KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING"

Transkripsi

1 KEMAMPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING (Lonchura punctulata L.) DAN BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) KURNIATUS ZIYADAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ABSTRAK KURNIATUS ZIYADAH. Kemampuan Makan, Preferensi Pakan, dan Pengujian Umpan Beracun pada Bondol Peking (Lonchura punctulata L.) dan Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO. Padi merupakan bahan pangan dengan sumber karbohidrat yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa kendala dalam peningkatan produksi padi, salah satu penyebabnya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Vertebrata hama cukup penting pada tanaman padi yaitu bondol peking (L. punctulata L.) dan bondol jawa (L. leucogastroides Horsfield & Moore). Diperlukan cara pengendalian yang tepat untuk menekan serangan hama tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsumsi burung bondol terhadap gabah dan beras merah, preferensi makan burung bondol terhadap biji-bijian dan pakan buatan yang dapat digunakan sebagai umpan dalam pemerangkapan maupun umpan beracun, serta mengetahui jenis racun yang efektif dalam pengendalian burung bondol. Terdapat dua pengujian dalam percobaan yaitu pengujian individu dan pengujian populasi. Pada masing- masing pengujian terdapat tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu perlakuan kemampuan makan dengan memberikan pakan utama (gabah) pada masing-masing pengujian. Tingkat konsumsi bondol peking dan bondol jawa sebesar 2-2,8 gram/hari. Konsumsi bondol jantan dan betina menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Percobaan kedua yaitu perlakuaan preferensi pakan dengan metode pilihan (multiple choice) dengan meletakkan enam pakan (gabah, beras merah, jewawut, milet, jagung pipil dan pelet) secara bersamaan pada setiap kandang. Hasil percobaan menunjukkan tingkat konsumsi terhadap jenis pakan alami (biji-bijian) lebih disukai dari pada pakan buatan. Percobaan ketiga yaitu perlakuan preferensi racun dengan metode pilihan. Pada pengujian menunjukkan pakan alami tanpa racun lebih disukai dari pada umpan beracun. Kata kunci: Bondol peking, Bondol jawa, pakan burung, dan umpan beracun.

3 ABSTRACT KURNIATUS ZIYADAH. The Ability of Eat, Feed Preference, and Poisons Bait Testing on Scaly-breasted Munia (Lonchura punctulata L.) and Javan Munia (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore). Adviced by SWASTIKO PRIYAMBODO. Rice is the food sources of carbohydrates that important in life Indonesian society. There are several constraints to increasing rice production, one of the constraints is pest of plant attack. Vertebrate pest wich quite important in the rice plant is scaly-breasted munia (L. punctulata L.) and javan munia (L. leucogastroides Horsfield & Moore). The right way to control and press the pest attack is necessary. This research aims to know the level of grain consumption of bird, bird feed preference to the grain and artificial feed that can be used as bait in entrapment and poisons bait, and to know what types of poisons that are effective in controlling of bird. There are two test in the experiment such as individual testing and population testing. In each test there are three experiments. The first experiment is the ability of eat treatment with the primary feed grain as in each tests. Consumption level of scaly-breasted munia and javan munia is 2-2,8 grams of day. Consumption bird of males and females do not show significant different result. The second experiment is feeding preferences treatment by the method of choice (multiple choice) with placing six of feed (grain, brown rice, berley, millet, corn grain, and pellet) simultaneously on each cage. The result show the consumption of natural feed (grain) is more desirable than artificial feed. The third experiment is poisons bait preference treatment by the method of choice. On this examination show natural food without poison bait is more desirable than poison bait. Keywords: Scaly-breasted Munia, Javan Munia, feeds bird, and poisons bait.

4 KEMAPUAN MAKAN, PREFERENSI PAKAN, DAN PENGUJIAN UMPAN BERACUN PADA BONDOL PEKING (Lonchura punctulata L.) DAN BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) KURNIATUS ZIYADAH A Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP : Kemampuan Makan, Preferensi pakan, dan Pengujian Umpan Beracun pada Bondol Peking (Lonchura punctulata L.) dan Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) : Kurniatus Ziyadah : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP Tanggal Lulus: 23 Mei 2011

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pamekasan, Madura pada tanggal 5 November Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Surodiyono dan Ibu Nurhayati. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 2 Pamekasan pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studinya di Institut pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut pertanian Bogor (USMI) dengan Program Studi Proteksi Tanaman. Selama kuliah penulis mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu Uni Konservasi Fauna IPB sebagai anggota Divisi Insekta ( ), anggota Pramuka IPB ( ), Entomology Club Proteksi Tanaman (anggota ; sekretaris ), pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (Himasita) bidang Facility and Property ( ), Organic Farming Club Himasita (anggota , bendahara , sekretaris ). Penulis pernah magang di Museum Serangga dan Taman Kupu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 2008 dan magang di Balai penelitian Kacang dan Umbi-umbian (BALITKABI) Malang pada tahun Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Hama Tumbuhan dasar (IHTD) pada tahun 2009, Entomologi Umum pada tahun 2010 serta Pengelolaan dan Pemanfaatan Pestisida pada tahun Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP) pada tahun 2009 dan Selain itu, pada tahun 2010 penulis pernah mengikuti lomba Spelling Bee yang diadakan oleh museum Serangga Proteksi Tanaman sebagai Juara pertama.

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kemampuan Makan, Preferensi Pakan, dan Pengujian Umpan Beracun pada Bondol Peking (Lonchura punctulata L.) dan Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tamanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2010 sampai Desember Dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini, khususnya kepada: 1. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Giyanto, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Tri Haryoko di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan staf LIPI lainnya atas bantuan selama penelitian. 4. Bapak Surodiyono, BA.(Alm.), ibunda Nurhayati, S.Pd., Abi Drs. Idrus Lutfi SH, Lusiana Nuriati Amd.Kep, Moh. Nur Kholis dan keluargaku yang telah memberikan dukungan moral maupun materil, kasih sayang serta doa restu. 5. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan serta nasehat selama kuliah. 6. Bapak Ahmad Soban, dosen, serta staf dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman. 7. Dede Suryadi S.P. atas doa, dukungan, dan motivasinya. 8. Seluruh teman di Proteksi Tanaman khususnya DPT 44, Irma, Nurul, Ida, Tika, Jezzica, Nurul, Taher, Anda serta kak Sifa, kak Udin, mas Eko, dan kak Pringgo atas dukungan dan masukan yang telah diberikan. 9. Teman seperjuangan di Laboratorium Vertebrata Hama, Dwi Dinar Murjani dan Ahmad Riyadi atas dukungan dan kerjasamanya. 10. Keluarga di UKM UKF, Himasita, OF Himasita, dan Ento-Club Himasita. 11. Teman-teman kos Do i : sahabatku Dini, Fitri, Nuvi, Ulva, Desi, Melin, Alim, mbak Reyta, dan Yuyun serta semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Bogor, Oktober 2010 Kurniatus Ziyadah

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.... viii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Burung Pemakan Biji-bijian... 5 Bondol Peking (Lonchura punctulata)... 6 Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)... 7 Pakan... 8 Racun Seng Fosfida (Zn 3 P 2 ) Bromadiolon (C 30 H 23 BrO 4 ) Kumatetralil (C 19 H 16 O 3 ) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Persiapan Kandang Persiapan Hewan Uji Pengujian Konsumsi Makan Pengujian Preferensi Pakan Pengujian Racun Konversi Umpan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa... 21

9 vii Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa terhadap Gabah Pengujian Individu terhadap Konsumsi Beras Merah Perbandingan Jenis Kelamin Burung terhadap Konsumsi Pengujian Populasi Terhadap Gabah Preferensi Pakan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Populasi Pengujian Racun terhadap Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu Konsumsi Harian Racun dan Kematian Burung pada Pengujian Individu Pengujian Populasi Kematian Burung pada Pengujian Populasi Gejala Keracunan pada Pengujian Racun Individu dan Populasi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 41

10 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Kandungan gizi dan mineral pada milet Kandungan gizi dan mineral pada beras Kandungan zat gizi jagung tiap 100 gram berat yang dapat dimakan Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap beras merah pada pengujian individu Konsumsi terhadap gabah dan beras merah pada bondol peking serta bondol jawa pada pengujian individu Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dan beras merah berdasarkan jenis kelamin Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap racun pengujian individu Konsumsi racun pada pengujian individu Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap racun Konsumsi racun pada pengujian populasi Gejala keracunan pada bondol peking dan bondol jawa pada pengujian individu dan populasi... 35

11 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Berbagai bentuk paruh burung Bondol peking Bondol jawa Kandang individu dan kandang populasi Jenis pakan pada preferensi pakan; milet, jagung pipil, jewawut, pelet, beras merah, dan gabah Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) Jenis racun yang digunakan dalam pengujian; kumatetralil 0,75%, seng fosfida 80%, dan bromadiolon 0,25% Umpan pengujian racun; gabah tanpa racun, gabah dengan racun b.a seng fosfida, gabah dengan racun b.a kumatetralil, gabah dengan racun b.a bromadiolon Konsumsi harian terhadap gabah (gram/ 10 gram bobot tubuh) Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap beragai jenis pakan Konsumsi harian racun pengujian individu Jumlah kematian harian pengujian individu Jumlah individu yang mati terhadap konsumsi racun dalam pengujian populasi Gejala keracunan bondol peking dan bondol jawa... 36

12 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Analisis ragam bobot tubuh bondol peking vs bondol jawa perlakuan kemampuan makan pada gabah (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan makan gabah bondol peking vs bondol jawa (pengujian individu) Analisis ragam bobot tubuh bondol peking vs bondol jawa perlakuan kemampuan makan pada gabah (pengujian populasi) Analisis ragam kemampuan makan beras merah bondol peking vs bondol jawa (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan bondol peking terhadap gabah dan beras merah (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan bondol jawa terhadap gabah dan beras merah (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan makan gabah bondol peking jantan vs betina (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan makan gabah bondol jawa jantan vs betina (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan makan beras merah bondol peking jantan vs betina (pengujian individu) Analisis ragam kemampuan makan beras merah bondol jawa jantan vs betina (pengujian individu) Analisis ragam bobot tubuh bondol peking vs bondol jawa perlakuan kemampuan makan pada gabah (pengujian populasi) Analisis ragam kemampuan makan bondol peking vs bondol jawa terhadap gabah (pengujian populasi) Analisis ragam preferensi pakan bondol peking (pengujian individu) Analisis ragam preferensi racun bondol jawa (pengujian individu) Analisis ragam preferensi pakan bondol peking (pengujian populasi) Analisis ragam preferensi pakan bondol jawa (pengujian populasi) Analisis ragam preferensi racun bondol peking (pengujian individu)... 47

13 xi 18. Analisis ragam preferensi racun bondol jawa (pengujian individu) Analisis ragam preferensi racun bondol peking (pengujian populasi) Analisis ragam preferensi racun bondol jawa (pengujian populasi)... 48

14 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional (Mubyarto 1989). Hal ini ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian dan produk nasional yang berasal dari pertanian. Menurut BPS (2010a), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar jiwa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan struktur tenaga kerja didominasi oleh sektor pertanian sebesar 42,83 juta jiwa. Sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan perkebunan (Rahim dan Diah 2008). Subsektor pangan dikenal juga sebagai subsektor makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar penduduk dalam jumlah yang cukup besar dan merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi (Rahim dan Diah 2008). Menurut Setiaji (1981), tanaman pangan utama Indonesia adalah beras, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, dan kedelai. Konsumsi pangan terbesar Indonesia sebagai sumber karbohidrat adalah beras. Konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kg/tahun dan merupakan konsumsi terbesar di dunia dengan rata-rata konsumsi dunia hanya 60 kg/kapita/tahun (BPS 2010b). Tidak hanya Indonesia, bahkan hampir setengah penduduk dunia saat ini tergantung pada beras sebagai makanan pokoknya. Kebutuhan pangan beras semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 1950 sampai 1960-an ketergantungan pangan masyarakat Indonesia pada beras baru sebesar 53%, namun sampai tahun 2010 ketergantungan akan beras semakin tinggi hingga 92-95% (Purnomo 2010). Mengingat kebutuhan pangan beras terus meningkat, maka usaha peningkatan produksi beras terus dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, upaya pemerintah ini dihadapkan pada berbagai kendala dalam produksi beras Indonesia, diantaranya alih fungsi lahan pertanian, degradasi lahan, dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

15 2 Gangguan organisme pengganggu tanaman salah satunya disebabkan oleh serangan hama. Hama merupakan masalah penting yang dihadapi petani dalam usahatani padi. Hama yang menyerang tanaman padi dapat dikelompokkan dalam avertebrata hama (hewan tidak bertulang belakang) dan vertebrata hama (hewan bertulang belakang). Avertebrata hama yang sering menyerang tanaman padi diantaranya penggerek batang padi putih, penggerek batang padi kuning, walang sangit, wereng daun padi dan wereng batang cokelat yang menjadi serangga hama utama di Jawa (Soehardjan 1971). Sedangkan vertebrata hama yang menyebabkan penurunan produksi padi diantaranya tikus, babi hutan, burung dan beberapa hama lainnya (Matnawy 1989). Burung dapat menyebabkan kerusakan tanaman di beberapa tempat di dunia, seperti kerusakan pada jagung di Amerika Utara, gandum di Selandia Baru, buah-buahan di Australia, dan padi di Afrika (Hone 1994). Jenis burung yang dikenal sebagai hama padi secara umum adalah burung pipit, bondol, dan manyar. Jenis-jenis burung ini mengonsumsi bulir padi yang sudah menguning dan terkadang menyebabkan kerusakan tanaman pertanian yang parah. Selain ketiga jenis burung di atas Beberapa jenis burung yang menjadi hama pertanian seperti jenis mandar, merpati, dan betet yang juga mengonsumsi padi dan jagung (MacKinnon & Phillips 1993). Burung pipit dan bondol merupakan jenis burung pemakan biji yang dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi padi, jenis burung ini termasuk dalam Famili Estrildidae (Balen & Burung Indonesia 2010). Terdapat 28 spesies burung bondol diantaranya bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (Grzimek 1973). Jenis burung yang sering dijumpai di lapangan dan sering diperdagangkan adalah bondol peking dan bondol jawa (Iskandar 2000, Moreno 1997). Serangan burung pipit atau bondol terhadap tanaman padi dua tahun terakhir (tahun 2009 dan 2010) telah meresahkan beberapa petani di beberapa tempat seperti Kabupaten Ciamis, Subang, Bogor, dan beberapa daerah di Aceh. Akibat serangan burung tersebut produksi padi mengalami penurunan produksi sebanyak %. Burung pipit biasanya mulai memakan bulir padi yang sedang memasuki masa masak susu atau padi dengan masa tanam 70 hari. Serangan

16 3 terjadi saat kondisi cuaca sedang teduh dan burung menyerang secara bergerombol. Salah satu penyebab tingginya serangan burung terhadap tanaman padi adalah penanaman dan pemanenan padi yang tidak serempak (Aceng 2009, Bahri 2009, Nastain 2009, Susilo 2010). Beberapa teknik pengendalian terhadap burung telah dilakukan di sawahsawah Pulau Jawa dan Bali, namun usaha yang dilakukan membutuhkan tenaga dan waktu yang lama untuk mengusir burung-burung tersebut dari sawah. Beberapa cara pengendalian telah dikembangkan seperti menggunakan tenaga angin atau seorang anak kecil yang duduk dalam gubuk di tengah-tengah sawah dan menggoncang-goncangkan tali untuk mengusir burung di sawah. Para petani menggunakan beberapa cara tradisional sebagai upaya pengendalian serangan hama burung yaitu menggunakan jaring, kaleng berisikan batu kerikil yang diikat pada tali kemudian dibentangkan ke seluruh areal sawah, atau dengan membuat orang-orangan sawah atau menjaga sawah dari pagi hingga sore dari serangan burung (MacKinnon & Phillips 1993). Tindakan khusus sebagai upaya dalam mengatasi masalah hama burung belum banyak dilakukan oleh pemerintah, meskipun telah banyak laporan mengenai serangan hama burung tersebut, sehingga diperlukan beberapa rekomendasi pengendalian terhadap serangan hama burung tersebut. Penelitian mengenai tingkat konsumsi hama burung pada padi dapat menggambarkan estimasi kehilangan hasil produksi di pertanaman padi, dan penelitian berbagai jenis pakan untuk mengetahui jenis pakan yang disukai bermanfaat dalam pemerangkapan, serta uji racun untuk mengetahui jenis racun yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsumsi burung bondol terhadap gabah dan beras merah, preferensi makan burung bondol terhadap bijibijian dan pakan buatan yang dapat digunakan sebagai umpan dalam pemerangkapan maupun umpan beracun, serta mengetahui jenis racun yang efektif dalam pengendalian burung bondol.

17 4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai besaran konsumsi burung bondol terhadap gabah sebagai acuan dalam mengetahui kerugian di lapangan, memberikan informasi mengenai jenis pakan yang disukai, dan mengetahui jenis racun yang efektif untuk pengendalian burung.

18 5 TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian Burung pemakan biji memiliki ukuran tubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah, sehingga susah ditangkap. Beberapa jenis burung pemakan biji antara lain jenis bondol seperti bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cerukcuk (Pycnonotus goiaver), dan burung cabe (Dicaeum trochileum) (Suaskara, Ginatra, & Muksin 2010). Burung pemakan biji mengonsumsi biji sebanyak 10% dari berat tubuhnya. Karena kesukaannya memakan biji-bijian terdapat beberapa jenis burung yang menjadi hama tanaman. Burung- burung yang sering menjadi hama pertanian seperti bondol, pipit, kakatua, nuri, dan gagak (Soemadi & Abdul 2003). Burung pemakan biji umumnya mempunyai tembolok, yaitu bagian yang membesar di bagian esofagus. Tembolok berguna sebagai penampung sementara biji yang telah ditelan. Selain itu, burung pemakan biji memiliki paruh pendek, kuat, dan tebal dengan ujung paruh sedikit bengkok. Paruh bagian atas burung pemakan biji sedikit lebih panjang daripada bagian bawah (Gambar 1), namun ada sebagian kecil burung pemakan biji dengan paruh yang sama panjang. Paruh burung pemakan biji berbentuk kerucut yang digunakan untuk mematuk, mengupas kulit biji, dan menghancurkan biji-bijian. Gambar 1 Berbagai bentuk paruh burung Sumber : Soemadi & Abdul 2003

19 6 Burung pemakan biji mengupas kulit biji dengan cara meremuk, memotong, atau mengiris kulit biji dengan bantuan sisi paruh yang tajam. Selain itu, terdapat beberapa burung yang langsung menelan biji tanpa mengupasnya terlebih dahulu (Soemadi dan Abdul 2003). Bondol Peking (Lonchura punctulata) Bondol peking (L. punctulata) disebut juga bondol dada sisik, pipit pinang, emprit, piit bondol atau Scaly-breasted munia termasuk dalam Famili Estrildidae (Balen & Burung Indonesia 2010). Bondol peking merupakan burung dengan tubuh berukuran kecil (11 cm). Bondol peking memiliki ciri-ciri tubuh berwarna coklat pada dahi bagian atas sampai penutup ekor bagian atas. Pada bagian ekor berwarna coklat kehitaman. Bulu penutup sayap dan bulu sayap berwarna coklat. Selain itu, pada bagian dagu dan leher berwarna coklat tua. Dada sampai penutup ekor bagian bawah berwarna putih dengan sisik-sisik hitam (Gambar 2). Bagian iris berwarna coklat, dengan paruh berwarna abu-abu gelap pada bagian atas dan coklat pada bagian bawah, sedangkan kaki berwarna hitam abu-abu (MacKinnon 1990, Sumaryati et al 2007, Davidson & Chew 2007, Novarino et al 2008, Priyambodo 2009). Menurut MacKinnon (1990), bondol peking yang belum dewasa memiliki ciri tubuh bagian bawah berwarna kuning tua tanpa sisik. Gambar 2 Bondol peking Habitat bondol peking adalah lahan budidaya terbuka, lahan semi budidaya, dan padang rumput (Coates & Bishop 2000). Kebiasaan burung ini hidup berpasangan atau berkelompok dan mudah bercampur dengan bondol jenis lain. Makanan utama burung ini adalah padi dan biji rumput. Suara bondol peking

20 7 ketika bersiul yaitu ki-dii, ki-dii dan jika dalam bahaya tret-tret. Bondol peking umum dijumpai di Jawa dan Bali dan tersebar luas sampai pada ketinggian m dpl (MacKinnon, Phillips, & Ballen 2010). Seekor burung bondol peking dapat menghasilkan empat sampai enam butir telur setiap peneluran dan telur berwarna putih. Telur diletakkan pada sarang berbentuk botol yang khas terbuat dari rumput. Sarang diletakkan di atas semak, pohon kecil atau palem dan tersembunyi pada tempat gelap (MacKinnon 1990, Ichinose et al 2006, Sumaryati et al 2007, Priyambodo 2009, MacKinnon et al 2010). Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) Bondol Jawa (L. leucogastroides) dikenal sebagai burung pipit jawa atau javan munia dari Famili Estrildidae (Balen & Burung Indonesia 2010). Menurut MacKinnon (1990), bondol jawa dikenal merupakan burung yang bertubuh padat dan mempunyai ukuran kecil (11 cm). Bondol jawa memiliki ciri tubuh berwarna coklat, hitam, dan putih. Ciri lain bondol jawa adalah tubuh bagian atas berwarna coklat, tidak berburik, serta muka dan bagian dada atas berwarna hitam (Gambar 3). Pada bagian samping perut dan bagian rusuk bondol jawa berwarna putih, sedangkan bagian ekor berwarna coklat gelap. Selain itu, bondol jawa memiliki iris dan paruh berwarna coklat, serta kaki berwarna abu-abu. Bondol jawa yang belum dewasa memiliki ciri tubuh bagian dada dan leher berwarna coklat, serta tubuh bagian bawah berwarna kekuningan (Davidson & Chew 2007). Gambar 3 Bondol jawa

21 8 Habitat bondol jawa adalah lahan pertanian dan padang rumput alami (Sulistyadi 2010). Menurut Mackinnon (1990), Makanan utama bondol jawa adalah padi dan biji rumput. Bondol jawa membentuk kelompok pada masa pemanenan padi dan biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Kebiasaan bondol jawa yaitu makan di atas permukaan tanah atau mengambil biji dari bulir rumput, menghabiskan banyak waktu dengan bersiul ribut dan membersihkan bulunya di pohon-pohon besar. Bondol jawa memiliki suara dengan bersiul halus cii-ii-ii (MacKinnon, Philips, dan Ballen 2010). Perkembangbiakan bondol jawa dengan membentuk sarang bola berongga longgar yang terbuat dari potongan rumput dan bahan lain, diletakkan cukup tinggi di atas pohon diantara benalu, ketiak tangkai palem atau tempat tertutup lainnya (MacKinnon, Philips, dan Ballen 2010). Bondol jawa dapat berkembang biak sepanjang tahun dan bertelur empat atau lima butir setiap kali peneluran dengan telur berwarna putih (MacKinnon 1990, Priyambodo 2009). Bondol jawa merupakan jenis burung endemik dataran rendah Jawa dan sangat umum ditemui di Jawa, Sumatera, NTT, NTB dan Bali (Coates & Bishop 2000, Sulistyadi 2010). Bondol jawa tersebar luas sampai ketinggian meter (MacKinnon 1990, Ichinose et al 2006). Pakan Milet Milet (Pennisetum millet) termasuk dalam Famili Graminae (rumputrumputan) dan Ordo Poales. Milet merupakan salah satu jenis tanaman serealia selain padi, gandum, sorghum dan jagung. Di Indonesia milet hanya dijadikan sebagai pakan burung pemakan biji-bijan seperti bondol, pipit, gelatik, dan perkutut. Biji millet berbentuk bulat telur dan meruncing pada salah satu ujungnya. Biji milet mengandung karbohidrat, protein, lemak dan lainnya. Kandungan gizi milet dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum milet dibagi dalam tiga jenis yaitu, milet putih, milet merah, dan milet hitam. Dari ketiga jenis milet tersebut, milet putih yang lebih baik dari segi ekonomis karena permintaan pasar yang tinggi dengan harga stabil. Milet putih merupakan milet yang paling dikenal pecinta burung Indonesia. Biji milet

22 9 putih berwarna putih mengilat. Biji-biji ini, digemari burung gelatik, parkit, perkutut dan kenari. Jenis burung yang sering menyerang pertanaman milet antara lain, bondol, emprit, dan gelatik (Andoko 2001). Tabel 1 Kandungan gizi dan mineral pada milet Uraian Jumlah Karbohidrat (%) 63 Protein (%) 10,6 Lemak (%) 1,9 Serat (%) 2,9 Lain-lain (%) 21,6 Kalsium (mg/100 g) 440 Besi (mg/100 g) 7 Fosfor (mg/100 g) 156 Natrium (mg/100 g) 53 Kalium (mg/100 g) 398 Sumber: Andoko 2001 Gabah Secara umum butir-butir padi yang masih ditutupi dan dilindungi oleh sekam disebut sebagai gabah. Gabah sering dijadikan sebagai pakan burung pipit, gelatik, kenari, merpati, puter, dan perkutut (Soemadi dan Abdul, 2003). Di kalangan penggemar burung dikenal gabah lain yaitu gabah lampung. Gabah lampung memiliki bentuk yang kecil dan agak bulat dengan kulit berwarna kuning agak halus. Gabah yang baik dari segi kualitas adalah gabah yang berisi, terasa padat ketika ditekan dengan jari tangan, dan tidak keropos. Beras Gabah yang digiling dan ditumbuk sehingga kulitnya terkelupas disebut sebagai beras. Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang dapat menentukan warna dari butir beras. Selaput ini mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Berdasarkan warna selaputnya, beras dibagi menjadi tiga macam yaitu beras putih, beras merah, dan beras ketan hitam. Ketiga

23 10 jenis beras tersebut memiliki warna bagian luar yang berlainan, tetapi ketiga jenis beras tersebut memiliki warna bagian dalam yang sama yaitu putih bersih. Beras secara umum berbentuk lonjong, agak mengilap dan sukar dipatahkan dalam keadaan kering. Kandungan gizi dan mineral beras tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan gizi dan mineral pada beras Uraian Jumlah Karbohidrat (%) 77 Protein (%) 8,9 Lemak (%) 2,0 Serat (%) 1,5 Lain-lain (%) 11,1 Kalsium (mg/100 g) 7 Besi (mg/100 g) 9 Fosfor (mg/100 g) 147 Natrium (mg/100 g) 10 Kalium (mg/100 g) 87 Sumber: Andoko 2001 Beras putih jarang digunakan sebagai pakan burung karena merupakan makanan utama manusia. Penggunaan beras sebagai pakan burung hanya sebagai pelengkap dalam bentuk campuran dengan biji lain. Pemberian beras putih yang terlalu banyak akan menyebabkan burung mengalami diare. Beras merah dan beras ketan hitam lebih banyak digunakan sebagai pakan burung. Beras merah sangat baik diberikan kepada anak burung yang masih dalam pertumbuhan (Soemadi dan Abdul, 2003). Jagung pipil Tongkol jagung muda sangat disukai oleh burung berparuh bengkok seperti kakatua, nuri, parkit, dan bayan. Burung berparuh bengkok tersebut hanya memakan sebagian kecil dari biji (lembaga) dan sisa bagian yang tidak dikonsumsi akan dibuang. Sebaliknya, burung dengan paruh kerucut (pemakan biji) lebih menyukai jagung berbentuk pipilan. Jagung pipilan yaitu biji jagung yang sudah dipecah atau ditumbuk kasar.

24 11 Karbohidrat dalam biji jagung mengandung gula pereduksi (glukosa dan fruktosa), sukrosa, polisakarida, dan pati (Penulis PS 2002). Kadar gula pada endosperma jagung sebesar 2-3% (Koswara 1986). Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan zat gizi jagung tiap 100 gram berat yang dapat dimakan Zat gizi Jumlah Satuan Energi 129 kal Protein 4,1 g Lemak 1,3 g Karbohidrat 30,3 g Kalsium 5,0 mg Fosfor 108,0 mg Besi 1,1 mg Vitamin A 117 SI Vitamin B 0,18 mg Vitamin C 9 mg Air 63,5 g Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan, 1979 Berdasarkan warna bijinya, jagung dibedakan menjadi jagung putih, jagung kuning, dan jagung mosaik. Jagung yang sering digunakan sebagai pakan burung adalah jagung kuning. Jagung disebut kuning apabila 90% biji berwarna kuning dan sisanya berwarna lain. Jagung kuning atau jagung dengan endosperma kuning mempunyai kandungan karoten tinggi yang dapat digunakan sebagai sember provitamin A. Semakin kuning warna biji menunjukkan banyaknya kandungan provitamin A, sehingga jagung dengan warna kuning tua mengandung pro-vitamin A lebih banyak dibandingkan jagung dengan warna kuning muda akan tetapi dalam keadaan tertentu tidak berlaku mutlak. Pelet Pelet merupakan pakan buatan berbentuk butiran. Pakan buatan dibuat dan diramu untuk melengkapi kebutuhan pakan burung. Pelet dibuat dari campuran berbagai bahan makanan dengan komposisi yang lengkap yang telah dihaluskan

25 12 dan terpilih yang dibentuk dan dipadatkan secara mekanis (Soemadi dan Abdul 2003). Selain itu, pelet lebih banyak digunakan sebagai pakanikan dalam bentuk butiran. Pelet memiliki bahan pembentuk berupa tepung kering dan gumpalan (pasta). Menurut Mujiman (1994), bahan dalam bentuk tepung kering terdiri dari golongan berjumlah banyak (dedak, tepung ikan, tepung kedelai, gelatin, dan lainnya) dan golongan dengan jumlah sedikit (vitamin dan mineral). Pelet yang baik memiliki kekerasan yang tinggi karena bahan pembuat pelet berasal dari bahan baku yang cukup halus. Jewawut Pakan jewawut (Panicum italia) sering diberikan pada burung dalam bentuk malai atau pipilan. Biji jewawut memiliki bermacam-macam warna yaitu putih, kuning, hijau, ungu tua, merah, atau warna campuran. Jewawut memiliki kandungan gizi yang hampir sama seperti jagung dan padi. Pemberian jewawut sebagai pakan terhadap burung dalam jumlah banyak dapat menyebabkan burung menjadi gemuk sehingga malas bergerak dan jarang berkicau (Soemadi dan Abdul 2003). Racun Seng Fosfida (Zn 3 P 2 ) Seng fosfida tergolong dalam jenis racun akut. Racun akut adalah racun yang menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Menurut Priyambodo (2003), racun akut bekerja cepat dengan cara merusak sistem syaraf. Seng fosfida berbentuk tepung dan berwarna hitam keabu-abuan, tahan lama disimpan pada kondisi normal (Prakash 1988). Seng fosfida efektif dalam mengendalikan tikus karena memiliki bau seperti bawang yang dapat menarik tikus (Buckle & Smith 1996). Selain digunakan terhadap tikus, seng fosfida juga efektif dalam mengendalikan mamalia dan burung (Ware 1978). Racun dengan bahan aktif seng fosfida banyak digunakan untuk pengendalian tikus sejak Perang Dunia I. Cara kerja seng fosfida yaitu dengan menghasilkan gas fosfin (PH 3 ) yang bekerja di dalam perut sehingga

26 13 menyebabkan kerusakan pada jantung, hati, atau ginjal. Gejala keracunan dapat terlihat dalam waktu kurang dari 25 menit setelah mengkonsumsi racun dalam dosis yang tinggi, dan umumnya kematian terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam (Prakash 1988, Ware 1978). Toksisitas seng fosfida pada LD 50 untuk tikus riul (Rattus norvegicus) sebesar 40 mg/kg dan untuk bajing (Citellus spp.) sebesar 36 mg/kg. Beberapa mamalia terutama burung sangat rentan terhadap seng fosfida (LD 50 pada burung sebesar 9 mg/kg) (Prakash 1988). Bromadiolon (C 30 H 23 BrO 4 ) Bromadiolon merupakan jenis racun kronis (Priyambodo 2003). Racun kronis yaitu racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K serta mengganggu proses pembekuan darah. Gejala keracunan dapat terlihat dalam waktu 24 jam atau lebih dan kematian dapat mencapai beberapa hari setelah aplikasi (Buckle & Smith 1996). Bromadiolon ditemukan di Perancis pada pertengahan tahun 1970-an, dan mulai dikomersilkan ke berbagai negara. Bromadiolon diproduksi dalam bentuk tepung atau bubuk. Bromadiolon digunakan dalam bentuk umpan siap pakai dengan konsentrasi rendah, yaitu sekitar 0,005% (Corrigan 1997). Konsentrasi yang digunakan dalam umpan umumnya 50 ppm. Kematian pada tikus riul (R. norvegicus) biasanya dapat dilihat setelah 24 jam aplikasi, sedangkan pada tikus rumah (R. rattus) membutuhkan lima hari dan pada mencit rumah (Mus musculus) membutuhkan waktu yang lebih lama. LD 50 untuk tikus adalah 0,99 mg/kg sedangkan untuk unggas sebesar 5 mg/kg (Prakash 1988). Kumatetralil (C 19 H 16 O 3 ) Kumatetralil merupakan jenis racun kronis. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003). Kumatetralil ditemukan di Jerman dan telah digunakan selama bertahuntahun di banyak tempat untuk pengendalian hewan pengerat. Kumatetralil

27 14 berbentuk bubuk kristal berwarna biru. Kumatetralil tidak dapat larut dalam air, tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Formulasi yang digunakan pada umpan kering sebesar 0,0375% yang telah dicampur dengan umpan dan 0,75% pada aplikasi tepung. LD 50 akut oral pada tikus riul (R. norvegicus) adalah 16,5 mg/kg dan tikus betina lebih tidak rentan dari pada tikus jantan. Toksisitas kronis dapat mencapai 5 x 0,3 mg/kg pada tikus riul sedangkan pada unggas mencapai 8 x 50 mg/kg. Beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa kumatetralil sangat berbahaya terhadap unggas. Kumatetralil digunakan dengan kandungan bahan aktif yang rendah. Resiko keracunan terhadap organisme bukan sasaran termasuk manusia sangat kecil (Prakash 1988).

28 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan September sampai Desember Bahan dan Alat Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah bondol peking (Lonchura punctulata) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) yang diperoleh dari penjual burung di Pasar Bogor, di simpangan Bogor Trade Mall, dan di Ciampea. Burung yang digunakan sebanyak 195 ekor, dengan berat antara 8-14 gram. Kandang Percobaan Kandang yang digunakan dalam pengujian terdiri dari kandang individu dan kandang populasi (Gambar 4). Kandang individu terbuat dari aluminium berukuran 50 cm x 34,5 cm x 33 cm (p x l x t). Setiap kandang dilengkapi peralatan tambahan yaitu tempat minum, tempat makan, kayu untuk bertengger, dan penampung kotoran. A B C Gambar 4 Kandang individu (A dan B) dan kandang populasi (C) Kandang populasi berbentuk balok dan dibuat dari kayu dengan lapisan seng pada bagian dalam, dan ditutup dengan ram kawat. Kandang berukuran 400

29 16 cm x 100 cm x 50 cm (p x l x t). Setiap kandang memiliki tiga pintu yaitu pada bagian kanan, tengah, dan kiri. Pakan Pakan yang digunakan pada pengujian kemampuan makan adalah gabah dan beras merah pada perlakuan individu, sedangkan pada perlakuan populasi hanya menggunakan gabah. Untuk pengujian preferensi pakan baik perlakuan individu maupun populasi, pakan yang digunakan adalah gabah, milet, jewawut, pelet, jagung pipil, dan beras merah (Gambar 5). Pada pengujian racun digunakan gabah sebagai bahan dasar pakan. A B C D E F Gambar 5 Jenis pakan pada preferensi pakan, A. Milet, B. Jagung pipil, C. Jewawut, D. Pelet, E. Beras merah, dan F. Gabah. Timbangan Alat yang digunakan untuk menghitung bobot bahan dalam pengujian adalah timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) (Gambar 6). Timbangan digunakan untuk mendapatkan bobot burung sebelum dan sesudah perlakuan serta mendapatkan besar pakan sebelum dan sesudah konsumsi pakan hewan uji. Gambar 6 Timbangan elektronik (electronic top-loading balance for animal) Racun Racun yang digunakan dalam pengujian bersifat racun akut dan racun kronis. Racun akut yang digunakan berbahan aktif seng fosfida, racun kronis yang

30 17 digunakan berbahan aktif bromadiolon dan kumatetralil (Gambar 7). Ketiga jenis racun yang digunakan berbentuk serbuk yang akan dicampur dengan bahan dasar gabah pada pengujian (Gambar 8). A B C Gambar 7 Jenis racun yang digunakan dalam pengujian, kumatetralil 0,75% (A), seng fosfida 80% (B), dan bromadiolon 0,25% (C). Gambar 8 A B C D Umpan pengujian racun, gabah tanpa racun (A), gabah dengan racun b.a seng fosfida (B), gabah dengan racun b.a kumatetralil (C), gabah dengan racun b.a bromadiolon (D). Metode Penelitian Persiapan Kandang Sebelum digunakan seluruh bagian kandang diperiksa dan dibersihkan terlebih dahulu. Setelah kandang pengujian layak digunakan, kemudian diletakkan mangkuk tempat minum dan makan burung. Persiapan Hewan Uji Burung yang diperoleh dari pedagang diadaptasikan terlebih dahulu dalam kurungan pemeliharaan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman selama 2-3 hari dengan diberi pakan gabah dan air setiap hari.

31 18 Penentuan bobot burung dilakukan dengan cara memasukkan seekor burung ke dalam kantong plastik kecil kemudian plastik diikat dan ditimbang. Bobot burung yang telah ditimbang kemudian dicatat dan dikurangi dengan berat plastik sebelum menimbang burung dengan jenis timbangan yang sama. Pengujian Konsumsi Makan Pengujian konsumsi makan dilakukan untuk mengetahui besar konsumsi burung bondol. Pengujian dilakukan terhadap individu dan populasi. Pada perlakuan individu, pakan yang digunakan adalah gabah dan beras merah. Pengamatan terhadap gabah dilakukan selama enam hari berturut-turut. Burung ditimbang sebelum dimasukkan dalam kandang individu. Setiap hari konsumsi burung terhadap gabah dihitung dan gabah diganti dengan yang baru. Pemberian gabah setiap hari sekitar 15 gram. Pada akhir pengamatan, burung ditimbang kembali dan dikembalikan ke kandang pemeliharaan. Pada perlakuan individu dengan menggunakan beras merah pengamatan dilakukan selama lima hari berturut-turut. Pada pengamatan ini masing-masing kandang individu disediakan pakan sekitar 200 gram. Penimbangan sisa umpan dilakukan pada akhir pengamatan. Pengujian populasi dilakukan selama lima hari berturut-turut menggunakan pakan gabah. Sepuluh ekor burung bondol dimasukkan dalam kandang populasi. Rasio perbandingan antara jantan dan betina yaitu 5:5 atau 4:6. Sebelum dimasukkan ke dalam kandang pengujian burung terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobot awal. Konsumsi makan burung terhadap gabah diketahui dari penimbangan gabah pada akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan konsumsi makan, burung yang berada dalam kandang populasi dilanjutkan untuk pengujian preferensi makan dan selanjutnya pengujian racun. Pengujian Preferensi Pakan Pengujian dilakukan dengan metode pilihan (choice test) selama enam hari berturut-turut untuk setiap hewan uji. Penempatan pakan dipisahkan dalam tempat umpan (mangkuk) yang berbeda untuk masing-masing pakan. Pakan yang diberikan ditimbang setiap hari dan diganti dengan yang baru. Perhitungan konsumsi pakan burung dengan cara menghitung selisih pakan sebelum dan

32 19 sesudah perlakuan. Konsumsi pakan yang diperoleh kemudian dikonversi ke 10 gram bobot tubuh. Pengujian populasi dilakukan selama lima hari pengamatan menggunakan enam jenis pakan yang sama seperti perlakuan individu yaitu gabah, beras merah, milet, jewawut, pelet, dan jagung pipil. Besar konsumsi makan burung terhadap berbagai jenis pakan ditimbang pada akhir pengamatan. Pengujian Racun Pengujian racun dilakukan untuk mengetahui jenis racun yang lebih disukai dan menarik bagi burung. dengan bahan dasar gabah. Dalam aplikasi, racun yang digunakan dicampur Metode yang digunakan adalah metode pilihan (choice test) dengan menggunakan gabah tanpa racun, gabah dengan racun b.a bromadiolon, gabah dengan racun b.a kumatetralil, dan gabah dengan racun b.a seng fosfida. Pencampuran racun dengan bahan dasar gabah dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: b.a bromadiolon = jumlah umpan x b.a kumatetralil = jumlah umpan x b.a seng fosfida = jumlah umpan x Pengamatan dilakukan terhadap konsumsi setiap jenis umpan perlakuan (gabah tanpa racun dan gabah dengan racun) dengan cara perhitungan selisih jumlah awal dan akhir racun yang diberikan. Perlakuan populasi dilakukan selama lima hari pengamatan menggunakan empat jenis umpan yang sama seperti perlakuan individu. Besar konsumsi makan burung terhadap gabah diketahui dari penimbangan pada akhir pengamatan. Konversi Umpan Semua data yang diperoleh dari pengujian bondol peking dan bondol jawa, dikonversi terlebih dahilu terhadap 10 g bobot burung, dengan rumus sebagai berikut:

33 20 Bobot umpan/racun yang dikonsumsi (g) Konversi umpan/racun (g = x 10% Rerata bobot burung (g) Rerata bobot tubuh burung (g) = Bobot awal (g) + bobot akhir (g) 2 Analisis Data Penelitian ini digunakan dua pengujian yaitu individu dan populasi. Pada masing-masing pengujian dilakukan dengan tiga perlakuan. Pada pengujian individu perlakuan pertama menggunakan pakan gabah, sebanyak 16 ulangan untuk bondol peking dan 15 ulangan untuk bondol jawa, sedangkan perlakuan menggunakan beras merah masing-masing dilakukan sebanyak 12 ulangan. Perlakuan kedua sebanyak 10 ulangan untuk bondol peking dan 12 ulangan untuk bondol jawa. Pada perlakuan ketiga sebanyak 13 ulangan pada masing-masing perlakuan. Pada pengujian populasi bondol peking dilakukan sebanyak 4 ulangan dan bondol jawa sebanyak 5 ulangan. Data hasil penelitian diolah dengan program Statistical Analysis System (SAS) for Windows ver.9.1. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α= 5%.

34 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada Tabel 4, analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 1-2. Kemampuan makan bondol peking (L. punctulata) dan bondol jawa (L. leucogastroides) pada pengujian individu menggunakan pakan gabah menunjukkan bahwa konsumsi bondol jawa terhadap gabah lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol peking. Tabel 4 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu Jenis burung Bobot tubuh (g) Konsumsi (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,812a 2,099b Bondol jawa 10,395b 2,561a Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Berdasarkan hasil perhitungan bobot tubuh, bondol peking memiliki nilai rerata bobot sebesar 11,812 gram dan berbeda nyata dengan bobot bondol jawa yaitu 10,395 gram. Konsumsi rerata bondol jawa relatif lebih besar dari pada bondol peking, apalagi ditambah dengan rerata bobot tubuh yang lebih ringan. Persentase konsumsi bondol jawa terhadap gabah (25,61 %) mencapai ¼ dari bobot tubuhnya, sementara itu untuk bondol peking (20,99 %) hanya mencapai 1 / 5 dari bobot tubuhnya. Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa terhadap Gabah Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian individu disajikan pada Gambar 9. Konsumsi harian bondol jawa lebih tinggi dibandingkan bondol peking. Bondol jawa lebih banyak dijual dipasar burung karena bondol jawa lebih banyak dijumpai di lapangan. Bondol jawa dapat berbiak sepanjang tahun dengan 4-5 butir telur setiap kali peneluran (MacKinnon 1990). Dengan demikian, bondol jawa memiliki peran yang lebih penting sebagai hama padi karena kemampuan reproduksi dan konsumsi yang

35 22 tinggi sehingga memiliki kemampuan merusak lebih besar dibandingkan bondol peking. Selain itu faktor lama waktu adaptasi kemungkinan menjadi pembeda dari hasil tersebut. Adaptasi bondol jawa sebelum percobaan yaitu selama 2-3 hari di laboratorium diduga sudah cukup. Gambar 9 Konsumsi harian terhadap gabah (g/ 10 g bobot tubuh) Konsumsi harian bondol jawa berfluktuatif yaitu terjadi penurunan pada hari pertama sampai ketiga kemudian meningkat pada hari keempat dan menurun kembali pada hari berikutnya. Konsumsi harian pada bondol peking mengalami penigkatan sejak hari pertama sampai hari keempat, kemudian mengalami penurunan pada hari kelima dan keenam. Pengujian Individu terhadap Konsumsi Beras Merah Kemampuan makan beras merah terhadap 12 ekor bondol peking dan 12 ekor bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 5 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 3-4. Tabel 5 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking serta bondol jawa terhadap beras merah pada pengujian individu Jenis burung Bobot Tubuh (g) Konsumsi (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,728a 2,508a Bondol jawa 10,240b 2,842a Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

36 23 Pada perlakuan pakan beras merah menunjukkan bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bobot tubuh bondol jawa. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada kemampuan makan menggunakan gabah. Namun, tingkat konsumsi pakan terhadap beras merah antara bondol peking dan bondol jawa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Konsumsi rerata bondol jawa terhadap beras merah relatif sama dibandingkan dengan bondol peking, sehingga pada saat dilakukan konversi ke 10 gram bobot tubuh didapat hasil yang tidak berbeda nyata (uji Duncan, α = 5 %). Secara umum dapat disebutkan bahwa bobot tubuh bondol peking relatif lebih besar daripada bondol jawa. Persentase konsumsi terhadap beras merah dari bondol jawa (28,42 %) dan bondol peking (25,08 %) relatif lebih besar dan berbeda nyata terhadap gabah pada bondol peking dan tidak berbeda nyata pada bondol jawa. Tabel 6 Konsumsi terhadap gabah dan beras merah pada bondol peking serta bondol jawa pada pengujian individu Jenis pakan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Beras merah 2,508a 2,842a Gabah 2,099b 2,561a Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Perbandingan Jenis Kelamin Burung terhadap Konsumsi Perbandingan jenis kelamin burung terhadap konsumsi gabah dan beras merah pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 7 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran Konsumsi pakan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hewan jantan dan betina bondol peking dan bondol jawa mengonsumsi gabah dan beras merah dalam jumlah yang sama.

37 24 Tabel 7 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dan beras merah berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Gabah (g/10 g bobot tubuh) Beras merah (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking Bondol jawa Bondol peking Bondol jawa Jantan 2,062a 2,650a 2,338a 2,772a Betina 2,179a 2,426a 2,747a 2,939a Rerata 2,099 2,561 2,508 2,842 Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Pengujian Populasi Terhadap Gabah Hasil yang diperoleh dari perlakuan konsumsi makan bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran Tabel 8 Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian populasi Jenis burung Bobot tubuh (g) Konsumsi gabah (g/10 g bobot tubuh) Bondol peking 11,270a 2,015a Bondol jawa 9,974b 2,270a Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Pada Tabel 8 di atas, dapat diketahui bahwa rerata bobot tubuh bondol peking lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan bondol jawa. Hal ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti yang ditunjukkan pada pengujian individu (Tabel 4 dan 5). Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah pada pengujian menunjukkan hasil tidak berbeda nyata Dari pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa bondol jawa memiliki kemampuan mengonsumsi pakan lebih besar dibandingkan bondol peking dan bondol peking memiliki rerata bobot tubuh lebih besar dibandingkan bondol jawa.

38 25 Pengujian Individu Preferensi Pakan Bondol Peking dan Bondol Jawa Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi preferensi pakan (beras merah, gabah, jewawut, milet, jagung, dan pelet ) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Jenis pakan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Beras merah 1,150a 0,648b Gabah 0,567b 1,197a Jewawut 0,189c 0,025c Milet 0,114c 0,024c Jagung pipil 0,064c 0,069c Pelet 0,003c 0,012c Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 9 dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi bondol peking terhadap beras merah lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan gabah. Hasil ini menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada perlakuan kemepuan makan gabah dan beras merah. Lebih rendahnya konsumsi gabah dapat disebabkan karena gabah masih dilindungi oleh sekam sehingga burung memerlukan usaha yang lebih banyak untuk mengupas kulit padi agar dapat mengkonsumsi biji padi tersebut. Berbeda dengan pakan beras merah yang sudah tidak dilindungi oleh sekam sehingga memudahkan untuk dikonsumsi (Soemadi dan Abdul 2003). Konsumsi pakan tertinggi pada bondol peking setelah beras merah dan gabah adalah jewawut dan tidak berbeda nyata dengan ketiga jenis pakan lainnya (milet, jagung pipil, dan pelet). Selain menyerang pertanaman padi, di alam burung bondol sering menyerang pertanaman jewawut dan milet. Serangan bondol terlihat pada malai yang meranggas karena bulir jewawut dan milet sudah habis dimakan (Andoko, 2001). Jewawut, milet dan jagung pipil merupakan sumber karbohidrat. Milet memiliki kandungan karbohidrat cukup tinggi yaitu 66% dari 100 gram bobot yang dapat dimakan. Karbohidrat dalam tubuh burung berfungsi sebagai sumber energi, membakar lemak, membentuk dan memperkecil

39 26 oksidasi protein menjadi energi, serta memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan optimal (Soemadi dan Abdul, 2003). Pada bondol jawa konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan berbeda nyata dengan lima jenis pakan lainnya. Konsumsi pakan terbesar setelah gabah adalah beras merah. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan hasil dengan perlakuan kemampuan makan gabah dan beras merah dimana konsumsi terhadap beras merah lebih tinggi dibandingkan pada gabah. Hal ini dapat disebabkan karena bondol jawa lebih menyukai pakan dalam bentuk yang mudah ditemui di alam. Urutan konsumsi pakan setelah gabah dam beras merah adalah jagung pipil dan tidak berbeda nyata dengan konsumsi terhadap jewawut, milet, dan pelet. Pelet merupakan jenis pakan terendah yang dikonsumsi bondol peking dan bondol jawa dari kelima jenis pakan lain yang diuji meskipun tidak berbeda nyata dengan jewawut, milet, dan jagung pipil. Rendahnya konsumsi pelet dapat disebabkan kerena pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaannya tidak ditemui di alam. Pelet dibuat untuk melengkapi kebutuhan pakan burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Hal ini memungkinkan burung hanya memakan pelet sebagai pelengkap makanan utama. Konsumsi Harian Bondol Peking dan Bondol Jawa Konsumsi bondol peking terhadap beras merah mengalami peningkatan setiap harinya (gambar 10) berbeda dengan konsumsi terhadap gabah yang mengalami penurunan setiap harinya. Konsumsi terhadap beras merah dan gabah lebih tinggi dibandingkan keempat pakan jenis lainnya. Jenis pakan jewawut, milet dan jagung pipil cukup berfluktuatif walaupun dalam jumlah yang rendah sedangkan konsumsi terhadap pelet relatif konstan dengan tingkat konsumsi yang rendah. Konsumsi harian bondol jawa pada perlakuan preferensi pakan menunjukkan grafik yang berfluktuatif. Tingkat konsumsi tertinggi adalah gabah setelah itu beras merah. Sedangkan konsumsi terhadap jewawut, milet, jagung pipil dan pelet menunjukkan rata-rata harian yang hampir sama. Konsumsi bondol jawa pada awal pengamatan mengalami peningkatan dengan konsumsi tetinggi terjadi pada hari ketiga kemudian menurun pengamatan hari ke 4 kecuali

40 27 pada jagung pipil yang mengalami peningkatan sedangkan pada milet, jewawut dan pelet relatif konstan. Gambar 10 Konsumsi harian bondol peking dan bondol jawa terhadap berbagai jenis pakan. Tingginya konsumsi pakan pada hari ketiga menyebabkan burung memiliki cadangan makanan yang disimpan dalam temboloknya sehingga menyebabkan menurunnya konsumsi pakan pada hari keempat. Burung pemakan biji umumnya memiliki tembolok sebagai penampung sementara biji yang telah ditelan (Soemadi & Abdul 2003). pengamatan. Konsumsi meningkat kembali pada hari kelima

41 28 Pengujian Populasi Hasil yang diperoleh dari pengujian populasi bondol peking dan bondol jawa terhadap enam jenis pakan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Konsumsi pakan bondol jawa dan bondol peking Pakan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) 0,649a Beras merah Gabah Jewawut Milet Jagung pipil Pelet 0,666a 0,676a 0,397ab 0,099b 0,069b 0,057b 0,659a 0,183bc 0,349b 0,009c 0,009c Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Pada pengujian populasi, konsumsi tertinggi terjadi pada gabah dan tidak berbeda nyata dengan beras merah. Hasil ini berbeda pada pengujian individu dimana konsumsi tertinggi terjadi pada beras merah dan berbeda nyata dengan konsumsi terhadap gabah dan pakan yang lain. Menurut Mackinnon (1995) jenis burung bondol umumnya dikenal sebagai hama padi dan memakan bulir padi yang sedang menguning. Urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah pada bondol peking adalah jewawut namun tidak berbeda nyata dengan gabah dan beras merah serta ke tiga jenis pakan lainnya yaitu milet, jagung pipil dan pelet. Pada pengujian individu, pakan jewawut cukup disukai oleh bondol peking selain itu bondol peking merupakan jenis burung yang hidup berkelompok (MacKinnon 1990). Dengan demikian, faktor peletakan pakan juga dapat mempengaruhi meningkatnya konsumsi pakan dimana dalam pengujian peletakan pakan jewawut berdekatan dengan pakan utama yaitu beras merah. Konsumsi bondol peking terhadap pakan milet, jagung pipil dan pelet merupakan jenis pakan terendah dan berbeda nyata terhadap gabah dan beras merah. Hasil pengamatan ini sama dengan pengujian individu. Konsumsi pada pakan selain padi kurang disukai karena bukan merupakan pakan utama dan umumnya jarang ditemukan di habitat bondol.

42 29 Pada konsumsi pakan bondol jawa, urutan konsumsi terbesar setelah gabah dan beras merah adalah milet dan jewawut. Pada hasil pengamatan (Tabel 10) menunjukkan konsumsi milet berbeda nyata dengan jagung pipil dan pelet. Jagung pipil dan pelet merupakan pakan terendah yang dikonsumsi karena kedua jenis pakan ini merupakan pakan yang melalui proses olahan terlebih dahulu yaitu jagung pipil merupakan jagung yang telah dipecah dengan ukuran yang lebih kecil sedangkan pelet merupakan pakan buatan sehingga keberadaan kedua jenis pakan ini tidak ditemui di alam. Dari hasil pengujian individu dan populasi dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi pakan bondol peking dan bondol jawa pada jenis pakan alami (bijibijian) lebih tinggi dari pada pakan buatan (pelet). Hal ini karena biji-bijian merupakan jenis bahan makanan yang secara alami dapat diperoleh burung dengan bebas di alam. Biji-bijian merupakan sumber protein sebagai salah satu komponen dari makanan penguat bagi burung (Soemadi dan Abdul, 2003). Selain itu, kulit biji-bijian sangat baik dalam membantu burung pemakan biji untuk mencerna makanannya, walaupun dalam pengamatan di laboratorium semua bondol jawa dan bondol peking mengupas kulit biji gabah sebelum dikonsumsi. Pengujian Racun terhadap Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu Hasil pengujian beberapa jenis racun terhadap bondol jawa dan bondol peking disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian individu Perlakuan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Gabah 0.672a 0.606a Gabah + Bromadiolon 0.278b 0.529a Gabah + Kumatetralil 0.197b 0.082b Gabah + Seng fosfida 0.063b 0.042b Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan.

43 30 Konsumsi bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi gabah tidak berbeda nyata dengan gabah dicampur racun bromadiolon dan berbeda nyata terhadap racun seng fosfida dan kumatetralil. Hal ini dapat disebabkan bau gabah dengan dicampur bromadiolon tidak menimbulkan bau menyengat dibandingkan dengan dua jenis racun lainnya. Konsumsi racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil pada bondol jawa percobaan individu berbeda nyata dengan konsumsi gabah dan racun bromadiolon. Racun berbahan aktif seng fosfida dan kumatetralil memberikan warna yang sangat berbeda dibandingkan dengan warna gabah tanpa dicampur racun. Oleh karena itu, diduga warna memberikan pengaruh terhadap konsumsi. Selain itu, kedua racun tersebut memberikan bau yang khas terhadap gabah, sehingga menimbulkan rasa curiga burung terhadap umpan sehingga mengonsumsi dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan gabah tanpa racun. Konsumsi racun pada pengujian individu dapat dilihat pada Tabel 12. Konsumsi bondol terhadap racun seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain (bromadiolon dan kumatetralil). Seng fosfida memiliki konsentrasi racun yang tinggi yaitu 80% dengan pencampuran racun sebesar 1 / 100 dari jumlah umpan sementara untuk bromadiolon 0,25% dan 1 / 40 dan untuk kumatetralil 0,75% dan 1 / 20. Hal ini menyebabkan konsentrasi racun seng fosfida lebih besar dibandingkan kedua jenis racun lainnya, sehingga jumlah racun yang dikonsumsi pada jumlah umpan yang sama akan lebih tinggi. Tingginya konsumsi seng fosfida menyebabkan tingginya kematian bondol pada pengamatan hari pertama sampai hari ketiga. Tabel 12 Konsumsi racun pada pengujian individu Jenis Racun Bondol peking (mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 1,738 3,306 Seng fosfida 50,400 33,600 Kumatetralil 3,694 3,075

44 31 Konsumsi Harian Racun dan Kematian Burung pada Pengujian Individu Besar konsumsi racun bondol peking dan bondol jawa setiap hari pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan jumlah kematiannya dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11 Konsumsi harian racun pengujian individu Konsumsi harian bondol peking terhadap gabah lebih disukai dari pada umpan beracun (Gambar 11). Konsumsi racun paling tinggi pada hari pertama kemudian mulai menurun sampai hari berikutnya. Pada konsumsi umpan beracun bromadiolon konsumsi tertinggi pada hari kelima dan menurun pada akhir pengamatan. Pada konsumsi umpan beracun kumatetralil konsumsi berfluktuatif. Berbeda dengan umpan beracun seng fosfida yang terjadi penurunan konsumsi

45 32 setiap harinya. Konsumsi gabah bondol peking pada hari kelima mengalami penurunan karena diikuti tingginya konsumsi burung terhadap bromadiolon. Konsumsi racun pada bondol jawa menunjukkan bahwa konsumsi pada hari pertama tertinggi adalah gabah kemudian umpan beracun bromadiolon. Konsumsi umpan beracun bromadiolon mulai menurun sampai pengamatan hari ketiga dan mulai meningkat kembali pada pengamatan keempat dan selanjutnya mengalami penurunan kembali. Konsumsi gabah mulai meningkat pada hari ketiga kemudian menurun kembali pada hari keempat dan mencapai konsumsi tertinggi pada hari kelima. Konsumsi gabah yang fluktuatif menunjukkan rerata konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan umpan beracun. Konsumsi harian bondol jawa terhadap umpan beracun kumatetralil dan seng fosfida relatif konstan. Tingginya konsumsi racun bondol peking pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian pada hari pertama (Gambar 12). Kematian menurun pada hari ketiga dan keempat karena pada hari pengamatan tersebut konsumsi burung terhadap gabah lebih banyak sedangkan konsumsi terhadap racun relatif sedikit sehingga burung masih dapat bertahan hidup. Pada akhir pengamatan tersisa satu ekor burung yang dapat bertahan hidup dan mati pada satu hari setelah pengamtan terakhir (hari ke-7). Gambar 12 Jumlah kematian harian pengujian individu

46 33 Pada bondol jawa tingginya konsumsi umpan beracun bromadiolon dari pada hari pertama menyebabkan tingginya kematian burung pada hari pertama. Pada akhir pengamatan tersisa dua ekor burung yang hidup. Dapat bertahannya satu ekor bondol peking dalam pengamatan dapat disebabkan daya tahan tubuh burung yang lebih bagus dari burung lainnya. Selain itu diduga burung lebih banyak mengkonsumsi gabah dan mengonsumsi umpan beracun dalam jumlah relatif sedikit. Namun, konsumsi umpan beracun telah terakumulasi dalam tubuh sehingga burung menjadi kurang lincah dan akhirnya mati pada hari setelah pengamatan terakhir (hari ke-7 & 8). Pengujian Populasi Tabel 12. Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap racun dapat dilihat pada Pada pengujian populasi, hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi tertinggi tetap pada gabah baik pada bondol peking maupun bondol jawa. Konsumsi tertinggi setelah gabah pada bondol peking adalah bromadiolon dan berbeda nyata terhadap konsumsi racun kumatetralil. Konsumsi tertinggi setelah bromadiolon adalah seng fosfida dan tidak berbeda nyata dengan racun kumatetralil. Tabel 13 Konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap umpan beracun pada pengujian populasi Perlakuan Bondol peking (g/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (g/10 g bobot tubuh) Gabah 0,563a 0,561a Gabah + Bromadiolon 0,358ab 0,304b Gabah + Seng fosfida 0,124bc 0,053c Gabah + Kumatetralil 0,039c 0,116c Keterangan: angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α= 5% berdasarkan uji selang ganda Duncan. Pada bondol jawa konsumsi tertinggi setelah gabah adalah bromadiolon dan berbeda nyata dengan dua jenis umpan beracun lainnya yaitu seng fosfida dan kumatetralil. Rasa curiga burung terhadap umpan beracun seng fosfida dan kumatetralil menyebabkan konsumsi terhadap kedua jenis racun tersebut lebih sedikit daripada umpan dengan racun bromadiolon.

47 34 Konsumsi racun pada pengujian populasi dapat dilihat pada Tabel 14. Konsumsi bondol terhadap racun pada pengujian populasi menunjukkan pernyataan yang sama seperti pada pengujian individu yaitu konsumsi seng fosfida lebih tinggi dibandingkan kedua jenis racun lain. Seng fosfida merupakan jenis racun akut yang biasa digunakan dalam usaha pengendalian pada populasi tinggi sedangkan racun bromadiolon dan kumatetralil (racun kronis) digunakan dalam pengendalian pada populasi rendah. Tabel 14 Konsumsi racun pada pengujian populasi Jenis racun Bondol peking (mg/10 g bobot tubuh) Bondol jawa (mg/10 g bobot tubuh) Bromadiolon 2,238 1,900 Seng fosfida 99,200 42,400 Kumatetralil 0,731 4,350 Kematian Burung pada Pengujian Populasi Jumlah kematian burung terhadap konsumsi racun dapat dilihat pada Gambar 13. Kematian bondol peking tertinggi pada hari pertama dan kedua yaitu sebanyak 11 ekor. Setelah hari kedua jumlah burung yang mati mengalami penurunan sampai akhir pengamatan. Pada akhir pengamatan burung yang dapat bertahan hidup hanya satu ekor. Gambar 13 Jumlah individu yang mati terhadap konsumsi racun dalam pengujian populasi

48 35 Pada bondol jawa kematian tertinggi terjadi pada hari pertama pengamatan yaitu sebanyak 18 ekor, kemudian menurun pada hari berikutnya. Pada pengamatan keempat jumlah burung yang mati mengalami peningkatan yaitu sebanyak meningkat 11 ekor burung mati. Pada akhir pengamatan jumlah burung yang masih hidup sebanyak 9 ekor burung. Persentase lama hidup bondol peking sebesar 2,5 % sementara itu bondol peking sebesar 18 %. Dengan demikian bondol jawa lebih berpeluang sebagai hama pertanian padi dibandingkan bondol peking. Gejala Keracunan pada Pengujian Racun Individu dan Populasi Gejala keracunan yang terlihat pada saat pengamatan pengujian racun individu menggunakan empat jenis umpan pada bondol peking dan bondol jawa dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Gejala keracunan pada bondol peking dan bondol jawa pada pengujian individu dan populasi Gejala keracunan Pengujian individu Bondol Bondol peking jawa Pengujian populasi Bondol Bondol peking jawa Tidak menampakkan gejala Kotoran berwarna hitam Keluar darah dari mulut Kotoran berdarah Anus berdarah Burung hidup Total individu Kematian tertinggi pada bondol peking dan bondol jawa menunjukkan bondol mati tanpa menunjukkan gejala. Konsumsi racun telah terakumulasi dalam jaringan organ tubuh burung yaitu hati atau ginjal namun tidak memecah pembuluh kapiler atau dapat pula memecah pembuluh kapiler namun tidak keluar dari lubang alami sehingga tidak menunjukkan gejala pada kematian burung. Gejala keracunan dapat dilihat pada Gambar 14.

49 36 A B Gambar 14 Gejala keracunan bondol peking dan bondol jawa Gejala keracunan dengan keluar darah dari mulut, kotoran berdarah, dan anus berdarah dapat disebabkan oleh konsumsi racun bromadiolon dan kumatetralil (Gambar 14 B). Bromadiolon dan kumatetralil merupakan jenis racun kronis dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003), sehingga gejala keracunan dapat dilihat dari keluarnya darah dari lubang alami burung. Gejala keracunan kotoran berwarna hitam dapat disebabkan oleh konsumsi racun seng fosfida (Gambar 14 B).

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian 5 TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian Burung pemakan biji memiliki ukuran tubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah, sehingga susah ditangkap. Beberapa jenis burung pemakan biji antara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan September sampai Desember

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Maret sampai Juni 2011.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung

TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung TINJAUAN PUSTAKA Hama Burung Burung yang menjadi hama tanaman pertanian, terutama pada komoditas serealia (padi, jagung dan sorgum) sebagian besar adalah jenis pipit, yang termasuk ke dalam Kelas Aves,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari Bulan Oktober hingga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai Juli 2011.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA

UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA UJI KEMAMPUAN MAKAN PADA BURUNG GEREJA (Passer montanus Oates) DAN UJI PREFERENSI PAKAN SERTA UMPAN BERACUN PADA BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) DAN BONDOL PEKING (Lonchura punctulata

Lebih terperinci

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PRINGGO WIBOWO PUTRO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK NURIHIDAYATI. Uji Bentuk Umpan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan

Lebih terperinci

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A PREFERENSI (Rattus tiomanicus MAKAN TIKUS MILLER) POHON TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA Rizka Yudha Aryata A44102051 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi tikus terhadap umpan gabah, beras, dan jagung (no

Lebih terperinci

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A44102030 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji

Lebih terperinci

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.), DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Mill.) JOHAN PERMADA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK ANIEF NUGROHO.

Lebih terperinci

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A44102059 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN 1979 5777 145 PREFERENSI DAN EFIKASI RODENTISIDA BRODIFAKUM TERHADAP TIGA JENIS TIKUS HAMA Swastiko Priyambodo dan Rizky Nazarreta Dept. Proteksi Tanaman, Fak.

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Oleh karena itu peningkatan konsumsi protein perlu digalakkan, salah satunya melalui penganekaragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan dampak positif bagi perkembangan perekonomian rakyat Indonesia, namun dilain pihak dampak negatifnya berupa makin banyaknya limbah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan gizi kacang hijau per 100 gr. Tabel 1.2 Perbandingan kandungan protein kacang hijau per 100 gr BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang sangat populer di Indonesia adalah kacang hijau (Vigna radiata.wilczek). Kacang hijau ialah tanaman penting ketiga di

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) termasuk famili dari Araceae yang dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang. Beberapa kultivarnya dapat beradaptasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakasanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid RUANG LINGKUP BUDIDAYA PEMELIHARAAN JANGKRIK KALUNG KUNING A. UDJIANTO Balai Penelitian Ternak, Po Box 221, Ciawi Bogor RINGKASAN Komoditas jangkrik ini dapat memberikan tambahan penghasilan disamping

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hama karena mereka menganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat,

BAB I PENDAHULUAN. hama karena mereka menganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh binatang atau organisme kecil (virus, bakteri, atau jamur). Hewan dapat disebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum perlakuan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan dengan konsentrasi 20%, 25%, dan 30% terhadap 2 tikus sawah pada masingmasing konsentrasi. Didapatkan hasil

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami berbagai tanaman komoditas pangan sehingga dapat menghasilkan bermacammacam produk pangan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis

Lebih terperinci

TANAMAN PERKEBUNAN. Kelapa Melinjo Kakao

TANAMAN PERKEBUNAN. Kelapa Melinjo Kakao TANAMAN PERKEBUNAN Kelapa Melinjo Kakao 1. KELAPA Di Sumatera Barat di tanam 3 (tiga) jenis varietas kelapa, yaitu (a) kelapa dalam, (b) kelapa genyah, (c) kelapa hibrida. Masing-masing mempunyai karakteristik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT KARYA ILMIAH BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT MATA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Nama : Asmorojati Kridatmaja NIM : 10.11.3641 Kelas : SI-TI 2B SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan. Pengolahan buahbuahan bertujuan selain untuk memperpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan agribisnis dan meningkatkan kesejahteraan petani, mengisyaratkan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang memadai akan mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial berupa

I. PENDAHULUAN. yang memadai akan mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial berupa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Ketergantungan manusia terhadap pangan yang tinggi tanpa diimbangi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai bulan Januari 2016 di kebun salak Tapansari, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 PENGOLAHAN TALAS Ir. Sutrisno Koswara, MSi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 DISCLAIMER This presentation is made possible by the generous support of the American people

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di Kandang Digesti Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, dan di Laboratorium Teknologi dan Rekayasa Pangan,

Lebih terperinci

TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A

TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A44103062 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 TINDAKAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah padi dan jagung bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. setelah padi dan jagung bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Singkong (Manihot utillisima) merupakan makanan pokok ketiga setelah padi dan jagung bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah tropis

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas. Pemotongan puyuh dan penelitian persentase karkas dilakukan di Laboratorium Unggas serta uji mutu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur pembangunan. Peningkatan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT Nur Indrawaty Liputo Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Disampaikan pada Seminar Apresiasi Menu Beragam Bergizi Berimbang Badan Bimbingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan 21 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pembuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL 6 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL Darah Itik Peking yang Diberi Tepung Temu Hitam dilaksanakan 31 Desember 2015 s.d 1 Februari 2016 di Fakultas

Lebih terperinci

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim JURNAL EDUKASI KIMIA e-issn: 2548-7825 p-issn: 2548-4303 Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim Ainun Mardhiah 1* dan Marlina Fitrika 2 1 Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan di Farm dan Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi, pada tanggal 28 September sampai tanggal 28 November 2016.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan penyuplai kebutuhan daging terbesar bagi kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan yang sedang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA KUALITAS NATA DARI BAHAN BEKATUL (NATA DE KATUL) DENGAN STARTER BAKTERI Acetobacter xylinum SKRIPSI Disusun Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidian Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

TERNAK PERAH SEBAGAI PRODUSEN SUSU

TERNAK PERAH SEBAGAI PRODUSEN SUSU TERNAK PERAH SEBAGAI PRODUSEN SUSU TIK : Setelah mengikuti kuliah II ini mahasiswa dapat menjelaskan peranan ternak perah dalam kehidupan manusia Sub pokok bahasan : 1. Peranan susu dan produk susu dalam

Lebih terperinci

JAGUNG. Bahan Pangan Alternatif SERI BACAAN ORANG TUA

JAGUNG. Bahan Pangan Alternatif SERI BACAAN ORANG TUA 19 SERI BACAAN ORANG TUA JAGUNG Bahan Pangan Alternatif Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011) MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas Eutheria,

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Pemeliharaan dan penyembelihan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,

Lebih terperinci