KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA"

Transkripsi

1 KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA MUHAMMAD GIRI WIBISONO A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Kajian Keterkaitan antara Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia. Dibimbing oleh DARMAWAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas, karena antara lain masalah tenaga dan biaya yang sangat besar. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Konsep ini didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform, masih terdapat variasi karakteristik yang berimplikasi pada klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1: LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut pada tingkat dan intensitas keragamannya untuk dijadikan sebagai dasar dalam penentuan pendekatan / metode survei yang digunakan selanjutnya. Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis konsistensi hubungan klasifikasi tanah dengan landform, mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu satuan landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000, dan mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga dari unsur-unsur landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1: Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian ini menggunakan Uji Tabular dan Analisis Koefisien Keragaman (KK) internal karakteristik tanah penciri landform dan KK karakteristik tanah penciri antar landform. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis tanah yang terdapat pada suatu landform masih sangat tinggi walaupun pada landform tersebut mempunyai faktor pembentuk tanah yang dianggap homogen. Keragaman yang

3 tinggi juga terjadi pada karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalamnya. Kedua hal tersebut, menunjukkan bahwa sistem pendekatan landform (fisiografi) dalam pemetaan tanah tidak berarti dapat sertamerta mendelineasi satuan tanah pada suatu landform.

4 SUMMARY MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Study of Relevance between Soil Characteristic and Clasification with Landform, as an Evaluation for soil Mapping in Indonesia. Supervised by DARMAWAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Main problem of soil mapping in Indonesia are limitation of cost and man power. Landform approach is used as an aprroach to accelerate the soil mapping. The principle of landform approach is based on correlation between landform unit and soil unit. This approach has been used in Land Resource Evaluation Planning Project (LREPP) I & II semi-detailed soil mapping project in Indonesia. The result showed that a landform unit consists of several characteristics implicating, different soil classifications. This fact must be studied further to determine the level and intensity of diversity for a reference to developing of mapping in the future. The study aims to analyze the consistency of correlation of soil clasification with the landform, description of homogeneity and heterogeneity of soil characteristics and classifications within a landform unit from previous mapping of 1:50,000 scale, and identify unpredictable soil characteristics from landform elements. This research is a literature study of LREPP II survey and soil mapping data avaliable data base in Research Center for Agricultural Land Resources (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. This research used Tabular Test and Internal Variability Coefficient (CV) analisys of soil characteristics as key of landform characteristics and variability coefficient characteristics as key of soil characteristic inter landforms. The results showed that the diversity of soil taxa on the landform is very high, despite the landform has by definition homogeneous soil-forming factors. High diversity also occurs in key of soil characteristics contained inside a landform. Both of cases showed that the approach of landform system in soil mapping can not use to delineate soil unit boundary.

5 KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KERAGAMAN KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor MUHAMMAD GIRI WIBISONO A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 Judul Penelitian : Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia Nama NRP : MUHAMMAD GIRI WIBISONO : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr Ir Darmawan, M.Sc Dr Ir D.P.T. Baskoro, M.Sc NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc NIP Tanggal Lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 31 Oktober 1987 dari pasangan H. Suharsono, S.Pd dan Dra. Hj. Liplip Mukhalipah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memulai studi di Taman Kanak-Kanak (TK) Perwari tahun 1992 dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Ciherang, Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Cipanas, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Sukaresmi, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun pertama di IPB, penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi kemahasiswaan maupun organisasi nonkemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti di antaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB sebagai Ketua pada masa kepengurusan tahun , Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI) sebagai Koordinator Badan Eksekutif Wilayah II Fokushimiti priode , dan Scooter IPB Club (SIC) sebagai anggota sekaligus salah satu pendiri SIC tahun Selama itu juga penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Survei dan Evaluasi Lahan serta mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah tahun

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta anugrahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan serta doa dari berbagai pihak maka penyelesaian tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr Ir Darmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik. 2. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik. 3. Dr Ir Dyah Tjahyandari, M.appl.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini. 4. Ir Chendy Tafakresnanto, MP selaku peneliti Balai Besar Litbang Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah memberikan waktu, arahan, bantuan serta fasilitas selama penyusunan skripsi. 5. Keluarga tersayang Mamah, Bapak, Teteh dan segenap keluarga besar H. Ahmad Furqon yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada penulis. 6. Teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan angkatan 43 serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penelitian serta penulisan skripsi ini. Penulis sangat berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membacanya. Bogor, Desember 2011 Penulis

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... x I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Definisi Tanah Proses Pembentukan Tanah Klasifikasi Tanah Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia Karakteristik Tanah Untuk Klasifikasi Kaidah Pemetaan Tanah Pengertian Peta Tanah Prinsip dan Tingkat Pemetaan Pendekatan Metode Survei Tanah Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform Pengertian Bentuk Lahan (Landform) Faktor dan Proses landform Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia Klasifikasi Landform LREPP I Klasifikasi Landform LREPP II Kerangka Acuan LREPP II III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Tahap Kompilasi Data Analisis Data... 24

10 vi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform Grup Landform Aluvial (A) Grup Landform Fluvio-Marin (B) Grup Landform Karst (K) Grup Landform Marin (M) Grup Landform Tektonik dan Struktural (T) Grup Landform Volkanik (V) Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari Landform Keragaman Karkteristik Tanah Pada Suatu Unit Landform Berdasarkan Data Lapang dan Laboratorium Landform Dataran Aluvial (A.1.3) Landform Dataran Fluvio-Marin (B.3) Landform Perbukitan Karst (K.3) Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2) Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1) Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3) V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 84

11 Nomor DAFTAR TABEL Teks Halaman 1. Parameter Bahan Induk Parameter Iklim Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman Data Landform LREEP II yang Dianalisis Klasifikasi Tanah yang Dijumpai Pada Grup Landform LREPP II Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim Pada Landform A Klasifikasi pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform B Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform K Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform M Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang Jabar Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao NTT Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya... 62

12 viii 22. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform T Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T Oesao NTT Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform V Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3 Pacitan Jatim Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga Landform Berdasarkan Klasifikasi Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Lampiran 1. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform V.33 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform... 89

13 ix 7. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T

14 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Diagram alir proses pemetaan tanah LREPP II Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang Jabar Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang Jabar Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur Sebaran Pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang- Jabar Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang - Jabar Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang Jabar Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang Jabar (Perbesaran pada Gambar 11) Sketsa sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang Jabar Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang - Jabar Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao NTT Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao NTT Sebaran landform T daerah Karawang Jabar Sebaran pedon tanah pada landform Karawang Jabar Sebaran landform T daerah Oesao - NTT Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan Jatim... 72

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan akan peta sumberdaya alam pada saat ini masih belum memadai, termasuk peta tanah (soil map) di dalamnya. Survei dan peta tanah merupakan sarana penting dalam mempersiapkan rencana pemanfaatan lahan dan pengembangan pertanian, antara lain; perencanaan-perencanaan pengembangan komoditas pertanian, irigasi, transmigrasi, rekomendasi pemupukan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta monitoring kualitas lahan, degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan (Hikmatullah dan Hidayat, 2007). Peta tanah juga bermanfaat untuk perencanaan di bidang non-pertanian. Survei dan pemetaan tanah di Indonesia dimulai sejak diperkenalkan sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo. Sampai saat ini, survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas. Hasil inventarisasi sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1: menunjukkan bahwa wilayah yang sesuai untuk pertanian dan perlu dilakukan pemetaan tanah lebih detil (> semi detil) ialah seluas 100,7 juta ha (Badan Litbang Pertanian, 2005), termasuk di dalamnya yang sudah terpetakan pada tingkat semi detil seluas 36.7 juta ha, (Hikmatullah dan Hidayat, 2007). Tantangan serta permasalahan pemetaan tanah di Indonesia saat ini adalah bagaimana supaya wilayah yang belum terpetakan pada skala semi detil tersebut dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah. Guna mengatasi tantangan pemetaan tanah di Indonesia, kajian-kajian teknik pemetaan tanah perlu terus dikembangkan. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Metode ini merupakan substitusi seluruh atau sebagian terhadap metode pemetaan tanah Grid System yang memerlukan waktu lama dan intensif tenaga sehingga menjadi mahal. Pendekatan landform dalam pemetaan pada dasarnya terletak pada konsep bahwa landform adalah sebagai dasar delineasi satuan pemetaan pada daerah survei sehingga dapat mengurangi intensitas pengamatan di lapangan. Konsep ini

16 2 didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Survei pemetaan tanah dengan pendekatan landform telah dilakukan pada survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1: LREPP I (Buurman, 1987) dan LREPP II dengan Skala 1: Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform masih terdapat variasi karakteristik tanah yang berimplikasi pada klasifikasi tanah yang berbeda. Sehingga menyulitkan dalam menyajikan satuan peta dengan heterogenitas yang rendah padahal seharusnya dalam satu satuan peta mencerminkan satu tingkat manajemen yang sama. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1: LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut terutama mengenai tingkat dan intensitas keragamannya yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penentuan pendekatan / metode survei selanjutnya. Database hasil survei terdahulu cukup banyak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar kajian ini Tujuan 1. Melakukan analisis keterkaitan hubungan karakteristik dan satuan klasifikasi tanah dengan unit landform. 2. Mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1: Mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga landform berdasarkan klasifikasi Hipotesis 1. Karakteristik tanah yang dicerminkan dalam satuan klasifikasi tanah merupakan hasil dari proses pembentukan dan perkembangan tanah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk tanah, di mana faktor-faktor pembentuk tanah tersebut terdapat dalam unsur-unsur satuan landform.

17 3 2. Pendekatan analisis spasial faktor-faktor pembentuk tanah yang didelineasi secara homogen menghasilkan karakteristik tanah yang homogen. 3. Klasifikasi tanah yang dijumpai pada suatu satuan landform menunjukkan karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalam satuan landform tersebut.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Tanah Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu: s = f (cl, o, p) t 0 Di mana s = tanah, cl = iklim, o = organisme, dan t 0 yang merepresentasikan waktu relatif. Meskipun relief atau topografi tidak termasuk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah pada persamaan tersebut, Dokuchaev mengakui bahwa relief sebagai salah satu faktor yang penting. Para ahli selanjutnya memodifikasi proses tersebut dan menambahkan relief sebagai faktor pembentuk tanah. Sehingga prosesnya menjadi : s = f (cl, o,r, p, t) Di mana s adalah tanah, cl adalah iklim lingkungan, o adalah organisme, r adalah relief, p adalah bahan induk, dan t adalah waktu terbentuknya tanah. Dengan demikian, proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa faktor yang saling beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor tersebut adalah iklim, organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu. Kelima faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah, akan tetapi kelima faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam proses pembentukan tanah (Gerrard, 1980). Para ahli mendefinisikan tanah sesuai dengan cara pandang dan penekanan yang digunakan oleh masing-masing ahli tersebut (Tan, 1994). Buol et al. (1980) mendefinisikan tanah sebagai suatu tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau horizon-horizon dari komponen mineral atau organik dengan ketebalan yang bervariasi. Sedangkan Tan (1994) menyebutkan bahwa tanah merupakan tubuh alam, penutup permukaan bumi yang mendukung pertumbuhan tanaman, dan terintegrasi akibat adanya pengaruh aktivitas iklim dan organisme terhadap bahan induk.

19 5 Selain para ahli secara individual, Soil Survey Staff (1975) mendefiniskan bahwa tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman. Di bagian atas dibatasi oleh oleh udara atau air yang dangkal, ke samping dapat dibatasi oleh air yang dalam atau bahkan hamparan es atau batuan, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh suatu materi yang tidak dapat disebut sebagai tanah, yang sulit didefinisikan, ukuran terkecilnya 1 10 m 2 tergantung pada keragaman horisonnya Proses Pembentukan Tanah Buol et al. (1980) menjelaskan bahwa setiap faktor mempunyai peran masing-masing dalam proses pembentukan tanah. Iklim merupakan faktor yang sangat penting dari proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Selain itu, iklim berperan dalam proses erosi dan pengendapan tanah yang mengakibatkan terjadi pergerakan materi tanah termasuk bahan organik dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi antara iklim (curah hujan) dengan faktor kemiringan lereng (relief). Organisme merupakan faktor pembentuk tanah yang tergolong aktif. Proses pelapukan mineral dan pencampuran merupakan salah satu tugas dari organisme makro dan mikro. Organisme ini mempengaruhi pembentukan humus, pembentukan profil tanah, dan sifat fisika-kimia tanah. Di samping itu organisme hidup memperlancar peredaran unsur hara dan membina struktur tanah yang baik. Di antara berbagai organisme, vegetasi (makroflora) merupakan yang paling berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan pekembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (Hanafiah, 2007). Bahan Induk menentukan sifat fisik maupun kimiawi tanah yang terbentuk secara endodinamomorf, tetapi pengaruhnya menjadi tidak jelas terhadap tanah-

20 6 tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Sifat dari bahan induk dengan nyata dapat mempengaruhi ciri-ciri dari tanah, muda maupun dewasa, namun dalam perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut bahkan mengalami pencucian atau erosi, maka pengaruh ini makin tidak jelas bahkan hilang sama sekali (Hanafiah, 2007). Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah, mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno, 2003). Waktu, berapa lamanya suatu bahan mengalami hancuran memegang peranan penting dalam pembentukan tanah. Peranan waktu dalam perkembangan tanah sangat tergantung pada faktor pembentuk tanah lainnya. Semakin lambat faktor pembentuk tanah bekerja, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk tanah tersebut mengalami perkembangan (weathering), begitu juga sebaliknya (Soepardi, 1983) Klasifikasi tanah Klasifikasi merupakan alat penata atau pengorganisasian pengetahuan suatu objek yang diklasifikasikan, sehingga manusia mudah untuk mengingatnya. Melalui klasifikasi tanah, manusia akan lebih mudah untuk memahami sifat-sifat tanah baik secara umum maupun khusus. Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tubuh-tubuh tanah yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri tertentu (Rachim & Suwardi, 2002). Buol et al. (1980) mengemukakan lima tujuan klasifikasi tanah, yaitu : 1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah. 2. Memudahkan dalam mengingat sifat-sifat dan perilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah. 4. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru. 5. Mengelompokan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain: menaksir sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan lahan yang buruk,

21 7 baik, atau terbaik, menentukan areal untuk pertanian, atau kemungkinan hasil ekstrapolasi penelitian di tempat lain Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia Terdapat 3 sistem klasifikasi tanah yang pernah dan atau masih digunakan di Indonesia saat ini. Sistem klasifikasi itu adalah sistem klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1983), sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO (1974), dan sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA). Sistem klasifikasi tanah PPT (1983) merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal dan Soepraptohardjo (1957, 1961). Perbaikan didasarkan atas pengalaman para Staf Pusat Penelitian Tanah dan dari hasil evaluasi pemetaan yang telah dilakukan. Sistem klasifikasi PPT ini menggunakan enam kategori yaitu Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri. Kelebihan dari sistem ini yaitu: dasar klasifikasinya menggunakan bahan induk sehingga memudahkan dalam klasifikasi, dan sudah banyak dikenal oleh para ahli di Indonesia sehingga memudahkan dalam berkomunikasi. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil dari berbagai kriteria sistem klasifikasi, dan dari 6 kategori yang telah disusun, hanya 2 kategori yang berkembang yaitu Jenis dan Macam. Sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974) merupakan sistem klasifikasi yang dibuat berdasarkan rekomendasi International Society of Soil Science. Dalam sistem ini hanya dikenal nama tanah yang setara dengan greatgroup dan subgroup dalam sistem Taksonomi Tanah. Kelebihan dari sistem klasifikasi ini yaitu: sistematikanya sederhana, hanya terdiri dari 2 kategori sehingga mudah untuk diingat, dan dilengkapi dengan peta tanah dunia sehingga dapat mengetahui penyebaran setiap nama tanah di dunia. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil nama tanah dari berbagai negara sehingga kriterianya tidak begitu baik, dan didominasi nama-nama yang berasal dari negara pembuat sistem ini. Sistem Klasifikasi Tanah USDA, yaitu sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy) yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA) mulai 1975 telah dipakai secara luas di dunia. Sistem ini telah beberapa kali mengalami perbaikan baik definisi maupun nama-nama tanah

22 8 pada setiap kategori. Taksonomi tanah terus dikembangkan sehingga selalu mengalami perubahan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Adapun kelebihan dari sistem Taksonomi Tanah ini ialah: Pertama, sistematikanya sangat baik, berjenjang seperti piramida dan setiap kategori berkembang proporsional. Kedua, nama pada setiap kategori memiliki arti khusus sehingga dari namanya dapat diketahui sifat-sifat tanahnya. Ketiga, sistem ini telah digunakan di seluruh dunia minimal untuk komunikasi ilmiah. Sedangkan kelemahannya, pertama, sistem ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga agak sulit untuk komunikasi selain ahli tanah. Kedua, untuk dapat mengklasifikasikan dengan sistem ini memerlukan data yang cukup detil dan akurat. Ketiga, pengembangan sistem ini sebagian besar berdasar tanah-tanah di Amerika sehingga tidak seluruh nama tanah yang ada di dalam sistem ini terdapat di Indonesia (Suwardi & Hidayat, 2000). Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem Taksonomi Tanah dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah sejak Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 (Hardjowigeno, 1993). Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibandingkan dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Suwardi & Hidayat, 2000). Kategori Sistem Taksonomi Tanah adalah sekumpulan kelas yang ditentukan kira-kira pada tingkat keumuman (generalisasi) atau abstraksi yang sama dan mencakup semua tanah. Dalam taksonomi tanah ada enam kategori, menurut urutan penggolongan dan peningkatan jumlah pembeda dan kelas-kelas, kategori tersebut adalah order, suborder, greatgroup, subgroup, family, dan serie. Kategori order adalah tingkat pengelompokan tanah tertinggi. Order dibedakan oleh kehadiran dan ketidakhadiran horison penciri atau sifat yang menjadi pembeda tanah dalam derajat dan jenis sekumpulan proses pembentukan tanah yang dominan yang telah berjalan. Kategori suborder adalah kategori satu tingkat di bawah order. Suatu order dapat dipilah-pilah lagi untuk mengurangi keragaman sifat ke dalam kelaskelas pada tingkat suborder. Alasan pembedaan utamanya adalah ketidakhadiran diferensiasi horison.

23 9 Kategori greatgroup adalah kategori di bawah suborder, yang menunjukan sifat-sifat taksa lebih homogen dari pada sifat-sifat taksa pada suborder. Pembeda dalam kategori ini menempatkan tanah bersama-sama yang memiliki sifat-sifat umum berikut : 1. Kesamaan yang erat dalam jenis, pengaturan, dan derajat ekspresi horison. 2. Kesamaan yang erat dalam regim kelembaban dan temperatur. 3. Kesamaan status basa. Kategori subgroup adalah kategori satu tingkat di bawah greatgroup. Kategori ini mempunyai tujuan dalam mengelompokan tanah sebagai tanda pada sekumpulan proses yang dominan atau penting pada kategori greatgroup, suborder, atau order. Kategori Family adalah kategori yang tujuannya dalam mengelompokan tanah dalam subgroup yang memiliki sifat fisik dan kimia yang sama, yang mempengaruhi tanggapan terhadap pengolahan atau manipulasi dalam penggunaannya. Family ditentukan terutama untuk mengelompokan tanah dengan tekanan : 1. Distribusi ukuran butir dalam horison-horison aktivitas biologi utama di bawah kedalaman lapisan olah. 2. Mineralogi horison-horison yang sama diperhatikan dalam penamaan kelas-kelas ukuran butir. 3. Regim temperatur. 4. Ketebalan tanah yang dapat dipenetrasi akar. 5. Beberapa sifat lain yang digunakan dalam penentuan beberapa family untuk menghasilkan homogenitas yang diperlukan. Kategori serie adalah kategori terendah dalam taksonomi tanah. Ada dua jenis pembeda yang ditetapkan untuk serie, yaitu: 1. Pembeda antara family dan antara kelas-kelas dari semua kategori yang lebih tinggi adalah sebagai pembeda antar serie. Suatu serie tidak dapat melewati selang batas dua family atau dua kelas dari kategori lebih tinggi. 2. Pembeda antar serie di dalam family yang sama adalah ditekankan pada satu atau lebih selang sifat dari family (Rachim, 2001).

24 Karakteristik Tanah untuk Klasifikasi Sejumlah sifat tanah merupakan kunci dalam pengklasifikasian tanah. Sifat-sifat tanah tersebut dapat dikelompokan ke dalam sifat morfologi yang dapat diamati di lapangan dan sifat-sifat kimia yang dapat diketahui melalui analisis laboratorium. Sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan diantaranya horison tanah, warna tanah, tekstur lapang, dan kedalaman efektif tanah. Sedangkan sifat-sifat kimia tanah yang diketahui melalui analisis laboratorium diantaranya adalah tekstur tanah, ph tanah, dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Horison tanah adalah lapisan tanah yang hampir sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk karena proses pembentukan tanah (Suwardi & Hidayat, 2000). Ada 6 horison utama yang menyusun profil tanah berturut-turut dari atas ke bawah yaitu horison O, A, E, B, C, dan R. Sedang horison yang menyusun solum tanah adalah hanya horison A, E, dan B. Horison O merupakan horison organik yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horison O merupakan horison utama pada tanah gambut (Histosol). Horison A merupakan horison di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada horison di bawahnya. Horison E merupakan horison di mana terjadi pencucian (eluviasi) maksimum terhadap liat, Fe, Al, bahan organik, serta berwarna pucat. Horison B dalah horison utama, yang terdiri dari bahan-bahan telah diubah secara kimia dan fisik, telah kehilangan hampir seluruhnya atau semua struktur batuan asal, dan telah terbentuk di bawah horison A, E, dan O. Horison C merupakan bahan induk, sedikit terlapuk, sehingga lunak dan dapat ditembus oleh akar tanaman. Horison R merupakan batuan keras yang belum dilapuk, horison ini tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman di mana perakaran tanaman masih bisa masuk ke dalam tanah dan berkembang dengan baik. Kedalaman tersebut umumnya dibatasi oleh suatu lapisan penghambat, misalnya berupa batu keras (bedrock), padas atau lapisan lain yang menganggu atau menghambat perkembangan perakaran. Kedalaman efektif tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: dangkal (<25 cm), sedang (25-75 cm), dan dalam

25 11 (>75 cm) (Soepraptohardjo, 1970; Pusat Penelitian Tanah, 1983; Direktorat Konservasi Tanah Dephut, 1984). Tekstur tanah, biasanya juga disebut besar butir tanah merupakan karakteristik tanah yang berhubungan erat dengan pergerakan air, zat terlarut, dan luas permukaan spesifik (specifik surface) yang mempengaruhi potensi tanah (Hilel, 1982). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat, yaitu partikel tanah yang berdiameter efektif < 2 mm. Berbagai lembaga penelitian atau institut mempunyai kriteria sendiri untuk membagi fraksi partikel tanah. Dalam bidang pertanian umumnya menggunakan klasifikasi menurut United State Departement of Agriculture (USDA). Berdasarkan perbandingan ke- 3 fraksi tanah, terkstur tanah di bagi menjadi 12 (dua belas) tekstur tanah (Soil Survei Manual, 1993), yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Direktorat Konservasi Tanah Dephut (1984) untuk keperluan evaluasi potensi atau kemampuan lahan telah melakukan penyederhanan kelas tekstur tanah menjadi 3 (tiga), yaitu: kasar, sedang, dan halus. Kemasaman tanah atau ph tanah merupakan jumlah log [H + ] dalam larutan tanah. ph tanah dapat memperkirakan keadaan hara tanah, jumlah basabasa, tingkat pelapukan tanah, derajat pencucian tanah. ph tanah menurut Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Pusat Penelitian Tanah (1983) dikelompokan menjadi 5 (lima) klas, yaitu: sangat masam (ph <4,5), masam (ph 4,5-5,6), agak masam (ph 5,6-6,5), netral (ph 6,6-7,5), dan alkalis (ph >7,5). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan kemampuan tanah untuk menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa. KTK yang tinggi merupakan petunjuk bahwa tanah mempunyai kemampuan untuk menahan unsur hara yang besar. KTK tanah antara lain dipengaruhi oleh kadar liat dan C-organik tanah (Tisdale dan Nelson, 1975; Tan, 1991), ph tanah untuk muatan terubahkan (Juo dan Adams, 1986), kandungan oksida besi (Rachim, 1994; Hidayat, 1996). Kondisi tersebut terkait dengan jenis bahan induk tanah dan kondisi iklim di mana tanah tersebut terbentuk. KTK tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu:

26 12 rendah (<16 me/100 g tanah), sedang (16-24 me/100 g tanah), tinggi (>24 me/100 g tanah) (Pusat Penelitian Tanah, 1983) Kaidah Pemetaan Tanah Pengertian Peta Tanah Data tanah dapat disajikan secara spasial dengan berbagai teknik tergantung tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik pelaksanaannya yang kesemuanya dapat dipandang sebagai peta tanah. Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps), yaitu peta yang menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya dilakukan, disertai nama taksa (kelas) tanah atau satu atau lebih sifat-sifat tanah. 2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atau beberapa poligon dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-masing poligon diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap kelas dijelaskan dalam legenda. 3. Peta lapangan kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi. Peta ini umumnya disajikan dengan isoline atau pada grid halus. Peta ini memperlihatkan kontinuitas sebaran sifat sifat tanah yang diduga dengan jalan interpolasi. 4. Peta lapangan kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung di seluruh daerah survei. Peta ini umunya disajikan dengan peta grid. Peta ini memperlihatkan sebaran sifat tanah kontinyu yang diukur. Dari semua jenis peta tanah tersebut, peta tanah poligon kelas-areal merupakan peta yang paling umum dibuat (Rayes, 2006). Peta tanah jenis ini merupakan peta yang dibuat untuk memperlihatkan sebaran taksa tanah dalam hubungannya dalam kenampakan fisik dari permukaan bumi (Soil Survei Staff, 1975). Pada setiap peta tanah digambarkan garis-garis batas (delineasi) tanahtanah yang dijumpai di lapangan. Garis batas tersebut membentuk poligonpoligon yang digambarkan pada peta tanah yang disebut satuan peta tanah (SPT),

27 13 yang merupakan gambar sebaran tubuh tanah di lapangan (serupa dengan polipedon). Dalam setiap peta tanah umumnya selalu berisikan lebih dari satu satuan peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan (taksa) tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa tanah, baik itu berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan dalam istilah taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya Prinsip dan Tingkat Pemetaan Berdasarkan teknik pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan yang ditempuh oleh pemeta, yaitu: 1. Pendekatan sintetik (synthetic approach), mengamati, mendeskripsi dan mengklasifikasikan profil tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah survei kemudian membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang mempunyai profil tanah serupa, sesuai dengan klasifikasi yang digunakan. 2. Pendekatan analitik (analytical approach), membagi kontinum atas persil-persil atau satuan-satuan berdasarkan dalam pengamatan perubahan dalam sifat-sifat tanah eksternal (sifat bentang lahan), melalui interpretasi foto udara, yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat tersebut. Berdasarkan tingkatannya, survei tanah dibedakan atas enam macam, yaitu peta tanah bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detil, detil dan sangat detil. Masingmasing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda. Peta tanah bagan, peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi peta-peta tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara nasional. Dalam pembuatannya tidak dilakukan pengamatan lapangan. Skala peta sama atau lebih kecil dari 1: Peta tanah eksplorasi, peta ini menyajikan keterangan yang sangat umum tentang keadaan tanah dari suatu daerah. Biasanya peta ini dibuat dengan survei yang dilakukan sepanjang jalan atau menggunakan helikopter pada tempat-tempat tertentu yang dianggap mempunyai perbedaan jenis tanah, yang ditunjukkan oleh

28 14 bentang alam yang berbeda. Survei ini juga dapat dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan yang sangat rendah. Skala bervariasi dari 1: hingga 1: Peta tanah tinjau, umumnya peta ini dibuat pada skala 1: Satuan peta didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang didelineasi melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit. Pengamatan di lapangan kurang lebih 1 untuk 12,5 km 2. Peta tanah semi-detil, peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000, dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Peta ini memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih terperinci serta dapat menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta tanah detil, peta ini biasanya dibuat dengan skala 1: dan 1: serta ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek termasuk proyek konservasi tanah sehingga informasi sifat dan ciri tanah diuraikan sedetil mungkin. Jumlah pengamatan untuk tanah adalah sekitar 1 untuk setiap 2 ha sampai 12,5 ha. Peta tanah sangat detil, peta tanah ini mempunyai skala > 1: Pengamatannya 2 atau lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk penelitian khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna mempelajari variabilitas respons tanaman terhadap pemupukan atau perlakuan tertentu dan lain-lain (Rayes, 2006) Pendekatan Metode Survei Tanah Terdapat 3 macam pendekatan metode survei tanah, yaitu metode grid, sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara, dan grid bebas yang merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Metode survei grid biasa disebut juga metode grid kaku. Skema pengambilan contoh tanah secara sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi yang diharapkan. Jarak pengamatan dibuat secara teratur pada jarak tertentu untuk seluruh daerah survei. Pengamatan tanah dilakukan dengan pola teratur dan jarak

29 15 pengamatan tergantung dari skala peta. Survei grid ini sangat cocok diterapkan pada daerah yang posisi pemetanya sukar ditentukan dengan pasti. Keuntungan dari metode survei grid ini diantaranya tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman karena lokasi titik-titik pengamatan sudah diplot pada peta rencana pengamatan, sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang memerlukan penyurvei dalam jumlah besar, cukup teliti dalam menentukan batas satuan peta tanah pada daerah survei yang relatif datar, dan dapat mengurangi sejumlah sifat tanah pada suatu variasi yang menggambarkan proporsi yang besar dari data yang tersedia. Kerugian dari metode survei grid ini antara lain memerlukan waktu yang lama, pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan sehingga tidak efektif, sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta yang dikehendaki. Metode selanjutnya adalah metode survei fisiografi. Survei ini diawali dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk mendelineasi landform yang terdapat di daerah survei, diikuti dengan pengecekan lapangan terhadap komposisi satuan peta, biasanya hanya di daerah pewakil. Survei ini umumnya diterapkan skala 1: : Metode ini hanya dapat diterapkan jika tersedia foto udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau seluruhnya didelineasi dari hasil IFU. Metode yang terakhir adalah metode grid bebas (fleksibel). Metode ini merupakan perpaduan metode grid kaku dan metode fisiografi. Metode ini diterapkan pada survei detil hingga semi-detil, foto udara berkemampuan terbatas dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan cukup sulit dilakukan. Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei. Dengan demikian kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah di lapangan (Rayes, 2006) Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (flora, fauna, tanah, dan lain-lain) yang mempunyai dasar-dasar dan sistematik tertentu, klasifikasi landform juga harus ada dasar yang jelas dan disusun secara sistematik

30 16 berdasarkan kategori-kategori dari golongan atau kelompok yang besar menjadi kelompok yang kecil (hirarki). Mengingat bahwa landform merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkaian proses geomorfik dan evolusi, maka klasifikasi landform didasarkan kepada kedua hal tersebut Pengertian Bentuk Lahan (Landform) Bentuk lahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi et al., 1997). Sedangkan Bloom (1979) mendefinisikan landform adalah setiap elemen dari bentang lahan (lanskap) yang dapat diamati secara keseluruhan, dan mempunyai bentuk yang konsisten atau perubahan bentuk yang teratur Faktor dan Proses Landform Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada di muka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut, dan tsunami). Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik (hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah, gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan

31 17 gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme, sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor. Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975) Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia Christian & Steward (1968) menggunakan pendekatan Landsystem. Pendekatan ini dikembangkan di Australia dan di Indonesia pernah digunakan oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1989 dalam proyek RePPProT. Sistem klasifikasi ini menggunakan aspek geomorfologi, iklim dan penutupan lahan. Desaunnetes (1977), dengan Catalogue Landform for Indonesia yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Katalog ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I tahun Zuidam (1979) & Zuidam and Cancelado (1978) dengan metode Terrain Analysis nya, menggunakan dasar geomorfologi disertai keadaan bentuk wilayah, stratigrafi dan keadaan medan. Buurman dan Balsem (1990) menggunakan pendekatan satuan lahan. Sistem ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I di Pulau Sumatra tahun Marsoedi, et.al. (1997) menggunakan pendekatan proses geomorfik. Sistem ini merupakan perbaikan sistem Desaunnetes dan Buurman & Balsem dengan memperhatikan kondisi di Indonesia Klasifikasi Landform LREPP I Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP I) adalah kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau dengan skala 1 : di Pulau Sumatera. Pembagian landform dalam LREPP I ini, kategori paling tinggi berupa grup-grup fisiografi yang pada dasarnya berdasarkan proses geomorfik.

32 18 Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam penamaannya, yaitu grup perbukitan, grup pegunungan, dan grup dataran, yang menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk Pulau Sumatera, maka muncul grup-grup fisiografi khusus karena kekhasannya, yaitu: Grup dataran Tuff masam dan grup Tuff Toba masam Landform Utama LREPP I Grup Kubah Gambut (D), gambut ombrogen yang luas di daerah dataran pantai, membentuk kubah setinggi 10 m atau lebih (di atas level batas permukaan air sungai tertinggi), pada umumnya dipengaruhi oleh air dengan salinitas tinggi. Bagian ini tidak termasuk kedalam bagian gambut topogen dengan level permukaan hampir tidak cembung yang terjadi pada bagian rawa belakang. Grup Aluvial dan daerah tersebut merupakan daerah yang mengalami banjir musiman akibat posisi topografi daerah tersebut. Vegetasi khusus : hutan gambut. Grup Aluvial (A), landform lain yang terkait dengan aktivitas danau muda/recent, meandering dan sungai braiding, dan proses pengendapan akibat kemiringan lereng (koluvium), tidak termasuk bagian-bagian di mana marin berpengaruh dominan (tidak salin). Landform ini sebagian besar terdiri dari dataran aluvial yang luas pada daerah pantai, lembah sungai pada daerah dataran tinggi, endapan koluvial pada kipas aluvium dan foot slopes, endapan lakustrin, dan teras sungai. Grup Marin (B), landform recent dan subrecent lainnya yang terkait dengan proses marin dan perimarin; lingkungan payau dan salin: punggung pesisir, cekungan pesisir, rawa air asin, dataran lumpur, mangrove, endapan delta, endapan estuarin, bukit pasir, terumbu karang. Grup ini bukan termasuk landform yang berumur lebih tua, daerah dataran angkatan atau teras marin (pencucian garam). Grup Teras Marin (T), dataran pantai dan teras abrasi yang terangkat, tererosi, dan tertoreh. Torehan landform, datar, horisontal, atau mempunyai permukaan lereng yang halus. Landform ini mempunyai luas yang besar, pada umumnya subsoil terdiri atas stratifikasi endapan marin atau hasil erosi batuan

33 19 yang lebih tua. Teras sungai dan teras lakustrin tidak termasuk ke dalam satuan landform ini, akan tetapi termasuk ke dalam grup landform Aluvial. Grup Dataran Tuff Masam (I), dataran luas yang terdiri atas akumulasi tuff volkan masam dengan karakteristiknya, landform, dan tanah. Tuf masam utama yang tergolong pada grup ini adalah formasi Palembang (QTpv, Tpp, Tmp) pembentuk tuff Lampung (Qhv), tuff Ranau (Qrv), dan lain-lain. Tuff masam ini juga dikenal dengan istilah Ignimbrites, bagian dari tuff yang telah mengendap di dalam lingkungan cekungan marin. Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Dataran (P), dataran lain yang tidak terbentuk dari bahan volkan masam. Daerah-daerah yang mempunyai keseragaman lereng dengan kemiringan kurang dari 16% dan amplitudo kurang dari 50 m, serta cakupannya sangat luas. Bentang lahan tua; yang telah tererosi dan terpotong. Volkan muda, marin, dataran aluvial, dan dataran karst tidak termasuk ke dalam grup landform ini. Grup Tuff Toba Masam (Q), tuff masam yang berasal dari erupsi Toba (Toba Rhyolite), mencakup ketinggian m. Pada umumnya panjang, mempunyai derajat kemiringan lereng yang homogen, terdapat pada lembahlembah sungai, plateau. Akumulasi endapan tuff masam, kadang terlihat. Grup Volkanik (V), landform lain yang berumur recent dan subrecent, secara umum intermedier sampai mafik, aktivitas volkan. Stratovolkan dan hasil erosi stratovolkan, aliran lava, plateau lava, lahar. Blok patahan volkan tidak termasuk di dalamnya, dan subgrup ini tidak mencakup Rhyolit Toba. Grup Karst (K), landform yang sebagian besar terbentuk oleh bahan berkapur. Bentuknya secara umum tidak beraturan, pelarutan bahan kapur lunak menimbulkan munculnya batu gamping yang keras yang tahan terhadap pelarutan ke permukaan. Berlereng curam dan bentuknya berombak tidak beraturan dibandingkan dengan bahan yang muncul secara horisontal. Pada batu gamping yang keras, tanah pada umumnya tidak memiliki solum yang dalam, kecuali terjadi pada lekukan-lekukan daerah tersebut. Pada umumnya tanah yang terdapat pada landform ini mempunyai solum yang dangkal dengan ketebalan yang beragam. Pada umumya terdapat jalur drainase yang tampak jelas.

34 20 Grup Perbukitan (H), landform yang terbentuk oleh proses erosi dan orogenesa, terdiri dari bukit kecil dan perbukitan dengan amplitudo relief m atau m, dengan bahan induk yang bervariasi. Termasuk di dalamnya yang diakibatkan oleh proses struktural. Grup Pegunungan dan Plateau (M), gunung : area yang sangat luas dengan amplitudo relief lebih dari 300 m. Rangkaian pegunungan, blok pegunungan. Daerah ketinggian yang relatif datar, sedikit atau banyak tertoreh, dibatasi oleh tebing yang terjal menuju daerah yang lebih rendah. Landform pegunungan akibat proses volkanik baru dan Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Aneka, landform lain yang tidak termasuk ke dalam salah satu grup landform, dan bukan lahan pertanian atau pengaruh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam landform ini adalah lembah curam, kota, danau, tempat pembuangan sampah akhir, dan lain-lain (Buurman dan Balsem, 1990) Klasifikasi Landform LREPP II Second Land Resource Evaluation and Planning Project (LREPP II) adalah proyek kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detil dengan skala 1: pada tahun pada beberapa wilayah di Indonesia. Kegiatan LREPP II ini merupakan lanjutan kegiatan LREPP I yang telah melaksanakan kegiatan survei sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1: di Pulau Sumatera. Sistem pambagian landform yang diterapkan oleh LREPP II ini merupakan hasil perbaikan dari sistem landform LREPP I yang dinilai masih kurang konsisten antara proses geomorfik dan relief. Kategori paling tinggi dalam sistem landform LREPP II didasarkan pada proses geomorfik utama, yaitu proses geomorfik karena gaya endogen/hipogen, gaya eksogen/epigen, dan gaya ekstraterestrial. Kategori-kategori selanjutnya didasarkan atas bentukan landformnya sendiri, relief, litologi, tingkat erosi atau torehan, dan sebagainya (Marsoedi et al., 1997).

35 Landform Utama LREPP II Grup Aluvial (A), landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Grup Marin (M), landform yang terbentuk dari proses marin, baik yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruksi (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang-surut tergolong dalam landform marin. Grup Fluvio-Marin (B), landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut. Grup Gambut (G), landform yang terbentuk di daerah rawa (baik rawa pedalaman maupun maupun di daerah dataran pantai) dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal. Landform ini dapat berupa kubah (dome) maupun bukan kubah. Grup Eolin (E), landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin. Grup Karst (K), landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst. Grup Volkanik (V), landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bantukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Grup Tektonik dan Struktural (T), landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan, dan atau patahan. Umumnya Landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural).

36 22 Grup Aneka (X), bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya : lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain (Marsoedi et al., 1997) Kerangka Acuan LREPP II Tujuan utama dari kegiatan proyek LREPP II ini adalah pengembangan kemampuan institusional dalam hal pengumpulan, penelitian, evaluasi, penyajian, dan pengelolaan data sumberdaya lahan serta penggunaannya dalam proses perencanaan fisik (Marsoedi et al., 1997). Secara garis besar kerangka acuan pelaksanaan proyek LREPP II adalah sebagai berikut : Pengumpulan dan Evaluasi Data - Peta Rupa Bumi 1: FU dan Citra Satelit - Data Iklim - Data Pendukung Interpretasi Foto Udara - Delineasi Landform - Delineasi Land use & Vegetasi Persiapan Prasurvei Laporan Persiapan Pengamatan sifat dan penyebaran tanah Survei Tanah Utama Analisa Tanah - Fisik & Kimia - Korelasi Tanah Digitasi & Pencetakan Peta Tanah Gambar 1. Diagram alir proses pemetaan LREPP II

37 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2010 hingga Januari Metode Penelitian Secara garis besar penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: tahap kompilasi dan tahap analisis data, dengan rincian masing-masing disajikan pada Gambar Tahap Kompilasi Data Kompilasi data dilakukan dari data base Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Data yang dikompilasi berasal dari hasil survei dan pemetaan Second Land Resource Evaluaton And Planning Project (LREPP II) yang terdiri dari 4 jenis data, yaitu data site dan horizon (SH), data soil sample analysis (SSA), plotting pengamatan lapang, peta tanah dan legenda (MU). Data LREPP II yang digunakan meliputi 8 lokasi, yaitu: daerah Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data SH terdiri atas: nama pemeta, nomor observasi, data iklim, landform, bahan induk, elevasi, relief, kedalaman efektif, drainase, dan klasifikasi tanah sampai kategori serie tanah menurut sistem USDA Data SSA terdiri atas: nama pemeta, nomor observasi, kedalaman, simbol lapisan, warna tanah, tekstur struktur, konsistensi, ph, KTK tanah, KTK liat, kejenuhan basa, kadar Ca, Mg, K, Na, N, dan kadar C. Plotting pengamatan terdiri atas data yang mempunyai referensi geografis. Sedangkan peta tanah berupa data spasial dan legenda. Legenda peta terdiri atas: No SPT, klasifikasi tanah pada kategori seri & famili, persen kemiringan lereng, bentuk wilayah, landform, bahan induk, dan luas.

38 24 Database Tanah LREPP II Seleksi Database Daerah Terpilih Data Pedon Terpilih Terkoreksi Klasifikasi Karakteristik Landform Analisa - Uji Tabular - Analisis Statistik Hasil Interpretasi Data - Konsistensi Landform Terhadap Jenis Tanah - Gambaran Keragaman Karakteristik & Klasifikasi Tanah - Pendugaan Karakteristik Tanah Penciri yang Sulit Diduga Oleh Landform Gambar 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian Seleksi data dilakukan untuk memilih daerah lokasi survei LREPP II yang memiliki data lengkap, yaitu data pedon yang mempunyai data SH, SSA, dan plotting pengamatan lapang. Sedangkan data yang tidak lengkap dipisahkan dari data yang akan dianalisis.

39 25 Koreksi data dilakukan untuk memeriksa unsur-unsur data yang sudah terpilih melalui proses seleksi, untuk meminimalisir adanya kesalahan data yang dapat diakibatkan oleh manusia ataupun akibat kesalahan pada tahap proses data. Proses ini dilakukan terhadap data SH. Setelah melakukan over lay data plotting pengamatan dengan data MU maka perlu koreksi terhadap landform dan bahan induk tanah. Hal ini perlu dilakukan supaya data tersebut valid atau layak digunakan sebagai bahan penelitian. Setelah melalui tahap seleksi dan koreksi, tahap selanjutnya adalah tahap crosschek data. Tahap ini bertujuan agar data tabular (SH & SSA) memiliki hubungan data yang sinkron dengan data spasial (plotting pengamatan lapang) sehingga kedua jenis data tersebut sudah benar-benar berada dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait, pedon terpilih untuk tahap ini merupakan pedon yang sudah siap untuk dianalisis pada tahap selanjutnya. Jumlah pedon terpilih adalah sebanyak 475 pedon Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu: uji tabular dan analisis statistik Uji Tabular Uji tabular dilakukan dengan mensortir pedon berdasarkan satuan landform sehingga dapat diketahui sebaran jenis tanah (Subgroup) pada suatu landform beserta faktor-faktor pembedanya. Satuan unit landform adalah satuan terendah dalam klasifikasi landform LREPP II yang tidak dapat dipisahkan lagi. Faktor pembeda yang digunakan adalah bahan induk dan iklim. Uji tabular bertujuan untuk mencari hubungan klasifikasi tanah (Subgroup) dengan landform, dan analisisnya secara deskriptif. Parameter bahan induk dibedakan berdasarkan jenis bahan induk dan umur geologi pembentukannya yang mengacu pada kriteria bahan induk yang digunakan dalam pemetaan LREPP I. Parameter bahan induk selengkapnya tersaji pada Tabel 1.

40 26 Tabel 1. Parameter Bahan Induk No simbol Rincian 1 ak Kuarter andesit 2 akt Tersier andesit berkapur 3 at Tersier andesit 4 bk Kuarter Basal 5 bt Tersier Basal 6 ct Tersier batu gamping 7 dk Kuarter liparit 8 dkt Tersier dasit berkapur 9 dt Tersier dasit 10 fk Kuarter endapan liat 11 fkt Tersier batu liat berkapur 12 fqk Kuarter endapan liat dan pasir 13 fqt Tersier batu liat dan batu pasir 14 ft Tersier batuliat 15 gt Tersier granit 16 kt Tersier batu kapur 17 ok Kuarter organik 18 qk Kuarter endapan pasit 19 qkt Tersier batu pasir berkapur 20 qt Tersier batupasir 21 tt Tersier skis 22 yt Tersier batu sabak Parameter yang kedua adalah iklim, parameter iklim digunakan untuk membedakan dan mengetahui sejauh mana proses perkembangan tanah kaitannya terhadap iklim setempat. Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai-nilai unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu tempat atau pada suatu wilayah. Parameter iklim yang digunakan adalah curah hujan pertahun. Data iklim (curah hujan) tersebut digolongkan kedalam 3 tipe iklim (Tabel 2). Dasar dari pembeda iklim tersebut adalah perubahan sifat-sifat tanah terkait dengan dengan kelembaban tanah (regim kelembaban tanah). Tabel 2. Parameter Iklim Tipe Iklim CH (mm/th) A 2000 B C < Analisis Statistik Untuk membandingkan keragaman antar karakteristik tanah penciri pada masing-masing satuan landform serta untuk membandingkan keragaman internal antar satuan landform dari satu karakteristik tanah penciri digunakan nilai koefisien keragaman (KK) yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

41 27 KK = ( s ) 100% x Adapun x merupakan nilai rata-rata dari suatu karakteristik tanah penciri, sedangkan s adalah simpangan baku yang dapat diperoleh dengan rumus : S = ( x i 2 (x i 2 ) ) n n - 1 Di mana, x : nilai setiap contoh tanah dari suatu karakteristik tanah penciri n : jumlah contoh/populasi setiap karakteristik tanah penciri i : contoh ke-i (Steel dan Torris, 1982 dalam Baskoro, 1986) Di bawah ini tabel kriteria pengklasifikasian keragaman tanah berdasarkan nilai koefisien keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986). Tabel 3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986) Kelas Keragaman Koefisian Keragaman (%) Sangat rendah < 15 Rendah Sedang Tinggi > 66 Karakteristik tanah penciri yang dianalisis dengan menggunakan koefisien keragaman (KK) adalah ketebalan solum, rasio perbandingan tekstur liat horison A dan B, derajat kemasaman tanah (ph), C-organik, Kapasitas Tukar Kation (KTK), KTK liat, dan Kejenuhan Basa (KB).

42 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah Data yang digunakan berasal dari 475 pedon yang tersebar di 8 lokasi, yaitu: Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data pedon tersebut tersebar ke dalam 6 landform utama menurut LREPP II, yaitu Aluvial (A), Fluvio-marin (B), Karst (K), Marin (M), Tektonik (T), dan Volkan (V). Jumlah landform yang dijumpai dari 6 landform utama tersebut sebanyak 64 landform (Tabel 4). Landform merupakan suatu bentuk lahan yang disebabkan oleh proses geomorfik tertentu. Oleh karena itu, setiap landform diharapkan memiliki suatu hubungan keterkaitan dengan klasifikasi tanah yang terdapat di dalamnya. Keterkaitan ini dapat ditinjau dengan melihat klasifikasi tanah pada masingmasing kategori order yang dijumpai pada suatu delineasi landform utama menurut LREPP II (Tabel 5). Tabel 5, menunjukkan bahwa tanah yang terdapat dalam Landform utama yang memiliki klasifikasi tanah paling beragam pada kategori order adalah adalah landform tektonik & struktural, landform ini mempunyai jumlah kelas tanah yang paling banyak. Dari semua kelas tanah yang dijumpai, hanya satu order tanah saja tanah saja yang tidak dijumpai dalam landform ini yaitu order Andisol. Landform tektonik & struktural merupakan landform dengan bahan induk yang sangat beragam sehingga berimplikasi terhadap keberagaman klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform tersebut. Landform aluvial mempunyai tanah yang lebih beragam dibandingkan dengan landform lainnya yang dipengaruhi oleh air (fluvio-marin & marin). Hal ini menunjukkan pada landform yang dipengaruhi oleh air, bahan endapan yang diendapkan pada landform aluvial lebih beragam dibandingkan pada landform fluvio-marin dan marin. Order Ultisol dan Oxisol yang memiliki tingkat perkembangan tanah lanjut, tidak dijumpai pada landform utama yang dipengaruhi oleh air (aluvial,

43 29 Tabel 4. Data Landform LREPP II yang Dianalisis No Landform Utama Landform Jumlah pedon 1 Aluvial (A) A A A A A A A A A A A A A A A A A A A Fluvio-Marin (B) B B Karst (K) K K K K K K K K Marin (M) M M M M M M M M M Tektonik & Struktural T T T T T T T T T T T T T T T Volkanik (V) V V V V V V V V V V V.ngarai 1 Total Pedon 475 *Warna berbeda menunjukan perbedaan pada tingkat grup landform Cetak tebal merupakan jumlah pedon pewakil terbanyak pada setiap grup landform

44 30 Tabel 5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai pada Grup Landform LREPP II Klasifikasi Tanah Landform Aluvial (A) Fluvio-Marin (B) Marin (M) Karst (K) Tektonik & Struktural (T) Volkanik (V) Entisol Inceptisol Ultisol Vertisol Alfisol Mollisol Andisol Oxisol Spodosol fluvio-marin, & marin) dan pada landform karst. Kedua order tersebut hanya dijumpai pada landform utama tektonik & struktural dan landform volkanik. Secara umum order tanah yang paling banyak dijumpai pada setiap landform utama adalah Inceptisol, diikuti oleh Entisol dan Vertisol. Banyaknya Vertisol yang dijumpai pada penelitian ini adalah karena data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari database LREPP II yang merupakan proyek pemetaan pengembangan sumberdaya lahan di daerah Indonesia timur yang memiliki perbedaan iklim basah dan iklim kering yang tegas. Sementara itu, order lain yang paling sedikit dijumpai adalah order Andisol yang hanya dijumpai pada landform volkanik dan order Spodosol yang hanya dijumpai pada landform tektonik & struktural Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform Landform yang dibahas pada subbab ini, adalah landform yang memiliki jumlah data pedon paling banyak pada masing-masing landform utamanya (Tabel 4). Selain itu juga data spasial pedon tersebut diambil dari peta plotting titik pengamatan tanah LREPP II Skala 1: (Tabel 6). Pada subbab pembahasan ini, klasifikasi tanah yang digunakan berasal dari klasifikasi pedon tanah pewakil yang memiliki kelengkapan data lapang dan data laboratorium, sehingga pada tampilan spasialnya, titik pengamatan tanah tersebut

45 31 Tabel 6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II Lokasi Luas (ha) Nama Lembar Peta Nomor Peta Besikama Sukabisikun &23 Besikama &14 Anametan Nauleu &12 Bena Tanjung Ela Tanjung Ela Panite Oesao Oesao &54 Oesao &22 Semarang Tugu Semarang Utara Wedung Sayung Boja Pacitan Tegal Ombo Pacitan Klesem Sudimoro Gresik Paciran Karawang Sukatani Jatisari Pedes Cikarang Pangkalan Bun Pangkalan Banteng Mulyajadi Pangkalan Bun terlihat tidak sesuai dengan kerapatan yang seharusnya ditampilkan pada skala tertentu. Tampilan spasial titik pengamatan sebenarnya menampilkan seluruh titik pengamatan baik itu pengamatan pedon maupun pengamatan boring tanah. Oleh karena itu, posisi titik pengamatan tanah (klasifikasi) pada tampilan spasial subbab ini apabila dikaitkan dengan prinsip Satuan Peta Tanah, masih belum dapat disimpulkan secara pasti.

46 Grup Landform Aluvial (A) Bloom (1979) mendefinisikan bahwa aluvial adalah sedimen yang diendapkan melalui aliran air dan mempunyai umur geologi yang relatif muda. Sementara itu definisi landform aluvial menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Menurut Gerrard (1980), tanah-tanah yang terdapat pada daerah aluvial seringkali tergenang akibat terjadinya banjir berkala. Hal ini menyebabkan terjadinya keberagaman tanah pada daerah aluvial ini. Akibat adanya genangan air yang berkala terjadilah proses gleisasi pada tanah-tanah di daerah aluvial. Tanah-tanah yang terdapat di daerah aluvial, pada umumnya memiliki tingkat perkembangan dari fase tanah belum berkembang hingga fase tanah muda. Pada daerah aluvial, akumulasi bahan organik sangatlah wajar, terutama pada bagian backswamp yang merupakan daerah limpasan banjir sungai yang membawa bahan material endapan. Terdapat 19 landform yang termasuk dalam landform utama aluvial (Tabel 4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada landform utama aluvial ini adalah landform A.1.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 64 pedon. Atas dasar hal tersebut, landform A.1.3 akan dibahas sebagai contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform aluvial. Landform A.1.3 merupakan landform dataran aluvial. Dataran aluvial adalah dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air, terdiri lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subrecent) dan sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi (Marsoedi et al., 1997). Tabel 7 menunjukkan sebaran landform A.1.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II. Lokasi tersebut adalah Karawang (Jabar), Pacitan & Gresik (Jatim), dan Besikama, Bena, Oesao (NTT). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH 2000 mm/th), tipe B (CH mm/th) dan tipe C (CH<1500

47 33 Tabel 7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim BI+U Subgrup Relief (m dpl) solum A B A/B A B A B A B A B A B Jabar HS-219 A fk Aquic Eutrudepts n ,00 57,25 0,94 6,00 6,78 1,68 0,63 34,59 33,85 64,06 59,24 86,00 96,75 Jabar HS-112 A fk Plinthic Endoaquepts n ,00 50,25 0,78 5,00 4,85 1,15 0,41 24,65 18,75 63,21 37,43 73,00 48,00 Jabar AY-179 A fk Typic Endoaquepts n ,00 45,50 1,10 5,00 5,13 1,42 0,41 28,79 25,88 57,58 56,91 70,00 69,25 Jateng DK-147 A fk Typic Ustorthents n ,00 50,00 0,94 7,70 6,90 1,41 0,53 33,49 41,52 71,26 83,04 5,00 79,00 Jabar HJ-206 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 60,75 0,87 5,00 5,05 2,02 0,47 32,72 24,62 61,74 40,99 85,00 85,00 Jabar HJ-259 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 65,25 1,07 5,30 5,58 1,77 0,52 35,74 33,61 51,06 51,63 81,00 90,50 Jabar HJ-275 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 59,67 1,11 6,00 6,57 0,86 1,01 34,42 37,39 52,15 62,62 82,00 83,00 Jabar HS-126 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 62,50 0,78 6,70 6,73 0,68 0,81 39,72 37,28 81,06 59,95 75,00 90,00 Jabar HS-157 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 69,75 0,89 5,40 5,55 2,36 0,76 40,93 42,70 66,02 61,15 85,00 91,50 Jabar HS-187 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 63,75 1,08 5,20 6,18 0,89 0,79 38,05 36,29 55,14 56,96 63,00 82,50 Jabar HP-001 B fk Chromic Endoaquerts n ,00 6,00 1,17 55,09 69,73 87,00 Jabar EA-062 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 70,20 1,08 5,30 6,22 2,08 0,63 49,00 45,09 64,47 66,85 76,00 89,20 Jabar EA-063 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 66,40 1,28 5,10 5,10 2,99 1,01 50,17 44,95 59,02 68,89 80,00 109,80 Jabar HP-002 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 61,20 1,09 5,30 6,28 1,55 0,36 26,46 33,63 39,49 55,27 99,00 104,20 Jabar SY-056 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 53,25 1,13 5,20 6,68 1,70 0,38 33,69 38,86 56,15 73,51 76,00 97,25 Jabar SY-121 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 72,60 1,13 5,30 5,84 2,20 0,76 44,51 39,33 54,28 55,23 79,00 115,00 Jabar SY-126 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 68,75 1,19 5,80 6,45 1,58 0,45 43,60 44,04 53,17 64,54 89,00 106,00 Oesao AK-054 C fk Aeric Endoaquepts n ,50 34,90 0,39 7,80 8,08 3,57 1,07 24,14 24,13 178,81 73,51 100,00 100,00 Oesao AK-220 C fk Aeric Endoaquepts n ,60 53,46 0,93 7,80 8,06 1,95 0,92 19,44 21,19 39,19 39,27 100,00 100,00 Gresik HI-076 C fk Aquic Eutrudepts n ,00 79,25 0,67 7,70 7,30 0,78 0,83 31,36 50,20 59,17 63,28 106,00 98,75 Bena AK-222 C fk Aquic Haplustepts n ,00 74,40 0,86 7,80 8,24 2,91 0,63 36,19 29,93 56,55 40,13 156,00 185,00 Besi CB-016 C fk Aquic Haplustepts n ,00 39,33 0,46 8,70 8,63 0,80 0,70 20,83 24,46 115,72 63,18 259,00 231,33 Gresik BJ-125 C fk Chromic Endoaquerts n ,00 75,80 1,07 7,50 7,48 1,04 0,57 49,35 46,89 60,93 61,76 107,00 119,00 Gresik EA-090 C fk Chromic Haplusterts n ,00 77,80 1,08 7,30 7,52 0,78 0,35 47,80 43,29 56,90 55,53 94,00 91,00 Gresik SL-211 C fk Chromic Haplusterts n ,00 77,67 0,99 7,50 7,77 0,57 0,59 56,20 46,09 72,77 59,91 112,00 132,33 Gresik TB-040 C fk Chromic Haplusterts n ,00 72,25 0,78 8,00 8,20 0,74 0,17 39,36 45,94 70,29 63,78 108,00 109,75 Gresik AD-156 C fk Fluventic Eutrudepts n ,00 73,33 1,00 7,60 7,67 0,71 0,68 46,14 48,29 63,23 65,67 156,00 133,00 Besi CB-030 C fk Fluventic Haplustepts n ,00 31,50 1,56 7,80 8,05 1,60 0,68 30,73 22,12 62,71 75,64 184,00 256,50 Oesao TB-073 C fk Fluventic Haplustepts n ,00 63,22 1,12 8,10 8,20 2,08 0,69 33,95 32,23 47,82 58,73 100,00 100,00 Oesao TB-186 C fk Fluventic Haplustepts n ,70 12,80 2,79 7,90 8,20 2,40 0,75 23,93 11,88 67,03 197,01 100,00 100,00 Gresik SL-173 C fk Oxyaquic Haplustepts n ,00 73,00 0,96 8,00 7,83 2,36 1,07 46,65 48,28 66,64 65,92 152,00 98,50 Gresik HP-083 C fk Typic Endoaquerts n ,00 77,00 1,01 7,60 7,45 1,17 0,58 66,55 63,82 85,32 82,91 113,00 123,25 Gresik MS-133 C fk Typic Endoaquerts n ,00 84,75 1,01 7,50 7,43 3,54 0,88 65,65 63,28 76,34 74,83 106,00 108,50 Gresik SM-070 C fk fk Typic Endoaquerts n ,50 71,00 0,99 7,30 7,78 0,71 0,33 47,52 47,86 67,40 67,50 95,50 100,50 Gresik TN-046 C fk Typic Endoaquerts n ,00 81,33 0,97 7,30 7,63 3,75 0,81 64,54 64,16 81,70 78,91 125,00 113,67 Besi AK-087 C fk Typic Haplustepts n ,00 52,80 0,97 8,20 8,20 1,36 0,77 29,04 26,06 56,94 49,53 181,00 213,20 Oesao TB-023 C fk Typic Haplustepts n ,00 58,00 1,14 7,80 8,22 1,77 0,75 43,93 40,19 66,56 71,38 100,00 100,00 Besi CB-010 C fk Typic Haplusterts n ,00 49,00 1,12 8,00 8,15 1,53 0,64 51,73 39,24 94,05 79,83 96,00 145,50

48 34 Lanjutan Tabel 7 Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim BI+U Subgrup Relief (m dpl) solum A B A/B A B A B A B A B A B Gresik MK-050 C fk Typic Haplusterts n ,00 86,50 0,98 7,40 7,18 1,42 0,87 54,18 50,83 63,74 58,71 107,00 107,50 Oesao TB-056 C fk Typic Haplusterts n ,00 82,40 1,00 8,30 8,92 0,87 0,75 53,40 52,67 65,12 63,95 100,00 100,00 Gresik AD-130 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 69,50 0,96 5,80 6,55 0,97 0,35 36,05 34,14 53,81 49,13 83,00 98,50 Gresik HI-041 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 61,00 0,92 7,80 7,08 0,64 0,42 39,07 39,73 69,77 65,39 104,00 92,50 Gresik HI-092 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 77,00 0,94 6,00 7,06 0,88 0,57 60,99 63,42 84,71 84,95 113,00 112,80 Gresik HP-037 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 73,25 1,11 7,20 7,40 1,12 1,25 51,03 45,01 63,00 63,38 160,00 166,75 Gresik MK-046 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 66,80 1,12 5,10 5,12 1,46 0,55 39,09 39,95 52,12 63,52 70,00 86,80 Oesao BP-030 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 64,60 1,30 7,80 8,10 1,88 0,75 52,65 42,68 62,68 65,63 100,00 100,00 Oesao TB-022 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 59,67 0,99 7,80 7,97 2,64 0,83 45,81 42,34 77,64 71,11 100,00 100,00 Gresik AR-054 C fk Vertic Haplustepts n ,00 61,00 1,05 7,30 8,03 0,55 0,30 26,58 32,77 41,53 54,01 130,00 110,75 Gresik AR-153 C fk Vertic Haplustepts n ,00 67,60 0,99 7,70 7,96 1,87 0,86 38,83 34,16 57,96 50,50 118,00 67,20 Gresik SL-172 C fk Vertic Haplustepts n ,00 70,50 1,01 7,70 7,78 0,91 0,88 45,03 43,24 63,42 61,50 123,00 137,50 Oesao HN-005 C fk Vertic Haplustepts n ,00 68,00 0,68 8,00 8,48 1,79 0,53 41,36 31,96 89,91 47,05 100,00 100,00 pacitan HR-257 B fqk Typic Endoaquepts n ,00 59,00 1,00 6,00 5,70 0,66 0,50 37,77 41,17 64,02 69,69 93,00 96,50 Oesao BP-220 C fqk Aeric Endoaquepts n ,30 42,77 1,57 7,80 8,23 1,76 0,44 28,50 19,01 42,35 44,67 100,00 100,00 Oesao TB-185 C fqk Aeric Endoaquepts n ,90 17,05 2,22 8,00 8,20 2,18 0,59 24,92 12,95 65,75 77,08 100,00 100,00 Besi UY-097 C fqk Fluventic Haplustepts n ,00 34,00 1,09 7,90 8,08 0,82 0,46 23,28 21,69 62,92 69,26 212,00 254,25 Besi YS-116 C fqk Fluventic Haplustepts n ,00 48,67 1,01 7,30 7,67 2,23 0,54 35,65 24,79 72,76 52,06 137,00 213,00 Gresik HI-083 C fqk Fluventic Haplustepts n ,00 31,25 0,54 5,50 6,70 0,54 0,16 11,75 20,20 69,12 89,54 57,00 76,75 Oesao AK-213 C fqk Fluventic Haplustepts n ,50 59,32 1,07 8,00 8,23 1,69 0,74 30,59 33,80 48,17 57,18 100,00 93,41 Besi AK-013 C fqk Typic Haplustepts n ,00 21,25 0,56 7,80 8,10 1,85 0,51 24,23 17,24 201,92 81,23 154,00 211,50 Gresik AR-150 C fqk Typic Haplusterts n ,50 83,00 0,97 7,45 7,53 0,66 0,33 49,67 48,47 61,69 58,36 97,50 102,33 Gresik SG-087 C fqk Typic Haplusterts n ,50 67,50 0,82 7,40 6,95 0,64 0,41 37,08 39,87 66,79 59,52 94,00 98,50 Gresik MS-100 C fqk Vertic Endoaquepts n ,00 70,60 1,22 7,10 7,04 1,23 0,70 60,95 54,13 70,87 82,71 104,00 102,20 Gresik TN-071 C fqk Vertic Endoaquepts n ,00 94,00 0,98 7,00 7,27 1,02 2,14 45,33 56,20 49,27 60,04 160,00 142,33 Oesao BP-029 C fqk Vertic Endoaquepts n ,00 76,80 1,03 8,00 8,24 1,69 0,60 47,60 47,80 60,25 62,34 100,00 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

49 35 mm/th), dengan 2 bahan induk penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk endapan liat kuarter (fk) yang bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter (fqk) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform A.1.3 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %. Secara umum landform A.1.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian <700 m dpl (dataran rendah). Karakteristik tanah yang dijumpai pada landform ini, secara umum memiliki kedalaman solum di atas 85 cm tergolong tebal (dalam). Tanah yang memiliki sifat vertic dan fluventic pada landform ini cenderung memiliki kandungan liat pada horison A lebih besar daripada horison B, sedangkan tanah yang bersifat aquic kandungan liat pada horison A cenderung lebih kecil dibanding pada horison B. Kondisi ph sangat berbeda terjadi pada tanah-tanah yang beriklim basah dengan kering, ph 5-6 dapat dijumpai pada tanah-tanah yang beriklim basah sedangkan tanah dengan ph 7-8 dijumpai di daerah yang beriklim kering. Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 7 masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, keberagaman tanah juga dapat terjadi pada kategori order dalam Landform A.1.3 ini. Hal ini dikarenakan di dalam landform A.1.3 ini unsur-unsur pembentuk landform yang telah diuraikan sebelumnya (iklim & bahan induk) masih beragam. Sehubungan dengan masih adanya perbedaan unsur pembentuk landform A.1.3, selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang terdapat pada landform A.1.3 ini (Tabel 8). Apabila dikelompokan berdasarkan kategori Taksonomi, diketahui bahwa dalam delineasi landform A.1.3 setelah dipisahkan lagi berdasarkan bahan induk dan iklimnya masih dijumpai tanah dengan taksonomi yang sangat berbeda. Dengan demikian, walaupun landform sudah dianggap homogen bahkan bahan induknya pun sudah dianggap homogen pada kenyataanya klasifikasi tanah yang dijumpai masih beragam.

50 36 Tabel 8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim pada Landform A.1.3 BI+Umur Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fk A Entisol Orthent Usthorthent Typic Ustorthents Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Plinthic Endoaquepts B Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Fluventic Eutrudepts Ustep Haplustept Aquic Haplustepts Oxyaquic Haplustepts Vertic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Ustert Haplustert Typic Endoaquerts Chromic Haplusterts Typic Haplusterts fqk B Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustep Haplustept Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Gambar 3 memperlihatkan sebaran landform A.1.3 di daerah Karawang. Pedon pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian barat (kotak merah) dan timur (kotak biru). Kotak merah memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian barat daerah Karawang (Gambar 4), sedangkan kotak biru memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian timur daerah Karawang (Gambar 5). Gambar 4 memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada landform A.1.3 daerah Karawang bagian barat. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya (Tabel 9), tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh greatgroup Endoaquept, walaupun keragaman klasifikasi tanah pada kategori subgrup masih terlihat tinggi.

51 37 Gambar 3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat Gambar 4. Sebaran pedon tanah pewakil pada landform A.1.3 Karawang Jabar (Kotak Merah)

52 38 Tabel 9. Klasifikasi Tanah pada Masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat Pedon Order Subgrup Kode HP 001 Vertisol Chromic Endoaquerts * HS 112 Inceptisol Plinthic Endoaquepts *** AY 179 Inceptisol Typic Endoaquepts **** SY 121 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 063 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 062 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HP 002 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 056 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 9 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Karawang bagian barat didominasi oleh order Inceptisol. Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon yang memiliki order Vertisol (HP 001). Pedon HP 001 yang memiliki order Vertisol letaknya berada pada poligon landform yang sama dengan 5 pedon lain yang memiliki order Inceptisol dengan subgrup Vertic Endoaquepts (SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002). Hal tersebut menunjukkan bahwa order berbeda bisa berada pada poligon yang sama (HP 001 yang merupakan order Vertisol dengan SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002 yang merupakan order Inceptisol). Sebaliknya pada order yang sama dengan subgroup yang sama bisa berada pada poligon yang berbeda. Dilihat dari posisinya pedon HP 001 dengan order Vertisol terletak satu poligon dengan 5 poligon lain yang memiliki order Inceptisol. Untuk menyimpulkan dalam penarikan batas SPT diperlukan delineasi lebih lanjut dengan data-data boring yang mendukung guna menentukan apakah pedon tersebut merupakan SPT asosiasi ataukah SPT inklusi. Gambar 5 memperlihatkan sejumlah pedon yang bergerombol pada daerah Karawang bagian timur. Klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai di daerah ini seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol (Tabel 10). Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat 2 subgroup tanah yang dijumpai yaitu Vertic Endoaquepts dan Aquic Eutrudepts, semua pedonnya berada dalam satu poligon yang sama (Gambar 5).

53 39 Gambar 5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang Jabar (Kotak Biru) Tabel 10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur Pedon Order Subgrup Kode HS 157 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 206 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 259 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 187 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 275 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 219 Inceptisol Aquic Eutrudepts * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Subgroup Vertic Endoaquepts sangat dominan pada poligon ini. Menurut prinsip SPT dalam kasus ini, pedon dengan subgroup Aquic Eutrudepts dapat dikatakan sebagai tanah inklusi. Hal ini karena posisi pedon tersebut terletak diantara pedon-pedon lain dengan subgroup yang relatif seragam (Vertic Endoaquepts). Meskipun demikian, di daerah ini regim kelembaban aquic muncul pada kategori pembentuk suborder dan subgroup yang menandakan pengaruh air yang cukup dominan terjadi pada intensitas yang berbeda sehingga menghasilkan klasifikasi tanah yang berbeda pada landform ini. Hal ini berarti pada landform

54 40 yang telah didelineasi homogen masih dapat dijumpai proses pembentukan tanah dengan intensitas yang tidak homogen. Selain di daerah Karawang, landform A.1.3 dengan jumlah pedon yang banyak dijumpai di daerah Gresik Jawa Timur. Sebaran pedon yang terlihat menggerombol dijumpai di daerah Gresik bagian barat (Gambar 6). Jumlah pedon yang dijumpai dalam delineasi landform A.1.3 di daerah Gresik bagian barat berjumlah 16 pedon yang didominasi oleh 2 order tanah yaitu order Inceptisol dan order Vertisol (Tabel 11). Gambar 6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur Gambar 7 memperlihatkan pedon-pedon yang dijumpai pada daerah tersebut posisinya tersebar pada beberapa poligon landform yang berbeda, walaupun ada beberapa pedon yang berada dalam satu poligon landform. Pada suatu poligon landform A.1.3 yang di dalamnya terdapat pedon HI 092, HI 083,

55 41 HI 076, & MS 100 seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol walaupun masih terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya. Pada poligon lain yang didalamnya terdapat pedon AR 153, MK 050, MS 133, HP 083, EA 090, & AR 150 hampir seluruhnya didominasi oleh order Vertisol walaupun masih terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya. pedon AR 153 merupakan subgroup Vertic Haplustepts (order Inceptisol) yang berada pada satu poligon dengan MK 050 yang merupakan subgroup Typic Haplusterts (order Vertisol). Jadi di dalam satu poligon, masih dijumpai kelas tanah yang berbeda pada tingkat order (Vertisol dan Inceptisol) walaupun keduanya memiliki karakteristik yang berdekatan (sama-sama memiliki sifat vertic). Namun demikian, sifat vertic yang terdapat pada pedon AR 153 tidak terlalu kuat sehingga masih belum termasuk ke dalam order Vertisol. Gambar 7. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur (Kotak Merah) Daerah di mana pedon AD 130 dengan subgroup Vertic Endoaquepts ditemukan menandakan bahwa terdapat sifat aquic yang dominan pada daerah tersebut. Sementara pada daerah di mana ditemukannya pedon AR 153 dan MK 050 cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah di mana pedon pertama

56 42 dijumpai. Walaupun demikian, terdapat juga pedon dengan klasifikasi yang sama tetapi berada pada poligon yang berbeda. Tabel 11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim Pedon Order Subgrup Kode HI 076 Inceptisol Aquic Eutrudepts 1* HI 083 Inceptisol Fluventic Haplustepts 1* SL 173 Inceptisol Oxyaquic Haplustepts 8* AD 130 Inceptisol Vertic Endoaquepts 9* HI 092 Inceptisol Vertic Endoaquepts 1* MS 100 Inceptisol Vertic Endoaquepts 1* MK 046 Inceptisol Vertic Endoaquepts 5* TN 071 Inceptisol Vertic Endoaquepts 4* SL 172 Inceptisol Vertic Haplustepts 7* AR 153 Inceptisol Vertic Haplustepts 2* EA 090 Vertisol Chromic Haplusterts 3* MS 133 Vertisol Typic Endoaquerts 2* HP 083 Vertisol Typic Endoaquerts 2* TN 046 Vertisol Typic Endoaquerts 6* AR 150 Vertisol Typic Haplusterts 3* MK 050 Vertisol Typic Haplusterts 2* Angka bertanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Untuk lebih memperjelas kondisi landform A.1.3 yang sebelumnya telah diuraikan, Gambar 8, 9, dan 10 menyajikan sebaran klasifikasi yang terdapat pada landform A.1.3 ini. Gambar 8 memperlihatkan bahwa pedon yang dijumpai didominasi oleh order Inceptisol yang memiliki kelembaban aquik di mana letak pedon tersebut dapat dijumpai dalam poligon yang sama maupun poligon yang berbeda, meskipun pada daerah ini terdapat satu pedon Vertisol dengan regim kelembaban aquic juga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu poligon masih terdapat perbedaan klasifikasi tanah. Intensitas kerapatan posisi pedon tampak masih belum dapat memutuskan apakah SPT di mana terdapatnya tanah dengan order Vertisol termasuk kedalam SPT inklusi ataukah SPT asosiasi. Dengan demikian, besar kemungkinan poligon tersebut masih dapat didelineasi kembali dengan menambah titik-titik pengamatan sebagai dasar acuan pengambilan keputusan.

57 43 Gambar 8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang Jabar Gambar 9. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang - Jabar

58 44 Gambar 9 memperlihatkan bahwa pedon yang terdapat pada daerah tersebut sudah relatif homogen meskipun letaknya tidak berada dalam satu poligon yang sama, di daerah ini juga muncul satu pedon yang karakteristiknya berbeda walaupun berada dalam order tanah yang sama yaitu Vertic Endoaquepts dengan Aquic Eutrudepts. Gambar 10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim Gambar 10 memperlihatkan bahwa dalam suatu delineasi landform A.1.3 (warna hijau tua) terdapat beberapa keragaman klasifikasi tanah. Keragaman klasifikasi tanah tersebut meskipun terjadi perbedaan pada tingkat order, jika dilihat dari sifat-sifatnya tidak jauh berbeda. Order tanah yang dimaksud adalah Vertisol dan Inceptisol yang memiliki sifat vertik. Uraian diatas menunjukkan bahwa delineasi landform ke dalam A.1.3 tidak berarti mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam delineasi landform A.1.3 tersebut. Berdasarkan prinsip SPT, pada kasus landform A.1.3 ini masih belum dapat menyatakan bahwa perbedaan klasifikasi tanah dapat dinyatakan sebagai

59 45 suatu asosiasi, konsosiasi, ataupun inklusi, karena jika diamati dari segi intensitas titik pengamatannya masih sangat sedikit dan tidak cukup mewakili. Hal ini menunjukkan bahwa pada landform aluvial A.1.3 ini jika pengamatan kurang maka dapat dijumpai keragaman klasifikasi tanah seperti ini Grup Landform Fluvio-Marin (B) Landform fluvio-marin adalah landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut (Marsoedi et al., 1997). Terdapat 2 landform yang termasuk dalam landform utama fluvio-marin (Tabel 4). Satuan landform B.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 25 pedon merupakan unit landform yang memilki pedon pewakil terbanyak pada landform fluvio-marin ini. Atas dasar tersebut, landform B.3 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform fluvio-marin. Landform B.3 merupakan landform dataran fluvio-marin. Dataran fluvio-marin adalah wilayah yang berasal dari endapan marin yang saat ini terletak/posisinya relatif sudah jauh dari asal pembentukannya dan sudah banyak dipengaruhi oleh bahan fluvial (Marsoedi et al., 1997). Tabel 12 menunjukkan sebaran landform B.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama, Bena, & Oesao (NTT), serta daerah Karawang (Jabar). Landform B.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH 2000 mm/th), tipe B (CH mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 2 bahan induk penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk endapan liat kuarter (fk) yang bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter (fqk) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform B.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %. Berdasarkan karakteristik kimia tanah-tanah yang dijumpai tebal solum yang sangat bervariasi mulai dari ketebalan cm (dangkal-sangat dalam).

60 46 Tabel 12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Jabar BK 006 A fk Vertic Endoaquepts n ,00 61,80 1,12 4,80 5,06 1,99 0,58 39,73 38,64 57,58 67,42 76,00 79,80 Jabar ER 345 B fk Aeric Endoaquepts n ,00 55,25 1,19 6,10 6,33 1,76 0,91 37,92 36,93 57,45 68,15 88,00 92,25 Jabar SY 060 B fk Sulfic Endoaquepts n ,00 70,25 1,20 5,30 4,30 2,52 1,32 52,38 44,51 62,36 65,34 82,00 84,75 Jabar HJ 020 B fk Typic Endoaquepts n ,00 50,00 1,00 5,60 6,78 1,57 0,44 32,63 37,26 65,26 74,94 59,00 83,50 Jabar SY 118 B fk Typic Endoaquepts n ,00 28,33 1,59 6,20 7,63 1,64 0,33 35,74 34,70 79,42 128,38 94,00 104,67 Jabar EA 041 B fk Typic Endofluvents n ,00 6,50 0,53 29,57 105,61 93,00 Jabar EA 052 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 65,60 1,01 5,40 5,72 1,96 0,54 39,92 40,95 60,48 62,68 82,00 99,60 Jabar ER 002 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 57,75 0,99 6,40 7,38 1,74 0,36 42,06 42,46 73,79 77,14 70,00 81,00 Jabar ER 106 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 58,33 1,20 6,20 7,17 1,30 0,56 46,50 48,09 66,43 83,13 97,00 107,00 Jabar HJ 057 B fk Vertic Endoaquepts n ,00 47,50 0,88 5,10 5,95 1,98 0,50 38,92 40,37 92,67 86,37 96,00 90,50 Oesao AK 101 C fk Aeric Endoaquepts n ,10 42,20 1,14 8,90 8,75 1,62 0,85 29,83 26,22 62,02 63,07 100,00 100,00 Besi US 087 C fk Aquic Haplustepts n ,00 35,00 1,14 7,40 9,37 1,83 0,34 25,21 19,17 63,03 57,04 238,00 278,33 Oesao HN 004 C fk Fluventic Haplustepts n ,00 57,75 1,02 7,90 8,25 1,71 0,39 41,18 26,64 69,80 47,27 100,00 100,00 Besi CB 006 C fk Sodic Endoaquerts n ,00 40,50 0,79 9,40 9,68 1,05 0,29 31,97 37,06 99,91 97,38 161,00 179,50 Besi HN 003 C fk Sodic Haplusterts n ,00 67,00 1,03 8,00 8,40 2,38 0,61 45,98 30,50 66,64 45,52 118,00 213,00 Bena RR 280 C fk Sodic Haplusterts n ,00 90,75 0,98 7,80 7,98 1,76 0,77 39,30 41,83 44,16 46,17 175,00 203,00 Bena RR 214 C fk Typic Endoaquepts n ,00 57,50 1,11 8,00 8,15 1,10 0,77 29,52 24,84 46,13 44,00 199,00 222,50 Besi MY 006 C fk Typic Haplustepts n ,50 44,75 0,79 7,80 8,15 0,98 0,40 29,56 29,34 83,37 65,75 161,50 202,50 Besi UY 115 C fk Typic Haplusterts n ,00 53,67 1,17 7,50 7,77 1,22 0,76 36,17 36,99 57,41 87,25 186,00 179,33 Jabar AY 021 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 79,00 1,04 6,40 5,50 0,46 1,21 48,44 46,56 59,07 58,94 90,00 84,00 Oesao AK 017 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 69,50 0,94 8,10 8,18 1,62 0,78 44,54 45,73 68,52 65,81 100,00 100,00 Oesao AK 019 C fk Vertic Endoaquepts n ,00 83,25 1,00 8,60 8,30 1,01 0,62 52,37 50,02 63,10 60,04 100,00 100,00 Jabar HS 101 B fqk Typic Endoaquents n ,00 5,70 5,13 36,76 91,90 129,00 Besi AK 091 C fqk Aquic Haplustepts n ,00 23,20 1,29 6,80 7,54 1,34 0,27 34,84 17,59 116,13 91,08 111,00 305,80 Bena US 215 C fqk Fluventic Haplustepts n ,00 20,00 1,40 7,85 8,17 1,67 0,70 18,47 13,56 65,97 72,89 223,00 319,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

61 47 Perbandingan liat antara horison A dan B menunjukkan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini merupakan tanah pada tingkat perkembangan muda dan baru berkembang. Hal ini disebabkan karena hampir semua kelas tanah mempunyai nilai rasio liat >1 yang menandakan bahwa kadar liat pada horison A lebih besar daripada horison B. Kandungan C-organik pada kelas tanah yang dijumpai secara umum pada horison A memiliki nilai < 2% sedangkan pada horison B < 1%. Sementara itu, nilai kejenuhan basa secara umum > 35% yang menandakan tanah-tanah pada landform B.3 ini memiliki nilai KB yang tinggi. Secara umum landform B.3 yang dijumpai berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl). Tingkat keragaman klasifikasi tanah yang ditunjukkan dalam Tabel 12 masih sangat tinggi, selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang terdapat dalam delineasi landform B.3 ini (Tabel 13). Tabel 13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform B.3 BI+Umur Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fk A Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts B Entisol Fluvent Endofluvent Typic Endofluvents Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Vertisol Aquert Endoaquert Sodic Endoaquerts Ustert Haplustert Sodic Haplusterts Typic Haplusterts fqk B Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents C Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Setelah dikelompokan, terdapat 3 order tanah yang dijumpai, yaitu Entisol, Inceptisol, dan Vertisol, sehingga diketahui bahwa dalam delineasi landform B.3 yang dipisahkan kembali berdasarkan bahan induk dan iklim yang homogen, masih dijumpai klasifikasi tanah yang sangat berbeda.

62 48 Gambar 11. Sebaran landform B.3 daerah Karawang Jabar Gambar 12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang Jabar (Perbesaran pada Gambar 11)

63 49 Gambar 11 memperlihatkan sebaran landform B.3 di daerah Karawang. Sebaran pedon tanah pewakil pada landform ini terpusat di bagian utara daerah lokasi survei (kotak merah). Kotak merah memperlihatkan sebaran pedon (klasifikasi) tanah pada bagian utara Karawang (Gambar 12). Gambar 12, memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada landform B.3 daerah Karawang sebelah utara. Dari gambar tersebut terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Inceptisol dengan greatgroup Endoaquept, walaupun keragaman klasifikasi tanah pada tingkat subgroup masih terlihat beragam (Tabel 14). Tabel 14. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar Pedon Order Subgrup Kode ER 345 Inceptisol Aeric Endoaquepts * SY 060 Inceptisol Sulfic Endoaquepts ** HJ 020 Inceptisol Typic Endoaquepts ** SY 118 Inceptisol Typic Endoaquepts ** BK 006 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** EA 052 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** ER 002 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** ER 106 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** HJ 057 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** AY 021 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** HS 101 Entisol Typic Endoaquents ** EA 041 Entisol Typic Endofluvents ** Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 14 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform B.3 daerah Karawang utara termasuk dalam kategori tanah muda (Entisol) dan tanah baru berkembang (Inceptisol). Sekitar 80% tanah yang dijumpai di daerah ini didominasi order Inceptisol dengan greatgroup Endoaquepts. Kondisi tanah pada landform B.3 di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan munculnya regim kelembaban aquic dan fluventic pada kategori pembentuk greatgroup. Hampir semua pedon yang dijumpai di daerah ini letaknya berada dalam satu poligon landform yang sama, walaupun terdapat beberapa pedon yang letaknya tidak berada dalam satu poligon. Pedon-pedon yang dijumpai dalam delineasi landform B.3 daerah ini hampir semua klasifikasinya menunjukkan sifat-

64 50 sifat aquic pada kategori greatgroup. Kemungkinan dijumpainya pedon dengan order Entisol jika merujuk pada definisi landform B.3 dapat saja dijumpai. Akan tetapi kondisi seperti ini yang dijumpai hanya sebagian kecil. Sehingga dalam landform B.3 ini masih terdapat keragaman terutama pada karakteristik bahan yang diendapkan. Keragaman bahan yang diendapkan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pula pada tingkat perkembangan tanah yang dijumpai pada landform ini. Pada daerah tertentu yang iklimnya sedikit kering dan perbedaan iklimnya tegas dapat dijumpai juga pedon-pedon tanah yang tidak dipengaruhi oleh air. Karakteristik tanahnya memiliki sifat rekahan seperti jenis tanah dengan order Vertisol. Pedon-pedon tanah yang dijumpai dalam delineasi landform B.3 hampir seluruhnya dipengaruhi oleh regim kelembaban aquic, walaupun dari segi klasifikasinya sifat tersebut muncul pada kategori greatgroup dan ada juga yang Gambar 13. Sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang Jabar

65 51 muncul pada kategori subgroup. Hal ini tidak dapat diprediksi dari homogenitas landform. Gambar 13 menyajikan sebaran pedon berikut klasifikasi yang terdapat pada landform B.3 (warna biru kelabu). Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pedon yang dijumpai di bagian utara Karawang didominasi oleh order Inceptisol yang memiliki kelembaban aquic dan letak pedonnya dijumpai dalam poligon yang berbeda. Meskipun demikian, pada daerah ini terdapat 2 pedon dengan order Entisol yang hanya dijumpai pada sebagian kecil saja landform B.3 daerah Karawang bagian utara. Hasil uraian tersebut, dapat diketahui bahwa delineasi landform kedalam landform B.3 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam satuan landform B Grup Landform Karst (K) Menurut Bloom (1979) karst adalah bentuk permukaan bumi yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan batuan yang melibatkan air sebagai pelarut alaminya. Karst juga didefinisikan sebagai bentang lahan yang kering, di mana proses drainase lebih dominan terjadi di bawah permukaan tanah dari pada terjadi pada permukaan bumi. Landform karst menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst. Terdapat 8 satuan landform yang termasuk ke dalam landform karst (Tabel 4). Landform K.3 merupakan unit landform karst yang memiliki pedon pewakil terbanyak dengan jumlah pedon sebanyak 4 pedon. Atas dasar tersebut, landform K.3 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada landform karst.

66 52 Tabel 15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Besi AK 088 C ct Lithic Argiustolls r ,00 76,00 1,08 7,50 7,50 7,30 4,71 72,24 61,87 88,10 81,41 109,00 110,00 Oesao TB 201 C ct Lithic Haplustolls c ,20 7,50 0,98 66,22 542,79 100,00 Besi UY 015 C ct Typic Haplusterts r ,00 73,00 0,89 7,80 7,97 3,78 1,91 50,78 51,46 78,12 70,58 95,00 121,33 Oesao TB 120 C ct Typic Haplustolls c ,90 16,80 2,55 7,60 7,80 11,24 7,29 47,13 45,70 109,86 272,02 100,00 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

67 53 Landform K.3 adalah landform perbukitan karst. Landform K.3 ini merupakan wilayah karst dengan relief perbukitan. Tabel 15 menunjukkan sebaran landform K.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada 2 lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama dan Oesao (NTT). Landform K.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe C (CH<1500 mm/th). Bahan induk penyusun tanah yang dijumpai berbahan induk batu gamping tersier (ct). Landform K.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief r (bergelombang/rolling) dengan slope 8-15 % dan bentuk relief c (berbukit kecil/hillocky) dengan slope %. Secara umum landform K.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian dataran rendah (<700 m dpl). Tebal solum pada tanah-tanah yang dijumpai tergolong tipis dan bervariasi mulai dari ketebalan 22 cm sampai 76 cm. Kandungan liat pada tanah-tanah yang dijumpai menunjukkan keragaman pada sifat tekstur tanahnya. Selain itu pengaruh bahan induk berkapur sangat mempengaruhi pada karakteristik ph didalamnya, nilai ph berkisar antara 7,50 sampai 7,80 yang menandakan ph cukup tinggi. Selain itu juga untuk nilai KTK dan KB pada tanah-tanah yang dijumpai tergolong tinggi. Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 15 masih cukup beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, bahkan keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih dijumpai pada Landform ini. Unsur pembentuk landform K.3 sudah dapat dikatakan homogen, faktor perbedaan relief pada landform inilah yang menjadi salah satu faktor yang masih belum homogen, sehingga masih terdapat keragaman klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini. Keragaman yang terjadi dapat diduga dari teori pembentuk tanah melalui faktor lereng, sehingga apabila landform K.3 didelineasi lagi berdasarkan lereng, maka tidak menutup kemungkinan perbedaan klasifikasi dapat didelineasi. Tabel 16, menunjukkan ringkasan klasifikasi tanah pada landform K.3 yang sudah dikelompokan berdasarkan iklim dan bahan induk yang sama. Terdapat dua order klasifikasi tanah yang dijumpai yaitu order Mollisol dan

68 54 Tabel 16. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform K.3 BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup ct C Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Mollisol Ustoll Argiustoll Lithic Argiustolls Haplustoll Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Vertisol. Kedua order tersebut mempunyai kesamaan pada kategori suborder yaitu munculnya regim kelembaban ustic pada kategori suborder. Dari nama klasifikasi tanah pembentuk subgroup, dapat diperkirakan bahwa tanah yang dijumpai pada landform ini mempunyai kedalaman solum yang beragam. Terbukti dengan munculnya nama Lithic dan Typic sebagai unsur pembentuk subgroup. Hal ini menggambarkan bahwa tanah pada daerah tersebut ada yang memiliki solum dangkal dan ada juga yang memiliki solum yang dalam, sehingga untuk kedalaman solum ini sulit untuk diprediksi. Adanya keragaman tersebut diduga terjadi akibat proses pelarutan pada bahan induk kapur. Semakin murni bahan induk kapur maka semakin tipis solum tanah yang dapat terbentuk begitu pula sebaliknya. Tanah-tanah yang dijumpai pada landform K.3 ini umumnya sangat dipengaruhi oleh bahan induk batu gamping (Vertisol & Mollisol). Sehingga tanah yang muncul mempunyai ph yang basa akibat adanya pengaruh kandungan Ca tinggi yang terdapat dalam bahan induk batu gamping (Tabel 16). Delineasi landform ke dalam landform K.3 masih belum dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam satuan landform K.3. Walaupun dari segi bahan induk dan iklim sudah homogen, diduga faktor relief lerenglah yang mengakibatkan masih tetap dijumpainya klasifikasi tanah yang beragam pada landform ini Grup Landform Marin (M) Landform marin adalah landform yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun bersifat pasang surut tergolong dalam landform marin (Marsoedi et al., 1997).

69 55 Tabel 17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Jabar AY 010 A fk Typic Endoaquents n ,00 6,00 8,54 46,32 62,59 364,00 Jabar AY 062 A fk Typic Endoaquents n ,00 6,50 8,30 48,74 61,70 204,00 Jabar SY 022 B fk Typic Endoaquents n ,00 7,00 6,97 41,57 101,39 389,00 Oesao AK 024 C fk Aeric Endoaquepts n ,00 57,25 0,79 7,80 8,05 1,02 0,85 39,21 43,08 87,13 76,92 100,00 100,00 Oesao AK 035 C fk Aeric Endoaquepts n ,00 69,67 0,43 8,20 8,27 0,92 1,22 37,67 40,64 125,57 58,46 100,00 100,00 Oesao BP 048 C fk Aeric Endoaquepts n ,20 59,95 0,87 8,20 8,35 1,26 1,19 37,09 39,07 71,05 83,32 100,00 100,00 Jabar AY 040 C fk Sulfic Endoaquents n ,00 6,00 13,49 45,95 64,72 290,00 Oesao BP 042 C fk Typic Endoaquents n ,00 8,30 1,66 40,94 56,86 100,00 Besi CB 127 C fk Typic Endoaquepts n ,00 46,67 0,90 7,70 7,90 2,25 1,20 28,80 29,66 68,57 63,67 221,00 195,00 Besi AK 052 C fk Typic Fluvaquents n ,00 7,20 4,48 26,03 96,41 333,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

70 56 Terdapat 9 unit landform yang termasuk dalam landform Marin (Tabel 4). Dari 9 unit landform tersebut landform dengan pedon pewakil terbanyak pada unit landform marin adalah landform M.2.2 dengan pedon sebanyak 10 pedon. Atas dasar tersebut, subgrup landform M.2.2 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform marin. Landform M.2.2 adalah landform untuk dataran pasang surut lumpur. Dataran pasang surut lumpur adalah wilayah pesisir yang terdiri dari bahan berlumpur dan dipengaruhi pasang surut air laut (Marsoedi et al., 1997). Tabel 17, menunjukkan sebaran landform M.2.2 beserta karakteristik tanah di dalamnya yang dijumpai pada 3 lokasi survei LREPP II yaitu Karawang (Jabar), Besikama, dan Oesao (NTT). Landform M.2.2 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe A (CH 2000 mm/th), tipe B (CH mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan satu bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Nilai KB tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini memiliki nilai KB yang tergolong sangat tinggi (>100). Klasifikasi tanah pada landform ini, tingkat keragamannya masih tinggi. Keragaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgrup dalam order yang sama, keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih dijumpai pada Landform ini. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama pada landform ini (Tabel 18). Setelah dikelompokan berdasarkan kategori taksonomi, diketahui bahwa pada landform M.2.2 yang telah dipisahkan berdasarkan bahan induk dan iklimnya masih dijumpai tanah dengan klasifikasi yang sangat berbeda. Tabel 18. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform M.22 BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fk A Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents B Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Typic Endoaquepts Entisol Aquent Endoaquent Sulfic Endoaquents Fluvaquent Typic Endoaquents Typic Fluvaquents

71 57 Gambar 14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang Jabar Gambar 15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang Jabar (Kotak Merah)

72 58 Gambar 14 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah Karawang. Sebaran pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini terpusat di bagian utara daerah Karawang (kotak merah). Dari kotak tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol (Gambar 15). Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Entisol dengan greatgroup Endoaquent, walaupun pada tingkat subgroup masih terlihat beragam (Tabel 19). Tabel 19. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang - Jabar Pedon Order Subgrup Kode AY 062 Entisol Typic Endoaquents * AY 040 Entisol Sulfic Endoaquents * SY 022 Entisol Typic Endoaquents * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 19 menunjukkan keragaman tanah pada kategori subgroup yang tergolong tanah dengan tahap perkembangan baru (Entisol). Pedon AY 062 dengan pedon AY 040 yang letaknya berdekatan memiliki perbedaan unsur pembentuk pada kategori subgroup. Pedon AY 062 memiliki subgrup Typic Endoaquents sedangkan pedon AY 040 memiliki subgroup Sulfic Endoaquents. Berdasarkan prinsip SPT dalam kasus ini, penentuan SPT masih bisa ditelusuri batas-batasnya. Hal ini karena jarak antara satu titik pengamatan dengan pengamatan yang lainnya saling berjauhan sehingga masih bisa ditelusuri batasbatasnya dengan menambah jumlah titik pengamatan. Secara umum tanah yang dijumpai pada daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan munculnya regim kelembaban aquic sebagai unsur pembentuk klasifikasi pada kategori suborder. Selain daerah Karawang, sebaran landform M.2.2 juga dijumpai di daerah Oesao (NTT). Gambar 15 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah Oesao yang terpusat di bagian barat Oesao. Sebaran landform M.2.2 di daerah ini tidak begitu luas, sehingga pedon yang dijumpai jumlahnya sedikit. Sebaran pedon pada kotak pengamatan (kotak merah) tersusun atas 4 pedon pewakil yang dijumpai (Gambar 16). Letak keempat pedon tersebut berada pada satu poligon dan jarak antara satu pedon dengan pedon lainnya saling berjauhan.

73 59 Gambar 16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao NTT Gambar 17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao NTT (Kotak Pengamatan)

74 60 Tabel 20. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao - NTT Pedon Order Subgrup Kode BP 042 Entisol Typic Endoaquents * BP 048 Inceptisol Aeric Endoaquepts * AK 024 Inceptisol Aeric Endoaquepts * AK 035 Inceptisol Aeric Endoaquepts * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 20 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai pada daerah Oesao sebelah barat didominasi oleh order Inceptisol. Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon dengan order Entisol (BP 042). Keragaman pada tingkat order masih terjadi, pedon BP 042 yang memiliki order Entisol letaknya tidak jauh dari pedon BP 048 yang memiliki order Inceptisol. Dari kondisi lingkungannya dapat diperkirakan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, hal ini ditandai dengan munculnya regim kelembaban aquic pada unsur pembentuk suborder baik pada order Inceptisol maupun Entisol. Pedon dengan dengan order Inceptisol mempunyai kategori subgroup tanah yang homogen yaitu Aeric Endoaquepts. Dengan komposisi pedon seperti diperjelas pada Gambar 19 maka pedon Typic Endoaquents yang dijumpai pada daerah ini belum dapat dianggap sebagai tanah inklusi pada landform tersebut karena berdasarkan prinsip SPT jumlah pengamatannya masih belum memenuhi syarat untuk menentukan jenis SPT Grup Landform Tektonik dan Strultural (T) Landform tektonik dan struktural adalah landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan, dan atau patahan. Umumnya landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural) (Marsoedi et al., 1997). Terdapat 15 landform yang termasuk dalam grup landform utama tektonik dan struktural (Tabel 4). Unit landform tektonik dan struktural yang memiliki pedon pewakil terbanyak adalah landform T.12.1 dengan pedon sebanyak 42 pedon. Atas dasar tersebut, landform T.12.1 dijadikan sebagai contoh studi kasus

75 61 gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform tektonik dan struktural. Landform T.12.1 adalah landform perbukitan tektonik. Perbukitan tektonik adalah landform dengan relief perbukitan (lereng dominan >15% dan perbedaan tinggi >300m) terbentuk karena proses tektonik, tetapi tidak atau sedikit menunjukkan adanya indikasi struktural dan mempunyai variasi perbedaan intensitas relief, kecuraman lereng, bentuk lereng, pola puncak, kerapatan dan pola drainase serta pola diseksinya. Pembentukan landform ini dipengaruhi oleh tipe batuan (litologi) dan struktur tektonik dalam kaitannya dengan proses pelapukan dan erosi (Marsoedi et al., 1997). Tabel 21 menunjukkan sebaran landform T.12.1 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai di beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Karawang (Jabar), Gresik (Jatim), Pangkalan Bun (Kalteng) dan Besikama, Bena, serta Oesao (NTT). Landform T.12.1 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH 2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 8 jenis bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Bahan induk yang dijumpai adalah bahan induk batu gamping tersier (ct), batu liat berkapur tersier (fkt), batu liat dan batu pasir berkapur (fqt), batu liat tersier (ft), batu kapur tersier (kt), batu pasir berkapur tersier (qkt), dan batu pasir tersier (qt). Ketebalan solum pada tanah yang berbahan induk ct <100 cm, fkt bervariasi ( cm), fqt <40 cm, ft <70 cm, kt bervariasi ( cm), qkt <50 cm, dan qt bervariasi (14-90 cm). Tanah-tanah yang berbahan induk ct dan fkt memiliki kandungan liat horison B yang lebih tinggi daripada horison A, sedangkan tanah-tanah dengan bahan induk fqt, ft, kt, qkt, dan qt memiliki kandungan liat yang bervariasi. Derajat kemasaman (ph) tanah pada tanah-tanah berbahan induk ct, fkt, & ft berada pada kisaran agak masam-alkalis, tanah-tanah berbahan induk fqt sangat masam, kt netral-alkalis, qkt alkalis, dan qt berada pada kisaran sangat masam sampai agak masam. Kandungan C-organik yang tedapat pada tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini berada pada kisaran < 3%. Tanah-tanah dengan bahan induk fqt merupakan tanah-tanah yang mempunyai nilai KTK yang paling rendah dibandingkan dengan tanah-tanah yang berbahan induk lain pada landform ini.

76 62 Tabel 21. Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Jabar AY 011 A ct Lithic Hapludolls h ,00 51,00 1,02 6,10 6,20 2,70 1,75 57,21 55,63 110,02 109,08 95,00 97,00 Jabar HS 250 A ct Lithic Hapludolls h ,00 91,50 0,93 7,40 7,40 3,16 2,37 47,44 48,24 55,81 52,70 111,00 109,00 Jabar SY 180 A ct Lithic Hapludolls h ,00 97,00 0,98 6,10 6,15 3,12 2,32 69,51 66,01 73,17 68,05 102,00 102,00 Gresik AR 112 C ct Calcic Hasplusterts u ,00 75,75 0,94 7,20 7,88 1,52 0,31 37,21 30,84 52,41 40,69 90,00 209,25 Besi AK 090 C ct Lithic Rodustalfs u ,00 54,00 0,52 7,20 7,70 3,89 2,25 46,88 40,23 167,43 74,50 122,00 135,00 Besi CB 111 C ct Typic Haplusterts r ,00 66,50 1,07 8,10 8,25 2,36 1,06 41,62 35,69 58,62 53,50 159,00 184,50 Oesao TB 202 C ct Vertic Haplustepts c ,20 14,42 0,64 8,10 8,16 2,29 0,41 32,36 31,57 351,74 595,37 100,00 100,00 Jabar WG 134 A fkt Typic Eutrudepts h ,50 92,50 0,96 6,65 7,78 1,30 0,49 49,72 40,72 56,19 44,06 101,50 159,50 Jabar WG 169 A fkt Typic Eutrudepts h ,00 94,75 0,96 6,40 6,83 2,44 1,14 66,97 65,98 73,59 69,63 105,00 120,25 Oesao AK 120 C fkt Lithic Haplustepts c ,50 30,50 3,20 6,80 6,80 2,80 1,09 38,09 32,06 39,07 105,11 86,14 86,06 Oesao BP 153 C fkt Lithic Haplustolls m ,30 52,30 0,94 7,90 8,25 2,88 0,98 31,85 22,91 64,60 43,89 100,00 100,00 Oesao BP 101 C fkt Lithic Usthortents h ,40 7,70 3,82 63,05 83,62 100,00 Oesao AK 185 C fkt Typic Argiustolls c ,60 65,15 0,30 7,40 7,45 2,27 0,99 43,74 42,29 223,16 61,65 100,00 96,53 Oesao AK 203 C fkt Typic Argiustolls c ,20 41,85 0,43 7,90 7,95 5,10 1,79 35,06 23,66 192,64 56,52 100,00 100,00 Oesao UY 111 C fkt Typic Haplustepts c ,20 96,95 0,91 7,80 7,95 1,75 1,15 38,18 34,85 43,29 35,93 100,00 100,00 Oesao SM 004 C fkt Typic Ustorthents c ,00 7,70 1,32 16,55 47,29 100,00 Oesao AK 175 C fkt Vertic Haplustepts c ,90 57,75 1,26 7,70 8,48 1,23 0,47 51,87 34,50 71,15 60,16 100,00 100,00 Oesao AK 195 C fkt Vertic Haplustepts c ,00 76,58 1,01 8,00 8,58 1,22 0,35 29,23 28,63 37,96 37,46 100,00 100,00 Oesao BP 222 C fkt Vertic Haplustolls h ,30 76,90 0,90 6,50 7,08 2,23 1,02 38,56 39,62 55,64 51,56 83,92 92,23 P.bun KK 086 A fqt Lithic Hapludults h ,00 33,00 0,82 4,00 4,40 2,48 0,95 13,91 10,30 51,52 31,21 6,00 5,00 P.bun AI 152 A fqt Typic Udorthents u ,00 4,60 2,59 3,06 51,00 35,00

77 63 Lanjutan Tabel 21 Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Besi UY 060 C ft Lithic Ustorthents c ,00 7,80 2,50 27,48 78,51 190,00 Oesao BP 111 C ft Typic Haplustalfs c ,20 11,83 1,28 6,50 6,70 0,52 0,30 23,59 17,43 155,20 147,68 94,02 100,00 Oesao UY 152 C ft Typic Haplustepts m ,90 56,10 0,75 6,50 6,70 3,28 1,30 39,82 41,48 95,04 73,94 90,46 100,00 Besi YS 118 C kt Lithic Haplustepts c ,00 30,00 0,93 7,40 7,70 4,73 1,76 30,27 20,81 108,11 69,37 127,00 159,00 Besi AK 030 C kt Typic Haplustepts r ,00 64,50 0,39 8,10 7,95 0,70 1,43 20,27 32,53 81,08 50,50 266,00 175,00 Besi US 097 C kt Typic Haplustepts c ,00 63,67 1,07 8,20 8,33 1,15 0,73 31,37 33,35 46,13 53,07 155,00 186,67 Besi UY 078 C kt Typic Haplustepts r ,00 54,00 1,26 7,80 8,05 1,93 0,88 39,39 26,99 57,93 49,98 146,00 201,50 Bena UY 227 C kt Typic Haplustepts r ,00 44,50 0,97 7,90 8,15 1,74 0,64 20,10 13,89 46,74 31,17 252,00 373,50 Besi YS 011 C kt Typic Haplustepts h ,00 70,50 1,18 7,80 8,05 2,68 1,17 53,21 39,19 64,11 54,60 137,00 189,50 Oesao SM 012 C kt Typic Haplustepts c ,00 36,00 1,53 7,80 7,95 2,49 0,68 37,18 22,04 67,60 61,27 100,00 100,00 Bena YS 279 C kt Typic Haplustolls u ,00 52,60 1,52 7,90 8,18 2,61 0,74 45,11 15,07 56,39 31,96 153,00 462,80 Oesao UY 125 C kt Typic Haplustolls h ,50 62,37 1,08 7,90 7,73 1,19 1,83 32,88 37,89 48,71 59,05 100,00 99,72 Besi AK 036 C kt Vertic Haplustepts r ,00 53,50 0,86 6,90 8,00 2,20 0,90 24,43 21,51 53,11 39,59 90,00 157,50 Bena CB 256 C kt Vertic Haplustepts n ,00 72,50 0,97 7,90 8,00 1,75 0,77 35,73 33,59 51,04 46,47 185,00 196,25 Besi UY 051 C kt Vertic Haplustepts r ,00 70,00 1,31 8,00 8,00 1,46 0,68 36,90 34,02 40,11 48,98 188,00 201,00 Bena UY 223 C qkt Lithic Haplustolls u ,50 34,00 1,28 7,90 7,70 3,05 1,51 25,95 15,24 59,65 44,82 199,00 331,00 Besi AK 047 C qkt Typic Haplustolls c ,00 70,00 0,96 7,00 7,40 3,72 2,10 54,65 53,69 81,57 76,70 92,00 100,00 Bena YS 232 C qkt Typic Ustorthents c ,00 7,90 2,54 15,55 77,75 352,00 P.bun TB 127 A qt Typic Hapluhumults r ,00 32,00 1,53 4,00 4,40 1,80 0,76 12,22 9,11 24,94 28,47 8,00 7,00 Oesao AK 138 C qt Lithic Usthortents m ,30 6,60 1,44 36,18 178,23 100,00 Oesao BP 140 C qt Typic Ustipsamments m ,80 6,90 1,38 11,79 74,62 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

78 64 Sedangkan dari nilai KB, hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini tergolong tinggi. Seluruh landform T.12.1 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief yang sangat beragam. Landform T.12.1 yang dijumpai berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl). Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 21, masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, akan tetapi keberagaman juga terjadi pada tingkat order pada Landform T Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama (Tabel 22). Setelah dikelompokan, diketahui pada landform T.12.1 masih dapat dijumpai klasifikasi tanah yang sangat beragam. Tabel 22. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform T BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup ct A Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls C Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Vertisol Ustert Haplustert Calcic Haplusterts Typic Haplusterts Alfisol Ustalf Haplustalf Lithic Rodustalfs fkt A Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts C Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Argiustoll Typic Argiustolls Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Typic Ustorthents fqt A Entisol Orthent Udorthent Typic Udorthents Ultisol Udult Hapludult Lithic Hapludults ft C Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Alfisol Ustalf Haplustalf Typic Haplustalfs Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts kt C Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls qkt C Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents qt A Ultisol Humult Haplohumult Typic Haplohumults C Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents Psamment Ustipsamment Typic Ustipsamments Gambar 18 memperlihatkan sebaran landform T.12.1 di daerah Karawang yang beriklim tipe A. Pedon tanah pewakil yang dijumpai pada landform ini sebarannya terpusat di bagian selatan (kotak merah) daerah lokasi survei (Gambar 19).

79 65 Gambar 18. Sebaran landform T daerah Karawang Jabar (Kotak Merah) Gambar 19. Sebaran pedon tanah pada landform T.12.1 Karawang Jabar

80 66 Tabel 23. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan Pedon BI+Umur Order Subgrup Kode AY 011 ct Mollisol Lithic Hapludolls * HS 250 ct Mollisol Lithic Hapludolls * SY 180 ct Mollisol Lithic Hapludolls ** WG 134 kt Inceptisol Typic Eutrudepts * WG 169 kt Inceptisol Typic Eutrudepts * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 23 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di bagian selatan Karawang sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Pedon AY 011, HS 250, dan SY 180 terletak pada poligon yang sama dengan bahan induk batu gamping tersier (ct). Ketiga pedon tersebut memiliki klasifikasi tanah yang sama yaitu Lithic Hapludolls. Selain ketiga pedon tersebut, terdapat 2 pedon dengan bahan induk batu kapur tersier dengan klasifikasi Typic Eutrudepts. Dengan demikian pedon yang dijumpai pada daerah ini sangat tergantung dari jenis bahan induknya. Selain di daerah Karawang, sebaran landform T.12.1 dengan pedon yang banyak dijumpai berada di daerah Oesao (Gambar 20). Gambar 20. Sebaran landform T daerah Oesao NTT

81 67 Tabel 24. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T Oesao NTT Pedon BI+Umur Order Subgrup Kode BP 101 fkt Entisol Lithic Usthortents *** AK 175 fkt Inceptisol Vertic Haplustepts * AK 120 fkt Inceptisol Lithic Haplustepts *** UY 111 fkt Inceptisol Typic Haplustepts ** AK 195 fkt Inceptisol Vertic Haplustepts * BP 222 fkt Molisoll Vertic Haplustolls * BP 153 fkt Molisoll Lithic Haplustolls * AK 185 fkt Molisoll Typic Argiustolls * AK 203 fkt Molisoll Typic Argiustolls * AK 138 qt Entisol Lithic Usthortents * BP 140 qt Entisol Typic Ustipsamments * BP 111 ft Alfisol Typic Haplustalfs *** UY 152 ft Inceptisol Typic Haplustepts ** UY 125 kt Molisoll Typic Haplustolls ** SM 004 kt Entisol Typic Usthorthents **** SM 012 kt Inceptisol Typic Haplustepts ***** TB 202 ct Inceptisol Vertic Haplustepts * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 24 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Oesao sangat beragam. Posisi beberapa pedon yang dijumpai berada pada satu poligon dan ada pula berada pada poligon yang berbeda. Setelah dikelompokan berdasarkan bahan induk yang homogen, klasifikasi tanah yang dijumpai pada daerah ini masih tetap beragam. Namun pengaruh iklim sangat berpengaruh pada klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai, ditanadai dengan munculnya regim kelembaban ustik pada unsur pembentuk klasifikasi subgroup dan greatgroup. Banyak pedon tanah pewakil yang berada dalam satu poligon yang berasal dari bahan induk yang berbeda. Sebagai contoh, terdapat 2 pedon yang letaknya berada satu poligon yaitu pedon UY 152 dan UY 125 yang letak kedua pedon tersebut berjarak cukup dekat, akan tetapi memiliki klasifikasi yang berbeda, pedon UY 152 termasuk ke dalam order Inceptisol sedangkan Pedon 125 termasuk ke dalam order Mollisol. Perbedaan tersebut terjadi karena bahan induk yang terdapat pada kedua pedon tersebut berbeda pedon UY 152 berbahan induk batu liat tersier (ft) sedangkan pedon UY 125 berbahan induk batu kapur tersier (kt) (poligon sebelah kanan). Dari hasil yang telah diuraikan dapat diketahui bahwa landform T.12.1 merupakan satuan landform yang paling banyak memiliki keragaman bahan induk yang terdapat dalam satu delineasi (poligon yang sama) dengan tingkat keragaman klasifikasi tanah yang dijumpai sangat tinggi. Sehingga delineasi landform ke

82 68 dalam landform T.12.1 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat pada landform T.12.1 tersebut Grup Landform Volkanik (V) Aktivitas volkan menurut Bloom (1979) didefinisikan sebagai hasil dari erupsi letusan gunung berapi, cikal bakal terjadi proses perkembangan dan struktur dari landform volkanik. Beberapa buku menerangkan bahwa gunung api sebagai celah dimana material panas perut bumi keluar menuju dasar permukaan bumi. Secara umum, aktivitas erupsi merupakan karakteristik dari gunung berapi, di mana gas panas, cairan, batuan cair, dan fragmen-fragment hancuran batuan keluar dari celah permukaan bumi yang terbuka. Landform volkanik menurut definisi Marsoedi et al. (1997) adalah landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Terdapat 11 landform yang termasuk dalam landform volkanik (Tabel 4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada unit landform volkanik ini adalah landform V.3.3 dengan jumlah sebanyak 40 pedon. Atas dasar tersebut, landform V.3.3 dijadikan sebagai contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform volkanik. Landform V.33 merupakan landform pegunungan volkanik tua. Landform pegunungan volkanik tua berupa wilayah dari bahan volkanik yang telah mengalami proses lebih lanjut antara lain: erosi, denudasi, angkatan, lipatan, dan patahan, sehingga asal-usulnya dari pusat erupsi tidak jelas lagi, umumnya termasuk volkan tua. Landform ini memiliki lereng >15% dan perbedaan tinggi lebih dari 300m (Marsoedi et al., 1997). Tabel 25 menunjukkan sebaran landform V.3.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai hanya pada satu lokasi survei LREPP II, yaitu daerah Pacitan (Jatim). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH 2000 mm/th) dan tipe B (CH mm/th), dengan empat

83 69 Tabel 25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B pacitan CD 239 A at Lithic Hapludolls m ,00 25,50 1,02 5,30 6,05 0,73 0,54 29,31 27,22 112,73 106,96 85,00 85,50 pacitan AR 254 A at Typic Hapludolls m ,00 50,33 0,48 5,80 5,73 0,31 1,17 14,21 16,54 59,21 33,18 77,00 50,67 pacitan CD 282 A at Typic Hapludolls h ,00 37,00 0,95 5,00 5,03 2,01 1,68 21,60 23,49 61,71 63,77 76,00 59,25 pacitan AR 253 A at Typic Haplustepts m ,00 58,33 1,10 5,60 5,97 0,34 0,32 36,09 41,09 56,39 70,79 62,00 68,00 pacitan AR 240 A at Ustic Dystrudepts c ,00 76,33 0,97 5,50 5,53 0,78 0,53 28,46 24,69 38,46 32,44 29,00 43,67 pacitan CD 276 A at Ustic Dystrudepts r ,00 72,50 0,92 5,30 5,63 1,63 0,65 28,46 27,51 42,48 38,15 27,00 24,25 pacitan CD 283 A at Ustic Dystrudepts h ,00 60,50 0,93 5,60 5,60 1,49 0,46 21,63 23,01 38,63 38,05 51,00 54,00 pacitan CD 312 B at Lithic Haplustepts m ,00 28,00 0,93 5,90 5,60 0,54 0,76 14,24 14,00 54,77 50,00 109,00 99,00 pacitan AR 259 B at Oxiaquic Haplustalfs m ,00 40,33 0,77 5,00 5,97 0,78 0,54 17,09 18,45 55,13 46,06 80,00 92,67 pacitan WS 198 B at Oxiaquic Haplustepts m ,00 41,50 0,99 4,70 5,70 0,77 0,60 14,38 13,29 35,07 32,02 59,00 86,50 pacitan AR 201 B at Oxic Haplustepts m ,00 57,00 0,88 5,40 5,67 0,97 0,65 11,44 11,12 22,88 19,49 96,00 92,67 pacitan AR 248 B at Typic Argiustolls h ,00 52,00 0,83 5,40 5,50 1,17 2,61 16,65 22,13 38,72 42,84 66,00 44,00 pacitan AR 202 B at Typic Haplustepts m ,00 39,00 1,03 6,10 6,20 0,68 0,64 18,82 20,85 47,05 53,46 103,00 103,00 pacitan AR 203 B at Typic Haplustepts m ,00 29,00 0,83 6,00 6,20 0,86 0,76 21,83 21,70 90,96 75,23 102,00 100,67 pacitan AR 217 B at Typic Haplustepts m ,00 29,67 0,94 5,40 5,87 0,67 0,46 17,59 17,17 62,82 58,19 98,00 104,00 pacitan AR 219 B at Typic Haplustepts c ,00 62,00 0,90 5,70 5,65 0,59 0,60 22,83 24,99 40,77 41,03 74,00 65,50 pacitan AR 220 B at Typic Haplustepts c ,00 49,00 1,12 4,80 5,10 1,27 0,97 17,78 15,91 32,33 32,47 61,00 66,00 pacitan AR 231 B at Typic Haplustepts m ,00 48,75 1,09 5,50 5,83 1,01 0,41 14,95 16,30 28,21 33,88 57,00 69,25 pacitan AR 243 B at Typic Haplustepts c ,00 52,00 0,98 5,30 5,80 0,56 0,38 30,75 30,53 60,29 58,77 62,00 63,67 pacitan AR 247 B at Typic Haplustepts m ,00 44,33 1,04 5,00 5,70 0,85 0,29 14,32 12,09 31,13 27,47 63,00 64,00

84 70 Lanjutan Tabel 25 Data Site Tebal avr clay Avr ph Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B pacitan CD 274 B at Typic Haplustepts m ,00 50,75 1,06 5,40 5,65 0,81 0,35 14,00 12,07 25,93 23,79 46,00 62,50 pacitan CD 298 B at Typic Haplustepts c ,00 46,67 0,96 5,40 5,53 1,66 0,84 13,88 14,23 30,84 30,56 55,00 64,00 pacitan CD 304 B at Typic Haplustepts m ,00 51,67 0,99 5,40 5,80 1,91 1,04 35,22 34,38 69,06 66,75 79,00 72,67 pacitan HI 167 B at Typic Haplustepts m ,00 42,00 0,93 6,00 6,07 0,68 0,48 24,76 25,20 63,49 60,09 81,00 80,67 pacitan HR 176 B at Typic Haplustepts m ,00 61,00 0,85 6,00 5,25 0,91 0,44 17,24 17,01 33,15 27,92 74,00 49,25 pacitan HR 184 B at Typic Haplustepts m ,00 26,33 0,99 5,60 6,63 0,70 0,22 23,61 35,08 90,81 152,31 62,00 83,67 pacitan MK 082 B at Typic Haplustepts m ,00 23,00 1,09 6,00 5,90 0,46 0,18 12,27 14,44 49,08 64,34 70,00 74,00 pacitan MK 094 B at Typic Haplustepts m ,00 38,00 1,03 5,60 5,50 0,65 0,34 32,78 33,82 84,05 89,00 85,00 80,00 pacitan MK 114 B at Typic Haplustepts m ,00 40,00 1,00 6,10 6,00 0,70 0,68 27,78 25,91 69,45 64,78 91,00 93,00 pacitan MK 117 B at Typic Haplustepts m ,00 39,00 0,74 5,50 5,60 0,46 0,31 20,24 18,35 69,79 47,05 83,00 73,00 pacitan MK 118 B at Typic Haplustepts m ,00 40,67 0,86 5,80 6,27 0,51 0,31 15,61 15,55 44,60 38,23 83,00 83,67 pacitan TB 222 B at Typic Haplustepts m ,00 35,00 1,03 5,10 5,50 1,25 0,66 14,03 10,92 38,97 31,20 39,00 66,00 pacitan AR 270 B at Ultic Haplustalfs m ,00 28,00 0,71 5,50 5,20 1,26 0,74 10,01 10,83 50,05 38,68 70,00 63,50 pacitan CD 258 B at Ultic Haplustalfs m ,00 64,50 0,87 5,70 5,75 0,75 0,51 15,55 16,98 27,77 26,34 70,50 68,50 pacitan CD 261 B at Ultic Haplustalfs m ,00 52,67 0,91 6,20 6,33 1,44 0,40 13,46 12,14 28,04 23,24 72,00 74,00 pacitan HR 195 B at Ultic Haplustalfs m ,00 69,75 0,72 5,20 5,58 1,68 0,68 19,28 23,31 38,56 33,52 43,00 43,75 pacitan MS 250 B at Ultic Haplustalfs m ,00 47,33 0,74 6,30 6,03 0,76 0,34 17,40 26,73 49,71 63,20 108,00 80,33 pacitan AR 244 A dt Typic Eutrudepts c ,00 84,25 0,89 5,20 5,45 1,14 0,41 23,35 30,62 31,13 36,56 35,00 32,00 pacitan AR 221 B gt Typic Haplustepts m ,00 23,00 1,09 5,70 6,20 0,70 0,41 53,48 50,05 213,92 217,61 91,00 97,00 pacitan CD 244 B qt Typic Haplustepts m ,00 10,00 0,90 5,20 5,35 0,83 0,60 14,76 14,71 164,00 151,50 107,00 95,50 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B

85 71 jenis bahan induk penyusun tanah yang dijumpai, bahan induk tersebut adalah bahan induk andesit tersier (at), dasit tersier (dt), dan granit tersier (gt). Bentuk relief yang terdapat pada landform V.3.3 di daerah Pacitan sangat beragam. Secara umum landform V.3.3 yang dijumpai pada lokasi tersebut berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Ketebalan solum dari tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini sangat bervariasi dari yang dangkal sampai sangat dalam. Tanah-tanah yang dijumpai memiliki kadar liat pada horison B lebih tinggi daripada horison A, dan kandungan C-organiknya yang berkisar dibawah 2 %. Karakteristik ph yang dijumpai relatif merata dan tergolong pada kisaran ph agak masam. Nilai KTK yang dijumpai cukup bervariasi mulai dari KTK rendah sampai tinggi sedang pada nilai KB relatif tinggi. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama (Tabel 26). Tabel 26. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform V.3.3 BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup at A Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls Typic Hapludolls Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Udept Dystrudept Ustic Dystrudepts B Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Oxiaquic Haplustepts Oxic Haplustepts Typic Haplustepts Alfisol Ustalf Haplustalf Oxiaquic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Mollisol Ustoll Argiustoll Typic Argiustolls dt A Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts gt B Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa pedon pewakil yang sudah dianggap homogen faktor pembentuknya menunjukkan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai masih beragam. Keberagaman klasifikasi tanah masih terjadi walaupun berada pada daerah yang sama. Selain itu, pada landform ini tidak dijumpai tanah dengan order Andisol, hal ini terjadi karena landform ini merupakan landform volkanik tua dan kondisi ketinggiannya hampir semua pengamatan pedon pewakil berada di bawah 700 m dpl.

86 72 Gambar 21. Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan Jatim Gambar 21 memperlihatkan sebaran landform V.3.3 di daerah Pacitan. Pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian utara daerah lokasi survei. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Letak pedon yang dijumpai di daerah tersebut berada dalam satu poligon. Tabel 27 menunjukkan bahwa bahan induk tanah yang terdapat dalam delineasi landform V.3.3 daerah Pacitan utara didominasi oleh bahan induk andesit tersier (at). Namun demikian, walaupun telah dipisahkan berdasarkan bahan induk yang sama, masih tetap terjadi perbedaan klasifikasi tanah. Pada bahan induk andesit tersier yang mendominasi hampir seluruh pedon yang terdapat di daerah ini, perbedaan klasifikasi tanah pada tingkat order masih dapat dijumpai. Terdapat tiga order tanah dengan bahan induk andesit tersier (at) tersebut, yaitu Inceptisol, Mollisol, dan Alfisol. Dari ketiga order tersebut order Inceptisol merupakan order yang paling banyak mendominasi pada di daerah tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Tanah Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu: s = f (cl, o, p) t 0 Di mana s = tanah, cl

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Garis Besar Proses Geomorfik (Wiradisastra, Tjahjono, Gandasasmita, Barus, dan Munibah, 2002).

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Garis Besar Proses Geomorfik (Wiradisastra, Tjahjono, Gandasasmita, Barus, dan Munibah, 2002). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Geomorfik Pengertian geomorfologi menurut beberapa ahli, yaitu : geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang evolusi bentuk lahan (landform) dan bentang lahan (landscape)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KEEMPAT

TUGAS TERSTRUKTUR SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KEEMPAT TUGAS TERSTRUKTUR SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KEEMPAT Disusun oleh : Kelas A Rommy Parcelino Prabowo (135 040 200 111 111) PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci

M. LUTHFI RAYES JURUSAN TANAH UB. Kompetensi

M. LUTHFI RAYES JURUSAN TANAH UB. Kompetensi KULIAH KEEMPAT EMPAT Survei Tanah da Evaluasi Laha AGT 0821 METODE SURVEI TANAH Kompetensi 1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan metode survei tanah 2. Mahasiswa mampu menentukan metode survei mana

Lebih terperinci

TUGAS SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5

TUGAS SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5 TUGAS SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5 (Oleh: Nurul Solikah/Agroeokoteknologi/115040201111270) Metode Survei Tanah Metode survei tanah menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sintetik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Tanah Keragaman tanah merupakan keragaman ruang (spasial) dan keragaman waktu (temporal). Keragaman ruang (spasial) terbentuk dari keragaman yang terjadi secara lateral

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

Kesimpulan Hasil Survei Tanah

Kesimpulan Hasil Survei Tanah Kesimpulan Hasil Survei Tanah 1. Pola Penyebaran Tanah di Daerah Survei Survei tanah merupakan suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan, dengan adanya survey tanah maka system penggunaan llahan di suatu

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

Pemetaan Tanah.

Pemetaan Tanah. Pemetaan Tanah nasih@ugm.ac.id Peta Geologi dan Fisiografi Daerah Istimewa Yogyakarta Peta : alat pemberita visual suatu wilayah Peta ilmu bumi (geografi) Peta topografi Peta geologi dan sebagainya Peta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal penggunaan dan pengelolaan suatu lahan, maka hal pokok yang perlu diperhatikan adalah tersedianya informasi faktor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR MINGGU KE-5 SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN

TUGAS TERSTRUKTUR MINGGU KE-5 SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN TUGAS TERSTRUKTUR MINGGU KE-5 SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN Disusun Oleh : 1. HENI MELSANDI 115040213111029 2. GHASANI ANGGIAH 115040200111082 3. IKA RIANA HIOLA 115040201111072 4. HESTY M. 115040201111066

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

TUGAS STELA MINGGU KE-5

TUGAS STELA MINGGU KE-5 Kelas A / Agroekoteknologi Anisa Mufida 135040200111030 Anifatuz Z. 135040200111034 Nita Dia Permatasari 135040201111037 Dyas Dyasmita Putri 135040200111094 TUGAS STELA MINGGU KE-5 1. Metode survei tanah

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

M.Luthfi Rayes/Sudarto Laboratorium Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah, Fak. Pertanian Universitas Brawijaya, Malang,

M.Luthfi Rayes/Sudarto Laboratorium Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah, Fak. Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Survei Tanah dan Evaluasi Lahan M.Luthfi Rayes/Sudarto Laboratorium Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah, Fak. Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Bab 6. Kesimpulan Hasil Survei

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014). I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah dan Lahan Tanah merupakan sebuah bahan yang berada di permukaan bumi yang terbentuk melalui hasil interaksi anatara 5 faktor yaitu iklim, organisme/ vegetasi, bahan induk,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE 5

TUGAS KELOMPOK SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE 5 TUGAS KELOMPOK SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE 5 KELOMPOK 8: Wiranata Abdi Sukmana 115040201111241 Yanuar Eko Nur Sasmito 115040201111267 Wilbram Arno Tribekti 115040201111268 Yulinda Amilia

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

TUGAS STELA MINGGU 5. Nama : Agung Wicaksono NIM : Kelas : B (Agroekoteknologi)

TUGAS STELA MINGGU 5. Nama : Agung Wicaksono NIM : Kelas : B (Agroekoteknologi) TUGAS STELA MINGGU 5 Nama : Agung Wicaksono NIM : 115040200111083 Kelas : B (Agroekoteknologi) SOAL 1. Metode survei tanah menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sintetik dan analitik. Jelaskan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Daerah penelitian terletak pada 15 7 55.5 BT - 15 8 2.4 dan 5 17 1.6 LS - 5 17 27.6 LS. Secara administratif lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Desa

Lebih terperinci

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA 1. TAHAP PERSIAPAN 2. TAHAP SURVEI LAPANGAN a) PRA SURVEI b) SURVEI UTAMA 3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA 1 GARIS BESAR KEGIATAN SURVEI TANAH Peta Dasar Mosaik Foto Digitasi Peta Persiapan

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN BAHAN DISKUSI MINGGU KE-5 KELAS A AGROEKOTEKNOLOGI

TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN BAHAN DISKUSI MINGGU KE-5 KELAS A AGROEKOTEKNOLOGI TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN BAHAN DISKUSI MINGGU KE-5 KELAS A AGROEKOTEKNOLOGI Oleh: ZAIM DZOEL HAZMY 115040201111085 AYU SULISTYA K. 115040201111013 FRETA KIRANA B. 115040201111018 ANISA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN. E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia

KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN. E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH RAWA PASANG SURUT DI KARANG AGUNG ULU SUMATERA SELATAN E. DEWI YULIANA Fakultas MIPA, Universitas Hindu Indonesia ABSTRACT This study is aimed at identifyimg the characteristics

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor internal dari tanaman itu sendiri yaitu berupa hormon

Lebih terperinci

Klasifikasi Tanah USDA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Bayu Prasetiyo B-01

Klasifikasi Tanah USDA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Bayu Prasetiyo B-01 Klasifikasi Tanah USDA 1975 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang Bayu Prasetiyo 125 080 500 111 045 B-01 Klasifikasi Tanah USDA 1975 Dr. Ir. Abdul Madjid, MS Salah satu sistem

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tebal. Dalam Legend of Soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian

TINJAUAN PUSTAKA. tebal. Dalam Legend of Soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah kering sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal. Dalam Legend of Soil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah masam yang terbentuk dari bahan bahan induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Survei Tanah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

TUGAS MANDIRI MINGGU KETIGA SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN

TUGAS MANDIRI MINGGU KETIGA SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN Nama : Indah Sri Lestari NIM : 135040201111092 Kelas : M TUGAS MANDIRI MINGGU KETIGA SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN A. Resume materi. Tanah sebagai Obyek Survei Sifat tanah berubah dari waktu ke waktu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan demikian

Lebih terperinci

TUGAS DISKUSI SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5

TUGAS DISKUSI SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5 TUGAS DISKUSI SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN MINGGU KE-5 Disusun oleh: 1. Agus Riyani (135040200111002) 2. Tri Wulansari (135040200111003) 3. Choirummintin W (135040200111017) 4. Binti Miftakhun N (135040200111003)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

ole h ;;:"c,""",' " BOGOR BEBERAPA SIFAT TANAH ANDOSOl CISAAT, SUKABUMI 01 BAWAH NAUNGAN AGATHIS ( Agathis Ioranthifolia ) DAN NON AGATHIS

ole h ;;:c,,'  BOGOR BEBERAPA SIFAT TANAH ANDOSOl CISAAT, SUKABUMI 01 BAWAH NAUNGAN AGATHIS ( Agathis Ioranthifolia ) DAN NON AGATHIS BEBERAPA SIFAT TANAH ANDOSOl CISAAT, SUKABUMI 01 BAWAH NAUNGAN AGATHIS ( Agathis Ioranthifolia ) DAN NON AGATHIS SERTA KlASIFIKASINYA MENURUT SISTEM TAKSONOMI TANAH ole h MARGA YUWANA, P.JURUSAN TANAH

Lebih terperinci

JENIS TANAH KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER

JENIS TANAH KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER JENIS TANAH KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu Jurusan Tanah Program Studi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

ANGGOTA KELOMPOK 6: KELAS : F TUGAS STELA MO-1

ANGGOTA KELOMPOK 6: KELAS : F TUGAS STELA MO-1 ANGGOTA KELOMPOK 6: 1. EKI ANNISA PRATAMI 115040200111155 2. EKO RAHMAT SHOUMI 115040201111010 3. ELLY DARU IKA WILUJENG 115040201111294 4. ENDAH SETIYO RINI 115040207111038 KELAS : F TUGAS STELA MO-1

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah Data yang digunakan berasal dari 475 pedon yang tersebar di 8 lokasi, yaitu: Karawang (Jawa Barat), Semarang

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN SETELAH UTS

TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN SETELAH UTS 2018 TUGAS KULIAH SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN SETELAH UTS Sudarto, Aditya Nugraha Putra & Yosi Andika Laboratorium Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan (PSISDL) 9/4/2018 TUGAS SURVEI TANAH

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Proses Geomorfik Proses geomorfik secara bersamaan peranannya berupa iklim mengubah bahan induk dibawah pengaruh topografi dalam kurun waktu tertentu menghasilkan suatu lahan

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

Beberapa istilah dalam pertemuan minggu ketiga:

Beberapa istilah dalam pertemuan minggu ketiga: Nama : Aprilia Nur Anndhini NIM : 135040201111047 Kelas : A Tugas Stela Minggu Ke-3 Tahun 2015 1. Resume materi kuliah minggu ketiga: Pada pertemuan minggu ketiga mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu dokumentasi utama sebagai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium Sentraldan Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi

Seisme/ Gempa Bumi. Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Seisme/ Gempa Bumi Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang disebabkan kekuatan dari dalam bumi Berdasarkan peta diatas maka gempa bumi tektonik di Indonesia diakibatkan oleh pergeseran tiga lempeng besar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang dimanfaatkan bagian akarnya yang membentuk umbi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional, pengembangan pertanian di lahan kering mempunyai harapan besar untuk mewujudkan pertanian yang tangguh di Indonesia, mengingat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Material Vulkanik Merapi Abu vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan

Lebih terperinci

DASAR ILMU TANAH. Materi 04: Pembentukan Tanah

DASAR ILMU TANAH. Materi 04: Pembentukan Tanah DASAR ILMU TANAH Materi 04: Pembentukan Tanah Faktor Pembentuk Tanah Konsep Pembentukan Tanah model proses terbuka tanah merupakan sistem yang terbuka sewaktu-waktu tanah dapat menerima tambahan bahan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI TANAH INDONESIA

KLASIFIKASI TANAH INDONESIA Klasifikasi Tanah Indonesia KLASIFIKASI TANAH INDONESIA (Dudal dan Supraptoharjo 1957, 1961 dan Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor 1982) Sistem klasifikasi tanah yang dibuat oleh Pusat Penelitian Tanah

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei memiliki arti yang bermacam-macam. Survei menurut Oxford

TINJAUAN PUSTAKA. Survei memiliki arti yang bermacam-macam. Survei menurut Oxford TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei memiliki arti yang bermacam-macam. Survei menurut Oxford adalah peninjauan secara umum, melihat-lihat atau memikirkan tentang sesuatu; inspeksi kondisi

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Parangtritis, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY mulai

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Parangtritis, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY mulai IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian evaluasi kesesuaian lahan ini dilakukan di lahan pasir pantai Parangtritis, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V HSIL DN PEMHSN 5.1 Sebaran entuk Lahan erdasarkan pengamatan di lokasi penelitian dan pengkelasan lereng berdasarkan peta kontur, bentuk lahan di lokasi penelitian sangat bervariasi. entuk lahan diklasifikasikan

Lebih terperinci

TUJUAN PEMBELAJARAN : Survei Tanah dan Evaluasi Lahan

TUJUAN PEMBELAJARAN : Survei Tanah dan Evaluasi Lahan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan INTERPRETASI DATA SURVEI TANAH INTERPRETASI DATA TANAH TUJUAN PEMBELAJARAN : 1. Memahami tujuan, prinsip dan cara 2 Interpretasi Data Tanah 2. Mengenal dan bisa membedakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap yang dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung dan dibutuhkan pada perencanaan jalur hijau jalan ini. Berdasarkan

Lebih terperinci

Please download full document at Thanks

Please download full document at  Thanks SOAL 1. Sebutkan 5 pembentuk tanah! 2. Jelaskan pengaruh bahan induk terhadap tanah yang terbentuk! 3. Jelaskan pengaruh iklim terhadap tanah yang terbentuk! 4. Apa peranan organisme termasuk manusi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari tanah tidak terlepas dari pandangan, sentuhan dan perhatian kita. Kita melihatnya, menginjaknya, menggunakannya dan memperhatikannya. Kita

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah terdiri dari 12 desa dengan luas ± 161,64 km2 dengan kemiringan kurang dari 15% di setiap

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 01. Pendahuluan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Planet Bumi Jari-jari katulistiwa: 6.371 km Jari-jari kutub:

Lebih terperinci

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan M10 KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN Widianto, 2010 Klasifikasi Kemampuan Lahan TUJUAN PEMBELAJARAN : 1. Mampu menjelaskan arti kemampuan lahan dan klasifikasi kemampuan lahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci