VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA Secara teoritis, tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif atau skenario kebijakan dengan jalan mengubah nilai peubah atau instrument kebijakan (policy instrument)-nya. Untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik untuk digunakan dalam simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1991), tujuan melakukan validasi adalah untuk mengetahui sejauhmana nilai estimasi itu sesuai dengan nilai aktual dari masing-masing peubah endogen. Ada beberapa kriteria statistik yang dapat digunakan untuk menilai sahih (valid) atau tidaknya model, diantaranya adalah root mean square error (RMSE), root mean square percent error (RMSPE), dan Theil s Inequality coefficient (TIC) atau lebih popular dengan notasi U. Namun karena dalam studi ini yang dilakukan hanya terbatas pada simulasi kebijakan, dan tidak melakukan peramalan (forecasting), maka tidak semua kriteria statistik yang dikemukakan itu relevan untuk digunakan. Dalam studi ini, kriteria statistik yang lebih tepat atau relevan untuk digunakan adalah nilai bias (U M ), dimana kalau nilai U M makin mendekati nol, maka itu berarti model yang bersangkutan cukup baik untuk digunakan dalam simulasi kebijakan. Berdasarkan hasil validasi model yang dilakukan, diketahui bahwa hampir semua nilai U M adalah mendekati nol, yang berarti model ini cukup baik untuk digunakan dalam melakukan simulasi kebijakan (lihat Lampiran 5).

2 7.1. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Simulasi skenario kebijakan yang pertama (S1) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak sebesar 10 persen menyebabkan berbagai jenis penerimaan asli daerah seperti pajak (PJKK), retribusi (RETRK), dan penerimaan asli daerah lainnya (PADL) mengalami kenaikan, yang pada gilirannya mendorong total penerimaan asli daerah (PADK) juga meningkat sebesar 2.27 persen. Selanjutnya, peningkatan yang terjadi pada PADK tersebut menyebabkan berbagai jenis pengeluaran pemerintah daerah juga mengalami peningkatan. Lebih jauh, meningkatnya pengeluaran pemerintah terutama untuk pembangunan sektor pertanian (PEPBA) dan sektor non pertanian (PEPBNA), menyebabkan output di kedua sektor tersebut (PDRBA dan PDRBNA) dan juga total output (PDRB) mengalami peningkatan. Peningkatan PDRB selanjutnya mendorong peningkatan pada pendapatan per kapita (YCAP) sebesar 2.59 persen. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak akhir dari semua ini terhadap kemiskinan di Indonesia? Seperti yang telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya, transfer fiskal mempengaruhi kemiskinan melalui blok fiskal, dimana blok fiskal ini pada gilirannya mempengaruhi blok output dan tenaga kerja, selanjutnya blok output mempengaruhi blok pengeluaran dan blok distribusi pendapatan. Akhinya, secara bersama-sama blok pengeluaran dan blok distribusi pendapatan mempengaruhi blok kemiskinan.

3 Kenaikan pendapatan per kapita (YCAP) tersebut di atas, di satu sisi menyebabkan pengeluaran per kapita, baik di perdesaan (RPCE) maupun perkotaan (UPCE) mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.23 persen dan 0.42 persen. Namun disisi yang lain, kenaikan pendapatan per kapita tersebut ternyata juga menyebabkan indeks Gini baik di perdesaan (RGINI) maupun pekotaan (UGINI) mengalami kenaikan dengan persentase kenaikan yang jauh lebih besar daripada kenaikan yang terjadi pada pengeluaran per kapita tersebut, yaitu berturut-turut sebesar 0.93 persen dan 1.53 persen (lihat Lampiran 9). Tabel 18. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi (%) Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen Oleh karena pengeluaran per kapita memiliki pengaruh terhadap kemiskinan dengan tanda negatif, maka itu berarti kenaikan dalam pengeluaran per kapita akan mendorong kemiskinan mengalami penurunan. Sebaliknya, karena indeks Gini berpengaruh positif terhadap berbagai ukuran kemiskinan, maka kenaikan pada indeks Gini itu akan menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan tersebut semakin meningkat. Namun mengingat berbagai ukuran kemiskinan tersebut, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan memiliki hubungan yang lebih elastis dengan peubah indeks Gini dibandingkan dengan peubah pengeluaran per kapita, maka dampak akhir dari

4 kenaikan bagi hasil pajak tersebut adalah meningkatnya kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Hasil simulasi skenario kebijakan S1 yang dilakukan dengan meningkatkan bagi hasil pajak (BHPJK) sebesar 10 persen, menyebabkan kemiskinan di daerah perdesaan dengan berbagai ukurannya mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 3.06 persen (RHCI), 4.82 persen (RPGI), dan 6.41 persen (RPSI). Pada saat yang sama berbagai ukuran kemiskinan perkotaan, meningkat masing-masing sebesar 1.62 persen (UHCI), 1.87 persen (UPGI), dan 1.72 persen (UPSI) (lihat Tabel 18). Disini tampak bahwa kemiskinan di daerah perdesaan lebih sensitif terhadap perubahan dalam kebijakan (policy shock) daripada kemiskinan di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena di daerah perdesaan variasi kegiatan ekonomi masyarakat lebih terbatas, dimana hanya didominasi oleh satu jenis kegiatan yaitu pertanian. Keadaan ini menyebabkan kehidupan ekonomi perdesaan menjadi sangat rentan (vulnerable) terhadap berbagai guncangan (shocks) yang terjadi termasuk kalau terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintah (policy shock). Sebaliknya, di perkotaan karena kegiatan ekonominya lebih bervariasi dimana pilihan bagi masyarakat lebih beragam, maka apabila terjadi suatu guncangan misalnya perubahan dalam kebijakan (policy shock) tidak akan banyak menimbulkan guncangan (shocks) yang berarti terhadap kehidupan ekonomi masyarakatnya seperti yang terjadi di daerah perdesaan Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dari sisi fiskal daerah, skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikkan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) sebesar 10 persen, telah menye-

5 babkan PADK, dan pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian (PEPBA) dan pengeluaran pembangunan sektor non pertanian (PEPBNA) mengalami kenaikan dengan persentase masing-masing sebesar 2.47 persen, 1.07 persen dan 2.25 persen. Selanjutnya, kenaikan dalam pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan non pertanian itu, pada gilirannya mendorong PDRB di kedua sektor tersebut dan pendapatan per kapita (YCAP) mengalami kenaikan. Dalam hal ini, pendapatan per kapita mengalami peningkatan sebesar 3.95 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan kenaikan pendapatan per kapita yang terjadi ketika skenario kebijakan yang pertama (S1) diterapkan, dimana pendapatan per kapita hanya meningkat dengan persentase kenaikan sebesar 2.59 persen. Tabel 19. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen (%) Dampak lebih jauh dari kenaikan bagi hasil bukan pajak adalah meningkatnya pengeluaran per kapita di perdesaan (RPCE) dan pengeluaran per kapita di perkotaan (UPCE) dengan persentase masing-masing sebesar 0.34 persen dan 0.62 persen. Pada saat yang sama, indeks Gini baik di perdesaan maupun perkotaan juga mengalami kenaikan dengan persentase kenaikan masing-masing sebesar 0.41 persen dan 0.56 persen (lihat Lampiran 9). Mengingat kemiskinan lebih sensitif terhadap indeks Gini, maka skenario inipun telah mendorong kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun

6 perkotaan mengalami kenaikan, namun kenaikannya tidak sebesar ketika skenario kebijakan yang pertama (S1) dijalankan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari sisi kemiskinan skenario ini lebih baik daripada skenario kebijakan yang pertama (S1) karena menyebabkan kenaikan terhadap berbagai ukuran kemiskinan dengan persentase kenaikan yang jauh lebih kecil (lihat Tabel 19). Disini terlihat bahwa kemiskinan di daerah perdesaan kembali menunjukkan persentase kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kemiskinan di daerah perkotaan Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Hasil simulasi skenario kebijakan yang ketiga (S3) yang dilakukan melalui peningkatan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 persen, ternyata memiliki dampak yang jauh lebih kecil terhadap hampir semua blok yang ada dalam model. Pada blok fiskal, kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 persen itu, hanya mampu meningkatkan penerimaan asli daerah (PADK), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA) dan pengeluaran pembangunan untuk sektor non pertanian (PEPBNA), berturut-turut sebesar 0.60 persen, 0.32 persen, dan 0.54 persen. Konsisten dengan dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap blok fiskal, kenaikan DAUK sebesar 1.25 persen tersebut juga menyebabkan kenaikan yang relatif kecil pada blok output dan tenaga kerja, dimana PDRB sektor pertanian, PDRB sektor non pertanian, dan pendapatan per kapita (YCAP) hanya mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.15 persen, 0.75 persen, dan 0.68 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian (TKA) dan penyerapan tenaga kerja di

7 sektor non pertanian (TKNA), mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0.15 persen dan 0.85 persen. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah sesungguhnya dampak akhir dari kenaikan DAUK sebesar 1.25 persen itu terhadap kemiskinan di Indonesia? Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan per kapita (YCAP) yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan DAUK tersebut, telah menyebabkan pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan (RPCE) dan perkotaan (UPCE) meningkat masing-masing sebesar 0.06 persen dan 0.14 persen. Namun, pada saat yang sama kenaikan pendapatan per kapita tersebut juga telah menyebabkan indeks Gini perdesaan (RGINI) maupun indeks Gini perkotaan (UGINI) mengalami kenaikan dengan persentase yang jauh lebih besar daripada kenaikan yang ditimbulkan terhadap pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan ataupun perkotaan, yaitu masingmasing sebesar 0.28 persen dan 0.46 persen. Oleh karena kemiskinan memiliki hubungan yang lebih elastis dengan ketimpangan pendapatan (indeks Gini), maka dengan adanya kenaikan dalam indeks Gini yang jauh lebih besar daripada kenaikan dalam pengeluaran rata-rata per kapita, telah mendorong kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan dengan berbagai ukurannya juga mengalami kenaikan atau peningkatan. Tingkat kemiskinan di daerah perdesaan (RHCI) mengalami kenaikan sebesar 0.96 persen, sementara tingkat kemiskinan di perkotaan (UHCI) mengalami kenaikan sebesar 0.51 persen. Indeks kedalaman kemiskinan (RPGI) dan indeks keparahan kemiskinan di daerah perdesaan (RPSI) meningkat masing-masing sebesar 1.03 persen dan 2.00 persen; sedangkan di

8 daerah perkotaan hanya meningkat dengan persentase yang jauh lebih kecil yaitu masing-masing sebesar 0.60 persen (UPGI) dan 0.57 persen (UPSI) (lihat Tabel 20). Tabel 20. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Nama Peubah Endogen Satuan Dasar Simulasi Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen Dari hasil simulasi seperti yang disajikan dalam Tabel 20, tampak bahwa kenaikan transfer fiskal, dalam hal ini DAUK kembali menyebabkan kenaikan yang lebih besar terhadap kemiskinan di daerah perdesaan daripada kemiskinan di daerah perkotaan. Dari ketiga skenario kebijakan tersebut di atas, yaitu yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil pajak (S1) sebesar 10 persen, menaikan bagi hasil bukan pajak (S2) sebesar 10 persen, dan/atau menaikan dana alokasi umum (S3) sebesar 1.25 persen, maka jelas skenario kebijakan yang pertama (S1) merupakan skenario yang harus dihindari sebab skenario tersebut dapat menyebabkan kenaikan dalam kemiskinan dengan persentase kenaikan tertinggi. Skenario kedua (S2) dan ketiga (S3), dari sisi kemiskinan dampak yang ditimbulkan cukup menarik. Skenario kebijakan S2, terlihat lebih efektif untuk menurunkan kemiskinan di daerah perkotaan, sedangkan skenario kebijakan S3 lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan. Namun, kalau kedua skenario kebijakan ini dicermati betul terutama dari sisi kemiskinan, maka akan terlihat bahwa dampak yang ditimbulkan kedua skenario kebijakan tersebut terhadap kemiskinan sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh. Oleh karena itu, untuk menentukan skenario mana yang akan dipilih, maka harus (%)

9 dilihat dampaknya terhadap blok-blok yang lain. Dari sisi fiskal, output, kesempatan kerja, dan pengeluaran rata-rata per kapita, maka skenario kebijakan yang kedua (S2) nampaknya akan menjadi pilihan terbaik sebab skenario ini memiliki dampak yang relatif lebih besar apabila dibandingkan dengan skenario kebijakan yang ketiga (S3). Skenario kebijakan yang kedua (S2) menyebabkan kenaikan dalam pendapatan per kapita (YCAP) dan pengeluaran rata-rata per kapita (RPCE dan UPCE) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh skenario kebijakan yang pertama (S1) dan skenario kebijakan yang ketiga (S3). Skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), menyebabkan pendapatan per kapita (YCAP), pengeluaran rata-rata per kapita perdesaan (RPCE) dan pengeluaran rata-rata per kapita perkotaan (UPCE) mengalami kenaikan masing-masing sebesar 3.95 persen, 0.34 persen, dan 0.62 persen (lihat Lampiran 9) Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK), Masing-masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Skenario kebijakan yang keempat (S4) yang merupakan kombinasi skenario kebijakan yang pertama (S1) dan skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil pajak (BHPJK) dan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) masing-masing sebesar 10 persen, ternyata memiliki dampak ekspansif paling besar terhadap semua blok yang ada dalam model termasuk blok kemiskinan, dibandingkan dengan kombinasi skenario kebijakan lainnya (S5 dan S6). Dengan demikian, dari sisi distribusi pendapatan dan kemiskinan, jelas bahwa skenario kebijakan S4 tidak

10 akan dipilih, sebab memiliki dampak inequalizing yang besar terhadap distribusi pendapatan, yang pada gilirannya semakin memperburuk kondisi kemiskinan yang ada. Dengan skenario kebijakan S4, maka akan menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan mengalami kenaikan antara persen untuk perdesaan dan antara persen untuk daerah perkotaan, yang berarti jauh lebih besar bila dibandingkan dengan skenario kebijakan S5 dan S6 (lihat Tabel 21). Dalam hal ini, terjadi semacam trade-off antara untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di satu pihak, dengan tujuan untuk meningkat penyerapan tenaga kerja (employment) dan output di lain pihak. Artinya, kalau tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, maka skenario kebijakan S4 tersebut sebaiknya dihindari. Akan tetapi, kalau tujuan yang ingin dicapai terbatas pada peningkatan penyerapan tenaga kerja (employment) dan output, maka jelas skenario kebijakan S4 merupakan pilihan terbaik dibandingkan kombinasi kebijakan atau policy mix lainnya (skenario S5 dan S6). Tabel 21. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Masing- Masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen (%) Persoalannya sekarang adalah tujuan manakah yang harus diprioritaskan, apakah peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output ataukah pengurangan ketim-

11 pangan pendapatan dan kemiskinan?. Setiap pilihan sudah tentu akan memiliki cost, dan disinilah letak persoalannya. Andaikan yang diprioritaskan adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output, maka sebagai bayaran (cost)-nya adalah semakin meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan; sebaliknya kalau yang diprioritaskan adalah pengurangan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, maka bayarannya adalah pertumbuhan penyerapan tenaga kerja dan output akan terganggu, dalam arti pertumbuhan dari penyerapan tenaga kerja dan output itu tidak akan maksimal seperti ketika peningkatan penyerapan tenaga kerja dan output itu yang menjadi prioritas kebijakan Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Skenario kebijakan yang kelima (S5), yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak (BHPJK) sebesar 10 persen dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen memiliki dampak terhadap blok fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh skenario kebijakan S4 sebelumnya. Dengan skenario ini peubah blok fiskal hanya mengalami kenaikan dengan persentase antara persen; sedangkan skenario S4 menyebabkan kenaikan antara persen. Hal yang sama juga terjadi untuk blok-blok yang lainnya yaitu blok output, tenaga kerja, pengeluaran per kapita, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Dengan skenario kebijakan S5 ini menyebabkan berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan mengalami kenaikan antara persen, dan perkotaan antara persen (lihat Tabel 22). Tabel 22. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum Masing-Masing Sebesar 10 Persen dan 1.25 Persen Terhadap

12 Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen (%) Dampak kenaikan yang ditimbulkan skenario ini terhadap kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan skenario kebijakan yang keempat (S4), dimana berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan mengalami kenaikan antara persen, dan untuk daerah perkotaan antara persen. Dengan demikian, dilihat baik dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan (poverty alleviation), skenario kebijakan yang kelima (S5) ini adalah lebih baik daripada skenario kebijakan S4, sebab dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan relatif lebih kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan S Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Adapun skenario kebijakan yang keenam (S6) yang dilakukan dengan menaikan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) dan dana alokasi umum (DAUK) masingmasing sebesar 10 persen dan 1.25 persen, ternyata memiliki dampak terhadap pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA), output atau PDRB sektor peranian (PDRBA), dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA) yang jauh

13 lebih kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan S4 dan S5 sebelumnya. Dengan skenario S6 ini, pengeluaran pembangunan sektor pertanian (PEPBA), output sektor pertanian (PDRBA), dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (TKA), hanya mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 1.39 persen, 0.64 persen, 0.65 persen; jauh dibawah kenaikan yang disebabkan oleh skenario kebijakan S4 dan S5. Hal yang menarik disini adalah walaupun skenario kebijakan S6 ini memiliki dampak kenaikan yang relatif lebih besar terhadap pendapatan per kapita (YCAP) yaitu 4.62 persen dibandingkan dengan dampak kenaikan yang ditimbulkan skenario kebijakan S5 yang hanya 3.27 persen, namun skenario kebijakan S6 ini ternyata memiliki inequalizing effect yang jauh lebih kecil terhadap distribusi pendapatan. Dengan skenario kebijakan S6 ini, indeks Gini di perdesaan dan perkotaan hanya naik masing-masing sebesar 0.73 persen dan 1.10 persen; sementara dengan skenario kebijakan S4 dan S5, indeks Gini perdesaan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1.62 persen dan 1.22 persen dan indeks Gini perkotaan naik sebesar 2.59 persen dan 2.06 persen. Akibat lebih lanjut, skenario kebijakan S6 inipun membawa dampak kenaikan terhadap kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan skenario S4 dan S5. Dengan skenario kebijakan S6 ini, berbagai ukuran kemiskinan di daerah perdesaan hanya mengalami kenaikan antara persen dan di perkotaan mengalami kenaikan antara persen (lihat Tabel 23), jauh dibawah kenaikan yang disebabkan oleh penerapan skenario kebijakan S4 dan S5. Tabel 23. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia

14 Nama Peubah Endogen Satuan Dasar Simulasi (%) Kemiskinan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun kenaikan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) sebesar 10 persen dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen telah menyebabkan kenaikan terhadap kemiskinan, baik kemiskinan di daerah perdesaan maupun perkotaan, namun dampak kenaikan yang ditimbulkan oleh skenario ini terhadap kemiskinan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan adalah yang paling kecil bila dibandingan dengan kombinasi kebijakan lainnya (S4 dan S5). Dengan demikian, dapat dikatakan dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, kombinasi kebijakan (policy mix) ini merupakan pilihan terbaik, sekalipun skenario kebijakan ini memiliki dampak yang sangat kecil terhadap output dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) masing-masing Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum (DAUK) sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Hasil simulasi skenario kebijakan yang ketujuh (S7) yang merupakan kombinasi dari skenario kebijakan S1, S2, dan S3, menunjukkan bahwa kenaikan bagi hasil pajak (BHPJK) dan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK) masing-masing sebesar 10 persen, dan dana alokasi umum (DAUK) sebesar 1.25 persen, telah menyebabkan indeks Gini, baik untuk daerah perdesaan (RGINI) maupun perkotaan

15 (UGINI) meng-alami kenaikan dengan persentase masing-masing sebesar 2.03 persen dan 3.35 persen, jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada pengeluaran rata-rata per kapita untuk daerah perdesaan (RPCE) dan perkotaan (UPCE), yang masing-masing hanya sebesar 0.62 persen dan 1.11 persen. Dengan adanya kenaikan indeks Gini yang lebih besar daripada kenaikan pengeluaran per kapita, dan mengingat berbagai ukuran kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan memiliki hubungan yang cenderung lebih responsif atau elastis terhadap perubahan dalam indeks Gini, maka dampak akhir dari penerapan dari skenario kebijakan S7 ini dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi kemiskinan yang ada. Dengan skenario kebijakan S7 ini, berbagai ukuran kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan antara persen, sedangkan di perkotaan mengalami kenaikan antara persen (lihat Tabel 24). Tabel 24. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak dan Dana Alokasi Umum Masing-Masing Sebesar 10 Persen, 10 Persen dan 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia Dasar Simulasi Nama Peubah Endogen Satuan Kemiski nan Perdesaan (Rural Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perdesaan (RHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perdesaan (RPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perdesaan (RPSI) Persen Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) : Tingkat Kemiskinan Perkotaan (UHCI) Persen Indeks Kedalaman Kemiskinan Perkotaan (UPGI) Persen Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan (UPSI) Persen Simulasi terhadap berbagai skenario kebijakan menunjukkan adanya indikasi dimana kenaikan transfer fiskal yang mencakup bagi hasil pajak (BHPJK), bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), dan dana alokasi umum (DAUK), ternyata memiliki dampak yang cenderung semakin memperburuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan (%)

16 (inequalizing effects) dan meningkatkan kemiskinan (poverty increasing), baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Hasil temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa bantuan atau transfer fiskal bukanlah segalanya (fiscal transfers is not everything). Transfer fiskal bukanlah obat mujarab (is not a panacea) yang dapat memecahkan semua persoalan sekaligus. Transfer fiskal hanyalah salah satu saja dari sekian banyak instrumen fiskal, dan satu hal yang perlu disadari adalah bahwa efektif atau tidaknya transfer fiskal dalam mengurangi kemiskinan tidak hanya ditentukan oleh besarnya transfer fiskal saja, tetapi ada banyak faktor lain yang diduga ikut berperan di dalamnya. Sejumlah studi yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan dan kelembagaan termasuk di dalamnya desain dari program transfer fiskal yang bersangkutan merupakan faktor yang memiliki kontribusi penting. Studi yang dilakukan Kaufmann, et al (1999) dari Bank Dunia, menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan hal yang sangat dalam kinerja perekonomian suatu negara. Studi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi pada salah satu infikator tata kelola pemerintahan menyebabkan kenaikan dua setengah sampai empat kali lipat dari pendapatan per kapita, penurunan dua setengah sampai empat kali lipat pada angka kematian bayi, dan kenaikan sebesar 15 sampai 25 persen pada angka kemampuan membaca (literacy rate) penduduk. Studi lain adalah oleh Rajkumar dan Swaroop (2002) yang menemukan bahwa efisiensi dalam pengeluaran publik menurunkan angka kematian bayi, menaikkan tingkat pendidikan penduduk, dan berhubungan positif dengan tata kelola pemerintahan. Pengeluaran publik menjadi lebih efektif apabila terdapat tata kelola pemerin-

17 tahan yang baik, dan sebaliknya menjadi kurang efektif apabila tata kelola pemerintahannya buruk (lihat Sumarto et al, 2004). Penelitian yang dilakukan SMERU Research Institute pada tahun 2004 menemukakan beberapa hal menarik sebagai berikut (1) terdapat indikasi yang kuat adanya korelasi antara berbagai kategori budaya birokrasi (disruptive, kurang kondusif, kondusif, sangat kondusif) terhadap iklim usaha dengan tingkat penurunan jumlah penduduk miskin. Pada kabupaten/kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter kurang kondusif, proporsi penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi hanya sebesar 3.4 persen. Sedangkan pada kabupaten/kota yang budaya birokrasinya berkarakter kondusif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin yang jauh lebih besar lagi yaitu mencapai 15 persen. (2) hasil regresi perubahan jumlah penduduk miskin dengan peubah dummy budaya birokrasi (kondusif dan sangat kondusif), log GRDP per kapita, log belanja rutin pemerintah, log belanja pembangunan per kapita, dan log PAD per kapita, menunjukkan bahwa hanya peubah dummy budaya birokrasi yang secara statistik signifikan. Temuan ini mengkonfirmasikan hasil analisis bivariat yang mengindikasikan bahwa bentuk tata kelola pemerintahan yang dijalankan dengan baik oleh kabupaten/kota mempunyai pengaruh terhadap laju penurunan jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan. Studi yang dilakukan Rao, et al (1998) di Vietnam menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mengurangi kemiskinan di negara tersebut sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan. Artinya, bagaimana institusiinstitusi pemerintah yang ada itu dapat digerakkan dan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dalam penyampaian berbagai layanan publik dan mempercepat pertum-

18 buhan ekonomi termasuk di dalamnya untuk mengurangi kemiskinan, dianggap merupakan hal yang penting. Faktor perilaku fiskal (fiscal behaviour) pejabat lokal diduga kuat ikut berperan di dalmnya. Data fiskal menunjukkan bahwa setelah kebijakan desentralisasi fiskal itu diterapkan, ada kecenderungan dimana pengeluaran-pengeluaran daerah untuk keperluan rutin mengalami peningkatan yang sangat besar, sebaliknya share pengeluaran pembangunan di dalam keseluruhan pengeluaran kabupaten/kota cenderung mengecil. Hal ini barangkali yang menjadi salah faktor penyebab mengapa transfer fiskal belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. Selain itu, terdapat indikasi kuat bahwa dengan adanya transfer fiskal dari yang sangat besar yang dikucurkan ke Daerah setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan, ada kecenderungan dikalangan elite pemerintah kabupaten/kota terjadi semacam apa yang oleh Bird dan Fiszbein (1998) istilahkan sebagai kemalasan fiskal (fiscal laziness). Artinya, pejabat cenderung bermalas-malasan dan kurang ada upaya untuk bagaimana memacu dan meningkatkan kinerja fiskal daerahnya, termasuk di dalamnya untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini jelas sekali karena kapasitas fiskal daerah dan poverty gap index (P1) dimasukkan ke dalam formula DAU yang digunakan Deparetmen Keuangan dalam menentukan besarnya DAU yang dapat diberikan kepada suatu kabupaten/kota. Artinya, kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan indeks kemiskinan tinggi, memiliki peluang untuk mendapatkan jumlah DAU yang lebih besar, daripada kabupaten/kota yang kapasitas fiskalnya tinggi dan indeks kemiskinannya rendah. Oleh karena itu, wajar saja kalau ada keengganan

19 dikalangan pejabat pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal dan/atau menurunkan jumlah dan tingkat kemiskinan di daerahnya. Selain itu, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah baru berjalan dua tahun ketika studi ini diadakan. Pengalaman menunjukkan bahwa selama kurang lebih 30 tahun pengelolaan pembangunan di Indonesia dikendalikan secara terpusat dan daerah kurang mendapatkan atau diberi kesempatan untuk terlibat di dalamnya. Akibatnya, daerah menjadi tidak siap ketika tiba saatnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengejutkan apabila transfer fiskal dalam studi ini belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Secara keseluruhan hasil simulasi kebijakan yang dilakukan dapat dirangkum dalam butir-butir sebagai berikut : 12. Secara individual, skenario kebijakan yang pertama (S1) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil pajak (BHPJK) sekalipun memiliki dampak positif yang besar terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan tenaga kerja, namun melihat dampak skenario ini terutama dari sisi distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan ternyata kurang bagus. 13. Skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak (BHBPJK), selain memiliki dampak positif yang cukup besar terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan kerja (kecuali untuk sektor pertanian), juga memiliki dampak paling besar terhadap pengeluaran per kapita baik di perdesaan maupun perkotaan, dibandingkan dengan skenario kebijakan S1 ataupun S3.

20 14. Adapun skenario kebijakan yang ketiga (S3), yang dilakukan melalui peningkatan dana alokasi umum (DAUK), selain memiliki dampak yang kecil terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah, output atau PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan pengeluaran per kapita, dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah juga ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan melalui peningkatan bagi hasil bukan pajak. 15. Bertitik tolak dari butir 1 3, dapat dikatakan bahwa secara individual skenario kebijakan yang kedua (S2) yang dilakukan dengan menaikkan bagi hasil bukan pajak merupakan pilihan terbaik dilihat dari berbagai sisi yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah, output dan penyerapan tenaga kerja, ketimpangan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. 16. Apabila dilakukan kombinasi kebijakan (policy mix), maka skenario kebijakan yang keenam (S6) yaitu kombinasi kebijakan S2 dan S3 adalah merupakan pilihan terbaik sebab skenario kebijakan S6 ini memiliki dampak inequalizing terhadap distribusi pendapatan yang relatif kecil dan juga dampak kenaikan yang ditimbulkan terhadap kemiskinan adalah yang paling kecil dibandingkan dengan skenario kebijakan yang keempat (S4) ataupun skenario kebijakan yang kelima (S5).

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor. VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam jangka pendek peningkatan pendidikan efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dibanding dengan sektor industri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Definisi Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

Bab V Validasi Model

Bab V Validasi Model Bab V Validasi Model 5.1 Pengujian Model Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengujian model sistem dinamik menyangkut tiga aspek yaitu : (1) pengujian struktur model; (2) pengujian perilaku model;

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN

VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak memasuki era reformasi, perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih demokratis. Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Di sisi penerimaan daerah, dengan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan asli daerah terus dilanjutkan, PAD diharapkan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar menghitung angka kemiskinan. Pertama, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Selama periode penelitian tahun 2008-2012, ketimpangan/kesenjangan kemiskinan antarkabupaten/kota

Lebih terperinci

Formula Dana Desa: CATATANKEBIJAKAN. No. 13, November Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Pelayanan Dasar

Formula Dana Desa: CATATANKEBIJAKAN. No. 13, November Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Pelayanan Dasar No. 13, November 2016 CATATANKEBIJAKAN Meningkatkan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Pelayanan Dasar REKOMENDASI Formula transfer Dana Desa yang saat ini digunakan pemerintah perlu diperhitungkan lagi

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Agriekonomika Volume 6, Nomor 2, 2017

Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  Agriekonomika Volume 6, Nomor 2, 2017 Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian http://journal.trunojoyo.ac.id/agriekonomika Agriekonomika Volume 6, Nomor 2, 2017 DAMPAK TRANSFER FISKAL (CONDITIONAL GRANT) TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH UNDP (United Nations Development Programme) melalui Human Development Report tahun 1996 tentang Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pembangunan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota Pada analisis ini hanya melihat dari sisi penerimaan kabupaten/kota di provinsi Aceh. Kinerja keuangaan dari sisi penerimaan

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO HELDY ISMAIL Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengumpulan data yang berupa laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. and C. T. Morris Economic Growth and Social Equity in Developing Countries. Stanford University Press, Oxford.

DAFTAR PUSTAKA. and C. T. Morris Economic Growth and Social Equity in Developing Countries. Stanford University Press, Oxford. DAFTAR PUSTAKA Adams Jr., R. H. 2002. Economic Growth, Inequality and Poverty : Findings from a New Data Set. World Bank Policy Research Working Paper 2972. The World Bank, Washington, D.C. and J. Page.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daearh merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 55 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian makro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA 233 IX. DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA Secara teoritis kinerja ekonomi rumahtangga petani dipengaruhi oleh perilaku rumahtangga dalam kegiatan produksi,

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Sejarah perjalanan pembangunan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era reformasi ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang dalam hal pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan pasca-orde baru, pemerintah pusat tetap memainkan peranan penting dalam mendukung pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan pengeluaran yang manfaatnya cenderung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jatuhnya Rezim Suharto telah membawa dampak yang sangat besar bagi pemerintahan di Indonesia termasuk hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemberlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era Orde Baru, salah satunya adalah permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa diberlakukannya Otonomi Daerah, untuk pelaksanaannya siap atau tidak siap setiap pemerintah di daerah Kabupaten/Kota harus melaksanakannya, sehingga konsep

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik

Lebih terperinci