BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Konsumen dan Perilaku Konsumtif Pengertian Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah perilaku yang ditunjukan dalam mencari, membeli, menggunakan, menilai, dan menentukan produk, jasa, dan gagasan (Schiffman & Kanuk, 2004), sedangkan menurut Mowen (1995) perilaku konsumen merupakan sebuah proses dan unit pengambilan keputusan yang terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan membuang barang, jasa, pengalaman, dan ide-ide. Menurut Loudon & Bitta (1984), perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik individu yang terlibat dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau membuang barang dan jasa. Berdasarkan dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku konsumen adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang ditunjukan berupa perilaku atau aktivitas fisik yang terlibat dalam mencari, membeli atau mendapatkan, menggunakan, menilai, dan membuang produk, jasa, dan gagasan Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Kotler & Armstrong (2004) menjelaskan proses bagaimana seseorang mengambil keputusan dalam pembelian suatu produk. Pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian diawali dengan Pengenalan Kebutuhan, yaitu adanya

2 kesadaran terhadap pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Setelah konsumen menyadari akan kebutuhan dan keinginannya, selanjutnya konsumen melakukan kegiatan Pencarian Informasi, sehubungan dengan produk yang diinginkannya. Pada tahap Pencarian Informasi ini, konsumen mengumpulkan informasi mengenai tersedianya berbagai alternatif yang memenuhi atau akan memenuhi kebutuhan dan keinginannya, semua informasi ini berhubungan dengan produk yang diinginkannya. Dari berbagai informasi yang diperoleh, konsumen menggunakannya untuk mengevaluasi alternatifalternatif yang ada dalam menentukan keputusan pembeliannya. Dalam tahap Evaluasi Alternatif ini, konsumen juga mempelajari merek-merek yang tersedia dan ciri-cirinya. Berdasarkan alternatif-alternatif yang ada, dan berbagai faktor, akhirnya konsumen memilih produk yang dibelinya, Proses ini disebut dengan Keputusan Pembelian, yang merupakan suatu tahap dimana konsumen benar-benar membeli produk. Setelah tahap Keputusan pembelian, proses Pengambilan Keputusan Konsumen tidak berhenti sampai disitu saja, adanya Tindakan Setelah Pembelian. Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen akan mempengaruhi perilaku konsumen berikutnya. Jika konsumen merasa puas maka ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli produk itu lagi. Sebaliknya apabila konsumen merasa tidak puas, maka konsumen akan memungkinkan melakukan tindakan membuang produk atau mengembalikan produk tersebut atau mereka mungkin berusaha untuk rnengurangi ketidakpuasan dengan mencari informasi yang dapat

3 memperkuat nilai produk tersebut. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, dapat disimpulkan proses keputusan pembelian terdapat lima tahap pada setiap pembelian (Kotler & Armstrong, 2004), yaitu Pengenalan Kebutuhan, Pencarian Informasi, Evaluasi Alternatif, Keputusan Pembelian dan Tindakan Setelah Pembelian Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat pribadi atau subyektif (misalnya saja status, harga diri, perasaan cinta dan lain sebagainya), tidak mempertimbangkan apakah barang atau jasa yang dibelinya sesuai dengan dirinya, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan kemampuannya, dan sesuai dengan standar atau kualitas yang diharapkannya. Hal inilah yang menyebabkan individu dapat berperilaku konsumtif. Pengertian perilaku konsumtif menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Lina & Rosyid, 1997) merupakan kecenderungan untuk melakukan konsumsi tiada batas, yang lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Hal tersebut mengandung arti adanya unsur sifat pemborosan dalam perilaku konsumtif. Lubis (dalam Lina & Rosyid, 1997) mengemukan bahwa perilaku konsumtif melekat pada individu bila membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa yang didasari pada keinginan (want) dan bukan pada kebutuhan (need). Menurut Fromm (1980) seseorang dapat dikatakan konsumtif jika ia memiliki barang lebih disebabkan oleh pertimbangan status, yang dimaksud adalah memiliki barang bukan untuk

4 memenuhi kebutuhannya tetapi karena barang tersebut menunjukan status pemiliknya. Fromm (1995) menyatakan bahwa keinginan masyarakat dalam era kehidupan yang modern untuk mengkonsumsi sesuatu tampaknya telah kehilangan hubungan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Hal itu terlihat bahwa perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tergolong berlebihan bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia tenggara (Soegito dalam Parma, 2007). Keadaan ini dilihat dari rendahnya tingkat tabungan masyarakat Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura (Soegito dalam Parma, 2007). Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting dengan berperilaku konsumtif yang menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan status dan gaya hidup (Soegito dalam Parma, 2007). Selain itu, masyarakat juga melihat pola perilaku konsumsi seseorang untuk membantu mereka membuat penilaian mengenai identitas sosial orang tersebut (Solomon, 2004). Pernyataan diatas diperjelas oleh Dennis dan Soron (2005) dalam jurnal Death by Consumption bahwa setengah dari orang yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi berdomisili di negara yang sedang berkembang, dimana akan diperkirakan negara yang memiliki tingkat populasi yang tinggi seperti Cina, India dan Indonesia akan memiliki tingkat konsumsi yang sangat tinggi kedepannya. Menurut Fromm (1955), perilaku mengkonsumsi produk secara berlebihan tersebut dapat berakibat Consumption Hungry. Consumption hungry adalah keinginan untuk mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan demi memenuhi rasa puas yang dapat membuat seseorang menjadi

5 konsumtif. Sedangkan, rasa puas pada manusia tidak bertahan pada satu titik saja, melainkan akan cenderung meningkat (Fromm, 1955). Sehingga orang tersebut akan memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa secara berlebihan dan terus menerus untuk memenuhi rasa puasnya. Berdasarkan dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku atau tindakan yang terlihat secara nyata dalam membeli, mendapatkan, menggunakan, dan menghabiskan barang dan jasa, tanpa batas dan lepas kendali, yang dalam proses tersebut lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Perilaku konsumtif ditandai dengan kehidupan mewah dan berlebihan. Bila dilihat dari pengertian perilaku konsumen adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang ditunjukan berupa perilaku atau aktivitas fisik yang terlibat dalam mencari, membeli, menggunakan, menilai, dan membuang produk, jasa, gagasan, sedangkan pengertian perilaku konsumtif adalah perilaku atau tindakan yang terlihat secara nyata dalam membeli, mendapatkan, menggunakan, dan menghabiskan barang dan jasa, tanpa batas dan lepas kendali, yang dalam proses tersebut lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Dari pengertian tersebut dapat dilihat perilaku konsumtif sebenarnya bagian dari perilaku konsumen, karena perilaku konsumtif merupakan bagian dari mengkonsumsi suatu produk dan jasa yang dilakukan oleh konsumen. Pada penelitian ini, perilaku konsumtif yang dimaksud adalah perilaku konsumtif pada produk fashion. Produk adalah apapun yang bisa ditawarkan ke sebuah pasar dan bisa memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan (Kotler, 2004). Dari sudut pandang pelanggan, produk hanya menarik jika produk tersebut menawarkan manfaat yang memenuhi

6 kebutuhan pelanggan (Lawn, 2004). Sedangkan fashion berkaitan dengan sesuatu yang baru (Evans, 1989) dan pengadopsi fashion (mode) sering menganggap hal tersebut sebagai cara baru untuk mengekspresikan diri mereka kepada orang lain. Fashion adalah representasi mengejar individualitas, agar diterima secara sosial (Sproles, 1985). Fashion juga merupakan salah satu cara individu untuk mempertahankan atau malah memperbaiki status sosial mereka (Hemphill & Suk, 2009). Berdasarkan prinsip ini, fashion merupakan hal yang di adopsi oleh kaum sosial elite yang bertujuan untuk membedakan diri mereka dari kelompok sosial menengah kebawah (Hemphill & Suk, 2009) Dimensi - dimensi Perilaku Konsumtif Berdasarkan dari pembahasan Erich Fromm (1995), perilaku konsumtif memiliki beberapa dimensi yaitu Pemenuhan Keinginan, Barang di Luar Jangkauan, Barang Tidak Produktif, dan Status. 1. Pemenuhan Keinginan Rasa puas pada manusia tidak berhenti pada satu titik saja melainkan cenderung meningkat. Oleh karena itu dalam pengkonsumsian suatu hal, manusia selalu ingin lebih, untuk memenuhi rasa puasnya, walaupun sebenarnya tidak ada kebutuhan akan barang tersebut. Sehingga individu tersebut akan memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa secara terus menerus untuk memenuhi rasa puasnya.

7 2. Barang di Luar Jangkauan Acquistion transitory having and using throwing away (or if posibble, profitable exchange for a better mode) new acquisition = consitutes the vicious. Jika manusia menjadi konsumtif, tindakan konsumsinya menjadi kompulsif dan tidak rasional. Individu tersebut selalu merasa belum lengkap dan mencari-cari kepuasan akhir dengan mendapatkan barang-barang baru. Individu tersebut tidak lagi mencari kebutuhan dirinya dan kegunaan barang itu bagi dirinya. 3. Barang Tidak Produktif Jika pengkonsumsian barang menjadi berlebihan maka kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas, sehingga mengakibatkan barang atau produk tersebut menjadi tidak produktif. 4. Status Perilaku individu bisa digolongkan sebagai konsumtif jika ia memiliki barang-barang lebih karena pertimbangan status. Manusia mendapatkan barang-barang untuk memilikinya. Tindakan konsumsi itu sendiri tidak lagi merupakan pengalaman yang berarti, manusiawi dan produktif karena hanya merupakan pengalaman pemuasan angan-angan untuk mencapai suatu status melalui barang atau kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya.

8 Faktor-faktor Perilaku Konsumtif Banyak hal yang mendasari seseorang mengkonsumsi atau membeli suatu produk. Faktor-faktor merupakan hal-hal yang mendasari seseorang untuk pada akhirnya mengkonsumsi suatu produk. Perilaku konsumtif, menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : 1. Kebudayaan, yaitu sebagai bentuk kreativitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang akan membentuk perilaku yang mengakar. Kebudayaan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku membeli, perilaku membeli dapat diramalkan dari nilai-nilai budaya yang dipegang konsumen. 2. Kelas Sosial, yaitu pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Tingkat seseorang dalam berinteraksi sosial akan mempengaruhi bentuk perilakunya. Kelas sosial menunjukkan bentuk-bentuk perilaku konsumsi yang berbeda. 3. Kelompok Referensi, yaitu kelompok yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Interaksi seseorang didalam kelompok sosial akan berpengaruh terhadap pendapat dan seleranya. Seseorang dipengaruhi oleh kelompok referensi melalui tiga cara (Kotler, 1994) ; Kelompok referensi menghadapkan seseorang pada perilaku dan gaya hidup baru. Mempengaruhi sikap dan gambaran diri seseorang karena secara normal orang ingin menyesuaikan diri. Menciptakan suasana untuk penyesuaian yang dapat mempengaruhi pilihan orang terhadap merek dan produk.

9 4. Situasi, yaitu berupa suasana hati dan kondisi seseorang akan mempengaruhi bentuk perilaku konsumsinya, termasuk kondisi keuangan atau pendapatan, waktu dan juga tempat membeli. 5. Keluarga, yaitu berbentuk keyakinan dan kebiasaan yang berfungsi langsung menetapkan keputusan perilaku untuk membeli atau menggunakan produk atau jasa tertentu. Keluarga sebagai bagian dari faktor eksternal mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku anggotanya. 6. Kepribadian, yaitu bentuk sifat-sifat yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi keputusan untuk berperilaku. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda yang akan mempengaruhi perilaku konsumsi (Kotler, 1994). 7. Konsep diri, yaitu persepsi dan perilaku seseorang untuk membeli dan menggunakan produk/jasa tertentu. Konsep diri seseorang juga berpengaruh terhadap perilaku konsumsi. Seseorang yang memandang dirinya secara negatif cenderung berperilaku konsumtif untuk menaikkan citra dirinya. 8. Motivasi, yaitu yang mendorong seseorang untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Menurut Foxall (dalam Pohan, 2001) motivasi pembelian dapat dibagi dalam beberapa kategori besar, yaitu Buying for Needs, Buying for Special Occasions or Situation, Buying for Saving or Investment, dan Buying for Fullfilling Psychological Needs. Perilaku konsumtif dapat dikatakan termasuk dalam Buying for

10 Fullfilling Psychological Need, dimana individu memutuskan untuk melakukan pembelian suatu produk dengan alasan semata-mata karena produk tersebut menggugah emosi invidu. Produk yang dibeli dapat memberikan suatu nilai atau rasa tertentu terhadap pembelinya. 9. Pengalaman belajar, yaitu tindakan pengamatan dan pelajaran dari stimulus berupa informasi untuk melakukan pembelian dan penggunaan. Sebelum seseorang membeli produk, seseorang akan mendasarkan pengamatannya terhadap produk tersebut. Jika produk tersebut sesuai maka seseorang tidak akan segan membelinya. Pembelian yang dilakukan konsumen juga merupakan suatu rangkaian proses belajar. 10. Gaya hidup, yaitu pola rutinitas kehidupan dan aktivitas seseorang dalam menggunakan waktu dan uang. Gaya hidup juga merupakan pola hidup seseorang yang diekspresikannya dalam aktivitas, minat, dan opini, yang menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya (Abdurachman, 2004) 2.2. Remaja Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 2004). Definisi remaja menurut Hurlock (2004), masa remaja merupakan suatu periode transisi dimana seseorang berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock, 2004) mempunyai

11 arti yang lebih luas, dimana remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut Sarwono (2006), untuk profil remaja Indonesia sebenarnya tidak ada yang seragam dan berlaku secara nasional karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan tingkatan sosialekonomi maupun pendidikan. Menurut Papalia, Olds & Feldman (2001), mengenai batasan rentang usia pada remaja, transisi perkembangan pada remaja berlangsung antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Hal itu diperjelas oleh Monks (2000), dimana remaja merupakan individu yang berusia antara 12 hingga 21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12 hingga 15 tahun pada masa remaja awal, 15 hingga 18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 hingga 21 tahun untuk masa remaja akhir. Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa Hurlock (2004). Pada penelitian ini pemfokusan kepada remaja awal dan akhir terkait dengan sampel penelitian ini, yaitu anak SMA dengan kisaran usia berumur tahun. Namun ketersediaan sampel pada SMA IIBS hanya pada remaja berumur tahun yang duduk di SMA kelas 1 dan Aspek-aspek Perkembangan Pada Masa Remaja Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa

12 kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspekaspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial. 1. Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Perkembangan fisik pada remaja mencakup perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. 2. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir astrak. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan

13 sesuatu yang diinginkan di masa depan dan membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Remaja juga sudah dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya. 3. Perkembangan kepribadian dan sosial Tahap perkembangan kepribadian dan sosial meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger dalam Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya cukup besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Pada kehidupan sosial, remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa Perilaku Konsumtif Remaja Dalam kehidupan nyata, fashion sangat diminati oleh banyak pihak, salah satunya remaja. Sebagian dari mereka menganggap fashion hal yang harus sangat diperhatikan (Hemphill & Suk, 2009). Fashion

14 menjadi alasan terbesar bagi individu, termasuk golongan remaja dalam menghabiskan uang mereka, konsumsi dalam bidang fashion (Hemphill & Suk, 2009). Hal itu dapat terjadi, karena menurut Tambunan (2001) kelompok usia remaja biasanya memiliki karakteristik khas seperti mudah terbujuk iklan dan rayuan penjual, suka ikut-ikutan teman, mudah tertarik pada mode atau fashion, tidak realistis, tidak hemat atau cenderung boros dalam menggunakan uangnya, dan impulsif. Perilaku konsumtif pada umumnya terjadi pada remaja, yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001). Tambunan (2001) menjelaskan, bagi produsen kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Misalnya bagi para pelaku industri mode, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial untuk produk-produk seperti pakaian sepatu, dan bermacam-macam aksesoris (Stanton dalam Brahim, 2009). Alasannya karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja (Loundon & Bitta, 1993). Meskipun sebagian besar dari remaja tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan dan masih bersekolah, namun para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tua mereka (Loudon & Bitta, 1993). Konsumen remaja, yang mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, bergaya rambut, berdandan menggunakan kosmetik, dan lain-lainnya. Remaja ingin selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya, sehingga remaja kebanyakan membelanjakan uangnya untuk keperluan tersebut (Monks,

15 Knoers & Haditono, 1991). Lucher (dalam Marpaung, 2005) berpendapat bahwa remaja sering berkorban demi segi kepuasaan terutama dalam mengikuti mode, karena apa yang dianggap pantas oleh remaja adalah apa yang telah menjadi mode saat ini, sekalipun harus mengeluarkan uang secara berlebih untuk memenuhi keperluannya. Bagi berkebanyakan remaja bergaya hidup konsumtif merupakan cara paling cepat untuk dapat ikut masuk dalam kehidupan kelompok sosial yang diinginkan (Ashadi dalam Brahim, 2009). Hal itulah yang menyebabkan remaja kemudian berperilaku konsumtif dengan berusaha untuk mengikuti fashion atau mode. Misalnya saja perilaku konsumtif pada remaja putri, remaja putri cenderung menyesuaikan warna pakaian dengan warna sepatu, tas, dan aksesoris lainnya yang dipakainya (Park & Burns dalam Brahim, 2009). Bila mereka memakai barang-barang tersebut dengan warna yang tidak sesuai akan mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri, yang pada akhirnya mereka menjadi konsumtif hanya karena kepentingan kesesuaian warna. Masa remaja adalah masa dimana seseorang mencari informasiinformasi dari luar untuk membentuk identitas diri mereka (Ascbach et.al dalam Brahim, 2009). Remaja mencoba untuk mencari jati diri mereka yang sesungguhnya, oleh karena itu mereka cenderung tertarik untuk mencoba hal-hal baru yang menarik bagi mereka. Salah satunya adalah, mereka mengikuti trend fashion. Sedangkan fashion berkaitan dengan sesuatu yang baru (Evans,1989). Akibat dari perilaku-perilaku yang selalu mengikuti trend fashion, dan tuntutan sosial cenderung menimbulkan pola konsumsi yang berlebihan. Sedangkan perkembangan Fashion selalu berubah, suatu

16 gaya yang sudah dibilang fashionable, akan digantikan lagi oleh gaya lain yang lebih fashionable, yang kemudian akan menjadi trend, dan akan selalu seperti itu, perkembangan fashion akan selalu berjalan (Hemphill & Suk, 2009). Hal tersebut akan terus menuntut rasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga muncul lah perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif muncul karena para remaja cenderung membeli produk fashion yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan secara berlebihan dan tidak wajar (Fromm, 1995). Perilaku konsumtif bersifat emosional karena semata-mata hanya bertujuan untuk mencapai kepuasan diri Boarding School Pengertian Boarding School Pengertian dari boarding school adalah sekolah khusus yang pelajarnya akan diberikan rumah tinggal dan juga makanan sebagaimana diberikan pelajaran tentunya. Boarding school tidak lain adalah sistem sekolah dengan asrama, peserta didik tinggal dalam lingkungan sekolah dalam waktu tertentu (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Sosiologi Amerika Cokson dan Hognes (dalam Steven, 1980) menyatakan dua elemen penting dari boarding school, yakni: 1. Sekolah secara luas teroganisasi dihuni oleh pelajar dan berbagai pihak yang bertugas untuk bekerja sama dalam usaha mencapai prestasi, kebutuhan fisik dan social well being dari mereka sendiri. 2. Baik bangunan dan suasana dari institusi ini memiliki kualitas estetika tersendiri yang menunjukan agama, budaya, dan nilai etis dari institusi tersebut. Lebih lanjut lagi Lambert (dalam White, 2004) menyatakan

17 boarding school mempunyai empat point, yakni: 1. Tempat berpindahnya baik fisik, mental dan keahlian sosial. 2. Tempat pelajar diajari tentang nilai yang pantas dalam bertingkah laku, kepercayaan, rasa dan ekspresi, agama, moral dan kesadaran akan budaya dan ketertarikan intelektualitas. 3. Tempat reputasi dan kehormatan sekolah tersebut sangatlah diperhatikan. 4. Boarding school mengitergrasikan pribadi-pribadi kedalam kelompok sosial tertentu sesuai dengan tujuan kelompok sosial. Menurut Tizard, Sinclair dan Clarke, Boarding school juga disebut sebagai sekolah yang lengkap dengan kehidupan pelajarnya di dalamnya, terdiri dari beberapa unit dan mempunyai aktivitas dan kurikulum berbeda yang meliputi hampir keseluruhan maupun bagian dari kehidupan pelajar didalamnya (dalam Kahane, 1988). Selain itu, dalam kegiatan ekstrakulikuler, pihak berwenang dari sekolah juga memaksakan aturan untuk menciptakan keseragaman (conformity). Hal tersebut juga terlihat dalam aktivitas keseharian lainnya seperti olahraga, musik, kesenian dan kegiatan di luar lainnya (excursion) yang cenderung membangkitkan inovasi dan kebebasan (Kahane, 1988). Perbedaan boarding school dengan sekolah umum lainnya adalah kelas di boarding school cenderung sedikit dengan jumlah siswa-siswi yang tidak banyak seperti kelas sekolah umum. Hal ini dilakukan agar para guru bisa melakukan pendekatan ke para siswa-siswi (Gaztambide- Fernández, Rubén, 2009). Di boarding school bisa mengeluarkan siswasiswi dari kelas apabila siswa tersebut tidak terlihat minat dalam berpartisipasi dikelas untuk belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén,

18 2009). Di boarding school kegiatan seperti olahraga atau kesenian tidak temasuk dalam kegiatan ektrakulikuler, mereka mencakup semua aspek belajar (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009) Jenis-jenis Boarding School Terdapat beberapa jenis boarding school, namun tidak semua jenis boarding school terdapat di Indonesia. Berikut adalah jenis-jenis boarding school menurut Hays (1994) : 1. Sekolah dengan pelajar berjenis kelamin sama (contohnya ST. Margaret s School for Girls, Victoria). 2. Sekolah militer, di Indonesia contohnya SMU Taruna Nusantara, Magelang. 3. Sekolah Pra-Profesional seni, melatih pelajar menjadi seniman di berbagai bidang seperti musik, akting, teater, ballet, dan penulis. Namun, di Indonesia belum ditemukan sekolah dengan jenis ini. 4. Sekolah berdasarkan agama, di Indonesia sekolah seperti ini merupakan jenis boarding school yang paling banyak. 5. Sekolah berkebutuhan khusus seperti para remaja bermasalah, autis. 6. Sekolah junior yang menyediakan Boarding school di bawah tahap SMU Siswa-siswi Boarding School Perasaan diabaikan, kurang diperhatikan, atau tidak hadirnya figur orang tua sebagai identifikasi bagi siswa-siswi yang tinggal di asrama. Hal tersebut dapat dikurangi dengan kesempatan untuk memperoleh bimbingan, pengarahan, informasi serta pengalaman-pengalaman yang bermanfaat terutama dari pembina asrama (Surya dalam Saomah, 2006).

19 Namun, sebenarnya menurut TABS (The Association of Boarding Schools) 86% siswa-siswi boarding school merasa sangat puas atau cukup puas dengan kehidupan keluarga mereka. Banyak siswa-siswi yang bersekolah di boarding school karena mereka memiliki kehidupan rumah yang sehat, yang mendorong mereka untuk mengejar impian mereka melalui pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi. Penjelasan mengenai boarding school pada What is a Boarding School? (Kennedy, 2012), bahwa siswa-siswi benar-benar tinggal di boarding school, saat di asrama mereka diawasi oleh anggota staf atau pembina asrama selama 24 jam, pelajar boarding school menghabiskan hampir seluruh kegiatan kesehariannya dalam lingkungan sekolah ataupun asrama. Kehidupan di asrama menuntut siswa-siswi untuk mentaati dan menegakkan aturan-aturan yang berlaku serta tata tertib yang tertulis di asrama. Pembina asrama memberikan pembinaan (misalnya pada kegiatan-kegiatan belajar dan mengaji), bimbingan (misalnya dengan pemberian orientasi dan informasi seputar kehidupan asrama dan sekolah) termasuk di dalamnya melatih siswa-siswi melakukan segala sesuatunya sendiri (misalnya membereskan tempat tidur sendiri dan lain-lain) (Saomah, 2006). Meskipun pada awalnya bentuk kepatuhan itu karena dikontrol oleh pembina asrama namun seiring dengan lamanya waktu tinggal di asrama serta kematangan remaja itu sendiri, proses kepatuhan itu berkembang menjadi sesuatu yang diputuskan dan dikontrol oleh diri sendiri (Saomah, 2006). Sebagai aturan, siswa-siswi boarding school mengikuti hari yang sangat terstruktur di mana kelas, makan, belajar, kegiatan dan waktu luang

20 yang telah ditentukan untuk mereka. Home Stay adalah komponen yang unik dari pengalaman boarding school. Menurut What is a Boarding School? (Kennedy, 2012) berada jauh dari rumah dan belajar untuk mengatasi memberikan rasa percaya diri anak dan kemerdekaan. Boarding school dapat membentuk karakter anak dengan peraturan yang ketat siswa-siswi diajarkan mandiri, bisa mengurus dirinya sendiri. Meskipun boarding school terisolasi dari dunia luar, anak diajarkan untuk bertahan (Lucher dalam Marpaung, 2005). Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup pada hari libur (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan tersebut berlangsung dari pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Hampir setiap hari kegiatan mereka selalu dilingkupi oleh dinamika kehidupan yang serba sama karena sesuai dengan jadwal kegiatan yang diberikan oleh pihak lembaga pendidikan tersebut (Majalah Keluarga Muzzaki, 2012). Berdasarkan penelitian yang TABS lakukan mengenai kehidupan anak-anak yang pernah bersekolah di boarding school, 59% siswa-siswi boarding school menggambarkan sekolah mereka memiliki siswa-siswi dari berbagai ras dan kelompok etnis. Beragamnya latar belakang etnik warga asrama juga menuntut siswa-siswi untuk mampu bersikap toleran terhadap sesama temannya (Saomah, 2006). Mereka berasal dari keluarga dan bahkan daerah yang berbeda sehingga hampir dapat dipastikan pola perilaku mereka juga beraneka ragam (Saomah, 2006).

21 Dikemukakan oleh Mohammad Surya (dalam Saomah, 2006) bahwa siswa-siswi yang tinggal di asrama dituntut untuk mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya yang baru, dengan teman yang baru, kebiasaan hidup, pengelolaan diri, serta tuntutan sosial yang semuanya baru. Siswa-siswi berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa-siswi terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas. Munculnya beberapa mitos mengenai boarding school, yang salah satunya bahwa siswa-siswi yang pernah bersekolah di boarding school merupakan anak-anak yang bermasalah, namun kenyataannya berdasarkan penelitian yang TABS lakukan 60% responden menentukan masuk sekolah boarding school karena keinginannya untuk memiliki kesempatan lebih baik pendidikan. Selain itu, 95% siswa-siswi boarding school mengatakan bahwa kehidupan sosial mereka tidak berhubungan dengan obat dan alkohol, dibandingkan dengan 82% dari siswa-siswi sekolah umum. Boarding school menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan siswa. Lengkapnya fasilitas yang ada untuk menyalurkan bakat dan hobi siswa-siswi. Siswa-siswi di boarding school memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kepentingan, mengambil bidang yang diminati, dan menunjukkan bakat mereka (Gaztambide-Fernández, Rubén, 2009). Ini adalah salah satu yang dijanjikan oleh boarding school untuk menarik perhatian para siswa-siswi untuk masuk ke sekolah ini.

22 2.4. Kerangka Berfikir Manusia sering kali dihadapkan pada persoalan untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahan kehidupannya (Fromm, 1955). Oleh karena itu, manusia harus melengkapi kebutuhannya tersebut. Namun seiring berkembangnya jaman, manusia tidak lagi berpusat hanya pada pemenuhan kebutuhannya, tetapi juga untuk memenuhi keinginan-keinginannya (Fromm, 1955). Fromm (1995) menyatakan bahwa keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi sesuatu produk telah tidak mempedulikan kebutuhan yang sesungguhnya. Masyarakat modern memiliki keinginan untuk membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa yang modern agar tidak ketinggalan jaman. Tuntutan dan tindakan seperti inilah yang merupakan perillaku konsumtif yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek yang ada di sekelilingnya (Engel, dkk, 1994). Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan daya beli masyarakat. Menurut Tambunan (2001), pada umumnya perilaku konsumtif terjadi pada remaja, yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif, karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja (Loundon & Bitta, 1993). Remaja merupakan salah satu contoh yang paling mudah terpengaruh gaya hidup konsumtif (Loudon & Bitta, 1993). Meskipun sebagian besar dari remaja tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan dan masih bersekolah, namun para pemasar tahu bahwa sebenarnya pendapatan mereka tidak terbatas, dalam arti bisa meminta uang kapan saja pada orang tua mereka (Loudon & Bitta, 1994). Selain itu remaja merupakan tipe konsumen yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk iklan, tidak berfikir hemat, kurang realistis, dan impulsif (Johnstone dalam Brahim, 2009).

23 Pada perkembangan sosial masa remaja, mereka lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, dalam Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian pada masa remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Salah satu lingkungan sosial remaja, adalah lingkungan sekolah. Pada penelitian sebelumnya mengenai perilaku konsumtif pada remaja, sampel berasal dari sekolah-sekolah umum, dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan dimana adanya kecenderungan perilaku konsumtif yang cukup besar. Namun, pada sekolah berjenis boarding school, pelajar menghabiskan hampir seluruh kegiatan kesehariannya dalam lingkungan sekolah maupun asrama (Honris, dalam Gaztambide-Fernández dan Rubén, 2009). Meskipun sekolah berasrama yang identik dengan kondisi yang terisolasi dari dunia luar dan memiliki akses kedunia luar yang lebih sedikit, namun tidak menjamin bahwa siswa-siswi akan menjadi individu yang tidak konsumtif. Pemilihan remaja SMA boarding school dikarenakan peneliti memiliki asumsi, bahwa siswa-siswi asrama memiliki kemungkinan pandangan yang berbeda karena beberapa hal, seperti jauh dari orang tua, memiliki akses ke dunia luar yang lebih sedikit, dan lain sebagainya. Salah satu sekolah yang menyediakan model pendidikan boarding school adalah SMA International Islamic Boarding School Republic of Indonesia atau dikenal dengan SMA IIBS. Pemilihan SMA IIBS berdasarkan atas SMA boarding school yang menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kurikulum nasional, disamping pendidikan lainnya sesuai dengan karakteristik yang akan SMA IIBS ingin capai, serta memiliki standar internasional. SMA IIBS juga memiliki siswa-siswi dengan keberagaman suku dan berasal dari berbagai daerah (Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra bahkan Jayapura), dan berada di kelas ekonomi menengah ke atas, sehingga di asumsikan memiliki kecenderungan berperilaku konsumtif.

24

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi pada saat individu beranjak dari masa anak-anak menuju perkembangan ke masa dewasa, sehingga remaja merupakan masa peralihan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan kepribadian seseorang maka remaja mempunyai arti yang khusus. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. elektronik, seperti televisi, internet dan alat-alat komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. elektronik, seperti televisi, internet dan alat-alat komunikasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi saat ini telah merambah cepat ke seluruh pelosok dunia, tak terkecuali Indonesia yang merupakan negara berkembang. Perkembangan teknologi yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang sering dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selama hidup, manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada mulanya belanja merupakan suatu konsep yang menunjukan sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-hari dengan cara menukarkan sejumlah uang untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescene

BAB I PENDAHULUAN. bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescene 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswi merupakan bagian dari masa remaja. Remaja yang di dalam bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescene (kata bendanya, adolescentia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam alat teknologi seperti televisi, koran, majalah, dan telepon.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam alat teknologi seperti televisi, koran, majalah, dan telepon. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Dalam interaksi, dibutuhkan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Pada kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman saat ini telah banyak mempengaruhi seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman saat ini telah banyak mempengaruhi seseorang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman saat ini telah banyak mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, khususnya dalam perilaku membeli. Perilaku konsumtif merupakan suatu fenomena

Lebih terperinci

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI ASESMEN DAN MODIFIKASI PERILAKU PADA KELOMPOK REMAJA KONSUMTIF DI SEKOLAH MENENGAH ATAS DENPASAR OLEH: Ni Made Ari Wilani, S.Psi, M.Psi. PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Aktivitas berbelanja merupakan suatu aktivitas yang awam atau umum dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak dan dewasa adalah fase pencarian identitas diri bagi remaja. Pada fase ini, remaja mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembelian suatu produk baik itu pakaian, barang elektronik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembelian suatu produk baik itu pakaian, barang elektronik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelian suatu produk baik itu pakaian, barang elektronik dan lain sebagainya semakin mudah dilakukan pada era globalisasi sekarang ini. Perkembangan teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seluruh dunia. Dampak yang terjadi sangatlah besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di semua lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada perilaku konsumennya (Tjiptono, 2002). konsumen ada dua hal yaitu faktor internal dan eksternal.

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada perilaku konsumennya (Tjiptono, 2002). konsumen ada dua hal yaitu faktor internal dan eksternal. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan produk saat ini merupakan sebuah dampak dari semakin banyak dan kompleksnya kebutuhan manusia. Dengan dasar tersebut, maka setiap perusahaan harus memahami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja pada umumnya memang senang mengikuti perkembangan trend agar tidak ketinggalan jaman. Seperti yang dikutip dari sebuah berita alasan remaja menyukai belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia tahun dengan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia tahun dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia 12-21 tahun dengan pembagian menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja tengah 15-18 tahun,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.Pengertian Perilaku Konsumtif A.Perilaku Konsumtif Konsumtif merupakan istilah yang biasanya dipergunakan pada permasalahan, berkaitan dengan perilaku konsumen dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya zaman telah menunjukkan kemajuan yang tinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Selain menunjukkan kemajuan juga memunculkan gaya hidup baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik itu secara biologis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Konsumen Motivasi berasal dari kata latin mavere yang berarti dorongan/daya penggerak. Yang berarti adalah kekuatan penggerak dalam diri konsumen yang memaksa bertindak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Membeli 1. Pengertian Perilaku Membeli Perilaku adalah semua respon (reaksi, tanggapan, jawaban; balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme (Chaplin, 1999). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mendapatkan dan menggunakan barang dan jasa termasuk didalamnya

BAB II LANDASAN TEORI. mendapatkan dan menggunakan barang dan jasa termasuk didalamnya BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Swastha dan Handoko (1987) perilaku konsumen merupakan kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI akhir. Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai harga diri, perilaku konsumtif, dan remaja 2.1 Harga Diri 2.1.1 Definisi Harga Diri Menurut Coopersmith (dalam Pohan, 2006) harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi merupakan era yang tengah berkembang dengan pesat pada zaman ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Definisi Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif adalah sebagai bagian dari aktivitas atau kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif dan Remaja Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif dan Remaja Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif dan Remaja 2.1.1. Pengertian Kecenderungan Perilaku Konsumtif Budaya Konsumtif merupakan fenomena yang kerap terjadi. Hal ini terjadi

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. akademis dengan belajar, yang berguna bagi nusa dan bangsa di masa depan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. akademis dengan belajar, yang berguna bagi nusa dan bangsa di masa depan 1 BAB I A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa di masa depan yang diharapkan dapat memenuhi kewajiban dalam menyelesaikan pendidikan akademis dengan belajar, yang berguna bagi

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Kuesioner Field Study

Lampiran 1 : Kuesioner Field Study Lampiran 1 : Kuesioner Field Study KUESIONER GAMBARAN PERILAKU KONSUMTIF Siswa-i Sekolah Menengah Atas International Islamic Boarding School Republic of Indonesia (SMA IIBS RI) Kepada Responden yang terhormat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan yang semakin ketat, perubahan lingkungan yang cepat, dan kemajuan teknologi yang pesat mendorong pelaku usaha untuk selalu melakukan perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar konsumen yang memberi pengaruh pada pergerakan konsumsi adalah konsumen akhir yang biasanya merupakan konsumen individu (Engel et al. 1995). Setiap konsumen individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. up, dan lainnya. Selain model dan warna yang menarik, harga produk fashion

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. up, dan lainnya. Selain model dan warna yang menarik, harga produk fashion BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Produk produk fashion pada masa sekarang ini memiliki banyak model dan menarik perhatian para pembeli. Mulai dari jenis pakaian, tas, sepatu, alat make up, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan peranan media. Media massa dianggap penting karena berfungsi sebagai pemberi informasi dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja pun kehidupan untuk berkumpul bersama teman-teman tidak lepas

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja pun kehidupan untuk berkumpul bersama teman-teman tidak lepas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dilahirkan, individu sudah memiliki naluri bawaan untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Gejala yang wajar apabila individu selalu mencari kawan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin cepat ini, mempercepat pula perkembangan informasi di era global ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dapat begitu mudahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat

BAB I PENDAHULUAN. Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat perbelanjaan baru sehingga masyarakat Bandung memiliki banyak pilihan tempat untuk membeli barang-barang

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG

2015 HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWI TINGKAT AWAL DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religiusitas adalah suatu keadaan yang mendorong diri seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama yang dipeluknya. Religiusitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk BAB II LANDASAN TEORI A. Proses Pengambilan Keputusan Membeli Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk melakukan pemilihan produk atau jasa. Evaluasi dan pemilihan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN STUDI KASUS

PENDAHULUAN STUDI KASUS PENDAHULUAN STUDI KASUS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA DI DENPASAR OLEH: Ni Made Ari Wilani, S.Psi, M.Psi. PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin banyak remaja yang mengalami perubahan khususnya dalam segi penampilan dan hal ini mendorong remaja untuk terus memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan kehadiran manusia lain di sekelilingnya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan kehadiran manusia lain di sekelilingnya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia membutuhkan kehadiran manusia lain di sekelilingnya untuk menunjukkan pertumbuhan, perkembangan, dan eksistensi kepribadiannya. Obyek sosial ataupun persepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah china, India, dan Amerika Serikat. Saat ini Indonesia menempati posisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial Gillin dalam (Sunarto, 2004:21) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia dalam kehidupannya tidak dapat terlepas dari kegiatan konsumsi. Pada era yang semakin modern ini, pola konsumsi masyarakat mengalami perubahan yang cenderung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia dalam masyarakat (Kamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Strategi pemasaran merupakan sebagian dari strategi bisnis yang diupayakan setiap perusahaan untuk meningkatkan laba demi menaikkan nilai perusahaan. Strategi pemasaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era-modernisasi negara Indonesia pada saat ini sudah mencapai tahap pemikiran yang sangat modern. Pada konteks sejarah manusia, tercatat beberapa kali telah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang akan dipasarkan. Dalam era teknologi informasi, keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang akan dipasarkan. Dalam era teknologi informasi, keberhasilan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring berkembangnya zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi, perusahaan dituntut untuk melakukan inovasi dan kreativitas terhadap produk yang akan dipasarkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada dasarnya semua orang yang hidup di dunia ini memiliki kebutuhan untuk membuatnya bertahan hidup. Kebutuhan tersebut dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Konsumtif. produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Konsumtif. produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pulau Jawa merupakan kepulauan yang berkembang dengan pesat, khususnya kota Jakarta. Berdasarkan Undang-Undang no.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pulau Jawa merupakan kepulauan yang berkembang dengan pesat, khususnya kota Jakarta. Berdasarkan Undang-Undang no. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Jawa merupakan kepulauan yang berkembang dengan pesat, khususnya kota Jakarta. Berdasarkan Undang-Undang no.10, tahun 1964, Jakarta dinyatakan sebagai Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa untuk menarik simpatik masyarakat. Banyaknya usaha-usaha

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa untuk menarik simpatik masyarakat. Banyaknya usaha-usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era globalisasi banyak faktor yang mempengaruhi kegiatan perekonomian termasuk dalam bidang pemasaran. Bentuk kegiatan yang dilakukan di dalam bidang apa pun, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini sangat mudah sekali mencari barang-barang yang diinginkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini sangat mudah sekali mencari barang-barang yang diinginkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan pokok atau primer maupun kebutuhan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pengertian Konsumsi dan Konsumen Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie. Pengertian konsumsi secara tersirat dikemukakan oleh Holbrook

Lebih terperinci

PERILAKU KONSUMEN. By Eka DJ Ginting

PERILAKU KONSUMEN. By Eka DJ Ginting PERILAKU KONSUMEN By Eka DJ Ginting Pengertian Bagaimana konsumen membuat keputusan-keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan serta mengatur pembelian barang dan jasa (Hiam, A & Scewe, C.D,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adil atau tidak adil, mengungkap perasaan dan sentimen-sentimen kolektif

I. PENDAHULUAN. adil atau tidak adil, mengungkap perasaan dan sentimen-sentimen kolektif I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial, selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut berupa: 1) Kebutuhan utama, menyangkut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemasaran Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan penjelasan. Dalam banyak perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja sering mengalami kegoncangan dan emosinya menjadi tidak stabil

BAB I PENDAHULUAN. remaja sering mengalami kegoncangan dan emosinya menjadi tidak stabil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, karena masa ini adalah periode terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pola hidup mengacu pada cara-cara bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan

I. PENDAHULUAN. Pola hidup mengacu pada cara-cara bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola hidup mengacu pada cara-cara bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan wajar. Di era globalisasi ini banyak orang yang kurang memperdulikan bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS. Dalam telaah teoritis, dibahas landasan teori dan penelitian terdahulu

BAB II TELAAH TEORITIS. Dalam telaah teoritis, dibahas landasan teori dan penelitian terdahulu BAB II TELAAH TEORITIS Dalam telaah teoritis, dibahas landasan teori dan penelitian terdahulu sebagai acuan dasar teori dan analisis. Dalam bab ini dikemukakan konsepkonsep tentang citra merek, gaya hidup,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini, akan dijelaskan beberapa hal mengenai definisi kontrol diri, aspek kontrol diri, faktor yang mempengaruhi kontrol diri, definisi perilaku konsumtif, faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Hedonis 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia dalam masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Globalisasi tersebut membuat berbagai perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rosandi (2004) membagi masa remaja menjadi beberapa tahap yaitu: a. Remaja awal (early adolescent) pada usia 11-14 tahun. Remaja awal biasanya berada pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang dengan orang lain, yang berfungsi dalam interaksi dengan cara-cara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang dengan orang lain, yang berfungsi dalam interaksi dengan cara-cara yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gaya hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain, yang berfungsi dalam interaksi dengan cara-cara yang mungkin tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengganti barang tersebut. Akan tetapi, pada saat ini konsep belanja itu sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengganti barang tersebut. Akan tetapi, pada saat ini konsep belanja itu sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep belanja ialah suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan untuk sehari-hari dengan jalan menukarkankan sejumlah uang sebagai pengganti barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku membeli pada masyarakat termasuk remaja putri. Saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku membeli pada masyarakat termasuk remaja putri. Saat ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Arus globalisasi yang terus berkembang memberikan perubahan pada perilaku membeli pada masyarakat termasuk remaja putri. Saat ini, masyarakat seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia saat ini semakin komplek untuk dipenuhi. Sepatu atau tas merupakan salah satu kebutuhan manusia. Pentingnya sepatu dan tas bagi wanita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dicermati dengan semakin banyaknya tempat-tempat per-belanjaan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat dicermati dengan semakin banyaknya tempat-tempat per-belanjaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya Pembangunan Nasional Indonesia diiringi dengan tingkat kompleksitas masyarakat yang lebih tinggi. Adanya kemajuan ini secara nyata menyebabkan hasrat konsumtif

Lebih terperinci

BAB I PEMBUKAAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan globalisasi memberi pengaruh pada masyarakat Indonesia, salah satu

BAB I PEMBUKAAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan globalisasi memberi pengaruh pada masyarakat Indonesia, salah satu BAB I PEMBUKAAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi memberi pengaruh pada masyarakat Indonesia, salah satu pengaruh terlihat dari perubahan perilaku membeli pada masyarakat.parma (2007)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan perilaku konsumsi, konsumen harus mampu untuk mengambil keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin besarnya kebutuhan akan tenaga kerja profesional di bidangnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota

BAB II LANDASAN TEORI. (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota BAB II LANDASAN TEORI II. A. Pria Metroseksual II. A. 1. Pengertian Pria Metroseksual Definisi metroseksual pertama kalinya dikemukakan oleh Mark Simpson (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumen 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumen Menurut American Marketing Association (Peter dan Olson, 2013:6), perilaku konsumen sebagai dinamika interaksi antara pengaruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perilaku konsumen merupakan sebuah fenomena yang unik untuk dipelajari dan diamati. Perilaku Konsumen disini lebih mengacu pada proses yang dilalui oleh seseorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan menurut tuntutan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola asuh 2.1.1 Definisi pola asuh Dalam keluarga terdapat pola pengasuhan anak, Wahyuning,et al.( (2005) mendefinisikan pola asuh sebagai cara atau perlakuan orang tua yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. harus dihadapi dengan kesiapan yang matang dari berbagai faktor-faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. harus dihadapi dengan kesiapan yang matang dari berbagai faktor-faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi, perdagangan bebas menjadi suatu fenomena yang harus dihadapi dengan kesiapan yang matang dari berbagai faktor-faktor prooduksi yang dimiliki perusahaan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Harga Diri 2.1.1 Pengertian Harga Diri Santrock (2007) berpendapat harga diri digunakan untuk menjelaskan penilaian positif seseorang untuk dirinya, evaluasi global seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikir, selera, keinginan dan kebutuhan konsumen. konsumennya dimana salah satu wujudnya adalah melalui periklanan.

BAB I PENDAHULUAN. pikir, selera, keinginan dan kebutuhan konsumen. konsumennya dimana salah satu wujudnya adalah melalui periklanan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan lingkungan senantiasa terjadi terus menerus dalam proses perkembangan suatu negara yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun elektronik, maka telah menciptakan suatu gaya hidup bagi masyarakat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. maupun elektronik, maka telah menciptakan suatu gaya hidup bagi masyarakat. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah realita kehidupan pada era globalisasi seperti sekarang ini masih terbilang cukup unik. Karena dengan menawarkan begitu banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemasaran Banyak ahli yang telah memberikan definisi atas pemasaran. Pemasaran yang diberikan sering berbeda antara ahliyang satu dengan ahli yang lain. Perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling disukai adalah kegiatan berbelanja produk fashion. Produk

BAB I PENDAHULUAN. yang paling disukai adalah kegiatan berbelanja produk fashion. Produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbelanja adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk membeli atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi kaum wanita, kegiatan belanja yang paling disukai adalah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perubahan dalam gaya hidup. Kehidupan yang semakin modern menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perubahan dalam gaya hidup. Kehidupan yang semakin modern menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman dan teknologi membuat individu selalu mengalami perubahan dalam gaya hidup. Kehidupan yang semakin modern menjadikan individu berada dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. teknologi menyebabkan meningkatnya jumlah barang atau produk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. teknologi menyebabkan meningkatnya jumlah barang atau produk yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang semakin berkembang disertai dengan kemajuan teknologi menyebabkan meningkatnya jumlah barang atau produk yang ditawarkan di pasaran. Produk

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. teknologi, dan perubahan gaya hidup manusia modern, maka jenis dan tingkat

LANDASAN TEORI. teknologi, dan perubahan gaya hidup manusia modern, maka jenis dan tingkat II. LANDASAN TEORI 2.1 Arti dan Pentingnya Pemasaran Kegiatan pemasaran adalah kegiatan penawaran suatu produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok perusahaan dalam usahanya. mempertukarkan sesuatu yang bernilai satu sama lain.

II. LANDASAN TEORI. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok perusahaan dalam usahanya. mempertukarkan sesuatu yang bernilai satu sama lain. II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok perusahaan dalam usahanya mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang dan mendapatkan laba perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi mendalam suatu produk. Barang menurut Fandy (dalam Latif,

BAB I PENDAHULUAN. informasi mendalam suatu produk. Barang menurut Fandy (dalam Latif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di masa dimana perkembangan teknologi semakin maju ini, masyarakat aktif dalam mencari informasi mengenai produk yang bermanfaat dan sesuai dengan apa yang dijanjikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fashion adalah istilah umum untuk gaya atau mode. Fashion dan wanita merupakan dua hal yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Setiap wanita ingin tampil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau impulsive buying.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau impulsive buying. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelian kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik bagi sejumlah peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena dianggap sebagai akibat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 39 BAB II LANDASAN TEORI A. INTENSI MEMBELI 1. Definisi Intensi Teori perilaku berencana merupakan pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dua hal yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fashion adalah istilah umum untuk gaya atau mode. Fashion dan wanita merupakan dua hal yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Setiap wanita ingin tampil

Lebih terperinci