akar utama secara alamiah; (2) cara ini sangat murah dan sederhana; dan (3) cara tanam yang paling cepat. Kerugiannya adalah persentase perkecambahannya rendah, gangguan binatang sangat serius dan kecambah tidak dapat diseleksi (Sastrahidayat, 1990: 144).

42 Disamping penanaman langsung, bibit mete dapat disemaikan terlebih dahulu. Keuntungan cara ini adalah: (1) semua bibit yang baik dapat dimanfaatkan; (2) dapat disemaikan dalam kantong plastik; (3) tanah persemaian dapat dipakai tanah yang subur sehingga pertumbuhan semai kuat dan tahan dalam pemindahan; (4) tidak mengalami kelayuan. Kekurangannya yaitu: (1) kehilangan waktu satu tahun; (2) akar tunggangnya bengkok tidak wajar; (3) tidak dapat segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya; (4) tanaman tidak tahan menghadapi musim kemarau setelah ditanam karena akar tunggangnya tidak sempurna; (5) memerlukan biaya tambahan (Rismunandar, 1986: 18). 2.2 Waktu Tanam Pada daerah-daerah tanpa irigasi, mete ditanam pada musim hujan. Penanaman dapat dilakukan kalau hujan telah mulai turun secara teratur, dan tanah tidak mengering lagi. Penanaman awal akan memungkinkan bibit mengembangkan perakarannya lebih banyak sebelum datang musim kering. Daerah yang iklimnya ditandai oleh curah hujan yang tidak teratur dan musim hujan yang pendek, resiko kekeringan dapat dikurangi dengan merendam biji sebelum tanam, menanam biji secara dalam (5 10 cm) dan menutupinya dengan bahan mulsa untuk mengurangi penguapan (Sastrahidayat, 1990: 144). Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) pada umumnya dua tahun pertama merupakan masa kritis bagi tanaman jambu mete. Penanaman benih atau bibit langsung dalam lubang tanam berukuran (60 x 60 x 60) cm memberikan presentasi tumbuh dan toleransi yang lebih baik terhadap cekaman lingkungan.

43 2.3. Jarak Tanam Jarak tanam yang disarankan di berbagai negara bervariasi dari 8 m x 8 m hingga 16 m x 16 m bahkan 20 m x 20 m. Dalam praktek, jarak tanam yang sering digunakan adalah 10 m x 10 m dan 14 m x 14 m, sesuai dengan kondisi lokal dan ekspektasi perkembangan tanaman (Sastrahidayat, 1990: 154). Menurut Rismunandar (1986: 18) jarak tanam mete dapat disesuaikan yaitu 5m x 5m pada tanah yang tandus, 10 m x 10 m pada tanah yang belum parah dilanda erosi, dan (12-15) m 2 pada tanah yang subur. Menurut PUSLITBANG Perkebunan (2000: 71) Jarak tanam rapat (6 m x 6 m) kurang menguntungkan karena dalam waktu 4 hingga 5 tahun tajuk tanaman sudah bertemu, sehingga tidak ada ruang untuk menanam tanaman sela (inter crop). Jarak tanam yang ideal dapat disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman, dimulai dengan kerapatan tinggi yang kemudian secara bertahap dapat dikurangi. Tetapi meskipun pada suatu populasi akhir yang telah ditentukan, tajuk tanaman akan saling bersinggungan satu sama lain pada umur tertentu, dan kemudian pemangkasan akan meningkatkan biaya produksi (Sastrahidayat, 1990: 156). 3. Pemeliharaan 3.1. Pemangkasan Pemangkasan dengan tujuan untuk memperoleh hasil lebih tinggi, belum lazim dilakukan. Pada umumnya, pemangkasan terbatas untuk membuang cabang terendah selama tahun pertama pertumbuhannya. Kalau praktek mekanisasi tidak ada, pemangkasan hanya terbatas pada tinggi 60 cm. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemanenan dan operasi lain. Pemangkasan cabang-cabang besar

44 dapat mengakibatkan eksudasi getah yang berlebihan dan dapat menyebabkan kelemahan tanaman (Sastrahidayat, 1990: 161). Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) pemangkasan bentuk seharusnya mulai dilakukan mulai umur 6 bulan dan selanjutnya dilakukan dengan pemangkasan cabang-cabang ekstensif, non produktif dan bagian-bagian tanaman yang terserang hama dan penyakit. Kalau kultivasi dirancang untuk mekanisasi, pemangkasan harus dilakukan bertahap ke atas hingga tinggi 1 meter agar traktor dan alat-alat lain dapat beroperasi selama beberap tahun pertama. Pemangkasan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan tunas-tunas air dari bagian bawah batang. Tunastunas baru tersebut harus dibuang secara teratur untuk menghindari perkembangan tajuk yang liar. Pada tanaman yang telah tumbuh penuh diperlukan pemangkasan cabang atau ranting-ranting mati (Sastrahidayat, 1990: 162). Menurut Rismunandar (1986: 19) pemeliharaan mete dapat dilakukan dengan cara: mengusahakan agar cabang-cabang yang pertama tetap tumbuh sebagai penutup tanah, memeriksa semai yang mati, membiarkan tunas air tumbuh untuk membentuk mahkota pohon, agar menjadi rimbun Penyiangan Gulma Kebutuhan akan penyiangan gulma didasarkan pada kompetesi air dan cahaya. Adanya kompetisi cahaya, air dan unsur hara, maka perkembangan bagian tajuk tanaman sangat lambat sehingga perkembangan akar juga lambat. Selama tiga tahun pertama pertumbuhannya, penyiangan selingkar tajuk harus dipraktekkan. Gulma yang tumbuh di luar lingkaran penyiangan dapat dibiarkan tumbuh rendah dengan jalan memotong atau membajaknya. Kalau tanaman telah

45 mengembangkan tajuknya beberapa meter, lingkaran penyiangan dapat dihentikan, tetapi penyiangan di antara tanaman harus diintensifkan dan pencangkulan diperlukan sebagai pengganti penyabitan gulma (Sastrahidayat, 1990: 163). Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) penyiangan gulma terutama di bawah tajuk tanaman seringkali kurang diperhatikan. Penyiangan ini perlu dilakukan, terutama pada tanaman muda agar perakaran jambu mete unggul dalam memanfaatkan hara dan air dalam tanah. Waktu penyiangan gulma sangat penting, penyabitan gulma pada musim kemarau tidak menguntungkan. Gulma menggunakan banyak air tanah dan pertumbuhan baru sangat cepat setelah hujan pertama. Penyiangan sebaiknya dilakukan sebelum akhir musim hujan. Kemudian tanaman mete akan mendapatkan cukup air tanah guna perkembangan daun muda dan perkembangannya. Penyabitan merupakan cara yang kurang memuaskan karena pengaruhnya hanya sebentar. Pencangkulan yang memotong bagian gulma di bawah tanah jauh lebih efektif dan gulma masih memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Pertumbuhan gulma dapat direduksi dan tanaman mete dapat tumbuh terus mendominasi vegetasi alamiah jika tanaman mete telah mampu mengembangkan tajuk yang sehat, dengan naungan yang cukup sehat. Tanaman akan berkembang dengan lambat dan mungkin tidak pernah mencapai pertumbuhan yang subur kalau penyiangan kurang intensif. Pengendalian kimiawi hingga saat ini masih belum penting. Kemungkinan hal itu dapat menjadi alternatif penting, terutama kalau upah pekerja cukup mahal atau tenaga kerja sangat kurang (Sastrahidayat, 1990: ).

46 4. Pemupukan Suryadi dan Zaubin (2000: 72) menyatakan pemupukan dengan dosis dan komposisi hara NPK yang disesuaikan dengan umur tanaman berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi jambu mete. Sastrahidayat (1990: ) mengemukakan bahwa praktek pemupukan yang banyak dilakukan adalah menggemburkan tanah di seputar batang dengan garpu hingga kedalaman 20 cm, dengan radius setengah tajuk. Pupuk kemudian disebar dan dicampur dengan tanah. Tanaman yang dipupuk sekali dalam liang tanam, yang diikuti oleh pemberian pupuk disebar pada tahun kedua berkembang lebih baik daripada tanaman yang dipupuk sekaligus pada liang tanam. Hasil tanaman yang dipupuk secara bertahap tiap tahun juga lebih tinggi daripada tanaman yang dipupuk sekali dengan dosis tinggi pada liang tanamnya. 5. Pengendalian Hama dan Penyakit 51. Hama Menurut PUSLITBANG Perkebunan (2000: 72) beberapa hama yang sering dijumpai di kebun petani yakni Helopeltis sp., Cricula sp., Acrocercrops sp., Ttrips sp., dan Lawana sp. Hama Helopeltis sp. Paling besar menimbulkan kerusakan di kawasan timur Indonesia. Sastrahidayat (1990: ) mengungkapkan bahwa beberapa jenis serangga menjadi hama utama tanaman mete, diantaranya menyebabkan kerusakan serius. Hama pada tanaman mete dibagi dalam 5 kelompok besar yaitu: (1) hama penggerek, (2) hama pengerat, (3) hama pemakan buah dan bunga, (4) hama pengisap daun dan tunas muda, (5) binatang besar.

47 Menurut Suryadi dan Zaubin (2000: 72) beberapa hama yang sering dijumpai di kebun petani adalah Helopeltis sp., Cricula sp., Trips sp., dan Lawana sp. Hama Helopeltis tampaknya paling besar menimbulkan kerusakan di kawasan timur Indonesia. Pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan cara fisik, mekanik, dan kimiawi. Pengendalian dilakukan dengan cara memotong bagian tanaman yang terserang atau dengan menyemprotkan insektisida. Kontrol kimia yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai insektisida. Pengendalian dengan insektisida disarankan sebagai alternatif terakhir, yaitu penyemprotan interval pendek selama periode 60 sampai 90 hari. Perlindungan bibit dengan anyaman kawat yang rapat sangat efektif, tetapi sangat mahal (Sastrahidayat, 1990: ). 5.2.Penyakit Penyakit yang umum dijumpai pada tanaman mete adalah (1) penyakit pada kecambah bibit, (2) penyakit tunas muda dan bunga, (3) penyakit buah dan biji. Pengendalian penyakit yang efektif dicapai dengan menggunakan fungisida. Penyemprotan dilakukan pada saat munculnya daun baru dan pembungaan, karena lembab nisbi yang tinggi dan pertumbuhan baru sangat ideal bagi perkembangan dan penyebaran patogen. Penyemprotan yang cepat dapat menghambat perkembangan penyakit (Sastrahidayat, 1990: ). Menurut Bank Indonesia (2005: 2) Penyakit tanaman yang sering menyerang tanaman mete adalah penyakit layu tanaman, penyakit layu daun, dan penyakit rontok bunga atau buah busuk. Fungisida yang umum digunakan untuk

48 pengendalian penyakit antara lain Dithane M-45, Delsene MX 200, Difolatan 4F dan Cuporxy Chloride. 6. Panen Pemanenan umumnya terdiri atas pemungutan biji-biji yang telah gugur ke tanah setelah masak. Buah harus dipanen sebelum jatuh secara alamiah, jika buah akan dimanfaatkan (Sastrahidayat, 1990: ). Sebaiknya buah mete dipanen pada kondisi masak penuh untuk mendapatkan biji mete yang berkualitas baik. Kondisi tersebut ditandai dengan jatuhnya buah. Buah semu kemudian dipisahkan dari biji metenya. Selanjutnya biji mete gelondongan dikeringkan dengan sinar matahari sampai kadar ari mencapai 12-8% (Bank Indonesia, 2005: 3) Pengambilan biji Permukaan tanah di bawah tajuk tanaman harus dibersihkan dari gulma untuk memudahkan pengumpulan biji. Beberapa daerah, seluruh area di bawah tajuk tanaman disapu bersih dari daun-daun kering. Panen merupakan kerja yang butuh waktu, tetapi tidak perlu banyak tenaga, hal ini menunjukkan bahwa wanita dan anak-anak dapat dilibatkan. Sampai saat ini ada dua cara panen yang lazim dilakukan di berbagai sentra jambu mete di dunia, yaitu: (a) cara lelesan, dilakukan dengan membiarkan buah jambu mete yang telah tua tetap di pohon dan jatuh sendiri atau para petani menggoyang-goyangkan pohon agar buah yang tua berjatuhan. (b) cara selektif, dilakukan secara selektif (buah langsung dipilih dan dipetik dari pohon). Apabila buah tidak memungkinkan dipetik secara langsung, pemanenan dapat dibantu dengan galah dan tangga berkaki tiga (BAPPENAS, 2005: 7).

49 6.2.Pemilihan buah Buah yang lebih masak biasanya lebih manis, oleh karena itu dianjurkan untuk memetik buah pada saat hampir jatuh atau gugur. Buah mente menjadi masak sesudah berumur hari sejak munculnya bunga sebaiknya buah mete dipanen pada kondisi masak penuh (Bank Indonesia, 2005: 4). 7. Pascapanen Kegiatan pascapanen mete mencakup penanganan biji setelah panen untuk menurunkan kadar air. Kadar air biji mete yang dipanen dapat mencapai 25%, tergantung kondisi iklim, kelembaban tanah tempat jatuhnya buah, kerapatan pertumbuhan gulma di bawah tanaman, dan waktu antara jatuhnya buah dan pemanenan. Kadar air tinggi dapat menyebabkan kerusakan keping biji karena serangan jamur atau bakteri, atau aksi enzim. Biji yang terserang dapat kehilangan rasa dan aromanya yang khas, yang akan mengakibatkan penurunan kualitas. Oleh karena itu frekuensi panen perlu tinggi dengan selang pendek terutama pada kondisi lembab nisbi udara tinggi atau ada hujan selama musim panen. Pengeringan biji segera setelah panen sangat penting untuk mengawetkan kualitasnya. Pengeringan di bawah cahaya matahari dapat dilakukan pada lantai jemur khusus. Anyaman bambu atau daun kelapa atau bahan lain dapat digunakan untuk menjemur jika lantai jemur tidak ada, terutama kalau setiap kali panen hanya melibatkan sedikit biji (Sastrahidayat, 1990: ) Pengambilan Kacang Mete Menurut Bank Indonesia (2005: 4) pengupasan kulit biji mete dapat dilakukan secara mekanis atau manual. Pengupasan kulit biji mete gelondong secara manual dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut:

50 (1) pengupasan kulit mete dengan pemukul, (2) pengupasan kulit mete dengan kacip belah, dan (3) pengupasan kulit mete dengan kacip ceklok Pengeringan Kacang Mete Kacang mete yang telah dipisahkan dari kulitnya dikeringkan lagi hingga kadar air mencapai sekitar 3% dari sebelumnya 5%. Pengeringan kacang mete ini bertujuan untuk memudahkan pengelupasan kulit ari kacang mete. Di samping itu, pengeringan kacang mete dapat mencegah serangan hama dan jamur serta meningkatkan daya simpan. Pengeringan kacang mete dilakukan dengan cara (1) penjemuran di bawah sinar matahari (2) oven, dilakukan bila cuaca tidak memungkinkan misalnya pada musim hujan, dan (3) cara sangrai yaitu dengan memanaskan kacang mete di atas nampan yang diberi lapisan pasir (Bank Indonesia, 2005: 5) Teknologi Pertanian Suatu kemajuan teknologi terjadi karena cara berproduksi baru yang sebelumnya belum pernah dicoba. Metode yang baru ini mengurangi ongkos per unit dari output yang telah direncanakan oleh produksi. Kemajuan teknologi menggambarkan salah satu cara yang utama untuk mencapai kemajuan ekonomi, selama penemuan dari cara berproduksi yang baru dan maju memungkinkan memproduksikan lebih banyak barang dan jasa perkapita. Perkembangan teknik produksi yang baru memugkinkan peningkatan produktivitas pekerja. (Bishop dan Toussaint, 1979: ). Sugihen (1997: 113) mengemukakan pemakaian teknologi tinggi seperti mesin-mesin pertanian, berbagai jenis pupuk dan bahan kimiawi pemberantas hama dan gulma tanaman memungkinkan seseorang untuk memperluas usaha

51 pertaniannya, yang berarti meningkatkan hasil produksinya. Adopsi teknologi seperti itu menghendaki perbaikan organisasi pertanian itu sendiri, termasuk organisasi pasar, penyediaan modal, peningatan keterampilan, dan lain-lain. Perbaikan organisasi seperti ini memungkinkan para petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hasil usahatani yang dikembangkan. Produktivitas akan bertambah tinggi apabila teknologi yang digunakan bertambah baik (Sukirno, 1981: 6), oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa produksi akan mencapai jumlah yang lebih besar apabila dipakai teknologi yang lebih modern. Menurut Mosher (1987: 96) teknologi usahatani berarti bagaimana cara melakukan perkerjaan usahatani. Didalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk pula di dalamnya benih, pupuk, pestisida, obatobatan serta makanan ternak yang dipergunakan, perkakas, alat dan sumber tenaga. Termasuk juga berbagai kombinasi cabang usaha, agar tenaga petani dan tanahnya dapat digunakan sebaik mungkin. Hernanto (1993: 199) mengemukakan bentuk-bentuk teknologi usahatani dapat berupa: cara budidaya yang lebih baik, introduksi teknologi kimia seperti pupuk dan obat-obatan, introduksi teknologi biologi seperti bibit unggul, dan teknologi mekanis meliputi penggunaan alat-alat pertanian. Kombinasi Cabang Usaha Menurut Foster (1953: 57-60) sukses usahatani tidak hanya ditentukan oleh pilihan jenis usahatani, tetapi juga kombinasi cabang usaha. Masalah utama dalam kombinasi cabang usaha adalah alokasi sumber daya pada masing-masing cabang usaha dalam memaksimalkan keuntungan usahatani. Kondisi yang

52 mempengaruhi kombinasi cabang usaha adalah: (1) mobility yaitu kemungkinan faktor-faktor produksi untuk digunakan dari satu tempat ke tempat lain, (2) homogeneity yaitu keseragaman komposisi faktor produksi, (3) divisibility yaitu pembagian faktor-faktor produksi pada tiap cabang usaha. Beberapa cabang usaha dalam usahatani dapat saling bersaing untuk menggunakan sumberdaya. Hal ini terjadi apabila petani tidak mempunyai cukup tenaga kerja untuk memanen dua tanaman yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Cabang usahatani bersifat menambah pendapatan (suplementary) apabila menggunakan sumberdaya yang tidak terpakai. Cabang usaha juga dapat bersifat komplementer dengan cara saling menyajikan bahan yang diperlukan, seperti tanaman jagung dan tanaman penghasil pupuk hijau. Hubungan komplementer tampak jelas antara cabang usaha tanaman dan ternak, dan antara berbagai tanaman dalam pola tanam ganda (Soekartawi, 1986: 14-15). Menurut Mosher (1987: 71) tiap jenis produksi yang berlainan dalam suatu usahatani disebut cabang usaha. Kombinasi tanaman dan ternak dengan menggunakan bidang-bidang tertentu dari sebuah usahatani sebagai padang rumput merupakan pola produksi usahatani yang efisien di banyak daerah. Petani harus mengembangkan kombinasi usaha yang sesuai agar memperoleh kemungkinan keuntungan terbesar untuk mengembalikan keseluruhan operasi. Penentuan ini menyangkut pengelompokan mana yang akan membuat penggunaan lahan lebih efisien, tenaga kerja, dan peralatan; kombinasi mana yang akan memelihara produktivitas lahan dan tidak mengurangi pendapatan. Perusahaan mana yang saling melengkapi satu sama lain dan dengan

53 demikian mengurangi biaya-biaya atau meningkatkan hasil; dan faktor serupa (Efferson, 1953: 3). Menurut Rismunandar (1986: 27) tanaman mete dapat dikombinasikan dengan lebah, kombinasi antara jambu mete dengan lebah akan menghasilkan dua jenis pangan yang bernilai ekonomi tinggi. Pada musim berbunga tanaman mete tidak terlepas dari kunjungan lebah yang mengambil nektar dan sari bunganya, dengan kunjungan lebah pembuahan dapat ditingkatkan. Aspek Modal Menurut Hernanto (1993: 80) dalam pengertian ekonomi modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tanaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Modal operasional dimaksudkan sebagai modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan. Masalah mendapatkan dan mempergunakan modal merupakan hal yang amat penting pula bagi para petani. Ini berarti, bahwa para petani harus memahami jaringan atau hubungan ekonomi yang terbuka baginya, dan bagaimana memanfaatkan jaringan atau sumber dana tersebut. Kurangnya pemahaman para petani sering membuat mereka menjadi korban tukang rente, atau tengkulak ijon, atau korban dengan cara lain yang selalu mencekek leher para petani. Sering seluruh tanaman yang dipanen sudah menjadi milik para pemilik uang kepada siapa mereka meminjam uang sebelum panen tiba. Tidak jarang pula kebutuhan akan modal ini menjadi suatu penghalang utama untuk mengembangkan usaha pertanian (Sugihen, 1997: 115).

54 Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983: 37) mengemukakan bahwa cara memperoleh modal usahatani bermacam-macam. Modal sendiri dapat berasal dari pemberian hadiah, warisan, atau kegiatan menabung, sedangkan modal yang berasal dari luar dapat diperoleh melalui berbagai jenis hubungan seperti sewa, hutang atau kredit. Modal digunakan dalam pengelolaan lahan, tenaga kerja, bangunan, dan pemagaran, termasuk didalamnya peralatan kerja, mesin, bibit, pupuk, dan material lainnya (Foster, 1953: 274). Petani harus dapat mengatur biaya produksi dalam usahataninya, sehingga modal yang dibutuhkan dapat diketahui (Soekartawi, 1986: 12). Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibedakan menjadi: (1) milik sendiri; (2) pinjaman atau kredit: (a) kredit bank, (b) dari pelepas uang/tetangga/famili dan lain-lain; (3) warisan; (4) dari usaha lain; (5) kontrak sewa. Modal sendiri, petani bebas menggunakan. Modal yang berasal dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan. Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Sumber modal dari luar usahatani dimaksudkan bila petani memiliki usaha dari luar usahatani yang cukup besar (Hernanto, 1993: 83-84). Biaya produksi digolongkan menjadi biaya tetap dan tidak tetap. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi. Petani harus tetap membayarnya berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan usahataninya. Biaya tetap menjadi sangat penting apabila petani memikirkan tambahan investasi, seperti alat pertanian, tenaga kerja, mesin pertanian, atau bangunan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang berubah apabila

55 luas usahanya berubah. Biaya ini ada apabila ada sesuatu barang yang diproduksi (Soekartawi, 1986: 13). Hernanto (1993: 85) mengemukakan bahwa pemberian kredit kepada nasabah pada umumnya melalui prosedur tertentu. Setiap bank mempunyai tata cara atau prosedur sendiri-sendiri untuk menyelesaikan permintaan kredit dari nasabahnya. Namun pada garis besarnya prosedur terebut adalah sama, dan biasanya dibagi dalam beberapa tahap yaitu: (1) tahap pengajuan/pendaftaran, (2) tahap pemeriksaan, (3) tahap pemutusan, (4) tahap realisasi, (5) tahap pengawasan dan pembinaan, (6) tahap pelunasan kredit. Kredit diperoleh tergantung pada tiga hal: (1) ada kepercayaan bahwa peminjam akan mampu membayar, (2) angsuran yang ada menjamin jumlah pinjaman, (3) percaya bahwa ada perlindungan hukum. Petani, dalam hal kredit umumnya lebih banyak meminjam kepada pelepas uang karena: (1) dapat diambil sewaktu-waktu, (2) prosedur setahun, (3) jaminan formal biasanya tidak diperlukan, (4) kepastian bagian berperan penting, (5) kelestarian hubungan usaha, (6) sering dikaitkan dengan jaminan pemasaran hasil (Hernanto, 1993: 84). Aspek Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah jumlah penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga, dan jika mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut (Wirosuhardjo, 1981: 193).

56 Menurut Sukirno (1981: 4) pengertian tenaga kerja bukan saja berarti jumlah penduduk yang dapat digunakan dalam proses produksi, tetapi termasuk kemahiran-kemahiran yang mereka miliki. Melihat kesanggupan mereka untuk bekerja dan berpikir, tenaga kerja yang ada di masyarakat dibedakan dalam tiga golongan yaitu: (1) tenaga kerja tidak terdidik, yaitu tenaga kerja yang tidak mempunyai pendidikan sehingga daya kerjanya terutama harus berasal dari tenaga jasmaninya; (2) tenaga kerja terlatih, yaitu tenaga kerja yang telah memperoleh sedikit pendidikan dan latihan dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu; (3) tenaga kerja terdidik, yaitu tenaga kerja yang memiliki pendidikan tinggi. Jenis tenaga kerja dalam usahatani terbagi dalam tiga jenis yaitu: (1) tenaga kerja manusia, (2) tenaga kerja ternak, (3) tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya, dibedakan atas pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja ternak dapat digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk angkutan, sedangkan tenaga mekanik juga digunakan untuk pengolahan tanah, pemupukan, pengobatan, penanaman, dan panen. Tenaga mekanik bersifat subtitusi, pengganti tenaga ternak atau manusia (Hernanto, 1993: 63-64). Masyarakat yang masih bertahan dengan sistem pertanian subsisten hampir semua pekerjaan di atas lahan dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dan atau bersama-sama anggota keluarganya, terutama, pada masa puncak kegiatan. Hal tersebut berbeda dengan para petani kaya atau petani yang mempunyai usahatani dalam skala besar. Mereka dapat menyewakan lahannya kepada orang lain yang akan membayar dengan sewa tanah secara tunai pada akhir musim

57 panen atau dengan cara lain yang disepakati. Mungkin juga petani membagi hasil garapannya dengan pemilik lahan (Sugihen 1997: 111). Hernanto (1993: 72) mengemukakan kegiatan usahatani memerlukan tenaga kerja meliputi hampir seluruh proses produksi berlangsung. Kebutuhan kerja setiap cabang usaha akan berbeda berdasar jenis kegiatan, jenis komoditi, tingkat teknologi, intensitas kombinasi faktor produksi, skala usahatani, dan waktu. Sejalan dengan hal tersebut, Sugihen (1997: 112) menyatakan bahwa masalah pemanfaatan tenaga kerja tambahan tidak terbatas pada pengolahan lahan saja. Pada musim panen, disamping tenaga kerja yang bersumber dari para anggota keluarga dan atau tenaga tetangga, mereka sering harus menggunakan tenaga kerja lain yang dibayar dengan upah tertentu. Menurut Darsono (2004: 18) tanaman jambu mete yang diusahakan oleh rakyat dengan pola tumpang sari (pola teras) berimplikasi pada curahan tenaga kerja untuk pengelolaan yang relatif rendah dibandingkan dengan tanaman pangan. Di samping itu jambu mete hanya mempunyai musim panen sekali dalam setahun. Bank Indonesia (2005: 1) menyebutkan bahwa tenaga kerja yang bekerja untuk usaha pengolahan kacang mete umumnya adalah anggota keluarga dan masyarakat di sekitar lokasi usaha, di mana tenaga kerja tersebut digolongkan menjadi tenaga kerja tetap dan tidak tetap. Pemasaran Hasil Produksi dan pemasaran sangat berhubungan satu sama lain, dan setiap petani memiliki kesempatan untuk membuat keputusan dalam kegiatan pemasaran agar memberikan keuntungan dan pengembalian biaya operasi usahatani.

58 Beberapa pertanyaan berikut dapat memandu petani dalam membuat keputusan: (1) Produk apa yang akan dijual?, (2) Kapan produk dijual?, (3) Bagaimana produk dijual (menjual langsung ke konsumen atau melalui perantara)? (Hardin dan King, 1956: 321). Suatu faktor penting yang mempengaruhi keuntungan seorang petani dari bisnisnya adalah efisiensi pemasaran produknya. Keputusan pengelolaan yang dilibatkan dalam pemasaran meliputi waktu penjualan, metoda persiapan dan pengolahan, pemilihan agen pemasaran yang terbaik untuk penanganan masingmasing produk spesifik, agen transportasi dan biaya, dan hal-hal serupa. Faktor pemasaran dalam usahatani meliputi prinsip umum pemasaran seperti efek variasi mutu dan efisiensi pengemasan (Efferson, 1953: 1-9). Seorang petani seharusnya menguasai atau mempunyai keterampilan yang cukup tentang masalah-masalah pemasaran barang produksinya. Dengan demikian, dia akan paham apa yang harus dijual pada musim tertentu dan kepada siapa suatu jenis mata dagangan itu harus dijualnya. Ia seharusnya bisa memahami apakah lebih menguntungkan menjadi barang mentah, setangah jadi, atau sudah diproses dan dengan tingkat harga dasar yang bagaimana pula sesuatu mata dagangan itu baru dapat dijual dengan menguntungkan (Sugihen, 1997: 113). Menurut Bishop dan Toussaint (1979: 42) harga-harga yang yang diterima produsen untuk hasil produksinya seringkali tergantung pada saat kapan hasil produksi itu dibeli dan dijual. Sugihen (1997: 114) mengemukakan bahwa para petani juga harus belajar dari pengalamannya berapa banyak hasil panen lahannya yang harus disisihkan untuk kebutuhan sendiri, dan berapa banyak yang boleh dijual; dia pun harus bisa menentukan apakah menyimpan sebagian hasil

59 panennya untuk bibit musim tanam berikutnya, atau membeli bibit baru. Ini belum termasuk hal-hal bagaimana cara menyimpan hasil panen dan uang yang baik, sehingga selamat dari serangan hama, seperti tikus, pencuri, dan lain-lain. Produsen mempunyai pemilihan pasar untuk menjual hasil produksinya. Seringkali harga berbeda diantara pasar-pasar tersebut. Biaya pengangkutan ke pasar juga berbeda-beda. Produsen harus menentukan apakah tambahan ongkos transpor dari hasil produksinya ke pasar yang lebih jauh akan lebih sedikit daripada tambahan hasil yang diharapkan untuk diterima (Bishop dan Toussaint, 1979: 42-43). Keuntungan usahatani tergantung pada harga produk usahatani setelah diproduksi dan disiapkan untuk dipasarkan dan tidak pada saat tanaman ditanam (Efferson, 1953: 2). Menurut Darsono (2004: 21) lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran produk jambu mete antara lain pedagang desa, kecamatan, dan kabupaten. Ketiganya terkonsentrasi pada pemasaran jambu mete gelondong. Pedagang besar atau antar pulau sering merangkap sebagai industri pengolah menangani produksi jambu mete gelondong ekspor, kacang mete, CNSL, produk lain dan limbah yang masih bisa dimanfaatkan oleh industri yang lain. Jalur pemasaran menggambarkan proses distribusi kacang mete mulai dari produsen hingga sampai ke konsumen. Pemasaran kacang mete dari pengolah biji mete dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni: (1) menjual kacang mete ke pedagang besar, kemudian pedagang besar menjual ke industri makanan atau langsung ke pedagang pengecer dan dilanjutkan sampai ke konsumen; (2) menjual langsung ke pedagang pengecer di pasar tradisional dan toko atau swalayan. Kendala pemasaran yang banyak dihadapi oleh sebagian besar petani atau

60 pengolah mete dalam memasarkan produknya antara lain adalah rendahnya mutu produk yang dihasilkan baik menurut jenis, ukuran maupun kondisi fisik produk. Produk yang dipasarkan dalam pemasaran mete sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama dibandingkan dengan kacang mete siap konsumsi (Bank Indonesia, 2005: 4). Ringkasan Kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif, kemampuan tersebut termasuk aspek-aspek pribadi seseorang yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Unsur-unsur kompetensi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam berusahatani mete. Beberapa jenis kompetensi sebagaimana dijelaskan diatas, merupakan syarat penting dalam berusahatani mete. Penguasaan kompetensi akan membantu petani memahami cara terbaik mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau memahami cara mengatasi situasi tertentu. Selain itu, juga dapat mendukung kegiatan petani dalam mengelola lahannya, membantu petani terbebas dari ketergantungan pada jasa dan fasilitas orang lain. Petani mete sebagai pengelola usahatani perlu mengembangkan kompetensi tersebut agar dapat meningkatkan produksi dan mencapai keberhasilan usaha. Selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan dan mengantarkan petani pada kehidupan yang lebih layak. Jenis kompetensi yang perlu dikembangkan petani dalam usahatani mete adalah: (1) Aspek budidaya, meliputi: menyiapkan lahan, penanaman, pemeliharaan, penyiangan gulma, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit,

61 panen, dan pengolahan pasca panen; (2) teknologi pertanian; (3) kombinasi cabang usaha; (4) aspek tenaga kerja; (5) aspek modal; dan (6) pemasaran hasil. Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani Hubungan Umur dengan Kompetensi Mulyasa (2003: 125) mengemukakan bahwa perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring dengan bertambahnya umur. Padmowihardjo (1994: 36) mengungkapkan kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Dari asumsi ini dapat diketahui bahwa pada umur lebih lanjut orang akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar dari pada usia lebih muda, akan tetapi setelah mencapai umur tertentu, kemampuan belajar akan berkurang secara gradual dan terasa nyata setelah mencapai umur 55 ataupun 60 tahun, setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi. Hubungan Pendidikan dengan Kompetensi Menurut Mosher (1987: ) pendidikan formal mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Mulyasa (2003: 3) mengemukakan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, menampilkan individu yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Slamet (2003: 20) mengungkapkan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh kegiatan pendidikan berupa: (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan dalam

62 melakukan sesuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Menurut Vaizey (1978: 34) perbedaan dalam keterampilan mencerminkan perbedaan dalam pendidikan formal dan nonformal. Hernanto (1993: 101) menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan akan berpulang kepada rendahnya adopsi teknologi. Hubungan Pengalaman dengan Kompetensi Suparno (2001: 19-20) menyebutkan bahwa kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang. Hernanto (1993: 89) mengemukakan bahwa petani mengembangkan kemampuan usahataninya dari pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun. Keterbatasan pengalaman akan menutup cakrawala gagasan yang ada pada memori pikiran. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 314) manusia memperoleh bayangan akan kenyataan hidup dengan cara belajar dari pengalaman pribadi, mengamati pengalaman orang lain, bercakap-cakap dengan orang lain perihal pengalaman dan hasil penelitian masing-masing, dan memikirkan informasi yang mereka peroleh dalam berbagai cara. Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia bisa merupakan sumber motivasi yang kuat untuk mendorong para petani mau mempelajari sesuatu yang baru, yang berbeda dengan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya. Orang akan belajar yaitu berusaha mengubah perilakunya sendiri bila ia tahu bahwa dengan belajar tersebut dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (Slamet, 2003: 21).

63 Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: 103) proses berpikir didorong oleh motivasi belajar untuk memecahkan masalah melalui strukturisasi informasi yang jelas dan berusaha untuk menerapkan infromasi tersebut guna menemukan pemecahannya. Seseorang yang termotivasi cenderung merupakan pelajar yang aktif, tetapi pada motivasi yang tinggi dapat menjadi penghalang proses belajar jika yang bersangkutan tidak berhasil dalam tugas-tugasnya. Suparno (2001: 88) mengemukakan berkaitan dengan motivasi, seseorang akan terdorong untuk belajar jika dirinya berada dalam lingkungan yang nyaman, bebas dari ancaman, memperoleh penghargaan dari orang sekitarnya, dan memiliki kebebasan untuk berkembang. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Kompetensi Menurut Abustam (1990: 40) makin besar jumlah anggota keluarga, makin sulit kehidupan ekonomi rumahtangga karena banyaknya anggota keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya. Hernanto (1993: 94) mengemukakan bahwa jumlah tanggungan keluarga berkaitan dengan masalah kebutuhan petani. Banyaknya tanggungan keluarga membutuhkan pendapatan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jika kebutuhan keluarga tidak terpenuhi akan berpengaruh pada terbatasnya produktivitas, tingkat kecerdasan, dan akses terhadap lingkungan sekitar. Isolasi yang terjadi karena keterbatasan tersebut, membuat petani menjadi resisten, bertahan dalam keterbatasannya, bahkan terkadang menutup diri terhadap kehadiran cara-cara baru.

64 Hubungan Luas Lahan dengan Kompetensi Tohir (1983: ) mengemukakan bahwa usahatani yang sempit akan berakibat pada kurang mampunya petani memenuhi kebutuhannya. Selain itu lahan yang sempit merupakan faktor utama terjadinya kemiskinan rohaniah para petani, dalam arti kurangnya pengetahuan akibat rendahnya tingkat pendidikan petani. Noronha dan Spears (1988: 293) menyatakan bahwa penguasaan lahan mencerminkan filsafat kelompok dan tingkat teknologinya. Menurut Hernanto (1993: 94) dengan luas lahan yang sempit, akan membatasi petani berbuat pada rencana yang lebih lapang, keadaan yang demikian akan membuat petani serba salah, bahkan menjurus pada keputusasaan. Lahan yang sempit dengan kualitas yang kurang baik akan merupakan beban bagi petani dalam berusahatani. Akibat lanjut dari sempitnya lahan adalah rendahnya tingkat pendapatan. pendapatan yang sedikit akan berdampak pada rendahnya tingkat konsumsi dan berpengaruh pada produktivitas dan kecerdasan. Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Menurut Penny (1990: 14-34) makin tinggi pendapatan makin mudah untuk beralih dari persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, apabila pendapatan rendah maka pilihan akan lebih sedikit. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rendahnya pendapatan menyebabkan kurang mampunya petani untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Apabila pendapatan meningkat, jumlah pangan mewah termasuk daging, susu, dan bahan-bahan pangan lain yang relatif merupakan pangan mahal, dikonsumsi dalam jumlah besar. Tohir (1983: 114) menyatakan tingkat pendapatan rendah akan menyebabkan kekurangan pangan. Kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan

65 baik dipandang dari sudut kuantitas maupun kualitas minimal bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan belum terjamin. Menurut Vaizey (1978: 34) perbedaan pendapatan mencerminkan perbedaan keterampilan. Hubungan Konsumsi Media dengan Kompetensi Media dapat mempengaruhi pikiran atau pembicaraan, walaupun tidak dapat memutuskan yang harus dipikirkan. Gagasan baru yang disebar melalui media lebih cepat diterima. Beberapa macam pengetahuan dapat dialihkan melalui media, sedangkan pengetahuan dan keterampilan yang lain tidak demikian (van den Ban, 1999: 154). Menurut Schramm (1984: 289) segala macam media, mulai dari yang mahal dan rumit sampai kepada yang paling sederhana dan murah dapat digunakan dengan efektif untuk mengajarkan tentang pembangunan. Oepen (1988: 21) mengemukakan bahwa media sebagai alat komunikasi dapat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh infromasi, pendidikan, hiburan, dan mengemukakan pendapat. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan kompetensi Terjadinya kontak antara petani dengan penyuluh menunjukkan terjadinya komunikasi antar kedua pihak, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Wiriaatmadja (1990: 29-36) proses komunikasi timbul karena penyuluh berusaha mengadakan hubungan dengan petani. Tujuan penyuluh mengadakan komunikasi dengan sasarannya adalah untuk mengadakan perubahan perilaku, karena perubahan itu maka sasaran akan menjadi lebih terbuka untuk hal-hal baru. Kartasapoetra (1987: 12) menyatakan hubungan yang kontinyu

66 antara penyuluh dengan petani dapat tercipta rasa kekeluargaan yang akan mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi dalam rangka peningkatan produksi. Hubungan Pelatihan dengan Kompetensi Menurut Siagian (1997: ) salah satu cara untuk mengubah potensi seseorang menjadi kemampuan nyata ialah melalui pendidikan dan pelatihan. Sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pelatihan adalah mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang pada umumnya berupa keterampilan baru yang belum dimiliki peserta, sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku. Agar terjadi perubahan perilaku secara utuh, menurut Suriatna (1987: 7) proses belajar petani harus digerakkan melalui usaha perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Suparno (2001: 133) menyatakan latihan jika dilakukan dengan intensif dan tepat akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Ringkasan Setiap individu memiliki kemampuan berbeda untuk mengembangkan kompetensi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut. Tiap karakter yang melekat pada petani akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri. Petani mete dengan karakteristik yang berbeda dapat mengembangkan kompetensi usahataninya dengan cara yang berbeda pula. Umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, jumlah pohon mete, motivasi, kontak dengan penyuluh, konsumsi media, produksi mete, dan pelatihan, diduga berhubungan dengan kompetensi petani dalam berusahatani mete.

67 Hubungan karakteristik petani dengan kompetensi mereka dalam berusahatani dapat digambarkan dalam bagan berikut: Gambar 1 Bagan hubungan karakteristik dengan kompetensi petani dalam berusahatani mete. Karakteristik Petani Mete: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pengalaman usahatani 4. Motivasi 5. Pelatihan 6. Jumlah tanggungan keluarga 7. Pendapatan 8. Luas lahan 9. Jumlah pohon mete yang ditanam 10. Konsumsi media 11. Produksi mete per tahun 12. Kontak dengan penyuluh Kompetensi petani: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Keterampilan Keterangan: = Garis hubungan.

68 METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah petani mete di Kecamatan Kabaena dan Kecamatan Kabaena Timur Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada potensi pengembangan usahatani mete, menurut Bank Indonesia (2005: 2), kedua kecamatan tersebut termasuk kategori sangat potensial. Penentuan sampel dilakukan dengan cluster sampling. Unit wilayah administratif pemerintahan, seperti: Kecamatanan, Desa, Lingkungan, RW, dan RT digunakan sebagai cluster. Cluster sampling semacam inilah unit pengamatan terkecil, dalam hal ini petani diperoleh secara acak. Jumlah desa ditentukan secara sengaja yaitu sebanyak sepuluh desa, dengan demikian sebanyak sepuluh RT sebagai unuit cluster terkecil terpilih sebagai menjadi lokasi penelitian. Hasil pengambilan sampel diperoleh 91 orang petani mete menjadi responden dalam penelitian ini Desain Penelitian Penelitian bersifat deskriptif korelasional, mempelajari hubungan yang terjadi antara sejumlah variabel antecedent dengan variabel konsekuen. Variabel antecedent dalam penelitian ini ialah umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, motivasi, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, luas lahan, jumlah pohon mete yang ditanam, konsumsi media, kontak dengan penyuluh, produksi mete pertahun, dan pelatihan. Adapun variabel konsekuen dalam penelitian ini adalah kompetensi para petani mete.

69 Data dan Instrumentasi Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data tersebut adalah: a. Karakteristik petani terdiri atas: 1. Umur yaitu satuan usia dalam tahun yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini dilakukan. Berdasarkan hal tersebut tingkat umur dibagi dalam tiga kategori yaitu kelompok umur muda, sedang dan tua. 2. Pendidikan formal adalah lamanya petani mengikuti pendidikan formal, yaitu berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 3. Pengalaman berusahatani yaitu lamanya petani berusahatani mete yang dinyatakan dalam tahun. Dibagi dalam 3 kategori yaitu sedikit, cukup, banyak. 4. Motivasi adalah motivasi belajar, yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri petani untuk meningkatkan kompetensi usahatani mete, dalam hal ini dibagi atas tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. 5. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung sebagian atau seluruh kehidupannya oleh petani. Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi kategori sedikit, cukup, dan banyak. 6. Pendapatan adalah penghasilan atau nilai rupiah yang diperoleh petani dalam setiap bulan. Pendapatan dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. 7. Luas lahan adalah areal tanah pertanian yang dikelola petani dalam usahataninya. Luas lahan dibagi dalam kategori sempit, sedang, dan luas.

70 8. Jumlah pohon mete yang ditanam adalah jumlah pohon mete yang produktif dan belum/tidak produktif. Dibagi dalam kategori sedikit, sedang, dan banyak. 9. Konsumsi media adalah frekuensi petani menggunakan media tertentu untuk memperoleh informasi usahatani. Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. 10. Kontak dengan penyuluh adalah frekuensi petani berhubungan dengan penyuluh. Dibagi dalam kategori kurang, cukup, dan sering. 11. Produksi mete per tahun adalah banyaknya mete yang dihasilkan (gelondong dan kacang mete) tiap tahun, dinyatakan dalam satuan berat (kg). Dibagi dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. 12. Pelatihan adalah jumlah pelatihan yang pernah diikuti petani. Pelatihan dibagi dalam kategori tidak pernah, pernah. b. Kompetensi usahatani mete adalah kemampuan yang perlu dimiliki oleh seorang petani mete berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Kompetensi tersebut adalah: 1. Kompetensi tentang budidaya tanaman mete 2. Kompetensi tentang teknologi pertanian 3. Kompetensi tentang kombinasi cabang usahatani ternak 4. Kompetensi tentang aspek modal 5. Kompetensi tentang aspek tenaga kerja 6. Kompetensi tentang pemasaran hasil. Data yang dikumpulkan berbentuk data ordinal, keterangan mengenai variabel, indikator, dan cara pengukurannya, ditampilkan dalam tabel berikut:

71 Tabel 1. Variabel, indikator dan cara pengukuran dalam penelitian. Nama Indikator Pengukuran Variabel Umur Usia petani yang dihitung sejak lahir sampai ke ulang tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan dan tua. Pendidikan Pengalaman berusahatani Pendidikan formal yang pernah ditempuh responden Lamanya petani berusahatani sejak mulai hingga menjadi responden Usia petani yang dinyatakan dalam tahun, berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi muda, sedang, Lama responden mengikuti pendidikan formal. Dinyatakan dalam tahun, diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah tahun pengalaman berusahatani, berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi sedikit, cukup, dan banyak. Motivasi Jumlah tanggungan keluarga Pendapatan Luas Lahan Jumlah pohon mete yang ditanam. Konsumsi media Kontak dengan penyuluh Adanya keberhasilan, dan keuntungan yang dirasakan petani untuk meningkatkan kompetensinya dalam usahatani mete. Anggota keluarga yang ditanggung sebagian atau keseluruhan hidupnya oleh responden Nilai rupiah yang diterima responden dari hasil usahatani dan luar usahatani Lahan yang dimanfaatkan responden dalam berusahatani mete Pohon mete yang ditanam responden. Media yang dimanfaatkan responden untuk memperoleh informasi Terjadinya kontak antara responden dengan penyuluh Tingkat keberhasilan, dan keuntungan yang dirasakan petani dalam meningkatkan kompetensinya untuk berusahatani mete, diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi sedikit, cukup, dan banyak. Jumlah nilai rupiah yang diperoleh responden dalam satu tahun. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Luas lahan (ha) mete yang dimanfaatkan responden. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi sempit, sedang, dan luas. Banyaknya pohon mete yang ditanam responden, baik yang produktif maupun yang belum/tidak produktif. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi sedikit, sedang, dan banyak. Frekuensi responden memanfaatkan media tertentu dalam setiap bulan. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Frekuensi responden berhubungan dengan penyuluh setiap bulan. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi kurang, cukup, dan sering.

72 Produksi mete per tahun Pelatihan Produk mete yang diperoleh responden per tahun. Pelatihan yang pernah diikuti responden yang berhubungan dengan usahatani mete Pengetahuan Pengetahuan responden terhadap usahatani mete yang meliputi tehnik budidaya mete, teknologi pertanian, kombinasi cabang usahatani ternak, aspek modal, aspek tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Sikap Sikap responden terhadap usahatani mete yang meliputi tehnik budidaya, teknologi pertanian, kombinasi cabang usahatani ternak, aspek modal, aspek tenaga kerja, dan pemasaran hasil Keterampilan Keterampilan responden dalam berusahatani mete yang meliputi tehnik budidaya, teknologi pertanian, kombinasi cabang usahatani ternak, aspek modal, aspek tenaga kerja, dan pemasaran hasil Banyaknya produk mete (gelondong dan kacang mete) yang diperoleh responden per tahun. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah pelatihan yang pernah diikuti responden dalam satu tahun terakhir yang berhubungan dengan usahatani mete. Berdasarkan sebarannya diklasifikasikan menjadi tidak pernah dan pernah. Tingkat pengetahuan responden tentang usahatani mete, diukur berdasarkan jenjang terhadap bidang usahatani mete. Sikap responden tentang usahatani mete. Diukur dengan skala likert, yaitu Tidak Setuju, Ragu-ragu, dan Setuju. Tingkat keterampilan responden dalam berusahatani mete, dibagi dalam ketegori Tidak Terampil, Kurang Terampil, dan Terampil. Instrumentasi Data primer diperlukan untuk mendapatkan keterangan yang lebih akurat mengenai karakteristik petani dan kompetensi mereka dalam berusahatani mete. Wawancara responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan diperlukan untuk memperoleh data dimaksud.

73 Validitas Instrumen Upaya untuk memperoleh instrumen yang valid dilakukan dengan uji validitas. Validitas yang diuji adalah validitas kerangka (construct validity). Validitas kerangka diperoleh dengan menetapkan kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian, kemudian atas dasar konsep-konsep itulah disusun tolok ukur operasionalnya. Selain itu, untuk mendapatkan instrumen yang sahih, maka dalam penyusunan kuesioner berpedoman kepada: (1) menyesuaikan isi pertanyaan dengan keadaan responden, (2) mempertimbangkan teori-teori dan kenyataan empiris sebagai rujukan, (3) memperhatikan pendapat, tanggapan, dan saran dari pembimbing. Reliabilitas Instrumen Menurut Singarimbun dan Effendi (1989: 140) reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat ukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat ukur tersebut reliabel. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat ukur dalam mengukur gejala yang sama. Uji coba instrumen dilakukan di Dusun Olondoro Desa Rahadopi Kecamatan Kabaena dan Dusun Balo II Desa Balo Kecamatan Kabaena Timur Kabupaten Bombana pada tanggal 25 juli sampai dengan 10 Agustus Jumlah petani mete yang menjadi sampel adalah 20 orang, selanjutnya petani tersebut tidak dijadikan sampel dalam pelaksanaan penelitian. Tehnik yang digunakan untuk mengukur reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut:

74 1. Reliabilitas instrumen untuk peubah pengetahuan digunakan Kuder- Richardson 20 (KR 20) (Marzuki et al, 2000: 305) dengan formula: k Ópq r = (1 - ) k 1 kó 2 r = Koefisien reliabilitas yang dicari k = Jumlah butir pertanyaan (soal) Ópq = Jumlah proporsi jawaban benar kali salah per butir pertanyaan ó 2 = Varians skor tes. 2. Reliabilitas instrumen untuk peubah sikap dan keterampilan digunakan Alpha Cronbach (Marzuki, dkk, 2000: 309) dengan formula: k Óói 2 r = (1 - ) k 1 ó 2 r = Koefisien reliabilitas yang dicari k = Jumlah butir pertanyaan (soal) ói 2 = Varians butir pertanyaan (soal) ó 2 = Varians skor tes Hasil uji reliabilitas instrumen menunjukkan bahwa nilai r yang diperoleh untuk instrumen pengetahuan sebesar 0,89, sedangkan nilai r untuk instrumen keterampilan dan sikap sebesar 0,94 dan 0,93. Dengan demikian, instrumen penelitian cukup valid untuk digunakan dalam penelitian ini. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan responden dan pengisian kuesioner yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari kantor pemerintah dan instansi terkait. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli 2005 sampai dengan September 2005 oleh peneliti

75 sendiri dengan cara wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden di sepuluh desa terpilih dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Kabaena dan Kabaena Timur. Analisis Data Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan antar variabel terikat dengan variabel bebas adalah dengan menggunakan analisis korelasi Kendall W (Siegel, 1994: 283), untuk memudahkan pengolahan data digunakan program SPSS.

76 HASIL DAN PEMBAHASAN Pendahuluan Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2005, dengan tujuan untuk menentukan: (1) Distribusi para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara pada sejumlah karakteristik yang diamati, (2) Kompetensi yang perlu dikuasai para petani mete di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, (3) Hubungan antara karakteristik para petani mete itu dengan kompetensi mereka dalam usahatani mete. Sebanyak 91 orang petani mete menjadi sampel dalam penelitian, yang diambil dengan cara cluster sampling. Data yang diperoleh dari 91orang petani mete tersebut digunakan untuk mencapai tujuan penelitian di atas. Distribusi Karakteristik Petani Karakteristik petani yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) Umur, (2) Pendidikan formal, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Konsumsi media, (9) Kontak dengan penyuluh, (10) Produksi mete, (11) Pelatihan, dan (12) Jumlah tanggungan keluarga. Distribusi Petani Berdasarkan Umur Umur petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia petani sejak lahir hingga penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam tahun.

77 Umur petani dibagi menjadi tiga ketagori yaitu: (1) Muda, (2) Sedang, dan (3) Tua. Kategori umur muda berkisar dari 29 hingga 36 tahun, kategori sedang berkisar dari 37 sampai 43 tahun, dan kategori umur tua berkisar dari 45 hingga 58 tahun. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan umur disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1. Distribusi petani berdasarkan umur Umur Jumlah Persentase Muda 29 31,9 Sedang 30 33,0 Tua 32 35,1 Total Keterangan: - Umur minimum = 29 tahun; maksimum = 58 tahun; dan ratarata = 41,3 tahun. Tabel 1 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, hampir sepertiga petani memiliki umur muda, sepertiga lainnya berumur sedang, dan selebihnya berumur tua. Tabel 1 mengungkapkan, bahwa mayoritas petani yang dilibatkan dalam penelitian ini berumur tua. Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal Pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya petani mengikuti pendidikan formal berdasarkan jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang dinyatakan dalam tahun. Pendidikan formal responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. Kategori rendah berkisar dari 4 sampai lima tahun, kategori sedang berkisar dari 6 hingga 7 tahun, dan kategori tinggi berkisar dari 8 sampai 12 tahun.

78 Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan pendidikan formal disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Distribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Formal Pendidikan Formal Jumlah Persentase Rendah 14 15,4 Sedang 46 50,5 Tinggi 31 34,1 Total Keterangan: - Minimum = 4 tahun; maksimum = 12 tahun; dan rata-rata = 6,6 tahun Tabel 2 mununjukkan, bahwa kurang dari sepertiga responden yang diinterview memiliki pendidikan formal rendah, sekitar setengah memiliki pendidikan formal sedang, dan sepertiga lainnya memiliki pendidikan formal tinggi. Tabel 2 di atas menunjukkan, bahwa mayoritas petani yang menjadi responden memiliki pendidikan formal yang baik. Distribusi Petani Berdasarkan Pengalaman berusahatani Pengalaman berusahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya petani berusahatani yang dinyatakan dalam tahun. Pengalaman berusahatani responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Sedikit, (2) Cukup, dan (3) Banyak. Kategori rendah berkisar dari tujuh sampai sepuluh tahun, kategori sedang berkisar dari sebelas sampai lima belas tahun, dan kategori tinggi berkisar dari enambelas sampai dua puluh tujuh tahun. Hasil penelitian tentang distribusi petani mete berdasarkan pengalaman berusahatani dapat dilihat pada tabel berikut.

79 Tabel 3. Distribusi petani berdasarkan pengalaman berusahatani mete Pengalaman Usahatani Jumlah Persentase Sedikit 25 27,5 Cukup 26 28,5 Banyak 40 44,0 Total Keterangan: - Minimum = 7 tahun; maksimum = 27 tahun, dan rata-rata = 14,1 tahun. Tabel 3 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, kurang dari sepertiga petani memiliki sedikit pengalaman berusahatani, kurang dari sepertiga lagi memiliki cukup banyak pengalaman berusahatani, dan selebihnya memiliki banyak pengalaman berusahatani. Dengan demikian, Tabel 3 mengungkapkan bahwa mayoritas petani mete memiliki cukup banyak pengalaman usahatani. Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi berusahatani Motivasi berusahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dorongan yang timbul dari dalam diri petani untuk berusahatani mete. Motivasi berusahatani responden dibagi menjadi 3 kategori yaitu: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. Kategori rendah berkisar dari skor 6 sampai 8, skor 9 hingga 11 termasuk kategori sedang, dan skor 12 sampai 15 masuk dalam ketegori tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan motivasi berusahatani disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, kurang dari sepertiga memiliki motivasi rendah, sepertiga lainnya memiliki motivasi sedang, dan lebih dari sepertiga sisanya memililiki motivasi tinggi. Berdasarkan hal

80 tersebut, Tabel 4 menyatakan, bahwa mayoritas petani memiliki motivasi yang tinggi dalam berusahatani mete. Tabel 4. Distribusi Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani Motivasi berusahatani Mete Jumlah Persentase Rendah 23 25,3 Sedang 30 33,0 Tinggi 38 41,7 Total Keterangan: - Skor minimum = 6; maksimum = 15; dan rata-rata = 10,5 Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai rupiah yang diperoleh petani dalam setahun. Pendapatan responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Rendah, (2) Sedang, (3) Tinggi. Kategori rendah berkisar dari Rp sampai Rp , sedang berkisar dari Rp sampai Rp , dan kategori tinggi berkisar dari Rp sampai Rp Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan pendapatan disajikan dalam tabel berikut. Tabel 5. Distribusi Petani Berdasarkan Pendapatan Pertahun Pendapatan Jumlah Persentase Rendah 28 30,8 Sedang 27 29,7 Tinggi 36 39,5 Total Keterangan: - Minimum Rp ; maksimum Rp ; dan rata-rata Rp

81 Tabel 5 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, kurang dari sepertiga memiliki pendapatan rendah, kurang dari sepertiga lainnya memiliki pendapatan sedang, dan lebih dari sepertiga sisanya memiliki pendapatan tinggi. Dengan demikian, Tabel 5 mengungkapkan mayoritas petani memiliki pendapatan tinggi. Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Luas lahan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas lahan yang dikelola petani dalam usahataninya. Luas lahan usahatani dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Sempit, (2) Sedang, dan (3) Luas. Kategori sempit berkisar dari 1,5 ha sampai 2,5 ha, kategori sedang berkisar dari 3 ha sampai 3,5 ha, dan 4 ha sampai 6,5 ha termasuk kategori luas. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan luas lahan usahatani dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6. Distribusi Petani Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Luas lahan usahatani Jumlah Persentase Sempit 26 28,6 Sedang 27 29,7 Luas 38 41,7 Total Keterangan: - Minimum = 1,5 ha; maksimum = 6,5 ha; dan rata-rata = 3,3. Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 91 petani yang diinerview kurang dari sepertiga petani memiliki lahan yang sempit, kurang dari sepertiga lainnya memiliki luas lahan sedang, dan lebih dari sepertiga memiliki lahan yang luas. Dengan demikian, Tabel 6 menyatakan, bahwa mayoritas petani yang menjadi responden memiliki lahan yang luas.

82 Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete Jumlah pohon mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah pohon mete yang ditanam responden, baik yang produktif maupun yang belum produktif. Jumlah pohon mete dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Sedikit, (2) Sedang, (3) Banyak. Kategori sedikit berkisar dari 150 sampai 350 pohon, 400 sampai 500 pohon termasuk kategori sedang, dan 600 sampai 900 pohon termasuk kategori tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan jumlah pohon mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Mete. Jumlah pohon mete Jumlah Persentase Sedikit 30 33,0 Sedang 37 40,6 Banyak 24 26,4 Total Keterangan: - Minimum = 150 pohon; maksimum = 900 pohon; dan rata-rata = 467 pohon. Tabel 7 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, sepertiga memiliki sedikit pohon mete, lebih dari sepertiga lainnya memiliki jumlah pohon sedang, dan kurang dari sepertiga memiliki banyak pohon mete. Dengan demikian, Tabel 7 menyatakan, bahwa mayoritas petani memiliki sedikit pohon mete.

83 Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah banyaknya anggota keluarga yang ditanggung sebagian atau seluruh keperluan hidupnya oleh responden. Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga ketegori yaitu: (1) Sedikit, (2) Cukup, dan (3) Banyak. Kategori sedikit berkisar dari 1 sampai 2 orang, kategori sedang berkisar dari 3 sampai 4 orang, dan kategori banyak berkisar dari 5 sampai 8 orang. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan jumlah tanggungan keluarga disajikan dalam tabel berikut. Tabel 8. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan Keluarga Jumlah Persentase Sedikit 23 25,3 Cukup 34 37,4 Banyak 34 37,4 Total Keterangan: - Minimum = 1 orang; maksimum = 8 orang; dan rata-rata = 4 orang. Tabel 8 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview lebih dari sepertiga memiliki sedikit tanggungan keluarga, lebih dari sepertiga lainnya memiliki cukup tanggungan keluarga, dan kurang dari sepertiga lagi memiliki banyak tanggungan keluarga. Dengan demikian, Tabel 8 menunjukkan, bahwa mayoritas petani yang menjadi responden memiliki banyak tanggungan keluarga.

84 Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media Konsumsi media yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi petani menggunakan media tertentu untuk memperoleh informasi usahatani. Konsumsi media dibagi menjadi tiga ketegori yaitu: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. Kategori rendah berkisar dari skor 2 sampai 3, kategori sedang berkisar dari skor 4 sampai 5, dan kategori tinggi berkisar dari skor 6 sampai 8. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan konsumsi media dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9. Distribusi Petani Berdasarkan Konsumsi Media Konsumsi media Jumlah Persentase Rendah 32 35,2 Sedang 25 27,5 Tinggi 34 37,3 Total Keterangan: - Skor minimum = 2; maksimum = 8; dan rata-rata = 3. Tabel 9 menunjukkan, bahwa dari 91yang diinterview, lebih dari sepertiga memiliki konsumsi media rendah, kurang dari sepertiga lainnya sedang, dan lebih dari sepertiga memiliki konsumsi media tinggi. Dengan demikian, Tabel 9 menyatakan, bahwa mayoritas petani memiliki konsumsi media yang cukup tinggi. Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete Produksi mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah produksi mete (gelondongan dan kacang mete) dalam satu tahun. Produksi mete dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Rendah, (2) Sedang, dan (3) Tinggi. Kategori rendah berkisar dari 1000 kg sampai 2000 kg, 2500 kg

85 sampai 3500 kg termasuk kategori sedang, dan 4000 kg sampai 6000 kg termasuk kategori tinggi. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan produksi mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 10. Distribusi Petani Berdasarkan Produksi Mete Produksi Mete Jumlah Persentase Rendah 39 42,8 Sedang 21 23,1 Tinggi 31 34,1 Total Keterangan: - Produksi minimum = 1000 kg; maksimum = 6000 kg; dan rata-rata = 2994,5 Kg. Tabel 10 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview lebih dari sepertiga memiliki produksi mete rendah, kurang dari sepertiga lainnya memiliki produksi mete sedang, dan sepertiga lagi memiliki produksi mete tinggi. Dengan demikian, Tabel 10 menyatakan, bahwa mayoritas responden memiliki produksi mete yang rendah. Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh Kontak dengan penyuluh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi petani berhubungan dengan penyuluh. Kontak dengan penyuluh dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Kurang, (2) Cukup, (3) Sering. Kategori kurang berkisar dari skor 2 sampai 3, kategori cukup berkisar dari skor 4 sampai 5, dan kategori sering berkisar dari skor 6 sampai 10. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan kontak dengan penyuluh dapat dilihat pada tabel berikut.

86 Tabel 11. Distribusi Petani Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh Kontak dengan Penyuluh Jumlah Persentase Kurang 30 33,0 Cukup 33 36,3 Sering 28 30,7 Total Keterangan: - Skor minimum = 2; maksimum = 10; dan rata-rata = 4,7 Tabel 11 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview, sepertiga diantaranya kurang melakukan kontak dengan penyuluh, lebih dari sepertiga lainnya cukup, dan kurang dari sepertiga lagi sering melakukan kontak dengan penyuluh. Dengan demikian, Tabel 11 mengungkapkan, bahwa mayoritas petani kurang melakukan kontak dengan penyuluh. Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan Pelatihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelatihan yang pernah diikuti petani. Pelatihan dibagi menjadi dua kategori yaitu: (1) Tidak Pernah, (2) Pernah. Hasil penelitian tentang distribusi petani berdasarkan pelatihan dasajikan dalam tabel berikut. Tabel 12. Distribusi Petani Berdasarkan Pelatihan Pelatihan Jumlah Persentase Tidak Pernah 87 95,6 Pernah 4 4,4 Total Tabel 12 menunjukkan, bahwa dari 91 petani yang diinterview hampir seluruhnya menyatakan tidak pernah mengikuti pelatihan. Dengan demikian,

87 Tabel 12 menyatakan, bahwa mayoritas petani tidak pernah mengikuti pelatihan tentang usahatani mete. Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete Kompetensi petani mete yang dimaksud dalam penelitian adalah kemampuan yang dimiliki petani mete dalam melakukan usahatani mete. Kompetensi tersebut meliputi tiga aspek yaitu: (1) Pengetahuan petani tentang usahatani mete, (2) Keterampilan petani dalam berusahatani mete, dan (3) Sikap petani dalam berusahatani mete. Pengetahuan Petani tentang Usahatani Mete Pengetahuan petani tentang usahatani mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman petani tentang aspek budidaya hingga proses pemasaran hasil mete. Pengetahuan tentang usahatani mete yang harus dikuasai petani dibagi menjadi 8 bidang yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit (3) Panen dan pascapanen (4) Teknologi pertanian (5) Kombinasi cabang usahatani ternak (6) Aspek modal (7) Aspek tenaga kerja (8) Aspek pemasaran hasil

88 Hasil penelitian tentang pengetahuan petani terhadap usahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 13. Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Bidang Pengetahuan Usahatani No. Mete Skor tertimbang Jenjang 1 Penanaman dan Pemeliharaan 89, Pemupukan dan pengendalian hama penyakit 88,75 2,5 3 Panen dan pasca panen 88,75 2,5 4 Pemasaran hasil 78, Teknologi pertanian 67, Aspek tenaga kerja 65, kombinasi cabang usahatani ternak 63, Aspek modal 62,48 8 Rata-rata 75,58 Tabel di atas memberikan gambaran, bahwa empat bidang pengetahuan yang dianggap penting oleh petani adalah: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sementara keempat bidang yang menempati jenjang yang lebih rendah adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani Ternak, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, tabel di atas juga memberikan gambaran, bahwa secara keseluruhan pengetahuan petani tentang usahatani mete relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata skor tertimbang yang diperoleh dari delapan bidang pengetahuan usahatani mete mencapai 75,58.

89 Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Keterampilan petani dalam berusahatani mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani mete. Keterampilan yang perlu dikuasai petani dalam berusahatani mete meliputi 8 bidang yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit (3) Panen dan pascapanen (4) Teknologi pertanian (5) Kombinasi cabang usahatani ternak (6) Aspek modal (7) Aspek tenaga kerja (8) Aspek pemasaran hasil Hasil penelitian tentang keterampilan petani dalam melakukan kegiatan usahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Keterampilan Petani dalam Melakukan Kegiatan Usahatani Mete No Bidang Keterampilan Usahatani Mete Skor tertimbang Jenjang 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2, Pemupukan dan pengendalian hama penyakit 2, Panen dan pasca panen 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2, Aspek tenaga kerja 2, Teknologi pertanian 1, Pemasaran hasil 1, Aspek modal 1,59 8 Rata-rata 2,29

90 Tabel 14 memberikan informasi, bahwa bidang keterampilan yang tergolong tinggi adalah: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, dan (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Selanjutnya, bidang keterampilan yang tergolong rendah meliputi: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Pemasaran hasil dan (4) Aspek modal. Tabel 14 menjelaskan secara keseluruhan keterampilan berusahatani mete petani relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata skor tertimbang kedelapan bidang keterampilan yang mencapai 2,29. Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Sikap petani dalam berusahatani mete yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap petani terhadap kegiatan budidaya mete hingga proses pemasaran hasil. Beberapa bidang yang perlu disikapi petani dalam berusahatani mete meliputi: (1) Penanaman dan pemeliharaan (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit (3) Panen dan pascapanen (4) Teknologi pertanian (5) Kombinasi cabang usahatani ternak (6) Aspek modal (7) Aspek tenaga kerja (8) Aspek pemasaran hasil

91 Hasil penelitian tengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 15. Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu Disikapi Skor tertimbang Jenjang 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2, Pemupukan dan pengendalian hama penyakit 2, Pemasaran hasil 2, Panen dan pasca panen 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2, Aspek tenaga kerja 2, Teknologi pertanian 1, Aspek modal 1,82 8 Rata-rata 2,38 Tabel 15 menunjukkan, bahwa dalam penelitian ini petani menganggap penting bidang-bidang kegiatan yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Pemasaran hasil, (4) Panen dan pascapanen, dan (5) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sementara tiga bidang yang dianggap kurang penting yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Selain itu, Tabel 15 memberikan informasi, bahwa secara keseluruhan sikap petani terhadap usahatani mete relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata skor tertimbang kedelapan bidang tersebut mencapai 2,38.

92 Hubungan Karakteristik dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Karakteristik terpilih petani yang dihubungkan dengan pengetahuan petani tentang usahatani mete meliputi: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Jumlah produksi mete, (11) Kontak dengan penyuluh, dan (12) Pelatihan. Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan umur dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16. Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Muda Sedang Tua No Bidang Pengetahuan (n = 29) (n = 30) (n = 32) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82, ,75 2,50 88,75 2 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 80,87 2,5 89, , Panen dan pascapanen 80,87 2,5 88,75 2,50 90, Pemasaran hasil 77, , , kombinasi cabang usahatani ternak 64, , , Teknologi pertanian 59, , , Aspek tenaga kerja 58, , , Aspek modal 57, , ,50 7 W = 0,89 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang

93 Tabel 16 menunjukkan, bahwa petani yang berumur muda menganggap empat bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pasca panen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang lain yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal. Adapun bagi petani yang berumur sedang pengetahuan usahatani yang paling penting adalah: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Bagi petani yang berumur tua, empat bidang pengetahuan usahatani yang paling penting adalah: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Aspek modal, dan Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,89 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu.

94 Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pendidikan dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 17. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete N Rendah Sedang Tinggi Bidang Pengetahuan (n = 14) (n = 46) (n = 21) o ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 83,75 1,5 86, ,12 2 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 83,75 1,5 86,37 1,5 88, Panen dan pasca panen 81, ,73 1,5 89, Pemasaran hasil 76, , , kombinasi cabang usahatani ternak 75, , , Teknologi pertanian 69,37 6,5 63, , Aspek tenaga kerja 69,37 6,5 62, , Aspek modal 67, , ,62 7 W = 0,9 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 17 menunjukkan, bahwa petani yang berpendidikan rendah menganggap penting lima bidang pengetahuan usahatani mete yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, dan (3) Aspek modal. Petani yang berpendidikan sedang menganggap penting empat bidang pengetahuan seperti: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Panen dan pascapanen, (3) Penanaman dan pemeliharaan, dan (4) Pemasaran hasil.

95 Sedangkan empat bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang berpendidikan tinggi menganggap penting enam bidang pengetahuan berikut: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengedalian hama penyakit, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,9 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu. Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pengalaman berusahatani dengan kompetensi petani mete dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18 menunjukkan bahwa, petani yang memiliki pengalaman berusahatani mete sedikit menganggap penting bidang pengetahuan seperti: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pasca panen, (3) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang

96 usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, (4) Aspek modal. Tabel 18. Hubungan Pengalaman dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang Pengetahuan Sedikit (n = 25) Cukup (n = 26) Banyak (n = 40) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 81, , ,00 2,5 2 Panen dan pasca panen 80, , ,00 1 Pemupukan dan pengendalian hama 3 penyakit 79, ,00 2,5 4 Pemasaran hasil 77, , , kombinasi cabang usahatani ternak 65, , , Teknologi pertanian 59, ,62 7,5 70, Aspek tenaga kerja 58, , , Aspek modal 57, ,62 7,5 63,12 7 W = 0,87 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang memiliki pengalaman berusahatani sedang, menganggap penting bidang: (1) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, dan (3) Panen dan pasca panen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, (3) Teknologi pertanian, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang memiliki banyak pengalaman usahatani, menganggap penting bidang seperti: (1) Panen dan pasca panen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Teknologi pertanian. Sedangkan bidang pengetahuan

97 yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang rendah pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,87 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete. Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan motivasi dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 19. Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang Pengetahuan Rendah (n = 23) Sedang (n = 30) Tinggi (n = 38) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 81, ,25 2,5 83,00 3 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 79, , , Panen dan pasca panen 79, , , Pemasaran hasil 77, , , kombinasi cabang usahatani ternak 66, ,00 6,5 61, Teknologi pertanian 59, ,00 6,5 70, Aspek tenaga kerja 57, , , Aspek modal 56, , ,12 7 W = 0,89 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang

98 Tabel 19 menunjukkan, bahwa petani yang memiliki motivasi rendah menganggap lima bidang yang paling yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan tiga bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, dan (3) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang memiliki motivasi sedang menganggap empat bidang pengetahuan usahatani yang paling penting adalah: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Panen dan pasacapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, (3) Teknologi pertanian, (4) Aspek modal. Petani yang memiliki motivasi tinggi menganggap penting enam bidang pengetahuan yaitu: (1) Panen dan pascapanen, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang pengetahuan yang diangap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok tersebut membuat penjenjangan yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,89 yang sangat nyata pada pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani itu.

99 Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pendapatan dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 20. Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang Pengetahuan Rendah (n = 28) Sedang (n = 27) Tinggi (n = 36) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82, ,12 2,5 85,25 2 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 80,62 2,5 82, , Panen dan pasca panen 80,62 2,5 82,12 2,5 87, Pemasaran hasil 76, , , kombinasi cabang usahatani ternak 64, ,87 7,5 62, Teknologi pertanian 59, , , Aspek tenaga kerja 59, , , Aspek modal 57, ,87 7,5 63,25 7 W = 0,89 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 20 menjelaskan, bahwa petani yang memiliki pendapatan rendah menganggap empat bidang pengetahuan yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kuarng penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, bagi petani yang memiliki pendapatan sedang menganggap empat bidang pengetahuan yang paling penting yaitu: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Panen dan

100 pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki pendapatan tinggi menganggap empat bidang pengetahuan yang paling penting yaitu: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang pengetahuan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Aspek modal, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok petani tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,89 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete tersebut. Hubungan Luas Lahan Usahatani dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan luas lahan usahatani dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan, bahwa petani yang memiliki lahan usahatani sempit menganggap empat bidang yang paling penting seperti: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting yaitu: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal.

101 Tabel 21. Hubungan Luas Lahan Usahatani dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Sempit Sedang Luas No Bidang Pengetahuan (n = 26) (n = 27) (n = 38) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82,25 1,5 87,62 1,5 88,25 2 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 82,25 1,5 87,62 1,5 87, Panen dan pasca panen 81, , , Pemasaran hasil 78, , , kombinasi cabang usahatani ternak 65, , , Teknologi pertanian 61, , , Aspek tenaga kerja 60, , , Aspek modal 56, , ,12 7 W = 0,86 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang memiliki luas lahan usahatani sedang menganggap empat bidang bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinsi cabang usahatani ternak, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Aspek modal, dan (4) Teknologi pertanian. Selanjutnya, bagi petani yang memiliki luas lahan usahatani luas menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak.

102 Meskipun ketiga kelompok petani tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan ushatani itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada á = 0,05 menujukkan bahwa mer eka memil i ki tingkat kesepakatan yang cukup tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan pengetahuan usahatani mete itu. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan jumlah pohon mete dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 22. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang Pengetahuan Sedikit (n = 30) Sedang (n = 37) Banyak (n = 24) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82, , , Panen dan pasca panen 81, , ,50 1 Pemupukan dan pengendalian hama 3 penyakit 76, , , Pemasaran hasil 71, , , kombinasi cabang usahatani ternak 64, ,75 7,5 62, Teknologi pertanian 60, , , Aspek tenaga kerja 59, , , Aspek modal 57, ,5 64,25 7 W = 0,9 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 22 menunjukkan, bahwa petani yang memiliki jumlah pohon mete sedikit menganggap penting empat bidang pengetahuan usahatani mete yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pascapanen, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang

103 yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal. Petani yang memiliki jumlah pohon mete sedang menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Panen dan panen, (3) Penanaman dan pemeliharaan, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang memiliki lahan usahatani luas menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengedalian hama penyakit, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Walaupun ketiga kelompok petani memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,9 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete tersebut. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil Penelitian tentang hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 23.

104 Tabel 23. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Sedikit Cukup Banyak No. (n = 34) (n = 34) (n = 23) Bidang Pengetahuan ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 81, , ,62 2 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 80, , , Panen dan pasca panen 79, , , Pemasaran hasil 76, , , kombinasi cabang usahatani ternak 75, , , Teknologi pertanian 64, , , Aspek tenaga kerja 58, , , Aspek modal 56, , ,30 7 W = 0,89 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 23 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit tanggungan keluarga menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, dan (3) Aspek modal. Petani yang memiliki cukup tanggungan keluarga menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Panen dan pascapanen, (3) Penanaman dan pemeliharaan, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

105 Selanjutnya, petani yang memiliki banyak tanggungan keluarga menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Panen dan pascapanen, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani itu, namun koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,89 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu. Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan konsumsi media dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 menyatakan, bahwa petani yang memiliki konsumsi media rendah menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pascapanen, (3) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, dan (4) Pemsaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki konsumsi media sedang menganggap penting empat bidang yaitu: (1) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran

106 hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Tabel 24. Hubungan Konsumsi Media dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Rendah Sedang Tinggi No Bidang Pengetahuan (n = 32) (n = 25) (n = 34) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82, ,50 2,5 85, Panen dan pasca panen 81, ,50 2,5 90,00 1 Pemupukan dan pengendalian hama 3 penyakit 81, , , Pemasaran hasil 77, , , kombinasi cabang usahatani ternak 63, ,12 7,5 62,62 7,5 6 Teknologi pertanian 50, , , Aspek tenaga kerja 50, , , Aspek modal 48, ,5 62,62 7,5 W = 0,91 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Selanjutnya, petani yang memiliki konsumsi media tinggi menganggap enam bidang yang paling penting yaitu: (1) Panen dan pascapanen, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (2) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan, bahwa mer eka

107 memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani mete Hasil penelitian tentang hubungan produksi mete dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 25. Hubungan Produksi Mete dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Rendah Sedang Tinggi No Bidang Pengetahuan (n = 39) (n = 21) (n = 31) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 83, , ,12 3 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 82, ,37 1,5 87, Panen dan pasca panen 82, ,37 1,5 89, Pemasaran hasil 74, , , kombinasi cabang usahatani ternak 64, ,50 7,5 62, Teknologi pertanian 62, ,50 7,5 75, Aspek tenaga kerja 50, , , Aspek modal 49, , ,62 7 W = 0,86 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 25 menyatakan, bahwa petani yang memiliki produksi mete rendah menganggap empat bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal.

108 Adapun petani yang memiliki produksi mete sedang menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Panen dan pascapanen, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (3) Teknologi pertanian. Selanjutnya, petani yang memiliki produksi mete tinggi menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Panen dan pascapanen, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada á = 0,05 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan Petani Dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan kontak dengan penyuluh dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 menunjukkan, bahwa petani yang kurang melakukan kontak dengan penyuluh menganggap lima bidang pengetahuan usahatani mete yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pascapanen,

109 (3) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Aspek modal. Tabel 26. Hubungan Kontak dengan Penyuluh dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Kurang Cukup Sering No Bidang Pengetahuan (n = 30) (n = 33) (n = 28) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 82, , , Panen dan pasca panen 78, , ,42 1 Pemupukan dan pengendalian hama 3 penyakit 76, , , Pemasaran hasil 72, , , kombinasi cabang usahatani ternak 70, , , Teknologi pertanian 64, ,25 6,5 72, Aspek tenaga kerja 59, , , Aspek modal 57, ,25 6,5 65,12 7 W = 0,87 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Petani yang cukup melakukan kontak dengan penyuluh menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (2) Panen dan pascapanen, (3) Penanaman dan pemeliharaan, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek modal, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak.

110 Selanjutnya, petani yang sering melakukan kontak dengan penyuluh menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Panen dan pascapanen, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Pemasaran hasil, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek tenaga kerja. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,87 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang pengetahuan usahatani mete itu. Hubungan Pelatihan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pelatihan dengan pengetahuan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 menyatakan, bahwa petani yang tidak pernah mengikuti pelatihan menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pascapanen, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Selajutnya, petani yang pernah mengikuti pelatihan menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (2) Penanaman dan pemeliharaan, (3) Panen dan pascapenen, (4) Aspek tenaga

111 kerja, dan (5) Aspek modal. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Pemasaran hasil, (2) Kombinasi cabanag usahatani ternak, dan (3) Teknologi pertanian. Tabel 27. Hubungan Pelatihan dengan Pengetahuan Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang Pengetahuan Tdk pernah (n = 87) Pernah (n = 4) ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 86, , Panen dan pasca panen 80, ,87 3 Pemupukan dan pengendalian hama 3 penyakit 76, , Pemasaran hasil 72, ,37 6,5 5 Teknologi pertanian 61, , Aspek tenaga kerja 56, , kombinasi cabang usahatani ternak 51, ,37 6,5 8 Aspek modal 46, ,50 5 W = 0,73 Tidak nyata Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Berdasarkan Tabel 27, kedua kelompok tersebut memiliki tingkat kesepakatan yang rendah dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete itu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,73 dan tidak nyata. Hubungan Karakteristik dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Karakteristik terpilih petani yang dihubungkan dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete meliputi: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah

112 pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Jumlah produksi mete, (11) Kontak dengan penyuluh, dan (12) Pelatihan. Hubungan Umur dengn Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan umur dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 28. Hubungan Umur dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Bidang Keterampilan Muda Sedang Tua No (n = 29) (n = 30) (n = 32) Usahatani Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,67 1 2,78 1 2,79 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,60 2 2,62 2 2,79 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,49 3 2,39 4 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,24 4 2,57 3 2, Aspek tenaga kerja 2,11 5 1,74 6 2,35 4,5 6 Teknologi pertanian 1,40 6 2,19 5 1, Pemasaran hasil 1,28 7 1,65 7,5 2,35 4,5 8 Aspek modal 1,07 8 1,65 7,5 1,75 8 W = 0,88 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 28 menyatakan, bahwa petani yang berumur muda menganggap lima bidang keterampilan usahatani yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang keterampilan yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal.

113 Adapun petani yang berumur sedang menganggap penting lima bidang: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, (4) Panen dan Pascapanen, dan (5) Teknologi pertanian. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang berumur tua menganggap penting enam bidang: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam terhadap kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,88 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pendidikan dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 mengungkapkan, bahwa petani yang berpendidikan rendah menganggap lima bidang keterampilan usahatani mete yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Teknologi pertanian. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang

114 penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Tabel 29. Hubungan Pendidikan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete No Rendah Sedang Tinggi Bidang Keterampilan Usahatani (n = 14) (n = 46) (n = 31) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,70 1 2,83 1 2,88 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,61 2 2,78 2 2, Panen dan pasca panen 2,60 3 2,66 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,27 4 2,32 4 1, Teknologi pertanian 2,00 5 1,98 6 1, Aspek tenaga kerja 1,93 6 2,36 5 2, Pemasaran hasil 1,52 7 1,64 7,5 2, Aspek modal 1,22 8 1,64 7,5 1,72 8 Keterangan: ST JJ W = 0,91 Sangat nyata pada á = 0,01 Skor Tertimbang Jenjang Petani yang berpendidikan sedang menganggap lima bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Kemudian, petani yang berpendidikan tinggi menganggap lima bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, dan (5) Pemasaran hasil. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting

115 adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pengalaman dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada berikut. Tabel 30. Hubungan Pengalaman dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Sedikit Cukup Banyak Bidang Keterampilan Usahatani No (n = 25) (n = 26) (n = 40) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,66 1 2,76 1 2,86 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,58 2,5 2,69 2 2, Panen dan pasca panen 2,58 2,5 2,68 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,42 4 1,86 6 2, Aspek tenaga kerja 2,00 5 2,53 4 2, Teknologi pertanian 1,69 6 1,68 7,5 1, Pemasaran hasil 1,57 7 2,07 5 2, Aspek modal 1,56 8 1,68 7,5 1,79 8 Keterangan: ST JJ W = 0,93 Sangat nyata pada á = 0,01 Skor Tertimbang Jenjang

116 Tabel 30 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit pengalaman menganggap lima bidang keterampilan usahatani mete yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki cukup pengalaman menganggap lima bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, dan (5) Pemasaran hasil. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Kemudian, petani yang memiliki banyak pengalaman menganggap enam bidang yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,93 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan keterampilan usahatani mete tersebut.

117 Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tetang hubungan motivasi dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 31. Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Rendah Sedang Tinggi Bidang Keterampilan Usahatani No (n = 23) (n = 30) (n = 38) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,66 1 2,76 1 2,80 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,58 2,5 2,72 2 2,80 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,58 2,5 2,67 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,21 4 2,24 4 2,46 5,5 5 Aspek tenaga kerja 1,96 5 1,98 5 2, Teknologi pertanian 1,59 6 1,65 6 1, Pemasaran hasil 1,57 7 1,57 8 2,46 5,5 8 Aspek modal 1,54 8 1,60 7 1,74 8 W = 0,94 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 31 menyatakan, bahwa petani yang memiliki motivasi rendah menganggap empat bidang keterampilan usahatani yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki motivasi sedang menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi

118 cabang usahatani ternak. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek modal, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting Selanjutnya, petani yang memiliki motivasi tinggi menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil Penelitian tentang hubungan pendapatan dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 mengungkapkan, bahwa petani yang berpendapatan rendah menganggap empat bidang keterampilan yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal.

119 Tabel 32. Hubungan Pendapatan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Bidang Keterampilan Rendah Sedang Tinggi No (n = 28) (n = 27) (n = 36) Usahatani Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,67 1 2,54 3 2,81 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 2,60 2 2,70 2 2,70 3 penyakit 3 Panen dan pasca panen 2,49 3 2,36 4 2,16 5,5 4 kombinasi cabang usahatani ternak 2,23 4 2,79 1 1, Aspek tenaga kerja 1,91 5 1,84 6,5 2, Teknologi pertanian 1,60 6 2,10 5 2,81 1,5 7 Aspek modal 1,58 7,5 1,59 8 1, Pemasaran hasil 1,58 7,5 1,84 6,5 2,16 5,5 W = 0,85 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang berpendapatan sedang menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Teknologi pertanian. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Kemudian, petani yang berpendapatan tinggi menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Panen dan pascapanen dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (2) Aspek modal.

120 Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,85 yang nyata pada á = 0,05 menunjukkan adanya ti ngkat kesepakatan yang cukup tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan berusahatani mete itu. Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan luas lahan dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tebal 33. Hubungan Luas Lahan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Sempit Sedang Luas Bidang Keterampilan Usahatani No (n = 26) (n = 27) (n = 38) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,60 1 2,73 1 2,79 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,54 2 2,65 2 2,79 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,32 3 2,44 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,06 4 2,11 4 2,14 5,5 5 Teknologi pertanian 1,65 5,5 1,67 6 1, Aspek tenaga kerja 1,65 5,5 1,86 5 2, Pemasaran hasil 1,63 7 1,57 8 2,14 5,5 8 Aspek modal 1,58 8 1,59 7 1,74 8 W = 0,93 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 33 menyatakan, bahwa petani yang memiliki lahan sempit manganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang

121 dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Petani yang memiliki luas lahan sedang menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang ushatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang memiliki lahan luas menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, (5) Aspek tenaga kerja, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,93 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan jumlah pohon mete dengan keterampilan petani dalam berisahatani mete dapat dilihat pada Tabel 34.

122 Tabel 34. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete No Sedikit Sedang Banyak Bidang Keterampilan Usahatani (n = 30) (n = 37) (n = 24) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,78 1 2,80 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2 2,62 2 2,80 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,30 3 2,49 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,15 4 2,28 4 2, Aspek tenaga kerja 1,84 5 2,05 5 2, Teknologi pertanian 1,71 6,5 1,70 6 1, Pemasaran hasil 1,71 6,5 1,68 7 2, Aspek modal 1,58 8 1,65 8 1,73 8 W = 0,97 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 34 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit pohon mete menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki jumlah pohon mete sedang menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek Tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal.

123 Selanjutnya, petani yang memiliki banyak pohon mete menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek Tenaga kerja, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,97 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan keterampilan petani dalam berisahatani mete dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit tanggungan keluarga menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Teknologi pertanian. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki tanggungan keluarga sedang menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen,

124 (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, (5) Aspek Tenaga kerja, dan (6) Teknologi pertanian. Dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Pemasaran hasil, dan (2) Aspek modal. Tabel 35. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete No Sedikit Cukup Banyak Bidang Keterampilan Usahatani (n = 34) (n = 34) (n = 23) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,66 1 2,76 1 2,79 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,48 2,5 2,70 2 2, Panen dan pasca panen 2,48 2,5 2,58 3 2,79 1,5 4 kombinasi cabang usahatani ternak 2,11 4 2,45 4 2,25 5,5 5 Teknologi pertanian 2,06 5 2,02 6 1, Aspek tenaga kerja 1,79 6 2,26 5 2, Pemasaran hasil 1,57 7 1,73 7 2,25 5,5 8 Aspek modal 1,55 8 1,62 8 1,75 8 W = 0,92 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Selanjutnya, petani yang memiliki banyak tanggungan keluarga menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, (5) Aspek Tenaga kerja, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,92 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa

125 mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan konsumsi media dengan keterampilan petani dalam berisahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 36. Hubungan Konsumsi Media dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Rendah Sedang Tinggi Bidang Keterampilan Usahatani No (n = 32) (n = 25) (n = 34) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,76 1 2,84 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 2,51 2,5 2,61 2 2,84 1,5 penyakit 3 Panen dan pasca panen 2,51 2,5 2,58 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,25 4 2,36 4 2,26 5,5 5 Aspek tenaga kerja 1,73 5 2,11 5 2, Teknologi pertanian 1,61 6,5 1,85 6 2, Pemasaran hasil 1,61 6,5 1,60 8 2,26 5,5 8 Aspek modal 1,58 8 1,63 7 1,83 8 W = 0,94 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 36 mengungkapkan, bahwa petani yang memiliki konsumsi media rendah menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal.

126 Petani yang memiliki konsumsi media sedang menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek Tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Kemudian, petani yang memiliki konsumsi media tinggi menganggap tujuh bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek Tenaga kerja, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, (6) Pemasaran hasil, dan (7) Teknologi pertanian. Sedangkan bidang yang dianggap kurang penting adalah aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Jumlah Produksi Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan jumlah produksi mete dengan keterampilan petani dalam berisahatani mete dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 menyatakan, bahwa petani yang memiliki produksi mete rendah menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan

127 pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Tabel 37. Hubungan Jumlah Produksi Mete dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete No Rendah Sedang Tinggi Bidang Keterampilan Usahatani (n = 39) (n = 21) (n = 31) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,60 1 2,66 1 2,71 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,54 2 2,60 2 2,71 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,22 3 2,49 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,18 4 2,35 4 2,26 5,5 5 Aspek tenaga kerja 1,96 5 2,11 5 2, Teknologi pertanian 1,64 6 1,86 6 1, Pemasaran hasil 1,62 7 1,62 8 2,26 5,5 8 Aspek modal 1,58 8 1,63 7 1,74 8 W = 0,94 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang memiliki produksi mete sedang menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek Tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Pemasaran hasil. Selanjutnya, petani yang memiliki produksi mete tinggi menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek Tenaga

128 kerja, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hubungan Kontak dengan Penyuluh terhadap Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan kontak dengan penyuluh terhadap keterampilan petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 38. Hubungan Kontak dengan Penyuluh terhadap Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete No Kurang Cukup Sering Bidang Keterampilan Usahatani (n = 30) (n = 33) (n = 28) Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,77 1 2,78 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2 2,62 2 2,78 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,40 3 2,4 3 2, kombinasi cabang usahatani ternak 2,15 4 2,06 4 2, Aspek tenaga kerja 1,83 5,5 1,93 5 2, Teknologi pertanian 1,83 5,5 1,66 7 1, Pemasaran hasil 1,61 7 1,64 8 2, Aspek modal 1,57 8 1,67 6 1,70 8 W = 0,91 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Jenjang

129 Tabel 38 manyatakan, bahwa petani yang kurang melakukan kontak dengan penyuluh menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang cukup melakukan kontak dengan penyuluh menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Aspek modal, (3) Teknologi pertanian, dan (4) Pemasaran hasil. Selanjutnya, petani yang banyak melakukan kontak dengan penyuluh menganggap enam bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, (5) Aspek Tenaga kerja, dan (6) Pemasaran hasil. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang keterampilan usahatani mete tersebut, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu.

130 Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pelatihan dengan keterampilan petani dalam berisahatani mete dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 39. Hubungan Pelatihan dengan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Bidang Keterampilan Usahatani Tdk Pernah (n = 87) Pernah (n = 4) No Mete ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,65 1 2,87 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,40 2 2, Panen dan pasca panen 2,17 3 1, kombinasi cabang usahatani ternak 2,05 4 2, Aspek tenaga kerja 1,74 5 1, Teknologi pertanian 1,70 6,5 2, Pemasaran hasil 1,70 6,5 1, Aspek modal 1,64 8 2,17 5 W = 0,81 Tidak nyata Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 39 menyatakan, bahwa petani yang tidak pernah mengikuti pelatihan menganggap empat bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek Tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Pemasaran hasil, dan (4) Aspek modal. Petani yang pernah mengikuti pelatihan menganggap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak,

131 (4) Teknologi pertanian, dan (5) Aspek modal. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Panen dan pascapanen, (2) Aspek Tenaga kerja, dan (3) Pemasaran hasil. Berdasarkan Tabel 39, kedua kelompok tersebut memiliki tingkat kesepakatan yang rendah dalam hal penjenjangan kedelapan bidang keterampilan usahatani mete itu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,81 dan tidak nyata. Hubungan Karakteristik dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Karakteristik terpilih petani yang dihubungkan dengan sikap petani tentang usahatani mete meliputi: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Jumlah produksi mete, (11) Kontak dengan penyuluh, dan (12) Pelatihan. Hubungan Umur dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan umur dengan sikap petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 menyatakan, bahwa petani yang berumur muda menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pasca panen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang lain yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (3) Aspek modal.

132 Tabel 40. Hubungan Umur dengan sikap Petani dalam Berusahatani Mete N Muda Sedang Tua Bidang yang perlu disikapi (n = 29) (n = 30) (n = 32) o ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,67 1 2,68 1 2,79 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,60 2 2,59 3 2, Panen dan pasca panen 2,49 3 2,62 2 2,35 4,5 4 Pemasaran hasil 2,24 4 1,65 7 2, Aspek tenaga kerja 2,11 5 2,12 5 2,79 1,5 6 Teknologi pertanian 1,80 6 1,64 8 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,68 7 2,37 4 1, Aspek modal 1,57 8 1,87 6 2,35 4,5 W = 0,73 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun bagi petani yang berumur sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting adalah: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Panen dan pascapanen, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Teknologi pertanian. Selanjutnya, petani yang berumur tua menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4) Panen dan pascapanen, dan (5) Aspek modal. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Pemasaran hasil, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak.

133 Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,73 yang sangat nyata pada á = 0,05 menunjukkan bahwa mer eka memil i ki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pendidikan dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 41. Hubungan Pendidikan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang perlu disikapi Rendah (n = 14) Sedang (n = 46) Tinggi (n = 31) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,60 1 2,63 1 2,79 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2 2,58 2 2,79 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,40 3 2,46 3 2, Pemasaran hasil 2,16 4 2,22 4 2,14 5,5 5 Teknologi pertanian 1,78 5,5 1,97 6 1, Aspek tenaga kerja 1,78 5,5 2,06 5 2, kombinasi cabang usahatani ternak 1,55 7 1,64 7,5 2,14 5,5 8 Aspek modal 1,52 8 1,64 7,5 1,71 8 W = 0,94 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 41 menyatakan, bahwa petani yang berpendidikan rendah menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama

134 penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Adapun petani yang berpendidikan sedang menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang berpendidikan tinggi menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Pengalaman dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pengalaman dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam Tabel 42.

135 Tabel 42. Hubungan pengalaman dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Sedikit Cukup Banyak No Bidang yang perlu disikapi (n = 25) (n = 26) (n = 40) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,76 1 2,76 1 2,87 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,58 2,5 2,59 2 2, Panen dan pasca panen 2,58 2,5 2,48 3 2, Pemasaran hasil 2,22 4 2,33 4 2,35 5,5 5 Aspek tenaga kerja 2,10 5 2,16 5 2, Teknologi pertanian 1,81 6 1,90 6,5 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,67 7 1,87 8 2,35 5,5 8 Aspek modal 1,56 8 1,90 6,5 1,82 8 W = 0,93 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 42 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit pengalaman menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (3) Aspek modal. Adapun petani yang memiliki cukup pengalaman menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak.

136 Selanjutnya, petani yang memiliki banyak pengalaman menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,93 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan motivasi dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam Tabel 43. Tabel 43 menyatakan, bahwa petani yang memiliki motivasi rendah menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

137 Tabel 43. Hubungan motivasi dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang perlu disikapi Rendah (n = 23) Sedang (n = 30) Tinggi (n = 38) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,66 1 2,66 1 2,70 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,58 2,5 2,59 2 2, Panen dan pasca panen 2,58 2,5 2,56 3 2, Pemasaran hasil 2,31 4 2,34 4 2,45 4,5 5 Aspek tenaga kerja 1,80 5 2,08 5 2,45 4,5 6 Teknologi pertanian 1,79 6 1,85 6 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,67 7 1,68 8 2, Aspek modal 1,64 8 1,70 7 1,73 8 W = 0,96 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Petani yang memiliki motivasi sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Kemudian, petani yang memiliki motivasi tinggi menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal.

138 Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,96 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pendapatan dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 44. Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Rendah Sedang Tinggi No Bidang yang perlu disikapi (n = 28) (n = 27) (n = 36) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,67 1 2,77 1 2,78 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,60 2 2,70 2 2, Panen dan pasca panen 2,49 3 2,58 3 2, Pemasaran hasil 2,13 4 2,14 4 1, Aspek tenaga kerja 1,81 5 2,07 5 2,78 1,5 6 Teknologi pertanian 1,70 6 1,83 6,5 2,23 5,5 7 kombinasi cabang usahatani ternak 1,58 7,5 1,78 8 1, Aspek modal 1,58 7,5 1,83 6,5 2,23 5,5 W = 0,84 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 44 mengungkapkan, bahwa petani yang berpendapatan rendah menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama

139 penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Petani yang berpendapatan sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Kemudian, petani yang berpendapatan tinggi menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (5) Teknologi pertanian, dan (6) Aspek modal. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Pemasaran hasil, dan (2) Kombinasi cabang usahatani ternak. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,84 yang nyata pada á = 0,05 menunjukkan bahwa mereka memi l i ki tingkat kesepakatan yang cukup tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut.

140 Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan luas lahan dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 45. Hubungan Luas Lahan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang perlu disikapi Sempit (n = 26) Sedang (n = 27) Luas (n = 38) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,60 1 2,63 1 2,69 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,54 2 2,55 2 2,69 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,32 3 2,44 3 2, Pemasaran hasil 2,06 4 2,11 4 2, Aspek tenaga kerja 1,75 5,5 2,04 5 2, Teknologi pertanian 1,75 5,5 1,81 6 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,63 7 1,69 8 1, Aspek modal 1,58 8 1,76 7 1,73 8 W = 0,88 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 45 menyatakan, bahwa petani yang memiliki lahan sempit menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

141 Adapun petani yang memiliki luas lahan sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Kemudian, petani yang memiliki lahan luas menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, dan (5) Pemasaran hasil. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,88 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memi liki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan jumlah pohon mete dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam Tabel 46. Tabel 46 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit pohon mete menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama

142 penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Tabel 46. Hubungan Jumlah Pohon Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang perlu disikapi Sedikit (n = 30) Sedang (n = 37) Banyak (n = 24) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,68 1 2,71 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2 2,52 2 2, Panen dan pasca panen 2,30 3 2,39 3 2, Pemasaran hasil 2,05 4 2,08 4 2,24 4,5 5 Aspek tenaga kerja 1,84 5 1,92 5 2,24 4,5 6 Teknologi pertanian 1,61 6,5 1,70 6 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,61 6,5 1,68 7 2, Aspek modal 1,58 8 1,65 8 1,72 8 W = 0,98 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang memiliki pohon mete sedang menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

143 Selanjutnya, petani yang memiliki banyak pohon mete menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,98 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memi liki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam Tabel 47. Tabel 47 menyatakan, bahwa petani yang memiliki sedikit tanggungan keluarga menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

144 Tabel 47. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu disikapi Sedikit (n = 34) Cukup (n = 34) Banyak (n = 23) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,66 1 2,66 1 2,76 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,58 2,5 2,32 4 2,25 5,5 3 Panen dan pasca panen 2,58 2,5 2,60 3 2, Pemasaran hasil 2,21 4 2,67 2 2,25 1,5 5 Teknologi pertanian 1,90 5 1,89 6 1, Aspek tenaga kerja 1,87 6 1,94 5 2, kombinasi cabang usahatani ternak 1,64 7 1,70 8 2,25 5,5 8 Aspek modal 1,55 8 1,72 7 1,85 8 W = 0,86 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Petani yang memiliki cukup tanggungan keluarga menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemasaran hasil, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Aspek modal, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Kemudian petani yang memiliki banyak tanggungan keluarga menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemasaran hasil, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (6) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal.

145 Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada á = 0,05 menunjukkan bahwa mereka memi l i ki tingkat kesepakatan yang cukup tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Konsumsi media dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan konsumsi media dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 48. Hubungan Konsumsi Media dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu disikapi Rendah (n = 32) Sedang (n = 25) Tinggi (n = 34) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,68 1 2,70 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2,5 2,60 2 2, Panen dan pasca panen 2,51 2,5 2,57 3 2, Pemasaran hasil 2,15 4 2,36 4 2,15 5,5 5 Teknologi pertanian 1,82 5,5 1,86 6 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,82 5,5 1,62 8 2,15 5,5 7 Aspek tenaga kerja 1,63 7 2,14 5 2, Aspek modal 1,58 8 1,79 7 1,72 8 W = 0,9 Sangat nyata pada á = 0,01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 48 menyatakan, bahwa petani yang memiliki konsumsi media rendah menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian

146 hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, (3) Aspek tenaga kerja, dan (4) Aspek modal. Petani yang memiliki konsumsi media sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Kemudian, petani yang memiliki konsumsi media tinggi menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, (5) Pemasaran hasil, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Sekalipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,9 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memi liki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut.

147 Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan produksi mete dengan sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam tabel berikut. Tabel 49. Hubungan Produksi Mete dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu disikapi Rendah (n = 39) Sedang (n = 21) Tinggi (n = 31) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,67 1 2,76 1 2,76 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,54 2 2,60 2 2, Panen dan pasca panen 2,32 3 2,48 3 2, Pemasaran hasil 2,18 4 2,25 4 2, Aspek tenaga kerja 1,86 5 2,09 5 2, Teknologi pertanian 1,64 6 1,86 6 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,62 7 1,62 8 1, Aspek modal 1,58 8 1,73 7 1,73 8 W = 0.96 Sangat nyata pada á = 0.01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 49 menyatakan, bahwa petani yang memiliki produksi mete rendah menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal.

148 Adapun petani yang memiliki produksi mete sedang menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek modal, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Selanjutnya petani yang memiliki produksi mete tinggi menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Aspek tenaga kerja, dan (5) Pemasaran hasil. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Kombinasi cabang usahatani ternak, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Aspek modal. Meskipun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,96 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memi liki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Kontak dengan Penyuluh terhadap Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan kontak dengan penyuluh terhadap sikap petani dalam berusahatani mete disajikan dalam Tabel 50. Tabel 50 menyatakan, bahwa petani yang kurang melakukan kontak dengan penyuluh menganggap sikap terhadap empat bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan

149 pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Sedangkan empat bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Tabel 50. Hubungan Kontak dengan Penyuluh terhadap Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu disikapi Kurang (n = 30) Cukup (n = 33) Sering (n = 28) ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,68 1 2,77 1 2,78 1,5 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,51 2 2,61 2 2,78 1,5 3 Panen dan pasca panen 2,4 3 2,50 3 2, Pemasaran hasil 2,25 4 2,26 4 2, Aspek tenaga kerja 1,93 5,5 2,01 5 2, Teknologi pertanian 1,93 5,5 1,71 7 1, kombinasi cabang usahatani ternak 1,71 7 1,70 8 2, Aspek modal 1,67 8 1,85 6 1,80 8 W = 0.91 Sangat nyata pada á = 0.01 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Adapun petani yang cukup melakukan kontak dengan penyuluh menganggap sikap terhadap lima bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Aspek modal, (2) Teknologi pertanian, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak.

150 Kemudian, petani yang sering melakukan kontak dengan penyuluh menganggap sikap terhadap enam bidang usahatani mete yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, (5) Aspek tenaga kerja, dan (6) Kombinasi cabang usahatani ternak. Sedangkan dua bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal. Walaupun ketiga kelompok tersebut memberi jenjang yang beragam pada kedelapan bidang usahatani mete itu, koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang sangat nyata pada á = 0,01 menunjukkan bahwa mer eka memi liki tingkat kesepakatan yang tinggi dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete tersebut. Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan pelatihan dengan sikap petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 51. Tabel 51 menyatakan, bahwa petani yang tidak pernah mengikuti pelatihan menganggap sikap terhadap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Pemasaran hasil, dan (5) Aspek tenaga kerja. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (3) Aspek modal. Selanjutnya, petani yang pernah mengikuti pelatihan menganggap sikap terhadap lima bidang yang paling penting: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Pemasaran hasil, (4)

151 Teknologi pertanian, dan (5) Aspek modal. Sedangkan tiga bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Panen dan pascapanen, (2) Aspek tenaga kerja, dan (3) Kombinasi cabang usahatani ternak. Tabel 51. Hubungan Pelatihan dengan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang yang Perlu disikapi Tdk Pernah (n = 87) Pernah (n = 4) ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 2,65 1 2,77 1 Pemupukan dan pengendalian hama 2 penyakit 2,50 2 2, Panen dan pasca panen 2,47 3 1, Pemasaran hasil 2,25 4 2, Aspek tenaga kerja 2,03 5 1, Teknologi pertanian 1,70 6,5 2, kombinasi cabang usahatani ternak 1,70 6,5 1, Aspek modal 1,64 8 2,17 5 W = 0,81 Tidak Nyata Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Berdasarkan Tabel 51, kedua kelompok tersebut memiliki tingkat kesepakatan yang rendah dalam hal penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete itu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,81 dan tidak nyata. Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete Hasil penelitian tentang hubungan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani dalam berusahatani mete dapat dilihat pada Tabel 52.

152 Tabel 52. Hubungan Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap Petani dalam Berusahatani Mete No Bidang-bidang Kompetensi Pengetahuan Sikap Keterampilan Usahatani Mete ST JJ ST JJ ST JJ 1 Penanaman dan Pemeliharaan 89,87 1 2,78 1 2,74 1 Pemupukan dan pengendalian 2 hama penyakit 88,75 2,5 2,71 2 2, Panen dan pasca panen 88,75 2,5 2,63 4 2, Pemasaran hasil 78,12 4 2,67 3 1, Teknologi pertanian 67,80 5 1,85 7 1, Aspek tenaga kerja 65,50 6 2,13 6 2, kombinasi cabang usahatani ternak 63,36 7 2,52 5 2, Aspek modal 62,48 8 1,82 8 1,59 8 W = 0,86 Nyata pada á = 0,05 Keterangan: ST JJ Skor Tertimbang Jenjang Tabel 52 menyatakan, bahwa bagi petani dalam penelitian ini, pengetahuan usahatani mete yang dianggap penting adalah: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pemeliharaan, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Sikap petani terhadap usahatani mete yang paling penting yaitu: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Pemasaran hasil, (4) Panen dan pascapanen, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (6) Aspek tenaga kerja. Bidang yang dianggap kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, dan (2) Aspek modal.

153 Keterampilan usahatani mete yang paling penting untuk dikuasai petani: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (5) Aspek tenaga kerja. Bidang yang kurang penting adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Pemasaran hasil, dan (3) Aspek modal. Berdasarkan Tabel 52, ketiga aspek kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap memiliki tingkat kesepakatan yang cukup tinggi dalam hal penjenjangan delapan bidang kompetensi usahatani mete yang harus dikuasai petani. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada á = 0,05. Pembahasan Penjelasan tentang hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Pembahasan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut. Karakteristik Petani Karakteristik petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Karakteristik petani yang dimaksud adalah: (1) Umur, (2) Pendidikan formal, (3) Pengalaman usahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Jumlah produksi mete, (11) Kontak dengan penyuluh, dan (12) Pelatihan.

154 Umur menurut Padmowihardjo (1994: 36) bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur: (1) Mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu, dan (2) Akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Umur petani dalam penelitian bervariasi, dimana umur minimum ialah 29 tahun dan maksimum 58 tahun. Kondisi di lokasi penelitian manunjukkan, sebanyak 35,1% petani berumur tua. Pendidikan formal menurut Mosher (1987: ) mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat. Sebanyak 50,5% petani dalam penelitian ini berpendidikan sedang. Kondisi di lokasi penelitian menggambarkan, bahwa pendidikan minimum adalah 4 tahun dan maksimum 12 tahun. Pengalaman dapat mengembangkan kompetensi seseorang (Suparno, 2001: 19-20). Hernanto (1993: 89) mengemukakan bahwa petani mengembangkan kemampuan usahataninya dari pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun. Pengalaman petani dalam penelitian ini berkisar dari 7 sampai 27 tahun, dimana kondisi di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa sebanyak 44% petani memiliki banyak pengalaman. Motivasi merupakan keadaan internal seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu (Suparno, 2001: 100). Kondisi di lokasi penelitian menyatakan, bahwa petani memiliki motivasi yang cukup tinggi dalam melakukan kegiatan usahatani mete. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh data hasil

155 penelitian yang menyatakan, bahwa sebanyak 38% petani memiliki motivasi tinggi. Pendapatan merupakan cermin kehidupan petani. Pendapatan petani yang rendah merupakan ciri petani kecil dan masuk dalam golongan petani miskin (Soekartawi, 1986: 2-3). Pendapatan minimum petani dalam setahun adalah Rp dan maksimum Rp Kenyataan di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa mayoritas petani tersebut memiliki pendapatan rendah. Lahan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan status petani (Noronha dan Spears, 1988: 293). Kondisi di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa mayoritas petani memiliki lahan yang luas. Data yang diperoleh menyatakan, bahwa sebanyak 41,7% petani memiliki lahan yang luas, dimana luas lahan minimum adalah 1,5 ha dan maksimum 6,5 ha. Jumlah pohon mete yang ditanam petani berkaitan dengan luas lahan usahatani yang merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam (Tjakrawiralaksana, 1983: 7). Lahan berfungsi sebagai tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan. Jumlah pohon mete yang ditanam petani minimum adalah 150 pohon, dan maksimum 900 pohon. Kenyataan di lokasi menyatakan, bahwa mayoritas petani memiliki sedikit pohon mete. Banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga (Soekartawi, 1986: ). Jumlah tanggungan keluarga minimum ialah 1 orang dan maksimum 8 orang. Kondisi di lokasi penelitian menyatakan, bahwa 37,4% petani memiliki banyak tanggungan keluarga dan 37,4% memiliki cukup tanggungan keluarga.

156 Konsumsi media merupakan akses petani untuk memperoleh informasi melalui media tertentu. Media tersebut selain untuk menyampaikan informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain (Susena, 2003: 96-97). Kenyataan di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa petani memiliki konsumsi media yang cukup tinggi, hal ini ditunjukkan oleh data yang menyatakan, bahwa 37,3% petani memiliki konsumsi media tinggi, namun sebanyak 35,2% memiliki konsumsi media rendah. Jumlah Produksi yang dihasilkan petani akan berdampak pada pendapatan yang merupakan keseluruhan dari apa yang diperoleh dari cara pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan modal lainnya (Penny, 1990: ). Kondisi di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa produksi minimum petani adalah 1000 kg, dan maksimum 6000 kg. Sebanyak 42,8% petani memiliki produksi rendah. Kontak antara petani dengan penyuluh dapat menimbulkan komunikasi, dimana komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadinya feedback (Wiriaatmadja, 1990: 29-30). Kondisi di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa mayoritas petani menyatakan kurang melakukan kontak dengan penyuluh. Hal tersebut didukung oleh data yang diperoleh, dimana sebanyak 33% petani kurang melakukan kontak dengan penyuluh. Pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan produktivitas kerja seseorang (Siagian, 1997: ). Kenyataan di lokasi penelitian mengungkapkan, bahwa mayoritas petani menyatakan tidak pernah mengikuti pelatihan. Hal tersebut ditunjukkan oleh data yang diperoleh, dimana sebanyak 95,6% petani tidak pernah mengikuti pelatihan.

157 Kompetensi Petani dalam Berusahatani Mete Kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspekaspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Lasmahadi, 2002: 2). Menurut Widyarini (2004: 2) untuk survive dan meraih keberhasilan dalam hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi yang perlu dikuasai petani dalam berusahatani mete adalah: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, (3) Panen dan pascapanen, (4) Teknologi pertanian, (5) Kombinasi cabang usahatani ternak, (6) Aspek modal, (7) Aspek tenaga kerja, dan (8) Aspek pemasaran hasil. Hasil penelitian yang diperoleh tentang kompetensi petani dalam berusahatani mete relatif baik dari ketiga aspek yaitu: (1) Pengetahuan, (2) Keterampilan, dan (3) Sikap. Pengetahuan petani tentang usahatani mete cukup baik, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai skor rata-rata sebesar 75. Responden hampir menguasai seluruh bidang pengetahuan usahatani mete. Bidang pengetahuan yang dikuasai meliputi: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Bidang pengetahuan usahatani mete yang kurang dikuasai adalah: (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani Ternak, dan (4) Aspek modal.

158 Aspek keterampilan petani terhadap usahatani mete diperoleh skor sebesar 2,29. Hal tersebut berarti, bahwa pada umumnya petani memiliki keterampilan yang cukup baik dalam berusahatani mete. Bidang keterampilan tersebut seperti: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, dan (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Kombinasi cabang usahatani ternak. Bidang keterampilan yang kurang dikuasai adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Pemasaran hasil dan (4) Aspek modal. Hasil penelitian tentang sikap petani terhadap usahatani mete, selanjutnya diperoleh skor rata-rata sebesar 2,38. Hal tersebut menunjukkan bahwa petani bersikap positif terhadap usahatani mete. Sikap positif ditunjukkan terhadap bidang-bidang: (1) Penanaman dan pemeliharaan, (2) Pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (3) Panen dan pascapanen, dan (4) Pemasaran hasil. Bidang yang kurang penting adalah: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. Hubungan Karakteristik dengan Kompetensi Petani dalam Usahatani Mete Hubungan karakteristik dengan kompetensi petani dalam berusahatani mete untuk aspek pengetahuan pada umumnya relatif sangat erat. Hal tersebut dinyatakan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W untuk masing-masing karakteristik yang menunjukkan tingkat kesepakatan tinggi dalam melakukan penjenjangan pada berbagai bidang pengetahuan tentang usahatani mete yang sebaiknya dikuasai. Petani dengan beberapa karakteristik yang diamati dalam penelitian setuju bahwa bidang-bidang pengetahuan usahatani mete yang harus dikuasai adalah delapan bidang dalam kompetensi usahatani mete tersebut.

159 Beberapa bidang pengetahuan yang dianggap paling penting adalah: penanaman dan pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit, panen dan pascapanen, dan pemasaran hasil. Teknologi pertanian, kombinasi usahatani ternak, aspek tenaga kerja, dan aspek modal, dianggap kurang penting. Penanaman dan pemeliharaan tanaman mete hingga panen adalah kegiatan budidaya yang telah dikenal petani mete di lokasi penelitian sejak mereka memulai kegiatan usahatani. Kegiatan tersebut masih bersifat tradisional, dimana petani kurang mempertimbangkan penggunaan teknologi. Kekurangan lain adalah akses petani terhadap sumber modal sangat terbatas, sehingga petani melaksanakan usahatani mete dengan menggunakan modal yang terbatas. Keterbatasan modal tidak memungkinkan petani mengembangkan usahatani dengan skala yang lebih luas. Hubungan sangat erat terjadi antara pengetahuan dengan beberapa karakteristik yang diamati yaitu: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Umur petani yang relatif tua mencerminkan akumulasi pengalaman dalam berusahatani mete. Hubungan tersebut dapat dinyatakan, bahwa semakin tua umur petani, semakin banyak pengalaman dalam berusahatani mete, yang menyebabkan bertambahnya pengetahuan petani. Hal tersebut selaras dengan yang dikemukakan Suparno (2001: 19-20) bahwa kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek dan pengalaman hidup seseorang.

160 Petani mete dalam penelitian umumnya memiliki motivasi dan pendidikan yang tinggi. Petani mete yang berpendidikan tinggi lebih mudah menyerap infromasi dan menerapkan teknologi yang diperkenalkan. Petani yang memiliki motivasi tinggi, demikian pula halnya, berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang usahatani mete guna meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Sebagaimana dikemukakan van den Ban dan Hawkins (1999: 103) bahwa proses berpikir didorong oleh motivasi belajar untuk memecahkan masalah melalui strukturisasi informasi yang jelas dan berusaha untuk menerapkan informasi tersebut guna menemukan pemecahannya. Produksi mete yang tinggi, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga memungkinkan petani untuk mengembangkan pengetahuan usahatani mete, banyaknya pohon mete dan lahan yang luas mendorong petani untuk mempelajari lebih jauh tentang usahatani mete agar lahan yang tersedia dapat dioptimalkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Penny (1990: 14) bahwa rendahnya pendapatan menyebabkan kurang mampunya petani untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, selain itu pendapatan mencerminkan kehidupan petani. Hernanto (1993: 94) mengemukakan bahwa akibat lanjut dari sempitnya lahan adalah rendahnya tingkat pendapatan. Pendapatan yang sedikit akan berdampak pada rendahnya tingkat konsumsi dan berpengaruh pada produktivitas dan kecerdasan. Konsumsi media dan kontak dengan penyuluh memberi peluang kepada petani untuk menambah pengetahuan usahataninya. Semakin sering petani melakukan kontak dengan penyuluh dan mengkonsumsi media, semakin banyak pula pengetahuan yang dapat diperoleh. Menurut Kartasapoetra (1987: 12) hubungan yang kontinyu antara penyuluh dengan petani dapat tercipta rasa

161 kekeluargaan yang akan mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi dalam rangka peningkatan produksi. Hubungan karakteristik dengan keterampilan petani dalam berusahatani mete relatif sangat erat. Hal tersebut dinyatakan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W untuk masing-masing karakteristik menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi dalam melakukan penjenjangan pada berbagai bidang keterampilan usahatani mete yang harus dikuasai. Uraian tersebut dapat diartikan bahwa petani dengan beberapa karakteristik yang diamati dalam penelitian setuju bahwa bidang-bidang keterampilan yang harus dikuasai petani adalah kedelapan bidang dalam kompetensi usahatani mete tersebut. Bidang keterampilan yang dianggap paling penting adalah: penanaman dan pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit, panen dan pascapanen, dan kombinasi cabang usahatani - ternak. Teknologi pertanian, aspek tenaga kerja, aspek modal, dan pemasaran hasil, dianggap kurang penting. Hubungan sangat erat tersebut terjadi pada beberapa karakteristik yang diamati yaitu: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Keterampilan usahatani mete dalam penelitian sangat ditentukan oleh umur, pengalaman, dan pendidikan. Umur petani mencerminkan pengalaman, sehingga semakin tua umur dan semakin banyak pengalaman petani semakin terampil dalam melaksanakan usahatani mete. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyasa (2003: 125) bahwa perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring

162 dengan bertambahnya umur. Padmowihardjo (1994: 36) mengungkapkan kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Kanyataan yang sama juga terjadi pada motivasi, luas lahan, pendapatan, dan tanggungan keluarga. Lahan yang luas mendorong petani untuk meningkatkan keterampilan berusahatani. Pendapatan yang tinggi dengan sedikit tanggungan keluarga akan memudahkan petani melakukan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan usahatani mete. Pendapatan yang tinggi memungkinkan petani untuk menyediakan teknologi yang diperlukan dan membiayai berbagai bidang usahatani. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat Penny (1990: 14) bahwa rendahnya pendapatan menyebabkan kurang mampunya petani untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, disamping itu, pendapatan mencerminkan kehidupan petani. Vaizey (1978: 34) mengemukakan bahwa perbedaan pendapatan mencerminkan perbedaan keterampilan. Konsumsi media dan kontak dengan penyuluh menyumbangkan keterampilan usahatani yang cukup penting bagi petani mete. Hal tersebut diduga karena semakin intensif petani mengkonsumsi media dan kontak dengan penyuluh memberikan kesempatan bagi petani meningkatkan keterampilan usahataninya. Selaras dengan hal tersebut, Kartasapoetra (1987: 12) menyatakan bahwa hubungan yang kontinyu antara penyuluh dengan petani dapat tercipta rasa kekeluargaan yang akan mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi dalam rangka peningkatan produksi.

163 Hubungan karakteristik dengan sikap petani dalam berusahatani mete relatif sangat erat. Hal tersebut dinyatakan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W untuk masing-masing karakteristik menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi dalam melakukan penjenjangan pada berbagai bidang usahatani mete yang perlu disikapi petani. Uraian tersebut dengan demikian, dapat diartikan bahwa petani dengan beberapa karakteristik yang diamati dalam penelitian ini setuju bahwa bidang-bidang yang harus disikapi petani adalah kedelapan bidang dalam kompetensi usahatani mete tersebut. Beberapa bidang usahatani mete yang dianggap paling penting untuk disikapi adalah: penanaman dan pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit, pemasaran hasil, dan panen dan pascapanen. Kombinasi cabang usahatani ternak, teknologi pertanian, aspek tenaga kerja, dan aspek modal, dianggap kurang penting. Hubungan sangat erat tersebut terjadi pada beberapa karakteristik yang diamati yaitu: (1) Umur, (2) Pendidikan, (3) Pengalaman, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Umur, pendidikan, pengalaman, dan motivasi menentukan sikap petani dalam berusahatani mete. Hal tersebut diduga semakin tua umur petani, semakin banyak pengalaman yang diperoleh, dan semakin termotivasi petani untuk membentuk sikap dalam berusahatani mete. Sarwono (2002: ) mengemukakan bahwa sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan tersebut mempunyai dampak terapan, yaitu bahwa berdasarkan

164 pandagan ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan, pelatihan, komunikasi, dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang. Myers (Sarwono, 2002) menyatakan bahwa sikap dibentuk oleh reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditujukan dalam kepercayaan, perasaan atau perilaku seseorang. Pendapatan yang tinggi, luas lahan, jumlah pohon mete, jumlah tanggungan keluarga, produksi mete, merupakan obyek yang membentuk sikap petani dalam berusahatani mete. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999: (1999: 106) sikap terbentuk oleh perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Konsumsi media dan kontak dengan penyuluh menentukan terbentuknya sikap petani mete. Intensitas konsumsi media dan kontak dengan penyuluh dapat mempengaruhi individu petani atas kecenderungan intelektual dan emosional dalam menyikapi suatu obyek tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Gagne (Suparno, 2001: 15) bahwa sikap dibentuk individu sepanjang hidupnya melalui pergaulannya baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan ketiga. Perbuatan yang dipilih seseorang dipengaruhi kejadian-kejadian khusus pada waktu itu, tetapi, kecenderungan-kecenderungan yang bersifat tetap mengakibatkan tingkah laku yang konsisten dalam situasi tertentu.

165 Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Petani dalam Berusahatani Mete Hubungan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap relatif cukup erat, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien konkordansi Kendall W yang menunjukkan tingkat kesepakatan tinggi dalam penjenjangan beberapa bidang kompetensi yang harus dikuasai petani dalam berusahatani mete. Petani mete dalam penelitian mengembangkan pengetahuan sejalan dengan sikap dan keterampilan mereka dalam berusahatani mete. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap hubungan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani dalam berusahatani mete yang cukup erat. Menurut Willis dan Samuel (Puspadi, 2003: 120) kemampuan secara fisik dan mental dapat muncul secara bersama pada saat menjalankan suatu tugas. Terdapat tiga jenis kemampuan menurut Klausmeier dan Goodwin (1966: 97-98) yaitu kemampuan kognitif, psikomotor dan kemampuan afektif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Sarwono (2002: ) mengemukakan, bahwa antara perilaku dan sikap manusia yang sesungguhnya dapat bersesuaian jika situasinya menghendaki hal tersebut. Hubungan tersebut berjalan secara timbal balik, oleh karena itu, untuk tujuan perubahan perilaku dalam suatu lembaga pendidikan atau pelatihan, strategi yang diambil akan lebih mudah. Pengamatan dilakukan terhadap perilaku, jika sikap yang lebih berpengaruh, perlu diadakan pendekatan tertentu seperti memberi penjelasan atau informasi untuk mengubah unsur kognisinya, dan sebaliknya jika unsur kognisi yang lebih kuat, perlu diadakan pendekatan terhadap subjek untuk mengubah sikap dan perilakunya.

166 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Mayoritas petani dalam penelitian ini berumur tua, berpendidikan formal SLTP atau yang sederajat, memiliki pengalaman cukup banyak, motivasi tinggi, berpendapatan tinggi, lahan yang luas, sedikit pohon mete, memiliki sedikit tanggungan keluarga, konsumsi media cukup tinggi, produksi mete rendah, cukup melakukan kontak dengan penyuluh, dan tidak pernah mengikuti pelatihan. 2. Kompetensi usahatani yang harus dikuasai atau dibentuk oleh petani adalah: a. Aspek pengetahuan yaitu: : (1) Teknologi pertanian, (2) Aspek tenaga kerja, (3) Kombinasi cabang usahatani Ternak, dan (4) Aspek modal. b. Aspek keterampilan yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3), Pemasaran hasil dan (4) Aspek modal. c. Aspek sikap yaitu: (1) Aspek tenaga kerja, (2) Teknologi pertanian, (3) Kombinasi cabang usahatani ternak, dan (4) Aspek modal. 3. Beberapa karakteristik petani mete yang menunjukkan hubungan nyata dengan kompetensi mereka adalah: (1) Umur, (2) Pendidikan formal, (3) Pengalaman berusahatani, (4) Motivasi, (5) Pendapatan, (6) Luas lahan usahatani, (7) Jumlah pohon mete, (8) Jumlah tanggungan keluarga, (9) Konsumsi media, (10) Produksi mete, dan (11) Kontak dengan penyuluh. Selain itu, terdapat hubungan nyata antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu

167 dibentuk/dikuasai petani dalam penjenjangan kedelapan bidang usahatani mete. Saran Sebagaimana kesimpulan di atas, dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Perlu adanya pelatihan dan penyuluhan tentang usahatani mete agar petani dapat meningkatkan kompetensinya sehingga mampu mengelola usahatani dengan baik dan produktif. 2. Hendaknya dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan diberikan topik sesuai dengan bidang yang kurang dikuasai petani. 3. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap beberapa karakteristik lain yang diduga berhubungan dengan kompetensi petani dalam berusahatani mete, seperti dukungan pemerintah, lingkungan sosial, ketersediaan sarana produksi, dan sarana transportasi.

168 DAFTAR PUSTAKA Buku Abustam, M. I Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Asian Institute of Journalism Media Komunikasi: Kasus dari Philippine. Editor: Oepen, M. dan Kingham. Penerjemah: Basalim, U. Jakarta: Guna Aksara. Asian Productivity Organization Group Farming in Asia and The Pacific. Tokyo, Japan: Report of an APO Study Meeting. Bishop, C.E. dan W.D. Toussaint Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Penerjemah: Wisnuadji, Harsojono, dan Suparmoko. Jakarta: Mutiara. Darsono Ekonomi Jambu mete. Editor: Saddhono, K. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat. Surakarta: Universitas Sebelas Maret dan Pustaka Cakra Surakarta. Efferson, J. N Principles of Farm Management. New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company, Inc. FAO Farming Systems Development: Guidelines For The Conduct Of a Training Course in Farming Systems Development. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. FAO and World Bank Farming System and Poverty. Improving Farmers Livelihoods in A Changing World. Rome and Washington D.C. Forster, G.W Farm Organization and Management. Third Edition. New York: Prentice-Hall, Inc. Halim, A. and M.M. Ali Training and Professional Development in Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Edited By: Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, and Andrew J. Sofranco. Rome: Food Agriculture Organization of the United Nations. Hardin, L.S. and F.P. King Better Farm Management. Turner E. Smith & Company. Atlanta, Georgia: Havighurst, R.J Developmental Tasks and Education. Third Edition. New York: David McKay Company, Inc. Hernanto, F Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.

169 Klausmeier, J.H. and W. Goodwin Learning and Human Abilities: Educational Psychology. Second Edition. NewYork and London: Published by Harper and Row. Lubis, M.Y Budidaya dan Pascapanen Jambu Mente. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Manullang, M Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Marzuki, Gunawan, dan Burhan, N Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Morgan, B., G.E. Holmes, and C.E. Bundy Methods in Adult Education. Second Edition. Published by The Interstate Printers & Publishers, Inc. Danville Illions. U.S.A: Published by The Interstate Printers & Publishers, Inc. Mosher, A.T Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Penerjemah: Krisnandhi dan Bahrin Samad. Jakarta: Yasaguna. Mulyasa Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nazir M Metode Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia. Oepen, M Development Support Communication in Indonesia. Guna Aksara. Jakarta: Padmowihardjo, S Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Pareek, U Perilaku Organisasi. Pedoman ke Arah Pemahaman Proses Komunikasi Antar Pribadi dan Motivasi Kerja. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Penny, D.H Kemiskinan. Peranan Sistem Pasar. Indonesia Press. Jakarta: Universitas Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Sistem Usahatani Tanaman Perkebunan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Puspadi, K Kualitas SDM Penyuluh Pertanian dan Pertanian Masa Depan di Indonesia dalam Membentuk Pola Perilaku Pembangunan. Editor: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: IPB Press.

170 Rismunandar Memperbaiki Lingkungan dengan Bercocoktanam Jambu Mede dan Advokat. Bandung: Sinar Baru. Rusell, B Pendidikan dan Tatanan Sosial. Penerjemah: Abadi, S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Salkind, N. J Theories of Human Development. Second Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sarwono, S.W Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sastrahidayat, I.R Jambu Mete (Anacardium occidentale) dan Masalahnya. Jakarta: Kalam Mulia. Schramm, W Media Besar Media Kecil: Alat dan Teknologi untuk Pendidikan. Penerjemah: Agafur. Semarang: IKIP Semarang Press. Sevilla C.G. dkk, Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press. Siagian, S.P Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Balai Pustaka. Siegel, S Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia Jakarta: Pustaka Utama. Singarimbun, M., dan S. Effendi Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3S. Slamet, M Membentuk Pola Perilaku Pembangunan. Editor: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: IPB Press. Soekartawi, A. Soeharjo, L. Dillon dan J. Hardaker Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Soekanto, S Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soeitoe, S Psikologi Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sudjana, N Teori-Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sugihen, B.T Sosiologi Pedesaan: Suatu Pengantar. Grafindo Persada. Jakarta: Raja Sukirno, S Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

171 Suparno, S Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Suriatna, S Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Melton Putra. Suryadi, R. dan R. Zaubin Sistem Usahatani Jambu Mente dalam Sistem Usahatani Tanaman Perkebunan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Syah, M Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Editor: Wardan, A.S. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tjakrawiralaksana, A. dan M.C. Soeriaatmadja Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tohir, K.A Seuntai Pengetahuan Tentang Usahatani Indonesia. Bina Aksara. Jakarta: Jakarta: Vaizey, J Pendidikan di Dunia Modern. Penerjemah: Murtini, L.P. Jakarta: Gunung Agung. van den Ban dan Hawkins Penyuluhan Pertanian. Penerjemah: Herdiasti, A.D. Yogyakarta: Kanisius. Wiriaatmadja, S Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Yasaguna. Wirosuhardjo, K Dasar-dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jurnal Suseno, K. S. W Peranan Komunikasi dalam Proses Pengambilan Keputusan Bisnis. Oryza : Elektronik Bank Indonesia Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kec il. Jurnal Informasi Usaha Kecil Menengah, Januari 2005 (jurnal on line); diperoleh dari Internet; diakses 26 April 2005.

172 BAPPENAS Teknologi Tepat Guna. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, April 2005; diperoleh dari Internet; diakses 26 April Darwis, V Agribisnis dan Organ isme Pengganggu Tanaman Jambu Mente pada Lahan Kering (Kasus Nusa Tenggara Barat). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, April 2005; diperoleh dari Internet; diakses 26 April Lasmahadi, A Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi. Jurnal Psikologi, Mei 2005; diperoleh dari Internet; diakses 3 Mei Tasmin, M.R.S Anakku Malas Belajar. Jurnal Psikologi, Mei 2005 (jurnal on line); diperoleh dari com/anak/ htm; Internet; diakses 31 Mei Widyarini, N Hidup Harus Bertujuan. Jurnal Psikologi, Mei 2005 (jurnal on line); diperoleh dari Internet; diakses 3 Mei 2005.

173 LAMPIRAN I PETA LOKASI PENELITIAN

174 PETA LOKASI PENELITIAN PETA SULAWESI PETA SULAWESI TENGGARA Kab. Bombana Lokasi Penelitian

HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN PENGETAHUAN MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN PENGETAHUAN MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 Juni 2006, Vol. 2, No. 2 HUBUNGAN SEJUMLAH KARAKTERISTIK PETANI METE DENGAN PENGETAHUAN MEREKA DALAM USAHATANI METE DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA (THE RELATIONSHIP

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai PENDAHULUAN Latar Belakang Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai aspek teknik budidaya rumput laut dan aspek manajerial usaha tani rumput laut. teknik manajemen usahatani.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Petani

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Petani 7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh individu yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan hidupnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI KEDELAI DENGAN KOMPETENSI BERUSAHATANI

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI KEDELAI DENGAN KOMPETENSI BERUSAHATANI HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI KEDELAI DENGAN KOMPETENSI BERUSAHATANI (Kasus: Petani Kedelai di Peudada Kabupaten Bireuen, NAD) HAYATUL FITRIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 HUBUNGAN

Lebih terperinci

JURNAL P ENYULUHAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOMPETENSI PETANI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA

JURNAL P ENYULUHAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOMPETENSI PETANI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 Maret 2008, Vol. 4 No. 1 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOMPETENSI PETANI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA (INFLUENCING FACTORS OF THE

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Kinerja berasal dari pengertian performance. Performance adalah hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN)

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) (Penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadamai 3 Bogor) NADIA JA FAR ABDAT

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PENGEMBANGAN MODAL USAHA KECIL DI BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT. Fini Murfiani

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PENGEMBANGAN MODAL USAHA KECIL DI BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT. Fini Murfiani KOMPETENSI PENYULUH DALAM PENGEMBANGAN MODAL USAHA KECIL DI BIDANG PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT Fini Murfiani SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

Empat Kompetensi Dasar Guru 1. PENGERTIAN Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara tegas

Empat Kompetensi Dasar Guru 1. PENGERTIAN Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara tegas Empat Kompetensi Dasar Guru 1. PENGERTIAN Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara tegas dinyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN)

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) (Penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadamai 3 Bogor) NADIA JA FAR ABDAT

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PENGARUH KEPEMIMPINAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Istilah penyuluhan telah dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN KOMPETENSI AGRIBISNIS PADA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN KOMPETENSI AGRIBISNIS PADA JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 September 2005, Vol. 1, No.1 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN KOMPETENSI AGRIBISNIS PADA USAHATANI SAYURAN DI KABUPATEN KEDIRI JAWA TIMUR Rini Sri Damihartini dan

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI (Kasus di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang NTT) IRIANUS REJEKI ROHI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 69 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini dimulai dengan pendapat Spencer dan Spencer (1993:9-10) menyatakan bahwa setiap kompetensi tampak pada individu dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving) Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berubahnya orientasi usahatani dapat dimaklumi karena tujuan untuk meningkatkan pendapatan merupakan konsekuensi dari semakin meningkatnya kebutuhan usahatani dan kebutuhan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SUMBER INFORMASI USAHATANI OLEH PETANI SAYURAN DI DESA WAIHERU KOTA AMBON

PEMANFAATAN SUMBER INFORMASI USAHATANI OLEH PETANI SAYURAN DI DESA WAIHERU KOTA AMBON PEMANFAATAN SUMBER INFORMASI USAHATANI OLEH PETANI SAYURAN DI DESA WAIHERU KOTA AMBON Risyat Alberth Far-Far Staf Pengajar Prodi Agribisnis FAPERTA UNPATI-AMBON, e-mail: - ABSTRAK Perilaku pemanfaatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

DIMENSI KOMPETENSI DAN PRODUKTIVITAS KERJA DIKANTOR PT JAMSOSTEK CABANG GORONTALO. ZUCHRI ABDUSSAMAD Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK

DIMENSI KOMPETENSI DAN PRODUKTIVITAS KERJA DIKANTOR PT JAMSOSTEK CABANG GORONTALO. ZUCHRI ABDUSSAMAD Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK DIMENSI KOMPETENSI DAN PRODUKTIVITAS KERJA DIKANTOR PT JAMSOSTEK CABANG GORONTALO ZUCHRI ABDUSSAMAD Universitas Negeri Gorontalo A. Pengantar ABSTRAK Produktivitas kerja dalam perusahaan merupakan hasil

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN JARINGAN KOMUNIKASI AGRIBISNIS PETANI IKAN HIAS (KASUS DI KABUPATEN BOGOR)

KEEFEKTIFAN JARINGAN KOMUNIKASI AGRIBISNIS PETANI IKAN HIAS (KASUS DI KABUPATEN BOGOR) KEEFEKTIFAN JARINGAN KOMUNIKASI AGRIBISNIS PETANI IKAN HIAS (KASUS DI KABUPATEN BOGOR) OLEH : KURNIA SUCI INDRANINGSIH PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KURNIA SUCI INDRANINGSIH.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ghita Fasya Azuar, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ghita Fasya Azuar, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN Pada penyajian BAB I akan memaparkan mengenai pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian yang akan dilaksanakan. Bagian pendahuluan ini memaparkan mengenai latar belakang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan untuk sumber pangan, pakan ternak, sampai untuk bahan baku berbagai industri manufaktur dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Guna meningkatkan pendapatan, pembudidaya rumput laut perlu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Guna meningkatkan pendapatan, pembudidaya rumput laut perlu PENDAHULUAN Latar Belakang Guna meningkatkan pendapatan, pembudidaya rumput laut perlu mengembangkan kompetensinya. Kompetensi merupakan karakteristik mendalam dan terukur pada diri seseorang, dan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan memiliki akhlak, moral, ataupun etika yang baik sehingga. manusia akan mampu merekonstruksi pola pikirnya.

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan memiliki akhlak, moral, ataupun etika yang baik sehingga. manusia akan mampu merekonstruksi pola pikirnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan icon fundamental dalam rangka membenahi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan pendidikan, manusia akan memiliki akhlak, moral, ataupun

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik Individu 6.1.1. Umur BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 orang dan berada pada rentang usia 40 sampai 67 tahun. Sebaran responden hampir

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Populasi dan Sampel

METODE PENELITIAN. Populasi dan Sampel 33 METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah petani kedelai di Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada

Lebih terperinci

METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI

METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI METODE PERCOBAAN EKONOMI UNTUK MENGKAJI SISTEM PEMBIAYAAN DI PERBANKAN NOVIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI EKONOMI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN MELALUI PENERAPAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI KOTA BENGKULU ABSTRAK PENDAHULUAN

STUDI EKONOMI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN MELALUI PENERAPAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI KOTA BENGKULU ABSTRAK PENDAHULUAN STUDI EKONOMI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN MELALUI PENERAPAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI KOTA BENGKULU Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

PERSEPSI PETANI TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN

PERSEPSI PETANI TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN PERSEPSI PETANI TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN (Kasus Petani Sayuran Peserta Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Desa Sindang Jaya Kecamatan Cipanas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sangat mengandalkan sektor pertanian dan sektor pengolahan hasil pertanian sebagai mata pencarian pokok masyarakatnya. Sektor

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENYULUH DAN ADOPSI TEKNOLOGI OLEH PETANI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN TASIKMALAYA

HUBUNGAN ANTARA PERAN PENYULUH DAN ADOPSI TEKNOLOGI OLEH PETANI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN TASIKMALAYA HUBUNGAN ANTARA PERAN PENYULUH DAN ADOPSI TEKNOLOGI OLEH PETANI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN TASIKMALAYA Oleh: Tri Ratna Saridewi 1 dan Amelia Nani Siregar 2 1 Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan

Lebih terperinci

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi Produk total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika jumlah semua input kecuali satu faktor

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan, dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Herfina (2006), Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pengaruhnya

BAB II URAIAN TEORITIS. Herfina (2006), Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pengaruhnya BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Herfina (2006), Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kinerja di Balai Ternak Embrio Bogor. Hasil penelitian ini menunjukkan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN AKTIVITAS KOMUNIKASI DENGAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN JAKARTA SELATAN USMIZA ASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta TINJAUAN PUSTAKA Monokultur Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan Negara (UUSPN No.20 tahun 2003).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan Negara (UUSPN No.20 tahun 2003). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERNET DAN CD ROM OLEH PENELITI DAN PEREKAYASA BADAN LITBANG PERTANIAN OLEH: INTAN YUDIA NIRMALA

PEMANFAATAN INTERNET DAN CD ROM OLEH PENELITI DAN PEREKAYASA BADAN LITBANG PERTANIAN OLEH: INTAN YUDIA NIRMALA PEMANFAATAN INTERNET DAN CD ROM OLEH PENELITI DAN PEREKAYASA BADAN LITBANG PERTANIAN OLEH: INTAN YUDIA NIRMALA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses yang dapat mengubah obyeknya. Pendidikan nasional harus dapat mempertebal iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting. Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan hasil alam, kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk. Masalah yang timbul adalah faktor apa yang mendasari proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk. Masalah yang timbul adalah faktor apa yang mendasari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemakmuran suatu negara bisa dinilai dari kemampuan negara tersebut untuk menghasilkan barang dan jasa yang berguna dan mendistribusikannya ke seluruh penduduk.

Lebih terperinci

ANALISIS KREDIT UKM BERMASALAH PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) KANTOR CABANG "X"

ANALISIS KREDIT UKM BERMASALAH PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) KANTOR CABANG X ANALISIS KREDIT UKM BERMASALAH PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) KANTOR CABANG "X" Oleh : B u s t o m i PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI PAEDAGOGIK GURU DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN PENDAMPINGAN ( MENTORING)

UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI PAEDAGOGIK GURU DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN PENDAMPINGAN ( MENTORING) UPAYA MENINGKATKAN KOMPETENSI PAEDAGOGIK GURU DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MELALUI KEGIATAN PENDAMPINGAN ( MENTORING) ELVI MAILANI Dosen Jurusan PPSD Prodi PGSD FIP Unimed Email: malyanisari_sitepu@yahoo.com

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal untuk melayani kebutuhan pendidikan masyarakat dalam rangka meningkatkan pengetahuan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Petani. yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Petani. yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Karakteristik individu merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian 5 TINJAUAN PUSTAKA Pertanian organik Pertanian organik meliputi dua definisi, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian sempit, pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi TINJAUAN PUSTAKA Padi Sebagai Bahan Makanan Pokok Padi adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah

Lebih terperinci

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat AGUSTINA MULTI PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya perkembangan IPTEK pada era globalisasi sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta )

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta ) HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta ) SKRIPSI SETYO UTOMO PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar 5 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar 2.1.1 Pengertian Belajar Dalam proses pembelajaran, berhasil tidaknya pencapaian tujuan banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majunya perkembangan IPTEK pada era globalisasi sekarang ini membuat dunia terasa semakin sempit karena segala sesuatunya dapat dijangkau dengan sangat mudah.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Teori Adopsi dan Difusi Inovasi Inovasi menurut Rogers (1983) merupakan suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau kelompok pengadopsi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah secara

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan sebagai suatu wadah dalam menyiapkan generasi bangsa yang mempunyai kemampuan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Manajemen sumber daya manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sumber daya manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Belajar dan Pembelajaran 2.1.1 Konsep Belajar 2.1.1.1 Pengertian Belajar Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan lingkungan. Hamalik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu tujuan mata pelajaran fisika di SMA menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 adalah sebagai wahana atau sarana untuk melatih para siswa agar dapat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Pengertian Usahatani Rifai (1973) dalam Purba (1989) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian dari faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen,

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK (Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) Oleh: MENDEZ FARDIAZ A14202050

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan sumberdaya alam tersebut salah satunya tercurah pada sektor pertanian. Berbagai macam komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa akhir anak-anak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba

BAB I PENDAHULUAN. Masa akhir anak-anak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa akhir anak-anak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Dimana biasanya anak mulai memasuki dunia

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Karena keberhasilan pendidikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Karena keberhasilan pendidikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena keberhasilan pendidikan sebagai faktor penentu tercapainya tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak lepas dan tidak akan lepas dari pendidikan, karena pendidikan berfungsi untuk meningkatkan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan komoditas unggulan nasional dan daerah, karena merupakan komoditas ekspor non migas yang berfungsi ganda yaitu sebagai sumber devisa negara dan menunjang Pendapatan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. sifat-sifat bumi, menganalisa gejala-gejala alam dan penduduk, serta mempelajari corak khas

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. sifat-sifat bumi, menganalisa gejala-gejala alam dan penduduk, serta mempelajari corak khas II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah merupakan ilmu pengetahuan yang mencitrakan (to describe), menerangkan sifat-sifat bumi, menganalisa gejala-gejala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tahun jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ini dikarenakan angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian. Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT MUTU PELAYANAN WISATA MANCING FISHING VALLEY BOGOR

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT MUTU PELAYANAN WISATA MANCING FISHING VALLEY BOGOR ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT MUTU PELAYANAN WISATA MANCING FISHING VALLEY BOGOR Oleh : Dini Vidya A14104008 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI TENAGA KERJA DALAM KELUARGA UNTUK PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS POTENSI TENAGA KERJA DALAM KELUARGA UNTUK PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG ANALISIS POTENSI TENAGA KERJA DALAM KELUARGA UNTUK PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG SKRIPSI AYU PRIHARDHINI SEPTIANINGRUM PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: DAVID ERICK HASIAN A 14105524 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI

EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI EVALUASI IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT PADA LAYANAN PERIZINAN DI KEMENTERIAN PERTANIAN RI Oleh : Ongki Wiratno PROGRAM STUDI MAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 @ Hak cipta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi dan semakin terbukanya pasar dunia, Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin luas dan berat. Ketidakmampuan dalam meningkatkan

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci