MEMPELAJARI PERILAKU FRAKSINASI KERING DAN KINETIKA KRISTALISASI MINYAK KELAPA MURSALIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEMPELAJARI PERILAKU FRAKSINASI KERING DAN KINETIKA KRISTALISASI MINYAK KELAPA MURSALIN"

Transkripsi

1 MEMPELAJARI PERILAKU FRAKSINASI KERING DAN KINETIKA KRISTALISASI MINYAK KELAPA MURSALIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2013 Mursalin NIM F

4

5 SUMMARY MURSALIN. Study on Dry Fractionation Behaviour and Crystallization Kinetics of Coconut Oil. Supervised by PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN, DEDI FARDIAZ and EKO HARI PURNOMO. Dry fractionation of oils consists of two stages, namely crystallization to produce solid crystals in a liquid matrices and filtration to separate the crystals formed from a liquid matrix. Changes that occur at the molecular level during the crystallisation process such as nucleation, crystall growth and changes in the phase behavior (folymorphism, solid-solutions). The overall changes at the molecular level is highly influenced by the treatment at the physical level in the form of heat removal. Methods of cooling (crystallization temperature, cooling rate and duration of the crystallization is applied) will largely determine the success of coconut oil fractionation process. This research aims to study the typical fractionation method for coconut oil at pilot plant scale (120 kg) and identify the conditions and essential requirements that must be managed and maintained in a dry fractionation stages of coconut oil; establish the crucial cooling systems in the dry fractionation of coconut oil as a guide in designing practical coconut oil fractionation; establish an effective cooling procedure to produce coconut oil fractions with a high content of MCT; determine the effect of cooling rate and crystallization temperature on the composition and profile of TAG, the kinetics of crystallization and melting properties of coconut oil fractionation products ; determine the relationship (model equations) between the parameters of fractionation with cooling procedure during the crystallization process, to predict the TAG composition, physical and thermal-mechanical properties of fractions produced. Coconut oil is dominant with lauric (C12:O), miristic (C14:0) and caprilic (C8:0)acid which composed the main trilaurin (LaLaLa), caprodilaurin (CaLaLa) and dilauromiristin (LaLaM) TAG. The content of lauric, miristic and caprilic acid in coconut oil are 51.73; and 10.61%, respectively; while LaLaLa, CaLaLa and LaLaM TAG are 20.43; and 15.38%, respectively. Coconut oil contains medium chain trigliserides (MCT) of 53.71%, trisaturated (St3) of 82.54%, disaturated (St2U) of 14:24%, monosaturated (StU2) of 3:22% and the proportion of high/low-melting TAG (S/L) by 49.25%. Coconut oil has a high SFC at low temperatures and a sharp decline to a temperature of 25 C and then constant up to a temperature of about 30 ºC. Coconut oil s SFC with about 32% was measured in temperature interval C, indicating that coconut oil has a good spreadibility at ambient temperature for countries that have 4 seasons. Coconut oil has SMP ranged between C, the water content of 0.021% and a free fatty acid content of 0.018%. Our study showed that there were three distinct cooling regimes critical to crystallization process, i.e. initial cooling, critical cooling and crystallization regime. Initial cooling was cooling from certain temperature that the oil has been rejuvenated and there was no more crystalized TAG (in this study rejuvenation was done at 70 o C for 10 minutes) to the onzet of oil crystallization temperature. For coconut oil the onzet of crystallization temperature was found at 29 o C.

6 Critical cooling was cooling from the onzet of crystallization temperature (29 C) to crystallization temperature. We predicted that during the critical cooling regime the crystal nucleation process was intensively occured (propagation). Crystallization regime was cooling to keep the oil temperature constant at predetermined crystallization temperature. It is estimated that crystallization regime was the stage of crystal nuclei merging to form larger crystals (crystal growth). In the first regime, melted coconut oil might be cooled quickly to save time but in the second regime should be done with a cooling rate of less than C/min to produce physically stable crystal. Oil with high MCT content could be obtained from olein fraction of coconut oil. At the crystallization temperature C for the critical cooling rate between to C/min, the higher MCT content of olein fraction were produced by the lower critical cooling rate and the longer crystallization process. Critical cooling rate has positive correlation with the S/L ratio, the content of St3 and SFC profile of olein fraction but has negative correlation with the content of St2U and StU2 TAG. Interval crystallization temperature between to C produced the S/L ratio, the content of St3 TAG and SFC profiles of olein fractions lower and the content of St2U and StU2 TAG higher than the temperature interval below or above it. Coconut oil fractionation more effective in hihger crystallization temperature or lower critical cooling rate. In these cooling treatments, St3 TAG which has high melting point would be concentrated at stearin fraction, while St2U and StU2 TAG and MCT would be at olein fraction. Therefore, it will increase melting properties of stearin fraction and decrease olein fraction. Avrami and Gompertz models are able to quantitatively describe coconut oil crystallization kinetics. Lower critical cooling rate decreases Avrami index, crystallization half time and induction time but increases crystallization rate constant and maximum increase rate in crystallization. Crystallization temperature has positive correlation with the crystallization rate contstant and Avrami index but has negative correlation with induction time and maximum increase rate in crystallization. Critical cooling rates and crystallization temperatures only effected on the thermodynamics and crystallization kinetics of coconut oil but not on its polymorphic occurrence. This study had successfully obtained a typical dry fractionation for coconut oil at pilot plant scale (120 kg) and had resulted in an effective cooling procedure to produce oil fractions with physico-chemical properties as expected. Conditions and essential requirements that must be managed and maintained in a dry fractionation stages of coconut oil had been identified and were known, so the fractionation process for specific purposes have been able to be designed practically.

7 RINGKASAN MURSALIN. Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN, DEDI FARDIAZ dan EKO HARI PURNOMO. Fraksinasi kering minyak terdiri dari dua tahap, yaitu kristalisasi untuk menghasilkan kristal padat dalam suatu maktriks cair dan filtrasi untuk memisahkan kristal yang terbentuk tersebut dari matriks cair. Perubahan yang terjadi di tingkat molekuler selama proses kristalisasi lemak diantaranya adalah pembentukan inti (nucleation), pembesaran inti (growth) dan perubahan perilaku fase (folymorphism, solid solutions). Keseluruhan perubahan di tingkat molekuler ini sangat dipengaruhi oleh perlakuan di tingkat fisik berupa penghilangan panas. Metode pendinginan (suhu dingin, laju penurunan suhu dan lamanya proses pendinginan yang diterapkan) akan sangat menentukan keberhasilan proses fraksinasi minyak kelapa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada skala pilot plant (120 kg) dan mengidentifikasi kondisi dan persyaratan-persyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahap-tahap fraksinasi kering minyak kelapa; menetapkan sistem pendinginan yang krusial dalam fraksinasi kering minyak kelapa untuk digunakan sebagai panduan dalam merancang proses fraksinasi minyak kelapa secara lebih praktis; menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi minyak kelapa dengan kandungan MCT tinggi; mengetahui pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap perubahan komposisi dan profil TAG, kinetika kristalisasi dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa; mengetahui hubungan (model persamaan matematika) antara berbagai parameter fraksinasi minyak kelapa dengan prosedur pendinginan selama proses kristalisasi (laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi), yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi kimia, sifat fisik dan termal-mekanis produk akhir di masing-masing fraksi stearin maupun olein. Minyak kelapa dominan dengan asam lemak laurat (51.73%), miristat (15.57%) dan kaprilat (10.61%) dengan komposisi TAG utama LaLaLa (20.43%), CaLaLa (16.23%) dan LaLaM (15.38%). Minyak kelapa mengandung Medium Chain Trigliserides (MCT) sebesar 53.71%, TAG trisaturated (St3) sebesar 82.54%, disaturated (St2U) sebesar 14.24%, monosaturated (StU2) sebesar 3.22% dan dengan proporsi TAG bertitik leleh tinggi/rendah (S/L) sebesar 49%. Minyak kelapa memiliki titik leleh (SMP) berkisar antara suhu C, kadar air sebesar 0.021% dan kadar asam lemak bebas sebesar 0.018%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga tahap pendinginan yang merupakan faktor kunci keberhasilan proses kristalisasi minyak kelapa yaitu pendinginan awal, pendinginan kritis dan tahap kristalisasi. Pendinginan awal adalah pendinginan dari suhu tertentu dimana minyak telah mengalami rejuvenasi dan tidak lagi mengandung TAG dalam bentuk kristal (pada penelitian ini rejuvenasi dilakukan pada suhu 70 o C selama 10 menit) hingga suhu dimana minyak mulai mengalami kristalisasi (terbentuknya inti kristal pertama). Untuk minyak kelapa pembentukan inti kristal pertama terjadi pada suhu 29 o C.

8 Pendinginan kritis adalah pendinginan dari suhu terjadinya pembentukan inti kristal pertama (29 o C) hingga suhu kristalisasi. Diduga pada tahap pendinginan kritis ini terjadi peningkatan intensitas pembentukan inti kristal (propagasi). Tahap kristalisasi adalah pendinginan untuk menjaga suhu minyak konstan pada suhu kristalisasi yang telah ditetapkan. Diperkirakan pada tahap kristalisasi ini terjadi penggabungan inti kristal membentuk kristal yang lebih besar (pertumbuhan kristal). Pada tahap pertama minyak kelapa dapat didinginkan secepat mungkin untuk menurunkan waktu proses tetapi pada tahap kedua harus dilaksanakan dengan laju pendinginan lambat (kurang dari C/menit) untuk menghasilkan kristal yang berukuran besar dan tidak mudah meleleh. Minyak dengan kandungan MCT tinggi dapat diperoleh dari fraksi olein minyak kelapa. Pada perlakuan suhu kristalisasi C untuk laju pendinginan kritis antara hingga C/menit, semakin rendah laju pendinginan kritis dan semakin lama proses kristalisasi maka kandungan MCT fraksi olein yang dihasilkan akan semakin tinggi. Laju pendinginan kritis berkorelasi positif dengan proporsi S/L, kandungan St3 dan profil SFC tetapi berbanding terbalik dengan kandungan St2U dan StU2 fraksi olein. Interval suhu kristalisasi antara 21,30-21,73 C menghasilkan proporsi S/L, St3 dan profil SFC fraksi olein lebih rendah dan kandungan St2U serta StU2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu di bawah atau di atasnya. Fraksinasi minyak kelapa terjadi lebih efektif pada suhu kristalisasi yang tinggi dan atau pada laju pendinginan kritis yang rendah. Pada perlakuan pendinginan ini, St3 yang bertitik leleh tinggi akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin sedangkan St2U, StU2 dan MCT akan lebih terkonsentrasi pada fraksi olein, sehingga akan meningkatkan sifat leleh fraksi stearin dan menurunkan sifat leleh fraksi olein. Model Avrami dan Gompertz baik digunakan untuk menjelaskan kinetika kristalisasi minyak kelapa. Kedua model ini memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan hasil percobaan dalam penelitian. Laju pendinginan kritis yang rendah akan menghasilkan indeks Avrami, waktu paruh kristalisasi dan waktu induksi yang juga rendah tetapi akan menghasilkan laju pertumbuhan kristal, fraksi lemak padat maksimal dan laju pertumbuhan kristal maksimal yang tinggi. Suhu kristalisasi minyak kelapa berkorelasi positif dengan indeks Avrami dan laju kristalisasi tetapi berkorelasi negatif dengan fraksi lemak padat maksimal. Laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi hanya berpengaruh terhadap termodinamika dan kinetika kristalisasi minyak kelapa tetapi tidak berpengaruh terhadap pembentukan polimorfisnya. Penelitian ini telah berhasil memperoleh metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada skala pilot plant (120 kg) dan telah menghasilkan prosedur pendinginan yang efektif sehingga dapat dihasilkan produk fraksinasi berupa fraksi minyak dengan sifat fisiko-kimia sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi dan persyaratan-persyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahap-tahap fraksinasi kering minyak kelapa telah dapat diidentifikasi dan diketahui, sehingga proses fraksinasi untuk tujuan tertentu telah dapat didisain secara praktis.

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10

11 MEMPELAJARI PERILAKU FRAKSINASI KERING DAN KINETIKA KRISTALISASI MINYAK KELAPA MURSALIN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, M.S. Dr.Nur Wulandari, STP.,M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Joni Munarso, M.S. Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si.

13 Judul Penelitian Nama NRP Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa Mursalin F dan Disetujui Komisi Pembimbing adi M.Sc. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. Prof. Dr. Ir uri Andarwulan M.Si. Anggota Anggota Dr. Eko Hari Pumomo, STP, M.Sc. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Tanggal Ujian: 25 Juni 2013 Tanggal Lulus: '2 B JUl 2813

14 Judul Penelitian : Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa Nama : Mursalin NRP : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. Anggota Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Anggota Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 25 Juni 2013 Tanggal Lulus:

15

16 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan hidayah-nya sehingga disertasi yang berjudul Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa berhasil diselesaikan. Disertasi ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian yang dibiayai oleh DP2M DIKTI melalui program Hibah Doktor Tahun Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Food Review Indonesia 7(9): 28-32, Jurnal Penelitian Tanaman Industri (LITTRI) 19(1):41-49, Journal of Food Science and Technology (submitted) serta dipresentasikan secara oral maupun dalam bentuk poster pada seminar-seminar nasional. Penulis juga memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Kementerian Pendidikan Nasional. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc, dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc., selaku pembimbing atas segala arahan, masukan, nasihat, dukungan, dorongan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, M.S. dan Ibu Dr. Nur Wulandari, STP., M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Dr. Ir. Joni Munarso, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini. Penghargaan dan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dan Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Rektor Universitas Jambi, Dekan Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi program doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Tjahya Muhandri, STP.,M.T., Abah Karna, Mba Yane dan seluruh staf dan karyawan SEAFAST Center IPB serta Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian, serta teman-teman dari Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB serta rekan-rekan sejawat dari Universitas Jambi, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Akhirnya ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ubak (Murod), Umak (Zainab), istri (Eva Achmad), anak (Hanifah A.M. dan Faiza A.M), bapak dan ibu mertua (almarhum), Minak Aman, Kiay Kamal, Yus, Am, Rita, Bangsawan, Kak Gafri, Kak Is, Da Vet, Da Im, Kak Indra, Uni Inen, Uni Ita, Uni Erni, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2013 Mursalin

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xxiii DAFTAR GAMBAR xxv DAFTAR SINGKATAN xxix DAFTAR SIMBOL xxxi DAFTAR ISTILAH xxxiii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 4 Ruang Lingkup Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Minyak Kelapa 7 Fraksinasi Minyak 12 Kristalisasi Minyak 13 Miscibility, Intersolubility dan Polimorfisme 17 Pengaruh Suhu dan Lama Proses Kristalisasi 19 Kinetika Kristalisasi Lemak 24 Filtrasi Fraksi Padat-Cair Hasil Fraksinasi 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 29 Tempat dan Waktu 29 Bahan dan Alat 29 Pelaksanaan Penelitian 29 4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 33 Abstract 33 Abstrak 34 Pendahuluan 34 Bahan dan Metode 37 Hasil dan Pembahasan 39 Komposisi Asam Lemak RBDCNO 39 Profil TAG 42 Profil SFC 45 Profil SMP 46 Kadar Air dan Kadar Asam Lemak Bebas 47 Kesimpulan 47 Daftar Pustaka 47

18 5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI MENENGAH 51 Abstract 51 Abstrak 52 Pendahuluan 52 Metode Penelitian 53 Hasil dan Pembahasan 55 Stabilitas Kristal Minyak Kelapa 56 Diameter Kristal Minyak Kelapa 57 Pola Pembentukan Stearin Minyak Kelapa selama Kristalisasi 59 Pola Perubahan Kandungan MCT Produk Fraksinasi Minyak Kelapa selama Kristalisasi 61 Kesimpulan 62 Ucapan Terima Kasih 63 Daftar Pustaka 63 6 PENGARUH LAJU PENDINGINAN, SUHU DAN LAMA KRISTALISASI TERHADAP PROFIL TRIASILGLISEROL DAN SIFAT MELTING PRODUK FRAKSINASI MINYAK KELAPA 65 Abstract 65 Abstrak 66 Pendahuluan 66 Bahan dan Metode 68 Hasil dan Pembahasan 68 Pola Perubahan Profil TAG berdasarkan Proporsi S/L 70 Pola Perubahan Kandungan TAG St3 pada Fraksi Olein Minyak Kelapa 70 Pola Perubahan Kandungan TAG St2U pada Fraksi Olein Minyak Kelapa 72 Pola Perubahan Kandungan TAG StU2 pada Fraksi Olein Minyak Kelapa 73 Pola Perubahan Profil SFC Produk Fraksinasi Minyak Kelapa 75 Kesimpulan 76 Ucapan Terima Kasih 77 Daftar Pustaka 77 7 EFFECT OF COOLING RATES AND CRYSTALLIZATION TEMPERATURE ON CRYSTALLIZATION KINETICS OF COCONUT OIL 79 Abstract 79 Introduction 80 Materials and Methods 82 Results and Discussion 83 Avrami index, Crystallization Rate Constant and Half-time Crystallization 83

19 Induction Time, Maximum Increase Rate in Crystallization, and Crystal Polymorphism Type of Coconut Oil 86 Conclusion 90 Acknowledgements 90 References 90 8 PEMBAHASAN UMUM 93 Karakteristik Minyak Kelapa 93 Komposisi Asam lemak 93 Komposisi TAG 94 Profil SFC dan SMP 95 Pendinginan dan Kristalisasi Minyak Kelapa 96 Pengaruh Pendinginan pada Fraksinasi Kering Minyak Kelapa 97 Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa KESIMPULAN DAN SARAN 107 Kesimpulan 107 Saran 108 DAFTAR PUSTAKA 109 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP 121

20

21 DAFTAR TABEL Nomor Tabel Halaman 2.1. Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak kelapa Berat molekul dan titik cair beberapa asam lemak penyusun minyak kelapa Jenis dan komposisi trigliserida penyusun minyak kelapa Berbagai kelarutan dan supercooling dengan radius kristal-kristal trigliserida Perbandingan jumlah stearin yang dihasilkan; bilangan iod, titik leleh dan viskositas masing-masing fraksi, waktu filtrasi dan kandungan lemak padat stearin pada dua jenis program pendinginan yang diterapkan Standar mutu minyak goreng kelapa (SNI ) Perhitungan RF untuk 15 jenis asam lemak standar eksternal yang digunakan Komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC Perbandingan komposisi asam lemak minyak kelapa dari berbagai sumber Hasil identifikasi waktu retensi dan jenis TAG pada standar RBDPKO Komposisi TAG (%) minyak kelapa dan nilai ECN masingmasing jenis TAG Waktu retensi, ECN, jenis dan konsentrasi masing-masing TAG minyak kelapa Crystallization induction time of palm oil at different treatment of critical cooling rate and crystallization temperature Komposisi asam lemak minyak kelapa Komposisi TAG minyak kelapa Profil SFC dan SMP minyak kelapa Prediksi perubahan kandungan MCT fraksi olein minyak kelapa sepanjang waktu kristalisasi Perubahan konsentrasi masing-masing jenis TAG minyak kelapa selama fraksinasi 99

22

23 DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Halaman 2.1. Bahan baku oleokimia dan turunannya Diagram skematis proses fraksinasi, faktor-faktor indikasi yang penting pada setiap tahap Diagram fase skematik sederhana yang mengilustrasikan prinsip-prinsip fraksinasi Diagram jenuh-super jenuh untuk kristalisasi minyak kedelai Diagram jenuh dan superjenuh dalam proses kristalisasi minyak sawit Representasi skematis dari (a) profil hubungan suhu minyak dan (b) profil air pendingin secara terpisah, pada pelaksanaan fraksinasi kering Skema moleculer packing pada sistem lemak trigliserida, ilustrasi α, β, dan β Prosentase kristal DHSA pada tiga tingkat suhu kristalisasi Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit dengan fraksi oleinnya sebagai fungsi dari temperatur Minyak sawit tinggi oleat yang dihasilkan dan kandungan lemak padat campuran olein dan stearin pada berbagai suhu fraksinasi Kandungan lemak padat minyak sawit tinggi oleat dan produkproduk fraksinasinya Perbandingan jumlah kristal yang dihasilkan dari dua model pendinginan Kurva distribusi ukuran kristal untuk pendinginan alami dan terkontrol Ilustrasi penentuan parameter dalam Model Gompertz Diagram alir pelaksanaan penelitian Kromatogram komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC Kromatogram standar RBDPKO Kromatogram minyak kelapa hasil analisis HPLC Nilai SFC minyak kelapa sebagai fungsi dari suhu Skema kristalisator yang digunakan Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi Hubungan antara lama kristalisasi dan stabilitas kristal minyak kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (a); Pengaruh laju pendinginan kritis terhadap stabilitas kristal minyak kelapa (b) Pengaruh laju pendinginan kritis terhadap diameter kristal minyak kelapa (a); Hubungan antara lama kristalisasi dan diameter kristal minyak kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (b) Pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap ukuran kristal minyak kelapa Hubungan antara lama kristalisasi dan pembentukan stearin minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 60

24 5.7 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan MCT fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan tiga kelompok suhu kristalisasi (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St3 fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St2U fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan StU2 fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b) Profil SFC minyak kelapa sebelum difraksinasi beserta dengan fraksi olein (a) dan fraksi stearin (b) yang dihasilkan dari tiga jenis laju pendinginan kritis Profil SFC minyak kelapa sebelum difraksinasi beserta dengan fraksi olein (a) dan fraksi stearin (b) yang dihasilkan dari tiga interval suhu kristalisasi Illustration of parameters determination in the Gompertz model Plot of the experiments results with linear equation of Avrami model on four different critical cooling rate (a) and four different crystallization temperatures (b) Relationship between Avrami index with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b); v c = critical cooling rate; T Cr = temperature of crystallization; n = Avrami index Relationship between crystal growth rate with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b), the relationship between critical cooling rate with a half-time crystallization (c), the relationship between critical cooling rate and crystallization temperature of the maximum solid fraction that can be achieved (d) Plot the experiments results with the Gompertz equation on four critical cooling rate (a) and four different crystallization temperatures (b) coconut oil; v c = critical cooling rate; T Cr = crystallization temperature Relationship between the induction time with the critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b) Relationship between maximum rate of crystal growth with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b) Nucleation curve of coconut oil Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi 96

25 8.2 Perubahan kromatogram profil TAG minyak kelapa sebelum fraksinasi (A), fraksi olein (B) dan fraksi stearin (C), 3 peak pertama masing-masing adalah CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa; tiga peak yang dilingkari masing-masing adalah LaLaM, LaMP dan LaMM Hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa dengan stabilitas kristalnya Hubungan antara proporsi distribusi TAG bertitik leleh tinggi dengan nilai SFC fraksi olein minyak kelapa pada berbagai suhu pengukuran Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi untuk laju pendinginan kritis (oc/menit) kurang dari (a), antara (b), lebih dari (c); dan suhu kristalisasi (oc) antara (d); antara (e); antara (f); OL = olein; ST = stearin; vc = laju pendinginan kritis; TCr = suhu kristalisasi Profil MCT minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi Skema prosedur pendinginan efektif untuk menghasilkan fraksi minyak (olein) dengan kandungan MCT tinggi pada fraksinasi kering minyak kelapa 105

26

27 DAFTAR SINGKATAN ALB AOCS BF CB CBA CBE CBR CBS CPO DAG DHSA ECN FAME FFA GC HPLC hpmf IUPAC L La LCFA Ln Mi MAG MCFA MCT MUFA NMR O P : Asam Lemak Bebas : American Oil Chemists Society : Sebelum Fraksinasi : Cocoa Butter : Cocoa Butter Alternatives : Cocoa Butter Equivalents : Cocoa Butter Replacers : Cocoa Butter Substitutes : Crude Palm Oil : Diasilgliserol : Dihydroksi Stearic Acid : Equivalent Carbon Number : Fatty Acids Methyl Ester : Free Fatty Acids : Gas Chromatography : High Performance Liquid Chromatography : hard Palm Mid Fraction : International Union of Pure and Applied Chemistry : Asam Linoleat (C18:2) : Asam Laurat (C12:0) : Long Chain Fatty Acids : Asam Linolenat (C18:3) : Asam Miristat (C14:0) : Monoasilgliserol : Medium Chain Fatty Acids : Medium Chain Triglycerides : Monounsaturated Fatty Acids : Nuclear Magnetic Resonance : Asam Oleat (C18:1) : Asam Palmitat (C16:0)

28 PMF PUFA RBDPO RBDCNO S SF SFC SMP spmf St StFA TAG U : Palm Mid Fraction : Polyunsaturated Fatty Acids : Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil : Refined, Bleached, Deodorized Coconut Oil : Asam Stearat (C18:0) : Sesudah Fraksinasi : Solid Fat Content : Slip Melting Point : soft Palm Mid Fraction : Asam Lemak Jenuh (Saturated) : Saturated Fatty Acids : Triasilgliserol : Asam Lemak Tidak Jenuh (Unsaturated)

29 DAFTAR SIMBOL A : Salah satu parameter di model Gompertz yang menunjukkan nilai fraksi padat maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak e : Bilangan natural yang bernilai F : Salah satu parameter di model Avrami dan Gompertz yang menunjukkan nilai fraksi padat suatu minyak pada suhu tertentu. Fmax/Fmaks : Fraksi padat maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak, pada parameter persamaan Avrami dan Gompertz. n Smax 2 St2U St3 StU2 t t 1/2 T Cr t Cr U3 v c v i : Salah satu parameter dalam model Avrami (indeks Avrami) yang mendeskripsikan mekanisme pembentukan inti kristal minyak selama proses kristalisasi. : Simbol yang menggambarkan nilai fraksi padat maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak, pada parameter persamaan Gompertz dalam bentuk lain. : Triasilgliserol yang tersusun atas dua jenis asam lemak jenuh dan satu jenis asam lemak tak jenuh. : Triasilgliserol yang tersusun atas tiga jenis asam lemak jenuh. : Triasilgliserol yang tersusun atas satu jenis asam lemak jenuh dan dua jenis asam lemak tak jenuh. : Waktu (menit) yang menunjukkan lamanya proses pendinginan minyak dalam proses kristalisasi : Waktu paruh proses kristalisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai separuh dari jumlah kristal maksimum yang dapat diperoleh. : Suhu kristalisasi yang diterapkan dalam proses kristalisasi dan fraksinasi minyak : Waktu kristalisasi, yaitu lamanya proses kristalisasi minyak berlangsung terhitung sejak minyak mencapai suhu kristalisasi yang ditetapkan. : Triasilgliserol yang tersusun atas tiga jenis asam lemak tak jenuh. : Laju pendinginan kritis, yaitu laju pendinginan minyak saat berada di tahap dua berdasarkan kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi. : Laju pendinginan awal, yaitu laju pendinginan minyak saat berada di tahap satu berdasarkan kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi.

30 z λ 2 μ 2 τ : Salah satu parameter model Avrami yang mendiskripsikan konstanta laju pertumbuhan kristal. : Salah satu parameter model Gompertz yang merupakan titik potong garis singgung kurva persamaan Gompertz dengan sumbu x dan digunakan sebagai nilai hampiran untuk menentukan waktu induksi kristalisasi minyak. : Salah satu parameter model Gompertz yang merupakan nilai tangen dari garis singgung kurva persamaan Gompertz yang memotong sumbu x. : Waktu induksi kristalisasi minyak, yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan oleh minyak untuk mengkristal (masa tunda pembentukan kristal) setelah pendinginan minyak mencapai suhu kristalisasi yang ditetapkan

31 DAFTAR ISTILAH Blending : Teknik pencampuran dua atau lebih jenis minyak yang mempunyai sifat fisiko-kimia berbeda untuk menghasilkan minyak dengan sifat fisiko-kimia yang diinginkan. CBA (Cocoa Butter Alternatives) : Specialty fats yang didesain untuk memberikan alternatif, baik secara ekonomi maupun fungsional terhadap CB CBE (Cocoa Butter Equivalents) : Lemak nabati non laurat (tidak mengandung asam laurat) yang mirip sifat-sifat fisik dan kimianya dengan CB dan dapat dicampur dengan CB pada jumlah berapapun tanpa mengubah sifat-sifat CB CBR (Cocoa Butter Replacers) : Lemak non laurat dengan distribusi asam lemak mirip CB, tetapi struktur TAG-nya berbeda sepenuhnya,hanya pada rasio kecil kompatibel dengan CB CBS (Cocoa Butter Substitutes) : Lemak nabati laurat (mengandung asam laurat), berbeda sepenuhnya dengan CB secara kimia, dengan beberapa kemiripan sifat fisik, hanya cocok untuk pensubstitusi CB sampai 100% CBX (Cocoa Butter Extenders) : Subgroup dari CBE yang tidak dapat dicampur dengan CB pada semua rasio Crystal growth : Proses perkembangan kristal sebagai akibat dari bersatunya inti-inti kristal yang kecil membentuk kristal dengan ukuran yang lebih besar. Enrobing (coating) : Specialty fats yang digunakan dalam produkproduk coklat dapat didesain untuk menyelimuti berbagai produk pangan seperti cake, wafer, biskuit dan confectionery lainnya. Proses menyelimuti food centre disebut enrobing atau coating Exotic fats : Istilah yang digunakan untuk menggambar-kan lemak dari tanaman liar seperti Illipe, Kokum, Dhupa, Sal, Shea, dan sebagainya yang merupakan sumber minyak/lemak penting untuk CBA

32 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan mono-gliserida, asam lemak bebas, pigmen, sterol, hidrokarbon, posfolipid, lipoprotein, dan lain-lain). Triasilgliserol penyusun minyak atau lemak terbentuk dari asam lemak-asam lemak yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi sifat dan wujud minyak secara alamiah. Sifat fisika, kimia dan fungsional minyak atau lemak sangat ditentukan oleh profil triasilgliserol, komposisi asam lemak, dan adanya senyawa pengotor. Triasilgliserol dan asam lemak penyusun minyak secara parsial mempunyai sifat fisika, kimia dan fungsional tersendiri, oleh karena itu pengaturan jenis dan jumlah (profil) triasilgliserol dalam minyak akan sangat merubah sifat alami minyak tersebut. Pengaturan profil triasilgliserol dan komposisi asam lemak penyusun minyak ini biasanya dilakukan dalam rangka menghasilkan minyak dengan sifat khusus untuk tujuan tertentu (specialty fats). Pengaturan jenis dan jumlah triasilgliserol pada suatu jenis minyak akan memberi nilai tambah yang sangat tinggi bagi minyak tersebut. Dengan cara ini akan diperoleh bahan baku industri berbasis minyak yang nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi dari minyak tersebut dalam kondisi alami. Specialty fats adalah lemak dengan sifat khusus untuk aplikasi tertentu dengan nilai ekonomis lebih tinggi seperti margarin, mentega putih, vanaspati, shortening dan Cocoa Butter Alternatives (CBA). Specialty fats pada umumnya dihasilkan dari proses modifikasi profil triasilgliserol dan komposisi asam lemak penyusun minyak dengan berbagai metode seperti interesterifikasi, blending, hidrogenasi, fraksinasi dan atau gabungan dari berbagai metode tersebut. Menurut Shamsudin et al. (2006) proses modifikasi lemak dengan metode hidrogenasi, interesterifikasi dan fraksinasi telah banyak diterapkan saat ini dalam industri minyak sawit dan inti sawit. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk mengubah sifat fisikokimia dari minyak atau lemak baik dengan mengurangi derajat ketidakjenuhan dari grup asil (hidrogenasi), dengan redistribusi rantai asam lemak (interesterifikasi) atau dengan pemisahan secara fisik yang selektif dari beberapa komponen triasilgliserol melalui kristalisasi dan filtrasi (fraksinasi). Ketiga jenis metode modifikasi lemak atau minyak ini diupayakan untuk memperoleh produk olahan berbasis minyak dengan nilai ekonomis tinggi. Produk olahan dari minyak secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak goreng, margarin, dan produk substitusi lemak coklat. Produk non pangan terutama oleokimia yaitu asam lemak, gliserin dan turunannya. Minyak atau lemak dapat diolah menjadi produk dengan kegunaan teknis seperti sabun, atau dimurnikan (refining) menjadi RBD Oils yang dengan proses blending dapat dihasilkan produk-produk seperti margarin, vanaspati, minyak goreng dan shortening. RBD Oils jika difraksinasi akan dihasilkan RBD olein dan RBD stearin. RBD olein dengan proses blending akan menghasilkan produk-produk

33 2 seperti margarin, minyak goreng, minyak masak, shortening atau jika difraksinasi lebih lanjut akan dihasilkan CBA dan super olein. RBD stearin jika disaponifikasi akan dihasilkan sabun, jika di-spliting akan dihasilkan asam-asam lemak yang dapat diolah lebih lanjut menjadi sabun atau emulsifier, dan jika di-blending dapat dihasilkan margarin dan shortening. Modifikasi minyak dengan cara hidrogenasi untuk produk makanan sudah banyak dihindari karena akan menghasilkan lemak trans yang kurang baik bagi kesehatan. Modifikasi kimiawi yang kini banyak dilakukan adalah dengan cara interesterifikasi sedangkan modifikasi fisik banyak dilakukan dengan cara fraksinasi dan blending. Interesterifikasi adalah teknik modifikasi lemak dengan cara restrukturisasi TAG penyusun lemak. Blending adalah teknik modifikasi lemak dengan cara mencampurnya dengan exotic fats tertentu sehingga dihasilkan lemak campuran dengan sifat yang diinginkan (Wainwright 1999). Kristalisasi fraksional, yang umumnya dikenal dengan istilah fraksinasi, adalah proses modifikasi minyak/lemak tertua dan telah mendasari pengembangan industri produk olahan lemak dan minyak makan modern. Pengolahan minyak yang secara komposisional bersifat heterogen menjadi fraksi yang lebih homogen dengan nilai tambah yang tinggi selalu menjadi tantangan dalam teknologi fraksinasi. Ada banyak metode fraksinasi yang dapat diterapkan dalam penyiapan bahan baku produk olahan berbasis minyak, tetapi yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah fraksinasi kering. Melalui fraksinasi kering, minyak dapat dibuat menjadi fraksi olein dan stearin dengan komposisi kimia dan sifat fisik dan fungsional yang sangat beragam. Fraksi olein adalah produk fraksinasi yang berbentuk cair sedangkan fraksi stearin adalah produk fraksinasi yang berbentuk padat. Proses fraksinasi minyak secara kering pada umumnya terdiri dari dua tahap, yaitu kristalisasi untuk menghasilkan kristal padat dalam suatu maktriks cair dan filtrasi untuk memisahkan kristal yang terbentuk tersebut dari matriks cair. Menurut Timms (1997), perubahan yang terjadi di tingkat molekuler selama proses kristalisasi lemak diantaranya adalah pembentukan inti (nucleation), pembesaran inti (growth) dan perubahan perilaku fase (polymorphism, solid solutions). Keseluruhan perubahan di tingkat molekuler ini sangat dipengaruhi oleh perlakuan di tingkat fisik berupa penghilangan panas (removal of heat) dan pengadukan (agitation). Oleh karena itu, metode pendinginan (suhu dingin, laju penurunan suhu dan lamanya proses pendinginan yang diterapkan) akan sangat menentukan keberhasilan dari proses fraksinasi minyak. Studi terhadap perilaku kristalisasi lemak merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan baik ditinjau dari segi keilmuan maupun praktis. Pengetahuan yang benar mengenai kinetika kristalisasi lemak diperlukan untuk mengatur kegiatan operasional industri agar dapat menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang diinginkan. Ketersediaan data yang berkaitan dengan perilaku kristalisasi suatu jenis lemak tertentu dapat dijadikan dasar bagi pengembangan produk akhir berbasis lemak tersebut dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi produksi. Hasil review yang dilaporkan oleh Timms (2005) dan Chaleepa et al. (2010), diketahui bahwa sampai sekarang, pengaruh faktor suhu, laju pendinginan, lama proses dan kecepatan pengadukan terhadap perilaku kristalisasi minyak (khususnya minyak kelapa) dan karakteristik fraksi yang diperoleh belum

34 sepenuhnya diketahui. Begitu pula dengan fenomena-fenomena yang terjadi, yang diakibatkan oleh perbedaan penerapan faktor-faktor tersebut, belum dapat dijelaskan dengan tuntas dan baru sedikit sekali data tentang kinetika kuantitatif yang saat ini tersedia. Selama ini untuk tujuan optimasi suhu dan waktu fraksinasi dalam menghasilkan fraksi yang diinginkan, penelitian yang banyak dikembangkan adalah metode trial and error, mencari perlakuan terbaik diantara sejumlah perlakuan yang diterapkan. Hasilnya tentu saja hanya akurat untuk jenis produk tertentu dan pada kisaran parameter yang diujikan saja. Minyak kelapa patut untuk dikaji lebih jauh kemungkinan pemanfaatannya melalui proses fraksinasi mengingat potensi dan keistimewaannya dibandingkan dengan minyak-minyak sejenis lainnya. Minyak kelapa merupakan sumber lemak pangan yang banyak mengandung Medium Chain Fatty Acid (MCFA), yang dalam sistem pencernaan lebih cepat menyediakan energi, tidak disimpan dalam bentuk lemak cadangan, dapat menstimulasi fungsi tiroid untuk meningkatkan metabolisme dan kinerja tubuh, tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kolesterol dan memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung (Scrimgeour 2005; St-Onge 2005). Selain untuk produk pangan, minyak kelapa juga banyak dibutuhkan untuk produk oleokimia khususnya asam lemak kaproat, kaprilat, kaprat dan laurat komersial yang banyak dibutuhkan untuk untuk industri sabun dan deterjen, bahan pemlastis untuk campuran bahan bakar jet dan pelumas generasi baru (Gervajio 2005; O Brien 2004). Minyak kelapa berbeda nyata dari lemak atau minyak lain khususnya dalam hal perubahan wujudnya dari bentuk padat menjadi cair yang terjadi relatif pada kisaran suhu yang sempit. Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70 F (21.1 C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak dan lemak dengan sifat fisikokimia yang berbeda (Gervajio 2005; O Brien 2004). Disertasi ini tersusun dalam sembilan bab, bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup dan manfaat penelitian. Bab kedua berisi tinjauan pustaka secara umum, sedangkan pada bab ketiga diuraikan metodologi penelitian secara garis besar. Hasil-hasil penelitian diuraikan secara terperinci dalam bentuk artikel jurnal ilmiah pada bab keempat sampai bab ketujuh. Pada bab-bab tersebut masing-masing dibahas tentang karakterisasi minyak kelapa yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses fraksinasi kering; fraksinasi kering minyak kelapa menggunakan kristalisator skala 120 kg untuk menghasilkan fraksi minyak kaya triasilgliserol rantai menengah; pengaruh laju pendinginan kritis, suhu dan lama kristalisasi terhadap profil triasilgliserol dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa; kinetika kristalisasi minyak kelapa pada berbagai suhu dan laju pendinginan kritis; akhirnya pada bab kedelapan diuraikan pembahasan umum terhadap keseluruhan hasil-hasil penelitian serta bab kesembilan berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini. 3

35 4 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari teknologi proses fraksinasi kering minyak kelapa pada skala laboratorium dan pilot plant terutama yang berkaitan dengan perilaku kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa. Selain itu dikaji juga sifat fisikokimia produk fraksinasi minyak kelapa, khususnya profil TAG dan profil pelelehannya, sehingga diperoleh informasi tentang karakteristik khas proses fraksinasi kering minyak kelapa untuk pengendalian proses produksi bagi pengembangan produk olahan berbasis minyak kelapa. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1 Mempelajari metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada skala pilot plant (120 kg) dan mengidentifikasi kondisi dan persyaratanpersyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahap-tahap fraksinasi kering minyak kelapa. 2 Menetapkan sistem pendinginan yang krusial dalam fraksinasi kering minyak kelapa untuk digunakan sebagai panduan dalam merancang proses fraksinasi minyak kelapa secara lebih praktis. 3 Menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi minyak kelapa dengan kandungan MCT tinggi. 4 Mengetahui pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap perubahan komposisi dan profil TAG, kinetika kristalisasi dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa. 5 Mengetahui hubungan (model persamaan matematika) antara berbagai parameter fraksinasi minyak kelapa dengan prosedur pendinginan selama proses kristalisasi (laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi), yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi kimia, sifat fisik dan termal-mekanis produk akhir di masing-masing fraksi stearin maupun olein. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mempelajari perilaku kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa pada berbagai perlakuan pendinginan dan suhu kristalisasi yang diterapkan serta melihat karakteristik masing-masing fraksi olein dan stearin yang dihasilkan dari berbagai perlakuan tersebut. Bahan baku yang digunakan adalah RBDCNO. Peralatan utama yang digunakan adalah kristalisator dengan kapasitas 120 kg yang dilengkapi dengan alat pengaduk dan pencatat suhu secara otomatis dan penyaring vakum yang dilengkapi sistem pendingin isotermal. Fokus penelitian ini diarahkan pada penemuan berbagai model hubungan antara perlakuan pendinginan dan suhu kristalisasi terhadap kinetika kristalisasi, perilaku fraksinasi dan karakteristik fraksi olein dan stearin yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain adalah menyediakan data dasar bagi pengembangan metode fraksinasi kering minyak kelapa untuk tujuan menghasilkan produk olahan minyak kelapa secara spesifik. Data-data dasar ini

36 akan dilengkapi dengan berbagai model persamaan hubungan antar berbagai input faktor dengan perilaku kristalisasi dan karakteristik fraksi minyak yang dihasilkan. Data dan model yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pengembangan metode untuk menghasilkan diversifikasi produk olahan berbasis minyak kelapa dengan nilai tambah tinggi, khususnya yang memerlukan fraksinasi dalam proses produksinya. 5

37 6

38 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Minyak Kelapa Pendapat keliru tentang minyak kelapa yang selama ini dianggap sebagai minyak yang tidak baik untuk kesehatan karena kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi telah menurunkan produksi, distribusi dan tingkat penerimaan konsumen. Tetapi saat ini, dari bukti penelitian yang panjang, diketahui bahwa lemak dalam minyak kelapa mempunyai sifat khas yang baik bagi kesehatan dan berbeda dari hampir semua lemak pada minyak-minyak lain. Menurut St-Onge (2005) dan Scrimgeour (2005), minyak kelapa dengan kandungan triasilgliserol rantai menengahnya tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kolesterol malah memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung; triasilgliserol rantai menengah atau Medium Chain Triglycerides (MCT) kurang bersifat fattening dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain dan tidak pernah disimpan dalam bentuk cadangan energi pada proses metabolisme lipid; MCT dicerna lebih cepat dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain; MCT menguntungkan secara khusus dalam hal menyediakan energi bagi jaringan limpa, hati dan sel-sel lemak; mengkonsumsi MCT dapat menstimulasi fungsi tiroid dan mendorong untuk terjadinya penurunan berat badan. Pemanfaatan minyak kelapa selain untuk produk pangan (minyak makan), banyak juga dibutuhkan untuk produk oleokimia. Minyak kelapa merupakan sumber utama asam lemak kaproat, kaprilat, kaprat dan laurat komersial. Minyak kelapa dan minyak kernel sawit karena mengandung asam laurat sekitar 50% sering juga disebut sebagai minyak laurat. Sifat dari lemak laurat minyak kelapa yang cepat meleleh dan tidak meninggalkan sensasi yang berasa greasy pada permukaan lidah, sulit ditemukan kesamaannya dengan minyak atau lemak non laurat. Karakteristik khusus minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.1 (O Brien, 2004). Minyak laurat merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia di seluruh dunia karena nilai penting dari fraksi lauratnya sangat dibutuhkan oleh pabrik sabun dan deterjen. Fraksi asam lemak kaproat, kaprilat dan kaprat dalam minyak kelapa sekitar 15%, merupakan bahan yang baik untuk plasticizer bagi alkohol dan juga ester-poliol. Ester-poliol yang telah diplastisasi banyak digunakan untuk membuat minyak berperforma tinggi khusus untuk mesin jet dan untuk pelumas generasi baru. Fraksi asam lemak C14 C18 dalam minyak kelapa sekitar 35%, merupakan bahan baku yang sangat baik untuk memproduksi deterjen kelompok fatty alcohol. Minyak kelapa merupakan sumber utama untuk membuat oleokimia dasar dan oleokimia turunan. Gambar 2.1 merupakan deskripsi pembentukan oleokimia dasar dan oleokimia turunan (Gervajio 2005). Setiap bagian dari asam lemak penyusun minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku awal untuk memproduksi berbagai jenis oleokimia. Asam lemak merupakan blok pembangun yang dengan proses seleksi dan aplikasi kimiawi yang tepat dapat diubah menjadi produk-produk bernilai lebih tinggi. Spesifikasi produk-produk asam lemak yang berasal dari minyak kelapa diantaranya adalah (1) destilat asam lemak kelapa utuh (C8 C18) dengan kode produk Philacid 0818; (2) asam lemak kaprilat-kaprat (C8 C10) dengan kode Philacid 0810; (3) topped coconut fatty acid (C12 C18) dengan kode produk

39 8 Philacid 1218; (4) asam laurat (C12) dengan kode produk Philacid 1200; (5) asam miristat (C14) dengan kode produk Philacid 1400; dan (6) asam lauratmiristat (C12 C14) dengan kode produk Philacid 1214 (United Coconut Chemicals Inc 1993 dalam Gervajio 2005). Tabel 2.1. Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak kelapa Karakteristik Tipikal Kisaran Spesific Gravity, 30 o C o Indeks Refraksi, 40 C Bilangan Iod Bilangan Penyabunan Bilangan Taktersabunkan Titer ( O C) o Titik Leleh ( C) (MDP) o Titik Padat ( C) Stabilitas AOM (jam) Kandungan Tokoferol: γ-tokoferol (ppm) Kandungan Tokotrienol: α-tokotrienol (ppm) Komposisi Asam Lemak (%): Kaproat (C-6:0) Kaprilat (C-8:0) Kaprat (C-10:0) Laurat (C-12:0) Miristat (C-14:0) Palmitat (C-16:0) Stearat (C-18:0) Oleat (C-18:1) Linoleat (C-18:2) Arakhidat (C-20:0) Gadoleat (C-20:1) Komposisi Triasilgliserol (%): Trisaturated (GS3) Disaturated (GS2U) Monosaturated (GSU2) Triunsaturated (GU3) Jenis Umum Kristal Indeks Lemak Padat (%) pada: 10.0 o C o 21.1 C o 26.7 C Trace β < 0.2 < Keterangan: G = gliserida; S = saturated (jenuh); U = unsaturated (tak jenuh); MDP = melter dropping point; AOM = active oxygen method Sumber: O Brien (2004)

40 9 Gambar 2.1 Bahan baku oleokimia dan turunannya (Brackman et al dalam Gervajio 2005) Asam lemak dari minyak kelapa banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Ester asam lemaknya banyak dibutuhkan untuk bahan pembuat pelumas, bahan pelarut flavor, ingredien kosmetik, emulsifier, agen penghilang jamur. Fatty alcohols banyak dibutuhkan untuk bahan pemlastis, bahan pelarut untuk tinta dan cat, bahan pembuat agen anti pembusaan, faktor pemberi konsistensi untuk produk-produk krim, lipstik, pasta dan pelicin, bahan pembuat deterjen, sampo dan cairan pembersih. Eter poliglikol banyak digunakan untuk bahan surfaktan, pembasah, cairan pembersih, bahan kosmetik dan industri lainnya. Fatty amide banyak digunakan untuk penghasil busa bagi produk sampo

41 10 dan deterjen. Fatty amine banyak digunakan untuk produk pelembut, biosida, ingredien sampo dan lain-lain (Gervajio 2005). Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70 F (21.1 C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna pada suhu sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berat molekul dan titik cair masing-masing asam lemak penyusun minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak atau lemak dengan sifat fisika-kimia yang berbeda. Fraksinasi dapat dilakukan dengan cara mendiamkan minyak kelapa pada berbagai tingkat suhu dingin, teknik ini sering disebut dengan istilah winterisasi (O Brien 2004). Tabel 2.2 Berat molekul dan titik cair beberapa asam lemak penyusun minyak kelapa Nama Asam Jumlah Atom Karbon Lemak dan ikatan rangkap Berat Molekul Titik Cair ( C) Butirat 4: Kaproat 6: Kaprylat 8: Kaprat 10: Laurat 12: Miristat 14: Palmitat 16: Stearat 18: Arakhidat 20: Behenat 22: Sumber: O Brien (2004) Triasilgliserol minyak kelapa sebagian besar tersusun atas trilaurin (LaLaLa) yang menempati 21% dari seluruh triasilgliserol yang ada, diikuti oleh dilauromiristin (18%), kaprodilaurin (17.4%), dikaprolaurin (12.9%) dan laurodimiristin (10.2%) (Tan and Man 2002). Data tentang komposisi dan jenis triasilgliserol yang ada pada minyak kelapa disajikan pada Tabel 2.3. Warna minyak kelapa kasar bervariasi mulai dari kuning muda hingga kuning kecoklatan, teknik pengolahan umum akan menghasilkan minyak kelapa tanpa bau dengan warna warna kuning yang sangat pucat. Rasa dan bau minyak kelapa sangat beragam tergantung pada seberapa banyak senyawa lakton terkandung di dalamnya. Karena minyak kelapa mengandung asam lemak tak jenuh yang rendah maka minyak ini sangat resisten terhadap oksidasi; akan tetapi cenderung lebih cepat 2 10 kali terhidrolisis dibandingkan dengan minyak lainnya menghasilkan bau sabun yang tak diinginkan. Minyak kelapa terhidrolisis lambat jika hanya terdapat air bebas dalam sistem, tetapi akan berlangsung cepat jika terdapat enzim lipase (O Brien 2004).

42 11 Tabel 2.3 Jenis dan komposisi triasilgliserol penyusun minyak kelapa Jenis Triasilgliserol Komposisi (%) a b LaLaLa 21,2 ± 0, ± 0.8 LaLaM 18,0 ± 0, ± 0.9 ClaLa 17,4 ± 0, ± 1.2 CCLa 12,9 ± 0,2 8.2 ± 0.4 LaMM 10,2 ± 0,1 8.9 ± 0.4 LaMP 5,5 ± 0,1 6.7 ± 0.2 LaLaO 3,1 ± 0,0 0.5 ± 0.1 LaMO 2,4 ± 0,1 2.0 ± 0.1 LaPP+MMO 2,1 ± 0,3 - LaPO 1,6 ± 0,2 - LaOO 1,1 ± 0,0 - MPO+POL 1,1 ± 0,0 2.8 ± ± 0.2 MOO 0,8 ± 0,1 1.9 ± 0.2 PPO 0,7 ± 0,1 - OOO 0,6 ± 0,1 ND PPP 0,6 ± 0,1 ND LaLaP 0,5 ± 0,0 - POO 0,3 ± 0,0 ND MMP 0,2 ± 0,0 ND PPL ± 0.1 CpCLa ± 0 Keterangan: C, caprat; Cp, caprilat; La, laurat; M, miristat; P, palmitat; S, stearat; O, oleat; L, linoleat. Sumber: a: Tan and Man (2002) b: Jeyarani et al. (2009) Minyak kelapa pada kondisi suhu dingin terkontrol, dapat dipisahkan menjadi dua komponen, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Berbagai metode fraksinasi dan pengaturan kondisi dapat dilakukan untuk menghasilkan fraksi olein dan stearin dengan sifat fisik dan kimia sesuai dengan yang diinginkan (Zaliha et al. 2004; Timms 2005). Proses fraksinasi pada minyak secara klasik dilakukan untuk tujuan menghasilkan minyak (olein) yang cair pada suhu 24 o C dan stearin yang mempunyai titik cair antara C. Tetapi, sejak tahun 1990, fraksi olein telah berubah menjadi komoditi yang lebih murah karena terbuat dari proporsi yang lebih besar dalam fraksinasi tunggal dan memiliki marjin keuntungan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, perhatian telah difokuskan pada fraksinasi kering bertingkat untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi, seperti super olein/top olein dan Mid Fraction (Gibon dan Tirtiaux 2000; Deffense 2000; Kellens 2001; De Greyt et al. 2003).

43 12 Fraksinasi Minyak Fraksinasi adalah proses pemisahan yang membagi lemak menjadi fraksifraksi yang berbeda, yang masing-masing mempunyai sifat fisika dan kimia tertentu. Secara industri, terdapat tiga jenis proses fraksinasi yang tersedia saat ini, yaitu fraksinasi kering, basah dan menggunakan pelarut. Fraksinasi menggunakan pelarut biasanya digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya untuk menghasilkan pensubstitusi lemak coklat dari minyak sayur. Dari semua teknologi fraksinasi minyak yang tersedia saat ini, fraksinasi kering masih diyakini sebagai satu pengolahan yang paling sederhana, ramah lingkungan dan murah. Sederhana, karena hanya didasarkan pada pengaturan kristalisasi minyak cair, dilanjutkan dengan pemisahan secara fisik tanpa harus menambahkan atau menghilangkan bahan kimia maupun pelarut tertentu selama atau setelah proses. Murah, karena tidak memerlukan kondisi proses yang ekstrim dan seluruh prosesnya bersifat reversibel. Oleh karena itu, fraksinasi kering layak untuk dijadikan sebagai teknologi pengolahan produk berbasis lemak di masa depan (Timms 2005; Huey et al. 2009; Calliauw et al. 2010). Fraksinasi kering terdiri dari dua langkah utama, yaitu tahap kristalisasi yang menghasilkan kristal padat dalam matriks cair dan tahap pemisahan dimana fase cair dipisahkan dari kristal (Timms 2005). Faktor-faktor lain yang penting pada setiap tahap ini, terlihat pada Gambar 2.2. Pada titik ini, penting untuk diketahui bahwa kualitas dari fraksi cair hanya tergantung pada tahap kristalisasi, sedangkan kualitas dari fraksi padat tergantung pada kedua tahap tersebut. Pemisahan fraksi didasarkan atas tingkat konsentrasi triasilgliserol yang diinginkan. Kualitas biasanya diatur melalui kriteria fisik, seperti titik asap atau kandungan lemak padatnya. Gambar 2.2 Diagram skematis proses fraksinasi dan faktor-faktor indikasi yang penting pada setiap tahap (Timms 2005)

44 13 Kristalisasi Minyak Ketika lemak cair didinginkan, fase padat memisah, yang komposisi dan jumlahnya tergantung terutama pada suhu yang diterapkan. Situasi ini diilustrasikan pada Gambar 2.3, yang memperlihatkan diagram fase skematik dari campuran biner dari triasilgliserol A dan B yang membentuk suatu larutan padat yang kontinyu, yang tercampur secara sempurna dalam keadaan solid. Mempertahankan campuran pada suhu T1 menghasilkan pembentukan fase padat (kristal) komposisi c dalam komposisi larutan a. Fraksi fase padat = (bc/ac) (Timms 2005). Gambar 2.3 Diagram fase skematik sederhana yang mengilustrasikan prinsipprinsip fraksinasi (Timms 2005) Untuk mencapai kristalisasi, perlu meningkatkan konsentrasi triasilgliserol yang akan dikristalkan di atas konsentrasi larutan jenuh pada suhu yang ditetapkan. Dalam prakteknya, hal ini tidak cukup untuk menyebabkan kristalisasi, dan larutan dapat berada pada konsentrasi di atas tingkat kejenuhan tanpa membentuk kristal apa pun. Larutan serupa ini disebut super jenuh. Untuk semua sistem, ilustrasi tentang diagram jenuh-super jenuh terlihat secara skematik pada Gambar 2.4 untuk kristalisasi minyak kedelai (Kellens 2001; Timms 2005; Huey et al. 2009). Pada Gambar 2.4, garis kontinyu adalah kelarutan normal atau kurva kejenuhan. Di bawah garis ini, kristalisasi tidak mungkin terjadi karena larutan tidak jenuh dan situasi ini merupakan stabil semu (stable indefinitely). Garis putus-putus membagi zona metastabil dari satu zona tak-stabil atau zona kristalisasi. Dalam zona metastabil kristalisasi mungkin terjadi, tetapi tidak akan terjadi secara spontan atau tiba-tiba tanpa bantuan, seperti pengadukan atau seeding. Kristalisasi akan terjadi secara spontan dan tiba-tiba dalam zona takstabil. Hal ini dapat dilihat bahwa posisi yang dibatasi oleh garis putus-putus

45 14 antara zona metastabil dan tak-stabil bervariasi dan tergantung pada variabel proses seperti laju pendinginan dan pengadukan (Timms 2005). Gambar 2.4 Diagram jenuh-super jenuh untuk kristalisasi minyak kedelai. Pengaruh laju pendinginan terhadap batas metastable/unstable (garis putus-putus). Angka menunjukkan laju pendinginan [ o F/min] (Timms 2005). Alasan bagi keberadaan zona metastabil dapat dipahami bila kristalisasi diperlakukan sebagai proses yang terdiri dari dua tahap, yaitu pembentukan inti yang diikuti oleh perkembangan kristal (Kellens 2001). Kristalisasi hanya dapat terjadi ketika konsentrasi triasilgliserol mencapai kurva kejenuhan (atau kelarutan normal). Di bawah suhu titik leleh, lemak masuk ke dalam kondisi metastabil: kristalisasi terjadi secara tidak spontan. Pada suhu yang lebih rendah, lemak memasuki kondisi tak-stabil dan segera membentuk kristal (Gambar 2.5). Inti kristal akan terbentuk ketika energi panas kristalisasi melebihi energi permukaan; yang terbentuk pada kondisi metastabil, misalnya ketika suhu telah menurun di bawah batas yang dibutuhkan untuk membeku guna menghasilkan kristal yang kecil (kondisi supercooling) (Kellens 2001; Timms 2005; Huey et al. 2009). Inti kristal adalah kristal terkecil yang terdapat dalam larutan lemak atau minyak pada konsentrasi dan suhu tertentu. Agregat-agregat molekul yang lebih kecil dari inti kristal ini disebut dengan embrio dan akan kembali melarut jika terbentuk (Kellens 2001; Timms 1997; Timms 2005; Boistelle 1998).

46 15 Gambar 2.5 Diagram jenuh dan superjenuh dalam proses kristalisasi minyak sawit (Timms 1997) Saat molekul-molekul bersatu membentuk kristal, akan terbentuk dua jenis energi yang saling berlawanan. Energi yang pertama terbentuk akibat adanya panas kristalisasi, merupakan energi yang menyokong proses. Energi yang kedua adalah energi yang dibutuhkan untuk mengatasi tekanan atau tegangan permukaan sejalan dengan peningkatan luas permukaan kristal akibat dari menyatunya agregat-agregat molekul. Kristal stabil akan terjadi hanya ketika energi jenis pertama dalam keadaan berlebih yang dibutuhkan untuk mengatasi energi jenis kedua (Timms 2005). Energi permukaan sebanding dengan luas permukaan kristal yang terbentuk, maka terhadap ukuran (yang dalam hal ini dimensi linier kristal, misalnya diameter untuk kristal-kristal berbentuk bulat) diperhitungkan dalam dimensi pangkat dua (ukuran 2 ). Sedangkan panas kristalisasi diukur berdasarkan volume, maka terhadap ukuran akan diperhitungkan dalam dimensi pangkat tiga (ukuran 3 ). Jadi jelas bahwa kelarutan kristal pasti sangat tergantung pada ukurannya. Menggunakan data-data triasilgliserol tertentu, dapat dihitung pengaruh ukuran kristal terhadap kelarutan, seperti terlihat pada Tabel 2.4 (Timms 2005). Tabel 2.4 Berbagai kelarutan dan supercooling dengan radius kristal-kristal triasilgliserol Radius of crystal [μm] [Å] Supercooling [ C) Peningkatan kelarutan , , , Sumber: Timms 2005 Supercooling adalah penurunan suhu di bawah suhu kelarutan untuk mengkristalkan larutan superjenuh yang ada dalam sistem. Ukuran kristal adalah

47 16 ukuran minimum suatu kristal yang stabil pada suhu kristalisasi secara umum. Kristal-kristal kecil mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kelarutan dengan sangat kuat dan memerlukan supercooling yang sangat besar untuk membuatnya mengkristal (Timms 2005). Pembentukan kristal dapat terjadi disebabkan adanya difusi sekeliling molekul yang akan menetap pada inti yang terbentuk. Laju pembentukan kristal berbanding lurus dengan derajat supercooling yang diterapkan dan berbanding terbalik dengan viskositas minyak (Wainwright 1999). Untuk menghasilkan proses kristalisasi dengan ukuran kristal yang terbentuk relatif besar, biasanya bisa dicapai dengan menerapkan derajat supercooling yang sedang. Pada derajat supercooling yang berlebihan, molekul-molekul tidak sempat terbawa pada kondisi pembesaran yang baik untuk terjadinya discolation dalam lattice kristal atau untuk pembentukan ko-kristal. Penerapan derajat supercooling yang terlalu tinggi berarti memaksa kristalisasi terjadi lebih intens, akibatnya viskositas minyak akan meningkat secara cepat sehingga laju difusi dan pembesaran kristal menjadi tertunda (Wainwright 1999; Kellens et al. 2007). Kristal-kristal minyak terbentuk menghasilkan inti utama di awal proses kristalisasi, selanjutnya pembentukan inti sekunder dapat juga segera terjadi. Pembentukan inti sekunder terjadi saat irisan-irisan kecil kristal hilang dari permukaan kristal yang membesar. Jika irisan tersebut lebih kecil dari ukuran kritisnya, maka akan terlarut kembali tetapi jika lebih besar, maka akan bertindak sebagai inti dan berkembang menjadi kristal. Pembentukan inti sekunder ini tidak diinginkan dalam proses fraksinasi, karena proses ini menghalangi terbentuknya kristal minyak berukuran besar. Pengadukan atau pengocokan adalah penyebab utamanya, oleh karena itu pengadukan biasanya dijaga agar tetap minimum hanya untuk memfasilitasi terjadinya pindah panas (Kellens et al. 2007; Timms 2005). Peningkatan suhu secara lokal dikarenakan oleh panas kristalisasi merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan. Pada kondisi ini, pembentukan inti dan atau urutan pembesarannya menjadi terganggu sehingga pembentukan kristal yang berukuran besar berjalan tidak sempurna. Jika peningkatan suhu selama kristalisasi tidak terkontrol, akan menyebabkan terjadinya pelarutan kembali bagian-bagian yang telah terkristalisasi, dan struktur lamellar dapat terbentuk. Pada keadaan terburuk, hasilnya adalah pembentukan massa seperti susu dari mikro-partikel di semua ukuran, yang sangat sulit untuk dipisahkan (Gibon dan Tirtiaux 2000). Pengawasan sempurna terhadap penghilangan panas dan kecepatan pengadukan selama proses kristalisasi sangat diperlukan untuk menghindari keadaan yang tidak diinginkan tersebut. Inti kristal akan segera membesar dengan adanya inkorporasi dari molekul-molekul lain, sesaat setelah terbentuk. Molekul-molekul ini berasal dari lapisan larutan yang saling berdekatan; yang secara kontinyu mengalami pengisian ulang (replenished) dari sekelilingnya, larutan superjenuh dengan cara difusi. Laju pembesaran inti ini sebanding dengan besarnya supercooling dan berbanding terbalik dengan viskositas, yang mempengaruhi kecepatan difusi (Timms 2005). Secara parsial, pembentukan inti dan pembesarannya terjadi secara simultan. Laju pembentukan inti meningkat lebih cepat daripada laju pembesarannya, pada kondisi supercooling yang berlebihan. Hasilnya adalah pembentukan kristal yang sangat kecil dan tidak sempurna yang sangat sulit untuk

48 17 dipisahkan. Oleh karena itu, proses kristalisasi secara industri harus dirancang untuk beroperasi pada laju pendinginan yang lambat selama siklus kristalisasi. Beberapa model pendinginan (Gambar 2.6) dapat digunakan, yang akan sangat tergantung pada penyedia teknologi fraksinasi kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996). Gambar 2.6 Representasi skematis dari (a) profil hubungan suhu minyak dan (b) profil air pendingin secara terpisah, pada pelaksanaan fraksinasi kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996). T1 sampai T5: perbedaan tetap suhu minyak dengan suhu air pendingin, T1 sampai T4: suhu tetap air pendingin Saat pembesaran inti sedang berjalan, akan ada evolusi panas yang besar. Khususnya dalam keadaan tanpa pengadukan, suhu lokal akan meningkat secara signifikan. Akibatnya, pertambahan volume antar batas yang tersedia untuk perkembangan permukaan kristal akan terhenti menjadi jenuh dan atau inti yang ada dapat terlarut kembali, karena ukuran kritis telah meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Pembentukan inti dan urutan pembesarannya dapat saja bersifat erratic (tidak menentu), mengakibatkan pembentukan ukuran kristal yang tidak sempurna atau bervariasi. Dalam industri fraksinasi lemak, yang menjadi tujuan penting dari proses adalah untuk membatasi eksotermis ini dengan cara memvariasikan laju penghilangan panas dan pengadukan (Timms 2005; Kellens et al. 2007). Miscibility, Intersolubility dan Polimorfisme Keberhasilan fraksinasi lemak bergantung pada tingkah laku fase konstituen TAG. Konsep tingkah laku fase ini tidak hanya merujuk pada titik leleh dari TAG atau karakter polimorfisnya saja, tetapi juga melibatkan pengaruh variasi campuran TAG yang berbeda dalam keadaan cair dan yang terpadatkan, dan hal ini banyak dijelaskan di berbagai publikasi. Jika hanya merujuk pada perubahan sifat fisik yang mungkin terjadi selama proses pendinginan, seharusnya TAG dengan titik lebur tinggi yang pertama kali akan mengkristal sebagai nuclei

49 18 (inti), kemudian TAG dengan titik lebur lebih rendah akan bersatu dan seterusnya, hingga terciptanya fluida yang terdiri dari kristal-kristal stearin, dalam cairan olein. Tetapi kenyataannya tidaklah sesederhana itu, tetapi melibatkan proses eksotermik yang sangat rumit, dengan polimorfisme kristalisasi yang sangat labil, di mana dinamika kristalisasi tidak sepenuhnya berhubungan dengan titik-titik lebur, melainkan sangat ditentukan oleh daya larut (miscibility dan intersolubility) triasilgliserol penyusunnya, dan semua faktor tersebut sangat mempengaruhi urutan, jalur dan cara dari pembentukan inti kristal dan perkembangannya lebih lanjut (Timms 1984; Sato dan Ueno 2001). Miscibility, intersolubility dan juga polimorfisme dari TAG dalam bentuk padat adalah masalah tersendiri yang terkait erat dalam proses fraksinasi. Miscibility dan intersolubility berkaitan erat dengan kemampuan pengikatan yang kuat dari kristalisasi molekul-molekul yang memiliki kejenuhan sama seperti SSS, SUS, SUU dan UUU dalam kristal-kristal campurannya. Polimorfisme adalah kemampuan untuk mengkristal menurut 3 bentuk crystalline: α, ß', ß. Kristal α dengan bentuk heksagonal, memiliki sedikit susunan ikatan hidrokarbon, sehingga titik leburnya rendah; kristal ß' dengan bentuk orthorhombik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon lebih tebal/padat; kristal ß dengan bentuk triklinik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon paling tebal/padat, sehingga titik leburnya sangat tinggi. Polimorfisme berpengaruh sangat kuat terhadap ketidakstabilan, tekstur dan rupa dari produk kristalisasi yang dihasilkan. Pada minyak, umumnya kristalisasi pertama kali terjadi menurut bentuk α yang tidak stabil dan berkembang secara cepat menjadi bentuk ß', kemudian secara perlahan menjadi bentuk ß. Pada minyak kelapa sawit, di mana triasilgliserol berbentuk simetris, transisi bentuk a ß' ß lebih mudah terjadi, akan tetapi bentuk akhir lebih sulit diperoleh. Ilustrasi bentuk folimorfisme kristal minyak dapat dilihat pada Gambar 2.7. Pemisahan yang baik antara olein dan stearin diperoleh sebagian besar pada kristal-kristal bentuk ß' (Timms 2005; Kellens et al. 2007; Mazzanti et al. 2008). Gambar 2.7 Skema moleculer packing pada sistem lemak triasilgliserol, ilustrasi α, β, dan β (Mazzanti et al. 2008) Intersolubility ditentukan oleh sifat alami dari TAG itu sendiri, sedangkan polimorfisme lebih ditentukan oleh rezim pendinginan yang diterapkan pada minyak. Pada umumnya, pendinginan terkendali minyak cair menyebabkan yang lebih banyak terkristalisasi adalah senyawa jenuh sedangkan TAG tak-jenuh tetap cair. Polimorfisme juga berpengaruh terhadap intersolubility dari TAG dan secara

50 19 umum diasumsikan bahwa bentuk kristal yang kurang stabil berkaitan erat dengan tingginya intersolubility (Mazzanti et al. 2008). Intersolubility dari TAG dapat menjelaskan mengapa, pada minyak sawit, pendinginan yang cepat dapat mengakibatkan pembentukan kristal campuran yang mengandung lebih banyak TAG tidak jenuh, dengan kualitas produk padat yang dihasilkan lebih rendah setelah filtrasi (Deffense 1989). Lebih jauh lagi, tahap pemisahan juga dipengaruhi oleh tahap kristalisasi awal, sebagaimana komposisi dan morfologi kristal juga mempengaruhi efisiensi proses filtrasi. Pemisahan kristal-kristal secara optimal dari cairannya secara umum akan dicapai ketika kristal mempunyai ukuran, morfologi dan komposisi yang seragam (Kellens 1994; Calliauw et al. 2005). Pengaruh Suhu dan Lama Proses Kristalisasi Penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap proses kristalisasi dalam fraksinasi minyak/lemak cukup banyak. Seperti laporan Abidin et al. (2009) yang mengamati pengaruh suhu dan waktu terhadap prosentase, rata-rata ukuran dan kemurnian kristal yang dihasilkan. Seperti yang diharapkan, prosentase kristal yang terbentuk dari larutan asam dihidroksi stearat (DHSA) meningkat sejalan dengan lama proses dan lebih banyak dihasilkan pada suhu yang lebih rendah. Pada suhu 24, 26 dan 28 o C masing-masing dihasilkan kristal sebanyak 35.8, 28.8, dan 7.3 persen yang diperoleh setelah 12 jam (Gambar 2.8). Untuk setiap peningkatan suhu 2 o C akan menunda masa perkembangan kristal DHSA sekitar 1 jam dan jumlah kristal yang akan diperoleh akan semakin rendah dan terbentuk lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi. Gambar 2.8 Prosentase kristal DHSA pada tiga tingkat suhu kristalisasi (Abidin et al. 2009) Penelitian serupa tentang pengaruh suhu terhadap fraksinasi minyak dilakukan pula oleh Miskandar et al. (2004). Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit utuh dengan fraksi oleinnya pada berbagai suhu (Gambar

51 20 2.9) mengindikasikan bahwa minyak sawit akan mengalami melting secara perlahan pada kisaran suhu 5 35 o C. Pada suhu 5 o C kandungan lemak padat minyak sawit berada pada kisaran persen dan secara perlahan menurun sejalan dengan peningkatan suhu. Pada suhu 20 o C kisaran kandungan lemak padat minyak sawit berada pada persen dan menjadi cair sempurna pada suhu 35 o C. Gambar 2.9 Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit dengan fraksi oleinnya sebagai fungsi dari temperatur (Miskandar et al. 2004) Umumnya, jumlah fraksi olein yang dihasilkan akan menurun dan fraksi stearin akan meningkat ketika suhu kristalisasi diturunkan. Sejalan dengan suhu diturunkan, kristal akan terbentuk dan dihasilkan lebih banyak dan fraksi padat akan lebih banyak diperoleh daripada fraksi cairnya. Ramli et al. (2008) melaporkan bahwa olein yang dihasilkan menurun jumlahnya sejalan dengan semakin rendahnya suhu kristalisasi tetapi kandungan asam oleat akan meningkat, sebaliknya jumlah stearin yang dihasilkan akan semakin banyak (Gambar 2.10 dan 2.11). Hal ini berhubungan dengan profil kandungan lemak padat pada slurry. Pada suhu kristalisasi tertinggi, massa kristal yang terbentuk lebih sedikit, bahkan beberapa TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang belum terkristal sama sekali. Pembentukan kristal terjadi secara ekstensif pada suhu 4 o C seiring dengan mulai terkristalnya TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang. Oleh karenanya, peningkatan jumlah fase padat minyak yang nyata tercatat pada suhu 4 o C.

52 21 Gambar 2.10 Minyak sawit tinggi oleat yang dihasilkan dan kandungan lemak padat campuran olein dan stearin pada berbagai suhu fraksinasi (Ramli et al. 2008) Gambar 2.11 Kandungan lemak padat minyak sawit tinggi oleat dan produkproduk fraksinasinya, (A) fraksi padat, (B) fraksi cair, St = stearin, Ol = olein, angka menunjukkan suhu fraksinasi (Ramli et al. 2008) Percobaan terhadap pengaruh dari laju pendinginan awal pada sifat kristal yang dihasilkan, dilakukan oleh Abidin et al. (2009) dengan membandingkan dua perlakuan, yaitu pendinginan terkontrol dan pendinginan alami dengan suhu awal

53 22 yang sama yaitu 65 o C. Pada pendinginan terkontrol, pencapaian suhu 24 o C terjadi pada menit ke 200, sedangkan untuk pendinginan alami terjadi pada menit ke 100, setelah itu suhu dipertahankan 24 o C hingga menit ke 750. Pada awalnya, sangat sedikit kristal yang terbentuk untuk kedua model pendinginan, peningkatan yang substansial terjadi pada pendinginan terkontrol yang terlihat setelah jam ke- 6. Perbedaan nyata terlihat hanya pada awal proses, tetapi sejalan dengan bertambahnya waktu, hasil yang diperoleh hampir sama untuk kedua model pendinginan ini (Gambar 2.12). Demikian pula halnya dengan distribusi ukuran kristal yang dihasilkan, pada jam ke 6 terlihat perbedaan ukuran dan volume kristal yang sangat nyata, tetapi pada jam ke 8, 10 dan 12 perbedaannya sudah tidak signifikan lagi (Gambar 2.13). Gambar 2.12 Perbandingan jumlah kristal yang dihasilkan dari dua model pendinginan (Abidin et al. 2009) Pengamatan terhadap pengaruh laju penurunan suhu selama pendinginan pada proses fraksinasi, dilakukan oleh Arnaud et al. (2007) dengan membandingkan dua perlakuan pendinginan, yaitu pendinginan cepat dan pendinginan dengan suhu datar. Siklus pendinginan cepat merupakan program yang terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, sirkulasi air pendinginan dalam dinding ganda reaktor didinginkan pada tingkat 0.9 o C/menit hingga mencapai suhu 13 o C. Pada tahap kedua, pendinginan dipertahankan pada tingkat suhu ini selama 380 menit. Program pendinginan yang kedua melibatkan langkah tambahan, yaitu perlakuan suhu datar selama proses pembentukan inti. Air didinginkan pada tingkat/laju 0.9 o C/menit hingga mencapai suhu 25 o C. Selanjutnya, tingkat pendinginan 0.03 o C/menit hingga mencapai suhu 16 o C. Pada tahap akhir, suhu air dikurangi dari 16 o C menjadi 12 o C pada tingkat 0.1 o C/menit dan dipertahankan pada suhu 12 o C selama 110 menit. Pada program pendinginan cepat, kristalisasi dimulai pada suhu 18 o C setelah 80 menit pemrosesan dengan laju pendinginan yang tinggi. Pada program kedua, nukleasi dimulai pada suhu yang lebih tinggi dan setelah waktu proses yang lebih lama (masing-masing, 23 o C dan 110 menit), sehingga laju pendinginan menjadi lebih lambat. Jadi, derajat supercooling (selisih suhu titik leleh minyak, 25.7 o C, dengan

54 23 interval suhu pembentukan inti, 18 o C) tinggi (7.7 o C) dengan pendinginan cepat tetapi hanya 2.7 o C di bawah regim pendinginan lambat. Gambar 2.13 Kurva distribusi ukuran kristal untuk pendinginan alami dan terkontrol pada jam ke-6 (a), jam ke-8 (b), jam ke-10 (C) dan jam ke-12 (d) pada suhu 24 o C, median ukuran kristal untuk model terkontrol dan alami masing-masing adalah 167 dan 348 μm (Abidin et al. 2009) Kristalisasi lemak susu terjadi pada suhu yang lebih tinggi dan setelah waktu proses yang lebih lama ketika didinginkan pada laju pendinginan 0.2 o C/menit dibandingkan jika dilakukan pada laju pendinginan 5 o C/menit (Herrera dan Hartel 2000). Gambar kristal lemak selama fase pembentukan inti dan pada akhir siklus pendinginan di bawah dua program pendinginan Arnaud et al. (2007), memperlihatkan bahwa jumlah inti yang terbentuk berbeda nyata pada kedua regime. Dengan pendinginan cepat, lebih banyak inti yang terbentuk. Supercooling tinggi dari lemak pada titik nukleasi memicu pembentukan dalam jumlah banyak, yang dihasilkan dalam pembentukan magma kristalin pada akhir tahap kristalisasi. Pembentukan inti-inti kristal ini menyebabkan peningkatan yang cepat dalam hal viskositas lemak. Karena adanya sifat kekentalan larutan alami, pengikatan lebih sulit pada molekul-molekul yang paling kurang mobil dan inti sedikit sekali mengalami peningkatan ukuran, selanjutnya akan memfasilitasi pembentukan kristal berukuran kecil (Deffense 1989). Sedikit inti yang terbentuk ketika derajat supercooling rendah diterapkan selama nukleasi, keadaan ini menyokong pembentukan kristal-kristal besar yang mudah memisah. Ukuran kristal rata-rata (yang diukur dengan spectrofotometer) menurun sejalan dengan laju pendinginan (Wang dan Lin 1995). Herrera dan Hartel (2000) menunjukkan

55 24 kesimpulan yang sama dalam studi mengenai lemak susu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Karakteristik fraksi stearin dan olein yang dihasilkan pada dua program pendinganan Arnaud et al. (2007) diantaranya adalah jumlah stearin yang dihasilkan dari pendingan cepat (26.0 %) lebih tinggi daripada pendinginan dengan suhu datar (14.0 %). Stearinnya juga lebih tidak jenuh dengan bilangan iod lebih tinggi (73.5 berbanding 64.1) dan titik leleh yang lebih rendah (37.8 o C berbanding 45.0 o C). Perbandingan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Perbandingan jumlah stearin yang dihasilkan; bilangan iod, titik leleh dan viskositas masing-masing fraksi, waktu filtrasi dan kandungan lemak padat stearin pada dua jenis program pendinginan yang diterapkan Rapid cooling program a Cooling program with temperature plateau Stearin yield (%) 26.0 (± 0.8) 14.0 (± 0.8) Stearin IV a 73.5 (± 0.5) b 64.1 (± 0.5) Olein IV a 88.4 (± 0.3) a 88.0 (± 0.3) Stearin MP ( C) a 37.8 (± 1.1) b 45.0 (± 1.1) Olein MP ( C) a 12.8 (± 0.8) a 14.6 (± 0.8) Viscosity (cps) a 500 (± 54) b 147 (± 54) Filtration time (min) a 9.3 (± 0.6) b 3.6 (± 0.6) Stearin SFC (%) a 25.0 (± 0.8) b 45.3 (± 0.8) Keterangan: IV = bilangan iod; MP = titik leleh; standar deviasi dalam kurung (n = 3) Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama = tidak berbeda nyata pada α = 5% Sumber: Arnaud et al. (2007) b Kinetika Kristalisasi Lemak Teknik eksperimen dalam rangka melakukan studi kinetika kristalisasi lemak harus cukup sensitif untuk mendeteksi proses pembentukan inti kristal dan perkembangannya (Cerdeira et al. 2004). Teknik umum yang biasa digunakan dalam analisis model adalah dengan cara memantau perilaku kristalisasi isotermal suatu lemak sebagai fungsi dari waktu menggunakan DSC (Kellens et al. 1990; Toro-Vazquez et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002), NMR (Ng and Oh, 1994; Kloek et al. 2000; Wright et al. 2000) dan turbidimetri (Herrera et al. 1999; Toro- Vazquez et al. 2002; Cerdeira et al. 2003). Kinetika kristalisasi dievaluasi dengan cara mencocokkan model matematika terhadap data hasil percobaan dan parameter-parameter penting yang berhubungan dengan pembentukan inti (nukleasi) dan perkembangannya (kristalisasi). Sejauh ini, ada berbagai model yang telah digunakan untuk mengkarakterisasi kinetika kristalisasi suatu lemak, misalnya Model Gompertz (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002) atau Model Avrami (Herrera et al. 1999; Foubert et al. 2002). Model Gompertz dilaporkan menghasilkan plot yang cocok untuk kurva-kurva kristalisasi tunggal dan ganda (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002). Model Avrami hanya cocok untuk digunakan memplot kurva-kurva kristalisasi tunggal (MacNaughtan et al. 2006).

56 25 Model Avrami dikembangkan pada tahun 1940-an, Marangoni (1998) menuliskan dalam bentuk persamaan: SSSSSS (tt) = SSSSSS ( ) [1 exp( kktt nn )]... (2.1) Dimana SFC t dan SFC masing-masing adalah kandungan lemak padat pada waktu t dan kandungan lemak padat maksimum setelah kristalisasi selesai, k adalah konstanta laju kristalisasi pada suhu (T) tertentu sedangkan n menggambarkan mekanisme nukleasi dan perkembangan kristal. Marangoni and Rousseau (1999) menuliskan Model Avrami dalam bentuk persamaan yang agak berbeda: 1 FF = exp( zztt nn )... (2.2) Ln[-ln(1 F)] = ln(z) + n[ln(t)] (2.3) Dimana F menunjukkan kristalisasi fraksional sebagai fungsi dari waktu kristalisasi isotermal (t), z adalah konstanta laju kristalisasi sedangkan n merupakan indeks Avrami yang menunjukkan mekanisme pertumbuhan kristal. Jika n = 4 berarti mekanisme pertumbuhan kristal berbentuk tiga dimensi, jika n = 3 berarti mekanisme dua dimensi, jika n = 2 pertumbuhan kristal satu dimensi. Nilai n yang tidak bulat menunjukkan perkembangan inti kristal sekunder yang bersifat heterogen. Bentuk asli dari persamaan Model Gompertz seperti yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan mikrobial, dapat dituliskan sebagai berikut: Y = A x exp[-exp(b D x t)] (2.4) Dimana Y merupakan logaritma dari ukuran populasi relatif mikroba dan A adalah ukuran populasi mikroba maksimal. Model Gompertz yang lain ditulis oleh Zwietering et al. (1990) dan telah diadopsi untuk kristalisasi lemak oleh Kloek et al. (1998) seperti pada persamaan (2.5).... (2.5) Parameter S max2 dihubungkan dengan persentase kandungan lemak padat akhir yang terukur oleh pnmr atau panas kristalisasi total (J/g) yang terukur oleh DSC. Parameter µ 2 (J/g/menit atau %/menit) berkaitan dengan laju pertumbuhan kristal, sedangkan λ 2 (menit) adalah waktu induksi kristalisasi. Sebagai ilustrasi, dalam menentukan parameter-parameter ini, dapat dilihat pada Gambar Gambar 2.14 Ilustrasi penentuan parameter dalam Model Gompertz (Kloek et al. 1998)

57 26 Penggunaan model ini untuk menerangkan mekanisme kristalisasi lemak diadopsi atas dasar pertimbangan bahwa pertumbuhan mikroba bersifat analog dengan perkembangan inti kristal pada proses kristalisasi lemak. Produksi bakteri sebanding dengan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal, konsumsi nutrien sebanding dengan penurunan jumlah supersaturation (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2002). Untuk mendapatkan titik infleksi (pada t = ti) dalam kurva, maka digunakan nilai turunan kedua dari fungsi, pada kondisi t diatur bernilai nol (d2y/dt; t = 0), sehingga dihasilkan: t i = B/D. (2.6) Persamaan untuk laju pertumbuhan spesifik maksimum dapat diturunkan dengan cara menghitung nilai turunan pertama pada titik infleksi tertentu, sehingga: μμ = AA DD dddddddddddd ee bbbbbbbbbbbbbbbb (2.7) ee Parameter D selanjutnya dapat disubstitusi dengan μ x e selanjutnya untuk A mendapatkan persamaan bagi waktu tunggu (lag time), garis tangen melalui titik infleksi tersebut dihitung dan intersep dengan aksis-t dideduksi sebagai: Parameter B dapat disubstitusi dengan: μμ xx ee AA λλ = BB 1... (2.8) DD λλ + 1 Nilai a G sebanding dengan nilai A karena nilai Y akan mendekati A saat t mendekati tak berhingga. Parameter A dapat disubstitusi dengan a G, menghasilkan persamaan Gompertz yang telah diparameterisasi ulang seperti yang dituliskan Kloek et al. (2000) dan Vanhoutte et al. (2002), sebagai berikut:... (2.9) Model tersebut disajikan oleh Chaleepa et al. (2010) sebagai berikut: ( μμ ee FF(tt) = AAee ee(ττ tt) +1) AA... (2.10) Dimana F(t) adalah persen relatif fraksi padat yang terkristalisasi pada waktu t, A adalah fraksi padat maksimum dalam persen, µ adalah laju peningkatan kristalisasi maksimum (nilai tangen titik infleksi dari kurva kristalisasi) dan τ adalah waktu induksi (nilai intersep dari tangen pada titik infleksi dengan sumbu x yang berupa waktu). Nilai F(t) dihitung dengan mengintegrasikan puncak kristalisasi isotermal menurut persamaan yang telah dipakai oleh Chaleeva et al. (2010) yang nilainya sama dengan persen perbandingan nilai SFC di suatu waktu dengan SFC total, sebagai berikut: FF(tt) = HH tt xx100 = FF(tt) = SSSSSS tt xx (2.11) HH tttttttttt SSSSSS tttttttttt Dimana Ht adalah luas daerah parsial dibawah puncak kristalisasi DSC pada waktu t dan H total adalah luas daerah total di bawah kurva kristalisasi. Fraksi pada komulatif diplotkan dengan waktu. Waktu induksi pembentukan inti

58 27 dan laju pertumbuhan kristalisasi maksimum dapat diperoleh dengan cara mencocokkan data hasil pengamatan dengan model Gompertz. Filtrasi Fraksi Padat-Cair Hasil Fraksinasi Triasilgliserol padat yang diinginkan dalam bentuk kristal perlu dipisahkan dari triasilgliserol yang cair pada suhu kristalisasi dalam rangka melengkapi proses fraksinasi. Triasilgliserol cair ini terdistribusi dalam tiga lokasi, yaitu: (1) dalam larutan padat dengan triasilgliserol padat, (2) dalam minyak utuh yang tidak terkristalkan, dan (3) dalam minyak yang tak terkristalkan yang secara fisik terjerap dalam kristal (Timms 2005). Tingkat dan jenis larutan padat yang terbentuk terutama ditentukan oleh tingkah laku dasar fase dari lemak yang mengkristal, walaupun derajat supercooling yang tinggi akan cenderung meningkatkan tingkat pembentukan larutan padat. Meskipun dapat dicapai, sekali larutan padat terbentuk dalam bentuk kristal, tahap pemisahan tidak akan merubah komposisi dari fase padat kristalnya (Kellens et al. 2007; Timms 2005). Minyak utuh yang tidak terkristalkan relatif lebih mudah dipisahkan dari kristal tetapi perlu diperhatikan bahwa beberapa minyak cair akan selalu tetap berada di lapisan permukaan. Retensi (tahanan) minyak permukaan sebanding dengan luas permukaan total dari kristal, yang tergantung pada ukuran dan bentuk, semakin kecil kristal semakin besar luas permukaannya. Minyak yang terjerap lebih sulit untuk dipisahkan. Tahap pemisahan harus mempertimbangkan masalah pengurangan tingkat minyak terjerap dalam fraksi padat akhir. Tiga metode yang dapat dikembangkan untuk mencapai ini adalah sentrifugasi, filtrasi vakum dan pengempaan (Kellens et al. 2007; Timms 1997; Timms 2005). Pemisahan fase olein dan stearin hasil fraksinasi kering dapat dilakukan secara langsung menggunakan press dan filtrasi. Efisiensi pemisahan pada fraksinasi kering sangat ditentukan oleh kualitas kristalisasinya: alat pemisah terbaik sekali pun tidak akan sempurna memisahkan kedua fraksi (olein dan stearin) pada kristal yang buruk. Metode pendinginan adalah hal yang paling penting dalam menjaga pembentukan inti dan pembesarannya; kontrol yang sempurna akan menghasilkan kristalisasi yang lebih selektif dalam artian kokristal. Tetapi, pada beberapa kondisi operatif, pertambahan besar kristal dapat menjerap cairan dalam partikel padat; fenomena ini menjadi kritis pada sistem dengan viskositas tinggi (Weber et al. 1998). Kristalisasi yang dilakukan secara hati-hati akan menghasilkan jumlah olein yang terperangkap secara fisik pada kristal relatif rendah dan pemerasan dengan tekanan 5-10 bar (pneumatic design) saja telah dapat menghasilkan pemisahan dengan baik. Olein secara normal tidak dipengaruhi oleh tekanan filtrasi, kecuali stearin yang melewati filter penyaring. Hal ini dapat terjadi jika ukuran dan ketebalan kristal tidak cukup besar; ketidaksempurnaan kristalisasi adalah alasannya. Akan tetapi, beberapa minyak menghasilkan kristal yang lemah, apapun cara penanganan selama fase kristalisasi; kristal pecah dan akan mencair selama pengepresan. Untuk kasus seperti ini, dianjurkan untuk melakukan proses pengepresan dengan tekanan rendah (Weber et al. 1998).

59 28

60 29 3 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Center), IPB, Bogor serta Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Waktu penelitian dimulai dari bulan Juni 2011 sampai bulan Februari Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain refined, bleached, deodorized coconut oil (RBDCNO) yang diperoleh dari PT Barco Indonesia, standar triasilgliserol dari Sigma (St. Louis, MO USA), standar asam lemak dari Supelco (Bellefonte, PA USA) serta bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kristalisator skala 120 kg (Lampiran 1), filtrasi vakum isothermal (lampiran 2), water bath, refrigerator, timbangan, High-Performance Liquid Chromatography (HPLC Hewlett Packard series 1100) dengan detektor IR, Bruker Minispec PC 100 pulse Nuclear Magnetic Resonance Analyzer (pnmr), Gas Chromatography (Shimadzu GC-9AM, Japan) dengan detektor FID dan alat-alat gelas. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan, tahap pertama adalah verifikasi mutu RBDCNO yang akan digunakan, yang meliputi kadar air dan kadar asam lemak bebas dalam minyak. Tahap kedua adalah karakterisasi awal minyak yang digunakan sebagai bahan baku yang meliputi pengujian komposisi asam lemak (dengan GC), profil triasilgliserol minyak (dengan HPLC), kandungan asam lemak padat (dengan pnmr), titik leleh minyak (Slip Melting Point/SMP), kadar air dan kadar asam lemak bebas dalam minyak. Tahap ketiga adalah proses kristalisasi minyak pada berbagai perlakuan pendinginan seperti laju pendinginan, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi. Tahap keempat adalah separasi fraksi olein dan stearin yang dihasilkan dari proses fraksinasi dengan cara penyaringan vakuum di suhu ruang yang sama dengan suhu kristalisasi minyak. Secara lengkap, pelaksanaan penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1. Fraksinasi kering yang diterapkan pada penelitian ini merupakan modifikasi cara yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2004) dan Chaleepa et al. (2010). Minyak kelapa sebanyak 112 kg ditempatkan dalam kristalisator berkapasitas 120 kg lalu dipanaskan pada suhu 70 C selama 10 menit kemudian didinginkan secara perlahan dengan berbagai variasi laju pendinginan ( C/menit) hingga dicapai suhu kristalisasi yang diinginkan, bervariasi dari C. Setelah suhu kristalisasi tercapai, suhu minyak dijaga tetap konstan hingga akhir proses (4-5 jam).

61 30 Bahan Baku RBDCNO Karakterisasi Mutu Parameter: Kadar air, ALB Sesuai? Ya Karakterisasi Sifat Fisika Kimia RBDCNO Tidak Parameter: Profil As.lemak & TAG, SFC, SMP, Kdr air & FFA RBDCNO terkarakterisasi Pemanasan dan pengadukan (70 o C, 10 ) Minyak bersuhu homogen Pendinginan dengan variasi laju dan suhu kristalisasi Kristal Minyak Penyaringan Vakuum Parameter: SFC, morfologi kristal Karakterisasi Kristal Minyak Ploting Data ke Model Fraksi Olein Fraksi Stearin Kinetika Kristalisasi Karakterisasi Parameter: SFC, Profil TAG, SMP Karakterisasi Stabilitas dan Ukuran Kristal Olein Terkarakterisasi Stearin Terkarakterisasi Gambar 3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian

62 31 Pengamatan dilakukan dengan sampling secara periodik sebanyak enam kali dimulai setelah beberapa saat minyak mencapai suhu kristalisasi. Selama proses pendinginan, minyak diaduk dengan kecepatan 15 rpm. Fraksinasi dilakukan dengan penyaringan vakuum menggunakan kertas Whatman #40 pada suhu yang sama dengan suhu kristalisasi sehingga dihasilkan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Kristalisator yang digunakan terdiri dari tujuh rangkaian peralatan utama yaitu tangki kristalisator, chamber penyedia air dingin, sirkuit elektronik, chiller, komputer, outlet dan inlet untuk air keluar dan masuk ke chamber. Tangki kristalisator didisain dengan sistem double jacket berkapasitas 120 kg dilengkapi pengaduk mekanis, thermocople dan heat exchanger di bagian tengah tangki. Chamber pendingin terhubung dengan heat exchanger, thermocople dan pompa. Sirkuit elektronik digunakan untuk mengatur aliran air dan menjaga suhu air di chamber dan suhu minyak di tanki sesuai dengan program yang ditetapkan, sirkuit ini terhubung dengan pompa otomatis untuk mengalirkan air dari dan ke chiller. Komputer dipakai untuk mengatur sistem sequensi dan merekam perubahan suhu minyak dan air pendingin selama kristalisasi. Outlet disiapkan untuk membuang air dari chamber pendingin. Inlet disiapkan untuk mengalirkan air kran ke chamber pendingin jika tidak ingin digunakan air dingin dari chiller (skema dan gambar kristalisator dapat dilihat pada lampiran 1). Setelah tercapai suhu dingin tertentu selama waktu tertentu pula, sebagian minyak mengkristal dan fase cair minyak berubah menjadi massa semi padat dan basah. Semakin lama dididiamkan pada suhu kristalisasinya, bagian minyak yang mengkristal pun semakin banyak. Peningkatan jumlah minyak yang mengkristal sepanjang waktu ini akan ditentukan dengan mengamati perubahan kandungan lemak padat minyak (SFC) menggunakan NMR pada titik pengamatan sepanjang waktu holding di suhu kristalisasi, yaitu 0 hingga 12 jam. Data SFC hasil pengamatan NMR ini digunakan untuk uji-suai (plotting) ke model persamaan Avrami dan Gompertz untuk dapat diperoleh parameter kinetika kristalisasi minyak, indeks Avrami, meliputi laju pembentukan inti kristal dan pembesarannya, waktu paruh kristalisasi dan waktu induksi kristalisasi. Model matematika persamaan Avrami dan Gompertz memang biasa digunakan untuk menerangkan fenomena kinetika kristalisasi minyak (Kloek et al. 2000; Foubert et al. 2002) yang parameternya dapat diekstrak dari hasil plotting data pengamatan NMR. Sampling dilakukan dengan cara mengambil minyak beku sebanyak ±200 ml yang berasal dari berbagai posisi pada tangki kristalisator lalu dipisahkan sebagian untuk analisis morfologi kristal, selanjutnya difraksinasi untuk memperoleh masing-masing fraksi stearin dan olein. Sampling dilakukan enam kali pada saat minyak berada pada fase kristalisasi, yaitu fase setelah tahap pendinginan kritis dimana suhu minyak dipertahankan konstan. Setelah fraksi stearin dipisahkan dari olein, masing-masing dihitung jumlahnya, lalu dianalisis sifat fisika dan kimianya meliputi rendemen (yield), kandungan lemak padat (dengan NMR) dan profil triasilgliserolnya (dengan HPLC).

63 32

64 33 4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 1) (Characterisation of physicochemical properties of coconut oil) Mursalin 2,3), Purwiyatno Hariyadi 3,4), Eko Hari Purnomo 3,4), Nuri Andarwulan 3,4), dan Dedi Fardiaz 3,4)) 2) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jalan Raya Jambi-Muara Bulian Km.15 Mendalo Darat, Jambi 36122, Telp , mursalin_murod@yahoo.com 3) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Kampus IPB Darmaga PO Box 220 Bogor 16002, Telp / , Fax , fateta@ipb.ac.id. 4) SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, Jl. Puspa No.1 Kampus IPB Darmaga 16680, Telp./Fax: , seafast@ipb.ac.id, website: Abstract Coconut oil (refined bleached deodorized coconut oil/rbdcno) was studied for their physicochemical properties. The main analysis were fatty acid composition, triacylglycerol (TAG) composition, solid fat content (SFC), water content, free fatty acids content and slip melting point (SMP). Coconut oil is dominant with lauric (C12:O), miristic (C14:0) and caprilic (C8:0) acid which composed the main trilaurin (LaLaLa), caprodilaurin (CaLaLa) and dilauromiristin (LaLaM) TAG. The content of lauric, miristic and caprilic acid in coconut oil are 51.73; and 10.61%, respectively; while LaLaLa, CaLaLa and LaLaM TAG are 20.43; and 15.38%, respectively. Coconut oil contains medium chain trigliserides (MCT) of 53.71%, trisaturated (St3) of 82.54%, disaturated (St2U) of 14:24%, monosaturated (StU2) of 3:22% and the proportion of high/low-melting TAG (S/L) by 49.25%. Coconut oil has a high SFC at low temperatures and a sharp decline to a temperature of 25 C and then constant up to a temperature of about 30 ºC. Coconut oil s SFC with about 32% was measured in temperature interval C, indicating that coconut oil has a good spreadibility at ambient temperature for countries that have 4 seasons. At temperature of 27 C, coconut oil s SFC was 3.53%, this means that at the temperatures, coconut oil slip melting point (SMP) has been exceeded. Coconut oil has SMP ranged between C, the water content of 0.021% and a free fatty acid content of 0.018%. Keywords: Characterisation, coconut oil, RBDCNO, triacylglycerol 1) Artikel ini telah di-submit pada Jurnal Penelitian Tanaman Industri (LITTRI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

65 34 Abstrak Minyak kelapa yang telah dimurnikan (RBDCNO), dipelajari sifat fisikokimianya. Analisis utama meliputi komposisi asam lemak, komposisi triasilgliserol (TAG), kadar air, kadar asam lemak bebas, Solid Fat Content (SFC) dan Slip Melting Point (SMP). Minyak kelapa dominan dengan asam lemak laurat (51.73%), miristat (15.57%) dan kaprilat (10.61%) dengan komposisi TAG utama trilaurin (LaLaLa) sebesar 20.43%, caprodilaurin (CaLaLa) sebesar 16.23% dan dilauromiristin (LaLaM) sebesar 15.38%. Minyak kelapa mengandung medium chain trigliserides (MCT) sebesar 53.71%, trisaturated (St3) sebesar 82.54%, disaturated (St2U) sebesar 14.24%, monosaturated (StU2) sebesar 3.22% dan dengan proporsi TAG bertitik leleh tinggi/rendah (S/L) sebesar 49.25%. Minyak kelapa mempunyai SFC tinggi pada suhu rendah dan terjadi penurunan yang cukup tajam sampai suhu 25 C, kemudian konstan sampai suhu sekitar 30 ºC. SFC minyak kelapa dengan nilai sekitar 32 %, berada pada interval suhu o C, berarti bahwa minyak kelapa memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu 22 o C (suhu ruang bagi negara-negara yang memiliki 4 musim). SFC minyak kelapa pada suhu 27 C sebesar 3.53 %, berarti pada suhu tersebut minyak kelapa sudah melewati SMP-nya. Minyak kelapa memiliki titik leleh (SMP) berkisar antara suhu C, kadar air sebesar 0.021% dan kadar asam lemak bebas sebesar 0.018%. Kata kunci: minyak kelapa, triasilgliserol, titik leleh, RBDCNO, fraksinasi Pendahuluan Karakteristik penting dari minyak/lemak diantaranya adalah kandungan asam lemak dan distribusinya dalam triasilgliserol (TAG), kadar air, kadar asam lemak bebas, profil solid fat conten (SFC) dan titik lelehnya (slip melting point). Pengetahuan mengenai sifat-sifat minyak yang berkenaan dengan karakteristik di atas akan memudahkan penanganannya lebih lanjut. Sifat-sifat tersebut juga menggambarkan mutu minyak dan kemungkinan penggunaannya sebagai bahan baku proses pengolahan tertentu untuk membentuk produk tertentu. Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan mono-gliserida, asam lemak bebas, pigmen, sterol, hidrokarbon, posfolipid, lipoprotein, dan lain-lain). Triasilgliserol penyusun minyak atau lemak terbentuk dari asam lemak-asam lemak yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi sifat dan wujud minyak secara alamiah (Ketaren 2005). Menurut O brien (2004), secara alami bentuk lemak dan minyak ditentukan oleh asam lemak yang terikat pada gliserol. Tingkat kekerasan, titik leleh dan cita rasa minyak dan lemak erat hubungannya dengan panjang rantai karbon serta tingkat kejenuhan asam lemaknya. Sifat fisika, kimia dan fungsional minyak atau lemak sangat ditentukan oleh profil triasilgliserol dan komposisi asam lemaknya. Triasilgliserol dan asam lemak penyusun minyak secara parsial mempunyai sifat fisika, kimia dan fungsional tersendiri, oleh karena itu pengaturan jenis dan jumlah (profil)

66 triasilgliserol dalam minyak akan sangat merubah sifat alami minyak tersebut. Pengaturan profil triasilgliserol dan komposisi asam lemak penyusun minyak ini biasanya dilakukan dalam rangka menghasilkan minyak dengan sifat khusus untuk tujuan tertentu (specialty fats). Pengaturan jenis dan jumlah triasilgliserol pada suatu jenis minyak akan memberi nilai tambah yang sangat tinggi bagi minyak tersebut. Dengan cara ini akan diperoleh bahan baku industri berbasis minyak yang nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi dari minyak tersebut dalam kondisi alami. Triasilgliserol minyak kelapa sebagian besar tersusun atas trilaurin (LaLaLa) yang menempati 21% dari seluruh triasilgliserol yang ada, diikuti oleh dilauromiristin (18%), kaprodilaurin (17.4%), dikaprolaurin (12.9%) dan laurodimiristin (10.2%) (Tan dan Man, 2002). Minyak kelapa mengandung 84% triasilgliserol yang ketiga asam lemaknya jenuh, 12% triasilgliserol dengan dua asam lemak jenuh dan 4% triasilgliserol yang mempunyai satu asam lemak jenuh. Asam lemak yang menyusun minyak kelapa terdiri dari 86% asam lemak jenuh dan 14% asam lemak tidak jenuh. Tingginya asam lemak jenuh pada minyak kelapa menyebabkan minyak ini lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif dibandingkan minyak lainnya (Ketaren 2005). Berdasarkan kandungan asam lemak dominannya, minyak kelapa digolongkan sebagai minyak laurat, karena kandungan asam lauratnya paling besar dibandingkan dengan asam lemak lainnya, yakni antara 45.4 sampai 46.4%. Sifat fisik dan kimia minyak kelapa ditentukan oleh sifat fisik dan kimia dari asam laurat. Berdasarkan tingkat ketidakjenuhannya yang dinyatakan dengan bilangan Iod, minyak kelapa dapat dimasukkan ke dalam golongan non drying oil, karena bilangan iod minyak tersebut berkisar antara (Ketaren 2005). Minyak kelapa mempunyai titik leleh yang tajam pada suhu C, karena kandungan asam lemak berberat molekul rendah yang tinggi dibandingkan panjang rantainya (Lawson 1995). Semakin besar derajat ketidakjenuhan asam lemak, maka semakin rendah titik leleh minyak yang bersangkutan (Braipson- Danthine and Gibon 2007). Karena titik lelehnya yang tajam, minyak kelapa banyak digunakan dalam konfeksioneri dan bahan pengisi kue. Titik leleh yang tajam di bawah suhu tubuh, berkontribusi pada efek cooling dalam mulut (Lawson 1995). Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70 F (21.1 C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak atau lemak dengan sifat fisika-kimia yang berbeda. Fraksinasi dapat dilakukan dengan cara mendiamkan minyak kelapa pada berbagai tingkat suhu dingin, dikenal dengan istilah winterisasi (O Brien, 2004). Nilai SFC pada minyak merupakan nilai pengukuran (dalam persen) jumlah minyak padat yang terkandung dalam minyak pada suhu tertentu. Alat untuk mengukur nilai SFC adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Bentuk padat dalam minyak pada suhu tertentu adalah akibat proses kristalisasi yang terjadi pada minyak. Struktur molekul triasilgliserol yang berbeda dengan dengan sifat kimiawi yang berbeda menjelaskan keadaaan fisik minyak pada suhu yang berbeda, memberikan sifat kristalisasi dan melting tertentu pada minyak (Timms 35

67 ). Profil SFC pada lemak menentukan aplikasinya pada akhir penggunaan (Vanhoutte et al. 2003). Bilangan asam adalah ukuran tingkat kerusakan lemak atau minyak akibat proses hidrolisis. Kerusakan lemak akibat hidrolisis terjadi sebagai hasil pemecahan molekul triasilgliserol pada ikatan ester yang diikuti dengan pembentukan asam lemak bebas. Hal ini ditandai dengan berubahnya bau dan aroma minyak atau karakter lainnya. Aroma yang timbul karena peningkatan asam lemak bebas tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Pelepasan asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, kaproat dan kaprat akan menghasilkan bau dan aroma yang kurang disukai, sedangkan asam lemak rantai panjang (C12 atau lebih panjang) menghasilkan massa seperti lilin atau pada ph alkalin menghasilkan bau seperti sabun (Choe dan Min 2007). Bilangan asam maupun asam lemak bebas merupakan ukuran dari kandungan asam lemak bebas dalam lemak atau minyak. Bilangan asam adalah banyaknya potasium hidroksida yang dibutuhkan untuk menetralkan asam yang terdapat dalam lemak atau minyak, sedangkan asam lemak bebas menggunakan natrium hidroksida sebagai penetral. Kandungan asam lemak bebas dapat juga mengekspresikan bilangan asam dengan cara mengalikan persen asam lemak bebas dengan Asam lemak bebas dihitung sebagai asam oleat bebas dalam persentase untuk kebanyakan sumber minyak, walaupun untuk minyak kelapa atau inti sawit biasa digunakan asam laurat dan untuk minyak palm digunakan asam palmitat (American Oil and Chemists Society 2005). Asam lemak bebas adalah indikator mutu minyak atau lemak sepanjang tahap pengolahannya, asam lemak bebas juga merupakan ukuran efisiensi deodorizer dan sebagai alat pengontrol proses untuk pengolahan minyak. Tingginya kandungan asam lemak bebas menunjukkan buruknya proses deodorizer, tidak cukupnya penggunaan steam, atau telah terjadinya kebocoran udara jika warna produk masih cerah dengan aroma teroksidasi. Kandungan asam lemak bebas minyak yang telah dideodorisasi telah ditetapkan di Amerika maksimum sebesar 0.05 %, tapi kebanyakan menetapkan standar internal maksimum sebesar 0.03 % (American Oil and Chemists Society 2005). Berdasarkan rumusan yang ada dari BSN tentang minyak goreng (SNI ), ditetapkan bahwa standar mutu minyak goreng kelapa antara lain memiliki kadar air kurang dari 0.1 persen, bilangan asam kurang dari 0.6 mg KOH/gram minyak (Tabel 4.1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisikokimia RBDCNO. Karakteristik fisikokimia utama yang diamati meliputi komposisi asam lemak, komposisi triasilgliserol, profil SMP dan SFC, kadar air dan kadar asam lemak bebas.

68 37 Tabel 4.1 Standar mutu minyak goreng kelapa (SNI ) No Kriteria uji Satuan Persyaratan Mutu I Mutu II 1 Keadaan 1.1 Bau normal normal 1.2 Rasa normal normal 1.3 Warna putih, kuning pucat sampai kuning 2 Kadar Air % b/b maks 0,1 maks 0,3 3 Bilangan asam mg KOH/gr maks0,6 maks 2 4 Asam linoleat (C18:3) % maks 2 maks 2 dalam komposisi asam lemak minyak 5 Cemaran logam 5.1 Timbal (pb) mg/kg maks 0,1 maks 0,1 5.2 Timah (Sn) mg/kg maks 40,0*/250 maks 40,0*/ Raksa (Hg) mg/kg maks 0,05 maks 0, Tembaga (Cu) mg/kg maks 0,1 maks 0,1 6 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks 0,1 maks 0,1 7 Minyak Pelikan** negative negatif Catatan *Dalam kemasan kaleng; **Minyak pelikan = minyak yang tak tersabunkan Bahan dan Metode Bahan. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak kelapa yang telah mengalami refining, bleaching dan deodorizing (RBDCNO). Standar triasilgliserol (TAG) murni (OOO, POO, SOO, PPP, SSS) dari Sigma (St. Louis, MO USA). Untuk melengkapi standar TAG, TAG murni dicampur dengan minyak/lemak yang telah diketahui komposisi TAG-nya, yaitu RBDPO (PLO, PLP, OOO, POO, PPP), CB (POP, POS, SOS, SOA) dan FHSO (PPP, PPS, PSS,SSS). Standar asam lemak (C8:0 sampai dengan C22:0) dari Supelco (Bellefonte, PA USA) serta bahan-bahan kimia untuk analisis. Komposisi Asam Lemak. Metode analisis komposisi asam lemak berdasarkan AOCS Official Methods Ce 1-62, 2005, seperti yang digunakan oleh Soekopitojo (2011). Komposisi asam lemak ditentukan sebagai metil ester asam lemak (FAME, fatty acid methyl ester). Prosedur metilasi mengacu pada AOCS Official Methods Ce 2-66 (2005). Analisis komposisi asam lemak menggunakan GC (Gas Chromatography) (Shimadzu GC-9AM) yang dilengkapi dengan detektor FID (Flame Ionization Detector). Kolom yang digunakan adalah DB-23 (30 m, id 0.25 μm). Penyuntikan sampel sebanyak 1 μl menggunakan sistem langsung (splitless mode) dengan suhu injektor 250 C, suhu detektor 260 C, suhu kolom awal 140 C yang dipertahankan selama 6 menit. Peningkatan suhu kolom kemudian adalah 3 C per menit hingga suhu akhir 230 C dan dipertahankan selama 20 menit. Gas helium digunakan sebagai gas pembawa dengan tekanan 1 kg/cm 2, sedangkan tekanan gas hidrogen dan udara untuk FID masing-masing 0.5 kg/cm 2. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan standar metil ester asam lemak dan kuantifikasi

69 38 masing-masing jenis asam lemak dilakukan dengan perbandingan terhadap standar internal C17:0. Komposisi Triasilgliserol. Analisis komposisi TAG mengacu pada metode yang dimodifikasi dari AOCS Official Methods Ce 5c (2005). Komposisi TAG RBDCNO dianalisis menggunakan HPLC Hewlett Packard series 1100 dengan detektor Indeks Refraksi (Refractive index, RI). Sampel dilarutkan dalam aseton dengan konsentrasi 5%, lalu disuntikkan ke dalam HPLC sebanyak 20 μl. HPLC yang digunakan memiliki tipe pompa isokratik dengan laju aliran fase gerak (aseton : asetonitril, 85 : 15 v/v) 0.8 ml/menit. Kolom yang digunakan adalah dua kolom C-18 (Microsorb MV dan Zorbax Eclipse XDB C18, 4,6 x 250 mm, ukuran partikel 5 µm) yang dipasang secara seri. Solid Fat Content (SFC). Analisis SFC terhadap RBDCNO menggunakan Bruker Minispec PC 100 NMR Analyzer dengan cara yang sama dilakukan oleh Sukopitojo (2011). Sebelum analisis, sampel dilelehkan terlebih dahulu pada suhu 80 C. Sampel dimasukkan ke dalam tabung NMR dengan menggunakan pipet tetes sebanyak 2.5 ml (setinggi dry block), lalu dipanaskan pada suhu 60 C selama 30 menit pada alat pemanas kering. Setelah itu sampel disimpan pada suhu 0 C selama 90 menit, setelah itu sampel diinkubasi pada suhu 0, 5, 10, 20, 25, 27, 30 dan 35 C selama 60 menit. Setelah inkubasi, sampel siap dianalisis. Kalibrasi NMR menggunakan standar SFC 0 %, 31.5 % dan 72.9 %. Slip Melting Point (SMP). Analisis SMP (AOCS Official Methods Cc 3-25, 2005) dilakukan terhadap RBDCNO. Sampel yang telah disaring dilelehkan dan dimasukkan ke dalam tabung kapiler (3 buah) setinggi 1 cm. Selanjutnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 4-10 o C selama 16 jam. Tabung kapiler diikatkan pada termometer dan termometer tersebut dimasukkan ke dalam gelas kimia (600 ml) berisi air (sekitar 300 ml). Suhu air dalam gelas kimia diatur pada suhu 8 10 o C di bawah titik leleh sampel dan suhu air dipanaskan pelanpelan (dengan kenaikan 0.5 o C 1 o C/menit ) dengan pengadukan (magnetic stirrer). Pemanasan dilanjutkan dan suhu diamati dari saat sampel meleleh sampai sampel naik pada tanda batas atas. Slip melting point dihitung berdasarkan rata-rata suhu dari ketiga sampel yang diamati. Kadar Air. Kadar air minyak kelapa dianalisis mengikuti metode oven (SNI ). Kadar air dihitung sebagai berat yang hilang setelah contoh uji dipanaskan pada suhu 103 C ± 2 C selama 3 jam atau 130 C ± 2 C selama 30 menit. Peralatan yang digunakan antara lain adalah cawan aluminium dengan diameter 8-9 cm dan tinggi 4-5 cm, desikator, oven pengering dengan pemanas listrik dilengkapi dengan thermometer, dan neraca analitik dengan ketelitian 0.1 mg. Cara kerjanya adalah (1) Wadah yang akan dipakai dikeringkan dalam oven pada suhu 103 C selama 15 menit, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang; (2) Contoh minyak dilelehkan dengan memanaskannya pada suhu 70 C sambil diaduk; (3) 10 gram contoh uji minyak yang sudah dilelehkan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah dikeringkan, lalu wadah dengan contoh uji dimasukkan ke dalam desikator hingga suhu minyak mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang; (4) Minyak dipanaskan dalam oven pada suhu 130 C selama 30

70 39 menit, kemudian segera dimasukkan ke dalam desikator, didinginkan selama 15 menit, lalu ditimbang; dan (5) Dilakukan pengulangan pemanasan minyak dalam oven selama 30 menit, pendingin dalam desikator dan penimbangan beberapa kali, sampai selisih berat antara 2 penimbangan berturut-turut tidak melebihi 0.02 % dari berat contoh uji. Kadar air dihitung berdasarkan rumus: Kadar air (basis basah) = WW 1 WW 2 WW 1 WW xx 100% (dinyatakan dalam 3 desimal) dengan W adalah berat wadah (g), W 1 adalah berat wadah dengan contoh (g) dan W 2 adalah berat wadah contoh uji setelah dikeringkan (g) Kadar Asam Lemak Bebas. Kadar asam lemak bebas minyak kelapa dianalisis sesuai metode AOCS Ca 5a-40 (2005). Sebelum ditimbang sampel harus dalam keadaan cair dan homogen serta tidak boleh dipanaskan sampai lebih dari 10 C di atas titik lelehnya. Sampel ditimbang dengan teliti dengan berat sampel mengacu pada tabel AOCS Ca 5a-40, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ke dalam erlenmeyer ditambahkan alkohol netral yang sudah dipanaskan pada suhu 60 C, lalu dikocok sampai semua larut dan homogen. Sampel selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0.1 N menggunakan indikator fenolftalein hingga terbentuk warna merah muda yang stabil selama 30 detik. ml NaOH x N x 20 Kadar asam lemak bebas sebagai laurat (%) = Berat sampel Komposisi Asam Lemak RBDCNO Hasil dan Pembahasan Hasil analisis GC untuk 19 jenis asam lemak sebagai eksternal standar dalam pengujian dan penentuan komposisi asam lemak dalam sampel minyak kelapa ini menghasilkan data berupa waktu retensi, luas area, konsentrasi masingmasing asam lemak dan Respon Faktor (RF) seperti terlihat pada Tabel 4.2. Waktu retensi masing-masing jenis asam lemak ini selanjutnya akan digunakan sebagai patokan untuk menentukan jenis dan komposisi asam lemak yang terdapat dalam sampel minyak kelapa. RF nantinya akan digunakan sebagai faktor respon masing-masing jenis asam lemak terhadap prosedur dan alat yang digunakan dalam penelitian ini. Standar internal (SI) untuk kuantifikasi kadar asam lemak dalam sampel minyak kelapa digunakan asam lemak C17:0 (asam lemak metil-dekanoat) dengan nilai RF = 1. Komposisi asam lemak RBDCNO disajikan pada Tabel 4.3.

71 40 Tabel 4.2 Perhitungan RF untuk 15 jenis asam lemak standar eksternal yang digunakan No. Waktu Retensi (menit) Jenis Asam Lemak Area Asam Lemak Kons Standar Asam lemak (mg/ml) Area SI C8:0 Kaprilat C10:0 Kaprat C12:0 Laurat C13:0 Tridekanoat C14:0 Miristat C14:1 Miristoleat C15:0 Pentadekanoat C16:0 Palmitat C16:1 Palmitoleat C17:0 Heptadekanoat C18:0 Stearat C18:1 Trans-9- Elaidat C18:1 Cis-9-oleat C18:2 Linoleat C18:3 Linolenat C20:0 Arakhidat C20:1 Eikosenoat C22:0 Behenat C22:1 Erucic acid RF Tabel 4.3 Komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC Waktu Retensi (menit) Jenis Asam Lemak Area SI RF Area Asam Lemak Jumlah Asam lemak (mg/ml) Konsentrasi Asam Lemak (%) Kaprilat Kaprat Laurat Miristat Palmitat Stearat Cis-9-oleat Linoleat RBDCNO dominan dengan asam lemak laurat (C12:0), miristat (C14:0) dan kaprilat (C8:0) (Tabel 4.3). Kandungan asam lemak laurat, miristat dan kaprilat dalam bahan baku RBDCNO masing-masing sebesar 51.73; dan

72 %. Berdasarkan ketidakjenuhannya, minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acids, StFA) sebanyak 94.46%, dengan kandungan asam lemak tidak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acids, MUFA) dan jamak (polyunsaturated fatty acids, PUFA) masing-masing sebesar 4.12% dan 1.43%. Kromatogram untuk analisis ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 Kromatogram komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC Komposisi asam lemak minyak kelapa hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan komposisi asam lemak yang telah dilaporkan oleh O Brien (2004); Tan dan Man (2002); dan Jeyarani et al. (2009). Perbandingan komposisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Perbandingan komposisi asam lemak minyak kelapa dari berbagai sumber Jenis Asam Lemak Konsentrasi Asam Lemak (%) (a) (b) (c) (d) C8:0 Kaprilat C10:0 Kaprat C12:0 Laurat C14:0 Miristat C16:0 Palmitat C18:0 Stearat C18:1 Cis-9-oleat C18:2 Linoleat Keterangan: (a) hasil pengukuran dengan GC (b) O Brien (2004) (c) Tan dan Man (2002) (d) Jeyarani et al. (2009) Komposisi asam lemak minyak kelapa sangat bervariasi tidak hanya berbeda dari pohon ke pohon, tetapi ada yang mendasari pola-pola komposisi

73 42 asam lemak yang khas untuk wilayah tertentu (Lipp dan Anklam 1998). Kualitas minyak juga dipengaruhi oleh kualitas buah, kematangan dan penyimpanan, serta proses pemurnian selanjutnya (Sarmidi et al. 2009). Profil TAG Standar triasilgliserol yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar palm kernel oil (RBDPKO). Kromatogram dari standar triasilgliserol dapat dilihat pada Gambar 4.2. Waktu retensi standar triasilgliserol (Tabel 4.5) selanjutnya dijadikan acuan untuk identifikasi triasilgliserol pada sampel. Persentase TAG dihitung berdasarkan luas area TAG per total luas area TAG yang teridentifikasi. Gambar 4.2 Kromatogram standar RBDPKO Hasil identifikasi untuk kromatogram standar RBDPKO ini telah dikonfirmasi dengan berbagai hasil penelitian sejenis, diantaranya oleh Renata (2009); Sukopitojo (2011); Jeyarani et al. (2009), hingga dihasilkan seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.6. Menurut Tan dan Man (2002) dan Jeyarani et al. (2009), penentuan jenis TAG berdasarkan waktu retensi standar harus dikoreksi dengan memperhitungkan equivalent carbon number (ECN) yang merupakan nilai dari jumlah ketiga atom karbon penyusun TAG dikurangi dengan dua kali jumlah ikatan rangkap yang terdapat dalam TAG tersebut. Jenis TAG yang melewati kolom dalam analisis HPLC pasti berurut berdasarkan ECN yang lebih kecil terlebih dahulu. Untuk satu bilangan ECN bisa saja terdiri dari lebih dari satu jenis TAG, misalnya LaLaM dengan LaLaO yang mempunyai ECN sama-sama 38 atau LaMM, LaMO, LaMP dan MMM yang sama-sama mempunyai nilai ECN sebesar 42. Oleh karena itu, identifikasi kromatogram hasil analisis HPLC ini harus dikonfirmasi ulang dengan tipikal masing-masing TAG dalam bahan secara alami, atau diperbandingkan dengan hasil penelitian yang telah ada. Komposisi TAG minyak kelapa dan ECN masing-masing masing-masing jenis TAG dapat dilihat pada

74 43 Tabel 4.7. Waktu retensi, jenis TAG dan konsentrasi masing-masing jenis TAG minyak kelapa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.6 Hasil identifikasi waktu retensi dan jenis TAG pada standar RBDPKO Peak Waktu Retensi Jenis TG Area Peak Konsentrasi (%) CpCaLa CaCaLa CaLaLa LaLaLa LaLaM LaLaO LaMM LaMO LaMP LaOO MOO MMP OOO POO Total Keterangan: Cp = kaprilat, Ca = kaprat, La = laurat, M = miristat, P = palmitat, O = oleat, dan L= linoleat; Sumber: Renata (2009); Sukopitoyo (2011) Tabel 4.7 Komposisi TAG (%) minyak kelapa dan nilai ECN masing-masing jenis TAG Sumber: Jeyarani et al. (2009) Hasil analisis komposisi TAG menunjukkan bahwa minyak kelapa dalam penelitian ini mempunyai distribusi TAG yang hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Tan dan Man (2002) dan Jeyarani et al. (2009). Komposisi TAG utamanya adalah LaLaLa, CaLaLa dan LaLaM dengan jumlah masing-masing

75 44 adalah sebesar 20.43; dan 15.38%. Pada Gambar 4.3 dapat dilihat profil kromatogram hasil analisis komposisi TAG minyak kelapa menggunakan HPLC. Tabel 4.8 Waktu retensi, ECN, jenis dan konsentrasi masing-masing TAG minyak kelapa Peak Waktu Jenis Konsentrasi Referensi (%) ECN Area Peak Retensi TAG (%) (a) (b) CpCaLa CaCaLa CaLaLa LaLaLa LaLaO LaLaM LaMP LaMM LaMO MPO PLO/PPL MOO Keterangan: (a) Tan and Man (2002) (b) Jeyarani et al. (2009) Neff et al. (1999) dan Silva et al. (2009) mengelompokkan TAG minyak sawit menjadi empat kelompok menggunakan lambang U untuk gugus asam lemak tidak jenuh (unsaturated) dan St untuk gugus asam lemak jenuh (saturated). Kelompok 1, TAG yang terdiri atas jenis UUU/StUU (rasio 1:1) dengan titik leleh berkisar antara -13 sampai 1 C. Kelompok 2, TAG yang terutama terdiri atas jenis StUU yang meleleh pada 6 23 C. Kelompok 3 dan 4 terdiri atas TAG disaturated (StStU) dan trisaturated (StStSt) yang masingmasing meleleh pada C dan C. Sebagai contoh dari TAG UUU (U3) adalah OOO (oleat-oleat-oleat), StUU (StU2) adalah POO (palmitat-oleatoleat), StStU (St2U) adalah POP (palmitat-oleat-palmitat) dan StStSt (St3) adalah PSS (palmitat-stearat-stearat). Pengelompokan ini sepertinya tidak seluruhnya cocok jika digunakan pada TAG minyak kelapa. Minyak kelapa tidak mengandung TAG U3; mengandung TAG St3 sebesar % yang terdiri CpCaLa, CaCaLa, CaLaLa, LaLaLa, LaLaM, LaMP dan LaMM; mengandung TAG St2U sebesar % yang terdiri dari LaLaO, LaMO, MPO dan PPL; mengandung TAG StU2 sebesar 3.22 % yaitu MOO. Selain itu, jenis TAG St3 yang ada dalam minyak berbeda secara nyata dengan minyak sawit, % St3 minyak kelapa adalah medium chain triglycerides (MCT) yang menurut Prakoso et al. (2006), memiliki titik leleh rendah dan selalu cair pada suhu kamar (25 o C).

76 45 Gambar 4.3 Kromatogram minyak kelapa hasil analisis HPLC Profil SFC SFC adalah jumlah kristal lemak yang terdapat dalam campuran minyak/lemak yang menentukan karakteristik berbagai produk, seperti sifat pelelehan maupun sifat organoleptik produk. SFC menentukan kesesuaian dari minyak dan lemak untuk aplikasi khusus. Secara umum, SFC dari komponen minyak dan lemak bertanggung jawab terhadap berbagai karakteristik produk, meliputi penampakan umum, kemudahan untuk dikemas, daya oles, peresapan minyak dan sifat-sifat organoleptik (Lida dan Ali 1998). SFC juga dapat digunakan untuk mempelajari kompatibilitas lemak dengan menentukan perubahan persen padatan pada berbagai proporsi lemak (Noor Lida et al. 2002). Profil SFC minyak kelapa dapat dilihat pada Gambar 4.4. Nilai SFC minyak atau lemak menentukan aplikasi penggunaannya dalam berbagai produk. SFC 32 % pada suhu 4-10 C berarti memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu refrigerator, pada suhu C berarti stabil terhadap pengeluaran minyak di suhu kamar di negara-negara subtropis, pada suhu C berarti memiliki kekentalan dan sifat pelepasan flavor yang baik di dalam mulut (Lida dan Ali 1998; Berger dan Idris 2005). Nilai SFC 32 % pada suhu 30 C menunjukkan bahwa minyak bersifat stabil selama transportasi/distribusi di negara tropis. Minyak jenis ini cocok digunakan sebagai bahan baku bakery. Minyak dengan SFC 32 % pada suhu 35 C adalah minyak dengan sifat organoleptik (oral melting) atau palatability yang baik (Setiawan 2002). SFC minyak kelapa dengan nilai sekitar 32 % berada pada interval suhu o C. Hal ini berarti bahwa minyak kelapa memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu 22 o C (suhu ruang bagi negara-negara yang memiliki 4 musim).

77 46 SFC (%) Temperature ( o C) Gambar 4.4 Nilai SFC minyak kelapa sebagai fungsi dari suhu SFC dapat mengidentifikasi persentasi bagian padat dalam lipida pada berbagai suhu. Oleh karena itu, SFC menjadi parameter penting untuk menganalisis sifat-sifat lemak padat seperti margarine dan shortening (Li et al. 2010). Hasil analisis SFC menunjukkan bahwa minyak kelapa mempunyai nilai SFC tinggi pada suhu rendah dan terjadi penurunan yang cukup tajam sampai suhu 25 C, kemudian laju penurunan nilai SFC-nya relatif konstan sampai suhu sekitar 30 ºC. Pada suhu pengukuran 27 C minyak kelapa memiliki nilai SFCsebesar 3.53 %, hal ini mengindikasikan bahwa pada suhu tersebut minyak kelapa sudah melewati slip melting point (SMP)-nya. Karena menurut Lida dan Ali (1998), lemak di dalam tabung kapiler akan mengalami slip ketika kandungan lemak padatnya sekitar 4-5 %, sehingga dapat dianalogikan bahwa SMP menunjukkan kondisi ketika minyak/lemak mempunyai nilai SFC sekitar 4-5 %. Profil SMP Hasil pengukuran SMP menunjukkan bahwa minyak kelapa memiliki titik leleh pada suhu diantara o C. SMP adalah temperatur pada saat lemak dalam pipa kapiler yang berada dalam air menjadi cukup leleh untuk naik dalam pipa kapiler. Titik cair lemak merupakan karakteristik nyata yang berkaitan dengan metode penentuan dari eksperimen, dan bukan merupakan karakteristik fisik dasar seperti pada senyawa murni (Timms 1994). Tiap asam lemak murni mempunyai titik leleh spesifik. Minyak kelapa yang merupakan campuran esensial dari berbagai asam lemak sebagai triasilgliserol (seperti kaprat, laurat dan miristat), cenderung memiliki titik cair yang tajam (sharp). SMP minyak berkaitan dengan wujud dan tampilannya, pada suhu di atas SMP minyak akan berwujud cair dengan tampilan yang jernih tetapi di bawah suhu SMP minyak akan berwujud semi-padat hingga padat dengan tampilan warna yang keruh.

78 47 Menurut Lawson (1995), faktor penting penentu titik cair dan melting behaviour minyak atau lemak antara lain adalah panjang rantai asam lemak (semakin panjang semakin tinggi titik cairnya), posisi asam lemak pada molekul gliserol, proporsi relatif dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dan teknik pengolahan (derajat hidrogenasi dan winterisasi). Kadar Air dan Kadar Asam Lemak Bebas Kadar air minyak kelapa pada penelitian ini adalah 0.021%, sedangkan kadar asam lemak bebasnya adalah sebesar 0.018% (b/b). Kadar air dan asam lemak bebas minyak kelapa pada penelitian ini jauh lebih rendah dari yang disyaratkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam SNI untuk minyak goreng bermutu I (maksimum 0.1% dan 0.6 mg KOH/gr), bahkan lebih rendah dari yang disyaratkan oleh American Oil and Chemists Society (0.05 dan 0.03%), berarti minyak kelapa ini bermutu sangat baik. Kandungan air yang rendah (< 1%) adalah syarat untuk mempertahankan mutu minyak dalam jangka waktu yang lama. Karena air adalah reaktan bagi keberlangsungan proses hidrolisis yang akan menurunkan mutu minyak. Sedangkan asam lemak bebas juga merupakan salah satu parameter mutu yang penting dalam industri minyak, yang biasanya dijadikan sebagai indikator tingkat kerusakan minyak (Tan et al. 2009). Kesimpulan Minyak kelapa dominan dengan asam lemak laurat (51.73%) miristat (15.57 %) dan kaprilat (10.61%) dengan komposisi TAG utama LaLaLa (20.43%), CaLaLa (16.23%) dan LaLaM (15.38%). Minyak kelapa memiliki kadar air sebesar 0.021% dan kadar asam lemak bebas sebesar 0.018%. Minyak kelapa mempunyai SFC tinggi pada suhu rendah dan terjadi penurunan yang cukup tajam sampai suhu 25 C kemudian konstan sampai suhu sekitar 30 ºC. SFC minyak kelapa dengan nilai sekitar 32 %, berada pada interval suhu o C, berarti bahwa minyak kelapa memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu 22 o C (suhu ruang bagi negara-negara yang memiliki 4 musim). SFC minyak kelapa pada suhu 27 C sebesar 3.53 %, berarti pada suhu tersebut minyak kelapa sudah melewati SMP-nya. SMP minyak kelapa berkisar antara suhu C. Daftar Pustaka American Oil Chemists Society Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists Society. Illinois: Am Oil Chem Soc Press, Champaign. Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Internet: Standard for Coconut Oil Downloaded from 15/3/2011.

79 48 Badan Standarisasi Nasional. Internet: SNI Didownload dari: Badan Standarisasi Nasional. Internet: SNI Didownload dari: Berger KG, NA Idris Formulation of zero-trans acid shortenings and margarines and other food fats with products of the oil palm. J Am Oil Chem Soc, 82: Braipson-Danthine S, V Gibon Comparative analysis of triacylglycerol composition, melting properties and polymorphic behavior of palm oil and fractions. Eur J Lipid Sci Technol 109: Choe E, DB Min Chemistry of Deep-Fat Frying Oils. J Food Sci, 72: R77-R86. Jeyarani T, MI Khan, S Khatoon Trans-free plastic shortenings from coconut stearin and palm stearin blends. Food Chemistry, 114: Ketaren S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Lawson H Food Oil and Fats Technology, Utilization, and Nutrition. Chapman and Hall. New York. Li D, P Adhikari, JA Shin, JH Lee, YJ Kim, XM Zhu, JN Hu, J Jin, CC Akoh, KT Lee Lipase-catalyzed interesterification of high oleic sunflower oil and fully hydrogenated soybean oil comparison of batch and continuous reactor for production of zero trans shortening fats. LWT Food Science and Technology, 43: Lida HMDN, Ali ARM Physicochemical characteristics of palm-based oil blends for the production of reduced fat spreads. J Am Oil Chem Soc, 75: Lida HMDN, K Sundram, WL Siew, A Aminah, S Mamot TAG composition and solid fat content of palm oil, sunflower oil, and palm kernel olein blends before and sfter chemical interesterification. J Am Oil Chem Soc, 79: Lipp M, E Anklam Review of cocoa butter and alternatives fats for use in chocolate Part A. Compositional data. Food Chemistry, 62: Neff WE, GR List, WC Byrdwell Effect of triacylglycerol composition on functionality of margarine basestocks. Lebensm-Wiss u-technol, 32: O Brien RD Fats and oils; formulating and processing for applications. CRC Press LLC. Washington, D.C

80 49 Prakoso T, SC Hapsari, P Lembono, TH Soerawidjaja Sintesis trigliserida rantai menengah melalui transesterifikasi gliserol dan asam-asam lemaknya. J Teknik Kimia Indonesia, 5: Renata, AL Profil Asam Lemak dan Trigliserida Biji-bijian. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sarmidi MR, El Enshasy HA, Hamid MA Oil palm: the rich mine for pharma, food and fuel industries. Am-Euras J Agric & Environ Sci 5(6): Setiawan A Pengaruh mutu raw material minyak terhadap mutu dan formulasi produk cake margarin di pabrik SCC&C dan PT Unilever Indonesia, Tbk., Cikarang. Skripsi. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Silva RC, Cotting LN, Poltronieri TP, Balcao VM, de Almeida DB, Goncalves LAG, Grimaldi R, Gioielli LA The effects of enzymatic interesterification on the physical-chemical properties of blends of lard and soybean oil. LWT Food Science and Technology 42: Sukopitojo, S Interesterifikasi Enzimatik Bahan Baku Berbasis Minyak Sawit Untuk Produksi Cocoa Butter Equivalents. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Tan CP, YBC Man Differential scanning calorimetric analysis of palm oil, palm oil based products and coconut oil: effects of scanning rate variation. Food Chemistry, 76: Tan CH, Ghazali HM, Kuntom A, Tan CP, Ariffin AA Extraction and physicochemical properties of low free fatty acid crude palm oil. Food Chemistry, 113: Timms RE Physical chemistry of fats. Di dalam: Moran DPJ, Rajah KK, editor. Fats in Food Products. Blackie Academis and Professional, Glasgow. TIMMS RE Fractional crystallisation the fat modification process for 21 st century. Eur J Lipid Sci Technol, 107: DOI: /ejlt Vanhoutte B, K Dewettinck, B Vanlerberghe, A Huyghebaert Monitoring milk fat fractionation: filtration properties and crystallization kinetics. J Am Oil Chem Soc, 80:

81 50

82 51 5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI MENENGAH 1) (Dry fractionation of coconut oil using 120 kg-scale crystallizer to produce concentrated medium chain triglycerides) Mursalin 2,3), Purwiyatno Hariyadi 3,4), Eko Hari Purnomo 3,4), Nuri Andarwulan 3,4), dan Dedi Fardiaz 3,4)) 2) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jalan Raya Jambi-Muara Bulian Km.15 Mendalo Darat, Jambi 36122, Telp , mursalin_murod@yahoo.com 3) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Kampus IPB Darmaga PO Box 220 Bogor 16002, Telp / , Fax , fateta@ipb.ac.id. 4) SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, Jl. Puspa No.1 Kampus IPB Darmaga 16680, Telp./Fax: , seafast@ipb.ac.id, website: Abstract Coconut oil is the main source of medium chain triglycerides (MCT), fractionation could produce oil fraction containing MCT concentrate. This research aims to study the influence of various factors of cooling treatment on the crystallization and fractionation of coconut oil, establish effective cooling procedure to produce oil fraction with high MCT content. Coconut oil was heated at 70 C then cooled at different cooling rate to reach various crystallization temperatures. The oil was then stirred at 15 rpm and allow to crystallized at different period of time (up to 900 min), and finally fractionated by vacuum filtration using Whatman #40 paper. Fractionation temperatures were the same as crystalization temperature. Our results showed that there were three distinct cooling regimes critical to crystallization process, i.e from 70 to 29 C; 29 C to crystallization temperature; and crystallization temperature. In the first regime, melted coconut oil might be cooled quickly to save time but in the second regime should be done with a cooling rate of less than C/min to produce physically stable crystal. Oil with high MCT content could be obtained from olein fraction of coconut oil. At the crystallization temperature C for the critical cooling rate between to C/min, the higher MCT content of olein fraction were produced by the lower critical cooling rate and the longer crystallization process. Keywords: coconut oil, cooling rate, crystallization, fractionation, MCT. 1) Artikel ini telah dipublikasikan pada Jurnal Penelitian Tanaman Industri (LITTRI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan volume 19, Nomor (1): 41-49

83 52 Abstrak Minyak kelapa merupakan sumber medium chain triglycerides (MCT) utama, melalui proses fraksinasi dapat dihasilkan fraksi minyak dengan kandungan MCT tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai faktor perlakuan dingin terhadap kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa dan menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi minyak dengan kandungan MCT tinggi. Fraksinasi dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 70 C lalu didinginkan pada berbagai laju pendinginan untuk mencapai beberapa variasi suhu kristalisasi, diaduk dengan kecepatan 15 rpm, dibiarkan mengkristal pada lama waktu yang berbeda (hingga 900 menit) dan difraksinasi dengan penyaringan vakum menggunakan kertas Whatman 40. Tiga tahap pendinginan yang merupakan faktor kunci keberhasilan proses kristalisasi minyak kelapa yaitu pendinginan awal dari suhu 70 hingga 29 C; pendinginan kritis 29 C hingga suhu kristalisasi; dan suhu kristalisasi itu sendiri. Pada tahap pertama minyak kelapa didinginkan secepat mungkin untuk menurunkan waktu proses tetapi pada tahap kedua harus dilaksanakan dengan laju pendinginan lambat (kurang dari C/menit) untuk menghasilkan kristal yang berukuran besar dan tidak mudah meleleh. Minyak dengan kandungan MCT tinggi dapat diperoleh dari fraksi olein minyak kelapa. Pada perlakuan suhu kristalisasi C untuk laju pendinginan kritis antara hingga C/menit, semakin rendah laju pendinginan kritis dan semakin lama proses kristalisasi maka kandungan MCT fraksi olein yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kata Kunci: fraksinasi, kristalisasi, laju pendinginan, MCT, minyak kelapa Pendahuluan Minyak kelapa adalah sumber medium chain triglycerides (MCT) utama yang mempunyai sifat khas yang baik bagi kesehatan. MCT memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung. MCT kurang bersifat fattening dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain dan tidak pernah disimpan dalam bentuk cadangan energi pada proses metabolisme lipid. MCT dicerna lebih cepat dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain. MCT menguntungkan secara khusus dalam hal menyediakan energi bagi jaringan limpa, hati dan sel-sel lemak. Mengkonsumsi MCT dapat menstimulasi fungsi tiroid dan mendorong untuk terjadinya penurunan berat badan (St-Onge 2005). Kristalisasi fraksional, yang umumnya dikenal dengan istilah fraksinasi, adalah proses modifikasi minyak/lemak tertua dan telah mendasari pengembangan industri produk olahan lemak dan minyak makan modern. Pengolahan minyak yang secara komposisional bersifat heterogen menjadi fraksi yang lebih homogen dengan nilai tambah yang tinggi selalu menjadi tantangan dalam teknologi fraksinasi. Ada banyak metode fraksinasi yang dapat diterapkan dalam penyiapan bahan baku produk olahan berbasis minyak, tetapi yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah fraksinasi kering.

84 53 Minyak dapat dipisahkan sebagai fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin) melalui fraksinasi (Zaliha et al. 2004; Timms 2005). Fraksi olein dan stearin masing-masing mempunyai karakteristik fisikokimia yang berbeda dan memiliki aplikasi khusus yang berbeda pula (Sarmidi et al. 2009). Stearin minyak kelapa banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleokimia, margarin dan confectionary, dan Cocoa Butter Substitutes (CBS). Sedangkan olein banyak dimanfaatkan sebagai minyak salad, minyak goreng dengan stabilitas oksidatif yang tinggi dan minyak sumber MCT (Matulka et al. 2006; Shamsudin et al. 2006; Prakoso et al. 2006). Minyak kelapa memiliki titik beku pada suhu di sekitar 70 F atau 21.1 C (O Brien 2004). Minyak kelapa jika didinginkan pada kisaran suhu titik beku akan mengkristal, berubah wujud menjadi padat dengan sifat-sifat kristal yang sangat ditentukan oleh laju pendinginan yang diterapkan (Huey et al. 2009; Timms 2005; Calliauw et al. 2010) dan lamanya proses pendinginan tersebut berlangsung (O Brien 2004; Timms 2005; Matulka et al. 2006). Perubahan fase minyak karena pendinginan inilah yang menjadi dasar fraksinasi kering minyak kelapa. Fraksinasi kering merupakan salah satu metode modifikasi lemak secara fisik dengan memanfaatkan sifat-sifat kristalisasi dari TAG penyusun lemak tersebut (Sarmidi et al. 2009). Sifat-sifat kristalisasi yang dimaksud, diantaranya adalah perbedaan titik leleh (Huey et al. 2009), karakteristik polimorfik, dan komposisi campuran TAG (Calliauw et al. 2010). Ketiga sifat TAG ini oleh Timms (2005) dan Calliauw et al. (2010) disebut sebagai karakter fase dari TAG. TAG minyak yang paling awal mengalami perubahan wujud menjadi padat saat didinginkan adalah yang memiliki rantai atom paling panjang sementara MCT masih berwujud cair (Timms 2005). MCT memerlukan perlakuan pendinginan yang lebih intens dengan waktu yang lebih lama untuk dapat terkristalisasi (Matulka et al. 2006; Prakoso et al. 2006). Oleh karena itu, pendinginan minyak kelapa dengan prosedur tertentu (fraksinasi kering) dapat digunakan untuk menghasilkan fraksi minyak dengan kandungan MCT tinggi. MCT yang berasal dari minyak kelapa cocok digunakan untuk bahan baku pembuatan cocoa butter substitutes (CBS) karena mengandung asam laurat yang dominan (Matulka et al. 2006; Prakoso et al. 2006). MCT jenis ini dapat diperoleh baik dari fraksi olein maupun stearin minyak kelapa pada perlakuan suhu dingin dan lama proses kristalisasi yang tertentu. Karakterisasi seluruh produk fraksinasi perlu dilakukan untuk memastikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai variasi perlakuan dingin terhadap kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa dan menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi minyak kelapa dengan kandungan MCT tinggi. Metode Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah refined bleached deodorized coconut oil dari PT. BARCO, Jakarta dan standar TAG untuk analisis komposisi TAG. Fraksinasi kering yang diterapkan merupakan modifikasi cara yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2004) dan Chaleepa et al. (2010). Minyak kelapa sebanyak 112 kg dipanaskan pada suhu 70 C selama 10 menit kemudian

85 54 didinginkan secara perlahan dengan berbagai variasi laju pendinginan ( C/menit) hingga dicapai suhu kristalisasi yang diinginkan, bervariasi dari C. Setelah suhu kristalisasi tercapai, suhu minyak dijaga tetap konstan hingga akhir proses. Pengamatan dilakukan secara periodik sebanyak enam kali dimulai setelah beberapa saat minyak mencapai suhu kristalisasi. Selama proses pendinginan, minyak diaduk dengan kecepatan 15 rpm. Fraksinasi dilakukan dengan penyaringan vakuum menggunakan kertas Whatman #40 pada suhu yang sama dengan suhu kristalisasi sehingga dihasilkan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Kristalisator yang digunakan terdiri dari tujuh rangkaian peralatan utama yaitu: (1) tangki kristalisator minyak dengan sistem double jacket berkapasitas 120 kg dilengkapi dengan pengaduk mekanis yang bisa diatur kecepatannya, thermocople dan heat exchanger di bagian tengah tangki. (2) Chamber pensuplay air dingin yang terhubung dengan heat exchanger dalam tangki minyak dilengkapi dengan thermocople dan pompa. (3) Sirkuit elektronik untuk mengatur suhu air di chamber dilengkapi dengan pompa otomatis untuk mengalirkan air dingin dari chiller berdasarkan program pendinginan yang ditetapkan. (4) Chiller yang digunakan untuk mensuplay air dingin ke chamber pendingin. (5) Komputer untuk mengatur sistem sequensi perlakuan pendinginan dan untuk merekam perubahan suhu minyak dan air pendingin selama pendinginan dan kristalisasi. (6) outlet air dari chamber pendingin jika tidak ingin disirkulasikan ke chiller. (7) Inlet air dari kran ke chamber pendingin jika tidak ingin digunakan air dingin dari chiller. Skema alat kristalisator yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Skema kristalisator yang digunakan, 1=tangki kristalisator; 2=chamber berisi air pendingin; 3=sirkuit elektronik pengatur sistem pendinginan; 4=chiller sebagai penyedia air dingin; 5=komputer untuk input program dan pencatat perubahan suhu minyak dan air pendingin; 6=outlet air dari chamber pendingin; 7=inlet air dari kran sebagai sumber air dingin alternatif

86 55 Sampling dilakukan dengan cara mengambil minyak beku sebanyak ml yang berasal dari berbagai posisi pada tangki kristalisator lalu dipisahkan sebagian untuk analisis morfologi kristal, selanjutnya difraksinasi untuk memperoleh masing-masing fraksi stearin dan olein. Sampling dilakukan enam kali pada saat minyak berada pada fase kristalisasi, yaitu fase setelah tahap pendinginan kritis dimana suhu minyak dipertahankan konstan. Analisis yang dilakukan meliputi morfologi dan stabilitas kristal, laju pembentukan stearin, kandungan MCT dan titik leleh (SMP) masing-masing fraksi. Morfologi kristal diamati dengan mikroskop cahaya terpolarisasi (Olympus C-35AD-4). Stabilitas kristal diukur berdasarkan lamanya kristal berada pada fase padat saat diambil beberapa tetes dan diletakkan pada permukaan gelas preparat, diratakan dan ditutup dengan glass cover pada suhu yang sama dengan suhu ruangan (24 o C). Analisis komposisi TAG dilakukan dengan metode AOCS Official Methods Ce 5c (2005) menggunakan HPLC dan detektor Indeks Refraksi (Refractive index/ri). Hasil dan Pembahasan Dari penelitian ini diperoleh berbagai bentuk kurva pendinginan, yaitu kurva perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi. Dari pengamatan pada berbagai kurva pendinginan yang diperoleh tersebut, secara umum tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi dapat dilihat pada Gambar 5.2. Gambar 5.2. Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi

87 56 Kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi (Gambar 5.2) diidentifikasi terdapat tiga tahap pendinginan yang mempengaruhi proses kristalisasi dan fraksinasinya. Tahap pertama adalah pendinginan awal, yaitu pendinginan yang berlangsung dari suhu awal minyak (T 0 ) hingga suhu awal kristalisasi. Pada penelitian ini suhu awal kristalisasi pada minyak kelapa (suhu dimana inti kristal pertama mulai terbentuk) diperkirakan terjadi pada suhu 29 C. Hal ini didukung oleh hasil analisis NMR yang menunjukkan bahwa pada suhu 29 C minyak kelapa mulai mengkristal dengan solid fat content (SFC) berkisar antara % (data tidak ditampilkan). Tahap kedua adalah pendinginan yang berlangsung dari suhu awal kristalisasi sampai suhu kristalisasi (T cr ) yang ditetapkan. Diduga pada tahap pendinginan kedua ini terjadi peningkatan intensitas pembentukan inti kristal (propagasi) yang terjadi setelah inti pertama terbentuk hingga tercapainya suhu kristalisasi (T cr ). Dalam paper ini akan ditunjukkan bahwa laju pendinginan pada pendinginan tahap kedua ini sangat berpengaruh pada stabilitas dan ukuran kristal minyak kelapa yang dihasilkan. Karena itu laju pendinginan tahap kedua ini disebut sebagai laju pendinginan kritis (v c ). Tahap ketiga adalah pendinginan untuk mempertahankan suhu kristalisasi konstan sesuai dengan yang ditetapkan. Diduga pada pendinginan tahap ketiga ini terjadi penggabungan inti kristal membentuk kristal yang lebih besar (pertumbuhan kristal). Stabilitas dan Diameter Kristal Minyak Kelapa Stabilitas Kristal Minyak Kelapa Stabilitas kristal minyak kelapa tidak dipengaruhi oleh suhu awal pendinginan (T 0 ), suhu kristalisasi (T cr ) dan laju pendinginan awal (v i ), tetapi dipengaruhi oleh lama kristalisasi dan laju pendinginan kritis (v c, C/menit). Semakin lama proses kristalisasi akan meningkatkan stabilitas kristal minyak kelapa (SC, detik) yang dihasilkan (Gambar 5.3a). Gambar 3a juga menunjukkan bahwa laju pendinginan kritis berbanding terbalik dengan stabilitas kristal. Perubahan stabilitas kristal selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari adalah sebagai berikut: SC=5.215ln(t) untuk v c < o C/menit; SC=5.186ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan SC=2.332ln(t) untuk v c > o C/menit. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan laju pendinginan kritis akan menyebabkan penurunan stabilitas kristal minyak kelapa secara eksponensial (Gambar 5.3b). Dari kisaran laju pendinginan yang dipelajari, hubungan antara laju pendinginan kritis dengan stabilitas kristal minyak kelapa yang diperoleh pada berbagai waktu kristalisasi, dapat dijelaskan dengan persamaan SC=67.03e -7,92Vc. Stabilitas kristal minyak kelapa yang baik diperoleh dengan laju pendinginan kritis pada kisaran hingga C/menit. Stabilitas kristal minyak meningkat dari bentuk polimorfis α ke β ke β, laju pembentukan polimorfis kristal minyak bentuk α lebih tinggi daripada bentuk β maupun β (Timms 2005; Kellens et al. 2007). Perbedaan penerapan kondisi termal tertentu (laju pendinginan, suhu kristalisasi dan supercooling) akan menginduksi terjadinya pembentukan kristal minyak dengan bentuk polimorfis

88 57 yang tertentu pula. Laju pendinginan yang cepat memicu terjadinya pembentukan kristal α yang menghasilkan massa padat dengan ukuran kristal yang sangat kecil. Kristal bentuk β dapat terjadi pada laju pendinginan yang rendah. Kristal bentuk β, sebaliknya, susah untuk diperoleh dan hanya terjadi pada berbagai kondisi pengecualian saja, seperti pada lemak coklat atau cocoa butter (Kellens et al. 2007). Stabilitas kristal (detik) Lama kristalisasi (menit) Laju pendinginan kritis ( o C/menit) (a) (b) Gambar 5.3. Hubungan antara lama kristalisasi dan stabilitas kristal minyak kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (a); Pengaruh laju pendinginan kritis terhadap stabilitas kristal minyak kelapa (b); v c = laju pendinginan kritis; SC = stabilitas kristal; t = lama kristalisasi Diameter Kristal Minyak Kelapa SC= 5.215ln(t) R² = SC= 5.186ln(t) R² = SC= 2.332ln(t) R² = Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min SC = 67.03e -7.92Vc R² = Diameter kristal minyak kelapa yang dihasilkan selama proses kristalisasi tidak dipengaruhi oleh laju penurunan suhu minyak di tahap pertama pendinginan (v i ) tetapi sangat ditentukan oleh laju penurunan suhu minyak di tahap kedua atau laju pendinginan kritis (v c, C/menit). Laju pendinginan kritis kurang dari 0,176 C/menit menghasilkan kristal yang stabil sehingga morfologinya dapat direkam dalam film foto analog yang ada di bagian atas mikroskop cahaya terpolarisasi dan dapat diukur diameternya. Semakin lama proses kristalisasi (pendinginan di tahap ketiga) maka diameter kristal (DC, µm) yang dihasilkan akan semakin besar (Gambar 5.4a). Pada Gambar 4a juga terlihat bahwa diameter kristal minyak kelapa yang dihasilkan selama kristalisasi berbanding terbalik dengan laju pendinginan kritis. Perubahan diameter kristal minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari adalah sebagai berikut: DC=16.56ln(t) untuk v c < o C/menit; DC=11.34ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan DC=8.785ln(t) untuk v c > o C/menit. Peningkatan laju pendinginan kritis akan menyebabkan penurunan diameter kristal minyak kelapa secara eksponensial (Gambar 5.4b). Dari kisaran laju pendinginan yang dipelajari, hubungan antara laju pendinginan kritis dengan diameter kristal minyak kelapa yang diperoleh pada berbagai waktu kristalisasi, dapat dijelaskan dengan persamaan DC = 194.8e -10.1Vc. Sama halnya dengan stabilitas kristal, diameter kristal minyak kelapa yang baik diperoleh dengan laju pendinginan kritis pada kisaran hingga C/menit. Stabilitas kristal (detik)

89 DC = 16.56ln(t) R² = Diameter kristal (µm) DC = 8.785ln(t) R² = DC = 11.34ln(t) R² = Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min Lama kristalisasi (menit) DC = 194.8e -10.1Vc R² = (a) (b) Gambar 5.4. Pengaruh laju pendinginan kritis terhadap diameter kristal minyak kelapa (a); Hubungan antara lama kristalisasi dan diameter kristal minyak kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (b); v c = laju pendinginan kritis; DC = diameter kristal; t = lama kristalisasi Tahap kedua dan ketiga dari tiga tahap pendinginan pada kristalisasi minyak kelapa, merupakan tahapan yang sangat menentukan besar kecilnya diameter kristal minyak yang dapat dihasilkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Arnaud et al. (2007), bahwa laju pendinginan adalah faktor penentu dalam proses operasional fraksinasi kering minyak atau lemak, khususnya selama fase pembentukan inti kristal (nucleation phase), fase pembentukan inti kristal yang semakin meningkat (propagation phase), dan fase pertumbuhan dan penggabungan inti kristal (crystal growth phase). Laju pendinginan pada fase-fase ini akan berpengaruh langsung terhadap laju pembentukan inti kristal dan perkembangan kristal tersebut selanjutnya, sehingga akan mempengaruhi kemudahan fraksinasi juga kualitas fraksi yang akan dihasilkan. Suhu kristalisasi ternyata juga berpengaruh terhadap diameter kristal minyak kelapa. Diameter kristal minyak kelapa yang terbesar hingga terkecil masing-masing diperoleh dari perlakuan suhu kristalisasi pada interval o C; o C; dan o C. Berbeda halnya dengan suhu kristalisasi, laju pendinginan kritis mempengaruhi diameter kristal minyak kelapa dengan berbanding terbalik, semakin besar laju pendinginan kritis maka diameter kristal minyak kelapa akan semakin kecil. Morfologi dan diameter kristal minyak kelapa berdasarkan suhu kristalisasi dan laju pendinginan kritis dapat dilihat pada Gambar 5.5. Pada fraksinasi kering minyak kelapa, untuk menghasilkan kristal yang stabil dengan ukuran yang besar dan mudah difraksinasi, perlu diatur perlakuan dingin yang akan diterapkan sesuai dengan 3 tahap pendinginan yang dipelajari pada penelitian ini. Pendinginan cepat cocok hanya untuk di awal proses hingga terbentuknya inti kristal pertama (tahap pertama). Setelah itu, saat memasuki tahap kedua, sangat perlu untuk diatur laju pendinginan yang lambat dalam rangka membatasi jumlah inti kristal yang terbentuk dan memberikan kesempatan pertumbuhan kristal. Tetapi, laju pendinginan yang terlalu lambat pada tahap ini tidak dianjurkan karena selain tidak menghasilkan kristal dengan morfologi yang lebih baik juga akan menyebabkan pemborosan waktu dan energi. Pada tahap selanjutnya, yaitu tahap kristalisasi (tahap ketiga), besarnya suhu kristalisasi perlu diatur dan dijaga agar tetap konstan selama beberapa jam untuk memodifikasi hasil Diameter kristal (µm) laju pendinginan kritis ( o C/min)

90 59 proses dan menghasilkan fraksi dengan kualitas tertentu, sesuai kebutuhan dan kegunaannya. Gambar 5.5 Pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap ukuran kristal minyak kelapa; angka di bawah gambar menunjukkan urutan (ranking) dari ukuran diameter kristal yang terbesar hingga terkecil Pola Pembentukan Stearin Minyak Kelapa selama Kristalisasi Jumlah fraksi stearin yang dapat dihasilkan dari fraksinasi kering minyak kelapa sangat ditentukan oleh laju pendinginan, suhu kristalisasi dan lama kristalisasi yang diterapkan. Pada pendinginan tahap pertama, perbedaan laju pendinginan awal tidak menghasilkan jumlah fraksi stearin yang berbeda. Pada semua laju pendinginan awal (v i, o C/menit), peningkatan jumlah fraksi stearin selama proses kristalisasi akan sebanding dengan nilai logaritma lama kristalisasi. Laju pendinginan kritis berpengaruh terhadap pembentukan stearin minyak kelapa selama proses kristalisasi, perbedaan laju pendinginan kritis (vc, o C/menit) menghasilkan jumlah fraksi stearin yang juga berbeda. Semakin lama proses kristalisasi (pendinginan di tahap ketiga) maka jumlah fraksi stearin (FS, %) yang dihasilkan akan semakin besar (Gambar 5.6a). Gambar 5.6a juga menunjukkan bahwa jumlah fraksi stearin minyak kelapa yang dihasilkan selama kristalisasi berbanding terbalik dengan laju pendinginan kritis. Perubahan jumlah fraksi stearin minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari adalah sebagai berikut: FS=14.88ln(t) untuk v c < o C/menit; FS=13.49ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan FS=14.57ln(t) untuk v c > o C/menit.

91 60 Ʃ Fraksi Stearin (%) Gambar 5.6 FS = 14.88ln(t) R² = FS = 13.49ln(t) R² = FS = 14.57ln(t) R² = Lama kristalisasi (menit) (a) (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pembentukan stearin minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; FS = fraksi stearin; t = lama kristalisasi Lama kristalisasi (menit) Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min FS = 14.14ln(t) R² = FS = 13.40ln(t) R² = FS = 13.19ln(t) R² = Peningkatan jumlah fraksi stearin minyak kelapa selama waktu kristalisasi (tahap ketiga) ternyata juga sangat dipengaruhi oleh suhu kristalisasi (T cr, o C). Pengaruh bersama antara suhu kristalisasi dan laju pendinginan kritis terhadap pola perubahan fraksi stearin minyak kelapa selama kristalisasi, khususnya untuk laju pendinginan kritis yang kurang dari 0,125 C/menit dapat dilihat pada Gambar 5.6b. Pada Gambar 5.6b terlihat bahwa interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan jumlah stearin yang lebih tinggi daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan jumlah fraksi stearin minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di berbagai interval suhu kristalisasi yang dipelajari adalah sebagai berikut: FS=14.14ln(t) untuk < T cr < o C; FS=13.40ln(t) untuk < T cr < o C; dan FS=13.19ln(t) untuk < T cr < o C. Perlakuan pengaturan suhu kristalisasi minyak erat kaitannya dengan pengaturan supercooling pada proses kristalisasi. Supercooling adalah penurunan suhu pendinginan suatu larutan di bawah suhu padat larutan tersebut untuk mengkristalkan larutan superjenuh yang ada dalam sistem. Laju pembentukan kristal berbanding lurus dengan derajat supercooling yang diterapkan (Timms 2005). Minyak kelapa yang mempunyai titik padat di suhu 21.1 C (O Brien 2004), kristalisasi di suhu C berarti telah menerapkan supercooling sebesar 2,28 C. Menurut Timms (2005), supercooling C termasuk dalam derajat supercooling yang sedang; hanya meningkatkan kelarutan minyak kalinya dan dapat menghasilkan kristal dengan ukuran radius minimum ( µm). Untuk menghasilkan kristal yang kasar dengan ukuran yang relatif besar dan mudah untuk difraksinasi bisa dicapai dengan menerapkan derajat supercooling yang sedang. Pada derajat supercooling yang tinggi (lebih dari 3.6 C), molekul-molekul tidak sempat untuk terbawa pada kondisi pembesaran yang baik untuk terjadinya discolation dalam lattice kristal atau untuk pembentukan ko-kristal (Timms 2005). Penerapan derajat supercooling yang terlalu tinggi berarti memaksa kristalisasi terjadi lebih intens, akibatnya viskositas minyak akan meningkat secara cepat sehingga laju difusi dan pembesaran kristal menjadi terganggu (Kellens et al. 2007). Ʃ Fraksi Stearin (%) Tcr = C Tcr = C Tcr = C

92 61 Suhu kristalisasi yang sedang, pada interval o C, ternyata menghasilkan jumlah fraksi stearin yang lebih tinggi daripada interval suhu yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi (Gambar 5.6b). Hal ini dapat dimengerti karena pada suhu kristalisasi yang rendah ukuran kristal yang terbentuk relatif lebih kecil sehingga sebagiannya akan terikut ke dalam fraksi olein saat dilakukan fraksinasi dengan penyaringan vakuum. Sebaliknya, pada suhu kristalisasi yang tinggi, diduga proses kristalisasi tidak terjadi secara maksimal sehingga fraksi stearin yang terbentuk akan lebih sedikit. Pola Perubahan Kandungan MCT Produk Fraksinasi Minyak Kelapa selama Kristalisasi Wujud padat dan cair dari minyak kelapa sangat ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing TAG penyusunnya. Komposisi TAG yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula (Huey et al. 2009; O Brien 2004). Salah satu golongan TAG utama yang bernilai ekonomis tinggi yang terdapat di minyak kelapa adalah MCT, yaitu TAG dengan jumlah rantai karbon Kandungan MCT fraksi stearin minyak kelapa yang dihasilkan pada semua perlakuan pendinginan akan menurun sedangkan kandungan MCT fraksi olein akan meningkat sebanding dengan semakin lamanya proses kristalisasi diterapkan. Pola perubahan kandungan MCT fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi kurang dipengaruhi oleh laju pendinginan awal di tahap pertama tetapi dipengaruhi secara kuat oleh laju pendinginan kritis di tahap kedua dan lama proses kristalisasi di tahap ketiga walaupun perbedaan suhu kristalisasi di tahap ketiga juga tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan. Laju pendinginan kritis berbandingan terbalik dengan jumlah kandungan MCT (MT, %) yang dapat dihasilkan selama proses kristalisasi. Pada kisaran laju pendinginan kritis yang dipelajari, semakin rendah laju pendinginan kritis akan menghasilkan jumlah kandungan MCT yang semakin banyak, begitu pula sebaliknya (Gambar 5.7a). Perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari adalah sebagai berikut: MT=1.552ln(t) untuk v c <0.075 o C/menit; MT=1.997ln(t) untuk 0.075<v c <0.125 o C/menit; dan MT=2.072ln(t) untuk v c >0.125 o C/menit. Peningkatan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama waktu kristalisasi ternyata dipengaruhi juga oleh suhu kristalisasi (Tcr, o C). Pengaruh bersama suhu kristalisasi dan laju pendinginan kritis terhadap pola perubahan kandungan MCT minyak kelapa selama kristalisasi, khususnya untuk laju pendinginan kritis yang kurang dari C/menit, dapat dilihat pada Gambar 5.7b. Pada Gambar 5.7b terlihat bahwa interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan jumlah kandungan MCT yang lebih tinggi daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di berbagai interval suhu kristalisasi yang dipelajari adalah sebagai berikut: MT=1.884ln(t) untuk < T cr < o C;

93 62 MT=1.388ln(t) untuk < T cr < o C; dan MT=1.710ln(t) untuk < T cr < o C. % MCT Gambar 5.7 MT= 1.552ln(t) R² = MT= 1.997ln(t) R² = MT= 2.072ln(t) R² = Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min Lama kristalisasi (menit) MT= 1.884ln(t) R² = MT= 1.388ln(t) R² = MT= 1.710ln(t) R² = (a) (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan MCT fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di tiga kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; MT = kandungan MCT; t = lama kristalisasi Suhu kristalisasi pada interval o C ternyata menghasilkan persen MCT yang lebih tinggi daripada interval suhu yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena pada suhu kristalisasi yang rendah ukuran kristal yang terbentuk relatif lebih kecil sehingga fraksi olein banyak mengandung fraksi stearin (tercampur), sedangkan MCT banyak berada pada fraksi olein. Untuk suhu kristalisasi yang tinggi, diduga proses kristalisasi tidak terjadi secara intensif sehingga masih banyak bagian minyak kelapa yang tidak terkristalkan dan terhitung sebagai fraksi olein, akibatnya kadar MCT yang terukur akan lebih rendah. % MCT Lama kristalisasi (menit) Tcr = C Tcr = C Tcr = C Kesimpulan Tiga tahap pendinginan yang krusial pada fraksinasi kering minyak kelapa adalah waktu pendinginan dari suhu 70 hingga 29 C; waktu pendinginan dari suhu 29 C hingga suhu kristalisasi; dan waktu pendinginan saat suhu kristalisasi konstan. Pada tahap pertama dapat dilakukan dengan laju pendinginan yang cepat (untuk menghemat waktu dan energi) tetapi pada tahap kedua harus dilaksanakan dengan laju pendinginan yang kurang dari C/menit. Minyak dengan kandungan MCT tinggi dapat diperoleh dari fraksi olein minyak kelapa yang dihasilkan dengan cara fraksinasi kering. Pada perlakuan suhu kristalisasi C untuk laju pendinginan kritis antara hingga C/menit, semakin rendah laju pendinginan kritis dan semakin lama proses kristalisasi maka kandungan MCT fraksi olein yang dihasilkan akan semakin tinggi. Penelitian ini mampu menghasilkan fraksi olein dengan kandungan MCT 60% yang diperoleh dengan cara mengatur laju pendinginan kritis < 0.125

94 63 o C/menit pada suhu kristalisasi o C dengan lama kristalisasi 250 menit. Berdasarkan hasil penelitian ini, olein dengan kandungan MCT lebih besar dapat diperoleh dengan cara menambah lama proses kristalisasi. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M DIKTI atas bantuan dana penelitian program Hibah Doktor tahun 2012 dan SEAFAST CENTER IPB yang telah memberikan fasilitas penelitian. Daftar Pustaka [AOCS] American Oil Chemists Society Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists Society. Illinois: Am Oil Chem Soc Press, Champaign Arnaud E, Pina M, Collignan A Suitable cooling program for chicken fat dry fractionation. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Braipson-Danthinea S, Gibon V Comparative analysis of triacylglycerol composition, melting properties and polymorphic behavior of palm oil and fractions. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Calliauw G, Fredrick E, Gibon V, De Greyt W, Wouters J, Foubert I, Dewettinck K On the fractional crystallization of palm olein: solid solutions and eutectic solidification. Food Research International, 43: Chaleepa K, Szepes A, Ulrich J Effect of additives on isothermal crystallization kinetics and physical characteristics of coconut oil. Chemistri and Physic of Lipids, 163: Huey SM, Hock CC, Lin SW Characterization of low saturation palm oil products after continuous enzymatic interesterification and dry fractionation. J Food Sci, 74: E177-E183. Kellens M, Gibon V, Hendrix M, De Greyt W Palm oil fractionation. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Matulka RA, Noguchi O, Nosaka N Safety evaluation of a medium- and long-chain triacylglycerol oil produced from medium-chain triacylglycerols and edible vegetable oil. Food and Chemical Toxicology, 44: O Brien RD Fats and oils; formulating and processing for applications. CRC Press LLC. Washington, D.C Prakoso T, Hapsari SC, Lembono P, Soerawidjaja TH Sintesis trigliserida rantai menengah melalui transesterifikasi gliserol dan asam-asam lemaknya. J Teknik Kimia Indonesia 5:

95 64 Sarmidi MR, El Enshasy HA, Hamid MA Oil palm: the rich mine for pharma, food and fuel industries. Am-Euras J Agric & Environ Sci, 5: Shamsudin R, Mohamed IO, Nooi TS Rheological properties of cocoa butter substitute (CBS): effects of temperature and characteristics of fatty acids on viscocity. Journal of Food Lipids, 13: St-Onge MP Dietary fats, teas, dairy, and nuts: potential functional foods for weight control? Am J Clin Nutr, 81: Timms RE Fractional crystallisation the fat modification process for 21 st century. Eur J Lipid Sci Technol, 107: Zaliha O, Chong CL, Cheow CS, Norizzah AR, Kellens MJ Crystallization properties of palm oil by dry fractionation. J Food Chem, 86:

96 65 6 PENGARUH LAJU PENDINGINAN, SUHU DAN LAMA KRISTALISASI TERHADAP PROFIL TRIASILGLISEROL DAN SIFAT MELTING PRODUK FRAKSINASI MINYAK KELAPA 1) (The effect of critical cooling rate, temperature and crystallization duration on composition and profile of triacylglicerol and melting properties of fractionation product of coconut oils ) Mursalin 2,3), Purwiyatno Hariyadi 3,4), Eko Hari Purnomo 3,4), Nuri Andarwulan 3,4), dan Dedi Fardiaz 3,4)) 2) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jalan Raya Jambi-Muara Bulian Km.15 Mendalo Darat, Jambi 36122, Telp , mursalin_murod@yahoo.com 3) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Kampus IPB Darmaga PO Box 220 Bogor 16002, Telp / , Fax , fateta@ipb.ac.id. 4) SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, Jl. Puspa No.1 Kampus IPB Darmaga 16680, Telp./Fax: , seafast@ipb.ac.id, website: Abstract Dry fractionation will produce a fraction of olein and stearin with different composition of high melting and low melting TAG (S/L) as well the distribution of triacylglycerol (TAG) in the form of trisaturated (St3), disaturated (St2U) and monosaturated (StU2). This research aimed to study the effect of critical cooling rate and crystallization temperature on the composition and profile of TAG changes as well the melting properties of coconut oil products fractionation. Coconut oil was heated at 70 C then cooled at different cooling rate to reach various crystalization temperatures. The oil was then stirred at 15 rpm and allowed to crystallize at different period of time, and finally fractionated by vacuum filtration using Whatman #40 paper. Fractionation temperatures were the same as crystalization temperatures. The results showed that the critical cooling rate was proportional to the S/L ratio, the content of St3 and SFC profile of olein fraction but inversely proportional to the content of St2U and StU2 TAG. Interval crystallization temperature between to C produced the S/L ratio, the content of St3 TAG and SFC profiles of olein fractions lower and the content of St2U and StU2 TAG higher than the temperature interval below or above it. Coconut oil fractionation more effective in hihger crystallization temperature or lower critical cooling rate. In these cooling treatments, St3 TAG which has high melting point would be concentrated at stearin fraction, while St2U and StU2 TAG and MCT would be at olein fraction. Therefore, it will increase melting properties of stearin fraction and decrease olein fraction. Keywords: coconut oil, critical cooling rates, crystallization temperature, fractionation, melting properties, TAG profile 1) Akan dipublikasikan pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan IPB

97 66 Abstrak Fraksinasi kering akan menghasilkan fraksi olein dan stearin dengan komposisi TAG bertitik leleh tinggi dan rendah (S/L) yang berbeda dan distribusi TAG dalam bentuk trisaturated (St3), disaturated (St2U) dan monosaturated (StU2) yang juga berbeda dari minyak dalam kondisi alami. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap perubahan komposisi dan profil triasilgliserol (TAG) serta sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa. Fraksinasi dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 70 C lalu didinginkan pada berbagai laju pendinginan untuk mencapai beberapa variasi suhu kristalisasi, diaduk dengan kecepatan 15 rpm, dibiarkan mengkristal pada lama waktu yang berbeda dan difraksinasi dengan penyaringan vakuum menggunakan kertas Whatman 40. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pendinginan kritis berbanding lurus dengan proporsi S/L, kandungan TAG St3 dan profil SFC tetapi berbanding terbalik dengan kandungan TAG St2U dan StU2 fraksi olein. Interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan proporsi S/L, kandungan St3 dan profil SFC fraksi olein lebih rendah dan kandungan TAG St2U serta StU2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu di bawah atau di atasnya. Fraksinasi minyak kelapa terjadi lebih efektif pada suhu kristalisasi yang tinggi dan atau pada laju pendinginan kritis yang rendah. Pada perlakuan pendinginan ini, TAG St3 yang bertitik leleh tinggi akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin sedangkan TAG St2U, StU2 dan MCT akan lebih terkonsentrasi pada fraksi olein, sehingga akan meningkatkan sifat leleh fraksi stearin dan menurunkan sifat leleh fraksi olein. Kata kunci: fraksinasi, laju pendinginan kritis, minyak kelapa, profil TAG, sifat leleh, suhu kristalisasi Pendahuluan Laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa. Laju pendinginan kritis adalah laju pendinginan yang diterapkan saat minyak mencapai suhu 29 C hingga suhu kristalisasinya. Untuk menghasilkan kristal yang berukuran besar dan tidak mudah meleleh dapat diperoleh dengan menerapkan laju pendinginan kritis yang kurang dari C/menit (Mursalin et al. 2013). Minyak kelapa mengandung campuran TAG dengan titik leleh tinggi dan rendah. Pada suhu dingin (winter season), TAG yang mempunyai titik leleh tinggi akan terkristal menjadi fraksi padat yang disebut dengan stearin, sedangkan TAG yang mempunyai titik leleh rendah akan tetap dalam keadaan cair yang disebut sebagai olein. Dengan proses fraksinasi kering sederhana, minyak kelapa dapat dibagi ke dalam beberapa macam kelas olein dan stearin. Prinsip utama dari fraksinasi kering minyak atau lemak adalah berdasarkan pada perbedaan titik leleh komponen TAG penyusunnya dan proses pemisahan secara termomekanikal dimana TAG dengan titik leleh tinggi akan terpisah dari yang bertitik leleh rendah melalui kristalisasi parsial, yang diikuti dengan proses filtrasi (Huey et al. 2009; Timms 2005; Calliauw et al. 2010).

98 67 Penerapan suhu kristalisasi yang berbeda dan atau laju pendinginan kritis yang berbeda tentu akan menghasilkan jenis dan jumlah TAG yang terkristalisasi berbeda pula, begitu pula dengan komposisi, profil dan sifat leleh TAG yang ada pada masing-masing fraksi stearin dan olein yang akan dihasilkan di akhir proses, tentu akan berbeda pula. Fraksinasi kering akan menghasilkan fraksi olein dengan kandungan lemak jenuh lebih sedikit dan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak jika dibandingkan dengan minyak asal atau fraksi stearinnya. Asam lemak jenuh akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin (Huey et al. 2009; Zaliha et al. 2004; Shi et al. 2001; Vereecken et al. 2010). Minyak kelapa sawit yang mengandung masingmasing 44.0% dan 39.2% asam palmitat dan oleat, jika difraksinasi akan menyebabkan berkurangnya palmitat hingga tinggal 39.8% dan meningkatnya asam oleat menjadi 42.5% dalam fraksi olein (Mamat et al. 2005). Minyak sawit kaya oleat yang difraksinasi kering menghasilkan fraksi olein dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi. Perbedaan utama antara minyak sawit kaya oleat dengan fraksi olein hasil fraksinasinya adalah kandungan asam palmitat dan stearat yang lebih rendah dan kandungan asam oleat yang lebih tinggi pada fraksi olein. Kandungan asam oleatnya 44.3% berbanding 48.4%, linoleatnya 10.8% berbanding 11.9%, palmitatnya 28.3% berbanding 30.4% dan stearatnya 10.2% berbanding 13.0% (Ramli et al. 2008). Kandungan asam oleat dalam fraksi olein akan meningkat dengan semakin menurunnya suhu kristalisasi. Fraksi cair akan memiliki kandungan asam oleat pada kisaran % dibandingkan dengan hanya 59.0% di minyak asalnya. Peningkatan kandungan asam oleat ini disertai dengan penurunan kandungan asam palmitat dan stearat, sedangkan asam lemak lainnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Meskipun terdapat perbedaan proporsional kandungan asam lemak jenuh-tak jenuh pada fraksi cair hasil fraksinasi minyak sawit kaya oleat, tetapi pengaruhnya terhadap kinetika dan mekanisme kristalisasi fraksi ini tidak terlalu terlihat secara signifikan pada suhu kristalisasi tinggi, tetapi terlihat berbeda sekali saat diamati pada suhu kristalisasi yang paling rendah, yaitu pada suhu 4 o C (Ramli et al. 2008). Suhu fraksinasi yang lebih rendah, menghasilkan olein dengan kandungan asam lemak jenuh yang lebih sedikit tetapi asam lemak tak jenuh lebih banyak dibandingkan jika fraksinasi dilakukan di suhu yang lebih tinggi. Pada suhu fraksinasi 15 o C, asam lemak utama dalam olein, yang dihasilkan dari fraksinasi campuran 80% RBD minyak sawit dengan 20% minyak bunga matahari, adalah palmitat (30.6%), oleat (38.4%) dan linoleat (24.9%). Pada suhu fraksinasi 18 o C, ada peningkatan asam palmitat, yaitu menjadi 31,1%, sedangkan asam oleat dan linoleat masing-masing berkurang menjadi 38,2 dan 24,6%. Suhu fraksinasi 21 o C menghasilkan olein dengan kandungan asam palmitat tertinggi yaitu 32,0%, dan terjadi penurunan jumlah asam oleat menjadi 38.1% dan asam linoleat menjadi 23.8% (Mamat et al. 2005). Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap perubahan komposisi dan profil TAG dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa. Dengan mengetahui bagaimana laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi mempengaruhi komposisi, profil dan sifat leleh TAG produk akhir fraksinasi, efektivitas dan efisiensi produksi bagi pengembangan produk olahan berbasis minyak kelapa akan dapat diwujudkan.

99 68 Bahan dan Metode Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah refined bleached deodorized coconut oil dari PT. BARCO, Jakarta dan standar TAG untuk analisis komposisi TAG. Fraksinasi kering yang diterapkan merupakan modifikasi cara yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2004) dan Chaleepa et al. (2010). Minyak kelapa sebanyak 112 kg dipanaskan pada suhu 70 C selama 10 menit kemudian didinginkan secara perlahan dengan berbagai variasi laju pendinginan ( C/menit) hingga dicapai suhu kristalisasi yang diinginkan, bervariasi dari C. Setelah suhu kristalisasi tercapai, suhu minyak dijaga tetap konstan hingga akhir proses. Pengamatan dilakukan secara periodik sebanyak enam kali dimulai setelah beberapa saat minyak mencapai suhu kristalisasi. Selama proses pendinginan, minyak diaduk dengan kecepatan 15 rpm. Fraksinasi dilakukan dengan penyaringan vakuum menggunakan kertas Whatman #40 pada suhu yang sama dengan suhu kristalisasi sehingga dihasilkan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Kristalisator yang digunakan terdiri dari tujuh rangkaian peralatan utama yaitu: (1) tangki kristalisator minyak dengan sistem double jacket berkapasitas 120 kg dilengkapi dengan pengaduk mekanis yang bisa diatur kecepatannya, thermocople dan heat exchanger di bagian tengah tangki. (2) Chamber pensuplay air dingin yang terhubung dengan heat exchanger dalam tangki minyak dilengkapi dengan thermocople dan pompa. (3) Sirkuit elektronik untuk mengatur suhu air di chamber dilengkapi dengan pompa otomatis untuk mengalirkan air dingin dari chiller berdasarkan program pendinginan yang ditetapkan. (4) Chiller yang digunakan untuk mensuplay air dingin ke chamber pendingin. (5) Komputer untuk mengatur sistem sequensi perlakuan pendinginan dan untuk merekam perubahan suhu minyak dan air pendingin selama pendinginan dan kristalisasi. (6) outlet air dari chamber pendingin jika tidak ingin disirkulasikan ke chiller. (7) Inlet air dari kran ke chamber pendingin jika tidak ingin digunakan air dingin dari chiller. Samping dilakukan dengan cara mengambil minyak beku sebanyak ml yang berasal dari berbagai posisi pada tangki kristalisator lalu difraksinasi untuk memperoleh masing-masing fraksi stearin dan olein. Sampling dilakukan enam kali pada saat minyak berada pada fase kristalisasi, yaitu fase setelah tahap pendinginan kritis dimana suhu minyak dipertahankan konstan. Parameter yang dianalisis adalah profil dan komposisi TAG, yang dilakukan dengan metode AOCS Official Methods Ce 5c (2005) menggunakan HPLC dan detektor Indeks Refraksi (Refractive index/ri), profil SFC yang dilakukan dengan metode IUPAC ex 2.323, 1987 menggunakan Bruker Minispec PC 100 NMR Analyzer dan profil SMP dengan metode AOCS Official Methods Cc 3-25 (2005). Hasil dan Pembahasan Pola Perubahan Profil TAG berdasarkan Proporsi S/L Hasil analisis profil TAG sebelum dan sesudah fraksinasi menunjukkan bahwa terdapat 12 macam TAG utama penyusun minyak kelapa, yaitu CpCaLa,

100 69 CaCaLa, CaLaLa, LaLaLa, LaLaO, LaLaM, LaMP, LaMM, LaMO, MPO, dan PPL; dimana Cp adalah kaprilat, Ca adalah kaprat, La adalah laurat, O adalah oleat, M adalah miristat, P adalah palmitat dan L adalah linoleat. Fraksinasi kering dijalankan atas prinsip perbedaan titik leleh TAG penyusun minyak (Huey et al. 2009; Timms 2005; Calliauw et al. 2010), oleh karena itu, ke-12 TAG penyusun minyak kelapa dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang mudah terkristalisasi atau solid like (S) dan kelompok yang susah terkristalisasi atau liquid like (L). Yang termasuk kelompok S adalah LaLaLa, LaLaM, LaMP dan LaMM sedangkan yang termasuk kelompol L adalah CpCaLa, CaCaLa, CaLaLa, LaLaO, LaMO, MPO, dan PPL. Berdasarkan proporsi S/L, fraksi stearin memiliki nilai S/L yang lebih dari 0.5 sedangkan fraksi olein memiliki nilai S/L kurang dari 0.5. Semakin kecil nilai S/L berarti semakin banyak proporsi TAG yang susah terkristalisasi berada dalam fraksi minyak. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa, triasilgliserol rantai menengah atau medium chain triglycerides (MCT) lebih terkonsentrasi dalam fraksi olein selama fraksinasi kering minyak kelapa. Oleh karena itu, perubahan profil TAG produk fraksinasi kering minyak kelapa akan dilihat pada fraksi olein saja. Pada fraksinasi satu tahap, seperti penelitian ini, perubahan yang terjadi pada salah satu fraksi akan menggambarkan perubahan yang terjadi pada fraksi lainnya, secara inversely. Proporsi S/L pada fraksi olein minyak kelapa pada semua perlakuan pendinginan cenderung menurun sedangkan pada fraksi stearin akan meningkat sebanding dengan semakin lamanya proses kristalisasi diterapkan. Pola perubahan proporsi S/L pada fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi dipengaruhi secara kuat oleh laju pendinginan kritis, lama proses kristalisasi dan perbedaan suhu kristalisasi. Laju pendinginan kritis berbanding lurus dengan proporsi S/L pada fraksi olein yang dihasilkan selama proses kristalisasi. Pada kisaran laju pendinginan kritis yang dipelajari, semakin rendah laju pendinginan kritis akan menghasilkan proporsi S/L yang juga semakin kecil, begitu pula sebaliknya (Gambar 6.1a). Perubahan proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari adalah sebagai berikut: S/L=- 0.02ln(t) untuk v c < o C/menit; S/L=-0.02ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan S/L=-0.02ln(t) untuk v c > o C/menit. Penurunan proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa selama waktu kristalisasi ternyata dipengaruhi juga oleh suhu kristalisasi (Tcr, o C). Pengaruh suhu kristalisasi terhadap pola perubahan proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi, dapat dilihat pada Gambar 6.1b. Pada Gambar 1b terlihat bahwa interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan proporsi S/L yang lebih rendah daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi di berbagai interval suhu kristalisasi yang dipelajari adalah sebagai berikut: S/L=-0.02ln(t) untuk < T cr < o C; S/L=-0.01ln(t) untuk < T cr < o C; dan S/L=-0.02ln(t) untuk < T cr < o C. Suhu kristalisasi pada interval o C menghasilkan proporsi S/L yang lebih rendah daripada interval suhu di bawah maupun di atasnya. Hal ini berarti bahwa pada kisaran suhu kristalisasi tersebut TAG yang bersifat solid like berada dalam fraksi cair dengan jumlah paling sedikit, yang mengindikasikan

101 70 bahwa tingkat pemisahan TAG berdasarkan titik leleh (kemudahan terkristal) pada kisaran suhu tersebut terjadi lebih efektif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Mursalin et al. 2013) yang mengungkapkan bahwa kristalisasi pada interval suhu o C menghasilkan kristal yang lebih stabil dengan ukuran yang lebih besar dan mudah untuk dipisahkan dengan filtrasi vakuum. S/L ratio S/L= -0.02ln(t) R² = S/L= -0.02ln(t) R² = S/L= -0.02ln(t) R² = Crystallization time (min) Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min S/L = -0.02ln(t) R² = S/L = -0.01ln(t) R² = S/L = -0.02ln(t) R² = (a) (b) Gambar 6.1 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola proporsi S/L fraksi olein minyak kelapa di 3 kelompok laju pendinginan kritis (a); dan 3 kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; S/L= proporsi TAG titik leleh tinggi/rendah; t = lama kristalisasi Suhu kristalisasi yang rendah menghasilkan ukuran kristal yang terbentuk relatif lebih kecil sehingga banyak kristal yang ikut tersaring dan tercampur ke dalam fraksi olein saat dilakukan filtrasi vakuum. Untuk suhu kristalisasi yang tinggi, diduga proses kristalisasi tidak terjadi secara intensif sehingga masih banyak TAG yang bertitik leleh tinggi dan bersifat solid like (S) yang belum sempat terkristalkan dan terhitung sebagai fraksi olein. S/L ratio Tcr = C Tcr = C Tcr = C Crystallization time (min) Pola Perubahan Kandungan TAG St3 pada Fraksi Olein Minyak Kelapa Wujud padat-cair minyak sangat ditentukan oleh komposisi TAG penyusunnya, komposisi TAG yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula (Huey et al. 2009; O Brien 2004). Berdasarkan jenuh-tak jenuhnya, TAG minyak digolongkan dalam empat jenis, yaitu St3, St2U, StU2 dan U3. Tetapi yang ada dalam minyak kelapa hanya ada tiga, yaitu St3, St2U, dan StU2. Kelompok TAG yang tergolong sebagai St3 adalah CpCaLa, CaCaLa, CaLaLa, LaLaLa, LaLaM, LaMP dan LaMM, empat jenis TAG yang disebut pertama merupakan MCT yang bertitik leleh sangat rendah, kecuali LaLaLa, dan tiga jenis TAG terakhir ditambah LaLaLa merupakan St3 bertitik leleh tinggi, dan menjadi TAG utama penyusun fraksi stearin. Kelompok TAG yang tergolong sebagai St2U adalah LaLaO, LaMO, MPO dan PPL. Kelompok TAG yang tergolong sebagai StU2 adalah MOO. Komposisi tiga jenis TAG ini dalam produk fraksinasi kering minyak kelapa akan sangat berbeda tergantung pada laju

102 71 pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lamanya proses kristalisasi yang diterapkan. Kandungan St3 selama proses kristalisasi akan menurun pada fraksi olein dan meningkat pada fraksi stearin, sebanding dengan semakin lamanya proses kristalisasi diterapkan. Pola perubahan St3 fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi dipengaruhi secara kuat oleh laju pendinginan kritis, lama proses kristalisasi dan perbedaan suhu kristalisasi yang diterapkan. Laju pendinginan kritis berbanding lurus dengan kandungan St3 dalam fraksi olein hasil fraksinasi minyak kelapa. Pada kisaran laju pendinginan kritis yang dipelajari, semakin rendah laju pendinginan kritis akan menghasilkan jumlah St3 yang semakin sedikit dalam fraksi olein, begitu pula sebaliknya (Gambar 6.2a). Perubahan kandungan St3 fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari dapat dijelaskan dengan persamaan: St3=-0.66ln(t) untuk v c < 0,075 o C/menit; St3=- 0.86ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan St3=-1.11ln(t) untuk v c > o C/menit. Peningkatan kandungan St3 fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi dipengaruhi juga oleh suhu kristalisasi (Tcr, o C). Pengaruh bersama suhu kristalisasi dan laju pendinginan kritis terhadap pola perubahan kandungan St3 fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi, khususnya untuk laju pendinginan kritis yang kurang dari 0,125 C/menit, dapat dilihat pada Gambar 6.2b. Pada Gambar 6.2b terlihat bahwa interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan jumlah kandungan St3 yang lebih rendah daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan kandungan St3 non MCT fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di interval suhu kristalisasi yang dipelajari dapat dijelaskan dengan persamaan: St3=-1.33ln(t) untuk < T cr < o C; St3=- 0.55ln(t) untuk < T cr < o C; dan St3=-0.60ln(t) untuk < T cr < o C. % St Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min Gambar 6.2 Crystallization time (min) St3 = -0.66ln(t) R² = St3 = -0.86ln(t) R² = St3 = -1.11ln(t) R² = % St St3 = -0.55ln(t) R² = St3 = -0.60ln(t) Tcr = C R² = Tcr = C 79.5 Tcr = C St3 = -1.33ln(t) R² = Crystallization time (min) (a) (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St3 fraksi olein minyak kelapa di 3 kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di 3 kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; St3 = TAG trisaturated; t = lama kristalisasi

103 72 Rendahnya kandungan St3 dalam fraksi olein menunjukkan bahwa pemisahan fraksi tersebut dari fase padatnya berjalan dengan efektif, karena St3 yang tergolong TAG bertitik leleh tinggi seharusnya terkonsentrasi di dalam fraksi stearin. Suhu kristalisasi o C menghasilkan fraksi olein dengan kandungan St3 lebih rendah dibandingkan dengan interval suhu kristalisasi di bawah maupun di atasnya. Hal ini dapat dimengerti karena penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa pada interval suhu tersebut kristal yang dihasilkan berukuran lebih besar dan lebih stabil sehingga lebih mudah dipisahkan saat fraksinasi menggunakan filtrasi vakum (Mursalin et al. 2013). Kristalisasi pada suhu yang lebih rendah dari o C menyebabkan pembentukan kristal dengan stabilitas dan ukuran yang relatif lebih kecil sehingga saat fraksinasi banyak St3 dan TAG bertitik leleh tinggi ikut terbawa ke dalam fraksi olein. Untuk suhu kristalisasi yang tinggi, diduga proses kristalisasi tidak terjadi secara intensif sehingga masih banyak St3 yang tidak terkristalkan dan terhitung sebagai fraksi olein, akibatnya kadar St3 yang terukur akan lebih tinggi. Pola Perubahan Kandungan TAG St2U pada Fraksi Olein Minyak Kelapa St2U tergolong TAG yang memiliki titik leleh relatif rendah sehingga selama proses kristalisasi, jumlahnya cenderung meningkat pada fraksi olein dan sedikit menurun pada fraksi stearin, sebanding dengan semakin lamanya proses kristalisasi diterapkan. Pola perubahan St2U fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi juga dipengaruhi kuat oleh laju pendinginan kritis, lama proses kristalisasi dan perbedaan suhu kristalisasi yang diterapkan. Laju pendinginan kritis berbanding lurus dengan kandungan St2U dalam fraksi olein hasil fraksinasi minyak kelapa. Pada kisaran laju pendinginan kritis yang dipelajari, semakin tinggi laju pendinginan kritis akan menghasilkan jumlah St2U yang semakin banyak, begitu pula sebaliknya (Gambar 6.3a). Perubahan kandungan St2U fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari dapat dijelaskan dengan persamaan sebagai berikut: St2U=0.587ln(t) untuk v c < o C/menit; St2U=0.641ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan St2U=0.507ln(t) untuk v c > o C/menit. Pengaruh suhu kristalisasi terhadap pola perubahan kandungan St2U dalam fraksi olein lebih terlihat hanya pada laju pendinginan kritis yang kurang dari 0,125 C/menit (Gambar 6.3b). Pada Gambar 6.3b terlihat bahwa interval suhu kristalisasi antara 21,30-21,73 C menghasilkan jumlah kandungan St2U yang lebih tinggi daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan kandungan St2U fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di interval suhu kristalisasi yang dipelajari dapat dijelaskan dengan persamaan: St2U=1.078ln(t) untuk 21,30 < T cr < 21,73 o C; St2U=0.590ln(t) untuk < T cr < o C; dan St2U=0.595ln(t) untuk < T cr < o C.

104 73 % St2U Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min St2U = 0.587ln(t) R² = St2U = 0.641ln(t) R² = % St2U St2U = 1.078ln(t) R² = St2U = 0.595ln(t) R² = St2U = 0.590ln(t) R² = St2U = 0.507ln(t) R² = Tcr = C Tcr = C Tcr = C Gambar 6.3 Crystallization time (min) Crystallization time (min) (a) (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St2U fraksi olein minyak kelapa di 3 kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di 3 kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; St2U = TAG disaturate monounsaturated; t = lama kristalisasi Meningkatnya kandungan St2U dalam fraksi olein selama proses kristalisasi bukan karena terjadinya penambahan jumlah, melainkan karena berkurangnya komponen TAG bertitik leleh tinggi dari fraksi tersebut sehingga secara proporsional St2U akan terhitung menjadi lebih tinggi dan seolah-olah meningkat atau menjadi lebih banyak dari jumlahnya semula. Suhu kristalisasi o C menghasilkan fraksi olein dengan kandungan St2U lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu kristalisasi di bawah maupun di atasnya, hal ini mengindikasikan bahwa pada interval suhu tersebut pemisahan fraksi padat berjalan lebih efektif, tidak banyak komponen St2U yang terjerap dalam kristal dan ikut terpisah ke dalam fraksi stearin. Hal ini membuktikan bahwa interval suhu tersebut adalah interval suhu kristalisasi yang baik dalam fraksinasi kering minyak kelapa skala 120 kg. Kristalisasi minyak kelapa pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi menghasilkan kandungan St2U lebih rendah, berarti ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebabnya, pertama adalah karena St2U banyak terjerap dalam kristal dan terikut dalam fase padat saat filtrasi vakum, kedua adalah karena TAG bertitik leleh tinggi tidak terlalu banyak terkristalisasi dan terpisahkan sebagai fase padat, yang ketiga adalah gabungan dari dua kemungkinan yang ada tersebut. Pola Perubahan Kandungan TAG StU2 pada Fraksi Olein Minyak Kelapa StU2 adalah TAG yang memiliki titik leleh rendah dan tergolong sebagai TAG yang liquid like dan cenderung akan terkonsentrasi di dalam fraksi olein pada akhir fraksinasi kering. Oleh karena itu, seyogyanya StU2 akan selalu meningkat secara proporsional dalam fraksi olein dan selalu menurun pada fraksi stearin, sebanding dengan semakin lamanya proses kristalisasi diterapkan. Pola perubahan StU2 fraksi olein minyak kelapa selama kristalisasi dipengaruhi kuat

105 74 oleh laju pendinginan kritis, lama proses kristalisasi dan perbedaan suhu kristalisasi yang diterapkan. Laju pendinginan kritis berbanding terbalik dengan kandungan StU2 dalam fraksi olein hasil fraksinasi minyak kelapa. Pada kisaran laju pendinginan kritis yang dipelajari, semakin tinggi laju pendinginan kritis akan menghasilkan jumlah StU2 yang semakin sedikit, begitu pula sebaliknya (Gambar 6.4a). Pola perubahan kandungan StU2 fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis yang dipelajari dapat dijelaskan dengan persamaan sebagai berikut: StU2=0.208ln(t) untuk v c < o C/menit; StU2=0.219ln(t) untuk < v c < o C/menit; dan StU2=0.170ln(t) untuk v c > o C/menit. Pengaruh suhu kristalisasi terhadap pola perubahan kandungan StU2 dalam fraksi olein lebih terlihat hanya pada laju pendinginan kritis yang kurang dari C/menit (Gambar 6.4b). Gambar 6.4b menunjukkan bahwa pada semua interval suhu kristalisasi, peningkatan lama kristalisasi akan meningkatkan jumlah StU2 dalam fraksi olein secara logaritmik dan pada interval suhu kristalisasi antara C menghasilkan jumlah kandungan StU2 yang lebih tinggi daripada interval suhu di bawah atau di atasnya. Perubahan kandungan StU2 fraksi olein minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di interval suhu kristalisasi yang dipelajari dapat adalah sebagai berikut: StU2=0.206ln(t) untuk < T cr < o C; StU2=0.071ln(t) untuk < T cr < o C; dan StU2=0.287ln(t) untuk < T cr < o C. % StU2 4 Vc < C/min < Vc < C/min 3.8 Vc > C/min Gambar 6.4 Crystallization time (min) StU2 = 0.208ln(t) R² = StU2 = 0.219ln(t) R² = StU2 = 0.170ln(t) R² = Tcr = C 3.2 Tcr = C 3.1 Tcr = C StU2 = 0.206ln(t) R² = StU2 = 0.287ln(t) R² = StU2 = 0.071ln(t) R² = (a) (b) Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan StU2 fraksi olein minyak kelapa di 3 kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 C/menit di 3 kelompok suhu kristalisasi (b). v c = laju pendinginan kritis, T cr = suhu kristalisasi; StU2 = TAG monosaturate diunsaturated; t = lama kristalisasi Sama halnya dengan yang terjadi pada TAG St2U, meningkatnya kandungan StU2 dalam fraksi olein selama proses kristalisasi bukan karena terjadinya penambahan jumlah TAG tersebut selama proses kristalisasi. StU2 % StU2 Crystallization time (min)

106 75 tergolong TAG yang memiliki titik leleh sangat rendah sehingga tidak akan terkristalisasi dan terpisah ke fraksi stearin atau berkurang jumlahnya dalam fraksi olein, kecuali karena terjerap di antara kristal yang dan terbawa ke dalam fraksi stearin. Sekali lagi, hal ini mengindikasikan bahwa suhu kristalisasi o C, yang menghasilkan fraksi olein dengan kandungan StU2 lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu kristalisasi di bawah maupun di atasnya, adalah interval suhu kristalisasi terbaik dalam fraksinasi kering minyak kelapa skala 120 kg. Pola Perubahan Profil SFC Produk Fraksinasi Minyak Kelapa SFC dari setiap fraksi yang dihasilkan dari semua kombinasi perlakuan laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi diukur sebagai fungsi dari suhu. Pada Gambar 6.5 dapat dilihat profil SFC fraksi olein dan stearin hasil fraksinasi minyak kelapa pada tiga jenis laju pendinginan kritis serta SFC minyak kelapa sebagai pembanding. Profil SFC minyak kelapa mengalami perubahan secara signifikan setelah mengalami proses fraksinasi. Perbedaan profil SFC fraksi olein dan stearin pada tiga interval laju pendinginan kritis dapat dilihat pada Gambar 6.5. Perbedaan profil SFC fraksi olein dan stearin menunjukkan efektivitas fraksinasi yang telah dilakukan. Laju pendinginan kritis ternyata berpengaruh kuat terhadap efektivitas fraksinasi minyak kelapa, yang ditunjukkan oleh perbedaan profil SFC kedua fraksi dibandingkan dengan profil SFC minyak kelapa sebelum fraksinasi. Laju pendinginan kritis kurang dari o C/menit menghasilkan efektivitas fraksinasi yang paling tinggi (Gambar 6.5a). Semakin tinggi laju pendinginan kritis akan semakin kurang efektif tingkat pemisahan kedua fraksi (Gambar 6.5b dan c). Hal ini terutama disebabkan oleh semakin banyaknya MCT, TAG St2U dan StU2 cair yang terjerap dan ikut tersaring bersama TAG St3 padat ke dalam fraksi stearin atau karena semakin banyaknya TAG St3 padat yang lolos dari saringan dan masuk ke dalam fraksi olein. Kemungkinan pertama kecil peluangnya untuk terjadi, karena fraksi padat minyak hanya dapat menjerap fraksi cairnya bila ukuran kristal yang terbentuk sangat besar, sebaliknya kemungkinan kedua adalah yang paling mungkin, yaitu karena kristal yang terbentuk berukuran kecil. Solid Fat Content (%) ST: Vc < C/min Coconut oil OL: Vc<0.075 C/min Temperature ( o C) Solid Fat Content (%) ST: < Vc < C/min Coconut oil OL: < Vc < C/min Temperature ( o C) Temperature ( o C) (a) (b) (c) Gambar 6.5 Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi pada laju pendinginan kritis kurang dari (a), antara (b), dan lebih dari o C/menit (c); OL = olein; ST = stearin; v c = laju pendinginan kritis. Solid Fat Content (%) ST: Vc > C/min Coconut oil OL: Vc > C/min

107 76 TAG St3 yang banyak berada pada fraksi stearin menyebabkan terjadinya peningkatan sifat leleh fraksi tersebut dibandingkan dengan minyak kelapa sebelum difraksinasi, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Hashimoto et al. (2001), bahwa TAG St3 yang bertitik leleh tinggi dalam produk minyak akan meningkatkan sifat pelelehannya. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa laju pendinginan kritis berbanding terbalik dengan peningkatan sifat leleh fraksi stearin dan berbanding lurus dengan penurunan sifat leleh fraksi olein. Pengaruh suhu kristalisasi terhadap profil SFC produk fraksinasi minyak kelapa dapat dilihat pada Gambar 6.6. Pada Gambar 6.6c terlihat bahwa pada suhu kristalisasi yang tinggi pemisahan fraksi olein dari stearin minyak kelapa lebih efektif (ditandai dengan jarak profil SFC kedua fraksi dengan SFC minyak sebelum fraksinasi yang lebih jauh). Hal ini menunjukkan bahwa suhu kristalisasi minyak kelapa berbanding lurus dengan efektivitas fraksinasinya. Solid Fat Content (%) ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) Solid Fat Content (%) ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) (a) (b) (c) Gambar 6.6 Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi pada suhu kristalisasi antara o C (a); suhu kristalisasi antara o C (b); suhu kristalisasi antara o C (c); OL = olein; ST = stearin; T Cr = suhu kristalisasi. Penurunan sifat leleh pada fraksi olein dan peningkatannya pada fraksi stearin terlihat dalam rentang yang sempit, tetapi dapat dicatat bahwa suhu kristalisasi yang rendah akan menghasilkan profil SFC tertinggi pada fraksi olein di interval suhu 0-20 o C dan terendah pada fraksi stearin. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa suhu kristalisasi berbanding terbalik dengan profil SFC fraksi olein tetapi berbanding lurus dengan profil SFC fraksi stearin. Solid Fat Content (%) Kesimpulan Laju pendinginan kritis berbanding lurus dengan proporsi S/L, dan kandungan TAG St3 fraksi olein minyak kelapa tetapi berbanding terbalik dengan kandungan TAG St2U dan StU2 fraksi olein. Interval suhu kristalisasi antara 21,30-21,73 C menghasilkan proporsi S/L dan kandungan St3 fraksi olein lebih rendah dan kandungan TAG St2U serta StU2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu di bawah atau di atasnya. SFC merupakan fungsi dari suhu kristalisasi, pada suhu kristalisasi yang tinggi akan dihasilkan SFC yang rendah di fraksi olein tetapi tinggi pada fraksi

108 77 stearin. Suhu kristalisasi berbanding terbalik dengan SFC olein dan berbanding lurus dengan SFC stearin. Fraksinasi minyak kelapa terjadi lebih efektif pada suhu kristalisasi yang tinggi dan atau pada laju pendinginan kritis yang rendah. Pada perlakuan pendinginan ini, TAG St3 yang bertitik leleh tinggi akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin sedangkan TAG St2U, StU2 dan MCT akan lebih terkonsentrasi pada fraksi olein, sehingga akan meningkatkan sifat leleh fraksi stearin dan menurunkan sifat leleh fraksi olein. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M DIKTI atas bantuan dana penelitian program Hibah Doktor tahun 2012 dan SEAFAST CENTER IPB yang telah memberikan fasilitas penelitian. Daftar Pustaka Calliauw G, Fredrick E, Gibon V, De Greyt W, Wouters J, Foubert I, Dewettinck K On the fractional crystallization of palm olein: solid solutions and eutectic solidification. Food Research International, 43: Chaleepa K, Szepes A, Ulrich J Effect of additives on isothermal crystallization kinetics and physical characteristics of coconut oil. Chemistri and Physic of Lipids, 163: DOI: / j.chemphyslip Hashimoto S, Nezu T, Arakawa H, Ito T, Maruzeni S Preparation of sharpmelting hard palmidfraction and its use as hard butter in chocolate. J Am Oil Chem Soc, 78: Huey SM, Hock CC, Lin SW Characterization of low saturation palm oil products after continuous enzymatic interesterification and dry fractionation. J Food Sci, 74: E177-E183. Mamat H, IN Aini, M Said, R Jamaludin Physicochemical characteristics of palm oil and sunflower oil blends fractionated at different temperatures. Food Chemistry, 91: DOI: /j.foodchem Mursalin, P Hariyadi, EH Purnomo, N Andarwulan, D Fardiaz, Fraksinasi kering minyak kelapa menggunakan kristalisator skala 120 kg untuk menghasilkan fraksi minyak kaya triasilgliserol rantai menengah. Accepted in J Littri, Vol 19. O Brien RD Fats and oils; formulating and processing for applications. CRC Press LLC. Washington, D.C Ramli MR, WL Siew, KY Cheah Properties of high-oleic palm oils derived by fractional crystallization. J Food Sci, 73: DOI: /j x)

109 78 Shi Y, CM Smith, RW Hartel Compositional effects on milk fat crystallization. J Dairy Sci, 84: Timms RE Fractional crystallisation the fat modification process for 21 st century. Eur J Lipid Sci Technol, 107: Vereecken J, I Foubert, KW Smith, GJ Sassano, K Dewettinck Crystallization of model fat blends containing symmetric and asymmetric monounsaturated triacylglycerols. Eur J Lipid Sci Technol, 112: Zaliha O, CL Chong, CS Cheow, AR Norizzah, MJ Kellens Crystallization properties of palm oil by dry fractionation. J Food Chem, 86: DOI: /j.foodchem

110 79 7 EFFECT OF COOLING RATES AND CRYSTALLIZATION TEMPERATURE ON CRYSTALLIZATION KINETICS OF COCONUT OIL 1) Mursalin 2,3), Purwiyatno Hariyadi 3,4), Eko Hari Purnomo 3,4), Nuri Andarwulan 3,4), and Dedi Fardiaz 3,4) 2) Faculty of Agriculture Technology, Jambi University, Jalan Raya Jambi-Muara Bulian Km.15 Mendalo Darat, Jambi 36122, Phone: , mursalin_murod@yahoo.com 3) Department of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220 Bogor 16002, Phone: / , Fax , fateta@ipb.ac.id. 4) Southeast Asia Food and Agriculture Science and Technology Center, Bogor Agricultural University, Jl. Puspa No.1 IPB Darmaga Campus 16680, Phone/Fax: , seafast@ipb.ac.id, website: Abstract It has been shown experimentally by many researchers that cooling rate and crystallization temperature affect the rate of crystal formation. In this study, crystallization kinetics of coconut oil was measured by monitoring the solid fraction of the oil using pulsed Nuclear Magnetic Resonance (pnmr). Four levels of cooling rate and crytallization temperature were studied. Parameters of crystallization kinetics are quantified by applying two different models namely Avrami model and Gompertz model. Avrami model was used to explain the mechanism of nucleation (Avrami index), crystallization rate constant and crystallization half-time, while Gompertz model was used to explain the induction time, maximum increase rate in crystallization and crystal polymorphic occurrence. Crystallization was done by heating the oil at a temperature of 70 C for 10 minutes prior to rapid cooling to 29 C. Then, rate of cooling from 29 C to the crystallization temperature (critical cooling rate) was set below 2 C/minutes. During the process, the oil was stirred at 15 rpm. Solid fraction was measured periodically since the crystallization temperature was reached until maximum solid fraction was achieved. The results showed that Avrami and Gompertz models are able to quantitatively describe coconut oil crystallization kinetics. Lower critical cooling rate decreases Avrami index, crystallization half time and induction time but increases crystallization rate constant and maximum increase rate in crystallization. Crystallization temperature has positive correlation with the crystallization rate contstant and Avrami index but has negative correlation with induction time and maximum increase rate in crystallization. Critical cooling rates and crystallization temperatures only effected on the thermodynamics and crystallization kinetics of coconut oil but not on its polymorphic occurrence. Keywords: coconut oil, critical cooling rates, crystallization kinetics, polymorphism 1) The article has been submitted for publication at Journal of Food Science and Technology

111 80 Introduction Crystallization kinetics is typical to each of oil and a function of the characteristics of the oil and cooling treatment applied. Crystallization kinetics parameters essential in oil include the mechanism of nucleation, crystal growth rate, half crystallization time, induction time (time delay formation of crystals) and the maximum crystal growth rate. All these kinetic parameters cannot be determined directly from the experiment, but can be extracted from the quantities generated by plotting the experimental data to the model of crystallization kinetics equation. Crystallization kinetics was extracted by comparing mathematical model to experimental data. So far, the experimental data widely used for fitting the model is the enthalpy of crystallization kinetics measured by Differential Scanning Calorimetry (DSC) and Solid Fat Content (SFC) measured with pnmr. Models commonly used to describe kinetic of crystallization are Avrami and Gompertz model. Avrami model is suitable to describe single crystallization curves (MacNaughtan et al. 2006). Meanwhile, Gompertz model was reported producing an excellent plot for single and double crystallization curves (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. 2003). Toro-Vazquez et al. (2002) used Avrami model to study the effect of differences in the mixture composition of stearin fraction of both palm oil and sesame seed oil. Campbell et al. (2004) used Avrami model for raw materials such as lard oil (fat form of blubber) and a mixture of palm oil stearin with canola oil on 2 kinds of emulsion homogenization pressure. Toro-Vazquez et al. (2005) applied Avrami model for raw materials such as polar fat-free chocolate and natural cocoa at various crystallization temperatures. Chaleepa et al. (2010) used the Gompertz model to estimate the effect of additives such as lauric acid and two types emulsifier on coconut oil. According to MacNaughtan et al. (2006), Avrami model (equation 7.1) is frequently used to assess fat crystallization kinetics at isothermal condition describing the crystallization rate and the formation mechanism of fat crystal nuclei (nucleation). 1 FF = ee ( zzzz nn )... (7.1) F is the fraction of crystals formed during crystallization time t (min), z is the constant crystallization rate primarily determined by the crystallization temperature, and n is the Avrami index. Avrami model widely used primarily to determine n of which the value associated with the mechanism of crystal growth. According to Toro-Vazquez et al. (2002), in formation of homogeneous crystal nucleation, the crystallization process with n = 4 indicates that the mechanism of crystal growth is three-dimensional (3-D), n = 3 is a two-dimensional (2-D) and n = 2 is the one-dimensional (1-D). Non integer n values showed heterogeneously secondary crystal nucleation; z value in the Avrami equation is the combined rate constants involving the rate of nucleation and crystal growth, and F denotes reduced crystallinity properties associated with the crystalline nature of the system at a given time (t) with the total crystallinity achieved under the experimental conditions. The F value is calculated with a property proportional to the change in solid phase or crystallinity developed in the system as a function of time (Marangoni et al. 1999).

112 81 According to Campbell et al. (2004), higher values of n indicate greater dimensionality nucleus growth (progressing from rodlike to disklike to spherulitic) or a change in mechanism nucleation from instantaneous to progressive or sporadic nucleation. Avrami index, n, of the bulk fat is stongly dependent on temperature, with a significant increase as a function of temperature. Toro et al. (2002) used the Avrami model to see fat crystallization kinetics in cocoa butter, milk fat, and milk fat fraction. Avrami index for cocoa butter, milk fat, and milk fat fraction are 4, 3, and 2 respectively. The aforementioned value indicates that each of oil, each nucleation occurs in heterogeneous nucleation, instantaneous nuclei, and high nucleation rate with each of crystal growth mechanisms each formed of polyhedral, plate-like, and cylinder. Crystallization kinetics parameters of other important oil is the induction time (τ), the maximum crystal growth rate (μ) and polymorphic types of crystals formed during the crystallization process. These parameters can be determined by using the Gompertz model. Gompertz equation used to describe the fat crystallisation by Kloek et al. (1998) is presented in equation (7.2). YY = SS mmmmmm 2 xx exp ( exp μμ 2.ee SS mmmmmm 2 (λλ 2 tt) + 1 ).. (7.2) S max2 parameter associated with the maximum percentage of solid fat content measured by pnmr. Parameter μ 2 (% / min) associated with the crystal growth rate, while λ 2 (minutes) is the induction time of crystallization. Schematic illustration of Gompertz model is presented in Figure 7.1. Figure 7.1 Illustration of parameters determination in the Gompertz model (Kloek et al. 1998). In this study, based on changes in the amount of solid fraction (SFC) of oil, the effect of critical cooling rate and crystallization temperature of coconut oil is presented. Therefore, coconut oil cooled in three stages of cooling which are the initial cooling (temperature of o C), the critical cooling (from 29 C to the specified crystallization temperature), and cooling to maintain a constant oil temperature at the specified crystallization temperature (Mursalin et al. 2013). This study is aimed to determine the effect of the critical cooling rate and crystallization temperature on the crystallization kinetics of coconut oil. The

113 82 Avrami and Gompertz equation are used to extract kinetic parameters associated with the nucleation mechanism, crystal growth, crystallization half-time, induction time, the maximum crystal growth rate and type of formed polymorphism crystals. Materials and Methods The main materials used in this study are refined bleached deodorized coconut oil (RBDCNO) obtained from PT BARCO, Jakarta. A total of 3 ml sample was placed in a NMR tube to be analyzed for its solid fraction changes during the crystallization process. Crystallization method applied to the sample has been modified from Zaliha et al. (2004) and Chaleepa et al. (2010). Prior to cooling, oil was heated at 70 C for 10 minutes to remove crystals that may still exist and erasing memory previously heated or cooled (rejuvenation). After that, from C, the oil has been rapid cooled. Then a rate of cooling from 29 C to the crystallization temperature (critical cooling rate) was set below 2 C/minutes. During the process, the oil was stirred at 15 rpm. After the crystallization temperature reached, the oil temperature kept constant until the end of the crystallization process. Observation on solid fraction in the oil during crystallization periodically conducted since the crystallization temperature was reached to a maximum solid fraction was measured (relatively constant for the last 3 measurements). Heating and cooling oil is controlled using waterbath. Analysis of solid fraction in the oil is carried out using Bruker Minispec PC 100 NMR Analyzer. NMR is calibrated using standard solid fraction 0%, 31.5% and 72.9%. Avrami model can be written as in linear form as follow (equation 7.3): ln[ llll(1 FF)] = ln(zz) + nn[ln(tt)]...(7.3) Where F is the fraction of crystals formed during crystallization time t, z is the constant crystallization rate, and n is the Avrami index. Value of n and z respectively determined from the slope and intercept of the line. In this way, it is assumed that a single slope, which is associated as the n value, obtained from the plot of ln [-ln(1-f)] vs. ln (t). According to MacNaughtan et al. (2006), z parameter associated with crystal growth rate but the unit depends on the n value. Therefore, t 1/2 is introduced to provide a better indicator for relative crystallization rate; t 1/2 is equivalent to required time to reach half of the maximum crystals amount that can be obtained (crystallization half-time), or written as: tt 1/2 = llll2 1 nn... (7.4) zz Gompertz model to be used in this study can be written as follows: FF(tt) = AAee ee ((μμμμ (ττ tt)/aa +1) (7.5) Where F(t) is the value percenhtage of solid fraction crystallized at time t, A is the maximum solid fraction in percent, μ is the maximum crystallization rate of increase (tangent value of the inflection point from crystallization curve) and τ is

114 83 the induction time (intercept value from tangent at inflection point with the x-axis in the form of time). Value of F(t) is calculated according to the equation: FF(tt) = xx 100%... (7.6) SSSS tt SSSS mmmmmmmmmmmmmm Where SF t is solid fraction of oil at t time and the maximum SF is the maximum solid fat content can be generated from the process of crystallization at a certain temperature and cooling rate. Induction time of nucleation and maximum crystallization growth rate can be obtained by comparing the observed data with the Gompertz model. Results and Discussion Avrami index, Crystallization Rate Constant and Half-time Crystallization The experimental data is quantitatively compared to Avrami model to extract Avrami index, crystallization rate constant and half-time crystallization (Figure 7.2). Avrami index, n, is strongly affected by the critical cooling rate (v c, C/min). Avrami index in the coconut oil crystallization has positive correlation with the critical cooling rate. The higher critical cooling rate result in bigger Avrami index (Figure 7.2a). Effect of crystallization temperature (T o cr, C) on the Avrami index is less obvious than the effect of critical cooling rate (Figure 7.2b). Avrami index resulted from this study at various critical cooling rates were as follows: ± for v c < C/min; ± to < v c < C/min; ± to <v c <0.175 C/min, and ± for v c > C/min respectively. The Avrami index ranges from 3 to 4 which means that crystal growth occurs in 2-3 dimension. The Avrami index value of 3 to 4 also indicates that crystallization involves the process of heterogeneous secondary crystal nucleation. It also means that the crystal growth occures in a progressive or sporadic manner, as reported by Toro-Vazquez et al. (2002); Campbell et al. (2004). Ln ( -Ln (1-F)) Vc < C/min < Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min y = 3.464x R² = y = 3.698x R² = y = 3.821x R² = y = 4.269x R² = Ln t (min) Ln ( -Ln (1-F)) y = 3.256x R² = y = 3.513x R² = y = 3.812x R² = y = 3.821x R² = (a) (b) Figure 7.2 Plot of the experiments results with linear equation of Avrami model on four different critical cooling rate (a) and four different crystallization temperatures (b); v c = critical cooling rate; T Cr = temperature of crystallization; t = time of crystallization; F = solid fat fraction at certain crystallization period Tcr < C < Tcr < C < Tcr < C Tcr > C Ln t (min)

115 84 Our previous study showed that stable coconut oil crystals was obtained at critical cooling rate smaller than 0.l76 o C/min (Mursalin et al. 2013). Therefore, further analysis is conducted to study the relationship between the critical cooling rate (below C/min) and crystallization temperature with Avrami index. The analysis showed that increase in the critical cooling rate exponentially increases the Avrami index (Figure 7.3a) and an increase in crystallization temperature increases the Avrami index polynomially (quadratic) as shown in Figure 7.3b. The relationship between the critical cooling rate with Avrami index can be described by the equation n=3.006e 1.785Vc. The relationship between the crystallization temperature with Avrami index can be explained by equation n=-0.049t 2 Cr T Cr Comparison of experiment data and Avrami model also produces crystalline growth rate constant (z) which is directly related to t1/2. Effect of critical cooling rate and crystallization temperature on z value, t 1/2 and Fmax can be seen in Figure Avrami index (n) Avrami index (n) n = Tcr Tcr R² = n = 3.006e 1.785Vc R² = Critical cooling rate ( o C/min) Crystallization temperature ( o C) (a) (b) Figure 7.3 Relationship between Avrami index with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b); v c = critical cooling rate; T Cr = temperature of crystallization; n = Avrami index Figure 7.4 shows that the growth of coconut oil crystals during crystallization process exponentially decreases as function of critical cooling rate. The relationship between the critical cooling rate with the rate of crystal growth can be described by the equation z = 576.3e -44.8Vc (Figure 7.4a). The relationship between crystallization temperature with crystal growth rate can be described by the equation z = 0.863Tcr Tcr (Figure 7.4b). The half-time crystallization of coconut oil logarithmically increases as function of cooling rate. The relationship between the crystallization half-time with a critical cooling rate can be described by t1/2 = 67.78ln(v c ) (Figure 7.4c). The oil amount that can be crystallized logarithmically decreases with critical cooling rate or crystallization temperature. The relationship between the maximum SFC with critical cooling rate can be described by v c = 0.840e -0.04Fmax whereas the crystallization temperature can be described as Tcr = 35.72e -0.01Fmax (Figure 7.4d).

116 Crystallization rate (zx ) z = 576.3e -44.8Vc R² = Crystallization rate (z x ) z = 0.863Tcr Tcr R² = t 1/2 (menit) Critical cooling rate ( o C/min) (a) t 1/2 = 67.78ln(Vc) R² = Critical cooling rate ( o C/min) Vc ( o C/min) (c) (d) Figure 7.4 Relationship between crystal growth rate with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b), the relationship between critical cooling rate with a half-time crystallization (c), the relationship between critical cooling rate and crystallization temperature of the maximum solid fraction that can be achieved (d); v c = critical cooling rate; T Cr = crystallization temperature; Fmax = maximum solid fraction; z = crystal growth rate constant Critical cooling rate significantly effect to Fmaks of coconut oil. Lower cooling rate resulting in higher Fmaks. This is consistent with research results of Arnaud et al. (2007) which revealed that lower cooling rate increases the maximum amount of crystals produced. This is becaused low cooling rate can provide longer supercooling conditions and provide opportunities for fat crystal to grow. This supercooling condition occurs due to the crystallization temperature applied is below the melting point of TAG. More fat crystals formed by the time of long supercooling conditions cause an increase in the rate of nucleation and greater crystal development. After the fat nucleation step is completed, T Cr determines Fmaks that could be achieved. Higher T Cr results in lower Fmaks. This is related to process and mechanism of nucleus merging into the crystal (crystallization). Crystallization is demonstrated by changes in viscosity and oil phase from liquid to solid. Higher T Cr causes the lower final SFC value due to decreased volume on Vc Tcr Crystallization temperature ( o C) Tcr = 35.72e -0.01Fmax R² = (b) Vc = 0.840e -0.04Fmax R² = F max (%) Tcr ( o C)

117 86 crystalline phase when the temperature increases. The result is in line with Timms (2005); De-Graef et al. (2007); Crystallization kinetics of coconut oil, in fact, has a little different from what happened in other vegetable oils such as palm oil and cocoa butter. Toro- Vazquez et al. (2002) reported that an increase in crystallization temperature tends to be followed by an increase in n and decrease in z, but an increase of oil cooling rate is not always followed by an increase in n or decrease in z because mixture composition of palm stearin and sesame oil had contribution in affecting the value of n and z samples. Toro-Vazquez et al. (2005) reported that cocoa butter crystallization occurs in two steps (first exotherm and second exotherm), the first step occured in a range of n value of and z of x 10-4 for four types of crystallization temperature ( o C). In the second phase, the value of n increased to and z decreased to x Induction Time, Maximum Increase Rate in Crystallization, and Crystal Polymorphism Type of Coconut Oil Plot obtained from fitting SFC observation data as a function of cooling time with Gompertz equation, FF(tt) = Ae ( μe(τ t ) A +1), shows that the model quantitatively describes the experimental data (Figure 5). Induction time or lag phase of crystal growth, (τ, min), strongly affected by the critical cooling rate (v c, C/min). The higher critical cooling rate results in greater induction time as indicated by the shifted of the curve to the right, (Figure 7.5a). The effect shown by the crystallization temperature (T cr, o C) is the opposite to that shown by the critical cooling rate (Figure 7.5b and Table 7.1) Vc < C/min Tcr < C < Vc < C/min < Tcr < C < Vc< C/min < Tcr < C Vc > C/min 5 Tcr > C Crystallization Time (min) Crystallization Time (min) (a) (b) Figure 7.5 Plot the experiments results with the Gompertz equation on four critical cooling rate (a) and four different crystallization temperatures (b) coconut oil; v c = critical cooling rate; T Cr = crystallization temperature Solid Fraction (%) Solid Fraction (%)

118 87 Table 7.1 Crystallization induction time of palm oil at different treatment of critical cooling rate and crystallization temperature Treatment Critical cooling rate ( o C/min) Induction time (τ, min) v c < ± < v c < ± < v c < ± 6.37 v c > ± Crystallization temperature ( o C) T cr < ± < T cr < ± < T cr < ± 6.14 T cr > ± 4.19 Induction time showed crystal nuclei developmental delays into crystals with larger size (Kloek et al. 2000; Vanhoutte et al. (2002). Increase of the induction time is in line with the increase of critical cooling rate. This condition indicates that increase in the critical cooling rate caused a delay of crystallization. Nucleation is not immediately followed by its growth into larger crystals. This also means that an increase in the critical cooling rate on coconut oil crystallization causes an increase in the lag time for crystal growth. Further analysis of the results showed that an increase in the critical cooling rate leads to an increase in the induction time of coconut oil in polynomial (quadratic) form (Figure 7.6a) and an increase in crystallization temperature will decrease induction time is polynomial (quadratic) as shown in Figure 7.6b. The relationship between the critical cooling rate with induction time can be described by τ = 1931.v c v c The relationship between the temperature of crystallization induction time can be described as τ = 4.568T Cr T Cr induction time (τ = min) τ = 1931.Vc Vc R² = Critical cooling rate ( o C/min) (a) induction time (min) τ = 4.568Tcr Tcr R² = Crystallization temperature ( o C) (b)

119 88 Figure 7.6 Relationship between the induction time with the critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b); v c = critical cooling rate; T Cr = crystallization temperature; τ = induction time In Figure 7.6a, it can be observed that slower temperature decrease in the second cooling phase (smaller critical cooling rate) causes a shorter τ. According to Arnaud et al. (2007), at the slower cooling rate, TAG had enough time to interact. In contrast to the rapid cooling rate, TAG did not have enough time to organize itself in a more stable conformation. Figure 7.6b shows that at the crystallization temperature interval C, increasing the crystallization temperature decreases the induction time of crystallization. It means that at the greater crystallization temperature, crystallization induction time is shorter. In general, an isothermal condition in the TCr with a low degree of supercooling accelerates the occurrence of crystallization, indicated by a shorter τ. This is in agreement with the observation of Timms (2005) which revealed that the high supercooling (low crystallization temperature) causes an increase in the nucleation rate (formation of crystal nuclei) and oil viscosity so it delay the merging process of the nuclei. Effect of critical cooling rate and crystallization temperature to maximum crystal growth rate can be seen in Figure µ (%/min) μ = -0.04ln(Vc) R² = µ (%/min) μ = 0.00Tcr Tcr R² = Critical cooling rate ( o C/min) Crystallization temperature ( o C) (a) (b) Figure 7.7 Relationship between maximum rate of crystal growth with critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b); v c = critical cooling rate; T Cr = crystallization temperature; μ maximum rate of crystal growth Figure 7.7 shows that μ of coconut oil during the crystallization process logarithmically decreased when the v c is increased, the relationship between v c and μ can be described by the equation μ = -0.04ln(v c ) (Figure 7a). At the studied crystallization temperature interval, T Cr increase was followed by an increase of μ. Correlation between T Cr and μ of coconut oil at C temperature interval can be described by the equation μ = 0.00Tcr Tcr (Figure 7.7b). According to Arnaud et al. (2007), an increase in μ samples during crystallization can be attributed to the increased number of fat crystals formed as well as the degree changes of crystalline that occurred. According to Timms

120 89 (2005) an increase in μ is characterized by an increase in the solid amount in the liquid phase of the oil, which is influenced by the crystal size distribution of fat and the interaction that occurs between the crystals. The aggregated crystals tend to form voluminous aggregates with volume greater than total volume of the primary crystals, which finally leads to an increase the solid fraction. Hence, low μ shows oil crystal did not develop or did not occurs formation of secondary crystals or aggregates which is a combination of crystalline nuclei. There is a strong correlation between crystallization induction times with μ. An increase in μ does not suddently occur after T Cr isothermal achieved, as indicated by the SFC baseline plot which is still flat until a certain period of time. If at any point SFC drastically changes from the baseline, according to Chen et al. (2002), the point reflected the occurance of crystallization induction time, and improvement degree of SFC after that point illustrates the amount of μ. At low v, μ has a high value. This is in line with the research results of c Arnaud et al. (2007) which revealed that, at a slow cooling rate, TAG has enough time to interact each other. In contrast to the rapid cooling rate, TAG did not have enough time to organize itself in a more stable conformation so that the rate of crystal growth is impaired and the formation of the primary nuclei continues. As the result, small crystals at the end of the process were obtained. At low TCr value μ is also low. This is in accordance with the research results of De-Graef et al. (2007) where μ rapidly increases and reaches a higher value when lower T Cr is applied. This is because it is associated with the occurrence of supercooling condition. The larger condition of supercooling (at the lower crystallization temperature) provides higher driving force of crystallization. Therefore, at the lower T Cr crystallization process occurs faster. Polymorphic form of TAG which crystallized refers to the ability of the molecules arrange themselves in a crystal lattice packed in a special form (Chen et al., 2002; Timms 1997; Cerdeira et al., 2003). Logarithmic plot of the induction time as a function of the crystallization temperature, called as nucleation curve, can be used to predict the polymorphisms type that occur (Timms 1984, Ng 1990; Chen et al. 2002; Chaleepa et al. 2010). In this study, the nucleation curve will be used to predict the influence of four intervals of critical cooling rate to the polymorphisms occured in coconut oil. Nucleation curve of coconut oil as a function of critical cooling rate at C temperature intervals was presented in Figure 7.8. Figure 7.8 shows nucleation curve of coconut oil is continuous without jumping on the induction time. The crystallization behavior can be interpreted that during the process of crystallization at various critical cooling rate and crystallization temperature, coconut oil only formed one type of polymorphic crystal. This is in line with that reported by Chaleepa et al which says that the crystallization of coconut oil is always in the polymorphic form β'. This indicates that the critical cooling rate only affects the thermodynamics and kinetics of crystallization on coconut oil but has no effect on the polymorphism formation.

121 Vc < C/min < Vc < C/min < Vc < C/min Vc > C/min Log τ estimated Crystallization Temperature (K) Figure 7.8 Nucleation curve of coconut oil Conclusion Avrami and Gompertz models are good to be used for describing the crystallization kinetics of coconut oil based on changes of oil solid fat content during the crystallization process. Both models have the adjustability of more than 99% with the experimental results in this study. A low critical cooling rate produces Avrami index, half-time crystallization and induction time were also lower but will produce high crystallization rate constant, high content of maximum solid fat, and high rate of maximum crystal growth. Coconut oil crystallization temperature has positive correlation with the crystallization rate constant and the Avrami index but has negative correlation with the maximum SFC, induction time, and the maximum increase rate in crystallization. Critical cooling rate and crystallization temperature only affected thermodynamics and kinetics of coconut oil crystallization; however have no effects to the polymorphism formation. Acknowledgements Acknowledgements delivered to the DP2M DIKTI on Research Grant through Hibah Doktor Program in 2012 and IPB SEAFAST CENTER which has provided research facilities. References Arnaud E, M Pina, A Collignan Suitable cooling program for chicken fat dry fractionation. Eur J Lipid Sci Technol, 109:

122 91 Campbell SD, HD Goff, D Rousseau Modelling the nucleation and crystallization kinetics of palm stearin/canola oil blend and lard in bulk and emulsified form. J Am Oil Chem Soc, 81: Chaleepa K, Szepes A, Ulrich J Effect of additives on isothermal crystallization kinetics and physical characteristics of coconut oil. Chemistri and Physic of Lipids, 163: DOI: /j.chemphyslip Chen CW, OM Lai, HM Ghazali, CL Chong Isothermal crystallization kinetics of refined palm oil. J Am Oil Chem Soc 79, Foubert I, PA Vanrolleghem, B Vanhoutte, K Dewettinck Dynamic mathematical model of the crystallization kinetics of fats. Food Res Int, 35: Foubert I, B Vanhoutte, K Dewettinck Temperature and concentration dependent effect of partial glycerides on milk fat crystallization. Eur J Lipid Sci Technol, 105: DOI: /ejlt De Graef V, I Foubert, KW Smith, FW Cain, K Dewettinck Crystallization behavior and texture of trans-containing and trans-free palm oil based confectionery fats. J Agric Food Chem, 55: Herrera ML, M De-Leon-Gatti, RW Hartel A kinetic analysis of crystallization of a milk fat model system. Food Re Int, 32: Kloek W Mechanical properties of fats in relation to their crystallization. [PhD Thesis], Wageningen Agricultural University, the Netherlands. Kloek W, P Walstra, TV Vliet Crystallization kinetics of fully hydrogenated palm oil in sunflower oil mixtures. J Am Oil Chem Soc, 77: Liang B, Y Shi, RW Hartel Phase equilibrium and crystallization behavior of mixed lipid systems. J Am Oil Chem Soc, 80: MacNaughtan W, IA Farhat, C Himawan, VM Starov, AGF Stapley A Differential scanning calorimetry study of the crystallization kinetics of tristearin-tripalmitin mixtures. J Am Oil Chem Soc, 83: 1-9. Marangoni AG, D Rousseau Plastic fat rheology is governed by the fractal nature of the fat crystal network and by crystal habit, in Physical Properties of Fats, Oils, and Emulsifiers, edited by N Widlak, AOCS Press, Champaign, pp Mazznti G, AG Marangoni, SHJ Idziak Modeling of a two-regime crystallization in a multicomponent lipid system under shear flow. Eur Phys JE, 27: DOI /epje/i

123 92 Mursalin, P Hariyadi, EH Purnomo, N Andarwulan, D Fardiaz, Dry fractionation of coconut oil using 120 kg-scale crystallizer to produce concentrated medium chain triglycerides. J Industrial Crops Research (LITTRI), 19: Ng WL A study of the kinetics of nucleation in a palm oil melt. J Am Oil Chem Soc, 67: Timms RE Phase behavior of fats and their mixtures. Prog Lipid Res, 23: Timms RE Fractional crystallisation the fat modification process for 21 st century. Eur J Lipid Sci Technol, 107: Toro-Vazquez JF, M Briceno-Montelongo, E Dibildox-Alvarado, M Charo- Alonso, J Reyes-Hernandez Crystallization kinetics of palmstearin in blends with sesame seed oil. J Am Oil Chem Soc, 77: Toro-Vazquez JF, E Dibildox-Alvarado, V Herrera-Coronado, M Charo-Alonso Triacylgliceride crystallization in vegetable oils: application of models, measurements, and limitations, in Crystallization and Solidification Properties of Lipids, edited by N Widlak, R Hartel, and SS Narine. AOCS Press, Champaign, pp Toro-Vazquez, JF, E Dibildox-Alvarado, M Charo-Alonso, V Herrera-Coronado, CA Gomez-Alpada The Avrami index and the fractal dimension in vegetable oil crystallization. J Am Oil Chem Soc, 79: Vanhoutte B, K Dewettinck, I Foubert, B Vanlerberghe, A Huyghebaert The effect of phospholipids and water on the isothermal crystallization of milkfat. Eur J Lipid Sci Technol, 104: Vanhoutte B, K Dewettinck, B Vanlerberghe, A Huyghebaert Monitoring milk fat fractionation: filtration properties and crystallization kinetics. J Am Oil Chem Soc, 80: Wright AJ, HD Batte, AG Marangoni Effect of canola oil dilution on anhydrous milk fat crystallization and fractionation behavior. J Dairy Sci, 88: Zaliha O, CL Chong, CS Cheow, AR Norizzah, MJ Kellens Crystallization properties of palm oil by dry fractionation. J Food Chem 86: DOI: /j.foodchem

124 93 8 PEMBAHASAN UMUM Komposisi Asam Lemak Karakteristik Minyak Kelapa Minyak dan lemak adalah suatu campuran triasilgliserol, yaitu ester dari gliserol dan asam lemak. Minyak dan lemak yang diperoleh dari berbagai sumber mempunyai sifat fisiko-kimia yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan jumlah dan jenis ester yang terdapat di dalamnya. Minyak atau lemak dapat berwujud padat atau cair tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Minyak akan berbentuk cair jika mengandung sejumlah asam lemak dengan titik cair yang rendah dan berbentuk padat jika dominan mengandung asam lemak dengan titik leleh tinggi. Asam lemak dominan dalam minyak kelapa adalah asam laurat. Oleh karenanya, minyak kelapa sering digolongkan sebagai minyak laurat. Minyak kelapa mengandung asam laurat sebesar 50.98%. Menurut Ketaren (2005), sifat fisika dan kimia minyak kelapa sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimia dari asam laurat. Asam lemak dominan lainnya dalam minyak kelapa adalah asam miristat, kaprilat, kaprat, palmitat dan oleat yaitu masing-masing sebanyak 15.35, 10.45, 8.15, 6.17 dan 4.06%. Komposisi asam lemak dan TAG, profil SFC dan SMP minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 8.1. Menurut Lawson (1995) dan Gee (2007), sifat-sifat minyak, terutama titik lelehnya, tergantung dari susunan asam lemaknya. Minyak kelapa mempunyai profil leleh yang tajam ( C) karena lebih banyak mengandung asam lemak berberat molekul rendah dibandingkan yang berantai panjang. Tabel 8.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa Jenis Asam Lemak Komposisi (%b/b) C8:0 (Kaprilat, Cp) C10:0 (Kaprat, Ca) C12:0 (Laurat, La) C14:0 (Miristat, Mi) C16:0 (Palmitat, P) C16:1 (Palmitoleat, Po) C18:0 (Stearat, S) C18:1 (Oleat, O) C18:2 (Linoleat, L) C18:3 (Linolenat, Ln) C20:0 (Arakhidat, A) C22:0 (Behenat, B) Saturated FA** Monounsaturated FA Polyunsaturated FA *nd = tidak terdeteksi nd nd nd nd

125 94 Minyak kelapa berdasarkan tingkat kejenuhan asam lemaknya digolongkan sebagai minyak jenuh. Minyak kelapa mengandung 94.54% asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan hanya mengandung 4.06% asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid) dan 1.41% asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid). Dari keseluruhan asam lemak minyak kelapa, 69.59% merupakan asam lemak berantai menengah (Medium Chain Fatty Acid/MCFA) dan sisanya (30.41%) merupakan asam lemak berantai panjang (Long Chain Fatty Acid/LCFA). MCFA adalah asam lemak unik dengan nilai ekonomis yang tinggi. MCFA bersifat jenuh tetapi memiliki titik cair yang rendah, kurang bersifat fattening, mempunyai kelarutan yang lebih tinggi di dalam air, memiliki nilai kalori yang lebih rendah, dan lebih mudah dicerna (Matulka et al. 2006; Prakoso et al. 2006). Komposisi TAG Hasil analisis komponen TAG minyak kelapa menggunakan HPLC, diketahui bahwa minyak kelapa tersusun atas 12 jenis TAG utama dengan 4 jenis TAG dominan, yaitu trilaurin (LaLaLa) sebesar 20.43%, kaprodilaurin (CaLaLa) sebesar 16.23%, dilauromiristin (LaLaM) sebesar 15.38% dan dikaprolaurin (CaCaLa) sebesar 12.68%. Berdasarkan jenis asam lemak penyusun TAG minyak kelapa, diketahui bahwa minyak kelapa mengandung 82.54% TAG yang ketiga asam lemaknya jenuh (St3). Dari keseluruhan kandungan St3 minyak kelapa, 53.71% diantaranya adalah Medium Chain Triglycerides (MCT). Kandungan St2U dan StU2 minyak kelapa masing-masing sebesar dan 3.22%. Minyak kelapa tidak mengandung TAG jenis triunsaturated (U3). Berdasarkan sifat leleh dan kecenderungan untuk berwujud padat atau cair, TAG minyak kelapa dibagi dalam dua kelompok, yaitu TAG yang lebih berwujud padat dengan titik leleh tinggi (Solidlike/S) dan TAG yang lebih berwujud cair dengan titik leleh rendah (Liquidlike/L). Yang termasuk golongan TAG S pada minyak kelapa adalah LaLaLa, LaLaM, lauromiristopalmitin (LaMP) dan laurodimiristin (LaMM); sedangkan delapan jenis TAG lainnya tergolong sebagai TAG L. Sebagian MCT, seluruh St2U dan StU2 termasuk dalam golongan TAG L. Jumlah TAG S dan L masing-masing dalam minyak kelapa adalah dan 50.75%. Komposisi TAG minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 8.2. Tabel 8.2 Komposisi TAG minyak kelapa Jenis TAG Komposisi (%) MCT ± 0.48 LCT ± 0.30 St ± 0.18 St2U ± 0.21 StU ± 0.05 U3 nd ± nd Solidlike ± 0.29 Liquidlike ± 0.26 *nd = tidak terdeteksi

126 95 Profil SFC dan SMP SFC adalah jumlah kristal lemak yang terdapat dalam campuran minyak/lemak yang menentukan karakteristik berbagai produk, seperti sifat pelelehan maupun sifat organoleptik produk. SFC menentukan kesesuaian dari minyak dan lemak untuk aplikasi khusus. Secara umum, SFC dari komponen minyak dan lemak bertanggung jawab terhadap berbagai karakteristik produk, meliputi penampakan umum, kemudahan untuk dikemas, daya oles, peresapan minyak dan sifat-sifat organoleptik (Noor Lida dan Ali 1998). SFC juga dapat digunakan untuk mempelajari kompatibilitas lemak dengan menentukan perubahan persen padatan pada berbagai proporsi lemak (Noor Lida et al. 2002). Profil SFC minyak kelapa hasil pengukuran menggunakan pnmr pada berbagai suhu disajikan pada Tabel 8.3. SFC minyak kelapa dengan nilai sekitar 32 %, berada pada interval suhu o C. Hal ini berarti bahwa minyak kelapa memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu 22 o C (suhu ruang bagi negara-negara yang memiliki 4 musim). Minyak kelapa mempunyai nilai SFC tinggi pada suhu rendah dan terjadi penurunan yang cukup tajam sampai suhu 25 C, kemudian laju penurunan nilai SFC-nya relatif konstan sampai suhu sekitar 30 ºC. Pada suhu pengukuran 27 C minyak kelapa memiliki nilai SFC-sebesar 3.53 %, hal ini mengindikasikan bahwa pada suhu tersebut minyak kelapa sudah melewati slip melting point (SMP)-nya. Karena menurut Lida dan Ali (1998), lemak di dalam tabung kapiler akan mengalami slip ketika kandungan lemak padatnya sekitar 4-5 %, sehingga dapat dianalogikan bahwa SMP menunjukkan kondisi ketika minyak/lemak mempunyai nilai SFC sekitar 4-5 %. SFC minyak atau lemak mencerminkan komposisi TAG-nya (Noor Lida et al. 2002). TAG jenis S diperkirakan yang menyebabkan minyak kelapa memiliki SFC yang tinggi. Menurut Li et al. (2010) profil SFC merupakan persentasi bagian padat dalam lipida pada berbagai suhu. Oleh karena itu, SFC menjadi parameter penting untuk menganalisis sifat-sifat lemak padat seperti margarine dan shortening. Tabel 8.3 Profil SFC dan SMP minyak kelapa Karakteristik SFC, % 5 o C o 10 C o 20 C o 25 C o 27 C o 30 C 35 o C Komposisi Slip Melting Point (SMP, o C) ± ± ± ± ± ± ± Hasil pengukuran SMP menunjukkan bahwa minyak kelapa memiliki titik leleh pada suhu di antara oc. SMP adalah temperatur pada saat lemak dalam pipa

127 96 kapiler yang berada dalam air menjadi cukup leleh untuk naik dalam pipa kapiler. SMP minyak berkaitan dengan wujud dan tampilannya. Pada suhu di atas SMP minyak akan berwujud cair dengan tampilan yang jernih tetapi di bawah suhu SMP minyak akan berwujud semi-padat hingga padat dengan tampilan warna keruh hingga putih. Menurut Lawson (1995), faktor penting penentu titik cair dan melting behaviour minyak atau lemak antara lain adalah panjang rantai asam lemak (semakin panjang semakin tinggi titik cairnya), posisi asam lemak pada molekul gliserol, proporsi relatif dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dan teknik pengolahan (derajat hidrogenasi dan winterisasi). Pendinginan dan Kristalisasi Minyak Kelapa Hasil analisis terhadap kurva perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi, diketahui bahwa perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi secara tipikal dapat digambarkan dengan bentuk kurva yang dapat dilihat pada Gambar 8.1. Gambar 8.1. Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi Hasil analisis terhadap kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi (Gambar 8.1) mengindikasikan bahwa terdapat tiga tahap pendinginan yang mempengaruhi proses kristalisasi dan fraksinasinya. Tahap pertama adalah pendinginan awal, yaitu pendinginan yang berlangsung dari suhu awal minyak (T 0 ) hingga suhu awal kristalisasi. Pada penelitian ini suhu awal kristalisasi pada minyak kelapa (suhu dimana inti kristal pertama mulai terbentuk) diperkirakan

128 97 terjadi pada suhu 29 C. Hal ini didukung oleh hasil analisis NMR yang menunjukkan bahwa pada suhu 29 C minyak kelapa mempunyai nilai SFC berkisar antara % (data tidak ditampilkan). Selain itu terlihat pula secara visual bahwa pada suhu tersebut viskositas minyak kelapa mulai meningkat. Tahap kedua adalah pendinginan yang berlangsung dari suhu awal kristalisasi hingga tercapainya suhu kristalisasi (T cr ) yang ditetapkan. Diduga pada tahap kedua ini terjadi peningkatan intensitas pembentukan inti kristal (propagasi) yang terjadi setelah inti pertama terbentuk hingga tercapainya suhu kristalisasi (T cr ). Laju pendinginan pada tahap kedua ini disebut sebagai laju pendinginan kritis (v c ). Tahap ketiga adalah pendinginan untuk mempertahankan suhu kristalisasi konstan sesuai dengan yang ditetapkan. Diduga pada pendinginan tahap ketiga ini terjadi penggabungan inti kristal membentuk kristal yang lebih besar (pertumbuhan kristal). Oleh karena itu pendinginan tahap ketiga ini disebut sebagai waktu kristalisasi. Pengaruh Pendinginan pada Fraksinasi Kering Minyak Kelapa Fraksinasi kering adalah proses pemisahan berbagai triasilgliserol menjadi satu atau lebih fraksi dengan menggunakan perbedaan kelarutan triasilgliserol, yang tergantung pada berat molekul dan derajat ketidakjenuhan. Fraksi stearin atau fraksi minyak jenuh yang mempunyai titik cair lebih tinggi akan membentuk kristal terlebih dahulu. Sedangkan fraksi olein atau fraksi minyak yang tidak jenuh dengan titik cair yang lebih rendah masih dalam bentuk cair (Timms 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, suhu awal pendinginan dan laju pendinginan di tahap pertama tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas kristal, ukuran kristal, pola pembentukan stearin, pola perubahan MCT, profil TAG, rasio S/L, pola perubahan St3, St2U dan StU2, pola perubahan SFC dan SMP, indeks Avrami, laju pertumbuhan kristal, waktu faruh kristalisasi, jumlah kristal maksimum yang dapat dicapai, waktu induksi dan laju pertumbuhan kristal maksimum. Keseluruhan parameter fraksinasi tersebut dipengaruhi kuat oleh laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi. Hasil penelitian ini sedikit bertentangan dengan hasil yang dilaporkan oleh Kellens and Hendrix (2000); Timms (2005), yang mengungkapkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan kristal dan pemisahan stearin dengan olein pada fraksinasi kering adalah suhu awal dari minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, kecepatan agitasi dan metode preparasi. Menurut Calliauw et al. (2010) keempat faktor pendinginan di atas sangat berpengaruh terhadap ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, kandungan lemak padat, titik leleh dan profil asam lemak produk fraksinasi. Temuan terhadap adanya tiga tahap pendinginan pada fraksinasi kering minyak kelapa dan pengaruh masing-masing tahap tersebut terhadap parameter fraksinasi, berimplikasi pada efisiensi dan efektivitas produksi bagi pengembangan produk olahan berbasis minyak kelapa. Fraksinasi minyak kelapa bisa dijalankan dengan lebih cepat karena pendinginan minyak hingga suhu 29 o C dapat dilaksanakan dengan laju yang secepat-cepatnya, baru setelah itu diatur pendinginan lambat hingga minyak mencapai suhu kristalisasi yang ditetapkan.

129 98 Penelitian ini menghasilkan persamaan matematika yang menjelaskan hubungan antara laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dengan masingmasing parameter fraksinasi yang diamati pada rentang waktu kristalisasi yang diterapkan. Persamaan-persamaan ini dapat digunakan untuk menduga nilai akhir dari setiap parameter di akhir proses fraksinasi. Sehingga untuk menghasilkan suatu nilai parameter dengan jumlah dan kualitas tertentu, dapat diatur program pendinginan yang sesuai dengan lama waktu kristalisasi tertentu. Dengan demikian, fraksinasi minyak kelapa untuk tujuan khusus dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Sebagai ilustrasi, dari hasil penelitian diketahui bahwa perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis adalah: MT=1.552ln(t) untuk v c <0.075 o C/menit; MT=1.997ln(t) untuk 0.075<v c <0.125 o C/menit; dan MT=2.072ln(t) untuk v c >0.125 o C/menit. Perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari C/menit di berbagai interval suhu kristalisasi yang dipelajari mengikuti persamaan: MT=1.884ln(t) untuk 21.30<T cr <21.73 o C; MT=1.388ln(t) untuk 18.82<T cr <18.91 o C; dan MT=1.710ln(t) untuk 21.90<T cr <22.38 o C. Berdasarkan persamaanpersamaan ini maka dapat diprediksi perubahan nilai MCT sepanjang waktu kristalisasi seperti dideskripsikan pada Tabel 8.4. Tabel 8.4 Lama Kristalisasi (menit) Prediksi perubahan kandungan MCT fraksi olein minyak kelapa sepanjang waktu kristalisasi T Cr Prediksi Kandungan MCT (%), pada perlakuan 1 TCr T 2 Cr 3 vc 1 vc 2 vc Keterangan: T cr 1 = suhu kristalisasi o C Tcr 1 = suhu kristalisasi o C Tcr 1 = suhu kristalisasi o C vc 1 = laju pendinginan kritis < 0,075 o C/menit vc 2 = laju pendinginan kritis antara 0, o C/menit vc 3 = laju pendinginan kritis > 0,125 o C/menit Lama proses kristalisasi yang dimaksudkan pada Tabel 8.4 bukan merujuk pada keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk mendinginkan minyak dari awal, tetapi adalah lamanya proses pendinginan sejak dimulainya pendinginan tahap

130 99 ketiga, dimana proses pendinginan tersebut ditujukan untuk mempertahankan suhu minyak konstan pada suhu kristalisasi yang ditetapkan. Berdasarkan tipikal kurva pendinginan (Gambar 5.2), onset waktu kristalisasi (t Cr = 0) adalah saat minyak pertama kali mencapai suhu kristalisasi, atau senilai dengan seluruh lama proses pendinginan dari awal dikurangi waktu induksi untuk terjadinya proses kristalisasi (τ). TAG minyak kelapa yang memiliki titik leleh tinggi akan lebih dahulu terkristalkan selama proses kristalisasi. Dan saat difraksinasi, jika kristal yang dihasilkan stabil dan berukuran besar, akan lebih terkonsentrasi di dalam fraksi stearin. Ilustrasi perubahan komposisi TAG minyak kelapa bertitik leleh tinggi sebelum dan sesudah fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 8.2 dan Tabel 8.5. Pada Gambar 8.2 terlihat bahwa tiga peak pertama pada kromatogram hasil analisis TAG menggunakan HPLC yaitu CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa lebih tinggi adanya pada fraksi olein (Gambar 8.2b), ketiga TAG ini tersusun atas asam lemak dengan jumlah atom karbon 8-10, merupakan komponen utama dalam MCT dan memiliki titik leleh sangat rendah. Peak ke-5, 7 dan 9 yang diberi tanda lingkaran, masing-masing adalah LaLaM, LaMP dan LaMM. Ketiga TAG ini tergolong sebagai trisaturated berantai panjang yang memiliki titik leleh tinggi, lebih tinggi adanya pada fraksi stearin. Peak yang keempat, adalah trilaurin (LaLaLa), yang juga digolongkan sebagai MCT, terlihat sedikit lebih rendah di fraksi olein dan lebih tinggi di fraksi stearin dibandingkan dengan di minyak kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa TAG ini tidak tergolong sebagai TAG bertitik leleh rendah, tetapi lebih cocok digolongkan sebagai TAG bertitik leleh sedang atau bahkan tinggi. Tabel 8.5 Perubahan konsentrasi masing-masing jenis TAG minyak kelapa selama fraksinasi Peak Konsentrasi TAG (%) Jenis TAG Sebelum Setelah Fraksinasi Fraksinasi Fraksi Olein Fraksi Stearin 1 CpCaLa 4.38 ± ± ± CaCaLa ± ± ± CaLaLa ± ± ± LaLaLa ± ± ± LaLaO 2.24 ± ± ± LaLaM ± ± ± LaMP 3.77 ± ± ± LaMM 9.67 ± ± ± LaMO 3.49 ± ± ± MPO 6.11 ± ± ± PLO/PPL 2.41 ± ± ± MOO 3.22 ± ± ± 0.03 Keberhasilan pemisahan fraksi (fraksinasi) sangat ditentukan oleh stabilitas kristal yang terbentuk. Kristal dengan stabilitas tinggi akan lebih mudah dipisahkan dari fraksi cairnya. Menurut Weber et al. (1998), efisiensi pemisahan

131 100 pada fraksinasi kering sangat ditentukan oleh kualitas kristalisasinya: alat pemisah terbaik sekali pun tidak akan sempurna memisahkan kedua fraksi (olein dan stearin) pada kristal yang buruk (kurang stabil dan berukuran kecil). Metode pendinginan adalah hal yang paling mempengaruhi pembentukan inti dan pembesarannya; kontrol yang sempurna akan menghasilkan kristalisasi yang lebih selektif. Tetapi, pada beberapa kondisi operatif, pertambahan besar kristal dapat menjerap cairan dalam partikel padat; fenomena ini menjadi kritis pada sistem dengan viskositas tinggi. A RID1 A, Refractive Index Signal ( \OLE15-50.D) nriu B nriu RID1 A, Refractive Index Signal ( \STE16-31.D) C min Gambar Waktu retensi (menit) Perubahan kromatogram profil TAG minyak kelapa sebelum fraksinasi (A), fraksi olein (B) dan fraksi stearin (C), 3 peak pertama masingmasing adalah CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa; tiga peak yang dilingkari masing-masing adalah LaLaM, LaMP dan LaMM min

132 101 Terjerapnya minyak cair dalam fase padat, menyebabkan fraksi stearin masih mengandung TAG bertitik leleh rendah dalam jumlah yang cukup banyak. Jika kristalisasi berjalan dengan sempurna, jumlah olein yang terperangkap secara fisik pada kristal relatif rendah dan pemerasan dengan tekanan 5-10 bar (pneumatic design) secara umum dapat menghasilkan pemisahan dengan baik. Olein secara normal tidak dipengaruhi oleh tekanan filtrasi, tetapi lain halnya dengan stearin, selama penyaringan stearin dapat melewati filter penyaring dan tercampur ke dalam olein. Hal ini terjadi jika ukuran dan ketebalan kristal tidak cukup besar; ketidaksempurnaan kristalisasi adalah alasannya. Akan tetapi, beberapa jenis minyak (termasuk minyak kelapa), memang menghasilkan kristal yang lemah, jika penanganan selama fase kristalisasi kurang tepat, kristal yang terbentuk akan mudah pecah dan mencair selama pengepresan. Untuk kasus seperti ini, dianjurkan untuk melakukan proses pengepresan dengan tekanan rendah (Weber et al. 1998). Stabilitas kristal minyak kelapa berbanding terbalik dengan laju pendinginan kritis yang diterapkan, hubungan antara laju pendinginan kritis dengan stabilitas kristal minyak kelapa yang diperoleh pada berbagai waktu kristalisasi, dapat dijelaskan dengan persamaan SC=67,03e -7,92Vc dimana SC adalah stabilitas kristal (lamanya kristal minyak berada pada fase padat di suhu 25 o C, detik) dan v c adalah laju pendinginan kritis yang diterapkan pada saat kristalisasi ( o C/menit). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara stabilitas dan ukuran kristal minyak kelapa dengan proporsi TAG bertitik leleh tinggi (proporsi S/L) yang ada dalam minyak, deskripsi hubungan ketiga parameter ini dapat dilihat pada Gambar Crystal Stability Crystal diameter 160 Crystal stability (second) SC = 3623.e -10.1[S/L] R² = DC = 68754e -14.8[S/L] R² = Crystal diameter (µm) S/L proportion Gambar 8.3 Hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa dengan stabilitas kristalnya; SC = stabilitas kristal, DC = diameter Kristal, S/L = proporsi TAG solid like/liquid like

133 102 Pada Gambar 8.3 terlihat bahwa hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam minyak kelapa dengan stabilitas kristalnya dapat dijelaskan dengan persamaan SC = 3623.e -10.1[S/L], hubungannya dengan diameter kristal dapat dituliskan sebagai DC = 68754e -14.8[S/L]. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga parameter kristalisasi tersebut memang saling terkait satu sama lain, keberadaan atau kondisi salah satunya akan menggambarkan kondisi relative parameter yang lainnya. Gambar 8.3 juga memperlihatkan bahwa proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa berbanding terbalik baik dengan stabilitas maupun diameter kristalnya. Hal ini menunjukkan bahwa kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa yang menghasilkan kristal dengan stabilitas dan diameter yang tinggi akan menghasilkan proporsi S/L dalam fraksi olein minyak kelapa yang rendah. Fraksi olein adalah fraksi cair dari minyak yang diperoleh setelah difiltrasi vacuum. Tingginya jumlah TAG yang bersifat solid like (bertitik leleh tinggi) dalam fraksi olein menunjukkan bahwa fraksinasi tidak berlangsung secara efektif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kristalisasi minyak kelapa yang menghasilkan kristal dengan stabilitas dan diameter yang tinggi akan meningkatkan efektivitas fraksinasi olein dan stearin, dan hal tersebut hanya dapat dicapai jika kristalisasi dilakukan pada laju pendinginan yang rendah. Rasio TAG S/L juga berpengaruh terhadap profil SFC produk fraksinasi minyak kelapa. Tingginya jumlah TAG bertitik leleh tinggi dalam minyak akan meningkatkan nilai SFC pada setiap suhu pengukuran. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Neff et al. (1999) yang menyatakan bahwa komposisi TAG dalam minyak, khususnya kelompok TAG bertitik leleh tinggi, mempunyai korelasi yang kuat dengan titik leleh, solid fat index dan stabilitas oksidatif minyak tersebut. Hubungan antara proporsi S/L produk fraksinasi minyak kelapa dengan nilai SFC fraksi tersebut pada beberapa suhu pengukuran dapat dilihat pada Gambar 8.4. SFC mempunyai korelasi yang positif dengan proporsi S/L pada semua suhu pengukuran (Gambar 8.4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan TAG bertitik leleh tinggi dalam minyak maka akan semakin tinggi pula nilai SFC minyak tersebut. SFC minyak kelapa pada suhu 22.5 o C dapat diprediksi nilainya berdasarkan proporsi S/L minyak tersebut menggunakan persamaan: S/L=0.035ln(SFC)+0.362; pada suhu 20 o C menggunakan persamaan: S/L=0.114ln(SFC)+0.050; pada suhu 10 o C menggunakan persamaan: o S/L=0.251ln(SFC)-0.617; dan pada suhu 5 C menggunakan persamaan: S/L=0.366ln(SFC) Minyak kelapa dalam keadaan sebelum difraksinasi, memiliki titik leleh (SMP) sebesar o C. Nilai SMP minyak setara dengan kandungan SFC minyak tersebut sebesar 4-5 %, karena menurut Lida dan Ali (1998), lemak di dalam tabung kapiler akan mengalami slip ketika kandungan lemak padatnya sekitar 4-5, sehingga dapat dianalogikan bahwa SMP menunjukkan kondisi ketika minyak/lemak mempunyai SFC sebesar 4-5 %.

134 S/L = 0.035ln(SFC) R² = S/L = 0.114ln(SFC) R² = S/L = 0.366ln(SFC) R² = S/L proportion S/L = 0.251ln(SFC) R² = SFC 22.5 SFC 20 SFC 10 SFC Gambar SFC (%) Hubungan antara proporsi distribusi TAG bertitik leleh tinggi dengan nilai SFC fraksi olein minyak kelapa pada berbagai suhu pengukuran; S/L = proporsi TAG solid like/liquid like, SFC = solid fat content, SFC 5, 10, 20, 22.5 nilai SFC diukur pada suhu masing-masing 5, 10, 20 dan 22.5 o C Fraksinasi minyak kelapa menghasilkan fraksi olein yang mempunyai SFC lebih rendah dan stearin dengan nilai SFC yang lebih tinggi, dibandingkan pada minyak sebelum fraksinasi. Deskripsi perubahan SFC fraksi olein dan stearin pasca fraksinasi minyak kelapa sebagai pengaruh dari laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dapat dilihat pada Gambar 8.5. Penurunan nilai SFC minyak pada fraksi olein atau peningkatannya pada fraksi stearin tidak sama untuk setiap laju pendinginan kritis ataupun suhu kristalisasi (Gambar 8.5). Peningkatan nilai SFC tertinggi terlihat pada fraksi stearin dengan perlakuan laju pendinginan kritis yang rendah (v c < o C/menit) atau suhu kristalisasi yang tinggi ( o C). Semakin tinggi laju pendinginan kritis atau semakin rendah suhu kristalisasi minyak kelapa akan menghasilkan perubahan SFC yang semakin kecil baik pada fraksi olein maupun fraksi stearin. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pendinginan kritis yang tinggi atau suhu kristalisasi yang rendah menyebabkan proses pemisahan fraksi olein dan stearin tidak berjalan efektif yang disebabkan oleh kurang sempurnanya pembentukan kristal selama proses kristalisasi. Fraksinasi minyak kelapa menghasilkan fraksi olein yang mempunyai kandungan MCT lebih tinggi (59.98±0.79 %) dan stearin dengan nilai MCT yang lebih rentah (48.75±0.67 %), dibandingkan pada minyak sebelum fraksinasi (53.71±0.96 %). Deskripsi perubahan MCT fraksi olein dan stearin pasca fraksinasi minyak kelapa sebagai pengaruh dari laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dapat dilihat pada Gambar 8.6.

135 104 Solid Fat Content (%) Solid Fat Content (%) ST: Vc < C/min Coconut oil OL: Vc<0.075 C/min Temperature ( o C) Solid Fat Content (%) ST: < Vc < C/min Coconut oil OL: < Vc < C/min Temperature ( o C) (a) (b) (c) ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) Solid Fat Content (%) ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) (d) (e) (f) Temperature ( o C) Gambar 8.5 Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi untuk laju pendinginan kritis ( o C/menit) kurang dari (a), antara (b), lebih dari (c); dan suhu kristalisasi ( o C) antara (d); antara (e); antara (f); OL = olein; ST = stearin; v c = laju pendinginan kritis; T Cr = suhu kristalisasi Solid Fat Content (%) Solid Fat Content (%) ST: Vc > C/min Coconut oil OL: Vc > C/min ST C 30 Coconut oil 20 OL C Temperature ( o C) Gambar 8.6 Profil MCT minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi

136 105 Gambar 8.6 mengilustrasikan nilai MCT minyak kelapa sebelum dan sesudah fraksinasi. Nilai yang ditampilkan pada masing-masing fraksi olein dan stearin merupakan nilai rataan dari hasil pengukuran MCT pada akhir proses dari kombinasi semua suhu kristalisasi, laju pendinginan kritis dan lama kristalisasi. Minyak dengan kandungan MCT tinggi (60 %) dapat diperoleh dengan cara mengatur laju pendinginan kritis < o C/menit pada suhu kristalisasi o C dengan lama kristalisasi 250 menit. Berdasarkan hasil penelitian ini, secara ideal, prosedur pendinginan untuk menghasilkan fraksi minyak (olein) dengan kandungan MCT tinggi dapat dilakukan selama 7.5 jam yang terbagi dalam pemanasan minyak untuk rejuvenasi selama 90 menit, pendinginan awal untuk mencapai suhu 29 o C selama 30 menit dengan laju 1.5 o C/menit, pendinginan kritis untuk mencapai suhu kristalisasi 21 o C selama 80 menit dan proses kristalisasi selama 250 menit. Secara skematis, prosedur pendinginan ini dapat dilihat pada Gambar 8.7. Gambar 8.7 Skema prosedur pendinginan efektif untuk menghasilkan fraksi minyak (olein) dengan kandungan MCT tinggi pada fraksinasi kering minyak kelapa Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa Studi terhadap kinetika kristalisasi minyak kelapa menggunakan model Avrami dan Gompertz menunjukkan bahwa terdapat sedikit perbedaaan sifat kristalisasi minyak kelapa dibandingkan dengan minyak sawit dan lemak cokelat. Minyak kelapa mengalami kristalisasi dalam satu tahap (ditunjukkan oleh tidak adanya patahan pada kurva garis lurus persamaan Avrami) dengan nilai indeks Avrami (n) dan laju pertumbuhan kristal (z), pada rentang laju pendinginan kritis dan suhu kristaliasi yang dipelajari, masing-masing pada interval dan x ; sedangkan lemak coklat dan minyak sawit rata-rata mengalami kristalisasi dalam dua tahap dengan nilai n yang lebih kecil dan z yang lebih besar di tahap pertama. Pada penelitian ini diketahui bahwa, nilai n meningkat dan z menurun sebanding dengan peningkatan laju pendinginan kritis. Bentuk kurva nukleasi minyak kelapa pada penelitian ini bersifat kontinyu (Gambar 7.8), hal ini berarti bahwa selama kristalisasi minyak kelapa, pada berbagai

137 106 perlakuan laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi, bentuk polimorfis yang terjadi hanya satu jenis, yaitu bentuk β. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Chaleepa et al. (2010) yang menguji pengaruh pemberian additives terhadap polimorfisme minyak kelapa, yang mengungkapkan bahwa kristalisasi minyak kelapa cenderung hanya membentuk satu jenis polimorfis saja, yaitu berbentuk β. Perlakuan laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi pada penelitian ini hanya berpengaruh terhadap termodinamika dan kinetika kristalisasi minyak kelapa, tetapi tidak terhadap pembentukan polimorfis kristalnya.

138 107 9 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1 Penelitian ini telah berhasil memperoleh metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada skala pilot plant (120 kg). Kondisi dan persyaratan-persyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahaptahap fraksinasi kering minyak kelapa telah dapat diidentifikasi dan diketahui, sehingga proses fraksinasi untuk tujuan tertentu telah dapat didisain secara praktis. 2 Tiga tahap pendinginan yang krusial pada fraksinasi kering minyak kelapa adalah tahap pendinginan awal, dari suhu yang cukup untuk rejuvenasi minyak hingga 29 C; tahap pendinginan kritis, dari suhu 29 C hingga suhu kristalisasi; dan tahap kristalisasi pada suhu dingin yang konstan. Pada tahap pertama dapat dilakukan dengan laju pendinginan yang cepat (untuk menghemat waktu dan energi) tetapi pada tahap kedua harus dilaksanakan dengan laju pendinginan yang kurang dari 0,176 C/menit. Tahap ketiga diatur lamanya sesuai dengan tujuan fraksinasi yang diinginkan. 3 Minyak dengan kandungan MCT tinggi (60 %) dapat diperoleh dari fraksi olein, dengan cara mengatur laju pendinginan awal secara maksimal, laju pendinginan kritis < o C/menit dan suhu kristalisasi o C dengan lama kristalisasi 250 menit. Prosedur pendinginan dapat dilakukan selama 7.5 jam yang terbagi dalam pemanasan minyak untuk rejuvenasi selama 90 menit, pendinginan awal untuk mencapai suhu 29 o C selama 30 menit dengan laju 1.5 o C/menit, pendinginan kritis untuk mencapai suhu kristalisasi 21 o C selama 80 menit dan proses kristalisasi selama 250 menit. 4 Fraksinasi minyak kelapa terjadi lebih efektif pada suhu kristalisasi o C dan atau pada laju pendinginan kritis < o C/menit. Pada perlakuan pendinginan ini, TAG St3 yang bertitik leleh tinggi akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin sedangkan TAG St2U, StU2 dan MCT akan lebih terkonsentrasi pada fraksi olein, sehingga akan meningkatkan titik leleh fraksi stearin dan menurunkan titik leleh fraksi olein. 5 Pada penelitian ini telah pula diketahui hubungan (persamaan matematika) antara berbagai parameter fraksinasi minyak kelapa dengan prosedur pendinginan selama proses kristalisasi (laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi), yang dapat digunakan untuk memprediksi produk akhir di masing-masing fraksi stearin maupun olein dengan komposisi kimia, sifat fisik dan termal-mekanis yang dapat diatur. Saran 1 Berdasarkan kurva nukleasinya, polimorfis kristal minyak kelapa terindikasi sebagai β. Pengetahuan mengenai bentuk jenis polimorfis kristal minyak selama kristalisasi merupakan parameter yang sangat penting, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut cara penentuannya dengan berbagai metode yang lain. 2 Perlu adanya penelitian lebih lanjut sebagai usaha untuk memverifikasi prosedur pendinginan efektif yang dihasilkan dalam penelitian ini, terutama

139 108 untuk skala yang lebih besar dan untuk memvalidasi berbagai model matematika yang dihasilkan. 3 Komposisi dan sifat fisiko kimia minyak kelapa serupa dengan minyak inti sawit, diperkirakan perilaku fraksinasi dan kinetika kristalisasi minyak inti sawit akan serupa dengan minyak kelapa. Perlu adanya penelitian lanjut untuk membuktikannya. 4 Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menentukan batas terendah suhu pemanasan minyak kelapa untuk tujuan rejuvenasi dan penghilangan kristal yang mungkin masih terdapat. Suhu tersebut akan menjadi titik dimulainya tahap pendinginan awal pada kurva pendinginan dan kristalisasi minyak kelapa.

140 109 DAFTAR PUSTAKA Abidin SZ, GKF Ling, LC Abdullah, S Ahmad, R Yunus, TSY Choong Effects of temperature and cooling modes on yield, purity and particle size distribution of dihydroxystearic acid crystals. Eur J Scientific Research, 33: Arnaud E, M Pina, A Collignan Suitable cooling program for chicken fat dry fractionation. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Basiron Y Palm Oil. In YH Hui (ed). Bailey s industrial oil and fat products. fifth edition volume 2 edible oil and fat products: oils and oilseeds. John Wiley & Sons Inc, New York Boistelle R Fundamentals of nucleation and crystal growth, in Garti N and Sato K, Crystallization and polymorphism of fats and fatty acids, New York, Marcel Dekker, Inc., Calliauw G, De Greyt W, Dijckmans P, Foubert I, Dewettinck K, Kellens M Production of cocoa butter substitutes via two stage static dry fractionation of palm kernel oil. J Am Oil Chem Soc 81: Calliauw G, Fredrick E, Gibon V, De Greyt W, Wouters J, Foubert I, Dewettinck K On the fractional crystallization of palm olein: solid solutions and eutectic solidification. Food Research International 43: Cerdeira M, RJ Candal, ML Herrera Analytical techniques for nucleation studies in lipids: advantages and disadvantages. J Food Sci, 69: Cerdeira M, S Martini, RW Hartel, ML Herrera Effect of sucrose esteraddition on nucleation and growth behavior of milk fat-sunflower oil blends. J Agric Food Chem, 51: Chaleepa K, A Szepes, J Ulrich Effect of additives on isothermal crystallization kinetics and physical characteristics of coconut oil. Chemistri and Physic of Lipids, 163: De Greyt W, M Kellens, M Hendrix New developments in the dry fractionation of palm and palm kernel oil. PIPOC [PORIM International palm oil conference]. Chemistry and technology conference, Putrajaya, Malaysia, August De roanne C Polymorphism and intersolubility, two important properties to pay attention to in the fractionation of palm oil. Fette Seifen Anstrichm, 80: Deffense E Progre`s re cents dans le fractionnement d huile de palme. Rev Fra Corps Gras, 36:

141 110 Deffense E Dry fractionation technology in Eur J Lipid Sci Technol, 102: Dhonsi D, AGF Stapley The effect of shear rate, temperature, sugar and emulsifier on the tempering of cocoa butter. J Food Eng, 77: Foubert I, PA Vanrolleghem, B Vanhoutte, K Dewettinck Dynamic mathematical model of the crystallization kinetics of fats. Food Res Int, 35: Garbolino C, GR Ziegler, JN Coupland Ultrasonic determination of the effect of shear on lipid crystallization. J Am Oil Chem Soc,77: Gee, PT Analytical characterisitics of crude and refined palm oil and fractions. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Gervajio GC Fatty Acids and Derivatives from Coconut Oil, in Industrial and nonedible products from oils and fats. Bailey s Industrial Oil and Fat product, Sixth Edition, Volume 6 th. Edited by F. Shahidi. John Wiley & Sons, Inc. Pp.1-56 Gibon V, A Tirtiaux Winterisation, dewaxing, fractionation crystal clear. World conference and exhibition on oilseed processing and utilization. Cancun, November 2000 Herrera ML, RW Hartel Effect of processing conditions on crystallization kinetics of a milk fat model system. J Am Oil Chem Soc, 77: Huey SM, Hock CC, Lin SW Characterization of low saturation palm oil products after continuous enzymatic interesterification and dry fractionation. J Food Sci, 74: E177-E183. Jeyarani T, MI Khan, S Khatoon Trans-free plastic shortenings from coconut stearin and palm stearin blends. Food Chemistry, 114: Kellens M, W Meeussen, H Reynaers Crystallization and phase transition studies of tripalmitin. Chem Phys Lipids, 55: Kellens M Developments in fractionation technology (Lecture Paper Series). Society of chemical industry, London Kellens M, V Gibon, M Hendrix, W De Greyt Palm oil fractionation. Eur J Lipid Sci Technol, 109: Kellens MJ Oil modification processes. In: Hamm W, Hamilton RJ (eds) Edible oil processing. Sheffield Academic Press, Sheffield, Ketaren S Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Kloek W Mechanical properties of fats in relation to their crystallization. PhD Thesis, Wageningen Agricultural University, the Netherlands.

142 111 Kloek W, P Walstra, TV Vliet Crystallization kinetics of fully hydrogenated palm oil in sunflower oil mixtures. J Am Oil Chem Soc, 77: Krishnamurthy R, M Kellens. 1996, Fractionation and winterization, in Hui Y H, Bailey s Industrial Oil and Fat Products, 5th edn, vol. 4, New York, Wiley Interscience, Inc, Lawson H Food Oil and Fats Technology, Utilization, and Nutrition. Chapman and Hall. New York. Li D, P Adhikari, JA Shin, JH Lee, YJ Kim, XM Zhu, JN Hu, J Jin, CC Akoh, KT Lee Lipase-catalyzed interesterification of high oleic sunflower oil and fully hydrogenated soybean oil comparison of batch and continuous reactor for production of zero trans shortening fats. LWT Food Science and Technology, 43: Lida HMDN, Ali ARM Physicochemical characteristics of palm-based oil blends for the production of reduced fat spreads. J Am Oil Chem Soc, 75: Lida HMDN, K Sundram, WL Siew, A Aminah, S Mamot TAG composition and solid fat content of palm oil, sunflower oil, and palm kernel olein blends before and sfter chemical interesterification. J Am Oil Chem Soc, 79: MacMillan SD, KJ Roberts, A Rossi, MAWells, MC Polgreen, IH Smith In situ small angle X-ray scattering (SAXS) studies of polymorphism with the associated crystallization of cocoa butter fat using shearing conditions. Cryst Growth Des, 2: MacNaughtan W, IA Farhat, C Himawan, VM Starov, AGF Stapley A Differential scanning calorimetry study of the crystallization kinetics of tristearin-tripalmitin mixtures. J Am Oil Chem Soc, 83: 1-9. Marangoni AG On the use and misuse of the Avrami equation in characterization of the kinetics of fat crystallization. Ibid, 75: Marangoni AG, D Rousseau Plastic fat rheology is governed by the fractal nature of the fat crystal network and by crystal habit, in Physical Properties of Fats, Oils, and Emulsifiers, edited by N. Widlak, AOCS Press, Champaign, pp Matulka RA, Noguchi O, Nosaka N Safety evaluation of a medium- and long-chain triacylglycerol oil produced from medium-chain triacylglycerols and edible vegetable oil. Food and Chemical Toxicology, 44: Mazzanti G, AG Marangoni, SHJ Idziak Modelling of a two-regime crystallization in a multicomponent lipid system under shear flow. Eur Phys J E, 27:

143 112 Mazzanti G, AG Marangoni, SHJ Idziak Modelling fhase transitions during the crystallization of a multi-component fat under shear. Phys Rev E, 71: Mazzanti G, SE Guthrie, EB Sirota, AG Marangoni, SHJ Idziak Orientation and phase transitions of fat crystals under shear. Cryst Growth Des,3: Miskandar MS, YB Che Man, RA Rahman, IN Aini, MSA Yusoff Palm oil crystallization: effects of cooling time and oil content. Journal of Food Lipids, 11: Neff WE, GR List, WC Byrdwell Effect of triacylglycerol composition on functionality of margarine basestocks. Lebensm-Wiss u-technol, 32: Ng, WL, CH Oh A kinetic study on isothermal crystallization of palm oil by solid fat content measurements. J Am Oil Chem Soc, 71: O Brien RD Fats and oils; formulating and processing for applications. CRC Press LLC. Washington, DC Prakoso T, SC Hapsari, P Lembono, TH Soerawidjaja Sintesis trigliserida rantai menengah melalui transesterifikasi gliserol dan asam-asam lemaknya. J Teknik Kimia Indonesia, 5: Ramli MR, WL Siew, KY Cheah Properties of high-oleic palm oils derived by fractional crystallization. Journal of Food Sci, 73: Rossell JB Phase diagrams of triglyceride mixtures. Adv Lipid Res, 5: Sato K, S Ueno Molecular interactions and phase behavior of polymorphic fats. In: Garti N, Sato K (eds) Crystallization processes in fats and lipid systems. Marcel Dekker, New York, Scrimgeour C Chemistry of Fatty Acids, In Edible oil and fat products: chemistry, properties, and health effects. Bailey s Industrial Oil and Fat product, Sixth Edition, Volume 1 st. Edited by F. Shahidi. John Wiley & Sons, Inc Shamsudin R, Mohamed IO, Nooi TS Rheological properties of cocoa butter substitute (CBS): effects of temperature and characteristics of fatty acids on viscocity. Journal of Food Lipids,13: Smith K Crystallization of palm oil. In: Garti N, Sato K (eds) Crystallization processes in fats and lipid systems. Marcel Dekker, New York, Sonwai S, MR Mackley The effect of shear on the crystallization of cocoa butter. J Am Oil Chem Soc,83:

144 113 St-Onge MP Dietary fats, teas, dairy, and nuts: potential functional foods for weight control? Am J Clin Nutr,81: Tan CP, YB Che Man Differential scanning calorimetric analysis of palm oil, palm oil based products and coconut oil: effects of scanning rate variation. Food Chemistry, 76: Timms RE Phase behaviour of fats and their mixtures. Prog Lipid Res, 23: 1 38 Timms RE Theory and kinetics of fractional crystallisation of fats. Presented at Palm Oil Research Institute of Malaysia Course on Palm and Palm Kernel Oils, Malaysia Timms RE Fractional crystallisation the fat modification process for 21 st century. Eur J Lipid Sci Technol, 107: Toro-Vazquez JF, M Briceno-Montelongo, E Dibildox-Alvarado, M Charo- Alonso, J Reyes-Hernandez Crystallization kinetics of palmstearin in blendswithsesame seed oil. J Am Oil Chem Soc, 77: Toro-Vazquez JF, V Herrera-Coronado, E Dibildox-Alvarado, M Charo-Alonso, C Gomez-Alpada Induction time of crystallization in vegetable oils, com-parative measurements by differential scanning calorimetry and diffusive lightscattering. J, Food Sci, 67: Toro-Vazquez JF, D Perez-Martinez, E Dibildox-Alvarado, M Charo-Alonso, J Reyes-Hernandez Rheometry and polymorphism of cocoa butter during crystallization under static and stirring conditions. J Am Oil Chem Soc, 81: Vanhoutte B, K Dewettinck, I Foubert, B Vanlerberghe, A Huyghebaert The effect of phospholipids and water on the isothermal crystallization of milkfat. Eur J Lipid Sci Technol, 104: Wainwright B Specialty fats and oils, In N Widlak (ed). Physical properties of fats, oils and emulsifiers. AOCS Press, Champaign, Illinois Walstra P, W Koek, T Van Vliet Fat crystal networks, In Crystallization of fats and fatty acids. (Sato,K. and N.Garti, eds.) pp , Marcel Dekker, New York, NY. Wang FS, CW Lin Contribution of particle sizes and particle size distributions in crystalline fractionation of lard. J AgricFood Chem, 43: Weber K, T Homman, T Willner Fat crystallizers with stirring surfaces: theory and practices. Oléagineux Corps Gras Lipides, 5: Wesdorp LH Liquid - multiple solid phase equilibria in fat theory and experiments. PhD Thesis, Technical University Delft, the Netherlands.

145 114 Wright AJ, SS Narine, AG Marangoni Comparison of experimental techniques used in lipid crystallization studies. J Am Oil Chem Soc, 77: Zaliha O, CL Chong, CS Cheow, AR Norizzah, MJ Kellens Crystallization properties of palm oil by dry fractionation. Food Chemistry, 86:

146 115 LAMPIRAN Lampiran 1. Skema dan gambar kristalisator yang digunakan Skema alat kristalisator yang digunakan, 1=tangki kristalisator; 2=chamber berisi air pendingin; 3=sirkuit elektronik pengatur sistem pendinginan; 4=chiller sebagai penyedia air dingin; 5=komputer untuk input program dan pencatat perubahan suhu minyak dan air pendingin; 6=outlet air dari chamber pendingin; 7=inlet air dari kran sebagai sumber air dingin alternatif

147 116 Tangki Kristalisator dilengkapi dengan doble jacket, pengaduk mekanis, heat exchanger dan termokopel

148 Chamber berisi air panas/dingin untuk memanas atau mendinginkan minyak dalam tangki kristalisator, dilengkapi dengan alat pemanas, termokopel, pompa dan saluran pipa untuk sirkulasi air dingin/panas ke dan dari heat exchanger 117

149 118 Sirkuit elektronik pengatur sistem pendinginan, chiller sebagai penyedia air dingin dan komputer untuk input program dan pencatat perubahan suhu minyak dan air pendingin selama proses kristalisasi

150 119 Lampiran 2. Alat filtrasi vakuum isothermal yang digunakan untuk fraksinasi olein dan stearin

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak 93 8 PEMBAHASAN UMUM Komposisi Asam Lemak Karakteristik Minyak Kelapa Minyak dan lemak adalah suatu campuran triasilgliserol, yaitu ester dari gliserol dan asam lemak. Minyak dan lemak yang diperoleh dari

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 37 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Center), IPB, Bogor serta Laboratorium

Lebih terperinci

Pengaruh Laju Pendinginan, Suhu, dan Lama Kristalisasi pada Profil Triasilgliserol dan Sifat Pelelehan Produk Fraksionasi Minyak Kelapa

Pengaruh Laju Pendinginan, Suhu, dan Lama Kristalisasi pada Profil Triasilgliserol dan Sifat Pelelehan Produk Fraksionasi Minyak Kelapa Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), April 13 ISSN 853 4217 Pengaruh Laju Pendinginan, Suhu, dan Lama Kristalisasi pada Profil Triasilgliserol dan Sifat Pelelehan Produk Fraksionasi Minyak Kelapa Vol.

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN KOMPOSISI TRIGLISERIDA, ASAM TRANS DAN KANDUNGAN LEMAK PADAT PADA PEMBUATAN PENGGANT

ANALISIS PERUBAHAN KOMPOSISI TRIGLISERIDA, ASAM TRANS DAN KANDUNGAN LEMAK PADAT PADA PEMBUATAN PENGGANT ANALISIS PERUBAHAN KOMPOSISI TRIGLISERIDA, ASAM LEMAK TRANS DAN KANDUNGAN LEMAK PADAT PADA PEMBUATAN PENGGANT IMENTEGA COKLAT (CBS) MELALUI METODEBLENDING DIBANDINGKAN INTERESTERIFIKASI RBDPS DENGAN RBDPKO

Lebih terperinci

Ramayana : pembuatan lemak margarin dari minyak kelapa, kelapa sawit dan stearin..., USU e-repository 2008

Ramayana : pembuatan lemak margarin dari minyak kelapa, kelapa sawit dan stearin..., USU e-repository 2008 ABSTRAK Lemak margarin dengan sifat fisik yang baik dapat dibuat dari campuran minyak stearin kelapa sawit (RBDPS), minyak kelapa sawit (RBDPO), minyak kelapa (CNO) dengan cara blending dan interesterifikasi.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2. Ketiganya diambil langsung dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Minyak sawit merupakan minyak yang didapatkan dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Menurut Hartley (1977) kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat

BAB I PENDAHULUAN. (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Lemak kakao merupakan lemak yang diekstraksi dari biji kakao (Theobroma cacao) dan biasa digunakan sebagai komponen utama dari coklat batang karena dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI MENENGAH 1)

5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI MENENGAH 1) 51 5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI MENENGAH 1) (Dry fractionation of coconut oil using 120 kg-scale

Lebih terperinci

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014 Adalah ester asam lemak bereaksi dengan ester atau asam lemak lain membentuk ester baru melalui reaksi pertukaran gugus asam lemak. TG mengandung 3 gugus ester peluang pertukaran banyak Gugus asil dapat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUJIAN BAHAN BAKU 1. Bilangan Iod Bilangan iod menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga selain menunjukkan tingkat ketidakjenuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada umumnya hasil proses hidrogenasi parsial akan terbentuk trans fatty acid (TFA) yang tidak diinginkan. Asam lemak trans cenderung meningkatkan kadar kolesterol

Lebih terperinci

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa 174 PEMBAHASAN UMUM Selama ini, pemanfaatan moda pipa dalam transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) telah diterapkan di industri, namun hanya untuk jarak yang dekat hingga maksimal 3

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berbagai jenis specialty fats telah dikembangkan oleh industri minyak dan lemak dari tahun ke tahun dalam upaya mendukung berkembangnya industri pangan, nutrisional, farmasi,

Lebih terperinci

FORMULASI DAN PENGOLAHAN MARGARIN MENGGUNAKAN FRAKSI MINYAK SAWIT PADA SKALA INDUSTRI KECIL SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN BOLU GULUNG

FORMULASI DAN PENGOLAHAN MARGARIN MENGGUNAKAN FRAKSI MINYAK SAWIT PADA SKALA INDUSTRI KECIL SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN BOLU GULUNG FORMULASI DAN PENGOLAHAN MARGARIN MENGGUNAKAN FRAKSI MINYAK SAWIT PADA SKALA INDUSTRI KECIL SERTA APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN BOLU GULUNG Formulation and Production of Margarine Using Palm Oil Fractions

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MINYAK SAWIT MERAH UNTUK PEMBUATAN LEMAK BUBUK

PENGGUNAAN MINYAK SAWIT MERAH UNTUK PEMBUATAN LEMAK BUBUK PENGGUNAAN MINYAK SAWIT MERAH UNTUK PEMBUATAN LEMAK BUBUK The Utilization of Red Palm Oil for ed by Spray Chilling Process Juanda Reputra 1, Purwiyatno Hariyadi 1,2, Nuri Andarwulan 1,2 1 Departemen IImu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asupan lemak yang dianjurkan adalah sebanyak 30% dari total kalori yang dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua aspek yaitu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

SINTESIS MONO-DIASILGLISEROL ( M-DAG ) DARI DESTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) MELALUI ESTERIFIKASI ENZIMATIS FARIDA NURAENI

SINTESIS MONO-DIASILGLISEROL ( M-DAG ) DARI DESTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) MELALUI ESTERIFIKASI ENZIMATIS FARIDA NURAENI SINTESIS MONO-DIASILGLISEROL ( M-DAG ) DARI DESTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) MELALUI ESTERIFIKASI ENZIMATIS FARIDA NURAENI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi p-issn: Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017 e-issn:

Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi p-issn: Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017 e-issn: APLIKASI TEKNIK DEMULSIFIKASI PEMBENTUKAN KRIM DALAM PEMURNIAN MDAG YANG DIPRODUKSI SECARA GLISEROLISIS Mursalin 1), Lavlinesia 1) dan Yernisa 1) 1) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin adalah produk makanan yang biasa digunakan dalam industri baking dan cooking yang bertujuan untuk memperbaiki tekstur dan menambah cita rasa bahan pangan.

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan industri merupakan bagian dari usaha pembangunan ekonomi jangka panjang, yang diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang.

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang didapatkan dari bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI PROSES INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK (EIE) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN MINYAK KELAPA UNTUK PRODUKSI BAHAN BAKU MARGARIN BEBAS ASAM LEMAK TRANS

STUDI PROSES INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK (EIE) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN MINYAK KELAPA UNTUK PRODUKSI BAHAN BAKU MARGARIN BEBAS ASAM LEMAK TRANS STUDI PROSES INTERESTERIFIKASI ENZIMATIK (EIE) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN MINYAK KELAPA UNTUK PRODUKSI BAHAN BAKU MARGARIN BEBAS ASAM LEMAK TRANS Oleh : PAYAMAN PANDIANGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL DIPA UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2010

LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL DIPA UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2010 BIDANG ILMU ENERGI LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL DIPA UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2010 Judul : APLIKASI GELOMBANG ULTRASONIK DAN KONDISI SUPER KRITIS PADA PROSES EKSTRAKSI

Lebih terperinci

ANALYSIS OF FATTY ACID COMPOSITION IN VARIOUS BRAND BATH SOAPS USING GC-MS ABSTRACT

ANALYSIS OF FATTY ACID COMPOSITION IN VARIOUS BRAND BATH SOAPS USING GC-MS ABSTRACT ANALYSIS OF FATTY ACID COMPOSITION IN VARIOUS BRAND BATH SOAPS USING GC-MS ABSTRACT Bath soap is generally used as a skin cleanser and there are few coupled with antibacterial substance. Bath soap contains

Lebih terperinci

HIDROGENASI 14/01/2014 HIDROGENASI. Hasil reaksi hidrogenasi Penjenuhan ikatan rangkap Migrasi ikatan rangkap Pembentukan asam lemak Trans

HIDROGENASI 14/01/2014 HIDROGENASI. Hasil reaksi hidrogenasi Penjenuhan ikatan rangkap Migrasi ikatan rangkap Pembentukan asam lemak Trans IDROGENASI IDROGENASI Adalah proses pengolahan minyak/lemak dengan menambahkan hidrogen pada ikatan rangkap dari asam lemak mengurangi ketidak jenuhan minyak/lemak. Bertujuan untuk : - membuat minyak/lemak

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara PENGESAHAN SKRIPSI ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI BERBAGAI MEREK SABUN MANDI DENGAN MENGGUNAKAN GC-MS OLEH: FRENGKI DANIEL TAMPUBOLON NIM 101501050 Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI Nama/NIM Judul Penelitian Dosen Pembimbing : 1. Citrasmara Galuh Nuansa/L2C006028 2. Dewi Tri Istyanti/L2C006034 : Kinetika Adsorpsi Kolesterol Daging Kambing Menggunakan Adsorben

Lebih terperinci

Judul PEMBUATAN TRIGLISERIDA RANTAI MENENGAH (MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDE) Kelompok B Pembimbing

Judul PEMBUATAN TRIGLISERIDA RANTAI MENENGAH (MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDE) Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester I 2006/2007 Judul PEMBUATAN TRIGLISERIDA RANTAI MENENGAH (MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDE) Kelompok Sarastri Cintya Hapsari (130 03 009) Pilandari Lembono (130 03 095) Pembimbing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas penggunaannya dalam proses pengolahan makanan. Margarin biasa digunakan sebagai olesan untuk langsung

Lebih terperinci

PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK KELAPA MURNI (Virgin Coconut Oil) TUGAS AKHIR

PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK KELAPA MURNI (Virgin Coconut Oil) TUGAS AKHIR PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK KELAPA MURNI (Virgin Coconut Oil) TUGAS AKHIR OLEH: DEVIKA YENSARI SIDABUTAR NIM 112410035 PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

KENDALI PROSES DEODORISASI DALAM PERMURNIAN MINYAK SAWIT MERAH SKALA PILOT PLANT AZIS HERDIYANTO RIYADI

KENDALI PROSES DEODORISASI DALAM PERMURNIAN MINYAK SAWIT MERAH SKALA PILOT PLANT AZIS HERDIYANTO RIYADI KENDALI PROSES DEODORISASI DALAM PERMURNIAN MINYAK SAWIT MERAH SKALA PILOT PLANT AZIS HERDIYANTO RIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fase lemak (O Brien, 2009). Banyak minyak nabati yang telah dimodifikasi untuk

BAB I PENDAHULUAN. fase lemak (O Brien, 2009). Banyak minyak nabati yang telah dimodifikasi untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin adalah emulsi water-in-oil (w/o) yang mengandung setidaknya 80% fase lemak (O Brien, 2009). Banyak minyak nabati yang telah dimodifikasi untuk menghasilkan

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Oleh : BENNY RIO FERNANDEZ 2015 KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama disekitar

Lebih terperinci

PLASTISISASI 14/01/2014

PLASTISISASI 14/01/2014 PLASTISISASI Diperlukan dalam proses pembuatan shortening dan margarin. Akan menghasilkan produk dengan sifat sifat : berbentuk padat tetapi dapat mengalir seperti cairan ketika diberi tekanan. 3 kondisi

Lebih terperinci

SAWIT (PKO) OLEH: STUDI PROGRAM SI UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara

SAWIT (PKO) OLEH: STUDI PROGRAM SI UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara PENETAPAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK KELAPA MURNI (VCO) DAN MINYAK INTI KELAPAA SAWIT (PKO) TUGAS AKHIR OLEH: SARAH CHRISTY HUTABARAT NIM 112410061 PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN

Lebih terperinci

TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM

TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM MATA KULIAH TRANSFORMASI FASA Pertemuan Ke-7 TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM Nurun Nayiroh, M.Si Sebagian besar transformasi bahan padat tidak terjadi terus menerus sebab ada hambatan yang menghalangi jalannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

SKRIPSI KIKI ANDRIANI

SKRIPSI KIKI ANDRIANI PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN WARNA, KEKUATAN PARFUM, KADAR AIR, ALKALI BEBAS, ASAM LEMAK BEBAS, DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA SABUN MANDI DAN SABUN CUCI PADAT SKRIPSI KIKI ANDRIANI

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV EKA PUTI SARASWATI 10703064 STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI M. HIDAYAT HASIBUAN

PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI M. HIDAYAT HASIBUAN PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI PELEPAH KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis ) MENGGUNAKAN METODE PELEBURAN ALKALI SKRIPSI Oleh : M. HIDAYAT HASIBUAN 130425020 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI VARIASI PERBANDINGAN BERAT CAMPURAN LEMAK AYAM (Gallus sp) DENGAN RBDPO SKRIPSI YUDHA SETIAWAN PROGRAM STUDI KIMIA EKSTENSI

PEMBUATAN BIODIESEL DARI VARIASI PERBANDINGAN BERAT CAMPURAN LEMAK AYAM (Gallus sp) DENGAN RBDPO SKRIPSI YUDHA SETIAWAN PROGRAM STUDI KIMIA EKSTENSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI VARIASI PERBANDINGAN BERAT CAMPURAN LEMAK AYAM (Gallus sp) DENGAN RBDPO SKRIPSI YUDHA SETIAWAN 110822030 PROGRAM STUDI KIMIA EKSTENSI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan kelapa yang mencapai 3.187.700 ton pada tahun 2013 (BPS, 2014).

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS Disusun Oleh : 1. FETRISIA DINA PUSPITASARI 1131310045 2. GRADDIA THEO CHRISTYA PUTRA 1131210062

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT KEBENINGAN MINYAK GORENG KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KERUSAKANNYA SELAMA PROSES PENGGORENGAN AYAM

PENGARUH TINGKAT KEBENINGAN MINYAK GORENG KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KERUSAKANNYA SELAMA PROSES PENGGORENGAN AYAM PENGARUH TINGKAT KEBENINGAN MINYAK GORENG KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KERUSAKANNYA SELAMA PROSES PENGGORENGAN AYAM THE EFFECTS OF PALM COOKING OIL S CLARITY ON THE DETERIORATION DURING FRYING PROCESS

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kimia memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat dikarenakan industri kimia banyak memproduksi barang mentah maupun barang jadi untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT. BATARA ELOK SEMESTA TERPADU (1 AGUSTUS 8 SEPTEMBER 2015)

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT. BATARA ELOK SEMESTA TERPADU (1 AGUSTUS 8 SEPTEMBER 2015) LAPORAN KERJA PRAKTEK PT. BATARA ELOK SEMESTA TERPADU (1 AGUSTUS 8 SEPTEMBER 2015) Diajukan oleh: Ezekiel Lauwrent Budi Utomo NRP: 5203012019 Wahyu Octaria NRP: 5203012033 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Salah satu parameter mutu asam stearat blended bermutu premium, adalah heat stability/kestabilan warna, selain warna, bilangan iodium dan komposisi asam

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

Dry fractionation of coconut oil using 120 kg-scale crystallizer to produce concentrated medium chain triglycerides

Dry fractionation of coconut oil using 120 kg-scale crystallizer to produce concentrated medium chain triglycerides Jurnal Littri 19(1), Maret 2013. Hlm 41-49 ISSN 0853-8212 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISEROL RANTAI MENENGAH Dry

Lebih terperinci

Key words : Crystallization, Patchouli Alcohol, Distillation

Key words : Crystallization, Patchouli Alcohol, Distillation CRISTALLIZATION OF PATCHOULI OIL TROUGH IMPROVEMENT OF PATCHOULI ALCOHOL COMPOSITION USING VACUUM DISTILLATION, STEAM DISTILLATION AND DISTILLATION WITH AERATION METHOD Name / NRP : 1. Adi Yudistira (

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS NaCl DAN CaCl 2 DALAM MEMURNIKAN MDAG DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE. Abstrak. Abstract

EFEKTIVITAS NaCl DAN CaCl 2 DALAM MEMURNIKAN MDAG DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE. Abstrak. Abstract EFEKTIVITAS NaCl DAN CaCl 2 DALAM MEMURNIKAN MDAG DENGAN METODE CREAMING DEMULSIFICATION TECHNIQUE The Effectivity of NaCl and CaCl 2 in Purification of MDAG using Creaming Demulsification Technique Mursalin

Lebih terperinci

KAJIAN PERLAKUAN SUHU FILLING TRAY PADA PROSES FRAKSINASI CPKO TERHADAP RENDEMEN DAN ANGKA IODIN CRUDE PALM KERNEL STEARIN

KAJIAN PERLAKUAN SUHU FILLING TRAY PADA PROSES FRAKSINASI CPKO TERHADAP RENDEMEN DAN ANGKA IODIN CRUDE PALM KERNEL STEARIN Jurnal Agroteknose. Volume VIII No. II Tahun 2017 KAJIAN PERLAKUAN SUHU FILLING TRAY PADA PROSES FRAKSINASI CPKO TERHADAP RENDEMEN DAN ANGKA IODIN CRUDE PALM KERNEL STEARIN Adi Ruswanto, Hermantoro, Avif

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU PRODUKSI METIL ESTER FEBNITA EKA WIJAYANTI

PEMANFAATAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU PRODUKSI METIL ESTER FEBNITA EKA WIJAYANTI PEMANFAATAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU PRODUKSI METIL ESTER FEBNITA EKA WIJAYANTI 0304050236 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI DEPOK

Lebih terperinci

TESIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DAN IDENTIFIKASI POSISI ASAM PALMITAT PADA BEBERAPA MINYAK NABATI DAN LEMAK HEWANI

TESIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DAN IDENTIFIKASI POSISI ASAM PALMITAT PADA BEBERAPA MINYAK NABATI DAN LEMAK HEWANI TESIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DAN IDENTIFIKASI POSISI ASAM PALMITAT PADA BEBERAPA MINYAK NABATI DAN LEMAK HEWANI OLEH: YOSY CINTHYA ERIWATY SILALAHI NIM 087014014 PROGRAM STUDI MAGISTER DAN DOKTOR ILMU FARMASI

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemasaran minyak goreng dengan bahan dasar kopra dan kelapa sawit. Pabrik ini telah

BAB I PENDAHULUAN. pemasaran minyak goreng dengan bahan dasar kopra dan kelapa sawit. Pabrik ini telah BAB I PENDAHULUAN I.1. Sejarah Perusahaan PT. Sari Mas Permai adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan dan pemasaran minyak goreng dengan bahan dasar kopra dan kelapa sawit. Pabrik ini telah

Lebih terperinci

UJI PENGARUH SUHU PEMANASAN BIJI KEMIRI DENGAN MENGGUNAKAN OIL PRESS TIPE ULIR TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK YANG DIHASILKAN

UJI PENGARUH SUHU PEMANASAN BIJI KEMIRI DENGAN MENGGUNAKAN OIL PRESS TIPE ULIR TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK YANG DIHASILKAN UJI PENGARUH SUHU PEMANASAN BIJI KEMIRI DENGAN MENGGUNAKAN OIL PRESS TIPE ULIR TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK YANG DIHASILKAN SKRIPSI DINA LUMBANTORUAN 090308015 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI

PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI SIDANG TUGAS AKHIR 2012 PABRIK BIODIESEL dari RBD (REFINED BLEACHED DEODORIZED) STEARIN DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI Disusun oleh : Herdiani Fitri Ningtias (2309 030 059) Dwi Purnama Wulandari (2309

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Kelapa Sawit Minyak sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarin,

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK SAWIT

PENGARUH WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK SAWIT PENGARUH WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK SAWIT Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya

Lebih terperinci

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree EFFECT OF SOAKING PRETREATMENTS ON THE DRYING KINETICS AND REHYDRATION CHARACTERISTICS OF PETAI BEANS (Parkia speciosa) EFEK PERLAKUAN AWAL PERENDAMAN PADA LAJU PENGERINGAN DAN KARAKTERISTIK REHIDRASI

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN REAKSI ESTERIFIKASI ASAM OLEAT DAN METANOL DENGAN METODE REAKTIF DISTILASI Oleh: Kusmiyati, ST, MT, PhD DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI,

Lebih terperinci

PROSES DEODORISASI SEDERHANA PADA COCOA BUTTER SUBSTITUTES (CBS)

PROSES DEODORISASI SEDERHANA PADA COCOA BUTTER SUBSTITUTES (CBS) PROSES DEODORISASI SEDERHANA PADA COCOA BUTTER SUBSTITUTES (CBS) KARYA ILMIAH JONNY AFANDI NABABAN 112401027 PROGRAM STUDI DIPLOMA-III KIMIA DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

MODEL KAVITASI IRRADIASI GELOMBANG ULTRASONIK PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAKTANAMAN MENJADI BIODIESEL

MODEL KAVITASI IRRADIASI GELOMBANG ULTRASONIK PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAKTANAMAN MENJADI BIODIESEL BIDANG ILMU ENERGI LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL TAHUN II MODEL KAVITASI IRRADIASI GELOMBANG ULTRASONIK PADA TRANSESTERIFIKASI MINYAKTANAMAN MENJADI BIODIESEL Oleh: Dr.Ir. BAMBANG SUSILO, M.Sc.Agr

Lebih terperinci

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR 42 3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh suhu yang dialaminya. Istilah minyak dan lemak merupakan petunjuk mengenai sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

ANALISIS ASAM LEMAK TRANS PADA PRODUK COCOA BUTTER SUBSTITUTE DARI MINYAK SAWIT DAN MINYAK INTI SAWIT SKRIPSI OLEH: YUYUN SUNDARI NIM

ANALISIS ASAM LEMAK TRANS PADA PRODUK COCOA BUTTER SUBSTITUTE DARI MINYAK SAWIT DAN MINYAK INTI SAWIT SKRIPSI OLEH: YUYUN SUNDARI NIM ANALISIS ASAM LEMAK TRANS PADA PRODUK COCOA BUTTER SUBSTITUTE DARI MINYAK SAWIT DAN MINYAK INTI SAWIT SKRIPSI OLEH: YUYUN SUNDARI NIM 071501052 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 ANALISIS

Lebih terperinci

Reno Fitri Hasrini, Nami Lestari, dan Yuliasri Ramadhani Meutia. Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No.

Reno Fitri Hasrini, Nami Lestari, dan Yuliasri Ramadhani Meutia. Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No. Citation:Hasrini, R.F., Lestari, N., & Meutia, Y.M.,(2014) Studi Perbandingan Sifat Fisikokimia Minyak Inti Sawit () Terhidrogenasi dalam Cocoa Butter Substitutes () Dengan Komersial. Warta IHP, 31(1),22-31

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN SENSORI KERUPUK BAWANG: PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN DAN LAMA PENYIMPANAN

KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN SENSORI KERUPUK BAWANG: PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN DAN LAMA PENYIMPANAN KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN SENSORI KERUPUK BAWANG: PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN DAN LAMA PENYIMPANAN PHYSICO-CHEMICAL AND SENSORY CHARACTERISTICS OF KERUPUK BAWANG: EFFECTS OF FRYING FREQUENCY

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

PERBAIKAN KARAKTERISTIK BIODIESEL JARAK PAGAR PADA SUHU RENDAH MELALUI KOMBINASI CAMPURAN DENGAN BERBAGAI JENIS MINYAK NABATI

PERBAIKAN KARAKTERISTIK BIODIESEL JARAK PAGAR PADA SUHU RENDAH MELALUI KOMBINASI CAMPURAN DENGAN BERBAGAI JENIS MINYAK NABATI PERBAIKAN KARAKTERISTIK BIODIESEL JARAK PAGAR PADA SUHU RENDAH MELALUI KOMBINASI CAMPURAN DENGAN BERBAGAI JENIS MINYAK NABATI Oleh RINI INDRAYATI F 34104064 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SINTESIS BIODIESEL BERTITIK AWAN RENDAH DARI MINYAK SAWIT

SINTESIS BIODIESEL BERTITIK AWAN RENDAH DARI MINYAK SAWIT COVER DEPAN SINTESIS BIODIESEL BERTITIK AWAN RENDAH DARI MINYAK SAWIT TESIS Karya tulis ini sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh Nanang Setiawan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Agribisnis minyak goreng berbahan baku kelapa dulunya merupakan satu satunya minyak goreng yang digunakan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

BAB III RENCANA PENELITIAN

BAB III RENCANA PENELITIAN BAB III RENCANA PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian Untuk pembuatan MCT yang memenuhi kualitas pangan dari asam lemak dan gliserol maka perlu dilakukan : a. Penelitian keefektifan metode Hartman dkk tentang

Lebih terperinci

Judul PEMBUATAN MINYAK DARI SANTAN KELAPA DENGAN FERMENTASI. Kelompok B Pembimbing

Judul PEMBUATAN MINYAK DARI SANTAN KELAPA DENGAN FERMENTASI. Kelompok B Pembimbing TK-40Z2 PENELITIAN Semester II 2006/2007 Judul PEMBUATAN MINYAK DARI SANTAN KELAPA DENGAN FERMENTASI Kelompok Gregoreus Aryo Wicaksono (130 03 015) Merry Tanujaya (130 03 025) Pembimbing Dr. Ukan Sukandar

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Margarin dari Palm Oil Minyak Sawit dengan Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Margarin dari Palm Oil Minyak Sawit dengan Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang. Setiap warga negara wajib melaksanakan pembangunan di segala bidang, salah satunya adalah pembangunan di sektor ekonomi. Pembangunan

Lebih terperinci

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F ) SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER Hendrix Yulis Setyawan (F351050091) Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology) PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI Pardi Satriananda ABSTRACT Ethyl ester and gliserol produce by reacting coconut

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE

OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE OPTIMASI RASIO PALM FATTY ACID DESTILATE ( PFAD ) DAN SABUN LOGAM PADA PEMBUATAN PELUMAS PADAT (GREASE ) BIODEGRADABLE 1* Sukmawati, 2 Tri Hadi Jatmiko 12 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN SNI (1994) mendefinisikan sabun sebagai pembersih yang dibuat melalui reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak

Lebih terperinci

4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 1)

4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 1) 33 4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 1) (Characterisation of physicochemical properties of coconut oil) Mursalin 2,3), Purwiyatno Hariyadi 3,4), Eko Hari Purnomo 3,4), Nuri Andarwulan 3,4),

Lebih terperinci

MEMPELAJARI PENGARUEI TEKANAN KEMPA DAN SUHU TERHADAP KARAKTERISTIK MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites frisperma)

MEMPELAJARI PENGARUEI TEKANAN KEMPA DAN SUHU TERHADAP KARAKTERISTIK MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites frisperma) MEMPELAJARI PENGARUEI TEKANAN KEMPA DAN SUHU TERHADAP KARAKTERISTIK MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites frisperma) Oleh Berry F34104035 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANlAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Kimia Oleh : ENY PURWATI

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI OLEH: ERLINDA ANDRIANI L. 6103006067 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci