KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI"

Transkripsi

1 KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI DIAH AYU KARTIKA F2488 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 22

2 A STUDY OF PUSKESMAS CAPABILITY IN TAKING SAMPLE OF FOOD FOR FOOD POISONING OUTBREAKS IN BOGOR REGENCY Diah Ayu Kartika and Muhammad Arpah Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 22 Bogor, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Food poisoning outbreak is one of the food safety issues that must be handled seriously. Most of the cases of food poisoning in Indonesia are not reported yet or they are reported but unknown causes. One attempt to solve the problem is through a good food handling by taking samples of food, tested them in the laboratory, then reported the cause of food poisoning outbreaks to the related agencies, such as puskesmas. The aim of this study is to assess the readiness of puskesmas in handling the outbreak of food poisoning in Bogor district based on the capacity of puskesmas to reduce the food poisoning outbreaks, such as its human resources, tools and available materials as well as types of puskesmas. The method used in this study is the primary data collection which is obtained from direct interview to respondens and guided by questionnaires. In addition, secondary data the number of puskesmas that have experienced food poisoning outbreak in Bogor district is gathered from the Dinas Kesehatan and food poisoning outbreak data is obtained from BPOM RI. Based on the result, 44 % of puskesmas have number human resources around 2 to 3. The tools and materials owned by the puskesmas did not reach %. Type of puskesmas influence the readiness of the puskesmas in handling and taking sample of food poisoning outbreak. Around 39.3 % of non rawatinap type of puskesmas were categorized ready and only 3.4 % of rawatinap type of puskesmas were categorized ready. Keywords: outbreak, food poisoning, food sampling, puskesmas, bogor

3 DIAH AYU KARTIKA. F2488. Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Muhammad Arpah dan AA. Nyoman Merta Negara. 22 RINGKASAN Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional yang terjadi di berbagai negara baik negara berkembang maupun negara maju. Kasus keracunan pangan di Indonesia sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Masalah utamanya adalah sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis karena kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga agen penyebab keracunan tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan. Selain itu, kesalahan yang sering terjadi adalah banyaknya petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkahlangkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor untuk mengurangi kasus KLB keracunan pangan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengumpulan data primer yang diperoleh dari wawancara langsung kepada responden dan dipandu dengan kuesioner. Selain itu, dikumpulkan pula data sekunder berupa data jumlah puskesmas yang pernah mengalami KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari dinas kesehatan dan data KLB keracunan pangan yang diperoleh dari BPOM RI. Kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan dapat dilihat dari kapasitas puskesmas tersebut, baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas, dan jenis puksemas. Berdasarkan peraturan kepala BPOM tahun 29 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, dijelaskan mengenai tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan, seperti alat dan bahan yang digunakan, identifikasi contoh makanan, jumlah contoh makanan yang diambil, memberi label pada setiap contoh makanan yang sudah dikemas, menyimpan contoh makanan dalam boks pendingin, dan mengirimnya ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan petugas puskesmas tentang definisi KLB keracunan pangan masih sangat kurang. Pelatihan tentang tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan merupakan salah satu pendukung yang dibutuhkan karena puskesmas yang pernah mendapat pelatihan hanya sebesar 22 %. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 83 % puskesmas memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan sehingga puskesmas memiliki kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor. Dari data yang diperoleh, 44 % puskesmas memiliki jumlah SDM atau tenaga kerja sebanyak 23 orang. Berdasarkan hasil penelitian ini, alat dan bahan yang banyak digunakan puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan adalah sendok, kantung plasik, label, dan es batu. Selain itu, kelengkapan alat dan bahan yang dimiliki puskesmas tidak mencapai %. Jumlah contoh makanan yang diambil sebanyak 2 g dilakukan oleh % puskesmas. Identifikasi contoh makanan KLB keracunan pangan dilakukan oleh 82.6 % puskesmas. Standard Operation Procedure (SOP)

4 mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dimiliki oleh 52 % puskesmas. Sebesar 78 % puskesmas mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium untuk diuji dan waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirim contoh makanan adalah 3 jam (3.43 % puskesmas). Jenis puskesmas memberikan pengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan. Puskesmas non perawatan (non inap) memiliki kesiapan yang lebih tinggi terhadap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dibandingkan puskesmas perawatan (inap). Sebesar 39.3 % puskesmas non perawatan (non inap) yang termasuk kategori siap, diikuti dengan 26.9 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, 3.4 % puskesmas perawatan (inap) yang termasuk kategori siap, 3.4 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap. Berdasarkan data yang diperoleh, puskesmas yang menangani pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan yang sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 29 adalah %. Akan tetapi, jika dilihat dari tiap langkah yang dilakukan oleh puskesmas menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor siap dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan.

5 KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh DIAH AYU KARTIKA F2488 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 22

6 Judul Skripsi Nama NIM : Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor : Diah Ayu Kartika : F2488 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Dr. Ir. M. Arpah, M.Si) (Drh. AA. Nyoman Merta Negara) NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, ( Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP Tanggal lulus :

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenarbenarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 22 Yang membuat pernyataan Diah Ayu Kartika F2488

8 Hak cipta milik Diah Ayu Kartika, tahun 22 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

9 BIODATA PENULIS Diah Ayu Kartika. Lahir di Pekanbaru, 26 September 99 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan bapak Hersi Topan dan ibu Sutirah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah SD S YPPI Tualang (99622), DMP Padang Panjang (2225), SMA N Tualang (25 28), dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB dari Kabupaten Siak. Penulis diterima sebagai mahasiswi Progam Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi antara lain menjadi pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor pada tahun 292, menjadi bendahara dalam kepengurusan ISTANA MAS, sekretaris pada kepanitiaan Dies Natalis IKPMR tahun 2, anggota divisi Humas pada kepanitiaan PLASMA pada tahun 2, peserta kegiatan turun lapang GO FIELD IPB pada tahun 2, anggota divisi Humas dan Sponsorship pada kepanitiaan LCTIP 8 pada tahun 2, dan anggota divisi konsumsi pada kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen ITP (BAUR) pada tahun 2. Selain itu, penulis juga mengikuti kegiatan lain seperti Pelatihan Good Laboratory Practices (GLP) pada tahun 2 dan Pelatihan Sistem Manajemen Halal pada tahun 22. Pada tahun 22 penulis magang di BPOM RI, Jakarta Pusat untuk menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor.

10 KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Kajian Kapasitas Puskesmas Dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan Di Kabupaten Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:. Bapak, Ibu, Bayu, Raras dan Ririh yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta, dukungan fisik maupun moril kepada penulis. 2. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi selama penulis menjalankan studi dan menyelesaikan tugas akhir. 3. Drs. Halim Nababan, MM selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang di BPOM RI Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 4. Drh. AA. Nyoman Merta Negara selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan tugas akhir. 5. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan kepada penulis. 6. Ibu Ruki, Ibu Kamayanti, Pak Nugroho dan seluruh pegawai BPOM RI, khususnya Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan. 7. Seluruh dosen ITP yang telah memberikan ilmu dan nasihat selama perkuliahan. 8. Mas Muhamad Yulianto atas waktu, bantuan, perhatian, dan dukungannya. 9. Sahabatsabahat seperjuangan tugas akhir di BPOM: Hesty, Anggi, dan Rendy.. Sahabatsahabat di ITP 45: Elva, Riyah, Priska, Fathin, Latifah, mbak Opi, Mutia, Ari, Mustain, Ahmadun, Vitor, Zico, Obit, Mizu dan seluruh keluarga ITP 45 yang dibanggakan dan akan diingat selalu.. Keluarga Wisma Flora yang selalu menemani, menghibur, dan memberi semangat: mbak Epi, mbak Widi, Diza, mbak Ika, mbak Wani, Indi, Mepi, Chika, Kiki, bang Rudi, bang Eja, Firman, Evan, dan Aris. 2. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Bogor, November 22 Penulis x

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv I. PENDAHULUAN.... Latar Belakang....2 Tujuan... 3 II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Lokasi dan Tata Letak BPOM RI Visi dan Misi BPOM RI Visi BPOM Misi BPOM Fungsi BPOM RI Struktur Organisasi BPOM RI Deputi Bidang Pengawasan dan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Tugas Fungsi Tujuan Struktur Organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Tugas Fungsi Struktur Organisasi Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan Tugas Fungsi... 8 III. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keamanan Pangan Keracunan Pangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan KLB Keracunan Pangan di Indonesia Permasalahan dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan... 6 xi

12 3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan KendalaKendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan Puskesmas Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan... 2 IV. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Magang Alat dan Bahan Metode Penelitian... 2 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Puskesmas Sumberdaya Manusia (SDM) di Puskesmas Isi Kuesioner Keterangan Mengenai Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengetahuan Responden tentang Definisi KLB keracunan Pangan Penanganan KLB Keracunan Pangan Tim Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Petugas Pengambil Contoh Makanan Pelatihan tentang Pengambilan Contoh Makanan Alat dan Bahan Jumlah Contoh Makanan yang Diambil Identifikasi Jenis Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan SOP tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan Pengiriman Contoh Makanan ke Laboratorium Rujukan Durasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengiriman Contoh Makanan Ketersediaan Lemari Pendingin Contoh Makanan Prosedur Pengambilan Contoh Makanan Pengaruh Jenis Puskesmas Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengaruh Jumlah SDM Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran... 4 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor tahun Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM Tahun Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor Tabel 6. Profil puskesmas Tabel 7. Hasil puskesmas yang menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan... 3 Tabel. Hasil puskesmas yang memiliki petugas khusus... 3 Tabel. Bidang atau bagian kerja petugas khusus... 3 Tabel 2. Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Tabel 3. Nama pelatihan khusus bagi SDM Tabel 4. Persentase kelengkapan alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas Tabel 5. Jumlah contoh makanan yang diambil Tabel 6. Identifikasi jenis contoh makanan penyebab keracunan pangan Tabel 7. Jumlah puskesmas yang memiliki SOP cara pengambilan contoh makanan Tabel 8. Mengirim contoh makanan ke laboratorium untuk diuji Tabel 9. Data laboratorium rujukan yang digunakan Tabel 2. Data waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirimkan contoh makanan ke laboratorium Tabel 2. Lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan Tabel 22. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jenis puskesmas Tabel 23. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jumlah SDM... 4 xiii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar. Peta Kabupaten Bogor... 9 Gambar 2. Persentase puskesmas berdasarkan jenis Gambar 3. Persentase sebaran SDM puskesmas Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir Gambar 5. Persentase puskesmas yang menggunakan alat dan bahan dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Gambar 6. Pengaruh jenis puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Gambar 7. Pengaruh jumlah SDM puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan... 4 xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran. Struktur organisasi BPOM RI Lampiran 2. Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM RI Lampiran 3. Prosedur pengambilan contoh makanan Lampiran 4. Kuesiner survei kapasitas puskesmas Lampiran 5. Profil puskesmas (lengkap) Lampiran 6. Hasil uraian singkat definisi KLB keracunan pangan menurut petugas Puskesmas Lampiran 7. Susunan Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan di Puskesmas Lampiran 8. Mekanisme pelaksanaan pengambilan contoh makanan di puskesmas Lampiran 9. Data isi kuesioner... 8 xv

16 I. PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah keamanan pangan (food safety) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat selain masalah gizi pangan. Hal ini harus diberi perhatian khusus untuk menghindari adanya efek samping yang ditimbulkan dari kontaminasi, penyalahgunaan bahan pangan, hingga keracunan pangan. Salah satu masalah utama yang menarik dari keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2) adalah kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Gaman dan Sherington (996) mengatakan bahwa keracunan pangan adalah gejala yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi bakteri atau mikroorganisme. Pada rantai pangan dari hulu ke hilir membutuhkan pengawasan yang sangat kompleks dan melibatkan banyak lembaga terkait untuk ikut serta menentukan keamanan pangan. Hal ini menyebabkan sulitnya menciptakan keamanan pangan yang memadai. Beberapa subsistem rantai pangan ditangani oleh beberapa lembaga (overlapping) tetapi ada beberapa subsistem yang ditangani secara samar atau bahkan belum ditangani oleh satu lembaga, misalnya pengawasan keamanan pangan segar (Sparringa, 22). Makanan yang sudah tercemar biasanya secara visual tidak terlihat membahayakan, akan tetapi memiliki penampakan yang normal serta tidak menunjukkan tanda kerusakan baik dari segi rasa, warna, dan aroma. Oleh karena itu, masyarakat yang belum mengerti akan mudah terkecoh dan mengonsumsi makanan tersebut tanpa ada sedikit rasa curiga. Hal ini menyebabkan masih banyaknya kasus keracunan pangan yang terjadi di Indonesia (BPOM, 27). Penyakit akibat pangan (foodborne diseases) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakitpenyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengkonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2). Menurut laporan WHO (27), secara global terjadi.5 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat. Kejadian luar biasa (KLB) yang sering terjadi adalah KLB keracunan pangan. KLB keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional, terjadi di berbagai negara baik negara berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu dianggap memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami KLB keracunan makanan setiap tahunnya (Jenie dan Rahayu, 22). Di Eropa, keracunan pangan merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Sharp dan Reilly, 2). Ada beberapa penyebab KLB terbesar yaitu penyiapan, penanganan dan penyimpanan makanan yang tidak tepat, paling banyak terjadi di rumah tangga, institusi, atau restauran. Di Indonesia, masih sering terjadi penyakit yang berasal dari pangan baik di masyarakat, industri, asrama maupun acara sosial. Makanan jajanan dan tempat penyajian makanan merupakan sistem suplai pangan yang penting dan akhirakhir ini menunjukkan peningkatan. Jika tidak dikendalikan dengan baik (mulai dari penyiapan, penyimpanan dan penyajiannya) dapat menjadi sumber utama penyakit asal pangan (Sparringa, 22).

17 Data KLB keracunan pangan oleh BPOM (22), menunjukkan bahwa telah terjadi 28 KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2. Sebanyak 38 (29.69 %) KLB keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, 9 (4.84 %) akibat keracunan cemaran kimia dan 7 (55.47 %) tidak diketahui penyebabnya. Selain itu, dari data tersebut menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2 disebabkan oleh masakan rumah tangga 58 KLB (45.3 %), pangan olahan 6 KLB (2.5 %), pangan jasa boga 3 KLB (23.4 %), pangan jajanan 6 KLB (2.5 %), dan lainlain 8 KLB (6.25 %). Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan (Yuliarti, 27). Dari contoh data di atas menunjukkan bahwa laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih jauh dari realita. Diperkirakan di negara maju yang mempunyai sistem surveilan bagus sekalipun hanya melaporkan % kasus penyakit akibat pangan yang sebenarnya. WHO (27) menduga bahwa sekitar 3% penduduk di negara industri menderita penyakit akibat pangan setiap tahunnya. Di Amerika Serikat terdapat 76 juta kasus penyakit akibat pangan yang menyebabkan 325, penderita masuk rumah sakit dan 5, orang meninggal dunia. Pada umumnya, agen penyebab keracunan (etiologic agent) tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan karena sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis. Analisis sampel di laboratorium hanya bersifat kualitatif yaitu menentukan hasil positif atau negatif saja, tanpa dilengkapi dengan analisis yang dinyatakan dalam jumlah atau konsentrasi tertentu. Analisis secara kuantitatif sangat sulit dilakukan karena keterbatasan sarana, sumberdaya manusia, dan metode analisis. Akan tetapi, analisis secara kualitatif saja tidak cukup untuk menyatakan suatu agen sebagai penyebab keracunan pangan karena setiap agen memiliki dosis dan respon (dose response) yang berbeda terhadap keracunan. Banyak petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkahlangkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan yang sering terjadi adalah kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga sampel tidak layak untuk dianalisis. Hal tersebut menyebabkan tidak teridentifikasinya makanan penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi (Krisnovitha, 24). Masalahmasalah di atas merupakan sebagian kecil dari buruknya manajemen penanganan KLB keracunan pangan di Indonesia. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI No HK tahun 29 Pasal 2 ayat () menyatakan bahwa Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang mengetahui adanya keracunan makanan. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Unit Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat () terdiri atas: puskesmas, poliklinik, rumah sakit pemerintah atau swasta, dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan yang terdekat dengan masyarakat. Puskesmas membutuhkan pedoman atau acuan mengenai pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dalam menjalankan tugasnya. BPOM RI telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara pengambilan contoh, pengujian laboratorium, dan pelaporan penyebab kejadian luar biasa keracunan makanan. Cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan harus diperhatikan, baik dalam jumlah sampel, peralatan yang digunakan, penyimpanan sampel, pengiriman sampel, dan sumberdaya manusia yang melakukannya karena dapat mempengaruhi hasil 2

18 pengujian yang akan dilakukan selanjutnya guna mengetahui apakah makanan tersebut benarbenar penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kesiapan dan tata cara yang digunakan puskesmas dalam mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan agar diketahui penyebabnya..2 Tujuan Tujuan umum: Memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan di BPOM RI. Tujuan khusus:. Menilai kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor berdasarkan kapasitas puskesmas, seperti sumberdaya manusia, alat dan bahan yang digunakan, dan jenis puskesmas untuk mengurangi KLB keracunan pangan. 2. Mengetahui pengaruh dari jenis puskesmas dan banyaknya sumberdaya manusia terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan. 3

19 II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG 2. Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh Departemen Kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakankebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 66 tahun 2, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan. Untuk melaksanakan tugasnya, BPOM RI diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat dan makanan serta mengawasi industriindustri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat. 2.2 Lokasi dan Tata Letak BPOM RI BPOM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat. Instansi ini mempunyai beberapa gedung sebagi pusat kegiatan seharihari, yaitu gedung AF. Pusat aktivitas Deputi I, Deputi II dan Deputi III beserta segenap perangkatnya berada di gedung AF. Namun, ketika kegiatan magang berlangsung, sedang ada pembangunan gedung F, sehingga kegiatan magang dilakukan di aula gedung PPOMN (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) karena untuk sementara waktu aula gedung PPOMN digunakan sebagai kantor bagi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 2.3 Visi dan Misi BPOM RI 2.3. Visi BPOM RI Visi dari BPOM RI adalah menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat Misi BPOM RI. Melakukan pengawasan premarket berstandar Internasional. 2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten. 3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan diberbagai lini. 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan.

