KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 6

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi Hutan (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 6 Defri Yoza E

3 ABSTRAK DEFRI YOZA. Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan ANI MARDIASTUTI. Fragmentasi habitat pada taman hutan raya Sultan Syarif Hasyim (tahura SSH) menciptakan berbagai daerah tepi (edges) di sekelilingnya. Daerah tepi ini memiliki pola, tipe dan keanekaragaman hayati yang berbeda dengan habitat lainnya. Dalam penelitian ini dianalisis pola, tipe dan keanekaragaman hayati khususnya burung yang terdapat pada berbagai tipe edge dengan asumsi bahwa edge ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal kelimpahan dan keanekaragaman jenis dibanding dengan habitat sekitarnya. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung disurvei dengan menggunakan kombinasi metode titik contoh (point count) dan jalur. Perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung diuji dengan menggunakan uji t-student. Keanekaragaman jenis burung untuk tipe makanan insektivora dan karnivora sebagian besar jumlah jenisnya lebih tinggi di edge dibandingkan dengan di habitat hutan. Sedangkan untuk tipe makanan frugivora dan nektarivora sebagian besar jumlah jenisnya mengalami penurunan pada edge dibandingkan dengan habitat hutan. Respon beberapa spesies menunjukkan adanya spesies yang merupakan habitat generalist dan habitat specialist. Ada juga spesies yang berperan sebagai edge exploiter species dan edge avoider species. Pola edge yang terdapat di tahura SSH memiliki karakteristik yaitu (1) edge yang merupakan daerah tepi hutan, terdapat pada edge antara hutan dengan jalan dan hutan dengan hotel () edge yang merupakan daerah peralihan, terdapat pada edge antara hutan dengan semak belukar, belukar akasia, danau dan kebun. Tipe edge yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri atas (1) edge hutan dengan semak belukar, () edge hutan dengan belukar akasia, (3) edge hutan dengan danau, (4) edge hutan dengan kebun campuran, (5) edge hutan dengan kebun sawit (6) edge hutan dengan hotel dan (7) edge hutan dengan jalan. Berdasarkan tingkat kesamaan jenis burung dan tingkat keanekaragaman jenis burung terdapat perbedaan yang signifikan di antara tipe habitat dalam satu jalur pengamatan sehingga penempatan dan penentuan tipe habitat dan tipe edge dapat ditentukan dengan indikator jenis burung Burung dapat dijadikan indikator ekologi daerah tepi berdasarkan komposisi dan kelimpahan burung jenis-jenis tertentu. Di daerah tepi ditemukan jenis ruang terbuka dan jenis semi interior. Kata kunci : keanekaragaman, edge, tahura, burung

4 Hak cipta milik Defri Yoza, tahun 6 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

5 KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Bogor 6

6 Judul Tesis Nama NIM : Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau : Defri Yoza : E Disetujui : 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo MSc Ketua Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti MSc Anggota Diketahui. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dr.Ir. Dede Hermawan MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto MSc Tanggal Ujian : Maret 6 Tanggal Lulus :

7 Kupersembahkan untuk istri, anak dan keluarga besarku

8 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan hidayah dan rakhmat-nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan tema daerah tepi hutan (edge) dengan judul Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi Hutan (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. Tesis ini sangat penting artinya bagi penulis sendiri dan penulis berharap dapat memperkaya ilmu pengetahuan bidang biologi konservasi dan ekologi lanskap, memberikan informasi-informasi berharga dan bahan masukan bagi pembuat keputusan dalam mengelola hutan dan kawasan yang dilindungi. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo MSc dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.. Ibu Ir.Yeni A.Mulyani MSc, PhD selaku dosen penguji saat ujian tesis Keanekaragaman Jenis Burung ini diselenggarakan 3. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau yang telah memberikan akses dan data dalam pelaksanaan penelitian di Tahura Sultan Syarif Hasyim. 4. Pihak Pemda Riau yang telah memberikan bantuan dana penelitian dan beasiswa untuk studi S- di Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Pihak Pemko Pekanbaru yang telah memberikan bantuan dana penelitian 6. Pihak Pemkab Kampar yang telah memberikan bantuan dana penelitian 7. Pak Naryo yang membantu dalam pengumpulan data dan analisa vegetasi dan penentuan jenis-jenis tumbuhan. 8. Istriku Reni Trisnawaty dan anakku Hibrizi Refi Arrantisi atas dorongan dan pengertian serta kasih sayangnya

9 9. Mama, papa, ayah dan ibu atas segala doa dan kasih sayangnya serta semangat yang tak henti dalam mendorong penulis untuk tetap menyelesaikan studi ini. 1. Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Kehutanan Unilak yang telah membantu pengumpulan data 11. Adik-adik di Asrama Riau yang telah membantu dalam menyelesaikan segala rangkaian studi ini. Bogor, Maret 6 Defri Yoza

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 6 Mei 1976 dari ayah Nazaruddin B. dan ibu Rukiaty A. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun penulis menyelesaikan program sarjana (S1) dan tahun 1 mulai mengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning. Tahun penulis mendaftar pada Program Pascasarjana IPB dan diterima pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Tahun 4 penulis diterima menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Riau. Saat ini mengajar di Fakultas Pertanian UNRI, FMIPA UNRI dan Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning. Materi yang diajar mulai dari ekologi, perilaku satwa, konservasi sumberdaya alam hayati dan biologi konservasi.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 3 C. Hipotesa... 4 D. Tujuan Penelitian... 4 E. Manfaat Penelitian... 4 F. Kerangka Pemikiran... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi... 7 B. Fragmentasi Habitat... 8 C. Dampak Fragmentasi terhadap Spesies... 9 D. Keanekaragaman... 1 E. Keanekaragaman Jenis Burung F. Ekologi Lanskap... 1 G. Struktur Lanskap H. Efek Tepi (Edge effect) I. Komposisi Jenis Burung di Daerah Tepi (edge) J. Respon Spesies terhadap Edges (Daerah Tepi)... K. Taman Hutan Raya... 1 III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah... B. Lokasi dan Waktu Penelitian... C. Bahan dan Alat... D. Pengumpulan Data... 3 E. Orientasi Lapangan... 5 F. Analisis Data... 6 IV. KONDISI UMUM TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM A. Letak, Luas dan Batas... 3 x

12 B. Kondisi Fisik Dasar Daerah... 3 C. Iklim D. Kondisi Tanah... 3 E. Kondisi Hidrologi F. Flora dan Fauna G. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Penentuan Edge Kondisi Jalur Pengamatan Jumlah Individu dan Komposisi Jenis Vegetasi Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi dan Burung Indeks Keanekaragaman Jenis Burung Indeks Kemerataan Jenis Burung Uji Kesamaan Dua Komunitas Burung B. Pembahasan 1. Penentuan Edge Berdasarkan Tingkat Kesamaan dan T-hitung Pengaruh Penutupan Vegetasi terhadap Jumlah dan Komposisi Jenis Burung Pengaruh Ketersediaan Makanan terhadap Jumlah Jenis Burung Respon Jenis Burung di Tiap Jalur Pengamatan Edge sebagai Habitat Burung Tipe-Tipe Daerah Tepi (Edge) Burung sebagai Indikator Daerah Tepi (edge) VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA...11 LAMPIRAN xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Rata-Rata Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) Beberapa Stasiun Iklim Terdekat di Sekitar Tahura SSH INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan (TJ ) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Semak Belukar (SB) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Belukar Akasia (BA) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Danau (DN) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Campuran (KC) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Sawit (KS) INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur HR (HR) Indeks Keanekaragaman Jenis Burung pada Masing-Masing Jalur Pengamatan Indeks Kemerataan Jenis Burung pada Masing-Masing Jalur Pengamatan Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan (TJ ) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Danau (DN) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Rindu Sempadan (HR) Ordo, Famili dan Jumlah Jenis Burung pada Lokasi Penelitian Nama Lokal, Nama Ilmiah, Suku dan Jenis Diet Burung... 8 xii

14 .Jumlah Jenis dan Jumlah Individu di Jalur Pengamatan Komposisi Famili Burung Berdasarkan Jenis Makanan xiii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alur berpikir penelitian Patch-patch yang tersebar dalam matriks Patch yang terdiri dari edge dan core Hubungan spasial dari daerah perbatasan (boundary), garis batas (border) dan daerah tepi (edge) (Forman, 1995) Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 199) Jalur pengamatan burung dan peletakannya di lapangan Inventarisasi vegetasi metode jalur berpetak (Irawan dan Kusmana, 1995) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Semak Belukar (SB) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Belukar Akasia (BA) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Danau (DN) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Kebun Campuran (KC) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Kebun Sawit (KS) Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Hotel Rindu (HR) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan (TJ ) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Danau (DN) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Hotel (HR) xiv

16 3. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan (TJ ) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Semak Belukar (SB) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Belukar Akasia (BA) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Danau (DN) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Campuran (KC) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Sawit (KS) Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Hotel (HR) Perbandingan Jumlah Jenis Tiap Habitat Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Tiap Tipe Habitat Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan (TJ ) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Semak Belukar (SB) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Belukar Akasia (BA) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Danau (DN) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Campuran (KC) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Sawit (KS) Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Hotel (HR) xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kawasan Tahura Lokasi Pengamatan di Tahura SSH Jenis Burung yang Ditemukan di Lokasi Penelitian INP dan IS Tingkat Semai pada Tepi Jalan INP dan IS Tingkat Pancang pada Tepi Jalan INP dan IS Tingkat Tiang pada Tepi Jalan INP dan IS Tingkat Pohon pada Tepi Jalan INP dan IS Tingkat Semai pada Semak Belukar INP dan IS Tingkat Pancang pada Semak Belukar INP dan IS Tingkat Tiang pada Semak Belukar INP dan IS Tingkat Pohon pada Semak Belukar INP dan IS Tingkat Semai pada Belukar Akasia INP dan IS Tingkat Pancang pada Belukar Akasia INP dan IS Tingkat Tiang pada Belukar Akasia INP dan IS Tingkat Pohon pada Belukar Akasia INP dan IS Tingkat Semai pada Danau INP dan IS Tingkat Pancang pada Danau INP dan IS Tingkat Tiang pada Danau INP dan IS Tingkat Pohon pada Danau INP dan IS Tingkat Semai pada Kebun Campuran INP dan IS Tingkat Pancang pada Kebun Campuran INP dan IS Tingkat Tiang pada Kebun Campuran INP dan IS Tingkat Pohon pada Kebun Campuran INP dan IS Tingkat Semai pada Kebun Sawit INP dan IS Tingkat Pancang pada Kebun Sawit INP dan IS Tingkat Tiang pada Kebun Sawit INP dan IS Tingkat Pohon pada Kebun Sawit INP dan IS Tingkat Semai pada Hotel INP dan IS Tingkat Pancang pada Hotel INP dan IS Tingkat Tiang pada Hotel INP dan IS Tingkat Pohon pada Hotel Jenis Pohon di Tahura SSH xvi

18 33. Uji Kesamaan dengan t-student pada Komunitas Burung INP Burung di Tepi Jalan INP Burung di Tepi Jalan INP Burung di Semak Belukar INP Burung di Belukar Akasia INP Burung di Danau INP Burung di Kebun Campuran INP Burung di Kebun Sawit INP Burung di Hotel Rindu Sempadan xvii

19 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deforestasi dan fragmentasi kawasan lindung meningkat di seluruh wilayah Indonesia. Proses ini menyebabkan perubahan struktur lanskap dan berpengaruh terhadap populasi satwa. Indonesia memiliki kawasan lindung yang terdiri atas kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan kawasan lindung serta hutan lindung. Kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya sedangkan kawasan suaka alam mencakup cagar alam, suaka margasatwa dan taman buru (UU No.5 tahun 199). Berdasarkan data IUCN, 48% taman nasional dan kawasan yang dilindungi luasnya kurang dari 1 km, 5% kurang dari 1. km dan hanya % yang luasnya 1. km 1. km (IUCN 198 dalam Primack, 1993). Kawasan lindung memiliki karakteristik ekologi yang berbeda dari satu tapak dengan tapak yang lain. Fungsi dan tipe ekologi kawasan lindung dipengaruhi oleh keberadaan manusia yang berinteraksi dengan kawasan lindung tersebut. Keberadaan manusia menimbulkan efek positif dan negatif terhadap kawasan lindung. Tindakan manusia yang menimbulkan efek negatif pada kawasan lindung berupa pembalakan liar, perkebunan, okupasi dan pembuatan jalan. Pengaruh yang timbul akibat tindakan manusia menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Perubahan kondisi lanskap ini berpengaruh terhadap kelimpahan dan komposisi jenis satwa yang menggunakan lanskap tersebut sebagai habitatnya (Leopold, 1933 dalam Sisk & Margules, 1995). Perubahan lanskap terutama daerah tepi menyebabkan fluktuasi jumlah jenis dan komposisi jenis burung (Johnson & Williams, ). Fragmentasi habitat dan perubahan lanskap menyebabkan Indonesia masuk ke dalam negara-negara yang mempunyai jenis burung terancam punah terbesar di dunia, 4 jenis (3,8%) diantaranya termasuk dalam kategori Kritis, 16 jenis (15,4%) termasuk dalam kategori Genting, dan 84 jenis (8,8%) termasuk dalam kategori Rentan. Jika dilihat dari ancaman kategori tertinggi (Punah di alam, Kritis dan Genting) kedudukan Indonesia turun ke peringkat lima di bawah Brazil, Filipina, Kolombia dan Amerika Serikat. (Shannaz et al. 1995). Fragmentasi habitat pada kawasan lindung dapat memperluas daerah tepi (edge) dan mengurangi luas daerah inti (core). Daerah tepi memiliki keunikan dan ciri khas dibandingkan habitat utama. Daerah tepi juga sering disebut

20 daerah peralihan atau ekoton. Daerah tepi memiliki asosiasi vegetasi yang merupakan integrasi dari habitat yang berbeda. Sebagai contoh, daerah tepi antara hutan dengan kebun dan hutan dengan semak belukar. Daerah tepi menjadi salah satu alternatif pengelolaan habitat satwa liar. Terjadinya hubungan antara satwa dengan ekosistem daerah tepi menjadikan dan menciptakan relung ekologi tersendiri. Penggunaan daerah tepi oleh satwa terlihat dari jenis satwa burung dan serangga. Disamping cepat merespon perubahan, burung dapat beradaptasi terhadap penggunaan habitat dalam waktu yang relatif singkat. Ada jenis-jenis satwa liar khususnya burung yang menyukai daerah tepi (edge exploiter species) dan menghindari daerah tepi (edge avoider species) (Sisk & Margules, 1995) Daerah tepi banyak ditemukan di kawasan lindung daerah Riau yakni Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH). Daerah tepi yang tercipta merupakan peralihan antara jalan dengan hutan, kebun masyarakat dengan hutan, belukar dengan hutan dan akasia dengan hutan, sehingga kawasan lindung ini menjadi penting dari sisi ekologi. Lanskap dengan proporsi habitat asli yang rendah merupakan efek dari fragmentasi habitat dan kehilangan habitat. Pengurangan terhadap ukuran habitat tersisa (remnant) menyebabkan terpecah dan berubahnya matrik dan meningkatnya proporsi habitat yang dekat dengan perbatasan (Wiens, 1994 dalam Mortberg, 1). Disamping itu juga kawasan lindung Tahura SSH perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat lokasi kawasan ini secara geografis terletak di 3 kabupaten/kota yakni Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak. Menurut Dishut Riau (3), Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) sebagai salah satu kawasan yang dilindungi di daerah Riau pada umumnya dan Pekanbaru pada khususnya memiliki beberapa fungsi antara lain : Sebagai kawasan yang dapat dimanfaatkan potensi alamnya, baik yang alami maupun yang tidak alami, jenis asli ataupun bukan asli untuk koleksi tumbuhan dan satwa, untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan, serta wisata alam, khususnya bagi masyarakat Riau dan sekitarnya serta masyarakat luas dan wisatawan mancanegara umumnya. Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan (melestarikan fungsi ekologi dan hidrologi, ekonomi dan sosial budaya hutan). Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta keunikan alam yang diharapkan menjadi kebanggaan Provinsi Riau

21 3 B. Perumusan Masalah Daerah hutan yang terfragmentasi terdapat hampir di seluruh kawasan hutan baik kawasan budidaya hutan maupun hutan alam. Hutan terfragmentasi terjadi diakibatkan oleh adanya gangguan dari luar baik yang alami maupun buatan. Gangguan manusia sebagai salah satu contoh yang mengubah hutan menjadi kebun atau kawasan budidaya lainnya telah menciptakan fragmentasi dan keterputusan antara dua buah hutan yang pada mulanya merupakan satu kesatuan ekosistem. Peran, karakteristik dan fungsi hutan setelah terjadinya fragmentasi masih sedikit sekali menarik perhatian untuk diteliti secara ilmiah. Begitu pula dengan daerah tepi yang tercipta dan terbentuk hampir di setiap hutan. Daerah tepi tersebut berbatasan dengan kawasan budidaya pertanian. Daerah tepi hutan memiliki luas dan tipe yang bermacam-macam. Daerah tepi ini sering dijumpai membentuk sebuah asosiasi dan tipe ekosistem sendiri. Penentuan daerah tepi selama ini menggunakan unsur-unsur cuaca sebagai indikatornya dan masih sedikit sekali yang menggunakan indikator burung dan vegetasi dalam penentuannya. Keberadaan dan fungsi daerah tepi bagi konservasi jenis sedikit sekali mendapatkan perhatian dari para ilmuwan dan ahli konservasi di Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan sekarang bagaimana mengidentifikasi daerah tepi, parameter jenis burung apa saja yang menentukan daerah tersebut, dan bagaimana peran daerah tepi bagi konservasi keanekaragaman jenis burung. Sedangkan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1 Bagaimana komposisi dan kelimpahan jenis burung di daerah tepi (edge) dan daerah inti (core) sebagai akibat fragmentasi hutan di Tahura SSH? Apakah daerah tepi memiliki kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang berbatasan? 3 Bagaimana pola dan tipe daerah tepi (edge) yang terbentuk seiring dengan perubahan kondisi abiotik remnant forest? 4 Bagaimana perbedaan pola dan tipe daerah tepi (edge) menyebabkan terjadinya perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung? 5 Apakah jenis-jenis burung dan vegetasi dapat menjadi indikator daerah tepi (edge)?

22 4 C. Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian adalah : 1. Perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung terjadi di berbagai tipe daerah tepi (edges).. Daerah tepi memiliki keanekaragaman jenis burung yang paling tinggi dibandingkan daerah inti hutan (core) dan tipe penggunaan lahan lainnya. 3. Penggunaan lahan yang berbeda menciptakan pola dan tipe daerah tepi yang beragam. 4. Setiap jenis burung memiliki respon yang berbeda terhadap keberadaan daerah tepi (edge) dan jenis makanan yang tersedia di habitatnya 5. Keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung dapat dijadikan sebagai indikator ekologi keberadaan daerah tepi. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. menganalisis komposisi dan kelimpahan jenis burung di daerah tepi (edge) dan daerah inti (core) yang terbentuk oleh fragmentasi hutan di Tahura SSH. menganalisis perbedaan keanekaragaman jenis burung di berbagai tipe daerah tepi (edge) 3. menganalisis pola dan tipe daerah tepi (edge) sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) Propinsi Riau 4. menganalisis respon berbagai spesies burung terhadap pola dan tipe daerah tepi (edge) yang terbentuk 5. menganalisis indikator daerah tepi (edge) berdasarkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung E. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai : 1. bahan masukan bagi pemegang kebijakan tentang bentuk dan pola daerah tepi yang cocok bagi sebuah kawasan yang dilindungi.. bahan untuk mencari keterhubungan (connectivity) dan kekompakan bagi habitat yang berdekatan 3. bahan informasi habitat bagi spesies target dalam manipulasi habitat terkait dengan respon spesies tersebut terhadap keberadaan edge.

23 5 4. referensi ilmiah dalam penentuan daerah tepi berdasarkan parameter biotik (burung dan vegetasi) F. Kerangka Pemikiran Kondisi hutan yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk rentan terhadap perubahan. Baik perubahan yang mencakup luas hutan maupun yang meliputi perubahan fungsi hutan. Perubahan ini terjadi akibat tekanan penduduk yang mengalihfungsikan hutan untuk kepentingan hidupnya. Hutan diokupasi menjadi kebun, ladang dan diambil kayunya secara ilegal. Tindakan ini menciptakan fragmentasi dan kehilangan habitat yang sangat cepat. Perilaku penduduk ini secara langsung menimbulkan perubahan terhadap luas dan fungsi hutan. Perubahan yang terbentuk menciptakan kondisi abiotik dan biotik yang sangat berbeda dari semula. Kondisi ini secara ekologis disebut fragmentasi habitat dan hutan yang ditinggalkan disebut remnant forest (edge dan core area). Fragmentasi habitat adalah perubahan kondisi habitat sebagai akibat tindakan manusia yang menimbulkan keterputusan dan kehilangan suatu kesatuan habitat. Remnant forest adalah hutan sisa yang terjadi akibat terganggunya suatu matriks hutan. Remnant forest terdiri dari edge dan core area. Lanskap yang terjadi oleh aktivitas manusia dapat mengubah kisaran keragaman tipe-tipe habitat, termasuk vegetasi alami, lahan pertanian, areal transmigrasi dan lahan yang terdegradasi oleh industri ekstraksi seperti pemanenan kayu, pertambangan dan pertanian yang tidak berkelanjutan. Suatu habitat yang berbeda dengan keterputusan struktur vegetasi disebut daerah tepi (edge). Efek dari habitat daerah tepi terhadap distribusi dan kelimpahan jenis satwa mendapatkan perhatian besar dalam literatur ekologi dan manajemen hidupan liar (Giles 1978 dalam Sisk & Margules, 1995). Daerah tepi yang semakin luas memberikan dampak terhadap kemampuan kolonisasi dan distribusi serta laju kepunahan jenis-jenis satwa liar. Dengan mengetahui peran, fungsi dan karakteristik dari daerah tepi sangat berguna sebagai alat (tool) dalam manajemen kawasan yang dilindungi berbasiskan keanekaragaman hayati.

24 6 TAHURA SSH Tekanan manusia : Ilegal logging, kebun, ladang, pemukiman FRAGMENTASI HUTAN Daerah Tepi (Edge) Indikator Vegetasi - Kerapatan tajuk - Spesies tertentu Pola dan Tipe Edge Komposisi Jenis Burung Komposisi dan Struktur Vegetasi Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Burung Peran, fungsi, karakteristik edge Pengelolaan Kawasan untuk Konservasi Kehati Gambar 1. Diagram alur berpikir penelitian

25 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi Bapedal (1995) dalam Defriyoza (), menyebutkan laju konversi hutan di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan bahwa 9 ribu hektar sampai 1,3 juta hektar hutan dibuka setiap tahun di Indonesia untuk berbagai macam keperluan. Diperkirakan juga hanya 61 persen habitat alami yang tersisa. Di pulau Jawa dan Bali, lenyapnya habitat mungkin mencapai 91 persen, sementara di Papua hanya 7%. Di Jawa laju penebangan adalah 1,7% nomor dua tertinggi setelah di Sumatera. Khusus di Propinsi Riau menurut Pemda Riau dalam Defriyoza () terjadi pengurangan hutan konversi dari ha pada tahun 1986 menjadi ha pada tahun 199 yang ditujukan untuk penggunaan perkebunan dan transmigrasi. Lebih lanjut Defriyoza () mengatakan konversi hutan dilakukan baik oleh pengusaha maupun masyarakat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Selain untuk kebutuhan tempat tinggal (transmigrasi) juga untuk memenuhi keperluan dalam bidang pertanian dan kehutanan. Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan menjadi pilihan utama dalam konversi dan penggunaan lahan, baik HTI dan perkebunan yang berskala kecil dan besar. Hasil studi FAO pada tahun 199 yang dikutip oleh Sunderlin dan Resosudarmo (1996) menyebutkan bahwa kondisi hutan di Indonesia mengalami penurunan luas dari 74% menjadi 5% dalam selang waktu 3-4 tahun terakhir. Mengacu pada penelitian yang dilakukan FAO (199) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1996) terjadi peningkatan deforestasi dalam estimasi setiap tahunnya : pada tahun 197-an sebesar 3. ha/tahun; pada tahun 1987 sebesar 6. ha/tahun; sedangkan pada tahun 199 mencapai 1 juta ha/tahun. Sedangkan di Propinsi Riau sendiri menurut data RePPProt tahun 1985 luas total ha, yang berhutan ha (6,%). Sedangkan data dari Dephutbun pada tahun 1997 luas total ha (tubuh air tidak dimasukkan dalam perhitungan luas), yang berhutan ha (5,5%) dan lain-lain (berawan/tidak ada data).56 ha. Dari data tersebut laju pengurangan hutan selama 1 tahun seluas ha (14,6%) (BLK Pekanbaru, 1)

26 8 B. Fragmentasi Habitat Fragmentasi habitat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebanyakan habitat mengalami fragmentasi oleh pembuatan jalan, tanah pertanian, perkotaan atau kegiatan manusia lain. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen (Wilcove et al. 1986; Shafer 199 dalam Primack et al. 1998). Sewaktu habitat dirusak, sebagian darinya mungkin dibiarkan begitu saja. Fragmen- fragmen yang ditinggalkan ini adakalanya terisolasi satu dengan lainnya oleh adanya daerah yang terdegradasi. Situasi seperti ini mirip dengan model biogeografi pulau. Fragmen habitat berlaku seperti pulau yang dikelilingi oleh lautan daerah yang telah diubah oleh manusia. Fragmentasi dapat terjadi pada daerah yang sangat tereduksi atau pada daerah yang hanya sedikit mengalami reduksi (Schonewald-Cox dan Buecher 199 dalam Primack et al. 1998). Habitat yang telah terfragmentasi berbeda dari habitat asal dalam hal fragmen yang memiliki daerah tepi. Satu contoh permasalahan yang akan diikuti oleh masalah-masalah yang lain dalam kaitannya dengan daerah tepi. Lebih lanjut Forman dan Godron (1986) menyatakan bahwa fragmentasi habitat adalah proses dinamis yang menghasilkan perubahan pada pola habitat pada lansekap berdasarkan waktu. Istilah fragmentasi secara umum digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi ketika blok luas dari vegetasi dimana penebangan memisahkan blok yang lebih kecil dengan yang lainnya. Proses dari fragmentasi memiliki 3 komponen yang dikenal dengan : Kehilangan menyeluruh dari habitat pada lanskap (kehilangan habitat) Pengurangan pada ukuran blok dari habitat yang diikuti dengan pembagian dan pembersihan (pengurangan habitat) dan Meningkatnya isolasi habitat untuk penggunaan lahan baru yang diokupasi pada lingkungan yang terganggu Habitat terisolasi pada daratan utama, seperti puncak gunung, danau, hutan terfragmentasi dan cagar alam, dapat dilihat sebagai pulau yang dikelilingi laut dari habitat yang tidak sesuai. Selanjutnya teori equilibrium menjadi teori kerangka kerja pertama untuk menginterpretasi distribusi dan dinamika fauna pada habitat yang terganggu. Ini diperkuat dengan penelitian tentang ukuran tubuh pada konsekuensi dari fragmentasi habitat dan isolasinya bagi satwa (Simberloff 1974; Gilbert 198; Shafer 199 dalam Bennet 1999).

27 9 C. Dampak Fragmentasi terhadap Spesies Fragmentasi habitat dapat mengancam keberadaan spesies dengan berbagai cara. Pertama, fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies burung, mamalia dan serangga pada daerah pedalaman hutan tidak akan dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa, walaupun daerah terbuka ini tidak begitu luas. Akibatnya, banyak spesies yang tidak mengkolonisasi lagi daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang (Lovejoy et al. 198 dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) melanjutkan bahwa penurunan kemampuan penyebaran hewan yang diakibatkan oleh fragmentasi habitat dapat mempengaruhi pula kemampuan penyebaran tumbuhan yang bergantung padanya. Hal ini berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah berdaging (yang menjadi makanan hewan) dan tumbuh-tumbuhan yang bijinya dapat melekat pada hewan tertentu. Dengan demikian, fragmentasi habitat yang terisolasi tidak akan dikolonisasi oleh spesies asli yang sebenarnya dapat tumbuh di daerah tersebut. Jika pada setiap fragmen spesies punah melalui proses populasi dan suksesi, spesies baru tidak akan mengkolonisasi daerah ini oleh karena adanya penghalang penyebaran, dan akhirnya jumlah spesies pada fragmen habitat tersebut akan mengalami penurunan. Aspek kedua menurut Primack et al. (1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah pengurangan daerah jelajah dari hewan asli. Kebanyakan spesies hewan, baik sebagai individu atau kelompok sosial, harus memiliki daerah jelajah yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan-hewan ini harus dapat berjalan dari satu sumber makanan ke sumber makanan yang lain atau yang kadang-kadang tersedia berdasarkan musimnya seperti buah, biji, rumput, genangan air dll. Suatu sumber makanan mungkin saja dibutuhkan hanya beberapa minggu atau bahkan sekali per tahunnya. Jika habitat terfragmentasi, spesies yang berada dalam satu fragmen tidak dapat berjalan ke fragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya juga. Misalnya, pagar dapat menghalangi migrasi ilmiah yang dilakukan oleh hewan pemakan rumput seperti bison di Amerika atau wildebeest di Afrika, sehingga memaksa hewan-hewan ini untuk mengeksploitasi daerah yang sebenarnya tidak sesuai sehingga menyebabkan meraka kelaparan dan mengakibatkan pula penurunan kualitas daerah tersebut.

28 1 Fragmentasi habitat dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depression), genetic drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran kecil. Suatu habitat yang luas dapat mendukung suatu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan (Primack, 1993). Beberapa studi yang dilakukan di beberapa pulau sebagai lokasi pengamatan, baik di kawasan temperate maupun tropis menunjukkan hasil yang sama, yang dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu bila luas pulau berkisar 1 hingga 5 km, seperti luas cagar alam dan suaka margastawa pada umumnya, maka laju kepunahan jenis-jenis burung dalam 1 tahun mencapai 1-5% laju kepunahan diduga akan semakin tinggi di kawasan yang kecil dan mengalami fragmentasi. Menurut penelitian Willis 1979 dalam Wilson (1993), di areal seluas, sampai 14 km di kawasan hutan di Brazil yang terisolasi oleh lahan pertanian, menunjukkan laju kepunahan burung berkisar 14% sampai 64% dalam 1 tahun. Menurut Harris (1984); Wilcove, et al. (1986); Saunders (1991) dalam Entebe (5) aktivitas manusia menyebabkan terganggunya status dan distribusi populasi serta habitat satwa liar dalam dua hal yaitu (1) pengurangan total area dari habitat alami dan jumlah populasi sebagai akibat kegiatan pembangunan dan () habitat alami dan kisaran distribusi spesies yang sensitif mengalami fragmentasi ke dalam potongan-potongan areal yang disebut pulau. Konsekuensi dari terbentuknya pulau-pulau habitat, menyebabkan kualitas habitat bagi spesies bervariasi secara spasial dan kebanyakan spesies yang terdistribusi dalam sistem metapopulasi dari populasi lokal yang terhubung oleh penyebaran. Ketahanan metapopulasi sangat tergantung pada efisiensi penyebaran individual spesies dari satu patch ke patch lain (Meffe et al, 1994; dalam Entebe, 5). D. Keanekaragaman Menurut Odum (1971) dalam Entebe (5) keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari suatu komunitas baik tumbuhan

29 11 maupun hewan. Keanekaragaman jenis (species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran, 1988). Oleh karena itu ahli ekologi harus mengetahui bagaimana mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya. Permasalahannya adalah banyak sekali metode pengukuran yang telah dikembangkan dan sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara ahli ekologi tentang metode tersebut. Namun banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu (1) jumlah jenis (species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan () kesamaan/kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs, 199; Magurran, 1988). 1 Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh McIntossh tahun Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) metode rarefaction yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Magurran, 1988), () indeks kekayaan jenis Margalef; (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jacknife. Kemerataan Jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Llyod dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) yang dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1) indeks kemerataan Hurlbert, () indeks kemerataan Shannon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam

30 1 Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill s evenness number. 3 Kelimpahan jenis Kelimpahan jenis atau species abundance merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran, 1988). Diantara sekian banyak indeks kelimpahan jenis, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yaitu indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin (Poole, 1974, Krebs, 199). E. Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis burung berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keragaman konfigurasi dan ketinggian pohon; sehingga hutan yan g memiliki ukuran pohon dan bentuk yang berbedabeda dari satu jenis pohon akan memiliki keanekaragaman jenis burung lebih tinggi daripada tegakan pohon dari jenis yang berbeda namun memiliki struktur bentuk yang seragam (MacArthur and MacArthur 1961 dalam Welty 198). Menurut Keast (1985), tingginya keanekaragaman jenis burung di hutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi dan species packing terbentuk, struktur vegetasi habitat yang beragam, tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan (floristic), beragamnya tipe pakan yang tersedia serta tingginya jumlah jenis burung yang jarang (rare) dan spesialis (specialized). F. Ekologi Lanskap Lanskap adalah suatu wilayah daratan yang heterogen dimana sekelompok interaksi terjadi dan ekosistem-ekosistem yang homogen ditemukan berulang dalam bentuk yang sama. Lanskap dibentuk oleh tiga mekanisme yang bekerja didalamnya proses geomorfologi alami, pola kolonisasi organisme dan gangguan lokal terhadap kedudukan komponennya. Gangguan termasuk aktivitas manusia seperti kegiatan pertanian dan penebangan hutan (Forman, 1995). Ekologi lanskap adalah studi tentang pola lanskap, interaksi antara patchpatch dalam sebuah mosaik lanskap dan bagaimana pola dan interaksi ini

31 13 berubah sepanjang waktu. Lebih lanjut ekologi lanskap terlibat dalam hal penerapan prinsip-prinsip ini dalam formulasi pemecahan masalah yang ada di dunia. Ekologi lanskap mempertimbangkan perkembangan dan dinamika dari ruang heterogen dan dampaknya terhadap proses-proses ekologi dan manajemen dari ruang yang heterogen tersebut. (McGarigal, 4). Ekologi lanskap memfokuskan perhatiannya pada tiga karakter lanskap yaitu : (1) struktur, merupakan hubungan spasial di antara ekosistem atau elemen yang terdapat didalamnya seperti aliran energi, materi dan spesies yang berhubungan dengan ukuran bentuk, jumlah dan macam konfigurasi ekosistem; () fungsi, yaitu interaksi antara elemen spasial seperti aliran energi, materi dan spesies di antara komponen ekosistem; (3) perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi yang berlangsung terus-menerus (McGarigal, 4). G. Struktur Lanskap G.1. Patch dan Matriks Habitat Menurut Forman dan Godron (1986) patch adalah daerah yang relatif homogen yang berbeda dengan sekitarnya yang biasanya patch terdapat dalam suatu matrik yaitu wilayah yang mengelilinginya yang mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda. Patch lanskap dapat dicirikan dengan mengacu pada beberapa tipe dasar dimana asal-usulnya melibatkan gangguan, heterogenitas habitat dan aktivitas pertanian, yaitu : a. Disturbance patch, terjadi mengikuti gangguan lokal (kebakaran, penggundulan) di dalam suatu matriks dan secara normal dicirikan oleh vegetasi suksesi. b. Remnant patch adalah satu patch dari matriks habitat asli yang merupakan sisa ketika gangguan yang luas terjadi disekitarnya, misalnya suatu kumpulan tegakan dari hutan asli dikelilingi oleh tanah pertanian. c. Environmental resource patch, adalah suatu patch dimana kumpulan sumberdaya fisik berbeda dari yang mengelilingi mereka dan mempengaruhi komposisi biotik (contoh : tipe tanah khusus, suatu selokan atau parit). d. Introduced patch, terjadi mengikuti introduksi spesies dan dipelihara oleh manusia Untuk lebih jelas posisi patch dalam matriks dan definisi patch dapat dilihat pada Gambar.

32 14 Keterangan : patch matriks Gambar : Patch-patch yang tersebar dalam matriks Pada Gambar, dimana keadaan matrik yang terfragmentasi menyebabkan terjadinya patch-patch, dengan kata lain fragmentasi menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi pulau-pulau kecil yang terpencar (patch-patch dianggap sebagai pulau-pulau). Di bidang biologi konservasi pernah terjadi debat berkepanjangan, mengenai pada keadaan manakah kekayaan spesies akan dapat dicapai secara maksimal : satu cagar alam (tunggal) yang berukuran besar atau cagar alam yang berukuran sama namun terpecah-pecah dalam beberapa lokasi yang lebih kecil (Diamond 1975; Simberloff dan Abele 1976, 198; Terborgh 1986). Perdebatan ini dikenal sebagai SLOSS debate (single large or several small, satu besar atau beberapa kecil). Para pendukung cagar alam tunggal berpendapat bahwa bagi spesies yang berukuran besar yang memiliki jelajah luas serta memiliki kerapatan individu yang kecil (misalnya karnivora besar) hanya cagar alam yang besar akan dapat mempertahankannya dalam jumlah yang mencukupi sehingga mewujudkan populasi umur panjang. Di lain pihak, beberapa ahli biologi konservasi berpendapat bahwa cagar alam kecil yang ditempatkan secara baik akan mempunyai berbagai kelebihan (dibandingkan satu blok cagar alam yang berukuran serupa) karena dapat mencakup tipe-tipe habitat yang lebih beragam, serta dapat menampung lebih banyak populasi spesies langka (Simberloff dan Gotelli, 1984). Namun pada akhirnya terbentuk juga konsensus, bahwa strategi mengenai ukuran cagar alam akan disesuaikan dengan kelompok spesies yang akan dilindungi (Soule dan Simberloff 1986). Telah dapat diterima bahwa dibandingkan dengan cagar alam yang kecil), cagar alam yang berukuran besar akan lebih menampung banyak

33 15 spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam. Bagaimanapun, cagar alam yang berukuran kecil namun dikelola dengan baik juga bermanfaat, karena dapat menyediakan perlindungan bagi banyak spesies tumbuhan, avertebrata dan vertebrata ukuran kecil (Lesica dan Alendorf, 199). Struktur lanskap mempengaruhi pergerakan satwa (Forman dan Godron, 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi pergerakan satwa. Sampai sejauh mana suatu matrik (gap) dapat menghalangi pergerakan satwa sangat tergantung pada konfigurasi spasial gap tersebut yang kemudian diterima oleh satwa secara berbeda pada skala spasial yang sangat spesifik (Kotliar dan Wiens, 199, Keith et al dalam St. Clair et al dalam Cahyadi, ). Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan bervariasi antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik dan faktor lain seperti variasi cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi (predator, jarak perjalanan) (St.Clair, et al dalam Cahyadi, ) G.. Struktur Patch (Daerah Tepi (Edge) dan Daerah Inti (Core)) Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda, yang jika dilihat dari struktur lanskapnya, edge dapat dibedakan menjadi 1). Inheren edge yaitu edge yang terbentuk dari pertemuan dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya dan ). Induced edge yaitu edge yang terbentuk karena adanya gangguan, misalnya penggembalaan, logging, kebakaran. Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi (edge). Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Ilustrasi patch yang memiliki edge dan core dapat dilihat pada Gambar 3. Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan daerah core (bagian tengah hutan). Edge dipandang sebagai suatu ekosistem tersendiri yang diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem. Keanekaragaman pada edge lebih tinggi dari pada daerah core. Leopold (1933) menyatakan bahwa edge mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar,

34 16 karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch dan matriks yang berbeda. Bentuk, luas, dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal : (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya. patch core edge Gambar 3. Patch yang terdiri dari edge dan core Masing-masing patch yang elemen lanskapnya terdiri dari edge, akan menunjukkan edge effect (misalnya pada edge didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan di daerah tepi). Daerah terdalam dari elemen lanskap yang dianggap sebagai core, didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan pada daerah yang jauh dari daerah tepi. Border adalah garis yang memisahkan edge dari elemen lanskap yang berbatasan. Dua edge membentuk wilayah perbatasan (boundary), dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Hubungan spasial dari daerah perbatasan (boundary), garis batas (border) dan daerah tepi (edge) (Forman, 1995).

35 17 H. Efek Tepi (Edges effect) Fragmentasi habitat secara dramatis menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis (Kapos 1989, Bierregaard et al. 199 dalam Primack et al. 1998). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 5 m ke dalam hutan (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya teradaptasi untuk suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Spesies tumbuhan liar yang toleran pada naungan di daerah beriklim sedang, spesies pepohonan yang muncul belakangan pada suksesi di daerah tropik dan hewan-hewan yang sensitif pada kelembaban seperti amfibi biasanya dapat dengan cepat termusnahkan oleh fragmentasi habitat dan akhirnya akan menyebabkan perubahan komposisi spesies dari suatu komunitas. Spesies tumbuhan belukar dan spesies pemula (pionir) yang lain dapat tumbuh dengan cepat sebagai reaksi terhadap meningkatnya intensitas cahaya. Tetumbuhan ini dapat berfungsi sebagai penghalang yang mengurangi efek dari gangguan lingkungan bagi bagian dalam fragmen. Dalam hal ini, daerah tepi hutan memegang peranan yang penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutan, tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan berubah sehingga daerah sebelah dalam akan berkurang (Primack, 1993). Jika hutan telah terfragmentasi, pertambahan kecepatan angin, rendahnya kelembaban dan tingginya suhu pada daerah tepi akan menyebabkan daerah itu lebih mudah mengalami kebakaran. Kebakaran hutan dapat menyebar ke fragmentasi habitat dari tanah pertanian di dekatnya yang dibakar secara teratur. Misalnya pada saat pemanenan tebu atau dari kegiatan petani yang melakukan perladangan berpindah (Gomez-Pompa dan Kaus 199 dalam Primack 1993). Di Kalimantan seluas jutaan hektar hutan hujan tropik terbakar selama musim kemarau yang panjang antara tahun 198 dan Penyebab dari bencana alam ini adalah gabungan dari praktek-praktek pertanian dan tebang pilih, serta kegiatan manusia lainnya (Leighton dan Wirawan 1986 dalam Primack et al. 1998).

36 18 Fragmentasi habitat memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan (Paton 1994 dalam Primack, 1993). Di Amerika Serikat, hewan-hewan omnivora seperti raccoons, sigung, dan bluejays dapat bertambah jumlahnya di tepi fragmen. Hewan-hewan ini dapat memperoleh makanan baik dari habitat yang terganggu maupun dari daerah yang tidak terganggu. Pemangsa yang agresif ini akan memakan telur dan anak-anak burung hutan sehingga mencegah keberhasilan reproduksi dari banyak spesies burung yang berada beberapa ratus meter dari daerah tepi. Burung parasit yang hidup di lapangan terbuka dan tepi hutan mempergunakan habitat tepi sebagai basis untuk menginvasi bagian dalam fragmen hutan. Disini, anak-anak mereka menghancurkan telur dan mengganggu kehidupan anak-anak burung penyanyi. Gabungan dari fragmentasi habitat, kenaikan pemangsa selama masa kecil dan perusakan hutan tropik menyebabkan penurunan yang drastis pada spesies burung migran di Amerika Utara, seperti red-eyed vireo, eastern wood pewee, dan hooded warbler (Terborgh 1989 dalam Primack et al. 1998), walapun belum ada kata sepakat mengenai penyebab sebenarnya serta seberapa jauh mereka menyebar (James et al. sedang naik cetak dalam Primack dkk, 1998). Primack (1993) melanjutkan bahwa fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar menjadi dekat dengan tumbuhan dan hewan peliharaan. Penyakit spesies peliharaan ini akan dengan mudah menular ke spesies lain yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tersebut. Keadaan yang sebaliknya dapat terjadi, yaitu penyakit menular dari spesies liar ke spesies peliharaan bahkan juga ke manusia. Fragmentasi hutan tidak sama dengan forests patch dilihat dari komposisi dan bentuk dari areal hutan yang terjadi sebagai akibat dari gangguan dan tekanan dari manusia. (Harris, 199). I. Komposisi Jenis Burung di Daerah Tepi (edge) Komunitas burung pada berbagai tempat mewakili tahapan-tahapan suksesi yang berbeda sebagai contoh adanya perubahan secara langsung pada komposisi spesies dari awa l hingga akhir suksesi, spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium (Karr, 1971; May, 198 dalam

37 19 Parody et al. 1). Hasil-hasil tersebut menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium.. Komposisi jenis burung tajuk bawah mengikuti permudaan menunjukkan dipengaruhi perubahan cepat pada penutupan vegetasi yang digambarkan oleh (Stoneman et al (1988) dalam Johnson & Williams ). Populasi spesies tajuk bawah menyediakan bahan untuk rekolonisasi, saat kembalinya struktur vegetasi yang sesuai (Rowley & Russel, 1991). Sebagaimana jenis tajuk bawahpermukaan yang bertentangan melalui studi setelah penebangan (White breasted robin, Grey fantail dan Red-winged fairy wren) umum pada kepadatan vegetasi di luar hutan, ini sepertinya mereka secara cepat meningkat kembali dalam lingkungan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, ). Perubahan tidak sebesar jenis tajuk bawah permukaan pada jalur dibandingkan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. Dampak lokal kebakaran terhadap avifauna terjadi sementara, karena permudaan yang cepat pada tajuk bawah di Hutan Karri. Bagaimanapun juga, terdapat sedikit perubahan pada jalur lain yang dapat ditambahkan pada kegiatan terpisah berkaitan dengan kegiatan penebangan. Sebagai contoh kenampakan dari Splendid wren diobservasi pada tahun kedua setelah penebangan dapat ditambahkan dengan pembangunan jalan dalam kaitannya dengan kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan berpengaruh terhadap kehadiran dan kelimpahan jenis, oleh karena, memperluas areal pada kegiatan penebangan diperlukan. Pendekatan segala arah pada studi mungkin saja dibutuhkan untuk mengindikasi perubahan di berbagai bentuk komunitas di seluruh daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, ). Jokimaki & Suhone (1993), Blair (1996) dalam Parody et al. (1) menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan perubahan secara langsung ketika kekayaan jenis mencapai puncak dan kemudian menurun mendekati tahap klimaks. Perbandingan komunitas burung sepanjang peningkatan urbanisasi di lain pihak menunjukkan peningkatan kekayaan jenis pada kondisi kawasan yang berpenghuni sedikit atau menengah tetapi akan menurun menuju pusat hunian. Hal ini mengimplikasikan bahwa level gangguan pada tingkat intermediate mempertahankan level yang paling tinggi dalam diversitas.

38 J. Respon Spesies terhadap Daerah Tepi (Edge) Pandangan umum melihat bahwa terdapat tiga kategori respon terhadap edge yaitu beberapa spesies meningkat kelimpahannya, beberapa menurun dan beberapa secara relatif tidak berpengaruh. Variasi ketiga kemungkinan tersebut muncul tergantung apakah spesies tersebut habitat generalis yang terjadi pada kedua sisi dari edge atau habitat spesialis yang terjadi hanya pada satu tipe habitat yang berbatasan. Klasifikasi respon terhadap edge memungkinkan analisis pada level populasi terhadap efek daerah tepi. Menurut Sisk dan Margules (1995) ada enam klasifikasi respon spesies terhadap daerah tepi dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. a) HABITAT GENERALIST b ) HABITAT SP E CI ALIST Habitat 1 Edge Habitat Habitat 1 Edge Habitat c ) HABITAT GENERALIST EDGE EXPLOITER d ) HABITAT SPE CI ALIST EDGE EXPLOITER Habitat 1 Edge Habitat Habitat 1 Edge Habitat e ) HABITAT GENERALIST EDGE AVOIDER f ) HABITAT SPESIALIST EDGE AVOIDER Habitat 1 Edge Habitat Habitat 1 Edge Habitat Gambar 5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 199)

39 1 Keterangan : a) Habitat Generalist; merupakan spesies yang dapat hidup pada semua wilayah (habitat 1, edge dan habitat ) b) Habitat Specialist; merupakan spesies yang hanya dapat hidup pada habitat 1, pada edge mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tajam (hard response) sedangkan pada habitat mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tidak begitu tajam (soft response). c) Habitat Generalist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup di semua wilayah (habitat 1, habitat dan khusus pada edge kelimpahannya meningkat d) Habitat Specialist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya meningkat, spesies ini cenderung mendekati edge. e) Habitat Generalist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada Habitat 1 dan habitat dan khusus pada edge kelimpahannya menurun, jadi spesies ini cenderung menghindari edge. f) Habitat Specialist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya menurun, spesies ini cenderung menghindari edge. K. Taman Hutan Raya Berdasarkan UU RI No. 5 tahun 199 Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan berdasarkan Dephut (1988), Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensifnya pemanfaatan sumberdaya alam telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan potensi sumberdaya alam, hal ini mendorong upaya untuk berusaha menetapkan kawasan konservasi yang tidak saja berfungsi sebagai penyangga proses ekologi dan pelestarian sumberdaya alam, namun juga pemanfaatan sumberdaya alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat secara luas dan berwawasan lingkungan.

40 III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk menganalisis : 1. Keanekaragaman jenis burung dan komposisi vegetasi sebagai akibat dari terbentuknya daerah tepi.. Daerah tepi yang tercipta akibat fragmentasi hutan dari lingkungan sekitar. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim dilakukan pada Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Pekanbaru Blok Pemanfaatan (Lampiran 1). Penelitian berlangsung selama 6 bulan (termasuk pengolahan data) yakni bulan Mei-Oktober 5. C. Bahan dan Alat Obyek yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah ordo burung yang terdiri atas berbagai jenis burung di kawasan sekitar Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim. Data biotik meliputi data jenis burung dan vegetasi. Selain itu pengaruh daerah tepi terhadap kelimpahan burung juga menjadi obyek pengamatan. Pengamatan vegetasi dilakukan untuk melihat perubahan tipe dan deskripsi vegetasi di daerah edge dan core. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dan pengumpulan data meliputi : 1. Binokuler (teropong) 7x5 mm. Tambang plastik sepanjang m 3. Pita ukur, phiband dan meteran berukuran 5 m 4. Peta kerja/lokasi dan potret udara/citra satelit. 5. Kompas brunton 6. Kamera SLR, lensa tele mm beserta filmnya 7. Arloji atau alat pengukur waktu 8. GPS (Global Positioning System) merk Garmin 9. Buku Panduan Lapangan Pengenalan Burung Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan John Mackinnon.

41 3 1. Alat perekam suara burung beserta kasetnya 11. Christen meter 1. Kompas Suunto D. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan burung dan analisis vegetasi. Pengamatan pada burung dilakukan dengan menggunakan metode transek sepanjang 3-5 m (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Pengamatan burung dilakukan pada pagi dan sore hari antara pukul WIB dan pukul WIB dalam cuaca cerah, baik pada jalur pengamatan yang telah ditentukan dengan lama pengamatan selama menit interval waktu 5 menit untuk setiap pengamatan. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain buku teks, skripsi, tesis dan jurnal penelitian. Pengamatan burung dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan mengidentifikasi dari suaranya. Burung yang tidak teridentifikasi secara langsung akan direkam suaranya dengan tape recorder dan diidentifikasi berdasarkan contoh suara burung dari Birdlife International. Jenis data yang dikumpulkan ada dua macam yaitu : 1. Data primer a. Keanekaragaman jenis burung Data yang berhubungan dengan komposisi, kelimpahan dan jumlah jenis burung. Pengamatan burung menggunakan kombinasi titik dan metode transek. Pengamatan dilakukan di hutan terfragmentasi dan daerah tepi hutan. Pengamatan dilakukan dari transek-transek dengan panjang 3-5 m tegak lurus tipe habitat, sehingga panjang jalur bervariasi tergantung dari kondisi lapangan namun mencakup kedua tipe habitat yang berdekatan. Masing-masing kondisi ekosistem diletakkan beberapa transek. Banyak transek disesuaikan dengan kondisi dan tipe edge. Peletakan titik di lapangan ditunjukkan oleh Gambar 6, dimana setiap titik pengamatan mewakili daerah tepi hutan dengan penggunaan habitat lain seperti belukar akasia, kelapa sawit, kebun masyarakat, danau, semak belukar, hotel dan jalan.

42 4 Gambar 6. Jalur Pengamatan Burung dan Peletakannya di Lapangan Keterangan : a. Edge antara hutan dengan tegakan akasia b. Edge antara hutan dengan semak belukar c. Edge antara hutan dengan kebun kelapa sawit d. Edge antara hutan dengan kebun campuran e. Edge antara hutan dengan tepi danau f. Edge antara hutan dengan jalan g. Edge antara hutan dengan hotel b. Vegetasi Data yang berhubungan dengan INP (untuk hutan yang terfragmentasi dan edge/daerah tepi hutan). Pengumpulan data vegetasi dilakukan pada jalur pengamatan burung dan tegak lurus dengan daerah tepi hutan. Metode yang digunakan adalah garis berpetak. Data yang dikumpulkan untuk tingkat tiang dan pohon adalah jenis, jumlah individu setiap jenis dan diameter setinggi dada. Untuk tingkat semai dan pancang, data yang dikumpulkan hanya jenis dan jumlah individu. Bentuk petak tersaji pada Gambar 7.

43 5 d c Arah rintis b a Gambar 7. Inventarisasi Vegetasi Metode Jalur Berpetak (Irawan & Kusmana, 1995). Keterangan : a. (m x m) untuk tingkat pohon b. (1 m x 1m) untuk tingkat tiang c. (5m x 5 m) untuk tingkat pancang d. (m x m) untuk tingkat semai Pembuatan jalur pengamatan untuk burung dan vegetasi 1. Sebelum dilakukan pembuatan jalur pengamatan, terlebih dahulu melakukan orientasi lapangan dengan peta kerja atau remnant forest.. Penetapan jalur dilakukan secara purposive sampling berupa jalur-jalur analisis vegetasi yang ditempatkan mulai dari tepi remnant forest sampai ke dalam hutan dengan panjang jalur 3-5 m (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998) dan jarak antar jalur yang bervariasi bergantung dengan kondisi keberadaan vegetasi di lapangan.. Data Sekunder a. Peta dan potret udara/citra satelit Taman Hutan Raya SSH b. Data gangguan terhadap Tahura SSH c. Data penutupan vegetasi E. Orientasi Lapangan Orientasi lapangan dilakukan sebelum penelitian dimulai. Hal ini bertujuan untuk mengetahui areal penelitian, mencocokkan peta kerja dengan kondisi lapangan, menentukan lokasi dan titik-titik awal jalur pengamatan. Pada setiap titik awal jalur pengamatan yang sudah ditentukan, selanjutnya diberi tanda dan

44 6 kode untuk memudahkan pengamatan. Pengenalan lapangan direncanakan selama ± 1 minggu. F. Analisis Data F.1. Analisis Keanekaragaman Jenis Burung (Magurran, 1988) F.1.1. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung Untuk menentukan kekayaan jenis burung digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus : s H = - (pi) ln pi i :1 Dimana H = indeks diversitas Shanon s = jumlah jenis pi = proporsi jumlah individu ke-i (n i /N) ln = log natural F.1.. Indeks Kemerataan Jenis Burung Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis burung dan yang ada di masing-masing tipe penggunaan lahan digunakan indeks kemerataan (Index of Equitability or evennes) yaitu jumlah individu dari suatu jenis atau kelimpahan masing-masing jenis dalam suatu komunitas E = H /ln S Dimana E = indeks kemerataan H = indeks keanekaragaman Shannon S = jumlah jenis F.1.3. Analisis Penyebaran Burung Analisis penyebaran digunakan untuk melihat penyebaran secara horisontal pada masing-masing habitat pengamatan dengan menggunakan nilai frekuensi ditemukannya jenis burung dalam plot contoh. Adapun rumus yang digunakan adalah : Frekuensi Jenis (FJ) = Jumlah plot ditemukan jenis burung Jumlah seluruh plot contoh Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 1% Frekuensi seluruh jenis

45 7 F.1.4. Analisis Dominansi Jenis Burung Analisis dominansi jenis burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, sub dominan dan non dominan atau jarang dalam komunitas burung yang diamati. Analisis menggunakan parameter kerapatan relatif sesuai dengan kategori yang dikemukakan oleh Jorgensen (1974), yaitu kategori burung dominan bila kerapatan relatif > 5%, sub dominan bila kerapatan relatif antara % - 5% dan non dominan atau jarang bila kerapatan relatif < %. Rumus yang digunakan : Kerapatan jenis (KJ) = Jumlah suatu jenis burung Luas plot contoh Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 1% Kerapatan seluruh jenis F.1.5. Indeks Kesamaan Jenis Burung Perubahan komposisi jenis burung dalam suatu komunitas berkaitan dengan kondisi habitat. Perubahan tersebut diukur dengan indeks kesamaan jenis (Similarity Index) terhadap jenis burung yang menghuni antara dua tipe habitat yang dibandingkan. Data yang digunakan adalah jumlah spesies yang hadir dan yang tidak hadir. Berikut pendekatan rumus Jaccard (191) dalam Utari () : Indeks Kesamaan Jenis Jaccard (Sj) = a a + b +c dimana : a = jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B, b = jumlah jenis yang unik di komunitas A tetapi tidak di komunitas B, dan c = jumlah jenis yang unik di komunitas B tetapi tidak di komunitas A Untuk mengetahui kedekatan atau kekariban antar komunitas burung di berbagai tipe habitat dianalisis dengan dendrogram F.1.6. Uji t-student Uji t-student digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman jenis burung antara berbagai fragmentasi-fragmentasi yang terjadi dan pada masing-masing jenis ruang terbuka hijau pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan menggunakan hipotesa :

46 8 H = tidak ada perbedaan keanekaragaman jenis burung di habitat 1dan habitat H1 = ada perbedaan keanekaragaman jenis burung di habitat 1 dan habitat Maka berdasarkan Magurran (1988) persamaan yang digunakan adalah : Var H = Ó pi (ln pi) (Ó pi ln pi) + S 1 N N t- hitung = H1 H (Var H1 + Var H ) ½ df = (Var H1 + Var H ) ((Var H1 ) /N1) + (VarH ) /N)) Jika t-hitung < t-tabel maka terima H pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan derajat bebas df. Sedang jika t-hitung > t-tabel maka terima H1 pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan derajat bebas df. Dimana : S = jumlah jenis dari satu unit contoh N = jumlah total individu H = indeks keragaman Shannon Df = derajat bebas VarH = keragaman dari indeks keragaman Shannon F.. Analisis Vegetasi F..1. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi Hasil analisa vegetasi adalah untuk mengetahui komposisi jenis dan dominansinya. Dominansi suatu jenis pohon ditunjukkan dalam besaran indeks Nilai Penting (INP). Nilai INP tersebut merupakan penjumlahan nilai-nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), untuk tingkat semai dan pancang sedang untuk tingkat tiang dan pohon ditambah nilai dominansi relatif (DR). Perhitungan nilai-nilai tersebut : * Kerapatan = jumlah individu suatu jenis/luas unit contoh * Kerapatan Relatif = (kerapatan suatu jenis/kerapatan total jenis) x 1% * Frekuensi = jumlah plot ditemukannya suatu jenis/total plot * Frekuensi relatif = (frekuensi suatu jenis/total frekuensi) x 1% * Dominansi = luas bidang dasar suatu jenis/luas unit contoh * Dominansi relatif = ( dominansi suatu jenis/dominansi seluruh jenis) x 1%

47 9 F... Diagram Profil Pohon Diagram profil pohon remnant forest dibuat dengan mengambil beberapa jalur yang mewakili kondisi edge dan core yang diamati. Gambaran yang disajikan merupakan proyeksi dari kondisi vegetasi pohon dalam suatu areal dengan lebar m dan panjang 6 meter. Selanjutnya untuk pembuatan diagram profil dilakukan pengukuran terhadap luas penutupan tajuk dan koordinat pohon. F..3. Perbedaan komunitas tumbuhan Perbedaan antara kondisi komunitas tumbuhan yang diamati kemudian dianalisa dengan nilai indeks kesamaan komunitas Jaccard dengan persamaan sebagai berikut : C IS = A + B Dimana : IS = indeks kesamaan (Index Similarity) Jaccard A = jumlah jenis di dalam contoh A B = jumlah jenis di dalam contoh B C = jumlah jenis yang sama dari jenis-jenis yang terdapat pada contoh yang dibandingkan.

48 IV. KONDISI UMUM TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM A. Letak, Luas dan Batas Secara administratif, lokasi Tahura SSH Propinsi Riau berada di Kecamatan Minas Kabupaten Siak seluas 767,81 ha (1,44%); Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar seluas.33,33 ha (37,64%); dan Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru seluas 3.8,86 ha (49,9%). Lokasi kawasan taman hutan raya ini berada di jalan lintas antara Pekanbaru menuju Dumai, dimana pintu gerbangnya berada pada Km yang dapat dicapai kurang lebih 15 menit dari Pekanbaru. Secara geografis, kawasan ini terletak pada koordinat 37 LU 44 LU dan 11 BT 11 8 BT. Adapun luas kawasan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 349/Kpts-II/1996 tanggal 5 Juli 1996 adalah sebesar 5.9 ha dan ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 348/Kpts-II/1999 tanggal 6 Mei 1999 dengan luas 6.17 ha setelah dilakukan pengukuran dan penataan batas kawasan. B. Kondisi Fisik Dasar Daerah Secara umum kawasan Tahura SSH merupakan grup dataran (plaine) dengan kondisi fisiografi berombak dan bergelombang berbukit kecil di sebelah timur sungai Takuana Buluh, datar hingga bergelombang di sebelah baratnya, dan tidak seberapa luas di kanan dan kiri sungai bagian hilir berupa grup alluvial. Ketinggian kawasan dari permukaan laut berkisar 1-5 meter dengan topografi yang bervariasi Terdapat aliran sungai kecil yang dapat dikelompokkan menjadi 3 buah sub-das dengan luas masing-masing Sub-DAS 1 sebesar 3.64,4 ha, Sub-DAS sebesar 1.39,7 ha, dan Sub-DAS 3 sebesar 1.37,9 ha. Sungai terbesar yang mengalir di kawasan Taman Hutan Raya adalah sungai Takuana yang bermuara langsung ke Sungai Siak, sementara kedua sungai yang lain bermuara ke sungai Tapung yang merupakan anak Sungai Siak. Pengembangan fungsi Taman Hutan Raya juga berfungsi sebagai pengaman dan pemelihara Daerah Aliran Sungai (DAS) Takuana dan DAS Siak dalam rangka penanggulangan bencana banjir.

49 31 C. Iklim Iklim merupakan kondisi cuaca di suatu wilayah yang luas dan dalam waktu yang lama. Dimensi ruang dan waktu yang tercakup dalam definisi ini sangat ditentukan oleh kondisi geografis setempat sehingga iklim suatu wilayah akan bervariasi atau berbeda dengan wilayah lainnya. Dengan demikian dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan informasi iklim perlu dikumpulkan dan dianalisis lebih lanjut. Berkaitan dengan studi pengelolaan kawasan konservasi Tahura SSH informasi iklim digunakan untuk memprediksi kejadian erosi, longsor, kekeringan, dan intensitas kerusakan struktur ekosistem. Data iklim yang digunakan pada daerah studi diperoleh dari stasiun iklim yang terdekat, yaitu stasiun iklim DPPU Tk I Riau di Kandis Kecamatan Minas Kabupaten Siak dan stasiun iklim BMG Sutan Syarif Qasim Pekanbaru. Data iklim DPPU Kandis dan BMG SSQ tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) Beberapa Stasiun Iklim Terdekat di Sekitar Tahura SSH DPPU Kandis BMG SSQ No Bulan CH HH CH HH Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Sumber : BMG SSQ Pekanbaru Berdasarkan Tabel 1, maka kawasan Tahura SSH digolongkan kepada daerah iklim tropika basah dengan curah hujan rata-rata tahunan antara mm per tahun dan jumlah hari hujan antara hari. Penggolongan yang sama juga ditunjukkan dengan metode Schmidt dan Ferquson (1951) dimana kawasan ini termasuk dalam tipe hujan sangat basah (A), yaitu tidak

50 3 mempunyai bulan kering (curah hujan < 6 mm) dan curah hujan basah sepanjang tahun (curah hujan > 1 mm). Jumlah curah hujan yang tinggi sepanjang tahun atau tidak terjadi bulan-bulan kering yang jelas, berpotensi meningkatkan daya erosi dan sedimentasi. Kondisi real di lapangan ditandai dengan keruhnya air sungai, danau, atau paya-paya beberapa saat setelah hujan turun. Tingkat kekeruhan tersebut berkorelasi positif dengan tingkat erosi yang terjadi di kawasan ini. Suhu bulanan rata-rata sekitar 6,7 C, suhu maksimum dapat mencapai 34,9 C. Dari segi suhu udara tidak ada masalah untuk tanaman kehutanan, perkebunan atau pertanian pada umumnya, asalkan tersedia cukup air pengairan. Kelembaban udara di kawasan konservasi Tahura SSH cukup tinggi yaitu antara 79, sampai 8,7%. Sehubungan dengan hal ini perlud diwaspadai terhadap ancaman hama dan penyakit, terutama jamur. D. Kondisi Tanah D.1. Geologi dan Morfologi Kawasan Tahura SSH terletak dalam struktur Tersier dan cekungan belakang busur (Back Arc Basin) dari busur pegunungan (volcanic arc) Sumatera yang membujur mengikuti pola Sumatera dengan arah barat laut-tenggara. Cekungan ini bagian dari cekungan Sumatera Tengah yang tersusun atas batuan sedimen dan endapan permukaan (aluvial). Endapan pada cekungan ini terdiri dari lapisan yang tebal diantara sumber minyak dan batu-batuan (daerah Minas). Dengan adanya proses patahan dan pelipatan selama zaman Orogeni Plio- Plistosen menimbulkan patahan yang cenderung mengarah barat laut-tenggara dan sebuah seri patahan yang terpilin Penyebaran geologi di Tahura SSH diambil berdasarkan peta geologi skala 1:5. lembar Pekanbaru (Suwarna et al, 1994 dalam Dinas Kehutanan 3). Kawasan ini tersusun oleh Formasi Petani dan Formasi Minas. Formasi Petani membentuk fisiografi berombak sampai berbukit kecil dan terbentuk dari serpih yang dilapisi dengan batupasir, batudebu, dab batulumpur, sedangkan Formasi Minas membentuk fisiografi dataran datar sampai bergelombang yang terbentuk dari lumpur yang tidak terkonsolidasi sampai semi konsolidasi, pasir dan kerikil. Dataran di kawasan ini memiliki sejarah yang cukup kompleks, yaitu telah mengalami berbagai proses geomorfik di permukaannya termasuk proses erosi dan sedimentasi. Dari hasil interpretasi data yang dilengkapi dengan

51 33 pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa seluruh wilayah taman hutan sampai saat ini masih mengalami siklus erosi aktif karena adanya proses pengangkatan dan biasanya membentuk lembah-lembah sempit menyerupai huruf V. D.. Klasifikasi Tanah Proses pembentukan tanah di kawasan Tahura SSH berjalan lebih cepat karena didukung oleh iklim daerah studi yang basah, dimana gerakan air ke bawah yang terus menerus, suhu tinggi dan banyaknya organisme (biomass) di dalam tanah. Berdasarkan pengamatan lapangan dan analisis laboratorium menunjukkan bahwa jenis-jenis tanah di kawasan ini terdiri atas ordo, yaitu ultisol dan inceptisol. Jenis tanah ultisol ditemukan di derah berlereng dimana memungkinkan terjadinya illuviasi liat membentuk horison argilik. Terbentuknya horison argilik pada ultisol di tempat ini terjadi setelah mengalami erosi (truncated) sehingga terbentuk lereng. Jenis tanah inceptisol dapat terbentuk di lereng yang lebih curam akibat erosi yang lebih kuat. Selain itu inceptisol menyebar mendekati aliran sungai. Pada spot-spot tertentu tepatnya pada punggung lereng daerah tua terdapat juga jenis tanah oxisol yang telah melapuk lanjut E. Kondisi Hidrologi Kawasan Tahura SSH merupakan daerah tangkapan air bagi aliran Sungai Siak. Beberapa aliran sungai kecil yang mengalir didalamnya membentuk pola aliran dendritik. Sungai terbesar yang mengalir adalah Sungai Takuana yang bermuara langsung ke Sungai Siak, sementara kedua sungai lainnya bermuara ke sungai Tapung (anak Sungai Siak). Dari hasil pengamatan di lapangan dan wawancara denga penduduk setempat diketahui bahwa banjir musiman terjadi selama bulan-bulan terbasah Nopember dan Desember. Banjir sesaat ini, biasanya kurang dari dua hari pada daerah lembah-lembah perbukitan kecil atau daerah datar dekat saluran drainase. Pada umumnya masyarakat mengambil persediaan air dari air tanah dangkal (sumur) dan air hujan. Tergantung dari lokasinya, kedalaman air sumur bervariasi dan 6 m. selama bulan-bulan kering, kebanyakan sumur-sumur di tempat yang tinggi mempunyai kedalaman hanya -4 m. Penampungan air hujan

52 34 dari atap juga digunakan sebagai pilihan lain sumber air minum di beberapa lokasi. F. Flora dan Fauna Ekosistem dalam Tahura SSH berupa hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest) karena memiliki iklim yang sangat basah, tanah kering dan ketinggian di bawah 1m di atas permukaan laut (dpl). Jenis-jenis pohon yang dominan di areal tahura SSH ini adalah suku Dipterocarpaceae, dimana vegetasinya termasuk zone barat yang meliputi pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Menurut hasil interpretasi Citra Landsat TM hasil liputan 5 Juli dan pengamatan di lapangan, penutupan vegetasi di Tahura SSH sudah tidak utuh lagi hingga taraf memprihatinkan akibat penebangan liar (illegal logging). Sedangkan persentase penutupan tajuk berkisar antara % hingga 7%. Pada areal hutan yang rusak berat dengan penutupan tajuk <5%, vegetasi penutup tanah didominasi oleh Imperata cylindrica (alang-alang), perdu (Melastoma malabaricum, Solanum sp), dan jenis pionir seperti Vitex pubescen, Sapium baccatum, dll. Meskipun kondisi hutan Tahura SSH secara umum sudah rusak, namun masih ditemukan beberapa jenis pohon khas tropis, terutama suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea spp. (meranti), Dryobalanops oblongifolia (kapur), Dipterocarpus spp. (keruing), Hopea mengarawan (merawan), dll. Kerapatan tingkat pohon sangat jarang, namun tingkat permudaan masih dapat dipelihara hingga hutan bisa kembali pada kondisi klimaks. Satu hal terpenting yang harus diperhatikan jika mengandalkan suksesi alami adalah jangan sampai terjadi lagi gangguan pada areal tersebut, misal penebangan dan kebakaran. Persediaan anakan alam untuk suksesi alami dapat disumbangkan oleh beberapa pohon induk yang masih ada. Untuk mengetahui kondisi satwa di Tahura SSH telah dilakukan penjelajahan (renaissance survey) dengan menggunakan metode perjumpaan langsung dan metode point count (pencatatan pada titik tertentu), dimana penempatan jalur pengamatan dilakukan secara puposive sampling. Pencatatan dilakukan terhadap mamalia, reptilia, dan aves (burung) pada waktu pagi dan sore hari ketika sebagian besar satwa tersebut aktif. Pengamatan terhadap jenis satwa dilakukan dengan melihat individu, jejak kaki, kotoran, sarang, suara satwa

53 35 atau dengan tanda-tanda yang lain, dan berdasar informasi dari penduduk sekitar. Berdasarkan hasil pencatatan satwa di kawasan Tahura SSH ditemukan 1 jenis mamalia, 4 jenis reptilia dan 4 jenis burung. Hal ini merupakan salah satu potensi penting untuk pengembangan wisata alam di daerah ini. Misal, di pagi hari sering terdengar suara ungko (morning call) bersahut-sahutan dari berbagai kelompok ungko. Disamping itu, pergerakan harian ungko juga menarik karena berbeda dari primata lainnya (beruk atau monyet ekor panjang), yakni dengan brachiasi/menggunakan tangan. Potensi satwa lain untuk wisata alam di Tahura SSH adalah jenis-jenis rangkong. Sayangnya, habitatnya di daerah ini telah rusak, pohon-pohon berdiameter besar dan tinggi telah hilang akibat penebangan liar. Biasanya rangkong bersarang di lubang-lubang pohon dan sangat menyukai buah ficus. Rangkong juga sering makan bersama-sama primata di dalam satu pohon. G. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Kawasan Tahura SSH berada di tiga wilayah kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Kampar dan Siak, serta Kota Pekanbaru. Berdasar hasil sensus penduduk tahun (SP), penduduk di ketiga wilayah tersebut berjumlah jiwa dengan laju tertinggi pada periode , sebesar 6,63%. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di daerah ini lebih disebabkan oleh migrasi penduduk yang ma suk (imigrasi) ke daerah ini. Secara konstan, penduduk terbanyak sepanjang tahun berada di Kota Pekanbaru, dan diikuti Kabupaten Kampar. Kawasan Tahura SSH berada di pinggir jalan lintas timur Sumatera, antara Pekanbaru-Dumai, sehingga sangat dipengaruhi oleh keberadaan penduduk di sekitar jalan tersebut. Dua pemukiman yang mempunyai interaksi kuat adalah Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru dan Kelurahan Minas Jaya, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. Tiga pemukiman lain yang interaksinya kurang kuat saat ini dengan Tahura SSH adalah Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar dan Desa Minas Barat, serta Rantau Bertuah, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak. Berdasar etnis penduduk di Kelurahan Minas Jaya dan Muara Fajar sebagian besar adalah etnis Minang-Pariaman yang masuk ke daerah ini pada awal tahun an. Kedatangan mereka di daerah ini, sebagian besar

54 36 dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Secara sosial ekonomi, daerah Minas dan Rumbai pada waktu itu sedang mengalami perkembangan dengan dibukanya jalan minyak oleh PT. Caltex Pacific Indonesia, sementara sumber daya kayu hutan untuk bahan bangunan di daerah ini sangat besar sehingga dapat menopang kehidupan mereka. Secara budaya, orang tua mereka sejak dulu selalu mengajarkan untuk merantau karena keterbatasan sumber daya alam di daerah asal sehingga hidup merantau telah menjadi budaya masyarakat di daerah tersebut. Etnis lain yang tinggal di daerah ini adalah Melayu, Jawa, Batak dan Cina. Pada umumnya, keempat etnis ini lebih suka menguasai tanah/lahan dibanding sumberdaya kayu. Bagi orang Jawa dan Batak, tanah merupakan simbol kekayaan untuk bercocok tanam. Sementara itu, tanah bagi orang Cina merupakan aset yang terus akan bertambah nilainya sehingga penting bagi pengembangan bisnisnya di masa depan. Oleh karena itu, sebagian besar lahan yang ada di wilayah Kelurahan Muara Fajar dikuasai oleh orang Cina. Sayangnya sebagian besar lahan mereka tidak produktif karena tidak ditanami atau diusahakan.

55 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian A.1. Penentuan Edge Daerah tepi (edge) memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dan daerah core hutan. Dari segi abiotik edge memiliki suhu dan kelembaban udara yang berbeda dibandingkan dengan kedua tipe habitat yang berbatasan misalnya hutan dengan kebun sawit. Di lapangan sulit untuk mengukur suhu di sepanjang jalur pengamatan karena membutuhkan banyak tenaga pengukur dan waktu pengukuran serentak di setiap titik-titik pengukuran. Suhu dan kelembaban akan berbeda seiring dengan perubahan waktu pengukuran, kondisi angin, penutupan awan dan intensitas cahaya matahari. Secara biotik edge ditandai dengan adanya vegetasi peralihan antara tipe habitat misalnya pada jalur belukar ditandai dengan dominansi pohon yang bertambah banyak ke arah core dan berkurang ke arah belukar. Begitu juga dengan belukar yang makin berkurang ke arah core dan makin banyak ke arah belukar. Asosiasi ini di lapangan tidak mempunyai batas-batas yang jelas namun dapat diukur posisi terluar dan terdalam vegetasi indikatornya. Dua dasar penentuan edge yang digunakan dalam meletakkan jalur pengamatan yakni : 1. Indikator vegetasi Pada jalur-jalur pengamatan yang terdapat belukar seperti jalur belukar, kebun campuran, danau, kebun masyarakat digunakan vegetasi indikator seperti mahang abu (Macaranga triloba), resam (Gleichenia sp.) dan Kibatalia borneensis yang banyak ditemukan di daerah tahap awal suksesi, daerah semak dan daerah terbuka oleh penebangan. Keberadaan vegetasivegetasi ini terkait dengan tingkat intensitas cahaya matahari yang masuk ke lokasi tempat tumbuh. Dalam sistem silvikultur dapat dimasukkan pada golongan pohon yang tidak butuh naungan (intoleran).. Persentase penutupan tajuk Sedangkan pada jalur pengamatan tepi jalan ditandai dengan berkurang dan bertambahnya persentase penutupan tajuk. Makin ke arah core persentase penutupan tajuk makin besar dan makin ke jalan penutupan tajuk makin kecil. Ditetapkan penutupan tajuk di bawah 5% merupakan daerah edge dan di

56 38 atas 5% daerah core. Penutupan tajuk ini terkait dengan hubungan vegetasi dengan penyinaran matahari dan suhu serta kelembaban udara. Makin rapat tajuk makin rendah suhu dan makin tinggi kelembaban udara. A.. Kondisi Jalur Pengamatan Burung Berdasarkan peta penutupan vegetasi terlihat di sebelah barat Tman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) didominasi oleh jenis akasia khususnya Acacia mangium yang merupakan areal konsesi PT. Arara Abadi. Sedangkan di sebelah timur didominasi oleh semak belukar dengan vegetasi utama terdiri atas alang-alang dan semak berkayu. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang penutupan vegetasi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran. Berdasarkan citra satelit tahun 1999, kondisi penutupan vegetasi di tahura SSH lebih kurang 5% terdiri atas areal terbuka bekas tebangan, semak belukar dan akasia. Sedangkan 5% lagi merupakan areal berhutan dengan tingkat suksesi merupakan hutan sekunder. Kondisi lapangan menunjukkan di tahura SSH areal berhutan terdapat di sekitar pendopo dan sekitar danau. Citra satelit tahun menunjukkan terjadi pengurangan areal berhutan dan peningkatan areal terbuka, semak belukar serta invasi akasia ke dalam tahura. Pengurangan areal berhutan diperkirakan mencapai hampir 5-1% dari tahun Peningkatan areal terbuka dipicu oleh tingginya tingkat pembalakan liar dan okupasi oleh masyarakat pada areal tahura SSH untuk dijadikan kebun baik kebun sawit maupun kebun tanaman campuran. Sedangkan citra satelit tahun 4 menunjukkan areal berhutan hanya tinggal 35-4% dengan semakin bertambah luasnya keterbukaan areal, invasi akasia, kebun sawit, kebun masyarakat dan semak belukar. Berdasarkan survei lapangan ditemukan bentuk tahura SSH (khusus yang berhutan) seperti kurva tak beraturan yang membentuk sabuk (belt) dengan lebar yang berbeda. Bentuk ini terjadi karena adanya semak belukar dan keterbukaan areal di sekitarnya, sehingga pada saat survei dilakukan hanya beberapa plot yang dapat diletakkan di jalur pengamatan karena sudah menemukan ciri dan tipe penggunaan lahan yang berbeda pula. Pada tahun 4 untuk menanggulangi dan meningkatkan areal berhutan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan melakukan Gerakan

57 39 Rehabilitasi Lahan (Gerhan) di lokasi Tahura SSH dengan berbagai jenis lokal. Jenis-jenis meranti, gaharu dan MPTS ditanam di lokasi tahura. Ada 8 jalur pengamatan burung di tahura SSH yang diletakkan sepanjang tipe-tipe penggunaan lahan. Rata-rata jalur mencakup 3 tipe habitat yaitu habitat dengan pola penggunaan lahan yang berbeda, daerah tepi hutan (edge) dan habitat daerah inti hutan (core). Ada beberapa jalur yang mencakup hanya tipe habitat yaitu edge dan core yaitu jalur hotel rindu sempadan (HR) dan jalur tepi jalan 1 dan (TJ 1 dan TJ ). Jalur-jalur ini dianggap mewakili penggunaan lahan yang ada di tahura SSH yang selama ini telah mendapatkan tekanan dari masyarakat baik dalam bentuk kebun, pembalakan liar dan kebun campuran. Deskripsi masing-masing jalur diuraikan sebagai berikut : A..1. Jalur Pengamatan Burung Tepi Jalan 1 dan (TJ 1 dan TJ ) Jalur pengamatan burung tepi jalan 1 dan terdapat di lokasi hutan yang berbatasan langsung dengan jalan raya Pekanbaru-Minas. Jalur TJ 1 dan TJ terdapat di pinggir jalan beraspal dengan intensitas kendaraan yang tinggi dan dilalui oleh bus dan truk lintas Pekanbaru-Medan. Di kiri dan kanan jalan banyak ditempati oleh perumahan dan warung penduduk dengan tingkat keterbukaan lahan yang tinggi. Aktifitas penduduk sangat beragam dengan intensitas kegiatan yang cukup tinggi. Jalur TJ 1 diletakkan pada jalur yang memiliki vegetasi pohon yang cukup rapat. Sedangkan jalur TJ diletakkan pada jalur wisata/track pengunjung tahura SSH. Pemisahan jalur ini untuk melihat seberapa besar perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan burung di masing-masing jalur. Jalur jalan dipisahkan oleh jarak dan kondisi vegetasi yang berbeda. A... Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) Jalur semak belukar merupakan lokasi bekas penebangan liar oleh masyarakat dan ditinggalkan begitu saja hingga berkembang menjadi semak belukar. Berdasarkan tingkat suksesinya jalur belukar ini digolongkan sebagai belukar tua dengan tumbuhnya beberapa jenis pionir di lokasi semak belukar. Jalur belukar didominasi oleh jenis-jenis herba berkayu, jenis-jenis pohon pionir dan jenis resam. Jalur semak belukar ini juga dipisahkan oleh jalur wisata pengunjung.

58 4 Jalur semak belukar banyak ditemukan di lokasi dengan tingkat keterbukaan areal yang tinggi disebabkan intensitas penyinaran matahari yang cukup banyak. Beberapa jenis vegetasi semak belukar terdapat di pinggir lokasi berpohon dengan yang masih mendapatkan penyinaran yang tinggi. A..3. Jalur Belukar Akasia (BA) Jalur belukar akasia yang terdapat di tahura SSH merupakan vegetasi yang didominasi oleh akasia muda dan jenis resam serta jenis rumput. Jenis akasia (Acacia mangium) merupakan spesies introduksi dari tegakan akasia yang ada di sekitar tahura SSH. Umur akasia berkisar antara -3 tahun dengan pertumbuhan yang sangat rapat. Akasia tumbuh sangat cepat dengan penyebaran dibantu oleh angin. Penyebaran akasia semakin lama merambah lokasi blok berhutan dan berkompetisi dengan pohon-pohon asli tahura SSH. A..4. Jalur Pengamatan Danau (DN) Sedangkan jalur danau didominasi oleh hamparan rumput dan tanah kosong di sekitar danau dan menuju ke hutan lebih didominasi oleh semak belukar muda. Danau ini memiliki karakteristik hidrologi yang dipengaruhi oleh volume curah hujan dan dimanfaatkan oleh peternak ikan sebagai sumber air untuk budidaya ikan arwana. Pada musim-musim tertentu di pinggir danau banyak ditemukan burungburung air dari jenis belibis. Selain itu juga banyak ditemukan burung raja udang yang mencari ikan dari tepi danau. Danau ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar tahura SSH untuk mencari ikan. A..5. Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) Jalur kebun campuran terdiri atas kebun singkong, pohon rambutan, palawija dan rumput-rumputan. Jalur ini berbatasan langsung dengan kebun dan pemukiman masyarakat yang terdapat di sekitar tahura SSH. Kebun campuran ini memiliki karakteristik tanaman semusim yang beranekaragam dan sebagian kecil ditanami dengan kelapa sawit. Intensitas kegiatan manusia di kebun campuran ini relatif tinggi dengan kegiatan-kegiatan perawatan dan penyiangan kebun.

59 41 A..6. Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) Berbeda dengan vegetasi kebun campuran, pada kebun sawit umur 4 tahun lantai bawahnya relatif lebih bersih dari belukar dan terdapat pemukiman ma syarakat. Kebun ini mulai menghasilkan buah sawit dan telah dipanen oleh masyarakat. Pembersihan tumbuhan bawah dan penyiangan gulma cukup intensif dilakukan oleh masyarakat pemilik kebun. Namun di beberapa tempat masih ditemukan semak belukar. Di bawah kelapa sawit telah mengalami pembersihan oleh masyarakat. A..7. Jalur Pengamatan Hotel Rindu Sempadan (HR) Hotel Rindu Sempadan terdapat dan berbatasan langsung dengan tahura SSH. Hotel Rindu Sempadan memanfaatkan bentang lahan dan penutupan vegetasi tahura SSH sebagai objek wisata pendukungnya disamping kolam ikan dan taman bermain serta penangkaran satwa. Beberapa tempat seperti kolam ikan, taman bermain dan penangkaran satwa ditanami dengan pepohonan pelindung dan sering dijadikan tempat bertengger bagi burung-burung dari tahura SSH. Vegetasi antara tahura SSH dengan Hotel Rindu Sempadan didominasi oleh rumput-rumputan dan mengalami penyiangan intensif oleh petugas hotel. A.3. Jumlah Individu dan Komposisi Jenis Vegetasi Jalur analisa vegetasi diletakkan pada jalur pengamatan burung untuk mencari hubungan antara burung dengan vegetasi yang ada. Burung menggunakan vegetasi sebagai tempat bersarang, mencari makanan, tempat bertengger dan tempat berlindung dari pemangsa. Pada analisa vegetasi didapatkan lebih kurang 5 jenis pohon yang terdapat pada plot pengamatan berbentuk garis berpetak. Dari 5 jenis tersebut ada jenis-jenis yang selalu muncul dan mendominasi berbagai jalur vegetasi yaitu Endospermum malaccensis, Artocarpus elasticus dan Actinodaphne sp. Jenis-jenis tersebut ditemukan hampir merata di plot vegetasi di edge maupun di core. Sedangkan ada beberapa jenis yang ditemukan hanya di tempat-tempat terbuka seperti Kibatalia borneensis (nama jenis vegetasi pada Lampiran 3). Pada jalur vegetasi paling banyak ditemukan jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae (4 jenis) namun kelimpahannya relatif sedikit. Sedangkan

60 4 famili Euphorbiaceae hanya jenis tapi kelimpahan pada plot vegetasi cukup banyak diikuti oleh famili Moraceae. Pada jalur kelapa sawit ditemukan 1 jenis pohon di edge dan 18 jenis pohon di corenya. Sedangkan jalur kebun campuran terdapat 16 jenis pohon di edge dan 8 jenis di core. Berturut-turut di jalur TJ 1 15, jenis pohon ditemukan di edge dan core. Diikuti oleh jalur hotel Rindu Sempadan sebanyak 11 jenis di edge dan 14 jenis di core. Pada jalur danau jumlah jenisnya relatif sedikit dibandingkan dengan jalur vegetasi yang lain sebanyak 9 jenis di edge dan 1 jenis di core. Pada belukar akasia kedua lokasi pengamatan edge dan core memiliki jumlah jenis yang sama banyak sebesar 15 jenis. Di jalur semak belukar terdapat 9 jenis di edge dan 11 jenis di core. A.4. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi dan Burung Analisa vegetasi yang dilakukan pada jalur-jalur pengamatan burung terbatas pada edge dan core hutan, sedangkan pada habitat lain tidak dilakukan analisa vegetasi karena vegetasi cenderung seragam. Analisa vegetasi dilakukan untuk melihat sejauhmana suatu jenis menguasai suatu tempat, jumlah dan dominansinya. Pengukuran indeks nilai penting pada jenis burung mencakup nilai indeks yang terdiri dari frekuensi relatif (FR) dan kerapatan relatif (KR). Nilai FR berkaitan dengan tingkat keseringan suatu jenis burung ditemukan berdasarkan jumlah plot pengamatan. Berbeda dengan nilai FR, nilai KR berkaitan dengan kepadatan jumlah individu suatu dibandingkan dengan jenis lain berdasarkan luas tempat. A.4.1. Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) dan Tepi Jalan (TJ ) A INP Vegetasi pada Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Analisa vegetasi pada jalur pengamatan tepi jalan hanya dilakukan pada jalur tepi jalan 1 karena habitat ini memiliki vegetasi mulai dari tingkat pohon, tiang, pancang dan semai, sedangkan pada jalur tepi jalan tidak ada vegetasi karena merupakan jalur wisata pengunjung. Peletakan jalur digunakan untuk membandingkan komposisi dan jenis burung yang ditemukan. Tingkat pohon di jalur tepi jalan, banyak didominasi dan ditemukan jenis Sloetia elongata (INP 7,5%), Endospermum malaccensis (INP 66,85%) dan Aglaea sp. (INP 3,5%). Sedangkan pada habitat core jenis-jenis yang memiliki

61 43 KR, FR dan DR tertinggi ada pada jenis Endospermum malaccensis (INP 11,8%), Palaquium hexandrum (INP 38,87%) dan Artocarpus elasticus (INP 36,6%). Jenis Endospermum malaccensis ditemukan sebanyak 4 individu pada habitat edge dan 9 individu pada habitat core. Keberadaan jenis Endospermum malaccensis di kedua habitat menunjukkan peningkatan jumlah individu. Indeks kesamaan komunitas di kedua habitat sebesar 4% dengan jenis yang ada di kedua habitat adalah jenis Artocarpus integra, Endospermum malaccensis, Aglaea sp., Artocarpus elasticus, Palaquium hexandrum, Ixonanthes icosandra dan Garcinea syzygifolia. Kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif tertinggi pada habitat edge ditemukan pada jenis Sloetia elongata (INP 54,39%), berturut-turut INP sebesar 48,8% dan 46,73% pada Artocarpus elasticus dan Horsfieldia grandis. Sedangkan INP tertinggi di habitat core ditemukan pada jenis Polyalthia sp. (63,94%), Ixonanthes icosandra (53,45%) dan Parkia speciosa (4,4%). Indeks kesamaan antara habitat edge dan core sebesar 19,5% dengan vegetasi yang ditemukan di kedua tipe habitat adalah jenis Ixonanthes icosandra dan Dillenia reticulata. INP tingkat pancang tertinggi di edge terdapat pada jenis Polyalthia sp. (44,9%) dan Ixonanthes icosandra (34,9%), sedangkan kelima jenis pancang yang lain masing-masing INP sebesar 4,9%. INP tingkat pancang di habitat core tertinggi ditemukan pada jenis Hopea mengarawan (18,33%), Kibatalia borneensis (41,67%) dan Dillenia reticulata (37,5%). Jenis yang sama di kedua tipe habitat adalah jenis Syzygium sp. dan Ixonanthes icosandra dengan indeks kesamaan bernilai 19,5%. Pada tingkat semai di edge, INP tertinggi terdapat pada jenis Actinodaphne sp. (48,53%), Rhodamnia cinerea (4,65%) dan Palaquium hexandrum (1,76%) serta Syzygium sp. (1,76%). Pada habitat core jenis Actinodaphne sp (44,7%), Geronniera subaecualis (,74%) dan Kibatalia borneensis (,5%) memiliki nilai INP tertinggi di habitat ini. Sedangkan jenis vegetasi yang ditemukan baik di habitat edge maupun di habitat core adalah jenis Actinodaphne sp. dan Palaquium hexandrum dengan IS sebesar 14,9%. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, 6 dan 7. Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan tepi jalan khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 8

62 44 Gambar 8. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Keterangan Pohon : 1. Sindur. Pisang-pisang 3. Pagar-pagar 1. Terap. Sendok-sendok 3. Ludai 4. Asam Kandis 5. Pisang-pisang 1. Kulim. Berangan 3. Meranti 4. Cempedak 5. Berangan 6. Mendarahan 7. Kelat 8. Meranti 9. Kulim A INP Burung pada Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Jalur pengamatan pada tepi jalan 1 memiliki tipe habitat yang berbeda dibandingkan jalur pengamatan lain yang memiliki 3 tipe habitat yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan letak dan perbatasan antara habitat. Habitat tepi jalan merupakan tepi hutan yang berbatasan langsung dengan jalan raya Pekanbaru-Minas. Pada pengamatan edge hutan banyak ditemukan burung dengan jenis yang beragam. Mulai dari Pycnonotus goiavier (%), Orthotomus ruficeps (16,67%), Pycnonotus atriceps (1%) dan Copsychus saularis (1%). Sedangkan di core ada 3 jenis yang memiliki nilai FR yang sama 1% yakni Terpsiphone paradisi, Pycnonotus goiavier dan Orthotomus ruficeps.

63 45 Nilai KR terbesar di habitat edge dijumpai pada jenis Pycnonotus goiavier (6,15%) kemudian Orthotomus ruficeps (13,85%). Jenis Copsychus saularis memiliki nilai FR yang sama dengan jenis Lonchura punctulata sebesar 9,3%. Burung dengan kelimpahan terbesar di core hutan terdapat pada jenis Pycnonotus goiavier (11,84%) diikuti oleh jenis Orthotomus ruficeps (1,53%) dan Megalaima australis (9,1%). INP burung pada masing-ma sing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel dan selengkapnya pada Lampiran 34. Tabel. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Habitat Jenis Burung FJ FR (%) KJ (Ind/ha) KR (%) INP (%) Edge Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Copsychus saularis,86,71,43 16,7 1 8,59 4,55 3,3 6, 13,8 9,3 46, 3,5 19, Hutan Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Megalaima australis,71,71, ,55 4,4 3,54 11,8 1,5 9,1 1,8,5 17, A INP Burung pada Jalur Tepi Jalan (TJ ) Berbeda dengan jalur tepi jalan 1, tepi jalan diletakkan pada jalur yang digunakan oleh pengunjung tahura SSH. Peletakan ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan antara jalur pengunjung dengan jalur pada lokasi hutan dalam hal kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung. Pada habitat edge jalan ditemukan jenis dengan FR sebesar 17,65% pada Pycnonotus goiavier dan Orthotomus ruficeps. Dan sebesar 8,8% pada Terpsiphone paradisi dan Pycnonotus atriceps. Di core hutan banyak dijumpai jenis-jenis Terpsiphone paradisi (15,15%) dan Orthotomus ruficeps (15,15%). Jenis Pygnonotus goiavier (8,7%), Orthotomus ruficeps (17,54%) dan jenis Pycnonotus atriceps (1,53%) memiliki KR tertinggi di habitat edge. Sedangkan KR tertinggi di core oleh jenis-jenis Orthotomus ruficeps (18,75%), Pycnonotus goiavier (14,58%), Terpsiphone paradisi (1,4%) dan Aegithina tiphia (1,4%). INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 3 dan selengkapnya pada Lampiran 35. Tabel 3. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan (TJ ) Habitat Jenis Burung FJ FR (%) Edge Hutan Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Aegithina tiphia Orthotomus ruficeps Pycnonotus goiavier Terpsiphone paradisii,86,86,57,71,57,71 17,6 17,6 11,8 15, 1,1 15, KJ (Ind/ha) 8,9 5,6,53 4,55 3,54,53 KR (%) 8,1 17,5 8,77 18,8 14,6 1,4 INP (%) 45,7 35,,5 33,9 6,7 5,6

64 46 A.4.. Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) A INP Vegetasi pada Jalur Semak Belukar (SB) Habitat edge pada jalur pengamatan semak belukar merupakan peralihan antara hutan dengan semak dimana terdapat tumbuhan bawah di sekitar pohon dan terdapat pohon di dalam semak. Jenis Endospermum malaccensis (INP 86,4%) mendominasi habitat edge semak dengan hutan. Selanjutnya diikuti oleh jenis Artocarpus elasticus (INP 75,19%) dan Cratoxylum arborescens (INP 4,5%). Di habitat core terdapat jenis Endospermum malaccensis (INP 68,84%) yang mendominasi, selanjutnya jenis Artocarpus elasticus (INP 47,9%) dan Kibatalia borneensis (INP 36,4%). Jenis yang ditemukan di kedua tipe habitat adalah jenis Endospermum malaccensis, Artocarpus elasticus, Elaeocarpus sp. dan Syzygium sp. Indeks kesamaan antara habitat edge dan core hutan sebesar 4% dengan vegetasi yang sama berjumlah 4 jenis. INP tingkat tiang tertinggi pada habitat edge terdapat pada jenis Litsea sp. (INP 67,18%). Berikutnya terdapat pada jenis Euobia sp. (INP 67,13%) dan Elaeocarpus sp. (INP 41,54%). Dari ketiga jenis di atas hanya jenis Euobia sp. yang juga ditemukan di habitat core. Sedangkan habitat core dikuasai oleh jenis Geroniera nervosa (INP 73,9%), Endospermum malaccensis (INP 57,96%) dan Dillenia oblongata (57,96%). Tingkat kesamaan komunitas antara habitat edge dan core hutan sebesar 16,67% dengan jenis yang sama berjumlah 1 jenis. INP untuk tingkat pancang pada habitat edge tidak didominasi satupun jenis pancang. Masing-masing jenis mempunyai nilai INP yang sama sebesar 33,33%. Berbeda dengan habitat edge, pada habitat core jenis Syzygium sp. (INP 5%) mendominasi sedangkan jenis lain memiliki nilai INP yang sama yakni 5%. Nilai indeks kesamaan komunitas didapatkan sebesar 15,38% dengan jenis yang sama sebanyak 1 jenis (Kibatalia borneensis). Pada habitat edge banyak ditemukan semai Actinodaphne sp. (INP 95,4%) dan Kibatalia borneensis (INP 33,55%). Namun dari ketiga jenis di atas tidak ditemukan pada habitat edge kecuali jenis Actinodaphne sp. dengan INP sebesar,19%. Pada habitat core yang mendominasi adalah jenis Palaquium hexandrum (INP 43,7%), Palaquium sumatranum (INP 7,88%) dan Hopea mengarawan (INP 7,88%). Indeks of Similarity kedua komunitas edge dan core sebesar 14,9%. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, 1 dan 11.

65 47 Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan semak belukar khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Semak Belukar (SB) Keterangan Pohon : 1. Sendok-sendok. Terap 3. Medang rawa 4. Mampat 1. Terap. Terap 3. Sendok-sendok 4. Terap A.4... INP Burung pada Jalur Semak Belukar (SB) Habitat semak belukar tua dengan kondisi vegetasi banyak ditumbuhi herba berkayu dan 1- individu pohon sering ditemukan jenis burung Pycnonotus goiavier (1,5%), Orthotomus ruficeps (15,79%), Pycnonotus atriceps dan Pycnonotus simplex (1,53%). Pada edge antara semak belukar dengan hutan, frekuensi relatif tertinggi terdapat pada jenis Pycnonotus goiavier (17,65%) diikuti oleh jenis Orthotomus ruficeps dan Copsychus saularis sebesar 11,76%. Di core hutan banyak terdapat jenis Pycnonotus goiavier dan Orthotomus ruficeps (15,79%) serta jenis Anthreptes singalensis dan Picus puniceus (1,53%). Sedikit terjadi perbedaan dengan core pada jalur pengamatan yang lain core pada jalur semak belukar berbentuk memanjang dengan kanan kirinya dikelilingi

66 48 oleh semak belukar dan jalur wisata. Diduga suara burung yang ada di sekitar core teridentifikasi pada waktu pengamatan. Jenis burung yang mendominasi habitat semak adalah Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps, dan Pycnonotus simplex dengan nilai FR sebesar 4,39%, 17,7% dan 1,%. Pada edge semak belukar dengan hutan masih didominasi oleh jenis Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps, dan Hirundo tahitica dengan nilai KR berturut-turut 3,8%, 1,8% da 1,8%. Core hutan dengan karakteristik yang berbeda menunjukkan dominansi jenis yang berbeda pula jika dibandingkan dengan core jalur pengamatan burung lainnya. Dominansi jenis yang ada di core ditunjukkan oleh jenis Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps dan Pycnonotus simplex. INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 4 dan selengkapnya pada Lampiran 36. Tabel 4. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Semak Belukar (SB) SB Habitat Jenis Burung FJ FR (%) Edge Hutan Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Pycnonotus simplex Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Copsychus saularis Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Pycnonotus simplex 1,75,5,75,5,5,75,75,5 1,1 15,8 1,5 17,6 11,8 11,8 15,8 15,8 1,5 KJ (Ind/ha) 3,18,3 1,59,87 1,59 1,7 4,4 4,4,65 KR (%) 4,4 17,1 1, 3,1 1,8 1,3 1 INP (%) 45,4 3,9,7 4,7 4,6 35,8 35,8,5 A.4.3. Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) A INP Vegetasi pada Jalur Belukar Akasia (BA) Pada habitat edge jalur akasia terdapat jenis-jenis pohon yang juga ditemukan pada jalur pengamatan lain. Tetapi secara umum pohon yang mendominasi jalur akasia dari jenis Endospermum sp. (INP 6,11%), Sago (INP 3,11%) dan Litsea spp. (INP 6,47%). Pada habitat core terdapat jenis-jenis pohon Sago (INP 66,19%), Endospermum sp. (INP 4,%) dan Artocarpus elasticus (INP 3,1%). Vegetasi yang sama dari jenis Sago, Endospermum sp., Artocarpus rigidus, Garcinia parvifolia, Artocarpus elasticus dan Artocarpus anisophyllus. Indeks of Similarity kedua habitat edge hutan-akasia dan core hutan sebesar 4%. Tingkat tiang dengan dbh antara 1- cm ditemukan dalam jumlah yang berfluktuasi pada habitat edge dan core. Di habitat edge hanya ditemukan 6 individu sedangkan di habitat core 9 individu. Tingkat tiang pada habitat edge

67 49 didominasi oleh jenis Litsea sp. (INP 99,1%), Euobia sp. (INP 57,99%) dan Actinodaphne sp. (INP 5,46%). Sedangkan pada habitat core ditemukan jenis Artocarpus elasticus (INP 6,75%), Geroniera nervosa (INP 41,66%) dan Candelia candel (INP 39,67%). Nilai IS sebesar 15,38% dengan jenis yang sama terdiri dari satu jenis yaitu Euobia sp. Nilai INP pada tingkat pancang hanya terdiri dari FR dan KR. Tingkat pancang pada habitat edge menunjukkan tidak adanya jenis yang dominan karena seluruh jenis yang ada memiliki nilai INP yang sama sebesar,%. Sedangkan tingkat pancang di habitat core hanya memiliki satu jenis pancang yang dominan yaitu jenis Ixonanthes icosandra (INP 33,33%). Perbandingan jenis yang sama didapatkan nilai IS sebesar 15,38% dengan jenis Syzygium sp. antara habitat edge dengan habitat core. Nilai INP tertinggi pada tingkat semai di habitat edge ditemukan pada jenis Actinodaphne sp. (INP 6,5%), Kibatalia borneensis (INP 37,5%) dan Palaquium sumatranum (INP 5%). Nilai tertinggi pada habitat core terdapat pada INP jenis Palaquium hexandrum 13,57%, Kibatalia borneensis 6,9% kemudian jenis lain yang mempunyai INP sama sebesar 6,79%. Jenis-jenis Actinodaphne sp., Kibatalia borneensis dan Pometia pinnata ditemukan pada kedua habitat dengan nilai IS sebesar 46,15%. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, 13, 14 dan 15. Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan belukar akasia khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 1.

68 5 Gambar 1. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Belukar Akasia (BA) Keterangan Pohon : A INP Burung pada Jalur Belukar Akasia (BA) 1. Sago. Tampunik 3. Kandis 4. Kandis 5. Terap 6. Medang sijengkeng 7. Babi kurus 8. Damar kelok 9. Mahang abu Akasia yang merupakan spesies invasif dan bukan merupakan spesies lokal di tahura SSH mulai tumbuh pada beberapa bagian di tahura SSH. Burungburung yang menyukai habitat akasia dari jenis-jenis Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps, Geopelia striata dan Amaurornis phoenicurus. Masingmasing jenis memiliki nilai FR sama sebesar 14,9%. Akasia yang tumbuh pada lokasi pengamatan berumur -3 tahun sering digunakan tempat bertengger sementara oleh burung. Jalur pengamatan setelah habitat akasia adalah habitat edge yang banyak ditemukan jenis Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps, Dicrurus paradiseus, Amaurornis phoenicurus dan Ninox scutulata. Jenis burung di edge memiliki nilai FR yang sama sebesar 1,5%. Jenis Orthotomus ruficeps

69 51 paling sering ditemukan di core dengan FR 17,67%. Setelah itu ditemukan jenisjenis Anthreptes singalensis dan Pycnonotus goiavier yang memiliki nilai FR cukup besar (11,76%). Burung dari jenis Hirundo tahitica (4%) mendominasi lokasi pengamatan habitat akasia. Burung ini ditemukan dalam jumlah besar pada satu titik pengamatan sehingga nilai frekuensinya lebih kecil dibandingkan jenis lain. Setelah itu habitat akasia juga didominasi oleh Geopelia striata (4%). Burung dengan FR tertinggi pada habitat akasia hanya memiliki nilai DR sebesar 8%, dari jenis Orthotomus ruficeps, Pycnonotus goiavier dan Amaurornis phoenicurus. Di edge kelimpahan paling besar pada jenis Amaurornis phoenicurus (18,5%) dan Hirundo tahitica (18,5%) diikuti oleh jenis Pycnonotus goiavier dan Orthotomus ruficeps sebesar 14,81%. Core yang ada di jalur pengamatan danau didominasi oleh jenis Orthotomus ruficeps (6,66%), Pycnonotus simplex (3,99%) dan Nectarinia jugularis (3,99%). INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 5 dan selengkapnya pada Lampiran 37. Tabel 5. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Belukar Akasia (BA) Habitat Jenis Burung FJ BA Edge Hutan Hirundo tahitica Geopelia striata Amaurornis phoenicurus Amaurornis phoenicurus Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Orthotomus ruficeps Pycnonotus goiavier Anthreptes singalensis,5,5,5,5,5,5,75,5,5 FR (%) 7,14 14,3 14,3 1,5 1,5 1,5 17,6 11,8 11,8 KJ (Ind/ha) 9,95 5,97 1,99,49 1,99 1,99 4,4 1,77 1,77 KR (%) ,5 14,8 14,8 6,66,66,66 INP (%) 47,1 38,3,3 31 7,3 7,3 4,3 14,4 14,4 A.4.4. Jalur Pengamatan Danau (DN) A INP Vegetasi pada Jalur Danau (DN) INP tingkat pohon di edge jalur danau paling tinggi pada jenis Endospermum malaccensis (83,9%), Quercus spp. (64,46%) dan Litsea spp. (36,65%). Untuk habitat core didominasi oleh jenis-jenis Endospermum malaccensis (INP 48,78%), Syzygium sp. (INP 48,38%) dan Parashorea aptera (43,8%). Vegetasi yang sama dari jenis-jenis Syzygium sp, Endospermum malaccensis, Quercus spp., Actinodaphne procera, Payena acuminata dan Artocarpus elasticus. Indeks kesamaan sebesar 63,16% relatif tinggi dibandingkan jalur pengamatan lain.

70 5 Pada tingkat tiang di habitat edge ditemukan jenis-jenis Elateriospermum sp. (INP 49,11%), Shorea sp. (INP 48,%) dan Syzygium sp. (INP 44,7%) mendominasi dan paling banyak terdapat di habitat ini. Di habitat core ditemukan jenis-jenis Calophyllum pulcherrimum (INP 74,48%), Shorea sp. (INP 63,64%) dan Parashorea aptera (INP 56,51%) dengan jumlah KR, FR dan DR tertinggi. Jenis Shorea sp. dan Artocarpus anisophyllus ditemukan pada kedua habitat edge dan core dengan nilai IS sebesar 8,57%. Tingkat pancang di habitat edge banyak dijumpai jenis Artocarpus anisophyllus (INP 45,4%) sedangkan jenis-jenis lain memiliki nilai INP yang sama 3,95%. Pada habitat edge tidak ada INP yang terbesar karena memiliki nilai yang sama sebesar 66,67% pada jenis Santiria laevigata, Artocarpus anisophyllus dan Shorea sp. Jenis Artocarpus anisophyllus ditemukan di kedua habitat dengan indeks kesamaan sebesar,%. Permudaan tingkat semai di habitat edge lebih banyak didominasi oleh jenis-jenis Santiria laevigata (INP 4,95%), Calophyllum pulcherrimum (INP 4,95%) dan jenis Diospyros oblonga serta Syzygium sp. dengan INP masingmasing sebesar 7,6%. Selain di habitat edge jenis Santiria laevigata (INP 45%) juga mendominasi habitat core dan diikuti oleh jenis Baccaurea pyriformis (INP 36,67%) dan Actinodaphne sp. (INP 8,33%). Indeks kesamaan komunitas antara habitat edge dan core sebesar 37,5% dengan jenis yang ada di kedua habitat seperti Syzygium sp., Santiria laevigata, dan Garcinia syzygifolia. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, 18 dan 19. Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan danau khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 11.

71 53 Gambar 11. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Danau (DN) Keterangan Pohon : 1. Kelat kangkung. Sendok-sendok 3. Pening-pening merah 4. Pening-pening putih 5. Kelat jambu 6. Sendok-sendok A INP Burung pada Jalur Danau (DN) Danau tepi tahura dengan karakteristik debit air yang dipengaruhi oleh curah hujan menciptakan habitat bagi burung-burung pemakan ikan dan pada musim-musim tertentu terdapat beberapa jenis burung air seperti belibis. Habitat danau menjadi habitat yang disukai oleh Streptopelia chinensis (1,5%), Orthotomus ruficeps (1,5%) dan Pycnonotus goiavier (1,5%). Habitat edge dihuni oleh jenis Pycnonotus goiavier dan Orthotomus sericeus dengan FR sebesar 1,5% dan jenis lainnya memiliki FR yang sama sebesar 6,5%. Jenisjenis burung tempat terbuka banyak ditemukan di habitat danau disebabkan adanya semak belukar, rumput-rumputan di sekitar danau dan beberapa pohon yang sering digunakan sebagai tempat bertengger jenis-jenis burung. Di edge

72 54 antara habitat danau dengan hutan sering ditemukan jenis burung yang menyukai tempat terbuka dan tertutup dengan frekuensi relatif sama sebesar 7,69%. Jenis-jenis yang menghuni edge danau adalah jenis-jenis Pycnonotus aurigaster, Buceros rhinoceros dan Psittacula longicauda. Kerapatan relatif tertinggi pada habitat danau ditunjukkan oleh jenis Pycnonotus plumosus, Pycnonotus goiavier sebesar 17,86% diikuti oleh jenis Lonchura leucogastra dengan KR 14,9%. Pada habitat edge didominasi oleh jenis Pycnonotus goiavier (15,79%), Copsychus saularis, Orthotomus sericeus dan Psittacula longicauda dengan KR masing-masing sebesar 1,53%. Sedangkan di edge didominasi jenis tempat terbuka dari jenis Pycnonotus goiavier dan Orthotomus sericeus sebesar 13,33%. Hal ini diduga adanya pengaruh bentuk habitat yang memanjang dengan kiri kanan masih merupakan habitat semak belukar. INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 6 dan selengkapnya pada Lampiran 38. Tabel 6. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Danau (DN) Habitat Jenis Burung FJ FR (%) DN Edge Hutan Pycnonotus goiavier Pycnonotus plumosus Lonchura leucogastra Pycnonotus goiavier Orthotomus sericeus Psittacula longicauda Pycnonotus aurigaster Orthotomus ruficeps Buceros rhinoceros,5,5,5,5,5,5,5,5,5 1,5 6,5 6,5 1,5 1,5 6,5 7,69 7,69 7,69 KJ (Ind/ha) 1,59 1,59 1,7,96,64,64 1,77 1,77,88 KR (%) 17,9 17,9 14,3 15,8 1,5 1,5 13,3 13,3 6,67 INP (%) 3,4 4,1,5 8,3 3 16, ,4 A.4.5. Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) A INP Vegetasi pada Jalur Kebun Campuran Tingkat pohon di habitat edge dengan nilai penjumlahan KR, FR dan DR terbesar terdapat pada jenis Endospermum malaccensis (7,61%), Artocarpus elasticus (65,69%) dan Kibatalia borneensis (46,61%). Jenis Endospermum malaccensis (77,46%), Palaquium hexandrum(9,86%) dan Artocarpus elasticus (9,75%) mempunyai INP tertinggi di habitat core. Jenis Endospermum malaccensis yang ada di core mengalami peningkatan nilai INP dibandingkan dengan di habitat edge. Sedangkan jenis yang ada di kedua habitat adalah jenis Endospermum malaccensis, Artocarpus elasticus, Aglaea sp. dan Palaquium hexandrum dengan nilai IS sebesar 34,78%.

73 55 Tingkat pertumbuhan tiang pada edge dengan INP sebesar 74,74% terdapat pada jenis Geroniera nervosa yang merupakan INP paling tinggi di habitat tersebut. Kemudian diikuti oleh jenis Endopermum malaccensis (58,86%), Euobia sp. (56,6%) dan Litsea sp. (56,6%). Berbeda dengan habitat edge, pada habitat core INP tertinggi pada jenis Polyalthia sp. (76,13%), diikuti jenis Parkia speciosa sebesar 44,% sedangkan jenis Geroniera nervosa sebesar 4,3%. Indeks of Similarity antara kedua habitat menunjukkan nilai 16,67% dimana jenis yang sama adalah Geroniera nervosa. Nilai ini relatif kecil dan menunjukkan vegetasi yang ada di kedua habitat relatif berbeda. Pada tingkat pancang habitat edge, jenis Syzygium sp. memiliki INP tertinggi (66,67%) sedangkan 4 jenis lain memiliki INP yang sama dengan nilai 33,33%. Di habitat core INP tertinggi pada jenis Hopea mengarawan (75,56%) dan 8 jenis pancang lain INPnya 15,56%. Vegetasi yang sama diantara kedua habitat adalah jenis Kibatalia borneensis dengan indeks kesamaan sebesar 14,9%. Hal ini memperkuat dugaan bahwa antara kedua habitat edge dan core tingkat kesamaannya relatif kecil. Vegetasi tingkat semai di habitat edge terdiri dari jenis-jenis Kibatalia borneensis (INP 61,9%), Palaquium hexandrum (INP 39,68%) dan Palaquium sumatranum (INP 5,4%). Namun di habitat core terjadi perubahan jenis vegetasi yang memiliki nilai INP tertinggi. Jenis dengan INP tertinggi sebesar 3,5% terdapat pada jenis Actinodaphne sp., Geronniera subaecualis (INP 6,5%) dan Artocarpus elasticus (INP 4,36%). Jenis Actinodaphne sp. merupakan vegetasi yang ditemukan di kedua habitat edge dan core, namun di habitat edge jenis tersebut mempunyai nilai INP terkecil sedangkan di habitat core INP-nya paling besar. Tingkat kesamaan kedua komunitas vegetasi sebesar 11,11% dan merupakan IS paling kecil bila dibandingkan dengan IS pada tingkat pertumbuhan lain pada jalur pengamatan kebun campuran. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran, 1, dan 3. Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan kebun campuran khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 1.

74 56 Gambar 1. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Kebun Campuran (KC) Keterangan Pohon : 1. Sendok-sendok. Kedondong 3. Pulai 4. Terap 5. Balam 6. Sendok-sendok A INP Burung pada Jalur Kebun Campuran (KC) Pada jalur pengamatan kebun campuran masyarakat ditemukan 3 jenis burung dengan nilai FR tertinggi yaitu jenis Pycnonotus goiavier (11,76%), Orthotomus ruficeps (11,76%) dan jenis Passer montanus (11,76%). Jenis-jenis ini merupakan jenis-jenis burung yang menyukai daerah terbuka dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta tidak terlalu terganggu dengan keberadaan dan aktivitas manusia di sekitar habitatnya. Sedangkan nilai FR jenis burung di edge antara kebun campuran masyarakat dengan hutan terjadi perubahan jenis yaitu jenis Prinia familiaris (1,53%), Amaurornis phoenicurus (1,35%) dan jenis Orthotomus ruficeps (1,53%) yang masih sering ditemukan di lokasi ini. Nilai FR di core lebih banyak ditemukan pada jenis Rhinomyias umbratilis (11,11%), Gracula religiosa (11,11%) dan Psittacula longicauda

75 57 (11,11%). Jenis-jenis burung yang ditemukan di core cenderung pada jenis-jenis yang menyukai habitat yang lebih rapat dan dengan gangguan relatif kecil dibandingkan habitat terbuka. Jenis-jenis burung yang mempunyai nilai KR tertinggi pada lokasi pengamatan kebun campuran berdasarkan kategori Jorgensen (1974) adalah Passer montanus (58,7%), diikuti oleh Geopelia striata (8,7%) dan Pycnonotus goiavier serta Orthotomus ruficeps sebesar 5,43%. Sedangkan sebaliknya ditemukan pada edge dengan KR tertinggi dari jenis Orthotomus ruficeps (18,75%), Amaurornis phoenicurus (15,6%). Jenis yang terdapat pada kebun campuran masih banyak ditemukan di daerah edge seperti Pycnonotus goiavier, Geopelia striata, Melanoperdix nigra dan Pycnonotus aurigaster yang masingmasing mempunyai nilai KR sebesar 6,5%. Jenis Geopelia striata sering dijumpai pada habitat perkebunan baik perkebunan campuran maupun satu jenis komoditas tanaman. Untuk jenis Melanoperdix nigra lebih menyukai habitat semak belukar dan menggunakan ground sebagai tempat bersarang. INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 7 dan selengkapnya pada Lampiran 39. Tabel 7. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Campuran (KC) Habitat Jenis Burung FJ KC Edge Hutan Passer montanus Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Orthotomus ruficeps Amaurornis phoenicurus Prinia familiaris Gallus varius Gracula religiosa Psittacula longicauda,5,5,5,5,5,5,5,5,5 FR (%) 11,8 11,8 11,8 1,5 1,5 1,5 5,56 11,1 11,1 KJ (Ind/ha) 6,9,49,49,99,49 1,99 3,54 1,77 1,77 KR (%) 58,7 5,43 5,43 18,7 15,6 1,5 15,4 7,69 7,69 INP (%) 7,5 17, 17, 9,3 6, 3,9 18,8 18,8 A.4.6. Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) A INP Vegetasi pada Jalur Kebun Sawit (KS) Perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan penjumlahan dari nilai KR, FR dan DR pada edge-jalur kebun sawit dengan 3 spesies pohon INP terbesar adalah Endospermum sp. (84,%), Quercus spp. (64,99%) dan Litsea spp. (36,83%). Total INP ketiga spesies tersebut lebih dari 6% total INP pada pengamatan. Pada core lebih dikuasai oleh jenis-jenis Syzygium sp. (48,38%), Parashorea aptera (43,8%) dan Actinodaphne procera (38,9 %). Namun total ketiga jenis vegetasi itu hanya sebesar 45% dari INP keseluruhan. Bila

76 58 dibandingkan dengan edge, terlihat bahwa kerapatan, frekuensi dan dominansi relatif pada core menunjukkan penyebaran yang merata. Jenis Syzygium sp. banyak ditemukan di tempat-tempat dengan kondisi vegetasi yang relatif tertutup. Sedangkan Endospermum sp. ditemukan pada kondisi tertutup dan terbuka serta sering dijadikan tempat bertengger banyak jenis burung. Indeks kesamaan antara edge dengan core menunjukkan bahwa antara kedua habitat dari total seluruh jenis menunjukkan kesamaan vegetasi sebesar 6%. Ada beberapa jenis yang ditemukan baik di kedua tempat seperti Syzygium sp., Endospermum sp., Quercus spp., Actinodaphne procera, Palaquium spp., dan Artocarpus elasticus. Indeks kesamaan (IS) antara habitat ini relatif tinggi mengingat semakin tinggi IS semakin tinggi kesamaan vegetasi. Untuk tingkat tiang di edge, INP terbesar terdapat pada Litsea sp. (67,18%), Euobia sp. (67,13%) dan Elaeocarpus sp. (41,54%). Sedangkan di core lebih banyak ditemukan dan didominasi oleh jenis-jenis Horsfieldia grandis (93,93%), Syzygium sp. (66,67%) dan Sloetia elongata (59,4%). Vegetasi yang sama antara habitat adalah jenis Sloetia elongata dengan indeks kesamaan sebesar 18,18%. Nilai IS yang didapatkan relatif kecil dan menunjukkan tingkat kesamaan yang kecil pula. Pada tingkat pancang, seluruh jenis memiliki INP yang sama sebesar 33,33%. Di habitat edge ini ditemukan jenis Kibatalia borneensis yang merupakan jenis yang menyukai tempat terbuka. Pada core juga ditemukan Kibatalia borneensis (,95%) tapi hanya terdapat pada pinggir core dengan edge dan nilai INPnya relatif kecil dibandingkan vegetasi yang lain. INP terbesar di habitat core terdapat pada Hopea mengarawan (95,4%) dan Parashorea aptera (41,9%) dengan nilai IS sebesar 18,18% dan vegetasi yang sama dari jenis Kibatalia borneensis. Vegetasi tingkat semai di edge banyak dikuasai dan ditemukan jenis Actinodaphne sp. (INP 5,38%), Palaquium hexandrum (INP 45,4%), dan Palaquium sumatranum (INP 3,81%). Sedangkan di habitat core INP tertinggi terdapat pada jenis Actinodaphne sp. (55%), Rhodamnia cinerea (45%), dan Palaquium hexandrum (3,5%). Indeks kesamaan antara habitat sebesar 16,67% dengan vegetasi yang sama dari jenis Actinodaphne sp. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, 6 dan 7.

77 59 Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan kebun sawit khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Kebun Sawit (KS) Keterangan Pohon : 1. Kandis. Sendok-sendok 3. Sendok-sendok 4. Balam merah 5. Empuyan 6. Balam merah A INP Burung pada Jalur Kebun Sawit (KS) Burung-burung dari jenis Streptopelia chinensis (16,67%) dan Pycnonotus goiavier (11,11%) sering ditemukan di jalur pengamatan sawit baik secara langsung maupun tidak langsung (identifikasi suara). Jenis-jenis lain yang ditemukan di kebun sawit hampir sama frekuensi relatif (FR)-nya sekitar 5,56%. Khusus untuk plot edge ada 3 jenis burung yang memiliki nilai FR yang sama sebesar 11,76%. Jenis burung tersebut meliputi jenis Orthotomus ruficeps, Prinia familiaris dan Pycnonotus aurigaster. Nilai FR yang sama juga ditemukan pada core sebesar 11,76% untuk jenis-jenis Prinia familiaris, Megalaima hemachepala, Rhinomyias umbratilis, dan Psittacula longicauda. Jenis Prinia

78 6 familiaris banyak ditemukan di daerah edge dan core sedangkan di kebun sawit juga ditemukan dalam frekuensi yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua tipe habitat lainnya. Tiga jenis burung yang mendominasi lokasi kebun sawit berturut-turut dari Streptopelia chinensis (44,9%), Pycnonotus goiavier (3,9%), dan Passer montanus (13,%). Pada edge ditemukan jenis-jenis dominan dengan INP sebesar 33,6% untuk Prinia familiaris, 3,5% untuk Orthotomus atriceps dan Pycnonotus aurigaster (1,1%). Jenis-jenis yang dominan pada kebun sawit dan edge menjadi jarang atau tidak ada sama sekali di lokasi core, sehingga terjadi pergeseran dominansi pada jenis Prinia familiaris (7,8%), Psittacula longicauda (7,8%) dan Megalaima hemachepala (3,8%). INP burung pada masingmasing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 8 dan selengkapnya pada Lampiran 4. Tabel 8. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Sawit (KS) Habitat Jenis Burung FJ KS Edge Hutan Streptopelia chinensis Pycnonotus goiavier Passer montanus Prinia familiaris Orthotomus ruficeps Pycnonotus aurigaster Psittacula longicauda Prinia familiaris Megalaima hemachepala,75,5,5,5,5,5,5,5,5 FR (%) 16,7 11,1 5,56 11,8 11,8 11,8 11,8 11,8 11,8 KJ (Ind/ha) 5,47,49 1,49 3,48,99 1,49 3,54 3,54,65 KR (%) 8, 1,8 7,69 1,9 18,7 9, INP (%) 44,9 3,9 13, 33,6 3,5 1,1 7,8 7,8 3,8 A.4.7. Jalur Pengamatan Hotel Rindu Sempadan (HR) A INP Vegetasi pada Jalur Hotel Rindu Sempadan (HR) INP pohon tertinggi pada habitat edge jalur hotel terdapat pada jenis Artocarpus rigidus (77,77%), Waru (39,45%) dan Cratoxylum arborescens (35,9%). Pada habitat core ditemukan jenis Sago (6,15%), Endospermum sp. (46,6%) dan Artocarpus rigidus (39,5%). Adapun indeks kesamaan antara habitat tersebut sebesar 4% dengan jenis yang sama yaitu Cratoxylum arborescens, Artocarpus elasticus, Artocarpus rigidus, Endospermum sp. dan Garcinia parvifolia. Artocarpus rigidus ditemukan di tipe habitat dengan kecenderungan mengalami penurunan nilai INP dari 77% pada edge menjadi 39,5% di habitat core. Tingkat tiang pada habitat edge didominasi oleh jenis-jenis Geroniera nervosa (INP 84,51%), Polyalthia sp. (INP 43,1%) dan Dillenia oblongata (INP

79 61 35,96%). Sedangkan jenis-jenis Geroniera nervosa (INP 55,83%), Parkia spesciosa (INP 5,67%) dan Candelia candel (INP 5,67%) mendominasi pada habitat edge. Kedua tipe habitat memiliki kesamaan 6,67% dengan jenis yang sama yaitu Geroniera nervosa dan Euobia sp. Jenis-jenis Hopea mengarawan, Canarium tomentosum, Parashorea aptera dengan INP masing-masing sebesar 4% mendominasi habitat edge. Khusus untuk jenis Hopea mengarawan juga mendominasi pada habitat core dengan nilai INP 68,75% sedangkan 7 jenis yang lain memiliki INP masing-masing sebesar 18,75%. Jenis yang terdapat di kedua habitat adalah jenis Hopea mengarawan dengan kecenderungan mengalami peningkatan nilai INP. Nilai IS kedua habitat 13,33% menunjukkan tingkat kesamaan antara habitat tersebut. Berbeda dengan tingkat pancang, tingkat semai di edge didominasi oleh jenis Kibatalia borneensis (INP 9,39%), Actinodaphne sp. (INP 7,19%) dan Artocarpus elasticus (INP 4,1%). Sedangkan habitat core didominasi dan banyak ditemukan jenis-jenis Actinodaphne sp. (INP 68,89%) dan Palaquium sumatranum (INP 4,44%). Indeks kesamaan memberikan gambaran jumlah jenis sama yang ada di kedua habitat. Indeks menunjukkan nilai 1,53% dengan vegetasi yang sama dari jenis-jenis Actinodaphne sp. dan Geronniera subaecualis. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, 3 dan 31. Sedangkan peta profil tingkat pohon pada jalur pengamatan hotel Rindu Sempadan khusus untuk daerah tepi (edge) dapat dilihat pada Gambar 14.

80 6 Gambar 14. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (Edge) Jalur Hotel Rindu Sempadan Keterangan Pohon : 1. Tampunik. Cempedak 3. Waru 4. Waru 5. Tampunik 6. Sendok-sendok 7. Tampunik 1. Rambutan. Tampunik 3. Tampunikl 4. Kandis 5. Rambutan 6. Tampunik 7. Garunggang 1. Sendok-sendok. Medang sianik 3. Tampunik 4. Garunggang A INP Burung pada Jalur Hotel Rindu Sempadan (HR) Dalam penentuan jalur pengamatan, pada jalur hotel Rindu Sempadan hanya mencakup tipe habitat yakni edge dan core dimana habitat hotel terdiri atas ruang terbuka. Pada edge paling sering ditemukan dan frekuensi relatif paling tinggi pada jenis Streptopelia chinensis (18,75%) diikuti oleh jenis Pycnonotus goiavier, Copsychus saularis, Prinia familiaris masing-masing sebesar 1,5%. Sebaliknya di daerah core paling banyak ditemukan jenis Aceros corrugatus dan Prinia familiaris dengan FR sebesar 1,43% dan jenis lain memiliki FR yang sama besar (7,14%). Dominansi suatu jenis berkaitan dengan kerapatan jenis tersebut dibandingkan dengan jenis lain dalam satu plot pengamatan. Di habitat edge

81 63 ditemukan jenis Pycnonotus goiavier dengan KR sebesar 3,91%. Pycnonotus goiavier ditemukan pada tiap-tiap titik contoh. Sedangkan jenis Orthotomus ruficeps dan Copsychus saularis nilai KR tinggi di habitat edge setelah Pycnonotus goiavier dengan nilai KR sebesar 8,7%. Nilai ini masih jauh di atas kategori Jorgensen yang menyatakan spesies yang dikatakan dominan memiliki nilai KR di atas 5%. Nilai KR yang terdapat di core didominasi oleh jenis Prinia familiaris dengan sebesar 31,8%. Nilai KR sebesar,73% ditemukan pada jenis Aceros corrugatus. KR sebesar 9,9% terdapat pada jenis Turnix suscitator dan Rhipidura javanica. Jenis Pycnonotus goiavier mempunyai nilai FR dan KR yang tinggi disebabkan habitat pada jalur hotel Rindu Sempadan dikelilingi oleh areal terbuka dan sarana prasarana hotel. INP burung pada masing-masing tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 9 dan selengkapnya pada Lampiran 41. Tabel 9. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Hotel (HR) Habitat Jenis Burung FJ FR (%) Edge Hutan Streptopelia chinensis Pycnonotus goiavier Copsychus saularis Prinia familiaris Aceros corrugatus Rhipidura javanica,75,5,5,75,75,5 18,8 1,5 1,5 1,4 1,4 7,14 KJ (Ind/ha) 7,96 9,73 3,54 6,19 4,4 1,77 KR (%) 19,6 3,9 8,7 31,8,7 9,9 INP (%) 38,3 36,4 1, 53, 44, 16,

82 64 A.5. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung Pada jalur pengamatan kebun campuran (KC) indeks keanekaragaman (H ) tertinggi pada core sebesar,6, diikuti oleh habitat edge sebesar,53 dan terendah di habitat kebun campuran dengan H sebesar 1,64. Keanekaragaman di kebun sawit paling tinggi terdapat pada edge dengan nilai H sebesar,46 dan core sebesar,4 serta habitat kebun sawit tingkat keanekaragaman sebesar,4. Di jalur pengamatan hotel Rindu Sempadan (HR), keanekaragaman burung relatif lebih rendah dibandingkan kebun campuran dan kebun sawit. Disini didapatkan Indeks Shannon sebesar,16 di edge dan,7 di core hutan. Sedangkan di habitat semak tingkat keanekaragamannya berada pada nilai,34 di edge. Di core hutan keanekaragamannya sebesar,8 lebih besar dibandingkan keanekaragaman di habitat semak (,). Indeks Shannon paling tinggi pada jalur pengamatan danau (DN) ditemukan pada habitat edge (,55), kemudian diikuti oleh habitat core hutan sebesar,5. Keanekaragaman paling rendah pada jalur tersebut terdapat pada habitat danau. Namun demikian jumlah individu paling banyak ditemukan pada habitat danau dengan jumlah 8 individu. Selanjutnya pada jalur pengamatan belukar akasia (BA) didapatkan indeks keanekaragaman dengan variasi yang besar antara ketiga habitat mulai dari yang terbesar pada habitat core (,4), habitat edge (,19) dan paling kecil pada habitat semak belukar (1,76). Hampir sama dengan jalur pengamatan danau pada belukar akasia jumlah individu paling banyak juga ditemukan pada habitat akasia sementara di core paling sedikit. Tingkat keanekaragaman pada jalur tepi jalan 1 (TJ 1) berbeda antara edge dengan core. Pada habitat edge tingkat keanekaragamannya sebesar,31 dan di core sebesar,93. Sedangkan pada jalur tepi jalan (TJ ), variasi keanekaragamannya lebih kecil dengan tingkat keanekaragaman pada edge sebesar,4 dan pada core sebesar,55. Variasi yang lebih kecil pada edge jalan 1 diduga karena vegetasi tepi jalan dan keterbukaan tajuknya yang lebih seragam dibandingkan tepi jalan. Pada tepi jalan terjadi peningkatan penutupan tajuk ke arah core hutan sehingga jenis-jenis burung ditemukan lebih beragam. Ada kecenderungan pada habitat-habitat yang lebih terbuka indeks keanekaragamannya lebih rendah namun jumlah individunya paling banyak dibandingkan dengan habitat lain dalam satu jalur. Hal ini diduga disebabkan

83 65 oleh sedikitnya variasi habitat yang mencakup pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah, sehingga hanya burung-burung yang menyukai daerah terbuka saja yang paling banyak ditemukan. Sedangkan jenis-jenis penyuka daerah tertutup jarang ditemukan. Dari 8 jalur pengamatan ditemukan Indeks Shannon tertinggi pada habitat edge sebanyak 4 jalur dan 4 jalurnya lagi pada habitat core. Namun variasi nilai keanekaragaman diantara keduanya tidak terlalu besar. Pada jalur tepi jalan 1dan tepi jalan Indeks Shannon tertinggi terdapat pada core hutan. Hal ini berkaitan dengan semakin beragam vegetasi dan semakin berkurangnya pengaruh kebisingan jalan raya terhadap jenis-jenis burung. Perbedaan tingkat keanekaragaman dan perbandingannya dengan jalur pengamatan yang lain dapat dengan jelas dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung pada Masing-Masing Jalur Pengamatan No Jalur Pengamatan Tipe Habitat Indeks Keanekaragaman (H ) Kebun Campuran Kebun Sawit Semak belukar Danau Belukar akasia Hotel Tepi jalan 1 Tepi jalan Kebun campuran Edge Hutan Kebun sawit Edge Hutan Semak belukar Edge Hutan Danau Edge Hutan Belukar akasia Edge Hutan Edge Hutan Edge Hutan Edge Hutan 1,64,53,6,4,46,4,,34,8,36,55,5 1,76,19,39,16,7,31,93,4,55 A.6. Indeks Kemerataan Jenis Burung Indeks kemerataan jenis burung pada jalur kebun campuran (KC) paling merata pada core (,95), edge kebun dengan hutan (,91) dan kebun campuran (,6). Pada kebun campuran penyebaran jenis burung yang satu tidak merata dibandingkan dengan jenis yang lain. Ada jenis burung yang ditemukan dalam jumlah yang banyak dalam 1 plot pengamatan (Hirundo tahitica).

84 66 Sedangkan pada kebun sawit (KS) indeks kemerataan (E) tertinggi ditemukan pada habitat core dengan E sebesar,94, kemudian habitat edge dengan E sebesar,93 dan pada habitat kebun sawit indeks kemerataannya paling rendah sebesar,89. Indeks kemerataan pada kebun sawit menunjukkan tidak meratanya distribusi jenis burung pada titik contoh. Beberapa jenis burung ditemukan hanya pada satu titik contoh. Pada jalur pengamatan hotel Rindu Sempadan (HR) perbedaan indeks kemerataan sangat kecil mencakup angka ketiga di belakang koma. Indeks kemerataan pada edge bernilai,9 dan pada core hutan,9. Perbedaan kemerataan hampir tidak ada di habitat tersebut. Indeks kemerataan pada habitat tersebut dapat dikategorikan tinggi dan relatif merata jenis burungnya. Habitat edge semak belukar (SB) dengan hutan (E,91) memiliki indeks kemerataan yang lebih tinggi dibandingkan habitat semak (E,89) dan lebih rendah jika dibandingkan dengan core hutan (,9). Penyebaran jenis burung lebih merata di titik-titik pengamatan dan jenis-jenis burung yang ditemukan terdistribusi merata di tiap pengamatan pada habitat edge dan core. Distribusi yang merata juga ditemukan pada jalur pengamatan danau (DN). Ketiga habitat memiliki indeks kemerataan yang tinggi (>,9). Pada habitat danau didapatkan indeks kemerataan sebesar,9 dan,97 di habitat edge danau dengan hutan serta,98 di core hutan. Penyebaran jenis burung di jalur pengamatan belukar akasia (BA) paling merata pada habitat core hutan (,93) jika dibandingkan dengan habitat edge akasia dengan hutan (,91) dan habitat akasia (,76). Pada habitat akasia beberapa jenis burung terkonsentrasi pada titik pengamatan tertentu yakni dari jenis Hirundo tahitica dan Geopelia striata. Pada jalur tepi jalan 1 (TJ 1) indeks kemerataan jenis pada core (,9) lebih tinggi bila dibandingkan dengan edge hutan dengan jalan (,9) dimana jumlah jenis juga lebih tinggi pada core hutan dibandingkan dengan edge. Hampir sama dengan tepi jalan 1, di tepi jalan (TJ ) indeks kemerataan jenis pada habitat core hutan (,9) lebih tinggi dibandingkan habitat edge (,85). Ada kecenderungan bahwa semakin terbuka suatu tempat dengan berbagai jenis burung yang ada di tempat tersebut semakin rendah indeks kemerataannya. Dari 6 jalur pengamatan yang memiliki habitat terbuka hanya satu jalur yang memiliki indeks kemerataan lebih dari,9 selainnya di bawah,9. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11.

85 67 Tabel 11. Indeks Kemerataan Jenis Burung pada Masing-Masing Jalur Pengamatan No Jalur Pengamatan Tipe Habitat Indeks Kemerataan (E) Kebun Campuran Kebun Sawit Semak belukar Danau Belukar akasia Hotel Tepi jalan 1 Tepi jalan Kebun campuran Edge Hutan Kebun sawit Edge Hutan Semak belukar Edge Hutan Danau Edge Hutan Belukar akasia Edge Hutan Edge Hutan Edge Hutan Edge Hutan,6,91,96,89,93,94,89,91,9,9,97,96,76,91,93,9,9,9,9,85,9 A.7. Uji Kesamaan Komunitas Burung Kesamaan komunitas burung diuji dengan menggunakan t-student. Uji ini untuk melihat apakah komunitas berbeda atau tidak. Pengujian dilakukan hanya pada satu jalur untuk memberikan verifikasi bahwa satu habitat yang berdekatan sama atau tidak dengan habitat lain dalam satu jalur pengamatan. Habitat dalam satu jalur pengamatan yang memiliki tingkat kesamaan yang tinggi, sedang dan rendah ditampilkan pada matriks dan dendrogram. A.7.1. Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Pada perbandingan komunitas burung di jalur pengamatan tepi jalan 1 antara edge dengan core menunjukkan perbedaan yang signifikan. T-hitung edge dengan core sebesar 4,68 lebih besar dibandingkan dengan t-tabel (t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68). Perbedaan ini relatif cukup besar dibandingkan dengan jalur pengamatan lain yang tidak ada perbedaan sama sekali. Hal ini memperkuat dugaan bahwa ada pengaruh yang besar dari keberadaan jalan raya. Tingkat kebisingan dan tingkat adaptasi berpengaruh terhadap jenis burung yang dijumpai pada habitat edge.

86 68 Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan tepi jalan 1 dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 15. Tabel 1. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1(TJ 1) Habitat Edge Hutan Edge 1,3 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 3%. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar 15. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) A.7.. Jalur Tepi Jalan (TJ ) Pada jalur tepi jalan perbedaan hanya terjadi pada t-tabel 95% sedangkan pada t-tabel 99% tidak terdapat perbedaan antara kedua habitat. T- hitung yang membandingkan komunitas burung pada habitat edge dengan core adalah 1,84 (t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68). Perbandingan ini hanya signifikan pada selang kepercayaan 95% dan tidak signifikan pada selang kepercayaan 99%. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kurangnya penutupan tajuk dan keterbukaan vegetasi menyebabkan komunitas burung di kedua habitat relatif sama pada selang kepercayaan 99%. Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan hotel dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 16.

87 69 Tabel 13. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan (TJ ) Habitat Edge Hutan Edge 1,9 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 9%. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Edge Hutan Gambar 16. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan (TJ ) A.7.3. Jalur Semak Belukar (SB) Berdasarkan perhitungan nilai t-hitung antara habitat semak dengan edge didapatkan nilai t-hitung sebesar 1,9 (t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68) dimana tidak terdapat perbedaan antara habitat semak dan edge. Sedangkan perbandingan nilai t-hitung antara habitat semak dengan core hutan,95 (t-tabel á=,1,4, t-tabel á=,5 1,68) menunjukkan tidak adanya perbedaan diantara keduanya. Habitat edge dan core hutan menunjukkan tidak adanya perbedaan antara keduanya (t-hitung,95 dan t-tabel á=,1,4; t-tabel á=,5 1,68). Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan semak belukar dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 17.

88 7 Tabel 14. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) Habitat Semak belukar Edge Hutan Semak Belukar 1,3, Edge 1,14 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 3%. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu semak belukar dan edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Semak belukar Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar 17. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) A.7.4. Jalur Belukar Akasia (BA) Hasil perbandingan yang berbeda didapatkan pada perhitungan nilai t- hitung antara akasia dan core dengan nilai sebesar 3,1 (t-tabel á=,1,39, t-tabel á=,5 1,67). Perbandingan kedua habitat memberikan kesimpulan bahwa terdapat komunitas burung yang berbeda antara kedua. Namun sebaliknya perhitungan nilai t-hitung untuk habitat akasia dengan edge (t-hitung,9 < t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68) dan habitat edge dengan core (t-hitung,44 < t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,51,68) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Perbedaan antara habitat akasia dengan core diduga disebabkan oleh adanya jarak yang cukup jauh dan adanya habitat edge diantara keduanya. Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan belukar akasia dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 18.

89 71 Tabel 15. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) Habitat Belukar Akasia Edge Hutan Belukar Akasia 1,6,1 Edge 1,9 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 6 %. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu belukar akasia dan edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Belukar Akasia Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,8,5,1, Gambar 18. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) A.7.5. Jalur Danau (DN) Perbandingan komunitas pada ketiga kombinasi antara habitat danau-edge, habitat danau-core dan habitat edge-core tidak menunjukkan perbedaan dimana T-hitung lebih kecil dibandingkan t-tabel. Berturut-turut t-hitung habitat danauedge, habitat danau-edge dan habitat edge-core adalah,86 (t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68),,1 (t-tabel á=,1,45, t-tabel á=,5 1,31) dan,69 (t-tabel á=,1,45, t-tabel á=,5 1,31). Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan danau dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 19.

90 7 Tabel 16. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Danau (DN) Habitat Danau Edge Hutan Danau 1,3,13 Edge 1,3 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 3 %. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu danau dan edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Danau Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar 19. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Danau (DN) A.7.6. Jalur Kebun Campuran (KC) Pengujian pada jalur kebun campuran antara habitat kebun dengan edge menunjukkan perbedaan yang signifikan antara komunitas tersebut. T-hitung menunjukkan nilai 4,4 lebih besar dibandingkan t-tabel dengan selang kepercayaan 95% dan 99% sebesar 1,68 dan,41 (df sebesar 44). Sedangkan antara habitat kebun dengan core juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan t-hitung bernilai 4,78 (t table á=,5 1,68 dan t tabel á=,1,41 dengan df sebesar 46). Namun perbandingan antara edge dan core tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan karena t-hitung (,3) lebih kecil dibandingkan dengan t-tabel á=,5 1,68 dan t-tabel á=,1,41 dengan df sebesar 46. Tidak adanya perbedaan antara habitat edge dengan core diduga karena hampir sebagian besar jenis burung di core juga masuk dalam pengamatan di edge.

91 73 Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan kebun campuran dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar. Tabel 17. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) Habitat Kebun campuran Edge Hutan Kebun campuran 1,4,1 Edge 1,4 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat kebun campuran dengan edge sebesar 4 %. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu kebun campuran dan edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Kebun Campuran Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) A.7.7. Jalur Kebun Sawit (KS) Pada perbandingan antar habitat pada jalur pengamatan kebun sawit menunjukkan tidak adanya perbedaan antara ketiga komunitas baik antara kebun sawit dengan edge, kebun sawit dengan core dan edge dengan core. Nilai t-hitung yang didapatkan pada ketiga perbandingan lebih kecil dibandingkan dengan t-tabel. Hal ini disebabkan hampir meratanya jenis-jenis burung yang ditemukan pada ketiga habitat. T-hitung pada ketiga perbandingan antara kebun sawit-edge (,31 dan t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68), kebun sawit-core (,11 dan t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68) dan edge-core (,19 dan t-tabel á=,1,41, t-tabel á=,5 1,68).

92 74 Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan kebun sawit dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar 1. Tabel 18. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) Habitat Kebun sawit Edge Hutan Kebun sawit 1,38,1 Edge 1,8 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat kebun campuran dengan edge sebesar 38 %. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu kebun sawit dan edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Kebun Sawit Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar 1. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) A.7.8. Jalur Hotel Rindu Sempadan (HR) Perbandingan komunitas antara edge dan core pada jalur pengamatan hotel Rindu Sempadan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan di antara kedua habitat. t-hitung pada perbandingan kedua habitat adalah,46 (ttabel á=,1,44, t-tabel á=,5 1,69) lebih kecil dibandingkan t-tabel. Ada 3 jenis burung yang ditemukan di kedua habitat yaitu jenis Pycnonotus goiavier, Orthotomus ruficeps dan Prinia familiaris. Hasil kesamaan jenis burung antar habitat dalam jalur pengamatan hotel dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan matriks tersebut maka diperoleh bentuk dendrogram pengelompokan habitat seperti pada Gambar.

93 75 Tabel 19. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Hotel Rindu Sempadan (HR) Habitat Edge Hutan Edge 1,17 Hutan 1 Tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yang terlihat pada dendrogram adalah habitat hutan dengan edge sebesar 17 %. Dari hasil dendrogram tersebut didapatkan dua kelompok komunitas burung yaitu edge membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh hutan. Tipe Habitat Edge Hutan Indeks Kesamaan Jenis,6,4,, Gambar. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Hotel (HR)

94 76 B. Pembahasan B.1. Penentuan Edge berdasarkan Tingkat Kesamaan dan T-hitung B.1.1. Tingkat Kesamaan Vegetasi di Edge dan Core Berdasarkan hasil perhitungan indeks kesamaan antara habitat edge dengan core hutan dapat dibuat beberapa ketegori kesamaan komunitas. Semakin tinggi indeks kesamaan semakin tinggi pula kesamaan vegetasi dari tempat yang dibandingkan. Indeks kesamaan secara umum memiliki 5 kategori kesamaan komunitas yakni (1) komunitas yang dibandingkan tidak sama (IS %), () komunitas yang dibandingkan rendah tingkat kesamaan komunitasnya (%<IS<33,33%), (3) komunitas yang dibandingkan sedang tingkat kesamaan komunitasnya (33,33%<IS<66,66%), (4) komunitas yang dibandingkan tinggi tingkat kesamaan komunitasnya (66,66%<IS<1%) dan (5) komunitas yang dibandingkan sama (IS 1%). Dari hasil perhitungan indeks kesamaan pohon antara habitat edge dengan core pada 7 jalur analisa vegetasi didapatkan tidak ada komunitas yang tidak sama (IS %) dan tidak ada komunitas yang sama (IS 1%). Tingkat kesamaan komunitas tersebar pada kategori sedang. Kategori sedang terdapat pada edge kebun sawit dengan hutan (IS 6%), edge kebun campuran dengan hutan (IS 34,78%), edge jalan dengan hutan (IS 4%), edge hotel dengan hutan (IS 4%), edge danau dengan hutan (IS 63,16%), edge akasia dengan hutan (IS 4%) dan edge semak belukar dengan hutan (4%). Perbandingan tingkat tiang antara habitat edge dengan core menunjukkan kategori rendah pada edge kebun sawit dengan hutan (IS 18,18%), edge kebun campuran dengan hutan (IS 16,67%), edge jalan dengan hutan (19,5%), edge hotel dengan hutan (IS 6,67%), edge danau dengan hutan (IS 8,57%), edge akasia dengan hutan (IS 15,38%) dan edge semak belukar dengan hutan (IS 16,67%). Komunitas vegetasi tingkat pancang antara habitat edge dengan hutan menunjukkan kesamaan yang rendah. Kesamaan yang rendah ditemukan pada edge kebun sawit dengan hutan (IS 18,18%), edge kebun campuran dengan hutan (IS 14,9%), edge jalan dengan hutan (IS 19,5%), edge hotel dengan hutan (IS 13,33%), edge danau dengan hutan (IS,%), edge akasia dengan hutan (IS 15,38%) dan edge semak belukar dengan hutan (IS 15,38%).

95 77 Tingkat kesamaan vegetasi semai antara habitat edge dengan core menunjukkan kesamaan yang relatif rendah pada edge kebun sawit dengan hutan (IS 16,67%), edge kebun campuran dengan hutan (IS 11,11%), edge jalan dengan hutan (IS 14,9%), edge hotel dengan hutan (IS 1,53%) dan edge semak belukar dengan hutan (IS 14,9%). Sedangkan pada edge danau dengan hutan (IS 37,5%) dan edge akasia dengan hutan (IS 46,15%) menunjukkan tingkat kesamaan sedang. Berdasarkan tingkat kesamaan vegetasi antara edge dengan core didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada satupun tingkat kesamaan komunitas yang tinggi atau 1% sama. Kesamaan vegetasi berada pada kategori sedang dan rendah. Secara umum kategori sedang mencakup 3-4 jenis vegetasi yang sama sedangkan kategori rendah mencakup 1- jenis vegetasi yang sama. Hal ini memperkuat dugaan bahwa secara penyebaran dan komposisi jenis terdapat perbedaan antara edge-core hutan dengan variasi indeks kesamaan antara rendah sampai dengan sedang. B.1.. T-hitung Komunitas Burung di Edge dan Core Perhitungan dengan menggunakan t-student (Magurran, 1988) diperlukan untuk melihat sejauh mana suatu komunitas jenis memiliki perbedaan atau persamaan dengan komunitas lain. Komunitas jenis burung yang dibandingkan antara komunitas burung di edge dengan core hutan. Parameter yang dibandingkan adalah indeks keanekaragaman Shannon (H ), jumlah jenis dan jumlah individu pada masing-masing habitat edge dan core di setiap jalur pengamatan. Berdasarkan perhitungan nilai t-student didapatkan bahwa edge kebun campuran dengan core hutan (t-hitung (,3) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (,3) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,41)) tidak terdapat perbedaan. Begitu juga dengan edge kebun sawit dengan core hutan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (t-hitung (,19) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (,3) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,4)) dan edge hotel dengan core hutan (t-hitung (,46) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (,46) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,4)). Edge semak dengan core hutan juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (t-hitung (,95) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (,95) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,4)). Kondisi yang sama juga terdapat pada edge danau

96 78 dengan core (t-hitung (,1) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,7); t-hitung (,3) < t-tabel selang kepercayaan 99%,45) dan edge akasia dengan core hutan (t-hitung (,44) < t-tabel selang kepercayaan 95% (1,69); t-hitung (,44) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,44)) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan komunitas burung antara edge dengan core pada jalur pengamatan kebun sawit, kebun campuran, hotel, danau, akasia dan semak belukar. Lebih lengkap disajikan pada Lampiran 33. Berbeda dengan jalur-jalur pengamatan yang lain pada jalur pengamatan edge jalan 1 terdapat perbedaan yang signifikan dengan selang kepercayaan 95% dan 99% (t-hitung (4,68) > t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (4,68) < t- tabel selang kepercayaan 99% (,41)). Sedangkan pada edge jalan terdapat perbedaan yang signifikan pada selang kepercayaan 95% dan pada selang kepercayaan 99% tidak terdapat perbedaan yang signifikan (t-hitung (1,84) > t-tabel selang kepercayaan 95% (1,68); t-hitung (1,84) < t-tabel selang kepercayaan 99% (,41)). Berdasarkan hasil perhitungan t-student terdapat dugaan bahwa untuk edge yang terdapat pada jalur pengamatan yang letaknya jauh dari pemukiman dan jalan memiliki tingkat kesamaan dengan core hutan. Letak jalur berpengaruh terhadap komposisi keanekaragaman jenis burung di habitat yang saling berdekatan, sedangkan edge hutan yang berdekatan dengan jalan serta pemukiman menciptakan komposisi jenis yang berbeda dengan daerah core hutan. Perbedaan yang terjadi juga disebabkan oleh tinggi rendahnya variasi habitat yang terdapat di sekeliling lokasi pengamatan dan intensitas gangguan manusia. Namun secara garis besar penentuan edge pada jalur pengamatan telah mewakili komposisi jenis burung yang ada disana. Hal ini sesuai dengan konsep daerah peralihan dimana spesies yang ada di edge merupakan gabungan dari spesies yang ada di habitat hutan dan habitat penggunaan lahan lainnya. Sedikit menjadi sulit bahwa jenis burung merupakan jenis yang aktif bergerak sehingga jenis yang menyukai daerah terbuka kadang ditemukan di daerah core hutan sebelah edge atau kadangkala spesies yang menyukai daerah tertutup hinggap di pohon daerah terbuka. Penentuan edge dengan menggunakan spesies burung sedikit sulit mengingat bahwa jenis burung dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, apalagi sebagian besar burung berkaitan dengan sumber makanan dan untuk jenis-jenis nektarivora berkaitan dengan musim berbunga dan berbuah pepohonan.

97 79 Sedangkan untuk jenis insektivora berkaitan dengan populasi serangga. Bila karakteristik edge terkait dengan perubahan suhu secara abiotik dan perubahan vegetasi secara biotik berpengaruh tidak langsung terhadap kelimpahan burung. Fenomena ini hanya bisa dijawab dengan pengamatan bertahun-tahun untuk menentukan jenis burung apa saja yang selalu menghuni daerah edge dan ditemukan dalam kelimpahan yang besar di edge pada setiap musim dan setiap tahun. Sehingga jika berpedoman dari literatur yang menyebutkan bahwa suatu jenis menyukai daerah terbuka atau tertutup seberapa besar terbuka atau tertutupnya dan karakteristik daerah tersebut bagaimana belum dapat menjawab penghuni daerah tepi (edge). B.. Pengaruh Penutupan Vegetasi terhadap Jumlah dan Komposisi Jenis Burung B..1. Jumlah Jenis Burung di Lokasi Penelitian Dari hasil pengamatan ditemukan jumlah burung sebanyak 84 individu yang terdiri atas 64 jenis dan 6 famili dari 8 jalur pengamatan. Burung-burung yang teridentifikasi didominasi oleh ordo Passeriformes sebanyak 13 famili. Burung yang paling banyak ditemukan dari famili Pycnonotidae (cucakcucakan) sejumlah 6 jenis dan famili Nectariniidae, Ploceidae, Silviidae masingmasing sebanyak 4 jenis. Keempat famili ini yang paling banyak ditemukan dan menyebar merata di tiap-tiap plot pengamatan. Sedangkan famili burung yang lain berkisar 1-3 jenis yang ditemukan di lokasi penelitian. Pada Tabel disajikan jumlah ordo, famili dan jumlah jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian. Tabel. Ordo, Famili dan Jumlah Jenis Burung pada Lokasi Penelitian No Ordo Famili Jumlah Jenis Falconiformes Galliformes Gruiformes Columbiformes Psittaformes Cuculiformes Strigiformes Caprimulgiformes Coraciiformes Piciformes Passeriformes Accipitridae Phasianidae Turnicidae Rallidae Columbidae Psittacidae Cuculidae Strigidae Caprimulgidae Alcedinidae Bucerotidae Capitonidae Picidae Hirundinidae Chloropseidae Pycnonotidae Dicruridae

98 8 Tabel. Lanjutan No Ordo Famili Jumlah Jenis 11. Passeriformes Oriolidae Corvidae Turdidae Silviidae Muscicapidae Motacillidae Sturnidae Nectariniidae Ploceidae Total 11 ordo 6 famili 64 jenis Sedangkan nama lokal, ilmiah dan suku serta jenis diet burung secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nama Lokal, Nama Ilmiah, Suku dan Jenis Diet Burung NO NAMA LOKAL NAMA ILMIAH SUKU DIET 1 Elang hitam Ictinaetus malayensis Accipitridae Car Elang ular bido Spilornis cheela Accipitridae Car 3 Puyuh hitam Melanoperdix nigra Phasianidae Grs, Ins 4 Ayam hutan hijau Gallus varius Phasianidae Grs, Ins 5 Gemak loreng Turnix suscitator Turnicidae Grs 6 Kareo padi Amaurornis phoenicurus Rallidae Grs 7 Perkutut jawa Geopelia striata Columbidae Frg 8 Punai kecil Treron olax Columbidae Frg 9 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae Frg 1 Betet ekor panjang Psittacula longicauda Psittacidae Frg 11 Serindit melayu Loriculus galgulus Psittacidae Frg 1 Nuri tanau Psittinus cyanurus Psittacidae Frg 13 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae Ins 14 Bubut besar Centropus sinensis Cuculidae Ins 15 Kadalan birah Phaenichophaeus curvirostris Cuculidae Ins, Car 16 Kadalan saweh Phaenichophaeus sumatranus Cuculidae Ins 17 Beluk ketupa Ketupa ketupu Strigidae Car 18 Punggok coklat Ninox scutulata Strigidae Car 19 Cabak maling Caprimu lgus macrurus Caprimulgidae Ins Taktarau besar Eurostopodus macrotis Caprimulgidae Ins 1 Cekakak belukar Halcyon smyrnensis Alcedinidae Pi Raja udang meninting Alcedo meninting Alcedinidae Pi 3 Rangkong badak Buceros rhinoceros Bucerotidae Frg 4 Julang emas Aceros undulatus Bucerotidae Frg 5 Julang jambul hitam Aceros corrugatus Bucerotidae Frg 6 Takur ungkut-ungkut Megalaima haemacephala Capitonidae Frg 7 Takur tenggeret Megalaima australis Capitonidae Frg 8 Pelatuk kuduk-kuning Picus flavinucha Picidae Ins 9 Pelatuk sayap-merah Picus puniceus Picidae Ins 3 Pelatuk raffles Dinopium rafflesii Picidae Ins 31 Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae Ins 3 Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae Ins

99 81 Tabel 1. Lanjutan NO NAMA LOKAL NAMA ILMIAH SUKU DIET 33 Cipoh jantung Aegithina viridissima Chloropseidae Ins 34 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae Frg, Ins 35 Merbah corok-corok Pycnonotus simplex Pycnonotidae Frg, Ins 36 Cucak kuricang Pycnonotus atriceps Pycnonotidae Frg, Ins 37 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae Frg, Ins 38 Cucak rumbai-tungging Pycnonotus eutilotus Pycnonotidae Frg, Ins 39 Merbah belukar Pycnonotus plumosus Pycnonotidae Frg, Ins 4 Srigunting batu Dicrurus paradiseus Dicruridae Ins 41 Srigunting keladi Dicrurus aeneus Dicruridae Ins 4 Kacembang gadung Irena puella Oriolidae Frg 43 Gagak hutan Corvus enca Corvidae Car 44 Gagak kampung Corvus macrorhyncos Corvidae Car 45 Kucica kampung Copsychus saularis Turdidae Ins 46 Berkecet biru-tua Cinclidium diana Turdidae Ins 47 Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Silviidae Ins 48 Cinenen belukar Orthotomus atrogularis Silviidae Ins 49 Perenjak jawa Prinia familiaris Silviidae Ins 5 Cinenen merah Orthotomus sericeus Silviidae Ins 51 Seriwang asia Terpsiphone paradisi Muscicapidae Ins 5 Sikatan-rimba dada-kelabu Rhinomyias umbratilis Muscicapidae Ins 53 Kipasan belang Rhipidura javanica Muscicapidae Ins 54 Apung tanah Anthus novaeseelandiae Motacillidae Grs 55 Tiong emas Gracula religiosa Sturnidae Frg 56 Kerak ungu Acridotheres tristis Sturnidae Frg 57 Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis Nectariniidae Nec 58 Burung-madu belukar Anthreptes singalensis Nectariniidae Nec 59 Burung-madu polos Anthreptes simplex Nectariniidae Nec 6 Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis Nectariniidae Nec 61 Burung-gereja erasia Passer montanus Ploceidae Grs 6 Bondol haji Lonchura maja Ploceidae Grs 63 Bondol peking Lonchura punctulata Ploceidae Grs 64 Bondol perut-putih Lonchura leucogastra Ploceidae Grs Keterangan : Ins : insektivora, jenis pemakan serangga Grs : granivora, jenis pemakan biji-bijian (biji rerumputan dsb) Nec : nektarivora, jenis pemakan nektar atau madu Frg : frugivora, jenis pemakan buah-buahan Car : carnivora, jenis pemakan daging P : piscivora, jenis pemakan ikan Di antara non Passeriformes, jenis paling banyak ditemukan dari famili Cuculidae sebanyak 4 jenis dan yang lain di bawah 3 jenis. Ordo Passeriformes lebih banyak ditemukan di lokasi penelitian khususnya daerah terbuka dan edge. Khusus untuk famili Pycnonotidae paling banyak ditemukan dengan identifikasi suara maupun langsung (Lampiran 3). Sedangkan dari ordo lain hanya ditemukan

100 8 di core atau daerah terbuka saja, misalnya Coraciiformes (famili Bucerotidae) banyak dijumpai di daerah core hutan. Dari masing-masing jalur pengamatan, jumlah individu terbanyak ditemukan pada jalur kebun campuran (KC) sebanyak 16 individu dengan komposisi jenis burung sebanyak 14 jenis di kebun campuran, 16 jenis di edge-nya dan 15 jenis di core hutan. Berturut-turut jumlah individu di kebun campuran, edge dan hutan adalah 9, 3 dan 6 individu. Sedangkan jumlah individu burung paling kecil ditemukan pada jalur danau (DN) dengan jumlah sebanyak 6 individu dengan rincian: 8 individu dari 13 jenis ditemukan di habitat danau, 19 individu dari 14 jenis di edge dan 15 individu dari 13 jenis ditemukan pula di hutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel. Jumlah Jenis dan Jumlah Individu di Jalur Pengamatan Jalur Tipe Habitat Jumlah Jenis Jumlah Individu Tepi Jalan 1 (TJ 1) Tepi Jalan (TJ ) Semak Belukar (SB) Belukar Akasia (BA) Danau (DN) Kebun Campuran (KC) Kebun Sawit (KS) Hotel Rindu (HR) Edge Hutan Edge Hutan Semak Belukar Edge Hutan Belukar Akasia Edge Hutan Danau Edge Hutan Kebun Campuran Edge Hutan Kebun Sawit Edge Hutan Edge Hutan Dari 8 jalur pengamatan pada Tabel terlihat bahwa 4 jalur pengamatan yakni edge semak belukar, edge danau, edge kebun campuran dan edge hotel memiliki jumlah jenis tertinggi dibandingkan dengan habitat lainnya dalam 1 jalur pengamatan. Pada jalur pengamatan tepi jalan 1 dan serta belukar akasia jumlah jenis tertinggi terdapat pada habitat hutan sedangkan pada jalur kebun sawit jumlah jenis tertinggi terdapat pada habitat kebun sawit. Hal ini berkaitan dengan kemampuan habitat yang dapat menyediakan sumber pakan, pelindung atau ruang bagi burung (Welty,198).

101 83 Menurut James (1971) dalam Welty (198) bahwa penutupan tajuk, ketinggian tajuk dan keanekaragaman jenis pohon menentukan keanekaragaman jenis burung di suatu tempat. Stratifikasi dan daerah peralihan antara habitat yang berbatasan dalam hal ini edge memungkingkan burung menempati berbagai strata yang bervariasi di daerah tepi tersebut (Gaol, 1998). Welty (198) mengemukakan bahwa terdapat suatu rangkaian iklim mikro yang berbeda, yang tersusun dalam suatu stratifikasi mendatar hutan hujan tropik, dari tajuk atas hutan sehingga permukaan tanah (ground), tajuk hijau dari pohon hutan yang tinggi, merupakan habitat mikro yang menerima sebagian besar sinar matahari dan hujan badai. Lapisan tersebut merupakan lokasi beradanya sebagian besar bunga, buah dan satwa. Jumlah individu terbanyak terdapat pada 4 jalur yang merupakan tipe habitat bukaan yaitu semak belukar, belukar akasia, kebun campuran dan kebun sawit. Sedangkan pada daerah tepi (edge) sebanyak jalur yaitu tepi jalan dan hotel. Pada tipe habitat hutan dengan jumlah individu terbanyak dalam 1 jalur terdapat pada tepi jalan 1. B... Komposisi Jenis Burung Berdasarkan Makanan Secara umum jalur-jalur pengamatan di tahura SSH didominasi oleh jenis-jenis burung pemakan serangga (insectivora) sebanyak 1 famili, pemakan buah (frugivora) sebanyak 6 famili, pemakan nektar (nectarivora) sebanyak 1 famili, pemakan daging (carnivora) sebanyak famili dan pemakan jenis di luar kelompok besar sebanyak 4 famili (Tabel 3). Tabel 3. Komposisi Famili Burung berdasarkan Jenis Makanan No Jenis Pemakan Famili 1. Insectivora Alcedinidae, Caprimulgidae, Chloropseidae, Cuculidae Dicruridae, Hirundinidae, Motacillidae, Muscicapidae Oriolidae, Picidae, Silviidae, Turdidae, Capitonidae. Frugivora Bucerotidae, Columbidae, Ploceidae, Psittacidae Pycnonotidae, Sturnidae 3. Nectarivora Nectariniidae 4. Carnivora Accipitridae, Strigidae, Corvidae 5. Lain-lain (OBG) Phasianidae, Corvidae, Rallidae, Turnicidae, Alcedinidae

102 84 Burung-burung pemakan serangga terdiri dari burung yang hanya pemakan serangga tanpa memakan jenis makanan lain dan burung yang utamanya makan serangga. Burung-burung dari famili ini yang mendominasi plot-plot pengamatan pada tahura SSH. Burung-burung dari famili dan jumlah jenis frugivora berada di bawah nectarivora. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Farb (1985) dalam Utari () bahwa akibat perbedaan gerakan udara, sinar matahari, suhu, kelembaban, tersedianya pangan, tempat bernaung dan cara bergerak, tiap lapisan hutan hujan memiliki penghuni serangga yang beragam. Sehingga serangga adalah salah satu pakan burung terutama jenis insectivores, juga menyebabkan beragamnya jenis burung yang menghuni tiap lapisan hutan. Menurut Numelin (1989) dalam Gaol (1998) bahwa kepadatan serangga (Arthropoda) berhubungan erat dengan dengan tingkat penutupan hutan. Pada hutan yang memiliki penutupan tajuk dan tumbuhan bawah yang rapat, memungkinkan hidupnya beragam jenis serangga dan tersedianya sumber pakan burung. B.3. Pengaruh Ketersediaan Makanan terhadap Jumlah Jenis Burung B.3.1. Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Hampir diseluruh grafik menunjukkan penurunan jumlah jenis untuk tipe makanan nektarivora, frugivora dan insektivora antara hutan dengan edge. Namun untuk tipe makanan carnivore mengalami peningkatan jumlah jenis jiika dibandingkan antara hutan dengan edge. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. Nektarivora 16 Insektivora Jml Jenis 1 1 Jml Jenis Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (a) (b)

103 Frugivora 11 3 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis Jml Jenis 1 1 Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (c) (d) Gambar 3. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.. Jalur Tepi Jalan (TJ ) Grafik tipe makanan frugivora dan nektarivora menunjukkan penurunan jumlah jenis dibandingkan antara hutan dengan edge. Namun untuk tipe makanan insektivora dan carnivora mengalami peningkatan jumlah jenis jika dibandingkan dengan habitat hutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 yang menggambarkan hubungan habitat dengan kelimpahan jenis berdasarkan tipe pakan Nektarivora 14 1 Insektivora 13 Jml Jenis 1 1 Jml Jenis Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (a) (b)

104 Frugivora 8 3 Carnivora dan Lainnya 7 Jml Jenis Jml Jenis Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (c) (d) Gambar 4. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan (TJ ) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.3. Jalur Semak Belukar (SB) Hampir diseluruh grafik menunjukkan penurunan jumlah jenis pada tipe makanan nektarivora, insektivora dan carnivora. Sedangkan untuk tipe makanan frugivora mengalami peningkatan dibandingkan dengan habitat hutan. Pada Gambar 5 disajikan secara terperinci perubahan jumlah jenis burung. 4 Nektarivora Insektivora Jml Jenis 1 1 Jml Jenis 3 1 Hutan Edge SB Habitat Hutan Edge SB Habitat (a) (b)

105 87 5 Frugivora 5 5 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis 3 Jml Jenis Hutan Edge SB Habitat Hutan Edge SB Habitat (c) Gambar 5. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Semak Belukar (SB) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.4. Jalur Belukar Akasia (BA) Grafik tipe nektarivora dan frugivora menunjukkan penurunan jumlah jenis antara hutan dengan edge. Sedangkan untuk tipe insektivora dan carnivora mengalami peningkatan jumlah jenis dibandingkan dengan habitat hutan. Insektivora mengalami peningkatan pada belukar akasia berbeda dengan carnivora. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. (d) Jml Jenis 3 1 Nektarivora Hutan Edge BA Habitat Jml Jenis Insektivora 6 Hutan Edge BA Habitat 8 9 (a) (b)

106 88 5 Frugivora 5 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis 3 3 Jml Jenis Hutan Edge BA Habitat Hutan Edge BA Habitat (c) Gambar 6. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Belukar Akasia (BA) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.5. Jalur Danau (DN) Grafik tipe makanan nektarivora menunjukkan penurunan jumlah jenis sedangkan frugivora dan insektivora mengalami peningkatan jumlah jenis bila dibandingkan dengan hutan. Tipe carnivora jumlah jenisnya tetap dari hutan ke edge. Hubungan tipe pakan dengan habitat jalur pengamatan danau lebih jelas digambarkan pada Gambar 7. (d) Jml Jenis 1 1 Nektarivora Hutan Edge DN Habitat Jml Jenis Insektivora Hutan Edge DN Habitat (a) (b)

107 89 7 Frugivora 7 7 Carnivora dan Lainnya 6 6 Jml Jenis Jml Jenis Hutan Edge DN Habitat Hutan Edge DN Habitat (c) Gambar 7. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Danau (DN) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.6. Jalur Kebun Campuran (KC) Gambar 4 menunjukkan pada habitat edge jenis insektivora memiliki jumlah jenis tertinggi dibandingkan habitat kebun campuran dan hutan. Sedangkan jenis frugivora dan nektarivora mengalami penurunan jumlah jenis. Pada jenis carnivora dan lainnya terjadi peningkatan dari habitat hutan. (Gambar 8) (d) Nektarivora 1 1 Insektivora 11 1 Jml Jenis 1 1 Jml Jenis Hutan Edge KC Habitat Hutan Edge KC Habitat (a) (b)

108 9 8 Frugivora 6 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis Jml Jenis Hutan Edge KC Habitat Hutan Edge KC Habitat (c) (d) Gambar 8. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Campuran (KC) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.7. Jalur Kebun Sawit (KS) Gambar 9 menunjukkan terdapat peningkatan jumlah jenis dibandingkan hutan dari tipe makanan nektarivora, insektivora dan carnivora. Sedangkan tipe makanan frugivora tidak mengalami penurunan atau peningkatan (jumlah tetap). Nektarivora Insektivora Jml Jenis Jml Jenis Hutan Edge KS Habitat Hutan Edge KS Habitat (a) (b)

109 91 6 Frugivora 6 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis Jml Jenis Hutan Edge KS Habitat Hutan Edge KS Habitat (c) (d) Gambar 9. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Sawit (KS) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya B.3.8. Jalur Hotel Rindu Sempadan (HR) Gambar 3 menunjukkan terdapat penurunan jumlah jenis pada tipe makanan nektarivora dan frugivora dibandingkan hutan. Tipe makanan insektivora tetap jumlah jenisnya sedangkan carnivora mengalami peningkatan dibandingkan dengan habitat hutan. Nektarivora 7 Insektivora Jml Jenis 1 1 Jml Jenis Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (a) (b)

110 9 4 Frugivora 4 4 Carnivora dan Lainnya Jml Jenis Jml Jenis Hutan Habitat Edge Hutan Habitat Edge (c) Gambar 3. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Hotel (HR) (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya (d) Dari 8 jalur pengamatan ditemukan perbedaan antara hutan dengan edge berdasarkan jumlah jenis burung berdasarkan makanan yaitu : 1. Jenis-jenis burung nektarivora mengalami penurunan dari hutan ke arah daerah tepi pada 7 jalur pengamatan (tepi jalan 1, tepi jalan, danau, semak belukar, belukar akasia, kebun campuran dan hotel) dan mengalami kenaikan pada jalur kebun sawit.. Jenis-jenis burung insektivora mengalami kenaikan jumlah jenis antara hutan dengan edge pada jalur tepi jalan, belukar akasia, danau, kebun campuran dan kebun kelapa sawit, sedangkan pada jalur hotel jumlahnya tetap. Jenis ini mengalami penurunan pada jalur tepi jalan 1 dan semak belukar. 3. Jenis-jenis burung frugivora mengalami penurunan jumlah jenis antara hutan dengan edge pada jalur tepi jalan 1, tepi jalan, belukar akasia, kebun campuran, kebun sawit dan hotel. Sedangkan pada jalur danau dan semak belukar mengalami peningkatan jumlah jenis antara hutan dan edge. 4. Jenis-jenis carnivora dan lainnya mengalami kenaikan jumlah jenis dari hutan ke edge pada jalur tepi jalan 1, tepi jalan, belukar akasia, kebun campuran, kebun sawit dan hotel. Sedangkan pada jalur semak belukar mengalami penurunan dan pada jalur danau tidak mengalami penurunan ataupun kenaikan.

111 93 B.3.9. Gabungan Jalur Pengamatan Jumlah jenis burung berdasarkan makanan memiliki perbedaan di masingmasing habitat yang dibagi menjadi habitat core, habitat edge, habitat kebun (kebun campuran dan kebun sawit) dan habitat bukaan (semak belukar, danau, belukar akasia). Sedangkan jenis burung berdasarkan makanannya dibagi menjadi pemakan serangga (insektivora), pemakan buah/biji (frugivora), pemakan nektar (nektarivora) dan lain-lain (karnivora, obg). Kemudian juga akan ditentukan kaitan antara habitat dan jumlah jenis yang terdapat di habitat tersebut serta jumlah jenis burung yang dilindungi di tiap-tiap habitat (data jenis yang dilindungi terdapat pada Lampiran 3). Untuk lebih jelas dapat dilihat dari Gambar 31 berikut ini 6 Seluruh Jenis 1 Jenis yang Dilindungi Jml Jenis HT HE HK HB Habitat 1 (a) (b) Gambar 31. Perbandingan jumlah jenis tiap habitat (a) Seluruh Jenis (b) Jenis yang Dilindungi Keterangan : HT (hutan), HE (habitat edge), HK (habitat kebun/kebun campuran dan kelapa sawit), HB (habitat bukaan/semak belukar dan belukar akasia). Jml Jenis HT HE HK HB Habitat Sedangkan perbandingan jumlah jenis berdasarkan makanan terdapat pada Gambar 3 berikut : Nektarivora 5 Insektivora 3 19 Jml Jenis 3 Jml Jenis HT HE HK HB Habitat HT HE HK HB Habitat (a) (b)

112 94 Jml Jenis (c) Gambar 3. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Tiap Tipe Habitat (a) Nektarivora (b) Insektivora (c) Frugivora (d) Carnivora dan Lainnya Keterangan : HT (hutan), HE (habitat edge), HK (habitat kebun/kebun campuran dan kelapa sawit), HB (habitat bukaan/semak belukar dan belukar akasia). Hampir diseluruh grafik menunjukkan penurunan jumlah jenis baik berdasarkan jumlah yang dilindungi dan tidak maupun berdasarkan makanan. Namun daerah edge dengan keanekaragaman yang cukup tinggi dapat dijadikan habitat alternatif bagi konservasi keanekaragaman jenis burung. Berdasarkan Gambar 31 dan Gambar 3 terjadi penurunan jumlah jenis burung dari jumlah total, jumlah yang dilindungi dan jumlah jenis berdasarkan makanan dari habitat berhutan, habitat daerah tepi dan habitat bukaan serta diikuti habitat kebun. Frugivora 13 HT HE HK HB Habitat 7 9 Jml Jenis Carnivora dan Lainnya 8 7 HT HE HK HB Habitat (d) 3 B.4. Respon Jenis Burung di Tiap Jalur Pengamatan Penentuan tipe burung yang mendiami habitat penggunaan lahan, habitat edge dan core menggunakan kriteria respon spesies terhadap edge (Sisk & Margules, 1995). Tipe burung ini dilihat dengan menggunakan kelimpahan jenis burung tersebut di suatu habitat. Burung-burung yang ditentukan tipe responnya terhadap edge terbatas pada 1 jenis burung di tiap habitat dengan kerapatan jenis tertinggi pada masing-masing jalur pengamatan. Pengambilan ini dianggap mewakili tipe jenis dengan asumsi bahwa jenis dengan kerapatan tinggi di satu habitat dan di habitat lain juga tinggi termasuk dalam habitat generalist, sedangkan kerapatan tinggi di satu habitat dan rendah di habitat lain berarti habitat specialist.

113 95 B.4.1. Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) Kelimpahan jenis Orthotomus ruficeps pada habitat edge sebesar 4,55 ind/ha dan di habitat core sebesar 4,4 ind/ha. Jenis ini termasuk jenis habitat specialist edge exploiter. Sedangkan jenis Megalaima australis memiliki kelimpahan jenis sebesar 3,54 ind/ha pada habitat core dan tidak ditemukan pada habitat lain, sehingga jenis ini dimasukkan pada jenis habitat specialist. Jenis Pycnonotus goiavier termasuk dalam habitat specialist edge exploiter sedangkan Terpsiphone paradisi termasuk dalam habitat spesialist edge avoider. Keempat jenis digambarkan dalam bentuk grafik respon pada Gambar 33 berikut ini. (a) Kelimpahan Jenis Orthotomus ruficeps TJ 1 Edge Core Tipe Habitat (b) Kelimpahan Jenis Megalaima australis TJ 1 Edge Core Tipe Habitat (c) Kelimpahan Jenis Pycnonotus goiavier TJ 1 Edge Core Gambar 33. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) (a) Orthotomus ruficeps (b) Megalaima australis (c) Pycnonotus goaivier (d) Terpsiphone paradisi B.4.. Jalur Tepi Jalan (TJ ) Jenis Aegithina tiphia ditemukan di habitat edge dengan kelimpahan jenis,53 ind/ha dan,53 ind/ha di habitat core sedangkan di habitat lain tidak ditemukan, sehingga jenis ini termasuk dalam kategori jenis habitat specialist. Kelimpahan jenis Terpsiphone paradisi di habitat core sebesar,53 ind/ha dan 1,5 ind/ha di habitat edge menjadikan jenis ini termasuk dalam jenis dengan respon habitat specialist edge avoider. Sedangkan Orthotomus ruficeps dan Pycnonotus goiavier termasuk dalam habitat specialist edge exploiter. Jenis-jenis burung tersebut digambarkan dengan jelas pada Gambar 34 berikut ini. (d) Terpsiphone paradisi TJ 1 Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat Kelimpahan Jenis

114 96 9 Aegithina tiphia 9 Terpsiphone paradisi (a) Kelimpahan Jenis TJ Edge Core (b) Kelimpahan Jenis TJ Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat Orthotomus ruficeps Pycnonotus goiavier (c) Kelimpahan Jenis TJ Edge Core (d) Kelimpahan Jenis TJ Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat Gambar 34. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan (TJ ) (a) Aegithina tiphia (b) Terpsiphone paradisi (c) Anthus navaeseelandiae (d) Irena puella B.4.3. Jalur Semak Belukar (SB) Pada habitat semak belukar, kelimpahan jenis tertinggi terdapat pada jenis Pycnonotus goiavier dengan nilai KJ 3,18 ind/ha. Jenis ini juga terdapat di habitat edge dengan kelimpahan jenis,87 ind/ha dan core dengan KJ 4,4 ind/ha. Jenis ini termasuk spesies habitat generalist edge avoider. Sedangkan di habitat edge kelimpahan jenis cukup tinggi pada jenis Hirundo tahitica dengan KJ sebesar 1,59 ind/ha dan di habitat semak sebesar,3 ind/ha serta tidak ditemukan pada habitat core. Jenis Hirundo tahitica dapat dimasukkan pada jenis habitat specialist edge exploiter. Di habitat core jenis dengan kelimpahan cukup tinggi pada Pycnonotus simplex dengan KJ sebesar,65 ind/ha dan kelimpahan jenis sebesar 1,59 ind/ha di semak belukar dan tidak ditemukan pada habitat edge. Pycnonotus simplex dan Orthotomus ruficeps dapat dikategorikan sebagai habitat generalist edge avoider. Jenis Copsychus saularis dimasukkan ke dalam jenis habitat specialist edge exploiter, Picus puniceus termasuk ke dalam jenis habitat specialist. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 35 berikut ini.

115 97 3 Pycnonotus simplex.65 3 Hirundo tahitica (a) Kelimpahan Jenis SB Edge Core Tipe Habitat (b) Kelimpahan Jenis SB Edge Core Tipe Habitat Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps (c) Kelimpahan Jenis (d) Kelimpahan Jenis SB Edge Core Tipe Habitat SB Edge Core Tipe Habitat Copsychus saularis Picus puniceus 3 3 (e) Kelimpahan Jenis SB Edge Core Tipe Habitat (f) Kelimpahan Jenis SB Edge Core Tipe Habitat Gambar 35. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Semak Belukar (SB) (a) Pycnonotus simplex (b) Hirundo tahitica (c) Pycnonotus goiavier (d) Ortotomus ruficeps (e) Copsychus saularis (f) Picus puniceus B.4.4. Jalur Belukar Akasia (BA) Kelimpahan jenis burung Geopelia striata pada habitat akasia sebesar 5,97 ind/ha dan tidak ditemukan di habitat lainnya. Jenis Geopelia striata termasuk habitat specialist. Sedangkan jenis Amaurornis phoenicurus memiliki kelimpahan sebesar,49 ind/ha di edge dan 1,99 ind/ha di habitat akasia serta tidak ditemukan pada habitat core. Amaurornis phoenicurus termasuk jenis habitat specialist edge exploiter. Jenis Anthreptes singalensis di habitat core memiliki kelimpahan sebesar

116 98 1,77 ind/ha dan tidak dijumpai pada habitat lain pada jalur akasia. Jenis ini termasuk habitat specialist. Jenis Pycnonotus goiavier termasuk pada jenis habitat generalist. Orthotomus ruficeps dikategorikan jenis habitat generalist edge avoider sedangkan Hirundo tahitica termasuk habitat specialist edge avoider. Bila digambarkan dalam bentuk grafik maka terlihat penggunaan habitat pada masingmasing jenis burung dan untuk lebih jelasnya dapat diihat pada Gambar 36. Pycnonotus goiavier Amaurornis phoenicurus 1 1 (a) Kelimpahan Jenis BA Edge Core (b) Kelimpahan Jenis BA Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat 1 Geopelia striata 1 Hirundo tahitica 9.95 (c) Kelimpahan Jenis BA Edge Core Tipe Habitat (d) Kelimpahan Jenis BA Edge Core Tipe Habitat Orthotomus ruficeps Anthreptes singalensis 1 1 (e) Kelimpahan Jenis BA Edge Core (f) Kelimpahan Jenis BA Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat Gambar 36. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Belukar Akasia (BA) (a) Pycnonotus goiavier (b) Amaurornis phoenicurus (c) Geopelia striata (d) Hirundo tahitica (e) Orthotomus ruficeps (f) Anthreptes singalensis

117 99 B.4.5. Jalur Danau (DN) Kelimpahan jenis burung Pycnonotus plumosus pada jalur danau mulai dari tepi danau, edge dan core sebesar 1,59 ind/ha, ind/ha, dan ind/ha. Jenis ini termasuk jenis habitat specialist. Sedangkan jenis Copsychus saularis kelimpahan jenis pada tepi danau sebesar ind/ha,,64 ind/ha di edge dan,88 ind/ha di core hutan serta tidak ditemukan pada habitat danau. Copsychus saularis dan Orthotomus sericeus termasuk jenis habitat specialist edge exploiter. Pada habitat core kelimpahan jenis burung Pycnonotus aurigaster sebesar 1,77 ind/ha,,3 ind/ha di edge dan tidak ditemukan pada habitat danau. Jenis ini termasuk dalam kategori habitat specialist edge avoider. Jenis Pycnonotus goiavier termasuk habitat generalist edge avoider sedangkan Orthotomus ruficeps dikategorikan sebagai habitat generalist edge avoider. Kelimpahan dan respon masing-masing jenis dapat terlihat pada Gambar 37 berikut. Pycnonotus plumosus Pycnonotus goiavier (a) Kelimpahan Jenis DN Edge Core Tipe Habitat (b) Kelimpahan Jenis DN Edge Core Tipe Habitat Copsychus saularis Orthotomus sericeus (c) Kelimpahan Jenis DN Edge Core Tipe Habitat (d) Kelimpahan Jenis 1.64 DN Edge Core Tipe Habitat

118 1 Orthotomus ruficeps Pycnonotus aurigaster (e) Kelimpahan Jenis 1.64 DN Edge Core Tipe Habitat (f) Kelimpahan Jenis 1.3 DN Edge Core Tipe Habitat Gambar 37. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Danau (DN) (a) Pycnonotus plumosus (b) Pycnonotus goiavier (c) Copsychus saularis (d) Orthotomus sericeus (e) Orthotomus ruficeps (f) Pycnonotus aurigaster B.4.6. Jalur Kebun Campuran (KC) Burung dengan kerapatan jenis tertinggi pada habitat kebun campuran adalah jenis Passer montanus (6,87 ind/ha) dan tidak ditemukan pada tipe habitat edge dan core. Jenis Passer montanus dikategorikan sebagai habitat specialist. Sedangkan kerapatan jenis tertinggi di edge adalah jenis Orthotomus ruficeps (,99 ind/ha). Kerapatan jenis Orthotomus ruficeps di habitat kebun campuran sebesar,49 ind/ha dan di core 1,77 ind/ha. Jenis Orthotomus ruficeps dimasukkan pada jenis habitat generalist edge exploiter. Jenis Gallus varius dengan kerapatan jenis sebesar 3,54 ind/ha dan tidak dijumpai pada edge dan habitat kebun campuran dimasukkan pada jenis habitat specialist. Jenis Gracula religiosa termasuk dalam habitat specialist, sedangkan jenis Prinia familiaris termasuk ke dalam jenis habitat specialist edge exploiter, sedangkan jenis Amaurornis phoenicurus termasuk habitat specialist edge exploiter. Penyebaran jenis-jenis burung tersebut dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 38 berikut: Amaurornis phoenicurus Orthotomus ruficeps (a) Kelimpahan Jenis KC Edge Core (b) Kelimpahan Jenis KC Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat

119 11 Prinia familiaris Passer montanus (c) Kelimpahan Jenis KC Edge Core Tipe Habitat (d) Kelimpahan Jenis KC Edge Core Tipe Habitat Gallus varius Gracula religiosa (e) Kelimpahan Jenis KC Edge Core (f) Kelimpahan Jenis KC Edge Core Tipe Habitat Tipe Habitat Gambar 38. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Campuran (KC) (a) Amaurornis phoenicurus (b) Orthotomus ruficeps (c) Prinia familiaris (d) Passer Montanus (e) Gallus varius (f) Gracula religiosa B.4.7. Jalur Kebun Sawit (KS) Jenis burung Streptopelia chinensis yang terdapat di habitat kebun sawit nilai kerapatan jenisnya sebesar 5,47 ind/ha, namun jenis burung ini tidak ditemukan di edge sedangkan di habitat core ditemukan dengan kerapatan jenis sebesar,88 ind/ha. Pada habitat edge kerapatan jenis tertinggi terdapat pada jenis Prinia familiaris dengan nilai sebesar 3,48 ind/ha. Di habitat kebun sawit jenis ini memiliki kelimpahan sebesar 1 ind/ha, sedangkan di core ditemukan dengan KJ sebesar 3,54 ind/ha. Kelimpahan jenis tertinggi pada habitat core ditemukan pada jenis Psittacula longicauda sebesar 3,54 ind/ha. Namun jenis ini tidak ditemukan di habitat kebun sawit dan edge. Jenis burung Streptopelia chinensis dapat dikategorikan sebagai habitat generalist edge avoider sedangkan Prinia familiaris termasuk habitat generalist dan jenis Psittacula longicauda termasuk jenis habitat specialist. Jenis Megalaima hemachepala termasuk habitat specialist edge avoider sedangkan jenis Orthotomus ruficeps termasuk habitat specialist edge exploiter.

120 1 Jenis Pycnonotus goiavier termasuk ke dalam jenis habitat specialist. Respon keenam jenis burung tersebut dapat dilihat pada Gambar 39 berikut. Streptopelia chinensis Prinia familiaris (a) Kelimpahan Jenis KS Edge Core Tipe Habitat (b) Kelimpahan Jenis KS Edge Core Tipe Habitat Psittacula longicauda Orthotomus ruficeps 6 6 (c) Kelimpahan Jenis KS Edge Core Tipe Habitat (d) Kelimpahan Jenis KS Edge Core Tipe Habitat Pycnonotus goiavier 6 Megalaima hemachepala 6 (e) Kelimpahan Jenis (f) Kelimpahan Jenis KS Edge Core Tipe Habitat KS Edge Core Tipe Habitat Gambar 39. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Sawit (KS) (a) Streptopelia chinensis (b) Prinia familiaris (c) Psittacula longicauda (d) Orthotomus ruficeps (e) Pycnonotus goiavier (e) Megalaima hemachepala B.4.8. Respon Jenis Burung di Jalur Hotel (HR) Jalur hotel hanya terdiri dari tipe habitat yaitu habitat edge dan core dimana jenis burung dengan kelimpahan jenis cukup tinggi terdapat pada jenis

121 13 Pycnonotus goiavier dengan KJ sebesar 4,4 ind/ha dan di habitat core KJ sebesar,88 ind/ha. Jenis ini termasuk habitat specialist edge exploiter karena sering terbang di sekitar areal hotel. Sedangkan jenis Aceros corrugatus kelimpahan jenis sebesar 4,4 ind/ha dan tidak ditemukan pada habitat lain. Jenis burung ini termasuk jenis habitat specialist edge avoider. Jenis Prinia familiaris termasuk ke dalam jenis habitat specialist edge avoider dan Streptopelia chinensis termasuk habitat specialist edge exploiter dan hanya ditemukan di edge. Secara jelas respon jenis digambarkan pada Gambar 4 berikut ini. Prinia familiaris Aceros corrugatus 9 9 (a) Kelimpahan Jenis HR Edge Core Tipe Habitat (b) Kelimpahan Jenis HR Edge Core Tipe Habitat 9 Pycnonotus goiavier 9 Streptopelia chinensis 7.96 (c) Kelimpahan Jenis HR Edge Core Tipe Habitat (d) Kelimpahan Jenis 6 3 HR Edge Core Tipe Habitat Gambar 4. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Hotel (HR) (a) Prinia familiaris (b) Aceros corrugatus (c) Pycnonotus goiavier (d) Streptopelia chinensis Berdasarkan grafik respon pada jalur-jalur pengamatan didapatkan bahwa setiap jenis burung memiliki respon yang berbeda pada setiap habitat dan edge dimana habitat tersebut saling berbatasan. Masing-masing jalur pengamatan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jenis burung yang sama dalam hal kelimpahan jenis. Dari 8 jalur pengamatan dapat ditentukan jenis-jenis burung yang habitat specialist, habitat generalist, habitat specialist edge exploiter/avoider dan habitat generalist edge exploiter/avoider. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

122 14 Tabel 4. Respon Jenis Burung pada Berbagai Jalur Pengamatan No Jalur Pengamatan Jenis Burung Respon 1. Tepi Jalan 1 Orthotomus ruficeps Megalaima australis Pycnonotus goiavier Terpsiphone paradisi. Tepi Jalan Aegithina tiphia Terpsiphone paradisi Orthotomus ruficeps Pycnonotus goiavier 3. Semak Belukar Pycnonotus goiavier Hirundo tahitica Pycnonotus simplex Orthotomus ruficeps Copsychus saularis Picus puniceus 4. Belukar Akasia Geopelia striata Amaurornis phoenicurus Anthreptes singalensis Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps Hirundo tahitica 5. Danau Pycnonotus plumosus Copsychus saularis Orthotomus sericeus Pycnonotus aurigaster Pycnonotus goiavier Orthotomus ruficeps 6. Kebun Campuran Passer montanus Orthotomus ruficeps Gallus varius Gracula religiosa Prinia familiaris Amaurornis phoenicurus 7. Kebun Sawit Streptopelia chinensis Prinia familiaris Psittacula longicauda Orthotomus ruficeps Pycnonotus goaivier Megalaima hemachepala 8. Hotel Prinia familiaris Aceros corrugatus Pycnonotus goiavier Streptopelia chinensis Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist edge avoider Habitat specialist Habitat specialist edge avoider Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist edge exploiter Habitat generalist edge avoider Habitat specialist edge exploiter Habitat generalist edge avoider Habitat generalist edge avoider Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist Habitat specialist Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist Habitat generalist Habitat generalist edge avoider Habitat specialist edge avoider Habitat specialist Habitat specialist edge avoider Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist edge avoider Habitat generalist edge avoider Habitat generalist edge avoider Habitat specialist Habitat generalist edge exploiter Habitat specialist Habitat specialist Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist edge exploiter Habitat generalist edge avoider Habitat generalist Habitat specialist Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist Habitat specialist edge avoider Habitat specialist edge avoider Habitat specialist Habitat specialist edge exploiter Habitat specialist edge exploiter

123 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Fragmentasi habitat oleh kegiatan manusia menimbulkan daerah tepi yang berdekatan langsung dengan hutan. Daerah tepi yang ditemukan berupa daerah tepi antara hutan dengan jalan, kebun, hotel dan semak belukar.. Pola daerah tepi yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri dari dua bentuk yaitu (1) daerah tepi yang merupakan daerah terluar dari hutan, daerah tepi ini dapat dikenali dengan tidak adanya vegetasi lain selain vegetasi hutan ini terdapat pada daerah tepi pada jalan dan hotel; () daerah tepi yang merupakan daerah peralihan antara penggunaan lahan yang berbeda (polanya hutan, daerah tepi hutan, perbatasan, daerah tepi lahan dan penggunaan lahan), daerah tepi ini ditemukan pada kebun, semak belukar dan danau. 3. Berdasarkan cara terbentuknya daerah tepi ada yang terbentuk diakibatkan oleh kegiatan manusia secara langsung contohnya pada jalan, hotel dan kebun. Sedangkan secara tidak langsung dari kegiatan manusia adalah pada semak belukar, belukar akasia dan danau. 4. Berdasarkan vegetasinya ditemukan pula daerah tepi dengan karakteristik soft edge (vegetasi yang berubah perlahan) seperti terdapat pada jalur belukar akasia, semak belukar, danau dan hard edge (vegetasi yang berubah secara lterna) seperti terdapat pada jalur hotel, tepi jalan dan kebun. 5. Keanekaragaman jenis burung untuk tipe makanan insektivora dan carnivore sebagian besar jumlah jenisnya lebih tinggi di edge dibandingkan dengan di habitat hutan. Sedangkan untuk tipe makanan frugivora dan nektarivora sebagian besar jumlah jenisnya mengalami penurunan pada edge dibandingkan dengan habitat hutan. 6. Berdasarkan tingkat kesamaan jenis burung dan tingkat keanekaragaman jenis burung terdapat perbedaan yang signifikan di antara tipe habitat dalam satu jalur pengamatan sehingga penempatan dan penentuan tipe habitat dan tipe edge dapat ditentukan dengan lternati jenis burung. 7. Vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian menunjukkan adanya jenis-jenis alternatif yang terdapat pada daerah tepi yakni jenis Kibatalia borneensis, Macaranga triloba dan Gleichenia sp. Sedangkan jenis Endospermum sp. Banyak ditemukan pada core.

124 Respon beberapa jenis burung menunjukkan adanya tipe burung habitat generalist dan habitat specialist. Jenis Orthotomus ruficeps merupakan tipe habitat generalist edge exploiter dan Streptopelia chinensis habitat generalist edge avoider. Jenis Passer montanus merupakan tipe habitat specialist edge avoider dan Hirundo tahitica tipe habitat specialist edge exploiter. 9. Pada beberapa pengamatan juga ditemukan jenis burung core (Bucerotidae) yang memanfaatkan edge sebagai tempat mencari makan dan tempat bertengger sementara dari hutan Caltex Rumbai sehingga edge dapat berperan sebagai habitat alternatif untuk mencari makan, kolonisasi dan sebagai steping stone menuju habitat lain. B. Saran-Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang komunitas burung berdasarkan musim buah-buahan dan musim berbiak pada rentang 1 tahun sehingga didapatkan data yang lebih komprehensif mengenai keanekaragaman jenis burung pada musim buah/makanan melimpah dan pada musim makanan tidak melimpah.. Perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai luas dan panjang edge dengan berbagai parameter yang lebih komplek berkaitan dengan faktor biotik dan abiotik. 3. Perlu dilakukan penelitian terhadap pengaruh edge terhadap interaksi dan pergerakan dari jenis terkait dengan mencari makan, perlindungan atau perilaku reproduksinya.

125 DAFTAR PUSTAKA Bennet, AF Linkages in the Landscape The Role of Corridors and Connectivity in Wildlife Conservation. IUCN The World Conservation Union. BLK Pekanbaru. 1. Pelatihan dan Pengembangan SDM Kehutanan dalam Kegiatan Rekalkulasi nilai Sumberdaya Hutan. Makalah Diskusi Sehari Rekalkulasi Nilai SDH. Pekanbaru. Cahyadi, I.. Analisis Spasial Struktur dan Fungsi Koridor Salak-Halimun dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan Defriyoza.. Dampak Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Keanekaragaman Jenis Burung di Areal Perkebunan PT. Ramajaya Pramukti. Kabupaten Dati II Kampar, Propinsi Dati I Riau. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan (Dirjen PHKA, Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata) Pembangunan Taman Hutan Raya. Bogor. Diamond, J.M The Island Dillema: Lesson of Modern Biogeographic Studies for The Design of Nature Reserves. Biological Conservation. Vol 7 [Dishut Riau] Dinas Kehutanan Propinsi Riau. 3. Master Plan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim. Dishut Riau. Pekanbaru. Entebe, RF. 5. Penyebaran Mamalia Kecil pada Hutan Sisa (Remnant Forest) di Suaka Margasatwa Balairaja Propinsi Riau. Sekolah Pascasarja IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Faaborg, J Ornithology an Ecological Approach. Prentice Hall, Inc. New Jersey. Fagan, WF, Cantrel, RS and Cosner, C How Habitat Edges Canges Species Interactions. The American Naturalist Vol.153 No.. Forman, RTT & Godron Lanscape Ecology. John Wiley & Sons New York. Forman, RTT Land Mossaic. The Ecology of Lanscape. John Wiley & Sons New York. Gaol, SEL Studi Variasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Propinsi Lampung. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Harris, LD & Lopes, GS Fragmentation habitat and The Conservation Biological Diversity. Chapman and Hall New York.

126 113 Idris, MM Dampak Penebangan dan Penyaradan di Hutan Produksi Terbatas terhadap Erosi Tanah, Keadaan Iklim Mikro serta Permudaan Alam (Studi Kasus di Areal Kerja HPH PT. Indexim Utama Corp., propinsi Dati I Kalimantan Tengah). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Johnson, GW & Williams, M.. Edges and Gaps in Mature Karri Forest, South-Western Australia: Logging Effect on Bird Species abundance and Diversity. Forest Ecology and Management 131. Jorgensen, OH Result of IPA Cencuses on Danish Farmland, pp In : Acta Ornithologica Bulletin. Vol. XIV. Desember Warszawa. Keast, A Tropical Rainforest Avifauna. An Introduction Conspectus, pp In : Diamond, A.W. and T.E. Lovejoy. (Eds) Conservation of Tropical Forest Birds. ICBP. England. Krebs, CJ Ecology. Haper & Row Publisher New York. Kusmana, C dan Istomo Bahan Kuliah Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leopold, AS Game Management. University of Wisconsin. Press. Madison. USA Lesica, P & Allendorf, FW Are Small Population of Plant Worth Proserving?. Conservation Biology vol 6. Ludwig, JA and Reynolds, JF Statistical Ecology : A Primer on Method and Computing. John Wiley and Sons. New Yoerk Chicester Brisbane Toronto Singapore. MacKinnon, J, Philips, K, van Balen, B. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Seri Panduan Lapangan-LIPI. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Magurran, A Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helmed Limited. London. Pp 1-8. McGarigal, K. 4. Landscape Structure and Spatial Pattern Analysis for Arc/Infor. Fragstats*Arc. Mortberg, UM. 1. Resident Bird Species in Urban Forest Remnants; Landscape dan Habitat Perpectives. Lansdcape Ecology 16. Parody, JM, Cuthbert, FJ & Deckeri, EH. 1. The effect of 5 years of landscape change on species richness and community composition. Global Ecology dan Biogeography. Vol 1, Pg Poole, RW An Introduction to Quantitative Ecology. McGraw Hill. New York.

127 114 Primack, RB Essential of Conservation Biology. Sinauer Associates Inc. Sunderland, Massacushetts USA. Primack, RB., Supriatna, J, Indrawan, M dan Kramadibrata, P Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Santosa, Y Konsep Ukuran Keanekaragaman Hayati di Hutan Tropika. Makalah dalam Pelatihan Tekhnik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schlaeffer, MA & Gavin, TA. 1. Edge Effect on Lizard and Frogs in Tropical Forest Fragments. Conservation Biology Vol. 15 No. 4. Shannaz, J, Jepson, P & Rudyanto Burung-Burung Terancam Punah di Indonesia. Departemen Kehutanan dan Birdlife International Indonesia Programme. Bogor Indonesia. Sisk, TD & Margules, CR Habitat Edges and Restoration : methods for quantifying edges effect and predicting the results of restoration efforts. Nature Conservation 3. Simberloff, DS & Abele, LG Island Biogeografi Theory and Conservation Practise. Science vol 91. Simberloff, DS & Gotteli, C Effect of Insularization on Plant Species Richness in the Prairie-forest ecotone. Biological Conservation vol 9. Sunderlin, WD dan Resosudarmo, AP Rates and Cause of Deforestation in Indonesia : Towards a Resolution of Ambiguities. CIFOR. Bogor. 19p Thomas, JW, Anderson, RG, Maser, C & Bull, EL Snag : in Wildlife Habits in Managed Forest (JW Thomas ed), Agricultural Handbook 553 US Department of Agriculture. [UU RI] Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 199. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Utari, WD.. Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Areal Hutan Tanaman Industri PT. Riau Andalan Pulp & Paper dan PT. Perkebunan Kelapa Sawit Duta Palma Nusantara Group. Propinsi Dati I Riau. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Welty, JC 198. The Life of Birds. 3 rd Philadelphia. Pp ed. Saunders College Publishing. Wenger, KF Forestry Handbook. Second Edition. John Willey & Sons, Inc. USA. Wilson, E.O The Current State of Biological Diversity, pp In : Wilson, E.O. (ed) Biodiversity National Academy Press. Washington D.C.

128 116 Lampiran 1. Peta Kawasan Tahura SSH Keterangan : - peta penutupan vegetasi berdasarkan citra - peta klasifikasi tutupan lahan

129 117 Lampiran. Lokasi Pengamatan di Tahura SSH a. b. c. d. e. f. Keterangan : a. Tepi Jalan b. Semak Belukar c. Belukar Akasia d. Danau e. Kebun Campuran f. Kebun Sawit g. Hotel g.

130 118 Lampiran 3. Jenis Burung yang Mendominasi Jalur Pengamatan a. Jenis cucak-cucakan (kiri: Pycnonotus aurigaster, kanan Pycnonotus goiavier) (dikutip dari Holmes dan Nash, 1999) b. Jenis-jenis cinenen (kiri : Orthotomus ruficeps, kanan : Prinia familiaris) (dikutip dari Holmes dan Nash, 1999)

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi Bapedal (1995) dalam Defriyoza (2000), menyebutkan laju konversi hutan di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan bahwa 900

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal-asulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge

TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge 7 TINJAUAN PUSTAKA Fragmentasi dan Edge Dalam terminologi lansekap ekologi edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch ataupun matriks yang berbeda. Thomas et. Al (1979), mendefinisikan edge (daerah

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember EKOLOGI TEMA 5 KOMUNITAS bag. 2 Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember KOMUNITAS Keanekaragaman Komunitas Pola Komunitas dan Ekoton Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Keanekaragaman Serangga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan species dalam komunitas. Keanekaragaman species terdiri dari 2 komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam Banyak sekali ulah manusia yang dapat menyebabkan kepunahan terhadap Flora dan Fauna di Indonesia juga di seluruh dunia.tetapi,bukan hanya ulah manusia saja,berikut beberapa penyebab kepunahan flora dan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci