PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE TESIS"

Transkripsi

1 PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh REXHA VERDHORA RY NIM: (Program Studi Magister Teknik Geofisika) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Juli 2016

2 PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE Oleh REXHA VERDHORA RY NIM: (Program Studi Magister Teknik Geofisika) Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tim Pembimbing Bandung, 1 Juni 2016 Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua Prof. Sri Widiyantoro, Ph.D. NIP Dr. Andri Dian Nugraha NIP

3 ABSTRAK PENCITRAAN MIKROSEISMIK LUBANG-BOR PADA HYDRAULIC FRACTURING: STUDI KASUS RESERVOIR COAL BED METHANE Oleh REXHA VERDHORA RY NIM: (Program Studi Magister Teknik Geofisika) Pencitraan mikroseismik di dan sekitar reservoir hidrokarbon dapat memberikan informasi deformasi terinduksi yang berkaitan dengan hydraulic fracturing. Dalam studi ini, pengamatan mikroseismik dilakukan menggunakan sensor dengan susunan single vertical di lubang bor dan diperoleh selama stimulasi rekahan di lapangan coal bed methane. Kejadian mikroseismik tersebut kemudian dicitrakan berdasarkan lokasi hiposenter dan magnitudonya. Namun, pada kasus dimana semua sensor yang dipasang hampir-vertikal di lubang bor, timbul ambiguitas tinggi terutama pada lokasi sumber. Maka, beberapa tahapan pengolahan data dilakukan untuk menyelidiki aktifitas mikroseismik yang disebabkan oleh kegiatan hydraulic fracturing tersebut. Pertama, event mikroseismik diidentifikasi dan waktu tibanya ditentukan baik secara semi otomatis. Kemudian, back azimuth diestimasi dengan melakukan analisa polarisasi gelombang P. Analisa kombinasi polaritas juga ditambahkan untuk menghilangkan ambiguitas 180 o. Selanjutnya, lokasi hiposenter ditentukan menggunakan metode pencarian sistematik yang diarahkan pada area back azimuth untuk meminimalkan fungsi misfit. Selain itu, magnitudo momen dari setiap event mikroseismik juga ditentukan menggunakan model Brune. Kami telah berhasil menghapus ambiguitas dan menghasilkan solusi yang baik dari lokasi hiposenter seperti yang ditunjukkan secara statistik dengan misfit RMS kecil. Sebagian besar cluster memperlihatkan struktur sesar yang koheren di sekitar sumur, dimana geometri rekahan terbentuk pada arah Barat Laut Tenggara dan memanjang dari sumur treatment. Prosedur ini juga dapat diterapkan untuk berbagai kasus lain seperti pengamatan mikroseismik di bidang CCS (carbon capture and storage), panas bumi, dan pengembangan eksplorasi shale gas/oil. Kata kunci: hydraulic fracturing, mikroseismik lubang-bor, polarisasi, pencarian sistematik, hiposenter, magnitudo momen. i

4 ABSTRACT BOREHOLE MICROSEISMIC IMAGING OF HYDRAULIC FRACTURING: CASE STUDY ON COAL BED METHANE RESERVOIR Oleh REXHA VERDHORA RY NIM: (Program Studi Magister Teknik Geofisika) Microseismic imaging in and around hydrocarbon reservoirs provides insight into induced deformation related to hydraulic fracturing. In this study, micro-seismic monitoring was performed using a single vertical array of sensors in a borehole and acquired during fracture stimulation of CBM field. The microseismic events are imaged based on their locations of hypocenters and magnitudes. However in the case of all the sensors being deployed in a near-vertical borehole, there is a high ambiguity in the source location. Herein we applied several steps of data processing to investigate a microseismic induced by these hydraulic fracturing activities. First, micro-seismic events were identified and their arrival times were picked semi-automatically. Then, the back-azimuth were estimated by conducting P-wave polarization analysis. The combination of polarities analysis was also added to remove 180 o ambiguity. Then, hypocenters locations were determined using guided-grid-search method in the back-azimuth trace area to minimize misfit function. Furthermore, the moment magnitude of every event was determined using Brune s model. We have successfully removed the ambiguity and produced a good solution of hypocenter locations as indicated statistically by small RMS. Most of the event clusters depict coherent structures around treatment well and inferred fault, and the geometry of fractures was formed on North West South East direction along the treatment well. This procedure can be applied to various other cases such as microseismic monitoring in the field of CCS (carbon capture and storage), geothermal, and shale gas/oil exploration development. Keywords: hydraulic fracturing, borehole microseismic, polarization, grid-search, hypocenter, magnitude. ii

5 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk jenjang magister program studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis diberikan kepada: 1. Prof. Sri Widiyantoro, Ph.D. sebagai pembimbing penulis atas segala saran, bimbingan, dan nasihatnya selama penyusunan tesis ini. 2. Dr. Andri Dian Nugraha sebagai pembimbing penulis atas segala saran, bimbingan, dan nasihatnya selama penyusunan tesis ini. 3. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atas bantuan Beasiswa Program Pendidikan Dalam Negeri (BPI-DN) yang diterima penulis selama pendidikan program magister ini. 4. Keluarga penulis, Ayah, Bunda, dan kedua Abang dari penulis yang memberikan dukungan serta doa sepenuhnya sejak kecil hingga sekarang. 5. Tania Meidiana, yakni sahabat, inspirasi, teman diskusi dan tempat berbagi ilmu yang tiada hentinya memberikan masukan dan semangat hingga akhir penyusunan tugas akhir ini. 6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Teknik Geofisika ITB atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan. 7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya penulis mengharapkan saran ataupun kritik yang dapat membangun penulis menjadi lebih baik. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air tercinta ini, Indonesia. Terima kasih. iii

6 DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... viii Bab I Pendahuluan... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Tujuan Penelitian... 2 I.3 Batasan Masalah... 3 I.4 Metodologi Penelitian... 3 I.5 Sistematika Penulisan... 4 Bab II Tinjauan Pustaka... 5 II.1 Mikroseismik... 5 II.2 Penentuan Lokasi Hiposenter... 7 II.3 Ketidakunikan Solusi pada Mikroseismik Lubang-Bor... 7 II.4 Analisa Hodogram dari Polarisasi Sinyal Gelombang P... 9 II.5 Inversi Pencarian Sistematik Terarah dan Metode Stasiun Master II.6 Magnitudo Momen Bab III Pengolahan Data III.1 Pendefinisian Geometri Pengamatan dan Orientasi Sensor III.2 Identifikasi Event Mikroseismik III.3 Konstruksi Model Kecepatan 1-D Vp & Vs III.4 Penentuan Lokasi Event Mikroseismik III.5 Penentuan Magnitudo Momen Bab IV Hasil dan Interpretasi IV.1 Hasil IV.2 Interpretasi Bab V Kesimpulan dan Saran V.1 Kesimpulan iv

7 V.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran A Pengujian pada Data Perforasi Lampiran B Persiapan Data Lampiran C Contoh Data Sinyal dan Hasil Picking Manual Lampiran D Algoritma Modified Energy Ratio (MER) Lampiran E Contoh Hasil Perbaikan Picking Lampiran F Contoh Polarisasi Lampiran G Ketidakpastian Lokasi Hiposenter Lampiran H Contoh Sinyal dan Spektrum pada Penentuan Magnitudo Lampiran I Hasil Pengolahan Lampiran J Pengaruh Hasil Picking Terhadap Lokasi Hiposenter Lampiran K Artikel v

8 DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 Berbagai macam skenario pemasangan sensor pada konfigurasi yang berbeda (kiri) dan konfigurasi vertical-downhole array (kanan) (Maxwell, 2014) Gambar II.2 Persebaran fungsi objektif mifit pada pengamatan di permukaan atau surface array (bagian kiri) dan pada pengamatan di lubangbor atau vertical-downhole array (bagian kanan). Tanda bintang merah merupakan lokasi sumber sebenarnya, segitiga terbalik merupakan stasiun, dan bintang kuning merupakan lokasi sumber yang bias Gambar II.3 Skema optimisasi metode pencarian sistematik pada bidang radial dari sumber mikroseismik (Jones dkk., 2013) Gambar II.4 Contoh mosi pertama dari gelombang P pada rekaman 3- komponen (Havskov dan Ottemoller, 2010) Gambar II.5 Skematik gambar hodogram dari dua komponen: komponen N-S (jingga) dan komponen E-W (merah), (Maxwell, 2014) Gambar II.6 Sinyal yang kemudian di-window (atas) dan hasil fitting pada spektrum frekuensi (bawah), (Rodriguez-Pradilla, 2015) Gambar III.1 (a) Peta geometri dari sumur pengamatan (seismometer lubangbor) dan sumur treatment. (b) Penampang vertikal Utara Selatan yang ditandai zona abu-abu pada peta; bintang merah merupakan tembakan perforasi (penomoran dimulai dari paling bawah) dan segitiga biru terbalik merupakan sensor seismometer (penomoran dimulai dari paling atas). (c) Peta lokasi lapangan CBM Gambar III.2 (a) Ilustrasi geometri pengamatan dan orientasi alat terhadap geografik bumi. (b) Contoh hasil polarisasi yang ditemui akibat orientasi alat yang berbeda dengan geografik bumi Gambar III.3 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tinggi, hasil picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasar-kan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel Gambar III.4 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tipikal, hasil picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasar-kan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel Gambar III.5 Model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs vi

9 Gambar III.6 Contoh analisa polarisasi gelombang P. (a) Rekaman sinyal yang dicuplik detik sejak tiba; (b) Cuplikan sinyal komponen horizontal dan hodogram yang dihasilkan Gambar III.7 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat untuk suatu event yang sama Gambar III.8 Ilustrasi penggunaan polaritas dalam menghilangkan ambiguitas 180 o Gambar III.9 Ilustrasi pencarian sistematik pada area back azimuth terhadap sumber. Segitiga biru terbalik merupakan stasiun pengamat dan zona abu-abu merupakan ruang model Gambar III.10 (a) Contoh sinyal event mikroseismik dan window cuplikan masing-masing untuk fasa P dan S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S pada event tersebut. Garis biru adalah spektrum observasi dan garis merah adalah spektrum teoritik Gambar IV.1 Peta persebaran event mikroseismik: (a) Peta episenter, (b) Peta penampang Utara-Selatan. Hiposenter ditunjukkan oleh bulatan merah beserta elips kepercayaan (elips merah muda), segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan, dan kotak hitam merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. (c) Histogram dari misfit RMS hasil hiposenter. (d) Histogram waktu tempuh residual untuk fasa P dan S Gambar IV.2 Peta persebaran event mikroseismik beserta magnitudo momen (skala bulatan): (a) Peta episenter, (b) Penampang Utara-Selatan vii

10 DAFTAR TABEL Tabel II.1 Kombinasi dari polaritas dan kasus dimana 180 O perlu ditambahkan Tabel III.1 Orientasi alat dari setiap seismometer viii

11 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber energi hidrokarbon non-konvensional telah muncul menjadi harapan baru dalam mewujudkan kelangsungan ketahanan energi di Indonesia. Berkaca dari negara lain, Amerika Utara selama beberapa dekade telah berhasil memanfaatkan sumber daya energi non-konvensional dan mengubah lanskap energi dalam negeri, serta menjadi pelopor dalam teknologi di bidang shale gas. Tantangan utama pada eksploitasi energi non-konvensional adalah karakter dari reservoir yang bersifat tight dan non-permeabel, berbeda halnya pada reservoir konvensional. Teknologi hydraulic fracturing perlu dilakukan dalam upaya membuka reservoir non-konvensional dengan merangsang aliran dan menciptakan jalur hidrolik konduktif pada batuan non-permeabel secara intrisik. Geofisika memiliki peranan penting dalam pemanfaatan teknologi tersebut, yakni adanya kebutuhan teknis untuk melacak rekahan yang diinduksi, berkaitan dengan optimasi stimulasi. Pengamatan dan pencitraan mikroseismik menjadi kunci utama dalam pengembangan energi non-konvensional ini. Pengamatan mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif dari gempa mikro atau emisi akustik. Kejadian mikroseismik berhubungan dengan pergerakan rekahan yang terjadi secara alami, ataupun terinduksi secara artifisial, menghasilkan deformasi rekahan geomekanik inelastik. Pengamatan ini dilakukan dengan identifikasi event mikroseismik, picking fasa, dan estimasi lokasi dan atribut sumber, dimana metode pengolahan tersebut mirip dengan metode yang digunakan pada gempa tektonik. Mikroseismik telah lama menjadi metode handal untuk mencitrakan dan memetakan rekahan. Metode mikroseismik ini pun terus dikembangkan dan melaju pesat selama beberapa dekade akhir. Di Indonesia, pengamatan mikroseismik sudah banyak dilakukan terutama di bidang panas bumi. Namun, teknologi hydraulic fracturing belum banyak dilakukan sehingga pengamatan mikroseismik dan pengembangan metode pada aplikasi hydraulic fracturing masih jarang / belum pernah dilakukan. Seiring 1

12 dengan pengembangan sumber daya non-konvensional, pemanfaatan teknologi hydraulic fracturing di Indonesia dan pengamatan mikroseismik pada bidang ini juga akan berkembang pesat. Bagaimanapun, pengamatan mikroseismik pada bidang panas bumi memiliki beberapa aspek yang berbeda dengan aplikasi pada hydraulic fracturing, salah satunya disebabkan oleh geometri survey yang berbeda antara pengamatan di permukaan dan pengamatan di lubang-bor. Oleh karena itu, pengembangan metode mikroseismik menjadi hal penting yang harus dilakukan. Aplikasi teknologi hydraulic fracturing telah dilakukan pada suatu lapangan coal bed methane (CBM). Pengamatan mikroseismik di lapangan ini menjadi kesempatan besar untuk mengembangkan metode mikroseismik lubang-bor di Indonesia. Hasil pengamatan ini dapat digunakan untuk mencitrakan geometri rekahan yang terjadi akibat stimulasi hidrolik di sekitar reservoir. Citra geometri dan volume rekahan akan menjadi informasi utama pada perencanaan pengembangan lapangan sumber daya non-konvensional ini nantinya. Ke depannya, selain aplikasi pada pengembangan lapangan coal bed methane, pengamatan mikroseismik lubang-bor dan hasil pengembangan ini dapat diaplikasikan juga pada sumber daya non-konvensional lainnya seperti shale gas, shale oil, carbon capture and storage (CCS), dan panas bumi. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan identifikasi dan penentuan fasa event mikroseismik hasil hydraulic fracturing di lapangan CBM. 2. Menentukan lokasi hiposenter event mikroseismik dengan melakukan optimisasi metode pada pengamatan single vertical-borehole array. 3. Menganalisa ketidakpastian lokasi hiposenter pada pengamatan lubang-bor. 4. Menentukan nilai magnitudo dari setiap event mikroseismik tersebut. 5. Memetakan area rekahan yang terstimulasi untuk mengestimasi geometri rekahan dan stimulated reservoir volume (SRV). 2

13 I.3 Batasan Masalah Batasan masalah yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Data mikroseismik yang digunakan merupakan data time series particle velocity hasil pengamatan saat hydraulic fracturing menggunakan 8 seismometer ultrasensitif tiga komponen (3-C) pada konfigurasi single vertical-borehole di lapangan CBM.. 2. Perbaikan hasil picking dilakukan dengan metode modified energy ratio. 3. Pengolahan data dilakukan untuk mengestimasi lokasi hiposenter, nilai ketidakpastian lokasi, dan besar magnitudo dari event mikroseismik menggunakan perangkat lunak MATLAB. 4. Optimisasi penentuan lokasi event mikroseismik pada pengamatan lubangbor dilakukan menggunakan analisa polarisasi gelombang P. 5. Hanya 2 faktor yang diperhitungkan pada analisa ketidakpastian hiposenter, yaitu berdasarkan persebaran misfit dan jumlah data pengamatan. 6. Nilai magnitudo yang diolah pada penelitian ini adalah magnitudo momen. 7. Hasil akhir merupakan peta spasial dari area rekahan yang terstimulasi, ditunjukkan oleh distribusi lokasi event mikroseismik dan magnitudo. tanpa memperhitungkan data log sumur dan seismik aktif. I.4 Metodologi Penelitian Secara umum, pendekatan yang telah dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi Literatur Beberapa literatur terkait yang dipelajari antara lain: (a) konsep pengamatan mikroseismik pada pengerjaan hydraulic fracturing; (b) konsep dan algoritma penentuan lokasi hiposenter dan optimisasi pada pengamatan single vertical-borehole array; (c) konsep dan perhitungan ketidakpastian; (d) konsep dan algoritma penentuan magnitudo momen menggunakan model Brune; (e) studi lainnya mengenai aplikasi hydraulic fracturing. 2. Pengolahan Data dan Pemrograman Beberapa tahap yang dilakukan pada pengolahan data adalah: (a) penentuan orientasi sensor seismometer lubang-bor; (b) identifikasi event, penentuan 3

14 fasa, dan perbaikan waktu tiba gelombang P dan S; (c) konstruksi model kecepatan 1-D Vp dan Vs; (d) penentuan lokasi hiposenter event mikroseismik; (e) perhitungan ketidakpastian hiposenter; (f) penentuan magnitudo momen event mikroseismik. Pengolahan data ini dilakukan dengan membuat algoritma pemrograman di perangkat lunak Matlab. 3. Analisa dan Interpretasi Ketidakpastian lokasi hiposenter digunakan untuk melihat tingkat percayaan dan kontrol kualitas dari hasil yang diperoleh, terutama untuk menguji seberapa optimum penentuan lokasi hiposenter pada pengamatan single vertical-borehole array. Melalui hasil distribusi lokasi hiposenter dan magnitudo, interpretasi kemudian dilakukan dengan memetakan area rekahan yang terstimulasi untuk menentukan geometri rekahan dan mengestimasi stimulated reservoir volume (SRV). I.5 Sistematika Penulisan Penulisan makalah penelitian tesis ini akan dibagi menjadi 5 bab, yaitu: 1. Bab I Pendahuluan Bab ini membahas latar belakang, tujuan penelitian, ruang lingkup masalah, metode penelitian, serta sistematika penyajian. 2. Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini membahas perkembangan keilmuan dalam topik kajian. 3. Bab III Pengolahan Data Bab ini membahas area penelitian, data yang digunakan, langkah-langkah pengolahan data, optimisasi penentuan lokasi hiposenter, perhitungan ketidakpastian hiposenter, dan penentuan magnitudo. 4. Bab IV Hasil dan Analisis Bab ini membahas hasil distribusi lokasi event mikroseismik dan magnitudo untuk menginterpretasi SRV dan geometri rekahan yang terjadi. 5. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini membahas kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dan saran perbaikan untuk penelitian selanjutnya. 4

15 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Mikroseismik Kejadian atau event mikroseismik berhubungan dengan pergerakan rekahan yang terjadi secara alami, ataupun terinduksi secara artifisial, menghasilkan deformasi rekahan geomekanik inelastik. Kejadian mikroseismik sering juga disebut sebagai gempa mikro. Pengamatan mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif pada emisi akustik dari sumber. Aplikasi modern dari pengamatan mikroseismik pada ekstraksi dan injeksi fluida termasuk stimulasi rekahan hidrolik, dimulai pada tahun 1970 sebagai teknik untuk mengamati enhanced geothermal system (EGS). Pada masa ini, aplikasi pengamatan mikroseismik berkembang pesat pada eksplorasi sumber daya energi non-konvensional. Pengamatan mikroseismik merupakan teknik handal dalam mencitrakan rekahan. Pada saat ini, mikroseismik merupakan satu-satunya teknologi yang dapat memberikan gambaran mengenai geometri dari rekahan yang distimulasi oleh proses hydraulic fracturing (Maxwell, 2014). Melalui mikroseismik, informasiinformasi dari pekerjaan hydraulic fracturing yang dapat diketahui antara lain: Orientasi rekahan hidrolik, beserta panjangnya dari setiap arah. Bentuk rekahan yang terstimulasi. Apakah rekahan berinteraksi dengan sesar dan menyebabkan anomali pada geometri rekahan. Apakah rekahan terbentuk sepanjang sumur treatment. Area dan volume rekahan yang distimulasi. Peningkatan permeabilitas dari reservoir. Akuisisi mikroseismik melibatkan perekaman seismik pasif secara kontinu menggunakan beberapa sensor yang disusun dalam konfigurasi tertentu. Sensor (seismometer) ini dapat dipasang dalam berbagai konfigurasi seperti di dalam lubang-bor ataupun di atas permukaan tanah, tergantung pada tujuan pengamatan. Gambar 2.1 (kiri) menunjukkan berbagai kemungkinan konfigurasi yang dapat digunakan. Adapun, pada makalah ini, penelitian difokuskan pada pengamatan 5

16 mikroseismik yang dilakukan di vertical-downhole array (sensor dipasang secara vertikal pada lubang-bor pengamatan, ditunjukkan pada gambar 2.1 kanan). Gambar II.1 Berbagai macam skenario pemasangan sensor pada konfigurasi yang berbeda (kiri) dan konfigurasi vertical-downhole array (kanan) (Maxwell, 2014). Konfigurasi borehole array sendiri merupakan skenario yang paling sering digunakan untuk pengamatan mikroseismik pada hydraulic fracturing (Maxwell dkk., 2010). Bagaimanapun, pengolahan data yang dilakukan akan berbeda dengan pengolahan yang umumnya dilakukan pada pengamatan mikroseismik menggunakan surface array. Secara umum, pengolahan data mikroseismik yang dilakukan menggunakan borehole array adalah sebagai berikut: 1. Pendefinisian geometri pengamatan dan orientasi alat/sensor. Hal ini disebabkan karena arah Utara dari orientasi alat belum tentu sama dengan arah Utara bumi. 2. Konstruksi model kecepatan. Umumnya, model kecepatan diperoleh melalui data log, berupa model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs. 3. Identifikasi event mikroseismik, picking awal, dan perbaikan waktu tiba. 4. Penentuan lokasi hiposenter event mikroseismik. Pada tahap yang melibatkan metode inversi ini, optimisasi metode perlu dilakukan pada konfigurasi ini untuk mendapatkan hasil yang akurat. 5. Analisa tingkat kepercayaan dan kontrol kualitas dari hasil komputasi. 6. Penentuan atribut sumber: magnitudo, dll. 6

17 II.2 Penentuan Lokasi Hiposenter Penentuan lokasi hiposenter melibatkan suatu proses inversi untuk mencari suatu lokasi hiposenter yang memiliki error minimum antara waktu tempuh observasi dengan waktu tempuh kalkulasi. Persamaan umum yang digunakan adalah: t = τ + T = τ + s(r) dl (2.1) Keterangan: t j = waktu tiba (arrival time) di stasiun pengamat j, τ i = waktu terjadinya gempa (origin time) dari sumber i, T ij = waktu tempuh antara sumber i dan stasiun pengamat j, dl = panjang segmen sinar seismik dari lintasan integrasi L ij, bergantung pada lokasi hiposenter dan penerima s(r) = perlambatan (slowness) sebagai fungsi dari posisi. Adapun pada proses tersebut, informasi atau parameter yang telah diketahui hanyalah waktu tiba gelombang dan posisi stasiun perekam gempa. II.3 Ketidakunikan Solusi pada Mikroseismik Lubang-Bor Pengamatan mikroseismik menggunakan borehole/vertical-downhole array memiliki kelebihan yaitu kedalaman dari sumber mikroseismik dapat dibatasi dengan sangat baik sehingga kita bisa mendapatkan resolusi kedalaman yang tinggi. Namun, pada pengamatan ini terdapat permasalahan ambiguitas solusi pada bidang horizontal sehingga kita tidak dapat menggunakan metode inversi yang banyak digunakan pada pengamatan di permukaan. Ambiguitas atau ketidakunikan solusi ini disebabkan karena konfigurasi pemasangan sensor yang berupa vertical array sehingga tidak dapat membatasi fungsi objektif misfit dari sumber pada bidang horizontal. Ilustrasi dari persebaran fungsi objektif misfit ini pada pengamatan di permukaan jika dibandingkan dengan pada pengamatan di single vertical-downhole, ditunjukkan oleh gambar 2.2. Pada pengamatan di permukaan (gambar 2.2 bagian kiri), fungsi objektif pada bidang horizontal dapat dibatasi dengan baik. Misalnya, jika sumber mikroseismik dikelilingi secara baik oleh empat buah stasiun sesuai gambar, fungsi misfit akan tersebar dan mengerucut ke arah lokasi sumber sebenarnya. Lokasi sumber yang 7

18 ditunjukkan oleh bintang merah akan memiliki nilai fungsi misfit yang paling kecil. Lain halnya pada pengamatan di vertical array, pada pengamatan ini (gambar 2.2 bagian kanan), fungsi objektif hanya bisa dibatasi dengan baik pada fungsi kedalaman, tidak pada bidang horizontal. Lingkaran merah menunjukkan area yang akan memiliki fungsi misfit bernilai sama dengan lokasi sumber sebenarnya. Hal ini menyebabkan munculnya lokasi hiposenter bias (ditunjukkan oleh bintang kuning) yang memiliki nilai misfit sama kecilnya dengan hiposenter sebenarnya pada area lingkaran. Gambar II.2 Persebaran fungsi objektif mifit pada pengamatan di permukaan atau surface array (bagian kiri) dan pada pengamatan di lubang-bor atau vertical-downhole array (bagian kanan). Tanda bintang merah merupakan lokasi sumber sebenarnya, segitiga terbalik merupakan stasiun, dan bintang kuning merupakan lokasi sumber yang bias. Gambar II.3 Skema optimisasi metode pencarian sistematik pada bidang radial dari sumber mikroseismik (Jones dkk., 2013). Permasalahan ini dapat diselesaikan salah satunya menggunakan analisa polarisasi gelombang P (Jones dkk., 2010; Jones dkk., 2013). Melalui analisa hodogram dari 8

19 polarisasi gelombang P, kita dapat mengetahui back azimuth dari stasiun pengamat terhadap sumber mikroseismik. Hal ini akan memberikan informasi mengenai arah radial kedatangan sumber mikroseismik. Maka, ambiguitas pada bidang horizontal dapat direduksi dengan melakukan optimisasi pencarian sistematik hanya pada bidang radial ini (gambar 2.3). II.4 Analisa Hodogram dari Polarisasi Sinyal Gelombang P Salah satu sifat dari gelombang P adalah arah gerak partikel akan searah dengan arah penjalaran gelombangnya. Maka karena itu, gelombang P akan terpolarisasi secara vertikal dan radial. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengestimasi back azimuth terhadap sumber mikroseismik dengan menggunakan vektor dari amplitudo gelombang P (Havskov dan Ottemoller, 2010). Hal ini ditunjukkan pada gambar 2.4. Komponen radial dari gelombang P akan terekam pada dua komponen horizontal dari seismometer (komponen North-South dan East-West). Jika A E merupakan amplitudo pada komponen East-West dan A N merupakan amplitudo pada komponen North-South, maka rasio amplitudo A E /A N pada komponen horizontal tersebut dapat digunakan untuk menghitung back azimuth terhadap sumber mikroseismik dengan persamaan sebagai berikut: = tan (2.2) Gambar II.4 Contoh mosi pertama dari gelombang P pada rekaman 3-komponen (Havskov dan Ottemoller, 2010). 9

20 Analisa hodogram dapat dilakukan dapat dilakukan untuk memperkirakan polarisasi sinyal. Hal ini dilakukan dengan melakukan crossplotting amplitudo sinyal relatif dari dua komponen horizontal yang dimiliki (ditunjukkan oleh gambar 2.5). Hodogram ini menampilkan penggambaran grafis dari pergerakan tanah, dimana selanjutnya beberapa teknik analisa dapat digunakan untuk memperkirakan arah pergerakan partikel, salah satunya adalah principal component analysis. Gambar II.5 Skematik gambar hodogram dari dua komponen: komponen N-S (jingga) dan komponen E-W (merah), (Maxwell, 2014). Namun perlu diperhatikan bahwa hasil perhitungan ini akan memiliki ambiguitas 180 o. Untuk itu, analisa selanjutnya perlu dilakukan menggunakan kombinasi polaritas untuk menghilangkan ambiguitas ini. Polaritas pertama pada rekaman seismogram di ketiga komponen dapat bernilai positif ataupun negatif bergantung 10

21 pada arah penjalaran gelombang tersebut. Misalnya, jika polaritas pertama bernilai positif pada komponen vertikal (berarti arah gerak partikel ke atas), maka komponen radial gelombang P tersebut berarah menjauh dari hiposenter. Hasil sebaliknya juga akan berlaku jika polaritas tersebut bernilai negatif. Kombinasi dari polaritas pada setiap komponen ini dan kasus dimana 180 O perlu ditambahkan untuk memperoleh back azimuth dari stasiun, ditunjukkan oleh tabel 2.1 (diperoleh dari Havskov dan Ottemoller, 2010). Tabel II.1 Kombinasi dari polaritas dan kasus dimana 180 O perlu ditambahkan. II.5 Inversi Pencarian Sistematik Terarah dan Metode Stasiun Master Salah satu cara untuk memperoleh solusi inversi non-linier menggunakan pendekatan global adalah dengan mengevaluasi secara sistematik nilai fungsi obyektif untuk setiap model pada ruang model (Grandis, 2009). Evaluasi secara sistematik fungsi obyektif untuk setiap sampel model pada ruang model merupakan cara yang paling mudah untuk memperoleh solusi inversi non-linier. Perhitungan fungsi obyektif pada dasarnya merupakan perhitungan pemodelan kedepan yang kemudian dibandingkan dengan data observasi. obs Dimisalkan t j adalah waktu tiba gelombang seismik pada stasiun j (x j, y j, z j ) dari hiposenter sumber (x i, y i, z i ), T cal ij adalah waktu tempuh kalkulasi dari sumber i ke stasiun j (hasil ray tracing), dan τ i adalah waktu terjadinya gempa (origin time) pada sumber i. Maka, dt i atau merupakan selisih antara hasil observasi dan hasil kalkulasi pada stasiun j, dapat dihitung dengan persamaan: dt = t τ T (2.3) Fungsi objektif kemudian diperoleh dengan menghitung jumlah kuadrat residual terkecil dari seluruh stasiun: E(i) = dt (2.4) 11

22 Kemudian, fungsi objektif dihitung secara sistematik untuk setiap grid atau sampel dalam ruang model yang telah didefinisikan sebelumnya dihitung. Ruang model dapat dibatasi dan diarahkan berdasarkan arah back azimuth dari stasiun pengamat. Lokasi hiposenter yang memiliki fungsi objektif terkecil dapat dipilih dan dianggap sebagai lokasi terbaik yang memiliki misfit minimum antara waktu tempuh observasi dengan waktu tempuh kalkulasi. Adapun perhitungan fungsi objektif ini memiliki kelemahan. Perhitungan ini membutuhkan informasi mengenai waktu terjadinya gempa, padahal umumnya informasi ini belum diketahui dan juga menjadi parameter model yang dicari. Data observasi yang kita miliki adalah waktu tiba observasi di setiap stasiun, sedangkan hasil pemodelan kedepan yang kita miliki adalah waktu tempuh kalkulasi. Maka, permasalahan inversi non-linier ini tidak dapat disederhanakan hanya sebagai inversi waktu tempuh, melainkan harus berupa inversi waktu tiba gelombang. Untuk mengatasi permasalahan ini, metode stasiun master (Zhou, 1994; Lomax, 2005) dapat diaplikasikan. Pada metode stasiun master, Zhou (1994) mendefinisikan bahwa selisih antara waktu tiba gelombang di setiap stasiun akan bernilai sama dengan selisih antara waktu tempuh gelombang di setiap stasiun. Maka, fungsi objektif pada persamaan 2.3 dan 2.4 dapat dimodifikasi menjadi: E(i) = t t (T T ) (2.5) dimana j dan k merupakan nomor stasiun berbeda yang merekam kejadian mikroseismik dari sumber i. Sama halnya seperti di atas, fungsi objektif kemudian dihitung secara sistematik untuk mencari lokasi hiposenter terbaik, yaitu lokasi dengan fungsi objektif terkecil. Kemudian, waktu kejadian gempa (origin time) dapat dihitung dengan merataratakan selisih antara waktu tiba observasi dengan waktu tempuh kalkulasi. Hal ini dilakukan dengan catatan bahwa waktu tempuh kalkulasi tersebut diperoleh dari lokasi terbaik. Perhitungan dilakukan dengan persamaan: τ = 1 N N j=1 (t T ) (2.6) 12

23 II.6 Magnitudo Momen Beberapa hal utama yang menjadi pertanyaan pada suatu kejadian mikroseismik adalah dimana lokasi dari sumber kejadian tersebut dan seberapa besar kekuatannya. Magnitudo merupakan suatu nilai besaran yang menunjukkan kekuatan dari suatu gempa. Perhitungan nilai manitudo merupakan hal yang penting untuk mengetahui energi yang terlepaskan untuk mengestimasi potensi kerusakan yang terjadi oleh suatu gempa; ukuran fisik dari gempa; dan perkiraan pergerakan tanah (ground motion) dan seismic hazard. Pada penelitian ini, skala magnitudo yang akan digunakan pengolahan data adalah moment magnitude atau magnitudo momen (M w ). Sebagian besar skala magnitudo didasarkan pada pengukuran amplitudo dalam domain waktu. Untuk mendapatkan hasil yang umum, digunakan estimasi spektral. Dengan menghubungkan seismograph accordance dengan actual physical displacement yang muncul selama kejadian mikroseismik, maka akan didapatkan suatu skala magnitudo berupa magnitudo momen (M w ). Penentuan magnitudo ini tidak hanya dilihat dari nilai amplitudo, namun menggunakan informasi parameter-parameter gempa yang terdapat dalam data rekaman gempa, yaitu momen seismik. Momen seismik / seismic moment didefinisikan sebagai besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan rekaman gelombang. Nilai momen seismik pada suatu bidang sumber didefinisikan sebagai berikut, M = μd A (2.7) dengan μ adalah shear modulus, D adalah average slip, dan A adalah area rupture. Momen seismik dapat dihitung menggunakan analisis spektral. Parameter gempa ini dalam Newton meter dapat diestimasi dari seismogram menggunakan persamaan dalam domain frekuensi, dihitung dengan melakukan pencocokkan spektrum frekuensi dari displacement sinyal seismik terhadap spektrum sumber teoritik So(f) dari Model Brune (Brune, 1970; Rodriguez-Pradilla, 2015) yang dapat didefinisikan sebagai berikut, S (f) = (2.8) [ ( / ) ] / 13

24 dengan f adalah frekuensi data, Ω o adalah low frequency spectral level, f o adalah frekuensi corner, γ dan n adalah konstanta yang mempengaruhi bentuk kurva dan bernilai khusus pada kasus tertentu (misalnya bernilai 2 untuk kasus sinyal dengan konten frekuensi tinggi). Untuk mendapatkan nilai Ω o dan f o dari setiap event mikroseismik, waveform gelombang P yang memiliki rasio S/N tinggi di-window kemudian di-fft untuk mendapatkan spektrum frekuensi. Kemudian data observasi ini dicocokkan terhadap spektrum teoritik menggunakan persamaan kuadrat terkecil. Contoh fitting / pencocokkan ini ditunjukkan pada gambar Gambar II.6 Sinyal yang kemudian di-window (atas) dan hasil fitting pada spektrum frekuensi (bawah), (Rodriguez-Pradilla, 2015). Kemudian, momen seismik dapat dihitung sebagai berikut, dengan M = (2.9) ρ adalah densitas (kg/m 3 ), V adalah kecepatan gelombang (m/s), Ω adalah low frequency level (ms) dari spectrum amplitude yang ekuivalen dengan area di bawah displacement pulse, r merupakan jarak sumber ke stasiun pengamat (hasil ray-tracing dalam meter), dan R merupakan nilai koreksi dari radiation pattern dan free surface. Setelah memperoleh nilai momen seismik, maka nilai magnitudo momen dapat dhitung sebagai berikut: M = log M 6.07 (2.10) 14

25 Bab III Pengolahan Data III.1 Pendefinisian Geometri Pengamatan dan Orientasi Sensor Pada pengamatan mikroseismik menggunakan borehole array, orientasi dari sensor perlu dicari, berbeda halnya dengan pengamatan di permukaan. Pada konfigurasi ini, hanya komponen vertikal yang sudah dapat ditentukan, sedangkan komponen horizontal bisa saja terdapat dalam orientasi ke arah manapun di dalam lubang-bor. Kita perlu mengembalikan komponen horizontal (X dan Y) sensor ke arah geografik bumi, yaitu menjadi komponen North-South dan East-West. Untuk itu, suatu tembakan kalibrasi dibutuhkan untuk menghitung orientasi dari alat. Langkah pertama dalam tahapan ini adalah menyusun geometri pengamatan yang terdiri dari lokasi well-head dan lokasi seismometer lubang-bor (posisi x, y, dan kedalaman). Selanjutnya, informasi mengenai tembakan kalibrasi dibutuhkan. Tembakan kalibrasi ini merupakan sumber buatan yang telah pasti diketahui lokasinya (posisi x, y, dan kedalaman). Pada penelitian ini, tembakan kalibrasi yang digunakan merupakan tembakan perforasi. Terdapat empat tembakan perforasi pada kedalaman berbeda yang dilakukan sebagai kalibrasi. Geometri pengamatan ini ditunjukkan pada gambar 3.1. Analisa hodogram dari polarisasi sinyal gelombang P dapat digunakan untuk menghitung arah kedatangan event mikroseismik. Dengan menggunakan analisa ini, kita dapat menghitung arah kedatangan dari tembakan perforasi terhadap orientasi alat (bukan terhadap geografik bumi). Selain itu, lokasi dari tembakan perforasi telah diketahui sehingga kita memiliki informasi mengenai sudut back azimuth sebenarnya pada geografik bumi. Dengan kedua informasi ini, kita dapat menghitung orientasi alat terhadap geografik bumi. Informasi orientasi alat dibutuhkan untuk mengembalikan sinyal secara komputasi ke komponen horizontal yang sesuai dengan geografik bumi. Sebagai contoh, ilustrasi ini ditunjukkan oleh gambar 3.2. Misalkan pada tembakan perforasi pertama, lokasi dari sumber buatan ini sudah diketahui berada 15

26 Gambar III.1 (a) Peta geometri dari sumur pengamatan (seismometer lubangbor) dan sumur treatment. (b) Penampang vertikal Utara Selatan yang ditandai zona abu-abu pada peta; bintang merah merupakan tembakan perforasi (penomoran dimulai dari paling bawah) dan segitiga biru terbalik merupakan sensor seismometer (penomoran dimulai dari paling atas). (c) Peta lokasi lapangan CBM. di sumur treatment, sesuai dengan geometri pada gambar. Dengan melakukan analisa polarisasi di stasiun pengamatan (seismometer lubang-bor), seharusnya perhitungan back azimuth akan menghasilkan nilai berupa 193 o terhadap Utara bumi. Namun, hasil perhitungan dari data observasi akan berbeda karena arah Utara pada komponen horizontal tidak mengarah ke geografik Utara bumi. Pada gambar 3.2.b, hasil perhitungan polarisasi akan menghasilkan nilai back azimuth yaitu sebesar 148 o. Perbedaan nilai inilah yang akan menjadi acuan untuk menentukan arah orientasi alat. Pada ilustrasi ini, dapat dihitung bahwa orientasi 16

27 alat bernilai 45 o dari Utara bumi, atau dapat dikatakan bahwa arah Utara alat berada pada azimuth 45 o dari arah Utara bumi. Untuk itu, kita perlu merotasi sinyal sesuai hasil tersebut untuk memperoleh sinyal dengan arah komponen horizontal yang sesuai dengan geografik bumi secara komputasi. Perlu dicatat bahwa setiap nomor seismometer dapat memiliki arah orientasi yang berbeda. Untuk itu, pada tembakan perforasi yang sama, analisa ini dilakukan pada semua data di setiap seismometer. Pada penelitian ini, terdapat 4 tembakan perforasi. Oleh karena itu, untuk setiap seismometer, kita dapat merata-ratakan orientasi alat yang diperoleh dari 4 perforasi tersebut. Orientasi setiap sensor terhadap Utara bumi ditunjukkan oleh tabel 3.1. Gambar III.2 (a) Ilustrasi geometri pengamatan dan orientasi alat terhadap geografik bumi. (b) Contoh hasil polarisasi yang ditemui akibat orientasi alat yang berbeda dengan geografik bumi. Dapat disimpulkan bahwa, arah orientasi dari setiap seismometer memiliki nilai konsisten pada satu perforasi ke perforasi lainnya, kecuali seismometer 8 pada 17

28 tembakan perforasi ketiga. Hal ini disebabkan karena pada perforasi ini, seismometer 8 memiliki rasio S/N (signal to noise) yang sangat rendah. Analisa polarisasi sangat bergantung pada rasio S/N dari data yang kita miliki. Maka karena itu, agar tidak merusak hasil yang sudah baik diperoleh dari perforasi lainnya, hasil tersebut tidak diikutkan pada perhitungan rata-rata orientasi alat dan tidak digunakan pada perhitungan selanjutnya. Tabel III.1 Orientasi alat dari setiap seismometer. III.2 Identifikasi Event Mikroseismik Pengerjaan hydraulic fracturing di lapangan coal bed methane (CBM) pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap stimulasi. Stimulasi rekahan dibagi menjadi 11 hari tahap injeksi, yang berlokasi di treatment well (gambar 4.1). Pengamatan mikroseismik ini dilakukan dilakukan pada semua hari di tahap stimulasi tersebut. Aktifitas mikroseismik direkam menggunakan 8 seismometer downhole 3-komponen (gambar 3.1) dengan sampling rate 4000 Hz atau 0.25 ms. Beberapa persiapan data yang dilakukan adalah (secara rinci pada Lampiran B): 1. Rotasi sinyal berdasarkan informasi orientasi sensor (tabel 3.1), bertujuan untuk mengembalikan sinyal pada komponen horizontal (komponen N-S dan E-W) ke arah geografik bumi sebenarnya. 2. Short time fourier transform untuk melihat kandungan frekuensi sinyal. 3. Band-pass filtering untuk meningkatkan rasio S/N (signal to noise). Seluruh event mikroseismik diidentifikasi berdasarkan analisa short time average terhadap long time average atau STA/LTA (Earle dan Shearer, 1994). Kemudian, waktu tiba untuk gelombang P dan S ditentukan (di-picking) secara manual. Terdapat 1864 event mikroseismik yang telah diidentifikasi dan di-picking. 18

29 Seluruh event ini terjadi pada 11 hari pengamatan tersebut. Contoh sinyal dan hasil picking pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran C. Pada penentuan waktu tiba gelombang P dan S, picking hanya dilakukan pada sinyal yang jelas dan memiliki rasio S/N yang baik. Rekaman sinyal yang buruk atau bias di beberapa stasiun pengamatan akan ditinggalkan untuk menjaga tingkat kepercayaan hasil picking. Selain itu, untuk menjaga kualitas picking pada penelitian ini, kontrol kualitas dilakukan menggunakan diagram Wadati (Lampiran C). Hal ini dilakukan dengan menge-plot selisih antara waktu tiba S dan waktu tiba P terhadap waktu tiba gelombang P. Semakin lama gelombang P tiba di suatu stasiun, maka semakin besar juga selisih antara gelombang S dan P. Ketelitian hasil picking atau penentuan waktu tiba gelombang P dan S di setiap stasiun memiliki peranan penting terhadap solusi lokasi hiposenter. Untuk mereduksi human error pada saat picking manual, perbaikan kemudian dilakukan terhadap hasil picking awal tersebut menggunakan algoritma modified energy ratio (MER) (Akram, 2014; Akram dan Eaton, 2016). Secara rinci, algoritma MER dapat dilihat pada Lampiran D. Gambar III.3 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tinggi, hasil picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasarkan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel. 19

30 Informasi hasil picking awal dapat digunakan untuk membatasi ruang sampel perhitungan MER. Gambar 3.3 menunjukkan hasil perbaikan picking fasa gelombang P dan S untuk sinyal yang memiliki rasio S/N tinggi. Secara visual, dapat dilihat bahwa hasil perbaikan picking berada tepat di first break sinyal dan lebih baik dibandingkan hasil picking manual. Garis merah putus-putus memberikan informasi bahwa first break dari gelombang tepat berada pada saat nilai MER maksimum, baik jika perhitungan nilai MER dibatasi informasi picking manual (gambar 3.3.b), maupun jika nilai MER dihitung untuk seluruh sampel (gambar 3.3.c). Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbaikan hasil picking akan optimal meskipun tidak terdapat informasi picking awal. Gambar III.4 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tipikal, hasil picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi berdasarkan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel. Namun, kesimpulan tersebut tidak berlaku pada sinyal lainnya yang memiliki rasio S/N tipikal atau umum. Gambar 3.4 menunjukkan hasil perbaikan picking fasa gelombang P dan S untuk sinyal tersebut. Garis merah putus-putus memberikan informasi bahwa first break dari gelombang tepat berada pada saat nilai MER maksimum hanya jika sampel dibatasi berdasarkan informasi picking manual (gambar 3.4.b). Kurva MER pada perhitungan seluruh sampel (gambar 3.4.c) menunjukkan puncak lain yang akan memberikan hasil ambigu. Melalui perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa algoritma perbaikan hasil picking ini 20

31 membutuhkan informasi picking manual untuk membatasi sampel perhitungan MER, terutama untuk sinyal lainnya yang memiliki rasio S/N beragam. III.3 Konstruksi Model Kecepatan 1-D Vp & Vs Pada penelitian ini, model kecepatan dibutuhkan untuk menghitung waktu tempuh kalkulasi dari sumber ke stasiun, baik model kecepatan gelombang P maupun gelombang S. Model kecepatan ini kemudian diturunkan dari sonic logs yang diukur di treatment well. Data sonic logs tersebut kemudian diperhalus menjadi suatu model blok kecepatan 1 dimensi. Model blok kecepatan ini hanya bervariasi terhadap kedalaman. Gambar III.5 Model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs. Setiap blok pada model kecepatan merepresentasikan grup litologi pada area penelitian. Gambar 3.5 menunjukkan model kecepatan 1-D untuk Vp dan Vs yang digunakan pada penelitian ini, beserta kondisi nyatanya di geometri pengamatan. Lapisan tipis dengan nilai kecepatan rendah merupakan lapisan batubara dimana 21

32 gas methane dicurigai berada. Lapisan inilah yang menjadi area reservoir yang akan distimulasi. Selain itu, lapisan lain merupakan litologi yang dianggap sebagai model background, terdiri dari batuan sedimen. III.4 Penentuan Lokasi Event Mikroseismik Total jumlah event mikroseismik yang telah diidentifikasi dan ditentukan waktu tibanya untuk fasa gelombang P dan S, adalah 1864 event. Selanjutnya, kita perlu menentukan lokasi hiposenter dari setiap event. Hal ini dilakukan untuk memetakan potensi rekahan yang terjadi akibat pengerjaan hydraulic fracturing. Penentuan lokasi hiposenter ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: 1. analisa hodogram dari polarisasi gelombang P untuk mengestimasi back azimuth dari stasiun pengamat ke sumber, 2. analisa kombinasi polaritas untuk menghilangkan ambiguitas 180 o, 3. proses inversi menggunakan pencarian sistematik terarah, dimana ruang model diarahkan pada area back azimuth dengan toleransi sebesar 5 o. Analisa hodogram dari polarisasi gelombang P dilakukan untuk mengestimasi arah kedatangan radial dari sumber mikroseismik berdasarkan nilai back azimuth. Contoh analisa hodogram yang dilakukan pada event ditunjukkan oleh gambar 3.6. Pertama-tama, sinyal dicuplik pada bagian paling pertama semenjak gelombang P tiba di stasiun untuk memperoleh gelombang P yang tajam dan terpolarisasi linear. Melalui hasil short time fourier transform (dapat dilihat pada Lampiran B), informasi mengenai periode dominan dari sinyal dapat diperoleh. Pada penelitian ini, panjang window cuplikan yang digunakan adalah 1.5 kali periode dominan dari sinyal suatu event mikroseismik tertentu (nilainya berbeda untuk tiap event). Dalam arti lain, jika suatu sinyal event memiliki periode dominan sebesar 1.34 milisekon, maka cuplikan sinyal yang digunakan pada analisa hodogram adalah sinyal ketika gelombang P tiba di stasiun pengamat sampai 2 milisekon setelahnya. Setelah itu, cuplikan sinyal tersebut yang diperoleh dari kedua komponen horizontal: komponen Utara-Selatan dan komponen Barat-Timur, di-plot pada grafik hodogram untuk memperoleh informasi mengenai back azimuth dari stasiun pengamat. 22

33 Gambar III.6 Contoh analisa polarisasi gelombang P. (a) Rekaman sinyal yang dicuplik detik sejak tiba; (b) Cuplikan sinyal komponen horizontal dan hodogram yang dihasilkan. Analisa yang sama dilakukan pada setiap stasiun (dari total 8 stasiun pengamat). Dengan menggunakan principal component analysis, kita dapat memperoleh amplitudo utama dari komponen Utara-Selatan dan komponen Barat-Timur, sehingga kemudian kita dapat menghitung back azimuth dari masing-masing stasiun (gambar 3.7) menggunakan persamaan 2.2. Dengan pengamatan pada konfigurasi near-vertical borehole, nilai back azimuth dari setiap stasiun seharusnya cenderung sama. Maka karena itu, nilai back azimuth dari suatu event mikroseismik didefinisikan sebagai rata-rata dari nilai back azimuth di semua stasiun pengamat. Selain itu, pembobotan juga dilakukan, dimana stasiun yang lebih dekat dengan event (dicirikan oleh waktu tiba P yang lebih kecil) akan memiliki bobot lebih tinggi ketika perata-rataan. Dari total 1864 event, nilai back azimuth untuk setiap event mikroseismik bisa diperoleh. Namun, tingkat kualitas analisa polarisasi sangat bergantung pada rasio signal to noise (S/N) data. Pada beberapa event, polarisasi yang dihitung di setiap stasiun tidak cukup konsisten. Hal ini disebabkan rasio S/N yang rendah. Keberadaan noise yang tinggi pada rekaman di suatu stasiun akan memberikan 23

34 nilai back azimuth yang salah. Hal ini umumnya terjadi pada saat rasio S/N di suatu stasiun bernilai kurang dari 1 db. Maka karena itu, pembobotan perlu dilakukan berdasarkan rasio S/N setiap stasiun ketika melakukan perata-rata back azimuth dari semua stasiun pengamat. Hal ini mempertimbangkan bahwa hasil polarisasi ini memiliki peranan penting untuk membatasi model pencarian di proses inversi nantinya. Stasiun yang memiliki rekaman sinyal dengan rasio S/N tinggi akan diberikan bobot yang lebih tinggi pula saat perata-rataan, dan begitu juga sebaliknya. Contoh hasil polarisasi dari beberapa event pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran F. Gambar III.7 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat untuk suatu event yang sama. Selanjutnya, seperti yang telah dibahas sebelumnya, hasil back azimuth yang kita dihasilkan ini memiliki ambiguitas 180 o. Lokasi sumber event mikroseismik bisa berada pada bagian lain terhadap sumur pengamatan. Maka karena itu, kita perlu menghilangkan ambiguitas 180 o untuk memperoleh nilai back azimuth yang benar. Pengolahan ini dilakukan berdasarkan analisa kombinasi polaritas yang ditunjukkan oleh tabel 2.1. Polaritas pertama pada rekaman seismogram di ketiga komponen dapat bernilai positif ataupun negatif bergantung pada arah penjalaran gelombang tersebut. (Havskov dan Ottemoller, 2010). Ilustrasi tahap pengolahan ini ditunjukkan melalui gambar 3.8. Melalui analisa hodogram dari polarisasi gelombang di suatu 24

35 stasiun, perhitungan memberikan informasi back azimuth bernilai 312 o. Kemudian, melalui pengamatan sinyal dari event mikroseismik di stasiun tersebut, dapat ditentukan bahwa: 1. polaritas sinyal bernilai positif di komponen vertikal, 2. polaritas sinyal bernilai positif di komponen Utara-Selatan, 3. polaritas sinyal bernilai positif di komponen Barat-Timur. Berdasarkan hal tersebut (dapat dilihat pada tabel 2.1), kita perlu menambahkan 180 o pada hasil back azimuth yang kita peroleh. Maka, nilai back azimuth dari stasiun pengamat ke sumber mikroseismik tersebut adalah 132 o. Gambar III.8 Ilustrasi penggunaan polaritas dalam menghilangkan ambiguitas 180 o. Tahap terakhir pada penentuan lokasi hiposenter ialah proses inversi menggunakan pencarian sistematik terarah. Ray-tracing dilakukan dengan metode shooting. Melalui tahap sebelumnya, kita telah memiliki informasi mengenai back azimuth terhadap suatu event mikroseismik. Menggunakan informasi ini, kita dapat membatasi ruang model kita dalam pencarian sistematik untuk mereduksi ambiguitas misfit pada bidang horizontal dan menghasilkan solusi terbaik. Pada penelitian ini, toleransi sudut yang digunakan adalah 5 o. Toleransi ini diberikan mempertimbangkan kesalahan yang mungkin dihasilkan pada tahap perhitungan polaritas gelombang. Sebagai ilustrasi, kita misalkan back azimuth terhitung dari suatu event bernilai 90 o (ditunjukkan pada gambar 3.9). Pencarian sistematik kemudian hanya dilakukan pada ruang model yang ditunjukkan oleh zona abu-abu. Selain untuk membatasi ruang model kita, pencarian sistematik 25

36 yang diarahkan ini berguna untuk mencegah solusi terletak pada zona cermin akibat ambiguitas persebaran misfit di konfigurasi single-vertical borehole. Gambar III.9 Ilustrasi pencarian sistematik pada area back azimuth terhadap sumber. Segitiga biru terbalik merupakan stasiun pengamat dan zona abu-abu merupakan ruang model. Keakuratan lokasi hiposenter bergantung pada beberapa faktor antara lain model kecepatan, hasil picking waktu tiba, jumlah data, distribusi misfit, dll (Maxwell, 2014). Faktor-faktor ini dapat memberikan ketidakpastian / uncertainty pada lokasi hiposenter berupa pergeseran posisi dari lokasi sebenarnya. Maka karena itu, lokasi absolut yang akurat akan sulit untuk diperoleh. Ketidakpastian lokasi hiposenter perlu ditaksir untuk mempertimbangkan kesalahan interpretasi yang mungkin dihasilkan akibat adanya lokasi hiposenter yang semu. Pada penelitian ini, faktor pertama yang diperhitungkan adalah persebaran misfit pada pengamatan single vertical-borehole array. Geometri pengamatan ini memiliki resiko yaitu solusi hiposenter dapat terjebak pada bidang pencerminan yang bias akibat persebaran misfit (lihat Bab 2.3). Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan pencarian sistematik. Melalui tahap-tahap inversi sebelumnya, kita telah memperoleh lokasi hiposenter dari suatu event mikroseismik, dicirikan dengan nilai misfit terkecil. Informasi lokasi awal ini dapat kita gunakan untuk mencari lokasi-lokasi lain di sekitar yang memiliki nilai misfit mirip dengan lokasi awal tersebut. Pencarian sistematik dilakukan dengan ruang model yang dibatasi disekitar lokasi hiposenter awal. Lokasi-lokasi lain yang memiliki selisih 26

37 misfit lebih kecil dari 5% kemudian diambil sebagai cluster alternatif. Selanjutnya, solusi hiposenter pada cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan / confidence ellipse dari suatu event dengan menggunakan principal component analysis berdasarkan matriks kovarians (Lampiran G). Faktor kedua yang diperhitungkan adalah jumlah data pengamatan di stasiun. Suatu event mikroseismik akan lebih mudah dikerucutkan jika data yang dimiliki semakin banyak. Namun, emisi akustik sumber mikroseismik yang memiliki energi rendah belum tentu dapat terekam dengan baik di suatu stasiun pengamatan sehingga jumlah data bisa berkurang. Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan metode Monte-Carlo. Pada setiap event, simulasi dilakukan dengan menghilangkan sejumlah n data pada stasiun ke-i. Nilai n diambil secara acak dan dibatasi dengan rentang n=[1, 2,, N], dimana N adalah jumlah total data pengamatan. Stasiun ke-i kemudian dipilih secara acak sejumlah nilai n. Selanjutnya, tahapan inversi dilakukan menggunakan data pengamatan tersebut. Sebanyak 30 kali simulasi dilakukan dan kemudian setiap solusi hiposenter diambil sebagai cluster alternatif. Sama seperti pada perhitungan di faktor pertama, cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan dari suatu event (Lampiran G). III.5 Penentuan Magnitudo Momen Atribut sumber adalah parameter lainnya yang perlu diketahui dari suatu event mikroseismik selain lokasi hiposenter. Salah satu atribut sumber tersebut adalah magnitudo. Magnitudo dapat memberikan informasi mengenai energi yang dilepaskan dari sumber kejadian. Pada hydraulic fracturing, sumber ini berhubungan langsung dengan rekahan-rekahan yang terstimulasi, baik rekahan baru ataupun rekahan lama yang membuka kembali. Nilai magnitudo dapat memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai rekahan yang terstimulasi ini. Pada penelitian ini, besaran magnitudo yang digunakan adalah magnitudo momen. Penentuan nilai magnitudo momen dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: 1. koreksi instrumen dan konversi data rekaman sinyal yang berupa ground velocity ke ground displacement (satuan meter), 27

38 2. spectral fitting pada cuplikan sinyal gelombang P dan S untuk menghitung Ω dan frekuensi corner, 3. perhitungan momen seismik menggunakan persamaan 2.9, 4. perhitungan magnitudo momen menggunakan persamaan Data mikroseismik yang terekam oleh stasiun / seismometer pada penelitian ini merupakan ground velocity dengan satuan count. Koreksi instrumen perlu dilakukan untuk mengembalikan amplitudo data rekaman ke satuan yang standar (yaitu m/s). Berdasarkan spesifikasi alat yang digunakan, koreksi ini dilakukan mengikuti persamaan berikut: Amplitudo terkoreksi = (2.8) dimana N adalah jumlah sensor (N=8). Selanjutnya, rekaman sinyal yang berupa ground velocity (satuan m/s) dikonversi ke ground displacement. Hal ini dilakukan dengan melakukan integral trapesium terhadap data rekaman sinyal di setiap sampel. Beberapa contoh konversi sinyal ini dapat dilihat pada Lampiran H. Setelah kita memiliki data rekaman sinyal mikroseismik berupa ground displacement, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah spectral fitting. Informasi hasil picking waktu tiba gelombang P dan S dibutuhkan pada tahap ini untuk mencuplik sinyal. Tahap ini dilakukan terpisah untuk gelombang P dan S. Pertama-tama untuk gelombang P, sinyal dipilih pada komponen yang memiliki rasio S/N tertinggi. Sinyal kemudian dicuplik dalam panjang window tertentu mulai dari pertama kali gelombang P datang. Cuplikan sinyal ini harus dipastikan hanya mengandung gelombang P. Maka karena itu, panjang window yang digunakan adalah selisih nilai ts-tp dibagi dua. Cuplikan sinyal kemudian di-fft ke domain frekuensi. Hal yang sama juga dilakukan untuk gelombang S. Sinyal spektrum dalam domain frekuensi dibutuhkan pada tahap spectral fitting untuk memperoleh parameter spektral yang dibutuhkan, yaitu low frequency spectral level, Ω dan frekuensi corner, f o. Sinyal spektrum observasi ini kemudian dicocokkan dengan spektrum sumber teoritik So(f) dari Model Brune (Brune, 1970). Spektrum teoritik dibuat berdasarkan persamaan 2.8, dimana γ=2 28

39 dan n=2, untuk kasus sinyal dengan konten frekuensi tinggi (Rodriguez-Pradilla, 2015). Nilai Ω dan f o kemudian menjadi model yang disimulasikan menggunakan metode pencarian sistematik. Spektrum teoritik yang memiliki misfit paling kecil terhadap spektrum observasi menunjukkan solusi nilai Ω dan f o yang terbaik. Hal ini dilakukan untuk setiap cuplikan gelombang P dan S di semua stasiun. Masing-masing nilai Ω akan digunakan untuk menghitung momen seismik menggunakan persamaan 2.9. Pada penelitian in, nilai ρ yang digunakan adalah 1.3 g/cm 3 untuk event yang terjadi di seam batubara, dan 2.3 g/cm 3 untuk event yang terjadi di lapisan lain. Nilai V (dalam m/s) dan r (dalam meter) diperoleh berdasarkan ray-tracing dari sumber ke stasiun melewati model kecepatan 1-D. Nilai koreksi radiation pattern yang digunakan adalah 0.44 untuk fasa P dan 0.6 untuk fasa S, dan koreksi free surface bernilai 2 (Rodriguez-Pradilla, 2015). Melalui tahap ini, kita akan memperoleh nilai momen seismik dari fasa gelombang P dan S di setiap stasiun pengamat untuk suatu event yang sama. Nilai momen seismik pada event tersebut kemudian didefinisikan sebagai rata-rata dari seluruh nilai momen seismik di seluruh stasiun pengamat. Selanjutnya, nilai magnitudo momen dapat dihitung menggunakan persamaan Gambar III.10 (a) Contoh sinyal event mikroseismik dan window cuplikan masing-masing untuk fasa P dan S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S pada event tersebut. Garis biru adalah spektrum observasi dan garis merah adalah spektrum teoritik. 29

40 Bab IV Hasil dan Interpretasi IV.1 Hasil Sebanyak total 1864 event mikroseismik telah berhasil ditentukan lokasi hiposenternya berdasarkan tahap-tahap ini. Peta persebaran hiposenter beserta analisa ketidakpastian berdasarkan persebaran misfit ditunjukkan pada gambar 4.1. Peta persebaran hiposenter ini dan analisa ketidakpastian berdasarkan jumlah data secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran I. Gambar IV.1 Peta persebaran event mikroseismik: (a) Peta episenter, (b) Peta penampang Utara-Selatan. Hiposenter ditunjukkan oleh bulatan merah beserta elips kepercayaan (elips merah muda), segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan, dan kotak hitam 30

41 merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. (c) Histogram dari misfit RMS hasil hiposenter. (d) Histogram waktu tempuh residual untuk fasa P dan S. Lokasi hiposenter ini tersebar dengan nilai misfit RMS bervariasi dengan rentang 0 sampai 10 ms (gambar 4.1.c dan 4.1.d). Secara statistik, persebaran nilai misfit yang cukup kecil ini menunjukkan solusi hiposenter yang baik. Selanjutnya, ketidakpastian lokasi hiposenter menunjukkan hasil yang mirip baik berdasarkan persebaran misfit maupun jumlah data. Pada bidang horizontal, ketidakpastian lokasi bervariasi antara 5 sampai 20 meter. Namun, elips kepercayaan dari setiap lokasi hiposenter hanya tersebar pada bidang tegasan cluster. Maka dapat disimpulkan bahwa kedua faktor ini tidak mempengaruhi hasil interpretasi karena kemungkinan kesalahan lokasi hiposenter masih jatuh pada cluster yang sama. Pada bidang vertikal, ketidakpastian lokasi hiposenter bervariasi antara 2 sampai 5 meter. Kebanyakan event mikroseismik terjadi pada kedalaman antara 570 sampai 580 meter, yaitu pada sekitar lapisan pertama batubara. Hal ini sangat masuk akal jika dihubungkan dengan tahap injeksi hydraulic fracturing yang dilakukan. Tahapan injeksi utama dilakukan di 9 Agustus 2012 pada lapisan batubara tersebut. Hal ini mendukung kelebihan dari konfigurasi vertical borehole, yaitu kedalaman dari event mikroseismik akan terlingkupi dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa persebaran event mikroseismik tersebut telah menunjukkan hasil yang baik pada segi kedalaman. Kemungkinan adanya kesalahan lokasi juga akan sangat kecil, terutama pada batas lapisan batubara. Pada Lampiran J, ditunjukkan bahwa hasil picking waktu tiba gelombang P dan S untuk kasus mikroseismik lubang-bor dapat memberikan pengaruh yang unik pada hasil lokasi hiposenter. Pada bidang horizontal, pergeseran lokasi dapat terjadi akibat pencerminan di bidang 180 o dari back azimuth. Informasi hasil picking waktu tiba yang kurang tepat dapat berujung pada kesalahan informasi mengenai kombinasi polaritas gelombang pada suatu stasiun sehingga penghilangan ambiguitas 180 o gagal dilakukan. 31

42 IV.2 Interpretasi Secara umum, kebanyakan event mikroseismik yang terjadi memang terstimulasi pada batas lapisan batubara. Area rekahan ini pada bidang horizontal dapat dipetakan dalam cluster berdasarkan persebaran event mikroseismik, yaitu: 1. Cluster Selatan. Pada kelompok ini, event tersebar dengan arah orientasi Barat Laut ke Tenggara dan memanjang mulai dari sumur treatment. 2. Cluster Timur. Pada kelompok ini, event tersebar dengan arah orientasi Barat Laut ke Tenggara mirip seperti cluster Selatan, namun event berada jauh dari sumur treatment dimana terdapat celah pemisah di antaranya. Gambar IV.2 Peta persebaran event mikroseismik beserta magnitudo momen (skala bulatan): (a) Peta episenter, (b) Penampang Utara-Selatan. Kelompok / cluster Selatan merupakan perbesaran event mikroseismik yang paling sesuai dengan keberadaan sumur treatment. Event mikroseismik ini tersebar di sekitar sumur treatment dengan magnitudo relatif kecil dan kemudian menyebar ke arah Tenggara dengan magnitudo semakin membesar. Studi yang sedang dilakukan Septyana (2015) (komunikasi personal) juga menunjukkan suatu sesar lokal dengan orientasi Barat Laut ke Tenggara pada area tersebut. Pada cluster Selatan, event mikroseismik pertama kali terinduksi di sekitar sumur treatment akibat stimulasi hydraulic fracturing, kemudian menyebar ke arah 32

43 Tenggara. Rekahan pertama kali terbentuk di sekitar sumur tersebut. Hal ini didukung persebaran magnitudo yang relatif kecil di sekitar sumur treatment. Kemudian, semakin banyak fluida yang diinjeksikan, rekahan terus melebar dan tumbuh menjauhi sumur. Rekahan yang diinduksi ini tumbuh mengikuti rekahan yang telah ada sebelumnya akibat sesar lokal, membuka rekahan itu kembali, menyebabkan pergeseran, dan kemudian mengisinya dengan proppant (contoh: Rodriguez-Pradilla, 2015). Hal ini didukung persebaran magnitudo yang relatif membesar ke bagian Tenggara. Kelompok / cluster Timur, bagaimanapun, adalah persebaran event mikroseismik yang paling menarik. Persebaran event mikroseismik terjadi dengan orientasi Barat Laut ke Tenggara seperti cluster Selatan tetapi tidak terletak di sepanjang cluster tersebut. Ada celah kekosongan di tengah-tengah yang memisahkan kedua cluster ini. Persebaran magnitudo pada cluster ini juga relatif lebih besar dibandingkan cluster Selatan. Kelompok event ini kemungkinan besar berasosiasi dengan keberadaan gempa yang dibangkitkan (trigerred event). Rekahan baru yang tidak menerus terhadap sumur treatment terpicu dan terbentuk di suatu struktur sesar yang memang telah ada sebelumnya. Event mikroseismik yang dibangkitkan ini dapat terjadi jika sesar berada dekat dengan rekahan hidrolik dan membutuhkan perubahan tekanan yang lebih kecil untuk menyebabkan gempa (Maxwell, 2014). Hal ini didukung persebaran magnitudo yang relatif besar. Selanjutnya, stimulated reservoir volume (SRV) dapat dihitung untuk melihat hasil stimulasi yang telah dilakukan. Melalui hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa hanya cluster Selatan yang berhubungan langsung dengan stimulasi di sumur treatment. Selain itu, rekahan secara dominan terbentuk di lapisan pertama batubara. Maka karena itu, SRV dihitung dengan mengalikan luasan area rekahan di cluster Selatan dengan ketebalan lapisan pertama batubara. Luasan area rekahan terstimulasi adalah m 2 dan ketebalan lapisan adalah 4 m. Maka, dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini, volume reservoir coal bed methane yang terstimulasi melalui pengerjaan hydraulic fracturing adalah m 3. 33

44 Bab V Kesimpulan dan Saran V.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Optimisasi penentuan lokasi hiposenter pada pengamatan di single-vertical borehole dapat dilakukan menggunakan analisa polarisasi gelombang P, penghilangan ambiguitas 180 o, dan proses inversi pencarian sistematik terarah. Tahapan pengolahan ini berhasil menyelesaikan permasalahan ketidakunikan solusi pada kasus mikroseismik lubang-bor. 2. Informasi hasil picking waktu tiba yang kurang tepat dapat menyebabkan gagalnya penghilangan ambiguitas 180 o sehingga lokasi hiposenter bergeser jauh. Maka karena itu, perbaikan hasil picking menjadi hal yang penting untuk dilakukan pada tahapan pengolahan data. 3. Pada kasus mikroseismik lubang-bor, kemungkinan kesalahan pada bidang horizontal jauh lebih dominan dibandingan pada bidang vertikal. Pada bidang horizontal, kemungkinan kesalahan lokasi bervariasi antara 5-20 meter, sedangkan pada bidang vertikal bervariasi antara 2-5 meter. 4. Pada cluster Selatan, geometri rekahan terbentuk pada arah Barat Laut Tenggara. Rekahan pertama kali terbentuk di sekitar sumur treatment. Kemudian, semakin banyak fluida yang diinjeksikan, rekahan terus melebar, tumbuh menjauhi sumur, dan tumbuh mengikuti rekahan yang telah ada sebelumnya akibat sesar lokal ke arah Tenggara. 5. Pada cluster Timur, geometri rekahan terbentuk pada arah Barat Laut Tenggara namun terpisah dari cluster Selatan. Kelompok ini kemungkinan besar berhubungan dengan triggered event, dicirikan oleh kekuatan gempa yang relatif lebih besar. Rekahan baru yang tidak menerus terhadap sumur treatment terpicu dan terbentuk di suatu struktur sesar yang memang telah ada sebelumnya. 34

45 V.2 Saran Saran untuk penelitian yang dapat dilakukan ke depannya adalah: 1. Faktor pencerminan dan ambiguitas 180 o merupakan permasalahan utama pada pengolahan data mikroseismik lubang-bor. Permasalahan ini dapat dihilangkan dengan pemasangan beberapa seismometer lainnya secara spasial pada bidang horizontal. 2. Kualitas sinyal mikroseismik dapat ditingkatkan dengan melakukan rotasi ke ray-centered coordinate. 3. Analisa geomekanik dapat dilakukan untuk memperkaya hasil interpretasi dari pengerjaan hydraulic fracturing. 4. Selain lokasi absolut, pencitraan mikroseismik dapat dioptimisasi dengan menentukan lokasi relatif, salah satunya untuk mereduksi faktor model kecepatan. Hal ini dapat dilakukan menggunakan metode double difference. 5. Penentuan mekanisme fokus dari beberapa event mikroseismik yang representatif di setiap cluster dapat dilakukan untuk menganalisa mekanisme patahan yang terjadi pada area stimulasi. 6. Tahapan pengolahan ini juga dapat diterapkan pada berbagai kasus lain seperti pengamatan mikroseismik di bidang CCS (carbon capture and storage), panas bumi, dan pengembangan eksplorasi shale gas/oil. 35

46 DAFTAR PUSTAKA Aki, K. dan Richards, P. G. (2002): Quantitative seismology 2 nd edition, University Science Books. Akram, J. (2014): Downhole microseismic monitoring: processing, algorithms and error analysis, Doctor s Thesis, University of Calgary. Akram, J dan Eaton, D. W. (2016): A review and appraisal of arrival-time picking methods for downhole microseismic data, Geophysics, 81, Alessandrini, B., Cattaneo, M., Demartin, M., Gasperini., M., dan Lanza, V. (1994): A simple P-wave polarization analysis: its application to earthquake location, Annali di Geofisica, 37. Boore, D. M. dan Boatwright J. (1984): Average body-wave radiation coefficients, Bulletin of the Seismological Society of America, 74, Brune, J. (1970): Tectonic stress and the spectra of shear waves from earthquakes, Journal of Geophysical Research, 75. Earle, P. S. dan Shearer, P. M. (1994): Characterization of global seismograms using an automated picking algorithm, Bulletin of the Seismological Society of America, 84, Grandis, H. (2009): Pengantar Permodelan Inversi Geofisika, Penerbit Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Havskov, J. dan Ottemöller, L. (2010): Routine data processing in earthquake seismology, Springer. Jones, G. A., Raymer, D. G, Chambers, K., dan Kendall, J. M. (2010): Improved microseismic event location by inclusion of a priori dip particle motion: A case study from Ekofisk, Geophysical Prospecting, 58, Jones, G. A., Kendall, J. M., Bastow, I. D., dan Raymer, D. (2013): Locating microseismic events using borehole data, Geophysical Prospecting, 62, Kanamori, H. (1978): Quantification of earthquakes, Nature, 271, Maxwell, S. C. (2010): Microseismic: Growth born from success, The Leading Edge, 29, Maxwell, S. C., Rutledge, J., Jones, R., dan Fehler M. (2010): Petroleum reservoir characterization using downhole microseismic monitoring, Geophysics, 75. Maxwel, S. C. (2014): Microseismic imaging of hydraulic fracturing: Improved engineering of un-conventional shale reservoirs, SEG. Montgomery, C. T. dan Smith, M. B. (2010): Hydraulic fracturing: A history of an enduring technology, Journal of Petroleum Technology, 62, Moriya, H. (2008): Precise arrival time detection of polarized seismic waves using the spectral matrix, Geophysical Prospecting, 56,

47 Pavlis, G.L. (1986): Appraising earthquake hypocenter location errors: A complete, practical approach for single-event locations, Bull. of the Seismological Society of America, 76(6), Rodriguez-Pradilla, G. (2015): Microseismic monitoring of a hydraulic-fracturing operation in a CBM reservoir: Case study in the Cerrejón Formation, Cesar- Ranchería Basin, Colombia, Leading Edge, 34(8), Smith, M. B. dan Shlyapobersky J. W. (2000): Basics of hydraulic fracturing, John Wiley and Sons. Wang, H., Li, M., dan Shang, X. (2016): Current developments on micro-seismic data processing, Journal of Natural Gas Science and Engineering, 32, Zhou, H.W. (1994): Rapid three-dimensional hypocentral determination using a master station method, Journal of Geophysical Research, 99(B8),

48 LAMPIRAN 38

49 Lampiran A Pengujian pada Data Perforasi Tahapan penentuan lokasi hiposenter yang dijelaskan pada Bab 3.4 dapat diuji menggunakan data perforasi. Tembakan perforasi merupakan event buatan yang lokasinya sudah diketahui. Terdapat empat tembakan perforasi pada kedalaman berbeda yang dilakukan sebagai kalibrasi. Tembakan perforasi ini juga menghasilkan data waveform mikroseismik yang terekam di stasiun pengamat. Contoh data rekaman sinyal dari salah satu perforasi ditunjukkan oleh gambar A.1. Gambar A.1 Contoh rekaman sinyal dari hasil perforasi tanggal 5 Agustus Tabel A.1 Lokasi hiposenter hasil pengolahan dan lokasi sebenarnya. No. Hasil Pengolahan Perforasi X (m) Y (m) Z (m) Lokasi Sebenarnya X (m) Y (m) Z (m) Selisih (m) Dengan melakukan tahapan yang sama, kita dapat menentukan lokasi hiposenter dari tembakan perforasi. Kehandalan tahapan penentuan lokasi hiposenter pada penelitian ini dapat diuji dengan membandingkan lokasi hiposenter hasil 39

50 pengolahan dengan lokasi perforasi sebenarnya. Perbandingan lokasi hiposenter hasil pengolahan dengan lokasi perforasi sebenarnya dapat dilihat pada tabel A.1, gambar A.2 dan gambar A Depth (meter) Northing Easting Gambar A.2 Peta 3-D untuk hasil pengolahan menggunakan data perforasi. Bintang merah merupakan lokasi hiposenter perforasi hasil pengolahan, sedangkan bulatan hijau merupakan lokasi perforasi sebenarnya Depth (meter) Northing Gambar A.3 Peta penampang Utara-Selatan untuk hasil pengolahan menggunakan data perforasi. Bintang merah merupakan lokasi hiposenter perforasi hasil pengolahan, sedangkan bulatan hijau merupakan lokasi perforasi sebenarnya. 40

51 Melalui pengujian ini, dapat disimpulkan bahwa tahapan penentuan lokasi yang dilakukan pada Bab 3.4 sudah cukup handal untuk menghasilkan solusi lokasi hiposenter yang baik. Tingkat ketelitian hasil pengolahan data pada penelitian ini dalam keadaan ideal adalah sekitar meter. 41

52 Lampiran B Persiapan Data Beberapa persiapan data yang dilakukan adalah: 1. Rotasi sinyal berdasarkan informasi orientasi sensor, bertujuan untuk mengembalikan sinyal pada komponen horizontal (komponen N-S dan E- W) ke arah geografik bumi sebenarnya. 2. Short time fourier transform untuk melihat kandungan frekuensi dan frekuensi dominan dari sinyal. 3. Band-pass filtering untuk meningkatkan rasio S/N (signal to noise). Rotasi dilakukan menggunakan perkalian matriks dari vektor yang terdiri dari komponen X (Barat-Timur milik alat) dan komponen Y (Utara-Selatan milik alat) dengan matriks rotasi yang diberikan pada persamaan berikut: Maka kita mempunyai persamaan: sehingga: A = cos sin (A.1) sin cos North East North East = A Y X cos = sin sin cos Y (A.2) X North(t) = cos. Y(t) + sin. X(t) East(t) = -sin. Y(t) + cos. X(t) dimana adalah sudut rotasi berdasarkan orientasi alat, yang didefinisikan: = 360 Orientasi Alat (A.3) (A.4) Melalui tahap rotasi, kita akan memperoleh sinyal pada komponen horizontal (komponen N-S dan E-W) yang berada pada arah geografik bumi sebenarnya. Selanjutnya, analisa short time fourier transform (STFT) dilakukan untuk melihat kandungan frekuensi sinyal. Teknik ini disebut windowing sinyal, yaitu dengan cara: (1) sinyal dicuplik dalam time window tertentu, (2) setiap cuplikan sinyal kemudian di-fft, dan (3) sinyal kemudian dipetakan menjadi 2-D antara waktu dan frekuensi. Contoh analisa STFT ini dapat dilihat pada gambar B.1. Melalui analisa ini, kita dapat memperoleh informasi mengenai frekuensi dominan yang dimiliki oleh sinyal (gambar B.2). 42

53 Gambar B.1 Contoh sinyal dan kandungan frekuensinya yang diperlihatkan menggunakan STFT. Gambar B.2 Contoh pengambilan informasi mengenai frekuensi dominan. Informasi mengenai frekuensi dominan akan digunakan pada: 1. penentuan low-pass pada saat band-pass filtering, 2. penentuan panjang time window pada algoritma MER, 3. penentuan panjang time window pada analisa polarisasi. Besar bandwidth yang kemudian digunakan adalah: 1. High-pass = 50 Hz 2. Low-pass = Frekuensi dominan Hz Contoh peningkatan kualitas sinyal setelah dilakukan band-pass filtering ditunjukkan oleh gambar B.2 43

54 Gambar B.3 Contoh pertama peningkatan kualitas sinyal: (a) data mentah sebelum di-filter dan (b) setelah di-filter. Gambar B.4 Contoh kedua peningkatan kualitas sinyal: (a) data mentah sebelum di-filter dan (b) setelah di-filter. 44

55 Lampiran C Contoh Data Sinyal dan Hasil Picking Manual Contoh data rekaman sinyal pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar C.1 dan C.2. Sinyal di-filter menggunakan band-pass filtering dengan high-pass sebesar 50 Hz dan low-pass adaptif berdasarkan analisa STFT. Gambar C.1 Contoh rekaman sinyal dari suatu event dengan S/N tinggi. Garis biru merupakan komponen U-D, garis merah merupakan komponen E-W, dan garis hijau merupakan komponen N-S. 45

56 Gambar C.2 Contoh rekaman sinyal dari suatu event dengan S/N rendah. Garis biru merupakan komponen U-D, garis merah merupakan komponen E-W, dan garis hijau merupakan komponen N-S. Contoh hasil picking manual ditunjukkan oleh gambar C.3. Sinyal juga di-filter menggunakan band-pass filtering dengan high-pass sebesar 50 Hz dan low-pass adaptif berdasarkan analisa STFT. Dapat dilihat bahwa selisih antara waktu tiba gelombang S dan waktu tiba gelombang P sangatlah kecil (kurang dari 0.1 detik). Hal ini menunjukkan bahwa sumber event mikroseismik berada dekat dengan stasiun. Hal ini sesuai dengan lokasi stimulasi pada treatment well yang berjarak ± 100 meter dari sumur pengamatan. 46

57 Gambar C.3 (a) Contoh rekaman sinyal pada suatu stasiun yang menunjukkan selisih antara Ts dan Tp yang kecil. (b) Contoh hasil picking untuk waktu tiba gelombang P dan S dari suatu event mikroseismik di semua stasiun pengamat. (c) Contoh diagram Wadati untuk event yang sama. 47

58 Lampiran D Algoritma Modified Energy Ratio (MER) Algoritma Modified Energy Ratio (MER) didasari oleh perbandingan cuplikan sinyal setelah sampel tertentu dengan cuplikan sinyal sebelumnya (panjang window cuplikan sama). Rasio energi (ER) pada sampel waktu ke-i didefinisikan melalui persamaan berikut: ER(i) = x x (D.1) dimana w adalah panjang window dan x j adalah sinyal pada sample ke-j. Selanjutnya, MER didefinisikan sebagai (Akram, 2014; Akram dan Eaton, 2016): MER(i) = (ER(i) x i ) 3 (D.2) Fungsi ER dihitung menggunakan cuplikan setelah dan sebelum sampel sehingga indeks waktu yang berasosiasi dengan MER maksimum akan merepresentasikan waktu tiba gelombang. Gambar D.1 menunjukkan kurva MER pada contoh data. Garis merah putus-putus memberikan informasi bahwa first break dari gelombang tepat berada pada saat nilai MER maksimum. Selain itu, informasi hasil picking awal dapat digunakan untuk membatasi ruang sampel perhitungan MER, ditunjukkan oleh gambar D.1.b. Gambar D.1 (a) Sinyal event mikroseismik dengan rasio S/N tinggi, hasil picking manual gelombang P dan S (garis magenta), dan hasil perbaikan picking (garis hitam). (b) Kurva MER untuk sampel yang dibatasi 48

59 berdasarkan informasi picking manual. (c) Kurva MER untuk seluruh sampel. Faktor penting yang perlu diperhatikan saat perhitungan MER adalah panjang window. Pemilihan panjang window harus dapat mencakup setidaknya satu panjang gelombang dari sinyal. Melalui analisa STFT, informasi mengenai periode dominan dari sinyal dapat diketahui. Informasi ini kemudian digunakan untuk menentukan panjang window yang digunakan pada masing-masing data. Pada penelitian ini, panjang window cuplikan yang digunakan adalah 2 kali periode dominan dari sinyal suatu event mikroseismik tertentu (nilainya berbeda untuk tiap event). 49

60 Lampiran E Contoh Hasil Perbaikan Picking Contoh hasil perbaikan penentuan waktu tiba gelombang P dan S untuk data perforasi ditunjukkan oleh gambar E.1 dan E.2. Gambar E.1 Contoh perbaikan picking untuk fasa P pada data perforasi. 50

61 Gambar E.2 Contoh perbaikan picking untuk fasa P dan S pada data perforasi. Contoh hasil perbaikan picking waktu tiba gelombang P dan S untuk data pengamatan pada hydraulic fracturing ditunjukkan oleh gambar E.3 sampai E.6. Gambar E.3 Contoh perbaikan picking waktu tiba fasa gelombang P pada data pengamatan untuk event no

62 Gambar E.4 Contoh perbaikan picking waktu tiba fasa gelombang P dan S pada data pengamatan untuk event no

63 Gambar E.5 Contoh perbaikan picking waktu tiba fasa gelombang P pada data pengamatan untuk event no

64 Gambar E.6 Contoh perbaikan picking waktu tiba fasa gelombang P dan S pada data pengamatan untuk event no

65 Lampiran F Contoh Polarisasi Gambar F.1 sampai F.6 menunjukkan contoh polarisasi pada penelitian ini di setiap stasiun. Gambar F.1 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi baik untuk suatu event yang sama. Gambar F.2 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi baik untuk suatu event yang sama. 55

66 Gambar F.3 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi baik untuk suatu event yang sama. Gambar F.4 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi baik untuk suatu event yang sama. 56

67 Gambar F.5 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi kurang baik untuk suatu event yang sama. Gambar F.6 Contoh hodogram di setiap stasiun pengamat yang memiliki konsistensi kurang baik untuk suatu event yang sama. 57

68 Lampiran G Ketidakpastian Lokasi Hiposenter Pada penelitian ini, faktor pertama yang diperhitungkan adalah persebaran misfit pada pengamatan single vertical-borehole array. Geometri pengamatan ini memiliki resiko yaitu solusi hiposenter dapat terjebak pada bidang pencerminan yang bias akibat persebaran misfit (lihat Bab 2.3). Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan pencarian sistematik. Melalui tahap-tahap inversi sebelumnya, kita telah memperoleh lokasi hiposenter dari suatu event mikroseismik, dicirikan dengan nilai misfit terkecil. Informasi lokasi awal ini dapat kita gunakan untuk mencari lokasi-lokasi lain di sekitar yang memiliki nilai misfit mirip dengan lokasi awal tersebut. Ilustrasinya ditunjukkan sebagai berikut: 1. Pencarian sistematik dilakukan dengan ruang model yang dibatasi disekitar lokasi hiposenter awal (gambar G.1). Gambar G.1 Contoh grid (titik biru) ruang model yang dibentuk di sekitar lokasi hiposenter awal (bintang merah): (a) peta episenter, (b) penampang U-S. 2. Lokasi-lokasi lain yang memiliki selisih misfit lebih kecil dari 5% kemudian diambil sebagai cluster alternatif (gambar G.2). 3. Selanjutnya, solusi hiposenter pada cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan / confidence ellipse dari suatu event dengan menggunakan principal component analysis berdasarkan matriks kovarians (gambar G.3). 58

69 Gambar G.2 Contoh lokasi-lokasi lain (bulatan biru) memiliki selisih misfit lebih kecil dari 5% terhadap lokasi hiposenter awal (bintang merah): (a) peta episenter, (b) penampang U-S. Gambar G.3 Contoh elips kepercayaan terhadap lokasi hiposenter awal (bintang merah): (a) peta episenter, (b) penampang U-S. Faktor kedua yang diperhitungkan adalah jumlah data pengamatan di stasiun. Suatu event mikroseismik akan lebih mudah dikerucutkan jika data yang dimiliki semakin banyak. Namun, emisi akustik sumber mikroseismik yang memiliki energi rendah belum tentu dapat terekam dengan baik di suatu stasiun pengamatan sehingga jumlah data bisa berkurang. Untuk mengestimasi ketidakpastian lokasi hiposenter akibat faktor ini, simulasi kemudian dilakukan berdasarkan metode Monte-Carlo. Pada setiap event, simulasi dilakukan dengan menghilangkan sejumlah n data pada stasiun ke-i. Nilai n diambil secara acak dan dibatasi dengan 59

70 rentang n=[1, 2,, N], dimana N adalah jumlah total data pengamatan. Stasiun ke-i kemudian dipilih secara acak sejumlah nilai n. Tahapan inversi dilakukan menggunakan data pengamatan tersebut. Ilustrasinya ditunjukkan sebagai berikut: 1. Sebanyak 30 kali simulasi dilakukan dan kemudian setiap solusi hiposenter diambil sebagai cluster alternatif (gambar G.4). Gambar G.4 Contoh lokasi-lokasi lain (bulatan biru) memiliki selisih misfit lebih kecil dari 5% terhadap lokasi hiposenter awal (bintang merah): (a) peta episenter, (b) penampang U-S. 2. Selanjutnya, solusi hiposenter pada cluster ini digunakan untuk menghitung elips kepercayaan / confidence ellipse dari suatu event dengan menggunakan principal component analysis berdasarkan matriks kovarians (gambar G.5). Gambar G.5 Contoh elips kepercayaan terhadap lokasi hiposenter awal (bintang merah): (a) peta episenter, (b) penampang U-S. 60

71 Lampiran H Contoh Sinyal dan Spektrum pada Penentuan Magnitudo Rekaman sinyal yang berupa ground velocity (satuan m/s) perlu dikonversi ke ground displacement. Hal ini dilakukan dengan melakukan integral trapesium terhadap data rekaman sinyal di setiap sampel, mengikuti persamaan: (H.1) dimana h adalah sampling rate. Contoh konversi ini pada pengamatan ditunjukkan oleh gambar H.1 dan H.2. Gambar H.1 Contoh sinyal yang berupa ground velocity (atas) dan sinyal hasil konversi berupa ground displacement (bawah). Gambar H.2 Contoh sinyal yang berupa ground velocity (atas) dan sinyal hasil konversi berupa ground displacement (bawah). 61

72 Contoh spectral fitting yang telah dilakukan pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar H.3 sampai H.8. Gambar H.3 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. Gambar H.4 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. 62

73 Gambar H.5 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. Gambar H.6 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. 63

74 Gambar H.7 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. Gambar H.8 (a) Contoh sinyal berupa ground velocity, area warna hijau menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang P dan area warna kuning menunjukkan panjang cuplikan yang digunakan pada gelombang S. (b) Spectral fitting untuk gelombang P dan (c) gelombang S. 64

75 Lampiran I Hasil Pengolahan Sebanyak total 1864 event mikroseismik telah berhasil ditentukan lokasi hiposenternya. Hasil tahapan pengolahan data berupa peta persebaran hiposenter ditunjukkan pada gambar I.1 sampai I.3. Keakuratan lokasi hiposenter bergantung pada beberapa faktor antara lain model kecepatan, hasil picking waktu tiba, jumlah data, distribusi misfit, dll (Maxwell, 2014). Faktor-faktor ini dapat memberikan ketidakpastian / uncertainty pada lokasi hiposenter berupa pergeseran posisi dari lokasi sebenarnya. Maka karena itu, lokasi absolut yang akurat akan sulit untuk diperoleh. Ketidakpastian lokasi hiposenter perlu ditaksir untuk mempertimbangkan kesalahan interpretasi yang mungkin dihasilkan akibat adanya lokasi hiposenter yang semu. Pada penelitian ini, faktor pertama yang diperhitungkan adalah persebaran misfit pada pengamatan single vertical-borehole array. Hasilnya ditunjukkan oleh gambar I.4 dan I.5. Gambar I.1 Peta 3-D untuk persebaran event mikroseismik (bulatan merah) di area penelitian. Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. 65

76 Gambar I.2 Peta persebaran event mikroseismik (bulatan merah) pada area penelitian. Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan kotak hitam merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. Gambar I.3 Penampang vertikal Utara-Selatan persebaran event mikroseismik (bulatan merah) di area penelitian. Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment dimana pengerjaan hydraulic fracturing dilakukan. 66

77 Gambar I.4 Peta persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta elips kepercayaan untuk faktor pertama (elips merah muda). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor. Gambar I.5 Penampang vertikal Utara-Selatan persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta elips kepercayaan untuk faktor pertama (elips merah muda). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment. 67

78 Faktor kedua yang diperhitungkan adalah jumlah data pengamatan di stasiun. Hasilnya ditunjukkan oleh gambar I.6 dan I.7. Gambar I.6 Peta persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta elips kepercayaan untuk faktor kedua (elips merah muda). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor. Gambar I.7 Penampang vertikal Utara-Selatan persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta elips kepercayaan untuk faktor kedua (elips merah muda). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang- 68

79 bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment. Selanjutnya, persebaran hiposenter beserta magnitudo momen-nya ditunjukkan oleh gambar I.8 sampai I.10. Gambar I.8 Peta 3-D untuk persebaran event mikroseismik (bulatan merah) berserta magnitudo momen (skala bulatan). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment. Gambar I.9 Penampang vertikal Utara-Selatan persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta magnitudo momen (skala bulatan). Segitiga 69

80 biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan garis hitam selanjutnya merupakan sumur treatment. Gambar I.10 Peta persebaran event mikroseismik (bulatan merah) beserta magnitudo momen (skala bulatan). Segitiga biru terbalik merupakan seismometer lubang-bor di sumur pengamatan dan kotak hitam merupakan sumur treatment. 70

81 Lampiran J Pengaruh Hasil Picking Terhadap Lokasi Hiposenter Keakuratan lokasi hiposenter akan bergantung pada beberapa faktor, salah satunya adalah hasil picking waktu tiba gelombang P dan S. Faktor ini akan memiliki pengaruh yang unik pada kasus mikroseismik lubang-bor. Percobaan kemudian dilakukan dengan memodifikasi tahapan pengolahan data sebagai berikut: 1. Waktu tiba yang digunakan adalah hasil picking manual, bukan hasil perbaikan picking menggunakan algoritma MER. 2. Pada bagian persiapan data, analisa short time fourier transform tidak dilakukan, sehingga sinyal hanya di-filter menggunakan bandwidth tetap (high-pass = 50 Hz dan low-pass = 1000 Hz). 3. Panjang window cuplikan yang digunakan pada analisa polarisasi dibuat tetap, yaitu detik. Selain modifikasi yang disebutkan di atas, tahapan pengolahan data dilakukan sama layaknya seperti yang dibahas pada Bab 3. Persebaran lokasi hiposenter hasil percobaan ini dapat dilihat pada gambar J.1 sampai J.7. Selain itu, lokasi hiposenter yang diperoleh pada penelitian ini (Bab 4) juga di-plot pada peta yang sama untuk melihat besarnya pergeseran yang terjadi. Gambar J.1 Penampang vertikal Utara-Selatan persebaran event mikroseismik persebaran event mikroseismik hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. 71

82 Gambar J.2 Peta persebaran event mikroseismik hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. Gambar J.3 Peta persebaran event mikroseismik (event 1-373) hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. 72

83 Gambar J.4 Peta persebaran event mikroseismik (event ) hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. Gambar J.5 Peta persebaran event mikroseismik (event ) hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. 73

84 Gambar J.6 Peta persebaran event mikroseismik (event ) hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. Gambar J.7 Peta persebaran event mikroseismik (event ) hasil percobaan ini (bulatan biru muda) dan hasil penelitian ini (bulatan merah). Garis kuning menunjukkan pergeseran yang terjadi. 74

85 Pada bidang vertikal, pergeseran lokasi hiposenter yang dihasilkan tidak terlalu jauh. Pergeseran maksimum yang terjadi adalah ±10 meter, terutama pada lokasi hiposenter yang tidak tercakup baik oleh seismometer. Maka, dapat disimpulkan bahwa hasil perbaikan picking tidak akan terlalu mempengaruhi kedalaman hiposenter yang diperoleh. Lain halnya pada bidang horizontal, pergeseran yang terjadi sangat jauh, yang mana hal ini cukup menarik. Hasil percobaan ini menunjukkan kehadiran cluster baru pada daerah Utara dari sumur pengamatan. Kehadiran cluster ini cukup aneh karena tidak didukung strukur yang memadai. Persebarannya pun cukup acak seakan-akan pada daerah tersebut terdapat sumur treatment. Hasil ini kemungkinan besar terjadi akibat gagalnya penghilangan ambiguitas 180 o. Waktu tiba gelombang P akan memberikan informasi mengenai polaritas gelombang di setiap komponen pada suatu stasiun pengamat. Proses picking manual yang umumnya memiliki faktor human error, dapat memberikan hasil waktu tiba gelombang yang kurang tepat. Informasi waktu tiba yang kurang tepat inilah yang kemudian dapat memberikan informasi yang salah mengenai kombinasi polaritas gelombang pada suatu stasiun sehingga penghilangan ambiguitas 180 o gagal dilakukan. 75

86 Lampiran K Artikel Locating Events using Borehole Microseismic Monitoring by Inclusion of Particle Motion Analysis: a case study from Indonesia Rexha Verdhora Ry 1, Sri Widiyantoro 2, Andri Dian Nugraha 2 1 Master Program of Geophysical Engineering, Faculty of Mining and Petroleum Engineering, Institut Teknologi Bandung, Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia rexha.vry@gmail.com 2 Global Geophysics Group, Faculty of Mining and Petroleum Engineering, Institut Teknologi Bandung, Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia ABSTRACT Microseismic monitoring and constraining its hypocenters in and around hydrocarbon reservoirs provides insight into induced deformation related to hydraulic fracturing. In this study, we used data from a single vertical array of sensors in a borehole, providing measures of arrival times and polarizations. Microseismic events are located using 1-D velocity models and arrival times of P- and S- wave. However in the case of all the sensors being deployed in a near-vertical borehole, there is a high ambiguity in the source location. Herein we apply a procedure using azimuth of P-wave particle motion to constrain the initial source location. We used a dataset acquired during fracture stimulation of CBM field in Indonesia. We applied several step of location procedure to investigate a microseismic induced by these hydraulic fracturing activities. First, arrival times for 1,173 candidate events were manually picked. Then we estimated back-azimuth using P-wave polarization analysis. We also added the combination of polarities analysis to remove 180 o ambiguity. In the end, we determined hypocenters location using guided-grid-search method in the back-azimuth trace area to minimize all combinations of arrival times and sensors. We have been successfully removed the ambiguity and produced a good solution of hypocenters location as indicated statistically by small RMS. Most of the events clusters highlight coherent structures around treatment wells and inferred faults. This procedure can be applied to various other cases such as microseismic monitoring in the field of CCS (Carbon Capture and Storage), geothermal, and shale gas/oil exploration development. Keywords: microseismic, hypocenter, particle motion, grid-search. INTRODUCTION Microseismic monitoring involves the passive seismic recording of acoustic emissions from certain event source known as microearthquake. Microearthquake is defined as small magnitude earthquake and it often is referred to as microseismic events. Microseismic events are associated with naturally occurring of artificially induced fracture movements, resulting in inelastic geomechanical fracture deformation. Due to it, in the hydraulic fracturing treatment, microseismic monitoring is the powerful technology to image stimulated hydraulic fractures (Maxwell, 2014). Typically, the passive recordings are used to detect microseismic events and to constrain its hypocenter location and attribute. Accurate event locations are important to study the induced fractures. Most methods used to determine the location assume a velocity model and minimize the difference between the observed and predicted arrival times of P- and S-wave phases at a number of receivers. This location accuracy is controlled by several factors; one of them is source-receiver geometry (Pavlis, 1986). Geophone array deployed in a single near-vertical borehole has often been used for microseismic monitoring of hydrocarbon reservoir and hydraulic fracturing. This geometry may lead to ambiguous solution due to the ambiguity of misfit function in horizontal direction. The use of a 1D velocity model and near-vertical array of sensors also leads to an 180 o ambiguity where the event can be either side of the monitoring well. In contrast, these ambiguities do not occur in monitoring as the stations are located on the surface. 76

87 In this paper, we apply a location procedure using the inclusion of P-wave particle motion to constrain the initial source location. The information of P-wave polarization is required to constrain the direction of the source location from receiver (Jones et al., 2010; Moriya, 2008). We also added the combination of polarities analysis to remove 180 o ambiguity. Then, we determined the hypocenters location using guided-grid-search method. This procedure was applied to a dataset acquired during fracture stimulation of certain coal bed methane (CBM) field in Indonesia. EVENT LOCATION WORKFLOW The data processing for locating microseismic events consists of 4 steps: 1) manually picking of the P- and S-wave arrival times, 2) hodogram analysis of P-wave polarization to estimate back-azimuth, 3) removal of 180 o ambiguity using combination of polarity analysis 4) inversion process using guided grid search method. Arrival time picking One of the major contributors to errors in event location is an error in arrival time phase picking (Pavlis, 1986). An automated procedure can be applied in this picking by comparing short-term average and long-term average of the signal (Earle and Shearer, 1994). This automated procedure can help to overcome the problems of consistency and time-consuming. However, a disadvantage of the automated procedures is that they lack consistency in where the pick is placed with respect to the waveform (Jones et al., 2010). In this paper, we picked the phase of P- and S- wave manually, although it is very timeconsuming. We insist that manually picking is the better way to reduce error in event location, as long we perform the quality controls of arrival time picking. One of the procedures we used to check its quality control is by using Wadati diagram. We have to ensure that the longer P-wave arrived at a certain receiver, then the longer difference between the arrival time of S- and P-wave. The plotting of phases in every receiver is necessary for this checking. P-wave polarization We need to estimate P-wave polarization to constrain the direction of source location from a receiver. Since the P-waves are vertically and radially polarized, the vector of P-wave amplitude can be used to calculate the backazimuth to source. We performed a hodogram analysis of P-wave polarization by crossplotting the signal amplitude on the horizontal components (e.g., Alessandrini et al., 1994; Moriya, 2008). This hodogram depicts a graphical movement of the ground motion (eg., fig. 1b). First, we cut the very first signal of P-wave after it arrived to obtain a sharp P-wave linear polarization (shown in fig. 1a). We applied principal component analysis on the relative signal amplitude to calculate a principal direction of horizontal components: A N for the North-South component and A E for the East- West component. We then calculate the signal polarization azimuth Ø (Havskov dan Ottemoller, 2010) by = tan. (1) Combination of Polarity Analysis There is an ambiguity of 180 o where the event can be either side of the monitoring well. It occurs due to the limitation of the solution from arctangent. No matter the direction, the solution will be limited by (2) Therefore, we should add 180 o to the azimuth we obtained based on the combination of polarities. The first polarity can be up (positive) or down (negative) so it can be used in order to get the correct back-azimuth. If the first motion on the vertical component of the P is upward, then the radial component of P is directed away from the source. The opposite is true if the P-polarity is negative (Havskov dan Ottemoller, 2010). This combination is shown in table 1. As an example in fig. 1, we could determine the first polarity for every component. The first polarity for vertical, N-S, and E-W respectively is positive, positive, and negative. The back-azimuth calculated from P-wave polarization is -50 o or 310 o. However, based on the combination of polarities, we must add 180 o to our solution. So, the back-azimuth of source location from receiver is 130 o. 77

88 which is the generalization of minimizing the misfit. In equation (3), t is the observed arrival times at receiver j; t is the observed arrival times at receiver k; T is the calculated travel time from source i to receiver j; and T is the calculated travel time from source i to receiver k. Figure 1. Example of P-wave polarization analysis: a) the recorded signal waveform and very first part of P-wave windowing; b) the cut waveform and the hodogram for horizontal component (black line shows the crossplotting and magenta line shows principal direction). From step 2 and 3, we already had the backazimuth of source location from a receiver. Using this back-azimuth, we could constrain the model space in our grid search inversion process. We can also set a tolerate angle towards the back-azimuth. We set the model space to search systematically in that direction (shown in fig 3). So, we can reduce the ambiguity of misfit distribution using this technique. Table 1. Combination of polarities and cases where 180 o has to be added to the calculation Event location The last step of our procedure is the inversion process to obtain the location of microseismic event. We used guided grid search to produce accurate hypocenter location. Grid search method work to minimize an objective function by searching systematically trough all points in the model space we set (Grandis, 2009; Jones et al., 2013). The objective function used is the misfit function, the difference between the observed and calculated arrival times of P- and S-wave phases at a number of receivers. Since the origin time of the microseismic event is an unknown parameter, we used another way of incorporating differential arrival times and their associated calculated travel times into the hypocenter determination problem. We used master station method (Zhou, 1994) which is minimizing all combinations of arrival times and sensors. The objective function for the minimization of all combinations of arrival times and sensors is given by E(i) = t t (T T ), (3) Figure 2. The schematic diagram showing the grid search area from receiver (grey zone), which is constrained by back-azimuth and 5 o tolerate angle. APPLICATION TO THE CBM FIELD Hydraulic fracture treatment was conducted in certain coal bed methane (CBM) field in Indonesia. The production stage in this field is still on development stage. Therefore, the purpose of this treatment is to develop and to increase the permeability of the reservoir. The fracture stimulations were divided into 11-days of injection stages, located in the treatment well (Fig. 3a). In this paper, the procedure was applied to a dataset acquired during 1-day monitoring which had the most seismicity. The 1D velocity model was derived from sonic logs recorded in the treatment well. The logs were smoothed to interface blocked model (Fig. 3). Every single block represents a lithological group in this area study. The thin 78

89 layered block with low velocity represents coal-bed where the methane gas lied. The next step is the estimation of back-azimuth using P-wave polarization. Using the hodogram analysis, we calculated the backazimuth for every event. However, due to the condition of a signal to noise ratio, some of the events had lack consistency of back-azimuth direction at their stations. Fig 4 shows an example of this problem. Considering that the direction is really important for inversion step, we then selected again the event based on its consistency of back-azimuth direction. In the end, the number of microseismic event is reduced to 1173 event. These selected events are considered as the better events to prevent miss interpretation due to a quality of data. Figure 3. (a) Map view of well geometry at study area. (b) Geometry of downhole seismometer and the one-dimensional velocity model for P- and S-wave which used in this study. The microseismicity was recorded using 8 downhole seismometers with sampling rates of 4000Hz or 0.25 milliseconds (Fig. 3a-b). The earlier step is the event identification. We identified the event based on STA/LTA analysis (Earle and Shearer, 1994). During the 1-day monitoring, we had identified up to 1800 microseismic events. This number of events is considered as a high seismicity if compared with the other days. Then, the first step of the procedure is the manual picking of P- and S- wave arrival times. However, not all identified events had a good signal to noise ratio. We only selected the events with the high confidence of arrival times picking. So, the number of microseismic events is reduced to 1584 events. Figure 4. Example of recording waveform and hodogram analysis for every station. Example for (a) good consistency of polarization direction and (b) bad consistency of polarization direction. RESULT AND DISCUSSION The totals of 1173 events were successfully located using guided grid search (Fig. 5). Generally, the microseismic events occurred at a depth between 570 to 580 meters. It is well correlated with the hydraulic fracturing location. The injection during that day located in the first layer of coal-bed (depth of 572 meters), so the distribution in depth comparison is really reasonable. Since the sensor geometry used is singlevertical borehole array, the possibility of miss 79

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 52 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Distribusi Hiposenter Gempa dan Mekanisme Vulkanik Pada persebaran hiposenter Gunung Sinabung (gambar 31), persebaran hiposenter untuk gempa vulkanik sangat terlihat adanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode Single Event Determination(SED), alur kedua

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode Single Event Determination(SED), alur kedua 38 BAB III METODE PENELITIAN Tahapan pengolahan data gempa mikro dilakukan seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga alur pengolahan data. Alur

Lebih terperinci

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan

Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor. Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan Pemodelan Sintetik Gaya Berat Mikro Selang Waktu Lubang Bor Menggunakan BHGM AP2009 Sebagai Studi Kelayakan Untuk Keperluan Monitoring dan Eksplorasi Hidrokarbon Oleh : Andika Perbawa 1), Indah Hermansyah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... vi DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang... B. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pengumpulan Data Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan data sebagai input untuk dianalisis lebih lanjut. Data yang diperoleh penulis adalah data sekunder

Lebih terperinci

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima

Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 3-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber Dan Penerima Ahmad Syahputra dan Andri Dian Nugraha Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penerapan Cadzow Filtering Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan meningkatkan strength tras seismik yang dapat dilakukan setelah koreksi NMO

Lebih terperinci

PICKING DATA MIKROSEISMIK

PICKING DATA MIKROSEISMIK PICKING DATA MIKROSEISMIK Oleh: IDA AYU IRENA HERAWATI, MUTHI A JAMILATUZZUHRIYA MAHYA, DEVIYANTI ARYANI MARYAM, SHIFT: KAMIS,.-5. ASISTEN : THOMAS PANJI ROY SANDI 55 LABORATORIUM SEISMOLOGI, PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

menentukan sudut optimum dibawah sudut kritis yang masih relevan digunakan

menentukan sudut optimum dibawah sudut kritis yang masih relevan digunakan Gambar 4.15 Data seismic CDP gather yang telah dilakukan supergather pada crossline 504-508. 4.2.4.3 Angle Gather Angle Gather dilakukan untuk melihat variasi amplitudo terhadap sudut dan menentukan sudut

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dibahas mengenai proses pengolahan data seismik dengan menggunakan perangkat lunak ProMAX 2D sehingga diperoleh penampang seismik yang merepresentasikan penampang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.... iii KATA PENGANTAR.... iv ABSTRAK.... v ABSTRACT.... vi DAFTAR ISI.... vii DAFTAR GAMBAR.... ix DAFTAR TABEL....

Lebih terperinci

Penentuan Hiposenter Gempa Mikro Menggunakan Metode Inversi Simulated Annealing pada Lapangan Geotermal RR

Penentuan Hiposenter Gempa Mikro Menggunakan Metode Inversi Simulated Annealing pada Lapangan Geotermal RR Penentuan Hiposenter Gempa Mikro Menggunakan Metode Inversi Simulated Annealing pada Lapangan Geotermal RR Rexha Verdhora Ry, Andri Dian Nugraha Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan,

Lebih terperinci

BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan

BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan BAB III STUDI KASUS 1 : Model Geologi dengan Struktur Lipatan Dalam suatu eksplorasi sumber daya alam khususnya gas alam dan minyak bumi, para eksplorasionis umumnya mencari suatu cekungan yang berisi

Lebih terperinci

ESTIMASI FAKTOR KUALITAS SEISMIK SEBAGAI INDIKATOR ZONA GAS

ESTIMASI FAKTOR KUALITAS SEISMIK SEBAGAI INDIKATOR ZONA GAS ESTIMASI FAKTOR KUALITAS SEISMIK SEBAGAI INDIKATOR ZONA GAS Tugas Akhir Diajukan untuk memenuhi syarat kurikulum Program Studi Sarjana Geofisika Oleh: Wrahaspati 12403022 PROGRAM STUDI GEOFISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA RESPON SEISMIK SINTETIK PP DAN PS BERDASARKAN PEMODELAN SUBSTITUSI FLUIDA PADA SUMUR

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA RESPON SEISMIK SINTETIK PP DAN PS BERDASARKAN PEMODELAN SUBSTITUSI FLUIDA PADA SUMUR Analisis Perbandingan antara... ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA RESPON SEISMIK SINTETIK PP DAN PS BERDASARKAN PEMODELAN SUBSTITUSI FLUIDA PADA SUMUR Nova Linzai, Firman Syaifuddin, Amin Widodo Jurusan Teknik

Lebih terperinci

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 1 Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh 2 Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnitudo Gempabumi Magnitudo gempabumi adalah skala logaritmik kekuatan gempabumi atau ledakan berdasarkan pengukuran instrumental (Bormann, 2002). Pertama kali, konsep magnitudo

Lebih terperinci

INVERSI SEISMIK MODEL BASED DAN BANDLIMITED UNTUK PENDEKATAN NILAI IMPEDANSI AKUSTIK TESIS

INVERSI SEISMIK MODEL BASED DAN BANDLIMITED UNTUK PENDEKATAN NILAI IMPEDANSI AKUSTIK TESIS INVERSI SEISMIK MODEL BASED DAN BANDLIMITED UNTUK PENDEKATAN NILAI IMPEDANSI AKUSTIK TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister dari Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS V. INTERPRETASI DAN ANALISIS 5.1.Penentuan Jenis Sesar Dengan Metode Gradien Interpretasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat akan memberikan hasil yang beragam. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode geofisika yang digunakan adalah metode seimik. Metode ini

BAB III METODE PENELITIAN. Metode geofisika yang digunakan adalah metode seimik. Metode ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 METODE SEISMIK Metode geofisika yang digunakan adalah metode seimik. Metode ini memanfaatkan perambatan gelombang yang melewati bumi. Gelombang yang dirambatkannya berasal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data seismik 3D PSTM Non

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data seismik 3D PSTM Non 39 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data seismik 3D PSTM Non Preserve. Data sumur acuan yang digunakan untuk inversi adalah sumur

Lebih terperinci

BAB 3 TEORI DASAR. Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk

BAB 3 TEORI DASAR. Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk BAB 3 TEORI DASAR 3.1 Seismik Refleksi Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengetahui keadaan di bawah permukaan bumi. Metode ini menggunakan gelombang akustik yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya

BAB III METODE PENELITIAN. Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metoda Mikrozonasi Gempabumi Konsep dasar fenomena amplifikasi gelombang seismik oleh adanya batuan sedimen yang berada di atas basement dengan perbedaan densitas dan kecepatan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS II : Model Geologi dengan Stuktur Sesar

BAB IV STUDI KASUS II : Model Geologi dengan Stuktur Sesar BAB IV STUDI KASUS II : Model Geologi dengan Stuktur Sesar Dalam suatu kegiatan eksplorasi minyak bumi perangkap merupakan suatu hal yang sangat penting. Perangkap berfungsi untuk menjebak minyak bumi

Lebih terperinci

IV.1 Aplikasi S-Transform sebagai Indikasi Langsung Hidrokarbon (DHI) Pada Data Sintetik Model Marmousi-2 2.

IV.1 Aplikasi S-Transform sebagai Indikasi Langsung Hidrokarbon (DHI) Pada Data Sintetik Model Marmousi-2 2. Stack Time Migration (PSTM) dengan sampling interval 4 ms. Panjang line FD-1 lebih kurang 653 trace, sedangkan line FD-2 lebih kurang 645 trace dengan masing-masing memiliki kedalaman 3000 m dan sampling

Lebih terperinci

M MODEL KECEPATAN BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE TOMOGRAFI DATA MICROEARTHQUAKE DI LAPANGAN PANAS BUMI ALPHA

M MODEL KECEPATAN BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE TOMOGRAFI DATA MICROEARTHQUAKE DI LAPANGAN PANAS BUMI ALPHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi panas bumi telah lama menjadi sumber kekuatan di daerah vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi. Indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

SOAL UAS SEISMOLOGI TAHUN

SOAL UAS SEISMOLOGI TAHUN SOAL UAS SEISMOLOGI TAHUN 2013/2014 1. Parameter2 sumber gempa yg biasa dihitung oleh seismolog? (25) 2. Jelaskan bagaimana seismolog dapat menentukan parameter-parameter sumber gempabumi dari seismogram!

Lebih terperinci

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1 PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1 1 PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh Pendahuluan Aktifitas tektonik di Provinsi Aceh dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA. Pada penelitian ini data seismik yang digunakan adalah data migrasi poststack 3D

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA. Pada penelitian ini data seismik yang digunakan adalah data migrasi poststack 3D BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Data 4.1.1. Data Seismik Pada penelitian ini data seismik yang digunakan adalah data migrasi poststack 3D (seismic cube) sebagai input untuk proses multiatribut. Data

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching Penampang hasil pengolahan dengan perangkat lunak Ipi2win pada line 08 memperlihatkan adanya struktur antiklin. Struktur ini memiliki besar tahanan jenis

Lebih terperinci

BAB V INVERSI ATRIBUT AVO

BAB V INVERSI ATRIBUT AVO BAB V INVERSI ATRIBUT AVO V.1 Flow Chart Inversi Atribut AVO Gambar 5.1 Flow Chart Inversi Atribut AVO 63 V.2 Input Data Penelitian Dalam penelitian tugas akhir ini digunakan beberapa data sebagai input,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xv DAFTAR

Lebih terperinci

INTERPRETASI RESERVOIR HIDROKARBON DENGAN METODE ANALISIS MULTI ATRIBUT PADA LAPANGAN FIAR

INTERPRETASI RESERVOIR HIDROKARBON DENGAN METODE ANALISIS MULTI ATRIBUT PADA LAPANGAN FIAR INTERPRETASI RESERVOIR HIDROKARBON DENGAN METODE ANALISIS MULTI ATRIBUT PADA LAPANGAN FIAR Skripsi Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 diajukan oleh: Saidatul Fitriany J2D 006 041 JURUSAN

Lebih terperinci

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG Rasmid 1, Muhamad Imam Ramdhan 2 1 Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA 2 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung, INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia

BAB I PENDAHULUAN. vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi panas bumi telah lama menjadi sumber kekuatan di daerah vulkanik aktif yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi.indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

Pencitraan Tomografi Atenuasi Seismik 3-D Gunung Guntur Menggunakan Metode Spectral Fitting dengan Summary Ray TUGAS AKHIR

Pencitraan Tomografi Atenuasi Seismik 3-D Gunung Guntur Menggunakan Metode Spectral Fitting dengan Summary Ray TUGAS AKHIR Pencitraan Tomografi Atenuasi Seismik 3-D Gunung Guntur Menggunakan Metode Spectral Fitting dengan Summary Ray TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi syarat kurikuler Program Sarjana Geofisika Oleh : MUHAMMAD

Lebih terperinci

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Tabak, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Tabak, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Tabak, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah Wawang Sri Purnomo dan Muhammad Rizki Ramdhani Kelompok Penyelidikan

Lebih terperinci

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPA MIKRO MENGGUNAKAN METODE SINGLE EVENT DETERMINATION DAN JOINT HYPOCENTER DETERMINATION PADA LAPANGAN PANAS BUMI X

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPA MIKRO MENGGUNAKAN METODE SINGLE EVENT DETERMINATION DAN JOINT HYPOCENTER DETERMINATION PADA LAPANGAN PANAS BUMI X PENENTUAN HIPOSENTER GEMPA MIKRO MENGGUNAKAN METODE SINGLE EVENT DETERMINATION DAN JOINT HYPOCENTER DETERMINATION PADA LAPANGAN PANAS BUMI X Dr. Muhammad Hamzah S.Si MT 1, Makhrani S.Si M.Si 1, Nur Hasni

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) merupakan metode yang

IV. METODE PENELITIAN. Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) merupakan metode yang IV. METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) merupakan metode yang efektif, murah dan ramah lingkungan yang dapat digunakan pada wilayah permukiman.

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Prinsip dasar metodee seismik, yaitu menempatkan geophone sebagai penerima

BAB III TEORI DASAR. Prinsip dasar metodee seismik, yaitu menempatkan geophone sebagai penerima BAB III TEORI DASAR 3.1. Konsep Refleksi Gelombang Seismik Prinsip dasar metodee seismik, yaitu menempatkan geophone sebagai penerima getaran pada lokasi penelitian. Sumber getaran dapat ditimbulkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua, karena seringkali diberitakan adanya suatu wilayah dilanda gempa bumi, baik yang ringan

Lebih terperinci

SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA

SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA SIMULASI PERHITUNGAN WAKTU TEMPUH GELOMBANG DENGAN METODA EIKONAL : SUATU CONTOH APLIKASI DALAM ESTIMASI KETELITIAN HIPOSENTER GEMPA Yasa SUPARMAN dkk Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut: Studi Literatur dan Konsultasi

Lebih terperinci

BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN

BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN BAB IV MODEL GEOLOGI DAN DISTRIBUSI REKAHAN IV.1 Model Geologi Model geologi daerah penelitian dibuat berdasarkan data sumur, peta geologi permukaan terdahulu, dan kegempaan mikro. Untuk data lithologi

Lebih terperinci

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Ampah, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah

Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Ampah, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah Survei Seismik Refleksi Untuk Identifikasi Formasi Pembawa Batubara Daerah Ampah, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah Priyono, Tony Rahadinata, dan Muhammad Rizki Ramdhani Kelompok Penyelidikan

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. seismik juga disebut gelombang elastik karena osilasi partikel-partikel

III. TEORI DASAR. seismik juga disebut gelombang elastik karena osilasi partikel-partikel III. TEORI DASAR A. Konsep Dasar Seismik Gelombang seismik merupakan gelombang mekanis yang muncul akibat adanya gempa bumi. Pengertian gelombang secara umum ialah fenomena perambatan gangguan atau (usikan)

Lebih terperinci

Analisis Kecepatan Seismik Dengan Metode Tomografi Residual Moveout

Analisis Kecepatan Seismik Dengan Metode Tomografi Residual Moveout ISSN 2302-8491 Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 4, Oktober 2016 Analisis Kecepatan Seismik Dengan Metode Tomografi Residual Moveout Imelda Murdiman *, Elistia Liza Namigo Laboratorium Fisika Bumi, Jurusan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI 5.1. Analisis Litologi dari Crossplot Formasi Bekasap yang merupakan target dari penelitian ini sebagian besar tersusun oleh litologi sand dan shale, dengan sedikit konglomerat

Lebih terperinci

Akhmad Fanani Akbar 1, Andri Dian Nugraha 1, M. Rachmat Sule 1, Aditya Abdurrahman Juanda 2

Akhmad Fanani Akbar 1, Andri Dian Nugraha 1, M. Rachmat Sule 1, Aditya Abdurrahman Juanda 2 Penentuan Hiposenter Menggunakan Simulated Annealing Dan Guided Error Search Serta Penentuan Model Kecepatan Gelombang Seismik 1-D Pada Lapangan Geothermal Akhmad Fanani Akbar 1, Andri Dian Nugraha 1,

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR (2.1) sin. Gambar 2.1 Prinsip Huygen. Gambar 2.2 Prinsip Snellius yang menggambarkan suatu yang merambat dari medium 1 ke medium 2

BAB II TEORI DASAR (2.1) sin. Gambar 2.1 Prinsip Huygen. Gambar 2.2 Prinsip Snellius yang menggambarkan suatu yang merambat dari medium 1 ke medium 2 BAB II TEORI DASAR.1 Identifikasi Bentuk Gelombang Perambatan gelombang pada media bawah permukaan mengikuti beberapa prinsip fisika sebagai berikut : a. Prinsip Huygen menyatakan bahwa setiap titik yang

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam

BAB III TEORI DASAR. Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam BAB III TEORI DASAR 3.1 Seismik Refleksi Metode seismik refleksi merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam eksplorasi hidrokarbon. Telah diketahui bahwa dalam eksplorasi geofisika, metode seismik

Lebih terperinci

RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR

RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR Rian Mahendra 1*, Supriyanto 2, Ariska Rudyanto 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi mempunyai beberapa lapisan pada bagian bawahnya, masing masing lapisan memiliki perbedaan densitas antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data 3.1.1 Data Seismik Data yang dimiliki adalah data seismik hasil migrasi post stack 3-D pada skala waktu / time dari Lapangan X dengan polaritas normal, fasa nol,

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung. Disusun oleh : Rexha Verdhora Ry

Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung. Disusun oleh : Rexha Verdhora Ry Aplikasi Metode Inversi Simulated Annealing pada Penentuan Hiposenter Gempa Mikro dan Tomografi Waktu Tunda 3-D Struktur Kecepatan Seismik untuk Studi Kasus Lapangan Panas Bumi RR Tugas Akhir Diajukan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan tanggal 4 mei 2015 4 juli 2015 dan bertempat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sub. Bidang

Lebih terperinci

Jurnal OFFSHORE, Volume 1 No. 1 Juni 2017 : ; e -ISSN :

Jurnal OFFSHORE, Volume 1 No. 1 Juni 2017 : ; e -ISSN : Metode Inversi Avo Simultan Untuk Mengetahui Sebaran Hidrokarbon Formasi Baturaja, Lapangan Wine, Cekungan Sumatra Selatan Simultaneous Avo Inversion Method For Estimating Hydrocarbon Distribution Of Baturaja

Lebih terperinci

BAB V ANALISA. dapat memisahkan litologi dan atau kandungan fluida pada daerah target.

BAB V ANALISA. dapat memisahkan litologi dan atau kandungan fluida pada daerah target. BAB V ANALISA 5.1 Analisa Data Sumur Analisis sensitifitas sumur dilakukan dengan cara membuat krosplot antara dua buah log dalam sistem kartesian sumbu koordinat x dan y. Dari plot ini kita dapat memisahkan

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Data 4.1.1 Data Seismik Penelitian ini menggunakan data seismik Pre Stack Time Migration (PSTM) CDP Gather 3D. Penelitian dibatasi dari inline 870 sampai 1050, crossline

Lebih terperinci

BAB IV PERMODELAN POISSON S RATIO. Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson s ratio.

BAB IV PERMODELAN POISSON S RATIO. Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson s ratio. 94 BAB IV PERMODELAN POISSON S RATIO 4.1 Work Flow Permodelan Poisson Ratio Berikut ini adalah diagram alir dalam mengerjakan permodelan poisson s ratio. Selain dari data seismic, kita juga membutuhkan

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. melalui bagian dalam bumi dan biasa disebut free wave karena dapat menjalar

III. TEORI DASAR. melalui bagian dalam bumi dan biasa disebut free wave karena dapat menjalar III. TEORI DASAR 3.1. Jenis-jenis Gelombang Seismik 3.1.1. Gelombang Badan (Body Waves) Gelombang badan (body wave) yang merupakan gelombang yang menjalar melalui bagian dalam bumi dan biasa disebut free

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Akuisisi Data Seismik Akuisisi data seismik dilaksanakan pada bulan April 2013 dengan menggunakan Kapal Riset Geomarin III di kawasan batas laut dan Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. gelombang akustik yang dihasilkan oleh sumber gelombang (dapat berupa

III. TEORI DASAR. gelombang akustik yang dihasilkan oleh sumber gelombang (dapat berupa III. TEORI DASAR 3.1 Konsep Seismik Refleksi Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengetahui keadaan di bawah permukaan bumi. Metode ini menggunakan gelombang akustik

Lebih terperinci

RANGGA MASDAR FAHRIZAL FISIKA FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011

RANGGA MASDAR FAHRIZAL FISIKA FMIPA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011 ANALISA SIFAT FISIS RESERVOIR BATUGAMPING ZONA TARGET BRF MENGGUNAKAN METODE SEISMIK INVERSI IMPEDANSI AKUSTIK DAN MULTI ATRIBUT (STUDI KASUS LAPANGAN M#) RANGGA MASDAR FAHRIZAL 1106 100 001 FISIKA FMIPA

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi 20 BAB III TEORI DASAR 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi dengan menggunakan gelombang seismik yang dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X

TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X TOMOGRAFI SEISMIK 3-D PADA LAPANGAN PANAS BUMI X Akino Iskandar,Lantu, Sabrianto Aswad,Andri Dian Nugrah Program Studi Sarjana Geofisika Universitas Hasanuddin, iskandar.akino@gmail.com SARI BACAAN Perubahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii DAFTAR ISI Halaman Judul HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii HALAMAN PERNYATAAN... v SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN I.1.

Lebih terperinci

Pre Stack Depth Migration Vertical Transverse Isotropy (Psdm Vti) Pada Data Seismik Laut 2D

Pre Stack Depth Migration Vertical Transverse Isotropy (Psdm Vti) Pada Data Seismik Laut 2D B-50 Pre Stack Depth Migration Vertical Transverse Isotropy Psdm Vti Pada Data Seismik Laut 2D Thariq Guntoro, Bagus Jaya Santosa Jurusan Fisika, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ITS Jl. Arief

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia)

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1. Judul dan Deskripsi Riset I (Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1.1 Deskripsi singkat Pencitraan tomografi gempa bumi untuk zona

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Aalisis Dekomposisi Spektral Interpretasi untuk hasil penelitian ini berdasar pada visualisasi dari data set yang telah diproses. Kombinasi antara dekomposisi spektral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Proses pencocokan citra dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengukur pasangan titiktitik sekawan antara citra satu dengan citra lainnya untuk objek yang sama pada

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Lintasan Pengukuran

Gambar 3.1 Lintasan Pengukuran BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analitik yaitu metode mengumpulkan data tanpa melakukan akuisisi data secara langsung

Lebih terperinci

METODE KOHERENSI STRUKTUR-EIGEN DAN SEMBLANCE UNTUK DETEKSI SESAR PADA DATA SEISMIK 3-D TUGAS AKHIR

METODE KOHERENSI STRUKTUR-EIGEN DAN SEMBLANCE UNTUK DETEKSI SESAR PADA DATA SEISMIK 3-D TUGAS AKHIR METODE KOHERENSI STRUKTUR-EIGEN DAN SEMBLANCE UNTUK DETEKSI SESAR PADA DATA SEISMIK 3-D TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana pada Program Studi Fisika Institut Teknologi

Lebih terperinci

Hubungan 1/1 filter oktaf. =Frekuesi aliran rendah (s/d -3dB), Hz =Frekuesi aliran tinggi (s/d -3dB), Hz

Hubungan 1/1 filter oktaf. =Frekuesi aliran rendah (s/d -3dB), Hz =Frekuesi aliran tinggi (s/d -3dB), Hz Hubungan 1/1 filter oktaf f 1 f 2 f 1 = 2 1/2f c f 1 = 2 1/2f c f 1 = 2f c1 = frekuensi tengah penyaring =Frekuesi aliran rendah (s/d -3dB), Hz =Frekuesi aliran tinggi (s/d -3dB), Hz Analisis oktaf sepertiga,

Lebih terperinci

Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010

Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010 Analisis Mekanisme Sumber Gempa Vulkanik Gunung Merapi di Yogyakarta September 2010 Emilia Kurniawati 1 dan Supriyanto 2,* 1 Laboratorium Geofisika Program Studi Fisika FMIPA Universitas Mulawarman 2 Program

Lebih terperinci

Analisis dan Pembahasan

Analisis dan Pembahasan Bab V Analisis dan Pembahasan V.1 Analisis Peta Struktur Waktu Dari Gambar V.3 memperlihatkan 2 closure struktur tinggian dan rendahan yang diantara keduanya dibatasi oleh kontur-kontur yang rapat. Disini

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR Tinjauan Umum Seismik Eksplorasi

BAB III TEORI DASAR Tinjauan Umum Seismik Eksplorasi BAB III TEORI DASAR 3. 1. Tinjauan Umum Seismik Eksplorasi Metode seismik merupakan metode eksplorasi yang menggunakan prinsip penjalaran gelombang seismik untuk tujuan penyelidikan bawah permukaan bumi.

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah.

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kondisi perminyakan dunia saat ini sangat memperhatinkan khususnya di Indonesia. Dengan keterbatasan lahan eksplorasi baru dan kondisi sumur-sumur tua yang telah melewati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA SEISMOELEKTRIK. palu. Dari referensi pengukuran seismoelektrik di antaranya yang dilakukan oleh

BAB III METODE PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA SEISMOELEKTRIK. palu. Dari referensi pengukuran seismoelektrik di antaranya yang dilakukan oleh BAB III METODE PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA SEISMOELEKTRIK 3.1 Metode Pengambilan Data Ada beberapa konfigurasi pengukuran yang digunakan dalam pengambilan data seismoelektrik di lapangan. Konfigurasi

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013 PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI S.F. Purba 1, F. Nuraeni 2,*, J.A. Utama

Lebih terperinci

Studi Lapisan Batuan Bawah Permukaan Kawasan Kampus Unsyiah Menggunakan Metoda Seismik Refraksi

Studi Lapisan Batuan Bawah Permukaan Kawasan Kampus Unsyiah Menggunakan Metoda Seismik Refraksi Jurnal radien Vol No Juli : - Studi Lapisan Batuan Bawah Permukaan Kawasan Kampus Unsyiah Menggunakan Metoda Seismik Refraksi Muhammad Isa, Nuriza Yani, Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Syiah Kuala, Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hasil perkembangan dari metode seismik ini, khususnya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat pesat. Hasil perkembangan dari metode seismik ini, khususnya dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seismik telah menjadi metode geofisika utama dalam industri minyak bumi dalam beberapa dekade terakhir sehingga menyebabkan metode ini berkembang dengan sangat pesat.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk 6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar / Umum Landasan teori dasar / umum yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. 2.1.1 Speaker Recognition Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Data seismik dan log sumur merupakan bagian dari data yang diambil di bawah permukaan dan tentunya membawa informasi cukup banyak mengenai kondisi geologi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATAPENGANTAR... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR SINGKATAN

Lebih terperinci

FENOMENA ELEKTROKINETIK DALAM SEISMOELEKTRIK DAN PENGOLAHAN DATANYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENGURANGAN BLOK. Tugas Akhir

FENOMENA ELEKTROKINETIK DALAM SEISMOELEKTRIK DAN PENGOLAHAN DATANYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENGURANGAN BLOK. Tugas Akhir FENOMENA ELEKTROKINETIK DALAM SEISMOELEKTRIK DAN PENGOLAHAN DATANYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENGURANGAN BLOK Tugas Akhir Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Program

Lebih terperinci

BAB 3. PENGOLAHAN DATA

BAB 3. PENGOLAHAN DATA 27 BAB 3. PENGOLAHAN DATA 3.1 Daerah Studi Kasus Data yang digunakan sebagai studi kasus dalam tesis ini adalah data dari lapangan di area Blackfoot, Alberta, Canada (gambar 3.1). Data-data tersebut meliputi

Lebih terperinci

IERFHAN SURYA

IERFHAN SURYA PERBANDINGAN PENGUNAAN ATENUASI MULTIPLE ANTARA ANALISIS RADON DENGAN ANALISIS SUBTRACT PADA DATA SINTETIK MARMOUSI II SERTA PENGGUNAAN COMMON REFLECTION SURFACE (CRS) TUGAS AKHIR Diajukan sebagai syarat

Lebih terperinci

Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur

Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur IV.1 Seismisitas Gunung Guntur Seismisitas atau kegempaan Gunung Guntur diamati secara menerus dari Pos Pengamatan Gunungapi Guntur

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Sistematika Penulisan...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Sistematika Penulisan... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii LEMBAR PENGESAHAN... iv LEMBAR PERSEMBAHAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitan dilaksanakan mulai tanggal 7 Juli September 2014 dan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitan dilaksanakan mulai tanggal 7 Juli September 2014 dan 52 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitan dilaksanakan mulai tanggal 7 Juli 2014-7 September 2014 dan bertempat d Fungsi Geologi dan Geofisika (G&G) Sumbagsel, PT Pertamina

Lebih terperinci

BAB III COMMON-OFFSET COMMON-REFLECTION-SURFACE (CO CRS) STACK

BAB III COMMON-OFFSET COMMON-REFLECTION-SURFACE (CO CRS) STACK BAB III COMMON-OFFSET COMMON-REFLECTION-SURFACE (CO CRS) STACK Simulasi penampang ZO stack dari data prestack multi-coverage adalah proses standar dalam pemrosesan seismik. Hal ini meningkatkan rasio sinyal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin banyak penerapan teknologi dalam kehidupan sehari-hari yang berdasarkan perkembangan pemanfaatan energi dan sumber daya alam di laut Indonesia, maka ini

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Hasil Penelitian V.1.1. Interpretasi Horizon Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukannya pengolahan data awal, sehingga

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA Pada bab ini, akan dibahas pengolahan data seismik yang telah dilakukan untuk mendapatkan acoustic impedance (AI), Elastic Impedance (EI), dan Lambda- Mu-Rho (LMR). Tahapan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong manusia untuk lebih mengeksplorasi kekayaan dan sumber daya alam yang belum terjamah,

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi,

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi, 1 III. TEORI DASAR A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik Gempa bumi umumnya menggambarkan proses dinamis yang melibatkan akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa

Lebih terperinci