BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas. dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh."

Transkripsi

1 61 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik responden dan uji homogenitas penelitian kelompok perlakuan dan kontrol yang terdiri dari usia, jenis penyakit (diagnosa medis), riwayat merokok, tingkat resiko dekubitus, dan temperatur / suhu tubuh. Tabel 4.1.Karakteristik responden dan uji homogenitas kelompok perlakuan dan kontrol di ruang ICU/ICCU dan IMC Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2016 (N = 34). No Variabel Perlakuan Kontrol Total P-value f % f % f % 1 Usia 60 tahun tahun Jenis penyakit Kronis Akut Riwayat merokok Merokok Tidak merokok Tingkat resiko dekubitus Resiko tinggi Resiko menengah Resiko rendah Suhu tubuh 37.5 C C *) Levene s Test Sebelum dilakukan analisa data, telah dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan levene s test untuk melihat kesetaraan atau homogenitas antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 61

2 62 Berdasarkan tabel 4.1 diatas didapatkan hasil p-value untuk semua variabel karakteristik responden menunjukkan nilai (p > 0.05), maka dapat disimpulkan antara variabel kelompok perlakuan dan kontrol homogen. 2. Analisis Bivariat Pengaruh Penataan Tempat Tidur Lipat Sudut 90 Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring No Tabel 4.2.Pengaruh penataan tempat tidur terhadap kejadian dekubitus derajat I di ruang ICU/ICCU dan IMC Rumah Sakit PKU Muhammadiyah I Yogyakarta Tahun 2016 (N = 34). Variabel bebas Variabel terikat Terjadi dekubitus Tidak terjadi dekubitus f % f % f % Lipat sudut 90 2 Tali sudut *) Fisher s Exact Total OR 95% CI p-value ( ) 0,039 Hasil analisis pengaruh penataan tempat tidur lipat sudut 90 dengan kejadian dekubitus didapatkan sebanyak 7 (41.2%) responden pada kelompok kontrol mengalami dekubitus derajat I, sedangkan pada kelompok perlakuan terdapat 1 (5.9%) responden yang terjadi dekubitus derajat I. Hasil uji statistik dengan menggunakan fisher s exact diperoleh nilai p = (< 0.05) maka Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara penataan tempat tidur lipat sudut 90 dengan kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring. Didapatkan juga nilai OR= ( ), artinya responden yang diberikan perlakuan penataan tempat tidur lipat sudut 90 dapat menurunkan 11 kali

3 63 kejadian dekubitus derajat I dibandingkan dengan responden yang diberikan metode tali sudut. 3. Analisis Multivariat Pengaruh Faktor Perancu (Confounding) Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring Tabel 4.3. Pengaruh faktor perancu (confounding) terhadap kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring Kejadian dekubitus Variabel Terjadi dekubitu s derajat I Tidak terjadi dekubitus Total OR (95% CI) f % f % f % Usia ( ) Jenis penyakit 1. Kronis Akut ( ) Riwayat merokok 1. Merokok Tidak ( ) merokok Tingkat resiko dekubitus 1 Resiko tinggi 2 Resiko menengah ( ) 3 Resiko rendah Suhu tubuh 1. > ( ) *) Regresi Logistik berganda p-value ) Usia Hasil analisis pengaruh antara usia dengan kejadian dekubitus diperoleh sebanyak 5 (29.4%) dari usia responden 60 tahun mengalami dekubitus derajat I dan 12 (70.6%) tidak mengalami

4 64 dekubitus. Pada usia < 60 tahun 3 (17.7%) yang mengalami dekubitus derajat I dan 14 (82.4%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang usianya 60 tahun dengan yang usianya < 60 tahun. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR=0.349 ( ) artinya adalah responden yang usianya 60 tahun memiliki tingkat insidensi kali untuk terjadi dekubitus derajat I dibandingkan dengan responden yang usianya < 60 tahun. 2) Jenis Penyakit Hasil analisis pengaruh antara jenis penyakit dengan kejadian dekubitus derajat I, diperoleh data sebanyak 5 (29.4%) responden yang menderita penyakit kronis mengalami dekubitus, dan 12 (70,6%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Responden dengan penyakit akut mengalami kejadian dekubitus sebanyak 3 (17.6%), dan tidak terjadi dekubitus sebanyak 14 (82.4%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang mengalami penyakit kronis dan akut. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=0.374 ( ), artinya adalah responden yang mengalami penyakit kronis memiliki tingkat insidensi kali untuk terjadi dekubitus derajat I dibandingkan dengan yang mengalami penyakit akut.

5 65 3) Riwayat Merokok Hasil analisis pengaruh riwayat merokok dengan kejadian dekubitus derajat I, diperoleh data sebanyak 4 (22.2%) responden yang merokok mengalami dekubitus, dan 14 (77,8%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Responden yang tidak merokok mengalami kejadian dekubitus sebanyak 4 (25.0%), dan tidak terjadi dekubitus sebanyak 12 (75.0%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang merokok dan tidak merokok. Dari hasil analisis nilai OR=0.465 ( ), artinya adalah responden yang merokok memiliki tingkat insidensi kali untuk terjadi dekubitus dibandingkan dengan yang tidak merokok. 4) Tingkat Resiko Dekubitus Hasil analisis pengaruh antara tingkat resiko dekubitus berdasarkan skala braden dengan kejadian dekubitus derajat I, responden dengan tingkat resiko tinggi yang mengalami dekubitus derajat I sebanyak 7 (28.8%), resiko menengah tidak ada yang mengalami kejadian dekubitus, dan resiko rendah 1 (50.0%) responden yang mengalami kejadian dekubitus derajat I. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = (> 0.05) dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang memiliki tingkat resiko tinggi, resiko menengah dan resiko rendah. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=4.080 ( ), artinya adalah responden

6 66 yang mengalami tingkat resiko tinggi memiliki tingkat insidensi kali untuk terjadi dekubitus derajat I dibandingkan dengan yang tingkat resiko menengah dan rendah. 5) Temperatur / Suhu Tubuh Hasil analisis pengaruh antara suhu tubuh dengan kejadian dekubitus derajat I, diperoleh data sebanyak 1 (50.0%) responden yang suhu tubuhnya diatas 37.5 C mengalami dekubitus, dan 1 (50,0%) tidak mengalami dekubitus derajat I. Responden yang suhu tubuhnya 37.5 C mengalami kejadian dekubitus sebanyak 7 (21.9%), dan tidak terjadi dekubitus sebanyak 25 (78.1%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p = (> 0.05), dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang memiliki suhu tubuh diatas 37.5 C dan 37.5 C. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=0.263 ( ), artinya adalah responden yang suhu tubuhnya > 37.5 C memiliki tingkat insidensi kali untuk terjadi dekubitus dibandingkan dengan yang suhu tubuhnya dibawah 37.5 C. B. Pembahasan Penelitian 1. Analisis Univariat dan Uji Homogenitas a. Usia Hasil penelitian pada karakteristik responden berdasarkan usia, kelompok perlakuan dan kelompok kontrol jumlahnya tidak sama

7 67 antara yang usianya 60 tahun dan < 60 tahun, akan tetapi secara statistik didapatkan hasil p = (>0.05) berarti kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Usia mempengaruhi perubahan pada struktur anatomis kulit. Proses menua mengakibatkan perubahan struktur kulit menjadi lebih tipis dan mudah rusak. Seiring dengan meningkatnya usia akan berdampak pada perubahan kulit yang di indikasikan dengan penghubung dermis-epidermis yang rata/flat, penurunan jumlah sel, kehilangan elastisitas kulit, lapisan subkutan yang menipis, pengurangan massa otot, dan penurunan perfusi dan oksigenasi vaskular intradermal (Jaul, 2010). Usia lanjut dihubungkan dengan perubahan-perubahan seperti menipisnya kulit, kehilangan jaringan lemak, menurunnya fungsi persepsi sensori, meningkatnya fargilitas pembuluh darah, dan lain sebagainya, perubahan-perubahan ini menurut Bryant, (2007) mengakibatkan kerusakan kemampuan jaringan lunak untuk mendistribusikan beban mekanis. Kombinasi perubahan karena proses menua dan faktor lain menyebabkan kulit mudah rusak jika mengalami tekanan, shear, dan gesekan (Bryant, 2000). b. Jenis Penyakit (Diagnos Medis) Pada karakteristik responden jenis penyakit, kelompok perlakuan dan kelompok kontrol jumlahnya tidak sama antara penyakit akut dan

8 68 kronis, secara statistik didapatkan nilai p = artinya kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Pasien yang dirawat di ruang ICU/ICCU dan IMC yaitu pasien yang mengalami penyakit kronis dan tidak kronis dengan penurunan kesadaran dan penurunan kemampuan untuk melakukan mobilisasi. Ada beberapa penelitian prospektif maupun retrospektif yang mengidentifikasi faktor spesifik penyebab imobilitas dan inaktifitas, diantaranya Spinal Cord Injury (SCI), stroke, multiple sclerosis, trauma (misalnya patah tulang), obesitas, diabetes, kerusakan kognitif, penggunaan obat (seperti sedatif, hipnotik, dan analgesik), serta tindakan pembedahan (AWMA, 2012). Pada pasien dengan penurunan kesadaran : gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan lebih beresiko mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien dengan sensasi normal. Pasien dengan gangguan persepsi sensorik terdapat nyeri dan tekanan adalah pasien yang tidak mampu merasakan kapan sensasi pada bagian tubuh mereka meningkat, adanya tekanan yang lama, atau nyeri dan oleh karena itu pasien tanpa kemampuan untuk merasakan bahwa terdapat nyeri atau tekanan akan menyebabkan resiko berkembangnya dekubitus (Potter & Perry, 2010). c. Riwayat Merokok Karakteristik responden berdasarkan riwayat merokok, kelompok perlakuan dan kelompok kontrol jumlahnya sama antara responden

9 69 yang merokok dan yang tidak merokok, secara statistik didapatkan nilai p = artinya kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah (Suriadi, et al 2002). Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan menjadi hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia, ganguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler faskuler, pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2010). d. Tingkat Resiko Dekubitus Hasil penelitian pada karakteristik responden berdasarkan tingkat resiko dekubitus, kelompok perlakuan dan kelompok kontrol jumlahnya tidak sama antara tingkat resiko tinggi, resiko menengah, dan resiko rendah, akan tetapi secara statistik didapatkan hasil p = (>0.05) berarti kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Penelitian terhadap tingkat resiko dekubitus diukur dengan menggunakan skala braden yang sudah terbukti validitas dan reliabilitasnya. Pada Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeseran dan gesekan. Nilai total berada pada rentang 6 sampai 23, nilai rendah menunjukkan resiko tinggi terhadap kejadian dekubitus (Braden dan Bergstrom, 1989).

10 70 e. Tempratur / Suhu Tubuh Hasil penelitian terhadap karakteristik responden berdasarkan temperatur / suhu tubuh, kelompok perlakuan dan kelompok kontrol jumlahnya sama antara yang suhu tubuhnya > 37.5 C dan 37.5, secara statistik didapatkan hasil p = (>0.05) berarti kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Infeksi biasanya diikuti oleh peningkatan suhu tubuh dan peningkatan laju metabolisme sehingga jaringan-jaringan yang mengalami hipoksia akan berisiko menuju iskemik. Selain itu peningkatan suhu tubuh juga meningkatkan perspirasi sehingga kondisi kulit lebih lembab oleh keringat dan ini akan menjadi predisposisi kerusakan kulit (Handayani, 2010). 2. Analisis Bivariat Pengaruh Penataan Tempat Tidur Lipat Sudut 90 Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring Hasil penelitian pengaruh penataan tempat tidur lipat sudut 90 terhadap kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring dengan menggunakan fisher s exact diperoleh nilai p = (< 0.05) berarti ada pengaruh yang signifikan antara penataan tempat tidur lipat sudut 90 dengan kejadian dekubitus derajat I pada pasien tirah baring. Didapatkan juga nilai OR= ( ), artinya responden yang diberikan perlakuan penataan tempat tidur lipat sudut 90 dapat menurunkan 11 kali kejadian dekubitus derajat I dibandingkan dengan responden yang

11 71 diberikan metode tali sudut. Penataan tempat tidur lipat sudut 90 tidak hanya berpengaruh terhadap membantu menurunkan tekanan permukaan (interface pressure), akan tetapi berpengaruh juga dalam mengurangi gaya geser dan gesekan (shear and friction) yang dapat membantu menurunkan tingkat kejadian dekubitus. Dekubitus yaitu kerusakan kulit pada suatu area dan dasar jaringan yang disebabkan oleh tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan, pergeseran, gesekan atau kombinasi dari beberapa hal tersebut (NPUAP, 2014). Tindakan keperawatan dalam upaya pencegahan secara dini terjadinya dekubitus di Rumah Sakit adalah menjaga tekanan permukaan tetap stabil (Elkin et al, 2003). Tekanan kapiler normal mmhg, sehingga tekanan diatas 32 mmhg meningkatkan tekanan interstitial yang berdampak pada penurunan oksigenasi (Dini, et al., 2006). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) tekanan permukaan yang tinggi merupakan faktor yang signifikan terjadinya dekubitus. Mekanisme timbulnya dekubitus ini berawal dari adanya tekanan permukaan yang intensif dan lama, sehingga toleransi jaringan berkurang (Bryant, 2000). Dengan adanya tekanan permukaan atau desakan pada kulit yang terus - menerus, sehingga menyebabkan suplai darah yang menuju kulit terputus dan jaringan akan mati (Bryant & Denise, 2007). Salah satu tindakan untuk menjaga tekanan permukaan yaitu dengan metode penataan tempat tidur. Penataan tempat tidur lipat sudut 90 adalah mengganti alat tenun yang kotor dengan membuat sudut seprei 90 pada

12 72 setiap sudut matras/kasur tempat tidur pasien tanpa memindahkan pasien yang bertujuan untuk memberikan perasaan senang kepada pasien, untuk mencegah terjadinya dekubitus, dan memelihara kebersihan dan kerapian (Ely, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumara (2013) yang menelti tentang membandingkan tekanan permukaan (interface pressure) antara penataan tempat tidur (bed making) lipat sudut 90 dengan metode tali sudut didapatkan hasil penelitian tekanan permukaan (interface pressure) pada metode bed making an occupied bed lipat sudut 90 lebih rendah dan stabil dibandingkan dengan metode tali sudut. Menurut Matsuo, et al (2011) tentang effect on air matress pressure redistributtion caused by different in bed making menyimpulkan bahwa metode corner atau sudut pojok menurunkan area kontak menjadi 0,6 dibandingkan dengan No Treatment yang meningkat 1,8 kali dari MIP (Maximum Interface Pressure) dan mengganggu tekanan redistribusi fungsi dari kasur, sedangkan metode Tie atau tali sudut bisa menghambat redistribusi fungsi tekanan dengan cara yang sama dengan metode No Treatment. Kesimpulan : disarankan menggunakan metode Corner karena yang memiliki efek redistribusi tekanan pada kasur udara. Penataan tempat tidur (bed making) berkaitan dengan tekanan, gaya geser dan gesek (shear dan friction). Kekuatan gaya geser dan gesekan pada tempat tidur tidak bisa dipisahkan dari adanya tekanan, karena gaya tersebut merupakan komponen integral dari pengaruh tekanan pada pasien

13 73 (Malone & McInnes, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Lahmann & Kottner, (2011) tentang hubungan antara shear dan friction dengan kejadian dekubitus didapatkan hasil tekanan, gaya geser dan gesek (shear and friction) sebagai penyebab kuat untuk terjadinya kejadian dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Cox, (2010) yang meneliti tentang skor skala braden terhadap kejadian dekubitus, didapatkan hasil penurunan mobilitas, shear & friction menjadi faktor penyebab untuk terjadinya kejadian dekubitus. Gaya geser terjadi saat memindahkan pasien dari tempat tidur ke usungan dan kulit pasien ditarik melalui tempat tidur, saat geseran terjadi kulit dan lapisan subkutan yang melekat pada permukaan tempat tidur serta lapisan otot dan tulang meluncur searah dengan pergerakan tubuh. Kapiler yang berada dibawah jaringan teregang dan terjepit oleh gaya geser yang mengakibatkan terjadi nekrosis diantara jaringan. Kerusakan jaringan terjadi di jaringan dalam sehingga meyebabkan kerusakan dermis (Potter & Perry, 2010). Gesekan juga dapat menyebabkan cidera pada kulit pasien yang disebabkan oleh pergerakan kulit pasien pada seprei. Luka gesekan juga dapat terjadi pada pasien yang sakit tetapi tidak dapat merasakan sensasi nyeri, misalnya pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran (Langemo & Black, 2010). Gaya geser adalah tekanan pada permukaan melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik yang digunakan saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti seprei atau linen tempat tidur (WOCN,

14 ). Berbeda dengan cidera akibat gaya geser, cidera akibat gesekan memengaruhi epidermis atau lapisan kulit yang paling luar. Gaya gesek ini terjadi pada pasien yang pada saat diubah posisinya atau dikembalikan ke posisi semula ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat tidur (Potter & Perry, 2010). 3. Analisis Multivariat Pengaruh Faktor Perancu (Confounding) Terhadap Kejadian Dekubitus Derajat I Pada Pasien Tirah Baring a. Usia Tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang usianya 60 tahun dengan responden yang usianya < 60 tahun. Pada penelitian ini sebagian besar yang mengalami dekubitus yaitu pada responden yang usianya 60 tahun yaitu sebanyak 5 (29.4%), dan terjadi juga pada responden yang usianya < 60 tahun sebanyak 3 (17.7), artinya dekubitus tidak hanya terjadi pada pasien dengan usia 60 tahun akan tetapi bisa juga terjadi pada pasien yang usianya < 60 tahun. Pasien yang sudah tua memiliki resiko tinggi untuk terjadi dekubitus karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan proses penuaan (Sussman & Jensen, 2007), sedangkan menurut Potter & Perry, (2005) 60% - 90% dekubitus dialami oleh pasien dengan usia 65 tahun keatas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Manzano, et al (2010) faktor resiko dan kejadian dekubitus di ruang perawatan

15 75 intensive untuk rata-rata usia yang terjadi dekubitus adalah pada pasien yang usianya 60 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) yang melihat faktor resiko terhadap kejadian dekubitus bahwa usia pasien yang rentan untuk terjadi dekubitus adalah rata-rata pada usia 50 tahun. Penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dekubitus ditunjukkan dengan nilai p = 0.34 (> 0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, (2010) tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dekubitus ditunjukkan dengan nilai p = (> 0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Tarihoran, (2010) juga didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dekubitus ditunjukkan dengan nilai p = (> 0.05). Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, kejadian dekubitus tidak hanya terjadi pada usia yang lebih dari 60 tahun akan tetapi usia dibawah 60 tahun juga bisa terjadi dekubitus ditunjukkan data hasil penelitian sebanyak 5 (29.4%) dari usia responden 60 tahun mengalami dukubitus derajat I. Pada usia < 60 tahun 3 (17.7%) yang mengalami dekubitus derajat I. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Manzano, et al (2010) dengan jumlah responden yang banyak didapatkan ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dekubitus ditunjukkan dengan nilai p = (< 0.05). Penelitian yang

16 76 dilakukan oleh Shahin, et al (2008) tentang prevalensi kejadian dekubitus di ruang ICU didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian dekubitus. Secara statistik menunjukkan semakin banyak responden yang digunakan dalam penelitian dan banyak yang terjadi kejadian dekubitusnya juga menjadi penyebab ada pengaruh antara variabel usia dengan kejadian dekubitus, akan tetapi dalam penelitian ini respondennya tidak banyak dan yang mengalami dekubitus juga tidak banyak. b. Jenis Penyakit Tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang mengalami penyakit kronis dan akut. Pada penelitian ini sebagian besar yang mengalami dekubitus yaitu pada responden yang mengalami penyakit kronis yaitu sebanyak 5 (29.4%), dan terjadi juga pada responden yang mengalami penyakit akut sebanyak 3 (17.7), artinya dekubitus tidak hanya terjadi pada pasien yang mengalami penyakit kronis akan tetapi bisa juga terjadi pada pasien yang mengalami penyakit akut. Australian Wound Management Association (AWMA, 2012) menyebutkan penyakit kronis sebagai salah satu faktor ekstrinsik terjadinya dekubitus. Penyakit kronis dapat mempengaruhi perfusi jaringan, dimana penyakit dan kondisi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pengiriman oksigen ke jaringan. Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan resiko terjadinya dekubitus, diantaranya

17 77 adalah diabetes mellitus, kanker, penyakit pada pembuluh darah arteri, penyakit kardiopulmonar, lymphoedema, gagal ginjal, tekanan darah rendah, abnormalitas sirkulasi serta anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo, et al (2012) menyatakan diagnosa medis yang beresiko terjadi dekubitus adalah dengan kasus neurologis sebanyak 80% diikuti kasus ortopedik dan endokrin, sedangkan berdasarkan Suriadi, (2007) diagnosa medis yang beresiko dan terjadi dekubitus ditemukan pada pasien dengan penyakit stroke, diabetes mellitus, post operasi, dan pasien dengan infark miokard. Pada penelitian yang dilakukan oleh Manzano, et al (2010) didapatkan hasil diagnosa medis yang terjadi dekubitus adalah pada pasien dengan gangguan neurology, gastrointestinal, cardiology, gagal nafas, dan pada pasien dengan shock septic. Penelitian yang dilakukan oleh Frankel, et al (2007) tentang faktor resiko yang dapat menyebabkan kejadian dekubitus didapatkan hasil faktor yang beresiko terhadap kejadian dekubitus adalah pasien yang mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus, spinal cord injury, insufficiency renal, dan usia > 60 tahun. Penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Manzano, et al (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara diagnosa medis dengan kejadian dekubitus ditunjukkan dengan nilai p = 0.37 (> 0.05).

18 78 c. Riwayat Merokok Tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang memiliki riwayat merokok dan yang tidak merokok. Pada penelitian ini responden yang mengalami dekubitus jumlahnya sama antara responden yang merokok dan yang tidak merokok yaitu pada responden yang merokok yaitu sebanyak 4 (22.2%), dan terjadi juga pada responden yang tidak merokok sebanyak 4 (25.5), artinya dekubitus tidak hanya terjadi pada pasien yang memiliki riwayat merokok akan tetapi bisa juga terjadi pada pasien yang tidak merokok. Merokok mungkin sebuah prediktor terbentuknya dekubitus, insiden dekubitus lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Afinitas hemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab resiko terbentuknya dekubitus pada perokok (Bryant, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) tentang faktor resiko perkembangan dekubitus haemoglobin yang tinggi dapat menyebabkan untuk terjadinya kejadian dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Tarihoran, (2010) juga ditemukan tidak ada perbedaan yang signifikan proporsi kejadian dekubitus antara responden dengan riwayat merokok dengan yang tidak merokok dengan hasil uji statistik nilai p = (>0.05). Penelitian ini juga sama dengan yang dilakukan oleh Handayani, (2010) dengan hasil uji statistik p = (> 0.05) yang artinya tidak ada perbedaan

19 79 yang signifikan kejadian dekubitus derajat I pada responden yang merokok dan yang tidak merokok. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, et al (2007) didapatkan hasil ada hubungaan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap kejadian dekubitus dengan nilai p = (< 0.05). d. Tingkat Resiko Dekubitus Tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang memiliki tingkat resiko tinggi, resiko menengah dan resiko rendah. Pada penelitian ini sebagian besar yang mengalami dekubitus yaitu pada responden yang memiliki tingkat resiko tinggi yaitu sebanyak 7 (28.8%), dan terjadi juga pada responden yang memiliki tingkat resiko rendah sebanyak 1 (50.0), artinya dekubitus tidak hanya terjadi pada pasien yang memiliki tingkat resiko tinggi akan tetapi bisa juga terjadi pada pasien yang memiliki tingkat resiko rendah. Karakteristik responden berdasarkan tingkat resiko dekubitus diukur dengan menggunakan skala braden yang sudah terbukti validitas dan reliabilitasnya dengan kategori resiko tinggi, menengah dan resiko rendah. Pada Skala Braden terdiri dari 6 sub skala faktor resiko terhadap kejadian dekubitus diantaranya adalah : persepsi sensori, kelembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi, pergeseran dan gesekan. Nilai total berada pada rentang 6 sampai 23, nilai rendah menunjukkan resiko tinggi terhadap kejadian dekubitus (Braden dan

20 80 Bergstrom, 1989). Apabila skor yang didapat mencapai 16, maka dianggap resiko tinggi mengalami dekubitus (Jaul, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang validitas instrumen pengkajian resiko dekubitus antara lain untuk skala Braden di ruang ICU mempunyai sensitivitas 83% dan spesifitas 90% dan di nursing home mempunyai sensitivitas 46% dan spesifitas 88%, sedangkan diunit orthopedic mempunyai sensitivitas 64% dan spesifitas 87%, dan diunit Cardiotorasic mempunyai sensitivitas 73% dan spesifitas 91% (Bell J, 2005). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fernandes & Caliri, (2008) yang menelitii tentang penggunaan skala braden untuk memperediksi kejadian dekubitus didapatkan hasil semakin tinggi tingkat resiko kejadian dekubitus berdasarkan pengukuran menggunakan skala braden, maka semakin tinggi juga angka kejadian dekubitus, akan tetapi kejadian dekubitus juga bisa terjadi pada pasien yang memiliki tingkat resiko menengah bahkan yang tingkat resiko rendah juga ada yang terjadi dekubitus dengan nilai p = (< 0.05), artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat resiko kejadian dekubitus dengan kejadian dekubitus. Penelitian yang dilakukan oleh Shahin, et al (2008) yang meneliti tentang prevalensi kejadian dekubitus di ruang perawatan intensive didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara skore skala braden dengan kejadian dekubitus. Berbeda juga dengan penelitian yang dilakukan oleh

21 81 Handayani, (2010) didapatkan hasil nilai p = (< 0.05), artinya ada perbedaan kejadian dekubitus derajat I pada responden dengan tingkat resiko yang tinggi, menengah dan rendah. Semakin tinggi tingkat resiko kejadian dekubitus yang diukur dengan menggunakan skala braden maka angka kejadian dekubitus juga tinggi. e. Temperatur / Suhu Tubuh Tidak terdapat perbedaan kejadian dekubitus derajat I antara responden yang memiliki suhu tubuh diatas 37.5 C dan 37.5 C. Pada penelitian ini sebagian besar yang mengalami dekubitus yaitu pada responden yang suhu tubuhnya 37.5 C yaitu sebanyak 7 (21.9%), dan terjadi juga pada responden yang suhu tubuhnya > 37.5 C sebanyak 1 (50.0), artinya dekubitus tidak hanya terjadi pada pasien yang suhu tubuhnya 37.5 C, akan tetapi bisa juga terjadi pada pasien yang suhu tubuhnya > 37.5 C. Berdasarkan Australian Wound Management Association (AWMA, 2012), setiap terjadi peningkatan metabolisme akan menaikkan 1 derajat celcius dalam temperatur jaringan. Dengan adanya peningkatan temperatur ini akan beresiko terhadap iskemik jaringan. Selain itu dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya gaya gesekan dan pergerakan sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit. Penelitian yang dilakukan oleh Nijs,et al (2009) yang meneliti tentang faktor resiko dan insiden kejadian dekubitus di ruang Intensive

22 82 Care Unit didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu tubuh dengan kejadian dekbitus. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suriadi, (2007) didapatkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara suhu tubuh dengan terjadinya dekubitus. C. Keterbatasan Penelitian 1. Responden dalam penelitian ini sedikit, yaitu masing-masing kelompok sebanyak 17 responden dengan jumlah keseluruhan responden sebanyak 34 responden. 2. Penelitian ini tidak dilakukan secara blind terhadap asisten peneliti sehingga memungkinkan untuk terjadi adanya bias. 3. Tekhnik sampling yang digunakan tidak random sampling.

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan neurologis, penyakit kronis, penurunan status mental, pasien yang dirawat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Pelaksanaan Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang terletak pada jalur yang sangat strategis yaitu dikelilingi oleh wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment posttest

BAB III METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment posttest 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy-experiment posttest only with control group. Rancangan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA

PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA PENGARUH POSISI LATERAL INKLIN 30 0 TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN STROKE DI BANGSAL ANGGREK I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Konsep Pasien kritis yang terpasang ventilator Mobilisasi Progresif Level I: - Head Of Bed - Continous Lateral Rotation Therapy Resiko dekubitus: skala braden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan keperawatan pada pasien. Upaya pencegahan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan keperawatan pada pasien. Upaya pencegahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencegahan luka tekan merupakan peran perawat dalam upaya memberikan pelayanan keperawatan pada pasien. Upaya pencegahan terjadinya luka tekan dilakukan sedini mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas ini berkepanjangan akan mengakibatkan luka. regangan dan gesekan (Potter dan Perry, 2005; Hidayat, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Faktor yang mempengaruhi durasi dan intensitas tekanan diatas tulang yang menonjol adalah imobilitas, inaktifitas, dan sensori persepsi, bila aktifitas ini berkepanjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan globalisasi, perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mulai berkembang. Perkembangan pengetahuan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH PENATAAN TEMPAT TIDUR TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I PADA PASIEN TIRAH BARING

PENGARUH PENATAAN TEMPAT TIDUR TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I PADA PASIEN TIRAH BARING PENGARUH PENATAAN TEMPAT TIDUR TERHADAP KEJADIAN DEKUBITUS DERAJAT I PADA PASIEN TIRAH BARING TESIS Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di

BAB I PENDAHULUAN. kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia keperawatan menjaga dan mempertahankan integritas kulit agar senantiasa terjaga dan utuh adalah salah satu aspek penting di dalamnya. Intervensi

Lebih terperinci

TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG. Naskah Publikasi

TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG. Naskah Publikasi TINGKAT RESIKO PRESSURE ULCER DAN FAKTOR RESIKONYA DI RUMAH SAKIT DAERAH TIDAR MAGELANG Naskah Publikasi Disusun Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadyah Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. iritasi dan akan berkembang menjadi luka tekan atau dekubitus (Sumardino, Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam pelayanan keperawatan adalah menjaga dan mempertahankan integritas kulit klien agar senantiasa terjaga dan utuh. Intervensi dalam perawatan

Lebih terperinci

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim

A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka tim PERAWATAN LUKA by : Rahmad Gurusinga A. DEFINISI Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusakatau hilang. Ketika luka timbul, beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non

BAB I PENDAHULUAN. hemoragik di Jawa Tengah adalah 0,03%. Sedangkan untuk stroke non BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan luka yang timbul karena tekanan terutama pada bagian tulang-tulang yang menonjol akibat tirah baring yang lama di tempat tidur. Kasus dekubitus dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri

BAB I PENDAHULUAN. pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Luka tekan (pressure ulcer) merupakan masalah serius yang sering terjadi pada pasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasien stroke, injuri tulang belakang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbaring lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer, pressure ulcer, pressure sore, bed sore.

BAB I PENDAHULUAN. yang berbaring lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer, pressure ulcer, pressure sore, bed sore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus adalah suatu keadaan kerusakan jaringan setempat yang disebabkan oleh iskemia pada kulit (kutis dan sub-kutis) akibat tekanan dari luar yang berlebihan. Umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital pasien yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian mandiri dari rumah sakit, yang dilengkapi dengan tenaga medis dan teknologi khusus untuk mengobservasi, merawat,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka tekan 2.1.1 Pengertian luka tekan Luka tekan adalah cedera pada kulit dan jaringan lain yang berada dibawahnya, biasanya di atas penonjolan tulang, akibat tekanan atau tekanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK

KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK PENGERTIAN MOBILISASI Adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, teratur dan mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Semua manusia yang

Lebih terperinci

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG

INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG INOVASI KEPERAWATAN PENGGUNAAN SKALA BRADEN PADA PASIEN STROKE DI RSUD CENGKARENG Lampiran 1 A. Pengertian Skala Braden merupakan salah satu jenis skala atau metode yang digunakan dalam menilai resiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi mendadak akibat proses patofisiologi pembuluh darah. 1 Terdapat dua klasifikasi umum stroke yaitu

Lebih terperinci

Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi

Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi (Body Mass Index And Hemoglobin Level Related To Wound Healing Of Patients Undergoing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. UU R.I Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 62 tentang. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dapat dibuktikan juga dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada beban ganda, disatu pihak penyakit menular masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pada beban ganda, disatu pihak penyakit menular masih merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban ganda, disatu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama di mana setiap rumah sakit bertanggung jawab terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) terhadap 46 orang responden pasca stroke iskemik dengan diabetes mellitus terhadap retinopati diabetika dan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intrvensi perawatan kulit yang terencana dan konsisten merupakan intervensi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Dekubitus 1. Pengertian dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler adalah gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya penyempitan pembuluh darah

Lebih terperinci

Tekanan Interface Pasien Tirah Baring (Bed Rest) Setelah Diintervensi dengan metode Hospital Corner Bed Making

Tekanan Interface Pasien Tirah Baring (Bed Rest) Setelah Diintervensi dengan metode Hospital Corner Bed Making ARTIKEL PENELITIAN Retno Sumara, Tekanan Interface pada Pasien Tirah Baring Mutiara Medika Tekanan Interface Pasien Tirah Baring (Bed Rest) Setelah Diintervensi dengan metode Hospital Corner Bed Making

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, Pasien yang sangat lemah, dan Pasien yang lumpuh dan waktu lama, bahkan saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Amerika Serikat prevalensi tahunan sekitar 10,3%, livetime prevalence mencapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Amerika Serikat prevalensi tahunan sekitar 10,3%, livetime prevalence mencapai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup. Dalam

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS)

LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) LAPORAN PENDAHULUAN PERAWATAN DAN PENCEGAHAN LUKA (DEKUBITUS) A. KASUS (MASALAH UTAMA) Luka Tekan / Pressure Ulcer ( Dekubitus) B. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau oleh tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau oleh tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan karena keturunan dan/atau disebabkan karena kekurangan produksi insulin oleh pankreas, atau oleh tidak efektifnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat secara signifikan menjadi lebih dari 5 juta pada tahun

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan derajat berat merokok dengan kejadian infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari 2015. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik dan Ruang Rawat

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DENGAN PERILAKU PERAWAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN DEKUBITUS DI RUMAH SAKIT CAKRA HUSADA KLATEN

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DENGAN PERILAKU PERAWAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN DEKUBITUS DI RUMAH SAKIT CAKRA HUSADA KLATEN HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DENGAN PERILAKU PERAWAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN DEKUBITUS DI RUMAH SAKIT CAKRA HUSADA KLATEN Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. DM suatu penyakit dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak akibat penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin (Dorland, 2010). DM suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Keberhasilan pembangunan diikuti oleh pergeseran pola penyakit yang ada di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular dan infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

BAB I PENDAHULUAN. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke memiliki serangan akut yang dapat dengan cepat menyebabkan kematian. Penderita stroke mengalami defisit neurologis fokal mendadak dan terjadi melebihi dari 24

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti

Lebih terperinci

TEKANAN INTERFACE PADA PASIEN TIRAH BARING. Retno Sumara Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya

TEKANAN INTERFACE PADA PASIEN TIRAH BARING. Retno Sumara Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya TEKANAN INTERFACE PADA PASIEN TIRAH BARING Retno Sumara Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya ABSTRAK Pasien dengan tirah baring dalam jangka waktu lama mempunyai risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten terhadap kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera atau pembedahan (Agustina, 2009). Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pressure ulcer merupakan masalah yang harus dihadapi oleh pasien

BAB I PENDAHULUAN. Pressure ulcer merupakan masalah yang harus dihadapi oleh pasien BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pressure ulcer merupakan masalah yang harus dihadapi oleh pasien pasien yang mengalami penyakit kronis, kondisi lemah, kelumpuhan dan bahkan hal ini menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) secara luas diartikan sebagai gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang abnormal akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Sepsis merupakan suatu respon sistemik yang dilakukan oleh tubuh ketika menerima sebuah serangan infeksi yang kemudian bisa berlanjut menjadi sepsis berat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah. 3.1.2 Ruang Lingkup Waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (defisit neurologik) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup.dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lansia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Jumlah lansia meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini

BAB 5 PEMBAHASAN. dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini 61 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 44 subyek pasien pasca stroke iskemik dengan menggunakan consecutive sampling. Rerata umur pada penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang utama di negara maju maupun negara berkembang. Stroke mengakibatkan penderitaan pada penderitanya, beban sosial ekonomi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Skema 3.1 Kerangka Konsep. Keterangan : Variabel independen : Variabel dependen : Variabel perancu :

BAB III METODE PENELITIAN. Skema 3.1 Kerangka Konsep. Keterangan : Variabel independen : Variabel dependen : Variabel perancu : BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Skema 3.1 Kerangka Konsep Kelompok perlakuan : Mendapatkan Perawatan kulit: massage efflurage dengan VCO Kelompok kontrol : Mendapatkan Perawatan kulit: Pijat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kardiovaskuler merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot dan bekerja menyerupai otot polos, yaitu bekerja di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lansia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Dinkes, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lansia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Dinkes, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah lansia meningkat di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2% dari seluruh penduduk dengan usia harapan hidup 64,05 tahun. Tahun 2006

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia tersebut, tidak hanya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang utama 1.Masalah kesehatan yang timbul akibat stoke sangat

Lebih terperinci

R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK

R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK TINJAUAN KEPUSTAKAAN R. Siti Maryam Jurusan Keperawatan Prodi Keperawatan Persahabatan Jakarta ABSTRAK Dekubitus terjadi karena adanya tekanan beban tubuh pada daerah kulit yang bersentuhan dengan permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia modern di abad ke 21 ini, banyak kemajuan yang telah dicapai, baik pada bidang kedokteran, teknologi, sosial, budaya maupun ekonomi. Kemajuan-kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 65 orang responden pasca stroke iskemik

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 65 orang responden pasca stroke iskemik 74 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 65 orang responden pasca stroke iskemik dengan hipertensi terhadap retinopati hipertensi dan gangguan kognitif yang datang berobat ke poli penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejumlah prilaku seperti mengkonsumsi makanan-makanan siap saji yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejumlah prilaku seperti mengkonsumsi makanan-makanan siap saji yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang termasuk informasi, manusia modern semakin menemukan sebuah ketidak berjarakan yang membuat belahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59

BAB 1 PENDAHULUAN. urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke tertinggi di Asia. Jumlah

Lebih terperinci

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimen dengan jenis penelitian kuantitatif. Menggunakan desain penelitian observasional dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dimana penelitian dibatasi oleh waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Penyakit jantung koroner (CHD = coronary heart desease) atau penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan ancaman kesehatan. Penyakit

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SKALA BRADEN TERBUKTI EFEKTIF DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN LUKA TEKAN

PENGGUNAAN SKALA BRADEN TERBUKTI EFEKTIF DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN LUKA TEKAN Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 1, No., November, hal 95-1 pissn 1-449, eissn 54-9 PENGGUNAAN SKALA BRADEN TERBUKTI EFEKTIF DALAM MEMPREDIKSI KEJADIAN LUKA TEKAN Era Dorihi Kale 1*, Elly Nurachmah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, dan pankreas dapat menghentikan

BAB I PENDAHULUAN. untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, dan pankreas dapat menghentikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang ilmu bedah digestif, ilmu bedah onkologi, dan ilmu gizi 4.2 Tempat dan waktu Lokasi penelitian ini adalah ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll Manfaat Terapi Ozon Sebagai Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer untuk berbagai penyakit. Penyakit yang banyak diderita seperti diabetes, kanker, stroke, dll. Keterangan Rinci tentang manfaat

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. disebabkan proses degenerasi akibat bertambahnya usia. Faktor-faktor risiko

BAB 6 PEMBAHASAN. disebabkan proses degenerasi akibat bertambahnya usia. Faktor-faktor risiko BAB 6 PEMBAHASAN Presbikusis merupakan penyakit kurang pendengaran sensorineral yang disebabkan proses degenerasi akibat bertambahnya usia. Faktor-faktor risiko selain usia diduga dapat mempengaruhi terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan guna mencapai pemecahan masalah kesehatan untuk sehat bagi penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal,

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh darah arteri koroner dimana terdapat penebalan dalam dinding pembuluh darah disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit stroke. Menurut Muttaqin (2008), stroke merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. penyakit stroke. Menurut Muttaqin (2008), stroke merupakan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dekubitus merupakan luka yang timbul karena tekanan terutama pada bagian tulang-tulang yang menonjol akibat tirah baring yang lama di tempat tidur. Kasus dekubitus dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pembentukan perilaku baru yang dapat meningkatkan status kesehatan pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan ini merupakan salah satu faktor predisposisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter

BAB 1 PENDAHULUAN. Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang usia 65 tahun keatas (Potter &Perry, 2010). Sedangkan organisasi kesehatan dunia WHO 2012 dalam Nugroho (2012) menyatakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sectio Caesaria (SC), dimana SC didefinisikan sebagai proses lahirnya janin

BAB 1 PENDAHULUAN. Sectio Caesaria (SC), dimana SC didefinisikan sebagai proses lahirnya janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah Sectio Caesaria (SC), dimana SC didefinisikan sebagai proses lahirnya janin melalui insisi di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN TEORETIS BAB II TINJAUAN TEORETIS 2.1 Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke Stroke adalah berhentinya pasokan darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan gangguan pada fungsi otak (Smeltzer dan Bare, 2002). Kurangnya aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab kematian secara global. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensi semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita jumpai banyak orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh merokok

Lebih terperinci