20 2.4 Fungsi BPOM RI. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan. 2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan. 3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM. 4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan. 5. Penyelenggara pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga. 2.5 Struktur Organisasi BPOM RI BPOM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No.66 Tahun 2 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 73 tahun 2. Pembentukan BPOM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 2/SK/KBPOM RI, tanggal 26 Februari tahun 2, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2 tanggal Februari 2. Berikut ini adalah struktur organisasi BPOM RI:. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2. Sekretariat Utama. 3. Inspektorat. 4. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA). 5. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. 6. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. 7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional. 8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan. 9. Pusat Riset Obat dan Makanan.. Pusat Informasi Obat dan Makanan.. Unit Pelaksana Teknis BPOM. Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran. 2.6 Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya 2.6. Tugas Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas untuk merumuskan kebijakan di bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya secara menyeluruh (Total Food Safety and Hazardous Control). Pengawasan pangan atau bahan berbahaya yang dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi (from farm to table). 5

21 2.6.2 Fungsi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki fungsi dalam Kebijakan Peningkatan Keamanan Pangan, yaitu :. Meningkatkan kemampuan BPOM RI dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan risk asessment, risk management, dan risk communication. 2. Meningkatkan networking antar lembaga secara tepadu dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri. 3. Meningkatkan kesadaran produsen, khususnya industri rumah tangga akan pentingnya keamanan pangan bagi perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing industri pangan secara lokal, regional, maupun global. 4. Meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dan memberdayakan untuk ikut mengawasi keamanan pangan yang dikonsumsinya. 5. Meningkatkan tindakan secara hukum (enforcement) bagi mereka yang melanggar peraturan perundangundangan pangan Tujuan Dalam undangundang RI No. 7 Tahun 996 tentang Pangan, Pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia. 2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. 3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat Struktur Organisasi Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dibantu oleh lima direktorat, yaitu:. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. 2. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. 3. Direktorat Standardisasi Produk Pangan. 4. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 5. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya. Pengawasan secara menyeluruh melibatkan faktorfaktor yang cukup kompleks. Dari mulai diproduksi hingga mencapai konsumsi, bahan tersebut akan melewati mata rantai yang sulit untuk dilacak. Beberapa mata rantai tersebut adalah budidaya, pengolahan, distribusi, pemasaran, dan konsumsi yang melibatkan pelakupelaku seperti produsen, distributor, pengecer, jasa boga, eksportir, importir, dan instansiinstansi terkait di luar BPOM RI yang bertugas untuk mengawasi mata rantai produksi pangan, maka pengawasan pangan dan bahan berbahaya secara menyeluruh dilakukan dengan pendekatan terhadap pelakupelaku tersebut. 6

22 Keamanan pangan dipengaruhi oleh setiap tahapan proses yang dilaluinya, sejak dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan maka perlu dilakukan caracara pengendalian pada setiap mata rantai proses penanganan dan pengolahan pangan, mulai dari lapangan (sawah, kebun, kolam, serta praktekpraktek pertanian yang baik), proses pengolahan, penggudangan dan penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen. 2.7 Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 2.7. Tugas Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan Fungsi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan menyelenggarakan fungsi :. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang promosi keamanan pangan. 3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga. 4. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penyuluhan keamanan pangan. 5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan. 6. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penyuluhan keamanan pangan. 7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Struktur Organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan terdiri dari :. Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan. 2. Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan. 3. Subdirektorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga. Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Puyuluhan Keamanan Pangan dapat dilihat pada Lampiran 2. 7

23 2.8 Sub Direktorat Surveilan Dan Penanggulangan Keamanan Pangan 2.8. Tugas Tugas pokoknya adalah melaksanakan penyiapan bahan perumusan, evaluasi dan pelaksanaan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. Subdit ini mengkoordinasikan tiga seksi, yaitu Seksi Surveilan Keamanan Pangan, Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan, dan Seksi Tata Operasional. Seksi Surveilan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan surveilan keamanan pangan. Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penanggulangan keamanan pangan. Seksi Tata Operasional memiliki tugas pokok melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Fungsi Fungsi Sub Direktorat dan Penanggulangan Keamanan Pangan adalah :. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan keamanan pangan. 3. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 4. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan direktorat. 8

24 III. TINJAUAN PUSTAKA 3. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3,44.7 km 2. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara LS dan 6 7 BT. Perbatasan wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Depok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor terdiri dari 4 kecamatan dan 39 pedesaan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 25 (BPS, 2). Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojong Gede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea). Jumlah penduduk pada tahun 2 adalah 4,966,62 jiwa yang terdiri dari 2,573,929 jiwa lakilaki dan 2,392,692 jiwa perempuan (BPS, 22). Setiap tahun ratarata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3.6 % atau meningkat hingga 4 ribu jiwa. Di Kabupaten Bogor terdapat 4 unit puskesmas. Peta wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar. Gambar. Peta Kabupaten Bogor Jumlah KLB keracunan pangan berdasarkan laporan Balai Besar/ BPOM RI yang terbesar (22) adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 5.52 %. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun 272 dapat dilihat bahwa terdapat 23 KLB keracunan pangan di tempat yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel :

25 Tabel. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor tahun 272 Tahun Jumlah Penderita Jumlah Kematian CFR (%) Lokasi Desa Cisalada Kecamatan Cigombong (acara syukuran) Desa Kemuning Kecamatan Bojong gede (SDN Kedung Waringin IV) Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang (Mts. Al Fallahiyah) PT. Lutfin Indonesia Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga Desa Karang Asem Barat Kecamatan Citeurup Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja Desa Kotamekar Kecamatan Cariu Desa Tegal Kecamatan Kemang PT. Indo Karo Kecamatan Cibinong PT. Natra Raya Desa. Pasir Angin Kecamatan Cileungsi Desa Ciomas Kecamatan Ciomas Kp. Cijulang Ds Kopo Kecamatan Cisarua Desa Bunar Kecamatan Cigudeg Desa Leuwiliang Kecamatan Citeureup Desa Cinagara, Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin Desa Tanjung sari, Desa Cibadak Kecamatan Tanjung sari Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya Desa Puraseda, Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang Desa Cibatuga, Kecamatan Cariu SDN Kp Sawah II Kecamatan Rumpin Desa Kutamekar, Cikutamahi dan Cibatu 3, Kecamatan Cariu Desa Pasil Laja Kecamatan Sukaraja Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2) Keterangan: CFR (case fatality rate) : Angka kematian kasus yang diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah kematian dengan jumlah penderita.

26 3.2 Keamanan Pangan Pangan mempunyai arti yang luas. Menurut UU RI No. 7 tahun 996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 24, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ada 4 masalah utama keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2), yaitu: (i) pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan; (ii) kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya; (iii) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan; serta (iv) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan. Keamanan pangan (food safety) merupakan unsur penting ketahanan pangan (food security) yang tidak boleh diabaikan begitu saja dengan alasan apapun (Sulaeman dan Syarief, 27). Dalam UU No 7 tahun 996, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian keamanan pangan merupakan hak dan sekaligus kewajiban azasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh suatu pemerintahan (Sulaeman dan Syarief, 27). Keamanan pangan bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya kesehatan, tetapi juga mendorong tercapainya perekonomian yang lebih baik karena nilai ekonomis pangan aman yang dihasilkan. Pencapaian keamanan pangan bukan hal yang mudah yang secara instan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun harus diupayakan secara terus menerus (Rahayu dan Nababan, 2). Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain adalah:. Pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2. Kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; dan 4. Rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan, 2). Masalah keamanan pangan yang masih saja terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan ilegal, dan penggunaan tambahan pangan (BTP) melebihi batas yang diijinkan. Masalah keamanan pangan dapat terjadi disepanjang rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keamanan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman, selain itu juga karena tindak lanjut pengawasan yang dilakukan instansi pemerintah belum memberikan efek jera (Rahayu, 27).

27 3.3 Keracunan Pangan Salah satu dampak dari pangan yang tidak aman adalah timbulnya penyakit akibat makanan yang dikenal dengan foodborne disease atau kadang disebut kasus keracunan pangan (Sulaeman dan Syarief, 27). Penyakit akibat pangan (foodborne disease) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakitpenyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2). Secara global terjadi.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat (WHO, 27). Makanan yang sudah terlanjur tertelan sulit kembali lagi, artinya apabila makanan tersebut memiliki nilai gizi dan daya cerna yang tinggi maka proses pencernaan akan berlangsung normal, sebaliknya bila makanan tersebut sudah dicemari dan mengandung racun, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan akibatnya bisa fatal (Winarno, 24b). Bila ditinjau dari jenis bahayanya, maka pangan yang tercemar secara fisik, biologis, dan kimia dapat membahayakan kesehatan. Bila ditinjau dari prosesnya, keracunan dapat berasal dari bahan baku, proses penanganan, penyiapan, saat penyajiannya (Rahayu, 2). Terjadinya keracunan pangan dari salah satu anggota keluarga di rumah akan menyebabkan keresahan dan kepanikan. Apalagi jika keracunan pangan tersebut terjadi pada sebagian besar atau seluruh anggota keluarga. Dari berbagai jenis kasus terjadinya keracunan, sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penyebab awal bagaimana keracunan pangan itu dapat terjadi (Winarno, 24a). 3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/MENKES/SK/VIII/24 (Menkes, 24), kejadian luar biasa atau dikenal dengan istilah outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Selain itu KLB sering diartikan sebagai suatu fenomena yang berbeda dari biasanya atau menyimpang dari keadaan normal. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit yang selalu muncul setiap tahun. Akan tetapi, pada JanuariMei 24 terjadi peningkatan frekuensi kejadian demam berdarah di beberapa wilayah di Indonesia yang menelan ratusan korban, baik sakit ataupun meninggal. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan demam berdarah sebagai suatu KLB. Banyak jenis lain KLB yang dikenal seperti KLB diare, KLB malaria, KLB keracunan pangan, dan lainlain. KLB keracunan pangan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang mengakibatkan gangguan kesehatan yang akut, yang disebut gastroenteritis, biasanya karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bakteri patogen atau racun yang diproduksinya (Winarno, 27). Ada beberapa kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturutturut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka ratarata perbulan dalam tahun sebelumnya, angka ratarata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka ratarata perbulan dari tahun sebelumnya (Sutarman, 28). Menurut WHO (27) diacu dalam Peraturan Kepala BPOM (29), KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejalagejala 2

28 yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Berdasarkan data BPOM (22) menunjukkan bahwa jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan pada tahun 22 sebanyak 392 kejadian di 3 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 47 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 26 kejadian (5.52 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM Tahun 2 2 Balai total % Banda Aceh Pekanbaru Jambi Palembang Medan 7.22 Padang Lampung Bengkulu Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta 7.26 Surabaya Denpasar Kendari Makasar Manado 2.44 Palu 7.5 Pontianak Palangkaraya Samarinda Kupang Mataram Banjarmasin Ambon 9.36 Jayapura 2.86 Gorontalo 3.22 Banten 5.36 Batam 3.22 Pangkal Pinang.7 Total 392. Sumber: BPOM (22) Selain itu, jika ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan paling besar berasal dari masakan rumah tangga sebesar % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan dalam rumah tangga masih cukup rendah. 3

29 Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2 2 Jenis Pangan Total % Masakan rumah tangga Pangan Olahan Pangan Jasa Boga Pangan Jajanan Lainlain Tidak dilaporkan 25.8 Total 392. Sumber: BPOM (22) Ada beberapa agen penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan laporan BPOM (22), yaitu mikroba, kimia, dan tidak diketahui. Sebesar 57.6 % penyebab KLB tidak diketahui (Tabel 4). Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2 2 Penyebab Total % Mikroba Kimia Tidak diketahui Total 392. Sumber: BPOM (22) Berdasarkan jenis penyebabnya, KLB keracunan pangan dapat dibagi menjadi 2, yaitu keracunan pangan karena infeksi dan intoksikasi. Keracunan pangan karena infeksi disebabkan karena masuknya kuman penyakit (mikroorganisme patogen) ke dalam tubuh bersama pangan, sehingga menimbulkan reaksi tubuh terhadap kuman tersebut (Imari, 22) Contohnya: V. parahaemolyticus, Salmonella, E. coli pathogen dan C. perfringen tergolong dalam jenis infeksi (Winarno, 27). Keracunan pangan intoksikasi disebabkan karena memakan bahan beracun yang terdapat pada jaringan tumbuhtumbuhan atau hewan, yang diproduksi oleh kuman (virus, bakteri, parasit) atau terpapar racun lain yang sengaja atau tidak sengaja terdapat dalam pangan atau sumber pencemar lain (Imari, 22). Contohnya: keracunan pangan oleh Staphylococcus dan C.botulinum (Winarno, 27). Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, kita diharapkan mengonsumi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas (Yuliarti, 27). Menurut Jenie dan Rahayu (22), faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pelaporan kejadian keracunan pangan di dunia diduga disebabkan oleh kombinasi faktor berikut :. Perubahan dalam praktik pertanian, seperti pertanian intensif, dimana praktek pembudidayaan dan peternakan menyebabkan penyebaran yang cepat patogen manusia dan hewan melalui ternak dan unggas di berbagai negara. Contohcontoh penyebaran tersebut adalah Salmonella enteritidis PT4 dalam unggas dan S. typhimurium DT 4 dalam sapi. 2. Integrasi vertikal proses produksi hewan dan praktek terkait, misalnya daur ulang produk limbah rumah potong hewan kembali ke dalam rantai pangan hewan, melalui pakan ternak, yang mengakibatkan menumpuknya agenagen seperti salmonella dalam unggas dan prion penyebab BSE (bovine spongiform encephalopathy) dalam ternak sapi. 3. Perubahan gaya hidup, seperti lebih banyaknya orang yang melakukan perjalanan ke negaranegara dimana standar higienenya lebih rendah dari negara asalnya, sehingga terpapar dengan mikroba dimana mereka tidak mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap mikroba tersebut. 4

30 4. Perubahan demografi, yang menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada kelompok populasi seperti bayi dan anakanak, orang tua, orang sakit, dan orang dengan kekebalan terbatas (immunocompromised). 5. Malnutrisi di negara dunia ketiga, menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Situasi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang mengungsi ke daerah lain dan terpapar dengan kondisi ekstrim, yang mempercepat penyebaran penyakit asal pangan dan air seperti kolera dan disentri. 6. Globalisasi suplai pangan dunia, yang memperpanjang rantai suplai (lebih banyak orang dan prosedur penanganan pangan yang terlibat dalam peningkatan risiko potensial). Peningkatan perdagangan dunia dalam bidang pangan dan bahan baku pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian pula. Contoh produk mentah yang menimbulkan penyakit adalah selada yang dieksport dari Spanyol ke Norwegia, Swedia dan Inggris menyebabkan disentri basiler. Faktorfaktor lain yang dinyatakan sebagai penyebab meningkatnya insiden penyakit asal pangan termasuk pemanasan global (global warming), berkurangnya penggunaan aditif, seperti nitrit, pada makanan yang diawetkan, serta meningkatnya pemasaran pangan yang sedikit diawetkan, pengolahan kurang, seperti daging masak dingin yang dikemas dengan atmosfir termodifikasi serta pangan yang sedikit dipanaskan dan dikemas dengan proses sous vide cuisine. 3.5 KLB Keracunan Pangan di Indonesia Menurut Sparringa dan Rahayu (2a), kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya, sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan. Oleh karena itu, perlu ditinjau atau diteliti bagaimana penanganan sampel penyebab KLB keracunan pangan di puskesmas sebagai Unit Pelayanan Terpadu kesehatan yang dekat dengan masyarakat (Sparringa dan Rahayu, 2b). Pada dasarnya, program penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui kegiatan kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kegiatan kajian risiko yang perlu dilakukan antara lain meningkatkan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan mengkaji penyebabnya di laboratorium. Kegiatan manajemen risiko dilakukan dengan cara melakukan pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan, pilot project KLB keracunan pangan, pelatihan SDM penanggulangan KLB keracunan pangan, pengembangan Jejaring Intelijen Pangan (JIP), dan membentuk pusat kewaspadaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan. Sedangkan dalam komunikasi risiko yang perlu dilakukan adalah kegiatan informasi pencegahan KLB keracunan pangan yang lebih intensif (Sparringa dan Rahayu, 2a). Peningkatan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan pengkajian penyebab dapat dilakukan dengan pengumpulan data KLB keracunan pangan secara proaktif, penggunaan informasi epidemiologi untuk pengolahan data KLB keracunan pangan, pengkajian laporan yang masuk dan memberi umpan balik, melakukan penguatan kapasitas laboratorium dan secara berkala menginformasikan datadata tersebut. Selama ini, data KLB keracunan pangan telah diinformasikan kepada publik melalui laporan tahunan BPOM RI (Sparringa dan Rahayu, 2a). 5

31 Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan (Sparringa dan Rahayu, 2a). 3.6 Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan Menurut Sparringa dan Rahayu (2b), ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut:. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan. 2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan di provinsi. 3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya mikrobiologi. 4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau bahan berbahaya penyebab keracunan pangan. 5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat metode sampling yang benar. 6. Dana untuk investigasi kurang memadai. 7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan. 8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya. Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap (protap) yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan. 3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK..SJ.SE.D.47 pada tanggal 29 Januari 999 tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan. Surat edaran ini berisi penjelasan singkat tentang langkahlangkah yang harus dilakukan oleh para petugas terkait (puskesmas, dinas kesehatan, kantor wilayah, bupati, dan lailain) dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, terdapat skema atau diagram yang menjelaskan mekanisme penanganan KLB keracunan pangan sesuai hierarki kelembagaan atau instansi. Surat edaran ini tidak merinci halhal teknis atau prosedur yang seharusnya ada dalam sebuah prosedur tetap. Selain itu, surat edaran tersebut tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan penanganan KLB keracunan pangan, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan bagi para petugas terkait, seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan lainlain. Akan tetapi, pada tahun 29, BPOM RI telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM RI RI Nomor: HK tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian 6

32 Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan dan di dalam peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya. Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan caracara epidemiologi untuk mengetahui penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi (tempat, orang, dan waktu) (Imari, 22). Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktorfaktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi (Sharp dan Reilly, 2). Menurut Sparringa dan Rahayu (2a), secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus, kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban. 2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi. 3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB. 4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit. 6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang. Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan sembilan langkah yaitu:. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan. 2. Menetapkan formulasi hipotesis awal. 3. Merencanakan investigasi. 4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data. 6. Menentukan faktorfaktor yang berkontribusi. 7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan. 8. Menghitung dampak ekonomi. 9. Membuat laporan. Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus positif yang memiliki konsentrasi 5 per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereus positif dan memiliki konsentrasi 6 per gram pangan disertai gejala pertama mual/ muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar (Sparringa dan Rahayu, 2a). Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang tuntas mengenai KLB keracunan pangan adalah epidemiologi study yang meliputi pengamatan atau kajian observasi yang dapat dilakukan dengan kajian deskriptif dan kajian analisis. Dalam kajian deskriptif, faktor yang diamati adalah waktu, tempat, dan korban kasus kejadian. Sedangkan untuk kajian analisis dilakukan berdasarkan cohort atau casecontrol studies (Sparringa dan Rahayu, 2a). 7

33 Menurut Arnold dan Munce (2) diacu dalam Krisnovitha (24), epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktorfaktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang (jenis kelamin, umur, dll.). Tujuan utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan (Imari, 22). Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihakpihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti (Sparringa, 22). Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan (Rahayu, 2). Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktorfaktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan (Sparringa, 22). Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: () menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, (2) memantau kecenderungannya, (3) mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, (4) menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu, (5) mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, (6) mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan (7) memberikan informasi untuk menyusun formulasi kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan (BPOM, 2). Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan (Rahayu dan Sparringa, 2). Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce (2) diacu dalam Krisnovitha (24), keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua pihak yang terlibat. 3.8 KendalaKendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan masih kurang baik, sehingga menimbulkan akibat menjadi beberapa kendala, diantaranya yaitu sebagai berikut: () lemahnya koordinasi antara lembaga atau pihak terkait, (2) kesalahan penanganan sampel, (3) ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan, (4) keterbatasan sumberdaya manusia, (5) keterbatasan laboratorium dalam analisis, dan (6) keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa, 22). 8

34 Kesalahan yang sering terjadi adalah keterlambatan pengamanan dan ketidaktepatan sampel yang dicurigai sebagai penyebab keracunan pangan. Selama ini, umumnya sampel yang diterima oleh laboratorium kurang memadai, akibatnya laboratorium tidak mampu menganalisis dengan baik. Hal ini sangat berkaitan dengan penanganan sampel saat di lapangan, sehingga pengambilan sampel harus diperhatikan. Sampel yang tidak memadai diantaranya, yaitu sebagai berikut: () sampel tidak cukup mewakili (representatif), (2) jumlah sampel, (3) kondisi sampel tidak sesuai untuk dianalisis, (4) pengiriman sampel sering terlambat dan dalam kondisi yang tidak tepat, (5) informasi sampel dan penderita keracunan tidak ada, (6) sarana pengujian laboratorium tidak lengkap (Tahir et al., 22). Kendala lain dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah kurangnya kesadaran pemerintah daerah terhadap tanggung jawabnya menangani KLB keracunan pangan. Dalam era otonomi daerah, pihak yang bertanggung jawab melaksanakan penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan adalah pemerintah daerah kabupaten atau kota. Menurut Peraturan Pemerintah No.4 tahun 99, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bupati atau walikota adalah penanggung jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah, termasuk KLB keracunan pangan (Depkes, 23). Begitu pula dengan sumberdaya dan dana untuk penyelidikan dan penanggulangan yang juga merupakan tanggung jawab kepala daerah setempat. Salah satu unit kesehatan yang ditanggung oleh tiap daerah adalah puskesmas. Oleh karena itu, setiap puskesmas di daerah berhak mendapatkan alokasi dana yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 8/ MENKES/ SK/I/ 22 (Menkes, 22). 3.9 Puskesmas Konsep dasar puskesmas dijelaskan dalam Kepmenkes RI No 28/ MENKES/ SK/ II/ 24 (Menkes, 24), salah satunya berisi tentang pengertian puskesmas. Ada beberapa hal yang dijelaskan dalam pengertian puskesmas tersebut, antara lain unit pelaksana teknis, pembangunan kesehatan, penanggungjawab penyelenggaraan, dan wilayah kerja. Pengertian puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksanan teknis (UPTD) dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten atau kota adalah dinas kesehatan kabupaten atau kota, sedangkan puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa atau kelurahan atau RW). Masingmasing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. Pada umumnya, satu puskesmas mempunyai penduduk binaan antara 3.5. jiwa. 9

35 Menurut Menkes (24), peran puskesmas dalam kajian epidemiologi ancaman KLB adalah menyelenggarakan kegiatan seperti: a. melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data dan kondisi rentan KLB di daerah puskesmas; b. melakukan kajian epidemiologi terus menerus secara sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan faktorfaktor risikonya, sehingga dapat mengidentifikasi adanya ancaman KLB di daerah puskesmas; c. melaksanakan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB. Menkes (24) juga menyatakan bahwa fungsi puskesmas dalam peringatan kewaspadaan dini KLB adalah apabila teridentifikasi adanya ancaman KLB yang sangat penting dan mendesak, maka dalam waktu secepatcepatnya, puskesmas memberikan peringatan kewaspadaan dini KLB kepada program terkait di lingkungan puskesmas, dan sektor terkait wilayah puskesmas, termasuk rumah sakit, klinik dan masyarakat, serta melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Puskesmas melaksanakan kegiatan untuk peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB, seperti peningkatan kegiatan surveilan, dan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB dan mendorong upayaupaya pencegahan KLB. Kegiatan surveilan yang dimaksud adalah pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB di wilayah puskesmas (Menkes, 24). 3. Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI RI No. HK tahun 29 (BPOM, 29), dimana pada peraturan tersebut dijelaskan mengenai prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan seperti mengidentifikasi jenis contoh makanan yang terkait berdasarkan kategori makanan, mengelompokkan contoh makanan berdasarkan wujudnya (padat atau cair), mengambil contoh menggunakan peralatan yang telah ditentukan, memberi label pada setiap contoh setelah dikemas, memasukkannya ke dalam boks pendingin, membuat berita acara pengambilan contoh makanan, membawa semua contoh dengan sarana transportasi tercepat ke tempat penyimpanan, memasukkan semua contoh makanan ke dalam lemari pendingin pada suhu sekitar 4 o C atau 8 o C (freezer) untuk makanan beku, memilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan, dan mengirim contoh makanan ke tempat pengujian (laboratorium) terdekat. Alat dan bahan pengamanan contoh makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Uraian mengenai isi Peraturan Kepala BPOM RI tahun 29 dan prosedur tetap (protap) pengambilan contoh makanan KLB keracunan makanan dapat dilihat pada Lampiran 3. 2

36 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4. Waktu dan Tempat Magang Kegiatan magang di BPOM RI, Jakarta berlangsung selama ± 4 bulan (4 Februari 4 Juni 22). Akan tetapi, secara khusus, pengambilan data dilakukan di puskesmas yang berada di Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juni Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data primer yang dibutuhkan saat melakukan wawancara terhadap responden sebagai bentuk pendekatan kepada target responden yang dituju. Kuesioner yg digunakan merupakan adaptasi dari kuesioner yang dibuat oleh BPOM RI yang berjudul Kuesioner Laboratorium Pengujian Keamanan Pangan tahun Metode Penelitian Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada responden yang dipandu dengan kuesioner. Sementara itu, data sekunder berupa data jumlah puskesmas yang pernah mengalami KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Dinas Kesehatan. Metode yang akan diterapkan sebagai usaha untuk menghasilkan data dan analisis yang tepat dalam penelitian mengenai kapasitas puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor, antara lain terdiri dari empat tahapan yaitu sebagai berikut:. Penentuan Jumlah Sampel Banyaknya jumlah sampel ditentukan menggunakan teknik sampling bertujuan (purposive sampling) berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai KLB keracunan pangan yang terjadi di Kabupaten Bogor pada tahun 272. Berdasarkan lokasi KLB keracunan pangan yang disebutkan pada Bab III, terpilih 23 puskesmas yang akan menjadi target. Namanama puskesmas terpilih beserta alamatnya dapat dilihat pada Tabel 5. 2

37 Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor No Nama Puskesmas Alamat UPF Ciasmara UPT Leuwiliang UPF Puraseda UPT Ciomas UPF Cilebut UPT Bojong Gede UPT Tenjolaya UPT Rumpin UPT Cigudeg UPT Gunung sindur UPT Cileungsi UPT Cigombong UPT Tajur Halang UPT Jampang UPF Leuwilinutug UPT Cinagara UPT Cariu UPT Tanjungsari UPT Jasinga UPT Cimandala UPF Cibinong UPF Cibulan UPF Curug Jl. KH. Abd. Hamid km.5 Jl. Moch. Noh Nur Jl. Moch. Noh Nur Jl. Raya Kreteg Jl. Raya Cilebut Timur Jl. Kp. Bambu kuning RT 4/ RW 6 Jl. R. Abdul Fatah Jl. Praja Samlawi No.6 Jl. Raya JasingaBogor Km.34 Jl. Pemuda No. 37 Gn Sindur Jl. Camat Enjan No I Jl. Raya Cigombong No 65 Jl. Cendrawasih No. RT /RW 5 Ds. Tegal RT 5/ RW 4 Jl. Jolok Setu Jl. Cinagara Simpang III No 42 Jl. Brigjen Dharsono No.3 Jl. H. Abdul Halim Jl. Letnan Sayuti Jl. Raya Jakarta Bogor Jl. Raya Bogor km 47,5 Jl. Raya Puncak km.8 Kp. Barangbang Desa Curug 2. Penyusunan Kuesiner Kuesioner merupakan serangkaian pertanyaan dan pernyataan penjabaran dari tujuan penelitian yang diajukan kepada responden. Kuesioner digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara, pengambilan data atau sebagai alat pengumpulan data. Wawancara dilakukan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti sehingga mempermudah responden untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner ada yang bersifat tertutup dan ada yang bersifat terbuka yang tidak terstruktur. Pertanyaan dalam kuesioner ini disusun sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mengamati kesiapan puskesmas dalam menangani pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yang meliputi sumberdaya manusia dan fasilitas yang berkaitan dengan pengambilan contoh makanan tersebut. Isi pertanyaan yang diajukan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI tahun 29 No. HK tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. Pertanyaan pada kuesioner tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu: identitas puskesmas, data SDM puskesmas, dan keterangan mengenai pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan. Jumlah pertanyaan yang diajukan 22

38 sebanyak 26 pertanyaan, masingmasing empat pertanyaan pada bagian pertama, dua pertanyaan pada bagian kedua dan 2 pertanyaan pada bagian ketiga. Kuesioner ini dapat dilihat pada Lampiran Pemilihan Responden Pada penelitian ini, responden yang dipilih adalah petugas puskesmas yang bertugas menangani atau mengerti mengenai kasus KLB keracunan pangan seperti bagian surveilan, kesehatan lingkungan, atau kepala puskesmas. Setiap puskesmas diberi satu berkas kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan dengan wawancara langsung. 4. Turun Lapang dan Penyebaran Kuesioner Kegiatan turun lapang dilakukan dengan mendatangi langsung puskesmas terpilih untuk mengetahui keadaan puskesmas tersebut sekaligus menyebarkan kuesioner dan bertemu dengan respoden yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengisi kuesioner. Penyebaran kuesioner di puskesmas sesuai dengan teknik sampling bertujuan yang terpilih. Proses penyebaran kuesioner membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti letak puskesmas yang cukup jauh, kesibukan petugas puskesmas dalam mengerjakan tugasnya, keterbatasan jam kerja puskesmas, ketersediaan transportasi, dan lainlain. 4.4 Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif. Pengolahan data kulitatif dilakukan secara deskriptif dan interpretatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. 23

39 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Profil Puskemas Lokasi puskesmas yang menjadi bahan penelitian berada di Kabupaten Bogor dan tersebar di kecamatan yang berbedabeda, yaitu Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Ciomas, Sukaraja, Bojong gede, Tenjolaya, Rumpin, Gunung Sindur, Cileungsi, Cigombong, Tajur halang, Kemang, Citereup, Caringin, Cariu, Cigudeg, Tanjungsari, Jasinga, Cibinong, dan Cisarua. Berdasarkan fungsinya, puskesmas terdiri dari dua jenis yaitu puskesmas perawatan (inap) dan puskesmas non perawatan (non inap). Perbedaan antara puskesmas perawatan dan puskesmas non perawatan adalah ketersediaan tempat dan fasilitas untuk menerima pasien yang membutuhkan rawat inap. Puskesmas rawat inap adalah puskesmas dengan fasilitas tempat perawatan dan ruang tambahan untuk menolong penderita gawat darurat baik berupa tindakan operatif terbatas maupun perawatan sementara. Fungsinya sebagai Pusat Rujukan Antara yang melayani penderita gawat darurat sebelum dapat dirujuk ke rumah sakit. Kriteria yang harus dipenuhi puskesmas rawat inap adalah sebagai berikut:. Puskesmas harus terletak kirakira 2 km dari rumah sakit. 2. Mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dari puskesmas sekitarnya. 3. Dipimpin oleh seorang dokter disertai tenaga kesehatan yang memadai. 4. Jumlah kunjungan minimal orang per hari. 5. Penduduk wilayah puskesmas dan penduduk 3 puskesmas sekitarnya minimal 2, per puskesmas. 6. Pemerintah daerah bersedia menyediakan anggaran rutin yang mencukupi. Berdasarkan hasil survei, hanya sebesar 3.43 % puskesmas yang termasuk jenis puskesmas perawatan dan % puskesmas yang merupakan puskesmas non perawatan (Gambar 2). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian puskesmas dalam wilayah penelitian tergolong kedalam puskesmas non perawatan (non inap). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas merupakan puskesmas non perawatan (non inap). Hal ini dipengaruhi oleh adanya kriteria yang harus dipenuhi oleh puskesmas tersebut. Puskesmas tersebut dibagi menjadi Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dan Unit Pelayanan Fungsional (UPF). Profil puskesmas yang diperoleh dapat lihat pada (Tabel 6 dan Lampiran 5) % 3.43% Perawatan Non Perawatan n = 23 Gambar 2. Persentase puskesmas berdasarkan jenis

40 Tabel 6. Profil puskesmas N o Nama Puskesmas Jenis Puskesmas No Nama Puskesmas Jenis Puskesmas Ciasmara Jl. KH. Abd. Hamid Pamijahan Non Perawatan 3 Tajur Halang Jl. Cendrawasih No. Non Perawatan 2 Leuwiliang Jl. M. Nor No. 3 Leuwiliang Non Perawatan 4 Jampang Jl. Ds. Tagal Non Perawatan 3 Puraseda Jl. M. Noh Nur Leuwiliang Non Perawatan 5 Leuwinutug Jl. Jolok Situ Citereup Non Perawatan 4 Ciomas Jl. Raya Kretek No. Ciomas Non Perawatan 6 Cinagara Jl. Cinagara Simpang III No. 42 Non Perawatan 5 Cilebut Jl. Raya Cilebut Timur Sukaraja Non Perawatan 7 Cariu Jl. Brigjen Dharsono No. 3 Non Perawatan 6 Bojong Gede Jl. Kp. Bambu Kuning Non Perawatan 8 Tanjung Sari Jl. H. Abd Halim No. 6 Perawatan 7 Tenjolaya Jl. R. Abd Fatah Tenjolaya Non Perawatan 9 Jasinga Jl. Letnan Sayuti Perawatan 8 Rumpin Jl. Praja Samlawi Perawatan 2 Cimandala Jl. Raya JakartaBogor Perawatan 9 Cigudeg Jl. Raya JasingaBogor Perawatan 2 Cibinong Jl. Raya Bogor Km Non Perawatan Gunung Sindur Jl. Pemuda No. 37 Perawatan 22 Cibulan Jl. Raya Puncak Km. 8 Non Perawatan Cileungsi Jl. Camat Enjan No. Non Perawatan 23 Curug Koleang Non Perawatan 2 Cigombong Jl. Raya Cigombong No 65 Perawatan 5.2 Sumberdaya Manusia (SDM) di Puskesmas Sumberdaya manusia di puskesmas merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kapasitas dan kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan. Sistem ketenagaan yang ada di puskesmas dilaksanakan sesuai dengan program yang dikembangkan serta kemampuan dana, kuantitas tenaga didasarkan pada kebutuhan prioritas layanan kesehatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan layanan kesehatan dan profesionalisme pekerjaan. Sesuai PP RI No. 32 tahun 996 tentang tenaga kesehatan yang seharusnya ada adalah tenaga medis, kesehatan masyarakat (penyuluh kesehatan, sanitarian), tenaga gizi, tenaga keperawatan, farmasi, dan teknisi medis (analis dan perawat gigi). 25

41 Jumlah SDM atau tenaga kerja di setiap puskesmas berbedabeda. Hasil yang diperoleh pada survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas memiliki SDM sebanyak 23 orang. Hal ini dapat dilihat (Gambar 3) dari nilai persentasenya yang lebih besar yaitu 44 %, sedangkan jumlah SDM antara 2 orang sebesar 3 % dan jumlah SDM antara 34 orang hanya 26 %. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah SDM di puskesmas terbatas. 26% 44% 3% 2 orang 23 orang 34 orang n = 23 Gambar 3. Persentase sebaran SDM puskesmas Menurut Juster di dalam Depkes (999), pendidikan merupakan faktor yang penting dalam seorang pekerja. Melalui pendidikan akan menghasilkan perubahan keseluruhan cara hidup seseorang. Selain itu, Pearlin dan Kohn di dalam Depkes (999), menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi mempunyai keinginan untuk mengembangkan dirinya sedangkan mereka yang berasal dari tingkat pendidikan rendah cenderung untuk mempertahankan kondisi yang telah ada. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan untuk SDM yang akan bekerja di puskesmas karena mereka memiliki kualitas atau kemampuan yang dianggap perlu bagi peran tertentu. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, pada urutan pertama sebagian besar SDM yang bekerja di puskesmas adalah lulusan diploma, kemudian sarjana (S), SLTA (setara), bahkan masih ada petugas puskesmas yang hanya memiliki pendidikan di bawah SLTA (setara). Namun, biasanya petugas puskesmas yang memiliki pendidikan di bawah SLTA (setara) bertugas di bagian tata usaha, atau pembantu umum. Akan tetapi, ada juga petugas puskesmas yang memiliki pendidikan master (S2). Petugas puskesmas lulusan master (S2) tersebut merupakan salah satu petugas di Puskesmas Cilebut yang menjabat sebagai kepala puskesmas. Puskesmas Cariu memiliki petugas lulusan diploma terbanyak yaitu 24 orang, sedangkan Puskesmas Cinagara hanya memiliki petugas lulusan diploma sebanyak 5 orang. Puskesmas Gunung Sindur memiliki lulusan sarjana (S) terbanyak yaitu 8 orang dan Puskesmas Ciasmara dan Cinagara memiliki petugas lulusan sarjana (S) hanya orang. Dari data tidak terlihat adanya petugas puskesmas lulusan doktor (S3). Namun, terlihat bahwa hampir di setiap puskesmas memiliki petugas lulusan diploma yang lebih banyak dibandingkan lulusan lain. Hal ini dapat disebabkan oleh kebutuhan puskesmas sebagai pusat pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan yang banyak membutuhkan bidan atau perawat dan mereka berkompetensi di bidang tersebut. Lebih lengkapnya, sebaran tingkat pendidikan SDM di puskesmas dapat dilihat pada Gambar 4. 26

42 UPF Ciasmara UPT Leuwiliang UPF Puraseda UPT Ciomas UPF Cilebut UPT Bojong Gede UPT Tenjolaya UPT Rumpin UPT Cigudeg UPT Puskesmas UPT Cileungsi UPT Cigombong UPT Tajur Halang UPT Jampang UPF Leuwilinutug UPT Cinagara UPT Cariu UPT Tanjungsari UPT Jasinga UPT Cimandala UPF Cibinong UPF Cibulan UPF Curug Master/ s2 Sarjana/ s atau D4 Diploma /2/3 SLTA/ Setara < SLTA/ setara Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir Gambar 4. di atas memberikan informasi dimana petugas puskesmas dengan jenjang pendidikan yang tinggi (S dan S2) masih tergolong sedikit disetiap puskesmasnya. Hal ini menjadi perhatian khusus dimana KLB keracunan pangan membutuhkan tenaga ahli yang mampu menangani dan menganalisa KLB keracunan pangan di wilayah kerja masingmasing puskesmas. Hasil penenilitan ini menunjukkan bahwa KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor masih membutuhkan tenagatenaga ahli dengan kemampuan pendidikan yang memadai untuk menangani dan mengantisipasi KLB keracunan pangan. 27

43 5.3 Isi Kuesioner Keterangan Mengenai Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan 5.3. Pengetahuan Responden tentang Definisi KLB Keracunan Pangan Semua petugas puskesmas yang menjadi objek wawancara memberikan jawaban yang hampir sama secara keseluruhan tentang definisi KLB keracunan pangan. Akan tetapi, definisi KLB keracunan pangan menurut petugas puskesmas sangat beragam, dan bahkan definisi KLB keracunan pangan yang mereka ketahui masih belum detail dan terlalu luas cakupannya. Definisi singkat menurut masingmasing petugas puskesmas dapat dilihat pada Tabel 3. Petugas puskesmas harus mengetahui definisi KLB keracunan pangan sebelum mereka bertugas langsung menangani KLB keracunan pangan agar mereka paham dengan KLB keracunan pangan. KLB sering disalah artikan karena kejadian ini hampir sama dengan wabah. Akan tetapi tentu terlihat jelas apa perbedaan antara KLB dengan wabah. Menurut UU RI tahun 984, wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Sedangkan KLB keracunan pangan menurut WHO (27) diacu dalam BPOM (29) adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir bersamaan setelah mengkonsumsi bahan makanan yang secara analisis epidemiologi terbukti sebagai sumber keracunan. Kesimpulan dari pengertian KLB dan wabah di atas adalah jumlah korban atau penderitanya. Hasil uraian singkat petugas puskesmas menunjukkan bahwa KLB keracunan pangan disebabkan oleh makanan yang tercemar atau terkontaminasi. Akan tetapi, setiap puskesmas memberikan definisi KLB keracunan pangan yang berbedabeda. Hal ini dapat dilihat dari jawaban mereka seperti yang dipaparkan pada Lampiran 6. Pengertian KLB keracunan pangan yang dijelaskan oleh petugas puskesmas belum seluruhnya sama dengan pengertian KLB keracunan pangan yang dijelaskan dalam peraturan kepala Badan POM tahun 29. Beberapa puskesmas hanya menyebutkan definisi adalah suatu kejadian yang membahayakan, disebabkan oleh keracunan makanan, dan menyebabkan banyak korban. Contohnya, Puskesmas Cariu menyebutkan definisi KLB keracunan pangan mengenai gejala KLB keracunan pangan saja, dan Puskesmas Jasinga menyebutkan definisi KLB keracunan pangan adalah seseorang yang terpapar zat toksin. Definisi KLB keracunan pangan yang disebutkan oleh kedua puskesmas tersebut masih sangat kurang lengkap dari definisi KLB keracunan pangan sesungguhnya. Hasil di atas menunjukkan hanya dua puskesmas yang mengetahui definisi KLB keracunan pangan secara lengkap seperti yang disebutkan dalam peraturan kepala Badan POM tahun Penanganan KLB Keracunan Pangan Wilayah kerja puskesmas ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di satu kecamatan, kepadatan, dan mobilitasnya. Pada satu wilayah kecamatan dapat didirikan duatiga puskesmas. Pada umumnya, satu puskesmas mempunyai penduduk binaan antara 28

44 3.5. jiwa. Berdasarkan hasil penelitian, 96 % puskesmas pernah menangani KLB keracunan pangan dan hanya 4 % puskesmas yang tidak pernah menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya (Tabel 7). Puskesmas yang tidak pernah menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya adalah Puskesmas Jasinga. Pada saat terjadi KLB keracunan pangan di Kecamatan Jasinga, bukan Puskesmas Jasinga yang menangani KLB keracunan pangan, tetapi ditangani oleh Puskesmas Curug yang berada di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, karena lokasi kejadian berada di wilayah Desa Curug. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya. Tabel 7. Hasil puskesmas yang menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya Pernah menangani KLB keracunan pangan Jumlah Puskesmas (n=23) Presentase (%) Ya Tidak Tim Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan Tim penyelidikan KLB keracunan pangan adalah suatu tim yang dibentuk pada tingkat kabupaten atau kota, provinsi, ataupun pusat untuk menyelidiki kasuskasus terkait KLB keracunan pangan. Tim penyelidikan tingkat kabupaten atau kota terdiri dari: dinas kesehatan kabupaten atau kota, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau rumah sakit rujukan, laboratorium kesehatan daerah (labkesda) kabupaten atau kota dan pihak terkait lainnya. Dari data yang diperoleh, 83 % puskesmas memiliki tim penyelidik dan penanggulangan KLB keracunan pangan dan 7 % puskesmas yang tidak memiliki Tim penyelidik dan penanggulangan KLB keracunan pangan (Tabel 8). Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Cigudeg, Puskesmas Gunung Sindur, dan Puskesmas Curug. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor memiliki kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan jika dilihat dari adanya Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan (Lampiran 7). Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ada 9 83 Tidak Ada Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengambilan contoh makanan merupakan bagian pertama dan sangat menentukan dalam penelusuran deteksi penyebab keracunan, beberapa hal perlu diperhatikan agar contoh makanan yang diambil mendekati representatif karena umumnya contoh yang dikirim ke laboratorium merupakan contoh akhir yang siap untuk diuji, untuk mendapatkan contoh yang representatif diperlukan keterampilan investigasi dan sampling yang benar (Tahir et al., 29

45 22). Oleh karena itu, pengambilan contoh makanan harus dilakukan dengan baik dan benar agar contoh tidak rusak. Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat propinsi atau kabupaten atau kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang mengetahui adanya keracunan makanan. Salah satu Unit Pelayanan Kesehatan yang dimaksud adalah puskesmas. Berdasarkan hasil yang diperoleh, 87 % puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dan 3 % puskesmas yang tidak melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan (Tabel 9). Puskesmas Puraseda, Puskesmas Jasinga, dan Puskesmas Cibinong tidak melakukan pengambilan contoh makanan saat terjadi KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya. Hasil ini menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor menjalankan salah satu tugas mereka yaitu mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan untuk mengetahui penyebab terjadinya kasus tersebut. Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Melakukan pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ya 2 87 Tidak Petugas Pengambil Contoh Makanan Petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan sangat diperlukan saat terjadi KLB keracunan pangan. Keberadaan petugas khusus ini akan berpengaruh terhadap penanganan yang dilakukan saat mengambil contoh makanan tersebut. Sebaiknya petugas yang mengambil contoh makanan benarbenar mengerti dan paham bagaimana cara menangani contoh makanan dengan baik dan benar, dan mengetahui tata cara atau prosedur tetap pengambilan contoh makanan agar tidak rusak dan memberikan hasil uji laboratorium sesuai dengan harapan yang diinginkan. Sebagian besar (87 %) puskesmas memiliki petugas khusus yang bertugas sebagai pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan, dan hanya 3 % puskesmas yang tidak memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan (Tabel ). Puskesmas yang tidak memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan adalah Puskesmas Puraseda dan Puskesmas Cigombong. Petugas khusus yang dimaksud adalah petugas puskesmas yang diberi tanggung jawab khusus untuk mengambil contoh makanan saat terjadi KLB keracunan pangan. Jika puskesmas tidak memiliki petugas khusus, saat terjadi KLB keracunan pangan tidak ada petugas yang bertanggung jawab khusus mengambil contoh makanan tersebut, tetapi tugas itu menjadi tanggung jawab bersama. Apabila petugas dari bagian surveilan atau tata usaha yang sedang berada di puskesmas, maka mereka yang akan mengambil contoh makanan tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa keterbatasan tenaga kerja di puskesmas dapat mengakibatkan pembagian tugas yang cukup banyak kepada pekerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan kepada puskesmas agar memiliki petugas khusus pengambil contoh makanan KLB keracunan pangan. 3

46 Tabel. Hasil puskesmas yang memiliki petugas khusus Memiliki petugas khusus Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ya 2 87 Tidak 3 3 Ada enam bidang atau bagian kerja yang ditugaskan puskesmas dalam mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan, yaitu Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) dan Surveilan, Penyehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Gizi, Laboratorium, Sistem Informasi dan Kesehatan. Petugas khusus dari bidang P2P dan Surveilan 6.87 %, bidang Penyehatan Lingkungan %, bidang Promosi Kesehatan 4.35 %, bidang Gizi 4.35 %, bidang Laboratorium 4.35 %, bidang Sistem Informasi Kesehatan 4.35 %. Petugas khusus di puskesmas terdiri dari satu atau lebih dari bidang yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, Puskesmas Leuwiliang, Puskesmas Bojong Gede, Puskesmas Rumpin, Puskesmas Tanjungsari, Puskesmas Jasinga dan Puskesmas Cimandala memiliki petugas khusus yang terdiri dari dua bidang kerja, yaitu bidang P2P dan Surveilan, dan bidang Penyehatan Lingkungan. Data di atas menunjukkan bahwa bidang atau bagian kerja yang banyak ditugaskan sebagai petugas khusus pengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan adalah P2P dan Surveilan, dan Penyehatan Lingkungan (Tabel ). Tabel. Bidang atau bagian kerja petugas khusus Bidang/ Bagian Kerja Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) P2P & Surveilan Penyehatan Lingkungan Promosi Kesehatan 4.35 Gizi 4.35 Laboratorium 4.35 Sist. Informasi Kesehatan Pelatihan tentang Pengambilan Contoh Makanan Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan atau keahlian petugas puskesmas dalam menangani contoh makanan yang akan diuji di laboratorium. Manfaat dari pelatihan ini adalah agar contoh makanan yang diambil mendapat penanganan serius, masih dalam kondisi layak uji dan tidak rusak supaya mendapatkan hasil uji laboratorium yang diinginkan sesuai dengan potensi bahaya yang terdapat pada contoh makanan tersebut. Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 22 % puskesmas pernah memberikan pelatihan khusus kepada SDM tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dan 78 % puskesmas yang tidak pernah memberikan pelatihan khusus tersebut (Tabel 2). Puskesmas yang pernah memberikan pelatihan khusus kepada SDM tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan adalah Puskesmas Ciomas, Puskesmas Tenjolaya, Puskesmas Tajur Halang, Puskesmas Cariu, dan Puskesmas Cibinong. Hasil di atas menunjukkan bahwa pelatihan SDM puskesmas di Kabupaten Bogor masih 3

47 sangat sedikit sehingga membutuhkan pelatihan tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan untuk meningkatkan keahlian mereka dalam hal tersebut. Tabel 2. Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Pelatihan khusus SDM Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ada 5 22 Tidak ada 8 78 Puskesmas Ciomas memberikan pelatihan khusus pada SDM yang berkaitan dengan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan pada tahun 29 dengan tema pelatihan Sanitasi atau Hiegine makanan, pelatihan pada Puskesmas Tenjolaya pada tahun 995 dengan tema Pengawasan kualitas air bersih dan tahun 997 dengan tema Pengendalian Lingkungan, Puskesmas Tajur Halang memberikan pelatihan pada tahun 28 tentang Surveilan Keracunan Makanan, Puskesmas Cariu memberikan pelatihan pada tahun 996 tentang HACCP dan tahun 28 tentang Sanitasi Makanan, dan Puskesmas Cibinong memberikan pelatihan kepada SDM pada tahun 26 tentang Keracunan Makanan (Tabel 3). Tabel 3. Nama pelatihan khusus bagi SDM Nama Puskesmas Nama Pelatihan Tahun UPT Ciomas Sanitasi atau Higiene Makanan 29 UPT Tenjolaya. Pengawasan kualitas air bersih Pengendalian Lingkungan UPT Tajur halang Surveilan Keracunan Makanan 28 UPT Cariu. HACCP 2. Sanitasi makanan UPF Cibinong Keracunan Makanan Alat dan Bahan Alat dan bahan yang harus dimiliki oleh puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan disebutkan dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan yang dibuat oleh BPOM tahun 29. Alat dan bahan tersebut antara lain: sendok, pisau, kantung plastik atau stomacher, label, es batu, es kering, adsorbent (seperti silika gel), boks pendingin, dan boks untuk es kering. Sendok digunakan untuk mengambil contoh padat, atau jika perlu potong dengan pisau steril. Kantung plastik digunakan sebagai wadah. Label digunakan untuk menerangkan semua keterangan mengenai contoh makanan KLB keracunan pangan seperti nama contoh, jumlah contoh yang diambil, lokasi pengambilan contoh, waktu pengamanan contoh, dan lainlain. Es batu berfungsi untuk menjaga suhu contoh di dalam boks pendingin agar tidak rusak. Sedangkan es kering digunakan hanya untuk contoh beku. Berdasarkan persentase penggunaan, sendok digunakan oleh % puskesmas, pisau 26.8 % puskesmas, kantung plastik 82.6 % puskesmas, label 9.3 % puskesmas, es batu % puskesmas, es kering 8.7 % puskesmas, boks pendingin 87. % puskesmas, dan boks untuk es kering 2.74 % puskesmas (Gambar 5). Tidak ada puskesmas yang 32

48 menggunakan adsorben (seperti silika gel) saat menangani contoh makanan KLB keracunan pangan karena sangat jarang dalam penggunaannya. Hasil di atas menunjukkan bahwa alat dan bahan yang banyak digunakan untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan di puskesmas adalah sendok, kantung plastik, label, es batu, dan boks pendingin. boks untuk es kering boks pendingin adsorbent (silika gel) es kering es batu label kantung plastik pisau sendok Persentase Puskesmas Gambar 5. Persentase puskesmas yang menggunakan alat dan bahan dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan Kelengkapan alat dan bahan yang dimiliki puskesmas tidak mencapai %, Puskesmas Leuwiliang dan Puskesmas Cigombong memiliki persentase kelengkapan alat dan bahannya lebih besar dari 7 %, yaitu masingmasing 78 % dan 89 % (Tabel 4). Sedangkan puskesmas yang memiliki persentase kelengkapan alat dan bahan lebih kecil dari 3 % adalah Puskesmas Puraseda dan Puskesmas Leuwinutug, yang masingmasing sebesar 22 %. Hasil ini menunjukkan bahwa alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor masih terbatas. Tabel 4. Persentase kelengkapan alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas Puskesmas Kelengkapan (%) Puskesmas Kelengkapan (%) UPF Ciasmara 56 UPT Tajur halang 33 UPT Leuwiliang 78 UPT Jampang 56 UPF Puraseda 22 UPT Leuwinutug 22 UPT Ciomas 56 UPT Cinagara 67 UPF Cilebut 44 UPT Cariu 67 UPT Bojong gede 56 UPT Tanjungsari 56 UPT Tenjolaya 67 UPT Jasinga 56 UPT Rumpin 44 UPT Cimandala 44 UPT Cigudeg 56 UPF Cibinong 56 UPT Gunung Sindur 44 UPF Cibulan 33 UPT Cileungsi 56 UPF Curug 56 UPT Cigombong 89 33

49 5.3.8 Jumlah Contoh Makanan yang Diambil Salah satu ketentuan umum yang dijelaskan dalam prosedur tetap tentang pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan (BPOM, 29) adalah contoh makanan diambil sebanyak ± 5 g secara aseptis dengan peralatan steril dan dimasukkan ke dalam wadah steril, lalu ditutup dan diberi label. Jika contoh kurang dari 5 g, maka semua contoh yang tersisa diambil. Puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak g adalah 3.43 %, 2 g sebesar %, 5 g sebesar 4.35 %, dan lainnya 3.4 % (Tabel 5). Hanya satu puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak ± 5 g yang sesuai dengan ketentuan umum dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yaitu Puskesmas Ciasmara. Puskesmas yang mengambil contoh makanan sebanyak lainnya (3.4 %) adalah Puskesmas Ciomas yang mengambil contoh makanan sebanyakbanyaknya tanpa ada standar yang terukur, selanjutnya Puskesmas Cilebut yang mengambil contoh makanan kurang dari g, dan Puskesmas Tajur Halang yang tidak memiliki standar dalam mengambil contoh makanan. Tabel 5. Jumlah contoh makanan yang diambil Jumlah contoh makanan yang diambil (g) Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Lainnya Identifikasi Jenis Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Berdasarkan prosedur tetap tentang tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yang diatur oleh BPOM tahun 29, langkah awal yang dilakukan dalam pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan adalah melakukan identifikasi jenis contoh makanan yang terkait dengan keracunan pangan berdasarkan kategorinya, apakah termasuk makanan segar, makanan jasa boga, masakan rumah tangga, makanan jajanan, makanan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), makanan Industri Non IRTP, atau lainnya. Identifikasi contoh makanan ini perlu dilakukan untuk memisahkan dan membedakan setiap jenis makanan yang akan diambil saat kejadian berlangsung. Selain itu juga untuk memudahkan pendugaan terhadap setiap jenis contoh makanan yang ada. Dari semua puskesmas target, 82.6 % puskesmas yang melakukan identifikasi jenis contoh makanan tersebut dan 7.39 % puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis contoh makanan (Tabel 6). Puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis contoh makanan tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Ciomas, Puskesmas Leuwinutug, dan Puskesmas Jasinga. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya puskesmas yang tidak melakukan identifikasi jenis makanan adalah ketidaktahuan petugas puskesmas mengenai tata cara pengambilan contoh makanan yang baik dan benar. Petugas puskesmas tidak melakukan prosedur seperti yang telah diatur oleh BPOM tahun 29 tersebut. Selain itu, informasi 34

50 mengenai prosedur tetap yang telah dikeluarkan oleh BPOM tersebut belum sampai ke sebagian besar puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor. Tabel 6. Identifikasi jenis contoh makanan penyebab keracunan pangan Mengidentifikasi jenis contoh makanan Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ya Tidak SOP tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan Tabel 7. menunjukkan bahwa sebanyak 52 % puskesmas (2 puskesmas) memiliki SOP dan 48 % puskesmas ( puskesmas) yang tidak memiliki SOP mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan. Pembuatan SOP yang akan diterapkan oleh puskesmas mengacu pada peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Badan POM RI, atau pihak lainnya. Salah satu acuan yang dapat digunakan oleh puskesmas adalah Prosedur Tetap (Protap) Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Makanan yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 29. Sumber atau referensi lain yang digunakan puskesmas berasal dari Dinas Kesehatan, seperti yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 46/ Menkes/ Per/ IX/ 99 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas air, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 75/ Menkes/ SK/ V/ 23 tentang Persyaratan Higiene & Sanitasi Jasaboga, UU No. 36/29 tentang Kesehatan, dan Departemen Kesehatan tentang Kewaspadaan Dini/ Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Tabel 7. Jumlah puskesmas yang memiliki SOP cara pengambilan contoh makanan Memiliki SOP Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ada 2 52 Tidak ada Pengiriman Contoh Makanan ke Laboratorium Rujukan Langkah terakhir pada prosedur tetap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan adalah mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan untuk diuji. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 78 % puskesmas mengirim contoh makanan yang diambil ke laboratorium rujukan terdekat dan 22 % puskesmas yang tidak mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan (Tabel 8). Alasan mereka tidak melakukan pengiriman contoh makanan ke laboratorium rujukan adalah contoh makanan tersebut sudah dikirim langsung oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Tabel 8. Mengirim contoh makanan ke laboratorium untuk diuji Mengirim contoh makanan ke Jumlah Puskesmas laboratorium (n=23) Persentase (%) Ya 8 78 Tidak

51 Pada Lampiran 3 telah disebutkan bahwa laboratorium rujukan yang dapat digunakan adalah Laboratorium pengujian Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan, Balai Laboratorium Kesehatan, Laboratorium Kesehatan Daerah, dan laboratorium lainnya yang terakreditasi. Pada Tabel 9 terlihat bahwa ada 2 laboratorium rujukan yang digunakan puskesmas untuk menguji contoh makanan KLB keracunan pangan, yaitu Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL). Berdasarkan hasil data survei, 73.9 % puskesmas mengirim contoh makanan yang diambil ke laboratorium kesehatan daerah Kabupaten Bogor, 4.35 % puskesmas (satu puskesmas) yang mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium BBTKL, puskesmas tersebut adalah Puskesmas Cilebut. Sebanyak 2.74 % puskesmas tidak mengirim langsung contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium rujukan, tetapi ada puskesmas yang contoh makanannya dibawa dan dikirim oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Puskesmas yang tidak mengirim contoh makanan tersebut adalah Puskesmas Puraseda, Puskesmas Cileungsi, Puskesmas Tajur Halang, Puskesmas Jasinga, dan Puskesmas Cibinong. Tabel 9. Data laboratorium rujukan yang digunakan Laboratorium Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Kesehatan Daerah BBTKL 4.35 Tidak mengirim sampel Durasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengiriman Contoh Makanan Contoh makanan KLB keracunan pangan yang telah disiapkan akan dikirim ke laboratorium rujukan. Proses tersebut membutuhkan waktu perjalanan dari puskesmas ke laboratorium. Setiap puskesmas membutuhkan waktu yang berbedabeda saat mengirim contoh makanan ke laboratorium (Tabel 2). Lamanya waktu pengiriman contoh makanan akan berpengaruh terhadap contoh makanan, apalagi jika uji yang diinginkan adalah uji mikrobiologi. Contoh makanan yang lama disimpan akan mengalami perubahan, contohnya jumlah bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap hasil pengujian laboratorium. Semakin lama waktu pengiriman contoh makanan ke laboratorium maka kondisi contoh makanan akan semakin berbeda dari keadaan awal. Tabel 2. Data waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirimkan contoh makanan ke laboratorium Waktu (jam) Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) < Tidak mengirim sampel

52 5.3.3 Ketersediaan Lemari Pendingin Contoh Makanan Salah satu fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh puskesmas adalah lemari pendingin khusus yang digunakan untuk menyimpan contoh makanan sebelum dikirim ke laboratorium rujukan agar contoh makanan terjaga dan tidak terkontaminasi dengan bahan lain. Hal ini menjadi penting karena telah disebutkan dalam prosedur tetap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan (Lampiran 3), contoh makanan yang telah diambil atau diamankan disimpan dalam lemari pendingin (4 ºC atau < 8 ºC) khusus makanan beku. Tetapi jika memungkinkan, misalnya jika lokasi keracunan makanan berdekatan dengan laboratorium, kirim contoh langsung ke laboratorium. Puskesmas yang memliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan hanya sebanyak 35 %, dan sisanya sebanyak 65 % puskesmas tidak memiliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan (Tabel 2). Lemari pendingin yang biasa digunakan puskesmas adalah lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan vaksin. Tabel 2. Lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan Lemari pendingin khusus Jumlah Puskesmas (n=23) Persentase (%) Ada 8 35 Tidak ada Prosedur Pengambilan Contoh Makanan Prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan telah dijelaskan secara lengkap pada Lampiran 3. Secara singkat langkahlangkah penting yang dilakukan dalam mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan adalah sebagai berikut:. Mengidentifikasi jenis contoh makanan berdasarkan kategori makanan. 2. Mengelompokkan contoh makanan berdasarkan wujudnya (padat atau cair). 3. Mengambil contoh makanan sebanyak ± 5 g secara aseptis dengan peralatan steril, dimasukkan ke dalam wadah steril, lalu ditutup dan diberi label. Jika contoh kurang dari 5 g, maka semua contoh yang tersisa diambil. 4. Memberi label setiap contoh segera setelah dikemas (terdiri dari nomor, nama, jumlah, lokasi pengamanan, waktu pengamanan, dan lokasi penyimpanan contoh). 5. Masukkan semua contoh makanan ke dalam boks pendingin berisi es batu, kecuali contoh makanan industri non IRTP yang diambil dengan kemasannya. 6. Membawa semua contoh makanan ke puskesmas terdekat, simpan ke dalam lemari pendingin (4ºC atau < 8ºC) khusus makanan beku. 7. Memiilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan pangan. 8. Mengirim contoh makanan ke laboratorium rujukan. Prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan yang dilakukan oleh setiap puskesmas berbedabeda. Hasil di atas menunjukkan bahwa tidak ada puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan secara detail seperti prosedur tetap yang dibuat oleh BPOM tahun 29. Prosedur lengkap yang dilakukan oleh puskesmas (Lampiran 8). 37

53 Prosedur umum yang banyak dilakukan oleh puskesmas adalah mengambil contoh makanan dengan sendok, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label, simpan di dalam coldpack, dan dikirim ke laboratorium (dinas kesehatan). 5.4 Pengaruh Jenis Puskesmas Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di tengahtengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan lainnya (rumah sakit swasta maupun negeri). Berdasarkan fungsinya, puskesmas terdiri dari dua jenis yaitu puskesmas perawatan (inap) dan puskesmas non perawatan (non inap). Perbedaan antara puskesmas perawatan dan puskesmas non perawatan adalah ketersediaan tempat dan fasilitas untuk menerima pasien yang membutuhkan rawat inap. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa jenis puskesmas berdasarkan fungsinya yaitu perawatan (inap) dan non perawatan (non inap) memberi pengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan, khususnya dalam pengambilan contoh makanan. Hasil yang diperoleh dibagi menjadi tiga kategori puskesmas, yaitu siap, cukup siap, dan belum siap. Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 22 dan Gambar 6), sebanyak 9 (39.3 %) puskesmas non perawatan (non inap) yang termasuk kategori siap, 6 (26.9 %) puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan (4.35 %) puskesmas yang termasuk kategori belum siap dalam menangani KLB keracunan pangan. Sebanyak 3 (3.4 %) puskesmas perawatan (inap) yang termasuk kategori siap, 3 (3.4 %) puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan (4.35 %) puskesmas yang termasuk kategori belum siap. Data di atas menunjukkan bahwa puskesmas non perawatan (non inap) memiliki kesiapan yang lebih tinggi terhadap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dibandingkan puskesmas perawatan (inap). Tabel 22. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jenis puskesmas Nama Puskesmas Jenis Puskesmas Kesiapan (%) UPF Ciasmara Non Perawatan 8 UPT Leuwiliang Non Perawatan 8 UPF Puraseda Non Perawatan 2 UPT Ciomas Non Perawatan 8 UPF Cilebut Non Perawatan 8 UPT Bojong gede Non Perawatan 8 UPT Tenjolaya Non Perawatan UPF Cibinong Non Perawatan 7 UPF Cibulan Non Perawatan 8 UPF Curug Non Perawatan 6 UPT Cileungsi Non Perawatan 7 UPT Tajur halang Non Perawatan 7 UPT Jampang Non Perawatan 8 UPT Leuwinutug Non Perawatan 7 UPT Cinagara Non Perawatan 6 UPT Cariu Non Perawatan UPT Tanjungsari Perawatan 7 UPT Jasinga Perawatan 3 UPT Cimandala Perawatan 8 UPT Cigombong Perawatan 7 UPT Rumpin Perawatan 9 UPT Cigudeg Perawatan 7 UPT Gunung Sindur Perawatan 8 38

54 Keterangan: Siap = 8 % Cukup Siap = 5 79 % Belum Siap = < 5 % Jumlah Puskesmas Non Perawatan Jenis Puskesmas Perawatan Gambar 6. Pengaruh jenis puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan 5.5 Pengaruh Jumlah SDM Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pola ketenagaan kerja di puskesmas secara umum terdiri dari orang dokter umum, orang perawat gigi, orang dokter gigi, 8 orang perawat kesehatan, 5 orang bidan, orang tenaga gizi, orang juru imunisasi, 2 orang pengemudi atau pekarya, orang tenaga administrasi. orang sanitarian, 2 orang pekarya kesehatan, dan 2 orang asisten apoteker. Jumlah tenaga kerja tersebut adalah 26 orang. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa puskesmas yang memiliki SDM atau tenaga kerja sebanyak 23 orang memiliki tingkat kesiapan yang lebih tinggi (2.74 %) dibandingkan dengan puskesmas dengan jumlah SDM sebanyak 2 orang atau 34 orang (Tabel 23 dan Gambar 7). Jadi, jumlah SDM atau tenaga kerja yang efektif di puskesmas adalah sebanyak 23 orang dengan tingkat kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan lebih tinggi. Hasil di atas menunjukkan bahwa jumlah SDM yang sedikit (2 orang) ataupun jumlah SDM yang banyak (34 orang) tidak berpengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan. Data lengkap isi kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 9. 39

55 Tabel 23. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jumlah SDM Nama Puskesmas Jumlah SDM (orang) Kesiapan (%) UPF Ciasmara 2 8 UPF Puraseda 2 2 UPT Ciomas 2 8 UPT Tenjolaya 2 UPT Jampang 2 8 UPT Cinagara 2 6 UPT Cigombong 2 7 UPF Cibinong 23 7 UPF Cibulan 23 8 UPF Curug 23 6 UPT Cileungsi 23 7 UPT Tajur halang 23 7 UPT Rumpin 23 9 UPT Leuwinutug 23 7 UPT Gunung Sindur 23 8 UPT Leuwiliang 23 8 UPF Cilebut 23 8 UPT Cariu 34 UPT Tanjungsari 34 7 UPT Jasinga 34 3 UPT Cimandala 34 8 UPT Cigudeg 34 7 UPT Bojong gede 34 8 Keterangan: Siap = 8 % Cukup Siap = 5 79 % Belum Siap = < 5 % Jumlah Puskesmas orang 23 orang 34 orang Jumlah SDM Gambar 7. Pengaruh jumlah SDM puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan 4

56 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6. Simpulan Kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan dapat dilihat dari kapasitas puskesmas tersebut, baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas, dan jenis puksemas. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan petugas puskesmas tentang definisi KLB keracunan pangan masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh yaitu hanya dua puskesmas yang mengetahui definisi KLB keracunan pangan secara lengkap seperti yang disebutkan dalam peraturan kepala Badan POM tahun 29. Pelatihan tentang tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan merupakan salah satu pendukung yang dibutuhkan karena puskesmas yang pernah mendapat pelatihan hanya sebesar 22 %. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 83 % puskesmas memiliki Tim penyelidik dan penanggulangan KLB keracunan pangan sehingga puskesmas memiliki kesiapan dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor. Dari data yang diperoleh, 44 % puskesmas memiliki jumlah SDM atau tenaga kerja sebanyak 23 orang. Jumlah tersebut efektif dalam menangani KLB keracunan pangan. Berdasarkan hasil penelitian ini, alat dan bahan yang banyak digunakan puskesmas untuk mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan adalah sendok, kantung plastik, label, dan es batu. Selain itu, kelengkapan alat dan bahan yang dimiliki puskesmas tidak mencapai %. Jumlah contoh makanan yang diambil sebanyak 2 gr dilakukan oleh % puskesmas. Identifikasi contoh makanan KLB keracunan pangan dilakukan oleh 82.6 % puskesmas. SOP mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dimiliki oleh 52 % puskesmas. Sebesar 78 % puskesmas mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium untuk diuji dan waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirim contoh makanan adalah 3 jam (3.43 % puskesmas). Jenis puskesmas memberikan pengaruh terhadap kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan. Puskesmas non perawatan (non inap) memiliki kesiapan yang lebih tinggi terhadap pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan dibandingkan puskesmas perawatan (inap). Sebesar 39.3 % puskesmas non perawatan (non inap) yang termasuk kategori siap, diikuti dengan sebesar 26.9 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, 3.4 % puskesmas perawatan (inap) yang termasuk kategori siap, 3.4 % puskesmas yang termasuk kategori cukup siap, dan 4.35 % puskesmas yang termasuk kategori belum siap. Berdasarkan data yang diperoleh, puskesmas yang menangani pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan yang sesuai dengan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 29 adalah %. Akan tetapi, jika dilihat dari tiap langkah yang dilakukan oleh puskesmas menunjukkan bahwa puskesmas di Kabupaten Bogor siap dalam menangani dan mengambil contoh makanan KLB keracunan pangan. 6.2 Saran Perlu diadakan pelatihan rutin mengenai tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan kepada Unit Pelayanan Kesehatan (khususnya puskesmas) di Kabupaten Bogor. Selain itu, publikasi secara luas mengenai prosedur tetap terbaru yang telah dikeluarkan oleh Badan POM RI. Peran puskemas kepada masyarakat juga harus diperjelas dan diperluas. 4

57 DAFTAR PUSTAKA Anonim UndangUndang RI No. 7 tahun 996 tentang Pangan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 24 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Arnold GJ. dan BA Munce. 2. Investigation of Foodborne Disease Outbreak. Di dalam Lund, Barbara M, TC BairdParker, GW. Gould (eds). 2. The Microbiology Safety and Quality of Food Vol. II Apen Publisher, Inc. Gathersburg, Maryland. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2. Surveilan Dalam Rangka Analisis Risiko. Jakarta: BPOM RI Kegiatan Pelatihan Kejadian Luar Biasa Keamanan Pangan (KLB KP) dan Sampling Produk Pangan Balai Besar POM di Banda Aceh Tahun 27. Vol 8, No.6 November Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratotium dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan. Jakarta: BPOM RI Data KLB Keracunan Pangan di Indonesia pada Tahun 22. Jakarta: BPOM RI. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2a. Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten atau Kota Di Jawa Barat Tahun 27. Jawa Barat.. 2b. Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2. Jakarta Jumlah Penduduk Jawa Barat Menurut Kabupaten atau Kota dan Jenis Kelamin. Jawa Barat. [Depkes] Departemen Kesehatan Pedoman Kerja Puskemas Jilid. Jakarta: Depkes RI Pengamatan, Penyelidikan, dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). Buletin epidemiologi Vol 6: 84. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. 2. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor 2. Bogor: Dinkes Kabupaten Bogor. Fardiaz D. 2. Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Secara Total. Jakarta: Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, BPOM RI. Gaman PM dan KB Sherrington The Science of Food. China: Pergamon Press. Imari S. 22. Pedoman Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Di dalam: Roy Sparringa (ed). Surveilan Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI. Jenie BSL dan Rahayu WP. 22. PenyakitPenyakit Akibat Pangan (Foodborne Diseases). Di dalam: Roy Sparringa (ed). Surveilan Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI. Krisnovitha T. 24. Mempelajari Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan pangan di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

58 [Menkes] Menteri Kesehatan. 24. Keputusan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 24 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas Peraturan Menteri Kesehatan No. 949 tahun 24 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Keputusan Menteri Kesehatan No. 8 tahun 22 tentang Alokasi Anggaran Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Pelaksanaan Program Pembangunan Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/ Kota Tahun Anggaran 22. Rahayu WP dan Nababan H. 2. Pendidikan Keamanan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama.Bogor: IPB Press, hal 6265 Rahayu WP dan Sparringa RA. 2. Tantangan Keamanan Pangan Indonesia: Strategi dan Program Surveilan Keamanan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama.Bogor: IPB Press, hal 445 Rahayu WP. 27. Membangun Keamanan Pangan Nasional Melalui Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB. hal Atasi Bahaya Keamanan Pangan di Sekitar Dapur Anda. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama.Bogor: IPB Press, hal 2328 Sharp JCM and WJ Reilly. 2. Surveilleance of Foodborne Disease. Di dalam Lund, Barbara, M., T. C. BairdParker, G. W. Gould (eds). 2. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol. II. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg. Maryland. Sparringa RA dan Rahayu WP. 2a. Sistem Investigasi KLB Keracunan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama.Bogor: IPB Press, hal b. Upaya Mengatasi Masalah Keracunan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama.Bogor: IPB Press, hal 923 Sparringa RA. 22. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan. Jakarta: Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, BPOM RI Upaya Badan POM Atasi Keracunan Pangan. Republika edisi Selasa, 3 Maret 24. Sulaeman A dan Syarief H. 27. Tinjauan Ekonomi Penanganan Mutu dan Keamanan Pangan. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB. hal 353 Sutarman. 28. FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Keterlambatan Petugas Dalam Menyampaikan Laporan KLB Dari Puskesmas Ke Dinas Kesehatan (Studi Di Kota Semarang). [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang. Tahir S, Sumaria, Nemara N, dan Fanaike R. 22. Pedoman Pengujian dalam Rangka Mendeteksi Penyebab Keracunan Pangan. Di dalam Winiati P Rahayu (eds). 22. Jakarta: Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI. 43

59 [WHO] World Health Organization. 27. Food Safety and Foodborne Illness. [2 Maret 22] Winarno FG. 24a. Keamanan Pangan Jilid. Bogor: MBrio Press. 24b. Keamanan pangan Jilid 3. Bogor: MBrio Press Analisis Laboratorium Gastroenteritis dan Keracunan Pangan. Bogor: MBrio Press. Yuliarti N. 27. Awas! Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Andi Offset. 44

60 LAMPIRAN

61 Lampiran. Struktur organisasi BPOM RI KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN INSPEKTORAT SEKRETARIAT UTAMA. Biro Perencanaan dan Keuangan 2. Biro Kerjasama Luar Negeri 3. Biro Hukum dan Humas 4. Biro Umum Pusat Pengujian Obat dan Makanan Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Riset Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan NAPZA. Dit. Penilaian Obat dan Produk Biologi 2. Dit. Penilaian Alat Kesehatan, Produk Diagnostik dan PKRT 3. Dit. Standardisasi Produk Terapeutik 4. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapeutik 5. Dit Pengawasan NAPZA Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Dit. Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan & Kosmetik 2. Dit. Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 3. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Obat Trdisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 4. Dit. Obat Asli Indonesia Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Dit. Penilaian Keamanan Pangan 2. Dit. Standardisasi Produk Pangan 3. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Produk pangan 4. Dit Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 5. Dit. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Balai POM 46

62 Lampiran 2. Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM RI Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan Promosi Keamanan Pangan Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga seksi seksi seksi Surveilan Keamanan Pangan Komunikasi Keamanan Pangan Penyuluhan Makanan Siap Saji Penanggulangan Keamanan Pangan Informasi dan Edukasi Konsumen Penyuluhan Industri Rumah Tangga Tata Operasional 47

63 Lampiran 3. Prosedur pengambilan contoh makanan (BPOM, 29) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN, PENGUJIAN LABORATORIUM DAN PELAPORAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 24 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan;. UndangUndang Nomor 4 Tahun 984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 984 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273); 2. UndangUndang Nomor 23 Tahun 992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 992 Nomor, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 3. UndangUndang Nomor 7 Tahun 996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656); 4. UndangUndang Nomor 8 Tahun 999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 382); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 24 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 24 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 27 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 27 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); 7. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga 48

64 Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 25; 8. Keputusan Presiden Nomor Tahun 2 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 25; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/SK/VIII/24 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB);.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 329/Menkes/Per/XII/76 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN, PENGUJIAN LABORATORIUM DAN PELAPORAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN MAKANAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal Dalam Peraturan Kepala Badan ini yang dimaksud dengan:. Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan, selanjutnya disebut KLB Keracunan Makanan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama pada saat yang sama atau hampir bersamaan setelah mengkonsumsi bahan makanan yang secara analisis epidemiologi terbukti sebagai sumber keracunan. 2. Penyelidikan KLB Keracunan Makanan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB Keracunan Makanan untuk mengungkap penyebab, sumber dan cara pencemaran serta distribusi KLB Keracunan Makanan menurut variabel tempat, orang dan waktu. 3. Penanggulangan KLB Keracunan Makanan adalah serangkaian kegiatan untuk menanggulangi KLB Keracunan Makanan yang dilakukan berdasarkan hasil kajian tim penyelidikan KLB Keracunan Makanan atas faktorfaktor yang berkontribusi dalam KLB Keracunan Makanan. 4. Makanan adalah makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam peraturan Menkes RI No.329/Menkes/Per/XII/76, yaitu barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya, akan tetapi bukan obat. 5. Contoh Makanan adalah makanan yang dikonsumsi oleh korban KLB Keracunan Makanan dan diduga sebagai penyebab KLB Keracunan Makanan. 6. Pengambilan contoh makanan adalah serangkaian kegiatan pengambilan, penanganan,pengemasan, dan pengiriman contoh makanan KLB Keracunan Makanan ke laboratorium rujukan. 7. Pengujian Laboratorium adalah serangkaian kegiatan pengujian yang dilakukan terhadap contoh makanan yang diduga sebagai penyebab KLB Keracunan Makanan. 8. Pelaporan KLB Keracunan Makanan adalah kegiatan melaporkan KLB Keracunan Makanan yang terjadi di suatu daerah kepada pemangku kepentingan seperti yang disebutkan dalam Peraturan ini. 9. Unit Pelayanan Kesehatan meliputi antara lain Puskesmas, Poliklinik, Rumah Sakit Pemerintah/ swasta di tingkat propinsi atau kabupaten/kota. 49

65 . Tim Penyelidikan KLB Keracunan Makanan adalah suatu tim yang dibentuk pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, ataupun pusat untuk menyelidiki kasuskasus terkait KLB keracunan makanan.. Badan adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan. BAB II PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN Pasal 2 () Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat propinsi atau kabupaten/kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang mengetahui adanya keracunan makanan. (2) Unit Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat () terdiri atas: a. Puskemas; b. Poliklinik; c. Rumah Sakit Pemerintah/ Swasta; d. Unit Pelayanan Kesehatan lainnya. (3) Apabila diperlukan, maka Balai Besar/ Balai POM RI di daerah berhak mengambil contoh makanan dengan berkoordinasi dengan Unit Pelayanan Kesehatan dan Dinas Kesehatan terkait. (4) Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat () dilaksanakan sesuai dengan Prosedur Tetap Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Makanan seperti tercantum pada Lampiran peraturan ini. Pasal 3 () Dalam hal menurut Unit Pelayanan Kesehatan terdapat indikasi KLB Keracunan Makanan, contohmakanan yang telah diambil sesuai dengan Prosedur Tetap Pengambilan Contoh Makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), Unit Pelayanan Kesehatan wajib mengirimkan contoh makanan yang bersangkutan kepada laboratorium terdekat. (2) Laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat () terdiri atas: a. Laboratorium pengujian Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan; b. Balai Laboratorium Kesehatan; c. Laboratorium Kesehatan Daerah; atau d. Laboratorium lainnya yang terakreditasi. BAB III PENGUJIAN LABORATORIUM Pasal 4 () Pengujian laboratorium terhadap contoh makanan dilakukan segera setelah contoh makanan diterima. (2) Pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat () dilakukan sesuai dengan prosedur tetap pengujian yang berlaku di masingmasing laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). 5

66 BAB IV PELAPORAN PENYEBAB KLB KERACUNAN MAKANAN Pasal 5 () Pelaporan penyebab KLB Keracunan Makanan dilakukan oleh Kepala Badan atau Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat sesuai dengan laporan hasil pengujian atas contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab KLB Keracunan Makanan. (2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat () dilakukan sesuai dengan Prosedur Tetap Tata Cara Pelaporan Penyebab KLB Keracunan Makanan seperti tercantum pada Lampiran 2 Peraturan ini. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 6 Pada saat berlakunya Peraturan ini, semua peraturan tentang tata cara pengambilan contoh makanan, pengujian laboratorium dan pelaporan penyebab KLB Keracunan Makanan yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan ini. BAB VI PENUTUP Pasal 7 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 5

67 Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Lampiran PROSEDUR TETAP (PROTAP) PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN KLB KERACUNAN MAKANAN TUJUAN Mengambil contoh dan mengirimkan contoh ke laboratorium dengan tepat dan cepat. Kondisi contoh diharapkan tidak berubah, baik secara fisik, kimia, maupun biologi, selama pengiriman sampai saat dianalisis. Jika jenis uji yang diminta adalah uji mikrobiologi, maka contoh harus diambil secara aseptis dengan alatalat steril, sedangkan untuk uji kimia, tidak perlu aseptis. Lakukan pengambilan contoh secara aseptis, jika tidak diketahui apakah contoh akan diuji secara kimia atau mikrobiologi. RUANG LINGKUP Identifikasi jenis makanan (segar, jasa boga, rumah tangga, jajanan, Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), atau Industri Non IRTP). Pengamanan contoh makanan (pengambilan, pengemasan, pelabelan dan penyimpanan) dari tempat kejadian atau sumber cemaran. Pengambilan, pelabelan dan pengiriman contoh makanan. PELAKSANA Petugas Unit Pelayanan Kesehatan : Unit/ petugas kesehatan yang berkaitan langsung dengan masyarakat, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Dokter Jaga, Mantri, dsb. Tim Penyelidikan Lapangan Tingkat Kabupaten/Kota yang terdiri dari : Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)/rumah sakit rujukan, Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) kabupaten/kota dan pihak terkait lainnya Tim Penyelidikan Tingkat Provinsi turun ke lapangan, jika KLB Keracunan Makanan mencakup daerah yang cukup luas, lintas batas wilayah kabupaten/kota dan atau ada kepentingan lain yang diperlukan. Tim penyelidikan tingkat provinsi terdiri dari: Dinas Kesehatan Provinsi, rumah sakit rujukan, Balai Besar/Balai POM, Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) atau Balai Laboratorium Kesehatan (Balai Labkes), Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BB/BTKL dan PPM) dan pihak terkait lainnya. Tim Penyelidikan Tingkat Pusat pun turun ke lapangan, jika KLB Keracunan Makanan mencakup lintas provinsi, masalah nasional atau internasional, dan atau ada kepentingan lain yang diperlukan. Tim Penyelidikan Tingkat Pusat terdiri dari: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Departemen Kesehatan (Depkes) (c.q. Direktorat Surveilan, Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra; Direktorat Penyehatan Lingkungan), Badan POM RI (c.q. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan), Laboratorium rujukan nasional (misalnya Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM RI; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Badan Litbangkes yang mempunyai tugas pokok dan fungsi tersebut). 52

68 ALAT DAN BAHAN Alat dan bahan pengamanan contoh makanan : Sendok. Pisau. Kantung plastik/stomacher. Label Es batu Es kering Adsorbent (silika gel, dll.) Boks pendingin Boks untuk es kering PROSEDUR Lakukan identifikasi jenis contoh makanan yang terkait dengan keracunan makanan berdasarkan kategori sebagai berikut: Makanan segar : makanan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan makanan Makanan jasa boga : makanan atau minuman yang dihasilkan oleh jasa boga. Jasaboga adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Masakan rumah tangga : makanan atau minuman yang diolah oleh rumah tangga atau keluarga atau kerabat untuk konsumsi rumah tangga atau acara keluarga dan kerabat. Makanan jajanan : makanan atau minuman yang biasanya diperoleh dari pedagang keliling atau penjual di tempat yang tidak permanen. Makanan atau minuman tersebut dapat dibuat sendiri atau diperoleh dari pihak ketiga. Makanan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) : makanan atau minuman yang dihasilkan oleh perusahaan makanan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan makanan manual hingga semi otomatis, baik sudah terdaftar ataupun tidak terdaftar. Jika sudah terdaftar, makanan atau minuman ini mempunyai kode registrasi Sertifikat Penyuluhan (SP) atau Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Makanan Industri Non IRTP : makanan atau minuman yang diproduksi oleh non IRT. Jika sudah terdaftar, makanan atau minuman ini mempunyai kode registrasi Makanan Dalam Negeri (MD) atau Makanan Luar Negeri (ML). Lainlain : makanan atau minuman yang tidak dapat digolongkan ke dalam keenam kategori di atas. misalnya, makanan atau minuman yang diproduksi oleh dapur umum untuk kepentingan kelompok, seperti pesantren, asrama, panti asuhan, bencana alam, atau penggusuran. Kelompokkan contoh berdasarkan wujudnya (padat atau cair). Ambil contoh dengan ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan umum : Contoh diambil ± 5 g secara aseptis dengan peralatan steril, dimasukkan ke dalam wadah steril, lalu ditutup dan diberi label (Formulir ). Jika contoh kurang dari 5 g, maka semua contoh yang tersisa diambil. Jika contoh adalah makanan jasa boga, masakan rumah tangga, atau jajanan yang dikemas (kertas nasi, kardus, styrofoam, dll.), maka contoh diambil dengan kemasannya. 53

69 b. Pengambilan dan Pengemasan Contoh Makanan berdasarkan wujudnya : Ambil semua contoh dengan cara yang tepat, sesuai dengan jenisnya, yaitu :. Contoh padat. Cara mengambil contoh padat secara umum, yaitu ambil dengan sendok, atau jika perlu potong dengan pisau steril, sebanyak ± 5 g, lalu masukkan ke dalam wadah gelas bermulut lebar atau kantung plastik steril, tutup rapat atau kelim, dan beri label. Sedangkan pengambilan contoh padat seperti makanan beku, makanan kering bubuk, dan makanan kaleng harus mengikuti ketentuan berikut ini : Makanan beku. Contoh Makanan beku harus dipertahankan tetap beku sampai saat akan dianalisis. Pengambilan contoh dilakukan tanpa thawing (dilelehkan) atau tanpa dibuka kemasannya. Cara pengambilan contoh adalah : () Ambil contoh dengan bor steril berdiameter besar. Bor contoh secara diagonal dari bagian atas (permukaan) menembus bagian tengah sampai bagian bawah (dasar). Ulangi cara yang sama pada bagian lain dari contoh, sampai diperoleh ± 5 g, lalu masukkan ke dalam kantung plastik steril, kelim, dan beri label; atau (2) Hancurkan contoh dengan palu atau pahat steril, ambil ± 5 g, lalu masukkan ke dalam kantung plastik steril, kelim, dan beri label. Makanan kering bubuk. Cara pengambilan contoh adalah : () Ambil contoh dengan sendok atau spatula steril, lalu masukkan ke dalam wadah atau kantung plastik steril, tutup rapat atau kelim, dan beri label; atau (2) Ambil contoh (jumlah banyak dalam wadah besar) dengan alat seperti selongsong atau tabung berongga steril. Masukkan alat tersebut ke tumpukan contoh dalam wadah. Ulangi beberapa kali pada beberapa bagian wadah secara acak sampai ± 5 g, lalu masukkan ke dalam wadah gelas steril atau kantung plastik, tutup rapat atau kelim, dan beri label. Makanan kaleng. Cara pengambilan contoh adalah : () Jika kalengnya belum dibuka atau masih utuh, ambil contoh dengan kemasannya, jangan dibuka; atau (2) Jika kalengnya sudah terbuka, ambil contoh secara aseptis, lalu masukkan ke dalam wadah gelas steril atau kantung plastik, tutup rapat atau kelim, dan beri label. 2. Contoh cair. Makanan cair dan minuman. Contoh harus dikocok atau diaduk sebelum diambil agar homogen. Cara pengambilan contoh adalah : () Contoh dituangkan langsung dari wadahnya ke dalam wadah gelas steril atau kantung plastik sebanyak ± 5 ml, tutup rapat atau kelim, dan beri label; atau (2) Contoh diambil dengan pipet steril, lalu dimasukkan ke dalam wadah gelas steril atau kantung plastik, tutup rapat atau kelim, dan beri label. Minuman kaleng. Cara pengambilan contoh minuman kaleng sama seperti makanan kaleng. Air yang digunakan dalam proses pengolahan makanan. Berdasarkan sumbernya, cara pengambilan contoh air dibagi menjadi dua, yaitu : 54

70 () Contoh air berasal dari sumur atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang keluar melalui keran dibiarkan mengalir deras selama detik, baru kemudian ditampung dalam wadah gelas steril sampai mengisi tidak lebih dari tiga perempat bagian wadah atau ± 2.5 cm dari tutup wadah. Lalu, tutup rapat wadah, dan beri label. Jika air diklorinasi, maka klorin harus dinonaktifkan agar tidak bereaksi dengan mikroorganisme dalam contoh dengan cara sebagai berikut: masukkan garam natrium tiosulfat ke dalam wadah gelas (tempat contoh) sebelum wadah disterilisasi. Kadar natrium tiosulfat setelah diisi dengan contoh adalah 2 mg/l contoh. Misalnya, jika volume air yang akan diambil adalah 5 ml, maka jumlah garam natrium tiosulfat yang dimasukkan adalah mg. (2) Contoh yang berasal dari sumber mata air diambil setelah aliran air dibiarkan mengalir selama sekitar 5 menit. Letakkan wadah gelas steril bermulut lebar di bawah aliran air tersebut, lalu isi sampai mengisi tidak lebih dari tiga perempat bagian wadah atau ± 2.5 cm dari tutup wadah. Lalu, tutup rapat wadah gelas, dan beri label. Beri label setiap contoh segera setelah dikemas (Formulir ). Isi semua keterangan pada label, kecuali informasi waktu pengambilan contoh untuk pengujian laboratorium yang harus diisi pada saat contoh akan dikirim ke laboratorium. Masukkan semua contoh, kecuali contoh makanan IRTP atau makanan industri non IRTP yang diambil dengan kemasannya ke dalam boks pendingin berisi es batu. Es kering hanya digunakan untuk contoh beku. Contoh makanan siap saji yang dikemas (kertas nasi, kardus, styrofoam, dll.) harus dikemas lagi dengan kantung plastik sebelum dimasukan ke dalam boks pendingin (es batu) agar tidak rusak. Buat berita acara pengambilan contoh makanan (Formulir 2) dalam rangkap dua, yaitu rangkap pertama untuk pihak yang mengambil contoh dan rangkap kedua untuk pihak yang menyerahkan contoh. Bawa semua contoh dengan sarana transportasi tercepat ke tempat penyimpanan contoh, misalnya Puskesmas atau RS terdekat, dan masukkan semua contoh ke lemari pendingin pada suhu sekitar 4ºC atau 8ºC (freezer) untuk makanan beku. Tetapi jika memungkinkan, misalnya jika lokasi keracunan makanan berdekatan dengan laboratorium, kirim contoh langsung ke laboratorium. Pilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan berdasarkan studi kohort dengan RR (risiko relatif) tinggi serta uji statistik berbeda nyata atau penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan berdasarkan studi kasuskontrol (casecontrol study) dengan OR(Odds ratio) tinggi dan berbeda nyata. Jika tidak melakukan studi kohort maupun casecontrol study, maka tentukan makanan yang dicurigai dengan melakukan kajian risiko sederhana melalui kajian karakteristik komponen penyusun makanannya, faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan patogen, praktek penanganan makanan (suhu, waktu, keadaan higiene dan sanitasi, dan kemungkinan kontaminasi silang). Tentukan jenis uji laboratorium yang diminta berdasarkan diagnosis etiologi. Keputusan jenis makanan dari kajian risiko dan uji didasarkan pada tips sederhana yaitu mikroba yang mungkin hidup pada kelompok makanan, prevalensi patogen penting dalam makanan, patogen dengan jalur transmisinya, kemudian seleksi berdasarkan distribusi gejala. Hasil uji spesimen yang positif terhadap suatu agent dapat digunakan sebagai parameter uji contoh makanan. Contoh makanan yang terpilih diambil dari tempat penyimpanan contoh, lengkapi label dengan mengisi informasi waktu pengambilan contoh untuk pengujian laboratorium (Formulir ) dan kirimkan segera ke laboratorium rujukan yang disertai surat pengantar pengujian contoh dan jenis uji yang diminta (Formulir 3). Contoh makanan yang 55

71 kondisinya sudah rusak tidak perlu diuji secara mikrobiologis termasuk uji toksin hasil metabolisme patogen. Prosedur pengisian Formulir 3 adalah sebagai berikut : Nama contoh : nama makanan atau minuman yang mempunyai nilai RR atau OR tinggi dan berbeda nyata dengan uji statistik. Nomor contoh : Cukup jelas. Tempat pengumpulan contoh : Lokasi pengamanan contoh. Alamat, telepon : Cukup jelas. Tgl/ jam pengumpulan contoh : Cukup jelas. Penanggung jawab : Orang yang bertanggung jawab terhadap contoh. Suhu tempat penyimpanan : Cukup jelas. Waktu antara pengolahan hingga penyajian : Selang waktu antar pengolahan sampai penyajian makanan. Jenis transportasi pengiriman contoh: Alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut contoh ke laboratorium. Wadah contoh : Tempat atau kemasan untuk mengemas contoh. Tanggal pengiriman : Tanggal pada saat contoh dikirim ke laboratorium. Cara pengambilan contoh : Aseptis atau tidak aseptis, pilih salah satu dengan memberi tanda () pada kotak yang disediakan. Pengiriman contoh : Refrigerasi, beku, atau suhu kamar, pilih salah satu dengan memberi tanda () pada kotak yang disediakan. Rentang masa inkubasi : Masa inkubasi adalah selang waktu atau periode antara masuknya penyebab keracunan ke dalam tubuh seseorang sampai muncul gejala awal. Sedangkan rentang masa inkubasi adalah kisaran masa inkubasi dari seluruh kasus. Median masa inkubasi : Nilai tengah data masa inkubasi seluruh kasus yang dikumpulkan setelah mengurutkannya dari nilai terkecil hingga terbesar. Gejala awal yang menonjol : Gejala yang pertama kali muncul dan paling dominan. Gejala lanjutan yang spesifik : Gejala khusus lainnya yang menyertai gejala awal. Nama pengirim contoh :Cukup jelas. Uji yang diminta :Diisi oleh tim penyelidikan lapangan. Dengan memberi tanda () sesuai uji yang diminta. c. Pengiriman Contoh Makanan Masukkan contoh dalam boks pendingin. Sebarkan es batu di sekeliling contoh agar suhunya tetap dingin ( 4 C). Simpan contoh beku di dalam boks untuk es kering yang diberi es kering untuk menjaga contoh tetap beku. Namun, penggunaan es kering harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : Jangan menyimpan es kering dalam wadah yang terbuat dari logam, gelas, plastik, atau sejenisnya yang tertutup rapat dan tidak dapat dilewati udara karena dapat meledak. Jika menggunakan kemasan, maka diberi lubang secukupnya agar tekanan tidak berlebihan. Jika contoh dikemas dengan plastik, es kering harus dibungkus dengan kertas untuk mencegah kontak langsung dengan plastik. Jika terjadi kontak, maka suhu sangat dingin yang dihasilkan es kering membuat plastik rapuh atau pecah, sehingga contoh tidak utuh. Simpan contoh makanan yang kering seperti bubuk tepung, makanan atau minuman kaleng, dan air, pada suhu ruang (25 3 C). Penyimpanan contoh ini tidak memerlukan suhu dingin, namun harus dihindari suhu di atas 45 C. Sebaiknya, contoh makanan kering bubuk dikemas di dalam boks yang di dalamnya diisi adsorben atau penyerap uap air, seperti silica gel, agar tetap kering (bebas dari uap air). 56

72 Segera kirimkan contoh ke laboratorium, terutama contoh yang telah dimasukkan ke dalam media pengkaya. Jika menggunakan es kering, maka pada karton pengiriman diberi tanda BERISI ES KERING. Sertakan surat pengantar permintaan pengujian contoh makanan dan tentukan uji yang diminta (formulir 3) bersama contoh yang dikirimkan. FORMULIR FORMULIR Formulir Label Contoh Makanan (Formulir ) Formulir Berita Acara Pengambilan Contoh Makanan (Formulir 2) Formulir Permintaan Pengujian Contoh Makanan (Formulir 3) Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Formulir LABEL CONTOH MAKANAN Nomor contoh :... Nama contoh :... Jumlah contoh :... Lokasi pengamanan contoh :... Waktu pengamanan contoh : Jam..., Tanggal Lokasi penyimpanan contoh:... Waktu pengiriman contoh untuk pengujian laboratorium* : Jam..., Tanggal... * Hanya untuk contoh yang diambil dari tempat penyimpanan contoh untuk pengujian laboratorium 57

73 Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Formulir 2 BERITA ACARA PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN*) Berdasarkan surat tugas... (pejabat Puskesmas), No..., tanggal... bulan... tahun..., pada hari ini......, jam..., tanggal... bulan... tahun..., a), telah diamankan contoh makanan di... (lokasi kejadian) sebagai berikut : No Nama contoh (makanan atau minuman Kategori Contoh b) Jenis contoh berdasarkan bentuknya c) Jumlah d) No registrasi e) (No SP, No PIRT, No MD, No ML) dst a) diisi dengan huruf cetak. b) makanan segar, jasa boga, rumah tangga, jajanan, Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), atau industri Non IRTP, lainlain (pilih salah satu). c) padat, cair atau padatcair (pilih salah satu). d) jumlah : satuan g, ml, bungkus, kaleng, dll. e) jika contoh adalah makanan olahan yang terdaftar. Demikian berita acara ini dibuat, dengan sebenarbenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya...., Pihak yang menyerahkan contoh, Petugas yang mengamankan contoh, (...) (...) *) dibuat rangkap 2 : rangkap pertama untuk pihak yang mengambil contoh dan rangkap kedua untuk pihak yang menyerahkan contoh. 58

74 Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Formulir 3 PERMINTAAN PENGUJIAN CONTOH MAKANAN Nama Contoh... Tempat pengumpulan contoh Alamat Penanggung jawab Suhu tempat penyimpanan... (Storage unit) Jenis transportasi pengiriman contoh... Cara pengambilan contoh *) : Pengiriman contoh *) :... Wadah contoh... Telepon Tgl/jam pengumpulan Waktu antara pengolahan hingga konsumsi... Tgl pengiriman... Aseptis Tidak aseptis Refrigerasi Beku Suhu kamar Rentang masa inkubasi :... Median masa inkubasi : Gejala awal yang menonjol : Gejala lanjutan yang spesifik : Nama pengirim contoh :... Parameter Uji yang diminta *) Parameter Uji yang diminta **) Kimia Logam berat Residu pestisida As Pb Cu Sn Hg Cd Hidrokarbon terklorinasi/ organoklorin Organo phosphat Pyretroid Karbamat Lainnya Sianida Antimon Anilin Lainnya... Toksin Staphilokoki Botulin Tetrodotoksin Soksitoksin Amatoksin Palatoksin Mikotoksin,sebutkan... Histamin Metanol Nitrat/nitrit Lainnya : Keterangan:... Mikrobiologi Staphylococcusl aureus C. perfringens B. cereus Salmonella Shigella E. coli V. parahaemolyticus Aerobic Colony Count Coliform Fecal Coliform Enterococci Kapang/khamir Lainnya : 59

75 Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Lampiran 2 TUJUAN PROSEDUR TETAP (PROTAP) TATA CARA PELAPORAN PENYEBAB KLB KERACUNAN MAKANAN Memberikan laporan tentang hasil pengujian contoh penyebab KLB Keracunan Makanan. RUANG LINGKUP Pengisian formulir hasil pengujian contoh makanan. Pengiriman formulir hasil pengujian contoh makanan. PELAKSANA Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan RI atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan. PROSEDUR Kaji hasil analisis laboratorium dari contoh makanan Buat laporan hasil pengujian contoh makanan dengan menggunakan formulir hasil pengujian contoh makanan (Formulir 4). Isi formulir 4 bagian hasil pengujian dengan cara sebagai berikut: No. ID contoh di laboratorium : Cukup jelas. Diisi oleh petugas laboratorium Tanggal datang :Tanggal pada saat contoh diterima di laboratorium. Nama penerima contoh : Cukup jelas Kondisi contoh ketika diterima : Diisi oleh pihak laboratorium dengan tanda sesuai dengan kondisi contoh Suhu contoh saat diterima, aw, ph, komentar dan interpretasi: Diisi oleh pihak laboratorium Analis laboratorium :Nama orang yang menganalisis contoh Penanggung jawab :Orang yang mengesahkan lembar pengujian contoh. Lembaga :Nama lembaga atau instansi yang menaungi laboratorium yang menguji contoh Tanggal/jam diterima, mulai diuji, selesai: Cukup jelas Hasil Pengujian Ada : Jika hasil laboratorium menunjukan hasil uji positif (ada), maka diisi oleh petugas laboratorium dengan tanda. Tidak : Jika hasil laboratorium menunjukan hasil uji negatif (tidak ada), maka diisi oleh petugas laboratorium dengan tanda. Jumlah/konsentrasi : Diisi oleh pihak laboratorium 6

76 Typing : Diisi oleh pihak laboratorium. Data ini mungkin tidak dapat dikerjakan oleh laboratorium rujukan di daerah, namun dapat diupayakan untuk diuji ke laboratorium rujukan nasional /lainnya Buat surat pengantar pelaporan penyebab KLB Keracunan Makanan dan kirim beserta lampirannya (formulir 4) kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Bupati/Walikota, dan Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI disertai informasi lain yang relevan. FORMULIR Formulir Hasil Pengujian Contoh Makanan (Formulir 4) REFERENSI Kriteria Laboratorium Untuk Konfirmasi Penyebab Penyakit (Tabel ) Formulir 4 HASIL PENGUJIAN CONTOH MAKANAN Nama contoh... Pengirim... Keterangan lain : Nomor contoh... Tgl datang... No. ID Contoh di Laboratorium... Nama penerima contoh :... 6

77 Uji yang diminta *) Parameter Hasil pengujian Kimia Logam berat As Pb Cu Sn Hg Cd Sianida Antimon Anilin Lainnya : Toksin Staphilokoki Botulin Tetrodotoksin Soksitoksin Amatoksin Palatoksin Mikotoksin, sebutkan Histamin Metanol Nitrat/nitrit Lainnya : Residu pestisida Hidrokarbon terklorinasi/ organoklorin Organo phosphat Pyretroid Karbamat Lainnya Mikrobiologi Staphylococcus aureus C. perfringens B. cereus Salmonella Shigella E. coli V. parahaemolyticus Aerobic Colony Count Coliform Fecal Coliform Enterococci Kapang/khamir Lainnya : Kondisi contoh ketika diterima *) Baik Buruk Komentar dan interpretasi Ada *) Tidak *) Jumlah/ konsentrasi Suhu contoh ketika diterima Analisis laboratorium Lembaga Penanggung jawab... *) : Beri tanda () pada pilihan yang dipilih *) : Formulir dapat dimodifikasi sesuai dengan kepentingan laboratorium a w Diterima... Tanggal/ jam Mulai diuji... Typing ph Selesai... 62

78 Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK Tanggal : 7 Juli 29 Tabel (Referensi) Tabel. Kriteria Laboratorium Untuk Konfirmasi Penyebab Penyakit Penyebab etiologi Kriteria laboratorium untuk konfirmasi,2,3 GEJALA DAN TANDATANDA SALURAN PENCERNAAN ATAS (MUAL, MUNTAH) MUNCUL PERTAMA ATAU DOMINAN Waktu inkubasi kurang dari jam Senyawa mirip Identifikasi jenis jamur yang diimplikasikan secara epidemiologi resin dalam ATAU beberapa jenis Terdapat racun jamur tersebut (seperti muscimol, muscarine, psilocybin, coprius jamur artemetaris, ibotenic acid) pada makanan ATAU Gejalagejala spesifik keracunan jamur teridentifikasi Antimoni Analisis pada makanan. Dosis keracunan akut (acute toxicity dose) senyawa ini.5 mg/kg BB Kadmium Identifikasi logam ini pada makanan Tembaga Sodium fluorida Analisis pada makanan. Dosis keracunan akut senyawa ini. mg/kg BB Deteksi sodium fluorida tersebut pada muntahan atau hasil cuci perut (>2 orang) ATAU Analisis pada makanan. Dosis keracunan akut senyawa ini..3 mg/kg BB Timbal Deteksi timbal pada darah sebanyak > 6 μg/dl (³ 2 orang) Timah Deteksi ion logam tersebut sebanyak 5 mg/kg untuk minuman ringan dan 25 mg/kg untuk produk makanan yang lain Seng Terdapatnya ion logam dalam jumlah besar pada makanan atau minuman yang diimplikasikan. Seng dengan jumlah 225 mg dapat menimbulkan keracunan untuk orang dewasa sedangkan untuk anakanak kurang dari nilai tersebut ATAU Deteksi ion logam tersebut pada darah, feses, atau urin (³ 2 orang) Bacillus cereus (enterotoksin) Staphylococcus aureus Nitrit Bacillus anthracis Isolasi >5/g B. cereus dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi ATAU Isolasi B. cereus dari feses ³ 2 orang yang sakit dan tidak pada feses orang yang berisiko tetapi tidak sakit ATAU Isolasi serotipe yang sama dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi dan orang yang sakit ATAU Identifikasi enterotoksin pada makanan Terdeteksinya enterotoksin pada makanan yang diimplikasikan ATAU S. aures yang sama phage typenya pada feses atau muntahan ³ 2 orang yang sakit; isolasi S. aureus dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi dan/atau isolasi dari kulit atau hidung pekerja adalah buktibukti pendukung ATAU Isolasi >5/g S. aureus dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi atau identifikasi enterotoksin pada makanan (dosis minimum intoksikasi.5 5μg toksin) Terdapatnya ion nitrit dalam jumlah besar pada makanan atau minuman yang diimplikasikan (> mg / kg BB) Teridentifikasi bakteri tersebut pada darah (³ 2 orang) GEJALA DAN TANDATANDA SAKIT TENGGOROKAN DAN SALURAN PERNAFASAN MUNCUL PERTAMA Waktu inkubasi biasanya di bawah 3 sampai 72 jam 63

79 Bakteri Streptococcus Identifikasi bakteri ini pada makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi. betahemolitik Dosis infeksi bakteri ini sebesar sel. GEJALA DAN TANDA SALURAN PENCERNAAN BAWAH (KEJANG PERUT, DIARE) MUNCUL PERTAMA ATAU DOMINAN Waktu inkubasi biasanya di bawah 7 sampai 2 jam Toksin Bakteri Bacillus cereus (keracunan enteritis) Clostridium perfringens Campylobacter jejuni Vibrio cholerae O Escherichia coli Salmonella Isolasi >5/g B. cereus dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi ATAU Isolasi B. cereus dari feses ³ 2 orang yang sakit dan tidak pada feses orang yang berisiko tetapi tidak sakit ATAU Isolasi serotipe yang sama dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi dan orang yang sakit Isolasi C. perfringens dengan serotipe yang sama pada makanan yang diimplikasikan dan fekal ³ 2 orang yang sakit ATAU Isolasi C. perfringens dengan serotipe yang sama organisms pada fekal ³ 2 orang yang sakit dan tidak pada orang yang berisiko tetapi tidak sakit ATAU >5/g C. perfringens dalam makanan yang diimplikasikan ATAU Spora pada fekal >6/g pada ³ 2 orang yang sakit yang diperiksa dalam beberapa hari selama terjadinya KLB Waktu inkubasi biasanya di bawah 3 sampai 72 jam Bakteri Isolasi C. jejuni dari feses atau darah ³ 2 orang yang sakit ATAU Isolasi C. jejuni dari makanan yang diimplikasikan. Dosis infeksi dari bakteri ini sebesar 6 sel. Isolasi V. cholerae O yang bersifat toksigenik makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi. Dosis infeksi dari bakteri ini 6 CFU ATAU Isolasi V. cholerae O dari feses atau muntahan ³ 2 orang sakit ATAU Peningkatan yang signifikan pada antibodi vibriocidal, penggumpal bakteri atau antitoksin pada fase akut dan awal penyembuhan atau penurunan signifikan antibodi vibriocidal antibodies pada awal dan akhir fase penyembuhan pada orang yang sudah lama tidak diberi imunisasi kolera Adanya E. coli dengan serotipe yang sama pada makanan yang diimplikasikan dan feses ³ 2 orang yang sakit yang tidak terdapat pada orang yang berisiko tetapi tidak sakit ATAU Isolasi E. coli dengan serotipe yang sama yang telah dibuktikan bersifat enterotoksigenik atau invasif di dalam uji laboratorium dari feses ³ 2 orang yang sakit ATAU Ditunjukkan bahwa isolat E. coli dari feses adalah galurgalur yang bersifat enterotoksigenik, enteroinvasif atau hemorragik. Dosis infeksi dari bakteri ini, sebagai berikut: Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) : 8 sel Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC): 6 sel Enterohaemorrhagic Escherichia coli (EHEC) : diperkirakan 3 CFU : belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan Shigella dysentriae ( sel) Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) : 8 CFU untuk orang dewasa : belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan Shigella dysentriae ( sel) Isolasi Salmonella dari makanan yang diimplikasikan. Dosis infeksi dari bakteri ini bervariasi tergantung dari serovarnya. Dosis infeksi dari serovar Eastbourne : sel 64

80 Shigella Vibrio parahaemolyticus Yersinia enterocolitica, Y. pseudotuberculos is Dosis infeksi dari serovar Napoli : sel Dosis infeksi dari serovar Thypimurium : sel Dosis infeksi dari serovar Heidelberg : sel Dosis infeksi dari serovar Newport : sel Dosis infeksi dari serovar tipe lain : 4 sel ATAU Isolasi Salmonella dari feses ³ 2 orang yang sakit Isolasi Shigella dari makanan yang diimplikasikan. Dosis infeksi pada bakteri ini sebesar > sel. ATAU Isolasi Shigella dari feses ³ 2 orang yang sakit Isolasi >5/g V. parahaemolyticus dari makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi (umumnya sea food) ATAU Isolasi V. parahaemolyticus Kanagawapositif dari feses ³ 2 orang sakit Deteksi kultur bakteri ini pada feses, muntahan, atau darah dari ³ 2 orang ATAU Deteksi bakteri ini dari ³ 2 orang dengan menggunakan uji serologi Waktu inkubasi biasanya lebih lama dari 72 jam Virus Virus Norwalk Uji serologi positif pada muntahan atau feses ³ 2 orang yang sakit, gejala gastroenteritis selama lebih kurang 36 jam dengan masa inkubasi jam setelah mengkonsumsi makanan yang diimplikasikan Rotavirus Identifikasi virus tersebut pada feses dari ³ 2 orang melalui immunoassay Entamoeba Pemeriksaan feses positif ³ 2 orang untuk kista dan parasit. Dosis infeksi : 5 histolytica kista Anisakis Pemeriksaan feses positif ³ 2 orang untuk kista dan parasit. Dosis infeksi : phocanema larva Taenia saginata Terdapat telur atau proglotid positif pada feses (³ 2 orang). Dosis infeksi : kista Diphyllobothrium Teridentifikasi telur parasit positif tersebut pada feses (³ 2 orang). Dosis infeksi latum : larva Giardia lamblia Pemeriksaan feses positif untuk telur maupun parasit pada ³ 2 orang. Untuk infeksi jangka panjang dapat menggunakan uji serologi. Dosis infeksi : kista Taenia solium Terdapat telur pada proglotid pada feses ³ 2 orang. Dosis infeksi : kista GEJALA DAN TANDA TANDA SYARAF (GANGGUAN MELIHAT, GATAL, DAN ATAU LUMPUH) MUNCUL PERTAMA ATAU DOMINAN Waktu inkubasi biasanya di bawah jam Toksin Fungi Asam Ibotenat dan muskarin Karbaril, aldikarb Keracunan kerang paralitik (Paralytic Shelfish Poisoning) yang disebabkan Saksitoksin Tetrodotoksin Gulma jimson Identifikasi jenis jamur yang diimplikasikan secara epidemiologi ATAU Terdapat racun jamur tersebut pada makanan yang diimplikasikan ATAU Gejalagejala spesifik keracunan jamur teridentifikasi Senyawa kimia Analisis pada makanan. Diidentifikasi senyawasenyawa tersebut pada makanan. Dosis toksisitas akut untuk karbaril dan aldikarb sebesar. mg/kg BB Deteksi > 8 mg toksin / gr makanan maupun deteksi toksin tersebut pada air tempat kerang tersebut berada. Dapat menggunakan HighPressure Liquid Chromatography. Deteksi racun tersebut pada ikan puffer/fugu/buntal sebanyak μg. Terdeteksi gulma ini pada list makanan penderita. ATAU 65

81 Hemlock air Hidrokarbon terklorinasi Terdeteksi 2 4 mg toksin atropin maupun skopolamin Terdeteksi resin dan cicutoksin pada urin ³ 2 orang Waktu inkubasi biasanya antara sampai 6 jam Senyawa kimia Terdeteksi senyawa ini pada darah, urin, feses, cucian perut pada ³ 2 orang Toksin hewan Ciguatoxin Adanya ciguatoksin pada ikan yang diimplikasikan ATAU Gejala klinis pada pasien yang telah mengkonsumsi jenisjenis ikan yang sebelumnya pernah menyebabkan keracunan ikan ciguatera (misalnya jack, snapper, grouper). Dosis infeksi : 4 7 ng. Clostridium Terdeteksinya toksin botulin pada feses atau serum ³ 2 orang botulinum ATAU Terdeteksinya C. botulinum dari makanan yang diimplikasikan (dosis intoksikasi.55ng toksin) ATAU Isolasi C. botulinum dari feses ³ 2 orang dengan gejala klasik keracunan botulin ATAU Gejala klinis pada orangorang yang telah makan yang sama dengan ³ 2 orang yang terbukti kasusnya di laboratorium Merkuri Analisis merkuri pada makanan. Dosis toksisitas akut senyawa ini 4 mg/kg BB. GEJALA DAN TANDA TANDA INFEKSI UMUM (DEMAM, MENGGIGIL, LEMAH, DAN ATAU NYERI) TERJADI Waktu inkubasi biasanya di bawah 72 jam Bakteri Brucella Kenaikan titer 4 kali lipat selama jangka waktu sakit dan penyembuhan (³ 2 orang) ATAU Isolasi Brucella dari darah ³ 2 orang yang sakit Listeria monocytogenes Salmonella typhi Vibrio vulnificus Hepatitis A Angiostrongylus cantonensis Toxoplasma gondii Kultur Listeria pada darah dan serebrospinal (³ 2 orang) Isolasi Salmonella dari makanan yang diimplikasikan. Dosis infeksi bakteri ini sel ATAU Isolasi Salmonella dari feses ³ 2 orang yang sakit. Isolasi V. vulnificus dari darah ³ 2 orang sakit terdeteksi positif Dosis infeksi bakteri ini sel Virus Uji fungsi liver (hati) cocok dengan hepatitis pada orang yang mengkonsumsi makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi. ATAU Uji serologi positif pada ³ 2 orang ATAU Terdeteksi virus ini pada makanan. Dosis infeksi virus ini sebesar virus. Parasit Terdeteksi sejumlah telur dan larva parasit ini pada ³ 2 orang Teridentifikasi parasit ini dengan cara deteksi dengan tikus, PCR, atau uji serologi pada ³ 2 orang. Dosis infeksi : kista Trichinella Teridentifikasi parasit ini secara mikroskopis, deteksi antibodi, dan muscle spiralis biopsy pada ³ 2 orang. Dosis infeksi : 5 larva GEJALA DAN TANDA TANDA ALERGI (MERAH PADA WAJAH DAN ATAU GATAL) TERJADI Waktu inkubasi biasanya di bawah jam Senyawa bakteri atau binatang Keracunan histamin (Scombrotoxin) keracunan mengalami keracunan jika mengkonsumsi <2 mg/ g pada ikan, keju dan lainnya) yang diimplikasikan secara epidemiologi ATAU 66

82 Monosodium glutamat (MSG) Keracunan (diare) karena kerangkerangan Gejala klinis orangorang yang diketahui mengkonsumsi ikan dari Ordo Scombrodei atau jenis ikan yang telah diketahui dapat menyebabkan keracunan scombroid (misal: mahimahi, tuna, bluefish) Sejarah mengkonsumsi makanan yang diimplikasikan secara epidemiologi yang mengandung banyak MSG (biasanya >.5 g) Terdeteksinya toksin pada kerang yang diimplikasikan secara epidemiologi dengan pengujian tikus (mouse atau rat test) ATAU Terdeteksinya peningkatan jumlah Dinoflagellata (Dinophysis) penyebab keracunan kerang di dalam air (perairan) dimana kerang yang diimplikasikan berasal (dipanen) Gejala dan waktu inkubasi bervariasi tergantung individu atau kelompok yang terpapar karena perbedaan ketahanan erdasarkan umur, kondisi gizi, jumlah organisme atau konsentrasi racun dalam makanan yang dimakan, jumlah makanan yang dimakan dan patogenisitas serta virulensi galur mikroorganisme atau toksisitas dari bahan kimia yang terlibat. Beberapa penyakit juga memiliki gejala tambahan dan memiliki waktu inkubasi yang lebih singkat atau yang lebih panjang dari yang tercantum di atas. 2 Contoh dari makanan yang terdaftar yang telah dimakan selama waktu inkubasi penyakit harus dikumpulkan untuk dianalisis. 3 Minimal dua pengujian spesimen positif untuk konfirmasi penyebab keracunan makanan Sumber : Dari berbagai sumber, antara lain : a) Center for Food Safety and Applied Nutrition. Food and Drug Control USA. Bad Bug Book. b) US Environmental Protection Agency. 25. c) Syracuse Research Corporation. ATSDR S Acute Minimal Risk Level for Copper. d) Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). e) Hocking, Ailsa D (ed) Foodborne Microrganisms of Public Health Significance. AIFST (NSW Branch) Food Microbiology Group f) Borchert, L.L. and R.G. Cassens Chemical Hazard Analysis for Sodium Nitrite in Meat Curing. American Meat Institute. University of Wiconsin g) Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR).Communicable Disease Control (CDC) USA. h) Laboratory Identification of Parasite of Public Health Concern. Communicable Disease Control (CDC) USA. i) Office of Chemical Safety Department of Health and Ageing Australia. 24. ArfD List. j) emedicine World Medical Library. 25. k) Medical Network. 25. Vitamin Toxicity. l) Deshpande, S.S. 22. Handbook of Food Toxicology. Marcell Dekker, Inc. USA. 67

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG 2.1 Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3,440.71 km 2. Secara geografis

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Bimbingan Teknis Ujian Dinas Tingkat I dan Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tahun 2017 Jakarta, 18 Juli 2017 DASAR HUKUM, TUGAS,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Profil Puskemas Lokasi puskesmas yang menjadi bahan penelitian berada di Kabupaten Bogor dan tersebar di kecamatan yang berbeda-beda, yaitu Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

TUGAS POKOK DAN FUNGSI

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001, Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.21.3592 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 05018/SK/KBPOM TAHUN 2001 TENTANG

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN N0M0R : 02001/SK/KBPOM TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keamanan pangan memegang peranan yang sangat strategis. Terjaminnya kondisi keamanan pangan di Indonesia berarti telah memenuhi hak-hak masyarakat Indonesia untuk memperoleh

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 216 NOMOR SP DIPA-63.1-/216 DS462-7237-737-7577 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. utama di daerah perkotaan ( Media Aeculapius, 2007 ). Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007),

BAB 1 PENDAHULUAN. utama di daerah perkotaan ( Media Aeculapius, 2007 ). Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera maka

Lebih terperinci

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN INSTANSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang bertanggung

Lebih terperinci

Lampiran-1 RINCIAN TAMBAHAN FORMASI CPNS PUSAT DARI PELAMAR UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN ANGGARAN 2014

Lampiran-1 RINCIAN TAMBAHAN FORMASI CPNS PUSAT DARI PELAMAR UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN ANGGARAN 2014 Lampiran-1 RINCIAN TAMBAHAN FORMASI CPNS PUSAT DARI PELAMAR UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN ANGGARAN 2014 NO NAMA JABATAN KUALIFIKASI PENDIDIKAN 1 Apoteker. III/b 192 1 Direktorat Standardisasi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005

PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 PERBANDINGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN NOMOR 1575/MENKES/PER/IX/2005 DENGAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I No.1273, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. ORTA. UPT Monitor Frekuensi Radio. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAM R.I REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAM R.I REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAM R.I REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M 01.PR.07.10 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN

Lebih terperinci

OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN

OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebab makanan yang kita makan bukan saja harus memenuhi gizi tetapi harus juga aman dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah. kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah. kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah dijelaskan bahwa upaya penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatankegiatan kesehatan keluarga,

Lebih terperinci

KLB KERACUNAN PANGAN

KLB KERACUNAN PANGAN STRATEGI PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Roy Sparringa dan Winiati P. Rahayu Agenda presentasi

Lebih terperinci

MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN

MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN PELATIHAN SURVEILAN KEAMANAN PANGAN MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)Pekanbaru. Pembentukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru diawali oleh terbentuknya

Lebih terperinci

Motto: SAFE FOOD FOR ALL

Motto: SAFE FOOD FOR ALL Motto: SAFE FOOD FOR ALL Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi III-Badan POM RI@2015 Direktur Surveilan dan Penyuluhan KP Dra. Mauizzati Purba, Apt., M.Kes Kasubdit Surveilan dan Penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization atau WHO (2006), mendefinisikan foodborne disease sebagai istilah umum untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman

Lebih terperinci

LAKIP TAHUN BADAN POM i

LAKIP TAHUN BADAN POM i alam rangka menciptakan good governance dan clean government di lingkungan Badan POM, LAKIP Badan POM tahun 2011 ini disusun. Sebagai bentuk penjabaran prinsip transparansi dan akuntabilitas, penyampaian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Keracunan Pangan. Kejadian Luar Biasa. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KEJADIAN LUAR BIASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan kimia yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia hidup membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Selain itu pangan juga berfungsi

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR Oleh : Drs. Adang Suptandar, Ak. MM Disampaikan Pada : KULIAH PROGRAM SARJANA (S1) DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, IPB Selasa,

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 03 /PER/M.KOMINFO/03/2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG MONITOR SPEKTRUM FREKUENSI RADIO MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.15/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGAMANAN DAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan adalah produk pangan yang siap hidang atau yang langsung dapat dimakan, biasanya dihasilkan dari bahan pangan setelah terlebih dahulu diolah atau di masak.

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/ LEMBAGA : BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) 1 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis Lainnya BPOM 1.1

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth. Para Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (terlampir) SURA T EDARAN Nomor SE- 21 /PB/2016 TENTANG BATAS MAKSIMUM

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth. Para Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- It /PB/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM

Lebih terperinci

OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL. Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL. Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Press Release Hasil Operasi Pangea VIII tahun 2015 Jakarta, 25 Juni 2015

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 27 TAHUN 2007

BERITA DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 27 TAHUN 2007 BERITA DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 27 TAHUN 2007 PERATURAN BUPATI PACITAN NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG URAIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN PACITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BELITUNG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BELITUNG BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

NOMOR : 36 TAHUN 2015 TANGGAL z 9 SEPTEMBER2OlS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

NOMOR : 36 TAHUN 2015 TANGGAL z 9 SEPTEMBER2OlS BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PENYELENGGARA SELEKSI CALON DAN PENILAIAN KOMPETENSI PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR : 36 TAHUN 2015

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, -1- SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.5.12.11.09955 TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth Para Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- /PB/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENCAIRAN

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT, BUPATI LOMBOK BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN PERATURAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI CARA PRODUKSI PANGAN OLAHAN YANG BAIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Bandar Lampung 1. Sejarah Singkat BBPOM Kota Bandar Lampung Pada awalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 087/O/2003 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 087/O/2003 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 087/O/2003 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Bab ini menjelaskan berbagai aspek berkenaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor yang meliputi: Organisasi Badan Pelaksana an Pertanian,

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PANGAN SEGAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia yang diperlukan setiap saat dan memerlukan pengolahan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Makanan juga

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disebut penyakit bawaan makanan (foodborned diseases). WHO (2006)

BAB 1 : PENDAHULUAN. disebut penyakit bawaan makanan (foodborned diseases). WHO (2006) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paradigma kesehatan lingkungan mengatakan, kontaminasi yang terjadi pada makanan dan minuman dapat menyebakan makanan tersebut menjadi media bagi suatu penyakit.

Lebih terperinci

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Mengingat : 1. Undang

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Mengingat : 1. Undang No.211, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Orta. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU

PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU PROPIL BALAI BESAR POM DI PEKAN BARU Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru Drs, Sumaryanta,Apt.MSI NIP. 19620401 199202 1 001 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN Disampaikan oleh: Ir. Tetty Helfery Sihombing, MP Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Visi dan Misi Badan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu

Lebih terperinci

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara.

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-IND/PER/6/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-IND/PER/6/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 49/M-IND/PER/6/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia

BAB I PENDAHULUAN. harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan satu faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat. Makanan dan minuman harus aman dalam arti tidak mengandung

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang Undang

BAB 1 : PENDAHULUAN. bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang Undang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan masyarakat merupakan salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa.kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia 2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat pada industri obat, kosmetik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat memperbesar

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUK DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 4 29 JULI 2011 LAPORAN PRAKTEK

Lebih terperinci

Perda Kab. Belitung No. 17 Tahun

Perda Kab. Belitung No. 17 Tahun PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG ORGANISASI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN JALAN PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 215 MOR SP DIPA-18.12-/215 DS33-9596-64-778 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.12/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN SEGAR HASIL PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1. Tujuan kontak dengan ULPK BPOM yang sering dilakukan sebagian besar. 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen

1. Tujuan kontak dengan ULPK BPOM yang sering dilakukan sebagian besar. 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen tahun 2014 diselenggarakan oleh PT. Indikator Daya Cendekia dengan waktu pelaksanaan 17 September 5 Nopember 2014.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN

KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Winiati P. Rahayu dan Roy A. Sparringa AGENDA

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Le

2016, No Kehutanan tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan ; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Le No.208, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Balai Pengelolaan. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.12/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Makanan penting baik untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan kehidupan.

Lebih terperinci

Alamat : Jln.Brigjen H. Hasan Basri No.40, Banjarmasin - Kalimantan Selatan 70124, Telp. : Fax. :

Alamat : Jln.Brigjen H. Hasan Basri No.40, Banjarmasin - Kalimantan Selatan 70124, Telp. : Fax. : BALAI BESAR POM DI BANJARMASIN Email : bbpom_banjarmasin@yahoo.com; bpom_banjarmasin@pom.go.id; Alamat : Jln.Brigjen H. Hasan Basri No.4, Banjarmasin - Kalimantan Selatan 7124, Telp. : 511-334286 Fax.

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Berdirinya BPOM Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 15 TAHUN 2003 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN PELABELAN DAN IKLAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pengertian (1) Label

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2 MOR SP DIPA-24.12-/2 DS3612-4187-984-7 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan dalam dunia bisnis terutama bisnis makanan semakin ketat sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah makan, kantin maupun kafetaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERAN KOMUNITAS SEKOLAH UNTUK PENJAMINAN KEAMANAN PANGAN

PERAN KOMUNITAS SEKOLAH UNTUK PENJAMINAN KEAMANAN PANGAN PERAN KOMUNITAS SEKOLAH UNTUK PENJAMINAN KEAMANAN PANGAN DIREKTORAT SURVEILAN DAN PENYULUHAN KEAMANAN PANGAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL Yth. (Daftar terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- 7 /PB/2018 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENCAIRAN DANA DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia biasanya dibuat melalui bertani, berkebun, ataupun

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia biasanya dibuat melalui bertani, berkebun, ataupun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Makanan adalah bahan yang biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh mahluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan yang dibutuhkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 56 TAHUN 2004 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA

KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 56 TAHUN 2004 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 56 TAHUN 2004 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN,

KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN, KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR: KEP-418/K/JF/2003 TENTANG PEJABAT YANG BERWENANG MENANDATANGANI SURAT KEPUTUSAN PENETAPAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL AUDITOR DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci