DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN DISERTASI Oleh : MUANA NANGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ABSTRAK MUANA NANGA. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan (BUNGARAN SARAGIH, sebagai Ketua; MANGARA TAMBUNAN, BONAR M. SINAGA, ROBERT A. SIMANJUNTAK, dan ANNY RATNAWATI, sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui transfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberi dampak terhadap kemiskinan di Indonesia. Secara umum, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, dan (2) dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan yang dibangun terdiri dari 6 blok yaitu : fiskal, output, tenaga kerja, pengeluaran per kapita, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Studi menggunakan pendekatan ekonometrik dengan model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model diestimasi menggunakan metode 2SLS dan dampak transfer fiskal dianalisis menggunakan simulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan kemiskinan, dan (2) kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan, dan hal itu ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan dalam indeks Gini. Sejalan dengan hasil penelitian, untuk memecahkan persoalan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di masa-masa mendatang, maka kebijakan pembangunan yang lebih memihak kaum miskin harus diberi prioritas tinggi di dalam kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Kata kunci : kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, indeks Gini, transfer fiskal, pendekatan ekonometrik.

3 ABSTRACT MUANA NANGA. The Impact of Fiscal Transfer on Poverty in Indonesia : A Policy Simulation Analysis. (BUNGARAN SARAGIH, as Chairman; MANGARA TAMBUNAN, BONAR M. SINAGA, ROBERT A. SIMANJUNTAK, and ANNY RATNAWATI as Members of the Advisory Committee) Poverty has always been a serious problem until now, and it is closely related with economic growth and income distribution. Various efforts have been conducted to solve these problems. Fiscal decentralization policy in the form of fiscal transfers may be one of the government policies that are directly or indirectly expected to have any impact on poverty in Indonesia. Generally, the study is aimed to analyze (1) factors affecting poverty, and (2) the impact of fiscal transfers on poverty in Indonesia. The model of fiscal transfers and poverty that is designed consists of 6 blocks : fiscal, output, labor, per capita expenditure, income distribution, and poverty. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 7 identity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the impact of transfer fiscal is analysed using simulation. The results of the study shows that (1) fiscal transfer in Indonesia has impact that tends to worsen income inequality and poverty, and (2) poverty is actually influenced more by income inequality, and it is reflected by various poverty measures that are more responsive or elastic to changes in Gini index. In line with the results, in order to solve the income inequality and poverty problems in the future, the more pro-poor development policies must be given top priority in overall development policy. Keywords : poverty, economic growth, income distribution, Gini index, fiscal transfers, econometric approach

4 Hak Cipta milik Muana Nanga, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

5 Judul Disertasi : Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan Nama Mahasiswa : Muana Nanga Nomor Pokok : Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc. Ketua Prof. Dr. Mangara Tambunan, MSc. Anggota Dr. Bonar M. Sinaga, MA. Anggota Dr. Robert A. Simanjuntak, MA. Anggota Dr. Anny Ratnawati, MS. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Sjafrida Manuwoto, MSc Tanggal ujian : Tanggal lulus :...

6 KATA PENGANTAR Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang hanya atas perkenannya sajalah penulisan disertasi yang berjudul Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan ini boleh terselesaikan dengan baik. Topik yang penulis angkat sebagai judul disertasi ini merupakan sesuatu yang sedang hangat dan menjadi perhatian tidak saja di Indonesia, akan tetapi juga pada tingkat internasional. Transfer fiskal merupakan hal yang penting dalam konteks desentralisasi fiskal yang sedang dijalankan di Indonesia, dan kemiskinan juga merupakan issue yang saat ini sedang mendapatkan perhatian yang sangat besar dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sejak diluncurkannya desentralisasi fiskal awal 2001 yang lalu, telah diikuti dengan kucuran dana atau transfer fiskal dari Pusat ke Daerah, yang dalam tahun 2002 lalu besarnya kira-kira 5.5 persen dari PDB. Dengan adanya bantuan atau transfer fiskal yang jumlahnya terus meningkat ini, diharapkan pemerintah daerah dapat memacu pembangunan di wilayahnya masing-masing, termasuk di dalamnya untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di daerah-daerah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga bagi para pembuat kebijakan, baik di Pusat maupun di Daerah dalam merancang kebijakan transfer fiskal yang dapat memberi manfaat luas kepada masyarakat, terutama penduduk miskin di tanah Air yang dalam tahun 2004 lalu jumlahnya diperkirakan masih 36.2 juta jiwa atau merupakan persen dari total penduduk Indonesia. Dengan kebijakan transfer fiskal yang tepat, mudahmudahan masalah kemiskinan di Indonesia dapat ditekan sampai ke tingkat yang serendah mungkin. Terselesaikannya penulisan disertasi ini tentu ada banyak sekali pihak yang ikut berkontribusi di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memungkinkan penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik. Penulis sangat berhutang budi kepada kedua orang tua tercinta (ayahanda U. S. Padjukang, almarhum dan ibunda Rambu. B. Emu, almarhumah), dan kepada Tamu tercinta (yang juga telah tiada) dan Wea Kaddi, atas jasa-jasa mereka kepada penulis sejak

7 penulis masih kecil hingga menjadi orang seperti sekarang ini. Penulis juga berhutang budi kepada Bapak Ngadimun (Almarhum) dan ibu mertua Ny. Ngadimun Diarto atas segala dukungan mereka kepada penulis selama ini. Kepada keluarga, istri dan ketiga putri tercinta (Nana, Ade, dan Pita), penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas kesetiaan dan kasih sayang kalian. Biarlah itu semua menjadi kenangan tersendiri yang tak akan pernah terlupakan. Kalian sungguh telah menjadi spirit builder bagi saya dalam menjalani proses panjang penyelesaian studi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John JOI Ihalauw dan Prof. Dr. Hendrawan Supratikno, MBA, yang ketika itu masih menjabat masing-masing sebagai Rektor UKSW dan Dekan FE-UKSW, telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Titaley, yang ketika masih menjabat sebagai Rektor UKSW telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. Kepada Prof. Dr. Khris Herawan Timotius, melalui kesempatan ini saya mengucapkan selamat atas pengangkatan Bapak sebagai Rektor UKSW periode , dan terima kasih atas dukungan bapak yang ketika itu menjabat sebagai Pembantu Rektor I pada masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. John JOI Ihalauw. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah Program Doktor di IPB. Banyak hal yang penulis dapatkan selama mengikuti pendidikan Doktor di IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada Komisi Pembimbing yang diketua oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc, dengan anggota masingmasing Prof. Dr. Mangara Tambunan, MSc, Dr. Bonar M. Sinaga, MA, Dr. Anny Ratnawati, MS, dan Dr. Robert A. Simanjuntak, MA, yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis selama proses penulisan disertasi ini. Semoga kebaikan bapak-bapak dan ibu, kiranya Tuhan sendirilah yang membalasnya. Kepada Dr. Hermanto Siregar, MEc, Suahasil Nazara, PhD, dan Sudarno Sumarto, PhD, yang telah berkenan bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus, kiranya Tuhan sendirilah yang membalas kebaikan Bapak-bapak sekalian. Terima kasih juga disampaikan kepada Saudara Usil Sis Sucahyo, SE, MBA, Dekan FE-UKSW dan seluruh staf pengajar FE-UKSW yang tidak dapat saya sebutkan namanya

8 satu per satu, yang langsung atau tidak langsung telah memberikan dukungan selama penulis mengikuti program Doktor di IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Umbu Mehang Kunda, dan Umbu Tamu Kalaway, SH, MSi, yang dalam kapasitas mereka sebagai Ketua dan Sekretaris Pelaksana Kegiatan YPTKSW untuk STIE Kristen Wira Wacana, telah memberikan kelonggaran waktu kepada penulis untuk menyelesaikan studinya. Penulis juga menyampaikan terima yang tulus kepada rekan-rekan pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kristen Wira Wacana Sumba, yaitu Saudari Yulita Milla Pakereng, SE, MM, Alinny Namilana Rambu Hutar, SE, dan Ir. Frans Wila, atas dukungannya selama penulis menyelesaikan disertasinya. Kepada seluruh staff pengajar dan pegawai STIE Kristen Wira Wacana Sumba, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kakak Drs. Laiya Gauru, MSi dan keluarga di Kupang atas dukungan mereka selama ini. Kakak adalah perintis jalan dan contoh bagi penulis dalam mengarungi dunia pendidikan tinggi. Teman-teman seangkatan, teristimewa Dr. Sahri Muhammad, Dr. Wayan R. Susila, Dr. Ratlan Pardede, Dr. Widarto Rachbini, Dr. Made Dewa Brata, Ir. Mustafa Geteng, MSi, dan Dr. Caroline B. Pakasih, penulis menyampaikan terima kasih atas kebersamaannya. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Saudara Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, MSi yang telah membantu dalam pengolahan data dan membagi ilmunya kepada penulis. Segala kekurangan yang terdapat di dalam disertasi ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Masukan dari berbagai pihak sudah tentu sangat diharapkan agar disertasi ini semakin mendekati kesempurnaan. Bogor, Desember 2005 Muana Nanga

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL Halaman DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Ruang Lingkup, Keunggulan dan Keterbatasan Penelitian Sistematika Pembahasan II. TINJAUAN PUSTAKA DAN STUDI TERDAHULU Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan Kemiskinan Konsep dan Ukuran Kemiskinan Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan Kaitan Antara Transfer Fiskal dan Pengurangan Kemiskinan III. KERANGKA TEORITIS Dekomposisi Perubahan Total Dalam Kemiskinan : Efek Pertum- Buhan versus Efek Ketimpangan Efek Pertumbuhan Efek Ketimpangan Trade-off Antara Ketimpangan dan Kemiskinan Kemiskinan Agregat, Rural dan Urban Kemiskinan dan Pertumbuhan Agregat Kemiskinan dan Pertumbuhan Sektoral IV. METODOLOGI Kerangka Pemikiran

10 4.2. Spesifikasi Model Blok Fiskal Blok Output Blok Tenaga Kerja Blok Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Blok Distribusi Pendapatan Blok Kemiskinan Prosedur Estimasi Model Identifikasi Model Metode Estimasi Model Validasi Model Simulasi Model Data dan Sumber V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Profil Transfer Fiskal di Indonesia Bagi Hasil Subsidi Daerah Otonom Bantuan Pembangunan Profil Kemiskinan di Indonesia Profil Kemiskinan Secara Nasional Profil Kemiskinan Regional Profil Kemiskinan Sektoral VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN Keragaan Blok Fiskal Penerimaan Daerah Pengeluaran Daerah Keragaan Blok Output Keragaan Blok Tenaga Kerja Keragaan Blok Pengeluaran

11 6.5. Keragaan Blok Distribusi Pendapatan Keragaan Blok Kemiskinan VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Dampak Kenaikan Bagian Bagi Hasil Pajak (BHPJK) sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagian Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Dalam Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Masing-masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Dalam Bagi Hasil Pajak (BHPJK), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Masing-masing Sebesar 10 Persen dan dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 165

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 1993/ Penerimaan Bagi Hasil Pajak (PBB) Kabupaten/Kota di Indonesia Ber- Dasarkan Provinsi, Tahun 1999/ Penerimaan Bagi Hasil Bukan Pajak (IHH/IHPH) Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/ Jumlah dan Kontribusi Subsidi Daerah Otonom (SDO) Untuk Kabupaten/ Kota di Indonesia, Tahun 1996/ / Jumlah dan Share DAU Dalam Penerimaan APBD Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun Jumlah dan Pensentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Daerah Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Daerah Hasil Estimasi Parameter Persamaan PDRB Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Per Kapita Perdesaan dan Perkotaan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Distribusi Pendapatan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kemiskinan Perdesaan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kemiskinan Perkotaan Rangkuman Temuan Dari Berbagai Studi Tetang Kemiskinan Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap

13 Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Masing-masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak Masing-masing Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Nama dan Keterangan Peubah Yang Digunakan Data dan Sumber Program Komputer Estimasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur Syslin Metode 2 SLS Hasil Estimasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS Program Komputer Validasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton Hasil Validasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMLIN Metode Newton Program Komputer Simulasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMLIN Metode Newton Contoh Hasil Simulasi Skenario Kebijakan S1 : Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Dinaikan Sebesar 10 Persen Hasil Lengkap Simulasi Model Tranfer Fiskal dan Kemiskinan Meng- Gunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton

15 I. PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; ruang lingkup, keunggulan, dan keterbatasan; dan sistematika pembahasan Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi bukanlah hanya semata- mata untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi (GDP) yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas daripada itu. Dudley Seers (1977) mengatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi memang tetap dianggap sebagai faktor yang penting (necessary condition). Pembangunan memerlukan GNP yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat (Todaro dan Smith, 2003). Nafziger (1997) bahkan menganggap pertumbuhan ekonomi itu sebagai faktor yang sangat penting yang ikut berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan (economic growth is the most important factor contributing to poverty reduction). Singkatnya, tanpa pertumbuhan ekonomi yang memadai, akan sangat mustahil bagi suatu negara untuk dapat memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya terutama kemiskinan yang dialami oleh banyak negara sedang berkembang di dunia. Kemiskinan yang merupakan salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah (low

16 levels of living) di negara-negara sedang berkembang, oleh PBB dianggap tetap merupakan tantangan besar bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama dari kedelapan tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals) yang dicanangkan pada tahun 1990 yang lalu (World Bank, 2004). Di Indonesia send iri, kemiskinan hingga saat ini masih dianggap sebagai persoalan serius, meskipun jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan yang signifikan terutama selama dasawarsa 1970-an hingga pertengahan dasawarsa an. Data yang tersedia menunjukkan pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebanyak 54.2 juta jiwa atau persen dari jumlah penduduk, dan telah berkurang menjadi 22.5 juta jiwa atau persen dari total penduduk pada tahun 1996 (BPS, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan rata-rata sekitar 6.50 persen per tahun. Penurunan jumlah penduduk miskin yang lebih besar lagi terjadi di daerah perdesaan yang mencapai rata-rata 7.26 persen per tahun, sementara di daerah perkotaan hanya turun dengan 3.11 persen per tahun. Penurunan yang pesat dalam jumlah penduduk miskin selama kurun waktu tentu tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang cukup baik dimana laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6.91 persen per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk miskin sebesar 6.50 persen di satu pihak, dan laju

17 pertumbuhan ekonomi sebesar 6.91 persen di lain pihak, itu berarti kemiskinan di Indonesia memiliki hubungan yang hampir elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar Hal ini menunjukkan kalau laju pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan sebesar 5 persen, maka jumlah penduduk miskin akan mengalami penurunan sebesar 4.7 persen. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan memiliki hubungan yang jauh lebih elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan. Koefisien elastisitas kemiskinan di perdesaan terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sebesar -1.05, lebih besar daripada satu, yang berarti elastis; sebaliknya elastisitas kemiskinan di perkotaan terhadap laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar -0.45, lebih kecil daripada satu, yang berarti tidak elastis (inelastis). Namun krisis moneter yang berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 langsung atau tidak langsung telah menyebabkan jumlah dan persentase penduduk kembali mengalami peningkatan. Dengan menggunakan metode perhitungan kemis-kinan tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1996 adalah sebanyak 34.5 juta jiwa atau sekitar 17.7 persen dari jumlah penduduk dan pada tahun 2004 sebanyak 36.2 juta atau persen dari total penduduk. Dengan kata lain, selama kurun waktu , jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0.62 persen per tahun, dan di daerah perkotaan kenaikannya bahkan mencapai rata-rata sebesar 2.34 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar itu, maka kemiskinan di Indonesia masih dianggap sebagai persoalan yang serius dan karenanya

18 diperlukan upaya-upaya pemecahan yang lebih serius pula di masa-masa mendatang. Untuk memecahkan persoalan kemiskinan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program, baik yang bersifat umum maupun yang khusus diadakan untuk mengatasi persoalan kemiskinan itu. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa untuk dapat merumuskan kebijakan dan program-program yang efektif untuk memerangi sumber-sumber kemiskinan, maka terlebih dahulu diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa saja yang termasuk dalam kelompok miskin itu, termasuk ciri-ciri mereka. Salah satu generalisasi yang paling valid mengenai penduduk miskin adalah bahwa mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah perdesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional. Dalam kaitan ini, Todaro dan Smith (2003) mendeskripsikan dengan sangat baik siapa sesungguhnya kaum miskin (the poor) itu sebagai berikut : Mereka ini berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia yang kini hampir mencapai 6 milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehariharinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, dan kalaupun punya, ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang ada juga acapkali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk, dan banyak dari mereka yang buta huruf, serta menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya tidak menentu. Dengan demikian jelaslah bahwa kemiskinan sesungguhnya bukanlah sematamata masalah kekurangan pendapatan dan harta (lack of income and assets), akan tetapi lebih luas daripada itu. Kemiskinan adalah masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kemiskinan adalah masalah sandang, pangan dan papan; kemiskinan adalah masalah lapangan kerja; dan kemiskinan adalah masalah ketidak-pastian masa

19 depan. Singkatnya, kemiskinan adalah masalah serba kekurangan dan merupakan fenomena yang banyak terjadi di daerah-daerah perdesaan (rural phenomenon) pada umumnya dan sektor pertanian khususnya. Dengan pemahaman yang memadai terhadap masalah kemiskinan termasuk berbagai faktor penyebabnya, maka diharapkan para pembuat kebijakan dapat merumuskan kebijakan dan program yang tepat sasaran, sehingga masalah kemiskinan dapat dipecahkan atau setidak-tidaknya dapat dikurangi sampai pada tingkat yang serendah mungkin. Sangat ironis memang, Indonesia yang dikenal memiliki dan kaya akan sumberdaya alam, namun ternyata memiliki jumlah penduduk miskin yang tidak sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah di dalam strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia selama ini. Apa yang salah dan mengapa itu terjadi, tentu bukan menjadi perhatian dari studi ini. Namun adanya fakta dimana di satu sisi pemerintah telah banyak melakukan upaya penanggulangan kemiskinan, tetapi di sisi yang lain kemiskinan ternyata masih saja menjadi persoalan serius yang dihadapi Indonesia telah mendorong penulis untuk melakukan suatu kajian tentang kemiskinan di Indonesia Rumusan Masalah Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan masih menjadi masalah serius yang dihadapi Indonesia, dan perlu dicarikan pemecahannya. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan menurut Adelman (1986) ada tiga kebijakan atau pendekatan yang disebutnya sebagai poverty-focused approaches to policy, yaitu :

20 Pertama, adalah pendekatan yang berorientasi kepada harta atau aset (assetsoriented approaches) yang ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dari assets yang dimiliki oleh kaum miskin (the poor). Pendekatan ini dilakukan melalui landreform atau dengan menciptakan institusi-institusi yang memungkinkan kaum miskin itu memiliki akses terhadap peluang-peluang untuk melakukan akumulasi asset lebih lanjut, misalnya melalui pemberian kredit yang disubsidi (subsidized credit) atau memperluas akses mereka terhadap pendidikan dasar (primary education). Kedua, adalah pendekatan atau strategi peningkatan permintaan (demand generating strategies) yang ditujukan untuk meningkatkan volume penjualan tenaga kerja dari kaum miskin tersebut, yang umumnya terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil (unskiled labor). Dengan kata lain, strategi ini bertujuan untuk menghasilkan suatu peningkatan yang pesat dalam permintaan baik absolut maupun relatif terhadap tenaga kerja tidak terampil yang dimiliki kaum miskin itu. Namun, sejauh mana aset yang dimiliki kaum miskin itu dapat dimonetisasi (monetized) pada pasar sangat bergantung pada strategi pembangunan yang dipilih dan institusi-institusi yang memungkinkan kaum miskin tersebut memiliki akses terhadap pasar faktor produksi. Dalam kaitan ini, pilihannya ada dua strategi pembangunan yang menjanjikan (promising), yaitu (1) mengandalkan kepada pertumbuhan yang berorientasi ekspor (export-oriented growth) di dalam sektor manufaktur yang padat tenaga kerja (labor intensive manufactures); dan (2) mengandalkan pada agricultural-development-led industrialization (ADLI). Dalam hal ini, Adelman (1986) dan Mellor (1986) melihat strategi pembangunan yang kedua yaitu ADLI strategy sebagai pilihan yang lebih menjanjikan (more promising) bagi negara-negara sedang berkembang, daripada

21 strategi yang pertama. Ada beberapa alasan yang dikemukakan Mellor, mengapa strategi ADLI atau disebutnya juga sebagai agriculture-and employment-led strategy, lebih superior dibandingkan dengan strategi labor intensive manufacturing, diantaranya adalah (1) sektor pertanian lebih padat tenaga kerja (labor intensive) daripada sektor manufaktur; (2) kenaikan di dalam pendapatan pertanian menghasilkan high leakages ke dalam permintaan akan labor intensive manufactures pada sisi konsumsi dan permintaan akan input sektor manufaktur pada sisi produksi; (3) ekspansi di dalam produksi pertanian bersifat less import-intensive daripada suatu kenaikan yang sama di dalam produksi manufaktur; (4) infrastruktur pertanian yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas pertanian (jalan, irigasi, dan fasilitas drainase) memiliki labor-output ratio yang tinggi. Strategi ADLI memiliki implikasi yang penting bagi kebijakan harga, yaitu strategi pembangunan pertanian memerlukan suatu kebijakan harga (price policy) yang memungkinkan para petani tersebut dapat menangkap sebagian dari manfaat yang dihasilkan oleh peningkatan di dalam produktifitas pertanian. Oleh karena itu, hal yang tersebut terakhir memiliki makna bahwa suatu kebijakan terms of trade yang membagi manfaat pendapatan (income benefits) yang diperoleh dari meningkatnya output, harus lebih adil (more equitably) diantara kelompok rural dan urban. Ketiga, adalah kebijakan peningkatan harga (price-increasing policies) dari asset utama (major asset) yang dimiliki kaum miskin tersebut. Aset utama yang dimiliki kaum miskin adalah tenaga kerja, yang umumnya merupakan tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor). Dengan demikian, kebijakan peningkatan harga (price increasing policies) yang bekerja melalui pasar faktor produksi harus dapat

22 meningkatkan upah dari kaum miskin, dan hal ini hanya bisa terjadi kalau ada kenaikan dalam permintaan terhadap tenaga kerja dari kaum miskin tersebut. Sementara, efek dari kebijakan peningkatan harga tersebut terhadap upah (price of labor) dari kaum miskin sangat tergantung pada bagaimana pasar tenaga kerja (labor market) itu bekerja, dan organisasi kelembagaan (institutional organization) dari pasar tenaga kerja tersebut. Strategi ini menekankan pentingnya peningkatan harga dari barang-barang yang dihasilkan dengan tenaga kerja dari kaum miskin (labor of the poor) tersebut, termasuk peningkatan di dalam harga relatif dari output pertanian (agricultural terms of trade) yang diharapkan dapat memberi manfaat kepada kaum miskin termasuk pekerja-pekerja yang tidak memiliki lahan. Selain itu, juga ditekankan akan pentingnya peningkatan produktifitas dari kaum miskin tersebut, yang dapat dilakukan melalui : (1) investasi dalam sumberdaya manusia (human capital investments) seperti investasi dalam nutrisi, pendidikan, dan kesehatan, yang tidak saja meningkatkan kesejahteraan kaum miskin secara langsung, akan tetapi juga dapat meningkatkan kapasitas atau kemampuan dari tenaga kerja produktif mereka; (2) peningkatan jumlah dari complementary assets atau resources yang digunakan oleh kaum miskin (seperti lahan dan kapital); dan (3) peningkatan land-augmenting investments atau pengenalan perubahan teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas. Di Indonesia sendiri penanggulangan kemiskinan telah dimulai sejak awal Pelita I dan merupakan bagian dari arah dan tujuan program pembangunan perdesaan yang kemudian diperkuat pada Pelita IV melalui program pengembangan wilayah (PPW) dan program pengembangan kawasan terpadu (PKT). Baik program PPW

23 maupun PKT merupakan program yang secara langsung ditujukan pada pada upaya penanggulangan kemiskinan melalui penentuan sasaran pemanfaat program, yaitu penduduk miskin dan sasaran lokasi, yaitu wilayah/kawasan miskin. Adapun program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini diantaranya adalah (1) program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dimulai pada tahun anggaran 1994/1995; (2) program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT, yang dimulai tahun anggaran 1995/1996; (3) program pengembangan kecamatan (PPK) yang dimulai tahun anggaran 1998/1999; (4) program penanggulangan kemikinan di perkotaan (P2KP), yang diluncurkan pada tahun anggaran 1999/2000; (5) program pengembangan kawasan desa kota terpadu atau poverty alleviation through rural urban linkages (PARUL); (6) program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat (PSEM); (7) program pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) yang dilaksanakan sejak tahun anggaran 1998/1999; program beras murah untuk penduduk miskin (Sumodiningrat, et al, 1999; Sumodiningrat, 1999; Sumodiningrat, 2001; Daly dan Fane, 2002; Yudhoyono dan Harniati, 2004). Kebijakan otonomi daerah (Otda) yang digulirkan sejak Januari tahun 2001 lalu, dimana desentralisasi fiskal menjadi salah satu komponen yang sangat penting di dalamnya, juga diarahkan dan bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, termasuk kemiskinan. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang kemudian diamandamen dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pelaksanaaan otonomi luas kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujud-

24 nya kesejahteraan masyarakat. Dalam bagian lain penjelasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dikatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut hanya dimungkinkan kalau terjadi peningkatan di dalam pendapatan masyarakat atau penurunan dalam tingkat kemiskinan absolut, distribusi pendapatan semakin merata, dan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment level) yang terjadi di dalam perekonomian semakin meningkat. Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal bertujuan untuk (1) meningkatkan efisiensi pengalokasian sumberdaya nasional maupun kegiatan pembangunan daerah; (2) memperbaiki struktur fiskal dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat Daerah; (4) memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas; dan (5) menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat (Sidik, 2004). Khususnya berkaitan dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial, tersirat di dalamnya tujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan berbagai dimensinya, seperti ketimpangan pendapatan, pengangguran, pendapatan yang rendah, dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan lain sebagainya. Transfer fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers), yang dewasa ini di Indonesia dikenal dengan istilah dana perimbangan yang terdiri atas bagi hasil pajak, bagi hasil sumberdaya alam (SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan salah satu instrumen

25 yang sangat penting dari kebijakan desentralisasi fiskal, terutama dalam era otonomi daerah dewasa ini. Dengan otonomi yang titik beratnya diletakkan pada Daerah Tingkat II atau Kabupaten/Kota, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam menggali, mengembangkan dan memanfaatkan dana-dana yang dimiliki, baik yang berasal dari sumber-sumber daerah sendiri (PAD) maupun yang berasal dari bantuan atau alokasi dari Pemerintah Pusat, termasuk bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU dan DAK. Dengan demikian diharapkan berbagai bentuk transfers tersebut dapat memiliki dampak yang signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian Daerah, termasuk dalam pengurangan penduduk miskin di daerah yang jumlahnya masih sangat besar. Daerah memiliki hubungan yang dekat dan lebih mengenal kondisi masyarakatnya, sehingga kalau berbagai dana transfer dari Pusat dipercayakan kepada Pemerintah Daerah, maka ada harapan penggunaan dana-dana tersebut akan menjadi lebih efektif. Namun, hal ini bisa terjadi dengan asumsi kalau Daerah didukung dengan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dan kelembagaan yang memadai. Selain itu, berbagai bantuan harus digunakan atau dialokasikan untuk pembangunan sektor-sektor yang memang memiliki keterkaitan langsung dengan masalah kemiskinan, seperti sektor pertanian; sektor kesehatan; sektor pendidikan; usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); pembangunan infrastruktur perdesaan, dan lain-lain. Namun pengalaman selama ini, terutama dalam empat tahun terakhir menunjukkan bahwa sektor pertanian yang merupakan sektor ekonomi yang sangat penting dan strategis karena menyediakan lapangan kerja bagi sebagian angkatan kerja Indonesia, ternyata hanya mendapatkan alokasi dana pembangunan yang sangat kecil.

26 Sebagai gambaran, dalam APBD Kabupaten/Kota dan APBD Provinsi, sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi dana masing-masing sebesar 4.80 persen dan 4.39 persen per tahun selama kurun waktu Sementara dalam APBN, dana yang dialokasikan untuk pembangunan sektor pertanian rata-rata hanya sebesar 4.47 persen selama kurun waktu Kondisi ini sungguh ironis mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional Indonesia karena peranannya dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan penciptaaan lapangan kerja yang masih dominan. Bukankah sektor pertanian merupakan sektor yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)? Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia berada di daerah perdesaan dan sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah sepatutnya kalau kebijakan alokasi anggaran pembangunan memberikan prioritas yang lebih besar pada pembangunan sektor pertanian khususnya dan daerah perdesaan pada umumnya. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan upaya penanggulangan kemiskinan di masa-masa mendatang, maka transfer fiskal yang mencakup dana bagi hasil (pajak dan bukan pajak), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), ada baiknya kalau alokasinya lebih banyak diprioritaskan untuk pembangunan sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dan dampak langsung terhadap masalah kemiskinan, seperti sektor pertanian; pendidikan; kesehatan; usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); dan infrastruktur perdesaan.

27 Bertitik tolak dari uraian di atas, selanjutnya dapat dirumuskan berbagai persoalan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana dampak transfer fiskal yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum (DAU) terhadap kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan dalam distribusi pendapatan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah, baik dilihat dari sisi output (PDRB) maupun dari sisi penyerapan tenaga kerja? 5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah, baik dilihat dari sisi penerimaan maupun pengeluaran? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, dan (2) dampak dari transfers fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian adalah : 1. Menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kinerja fiskal daerah, output dan penyerapan tenaga kerja, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.

28 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. 4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi output (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran daerah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah dalam penanggulangan masalah kemiskinan, yang dilakukan khususnya melalui transfer fiskal yang merupakan instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. 2. Sebagai referensi bagi studi-studi lain tentang isu yang sama di masa-masa yang akan datang. 3. Bagi penulis penelitian selain untuk memenuhi sebagian persyaratan yang dituntut dalam menyelesaikan program doktor, sekaligus juga merupakan suatu academic exercise dari ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti program doktor Ruang Lingkup, Keunggulan dan Keterbatasan Penelitian Fokus utama studi ini adalah masalah kemiskinan di Indonesia yang dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui berbagai bentuk

29 transfer fiskal seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Kemiskinan dilihat dari berbagai ukuran, seperti tingkat kemiskinan (headcount ratio), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index), baik untuk daerah perdesaan maupun perkotaan. Ruang lingkup studi mencakup 25 Provinsi (tidak termasuk DKI dan Provinsi yang baru terbentuk) di Indonesia dan menggunakan data panel yaitu gabungan antara data time series tahunan ( ) dan data cross-section (25 Provinsi). Studi tentang bantuan atau transfer fiskal di Indonesia telah banyak dilakukan para ahli. Namun, sejauh yang penulis ketahui, di Indonesia belum pernah ada studi yang mencoba mengkaitkan transfer fiskal dengan masalah kemiskinan. Studi-studi tentang bantuan pusat yang dilakukan selama ini lebih banyak mengkaitkan bantuan atau transfer fiskal dengan upaya fiskal daerah (tax effort), pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan ketimpangan antardaerah (interregional disparity) 1. Oleh karena itu, apa yang dilakukan penulis merupakan kontribusi yang sangat penting dan sekaligus menjadi keunggulan dari studi ini. Keterbatasan utama dari studi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan data dimana untuk beberapa peubah tepaksa harus digunakan proksi atau bahkan dilakukan estimasi untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data fiskal yang digunakan adalah data fiskal gabungan (fiscal consolidated) kabupaten/kota dari masing-masing Provinsi. Oleh karena itu, tentu kurang mampu untuk merepresentasikan kondisi fiskal yang sesungguhnya dari masing-masing kabupaten/kota yang ada. 1 Lihat misalnya studi Brodjonegoro et al (2001, 2002), Adrian Panggabean (1997), Iwan Jaya Azis(1990,1991), Hirawan (1994), Uppal dan Suparmoko, (1986), Booth (1986, 1988), dan Shaw (1980).

30 Ketidak-tersediaan data untuk beberapa peubah seperti data pendapatan per kapita menurut desa-kota dan data penyerapan tenaga kerja menurut Provinsi merupakan keterbatasan lain yang dihadapi dalam studi ini. Oleh karena itu, dalam persamaan untuk indeks Gini dan pengeluaran per kapita baik untuk daerah perdesaan maupun perkotaan terpaksa digunakan data pendapatan per kapita regional sebagai proksi. Selain itu, data penyerapan tenaga kerja khususnya untuk tahun 2000 dan 2001, ternyata tidak disajikan menurut Provinsi, tetapi menurut Pulau dan nasional. Untuk mendapatkan data penyerapan tenaga kerja masing-masing Provinsi, penulis terpaksa harus melakukan estimasi, dengan menggunakan metode alokasi seperti banyak digunakan dalam perhitungan PDRB kabupaten/kota kalau data yang tersedia hanya data PDRB Provinsi saja. Series waktu yang hanya empat tahun ( ) dimana ketika penelitian dilakukan kebijakan desentralisasi fiskal baru berjalan dua tahun, juga dapat dipandang sebagai suatu keterbatasan lain dari studi ini. Dalam kurun waktu hanya dua tahun sudah tentu akan sangat sulit untuk melihat bagaimana sesungguhnya dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal termasuk di dalamnya transfer fiskal terhadap kemiskinan yang menjadi fokus utama dalam studi ini Sistematika Pembahasan berikut : Pembahasan dalam disertasi ini mengikuti sistematika pembahasan sebagai

31 Dalam bagian pertama diuraikan mengenai latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; ruang lingkup, keunggulan, dan keterbatasan penelitian; dan sistematika pembahasan. Dalam bagian kedua dibahas mengenai transfer fiskal antar tingkat pemerintahan; kemiskinan yang mencakup konsep dan ukuran kemiskinan, faktor-faktor penentu kemiskinan; dan kaitan antara transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan. Dalam bagian ketiga dikemukakan kerangka teoritis yang membahas dekomposisi perubahan kemiskinan, baik dilihat dari penyebab (growth effect versus inequality effect), menurut wilayah (rural versus urban), dan menurut sektor (pertanian, industri dan jasa). Dalam bagian keempat diuraikan metodologi yang digunakan yang mencakup kerangka pemikiran; spesifikasi model; prosedur estimasi model; serta data dan sumber yang digunakan. Dalam bagian kelima dikemukakan mengenai profil transfer fiskal dan kemiskinan Indonesia, yang mencakup profil kemiskinan secara nasional, profil kemiskinan secara regional, dan profil kemiskinan sektoral. Dalam bagian keenam dikemukakan hasil estimasi model yang membahas mengenai keragaan dari masing-masing blok yang ada dalam model beserta pembahasannya. Dalam bagian ketujuh dikemukakan hasil simulasi kebijkan dampak transfer fiskal di Indonesia terhadap kemiskinan beserta pembahasannya. Dalam bagian kedelapan yang merupakan penutup dikemukakan kesimpulan, implikasi kebijakan dan saran penelitian lanjutan.

32 II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bagian ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang membahas issueissue yang terkait dengan topik penelitian yaitu transfer fiskal antara tingkat pemerintahan, kemiskinan, serta kaitan transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan Hubungan fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal relations) merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam program desentralisasi fiskal. Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) yang terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah subnasional di banyak negara sedang berkembang, dan desain dari transfer tersebut memiliki pengaruh terhadap efisiensi dan keadilan atau pemerataan (equity) penyediaan jasa-jasa lokal dan kesehatan fiskal dari pemerintah subnasional. Oleh karena itu, maka desain dari transfer dianggap merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi fiskal (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998). Hibah sebagai salah satu bentuk dari transfer fiskal antar tingkat pemerintahan memiliki peranan yang sangat penting, dan bahkan telah menjadi fakta kehidupan (fact of life) di dalam sistem pemerintahan multi tingkat. Hibah dapat diberikan untuk

33 berbagai tujuan, baik untuk tujuan efisiensi (efficiency) ataupun tujuan pemerataan (equity). Selain itu, grants juga dapat diberikan untuk mendorong jenis pengeluaran tertentu dari tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau untuk meningkatkan daya beli (purchasing power) mereka (Boadway dan Wildasin, 1988). Secara umum, terdapat beberapa argumen ekonomi (economic argument) yang mendorong pemerintah untuk melakukan transfers fiskal antar tingkat pemerintahan (Boadway dan Wildasin, 1988; Shah, 1991; Winker, 1994; Parker, 1995; Rao dan Singh, 1998; Litvack dan Seddon, 1999), Schroeder and Smoke (2002) yaitu : 1. Adanya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Bantuan atau transfer fiskal, yang diberikan dalam hal ini ditujukan untuk mengoreksi fiscal gap tersebut yaitu ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya dan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Adanya ketidakadilan fiskal (fiscal inequity). Suatu negara yang meng-anut kemerataan fiskal horizontal (horizontal fiscal equity) perlu melakukan koreksi terhadap ketidakadilan yang secara alamiah muncul di dalam suatu sistem yang desentralistik. 3. Adanya inefisiensi fiskal (fiscal inefficiency). Argumen untuk melakukan transfer didorong oleh kenyataan bahwa perbedaan serupa yang menimbulkan ketidakadilan fiskal (fiscal inequality) juga dapat menyebabkan inefisiensi fiskal (fiscal inefficiency). 4. Adanya efek luapan antardaerah (interjurisdiction spillover effect), yang biasanya terjadi karena manfaat dari barang atau jasa yang disediakan secara lokal meluap

34 (spillover) keluar jurisdiksi yang memberikan manfaat kepada yang tidak memberikan kontribusi pada biaya dan karena yang bukan penduduk (nonresident) datang ke lokalitas dan ikut menikmati jasa-jasa publik yang disediakan. Bantuan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengoreksi inefisiensi yang terjadi akibat adanya spillover effect dari bantuan tersebut. 5. Untuk harmonisasi fiskal (fiscal harmonization). Sampai pada tingkat tertentu, redistribusi merupakan tujuan dari pemerintah pusat, yang berarti terdapat suatu kepentingan nasional di dalam redistribusi yang terjadi sebagai akibat dari penyediaan jasa publik oleh pemerintah subnasional. Harmonisasi pengeluaran dapat diikuti dengan penggunaan (nonmatching) conditional grants, yang menyediakan kondisi yang mencerminkan efisiensi nasional dan keadilan, dan bahwa suatu pinalti finansial adalah berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai tujuan. 6. Untuk menjamin tercapainya standar minimum pelayanan (common minimum standard of services) antardaerah yang memungkinkan daerah-daerah miskin menyediakan tingkat pelayanan yang dapat diterima. 7. Untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Bantuan antar tingkat pemerintahan juga dapat digunakan untuk membantu dalam mewujudkan stabilisasi ekonomi. Hibah atau bantuan dapat ditingkatkan ketika kegiatan ekonomi menurun untuk mendorong pengeluaran lokal dan sebaliknya dikurangi pada saat kegiatan ekonomi meningkat. Bantuan model merupakan instrumen yang tepat untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Dalam kaitan dengan intergovernmental grants, Oates (1999) menyebutkan ada tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu (1) internalisasi spillover benefits

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA : SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN DISERTASI Oleh : MUANA NANGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK MUANA NANGA. Dampak Transfer

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah permasalahan umum yang dihadapi oleh setiap negara. Tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum terkendala oleh karena kemiskinan yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI 1 PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA Oleh: NUNUNG KUSNADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 2 ABSTRAK NUNUNG KUSNADI.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Secara teoritis, tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan absolut (absolute poverty) merupakan salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi sebagian besar pemerintahan di dunia. Data World Bank pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DISERTASI

DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DISERTASI i DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA DAN TRANSFER PENDAPATAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DISERTASI RASIDIN KARO-KARO SITEPU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor. VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam jangka pendek peningkatan pendidikan efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dibanding dengan sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bagian ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang membahas issueissue yang terkait dengan topik penelitian yaitu transfer fiskal antara tingkat pemerintahan, kemiskinan, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam meningkatkan kesajahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan status ekonomi antara penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk miskinnya. Semakin banyak jumlah penduduk miskin, maka negara itu disebut negara miskin. Sebaliknya semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang diinginkan dapat

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini disebabkan oleh potensi sumber daya yang dimiliki daerah berbeda-beda. Todaro dan Smith (2012: 71)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah melakukan upaya yang berfokus pada peran serta rakyat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah melakukan upaya yang berfokus pada peran serta rakyat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sasaran pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai sasaran tersebut maka pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sedangkan tujuan yang paling penting dari suatu pembangunan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2015 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode tahun 1974-1988,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi (daerah) adalah suatu proses pemerintah (daerah) dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

DAMPAK DANA TRANSFER TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PROVINSI RIAU. Oleh : Taryono dan Syapsan ABSTRAK

DAMPAK DANA TRANSFER TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PROVINSI RIAU. Oleh : Taryono dan Syapsan ABSTRAK DAMPAK DANA TRANSFER TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PROVINSI RIAU Oleh : Taryono dan Syapsan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dana transfer terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci