ANALISIS JASA ICT DALAM KERJASAMA RCEP (REGIONAL COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS JASA ICT DALAM KERJASAMA RCEP (REGIONAL COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP)"

Transkripsi

1 2014 ANALISIS JASA ICT DALAM KERJASAMA RCEP (REGIONAL COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP) PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN 2014

2 KATA PENGANTAR Dengan Mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPKP telah menyelesaikan Tulisan ini. Tulisan ini merupakan suatu analisis yang ditujukan untuk menjawab posisi runding terbaik bagi Indonesia dalam menghadapi perundingan Sektor Jasa ICT di forum RCEP. Puska KPI menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan pengkajian sehingga kajian ini telah selesai dengan baik. Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya kajian ini tidak akan dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Akhir kata, kami menyadari bahwa tidak ada hal yang sempurna, demikian pula dengan tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran akan terus kami harapkan dari para pembaca sekalian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian, Terima Kasih Jakarta, Desember 2014 Tim Peneliti 2

3 DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK... 6 BAB I... 7 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Data Dan Metodologi Ruang Lingkup BAB II TINJAUAN PUSTAKA Information And Communication Technology Regional Comprehensive Economic Partnership Perdagangan Jasa Dalam Undang - Undang No. 7 Tahun BAB III METODE PENELITIAN Jenis Dan Sumber Data Indeksasi Schedule Of Commitment (Soc) Kinerja Ict Negara-Negara Rcep BAB IV PEMBAHASAN Kolom Pembatasan Akses Pasar Soc Afas Paket 8 Di Subsektor Jasa Telepon Seluler Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Soc Afas Paket Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia Di Aanzfta

4 4.2.1 Kolom Pembatasan Akses Pasar Soc Aanzfta Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Soc Aanzfta Di Jasa Telepon Seluler Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia Di Asean-Korea Free Trade Area (Akfta) Kolom Pembatasan Akses Pasar Soc Akfta Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Soc Akfta Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia Di Asean-China Free Trade Area (Acfta) Kolom Pembatasan Akses Pasar Soc Acfta Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Soc Acfta Perbandingan Antara Komitmen Dengan Regulasi Domestik Indonesia Potensi Pasar Jasa Telepon Seluler Negara-Negara Rcep Jumlah Telepon Seluler Di Setiap Negara Bab V Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Posisi Komitmen Indonesia Di Sektor Jasa Telepon Seluler Pada Kerjasama Asean Dan Asean Perbandingan Antara Komitmen-Komitmen Yang Diberikan Dengan Regulasi Domestik Indonesia Di Subsektor Jasa Telepon Seluler Kondisi Pasar Telepon Seluler Di Asean Dan Negara-Negara Mitra Kerjasamanya Rekomendasi Kebijakan Daftar Pustaka

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Tujuan Ekspor Negara - Negara ASEAN per Gambar 1.2 Sumber Impor ASEAN per Gambar Komitmen Negara - Negara ASEAN di Mode 3 Pembatasan Perlakuan Nasional Jasa Telepon Seluler AFAS Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Pembatasan Akses Pasar Jasa Telepon Seluler pada AANZFTA Gambar Jumlah Pengguna Telepon Seluler di Negara - Negara RCEP Gambar Jumlah Telepon Seluler per 100 Orang di Negara - Negara RCEP

6 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Daftar Dokumen Komitmen Negara RCEP di GATS Tabel 4.5 Perbandingan antara Regulasi Domestik Indonesia dengan Komitmen pada ASEAN dan ASEAN Tabel Pertumbuhan Jumlah Pengguna Telpon Seluler di Negara - Negara RCEP DAFTAR GRAFIK Grafik 3.1 Perbandingan Persentase Individu dalam Menggunakan Internet di Negara Negara RCEP Grafik 3.2 Perbandingan Pengguna Telepon Tetap Per 100 Penduduk di Negara - Negara RCEP Grafik 3.3 Perbandingan Pengguna Telepon Seluler per 100 Penduduk di Negara - Negara RCEP

7 BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Munculnya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atas gagasan para pemimpin ASEAN dan para mitra FTA (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru) pada November 2012, diyakini dapat menjadi kekuatan perekonomian yang kuat dan solid. Hal ini didasari dengan fakta bahwa terdapat potensi dan sumber daya yang besar dalam RCEP, baik ditinjau dari segi populasi total yang mencapai 3 miliar lebih (kurang lebih 45% populasi total dunia), maupun total GDP yang berkisar pada USD 17,23 trililiun (40% dari total GDP dunia). Apabila potensi tersebut dapat dioptimalkan dengan baik maka dapat melahirkan suatu blok ekonomi terkuat dan terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang akan memegang peranan penting dalam pereknomian dunia. Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam mendorong RCEP dan telah ditunjuk sebagai sheppard untuk laju negosiasi RCEP dengan mitra dialog ASEAN. Penunjukan ini merupakan amanah yang harus ditanggung oleh Indonesia. Kesempatan ini memberikan keuntungan dan kerugian bagi Indonesia dalam mengatur jalannya perundingan. Keuntungan bagi Indonesia adalah Indonesia memiliki kesempatan untuk mengatur dan mengarahkan jalannya perundingan sehingga Indonesia perlu memiliki konsep yang jelas tentang apa yang diinginkan di atas komitmen Indonesia dengan mitra dialog ASEAN dan ASEAN di atas komitmen ASEAN Plus one. Kerugian bagi Indonesia adalah Indonesia tidak dapat mengulur waktu sebagaimana negara lain dalam pengajuan suatu posisi, sehingga untuk mengatasi hal tersebut akan memerlukan sinergi dan kerja ekstra dalam percepatan persiapan. 7

8 Tingkat ambisi kerjasama RCEP akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kerjasama ASEAN Plus one. Tingkat kerjasama yang lebih ambisius ini membutuhkan pemetaan posisi yang kuat dan identifikasi strategi kebijakan kerjasama yang komprehensif dengan hitungan cost dan benefit yang komprehensif pula. Kerjasama ini akan bersifat lebih liberal agar bisa menjadi solusi keseragaman dari ASEAN Plus One yang belum harmonis dan akan digunakan. Secara garis besar telah terjadi peningkatan ekspor barang Indonesia dengan para mitra FTA yang masih didominasi oleh barang - barang yang berbasis sumber daya alam, energi dan mineral. Tetapi juga disadari bahwa ketergantungan terhadap komoditi tersebut sangat riskan mengingat harga yang cenderung bersifat fluktuatif dan pertumbuhannya dapat melemah pada jangka panjang. Kini selain perdagangan barang, perdagangan jasa menjadi primadona dalam berbagai fora kerjasama perdagangan Internasional termasuk dalam RCEP. Seperti yang diketahui bersama, sektor jasa memiliki peranan penting dalam perekonomian global, karena memberikan nilai tambah yang tinggi, yaitu sebesar 70,87% terhadap GDP dunia (World Bank, 2011). Selain itu, secara umum sektor ini memberikan kontribusi, baik terhadap kesempatan kerja maupun kegiatan perdagangan suatu negara. Kontribusi sektor jasa dalam kesempatan kerja terus meningkat setiap tahunnya, mencapai 30%, sedangkan dalam perdagangan pada tahun 2011 kontribusi perdagangan sektor jasa sebesar 11,41 % terhadap GDP dunia (World Bank, 2012). Menimbang hal tersebut, maka perlu adanya usaha dan perhatian lebih terhadap isu perdagangan jasa yang selama ini menjadi hal yang kurang mendapatkan perhatian, neraca perdagangan jasa yang berada pada posisi defisit pada beberapa tahun belakangan ini merupakan indikator nyata. 8

9 Gambar 1.1 Tujuan Ekspor Negara - Negara ASEAN per 2011 Sumber : Trademap.org Pada Gambar 1.1 di atas, terlihat bahwa Negara negara anggota RCEP yang menjadi mitra FTA bagi ASEAN menjadi pasar ekspor terbesar bagi para anggota ASEAN, dengan share mencapai 32% dan bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan tujuan ekspor intra-asean yang berkisar pada 26%. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya RCEP sebagai mitra perdagangan negara negara ASEAN. Gambar 1.2 Sumber Impor ASEAN per 2011 Sumber: Trademap.org 9

10 Selain menjadi pasar ekspor terbesar, para negara mitra FTA ASEAN juga menjadi sumber terbesar bagi anggota anggota ASEAN dalam memenuhi kebutuhan domestiknya melalui impor. Hal ini terlihat dengan jelas pada Gambar 1.2 di atas, dimana sumber impor terbesar bagi negara negara ASEAN berasal dari para mitra kerjasama FTA mereka yang juga masuk sebagai anggota RCEP, yaitu sebesar 34% yang juga berarti sebagai sumber impor terbesar melebihi intra-asean yang hanya mencapai 24%. Hal ini menunjukkan ketergantungan Negara negara anggota ASEAN yang cukup besar kepada mitra FTA yang termasuk dalam anggota RCEP. Salah satu sektor perdagangan jasa yang mendapatkan perhatian khusus dalam perkembangan RCEP adalah sektor jasa telekomunikasi yang diusulkan untuk dimasukkan dalam chapter/annex khusus. Australia sebagai proponen menekankan pentingnya jasa telekomunikasi karena merupakan salah satu sektor kunci dalam mendorong inovasi dan konektivitas ekonomi regional dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemenkominfo sebagai kementerian teknis menyatakan tidak mengambil posisi apapun terkait dengan isu ini. Alasannya sekarang tengah dibahas revisi beberapa peraturan dan perundangan terkait sektor telekomunikasi sehingga ditakutkan apabila terlanjur mengambil posisi, revisi peraturan yang ada bertentangan dengan posisi tersebut Permasalahan Adapun permasalahan dalam kajian ini adalah : a. Bagaimana Posisi Runding Sektor Jasa ICT Indonesia dalam kerjasama RCEP? b. Bagaimana cara Indonesia agar dapat memanfaatkan Kesepakatan RCEP untuk sektor jasa ICT? 10

11 1.3. Tujuan Yang menjadi tujuan dari kajian ini antara lain: a. Menganalisis Posisi Runding Sektor Jasa ICT Indonesia dalam kerjasama RCEP c. Menganalisis cara Indonesia agar dapat memanfaatkan Kesepakatan RCEP untuk sektor jasa ICT 1.4. Data dan Metodologi Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari data sekunder, diperoleh dari survey dan data badan internasional terkait, Biro Pusat Statistik, Bank Indonesia dan Pusat Data dan Informasi Kementerian Perdagangan serta perkembangan poisisi Indonesia pada RCEP, khususnya bidang ICT yang diperoleh dari Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan. Metode yang digunakan dalam kajian adalah indeksasi Hoekman untuk mengukur komitmen jasa negara-negara WTO dengan berdasar pada GATS. Metode ini memberikan nilai untuk masing-masing 8 sel (4 mode dan 2 akses pasar (MA) atau Perlakuan Nasional (NT) -), sebagai berikut: N = 1, L = 0,5, U = 0; kemudian menghitung nilai rata-rata sektor jasa ICT negara-negara RCEP Ruang Lingkup Mengingat bahwa Jasa ICT merupakan jasa yang sangat luas dan terus berkembang, maka ruang lingkup dalam kajian ini adalah Jasa ICT yang difokuskan pada telepon seluler. 11

12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Information and Communication Technology Sebagaimana yang diketahui bersama, Information and Communication Technology (Teknologi Informasi dan Komunikasi) tidak dapat terlepas dari elemen - elemen utama penyusunnya yakni, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Dewasa ini, globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat juga telah membuat peranan ICT semakin penting, bahkan hingga melahirkan suatu pola ekonomi baru, "Powered by technology, fueled by information and driven by knowledge", sehingga diyakini penggunaan ICT secara tepat dapat mampu mengembangkan SDM dan berujung pada pertumbuhan ekonomi suatu negara (University of Mumbai, 2012). Information Technology adalah pengaturan informasi dengan menggunakan sistem elektrik dan elektronik, yang berarti termasuk juga pada proses penyaluran, penyimpanan dan pengaksesan. Secara khusus penggunaan IT berfokus pada software dan hardware untuk pengunaan secara personal maupun masyarakat umum untuk tujua tertentu, sebagaimana pengertian yang dikutip dari UNESCO serta Darnton and Giacoletto. "Information Technology is a scientific, technological and engineering discipline and management technique used in handing the information, it s application and association with social, economical and cultural matters". - UNSECO "Information technology is a systemic study of artifacts that can be used to give form to facts in order to provide meaning for decision making, and artifacts that 12

13 can be used for organization, processing, communication and application of information". - Darnton and Giacoletto. Communication Technology adalah sistem yang dipergunakan untuk berkomunikasi antar individu maupun kelompok yang pada umum tidak berada pada tempat yang sama secara fisik. Contoh yang nyata terdapat pada sistem seperti telefon, fax, telex, radio, televisi, video, teknologi yang berhubungan dengan komputer dan lain sebagainya. Sehingga secara singkat, dapat disimpulkan communication technology merupakan aktivitas yang mendesain, membangun sistem komunikasi itu sendiri. 2.2 Regional Comprehensive Economic Partnership Pada November 2012, para pimpinan negara - negara anggota ASEAN dan 6 negara mitra kerjasama regional menyepakati gagasan terbentuknya suatu fora FTA mega regional yang dinamakan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Adapun 16 negara tersebut antara lain adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru. Seperti yang telah disinggung pada BAB I bahwa RCEP memiliki sumber daya yang sangat besar, dengan populasi kurang lebih 3 miliar penduduk atau sekitar 45% dari populasi dunia dan total Gross Domestic Product mencapai USD 17,23 trililiun yang berarti 40% dari total GDP dunia. Dengan potensi - potensi tersebut diharapkan mampu memperkuat perekonomian seluruh negara yang terlibat serta bukan tidak mungkin menjadi embrio bagi kesatuan pasar (integrated market) ke depannya. 13

14 Lebih rinci lagi, dalam beberapa dekade belakangan ini terlihat dengan jelas bahwa perdagangan antar negara anggota ASEAN mengalami peningkatan, begitu juga dengan perdagangan ASEAN - China maupun ASEAN - India. Dalam kurun , jumlah ekspor ASEAN ke China meningkat 690% dan juga terjadi lonjakan impor sebesar 580%., sedangkan perdagangan ASEAN - India pada kurun waktu yang sama, mengalami peningkatan ekspor sebesar 450% dan impor meningkatan 560% (Penelitian ERIA, 2013). RCEP diharapkan menjadi sebuah kerjasama ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas dan saling menguntungkan bagi negara anggota ASEAN dan mitra FTA. RCEP akan memperdalam kerjasama yang sebelumnya telah dijalin pada FTA ASEAN+1 yang sudah terjalin sebelumnya. Untuk ruang lingkupnya, akan terdiri dari kerjasama dalam perdagangan barang (Trade in goods), perdagangan jasa (Trade in services), investasi, HKI (Intellectual property), dispute settlement dan lainnya, dimana negosiasi - negosiasi mengenai hal - hal tersebut akan dilakukan secara paralel untuk menjamin hasil yang komprehensif dan proporsional. Dalam perdagangan barang (Trade in Goods) akan dinegosiasikan mengenai eliminasi tarif secara progresif dan juga hambatan - hambatan non tarif (Non-tariff barriers) yang bertujuan untuk membentuk suatu free trade area bagi seluruh negara partisipan RCEP. Dan dalam perdagangan jasa (Trade in Services) akan dibahas mengenai pengurangan restriksi/larangan (restrictions/discriminatory measures) dengan memperhatikan komitmen - komitmen yang telah disepakati pada General Agreement on Trade in Services (GATS) serta pada perjanjian FTA antara anggota - anggota ASEAN dengan para mitra. Untuk bidang investasi, RCEP akan menciptakan sistem yang liberal, kompetitif dan fasilitatif, selain itu juga akan dinegosiasikan hal - hal yang terdapat pada empat pilar (four pillars) yakni promosi, proteksi, fasilitasi dan liberalisasi. 14

15 2.3 Perdagangan Jasa dalam Undang - Undang No. 7 Tahun 2014 Di dalam Undang - Undang No 7 Tahun 2014, terdapat pembahasan mengenai perdagangan jasa, antara lain: Pengertian jasa menurut Pasal 1 ayat 6 adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh suatu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku usaha. Sektor - sektor jasa yang diperdagangkan tertuang pada Pasal 4 ayat 2, antara lain: a) Jasa bisnis; b) Jasa distribusi; c) Jasa komunikasi; d) Jasa pendidikan; e) Jasa lingkungan hidup; f) Jasa keuangan; g) Jasa konstruksi dan teknik terkait; h) Jasa kesehatan dan sosial; i) Jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga; j) Jasa pariwisata; k) Jasa transportasi; dan l) Jasa lainnya. Adapun maksud dicantumkannya istilah jasa lainnya pada huruf (l) di atas terdapat pada halaman penjelasan Undang - Undang No. 7 Tahun 2014 halaman 5, yang bertujuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan perkembangan Perdagangan pada masa depan. 15

16 Dalam Pasal 4 ayat 3 terdapat ketentuan mengenai ruang lingkup perdagangan jasa yang berbunyi: Jasa dapat diperdagangkan baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara. Pada Pasal 20 dibahas mengenai ketentuan Perdagangan Jasa dalam negeri, antara lain: 1) Penyedia Jasa yang bergerak di bidang Perdagangan Jasa wajib didukung tenaga teknis yang kompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 2) Penyedia Jasa yang tidak memiliki tenaga teknis yang kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Tenaga teknis pada Pasal 20 ayat (1) di atas dijelaskan lebih lanjut pada halaman penjelasan Undang - Undang No. 7 Tahun 2014 halaman 9, yang berbunyi: Yang dimaksud dengan tenaga teknis yang kompeten adalah tenaga teknis yang melaksanakan Jasa tertentu diwajibkan memiliki sertifikat sesuai dengan keahliannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk moda perdagangan jasa (mode of supply) dibahas pada bab tentang perdagangan luar negeri, tekhususnya Pasal 39, sebagai berikut: 16

17 Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara dilakukan dengan cara: a. pasokan lintas batas; b. konsumsi di luar negeri; c. keberadaan komersial; atau d. perpindahan manusia. Pengertian - perngertian istilah pada mode of supply di atas juga dijelaskan pada lembar penjelasan Undang - Undang Perdagangan No. 7 Tahun 2014 halaman 12, sebagaimana berikut ini: a. Pasal 39 Huruf a Yang dimaksud dengan pasokan lintas batas (cross border supply) adalah penyediaan Jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah negara lain, seperti pembelian secara online (dalam jaringan) atau call center. b. Huruf b Yang dimaksud dengan konsumsi di luar negeri (consumption abroad) adalah penyediaan Jasa di dalam wilayah suatu negara untuk melayani konsumen dari negara lain, seperti kuliah di luar negeri atau rawat rumah sakit di luar negeri. c. Huruf c Yang dimaksud dengan keberadaan komersial (commercial presence) adalah penyediaan Jasa oleh penyedia Jasa dari suatu negara melalui keberadaan komersial di dalam wilayah negara lain, seperti bank asing yang membuka cabang di Indonesia atau hotel asing yang membuat usaha patungan dengan Pelaku Usaha Indonesia untuk membuka hotel di Indonesia. d. Huruf d Yang dimaksud dengan perpindahan manusia (movement of natural persons) adalah penyediaan Jasa oleh perseorangan warga negara yang masuk ke wilayah negara lain untuk sementara waktu, seperti warga negara 17

18 Indonesia pergi ke negara lain untuk menjadi petugas keamanan, perawat, atau pekerja di bidang konstruksi. Untuk standardisasi perdagangan jasa, juga dibahas pada Pasal 60, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib. 2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. 3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek: a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau e. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal 4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah. 5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18

19 6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha. Adapun untuk penetapan sanksi - sanksi terhadap pelanggaran standardisasi jasa terdapat pada Pasal 63 yang berbunyi: Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan Perdagangan Jasa. Dengan tambahan penjelasan bahwa pengaturan standardisasi perdagangan jasa terdapat pada Pasal 64 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pemberlakuan Standardisasi Barang dan/atau Standardisasi Jasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Hukuman pidana untuk pelanggaran jasa diatur pada Pasal 114, sebagai berikut: Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). 19

20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari WTO yakni dokumen Schedule of Commitment negara negara yang tergabung dalam kerjasama Regional Comprehensive Economic Partnership yaitu ASEAN dengan beberapa mitra seperti China, Korea, Jepang, Australia, Selandia Baru dan India. Selain itu, data dari International Telecomunication Union (ITU) mengenai penggunaan internet, penggunaan telepon tetap dan penggunaan telepon selular pada Tahun 2000, 2006, dan Dokumen Schedule of Commitment sebut secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.1 Daftar Dokumen Komitmen Negara RCEP di GATS No Negara Dokumen 1 Australia GATS/SC/6 2 Brunei Darussalam GATS/SC/95 3 China GATS/SC/19 4 Filipina GATS/SC/70 5 India GATS/SC/42 6 Indonesia GATS/SC/43 7 Japan GATS/SC/46 8 Kamboja GATS/SC/140 9 Korea GATS/SC/48 10 Laos GATS/SC/ Malaysia GATS/SC/52 12 Myanmar GATS/SC/59 13 Selandia Baru GATS/SC/62 14 Singapura GATS/SC/76 15 Thailand GATS/SC/85 16 Vietnam GATS/SC/142 Sumber : WTO,

21 3.2 Indeksasi Schedule of Commitment (SOC) Dalam mengkaji posisi runding jasa Information and Communication Technology (ICT) Indonesia di forum RCEP, maka beberapa metode dapat dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Metode-metode tersebut adalah Indeksasi Schedule of Commitment (SOC) untuk mengetahui kualitas komitmen yang tercermin dalam Schedule of Commitment (SOC), Deskriptif analisis untuk mengetahui alur proses pengkajian dan Analisis Kinerja jasa ICT negara-negara RCEP untuk mengetahui bagaimana daya saing masing-masing negara. Dalam tulisannya, Ishido (2012) menyatakan bahwa indeksasi terhadap komitmen suatu negara dalam GATS adalah hal yang baru. Hal ini karena sifat perdagangan jasa yang dahulunya dianggap sebagai non tradable dan juga karena modalitas perdagangan jasa yang sangat berbeda antar sub sektornya. Selain itu dalam pengukurannya, kualitas literatur mengenai metodenya sangat terbatas. Dari berbagai kendala tersebut, OECD pada Tahun 2003 memperkenalkan suatu perhitungan komitmen perdagangan jasa dengan suatu wawancara mendalam dengan para ahli bisnis yang relevan. Selanjutnya, Ochiai, Dee dan Findlay (2007) dan Dee (2009) juga membuat evaluasi subjektif dari perdagangan jasa dengan menggunakan metode yang sama dalam melakukan pembatasan. Jauh sebelumnya, Hoekman pada Tahun 1995 mengusulkan suatu indeksasi obyektif untuk mengukur komitmen jasa negara-negara WTO dengan berdasar pada GATS. Metode ini memberikan nilai untuk masing-masing 8 sel (4 mode dan 2 akses pasar (MA) atau Perlakuan Nasional (NT) -), sebagai berikut: N = 1, L = 0,5, U = 0; kemudian menghitung nilai rata-rata sektor jasa dan negara. 21

22 3.3 Kinerja ICT negara-negara RCEP Dari hasil pengamatan maka diperoleh kinerja industri telekomunikasi Indonesia dibandingkan dengan negara RCEP lainnya dalam hal penggunaan internet, penggunaan telepon tetap dan penggunaan telepon selular. Dengan di ketahuinya kinerja industri ini, maka Sumber : International Telecomunication Union, 2013 Grafik 3.1 Perbandingan Persentase Individu dalam Menggunakan Internet di Negara Negara RCEP Dari grafik diperoleh informasi bahwa negara-negara mitra ASEAN relatif lebih maju dalam penggunaan internet, hanya Singapura dan Malaysia saja yang dapat disejajarkan. Sedangkan penggunaan internet di Indonesia masih relatif rendah. Secara pertumbuhan, pengguna internet di Indonesia terus tumbuh dari Tahun ke Tahun namun pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan China, Filipina dan Vietnam. 22

23 Grafik 3.1 Perbandingan Pengguna Telepon Tetap Per 100 Penduduk di Negara - Negara RCEP Sumber : International Telecomunication Union, 2013 Untuk penggunaan telepon tetap, terjadi tren penurunan penggunaan telepon tetap secara global. Namun untuk Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya penggunaan telepon tetap masih tumbuh. 23

24 Grafik 2.3 Perbandingan Pengguna Telepon Seluler per 100 Penduduk di Negara - Negara RCEP Sumber : International Telecomunication Union, 2013 Kondisi sebaliknya terjadi dalam hal penggunaan telepon selular, dimana statistik menunjukkan bahwa penggunaanya terus tumbuh dengan pesat termasuk di Indonesia. 24

25 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia di AFAS Paket 8 Kerjasama AFAS Paket 8 yang diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 telah memberikan peluang serta tantangan bagi Indonesia di subsektor jasa telepon seluler. Beberapa negara pada kerjasama ini telah memberikan komitmen dengan tingkat yang berbeda-beda dan ada juga yang masih belum memberikan komitmen. Adapun komitmen setiap negara pada Schedule of Commitment (SOC) AFAS Paket 8 di subsektor jasa telepon seluler adalah sebagai berikut Kolom Pembatasan Akses Pasar SOC AFAS Paket 8 di Subsektor Jasa Telepon Seluler Pada subsektor jasa telepon seluler, Indonesia, Laos dan Thailand belum secara eksplisit menyebutkan bahwa subsektor jasa telepon seluler ini dikomitmenkan. Negara-negara yang telah membuka sektor jasa ini dengan tingkat komitmen tertinggi yaitu none (full commitment) di kolom pembatasan akses pasar adalah Brunei Darussalam dan Kamboja. Negara-negara lainnya seperti Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Vietnam telah secara eksplisit menyebutkan sektor jasa ini pada SOC-nya namun masih diberikan pembatasan. Adapun komitmen negaranegara ASEAN di Kolom Pembatasan Akses Pasar subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 25

26 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Gambar Komitmen Negara-negara ASEAN di Mode 3 Kolom Pembatasan Akses Pasar Subsektor Jasa Telepon Seluler Pada AFAS Paket 8 Gambar tersebut menunjukkan indeks hoekman 1 (none commitment) pada negara-negara yang telah membuka subsektor jasa telepon seluler, indeks hoekman (unbound) pada negara-negara yang masih menutup sektor jasanya dan 0,5 (limitation) pada negara-negara yang membuka sektor jasanya dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang berlaku di negaranya masingmasing. Adapan persyaratan-persyaratan di Mode 3 kolom pembatasan akses pasar yang diberikan oleh negara-negara dengan indeks hoekman 0,5 yaitu sebagai berikut: 1. Malaysia: Pembatasan yang di berikan malaysia khususnya pada Mode 3 (commercial presence) yaitu kepemilikan modal asing maksimum sebesar 70 persen. Hal ini memungkinkan penyedia jasa telepon seluler di negara-negara ASEAN untuk memiliki saham mayoritas di negara ini; 2. Myanmar: pembatasan yang diberikan Myanmar yaitu negara dapat bekerjasama dengan negara dalam bentuk joint venture dan perorangan lainnya atau organisasi ekonomi dengan kepemilikan modal asing maksimum sebesar 35 persen; 3. Filipina: maksimum kepemilikan modal asing sebesar 40 persen; 26

27 4. Singapura: Total kepemilikan modal asing yang diperbolehkan sebesar persen yang terdiri dari investasi langsung sebesar 49 persen dan investasi tidak langsung sebesar persen; 5. Vietnam: Pada tahun 2007 penyedia jasa telepon seluler dapat melakukan joint-venture dengan penyedia lokal dan kepemilikan modal asingnya tidak lebih dari 51 persen. Pada tahun 2010 joint venture diperbolehkan tanpa pembatasan pada mitra yang dipilih dengan kemilikan modal asing masksimum sebesar 65 persen. Pada jasa yang berbasis pada fasilitas, joint venture juga diijinkan dengan kontribusi modal asing maksimum sebesar 49 persen dan batas modal asing untuk kontrol manajemen sebesar 51 persen Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional SOC AFAS Paket 8 Di kolom pembatasan perlakuan nasional subsektor jasa telepon seluler AFAS Paket 8, beberapa negara telah memberikan komitmen tertinggi. Negara-negara tersebut yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Adapun negara-negara yang belum memberikan komitmen yaitu Indonesia, Laos, Myanmar, dan Thailand. Hanya Filipina pada kerjasama ini yang memberikan komitmen dengan pembatasan (limitation commitment). Pembatasan yang diberikan Filipina tersebut yaitu jumlah orang bukan Filipina yang mengisi jabatan dewan direktur perusahaan harus proporsional dengan agregat kepemilikan modal asing pada perusahaannya. Adapun komitmen negara-negara ASEAN di Kolom Pembatasan perlakuan nasional subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 27

28 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Gambar Komitmen Negara - Negara ASEAN di Mode 3 Pembatasan Perlakuan Nasional Jasa Telepon Seluler AFAS 8 Sumber: ASEAN Secretariat, Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia di AANZFTA Kerjasama ASEAN Australia - New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) ditandatangani pada tanggal 27 Februari 2009 di Cha-am, Phetchaburi, Thailand dan diratifikasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun Perjanjian Perdagangan jasa di AANZFTA diatur pada Chapter 8 dan Schedule of Commitment-nya pada Annex 3 dan Annex 4 (Schedule of Movement of Natural Person Commitment). Salah satu subsektor penting yang diperjanjian pada kerjsama ini adalah jasa telepon seluler. Adapun komimten setiap negara pada kerjasama AANZFTA adalah sebagai berikut Kolom Pembatasan Akses Pasar SOC AANZFTA Pada kolom pembatasan akses pasar jasa telepon seluler di AANZFTA, satu-satunya negara ASEAN yang memberikan komitmen penuh yaitu Kamboja, sedangkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura membuka sektor jasanya dengan persyaratan-persyaratan. Adapun Laos, Myanmar dan Thailand belum meberikan komitmen pada jasa telepon seluler ini. Negara-negara mitra kerjasama ASEAN seperti Australia dan Selandia Baru telah memberikan komitmen tertinggi pada kolom pembatasan akses pasar di kerjasama ini. Adapun komitmen setiap negara pada kerjasama 28

29 AANZFTA di Kolom Pembatasan Akses Pasar subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Australia Selandia Baru Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Pembatasan Akses Pasar Jasa Telepon Seluler pada AANZFTA Sumber: ASEAN Secretariat, 2014 Adapun pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh beberapa negara ASEAN adalah sebagai berikut: 1. Brunei: Mengacu pada regulasi tentang perusahaan. Perusahan telepon seluler yang menggunakan teknologi AMPS dan GSM secara eksklusif disediakan oleh DSTCom; 2. Indonesia: Perusahaan asing harus melakukan joint venture dengan perusahaan lokal dengan maksimum kepemilikan modal asing sebesar 35 persen; 3. Malaysia: Perusahaan asing harus melakukan joint venture dengan penyedia jasa di Malaysia atau hanya melalui akuisisi pada saham yang sudah ada dengan kepemilikan modal asing masksimum sebesar 49 persen; 4. Filipina: Kepemilikan modal asing maksimum sebesar 40 persen. 29

30 4.2.2 Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional SOC AANZFTA di Jasa Telepon Seluler Sebagian besar negara-negara yang tergabung pada kerjasama AANZFTA telah memberikan komitmen penuh pada kolom pembatasan perlakuan nasional jasa telekomunikasi di kerjasama AANZFTA. Negara-negara tersebut yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia dan Selandia Baru. Adapun Laos, Myanmar, dan Thailand belum memberikan komitmen pada jasa telepon seluler ini. Hanya Filipina yang membuka subsektor jasa ini dengan pembatasan. Pembatasan yang diberikan Filipina ini yaitu penyedia jasa telepon seluler yang akan masuk pasar Filipina harus mengikuti persyaratan dan kondisi: a). Jumlah penduduk non Filipina dalam dewan direktur perusahaan harus perusahaan harus proporsional mengikuti agregat kepemilikan modal asing; b). Semua eksekutif dan manajer harus berkewarganegaraan Filipina. Adapun komitmen negara-negara di Kolom Pembatasan perlakuan nasional subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama AANZFTA disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Australia Selandia Baru Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Jasa Telepon Seluler pada AANZFTA Sumber: ASEAN Secretariat,

31 4.3. Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia di ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) Kolom Pembatasan Akses Pasar SOC AKFTA Negara-negara yang telah memberikan komitmen penuh pada kolom pembatasan akses pasar kerjasama AKFTA ini adalah Kamboja, Tailand dan Vietnam. Korea Selatan sebagai mitra kerjasama ASEAN pada kerjasama ini belum memberikan komitmen penuh di akses pasarnya. Kebanyakan negara-negara ASEAN lainnya seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura telah membuka sektor jasa ini tetapi masih diberikan pembatasan. Laos dan Myanmar masih menutup akses pasar sektor jasa ini di kerjasama AKFTA. Komitmen setiap negara pada kerjasama AKFTA di Kolom Pembatasan Akses Pasar subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Korea Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Kolom Pembatasan Akses Pasar Jasa Telepon Seluler Kerjasama AKFTA Sumber: ASEAN Secretariat, 2014 Pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh negara-negara yang membuka akses pasarnya dengan pembatasan yaitu: 1. Brunei: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA; 2. Indonesia: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA tetapi jumlah kepemilikan modal asing yang diberikan meningkat menjadi 40 persen; 31

32 3. Malaysia: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA; 4. Filipina: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA; 5. Singapura: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA; 6. Korea Selatan: kepemilikan modal asing dibatasi maksimum 49 persen Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional SOC AKFTA Seperti halnya pada kolom pembatasan akses pasar, Laos dan Myanmar juga belum memberikan komitmennya di kolom pembatasan perlakuan Nasiona. Adapun Filipina telah memberikan komitmen dikolom ini namun masih diberikan pembatasan. Negara-negara lainnya termasuk Indonesia telah memberikan komitmen penuh di kolom pembatasan perlakuan nasional sektor jasa ini. Komitmen negara-negara di kolom pembatasan perlakuan nasional subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama AKFTA disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Korea Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Jasa Telepon Seluler Kerjasama AKFTA Sumber: ASEAN Secretariat, Posisi Jasa Telepon Seluler Indonesia di ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) Kolom Pembatasan Akses Pasar SOC ACFTA Pada kerjasama ACFTA ini hanya 2 (dua) negara yang membuka penuh akses pasarnya, negara-negara tersebut yaitu Kamboja dan Vietnam. Adapun negara yang membuka akses 32

33 pasarnya dengan pembatasan yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Singapura dan China. Negaranegara ASEAN lainnya termasuk Indonesia masih menutup sektor jasa ini. Komitmen setiap negara pada kerjasama ACFTA di Kolom Pembatasan Akses Pasar subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam China Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Kolom Pembatasan Akses Pasar Jasa Telepon Seluler Kerjasama ACFTA Sumber: ASEAN Secretariat, 2014 Pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh negara-negara yang membuka akses pasarnya dengan pembatasan yaitu: 1. Brunei: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA dan AKFTA; 2. Filipina: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA dan AKFTA; 3. Singapura: sama dengan pembatasan yang diberikan pada kerjasama AANZFTA dan AKFTA; 4. China: joint venture dengan kepemilikan modal asing dibatasi maksimum 49 persen. 33

34 Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional SOC ACFTA Terdapat 5 (lima) negara yang telah menghilangkan pembatasan pada kolom perlakuan nasional, negara-negara tersebut yaitu Brunei Darrussalam, Kamboja, Singapura, Vietnam dan China. Hanya Filipina yang memberikan komitmen dengan pembatasan sedang negara-negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia belum memberikan komitmen di kolom ini. Komitmen setiap negara pada kerjasama ACFTA di Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional subsektor jasa telepon seluler disajikan pada Gambar sebagai berikut. 1 Indeks Hoekman 0,5 0 Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam China Gambar Komitmen Negara - Negara di Mode 3 Kolom Pembatasan Perlakuan Nasional Jasa Telepon Seluler Kerjasama ACFTA Sumber: ASEAN Secretariat, Perbandingan antara Komitmen dengan Regulasi Domestik Indonesia Untuk jasa telepon seluler, Indonesia telah membuka sektor jasa ini melalui regulasi domestiknya dalam hal ini yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal atau lebih dikenal dengan daftar negatif investasi (DNI). Hal ini berarti bahwa penyedia jasa asing dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa melalui perjanjian internasional atau secara unilateral. Jika dibandingkan dengan hasil perjanjian liberalisasi perdagangan baik di tingkat ASEAN maupun ASEAN+1, regulasi domestik Indonesia (DNI) telah lebih liberal dari pada komitmen Indonesia di kerjasama tersebut. Hal ini berarti bahwa komitmen Indonesia di 34

35 perjanjian kerjasama tersebut tidak bertentangan dengan peraturan domestik Indonesia. Adapun perbandingan antara regulasi domestik Indonesia dengan komitmennya di ASEAN dan ASEAN+1 disajikan pada Tabel 4.5 sebagai berikut. Tabel 4.5 Perbandingan antara Regulasi Domestik Indonesia dengan Komitmen pada ASEAN dan ASEAN+1 No Daftar Negatif Investasi Indonesia 1. Penyedia jaringan telekomunikasi: - Penyedia jaringan tetap - Penyedia jaringan seluler 2. Penyedia jasa telekomunikasi: - Jasa konten (ring tone, premium sms, etc) - Call center dan jasa penambahan nilai telepon lainnya - Jasa internet di telepon untuk keperluan publik - Jasa internet terkoneksi (NAP), jasa multimedia lainnya 3. Penyedia Jasa jaringan telekomunikasi yang terintegrasi jasa telekomunikasi Modal Asing 65% Komitmen Indonesia di AFAS dan ASEAN+1 49% AFAS 8: Internet Access Services; 65% AANZFTA: Internet Access Services, Mobile Cellular Telephone Services (CPC 75213) AKFTA: Mobile Cellular Telephone (CPC 75213) Sumber: Republik Indonesia, 2014 dan ASEAN Secretariat, 2014 Modal Asing 49% 35% 40% 4.6 Potensi Pasar Jasa Telepon Seluler Negara-negara RCEP Jumlah Telepon Seluler di Setiap Negara Negara dengan penggunaan telepon seluler tertinggi di RCEP adalah China dengan jumlah pengguna telepon seluler mencapai juta pada tahun 2012 kemudian India di urutan kedua dengan jumlah pengguna sebesar 864,7 juta pada tahun yang sama dan Indonesia di urutan ke 35

36 tiga dengan jumlah pengguna sebesar 282 juta. Adapun negara dengan penggunaan telepon seluler terendah pada tahun 2012 adalah Brunei Darussala yaitu sebesar 500 ribu orang kemudian Laos sebesar 4,3 juta dan Selandia Baru sebesar 4,9 juta. Pengguna telepon seluler ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk masing-masing negara RCEP. Jumlah pengguna telepon seluler pada setiap negara RCEP disajikan pada Gambar sebagai berikut , ,0 800,0 dalam juta orang 600,0 400,0 200,0 - China India Indones ia Japan Viet Nam Philippi nes Thailan d Korea (Rep.) 36 Malaysi a Australi a Cambo dia Singapo re Myanm ar New Zealand ,0 33,7 18,5 86,7 2,7 22,5 21,6 33,6 11,1 14,3 0,5 3,6 0,1 2,6 0,1 0, ,2 346,9 140,6 110,4 74,9 68,1 61,8 45,6 27,7 22,1 4,2 6,4 0,4 4,6 2,0 0, ,7 282,0 141,1 134,1 103,0 85,0 53,6 41,3 24,3 19,1 8,1 5,4 4,9 4,3 0,5 Gambar Jumlah Pengguna Telepon Seluler di Negara - Negara RCEP Sumber: International Telecommunication Union (ITU), 2012 Lao P.D.R. Brunei Darussa lam Dari Gambar dapat lihat tren peningkatan yang signifikan setiap 5 tahun yaitu tahun dan dari tahun Adapun negara dengan tingkat peningkatan pengguna telepon seluler dalam 5 (lima) tahun terakhir ( ) yaitu Myanmar dengan peningkatan sebesar 93,25 persen kemudian Kamboja (77,82 persen) dan India (59,88) persen. Tingginya pertumbuhan jumlah pengguna telpon seluler di negara-negara ini menunjukkan potensi pasar yang cukup besar. Posisi Indonesia yaitu berada di urutan ke 5 (lima) dengan pertumbuhan sebesar 50,14 persen. Adapun 3 (tiga) negara RCEP non-asean menempati urutan terendah dalam hal pertumbuhan jumlah pengguna telepon seluler dalam 5 (lima) tahun terakhir ( ). Negara-negara tersebut yaitu Selandia baru sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan

37 telepon seluler terendah (6,14 persen) kemudian Australia di urutan terendah kedua dengan pertumbuhan sebesar 9,11 persen dan Korea Selatan diurutan terendah ketiga dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14,95 persen. Rendahnya pertumbuhan pengguna telepon seluler di ketiga negara tersebut menunjukkan bahwa pasar jasa telepon seluler di negara tersebut semakin jenuh. Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa permintaan jasa telepon seluler di ketiga negara tersebut akan semakin kecil. Adapun pertumbuhan jumlah pengguna jasa telepon seluler di negara-negara RCEP disajikan pada Tabel sebagai berikut. Tabel Pertumbuhan Jumlah Pengguna Telpon Seluler di Negara - Negara RCEP Negara-negara RECP Pertumbuhan dalam % 2003 / / 2012 Myanmar 452,3 93,25 Cambodia 750,1 77,82 India 929,7 59,88 Lao P.D.R. 1701,1 52,97 Indonesia 660,1 50,14 Viet Nam 2630,6 44,15 China 137,5 42,34 Philippines 202,6 33,87 Malaysia 149,1 32,94 Thailand 186,1 27,26 Japan 27,4 21,78 Singapore 79,3 20,49 Brunei Darussalam 124,9 15,09 Korea (Rep.) 35,8 14,95 Australia 54,2 9,11 New Zealand 77,8 6,14 Sumber: International Telecommunication Union (ITU), 2012 Jika dilihat dari jumlah telepon seluler per 100 orang di negara-negara RCEP, negara tertinggi yaitu Singapura yaitu sebanyak 152,13 telepon seluler per 100 orang yang berarti bahwa sebanyak setengah dari penduduk Singapura memiliki telepon seluler sebanyak 2 (dua) buah, negara di urutan kedua yaitu Vietnam sebesar 147,66 telepon seluler per 100 orang dan Malaysia di urutan ketiga sebesar telepon seluler per 100 orang. Indonesia berada di urutan keenam di bawah Thailand (127,29 telepon seluler) dalam hal jumlah telepon seluler per

38 orang yaitu sebanyak 114,22 telepon seluler. Adapun negara terendah yaitu Myanmar dengan jumlah telepon seluler per 100 orang yaitu sebanyak 10,33 yang berarti bahwa hanya sekitar 10 persen penduduk Myanmar yang menggunakan jasa telepon seluler, hal ini berati bahwa Myanmar merupakan pasar jasa telepon seluler. Jumlah telepon seluler per 100 orang di negaranegara RCEP non-asean yaitu Jepang sebanyak 110,91 telepon seluler kemudian Selandia Baru (110,36 telepon seluler), Korea Selatan (109,43 telepon seluler), Australia (105,59 telepon seluler), China (80,76 telepon seluler), India (69,92 telepon seluler). Jumlah telepon seluler per 100 orang penduduk ditunjukkan pada Gambar sebagai berikut. 160,00 140,00 120,00 per 100 Penduduk 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 Singapo re Viet Nam Malaysi a Cambo dia Thailan d Indones ia Brunei Darussa lam Japan New Zealand Korea (Rep.) Philippi nes Australi a China India Lao P.D.R ,07 3,29 44,69 3,85 33,52 8,48 50,15 68,49 64,64 72,10 27,25 71,90 20,72 3,08 2,00 0, ,30 85,70 101,50 30,39 93,43 60,01 102,79 86,71 107,99 95,28 75,37 102,19 47,76 29,53 32,94 0, ,13 147,66 141,33 128,53 127,29 114,22 113,95 110,91 110,36 109,43 106,51 105,59 80,76 69,92 64,70 10,30 Gambar Jumlah Telepon Seluler per 100 Orang di Negara - Negara RCEP Sumber: International Telecommunication Union (ITU), 2012 Myanm ar 38

39 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan Dari beberapa hal yang dibahas dalam kajian ini seperti posisi komitmen Indonesia di subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama ASEAN dan ASEAN+1, perbandingan antara komitmen-komitmen yang diberikan dengan regulasi domestik Indonesia di subsektor jasa telepon seluler, dan kondisi pasar telepon seluler, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Posisi Komitmen Indonesia di Sektor Jasa Telepon Seluler Pada Kerjasama ASEAN dan ASEAN Indonesia hanya membuka subsektor jasa telepon selulernya pada kerjasama AANZFTA dan AKFTA sedangkan pada kerjasama AFAS Paket 8 dan ACFTA Indonesia belum memberikan komitmen apapun di kolom akses pasar pada sektor ini; 2. Pembatasan yang diberikan Indonesia pada kolom pembatasan Akses Pasar pada kerjasama AANZFTA dan AKFTA yaitu persyaratan joint-venture dengan kepemilikan modal asing maksimum sebesar 35 persen di AANZFTA dan 40 persen di AKFTA; 3. Kamboja merupakan negara ASEAN yang membuka sektor jasa ritelnya secara penuh pada kerjasama ASEAN dan ASEAN+1 (AANZFTA, AKFTA dan ACFTA); 4. Pada kolom perlakuan nasional, sebagian negara-negara ASEAN dan mitra kerjasamanya telah memberikan komitmen penuh; 39

40 5.1.2 Perbandingan Antara Komitmen-Komitmen yang Diberikan dengan Regulasi Domestik Indonesia di Subsektor Jasa Telepon Seluler. 1. Komitmen Indonesia di subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama ASEAN dan ASEAN+1 lebih rendah dari regulasi domestik Indonesia; 2. Komitmen Indonesia di di subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama ASEAN dan ASEAN+1 tidak bertentangan dengan regulasi domestik Indonesia Kondisi Pasar Telepon Seluler di ASEAN dan Negara-negara Mitra Kerjasamanya. 1. Indonesia termasuk 3 negara dengan penggunaan telepon seluler tertinggi di antara negara-negara RCEP, negara-negara lainnya yaitu China dan India. Adapun negara dengan pernggunaan terendah yaitu Brunei Darussalam, Laos dan Selandia Baru; 2. Negara dengan tingkat pertumbuhan telepon seluler tertinggi pada periode yaitu Myanmar, Kamboja dan India sedangkan negara dengan pertumbuhan terendah yaitu Selandia Baru, Australia dan Korea Selatan. Adapun Indonesia berada di posisi ke lima di bawah Laos; 3. Jika dilihat dari jumlah pengguna telepon seluler per 100 orang, negara dengan jumlah telepon seluler tertinggi yaitu Singapura kemudian Vietnam dan Malaysia sedangkan yang terendah yaitu Myanmar Laos dan India. 40

41 5.2 Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan yaitu terkait dengan posisi komitmen Indonesia di subsektor jasa telepon seluler pada kerjasama RCEP serta potensi pasar di negaranegara RCEP yaitu sebagai berikut: 1. Melihat komitmen tertinggi yang diberikan Indonesia yaitu pada kerjasama AKFTA kemudian AANZFTA serta tingginya komitmen Australia dan Selandia Baru dalam membuka sektor jasanya serta masih rendahnya komitmen China, maka negosiator pada perundingan RCEP ini dapat menentukan batas maksimum posisi yang akan diberikan pada perundingan RCEP yaitu sama dengan komitmen yang diberikan pada kerjasama AKFTA; 2. Oleh karena regulasi domestik Indonesia telah lebih terbuka dari komitmen Indonesia pada kerjasama ASEAN dan ASEAN+1 maka potensi negara-negara RCEP memanfaatkan pasar jasa telepon seluler Indonesia secara unilateral cukup besar untuk itu dibutuhkan kesiapan penyedia jasa lokal dalam menghadapi persaingan; 3. Negara-negara yang memiliki potensi pasar cukup tinggi yaitu Myanmar, Laos dan India sehingga Indonesia dapat memfokuskan request dalam peningkatan komitmen ke negara-negara tersebut. 41

Analisis Pengembangan Ekspor Jasa Ritel Dalam ASEAN Framework Agreement in Services/AFAS (Suatu Upaya Pemanfaatan Peluang) Oleh Muhammad Fawaiq

Analisis Pengembangan Ekspor Jasa Ritel Dalam ASEAN Framework Agreement in Services/AFAS (Suatu Upaya Pemanfaatan Peluang) Oleh Muhammad Fawaiq Analisis Pengembangan Ekspor Jasa Ritel Dalam ASEAN Framework Agreement in Services/AFAS (Suatu Upaya Pemanfaatan Peluang) Oleh Muhammad Fawaiq Outline 1. Latar Belakang 2. Jasa dalam UU Perdagangan dan

Lebih terperinci

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013 KESEMPATAN KERJA MENGHADAPI LIBERALISASI PERDAGANGAN Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Jakarta, 5 Juli 2013 1 MATERI PEMAPARAN Sekilas mengenai Liberalisasi Perdagangan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015 J.S. George Lantu Direktur Kerjasama Fungsional ASEAN/ Plt. Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Jakarta, 20 September 2016 KOMUNITAS ASEAN 2025 Masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS POSISI PERDAGANGAN JASA INDONESIA PADA PERUNDINGAN ACFTA

LAPORAN AKHIR ANALISIS POSISI PERDAGANGAN JASA INDONESIA PADA PERUNDINGAN ACFTA LAPORAN AKHIR ANALISIS POSISI PERDAGANGAN JASA INDONESIA PADA PERUNDINGAN ACFTA PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGANKEMENTERIAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pergerakan globalisasi perekonomian yang dewasa ini bergerak begitu cepat diiringi dengan derasnya arus globalisasi yang semakin berkembang maka hal ini

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008 BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Jl. BungaAsoka Gg. AndalasNo. 1 AsamKumbang, Medan Cellphone : 0813 62260213, 77729765 E-mail

Lebih terperinci

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama)

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama) PERSETUJUAN ASEAN-KOREA MENGENAI PERDAGANGAN JASA LAMPIRAN/SC1 REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS Komitmen Jadwal Spesifik (Untuk Paket Komitmen Pertama) pkumham.go 1 LAOS- Jadwal Komitmen Spesifik Moda

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1612, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Tarif. Bea Masuk. Impor. AANZFTA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 208/PMK.011/2013 TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dalam era globalisasi sekarang ini, perekonomian internasional merupakan salah satu pilar utama dalam proses pembangunan dunia yang lebih maju. Organisasi-organisasi

Lebih terperinci

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia 1. ASEAN ( Association of South East Asian Nation Nation) ASEAN adalah organisasi yang bertujuan mengukuhkan kerjasama regional negara-negara di Asia

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI Jakarta, 15 Mei 2013 AGENDA Perkembangan Profesi Akuntansi AEC 2015 2 Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007 (Business&Economic Review Advisor, 2007), saat ini sedang terjadi transisi dalam sistem perdagangan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BRUNEI DARUSSALAM. Jadwal dari Komitmen Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama)

BRUNEI DARUSSALAM. Jadwal dari Komitmen Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama) PERSETUJUAN ASEAN-KOREA MENGENAI PERDAGANGAN JASA ANNEX/SC1 BRUNEI DARUSSALAM Jadwal dari Komitmen Spesifik (Untuk Paket Komitmen Pertama) pkumham.go 1 I. KOMITMEN HORISONTAL SEMUA SEKTOR TERMASUK DALAM

Lebih terperinci

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini CAPAIAN MEA 2015 Barang Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini Tariff 0% untuk hampir semua produk kecuali MINOL, Beras dan Gula ROO / NTMs Trade & Customs Law/Rule National Trade Repository (NTR)/ATR Fokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modal manusia berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka modal manusia merupakan faktor

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016, yang merupakan sebuah integrasi ekonomi yang didasarkan pada kepentingan bersama

Lebih terperinci

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS Pengaruh Globalisasi Terhadap Perekonomian ASEAN Globalisasi memberikan tantangan tersendiri atas diletakkannya ekonomi (economy community) sebagai salah satu pilar berdirinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Di era globalisasi perdagangan diseluruh dunia, dimana siklus perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Di era globalisasi perdagangan diseluruh dunia, dimana siklus perdagangan BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Di era globalisasi perdagangan diseluruh dunia, dimana siklus perdagangan dapat dengan bebas bergerak ke setiap Negara di penjuru dunia. yang secara langsung berpengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teh ditemukan sekitar tahun 2700 SM di Cina. Seiring berjalannya waktu, teh saat ini telah ditanam di berbagai negara, dengan variasi rasa dan aroma yang beragam. Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3 4.1.1 Produk Domestik Bruto (PDB) Selama kurun waktu tahun 2001-2010, PDB negara-negara ASEAN+3 terus menunjukkan tren yang meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 2011

RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 2011 RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 20 DIREKTORAT PERDAGANGAN, INVESTASI DAN KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 20 Perkembangan Ekspor Nilai ekspor

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/201 /PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/201 /PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA FREQUENTLY ASKED QUESTIONS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/201 1 /PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 1. Apa saja pertimbangan diterbikannya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN. 4.1 Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN

BAB IV GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN. 4.1 Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN BAB IV GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 4.1 Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN periode 1980-2009 cenderung fluktuatif (Gambar 4.1). Hal ini disebabkan dominansi pengaruh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

ASEAN CHINA FREE TRADE AREA

ASEAN CHINA FREE TRADE AREA ASEAN CHINA FREE TRADE AREA A. PENDAHULUAN ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih dikenal dengan istilah Plus Three

Lebih terperinci

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 111 Telp: 21-386371/Fax: 21-358711 www.kemendag.go.id Ekspor Nonmigas 21 Mencapai Rekor Tertinggi Jakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, perdagangan internasional merupakan inti dari ekonomi global dan mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan Internasional dilakukan

Lebih terperinci

PELUANG PERDAGANGAN JASA INDONESIA AUSTRALIA. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

PELUANG PERDAGANGAN JASA INDONESIA AUSTRALIA. Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan PELUANG PERDAGANGAN JASA INDONESIA AUSTRALIA Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Solo, 26 Januari 2017 1 SISTEMATIKA 1. Latar Belakang perdagangan jasa Indonesia Australia 2. Peluang ekspor jasa

Lebih terperinci

Isu Strategis Pengelolaan Industri Dalam Perpekstif Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan)

Isu Strategis Pengelolaan Industri Dalam Perpekstif Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan) Isu Strategis Pengelolaan Industri Dalam Perpekstif Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan) Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Februari 2014 Tema Undang-undang Perindustrian Sebagai

Lebih terperinci

Implikasi perdagangan barang dalam ASEAN Free Trade terhadap perdagangan. Intra dan Ekstra ASEAN Tahun Dono Asmoro ( )

Implikasi perdagangan barang dalam ASEAN Free Trade terhadap perdagangan. Intra dan Ekstra ASEAN Tahun Dono Asmoro ( ) Implikasi perdagangan barang dalam ASEAN Free Trade terhadap perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN Tahun 2012 Dono Asmoro (151080089) Penulisan skripsi ini berawal dari ketertarikan penulis akan sejauh mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi mencakup seluruh kehidupan manusia di dunia, terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Budaya bangsa asing perlahan-lahan menghilangkan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Selama beberapa dekade terakhir, pariwisata telah mengalami perkembangan dan perubahan yang membuat pariwisata menjadi salah satu industri tercepat dan terbesar

Lebih terperinci

BAB 3 RELATIVE GAIN DALAM KOMITMEN-KOMITMEN NEGARA- NEGARA ANGGOTA ASEAN (PAKET 1 DAN 2 SKEDUL KOMITMEN AFAS)

BAB 3 RELATIVE GAIN DALAM KOMITMEN-KOMITMEN NEGARA- NEGARA ANGGOTA ASEAN (PAKET 1 DAN 2 SKEDUL KOMITMEN AFAS) 49 BAB 3 RELATIVE GAIN DALAM KOMITMEN-KOMITMEN NEGARA- NEGARA ANGGOTA ASEAN (PAKET 1 DAN 2 SKEDUL KOMITMEN AFAS) Pada Bab 3 ini penulis mulai masuk kedalam pembahasan penyebab lambatnya penetapan Mutual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi

BAB I P E N D A H U L U A N. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional E k o n o m i I n t e r n a s i o n a l 101 Materi Minggu 12 Kerjasama Ekonomi Internasional Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu kerjasama dengan negara lain karena adanya saling

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 Yang Mulia Duta Besar Turki; Yth. Menteri Perdagangan atau yang mewakili;

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKPM. Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Prosedur.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKPM. Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Prosedur. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.507, 2009 BKPM. Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Prosedur. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN, PEMBINAAN,

Lebih terperinci

Naskah diterima: 07 Oktober 2013 Disetujui diterbitkan: 2 Mei 2014

Naskah diterima: 07 Oktober 2013 Disetujui diterbitkan: 2 Mei 2014 PELUANG EKSPOR JASA INDONESIA KE JEPANG MELALUI MODE 3 (COMMERCIAL PRESENCE) DAN MODE 4 (MOVEMENT OF NATURAL PERSONS) PADA KERJASAMA IJEPA Indonesia s Services Export Opportunities to Japan Through Mode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE

BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE 5.1. Aliran Perdagangan dan Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three Sebelum menganalisis kinerja ekspor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI MARET 2014

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI MARET 2014 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI MARET 2014 A. Perkembangan perekonomian dan perdagangan Thailand 1. Selama periode Januari-Maret 2014, neraca perdagangan Thailand dengan

Lebih terperinci

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015 Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015 TRANSFORMASI ASEAN 1976 Bali Concord 1999 Visi ASEAN 2020 2003 Bali Concord II 2007 Piagam

Lebih terperinci

Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus Menguat Menuju Pencapaian Target Ekspor

Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus Menguat Menuju Pencapaian Target Ekspor SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Telp: 021-3860371/Fax: 021-3508711 www.kemendag.go.id Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 4.1 Gambaran Umum Kesenjangan Tabungan dan Investasi Domestik Negara ASEAN 5+3 Hubungan antara tabungan dan investasi domestik merupakan indikator penting serta memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang CAFTA merupakan perjanjian area perdagangan bebas antara China dan ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan perdagangan barang tarif maupun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JULI 2014 A. Perkembangan perekonomian dan perdagangan Thailand 1. Selama periode Januari-Juli 2014, neraca perdagangan Thailand dengan Dunia

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Yose Rizal Damuri

Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Yose Rizal Damuri Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Meninjau Ulang Pentingnya Perjanjian Perdagangan Bebas Bagi Indonesia Yose Rizal Damuri Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari Aktivitas Kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang konstruksi berperan membangun struktur dan infra struktur di suatu negara. Infrastruktur yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL BALIKPAPAN, 19 JUNI 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL BALIKPAPAN, 19 JUNI 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL BALIKPAPAN, 19 JUNI 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

MEMANFAATKAN KERJASAMA PARIWISATA ASEAN UNTUK MENDORONG INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA

MEMANFAATKAN KERJASAMA PARIWISATA ASEAN UNTUK MENDORONG INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA MEMANFAATKAN KERJASAMA PARIWISATA UNTUK MENDORONG INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA Oleh: Suska dan Yuventus Effendi Calon Fungsional Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Pertumbuhan pariwisata yang cukup menggembirakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO AMEND CERTAIN ASEAN ECONOMIC AGREEMENTS RELATED TO TRADE IN GOODS (PROTOKOL UNTUK MENGUBAH PERJANJIAN EKONOMI ASEAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO AMEND CERTAIN ASEAN ECONOMIC AGREEMENTS RELATED TO TRADE IN GOODS (PROTOKOL UNTUK MENGUBAH PERJANJIAN EKONOMI ASEAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA

LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA KOMITE PEREMPUAN IndustriALL Indonesia Council 2014 1 LAPORAN HASIL SURVEY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi institusional regional atau kawasan jika ditelusuri kembali asalnya, mulai berkembang sejak berakhirnya Perang Dingin dimana kondisi dunia yang bipolar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan BAB V KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan intensitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian ditengarai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu pendorong peningkatan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional, melalui kegiatan ekspor impor memberikan keuntungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menutup diri terhadap

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menutup diri terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menutup diri terhadap hubungan kerjasama antar negara. Hal ini disebabkan oleh sumber daya dan faktor produksi Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan www.packindo.org oleh: Ariana Susanti ariana@packindo.org ABAD 21 Dunia mengalami Perubahan Kemacetan terjadi di kota-kota besar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG INVESTASI

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG INVESTASI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG INVESTASI Amalia Adininggar Widyasanti Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerjasama

Lebih terperinci

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar No.347, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand dengan ditandatanganinya deklarasi Bangkok

Lebih terperinci

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PADA HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA DAN TIGA NEGARA (CHINA, INDIA, DAN AUSTRALIA) TERHADAP KINERJA EKSPOR-IMPOR, OUTPUT NASIONAL DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: ANALISIS

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JULI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Laju pertumbuhan Produk domestik bruto (PDB) Saudi Arabia selama kuartal kedua tahun 2015

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 OUTLINE 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 3 PELUANG BONUS DEMOGRAFI Bonus Demografi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci