UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA"

Transkripsi

1 UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2009 Oktafrina NRP. F ii

3 ABSTRACT OKTAFRINA Efforts on Suppressing Acrylamide Formation in the Processing of Ambon Banana Chips. Under supervision of C. HANNY WIJAYA and SUGIYONO. The objective of this research was to suppress the acrylamide formation in ambon banana chips by modifying the processing method. The implemented treatments included: frying in different duration times and temperatures, blanching in different duration times and temperatures, soaking in % monosodium glutamate (MSG) treatments. Analysis of acrylamide was conducted by reversed phase-hplc using mobile phase of acetonitrile:aquabidest:acetic phosphate (5:94:1) and measurement on 230 nm wavelength. Formation of acrylamide compound was higher if temperature and duration times of frying were increased. The combination of blanching at 80 o C for 3 minutes and the frying process at 140 o C for 10 minutes reduced the formation of acrylamide by up to 60% and its acrylamide content was only ± 6.61 ppb. Sensory of product showed that the acceptability of the product by the consumer was significantly reduced. The pretreatment, soaking in MSG solution did not suppress the acrylamide formation. The QDA test of the ambon banana chips with the lowest acrylamide content showed that the aroma sensory attributes, the ester like is lower and the green is higher and significantly differed from the commercial one. Key word : ambon banana chips, frying, blanching, acrylamide, HPLC, QDA iii

4 RINGKASAN OKTAFRINA Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon. Dibimbing oleh C. HANNY WIJAYA dan SUGIYONO. Senyawa akrilamid terdapat dalam makanan yang diolah dengan proses pemanasan suhu tinggi. Pembentukan senyawa ini terjadi melalui reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan senyawa gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa. Asam amino yang diduga merupakan prekursor pembentuk akrilamid adalah asparagin. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan cara mengurangi prekursor pembentuknya dan optimasi proses pemanasan yang dilakukan. Reaksi pembentukan akrilamid diduga sejalan dengan reaksi pembentukan warna dan aroma dalam produk makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid berdasarkan perlakuan penggorengan, blansir dan adanya perendaman dalam larutan Monosodium Glutamat (MSG) pada pengolahan keripik pisang ambon. Penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis kimia bahan baku, yang terdiri dari analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Pada tahap kedua dilakukan pengolahan keripik pisang dengan perlakuan proses penggorengan (variasi suhu 140, 160 dan 180 o C selama 10, 15 dan 20 menit), blansir (suhu 70, 80 dan 100 o C selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit) dan perendaman dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% (b/v) selama 1, 2 dan 3 menit pada 20 o C. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial acak lengkap dengan 2 kali pengulangan. Analisis akrilamid dilakukan dengan HPLC-reversed phase. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis akrilamid dalam produk keripik pisang ambon komersial. Penelitian tahap ketiga dilakukan pengujian penerimaan sensori dengan uji hedonik pada produk keripik pisang ambon yang mengandung akrilamid rendah. Uji hedonik meliputi warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Pada pengujian sensori juga dilakukan uji deskriptif pada atribut aroma dengan metoda Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Hasil pengujian proksimat menunjukkan bahwa pisang ambon sebagai bahan baku keripik mengandung pati 19.32% dan protein 1.51 %. Analisis asam amino iv

5 menggunakan HPLC memberikan hasil bahwa jumlah senyawa asam amino asparagin dalam pisang ambon yang mentah sebesar 0.066%. Hasil penelitian perlakuan suhu penggorengan menunjukkan bahwa keripik pisang ambon yang digoreng pada kisaran suhu o C mengandung akrilamid pada kisaran 115 sampai 565 ppb. Semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan maka semakin tinggi jumlah akrilamid yang terbentuk. Penggorengan pada suhu 140 o C selama 10 menit ternyata membentuk akrilamid dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar akrilamid dalam produk komersial yang diuji. Perlakuan kombinasi blansir pada suhu 80 o C selama 3 menit dan penggorengan pada suhu 140 o C selama 10 menit mereduksi pembentukan akrilamid 60% jika dibandingkan dengan produk tanpa blansir. Keripik pisang yang dihasilkan dengan kombinasi perlakuan tersebut mengandung akrilamid sebanyak ppb. Perendaman dengan MSG tidak dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid pada keripik pisang ambon. Hasil pengujian sensori terhadap produk keripik pisang ambon terpilih menunjukkan bahwa skor penerimaan panelis lebih rendah terhadap warna, aroma dan secara keseluruhan dibandingkan produk tanpa blansir dan produk komersial. Reaksi Maillard belum banyak membentuk komponen warna dan aroma pada kondisi penggorengan untuk menurunkan akrilamid dalam keripik pisang ambon. Blansir menyebabkan pengurangan jumlah komponen pembentuk warna dan aroma pada keripik pisang ambon. Uji deskriptif pada produk keripik pisang ambon terpilih dengan produk keripik pisang ambon komersial yang dilakukan oleh panelis semi terlatih mengidentifikasi atribut aroma karakteristik dalam produk keripik pisang ambon yang meliputi aroma ester like, rancid, cotton candy, caramel dan green. Produk keripik pisang ambon yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki aroma ester like lebih lemah, green yang lebih kuat dan berbeda secara nyata dengan produk komersial. Kata kunci : keripik pisang ambon, penggorengan, blansir, akrilamid, HPLC, QDA v

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vi

7 UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA TESIS Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 vii

8 Judul Tesis Nama NRP. Program Studi : Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon : Oktafrina : F : Ilmu Pangan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr Ketua Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Anggota Ketua Program Studi Ilmu Pangan Diketahui Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 04 Agustus 2009 Tanggal lulus : 02 September 2009 viii

9 Alhamdulillah, terima kasih atas karunia-nya yang tak terhingga ini... Terima kasih juga kepada Ibundaku atas doanya sepanjang waktu, kupersembahkan untuk suamiku Desrizal serta anak-anakku yang telah menjadi guruguru kecilku : Abdillah dan sikembar (Furan dan Pyran), terima kasih atas kehadirannya selama ini. ix

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Aulloh SWT karena atas karunia- Nya maka penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon. Penelitian yang dilakukan merupakan syarat menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan dan saran dari beberapa pihak selama perkuliahan, penelitian dan penyusunan tesis ini yaitu : 1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi program Magister Sains di IPB. 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas bantuan beasiswa BPPs kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains. 3. Bapak Ir. Hi. Zainal Mutaqin selaku Direktur Politeknik Negeri Lampung yang telah memberikan izin belajar dan motivasi kepada penulis selama melanjutkan studi di IPB serta untuk izin pemakaian alat HPLC LC-6A (Shimadzu). 4. Ibu Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak sekali membantu selama menyelesaikan studi di IPB. 5. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan pengarahan tentang penelitian serta banyak sekali mengorbankan waktu demi perbaikan tesis ini. 6. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini. 7. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana IPB. 8. Seluruh anggota keluarga yang senantiasa memberikan semangat untuk menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB. 9. Rekan-rekan seprofesi di Politeknik Negeri Lampung terutama Bapak dan Ibu staf pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian dan teman seperjuangan di Ilmu Pangan terutama angkatan 2006 serta Ninik dan Agung yang banyak memberikan semangat selama menjalani suka dan duka di IPB. x

11 10. Bu Puspita Sari dan Silvana Dinaintang Harikedua yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian. Terima kasih juga untuk segala motivasi dan kebersamaannya selama ini. 11. Para teknisi di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan para panelis untuk pengujian sensori serta fokus group QDA (Pak Subandi, Bu Desmawati, Yunisa Rahmawati, Mustika Widadara, Okta Rita. S, Azul Jumara, Ahmad Hendrik, Waluyo Jati, Anggra A. Sapta,). 12. Para produsen keripik pisang untuk informasi proses pengolahan produknya dan para panelis untuk data sensori keripik pisang ambon. 13. Seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Semoga apa yang sudah dilakukan oleh Bapak dan Ibu dapat menjadi amal dan ibadah. Sebuah harapan, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pangan. Bogor, September 2009 Oktafrina xi

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada hari rabu tanggal 02 Oktober 1974 di Kota Tanjungkarang Provinsi Lampung dari Ibunda Hermiati dan Ayahnda M. Nurkam (alm). Pendidikan Dasar sampai Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di sekolah negeri di Provinsi Lampung tahun Penulis kemudian melanjutkan studi di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas sampai bulan April tahun Penulis menjadi staf pengajar di Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Lampung sejak tahun Sejak bulan Desember tahun 2002 penulis diterima sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Lampung di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPs) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Penulis menikah dengan Desrizal, S.Pd pada tanggal 11 Desember 2004 dan sekarang telah dikaruniai 3 orang anak yaitu Abdillah serta sikembar Furan dan Pyran. xii

13 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL. PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER INFORMASI.. ABSTRACT... RINGKASAN HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN PRAKATA.... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Ambon Akrilamid dalam Bahan Makanan Pembentukan Akrilamid Reaksi Maillard Blansir dan Perendaman Proses Penggorengan Evaluasi Sensori... III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku Analisis Proksimat Komposisi Asam Amino Kadar Akrilamid dalam Produk Keripik Pisang Ambon Komersial Perlakuan Suhu dan Waktu Penggorengan Pengaruh Blansir Pengaruh Perendaman MSG... i ii iii iv viii ix x xii xiii xv xvi xvii xiii

14 4.6. Pengujian Mutu Sensori Produk Uji Hedonik Uji Deskriptif... V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi pisang (pohon) Provinsi Lampung tahun menurut Kabupaten/Kota Komposisi kimia pisang ambon/100 gram bahan Kadar akrilamid dalam bahan pangan Komponen aroma yang terbentuk melalui proses pemanggangan dan pembakaran bahan pangan 17 5 Penentuan pati dan gula pereduksi dengan metoda Luff Schoorl Aroma standar untuk keripik pisang ambon Hasil analisis proksimat dari bahan baku pisang ambon Komposisi asam amino dalam bahan baku pisang ambon Kadar akrilamid beberapa produk keripik pisang ambon di Bandar Lampung Deskripsi aroma dalam produk keripik pisang ambon xv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pisang ambon Struktur kimia akrilamid Reaksi alkilasi akrilamid terhadap protein Reaksi asparagin dengan gugus aldehid Pengaruh kadar air pada pembentukan akrilamid Pengaruh ph terhadap jumlah akrilamid Reaksi Maillard Mekanisme Reaksi Maillard melalui pembentukan struktur Amadori Pembentukan akrilamid melalui jalur reaksi Maillard Mekanisme distribusi komponen kimia pada sel saat blansir Skema kerja penelitian Kadar akrilamid dalam keripik pisang ambon hasil perlakuan suhu dan lama penggorengan Produk hasil perlakuan 140 o C pada variasi waktu 10, 15 dan 20 menit Pengaruh blansir pada pembentukan akrilamid dalam keripik pisang ambon Keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir Pembentukan akrilamid setelah perendaman MSG Produk hasil perendaman dengan MSG yang digoreng pada 140 o C; 10 menit Hasil pengujian hedonik warna keripik pisang ambon Hasil pengujian hedonik aroma keripik pisang ambon Hasil uji hedonik terhadap produk secara keseluruhan atribut sensori Hasil QDA keripik pisang ambon xvi

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kromatogram hasil analisis asam amino Contoh perhitungan penentuan kadar asam amino Perhitungan kadar asparagin dalam pisang ambon Kurva kalibrasi dan persamaan garis regresi standar akrilamid Contoh kromatogram akrilamid Contoh kuisioner pengujian hedonik Contoh kuisioner pre skrining panelis Contoh kuisioner uji aroma dan rasa dasar Contoh kuisioner uji pembedaan sampel Contoh kuisioner uji deskriptif Contoh kuisioner uji pembedaan produk keripik Contoh kuisioner menentukan skala pada uji deskriptif Contoh kuisioner menentukan skala atribut sensori Kuisioner pengujian produk keripik pisang ambon dengan QDA Hasil ANOVA uji hedonik warna produk keripik pisang ambon Hasil ANOVA uji hedonik aroma produk keripik pisang ambon Hasil ANOVA uji hedonik penerimaan keseluruhan produk keripik pisang ambon xvii

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan tanaman hortikultura yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia karena iklim dan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya (Kusumo & Farid 1994). Provinsi Lampung juga merupakan daerah penghasil pisang. Menurut data yang terdaftar dalam Badan Pusat Statistik pada tahun 2006 diperoleh data produksi pisang di Provinsi Lampung untuk tahun (Tabel 1). Berdasarkan data dari Tabel 1 maka Provinsi Lampung merupakan penghasil pisang yang cukup tinggi. Tabel 1 Produksi pisang (pohon) di Propinsi Lampung tahun menurut Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang Bandar Lampung Kota Metro Sumber : BPS (2006) Pisang dapat dimakan langsung atau diolah menjadi berbagai macam produk. Salah satu produk olahan pisang adalah keripik pisang. Keripik pisang merupakan makanan ringan dengan aroma dan citarasa spesifik dengan umur simpan yang relatif panjang. Produk ini merupakan salah satu produk unggulan yang menjadi peluang bisnis bagi produsen makanan ringan dan sekaligus menjadi ciri oleh-oleh makanan dari Provinsi Lampung. Proses penggorengan menyebabkan terjadinya perubahan kimia pada komponen senyawa yang ada dalam pisang sehingga menghasilkan produk yang lebih menarik secara sensori terutama warna dan aroma produk. Reaksi Maillard yang terjadi selama penggorengan menghasilkan senyawa-senyawa flavor yang harum dan warna produk yang menarik (Ames 1998). Reaksi Maillard terjadi pada bahan makanan yang

19 mengandung pati dan protein serta diolah pada suhu tinggi seperti digoreng dan dipanggang (Reineccius 2006). Menurut Grizotto dan Menezes (2002) teknik pemasakan dan pengolahan produk keripik dapat mempengaruhi sensori dari produk. Untuk itu, perlu sekali pengetahuan dan penguasaan teknik pengolahan makanan seperti keripik pisang agar dihasilkan produk yang lebih disukai konsumen. Senyawa akrilamid merupakan salah satu senyawa toksik yang ada pada bahan pangan yang digoreng terutama pada bahan yang berbasis pati contohnya kentang, gandum, jagung dan beras (Friedman 2003). Pembentukan senyawa ini pada bahan pangan juga terjadi karena reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan senyawa gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa yang terjadi pada suhu tinggi (Zhang & Ying 2007). Senyawa akrilamid diduga bersifat karsinogenik dan mutagenik (Friedman 2003; Otles & Serkan 2004). Senyawa ini berbahaya bagi tubuh makhluk hidup. Adanya akrilamid dalam tubuh manusia dapat berasal dari air yang terkontaminasi oleh zat ini atau berasal dari kemasan makanan yang terbuat dari plastik. Akrilamid dalam makanan ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 2002 pada makanan yang berbahan dasar pati seperti produk olahan kentang. Kentang mengandung pati yang tinggi sehingga jika diolah dengan proses penggorengan maka dapat membentuk senyawa akrilamid seperti pada keripik kentang (Gokmen et al. 2006; Brathen & Svein 2005). Kondisi proses pemasakan berpengaruh terhadap kadar akrilamid dalam produk keripik kentang (Williams 2005; Leeratanarak et al. 2006). Friedman (2003) menyatakan bahwa akrilamid dalam makanan merupakan hasil reaksi antara gugus amina dari asam amino asparagin dan gugus karbonil dari gula pereduksi seperti glukosa selama proses pemasakan seperti pemanggangan dan penggorengan. Elmore dan Donald 2002 memberikan data bahwa pisang mengandung asam amino asparagin sebesar 14.7% dari total asam amino bebasnya. Asam amino yang diduga merupakan prekursor pembentuk akrilamid adalah asparagin (Grandra et al. 2005; Zyzak et al. 2003). Kandungan asparagin dalam pisang akan bervariasi tergantung pada varietas pisang. Pisang juga merupakan bahan makanan yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi (Poedjiadi 1994). Senyawa karbohidrat dan asam amino asparagin merupakan prekursor pembentuk akrilamid pada makanan yang diolah dengan suhu tinggi seperti digoreng atau dibakar (Friedman 2003; Zyzak et al. 2003). 2

20 Kusumo dan Farid (1994) memberikan informasi banyaknya varietas tanaman pisang yang diduga memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Salah satu produk keripik pisang yang ada di Provinsi Lampung menggunakan pisang ambon sebagai bahan dasarnya karena relatif lebih disukai konsumen. Pisang ambon juga memiliki rasa yang lebih manis dari jenis pisang lain. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi sehingga keripik pisang ambon lebih berpotensi mengandung akrilamid. Berdasarkan beberapa penemuan adanya akrilamid dalam makanan maka produk makanan yang diolah pada suhu tinggi berpotensi mengandung akrilamid (Friedman 2003; Otles&Serkan 2004; Weiss 2002) sehingga berperan juga menambah jumlah akrilamid yang masuk ke dalam tubuh manusia. Pembentukan akrilamid dapat terjadi dalam kisaran suhu 120 o C-170 o C (Friedman 2003). Jumlah akrilamid dalam makanan akan bervariasi dan dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, komposisi dan matriks bahan pangan, nilai aw, daerah permukaan kontak panas, variasi kondisi proses pemasakan seperti waktu dan suhu pemasakan serta cara atau metoda pemasakan (Zyzak et al. 2003). Ada 2 (dua) cara untuk mengurangi kadar akrilamid dalam bahan makanan yaitu melalui penurunan jumlah prekursor dan menurunkan suhu saat pemasakan (Zhang & Ying 2007; Vorbehalten 2005; Weiss 2002). Food and Environmental Hygiene Department (2003) menyatakan bahwa kandungan akrilamid dapat mencapai 1000 µg/kg dalam dua kelompok makanan yaitu produk biskuit dan makanan kering sementara keripik pisang mengandung akrilamid sampai 770 µg/kg. Beberapa negara di Eropa dan Asia telah melakukan pengujian terhadap akrilamid dalam produk-produk makanan yang diolah pada suhu tinggi. Di Indonesia, kadar akrilamid pada makanan yang diolah pada suhu tinggi khususnya yang digoreng belum diketahui. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama proses penggorengan tidak hanya mempengaruhi citarasa, warna dan tekstur produk tetapi juga kadar akrilamid dalam produk (Romani et al. 2009; Pedreschi et al. 2005; Gokmen et al. 2006). Berdasarkan proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi dan karakteristik keripik pisang ambon yang kering diduga produk tersebut mengandung akrilamid tinggi. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mengurangi kadar akrilamid pada produk keripik pisang ambon. Upaya penurunan kadar akrilamid dalam keripik 3

21 pisang ambon diharapkan dapat dilakukan melalui pengurangan suhu dan lama penggorengan. Perlakuan lain yang dapat menurunkan pembentukan akrilamid adalah blansir dan perendaman dalam larutan asam amino seperti lisin dan glisin (Kim et al. 2005; Kita et al. 2004). Glisin diketahui lebih reaktif untuk bereaksi pada reaksi Maillard sehingga penambahan glisin akan menyebabkan adanya kompetisi asam amino pada reaksi Maillard dan menyebabkan penghambatan laju reaksi kearah pembentukan akrilamid (Brathen et al. 2005). Namun adanya perlakuan pengurangan suhu dan waktu penggorengan serta perlakuan perendaman diduga mempengaruhi terbentuknya komponen yang akan memberikan pengaruh terhadap citarasa dan warna produk keripik. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengurangan pembentukan akrilamid dengan perlakuan pengaturan suhu dan lama penggorengan, suhu dan lama blansir dan perendaman larutan MSG dengan tetap memperhatikan dampaknya pada penerimaan sensori dari keripik pisang ambon yang diperoleh Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid pada pengolahan keripik pisang ambon dengan cara pengaturan suhu dan lama penggorengan, suhu dan lama blansir serta perendaman dalam larutan MSG sehingga diperoleh produk keripik pisang ambon rendah akrilamid dengan sensori yang baik Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid pada pengolahan keripik pisang ambon dapat menjadi informasi untuk perbaikan pada proses pengolahan keripik sehingga dapat menghasilkan produk pangan dengan kadar akrilamid yang rendah. 4

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Ambon Tanaman pisang termasuk tanaman yang mempunyai buah klimaterik yang mempunyai fase perkembangan diantara pertumbuhan masih terjadi sehingga ukuran buah bertambah dan terjadi akumulasi karbohidrat dalam bentuk pati (Kusumo&Farid 1994). Buah pisang mengandung senyawa bioaktif seperti fenol, tanin, karatenoid dan beberapa jenis asam organik seperti asam sitrat, asam malat dan asam oksalat. Adanya komponen senyawa fenol dalam buah pisang diduga menyebabkan bahan pangan ini cepat mengalami reaksi pencoklatan akibat reaksi enzimatik sehingga pisang cepat berwarna coklat setelah kulitnya dikupas. Ada 2 (dua) jenis pisang yaitu jenis banana dan plantain. Jenis banana merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi dalam keadaan segar seperti pisang ambon, pisang raja sereh, pisang seribu, pisang susu dan lain-lain. Jenis plantain merupakan pisang yang terlebih dahulu dimasak sebelum dikonsumsi seperti pisang tanduk, pisang kipas, pisang raja dan lain-lain. Pisang memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung komponen karbohidrat yang tinggi sehingga dapat menyediakan energi sekitar 136 kalori untuk setiap 100 gram (Poedjiadi 1994). Senyawa gula dalam pisang merupakan jenis fruktosa yang disebut juga dengan gula buah dan mempunyai indek glikemik lebih rendah dibandingkan dengan glukosa. Disamping itu pisang juga mengandung beberapa mikronutrisi seperti vitamin C, vitamin B6 dan mineral kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium (Kusumo&Farid 1994). Pisang ambon merupakan pisang jenis banana dengan nama spesies Musa paradisiaca var. sapientum. Keunggulan pisang ambon dibandingkan dengan pisang jenis lain adalah pada rasa buah yang manis saat sudah matang dan beraroma harum karena mengandung komponen senyawa ester seperti isoamil asetat yang khas untuk aroma pisang (Tressl&Jennings 1972). Kusumo dan Farid (1994) menjelaskan bahwa pisang ambon termasuk pada kelompok triploid (AAA). Tinggi tanaman sekitar 4-8 m, bertandan lebat, bentuk buah panjang dengan panjang cm, beraroma dan bila masak kulitnya berwarna kuning (Gambar 1). 5

23 Pisang ambon dapat dikonsumsi langsung ataupun diolah terlebih dahulu seperti produk keripik. Produk keripik pisang ambon memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan keripik pisang yang menggunakan pisang jenis lain. Adapun klasifikasi pisang ambon adalah : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Familia : Musaceae Genus : Musa Spesies : Musa paradisiaca var. Sapientum Pisang ambon mengandung senyawa karbohidrat seperti pati dan beberapa senyawa gula sederhana. Pisang ambon mentah masih banyak mengandung komponen pati. Selama proses pematangan buah, terjadi perubahan kandungan pati menjadi senyawasenyawa gula sederhana seperti gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis (Winarno 1992). Gambar 1 Pisang ambon Bahan baku untuk pembuatan keripik pisang biasanya adalah buah pisang dalam keadaan mentah karena mudah untuk diiris sehingga membentuk lembaran yang tipis. Ciri-ciri bahan baku yang diinginkan antara lain warna kulit kehijauan dan tekstur yang masih keras. Hal ini berkaitan dengan tekstur produk yang dihasilkan karena buah 6

24 pisang yang sudah dalam keadaan matang tidak dapat menghasilkan keripik yang kering. Pada penggorengan irisan pisang ambon sampai menjadi keripik pisang yang kering akan terjadi perubahan komposisi kimia akibat terjadinya reaksi kimia yaitu reaksi Maillard pada suhu penggorengan. Hasil reaksi ini dapat mempengaruhi warna dan aroma produk keripik pisang ambon. Reaksi Maillard terjadi antara gula pereduksi dan komponen asam amino dalam bahan pangan (Ames 1998). Proses pengolahan dengan penggorengan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard dalam irisan pisang sehingga akan membentuk beberapa komponen senyawa flavor yang spesifik untuk keripik pisang. Suhu dan waktu proses penggorengan yang diberikan dalam pengolahan keripik pisang dapat mempengaruhi jenis komponen flavor yang terbentuk. Pisang ambon memiliki hampir semua komponen zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Komposisi kimia pisang ambon dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karbohidrat yang tinggi menyebabkan pisang ambon dapat dijadikan sebagai bahan makanan penghasil energi. Karbohidrat dalam pisang dapat berbentuk gula sederhana maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan lignin. Selulosa dan lignin merupakan komponen yang menyusun dinding sel (Winarno 1992). Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon/100 gram bahan Komponen kimia Air Lemak Protein Karbohidrat Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Mineral Ca Fe P Sumber : Poedjiadi A (1994) Jumlah 72 g 0.2 g 1.2 g 25.8 g 146 SI 0.08 mg 3 mg 8 mg 28 mg 0.5 mg Salah satu prekursor pembentuk akrilamid adalah asam amino (Friedman 2003). Grandra et al. (2005) dan Zyzak et al. (2003) menyatakan bahwa asam amino asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid. Elmore dan Donald (2002) memberikan informasi bahwa pisang mengandung asam amino 7

25 asparagin 14.7% dari total asam amino bebas. Kadar asparagin dalam pisang diduga akan dipengaruhi oleh jenis pisang. Bahan baku pisang yang diolah pada suhu tinggi seperti digoreng mempunyai potensi sebagai makanan yang mengandung akrilamid. Selain itu, kadar air produk keripik pisang cukup rendah sehingga selama proses pengolahan akan memungkinkan terjadinya reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino ke arah pembentukan akrilamid Akrilamid dalam Bahan Makanan Otles dan Serkan (2004) menjelaskan bahwa akrilamid (acrylamide) merupakan senyawa yang banyak dipakai pada bidang industri seperti sebagai penggumpal (flocculant), pengental (thickeners) dan bahan pendukung untuk industri kosmetik dan kertas. Senyawa ini mempunyai rumus kimia CH 2 =CHCONH 2 (Gambar 2). Senyawa ini tidak berwarna dan bersifat larut dalam air. Polimer senyawa ini dapat digunakan untuk pembuatan plastik seperti plastik poliacrylamid yang banyak digunakan untuk bahan pembungkus makanan dan bahan baku kosmetik. Gambar 2 Struktur kimia akrilamid (Otles & Serkan 2004) Akrilamid merupakan senyawa neurotoksik dan berpotensi sebagai karsinogen bagi manusia (Friedman 2003). Penelitian farmakoklinis terhadap tikus percobaan yang diberi perlakuan makanan dengan dosis akrilamid 1 2 mg/kg berat badan per hari dapat menyebabkan timbulnya tumor pada beberapa organ tubuh. Penelitian terhadap sel hewan secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom. Uni Eropa menetapkan bahwa akrilamid sebagai penyebab kanker kategori nomor dua setelah senyawa 3,4-benzopyrene. Pertemuan JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) pada 8-17 Februari 2005 menunjukkan data toksikologi bahwa pemberian oral akrilamid akan memberikan efek toksik yang akut jika berada dalam dosis 100 mg/kg berat badan dan 8

26 dilaporkan juga bahwa LD 50 senyawa ini sekitar 150 mg/kg berat badan (Friedman 2003). Mekanisme reaksi toksisitas akrilamid dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Reaksi alkilasi akrilamid terhadap protein (Friedman 2003) Pada Gambar 3 terlihat bahwa akrilamid dapat bereaksi dengan senyawa protein terutama asam amino yang mengandung gugus fungsi sulfida dan amina seperti sistein, valin dan histidin. Jika asam amino valin yang terdapat pada hemoglobin darah berikatan dengan akrilamid maka diduga dapat menyebabkan keracunan (Friedman 2003). Kerja akrilamid yang dapat menyebabkan karsinogen dan mutagen diduga karena akrilamid juga dapat bereaksi dengan basa nitrogen pada DNA (Friedman 2003). Pembentukan akrilamid terjadi pada proses pemanasan makanan. Akrilamid juga terbentuk dalam bahan pangan yang dibakar seperti roti, kopi, almond dan daging panggang (Friedman 2003; Fredriksson et al. 2004; Elmore et al. 2005; Weiss 2002). Prekursor pembentuk senyawa akrilamid adalah gula pereduksi dan adanya gugus amina dari asam amino. Jenis gula pereduksi yang dianggap lebih berpotensi membentuk 9

27 akrilamid adalah glukosa dan fruktosa (Vivanti et al. 2006). Asam amino yang bereaksi membentuk akrilamid adalah asparagin (Friedman 2003; Zyzak 2003; Granda et al. 2005). Beberapa produk makanan dilaporkan mengandung senyawa akrilamid (Tabel 3). Sejak tahun 2007 telah banyak lagi jenis makanan yang dilaporkan kandungan akrilamid sehingga diharapkan konsumen mewaspadai dan lebih selektif terhadap makanan. Tabel 3 Kadar akrilamid dalam bahan pangan (Friedman 2003) Jenis makanan Akrilamid ( µg/kg = ppb) Almond panggang 260 Asparagus panggang 143 Produk yang dibakar : roti dan kue kering Minuman bir dan berbahan gandum Biskuit Cereal untuk sarapan Coklat bubuk Kopi bubuk Makanan kering dari bahan jagung Roti kering Produk perikanan Produk daging dan ayam Kentang rebus 48 Keripik kentang Kedelai dan produk dipanggang 25 Biji bunga matahari yang panggang 66 Makanan kering, selain dari bahan kentang Yuan et al. (2007) menjelaskan bahwa teknik penggorengan dengan microwave menyebabkan penurunan kadar akrilamid. Makin rendah suhu maka reaksi pembentukan akrilamid akan berkurang. Granda et al (2005) juga berhasil menurunkan akrilamid dengan sistem penggorengan vakum. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan penggorengan biasa Pembentukan Akrilamid Akrilamid merupakan hasil reaksi senyawa kimia yang ada dalam bahan makanan karena proses pemanasan (Friedman 2003; Zhang & Ying 2007). Berdasarkan jalur dan mekanisme reaksi Maillard maka reaksi pembentukan senyawa akrilamid juga terjadi melalui reaksi penataan ulang Amadori (Zhang & Ying 2007). Pedreschi et al. (2005) menyatakan mekanisme reaksi pembentukan akrilamid cukup komplek namun 10

28 dapat diamati dari pembentukan senyawa melanoidin yang mengakibatkan terjadinya perubahan warna kuning sampai coklat dan memberikan rasa pahit serta citarasa yang khas pada bahan makanan. Perubahan warna produk keripik kentang menunjukkan adanya hubungan dengan jumlah senyawa akrilamid di dalamnya. Makin pekat warna keripik kentang maka jumlah akrilamid makin banyak (Granda et al. 2005; Pedreschi et al. 2005). Suhu penggorengan yang rendah dan adanya perlakuan blansir dan perendaman kentang sebelum digoreng dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid di dalam keripik kentang (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004; Pedreschi et al. 2005). Vivanti et al. (2006) menyatakan bahwa prekursor pembentuk senyawa akrilamid dalam bahan pangan adalah asam amino terutama asparagin, yang bereaksi dengan gula pereduksi dalam kondisi suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 180 o C selama 30 menit akan menghasilkan 368 µmol akrilamid/mol asparagin (Friedman 2003). Asparagin (Asn) merupakan asam amino polar dengan BM 132, titik isoelektrik 5.41 dan memiliki gugus amina primer yang reaktif (Lehninger 1998; Poedjiadi 1994). Gugus R dari asparagin yang bersifat elektrofilik dengan adanya gugus NH 2. Asparagin dapat bereaksi dengan gugus hidroksil ( OH) pada senyawa gula dan terjadi reaksi penataan ulang sederhana disertai pelepasan gugus karboksil sehingga asam amino asparagin berubah menjadi akrilamid.mekanisme sederhana pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 4. 11

29 Gambar 4 Reaksi asparagin dengan gugus aldehid (Zhang&Ying 2007) Mekanisme reaksi (Gambar 4) menjelaskan adanya peran gugus fungsi aldehid pada gula pereduksi yang bereaksi dengan bagian gugus amino dari asam amino kemudian melalui reaksi penataan ulang beberapa tahap akan membentuk senyawa akrilamid. Zyzak et al (2003) menjelaskan bahwa pada saat campuran pati kentang dan asam amino digoreng maka ada beberapa asam amino yang dapat membentuk akrilamid tinggi. Alanin, asam aspartat, lisin, treonin, arginin, sistein, metionin dan valin membentuk akrilamid dengan kadar <50 ppb sedangkan glutamin dan asparagin masing-masing membentuk akrilamid 156 ppb dan 9270 ppb. Asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid (Grandra et al. 2005; Zyzak et al. 2003). Keripik merupakan produk makanan yang mengandung kadar air rendah sehingga memiliki tekstur yang keras dan relatif lebih awet untuk disimpan karena kondisi yang dapat menghambat aktivitas mikroba. Kerusakan biasanya lebih disebabkan oleh adanya reaksi ketengikan yang terjadi pada komponen minyak dan lemak. Produk yang kering menyebabkan potensi pembentukan akrilamid semakin tinggi pula. Hubungan pembentukan akilamid dengan adanya molekul air dalam bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 5. 12

30 Akrilamid merupakan produk dari reaksi Maillard yang dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan pembentukan aroma dan warna selama pemanasan yaitu gula pereduksi, asam amino, waktu pemanasan, kadar air dan ph (Vattem & Kalidas 2003). Pembentukan senyawa akrilamid selama proses penggorengan juga dipengaruhi oleh keberadaan air dalam bahan pangan (Vorbehalten 2005). Semakin rendah kadar air produk yang diinginkan maka pembentukan akrilamid makin banyak. a c ry la m id e c o n t e n in µ g / k g Kadar akrilamid (µg/kg) ,6 2,4 3,3 4,2 Kadar air (%) Gambar 5 Pengaruh kadar air pada pembentukan akrilamid (Vorbehalten 2005) Proses pengolahan bahan pangan pada suhu tinggi menyebabkan terjadinya penguapan molekul air dari sel bahan pangan sampai tingkat kekeringan produk yang diinginkan (Fellows 1997). Produk yang kering mengandung kadar air rendah namun jumlah akrilamid semakin banyak seperti pada produk keripik. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa produk dengan kadar air yang tinggi mengandung akrilamid yang lebih rendah. Pembentukan senyawa akrilamid selama proses pengolahan bahan pangan juga dipengaruhi oleh ph matriks bahan pangan (Jung et al. 2003). Jumlah akrilamid makin rendah pada ph asam. Pengaruh ph pada pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 6. 13

31 Kadar akrilamid (mg/mol asparagin) ph bahan pangan Gambar 6 Pengaruh ph terhadap jumlah akrilamid (Jung et al. 2003) 2.4. Reaksi Maillard Reaksi pencoklatan non enzimatik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu karamelisasi, pirolisis dan reaksi pencoklatan secara reaksi Maillard (Ames 1998). Ketiga reaksi ini menghasilkan perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan. Reaksi karamelisasi lebih disebabkan oleh adanya dehidrasi molekul air dari komponen gula sedangkan pirolisis merupakan reaksi lanjutan dari karamelisasi sampai semua komponen gula terdegradasi. Reaksi Maillard merupakan reaksi antar senyawa kimia dalam bahan pangan yaitu gula pereduksi dan asam amino (Ames 1998). Mekanisme reaksi Maillard (Gambar 7) merupakan jalur reaksi yang kompleks dan berlanjut sampai membentuk polimer dan senyawa melaniodin di akhir proses pemanasan baik penggorengan maupun pembakaran. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi tersebut seperti ph/keasaman bahan pangan, tipe asam amino dan senyawa gula, suhu dan lama pemanasan, keberadaan oksigen, kadar air, nilai aw dan komponen lain dalam makanan (Ames 1998; Friedman 2003; Weiss 2002; Zhang & Ying 2007). Reaksi Maillard dapat membentuk banyak komponen kimia yang berbeda (Ames 1998; Reineccius 2006; Taylor 2002). Hal ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah 14

32 gula pereduksi yang bereaksi dengan asam amino yang ada dalam matriks bahan pangan. Reaksi Maillard sering disebut sebagai reaksi browning non enzimatik karena menghasilkan produk berwarna coklat pada makanan (Taylor 2002). Reaksi ini diperlukan pada beberapa pengolahan bahan pangan karena dapat membentuk warna yang menarik. Reaksi Maillard lebih banyak bertujuan untuk membentuk karakteristik aroma pada bahan makanan seperti pada roti, biskuit, kopi, susu dan produk olahan lainnya (Ames 1998). Reaksi Maillard banyak dimanfaatkan untuk pembentukan aroma dari makanan (Ames 1998). Contoh komponen aroma yang terbentuk dalam makanan karena proses pemanasan dapat dilihat pada Tabel 4. Terjadinya reaksi Maillard dalam bahan pangan dapat menyebabkan kehilangan sejumlah molekul zat gizi dalam makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah molekul asam amino esensial dalam makanan yang sudah berubah menjadi senyawa lain. Contohnya asam amino lisin dalam tepung gandum yang hilang karena pemanggangan roti. Begitu juga halnya dengan produk lain seperti kacang goreng, coklat, kopi dan makanan ringan lainnya. Mekanisme reaksi Maillard terjadi melalui pembentukan komponen Amadori hasil penataan ulang senyawa gula seperti glukosa setelah bereaksi dengan asam amino (Gambar 8). Reaksi Maillard dapat menghasilkan aroma yang berbeda tergantung pada adanya variasi jenis asam amino dan keberadaan senyawa gula dalam bahan pangan. Jenis asam amino akan berpengaruh pada produk reaksi Maillard (Ames 1998). Asparagin dan glutamin merupakan asam amino yang berpotensi membentuk akrilamid jika dipanaskan dengan gula pereduksi (Zyzak et al. 2003). Penurunan akrilamid dalam makanan dapat dilakukan dengan cara mengurangi asam amino prekursornya (Vorbehalten 2005). 15

33 Gambar 7 Reaksi Maillard (Ames 1998) 16

34 Gambar 8 Mekanisme Reaksi Maillard melalui pembentukan struktur Amadori (Zhang & Ying 2007) Tabel 4 Komponen aroma yang terbentuk melalui proses pemanggangan dan pembakaran bahan pangan Jenis Bahan pangan Kentang Kacang Daging Buah coklat Sumber : Fellows (1997) Asam amino Glutamin Valin Asparagin Alanin Phenilalanin Asparagin Arginin Valin Glisin Leusin Leusin Alanin Phenilalanin Valin Karakteristik aroma setelah dipanaskan dengan monosakarida Caramel, butterscotch, burnt sugar Fruity, sweety, yeasty - Caramel, nutty, malt Sweet and rancid caramel, violet - Bready, buttery, yeasty Fruity, sweety, yeasty Caramel, smoky, burnt Toasted, cheesy, malt, bready Toasted, cheesy, malt, bready Caramel, nutty, malt Sweet and rancid caramel, violet Fruity, sweet, yeasty 17

35 Hasil akhir reaksi Maillard adalah senyawa melanoidin dan beberapa komponen non volatil (Ames 1998). Pembentukan senyawa ini di tandai dengan perubahan warna produk yang semakin gelap sampai terbentuknya warna coklat pekat, disertai dengan terbentuknya residu kerak pada produk makanan (Zhang & Ying 2007). Selama pemanasan bahan makanan juga disertai dengan pembentukan akrilamid contohnya pada penggorengan keripik kentang (Pedreschi et al. 2005). Pada Tabel 3 nampak bahwa perubahan asam amino asparagin dalam kentang yang dipanaskan tidak memberikan pengaruh pada aroma produk. Terjadinya reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi dalam bahan pangan akan berpengaruh pada produk yang dihasilkan baik warna maupun aroma. Kondisi suhu mempengaruhi mekanisme reaksi Maillard yang terjadi sehingga pada kondisi suhu yang berbeda dapat menghasilkan produk reaksi yang berbeda pula. Mejcher dan Henryk (2005) berhasil mengidentifikasi beberapa aroma yang terbentuk melalui reaksi Maillard. Mottram (1998) menjelaskan adanya komponen citarasa dalam daging dan produk olahan daging, dimana senyawa kimia tersebut juga terbentuk melalui reaksi Maillard. Hal ini juga dapat terjadi dalam bahan pangan yang mengandung prekursor pembentuk komponen citarasa. Sementara itu, pembentukan akrilamid juga terjadi antara gugus amina dari asam amino asparagin dengan gugus karbonil pada gula pereduksi (Friedman 2003) sehingga reaksi pembentukan komponen citarasa melalui reaksi Maillard juga sejalan dengan pembentukan akrilamid. Hal inilah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan kondisi pemanasan sehingga pembentukan akrilamid dapat diperkecil. Komponen kimia yang terbentuk dari hasil reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh jenis asam amino yang ada dalam bahan pangan. Reaksi Maillard pada suhu tinggi akan dipengaruhi faktor suhu pemanasan karena berkaitan dengan jumlah air yang keluar dari dalam bahan pangan. Pada pembentukan akrilamid diduga faktor suhu pemanasan juga menjadi kondisi yang mempercepat pembentukan akrilamid (Weiss 2003). Zyzak et al (2003) menjelaskan adanya mekanisme pembentukan akrilamid yang sejalan dengan mekanisme reaksi Maillard (Gambar 9). 18

36 Gambar 9 Pembentukan akrilamid melalui jalur reaksi Maillard (Zyzak et.al.2003) Pada Gambar 9 dijelaskan bahwa tahap awal pembentukan akrilamid juga dimulai dari pembentukan senyawa basa Schiff dan kemudian akan mengalami reaksi lanjutan sesuai dengan suhu yang diberikan. Pada mekanisme ini nampak bahwa jumlah air yang dihilangkan dalam bahan pangan juga menyebabkan reaksi makin banyak kearah pembentukan akrilamid. Selain itu, makin tinggi suhu maka reaksi kearah pembentukan akan makin besar (Zyzak et al 2003). 19

37 2.5. Blansir dan Perendaman Blansir merupakan proses yang dilakukan terhadap bahan pangan dengan cara perendaman dalam air panas dalam waktu singkat (Fellows 1997). Pada saat pelaksanaan blansir terjadi juga soaking atau perendaman. Interaksi bahan pangan dengan air atau suatu larutan akan menyebabkan terjadinya osmosis molekul air atau larutan ke dalam sel bahan pangan. Proses blansir dan perendaman menyebabkan terjadinya distribusi sejumlah molekul air ke dalam sel bahan pangan dan sebaliknya akan terjadi juga pengeluaran komponen sel seperti pigmen dan komponen sel larut air. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas nutrisi dan sensori makanan. Selain itu, blansir dapat mempengaruhi warna dan citarasa makanan (Fellows 1997). Mekanisme distribusi molekul sel pada saat terjadinya blansir dapat dilihat pada Gambar 10. Salah satu tujuan perlakuan blansir adalah melakukan inaktivasi terhadap enzim poliphenol oksidase yang ada dan aktif pada bahan pangan tertentu seperti kentang, apel dan buah-buah lainnya (Poedjiadi 1994). Aktivitas enzim ini cenderung merusak penampilan produk karena adanya reaksi lanjut dan hasil oksidasi dari enzim ini menghasilkan pigmen berwarna kuning sampai coklat bahkan kehitaman. Blansir juga digunakan untuk mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada permukaan bahan makanan dan memperlunak jaringan sayuran (Fellows 1997). Gambar 10 Mekanisme distribusi komponen kimia pada sel saat blansir; S: pati tergelatinisasi; CM: membrane sitoplasma: CW: dinding sel; P:Pektin; N : Nukleous dan C : kloroplas (Fellows 1997) 20

38 Perendaman dapat melarutkan komponen-komponen kimia terutama yang bersifat polar seperti pati, gula sederhana, dan asam amino tertentu. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan kondisi pengolahan yang tepat termasuk perlakuan sebelum proses pengolahan seperti perlakuan blansir dan perendaman dalam ph asam (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004). Perendaman dan blansir sering dilakukan sebagai tahap awal untuk proses pengolahan keripik kentang karena juga dapat menyebabkan kerenyahan produk keripik (Leeratanarak et al. 2006). Perlakuan blansir dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan sensori dan kualitas makanan karena menyebabkan hilangnya komponen-komponen polar yang ikut terlarut bersama air seperti mineral-mineral, vitamin larut air, komponen pati dan gula-gula pereduksi (Fellows 1997). Suhu dan lama blansir mempengaruhi perubahan warna makanan. Perlakuan blansir juga dapat menurunkan jumlah prekursor pembentuk akrilamid seperti gula pereduksi dan asam amino asparagin (Vorbehalten 2005; Zhang&Ying 2007) Proses Penggorengan Penggorengan merupakan tahap perlakuan terhadap bahan makanan dengan menggunakan suhu tinggi dalam medium minyak. Tujuan penggorengan adalah untuk memasak makanan dan melakukan pengeluaran air dalam bahan makanan sehingga diperoleh juga produk yang kering. Teknik penggorengan dapat dilakukan dengan sistem shallow frying dan deep-fat frying (Fellows 1997). Proses penggorengan selalu menggunakan suhu tinggi sesuai dengan titik didih minyak goreng. Suhu penggorengan normal dapat terjadi pada kisaran suhu o C (Fellows 1997). Suhu yang tinggi menjadi penyebab pembentukan asam-asam lemak bebas. Hal ini ditandai dengan perubahan viskositas, citarasa, warna minyak dan titik asap minyak menjadi turun. Friedman (2003) menyatakan bahwa pembentukan akrilamid dapat terjadi dalam kisaran suhu 120 o C-170 o C sehingga selama penggorengan juga terjadi reaksi pembentukan akrilamid. Perubahan yang nampak setelah hasil penggorengan adalah terjadinya perubahan warna, tekstur dan aroma dari produk. Hal ini banyak disebabkan oleh adanya perubahan beberapa senyawa gula dan asam amino dalam bahan makanan sebagai kombinasi reaksi Maillard (Ames 1998). Adanya reaksi senyawa gula dengan asam 21

39 amino lisin pada ikan memberikan karakteristik pada produk ikan goreng (Fellows 1997). Minyak nabati merupakan media yang terbaik sebagai penghantar panas pada proses penggorengan. Fellows (1997) menjelaskan bahwa komponen-komponen minyak mengalami perubahan-perubahan selama proses penggorengan. Pada beberapa proses penggorengan, terlihat suhu penggorengan hampir mencapai titik asap minyak di atas 180 o C. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan nilai gizi makanan selain dapat membentuk akrilamid yang lebih tinggi Evaluasi Sensori Hasil akhir proses pengolahan harus dikaitkan dengan evaluasi mutu sensori secara organoleptik. Uji sensori untuk produk pangan dapat menghasilkan data penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan karena indra manusia merupakan detektor yang cukup sensitif untuk mengenali komponen sensori dalam produk (Reineccius 2006). Pengolahan makanan yang baik diharapkan dapat menghasilkan produk dengan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen. Pengujian sensori dapat meliputi pengujian warna, aroma, rasa dan penerimaan keseluruhan (over all) produk (Meilgaard et al.1999). Pada analisis sensori, panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap atribut sensori produk secara hedonik (kesukaan). Skor penerimaan panelis tersebut dapat dikuantifikasikan. Selain itu, pada uji sensori terdapat pula uji pembedaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan sampel karena perlakuan-perlakuan yang diujikan. Analisis sensori secara Quantitative Descriptive Analysis (QDA) merupakan salah satu analisis sensori deskriptif yang dapat digunakan untuk mengetahui atribut sensori termasuk komponen flavor dalam produk makanan (Stone & Sidel 1998). Metoda ini dilakukan oleh kelompok panelis terlatih (terdiri dari 6-12 orang terpilih) yang akan mendeskripsikan atribut sensori dalam produk yang diuji (Meilgaard et al. 1999). Data analisis secara QDA merupakan data yang dapat dikuantifikasikan dalam bentuk angka. Pada pelaksanaannya digunakan garis untuk menyatakan intensitas atribut sensori yang ada. Interpretasi hasil pengujian dapat dinyatakan dalam bentuk grafik/diagram spider web. 22

40 Teknik penurunan pembentukan akrilamid akan memberikan pengaruh juga terhadap sensori produk. Romani et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi penggorengan mempengaruhi kandungan akrilamid dan karakteristik kentang goreng seperti warna, citarasa dan kandungan minyak. Karakteristik produk merupakan ciri-ciri produk yang dapat juga berkaitan dengan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Meilgaard et al. 1999). Karakteristik produk dapat diketahui dari hasil pengujian sensori penerimaan konsumen terhadap organoleptik produk baik warna, aroma, rasa dan keseluruhan produk. 23

41 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia, Politeknik Negeri Lampung, Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor Alat dan Bahan Peralatan laboratorium HPLC Shimadzu model LC-6A yang dilengkapi dengan detektor UV-Vis SPD- 6AP dan kolom C18. Neraca analitik Kern type AV 220-4, penyaring vakum, alat gelas untuk pembuatan larutan seperti labu ukur 50 ml, 25 ml dan 10 ml, peralatan pengolahan keripik seperti wadah untuk bahan, pisau, alat deep fryer, pengaduk, beaker glass 1 L, termometer skala 200 o C, alat pengukur kekerasan hardness texture dan penangas air. Analisis sensori menggunakan perlengkapan terdiri dari blanko kuisioner, wadah sampel, ruang/booth, pena Bahan kimia Akrilamid p.a. (Merck), metanol p.a.(merck), akuabides (Ikaparmindo), diklorometana p.a.(merck), H 3 PO 4 85% (Merck), asparagin p.a (Merck), MSG dan bahan untuk analisis kimia. Uji deskriptif memerlukan beberapa bahan kimia sebagai pembanding seperti caramel, burnt, furaneol, maltol, benzil alkohol dan isoamil asetat Bahan baku dan sampel Pisang ambon dibeli di pasar-pasar tradisional di sekitar kota Bandar Lampung dalam keadaan keseragaman bobot, warna dan fisik yang nampak secara visual dan diuji dengan alat hardness texture. Pada tahap proses pengolahan digunakan minyak goreng komersial yang digunakan hanya 1 (satu) kali untuk setiap kali perlakuan penggorengan. Produk keripik pisang ambon komersial dengan merk berbeda juga diuji kadar akrilamidnya dan diambil secara random pada beberapa toko, supermaket dan outlet penjual makanan khas provinsi Lampung dalam waktu yang berbeda. Pengujian sensori 24

42 menggunakan produk pembanding yaitu produk keripik pisang ambon komersial dan menggunakan air minum kemasan sebagai penetral pada setiap pengujian Metode Penelitian Pada penelitian ini digunakan bahan baku pisang ambon mentah. Penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis kimia bahan baku yang terdiri dari analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Pada tahap kedua dilakukan pengolahan bahan baku pada berbagai perlakuan yaitu perlakuan proses penggorengan (variasi suhu 140, 160 dan 180 o C selama 10, 15 dan 20 menit), blansir (suhu 70, 80 dan 100 o C selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit) dan perendaman dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% (b/v) dengan selama 1, 2 dan 3 menit pada suhu 20 o C. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial acak lengkap dengan 2 kali pengulangan. Analisis akrilamid dilakukan dengan HPLC sistem reversed phase menggunakan fase diam non polar dan fase bergeraknya adalah campuran pelarut yaitu asetonitril : akuabides : asam fosfat 10% (5 : 94 : 1). Detektor yang digunakan adalah UV-Vis SPD-6AP (Shimadzu) pada panjang gelombang 230 nm. Kecepatan alir 1.2 ml/menit dengan volume injeksi 20 µl. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap kadar akrilamid dalam produk keripik pisang ambon komersial. Pada tahap ketiga dilakukan evaluasi sensori terhadap produk yang memiliki kadar akrilamid rendah meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan serta analisis atribut aroma dengan metoda deskriptif Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Skema kerja tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar

43 Tahap 1 Analisis bahan baku Tahap 2 Pengolahan keripik pisang ambon 1. Analisis proksimat 2. Kadar pati 3. Kadar gula 1. Suhu dan lama penggorengan 2. Suhu dan lama blansir 3. Waktu perendaman Analisis akrilamid Produk keripik pisang ambon perlakuan dan produk keripik pisang ambon Tahap 3 Uji sensori 1. Uji hedonik Gambar 11 Skema kerja penelitian 3.4. Pelaksanaan Penelitian Tahap 1. Analisis Kimia Bahan Baku Analisis kimia yang dilakukan terhadap bahan baku meliputi analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Analisis proksimat meliputi : kadar air, abu, lemak, protein total dan karbohidrat. a. Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam desikator sampai kondisi konstan/dingin kemudian ditimbang (berat a). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram (berat b). Cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C-110 o C selama 3 jam atau sampai tercapai berat yang konstan (berat c). Kadar air dihitung berdasarkan rumus : ( c a) Kadar air (%) = x100% ( b) 26

44 b. Kadar abu (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam desikator sampai kondisi konstan/dingin kemudian ditimbang (berat x). Sampel sebanyak 2 g (berat y) dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan pada suhu o C selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu. Cawan didinginkan dan ditimbang (berat z). Kadar abu dihitung dengan rumus : ( z x) Kadar abu (%) = x100% ( y) c. Kadar lemak (Woodman 1941 dalam Sudarmadji 1990) Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam labu soklet. Labu didih ditimbang sebelumnya dan diperoleh berat awal (berat a). Petroleum eter kemudian dimasukkan ke dalam labu didih. Rangkaian peralatan soklet dipasang dan dialirkan air ke dalam kondensor. Labu didih dipanaskan sampai pelarut menguap dan didinginkan oleh kondensor. Kondensat masuk ke dalam alat soklet dan terjadi proses ekstraksi. Ekstraksi dilakukan sampai seluruh lemak terekstrak dari sampel. Setelah selesai ekstraksi, seluruh pelarut dimasukkan dalam labu didih. Pelarut dalam labu didih diuapkan dalam oven pada suhu 105 o C sampai tersisa hanya lemak dan kemudian ditimbang sebagai berat akhir (berat b). Kadar lemak dihitung dengan rumus : b a Kadar lemak (%) = x100% berat sampel d. Kadar protein total-metoda Gunning (Sudarmadji 1990) Sampel ditimbang sebanyak 0.2 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjehdahl 100 ml lalu ditambahkan 2 g K 2 SO 4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H 2 SO 4 pekat. Setelah itu campuran dalam labu tersebut didestruksi selama 30 menit sampai warna larutan menjadi hijau jernih dan dibiarkan sampai dingin. Hasil destruksi didistilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah berisi HCl dan indikator fenolftalein 27

45 lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titrasi dilakukan juga untuk larutan blanko yang berisi akuades. Kadar nitrogen dihitung dengan rumus : (Vol. HCl sampel-vol. HCl blanko) x Normalitas HCl x Kadar N(%) = x100% Berat sampel (mg) Kadar protein (%) = 6.25 x % N e. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan persamaan : Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (air+abu+lemak+protein)% f. Kadar pati (Sudarmadji 1990) Sebanyak 2 5 g sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml lalu ditambahkan 50 ml akuades dan diaduk selama 1 jam. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 250 ml. Residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter dan eter dibiarkan menguap dari residu. Residu dicuci dengan 150 ml alkohol 10%. Residu dipindahkan dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan penambahan 200 ml akuades dan 20 ml HCl 25% kemudian ditutup dengan pendingin balik. Erlenmeyer dipanaskan pada penangas air mendidih selama 2.5 jam. Setelah dingin, campuran tersebut dinetralkan dengan larutan NaOH 40% dan diencerkan hingga volume 500 ml kemudian disaring. Larutan diambil 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl. Beberapa butir batu didih dimasukkan ke dalam erlenmeyer tersebut dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, campuran dalam erlenmeyer tadi ditambahkan 15 ml KI 20% dan 25 ml H 2 SO % dengan hati-hati. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O N memakai indikator pati 1% sebanyak 2-3 ml. Titrasi diakhiri setelah hilangnya warna ungu kebiruan. Blanko dibuat dengan cara : sebanyak 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah 25 ml akuades. Selisih volume Na 2 S 2 O 3 pada titrasi blanko dengan titrasi larutan sampel dikonversikan dengan nilai pati dan gula pereduksi pada Tabel 5 dan akan diperoleh jumlah (mg) glukosa, fruktosa dan gula invert hasil hidrolisis pati. 28

46 Kadar pati dihitung dengan rumus : Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (mg) x faktor pengenceran Kadar pati(%)= x 100% Berat sampel (mg) g. Kadar gula pereduksi (Sudarmadji 1990) Sebanyak 2 5 g sampel telah dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml lalu ditambahkan 100 ml akuades dan 25 ml larutan Luff Schoorl. Beberapa butir batu didih dimasukkan ke dalam erlenmeyer tersebut dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, campuran dalam erlenmeyer tadi ditambahkan 15 ml KI 20% dan 25 ml H 2 SO % dengan hati-hati. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N memakai indikator pati 1% sebanyak 2-3 ml. Titrasi diakhiri setelah hilangnya warna ungu kebiruan. Blanko dibuat dengan cara : sebanyak 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah 25 ml akuades. Selisih volume titran pada titrasi blanko dan titrasi larutan sampel dikonversikan dengan nilai pada Tabel 5 dan akan diperoleh jumlah (mg) glukosa, fruktosa dan gula invert dalam sampel bahan pisang ambon. Kadar gula pereduksi dihitung dengan rumus : Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (mg) x faktor pengenceran Kadar gula pereduksi(%) = x100% Berat sampel (mg) Tabel 5 Penentuan jumlah gula pereduksi dengan metoda Luff Schoorl Selisih volume(ml) Na 2 S 2 O 3 0,1 N Jumlah glukosa,fruktosa, gula invert Selisih volume(ml) Na 2 S 2 O 3 0,1 N Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert C 6 H 12 O 6 (mg) C 6 H 12 O 6 (mg) Keterangan: nilai adalah faktor yang dikalikan dengan bilangan desimal selisih volume titran Sumber : Sudarmadji (1990)

47 h. Analisis asam amino dalam pisang ambon (AOAC 1995) Analisis jenis asam amino dalam pisang ambon dilakukan dengan HPLC. Sebelum sampel diinjeksikan ke dalam alat, dilakukan hidrolisis sampel. Sampel sebanyak gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan HCl 6 N sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100 o C. Setelah itu, sampel didinginkan dan disaring. Larutan sampel diambil 30 ml dan ditambahkan 30 µl larutan pengering (trimetilamin dan pikotiosianat dalam metanol) dan divakumkan. Larutan sampel ditambahkan larutan derivatisasi yaitu trimetilamin dan natrium asetat dalam metanol sebanyak 30 µl kemudian didiamkan selama 30 menit dan ditambahkan 2 ml natrium asetat 1 M, didiamkan selama 5 menit. Larutan sampel siap diinjeksikan ke dalam peralatan HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah HPLC dengan detektor UV pada λ 254 nm, kolom pico tag 3.9 x 150 nm pada suhu ruang, fase gerak yang digunakan adalah asetonitril 60% dalam buffer natrium asetat 1 M dengan kecepatan alir 1.2 ml/menit dan tekanan 3000 Psi dengan sistem elusi gradien. Larutan standar asam amino digunakan sebagai pembanding untuk menentukan jumlah asam amino dalam pisang ambon. Kromatogram asam amino dapat dilihat pada Lampiran 1 dan cara perhitungan kadar asam amino pada Lampiran 2. Perhitungan kadar asam amino dilakukan menggunakan rumus : Luas area spektrum asam amino sampel x konsentrasi standar x BM x Vol. x 100% Luas area spektrum asam amino standar berat sampel i. Kadar asam amino asparagin dengan HPLC (Bai et al. 2007) Asam amino asparagin ditentukan dengan HPLC sistem Reversed-Phase, kolom C18 dengan fase gerak asetonitril : kalium fosfat 0.03 M (20:80) dengan sistem elusi gradien. Kecepatan alir yang digunakan adalah 0.5 ml/menit dengan suhu kolom 30 o C. Sampel hasil hidrolisis diinjeksikan sebanyak 20 µl ke dalam kolom. Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang 190 nm. Larutan asam amino asparagin p.a. digunakan sebagai larutan standar. Asparagin standar dilarutkan dalam pelarut asetonitril : kalium posfat (20:80). Konsentrasi larutan standar yang dibuat adalah ppb. Kondisi saat injeksi larutan standar ke dalam alat sama dengan kondisi injeksi larutan sampel. Kurva kalibrasi larutan standar dan 30

48 regresi linier digunakan untuk menentukan konsentrasi asam amino asparagin di dalam sampel pisang ambon. Perhitungan kadar asparagin dapat dilihat pada Lampiran 3. Tahap 2. Pengolahan Keripik Pisang Ambon 2.1. Pengaruh suhu dan lama penggorengan Pisang ambon mentah yang telah dikupas diiris tipis 2-3 mm dengan pisau. Sebanyak 500 g irisan pisang diolah dengan proses penggorengan pada variasi suhu 140, 160 dan 180 o C selama 10, 15 dan 20 menit. Analisis kadar akrilamid dilakukan terhadap seluruh produk yang dihasilkan dan diperoleh keripik pisang dengan kadar akrilamid terendah. Perlakuan penggorengan yang menghasilkan keripik pisang ambon dengan kadar akrilamid yang lebih rendah digunakan untuk penggorengan pada tahap perlakuan berikutnya Perlakuan blansir Irisan pisang sebanyak 500 g direndam dalam air dengan suhu 70, 80 dan 100 o C. Waktu perendaman divariasikan selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit. Irisan pisang yang telah mendapat perlakuan kemudian digoreng pada suhu dan lama penggorengan yang menyebabkan pembentukan akrilamid paling rendah (perlakuan Tahap 2 bagian 2.1). Irisan pisang yang tidak diblansir juga digoreng pada suhu yang sama (sebagai kontrol). Seluruh produk keripik pisang ambon dianalisis kadar akrilamidnya Perlakuan perendaman dalam larutan MSG Irisan pisang sebanyak 500 g direndam dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% selama variasi waktu 1, 2 dan 3 menit pada suhu 20 o C dan dilakukan juga untuk kontrol (tanpa perendaman MSG). Irisan pisang yang telah mendapat perlakuan perendaman larutan MSG digoreng pada suhu dan lama penggorengan yang menyebabkan pembentukan akrilamid paling rendah (perlakuan Tahap 2 bagian 2.1). Keripik pisang ambon hasil perendaman MSG dianalisis kadar akrilamidnya. 31

49 Analisis akrilamid dengan HPLC (Harahap et al. 2005) Sampel keripik pisang yang sudah mengalami perlakuan proses pengolahan dianalisis kandungan akrilamidnya dengan alat HPLC. Sebelumnya, senyawa akrilamid dalam keripik pisang ambon hasil perlakuan diisolasi dengan cara : 20 gram sampel dilarutkan dalam 25 ml diklorometan, dihomogenkan selama 30 menit. Larutan disaring dan filtrat ditambahkan dengan 10 ml H 3 PO 4 10%. Diklorometan diuapkan di atas penangas air pada suhu 70 o C dan cairan yang tersisa dipindahkan ke dalam labu 10 ml kemudian ditambahkan H 3 PO 4 10% sampai tanda batas dan disaring. Filtrat diambil 1.0 ml dan dimasukkan dalam labu 25.0 ml kemudian ditambahkan dengan H 3 PO 4 10% sampai tanda batas. Kemudian sampel disaring dengan kertas Whatman 40. Sampel diinjeksikan sebanyak 20 µl ke dalam kolom HPLC dan dicatat luas puncaknya pada kromatogram. HPLC yang digunakan adalah HPLC dengan kolom C18 ( 25 cm x 4.6 mm x 5 mm, Supelco), sistem Reversed Phase (RP-HPLC) yang menggunakan fase diam non polar dan fase bergeraknya adalah campuran pelarut yaitu asetonitril : akuabides : asam fosfat 10% (5 : 94 : 1). Detektor yang digunakan adalah UV-Vis SPD- 6AP (Shimadzu) panjang gelombang 230 nm, pompa LC-6A (Shimadzu). Kecepatan alir 1.2 ml/menit dengan volume injeksi 20 µl. Penentuan kadar akrilamid dilakukan dengan regresi linier (Lampiran 4) dan contoh kromatogram akrilamid pada Lampiran 5. Tahap 3. Pengujian sensori produk Pengujian sensori terhadap produk dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu uji hedonik dan analisis deskriptif. Ada 2 (dua) kelompok panelis yang digunakan untuk analisis sensori yaitu panelis tidak terlatih untuk uji hedonik dan panelis semi terlatih untuk uji QDA. Keripik pisang ambon yang memiliki kadar akrilamid relatif lebih rendah diuji secara organoleptis oleh 70 panelis tidak terlatih. Uji hedonik dilakukan terhadap warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Blanko pengujian hedonik pada Lampiran 6. Skor penilaian setiap panelis dihitung nilai rata-ratanya dan dilakukan analisis data uji organoleptisnya secara uji ANOVA pada tahap kepercayaan < Panelis tidak terlatih diambil dari lingkungan sekitar laboratorium pengujian terutama mahasiswa semester 3 dan semester 5 di Program Studi Teknologi Pangan dan karyawan di lingkungan Politeknik Negeri Lampung. Pengujian dilakukan terhadap produk hasil perlakuan dan produk pembanding dalam hal atribut warna, aroma dan 32

50 penerimaan keseluruhan yang diisikan dalam blanko kuisioner yang disediakan. Blanko seleksi panelis dapat dilihat pada Lampiran 7 9. Analisis deskriptif dilakukan dengan metoda Quantitative Descriptive Analysis (QDA) menurut Stone dan Sidel (1998). Pada tahap seleksi awal diperoleh calon panelis sebanyak 15 orang calon panelis (usia tahun, laki-laki dan perempuan) yang mengikuti tahap pelatihan panelis. Panelis-panelis ini telah diseleksi melalui beberapa tahap yaitu tahap uji segitiga, uji duo trio, uji kemampuan skala, uji aroma dasar dan kemampuan dalam mendeskripsi aroma produk. Blanko pengujian dalam pelatihan deskripsi dapat dilihat pada Lampiran Pelatihan untuk pengujian deskriptif atribut aroma diikuti oleh 9 orang panelis. Panelis ini terseleksi berdasarkan kemampuanya dalam menilai jenis dan intensitas aroma secara konsisten. Blanko pengujian dapat dilihat pada Lampiran 14. Kemampuan panelis untuk mengidentifikasi suatu atribut sensori dalam produk keripik bersifat relatif sehingga masing-masing panelis mempunyai jenis dan jumlah atribut yang berbeda. Untuk itu, diperlukan suatu kesepakatan atau konsensus dalam menentukan atribut yang teridentifikasi oleh seluruh panelis. Setiap panelis memiliki deskripsi aroma yang hampir sama namun intensitasnya berbeda. Untuk itulah diperlukan aroma pembanding (Tabel 6) sehingga panelis memiliki acuan dalam menentukan intensitas aroma yang terdeteksi oleh indra penciumannya. Tabel 6 Aroma standar untuk keripik pisang ambon Deskripsi aroma Senyawa Sumber acuan Manis Furaneol Mejcher et al Rancid Butanal Taylor 2002 Ester like, pisang ambon Isoamil asetat Tressl dan Jenning 1972 Karamel, gula Caramel Mejcher et al Getah/pisang muda/daun Hexenal Taylor

51 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku Analisis Proksimat Granda et al. (2005) menyatakan bahwa komposisi bahan pangan mempengaruhi jumlah pembentukan senyawa akrilamid. Komponen kimia yang penting untuk diperhatikan pada pembentukan akrilamid adalah senyawa pati karena senyawa ini yang menjadi prekursor terbentuknya akrilamid (Friedmen 2003; Brathen & Svein 2005). Hasil analisis proksimat terhadap komponen makromolekul dalam bahan baku pisang ambon (Tabel 7) menunjukkan bahwa pisang ambon mentah mengandung yang cukup pati tinggi. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa akrilamid banyak terdapat dalam makanan yang berbahan dasar pati dan diolah pada suhu tinggi (Friedman 2003; Gokmen et al. 2006; Brathen & Svein 2005) sehingga keripik pisang ambon juga berpotensi mengandung akrilamid. Tabel 7 Hasil analisis proksimat dari bahan baku pisang ambon Komponen Pisang ambon mentah (%) Air 73.5 ± 0.1 Protein 1.51 ± 0.04 Lemak 0.04 ± 0.01 Abu 0.9 ± 0.1 Karbohidrat (by difference) 23.9 ± pati 19.3 ± gula pereduksi 0.3 ± 0.1 Selama proses pematangan buah terjadi reaksi enzimatis untuk menghidrolisis komponen pati menjadi senyawa monosakarida seperti gula pereduksi (Winarno 1992). Zhang dan Ying (2007) menyatakan bahwa peningkatan jumlah gula pereduksi dalam bahan pangan menyebabkan potensi pembentukan akrilamid makin tinggi pula. Berdasarkan hal tersebut maka pisang ambon mentah mengandung gula pereduksi yang cukup rendah sehingga mengandung akrilamid lebih sedikit jika diolah menjadi keripik. 34

52 Pisang ambon untuk pembuatan keripik harus diiris sampai membentuk lembaran tipis dengan ukuran 1-3 mm. Pisang ambon mentah lebih mudah diiris dibandingkan dengan pisang ambon yang sudah matang. Hasil pengukuran dengan alat hardness texture menunjukkan bahwa kondisi kekerasan buah pisang ambon yang digunakan sebagai bahan baku keripik pisang berkisar antara 9.8 sampai 10.2 kg/cm 3. Pisang ambon tersebut memiliki sifat fisik visual sebagai berikut : kulit masih kehijauan, bagian dalamnya putih keras, beraroma pisang mentah dan masih banyak getah yang keluar jika pisang tersebut dikupas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi perubahan fisik pisang ambon mentah dalam waktu 1-2 hari penyimpanan sehingga diperlukan tahap pengolahan yang cepat setelah bahan baku dipanen. Kondisi bahan baku pisang ambon mempengaruhi komposisi kimia terutama prekursor pembentuk akrilamid Komposisi Asam Amino Pisang ambon sebagai bahan baku pembuatan keripik mengandung asam amino yang bervariasi (Tabel 8) dan ternyata mengandung asam amino asparagin sebesar 0.066%. Kromatogram hasil pengujian jenis asam amino dalam pisang ambon mentah beserta cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pisang ambon mengandung hampir seluruh jenis asam amino sehingga adanya proses penggorengan dapat menyebabkan terbentuknya komponen-komponen yang bervariasi. Hal ini dapat memberikan pengaruh pada aroma dan warna produk keripik pisang ambon termasuk pada pembentukan senyawa akrilamid. Untuk itulah diperlukan pengetahuan cara penggorengan sehingga pembentukan akrilamid dapat diperkecil. Zyzak et al (2003) menyatakan bahwa komponen asam amino asparagin juga menjadi faktor utama dalam pembentukan akrilamid. Adanya asam amino asparagin dalam pisang ambon mentah mendukung dugaan bahwa keripik pisang ambon berpotensi mengandung akrilamid jika diolah pada suhu tinggi seperti penggorengan. Friedman (2003) menjelaskan pembentukan akrilamid melalui reaksi dekarboksilasi asam amino asparagin dan hal ini disebabkan oleh adanya gugus R dari asparagin yang bersifat elektrofilik dengan adanya gugus NH 2 dan dapat bereaksi dengan gugus hidroksil ( OH) pada senyawa gula pereduksi. Kemudian terjadi reaksi penataan ulang disertai pelepasan gugus karboksil ( CO 2 ) dan membentuk akrilamid. Hal ini didukung 35

53 oleh penelitian Zyzak et al (2003) yang menjelaskan bahwa pada saat pemanasan campuran pati kentang dan asam amino maka asparagin merupakan asam amino yang berperan dalam membentuk akrilamid jika dibandingkan dengan asam amino lain. Tabel 8 Komposisi asam amino dalam bahan baku pisang ambon Jenis asam amino Kadar asam amino (%) Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin Asparagin * * Keterangan : (*) diperoleh dengan metoda Bai et al. (2007) Elmore dan Donald (2002) menyatakan bahwa selama proses pematangan buah dan kondisi penyimpanan juga menyebabkan peningkatan jumlah asam amino seperti asparagin dan glutamin sehingga jumlah prekursor pembentuk akrilamid juga bertambah. Pisang ambon yang mentah diduga lebih sedikit mengandung asparagin jika dibandingkan dengan pisang ambon matang sehingga pemilihan bahan baku juga menjadi cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi pembentukan akrilamid Kadar Akrilamid dalam Produk Keripik Pisang Ambon Komersial Hasil analisis beberapa produk keripik pisang ambon yang beredar di sekitar kota Bandar Lampung (Tabel 9) menunjukkan bahwa semua produk mengandung akrilamid walaupun kadarnya lebih rendah jika dibandingkan dengan keripik kentang. Hal ini disebabkan oleh ph pisang ambon yang bersifat asam. Kondisi ini didukung oleh penelitian Jung et al. (2003) dan Kita et al. (2004) yang melakukan penelitian 36

54 untuk menurunkan jumlah akrilamid dalam keripik kentang dengan cara perendaman dalam larutan asam sitrat dan asam asetat. Pada matrik bahan pangan yang bersifat asam ternyata dapat menyebabkan penghambatan reaksi pembentukan akrilamid. Selain itu, jumlah akrilamid dalam produk keripik pisang yang dianalisis cukup bervariasi. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi bahan baku pisang ambon dan proses pengolahan. Menurut Grandra et al. (2005) pembentukan akrilamid dipengaruhi juga oleh komposisi bahan baku. Tabel 9 Kadar akrilamid dalam beberapa produk keripik pisang ambon di Bandar Lampung Sampel Kadar akrilamid (µg/kg) * KS7P 150 ± 3 S ± 95.3 SS ± 33.6 Keterangan : waktu pengambilan sampel adalah April s.d Juni 2008 dan sampel diambil secara random pada 3 merk yang berbeda ; nilai (*) merupakan nilai ratarata dan standar deviasi Friedman (2003) memberikan informasi tentang kadar akrilamid dalam beberapa produk makanan. Keripik pisang ambon termasuk dalam kelompok makanan jenis keripik dan makanan ringan. Karakeristik keripik yang kering karena mengandung kadar air rendah menjadikan jenis makanan ini lebih berpotensi mengandung akrilamid. Untuk itulah diperlukan upaya penurunan kadar akrilamid dalam keripik pisang ambon dengan teknik dan perlakuan yang tepat Perlakuan Suhu dan Waktu Penggorengan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu menggoreng maka jumlah akrilamid yang terbentuk juga semakin meningkat (Gambar 12). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Williams (2005) yang menjelaskan bahwa jumlah akrilamid dalam keripik kentang akan semakin tinggi jika suhu meningkat dan semakin lama waktu penggorengan. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa produk hasil perlakuan 140 o C selama 10 menit nampak memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan produk hasil perlakuan yang digoreng dengan waktu lebih lama. Semakin lama waktu penggorengan maka warna keripik pisang 37

55 semakin gelap/kehitaman (Gambar 13). Hal inilah yang menyebabkan terpilihnya perlakuan penggorengan 140 o C selama 10 menit sebagai perlakuan penggorengan terbaik karena menghasilkan produk dengan akrilamid yang relatif lebih rendah dan warna yang lebih baik. Perlakuan ini menghasilkan keripik pisang dengan kadar menyebabkan pembentukan akrilamid sebanyak ± 40.5 ppb Kadar akrilamid (ppb) o C 160 o C 180 o C 565 Suhu penggorengan ( o C) 10 menit 15 menit 20 menit Gambar 12 Kadar akrilamid dalam keripik pisang ambon pada perlakuan suhu dan lama pengggorengan Gambar 13 Produk keripik pisang ambon hasil penggorengan pada suhu 140 o C pada variasi suhu 10, 15 dan 20 menit. 38

56 Brathen dan Svein (2005) menunjukkan adanya titik maksimal yang dapat menyebabkan pembentukan akrilamid paling banyak. Menurunnya akrilamid dikarenakan terjadinya reaksi lanjut dan degradasi senyawa akrilamid yang diikuti dengan pembentukan melanoidin yang memberikan warna kehitaman pada produk. Pembentukan warna selama pemanasan makanan dapat meningkat dengan adanya pemanasan yang lebih tinggi karena terjadi juga reaksi karamelisasi terhadap komponen gula dalam bahan pangan tersebut. Pedreschi et al. (2005) menyatakan mekanisme reaksi pembentukan akrilamid cukup komplek namun dapat diamati dari pembentukan senyawa melanoidin yang mengakibatkan terjadinya perubahan warna kuning sampai coklat dan memberikan rasa pahit serta citarasa yang khas pada bahan makanan. Fenomena yang serupa terlihat pada hasil penelitian. Jika dibandingkan dengan kadar akrilamid pada beberapa rata-rata produk keripik pisang ambon komersial maka penggunaan suhu 140 o C selama 10 menit ternyata membentuk akrilamid yang relatif lebih rendah dari produk komersial yang diuji pada penelitian ini. Faktor suhu penggorengan ternyata memberikan pengaruh yang lebih besar pada pembentukan akrilamid. Gambar 12 juga nampak bahwa pemberian suhu 180 o C selama 10 menit akan membentuk akrilamid lebih banyak daripada perlakuan suhu 140 o C selama 10 menit. Hal ini didukung oleh pernyataan Williams (2005) bahwa suhu pemasakan memberikan pengaruh yang lebih besar pada pembentukan akrilamid pada keripik kentang. Pedreschi et al. (2006) juga menyatakan bahwa penggunaan suhu yang rendah selama penggorengan (dibawah 160 o C) dapat menurunkan jumlah akrilamid dalam keripik kentang Pengaruh Blansir Penelitian juga menguji adanya perlakuan pretreatment blansir bahan baku terhadap kandungan akrilamid dalam keripik pisang ambon. Blansir dilakukan dengan variasi kondisi suhu dan lama blansir terhadap irisan pisang ambon. Fellows (1997) menjelaskan bahwa selama blansir terjadi osmosis komponen dari dalam sel terutama senyawa yang bersifat larut air termasuk senyawa karbohidrat seperti pati dan gula pereduksi. Senyawa pati dan gula pereduksi merupakan prekursor pembentuk senyawa akrilamid sehingga tahap blansir dapat menurunkan kadar akrilamid dalam keripik pisang ambon seperti pada Gambar

57 100 Kadar akrilamid (ppb) Lama blansir (menit) 100ºC 80ºC 70ºC Gambar 14 Pengaruh blansir pada pembentukan akrilamid dalam keripik pisang ambon Kita et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan blansir dapat menurunkan jumlah akrilamid dalam keripik kentang. Blansir pada kentang dengan suhu 70 o C selama 3 menit menurunkan akrilamid sebanyak 25% dan teknik ini memberikan hasil yang hampir sama dengan perendaman dalam air 20 o C selama 60 menit. Pedreschi et al. (2004) juga mendapatkan hasil bahwa penurunan kadar akrilamid sekitar 70% jika irisan kentang diblansir sebelum digoreng. Blansir dalam waktu yang lama tidak dapat dilakukan untuk irisan pisang ambon karena berdasarkan hasil pengamatan secara visual menyimpulkan bahwa irisan pisang ambon yang lebih lama mengalami blansir menjadi lunak karena mengalami kerusakan jaringan sel dan mengandung air. Suhu blansir yang makin tinggi juga menyebabkan pori-pori sel bahan makin terbuka lebar dan proses osmosis makin banyak. Kondisi ini menghasilkan keripik pisang ambon yang tidak kering lagi. Suhu blansir yang lebih tinggi makin mempercepat pengeluaran molekul-molekul dari dalam sel sehingga prekursor pembentuk akrilamid makin banyak hilang juga. Namun setelah dilakukan penggorengan maka nampak bahwa perlakuan ini tidak menghasilkan produk keripik 40

58 dengan karakteristik yang baik. Untuk itu, dipilih proses blansir pada 80 o C selama 3 menit. Pada kondisi ini membentuk akrilamid sebanyak ± 6.61 ppb dan berarti perlakuan blansir dapat mereduksi pembentukan akrilamid sampai 60% jika dibandingkan dengan produk tanpa blansir (produk kontrol). kontr Perlakuan blansir Gambar 15 Keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir Terlarutnya komponen sel bahan pangan mempengaruhi produk hasil penggorengan seperti warna produk menjadi lebih pucat (Pedreschi et al. 2005). Hal ini juga terlihat pada produk keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir. Keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir dapat dilihat pada Gambar 15. Suhu dan lama blansir mempengaruhi jumlah molekul yang terlarut dan keluar dari irisan pisang ambon termasuk berkurangnya komponen yang membentuk warna keripik. 4.5.Pengaruh perendaman MSG Brathen et al. (2005) dan Kim et al. (2005) menyatakan bahwa jumlah akrilamid dapat diturunkan dengan perendaman dalam larutan asam amino seperti glisin dan lisin. MSG merupakan garam dari asam amino glutamat. Selama perendaman irisan pisang ambon dalam larutan MSG akan terjadi osmosis asam glutamat ke dalam sel irisan pisang. Adanya perlakuan perendaman dengan larutan MSG diharapkan dapat juga mereduksi pembentukan akrilamid. Pada penelitian ini dilakukan perendaman dalam 41

59 larutan MSG sebagai salah satu variabel pengamatan. Kondisi perendaman mengambil variasi konsentrasi MSG dan lama perendaman yang dilakukan pada suhu 20 o C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman dalam larutan MSG menyebabkan kenaikan jumlah akrilamid. Kandungan akrilamid dalam keripik pisang ambon akibat perlakuan perendaman dengan larutan MSG terlihat pada Gambar 16. Pada Gambar 16 nampak bahwa perendaman dalam larutan MSG 0.1% (b/v) selama 1 menit menghasilkan akrilamid lebih dari 200 ppb. Perlakuan perendaman dengan MSG memberikan pengaruh pada peningkatan jumlah akrilamid dalam keripik pisang ambon. Asam glutamat diduga dapat menjadi prekursor pembentuk akrilamid karena berdasarkan strukturnya maka asam glutamat dapat mengalami perubahan menjadi glutamin. Menurut Poedjiadi (1994), glutamin dapat berubah struktur menjadi asam glutamat dengan reaksi hidrolisis dalam asam atau basa. 900 Kadar akrilamid (ppb) Lama perendaman (menit) 0,1%(b/v) 0,2%(b/v) 0,3%(b/v) Gambar 16 Pembentukan akrilamid setelah perendaman MSG Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Brathen et al. (2005) yang menjelaskan bahwa perendaman irisan kentang dalam larutan glisin pada suhu 20 o C selama 1 jam dapat mereduksi pembentukan akrilamid dalam keripik kentang sampai 45%. Selain itu, Kim et al. mempelajari penurunan akrilamid karena pengaruh perendaman dengan asam amino dan ternyata perendaman dalam larutan lisin lebih 42

60 efektif untuk menurunkan kadar akrilamid dalam keripik kentang. Namun hal ini tidak terjadi untuk perendaman dalam larutan asam glutamat karena senyawa ini justru meningkatkan pembentukan akrilamid. Zyzak et al menjelaskan bahwa asparagin dan glutamin merupakan asam amino yang potensial membentuk akrilamid jika dipanaskan dengan gula pereduksi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa perendaman dalam larutan MSG dapat menyebabkan kenaikan jumlah akrilamid dalam keripik pisang ambon. Vorbehalten (2002) menjelaskan bahwa asam glutamat dapat berfungsi untuk mempercepat pembentukan warna. Namun adanya penambahan asam amino ini tidak dapat digunakan untuk menurunkan kandungan akrilamid dalam produk keripik pisang ambon. Penurunan akrilamid dengan cara perendaman dalam larutan asam amino nampaknya sangat dipengaruhi oleh jenis asam amino yang digunakan dalam penurunan jumlah akrilamid. kontr Produk perendaman dengan MSG Gambar 17 Produk hasil perlakuan perendaman dengan MSG yang digoreng pada suhu 140 o C selama 10 menit Reaksi Maillard menghasilkan banyak senyawa dan dapat mempengaruhi warna suatu produk (Reineccius 2006). Hasil pengamatan secara visual terhadap warna produk keripik pisang ambon hasil perendaman dengan MSG (Gambar 17) menunjukkan adanya warna yang lebih gelap pada produk. Vorbehalten (2002) menyatakan adanya penambahan asam amino seperti glutamin dan asam glutamat untuk pembentukan warna 43

61 produk. Reaksi Maillard terhadap pembentukan warna oleh penambahan MSG diduga sama dengan pembentukan warna oleh glutamin. Fenomena ini dapat menjelaskan bahwa reaksi Maillard juga dipengaruhi oleh jenis asam amino yang bereaksi dengan gula pereduksi Pengujian Mutu Sensori Produk Uji Hedonik Reaksi Maillard dapat menyebabkan pembentukan komponen citarasa selain pada pembentukan akrilamid. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan juga uji sensori terhadap produk keripik pisang ambon hasil perlakuan. Pada Gambar 18 disajikan hasil penilaian kesukaan panelis terhadap warna produk keripik pisang ambon. Pada pengujian digunakan juga produk keripik pisang ambon pembanding yaitu produk keripik pisang ambon komersial. Hasil uji ANOVA atribut warna produk keripik pisang ambon pada taraf kepercayaan < 0.05 terhadap atribut warna dapat dilihat pada Lampiran Skor rata-rata a 3.12 b 5.82 a 1 0 Produk tanpa blansir Produk terpilih Produk komersial Sampel keripik pisang ambon Keterangan : produk terpilih adalah produk kombinasi blansir 3 menit pada 80 o C dengan penggorengan 140 o C selama 10 menit Gambar 18 Hasil pengujian hedonik warna keripik pisang ambon 44

62 Hasil pengujian kesukaan panelis terhadap warna keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir ternyata keripik pisang ambon rendah akrilamid baik produk tanpa blansir maupun produk terpilih memiliki skor yang lebih rendah dari produk komersial karena warnanya yang pucat. Hal ini memperjelas bahwa panelis dan konsumen lebih menyukai produk keripik yang memiliki karakteristik warna kekuningan. Produk pembanding yang digunakan memiliki nilai skor kesukaan yang lebih baik dari segi warna karena diduga pengolahannya dilakukan pada suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih tinggi terjadi juga reaksi karamelisasi sehingga menghasilkan komponen warna kecoklatan. Reaksi karamelisasi ini terjadi pada komponen gula dalam pisang ambon dan menghasilkan warna untuk makanan yang dipanaskan. Warna merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan kimia dalam bahan makanan (Winarno 1992). Adanya reaksi antara gula pereduksi dan asam amino melalui jalur reaksi Maillard memberikan perubahan warna bahan makanan dari kuning sampai membentuk warna kecoklatan. Produk keripik pisang ambon perlakuan blansir memiliki warna yang lebih terang jika dibandingkan dengan sampel keripik pisang ambon lainnya walaupun kadar akrilamidnya lebih rendah. Hal ini terjadi akibat perlakuan blansir yang menyebabkan hilangnya komponen gula pereduksi dan asam amino pembentuk warna pada produk setelah bahan pangan dipanaskan. Romani et al. (2009) menjelaskan adanya pengaruh proses penggorengan keripik kentang terhadap karakteristik keripik seperti warna. Perlakuan blansir yang bertujuan untuk mengurangi pembentukan akrilamid dalam keripik pisang ambon ternyata juga memberikan pengaruh pada penurunan mutu sensori produk dalam hal warna. Pedreschi et al. (2005) juga menjelaskan bahwa blansir pada keripik kentang menyebabkan warna keripik menjadi lebih terang. Hal ini terjadi karena pengurangan jumlah gula pereduksi yang dapat memberikan warna melalui reaksi karamelisasi. Aroma keripik pisang ambon perlakuan juga memiliki skor penerimaan yang lebih rendah dari produk komersial dan produk tanpa blansir. Hasil pengujian sensori terhadap kesukaan aroma dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil uji ANOVA atribut aroma produk keripik pisang ambon pada taraf kepercayaan < 0.05 dapat dilihat pada Lampiran 16. Perlakuan blansir dapat menyebabkan berkurangnya gula pereduksi dan asam amino (Fellows 1997) sehingga menyebabkan berkurangnya aroma yang terbentuk melalui reaksi Maillard (Taylor 2002). 45

63 Hasil pengujian hedonik secara keseluruhan produk keripik pisang ambon dapat dilihat pada Gambar 20. Hasil uji ANOVA terhadap penerimaan keseluruhan sensori produk menyimpulkan bahwa sampel keripik pisang ambon terpilih berbeda nyata dengan produk tanpa blansir dan produk komersial pada taraf kepercayaan < 0.05 (Lampiran 17). Produk keripik pisang ambon tanpa blansir dan produk keripik pisang ambon terpilih memiliki skor yang lebih rendah dibanding produk komersial. Hal ini diduga karena kondisi suhu dan lama penggorengan yang digunakan. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Romani et al. (2009) yang menjelaskan bahwa penggunaan suhu rendah dapat menurunkan kadar akrilamid dalam keripik kentang namun menyebabkan penurunan karakteristik produk seperti tekstur, warna, aroma dan kandungan minyak dalam keripik kentang yang dihasilkan. 7 6 Skor rata-rata a 2.90 b 5.97 a Produk tanpa blansir Produk terpilih Produk komersial Sampel keripik pisang ambon Keterangan : produk terpilih adalah produk kombinasi blansir 3 menit pada 80 o C dengan penggorengan 140 o C selama 10 menit Gambar 19 Hasil pengujian hedonik aroma keripik pisang ambon 46

64 Perlakuan penurunan suhu, lama penggorengan dan blansir dapat menurunkan jumlah akrilamid yang terbentuk. Gambar 20 menunjukkan bahwa penerimaan sensori produk terpilih memiliki skor penerimaan keseluruhan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk komersial. Produk kontrol (tanpa blansir) memiliki penerimaan sensori yang tidak berbeda nyata dengan produk komersial. Hasil analisis akrilamid menunjukkan bahwa pengaturan suhu dan lama penggorengan pada 140 o C selama 10 menit dapat membentuk akrilamid yang lebih rendah dari produk komersial tanpa mengurangi sifat sensorinya secara nyata. 7 6 Skor rata-rata a 2.91 b 4.96 a Produk tanpa blansir Produk terpilih Produk komersial Sampel keripik pisang ambon Keterangan : produk terpilih adalah produk kombinasi blansir 3 menit pada 80 o C dengan penggorengan 140 o C selama 10 menit Gambar 20 Hasil uji hedonik terhadap produk secara keseluruhan atribut sensori Produk perlakuan kombinasi pengaturan suhu dan lama penggorengan dengan perlakuan blansir ternyata memiliki skor penerimaan yang lebih rendah walaupun perlakuan kombinasi ini dapat menurunkan akrilamid sampai 60% dibandingkan dengan produk tanpa blansir. Perlakuan pendahuluan dengan cara blansir terhadap bahan baku memang efektif untuk menurunkan jumlah akrilamid dalam produk keripik pisang ambon. Blansir dapat mengurangi prekursor pembentuk akrilamid namun juga mengurangi komponen-komponen pembentuk warna dan aroma sehingga mempengaruhi penerimaan sensori produk. Hal ini yang menyebabkan penurunan penerimaan sensori produk. 47

65 Penggunaan suhu penggorengan yang lebih rendah pada penggolahan keripik pisang ambon dapat mengurangi pembentukan akrilamid. Namun perlakuan tersebut berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk keripik pisang ambon seperti penurunan skor penerimaan panelis terhadap atribut aroma dan warna. Berdasarkan hasil penelitian maka nampak adanya hasil yang kurang mendukung ke arah sensori produk keripik karena keripik pisang ambon hasil penurunan kandungan akrilamid memiliki penurunan sifat sensori Uji Deskriptif Pada penelitian ini dilakukan uji deskriptif terhadap aroma produk keripik pisang karena salah satu perubahan yang dihasilkan dari perlakuan proses penurunan akrilamid adalah terjadinya perubahan aroma produk. Uji deskriptif terhadap aroma keripik pisang ambon dilakukan oleh 9 (sembilan) orang panelis semi terlatih yang menjadi fokus grup. Fokus grup melakukan identifikasi dan penentuan skala atribut aroma sampel dengan menggunakan aroma pembanding yang disediakan. Hasil identifikasi awal terhadap atribut sensori aroma yang ada dalam produk keripik pisang ambon dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Deskripsi aroma dalam produk keripik pisang ambon Desripsi aroma Alasan Harum Harum pisang ambon Harum manis Gurih Minyak Tepung Getah Tengik Rancid Seperti aroma pisang goreng Bau pisang ambon Bau gula manis Mentega Minyak goreng Bau pisang gurih Kulit pisang ambon muda Minyak goreng Minyak tengik Deskripsi aroma harum menjelaskan adanya aroma hasil penggorengan. Aroma ini dapat disebabkan oleh komponen senyawa yang terbentuk dari hasil reaksi Maillard maupun reaksi karamelisasi pada komponen gula selama proses penggorengan. Aroma harum pisang ambon mencirikan bahan baku yang digunakan yaitu pisang ambon. Pada 48

66 deskripsi awal aroma keripik pisang ambon (Tabel 10) disepakati bahwa aroma minyak, tengik dan gurih dianggap sama karena keberadaan senyawa minyak pada sampel keripik pisang ambon dan disimpulkan sebagai aroma rancid. Hasil konsensus fokus grup diperoleh 5 (lima) atribut aroma karena ada beberapa aroma yang memiliki kesamaan deskripsi. Setiap deskripsi aroma merupakan ciri dari senyawa tertentu sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa dalam suatu produk (Mejcher&Henryk 2005). Pengujian QDA dilakukan dengan membandingkan produk keripik pisang ambon hasil perlakuan kombinasi blansir pada suhu 80 o C selama 3 menit dan penggorengan 140 o C selama 10 menit terhadap produk keripik pisang ambon komersial. Hasil QDA aroma terhadap produk keripik pisang ambon mendapatkan 5 (lima) atribut aroma karakteristik yaitu aroma ester like, cotton candy, caramel, rancid dan green. Hasil analisis deskriptif secara QDA terhadap komponen aroma/bau dalam produk keripik pisang ambon seperti Gambar 21. ester like* 9 6 caramel 3 cotton candy 0 green* rancid produk komersial produk terpilih * aroma yang berbeda nyata Gambar 21 Hasil QDA keripik pisang ambon 49

67 Lebih rendahnya intensitas aroma caramel dan cotton candy pada produk terpilih dibandingkan produk komersial dapat dimaklumi mengingat produk tersebut digoreng pada suhu 140 o C, yang lebih rendah dari proses penggorengan umumnya yaitu o C. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 140 o C reaksi Maillard belum banyak membentuk komponen aroma. Intensitas aroma ester like produk terpilih lebih rendah dan disisi lain lebih tingginya intensitas green dibanding produk pembanding diduga karena tingkat kematangan bahan baku yang digunakan karena produk terpilih dibuat dari pisang ambon yang lebih muda daripada produk komersial. Selain itu lemahnya aroma-aroma hasil reaksi Maillard pada produk terpilih tidak dapat menyamarkan kedua aroma ini seperti halnya pada produk komersial. Intensitas aroma rancid pada komersial lebih dominan dibanding produk terpilih dapat dipahami, mengingat produk komersial mungkin telah mengalami penyimpanan sedangkan produk terpilih relatif baru diproduksi sebelum pengujian sensori dilaksanakan. Gambar 21 menjelaskan bahwa aroma green dan ester like ternyata berbeda secara signifikan pada kedua produk yang diujikan. Hal inilah yang mendukung alasan mengapa produk terpilih memiliki skor hedonik yang lebih rendah dari produk tanpa blansir dan produk komersial. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi untuk perbaikan pada proses pengolahan keripik pisang ambon sehingga dapat menghasilkan produk keripik dengan sensori yang lebih baik lagi. Komponen aroma dalam suatu bahan termasuk produk makanan merupakan senyawa yang bersifat volatil dan dapat berinteraksi dengan syaraf penciuman (Meilgaard et al. 1999). Reineccius (2006) menjelaskan bahwa komponen aroma dalam bahan makanan dapat terbentuk melalui proses reaksi kimia, reaksi mikrobiologi melalui tahap fermentasi atau merupakan senyawa flavor yang secara alami telah ada didalam bahan tersebut. Aroma pisang ambon masih cukup teridentifikasi dalam keripik pisang ambon dan menjadi ciri bahan baku pisang yang digunakan. Aroma fruity, ester like dalam pisang ambon disebabkan oleh senyawa ester yaitu isoamil asetat (Tressl & Jennings 1972). Keripik pisang ambon memiliki karakteristik aroma pisang ambon yang khas karena adanya senyawa isoamil asetat. Furaneol memberikan deskripsi harum manis (cotton candy). Komponen ini dapat terbentuk pada produk makanan yang mengandung gula pereduksi dan asam amino. Mejcher dan Henryk (2005) menyatakan senyawa furaneol (4-hidroksi-2,5-50

68 dimetil-3-(2h)-furanon) terbentuk melalui reaksi Maillard dari 2-hidroksi propanal. Keripik pisang ambon yang digoreng pada suhu 140 o C selama 10 menit nampak mengalami penurunan kualitas sensori aroma. Hal ini disebabkan karena reaksi Maillard yang masih sedikit membentuk komponen aroma. Hal ini juga nampak dari hasil QDA ternyata aroma caramel dan catton candy dari produk terpilih lebih rendah jika dibandingkan dengan produk pembanding. Aroma lain yang menjadi atribut sensori aroma pada keripik pisang ambon hasil terpilih adalah bau pisang ambon muda. Aroma ini disebabkan oleh komponen getah pada pisang ambon yang masih muda. Senyawa getah diproduksi juga oleh bagianbagian tanaman pisang terutama pada tangkai-tangkai buah. Aroma getah dapat saja termasuk ke dalam kelompok aroma green/grassy yang disebabkan oleh senyawa aldehid dan alkohol rantai pendek tak jenuh seperti trans 2-heksenal dan cis 3-heksenol (Reineccius 2006). Berdasarkan hasil QDA ternyata keripik pisang ambon hasil perlakuan juga memiliki nilai aroma green yang lebih tinggi. Seperti diketahui bahwa penggunaan bahan baku pisang ambon muda akan mengandung prekursor pembentuk akrilamid yang lebih rendah namun dari segi citarasa ternyata ada kandungan komponen yang menyebabkan aroma green pada produk akhir yang cukup dominan. 51

69 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Faktor suhu dan lama penggorengan menjadi kondisi kritis pada pembentukan akrilamid dalam keripik pisang ambon. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu penggorengan maka semakin banyak akrilamid yang terbentuk. Penggorengan pada suhu 140 o C selama 10 menit ternyata membentuk akrilamid dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar akrilamid dalam produk komersial yang diuji. Perlakuan kombinasi blansir pada suhu 80 o C selama 3 menit dan penggorengan pada suhu 140 o C selama 10 menit mereduksi pembentukan akrilamid 60% jika dibandingkan dengan produk tanpa blansir. Keripik pisang yang dihasilkan dengan kombinasi perlakuan tersebut mengandung akrilamid sebanyak ppb. Perendaman dengan larutan MSG tidak dapat menurunkan pembentukan akrilamid. Uji terhadap penerimaan warna, aroma dan keseluruhan atribut sensori produk menunjukkan terjadinya penurunan skor kesukaan panelis terhadap produk terpilih. Uji deskriptif dengan metoda QDA terhadap atribut aroma produk terpilih dan produk keripik pisang komersial mengidentifikasi atribut aroma yaitu ester like, cotton candy, caramel, rancid dan green. Produk keripik pisang ambon yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki aroma ester like yang lebih rendah, green yang lebih tinggi dan berbeda secara nyata dengan produk komersial Saran Penelitian ini perlu dilanjutkan pada pencarian proses pengolahan untuk mengoptimasi penurunan akrilamid tanpa mengurangi mutu sensori produk misalnya dengan memanfaatkan teknik penggorengan jenis lain seperti penggorengan vakum. Perlu diujikan juga perendaman dalam larutan asam amino yang mampu menurunkan pembentukan akrilamid dan sekaligus memperbaiki mutu sensori produk keripik pisang ambon. 52

70 DAFTAR PUSTAKA Ames JM Applications of Maillard reaction in the food industry. Food Chemistry 62 : [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry Official Methods of Analysis. Ed ke-15. Washington. DC. [BPS] Badan Pusat Statistik Lampung in Figure Lima Saudara. Propinsi Lampung. Bai C, Charles CR, Bruce WW Identification and Quantitation of Asparagine and Citruline Using High-Performance Liquid Chromatography (HPLC). Analytical Chemistry Insights 2: Brathen E, Svein HK Effect of Temperature and Time on The Formation of Acrylamide in Starch-Based and Cereal Model Systems, Flat Breads and Bread. Food Chemistry 92: Brathen E, Agnieszka K, Svein HK, Trude W Addition of Glycine Reduces the Content of Acrylamide in Cereal and Potato Products. J Agric Food Chem 53: Claeys WL, Kristel DV, Marc EK Kinetics of Acrylamide Formation and Elimination during Heating of Asparagine-Sugar Model System. J Agric Food Chem 53: Elmore JS, Donald SM Compilation of Free Amino Acid Data for Various Food Raw Material Showing The Relative Contributions of Asparagine, Glutamine, Aspartic Acid and Glutamic Acid to The Free Amino Acid Composition. School of Food Biosciences. The University of Reading. Whiteknights. Reading RGS6AP. UK. Elmore JS, Georgies K, Andrew TD, Donald SM, Bronck LW Measurement of Acrylamide and Its Precursors in Potato, Wheat and Rye Model Systems. J Agric Food Chem 53:

71 [FEHD] Food and Environmental Hygiene Department Chemical Hazard Evaluation, Acrylamide in Food. FEHD.The Government of the Hong Kong Special Administrative Region. Fellows P Food Processing Technology, Principles and Practice. Woodhead Publishing Limited Cambridge England. Friedman M Chemistry, Biochemistry and Safety of Acrylamide. A review. J Agric Food Chem 51: Fredriksson H, Taillving J, Rosen J, Aman P Fermentation Reduces Free Asparagine in Dough and Acrylamide Content in Bread. Cereal Chemistry 81: Gokmen V, Tunc KP, Hamide ZS Relation between the Acrylamide Formation and Time-Temperatur History of Surface and Core Regions of French Fries. J Food Engineering 77: Granda C, Rosana GM, Elena CP Effect of Raw Potato Composition on Acrylamide Formation in Potato Chips. J Food Science 70: Grizotto R, Menezes HCD Effect of Cooking on The Crispness of Cassava Chips. Food Science 67: Harahap Y, Harmita, Binsar S Optimasi Penetapan Kadar Akrilamida yang Ditambahkan ke dalam Keripik Kentang Simulasi secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu Farmasi II: Jung MY, Choi DS, Ju JW A Novel Technique for Limitation of Acrylamide Formation in Fried and Baked Corn Chips and in French Fries, J Food Science. 68: Kim CT, Eun SH, Hyong JL Reducing Acrylamide in Fried Snack Products by Adding Amino Acids. J Food Science 70 : Kita A, Erland B, Svein HK, Trude W Effective Ways of Decreasing Acrylamide Content in Potato Crips During Processing. J Agric Food Chem 52:

72 Kusumo S, Farid AB (penyunting) Koleksi, Konservasi, Evaluasi dan Utilisasi Plasma Nutfah Pisang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta. Leeratanarak N, Sakamon D, Naphaporn C Drying Kinetics and Quality of Potato Chips Undergoing Different Drying Techniques. J Food Engineering 77: Lehninger, Meggy TH (penerjemah) Biokimia. Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Meilgaard, Civille MGV, Carr T Sensory Evaluation Techniques. Ed ke-3. Washington. CRC Press. CLL. Mejcher MA, Henryk HJ Identification of Potent Odorants Formed during the Preparation of Extruded Potato Snacks. J Agric Food Chem 53: Mottram DS Flavour Formation in Meat and Meat Products : A review. Food Chem.(62) Otles S, Serkan O Acrylamide in Food (Chemical Structure of Acrylamide). J Electronic Environmental, Agricultural and Food Safety 3 : Pedreschi F, Pedro M, Karl K, Kit G Color Changes and Acrylamide Formation in Fried Potato Slices. J Food Research International 38: 1-9. Poedjiadi A Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press. Jakarta: 98, 459. Reineccius G Flavor Chemistry and Technology. Ed 2 nd. Taylor&Francis Group. LLC. Romani S, Bacchiocca M, Rocculi P, Rossa MD Influence of Frying Conditions on Acrylamide Content and Other Quality Characteristics of French Fries. J Food Composition and Analysis Stone H, Sidel JL Quantitative Descriptive Analysis:Developments, Aplications and The Future. J Food Technology 52: Sudarmadji S Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. 55

73 Taylor JA (editor) Food Flavour Technology. Sheffield Academic Press. CRC Press. UK. Tressl R, Jennings WG Production of Volatile Compounds in the Ripening Banana. J Agric Food Chem 20: Vattem DA, Kalidas S Acrylamide in Food : a Model for Mechanism of Formation and Its Reduction. J Innovation Food Science and Emerging Technologies 4: Vivanti V, Enrico F, Friedman M Level of Acrylamide Precursors Asparagine, Fructose, Glucose and Sucrose in Potatoes Sold at Retail in Italy and in the United States. J Food Science 71: Vorbehalten AR Development of New Technologies to Minimize Acrylamide in Food. Druck Center Meckenheim GmbH&Co.KG. Erstauflage. Jerman. Weiss G Acrylamide in Food : Uncharted Territory. Science Washington. Vol. 297: 27. Williams JSE Influence of Variety and Processing Conditions on Acrylamide Levels in Fried Potato Crips. Food Chemistry 90: Winarno FG Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yuan Y et al A Comparative Study of Acrylamide Formation Induced by Microwave and Conventional Heating Methods. J Food Science. 72: Zhang Y, Ying Z Formation and Reduction of Acrylamide in Maillard Reaction : A Review Based on The Current State of Knowledge. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 47: Zyzak DV et al Acrylamide Formation Mechanism in Heated Foods. J Agric Food Chem 51:

74 LAMPIRAN 57

75 Lampiran 1 Kromatogram hasil analisis asam amino Waktu retensi (menit) Kromatogram standar asam amino uv uv Waktu retensi (menit) Kromatogram asam amino dalam pisang ambon mentah 58

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON OKTAFRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Ambon

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Ambon II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Ambon Tanaman pisang termasuk tanaman yang mempunyai buah klimaterik yang mempunyai fase perkembangan diantara pertumbuhan masih terjadi sehingga ukuran buah bertambah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku 4.1.1. Analisis Proksimat Granda et al. (2005) menyatakan bahwa komposisi bahan pangan mempengaruhi jumlah pembentukan senyawa akrilamid. Komponen

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tanaman yang sudah lama banyak digunakan sebagai obat tradisional. Adanya senyawa brazilin dan brazilein memberikan ciri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Susu Kedelai Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari kedelai. Protein susu kedelai memiliki susunan asam amino yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia, Politeknik Negeri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditemukan dan dikonsumsi di Indonesia. Produksi pisang di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai : (4.1) Penelitian Pendahuluan, dan (4.2) Penelitian Utama. 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama

Lebih terperinci

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI Nurhidajah 1, Syaiful Anwar 2, Nurrahman 2 Abstrak Pengolahan pangan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Pisang Buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik, antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan yang lain. Pisang kaya mineral seperti

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah,(3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Berpikir, (6) Hipotesa penelitian dan (7)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

: Mengidentifikasi bahan makanan yang mengandung karbohidrat (amilum dan gula ), protein, lemak dan vitamin C secara kuantitatif.

: Mengidentifikasi bahan makanan yang mengandung karbohidrat (amilum dan gula ), protein, lemak dan vitamin C secara kuantitatif. II. Tujuan : Mengidentifikasi bahan makanan yang mengandung karbohidrat (amilum dan gula ), protein, lemak dan vitamin C secara kuantitatif. III. Alat dan bahan : Rak tabung reaksi Tabung reaksi Gelas

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang dikonsumsi pada bagian umbi di kalangan masyarakat dikenal sebagai sayuran umbi. Kentang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditi pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein, karena daging mengandung protein yang bermutu tinggi, yang mampu menyumbangkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan. Pengolahan buahbuahan bertujuan selain untuk memperpanjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu

TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu 4 TINJAUAN PUSTAKA Pisang Raja Bulu Pisang merupakan tanaman yang termasuk kedalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas monokotiledon (berkeping satu) ordo Zingiberales dan famili Musaseae.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. L Kadar Protein Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan bahwa penambahan gula aren dengan formulasi yang berbeda dalam pembuatan kecap manis air kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DAN UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN MAKANAN DENGAN BAHAN DASAR KENTANG DAN UBI JALAR

PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DAN UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN MAKANAN DENGAN BAHAN DASAR KENTANG DAN UBI JALAR PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DAN UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN MAKANAN DENGAN BAHAN DASAR KENTANG DAN UBI JALAR NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia

BABI PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia BAB PENDAHULUAN! I ' BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia karena potensi produksinya yang cukup besar. Pisang sejak lama dikenal sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu segar menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998) dalam Standar

TINJAUAN PUSTAKA. Susu segar menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998) dalam Standar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Kambing Susu segar menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998) dalam Standar Nasional Indonesia nomor 01-3141-1998 didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari ambing ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan

BAB I PENDAHULUAN. Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan utama. Camilan disukai oleh anak-anak dan orang dewasa, yang umumnya dikonsumsi kurang lebih

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI

KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI oleh KURNIA MEIRINA F34102031 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KAJIAN PENGOLAHAN CUMI-CUMI (Loligo sp.) SIAP SAJI Sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana.

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesa Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) I ndonesia merupakan salah satu negara produsen pisang yang penting di dunia, dengan beberapa daerah sentra produksi terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan N TB. Daerah-daerah ini beriklim hangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan A. Protein Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEKNIK PENGGORENGAN TERHADAP KADAR PROTEIN TERLARUT DAN DAYA TERIMA KERIPIK TEMPE NASKAH PUBLIKASI

PERBEDAAN TEKNIK PENGGORENGAN TERHADAP KADAR PROTEIN TERLARUT DAN DAYA TERIMA KERIPIK TEMPE NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN TEKNIK PENGGORENGAN TERHADAP KADAR PROTEIN TERLARUT DAN DAYA TERIMA KERIPIK TEMPE NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh : TIARA RIZKY NUR AMALIA J 300 120 056 PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang penting bagi manusia untuk mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan sumber

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia 4. PEMBAHASAN Biskuit adalah salah satu makanan ringan yang disukai oleh masyarakat, sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk biskuit yang lebih sehat. Pembuatan biskuit ini menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam masalah budidaya kopi di berbagai Negara hanya beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam masalah budidaya kopi di berbagai Negara hanya beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi Kopi diperoleh dari buah (Coffe. Sp) yang termasuk dalam familia Rubiceae. Banyak varietas yang dapat memberi buah kopi, namun yang terutama penting dalam masalah budidaya

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam budidaya, Dramaga, Bogor. Ikan patin yang digunakan berupa sampel segar utuh

Lebih terperinci

PEMBUATAN KERIPIK PEPAYA MENGGUNAKAN METODE PENGGORENGAN VACUUM DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU

PEMBUATAN KERIPIK PEPAYA MENGGUNAKAN METODE PENGGORENGAN VACUUM DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN KERIPIK PEPAYA MENGGUNAKAN METODE PENGGORENGAN VACUUM DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU (Making of papaya chips using vacuum frying method with temperature and timing variable)

Lebih terperinci

Makanan Gorengan Pembawa Kanker?

Makanan Gorengan Pembawa Kanker? 01 Oct 2007 Makanan Gorengan Pembawa Kanker? Makanan yang digoreng atau populer disebut gorengan, ternyata bukan hanya meningkatkan kadar kolesterol darah serta menyebabkan terjadinya peningkatan risiko

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahu, merupakan salah satu makanan yang digemari oleh hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia, selain rasanya yang enak, harganya pun terjangkau oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Es krim adalah sejenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau campuran susu, lemak hewani maupun nabati, gula, dan dengan atau tanpa

Lebih terperinci

ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA ABSTRAK

ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA ABSTRAK Jurnal Galung Tropika, 2 (3) September 2013, hlmn. 129-135 ISSN 2302-4178 ANALISIS PROKSIMAT CHIPS RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII PADA SUHU PENGGORENGAN DAN LAMA PENGGORENGAN BERBEDA Syamsuar 1) dan Mukhlisa

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu : 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Sensoris Pengujian sensoris untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goring dengan berbagai formulasi penambahan tepung pisang kepok kuning dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman jagung (Zea mays) merupakan salah satu bahan makanan alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, jagung juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi pangan semakin maju seiring dengan perkembangan zaman. Berbagai inovasi pangan dilakukan oleh beberapa industry pengolahan pangan dalam menciptakan

Lebih terperinci

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK CHRISTINA MUMPUNI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BIJI TURI SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI DALAM BAHAN BAKU PEMBUATAN KECAP SECARA HIDROLISIS DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PEPAYA DAN NANAS

PEMANFAATAN BIJI TURI SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI DALAM BAHAN BAKU PEMBUATAN KECAP SECARA HIDROLISIS DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PEPAYA DAN NANAS PEMANFAATAN BIJI TURI SEBAGAI PENGGANTI KEDELAI DALAM BAHAN BAKU PEMBUATAN KECAP SECARA HIDROLISIS DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PEPAYA DAN NANAS NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: VANDA FIKOERITRINA WIDYA PRIMERIKA

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Firman Jaya Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90 Khamir memerlukan Aw minimal lebih rendah daripada bakteri ±0,88 KECUALI yang bersifat osmofilik Kapang memerlukan Aw minimal

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

NUTRIENT, GIZI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RUSAKNYA NILAI GIZI BAHAN PANGAN

NUTRIENT, GIZI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RUSAKNYA NILAI GIZI BAHAN PANGAN NUTRIENT, GIZI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RUSAKNYA NILAI GIZI BAHAN PANGAN Oleh Rizka Apriani Putri, M.Sc Jurdik Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta Email : rizka_apriani@uny.ac.id Makalah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

I. TOPIK PERCOBAAN Topik Percobaan : Reaksi Uji Asam Amino Dan Protein

I. TOPIK PERCOBAAN Topik Percobaan : Reaksi Uji Asam Amino Dan Protein I. TOPIK PERCOBAAN Topik Percobaan : Reaksi Uji Asam Amino Dan Protein II. TUJUAN Tujuan dari percobaan ini adalah : 1. Menganalisis unsur-unsur yang menyusun protein 2. Uji Biuret pada telur III. DASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi berupa

Lebih terperinci

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Pengawetan pangan dengan pengeringan Pengawetan pangan dengan pengeringan Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengeringan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi selama pengeringan serta dampak pengeringan terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam 44 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci Hasil penelitian pengaruh konsentrasi garam terhadap rendemen kerupuk kulit kelinci tercantum pada Tabel

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84

I. PENDAHULUAN. memiliki potensi perikanan terbesar ketiga dengan jumlah produksi ,84 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut cukup besar. Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yoghurt merupakan salah satu produk minuman susu fermentasi yang populer di kalangan masyarakat. Yoghurt tidak hanya dikenal dan digemari oleh masyarakat di Indonesia

Lebih terperinci