BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam Sabandar (2008). National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), (1989) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta kehidupan dari sel. Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemia jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika Pires & Muller (1991) dalam Potter & Perry (2005), penurunan aliran darah yang menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika tidak adanya warna kemerahan pada pasien yang berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang kulit pigmennya gelap.

2 Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmhg Maklebust (1987) dalam Potter & Perry (2005). Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit Potter & Perry (2005). Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemia. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba kedaerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respon kompensasi dan hanya efektif jika tekanan dikulit dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan. 2. Faktor resiko dekubitus Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi terjadinya luka dekubitus pada pasien yaitu : a. Gangguan input sensorik Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensoriknya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika

3 pasien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi. b. Gangguan fungsi motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85% dan komplikasi luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005). c. Perubahan tingkat kesadaran Pasien bingung, disorientasi atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah posisi yang lebih baik. d. Gips, traksi, alat ortotik dan peralatan lain. Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya. Pasien yang menggunakan gips dan traksi berisiko tinggi terjadi dekubitus karena

4 adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau jika ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan Plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak dan wajah yang diberikan oleh empat jenis penyangga yang beda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang menggunakan penyangga leher ini, alat penopang (braces) atau alat ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit Potter & Perry (2005). 3. Faktor yang mempengaruhi luka dekubitus Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry (2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus yaitu : a. Gaya gesek Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHCPR, 1994). Gaya ini terjadi saat

5 pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas tempat tidur dengan cara didorong atau digeser kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi (lebih dari 30 ). Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat tidur dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991). Kapiler jaringan yang berada dibawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi gangguan mikro sirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap efek gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada dibawahnya. Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik. Bryant et al (1992) mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin terjadi tanpa disertai friksi. b. Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHCPR, 1994). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya. Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992). Cedera ini dapat terjadi pada pasien gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol seperti kondisi kejang dan pasien yang kulitnya diseret

6 daripada diangkat dari permukaan tempat tidur selama perubahan posisi (Maklebust & Sieggreen, 1991). c. Kelembaban Adanya kelembaban pada kulit dengan durasi lama meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981). Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek. Seperti, Pasien immobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan higienisnya sendiri. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah dan inkontinensia. d. Nutrisi buruk Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & Escheele, 1991). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C (Shkleton & Litwack, 1991). Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien

7 dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminimea (level albumin serum dibawah 3 g/100 ml) dan anemia (Nalto, 1983, steinberg 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya dibawah 3 g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (kaminski dkk, 1989, Hannan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema intertisial dan penurunan oksigen kejaringan (Hanan & Scheele 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada dibawahnya terhadap tekanan, friksi dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005). Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein yang berat, hipoalbuminimea menyebabkan perpindahan volume cairan ekstra sel kedalam jaringan

8 sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan suplai darah. Pada suplai jaringan, edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). e. Anemia Pasien anemia berisiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serat mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005). f. Kakeksia Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardio pulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter & Perry, 2005). g. Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh

9 vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemia. h. Demam Infeksi disebabkan adanya patogen didalam tubuh. Pasien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami cedera akibat iskemia (Skheleton & Litwack, 1991). Selain itu demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien. i. Gangguan sirkulasi perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor. j. Usia Studi yang dilakukan Kane et al (1989) mencatat adanya luka dekubitus yang terbesar pada penduduk yang berusia lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus karena berkaitan dengan perubahan kulit akibat bertambahnya usia. Kecenderungan lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh karena itu immobilisasi akan

10 memperbesar resiko terjadinya luka dekubitus pada lansia. Immobilisasi yang berlangsung lama hampir pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000). yaitu: Menurut Pranaka (1999), ada tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia a. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-penyakit neurologik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh). b. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan. c. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu. 4. Patofisiologi luka dekubitus Luka dekubitus merupakan dampak dari tekanan yang terlalu lama pada area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik,hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis. Tekanan yang pada kapiler adalah 32 mmhg. Apabila tekanan kapiler melebihi tekanan darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Dengan terjadinya kolaps akan menghalangi oksigenisasi dan nutrisi kejaringan, selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Dengan adanya peningkatan tekanan arteri kapiler terjadi perpindahan cairan kekapiler, ini akan menyokong untuk terjadi edema dan konsekuensinya terjadi autolisis. Hal lain juga bahwa

11 aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadi edema dan mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan (Suriadi, 2004). Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan (Stortts, 1998). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. 5. Klasifikasi luka dekubitus Salah satu cara yang paling dini untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea (1975) sebagai suatu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995). Luka yang tertutup dengan jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat diobservasi. Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian yang dilakukan (AHCPR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992) dan tahapan ini juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHCPR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah definisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori kulit jeruk, kekacauan atau ketegangan, kekerasan dan data laboratorium, dapat membantu pengkajian pasien berkulit

12 gelap (Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995) dalam Potter & Perry (2005) Menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit yang berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995) dalam Potter & Perry (2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu: a. Derajat I Adanya eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat atau keras juga dapat menjadi indikator. b. Derajat II Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet atau lubang yang dangkal. c. derajat III Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada dibawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

13 d. Derajat IV Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai dekstruksi ekstensif, nekrosis jaringan atau kerusakan otot, tulang atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.dekubitus tidak berkembang dari stadium satu sampai ke stadium empat (NPUAP, 1995). Maklebust (1995) peringatan klinik untuk diingat. Walaupun sistem tahapan menggunakan urutan nomor untuk menggambarkan dekubitus, tetapi tidak berarti ada perkembangan tingkat keparahan luka dekubitus. 6. Komplikasi luka dekubitus Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain: a. Infeksi, umumnya bersifat multi bakterial baik aerobik maupun anaerobik. b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis dan arthtritis septik. c. Septikimia d. Anemia e. Hipoalbuminea f. Kematian

14 7. Tempat terjadinya luka dekubitus Beberapa tempat yang paling sering terjadi luka dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar dan tuberostis iskial (Meehan, 1994). Menurut Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus adalah : a. Pada penderita dengan posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit. b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki. c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga dan lutut. 8. Pengkajian luka dekubitus Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting integritas kulit pasien dan peningkatan resiko terjadinya dekubitus. Pengkajian dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien dekubitus memiliki beberapa dimensi (AHCPR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). a. Ukuran Perkiraan. Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan rehabillitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas

15 perawatan lain maka pasien harus dikaji resiko terjadi dekubitus (AHCPR, 1992). Seperti pengkajian resiko dekubitus yang meliputi : 1) Identifikasi resiko terjadi pada pasien Paralisis atau mobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang membatasi gerakan pasien, kehilangan sensorik, adanya gangguan pada sirkulasi darah, penurunan tingkat kesadaran akibat anastesi, adanya gaya gesek atau friksi yang kuat, adanya kelembaban yang disebabkan inkontinensia,keringat serta drainase luka, adanya infeksi, adanya obesitas, adanya penyakit seperti malnutrisi, anemia, Kaheksia serta sudah terjadinya dekubitus pada pasien atau pasien yang telah lanjut usia. 2) kaji kondisi kulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada area sebagai berikut: Apakah warna kulit pucat, apakah lapisan permukaan kulit telah hilang atau sudah terdapat borok/lecet pada kulit. 3) kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan seperti : Lubang hidung, lidah atau bibir, tempat pemasangan intravena, selang drainase serta kateter foley. 4) observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada ditempat tidur atau kursi. 5) observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan membantu dalam mengubah posisi.

16 6) tentukan nilai resiko dengan menggunakan Skala Norton, Skala Gonsel atau Skala Braden. 7) pantau lamanya waktu daerah kemerahan. 8) dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin, jumlah protein total, jumlah hemoglobin dan presentasi berat badan ideal. 9) kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus. b. Kulit Perawat harus mengkaji terus-menerus dari tanda-tanda munculnya luka pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan status mental dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit onkologi, terminal dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka dekubitus. Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Pengkajian dasar yang dilakukan untuk menentukan karakteristik kulit normal klien dan setiap area yang potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat memberi perhatian khusus pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher atau peralatan orthopedi lain. Jumlah pemeriksaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat respon kulit terhadap tekanan eksternal. Ketika hiperemia ada maka perawat mencatat lokasi dan warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan

17 hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai hiperemia. Pires & Miller (1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma adalah borok diarea yang menanggung berat beban badan. Semua tanda-tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan kulit yang berada dibawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian taktil memungkinkan perawat menggunakan teknik palpasi untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit maupun jaringan yang dibawahnya. Perawat melakukan palpasi pada jaringan disekitarnya untuk mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali kewarna kulit normal klien yang berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi, mencatat indurasi disekitar area yang cedera dalam ukuran milimeter atau senti meter. Perawat juga mencatat perubahan suhu disekitar kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh yang paling sering beresiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring ditempat tidur atau duduk diatas maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu. Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan area beresiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).

18 c. Mobilisasi Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang adekuat untuk bergerak secara mandiri kebentuk posisi yang lebih terlindungi. Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong pasien agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai perubahan data (Potter &Perry, 2005). d. Status nutrisi Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam pengkajian data awal pada pasien yang beresiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom, 1994; Water et el, 1994; Finucance, 1995). Pasien malnutrisi atau kakeksia dan berat badan kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan yang lebih dari 11% berat badan ideal lebih beresiko terjadi luka dekubitus (Hannan & Scheele, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Walaupun presentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah, maka presentase berat badan ideal pasien dapat mempengaruhi timbulnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2005)

19 e. Nyeri Sampai saat ini hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan tentang nyeri dan luka dekubitus. AHCPR (1994) telah merekomendasikan pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka dekubitus. Selain itu AHCPR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et el (1995). Pada studi ini 59,1% pasien melaporkan adanya nyeri dengan menggunakan skala analog visual, 68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan para peneliti (Dallam dkk, 1995 dalam Potter & Perry, 2005) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri pasien kedalam pengkajian luka dekubitus, yaitu pengontrollan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas dan program pendidikan diperlukan untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri akibat luka dekubitus. B. Skala Braden 1. Pengertian Skala Braden Skala Braden untuk memprediksi resiko dekubitus adalah alat yang dikembangkan pada tahun 1987 oleh Barbara Braden dan Nancy Bergstorm.

20 Tujuan dari skala ini adalah untuk membantu para profesional kesehatan khususnya perawat, dalam menilai resiko terjadinya luka dekubitus. Dalam menilai resiko tekanan ulkus Skala Braden dengan memeriksa enam kriteria yaitu : a. Persepsi Sensori Parameter ini mengukur kemampuan pasien untuk mendeteksi dan menanggapi ketidaknyamanan atau nyeri yang berhubungan dengan tekanan pada bagian-bagian tubuh pasien. Pada subskala ini terdapat 4 tingkat nilai yaitu : 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah). Nilai 1 diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak adanya respon pada stimulus nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena pemberian obat sedasi atau keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh. Nilai 2 diberikan apabila sangat terbatas, yaitu hanya berespon hanya pada stimulus nyeri tidak dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanannya, kecuali dengan merintih dan gelisah. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh. Nilai 3 diberikan pada saat hanya terjadi sedikit keterbatasan yaitu dalam keadaan klien berespon pada perintah verbal, tetapi tidak selalu dapat

21 mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau harus dibantu membalikkan tubuh. Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ekstremitas. Nilai 4 diberikan pada saat tidak terjadi gangguan, yaitu dalam berespon pada perintah verbal dengan baik. Tidak ada penurunan sensorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan b. Kelembaban Pada subskala ini terdapat 4 tingkat nilai yaitu : nilai 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah). Nilai 1 diberikan apabila terjadi kelembaban kulit yang konstan, yaitu saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine dsb. Kelembaban diketahui saat klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat. Nilai 2 diberi apabila kulit sangat lembab, yaitu saat kelembaban sering terjadi tetapi tidak selalu lembab. Idealnya alat tenun dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga. Nilai 3 diberikan saat kulit kadang lembab, yait pada waktu tertentu saja terjadi kelembaban. Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra (2x sehari).

22 Nilai 4 diberikan pada saat kulit jarang lembab, yaitu pada saat keadaan kulit biasanya selalu kering alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal (1x sehari). c. Aktivitas Pada subskala ini terdapat 4 tingkat nilai yaitu : nilai 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah). Nilai 1 diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang beraktifitas terbatas diatas tempat tidur saja. Nilai 2 diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan) dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang berat badannya sendiri atau harus dibantu pindah keatas kursi. Nilai 3 diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada siang hari, tapi hanya dalam jarak dekat, dengan atau tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan diatas tempat tidur atau kursi. Nilai 4 diberikan kepada klien yang dapat sering berjalan keluar kamar sedikitnya 2 kali sehari dan didalam kamar sedikitnya 1 kali setiap 2 jam selama terjaga. d. Mobilisasi Pada subskala ini terdapat 4 tingkat nilai yaitu : nilai 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah).

23 Nilai 1 diberikan kepada klien dengan imobilisasi total. Tidak dapat melakukan perubahan posisi tubuh atau ekstremitas tanpa bantuan, walau hanya sedikit. Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan yang sangat terbatas, yaitu klien dengan kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas, tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri. Nilai 3 diberikan kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas, yaitu klien yang dapat dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri. Nilai 4 diberikan kepada klien yang tidak memiliki keterbatasan dalam hal mobilisasi, yaitu keadaan klien dapat melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan. e. Nutrisi Pada subskala ini terdapat 4 tingkat nilai yaitu : nilai 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah). Nilai 1 diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap. Jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging/susu) 2x atau kurang. Kurang minum, tidak minum suplemen

24 makanan cair atau puasa dan hanya minum air putih atau mendapat infus > 5hari. Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin kurang asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya makan kira-kira hanya ½ porsi makanan yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen atau menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dari sonde (NGT). Nilai 3 diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu klien dengan keadaan makan makanan > ½ porsi makanan yang diberikan. Makan protein daging sebanyak 4 kali sehari. Kadang-kadang menolak makan, tapi biasa mau makan suplemen yang diberikan. Atau diberikan melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi. Nilai 4 diberikan kepada klien yang baik asupan nutrisnya, yaitu klien dengan keadaan makan makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih dengan protein (daging/susu). Kadangkadang makan diantara jam makan. Tidak memerlukan suplemen. f. friksi dan Gesekan Pada subskala ini terdapat 3 tingkat nilai yaitu : nilai 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi (resiko rendah).

25 Nilai 1 diberikan kepada klien dengan masalah, yaitu klien yang memerlukan batuan sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali terjatuh dari atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan bantuan maksimum untuk kembali keposisi, sering mengalami kejang atau kontraktur yang menyebabkan friksi terus menerus. Nilai 2 diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi, yaitu klien yang bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tempat tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang jatuh kebawah. Nilai 3 diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah, yaitu klien yang bergerak diatas tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak. Mampu mempertahankan posisi yang baik diatas tempat tidur atau kursi. Nilai total dalam Skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung pada hasil penilaian perawat tersebut. Total nilai rendah < 10 menunjukkan resiko sangat tinggi terjadinya dekubitus, nilai menunjukkan resiko tinggi terjadinya dekubitus, nilai menunjukkan resiko sedang terjadinya dekubitus, nilai menunjukkan resiko rendah terjadinya dekubitus dan nilai menunjukkan tidak adanya resiko atau normal. Dalam penelitian Lahmann dkk (2009) di jerman, menemukan bahwa tidak semua subskala dalam skala Braden memiliki pengaruh yang sama dalam

26 menentukan resiko terjadinya dekubitus. Subskala yang paling mempengaruhi terjadinya dekubitus menurut penelitian tersebut adalah subskala friksi dan gesekan. Subskala yang dianggap penting selanjutnya adalah nutrisi dan aktifitas. Sedangkan yang dianggap paling tidak mempengaruhi dalam subskala tersebut adalah persepsi sensori.

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS)

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) A. KASUS (MASALAH UTAMA) Luka Tekan / Pressure Ulcer ( Dekubitus) B. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Luka Dekubitus 2.1.1 Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka tekan 2.1.1 Pengertian luka tekan Luka tekan adalah cedera pada kulit dan jaringan lain yang berada dibawahnya, biasanya di atas penonjolan tulang, akibat tekanan atau tekanan

Lebih terperinci

Pengertian Luka Dekubitus

Pengertian Luka Dekubitus Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latindecumbree yang berarti merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tindakan (practice) 2.1.1 Definisi Tindakan (practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG Lampiran 1 A. Pengertian Skala Braden merupakan salah satu jenis skala atau metode yang digunakan dalam menilai resiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia keperawatan menjaga dan mempertahankan integritas kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di dalamnya. Intervensi

Lebih terperinci

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim PERAWATAN LUKA by : Rahmad Gurusinga A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka timbul, beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan globalisasi, perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. Perkembangan pengetahuan masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang terletak pada jalur yang sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan ini merupakan salah satu faktor predisposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas, dan sensori persepsi, bila aktifitas ini berkepanjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Tujuan umum

BAB I PENDAHULUAN TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Tujuan umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ulkus Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh sedang atau besar di tungkai (Sulardi, 2011).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengetahuan a. Defenisi Etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan secara terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana penelitian dibatasi oleh waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Praktik Perawatan Dekubitus 1. Pengertian praktik Praktik merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan apa yang diketahui atau yang disikapinya (dinilai baik). Praktik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan luka yang timbul karena tekanan terutama pada bagian tulang-tulang yang menonjol akibat tirah baring yang lama di tempat tidur. Kasus dekubitus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan neurologis, penyakit kronis, penurunan status mental, pasien yang dirawat

Lebih terperinci

Tindakan keperawatan (Implementasi)

Tindakan keperawatan (Implementasi) LAMPIRAN CATATAN PERKEMBANGAN No. Dx Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Hari/ Pukul tanggal 1 Senin / 02-06- 14.45 15.00 15.25 15.55 16.00 17.00 Tindakan keperawatan (Implementasi) Mengkaji kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Luka tekan (pressure ulcer) merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat secara signifikan menjadi lebih dari 5 juta pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh. 61 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik responden dan uji homogenitas penelitian kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

- Nyeri dapat menyebabkan shock. (nyeri) berhubungan. - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : - Untuk mengistirahatkan sendi yang fragmen tulang

- Nyeri dapat menyebabkan shock. (nyeri) berhubungan. - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : - Untuk mengistirahatkan sendi yang fragmen tulang 3. PERENCANAAN TINDAKAN PERAWATAN NO DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan rasa nyaman TUJUAN DAN HASIL YANG DIHARAPKAN Tujuan : RENCANA TINDAKAN - Kaji keadaan nyeri yang meliputi : RASIONAL - Nyeri dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MOBILITAS

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MOBILITAS LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MOBILITAS DISUSUN OLEH: PUTU EKA ANGGA RIANTINI P. 17420112108 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEMARANG JURUSAN KEPERAWATAN

Lebih terperinci

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK PENGERTIAN MOBILISASI Adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Semua manusia yang

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi

LAPORAN PENDAHULUAN Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi LAPORAN PENDAHULUAN I. Konsep kebutuhan mempertahankan suhu tubuh normal I.1 Definisi kebutuhan termoregulasi Termoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai keseimbangan produksi

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS NUTRISI DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PENDERITA STROKE DI YAYASAN STROKE SARNO KLATEN

HUBUNGAN STATUS NUTRISI DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PENDERITA STROKE DI YAYASAN STROKE SARNO KLATEN HUBUNGAN STATUS NUTRISI DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PENDERITA STROKE DI YAYASAN STROKE SARNO KLATEN SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

Lebih terperinci

R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK

R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK TINJAUAN KEPUSTAKAAN R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK Dekubitus terjadi karena adanya tekanan beban tubuh pada daerah kulit yang bersentuhan dengan permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri. Namun merawat akan menjadi kaku, statis dan tidak berkembang

Lebih terperinci

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan F. KEPERAWATAN Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan Kaji TTV, catat perubahan TD (Postural), takikardia, demam. Kaji turgor kulit, pengisian kapiler dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

Kebutuhan Personal Higiene. Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH

Kebutuhan Personal Higiene. Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH Kebutuhan Personal Higiene Purnama Anggi AKPER KESDAM IM BANDA ACEH Pendahuluan Kebersihan merupakan hal yang penting Dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan Konsep Dasar Berasal dari bahasa Yunani,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stroke masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation (WHO), pada

BAB I PENDAHULUAN. stroke masih tinggi. Menurut estimasi World Health Organisation (WHO), pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kronis yang terjadi di Indonesia setiap tahun semakin bertambah. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk Indonesia yang meninggal dunia akibat dari

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Pembahasan. Bab ini penulis akan membahas tentang tindakan keperawatan

BAB V PEMBAHASAN. A. Pembahasan. Bab ini penulis akan membahas tentang tindakan keperawatan BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Bab ini penulis akan membahas tentang tindakan keperawatan pemberian latihan ROM aktif pada pasien stroke non hemoragik untuk meningkatkan kekuatan otot pada Tn. M berusia

Lebih terperinci

OLEH MEYRIA SINTANI NIM : C. 04a. 0314

OLEH MEYRIA SINTANI NIM : C. 04a. 0314 LAPORAN PENDAHULUAN Prosedur Tindakan Pengkajian Sistem Integumen, Prosedur Tindakan Wound Care, dan Penatalaksanaan Klien Luka Bakar Laporan pendahuluan ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Berdarah Dengue (DBD). (Aziz Alimul, 2006: 123). oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005: 607 )

BAB I KONSEP DASAR. Berdarah Dengue (DBD). (Aziz Alimul, 2006: 123). oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005: 607 ) BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, Pasien yang sangat lemah, dan Pasien yang lumpuh dan waktu lama, bahkan saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak akibat penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin (Dorland, 2010). DM suatu

Lebih terperinci

KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN. Niken Andalasari

KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN. Niken Andalasari KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN Niken Andalasari PENGERTIAN Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter& Perry, 2006) Perubahan kenyamanan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN DEMAM CHIKUNGUNYA Oleh DEDEH SUHARTINI A. PENGERTIAN Chikungunya berasal dari bahasa Shawill artinya berubah bentuk atau bungkuk, postur penderita memang kebanyakan membungkuk

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN PASKA STROKE NON HEMORAGIK DEKSTRA STADIUM AKUT Disusun oleh : DWI RAHMAWATI NIM : J100 060 001 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dapat dibuktikan juga dengan perkembangan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUD Dr. MOEWARDI

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUD Dr. MOEWARDI HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : Ika Harmyastuti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intrvensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan intervensi

Lebih terperinci

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI Oleh : Furkon Nurhakim INTERVENSI PASCA OPERASI PASE PASCA ANESTHESI Periode segera setelah anesthesi à gawat MEMPERTAHANKAN VENTILASI PULMONARI Periode

Lebih terperinci

cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi.

cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi. I. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih (Doenges, 2001). Tujuan: kekurangan volume cairan tidak terjadi. a. Tekanan darah siastole

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM adalah penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik (kadar gula

BAB I PENDAHULUAN. DM adalah penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik (kadar gula BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gaya hidup modern dengan pilihan menu makanan dan cara hidup yang kurang sehat semakin menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

Gangguan Pada Bagian Sendi

Gangguan Pada Bagian Sendi Gangguan Pada Bagian Sendi Haemarthrosis ( Hemarthrosis ) Hemarthrosis adalah penyakit kompleks di mana terjadi perdarahan ke dalam rongga sendi - Penyebab (Etiologi) Traumatic nontraumatic Degrees - Gejala

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Diabetes adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak dapat menggunakan (menyerap) gula

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edukasi 2.1.1 Definisi Edukasi Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN. Setiawan, S.Kp., MNS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN. Setiawan, S.Kp., MNS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SHOCK HYPOVOLEMIK Setiawan, S.Kp., MNS KLASIFIKASI SHOCK HYPOVOLEMIC SHOCK CARDIOGENIC SHOCK SEPTIC SHOCK NEUROGENIC SHOCK ANAPHYLACTIC SHOCK TAHAPAN SHOCK TAHAP INISIAL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. dalam kavum Pleura (Arif Mansjoer, 1999 : 484). Efusi Pleura adalah

BAB I KONSEP DASAR. dalam kavum Pleura (Arif Mansjoer, 1999 : 484). Efusi Pleura adalah BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Efusi Pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan di rongga pleura selain cairan dapat juga terjadi penumpukan pus atau darah (Soeparman, 1996 : 789).

Lebih terperinci

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns

KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN. FATWA IMELDA, S.Kep, Ns KEBUTUHAN FISIOLOGIS KESELAMATAN DAN KEMANAN FATWA IMELDA, S.Kep, Ns PENGERTIAN Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya / kecelakaan. ( Tarwoto dan Wartonah,

Lebih terperinci

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN No.Dx Hari/Tanggal Pukul Tindakan Keperawatan Evaluasi (SOAP) I Hari pertama Senin/17 Juni 09.00-10.30 1. Mengkaji kemampuan secara fungsional

Lebih terperinci

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI OLEH : KELOMPOK 5 HAPPY SAHARA BETTY MANURUNG WASLIFOUR GLORYA DAELI DEWI RAHMADANI LUBIS SRI DEWI SIREGAR 061101090 071101025 071101026 071101027 071101028 Nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana

Lebih terperinci

trauma pada flexsus brachialis, fraktur klavikula, dan fraktur humerus

trauma pada flexsus brachialis, fraktur klavikula, dan fraktur humerus Asuhan neonatus, bayi, dan balita trauma pada flexsus brachialis, fraktur klavikula, dan fraktur humerus Oleh: Witri Nofika Rosa (13211388) Dosen Pembimbing Dian Febrida Sari, S.Si.T STIKes MERCUBAKTIJAYA

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan BAB I KONSEP DASAR A. Konsep Medis Kurang Energi Protein (KEP) 1. Pengertian Malnutrisi sebenarnya adalah gizi salah, yang mencakup gizi kurang atua lebih. Di Indonesia dengan masih tinggi angka kejadian

Lebih terperinci

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan Sariawan Neng...! Kata-kata itu sering kita dengar pada aneka iklan suplemen obat panas yang berseliweran di televisi. Sariawan, gangguan penyakit pada rongga mulut, ini kadang ditanggapi sepele oleh penderitanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG. Naskah Publikasi

TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG. Naskah Publikasi TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG Naskah Publikasi Disusun Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadyah Yogyakarta

Lebih terperinci

ROM (Range Of Motion)

ROM (Range Of Motion) Catatan : tinggal cari gambar ROM (Range Of Motion) A. Pengertian Range Of Motion (ROM) adalah tindakan/latihan otot atau persendian yang diberikan kepada pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena

Lebih terperinci

6

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemenuhan Personal Hygiene 1. Pengertian Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka secara fisik dan psikisnya. Dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE

SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE SATUAN ACARA PENYULUHAN DETEKSI DINI PADA CA MAMAE Oleh: Kelompok : 1A SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN 2014 SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok bahasan : Mobilisasi

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGE DEXTRA DI RSUD PANDANARANG BOYOLALI Disusun oleh : BAYU ARDIANSYAH NIM : J100 070 006 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas

Lebih terperinci

MALNUTRISI. Prepared by Rufina Pardosi UNICEF Meulaboh

MALNUTRISI. Prepared by Rufina Pardosi UNICEF Meulaboh MALNUTRISI Prepared by Rufina Pardosi UNICEF Meulaboh Apa itu malnutrisi? Kebutuhan tubuh akan makronutrien (lemak, karbohidrat dan protein) tidak terpenuhi Penyebab : Asupan makanan kurang Penyakit Klasifikasi

Lebih terperinci

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Thalassemia Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina

Lebih terperinci

Netti, Delima, Yossi Suryarinilsih (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang)

Netti, Delima, Yossi Suryarinilsih (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang) PENGARUH INTERVENSI MASSAGE DALAM UPAYA PENCEGAHAN DEKUBITUS DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN TIRAH BARING LAMA DI RSUP DR. M. JAMIL PADANG TAHUN 2013 Netti, Delima, Yossi Suryarinilsih (Politeknik

Lebih terperinci

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah. 1. Hipokalsemia HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dl darah. PENYEBAB Konsentrasi

Lebih terperinci

Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi

Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi Obat Alami Diabetes Dapat Mencegah Amputasi Pada Diabetesi Obat Alami Diabetes Untuk Pengobatan Komplikasi Pada Diabetesi Komplikasi Pada Kaki Penderita diabetes dapat mengalami banyak permasalahan pada

Lebih terperinci

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan No. Dx. Tindakan dan Evaluasi

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan No. Dx. Tindakan dan Evaluasi Lampiran 1 Senin/ 17-06- 2013 21.00 5. 22.00 6. 23.00 200 7. 8. 05.00 05.30 5. 06.00 06.30 07.00 3. Mengkaji derajat kesulitan mengunyah /menelan. Mengkaji warna, jumlah dan frekuensi Memantau perubahan

Lebih terperinci

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI Skrining nutrisi adalah alat yang penting untuk mengevaluasi status nutrisi seseorang secara cepat dan singkat. - Penilaian nutrisi merupakan langkah yang peting untuk memastikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Gagal Jantung Kongestif 1.1 Defenisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) secara luas diartikan sebagai gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang abnormal akibat

Lebih terperinci

Pusat Hiperked dan KK

Pusat Hiperked dan KK Pusat Hiperked dan KK 1. Gangguan pernafasan (sumbatan jalan nafas, menghisap asap/gas beracun, kelemahan atau kekejangan otot pernafasan). 2. Gangguan kesadaran (gegar/memar otak, sengatan matahari langsung,

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk Pelayanan Kesehatan bagi Anak Bab 7 Gizi Buruk Catatan untuk fasilitator Ringkasan kasus Joshua adalah seorang anak laki-laki berusia 12 bulan yang dibawa ke rumah sakit kabupaten dari rumah yang berlokasi

Lebih terperinci

PRAKTIKUM 7 PERAWATAN PASIEN YANG MENGGUNAKAN TRAKSI DAN ELASTIS BANDAGE

PRAKTIKUM 7 PERAWATAN PASIEN YANG MENGGUNAKAN TRAKSI DAN ELASTIS BANDAGE PRAKTIKUM 7 PERAWATAN PASIEN YANG MENGGUNAKAN TRAKSI DAN ELASTIS BANDAGE Station 1: Perawatan Pasien yang Menggunakan Traksi Gambaran Umum Traksi merupakan alat immobilisasi yang menggunakan kekuatan tarikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lanjut Usia 1. Definisi Lanjut Usia Lanjut usia merupakan tahap terakhir dari perkembangan hidup manusia, suatu proses alami dimana tidak semua orang dapat mencapai tahap ini.

Lebih terperinci

Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes

Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes Obat Luka Diabetes Pada Penanganan Komplikasi Diabetes Obat Luka Diabetes Untuk Komplikasi Diabetes Pada Kulit Diabetes dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh Anda, termasuk juga kulit. Sebenarnya, permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel tubuh melalui

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

Konsep Perawatan Tujuan Kebersihan Diri Meningkatkan drajat kesehatan seseorang Memelihara kebersihan diri seseorang Memperbaiki kebersihan diri yang

Konsep Perawatan Tujuan Kebersihan Diri Meningkatkan drajat kesehatan seseorang Memelihara kebersihan diri seseorang Memperbaiki kebersihan diri yang KEBERSIHAN DIRI DAN LINGKUNGAN RAHMAD GURUSINGA Konsep Perawatan Tujuan Kebersihan Diri Meningkatkan drajat kesehatan seseorang Memelihara kebersihan diri seseorang Memperbaiki kebersihan diri yang kurang

Lebih terperinci