PEMODELAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)"

Transkripsi

1 i PEMODELAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) KRISWINDYA TASHA A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ii RINGKASAN KRISWINDYA TASHA. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA Perubahan penggunaan lahan merupakan semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual. Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Sebagian besar penelitian untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan ke depan didasarkan pada penggunaan suatu model. Pemodelan perubahan penggunaan lahan merupakan suatu metode atau pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan yang bersifat dinamis tersebut. Metode Artificial Neural Network (ANN) digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan lokasi atau daerah mana saja dari penggunaan lahan hutan dan semak belukar yang berpotensi berubah menjadi perkebunan serta menguji kemampuan prediksi yang akan dihasilkan model. Penelitian ini bertujuan (1) memprediksi penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009, (2) membangun model perubahan penggunaan lahan dengan metode ANN dan (3) proyeksi penggunaan lahan Kabupaten Bengkalis tahun Penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Bengkalis adalah perkebunan dan hutan sekunder. Luas perkebunan mencapai ha (48%) pada tahun 2009, sedangkan hutan sekunder memiliki luas ha (18%). Pada periode hutan primer mengalami penurunan luas cukup besar yaitu ha. Hutan tanaman dan perkebunan meningkat sebesar ha dan ha pada periode Pada periode hutan sekunder mengalami penurunan luas sangat drastis ( ha) sementara perkebunan dan pertanian luasnya bertambah cukup signifikan berturut-turut ha dan ha. Hasil pemodelan dengan ANN menunjukkan hasil akurasi yang cukup baik dengan rata-rata 85%. Terlihat bahwa peluang hutan dan semak belukar untuk berubah menjadi perkebunan cukup tinggi, bahkan mencapai nilai 0,99. Proyeksi penggunaan lahan dengan Markov Chain menunjukkan bahwa pada tahun 2018 perkebunan mendominasi hampir 58% dari total luas wilayah di Kabupaten Bengkalis. Kata kunci: Penggunaan Lahan, Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan, Artificial Neural Network

3 iii SUMMARY KRISWINDYA TASHA. Land Use Change Modelling using Artificial Neural Network (A Case Study of Bengkalis District, Riau Province). Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA Land use change is the result of policy intervention or as by products of other human actions or natural developments. Predicting land use and land use change in the future basically based on the use of model. Land use change models are important method for understanding the causes and consequences of land use dynamics. The objectives of this research are (1) to detect land use and land use change during 2000, 2003, 2006 and 2009, (2) to develop a land use change model using Artificial Neural Network and (3) to predict the land use in Bengkalis District in the year of Bengkalis district was dominated by plantation and secondary forest. In 2009 plantation occupied up to ha (48%) whereas secondary forest occupied ha (18%). During primary forest decreased dramatically for about ha. Forest of crop and plantation are increased for about ha and ha respectively. In the period secondary forest decreased (up to ha) whereas at the same time plantation and agriculture increase significantly for about ha and ha. The result of using Artificial Neural Network produced a fairly good accuracy by an average of 85%. It shows that the opportunities for the forest and shrub to transformed into plantation are quite high, up to 0,99. Prediction of land use using Markov Chain in 2018 showed that plantation will dominate almost 58% of the total area of Bengkalis District. Keywords : Land Use, Land Use Change Modelling, Artificial Neural Network

4 iv PEMODELAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) Oleh: KRISWINDYA TASHA A SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 v Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) : Kriswindya Tasha : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M. Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP Tanggal Lulus:

6 vi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Kristianto dan Anie Kristiani. Penulis memulai pendidikan formal pertama di Taman Kanak-kanak (TK) Khodijah Tomang, Jakarta yang diselesaikan pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SD Sumbangsih 2 Grogol dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Sumbangsih 2 Grogol dan menyelesaikan pendidikan pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan dari tahun di SMUN 8 Jakarta. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis terlibat aktif dalam kepengurusan Unit Kegiatan Mahasiswa Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara periode dan sebagai kepala divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia. Penulis juga aktif mengikuti berbagai perlombaan bersama PSM IPB Agria Swara di Bandung, Jakarta dan Rimini, Italia. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

7 vii KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau). Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M. Sc selaku pembimbing II yang telah memberikan motivasi dan masukan bagi penulis selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. Khursatul Munibah, M. Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi. 4. Papa dan Mama tersayang, Kakak dan Adik tercinta atas doa, perhatian, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti kepada penulis. 5. Teman-teman seperjuangan (Ardita Oktaviana, Fitria Nisaul Hakim, Heny Emilia, Ria Larastiti, Frizka Amalia, Aminia Novriani, Winda dan Milki) atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan. 6. Teman-teman PSM IPB Agria Swara (Novia, Nase, Fajri, Pipit, Fata, Vino, Fikri, Yuli, Merry) atas dukungan yang telah diberikan serta Fariz AM Kurniawan atas waktu, perhatian dan semangat selama ini kepada penulis. 7. Saudara-saudara SOIL 44 terutama teman seperjuangan di lab PPJ (Farid, Ika, Hana, Tia, Adi, Herdianto, Herdian, Melin, Ranti, Aul, Roma) atas saran dan motivasi kepada penulis.

8 viii 8. Kakak-kakak di CCROM (Kak Sisi, Kak Gito, Kak Ihsan) atas bantuan dan saran kepada penulis. 9. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, Maret 2012 Kriswindya Tasha

9 ix DAFTAR ISI RINGKASAN... SUMMARY... RIWAYAT HIDUP.... KATA PENGANTAR DAFTAR ISI.... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian Model Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan metode ANN Proyeksi menggunakan Markov Chain... 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan Tahap Pengolahan Data Tahap Pembuatan Model dan Peta Proyeksi Penggunaan Lahan BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Topografi Iklim Kependudukan Mata Pencaharian ii iii vi vii ix xi xii

10 x 4.6 Pendidikan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan di Kabupaten Bengkalis Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Model Perubahan Penggunaan Lahan dengan Metode Artificial Neural Network Proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun Validasi Model 39 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 46

11 xi DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian Software yang digunakan dalam penelitian Kepadatan Penduduk Bengkalis Menurut Kecamatan Tahun Sektor Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Bengkalis Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2000, 2003, 2006 dan Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun Lampiran 1. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun (Ha); (Ha); (Ha) Nilai Cramer s V masing-masing variabel Bobot antara input layer dan hidden layer (W ij ) masing-masing kelas perubahan penggunaan lahan Bobot antara hidden layer dan output layer (W jk ) masing-masing kelas perubahan penggunaan lahan Klasifikasi Penggunaan Lahan Versi Badan Planologi Kementrian Kehutanan Kelas Training Sites, Hasil Pemodelan dan Peta Peluang Perubahan. 54

12 xii DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Ilustrasi Multi-layer Perceptron 7 2. Tampilan Aplikasi Land Change Modeler Tampilan Kelas Perubahan yang akan Dimodelkan Tampilan Tahap Pengujian Nilai Cramer s V Tampilan Tahap Pemodelan dengan ANN Topologi Jaringan Tampilan Tahap Proyeksi Penggunaan Lahan Matriks Transisi Diagram Alir Penelitian Peta Administrasi Kabupaten Bengkalis Presentase Penyebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bengkalis Menurut Kecamatan Tahun Banyaknya Sarana Pendidikan di Kabupaten Bengkalis Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Luas Penggunaan Lahan Tahun Kelas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Jarak ke Jalan Jarak ke Sungai Jarak ke Pemukiman Kepadatan Penduduk Pengujian Nilai Cramer s V Jarak ke Pemukiman Kelas Training Sites Hutan Primer Menjadi Hutan Tanaman Grafik Perbandingan RMS dengan Iterasi dan Akurasi Model Peta Peluang Perubahan Hutan Sekunder Menjadi Perkebunan Hasil Pemodelan dan Peta Peluang Perubahan Hutan Primer Menjadi Lahan Terbuka (a) dan Perkebunan (b). 32

13 xiii 27. Peta Peluang Perubahan Hutan Sekunder Menjadi Hutan Tanaman (a) dan Perkebunan (b) Peta Peluang Perubahan Lahan Terbuka (a), Pertanian (b) dan Semak Belukar (c) Menjadi Perkebunan Matriks Peluang Perubahan Penggunaan Lahan (Skenario BAU) Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 (Skenario BAU) Matriks Peluang Perubahan Penggunaan Lahan (Tidak ada konversi hutan primer dan sekunder) Peta proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 (Tidak ada konversi hutan primer dan sekunder) Peta Hasil Reklasifikasi Hutan Sekunder (a), Lahan Terbuka (b), Pertanian (c) dan Semak Belukar (d) menjadi Perkebunan Peta Peluang Perkebunan Hasil Pemodelan ANN Peta Perkebunan Tahun Peta Hasil Overlay antara Peluang Perkebunan Hasil Pemodelan ANN dengan Peta Perkebunan Tahun Peta Hasil Overlay antara Peta Peluang Perkebunan Hasil Pemodelan ANN dan Peta Perkebunan Tahun Lampiran 7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2000, 2003, 2006 dan

14 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad, 1989). Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang pada akhirnya berdampak positif maupun negatif akibat perubahan penggunaan lahan tersebut. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Basyar, 1999). Sebagian besar penelitian untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan didasarkan pada penggunaan suatu model (Lambin et al., 2000). Pemodelan perubahan penggunaan lahan merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk memahami penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan yang bersifat dinamis tersebut (Veldkamp dan Lambin, 2001). Wijaya (2011) melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Siak untuk memahami proses dan pola perubahan yang terjadi serta faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. Veldkamp dan Fresco (1995) melakukan pemodelan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari perubahan faktor demografi dan biofisik pada penggunaan atau penutupan lahan di Costa Rica, termasuk timbal balik dari penggunaan atau penutupan lahan itu sendiri terhadap faktor di atas. Selain itu, model perubahan penggunaan lahan sering digunakan sebagai input atau masukan dalam penelitian dampak lingkungan, misalnya digunakan sebagai input untuk menghitung polusi udara, emisi, erosi, dan lain-lain (King et al., 1989). Hasil analisis akhir dari pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan untuk mendukung perencanaan dan kebijakan penggunaan lahan di masa yang akan datang.

15 2 Berbagai metode untuk melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan telah diterapkan oleh beberapa peneliti. Wijaya (2011) melakukan pemodelan dengan metode Multinomial Logistic Regression (MLR). Model yang telah berhasil dibangun mampu menjelaskan sebagian besar variasi dari perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian. Wu et al. (2006) menggunakan analisis regresi untuk memodelkan perubahan penggunaan lahan di kota Beijing, Cina dan melakukan prediksi 20 tahun ke depan dengan model Markov Chain. Model CLUE (Conversion of Land Use and its Effects) digunakan oleh Veldkamp dan Fresco (1995) untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan di Costa Rica pada skala lokal, regional dan nasional. Dengan menggunakan ukuran skala yang berbeda, model ini menunjukkan bahwa pada skala lokal, regional dan nasional dapat terjadi suatu pengaruh yang saling berlawanan. Metode pemodelan lainnya yang dapat digunakan untuk memodelkan suatu perubahan penggunaan lahan adalah metode Artificial Neural Network (ANN). ANN atau dalam bahasa Indonesia mengandung arti jaringan syaraf tiruan, merupakan suatu struktur komputasi yang dikembangkan berdasarkan proses sistem jaringan syaraf biologi dalam otak. Penggunaan ANN telah mengalami peningkatan yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir seiring meningkatnya kinerja komputasi (Skapura, 1996). Tayyebi (2008) mensimulasikan perubahan pemukiman di kawasan metropolitan Teheran, Iran dengan Backpropagation Neural Network dan melihat bagaimana faktor jalan, lereng, daerah administrasi, pusat pelayanan dan kawasan pemukiman mempengaruhi perubahan yang terjadi. Sementara Pijanowski et al. (2002) menggunakan ANN untuk memodelkan perubahan pemukiman di Michigan, baik pada skala lokal maupun regional. Nilai akurasi model yang dihasilkan cukup baik pada kedua skala tersebut. ANN dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan lokasi atau daerah mana saja dari penggunaan lahan hutan dan semak belukar yang berpotensi untuk berubah menjadi perkebunan. Sementara SIG digunakan untuk membangun suatu aspek keruangan (spasial) dan membangun variabel-variabel pendorong yang mempengaruhi perubahan. Beberapa variabel yang mendorong terjadinya suatu perubahan penggunaan lahan adalah jarak ke jalan, jarak ke sungai, jarak ke

16 3 pemukiman, lereng, iklim, kepadatan penduduk dan pendapatan asli daerah. Dalam penelitian ini hanya empat yang digunakan, yaitu jarak ke jalan, jarak ke sungai, jarak ke pemukiman dan kepadatan penduduk. Oleh karena itu, dengan memadukan metode ANN dengan SIG diharapkan mampu memberikan jawaban yang lebih baik dalam memodelkan suatu perubahan penggunaan lahan. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memprediksi penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000, 2003, 2006 dan Membangun model perubahan penggunaan lahan dengan metode Artificial Neural Network 3. Proyeksi penggunaan lahan Kabupaten Bengkalis tahun 2018

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer, termasuk atmosfer serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang. Lillesand dan Kiefer (1997) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan pertanian dibedakan atas tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya, sedangkan penggunaan lahan nonpertanian dibedakan dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non-pertanian (Junaedi, 2008). Menurut Kazaz dan Charles (2001) dalam Munibah (2008) perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri. Sementara menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian

18 5 berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dari beberapa titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Faktor utama penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Mansur (2001) menyebutkan tiga faktor yang berpengaruh yaitu peningkatan jumlah penduduk, urbanisasi dan peningkatan jumlah anggota kelompok pendapatan menengah ke atas di daerah perkotaan. Sementara Rustiadi et al. (2007) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan penggunaan lahan, antara lain: 1. Tingginya permintaan atas lahan sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk 2. Market failure: alih profesi bagi petani yang kemudian petani tersebut menjual sawahnya, sebagai akibat dari pergeseran struktur dalam perekonomian dan dinamika pembangunan 3. Government failure: kebijakan pemerintah, misalnya memberikan peluang investasi di sektor industri namun tidak diikuti dengan kebijakan konversi lahan 2.2 Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian Model Model adalah penyederhanaan suatu sistem di dunia nyata (real world), sementara sistem adalah mekanisme dimana berbagai macam komponen saling berinteraksi dengan suatu cara tertentu untuk menunjukkan fungsinya di dunia nyata (Handoko, 2005). Definisi lain yang berbasis spasial dikemukakan oleh Berger et al. (2001), dimana model adalah abstraksi dari sistem dunia nyata yang memiliki kedetilan masalah yang signifikan dengan masalah yang dipelajari, dan

19 6 juga memiliki tranparansi, sehingga mekanisme dan faktor kunci yang mempengaruhi perubahan dapat diidentifikasi. Tujuan dari penggunaan model adalah untuk memahami dengan mudah cara kerja sistem dengan menyederhanakan prosesnya. Model dapat digunakan untuk merepresentasikan suatu isu yang spesifik pada ilmu yang berkaitan dengan sumberdaya alam, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Pemodelan perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu bentuk pemodelan yang telah menarik perhatian beberapa peneliti di dunia. Mereka mempelajari adanya suatu hubungan sebab akibat antara pengelolaan suatu lahan dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Pemodelan perubahan penggunaan lahan memiliki beberapa kegunaan, antara lain untuk mengeksplorasi beragam aktifitas dimana terjadinya suatu perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh faktor sosial ekonomi (Batty dan Longley, 1994), memprediksi dampak ekonomi dan lingkungan yang akan ditimbulkan dari perubahan tersebut (Theobald dan Hobbs, 1998) serta mengevaluasi dampak dari kebijakan pemerintah dalam menentukan suatu peruntukkan lahan dan pengelolaan lahan (Bockstael et al., 1995). Diharapkan model perubahan penggunaan lahan yang telah dikembangkan dapat memberikan pemahaman tentang proses perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan metode Artificial Neural Network Artificial Neural Network (ANN) merupakan suatu metode, teknik atau pendekatan yang memiliki kemampuan untuk mengukur dan memodelkan suatu perilaku dan pola yang kompleks. ANN telah digunakan di berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, kesehatan, klasifikasi bentang lahan, pengenalan pola, prediksi kondisi iklim, dan penginderaan jauh (Atkinson dan Tatnall, 1997). Multi-layer Perceptron (MLP) adalah salah satu bentuk arsitektur jaringan ANN yang paling banyak digunakan. MLP umumnya terdiri dari tiga jenis layer dengan topologi jaringan seperti pada Gambar 1, yaitu lapisan masukan (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer) dan lapisan keluaran (output layer) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu hubungan non-linier di kehidupan nyata (Rumelhart, Hinton dan Williams, 1986).

20 7 Gambar 1. Ilustrasi Multi-layer Perceptron (Pijanowski et al., 2002) Tahap pelatihan dan pengujian pada ANN harus dilakukan dengan hatihati. Pada tahap pelatihan, nilai input akan dikalikan dengan suatu bobot yang nilainya ditentukan secara acak. Pada tahap pengujian, data yang terpisah akan disajikan untuk melatih jaringan secara independen dalam mengukur tingkat kesalahan. ANN dapat diaplikasikan untuk memodelkan suatu perubahan penggunaan lahan dalam empat tahap, yaitu (1) menentukan input dan arsitektur jaringan, (2) melatih jaringan menggunakan sebagian piksel dari input, (3) menguji jaringan menggunakan semua piksel dari input dan (4) menggunakan informasi yang telah dihasilkan oleh jaringan untuk memprediksi perubahan pengunaan lahan. 2.3 Proyeksi menggunakan Markov Chain Metode Markov Chain pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1907 oleh seorang ahli matematika bernama Andrei A. Markov yang berasal dari Rusia. Metode Markov Chain akan berhubungan dengan suatu rangkaian proses dimana kemungkinan terjadinya suatu kejadian, diasumsikan hanya tergantung pada kondisi yang langsung mendahuluinya, dan tidak tergantung pada rangkaian kejadian sebelumnya (non-aftereffect) (Veldkamp dan Lambin, 2001). Markov Chain bisa diterapkan di berbagai bidang antara lain ekonomi, politik, kependudukan, industri, pertanian dan lain-lain. Salah satu pemanfaatan dari metode Markov Chain adalah untuk memproyeksi penggunaan lahan ke depan. Peneliti Muller dan Middleton (1994) memanfaatkan metode ini dalam mempelajari dinamika perubahan lahan di Ontario, Kanada. Peneliti lain yaitu

21 8 Vandeveer dan Drummond (1976) menggunakannya untuk mengkaji dampak konstruksi sebuah reservoir. Markov Chain seringkali berperan menjadi konsep dasar yang digunakan pada pengembangan lanjutan, seperti model CA-Markov. Matriks peluang transisi akan dihasilkan dan dijadikan dasar untuk melakukan proyeksi penggunaan lahan ke depan. Bentuk dari matriks transisi tersebut adalah sebagai berikut. P = (Pij) = P ij merupakan nilai peluang perubahan penggunaan lahan i menjadi penggunaan lahan j, dimana n menunjukkan jumlah kelas penggunaan lahan. Besarnya nilai P ij harus memenuhi syarat yaitu 0 Pij 1 (i, j, = 1, 2, 3,., n)

22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian. Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian No. Data Skala/ Sumber Keterangan Resolusi 1. Citra Landsat TM 7 tahun 2000, 2003, 2006 dan x 30 m Interpretasi penggunaan lahan 2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) 3. Data kepadatan penduduk Kabupaten Bengkalis 1: Bakosurtanal Peta dasar, variabel atau faktor pendorong - Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis Variabel atau faktor pendorong dalam membangun model Software yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Software yang digunakan dalam penelitian No. Software Fungsi 1. Idrisi Andes 15 Pemodelan perubahan penggunaan lahan 2. ArcGis 9.3 Interpretasi citra 3. Microsoft Excel Pengolahan data atribut dari peta penggunaan lahan 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan data, tahap pembuatan model dan tahap pembuatan peta proyeksi penggunaan lahan ke depan.

23 Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi penentuan metode, studi literatur, dan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi literatur dilakukan untuk menambah informasi yang berkaitan dengan penelitian dan memperdalam pemahaman tentang metode ANN. Data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain citra Landsat, peta RBI, dan data kepadatan penduduk Kabupaten Bengkalis. Selain itu, pembelajaran metode ANN dengan software Idrisi Andes 15 juga dilakukan untuk lebih memahami proses kerja metode tersebut Tahap Pengolahan Data Pada tahap awal dilakukan interpretasi citra Landsat tahun 2000, 2003, 2006 dan Hasil interpretasi menghasilkan suatu peta penggunaan lahan tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 dengan kelas penggunaan lahan sebanyak 10 kelas berdasarkan klasifikasi Badan Planologi Kementrian Kehutanan (Lampiran 5). Software Idrisi Andes 15 membutuhkan data dengan format raster. Oleh karena itu, format peta perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi raster dengan memilih ukuran piksel 50 x 50 m. Ukuran ini dipilih atas dasar pertimbangan yang paling mendekati ukuran resolusi spasial citra Landsat. Tipe data yang digunakan adalah dalam bentuk byte, yang menyatakan bilangan dengan nilai range 8 bit biner (0-255) dan hanya berisi bilangan non-negatif. Peta jalan dan sungai diperoleh dari peta RBI skala 1: Peta jarak ke jalan, sungai, dan pemukiman dibuat dengan cara menjalankan modul Distance pada software Idrisi Andes 15. Jarak dihitung berdasarkan Euclidean, yaitu jarak dari satu objek ke objek yang lainnya. Sementara itu, peta jumlah penduduk dibuat dengan asumsi bahwa populasi penduduk menyebar secara sirkular dengan jari-jari 2 km dan populasi akan bertambah besar ketika mendekati pusatnya (Muin, 2009). Rumus proporsi populasi yaitu: P = * e ( * (peta jarak ke pemukiman)/1000) dimana jarak ke pemukiman dalam satuan meter. Peta kepadatan penduduk per piksel dibuat dengan rumus :

24 11 Pd = ρ* A * P * C dimana Pd : peta kepadatan penduduk per piksel ρ : kepadatan penduduk non-spasial (penduduk/km 2 ) A : luas wilayah penyebaran populasi (km 2 ) = 3,14 * (2 km) 2 = 12,5 km 2 P : proporsi populasi C : faktor konversi, dari 1 km 2 ke 1 piksel Tahap Pembuatan Model dan Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Model yang digunakan dalam penelitian adalah model ANN dengan arsitektur jaringan Multi-layer Perceptron (MLP) dan algoritma Backpropagation. Model ANN ini dijalankan dengan menggunakan aplikasi LCM (Land Change Modeler) yang telah tersedia pada software Idrisi Andes 15 (Gambar 2). Peta penggunaan lahan yang digunakan hanya dua titik tahun, yaitu peta penggunaan lahan tahun 2000 dan Gambar 2. Tampilan Aplikasi Land Change Modeler Aplikasi ini memiliki lima tahapan yang dapat digunakan untuk memodelkan perubahan penggunaan lahan, namun yang dipakai dalam penelitian hanya tiga tahapan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu :

25 12 1. Tahap analisis perubahan (Change Analysis) untuk menganalisis perubahan penggunaan lahan yang telah terjadi selama dua titik tahun. Grafik perubahan luas tiap penggunaan lahan akan disajikan pada tahap ini. 2. Tahap pemodelan perubahan penggunaan lahan (Transition Potentials). - Masing-masing kelas perubahan penggunaan lahan akan dimodelkan dengan tujuan memprediksi lokasi yang berpotensi untuk berubah menjadi penggunaan lahan yang lain. Apabila menggunakan ANN, perubahan-perubahan tersebut dapat dikelompokkan dengan asumsi faktor yang mempengaruhi adalah sama. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa faktor pendorong tiap perubahan tidak sama, sehingga tidak dilakukan pengelompokkan. Berikut adalah gambar yang menunjukkan tampilan kelas perubahan yang akan dimodelkan. Gambar 3. Tampilan Kelas Perubahan yang akan Dimodelkan - Variabel pendorong atau input yang digunakan untuk membangun model ditentukan pada tahap ini. Jumlah variabel pendorong yang digunakan ada 4, yaitu jarak ke jalan, sungai, pemukiman dan kepadatan penduduk. Masing-masing variabel diuji nilai Cramer s V untuk melihat keterkaitan antara variabel tersebut dengan 10 kelas penggunaan lahan (Gambar 4).

26 13 Gambar 4. Tampilan Tahap Pengujian Nilai Cramer s V Rentang nilai yang dihasilkan berkisar antara 0-1, dimana nilai 0 menunjukkan tidak ada keterkaitan, sedangkan nilai 1 menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara variabel tersebut dengan kelas penggunaan lahan yang mendorong terjadinya perubahan. - Setelah semua variabel diuji nilai Cramer s V, model dijalankan. Model akan berhenti apabila telah mencapai kondisi yang telah ditentukan, yaitu iterasi 5000, RMS 0,0001 dan akurasi model 100%. Tampilan tahap pemodelan dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 5. Tampilan Tahap Pemodelan dengan ANN - Topologi jaringan yang dihasilkan adalah 4-3-2, yaitu 4 nodes pada input layer, 3 nodes pada hidden layer dan 2 nodes pada output layer yang menunjukkan 1 kelas yang berubah dan 1 kelas yang tidak berubah (Gambar 6). Setiap nodes pada layer akan berhubungan dengan nodes pada layer berikutnya. Hubungan atau jalur koneksi

27 14 tersebut mengandung bobot (W) berupa matriks yang ukurannya tergantung dari jumlah input nodes, hidden nodes dan output nodes. Jarak ke jalan Jarak ke sungai W ij W jk Jarak ke pemukiman Kepadatan penduduk Gambar 6. Topologi Jaringan - Output yang dihasilkan dari model ini adalah peta peluang perubahan (Potential Transition Map) yang memiliki nilai peluang antara 0-1, dimana semakin mendekati 1 maka daerah tersebut memiliki peluang yang tinggi untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. Masingmasing peta potensi perubahan tersebut direklasifikasi dengan hanya mengambil nilai peluang antara 0,5-1, dimana nilai < 0,5 dianggap penggunaan lahan tersebut tidak berubah menjadi penggunaan lahan yang lain. - Uji validasi model dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta peluang hasil pemodelan ANN dengan peta penggunaan lahan tahun 2009 hasil interpretasi. 3. Tahap proyeksi penggunaan lahan (Change Prediction). Peta proyeksi penggunaan lahan dibuat dengan aplikasi yang sama, yaitu Land Change Modeler. Metode yang digunakan adalah Markov Chain dengan tahun proyeksi adalah Berikut adalah gambar dari tahap proyeksi penggunaan lahan Gambar 7. Tampilan Tahap Proyeksi Penggunaan Lahan

28 15 Metode ini mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang serupa dengan pola perubahan yang terjadi selama periode waktu yang digunakan. Perlu diketahui bahwa dalam menentukan tahun prediksi yang akan disimulasikan harus berada dalam selisih rentang waktu dari tahun awal dan akhir yang digunakan. Oleh karena itu, prediksi dilakukan untuk tahun 2018 yang berjarak 9 tahun dari tahun Matriks transisi akan dihasilkan oleh Markov Chain sebagai dasar untuk membuat peta proyeksi (Gambar 8). Gambar 8. Matriks Transisi Secara rinci, diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 9 berikut ini.

29 Peta jarak ke pemukiman tiap kecamatan Image Calculator Citra Landsat Tahun 2009 Citra Landsat Tahun 2006 Citra Landsat Tahun 2003 Citra Landsat Tahun 2000 Proporsi= * e ( * (peta jarak ke pemukiman)/1000) Peta Jalan Peta Sungai Peta Proporsi Interpretasi Distance Distance Image Calculator Peta Penggunaan Lahan 2009 Peta Penggunaan Lahan 2006 Peta Penggunaan Lahan 2003 Peta Penggunaan Lahan 2000 Jarak ke Pemukiman Jarak ke Jalan Jarak ke Sungai Kepadatan penduduk Pd = ρ* A * P * C Peta Kepadatan Penduduk LCM Tentukan transisi Running Model Input model Peta Peluang Perubahan Reklasifikasi Validasi Model Peta Proyeksi Tahun 2018 Gambar 9. Diagram Alir Penelitian dimana: LCM = Land Change Modeler ρ = data kepadatan penduduk non-spasial (penduduk/km 2 ) A = luas wilayah penyebaran populasi (km 2 ) P = peta proporsi C = faktor konversi dari 1 km 2 ke 1 piksel Stopping criteria model = Iterasi : 5000 RMS : 0,0001 Accuracy Rate : 100% 16

30 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan, dengan luas adalah ha. Kabupaten Bengkalis secara geografis terletak antara 2 30 Lintang Utara Lintang Utara dan Bujur Timur Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Meranti - Sebelah barat berbatasan dengan Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu - Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka Wilayah Kabupaten Bengkalis dialiri oleh beberapa sungai. Diantara sungai yang ada di daerah ini yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian penduduk adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil 90 km dan Sungai Mandau 87 km. Secara administrasi Kabupaten Bengkalis terdiri dari 8 (delapan) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Bengkalis ( ha), Kecamatan Mandau ( ha), Kecamatan Pinggir ( ha), Kecamatan Bukit Batu ( ha), Kecamatan Siak Kecil ( ha), Kecamatan Rupat ( ha), Kecamatan Rupat Utara ( ha) dan Kecamatan Bantan ( ha). Letak Kabupaten Bengkalis sangat strategis, karena disamping berada di tepi jalur pelayaran internasional Selat Malaka, juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-SG) dan kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT). Peta administrasi Kabupaten Bengkalis disajikan pada Gambar 10 berikut ini.

31 18 Gambar 10. Peta Administrasi Kabupaten Bengkalis 4.2 Topografi Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan dataran rendah dengan rata-rata ketinggian antara 2 6,1 m di atas permukaan laut yang ditumbuhi hutan tropis, pantai yang landai dan merupakan endapan lumpur sebagai hasil erosi sungai terutama di Pulau Babi, Kecamatan Rupat Utara. Daerah perbukitan yang tingginya lebih dari 25 m di atas permukaan laut hanya terletak di wilayah kecamatan Mandau. Akibat berada pada ketinggian yang relatif rendah dari permukaan laut, maka kelerengan topografi Kabupaten Bengkalis relatif landai. 4.3 Iklim Kabupaten Bengkalis beriklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh sifat iklim laut, dengan temperatur berkisar antara C. Musim hujan biasa terjadi antara bulan September hingga Januari dengan curah hujan rata-rata berkisar antara mm/tahun. Periode musim kering (musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Februari sampai dengan Agustus. Volume curah hujan di daerah ini rata-rata 174,24 mm dengan rata-rata banyaknya hari hujan selama 6 hari sampai 14 hari. Volume curah hujan rata-rata m 3 per tahun, dimana 61,2% dari seluruh volume curah ini dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.

32 Kependudukan Penduduk Kabupaten Bengkalis pada tahun 2009 tercatat sebanyak jiwa yang terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan, dengan rasio jenis kelamin yaitu 107 (Tabel 3). Kecamatan yang paling banyak penduduknya adalah Kecamatan Mandau dengan tingkat kepadatan mencapai 323 jiwa per km 2 dan kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Rupat Utara dengan tingkat kepadatan 19 jiwa per km 2. Sementara penyebaran penduduk yang terbanyak adalah di Kecamatan Mandau yaitu 44,84% dan penyebaran yang terendah di Kecamatan Rupat Utara yaitu 2,49% dari jumlah penduduk di Kabupaten Bengkalis. Berikut adalah grafik yang menggambarkan presentase penyebaran jumlah penduduk di Kabupaten Bengkalis. Mandau 44,84% Bantan 7,41% Pinggir 15,97% Bengkalis 13,78% Rupat Utara 2,49% Rupat 6,14% Bukit Batu 5,78% Siak Kecil 3,60% Gambar 11. Presentase Penyebaran Jumlah Penduduk Kabupaten Bengkalis Menurut Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2009) Tabel 3. Kepadatan Penduduk Bengkalis Menurut Kecamatan Tahun 2009 Kecamatan Luas (km 2 ) Penduduk Kepadatan per km 2 Mandau 937, Pinggir 2.503, Bukit Batu 1.128, Siak Kecil 742,

33 20 Tabel 3. Lanjutan Kecamatan Luas (km 2 ) Penduduk Kepadatan per km 2 Rupat 896, Rupat Utara 628, Bengkalis 514, Bantan 424, Total 7.773, Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis (2009) 4.5 Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Bengkalis bermata pencaharian di sektor-sektor sebagai berikut. Tabel 4. Sektor Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Bengkalis Sektor Jumlah (%) Pertanian 57,80% Pertambangan 4,17% Perdagangan 9,01% Industri 7,55% Bangunan 4,03% Angkutan 4,56% Jasa 10,30% Listrik, Gas dan Air minum 0,16% Keuangan dan Asuransi 0,59% Lain-lain 1,53% 4.6 Pendidikan Pada tahun 2009 di Kabupaten Bengkalis terdapat sebanyak 120 Taman Kanak-kanak, 317 Sekolah Dasar, 18 Madrasah Ibtidaiyah, 85 Sekolah Menengah Pertama, 50 Madrasah Tsanawiyah, 36 Sekolah Menengah Atas, 26 Madrasah Aliyah, dan 12 Sekolah Menengah Kejuruan. Tenaga pengajar di Kabupaten Bengkalis sebanyak 653 orang guru Taman Kanak-kanak, orang guru Sekolah Dasar, 215 orang guru Madrasah Ibtidaiyah, orang guru Sekolah Menengah Pertama, 891 orang guru Madrasah Tsanawiyah, orang guru Sekolah Menengah Atas, 505 orang guru Madrasah Aliyah, dan 348 orang guru Sekolah Menengah Kejuruan. Grafik berikut ini menggambarkan banyaknya sarana pendidikan di Kabupaten Bengkalis tahun 2009.

34 Gambar 12. Banyaknya Sarana Pendidikan di Kabupaten Bengkalis Tahun 2009 (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2009) 21

35 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan di Kabupaten Bengkalis Berdasarkan hasil klasifikasi, Kabupaten Bengkalis memiliki 10 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian, semak belukar dan tubuh air. Peta penggunaan lahan hasil klasifikasi dapat dilihat pada Lampiran 7 sementara luas masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 Penggunaan Lahan (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) Hutan Primer , Hutan Sekunder , Hutan Tanaman 40 0, Lahan Terbuka , Pemukiman , Perkebunan , Pertambangan , , Pertanian , , Semak Belukar , , Tubuh Air , , Total , , Penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 adalah perkebunan dan hutan sekunder. Perkebunan menempati 27% dari total luas wilayah pada tahun 2000 dan Peningkatan luas perkebunan terus terjadi pada enam tahun berikutnya sehingga luasnya pada tahun 2009 adalah ha atau menempati 48% dari total luas wilayah. Hutan sekunder sebagai penggunaan lahan terbesar kedua mengalami peningkatan luas pada tahun 2003, namun enam tahun berikutnya luasnya berkurang sampai ha sehingga hanya menempati 19% dari total luas wilayah. Selain dua penggunaan lahan tersebut, hutan primer juga memiliki luas yang cukup besar pada tahun 2000 yaitu ha (25%). Luasnya terus berkurang drastis, sampai pada tahun 2009 hanya memiliki luas ha (0,2%).

36 23 Pertanian, sebagai salah satu mata pencaharian utama penduduk Kabupaten Bengkalis memiliki luas ha pada tahun 2000 dan tahun 2009 luasnya mencapai ha (11%). Pemukiman pada periode tidak mengalami perubahan luas, namun pada tahun 2006 luas pemukiman meningkat sebesar 70 ha dan tahun 2009 meningkat sebesar 510 ha. Hutan tanaman mengalami peningkatan luas yang signifikan pada periode Luas hutan tanaman mengalami peningkatan sebesar ha pada tahun 2003 dan ha pada tahun 2006, namun pada tahun 2009 luasnya berkurang sebesar ha, sehingga luas totalnya adalah ha. Hal yang sama terjadi pada penggunaan lahan semak belukar. Pada periode luas penggunaan lahan tersebut terus meningkat, namun mengalami penurunan pada tahun Sementara itu, lahan terbuka mengalami perubahan cukup dinamis. Pada tahun 2003 luasnya meningkat, namun menurun pada tahun 2006 dan kembali meningkat pada tahun Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai transisi atau perubahan apa saja yang terjadi pada dua titik tahun yang berbeda. Pada penelitian ini, deteksi perubahan dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu , , dan Tumpang tindih dilakukan pada masing-masing peta, dan dilakukan tabulasi silang (crosstab) untuk melihat pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Berdasarkan hasil tabulasi silang terdapat 15 transisi atau perubahan penggunaan lahan yang disajikan dalam bentuk matriks pada Lampiran 1. Hutan primer dan hutan sekunder mendominasi perubahan menjadi penggunaan lahan lain pada periode Hutan primer mengalami perubahan yang cukup besar menjadi hutan sekunder sebanyak ha dan lahan terbuka 190 ha. Hutan sekunder mengalami perubahan menjadi hutan tanaman ( ha), lahan terbuka ( ha), perkebunan (210 ha), pertanian (130 ha) dan semak belukar (5.480 ha), sehingga luas total perubahan hutan sekunder adalah ha. Lahan terbuka juga mengalami perubahan ke penggunaan lahan lain sebanyak ha,

37 24 yaitu menjadi hutan tanaman sebanyak ha, pertambangan 50 ha, pertanian 180 ha dan semak belukar sebanyak 990 ha. Hutan tanaman dan pertambangan tidak mengalami perubahan menjadi penggunaan lahan lain pada periode ini, namun keduanya mengalami peningkatan luas hasil perubahan dari penggunaan lahan lainnya. Hutan tanaman mengalami penambahan luas sebesar ha dari hutan sekunder, lahan terbuka dan pertanian. Lain halnya dengan pemukiman, perubahan menjadi penggunaan lahan lain tidak terjadi, begitu juga sebaliknya. Secara ringkas, grafik perubahan luas penggunaan lahan pada periode dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Luas (Ha) (Ha) 2003 (Ha) Penggunaan Lahan Gambar 13. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Pada periode terdapat 13 transisi atau perubahan penggunaan lahan, dimana hutan sekunder mendominasi perubahan menjadi penggunaan lahan lain (Lampiran 1). Hutan sekunder mengalami pengurangan luas sebesar ha, yaitu menjadi hutan tanaman ha, lahan terbuka ha, perkebunan ha, pertanian 730 ha dan semak belukar ha. Selain hutan sekunder, lahan terbuka dan semak belukar juga banyak mengalami perubahan ke bentuk penggunaan lahan lain.

38 25 Lain halnya dengan hutan tanaman dan perkebunan. Kedua penggunaan lahan tersebut tidak banyak mengalami perubahan menjadi penggunaan lahan lain, namun banyak penggunaan lahan lain yang berubah menjadi hutan tanaman dan perkebunan sehingga luasnya bertambah masing-masing ha dan ha. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan pertanian. Pemukiman pada periode ini tidak banyak mengalami penambahan luas, hanya bertambah 70 ha dari semak belukar. Perubahan luas masing-masing penggunaan lahan yang terjadi digambarkan pada grafik berikut ini. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Luas (Ha) (Ha) 2006 (Ha) Penggunaan Lahan Gambar 14. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Berdasarkan hasil tabulasi silang, transisi atau perubahan yang terjadi pada periode ini sebanyak 23 transisi (Lampiran 1). Penggunaan lahan yang paling banyak mengalami penurunan luas adalah hutan sekunder, hutan tanaman dan semak belukar. Luasan hutan sekunder menurun karena berubah menjadi hutan tanaman ( ha), lahan terbuka (5.750 ha), pemukiman (20 ha), pertanian (1.200 ha), semak belukar ( ha) dan perubahan yang paling besar menjadi perkebunan ( ha). Hutan tanaman juga mengalami penurunan luas yang cukup besar, yaitu menjadi perkebunan sebanyak ha dan lahan terbuka sebanyak ha. Sementara semak belukar mengalami penurunan luas sebesar

39 ha, dimana perubahan terbesar adalah menjadi perkebunan sebanyak ha. Luasan perkebunan pada periode ini mengalami peningkatan sangat besar, yaitu ha. Hal yang sama terjadi pada pertanian. Penambahan luas pertanian berasal dari hutan sekunder (1.200 ha), perkebunan ( ha), pertambangan ( ha), dan semak belukar (4.880 ha) dengan total perubahan ha. Pemukiman mengalami penambahan luas lebih besar dari dua periode sebelumnya, yaitu 510 ha. Penambahan luas tersebut berasal dari hutan sekunder (20 ha), perkebunan (100 ha), pertanian (80 ha) dan semak belukar (300 ha). Grafik berikut ini menggambarkan masing-masing perubahan luas penggunaan lahan yang terjadi pada periode Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Luas (Ha) (Ha) 2009 (Ha) Penggunaan Lahan Gambar 15. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Model Perubahan Penggunaan Lahan dengan Metode Artificial Neural Network Pembuatan model perubahan penggunaan lahan pada penelitian ini menggunakan aplikasi Land Change Modeler pada software Idrisi Andes 15. Peta penggunaan lahan yang digunakan adalah peta penggunaan lahan tahun 2000 dan Berikut adalah hasil dari masing-masing tahap yang dilakukan:

40 27 1. Tahap analisis perubahan (Change Analysis) Pada tahap ini dihasilkan suatu grafik penambahan dan pengurangan luas tiap penggunaan lahan (Gambar 16). Warna hijau menunjukkan penambahan dan warna ungu menunjukkan pengurangan luas penggunaan lahan. Gambar 16. Perubahan Luas Penggunaan Lahan Tahun Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa perkebunan mengalami penambahan luas yang sangat besar yaitu ha dan mengalami penurunan sebesar ha. Hutan primer dan hutan sekunder mengalami penurunan luas yang cukup drastis masing-masing ha dan ha, namun penurunan luas hutan sekunder tersebut tidak sebanding dengan penambahan luasnya yang hanya sebesar ha. Hutan tanaman mengalami penambahan luas sebesar ha, sementara pemukiman luasnya hanya bertambah 591 ha. Pertambangan mengalami pengurangan cukup besar yaitu ha, sementara luasnya hanya bertambah 52 ha. 2. Tahap penentuan kelas perubahan penggunaan lahan (Transition Potentials) Pada periode terjadi 21 kelas perubahan yang disajikan pada Gambar 17. Perubahan penggunaan lahan yang mendominasi pada periode adalah perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan yang ditunjukkan oleh poligon berwarna kuning. Perubahan tersebut sebagian besar terjadi di Kecamatan Bukit Batu, Siak Kecil dan Mandau. Sementara itu, perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder juga mendominasi perubahan yang terjadi dan

41 28 ditunjukkan oleh poligon berwarna merah muda. Perubahan tersebut banyak terjadi di Kecamatan Pinggir, Bukit Batu dan Siak Kecil. Hutan primer juga mengalami perubahan yang cukup besar menjadi hutan tanaman, terutama terjadi di Kecamatan Rupat. Gambar 17. Kelas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Tahap penentuan input atau variabel pendorong dan pengujian nilai Cramer s V Beberapa variabel pendorong perubahan suatu penggunaan lahan diantaranya jarak ke jalan, jarak ke sungai, jarak ke pemukiman, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, lereng, tanah dan iklim. Jarak ke jalan, sungai dan pemukiman digunakan sebagai faktor perubahan dari segi budaya masyarakat, artinya semakin dekat penggunaan lahan terhadap jalan, sungai dan pemukiman maka semakin cepat perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kepadatan dan pendapatan penduduk termasuk ke dalam faktor sosial ekonomi yang mendorong perubahan, dimana faktor tersebut menggambarkan secara konkrit jumlah permintaan lahan pemukiman. Lereng, tanah dan iklim juga mempengaruhi berubahnya suatu penggunaan lahan. Dari beberapa variabel yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, hanya 4 yang akan dimasukkan ke dalam model, yaitu jarak ke jalan, jarak ke sungai, jarak ke pemukiman, dan kepadatan penduduk (Gambar 18, 19, 20 dan 21). Lereng dan iklim tidak dimasukkan ke dalam model karena kondisi lereng dan iklim di Kabupaten Bengkalis cenderung

42 29 seragam. Sementara itu, pendapatan asli daerah tidak digunakan dalam model dikarenakan keterbatasan dalam memperoleh data. Gambar 18. Jarak ke Jalan Gambar 19. Jarak ke Sungai Gambar 20. Jarak ke Pemukiman Gambar 21. Kepadatan Penduduk Keempat variabel diuji nilai Cramer s V. Cramer s V mengukur keterkaitan antara satu variabel dengan masing-masing penggunaan lahan dengan rentang nilai 0-1, dimana 0 menunjukkan tidak ada keterkaitan, sedangkan nilai 1 menunjukkan adanya keterkaitan erat antara variabel tersebut dengan penggunaan lahan. Adanya keterkaitan tersebut menunjukkan pengaruh masing-masing variabel untuk mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nilai Cramer s V > 0,10 berarti variabel tersebut dapat digunakan dalam model. Nilai Cramer s V masing-masing variabel dapat dilihat pada Lampiran 2. Terlihat bahwa keempat variabel tersebut memiliki nilai Cramer s V lebih dari 0,1 sehingga variabel tersebut dapat dimasukkan ke dalam model.

43 30 Gambar 22. Pengujian Nilai Cramer s V Variabel Jarak ke Pemukiman 4. Tahap menjalankan model Sebelum menjalankan model, ANN akan menentukan dua kelas training sites, yaitu kelas yang berubah secara aktual (kelas 1), dan kelas yang memiliki syarat untuk berubah namun tidak pada kenyataannya (kelas 2). Masing-masing piksel dari kedua kelas tersebut akan di-training dan testing dengan bobot yang nilainya telah ditentukan secara acak (Lampiran 3 dan 4) dengan learning rate dari 0,005 sampai 0,0001 (Gambar 23). Learning rate merupakan konstanta positif yang menunjukkan tingkat dari pembelajaran jaringan yang mengontrol seberapa besar perubahan bobot di setiap iterasi untuk mencapai nilai kesalahan sekecil mungkin. Gambar 23. Kelas Training Sites Hutan Primer Menjadi Hutan Tanaman Ketika model dijalankan, piksel yang telah ditentukan secara acak tersebut akan melalui tahap pembelajaran dan pengujian oleh jaringan sehingga model dapat menentukan hasil keluaran berupa peluang perubahan pada lokasi mana saja berdasarkan 4 variabel pendorong yang telah ditentukan. Grafik yang menunjukkan perbandingan antara RMS dan iterasi akan muncul. Dapat dilihat bahwa semakin meningkatnya iterasi atau ulangan, maka nilai kesalahan akan semakin menurun. Model akan berhenti apabila telah mencapai kondisi yang telah

44 31 ditentukan, yaitu iterasi 5000, RMS 0,0001 dan accuracy rate 100% (Gambar 24). Nilai iterasi 5000 merupakan nilai iterasi atau pengulangan terbaik yang disarankan dari software untuk mendapatkan hasil pemodelan yang baik. Nilai RMS (Root Mean Square) merupakan nilai error atau kesalahan yang diharapkan sekecil mungkin yaitu mencapai 0,0001, sementara akurasi model sebesar 100% menunjukkan ketepatan model tersebut dalam memprediksi peluang perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Walaupun keakuratan suatu model dengan kondisi dunia nyata tidak ada yang tepat 100%, dalam penelitian ini nilai tersebut diasumsikan sebagai nilai akurasi terbaik yang akan dihasilkan model. Gambar 24. Grafik Perbandingan RMS dengan Iterasi dan Akurasi Model Setelah kriteria model telah terpenuhi, maka tahap terakhir adalah menampilkan peta peluang perubahan. Peta peluang tersebut memiliki rentang nilai 0-1 dimana semakin mendekati 1 maka daerah tersebut berpeluang berubah menjadi penggunaan lahan lain. Berikut ini disajikan peta peluang perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan, dimana daerah yang berwarna kuning sampai kemerahan memiliki nilai peluang cukup besar untuk berubah menjadi perkebunan.

45 32 Gambar 25. Peta Peluang Perubahan Hutan Sekunder Menjadi Perkebunan Hasil pemodelan dari 21 kelas perubahan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil pemodelan, peluang hutan primer untuk berubah menjadi lahan terbuka dan perkebunan sangat kecil, yaitu kurang dari 0,11 untuk berubah menjadi lahan terbuka dan kurang dari 0,20 untuk berubah menjadi perkebunan. Hal ini disebabkan lokasi hutan primer tersebut sangat jauh dari akses jalan sehingga kurang efisien bila dimanfaatkan untuk perkebunan. Selain itu nilai Cramer s V yang sangat rendah (bernilai = 0) pada variabel jarak ke jalan, sungai, pemukiman dan kepadatan penduduk menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara variabel tersebut dengan hutan primer untuk mendorong terjadinya perubahan (Lampiran 2). Berikut adalah gambar dari hasil pemodelan perubahan hutan primer dan lahan terbuka menjadi perkebunan. (a)

46 33 (b) Gambar 26. Hasil Pemodelan dan Peta Peluang Perubahan Hutan Primer Menjadi Lahan Terbuka (a) dan Perkebunan (b) Walaupun nilai akurasi model cukup besar (89,50% dan 88,50%), belum tentu dapat menghasilkan nilai peluang perubahan yang cukup baik (antara 0,5 1). Fenomena ini kerap terjadi dalam pemodelan yang dinamakan over fitting. Sementara itu, pemodelan menunjukkan hasil akurasi yang baik pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder, hutan tanaman dan semak belukar, yaitu 89,94%, 81,40% dan 95,29%. Hasil pemodelan perubahan hutan sekunder menunjukkan akurasi model yang cukup baik, terutama untuk perubahan menjadi hutan tanaman dan perkebunan (97,62% dan 87,10%). Peluang perubahannya pun cukup besar, yaitu di beberapa lokasi mencapai nilai 0,99 untuk hutan tanaman dan perkebunan. Terlihat bahwa daerah yang berwara kuning sampai merah muda adalah daerah yang memiliki peluang cukup besar untuk berubah. Perubahan tersebut sebagian besar terjadi di kecamatan Pinggir, Siak Kecil dan Bukit Batu (Gambar 27). (a) (b) Gambar 27. Peta Peluang Perubahan Hutan Sekunder Menjadi Hutan Tanaman (a) dan Perkebunan (b)

47 34 Hal ini berkesesuaian dengan kondisi aktual dimana perubahan terbesar hutan sekunder adalah menjadi perkebunan dan hutan tanaman. Lokasinya yang dekat dengan akses jalan dan sungai memungkinkan terjadinya perubahan menjadi hutan tanaman dan perkebunan. Sebagian besar arah atau pola perubahan di Kabupaten Bengkalis adalah menjadi perkebunan. Hasil pemodelan untuk lahan terbuka, pertanian dan semak belukar yang berubah menjadi perkebunan menunjukkan nilai akurasi dan nilai peluang yang cukup baik. Akurasi untuk perubahan lahan terbuka menjadi perkebunan adalah 80,60% dengan nilai peluang mencapai 0,99 pada lokasi tertentu, sedangkan nilai akurasi untuk pertanian dan semak belukar menjadi perkebunan berturut-turut 97,50% dan 87,00% dengan nilai peluang mencapai 0,98 dan 0,99 (Gambar 28). Hasil analisis keterkaitan menunjukkan bahwa perkebunan memiliki keterkaitan yang erat dengan kepadatan penduduk dan jarak ke pemukiman dengan nilai Cramer s V 0,59 dan 0,28 (Lampiran 2). Terlihat bahwa perkebunan sebagian besar berada di kecamatan Pinggir, Bukit Batu, Rupat dan Siak Kecil dengan kepadatan penduduk kurang dari 40 jiwa per km 2 dan jaraknya yang tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk. (a) (b) (c) Gambar 28. Peta Peluang Perubahan Lahan Terbuka (a), Pertanian (b) dan Semak Belukar (c) Menjadi Perkebunan

48 35 Peluang suatu penggunaan lahan untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain juga ditentukan oleh besarnya ketersediaan lahan. Dari kondisi aktual, penggunaan lahan yang berubah menjadi perkebunan adalah hutan primer sebesar ha, hutan sekunder ha, lahan terbuka ha, pertanian ha dan semak belukar ha. Apabila semua penggunaan lahan tersebut sudah tidak tersedia lagi, maka luasan perkebunan tidak akan bertambah pada tahuntahun berikutnya akibat dari ketersediaan lahan yang dapat dikonversi telah habis. Besarnya luasan ketersediaan suatu lahan akan meningkatkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini, variabel ketersediaan lahan tidak dimasukkan ke dalam model karena pada hasil akhirnya tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda pada akurasi model dan nilai peluang yang dihasilkan. 5.4 Proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 Metode yang digunakan untuk melakukan proyeksi adalah Markov Chain. Pada penelitian ini dilakukan dua skenario, yaitu skenario Bisnis As Usual atau perubahan mengikuti trend historis yang telah terjadi, dan skenario tidak ada konversi hutan menjadi perkebunan. Matriks transisi untuk skenario BAU adalah sebagai berikut. Gambar 29. Matriks Peluang Perubahan Penggunaan Lahan (Skenario BAU) Nilai-nilai yang terdapat pada matriks tersebut adalah nilai peluang perubahan yang memiliki rentang nilai 0-1. Pada komponen on-diagonal (kotak merah) nilai yang mendekati 1 berarti penggunaan lahan tersebut memiliki peluang yang besar untuk tidak berubah ke penggunaan lahan lainnya. Terlihat

49 36 bahwa peluang tubuh air pada komponen on-diagonal adalah 1 yang berarti tubuh air cenderung tetap luasnya pada tahun Hutan tanaman dan pemukiman juga memiliki nilai peluang yang cukup tinggi (0,92 dan 0,99), hal ini menunjukkan peluang hutan tanaman dan pemukiman untuk berubah menjadi penggunaan lahan cukup kecil. Sementara itu, nilai peluang hutan primer dan sekunder sangat kecil dan mendekati 0. Dengan kata lain peluang hutan primer dan sekunder untuk berubah menjadi penggunaan lahan lainnya cukup besar. Nilai-nilai pada komponen off-diagonal (selain kotak merah) menunjukkan peluang suatu penggunaan lahan untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. Semakin mendekati 1, semakin besar peluangnya untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. Hutan primer diprediksi akan mengalami perubahan menjadi hutan sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, pertanian dan semak belukar. Peluang perubahan hutan primer paling besar adalah menjadi hutan sekunder, yaitu 0,55. Hutan sekunder juga akan mengalami perubahan menjadi penggunaan lahan lain yaitu hutan tanaman, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan, pertanian dan semak belukar dimana peluang terbesar adalah menjadi perkebunan (0,70). Lain halnya pada pemukiman, peluang pemukiman untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain sangat kecil bahkan mendekati 0, misalnya pemukiman menjadi semak belukar adalah 0,0034. Proyeksi penggunaan lahan kedepan menggunakan skenario BAU memproyeksi bahwa pada tahun 2018 hampir 58% dari wilayah Kabupaten Bengkalis adalah perkebunan (Gambar 30). Pertanian mengalami peningkatan yang cukup merata di seluruh bagian kabupaten. Hutan tanaman cenderung tidak berubah, hal ini disebabkan peluang hutan tanaman berubah menjadi penggunaan lahan lainnya kecil seperti terlihat pada matriks transisi (Gambar 29). Sementara itu, luas hutan primer dan sekunder semakin berkurang menjadi ha atau hanya menempati 3,60% dari total luas wilayah.

50 37 Gambar 30. Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 (Skenario BAU) Menurut UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Berkurangnya luas hutan primer dan sekunder dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, ekosistem hutan dan plasma nutfah (Soerjani et al., 2007). Selain itu juga akan mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu terjadinya kekeringan. Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan penggunaan lahan ke depan perlu dilakukan intervensi kebijakan yang mempertahankan hutan dalam RTRW Provinsi atau Kabupaten. UU No. 27 tahun 2006 tentang penataan ruang menyebutkan pula bahwa kawasan hutan perlu dipertahankan paling sedikit 30% dari luas daerah sungai, baik kawasan hutan yang diperuntukkan untuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya, dalam rangka mewujudkan pelestarian lingkungan. Dalam UU tersebut juga dikatakan penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air agar terhindar dari gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi dan kekurangan air. Selain itu, distribusi luas kawasan hutan pun harus disesuaikan dengan kondisi morfologi jenis batuan serta bentuk pengairan sungai dan anak sungai. Dalam penelitian ini dilakukan skenario ke-2 dengan tetap mempertahankan hutan primer dan sekunder. Berikut adalah matriks transisi dan peta proyeksi dari skenario ke-2.

51 38 Gambar 31. Matriks Peluang Perubahan Penggunaan Lahan (Tidak ada konversi hutan primer dan sekunder) Gambar 32. Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 (Tidak ada konversi hutan primer dan sekunder) Pada skenario ke-2 ini, perkebunan memiliki luas ha atau menempati 45% dari total luas wilayah dengan luas hutan primer dan sekunder berturut-turut 205 ha (0,02%) dan ha (16%). Kondisi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak pemerintah Kabupaten Bengkalis agar arah pembangunan tidak hanya mengutamakan aspek ekonomi semata, namun aspek lingkungan dan aspek berkelanjutan juga perlu dipertimbangkan. Dengan mempertahankan hutan primer dan hutan sekunder 9 tahun yang akan datang, maka ekosistem alami Kabupaten Bengkalis dapat terus terjaga kelestariannya dan kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya dapat terus berkelanjutan. Secara rinci, luas masing-masing penggunaan lahan hasil proyeksi skenario 1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

52 39 Tabel 6. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2018 Penggunaan Lahan 2018 (Skenario BAU) 2018 (Skenario tidak ada konversi hutan primer dan sekunder) (Ha) (%) (Ha) (%) Hutan Primer 74 0, ,02 Hutan Sekunder , ,29 Hutan Tanaman , ,06 Lahan Terbuka , ,79 Pemukiman , ,85 Perkebunan , ,95 Pertambangan , ,20 Pertanian , ,04 Semak Belukar , ,47 Tubuh Air , ,33 Total Validasi Model Validasi model dilakukan untuk melihat seberapa besar daerah perkebunan match atau saling tumpang tindih antara perkebunan hasil pemodelan ANN dengan perkebunan kondisi aktual. Berdasarkan hasil pemodelan, terdapat 4 kelas perubahan penggunaan lahan yang memiliki peluang cukup tinggi untuk berubah menjadi perkebunan (antara 0,5 1), yaitu perubahan dari hutan sekunder, lahan terbuka, pertanian dan semak belukar menjadi perkebunan. Masing-masing dari kelas tersebut direklasifikasi agar nilai peluang yang muncul hanya antara 0,5 1 (Gambar 33). (a) (b)

53 40 (c) (d) Gambar 33. Peta Hasil Reklasifikasi Hutan Sekunder (a), Lahan Terbuka (b), Pertanian (c) dan Semak Belukar (d) menjadi Perkebunan Selanjutnya keempat kelas tersebut di-overlay sehingga menghasilkan suatu peta peluang perubahan perkebunan hasil dari pemodelan ANN (Gambar 34). Peta peluang tersebut di-overlay dengan peta perkebunan tahun 2009 hasil interpretasi (Gambar 35) untuk melihat ada atau tidaknya daerah yang saling tumpang tindih. overlay Gambar 34. Peta Peluang Perkebunan Gambar 35. Peta Perkebunan Hasil Pemodelan ANN Tahun 2009 Gambar 36. Peta Hasil Overlay Peluang Perkebunan Hasil Pemodelan ANN dengan Peta Perkebunan Tahun 2009 Pada Gambar 36 terlihat bahwa tidak ada daerah yang match atau saling tumpang tindih antara peta peluang perkebunan dengan peta perkebunan tahun Hal ini menunjukkan bahwa peta peluang yang dihasilkan oleh metode ANN merupakan peta peluang perubahan ke depan, sesuai dengan piksel yang ditraining dan testing pada tahap awal. Sebagai contoh perubahan dari hutan sekunder menjadi perkebunan, berarti piksel yang di-training dan testing adalah

54 41 piksel hutan sekunder yang berubah secara aktual menjadi perkebunan dan piksel hutan sekunder pada tahun Hal yang sama juga berlaku pada kelas perubahan penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu, dilakukan overlay antara peta peluang perkebunan hasil pemodelan ANN dengan peta proyeksi tahun 2018 skenario BAU untuk melihat ada tidaknya daerah yang saling tumpang tindih. Berikut adalah peta yang dihasilkan. Gambar 37. Peta Hasil Overlay antara Peta Peluang Perkebunan Hasil Pemodelan ANN dan Peta Perkebunan Tahun 2018 Poligon berwarna putih menunjukkan daerah yang match atau saling tumpang tindih antara peta peluang perkebunan hasil pemodelan ANN dengan peta proyeksi perkebunan tahun 2018 skenario BAU. Luasan daerah yang saling tumpang tindih hanya sekitar 19%. Nilai tersebut cukup kecil walaupun peluang hasil pemodelan ANN cukup tinggi (mencapai 0,99).

55 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada periode , dan didominasi oleh berkurangnya luasan hutan primer dan hutan sekunder, dan bertambahnya luasan perkebunan dan hutan tanaman. 2. Pemodelan perubahan penggunaan lahan menggunakan metode ANN pada dua titik tahun (2000 dan 2009) dengan variabel pendorong jarak ke jalan, sungai, pemukiman dan kepadatan penduduk menunjukkan hasil akurasi model yang cukup baik (85%). Peluang hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar untuk berubah menjadi perkebunan cukup tinggi (0,99). 3. Proyeksi penggunaan lahan dengan skenario BAU menunjukkan bahwa perkebunan akan mendominasi hampir 58% penggunaan lahan di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2018, sedangkan pada skenario tidak ada konversi hutan primer dan sekunder luas perkebunan pada tahun 2018 mencapai 45% dengan luas hutan masih 16%. 6.2 Saran Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan metode ANN dapat dilakukan pada dua titik tahun yang rentangnya lebih panjang. Penggunaan variabel pendorong perubahan perlu ditambah, seperti pendapatan asli daerah, jarak terhadap lahan pertanian, untuk melihat pengaruhnya terhadap akurasi model dan nilai peluang yang dihasilkan.

56 VII. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press Ashish, D Land-use Classification of Aerial Images Using Artificial Neural Networks. USA: University of Georgia Atkinson, P. and A. Tatnall Neural Network in Remote Sensing. International Journal of Remote Sensing. Vol. 18(4), p Basyar, A. H Evaluasi Penerapan Kebijakan Konservasi Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit. luasi-penerapan-kebijakan-konversi-hutan-untuk-perkebunan-besar-kelapa -sawit-oleh-a-hakim-basyar-/ [diakses 15 September 2011] Batty, M and P. A. Longley Urban Modelling in Computer Graphic and Geographic Information System Environments. Environment and PlANNing. Vol. 19, p Berger, T., H. Coucleis, M. S. Manson and C. D. Parker Introduction and conceptual overview. Report and review of International Workshop. October 4-7. California USA. Bockstael, N. et al Ecological Economic Modelling and Valuation of Ecosystems. Ecological Economics. Vol. 14, p Handoko, I Quantitative Modelling of Systems Dynamics for Natural Resource Management. Bogor: SEAMEO BIOTROP Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Junaedi, A Konsistensi dan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang dan Implikasinya Terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Kazaz and Charles Contaminated Lands. Presentation of Bill 72 Establishing New Rules for the Protection and Rehabilitation of Coantaminated Lands. F/0/7A37D65E2B09BA185256B360077D436/$File/ENVIROBULLETIN _FLASH_ANG.PDF?OpenElement [diakses 7 November 2011] King, A. W., A. R. Johnson, R. V. O Neill and D. L. De Angelis Using Ecosystem Models to Predict Regional CO2 Exchange Between The Atmosphere and The Terrestrial Biosphere. Global Biogeochemical Cycles. Vol. 3, p:

57 44 Lambin, E. F., M. Rounsevell and H. Geist Are Current Agricultural Land Use Models Able to Predict Changes in Land Use Intensity?. Agriculture, Ecosystems and Environment. Vol. 1653, p: 1-11 Lillesand, T. M., dan R. W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta: Gajah Mada University Mansur, E Pengendalian Konversi Sawah Beririgasi. /Puskabijak/warta/e\web_001/kajian_3_ed1.htm [diakses 21 September 2011] Muin, S. F Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan Permukaan (Surface Run Off) dan Kebutuhan Air DAS Cimanuk. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Pertanian dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor Muiz, A Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Muller, M. R. and J. Middleton A Markov Model of Land-use Change Dynamics in the Niagara Region, Ontario, Canada. Landscape Ecology. Vol. 9(2), p: Munibah, K Model Penggunaan Lahan Berkelanjutan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Pijanowski, B. C., D. G. Brown, B. A. Shellito and G. A. Manik Using Neural Network and GIS to Forecast Land Use Changes: A Land Transformation Model. Computers, Environment and Urban Systems. Vol. 26, p: Wu, Q. et al Monitoring and Predicting Land Use Change in Beijing Using Remote Sensing. Landscape and Urban PlANNing. Vol. 78, p: Rumelhart, D., G. Hinton and R. Williams Learning Internal Representations by Error Propagation. Parallel Distributed Processing: Explorations in the Microstructures of Cognition. Vol. 1, p: Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D. R. Panuju Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Skapura, D Building Neural Networks. New York: ACM Press Sitorus, S. R. P Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium Pengembangan Wilayah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

58 45 Tayyebi, A., M. R. Delavar, S. Saeedi, J. Amini and H. Alinia Monitoring Land Use Change by Multi-temporal Landsat Remote Sensing Imagery. The International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. 37, p: Theobald, D. M. and N.T. Hobbs Forecasting Rural Land Use Change: A Comparison of Regression and Spatial Transition-based Models. Geographical and Environmental Modelling. Vol. 2(1), p: Vandeveer, L. R. and H. E. Drummond Differential Land Use Change as The Result of The Construction of The Keystone Reservoir. Oklahoma Agricultural Experiment Station. Vol. 56, p: Veldkamp, A. and E. F. Lambin Editorial: Predicting Land Use Change. Agriculture, Ecosystems and Environment. Vol. 85, p: 1-6 Veldkamp, A. and L. O Fresco CLUE-CR : An Integrated Multi-scale Model to Simulate Land Use Change Scenarios in Costa Rica. Ecological Modelling. Vol. 91, p: Wijaya, C. I Land Use Change Modelling In Siak District, Riau Province, Indonesia Using Multinomial Logistic Regression. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Winoto, J. et al Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor: Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Pertanahan BPN

59 LAMPIRAN

60 Lampiran 1. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun (Ha) Penggunaan Lahan HP HS HT LT PM PK PT PTA SB TA Total 2000 Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Hutan Tanaman (HT) Lahan Terbuka (LT) Pemukiman (PM) Perkebunan (PK) Pertambangan (PT) Pertanian (PTA) Semak Belukar (SB) Tubuh Air (TA) Total Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun (Ha) Penggunaan Lahan HP HS HT LT PM PK PT PTA SB TA Total 2003 Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Hutan Tanaman (HT) Lahan Terbuka (LT) Pemukiman (PM) Perkebunan (PK) Pertambangan (PT) Pertanian (PTA) Semak Belukar (SB) Tubuh Air (TA) Total

61 Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun (Ha) Penggunaan Lahan HP HS HT LT PM PK PT PTA SB TA Total 2006 Hutan Primer (HP) Hutan Sekunder (HS) Hutan Tanaman (HT) Lahan Terbuka (LT) Pemukiman (PM) Perkebunan (PK) Pertambangan (PT) Pertanian (PTA) Semak Belukar (SB) Tubuh Air (TA) Total

62 49 Lampiran 2. Nilai Cramer s V masing-masing variabel 1. Jarak ke jalan Penggunaan Lahan Cramer's V Hutan Primer 0,0000 Hutan Sekunder 0,0767 Hutan Tanaman 0,2364 Lahan Terbuka 0,2948 Pemukiman 0,0552 Perkebunan 0,1177 Pertambangan 0,1522 Pertanian 0,0422 Semak Belukar 0,2805 Tubuh Air 0,1147 Overall V 0, Jarak ke sungai Penggunaan Lahan Cramer's V Hutan Primer 0,0000 Hutan Sekunder 0,0313 Hutan Tanaman 0,1245 Lahan Terbuka 0,1192 Pemukiman 0,0887 Perkebunan 0,0252 Pertambangan 0,1615 Pertanian 0,0498 Semak Belukar 0,1799 Tubuh Air 0,1430 Overall V 0,1027

63 50 3. Jarak ke pemukiman Penggunaan Lahan Cramer's V Hutan Primer 0,0000 Hutan Sekunder 0,0732 Hutan Tanaman 0,4612 Lahan Terbuka 0,2380 Pemukiman 0,0738 Perkebunan 0,2827 Pertambangan 0,2510 Pertanian 0,0653 Semak Belukar 0,3074 Tubuh Air 0,0655 Overall V 0, Kepadatan Penduduk Penggunaan Lahan Cramer's V Hutan Primer 0,0000 Hutan Sekunder 0,0139 Hutan Tanaman 0,1035 Lahan Terbuka 0,1212 Pemukiman 0,0317 Perkebunan 0,5907 Pertambangan 0,0999 Pertanian 0,0842 Semak Belukar 0,2104 Tubuh Air 0,0426 Overall V 0,1329

64 Lampiran 3. Bobot antara input layer dan hidden layer (W ij ) masing-masing kelas perubahan penggunaan lahan Hutan Primer-Hutan Sekunder Hutan Primer-Hutan Tanaman Hutan Primer-Lahan Terbuka Hutan Primer-Perkebunan Hutan Primer-Semak Belukar Hutan Sekunder-Hutan Tanaman Hutan Sekunder-Lahan Terbuka Hutan Sekunder-Perkebunan Hutan Sekunder-Pertanian Hutan Sekunder-Semak Belukar Lahan Terbuka-Hutan Tanaman Lahan Terbuka-Perkebunan Lahan Terbuka-Semak Belukar Perkebunan-Lahan Terbuka Perkebunan-Pertanian Pertambangan-Pertanian Pertanian-Perkebunan Semak Belukar-Hutan Sekunder Semak Belukar-Lahan Terbuka Semak Belukar-Perkebunan

65 Semak Belukar-Pertanian Lampiran 4. Bobot antara hidden layer dan output layer (W jk ) masing-masing kelas perubahan penggunaan lahan Hutan Primer-Hutan Sekunder Hutan Primer-Hutan Tanaman Hutan Primer-Lahan Terbuka Hutan Primer-Perkebunan Hutan Primer-Semak Belukar Hutan Sekunder-Hutan Tanaman Hutan Sekunder-Lahan Terbuka Hutan Sekunder-Perkebunan Hutan Sekunder-Pertanian Hutan Sekunder-Semak Belukar Lahan Terbuka-Hutan Tanaman Lahan Terbuka-Perkebunan Lahan Terbuka-Semak Belukar Perkebunan-Lahan Terbuka Perkebunan-Pertanian Pertambangan-Pertanian Pertanian-Perkebunan Semak Belukar-Hutan Sekunder Semak Belukar-Lahan Terbuka Semak Belukar-Perkebunan Semak Belukar-Pertanian

66 53 Lampiran 5. Klasifikasi Penggunaan Lahan Versi Badan Planologi Kementrian Kehutanan No Kelas Penggunaan Lahan 1 Hutan Lahan Kering Primer 2 Hutan Lahan Kering Sekunder 3 Hutan Rawa Primer 4 Hutan Rawa Sekunder 5 Hutan Mangrove Primer 6 Hutan Mangrove Sekunder 7 Hutan Tanaman 8 Perkebunan 9 Semak Belukar 10 Semak Belukar Rawa 11 Savana atau Padang Rumput 12 Pertanian Lahan Kering 13 Pertanian Lahan Kering Campur Semak 14 Sawah 15 Tambak 16 Pemukiman 17 Transmigrasi 18 Lahan Terbuka 19 Pertambangan 20 Tubuh Air 21 Rawa 22 Awan 23 Bandara atau Pelabuhan

67 Lampiran 6. Kelas Training Sites, Hasil Pemodelan, dan Peta Peluang Perubahan No Perubahan Kelas Training Sites Hasil Pemodelan Peta Peluang Perubahan 1 Hutan Primer-Hutan Sekunder 2 Hutan Primer-Hutan Tanaman 54

68 3 Hutan Primer-Lahan Terbuka 4 Hutan Primer- Perkebunan 5 Hutan Primer-Semak Belukar 55

69 6 Hutan Sekunder- Hutan Tanaman 7 Hutan Sekunder- Lahan Terbuka 8 Hutan Sekunder- Perkebunan 56

70 9 Hutan Sekunder- Pertanian 10 Hutan Sekunder- Semak Belukar 11 Lahan Terbuka- Hutan Tanaman 57

71 12 Lahan Terbuka- Perkebunan 13 Lahan Terbuka- Semak Belukar 14 Perkebunan-Lahan Terbuka 58

72 15 Perkebunan- Pertanian 16 Pertambangan- Pertanian 17 Pertanian- Perkebunan 59

73 18 Semak Belukar- Hutan Sekunder 19 Semak Belukar- Lahan Terbuka 20 Semak Belukar- Perkebunan 60

74 21 Semak Belukar- Pertanian 61

75 Lampiran 7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bengkalis Tahun 2000, 2003, 2006 dan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

Modeling Land Use/Cover Change Using Artificial Neural Network and Logistic Regression Approach (Case Study: Citarum Watershed, West Jawa)

Modeling Land Use/Cover Change Using Artificial Neural Network and Logistic Regression Approach (Case Study: Citarum Watershed, West Jawa) Buletin Tanah dan Lahan, 1 (1) Januari 2017: 30-36 PEMODELAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN DENGAN PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK DAN LOGISTIC REGRESSION (STUDI KASUS: DAS CITARUM, JAWA BARAT)

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sangat panjang

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA

BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BENGKALIS DAN PERKEMBANGAN PERIKANANNYA A. Sejarah Singkat Kabupaten Bengkalis Secara historis wilayah Kabupaten Bengkalis sebelum Indonesia merdeka, sebagian besar berada

Lebih terperinci

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN 1990-2013 Land Use Dynamics and Development of Oil Palm Plantation in Kubu Raya and Sanggau Regencies

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan serta kerusakan infrastruktur dan bangunan (Marfai, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan serta kerusakan infrastruktur dan bangunan (Marfai, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar didunia dengan 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km. Hal ini semakin memperkuat eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC,2001), konsentrasi gas-gas rumah kaca, khususnya CO2, CH4, dan N2O dalam dua abad terakhir

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di kawasan agropolitan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisis data dilakukan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 12 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diteliti adalah wilayah pesisir Kabupaten Karawang (Gambar 3), yang secara administratif berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MULTI LAYER PERCEPTRON DAN LOGISTIC REGRESSION DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MULTI LAYER PERCEPTRON DAN LOGISTIC REGRESSION DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI Kajian Perubahan Tutupan Lahan KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MULTI LAYER PERCEPTRON DAN LOGISTIC REGRESSION DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI (Study of Land Cover Change using

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Hana Sugiastu Firdaus (3509100050) Dosen Pembimbing : Dr.Ir. Muhammad

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN CIANJUR, DAN KABUPATEN SUKABUMI

MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN CIANJUR, DAN KABUPATEN SUKABUMI Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Identifikasi Lahan Kritis... (Kubangun, et.al) MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

PROFIL SANITASI SAAT INI

PROFIL SANITASI SAAT INI BAB II PROFIL SANITASI SAAT INI Tinjauan : Tidak ada narasi yang menjelaskan tabel tabel, Data dasar kemajuan SSK sebelum pemutakhiran belum ada ( Air Limbah, Sampah dan Drainase), Tabel kondisi sarana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Penginderaan Jauh dalam Penutupan Lahan

2 TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Penginderaan Jauh dalam Penutupan Lahan 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Landuse (penggunaan lahan) dan landcover (penutupan lahan) sering digunakan secara bersama-sama, namun kedua terminologi tersebut berbeda. Menurut

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV. BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK 3.1. Persiapan 3.1.1.Persiapan Administrasi a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas lampung kepada CV. Geoplan Nusantara b. Transkrip nilai semester

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) La Ode S. Iman dan Didit Okta Pribadi 2) Eksplorasi Nusantara Kompleks BBIHP No.25 Cikaret,

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH P erpustakaan Anak di Yogyakarta BAB 3 TINJAUAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah Dinamika perubahan penggunaan lahan merupakan obyek kajian yang penting dan selalu menarik untuk diteliti karena

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor

Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor Siti Zahrotunisa 1, Prama Wicaksono 2 1,2 Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Departemen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

Gambar 4. Lokasi Penelitian

Gambar 4. Lokasi Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

INTEGRASI MODEL SPASIAL CELLULAR AUTOMATA

INTEGRASI MODEL SPASIAL CELLULAR AUTOMATA INTEGRASI MODEL SPASIAL CELLULAR AUTOMATA DAN REGRESI LOGISTIK BINER UNTUK PEMODELAN DINAMIKA PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( Studi Kasus Kota Salatiga) Muhammad Sufwandika Wijaya sufwandika.geo@gmail.com

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penutup lahan adalah suatu fenomena yang sangat kompleks berdasarkan pada, pertama karena hubungan yang kompleks, interaksi antara kelas penutup lahan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kabupaten Kampar 4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang Selatan, 100º 23' - 101º40' Bujur Timur.

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) SRI WAHYUNI WERO G 621 08 264 Skripsi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Baba Barus, Dr Staf Pengajar : Atang Sutandi, Dr Baba Barus, Dr

Lebih terperinci