TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3, km 2. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara LS dan BT. Perbatasan wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Depok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 139 pedesaan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005 (BPS, 2011). Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojong Gede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea). Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah 4,966,621 jiwa yang terdiri dari 2,573,929 jiwa laki-laki dan 2,392,692 jiwa perempuan (BPS, 2012). Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3.16 % atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Di Kabupaten Bogor terdapat 104 unit puskesmas. Peta wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor Jumlah KLB keracunan pangan berdasarkan laporan Balai Besar/ BPOM RI yang terbesar ( ) adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar %. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun dapat dilihat bahwa terdapat 23 KLB keracunan pangan di tempat yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1:

2 Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor tahun Tahun Jumlah Penderita Jumlah Kematian CFR (%) Lokasi - Desa Cisalada Kecamatan Cigombong (acara syukuran) - Desa Kemuning Kecamatan Bojong gede (SDN Kedung Waringin IV) - Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang (Mts. Al Fallahiyah) - PT. Lutfin Indonesia Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja - Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga - Desa Karang Asem Barat Kecamatan Citeurup - Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja - Desa Kotamekar Kecamatan Cariu - Desa Tegal Kecamatan Kemang - PT. Indo Karo Kecamatan Cibinong - PT. Natra Raya Desa. Pasir Angin Kecamatan Cileungsi - Desa Ciomas Kecamatan Ciomas - Kp. Cijulang Ds Kopo Kecamatan Cisarua - Desa Bunar Kecamatan Cigudeg - Desa Leuwiliang Kecamatan Citeureup - Desa Cinagara, Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin - Desa Tanjung sari, Desa Cibadak Kecamatan Tanjung sari - Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang - Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur - Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya - Desa Puraseda, Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang - Desa Cibatuga, Kecamatan Cariu SDN Kp Sawah II Kecamatan Rumpin - Desa Kutamekar, Cikutamahi dan Cibatu 3, Kecamatan Cariu - Desa Pasil Laja Kecamatan Sukaraja Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011) Keterangan: CFR (case fatality rate) : Angka kematian kasus yang diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah kematian dengan jumlah penderita. 10

3 3.2 Keamanan Pangan Pangan mempunyai arti yang luas. Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ada 4 masalah utama keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001), yaitu: (i) pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan; (ii) kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya; (iii) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan; serta (iv) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan. Keamanan pangan (food safety) merupakan unsur penting ketahanan pangan (food security) yang tidak boleh diabaikan begitu saja dengan alasan apapun (Sulaeman dan Syarief, 2007). Dalam UU No 7 tahun 1996, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian keamanan pangan merupakan hak dan sekaligus kewajiban azasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh suatu pemerintahan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Keamanan pangan bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya kesehatan, tetapi juga mendorong tercapainya perekonomian yang lebih baik karena nilai ekonomis pangan aman yang dihasilkan. Pencapaian keamanan pangan bukan hal yang mudah yang secara instan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun harus diupayakan secara terus menerus (Rahayu dan Nababan, 2011). Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain adalah: 1. Pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2. Kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; dan 4. Rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan, 2011). Masalah keamanan pangan yang masih saja terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan ilegal, dan penggunaan tambahan pangan (BTP) melebihi batas yang diijinkan. Masalah keamanan pangan dapat terjadi disepanjang rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keamanan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman, selain itu juga karena tindak lanjut pengawasan yang dilakukan instansi pemerintah belum memberikan efek jera (Rahayu, 2007). 11

4 3.3 Keracunan Pangan Salah satu dampak dari pangan yang tidak aman adalah timbulnya penyakit akibat makanan yang dikenal dengan foodborne disease atau kadang disebut kasus keracunan pangan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne disease) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat (WHO, 2007). Makanan yang sudah terlanjur tertelan sulit kembali lagi, artinya apabila makanan tersebut memiliki nilai gizi dan daya cerna yang tinggi maka proses pencernaan akan berlangsung normal, sebaliknya bila makanan tersebut sudah dicemari dan mengandung racun, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan akibatnya bisa fatal (Winarno, 2004b). Bila ditinjau dari jenis bahayanya, maka pangan yang tercemar secara fisik, biologis, dan kimia dapat membahayakan kesehatan. Bila ditinjau dari prosesnya, keracunan dapat berasal dari bahan baku, proses penanganan, penyiapan, saat penyajiannya (Rahayu, 2011). Terjadinya keracunan pangan dari salah satu anggota keluarga di rumah akan menyebabkan keresahan dan kepanikan. Apalagi jika keracunan pangan tersebut terjadi pada sebagian besar atau seluruh anggota keluarga. Dari berbagai jenis kasus terjadinya keracunan, sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penyebab awal bagaimana keracunan pangan itu dapat terjadi (Winarno, 2004a). 3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 (Menkes, 2004), kejadian luar biasa atau dikenal dengan istilah outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Selain itu KLB sering diartikan sebagai suatu fenomena yang berbeda dari biasanya atau menyimpang dari keadaan normal. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit yang selalu muncul setiap tahun. Akan tetapi, pada Januari-Mei 2004 terjadi peningkatan frekuensi kejadian demam berdarah di beberapa wilayah di Indonesia yang menelan ratusan korban, baik sakit ataupun meninggal. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan demam berdarah sebagai suatu KLB. Banyak jenis lain KLB yang dikenal seperti KLB diare, KLB malaria, KLB keracunan pangan, dan lain-lain. KLB keracunan pangan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang mengakibatkan gangguan kesehatan yang akut, yang disebut gastroenteritis, biasanya karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bakteri patogen atau racun yang diproduksinya (Winarno, 2007). Ada beberapa kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturutturut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya, angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya (Sutarman, 2008). Menurut WHO (2007) diacu dalam Peraturan Kepala BPOM (2009), KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala 12

5 yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Berdasarkan data BPOM (2012) menunjukkan bahwa jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan pada tahun sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15.52 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM Tahun Balai total % Banda Aceh Pekanbaru Jambi Palembang Medan Padang Lampung Bengkulu Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar Kendari Makasar Manado Palu Pontianak Palangkaraya Samarinda Kupang Mataram Banjarmasin Ambon Jayapura Gorontalo Banten Batam Pangkal Pinang Total Sumber: BPOM (2012) Selain itu, jika ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan paling besar berasal dari masakan rumah tangga sebesar % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan dalam rumah tangga masih cukup rendah. 13

6 Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun Jenis Pangan Total % Masakan rumah tangga Pangan Olahan Pangan Jasa Boga Pangan Jajanan Lain-lain Tidak dilaporkan Total Sumber: BPOM (2012) Ada beberapa agen penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan laporan BPOM (2012), yaitu mikroba, kimia, dan tidak diketahui. Sebesar % penyebab KLB tidak diketahui (Tabel 4). Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun Penyebab Total % Mikroba Kimia Tidak diketahui Total Sumber: BPOM (2012) Berdasarkan jenis penyebabnya, KLB keracunan pangan dapat dibagi menjadi 2, yaitu keracunan pangan karena infeksi dan intoksikasi. Keracunan pangan karena infeksi disebabkan karena masuknya kuman penyakit (mikroorganisme patogen) ke dalam tubuh bersama pangan, sehingga menimbulkan reaksi tubuh terhadap kuman tersebut (Imari, 2002) Contohnya: V. parahaemolyticus, Salmonella, E. coli pathogen dan C. perfringen tergolong dalam jenis infeksi (Winarno, 2007). Keracunan pangan intoksikasi disebabkan karena memakan bahan beracun yang terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan atau hewan, yang diproduksi oleh kuman (virus, bakteri, parasit) atau terpapar racun lain yang sengaja atau tidak sengaja terdapat dalam pangan atau sumber pencemar lain (Imari, 2002). Contohnya: keracunan pangan oleh Staphylococcus dan C.botulinum (Winarno, 2007). Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, kita diharapkan mengonsumi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas (Yuliarti, 2007). Menurut Jenie dan Rahayu (2002), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pelaporan kejadian keracunan pangan di dunia diduga disebabkan oleh kombinasi faktor berikut : 1. Perubahan dalam praktik pertanian, seperti pertanian intensif, dimana praktek pembudidayaan dan peternakan menyebabkan penyebaran yang cepat patogen manusia dan hewan melalui ternak dan unggas di berbagai negara. Contoh-contoh penyebaran tersebut adalah Salmonella enteritidis PT4 dalam unggas dan S. typhimurium DT 104 dalam sapi. 2. Integrasi vertikal proses produksi hewan dan praktek terkait, misalnya daur ulang produk limbah rumah potong hewan kembali ke dalam rantai pangan hewan, melalui pakan ternak, yang mengakibatkan menumpuknya agen-agen seperti salmonella dalam unggas dan prion penyebab BSE (bovine spongiform encephalopathy) dalam ternak sapi. 3. Perubahan gaya hidup, seperti lebih banyaknya orang yang melakukan perjalanan ke negaranegara dimana standar higiene-nya lebih rendah dari negara asalnya, sehingga terpapar dengan mikroba dimana mereka tidak mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap mikroba tersebut. 14

7 4. Perubahan demografi, yang menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada kelompok populasi seperti bayi dan anak-anak, orang tua, orang sakit, dan orang dengan kekebalan terbatas (immunocompromised). 5. Malnutrisi di negara dunia ketiga, menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Situasi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang mengungsi ke daerah lain dan terpapar dengan kondisi ekstrim, yang mempercepat penyebaran penyakit asal pangan dan air seperti kolera dan disentri. 6. Globalisasi suplai pangan dunia, yang memperpanjang rantai suplai (lebih banyak orang dan prosedur penanganan pangan yang terlibat dalam peningkatan risiko potensial). Peningkatan perdagangan dunia dalam bidang pangan dan bahan baku pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian pula. Contoh produk mentah yang menimbulkan penyakit adalah selada yang dieksport dari Spanyol ke Norwegia, Swedia dan Inggris menyebabkan disentri basiler. Faktor-faktor lain yang dinyatakan sebagai penyebab meningkatnya insiden penyakit asal pangan termasuk pemanasan global (global warming), berkurangnya penggunaan aditif, seperti nitrit, pada makanan yang diawetkan, serta meningkatnya pemasaran pangan yang sedikit diawetkan, pengolahan kurang, seperti daging masak dingin yang dikemas dengan atmosfir termodifikasi serta pangan yang sedikit dipanaskan dan dikemas dengan proses sous vide cuisine. 3.5 KLB Keracunan Pangan di Indonesia Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya, sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan. Oleh karena itu, perlu ditinjau atau diteliti bagaimana penanganan sampel penyebab KLB keracunan pangan di puskesmas sebagai Unit Pelayanan Terpadu kesehatan yang dekat dengan masyarakat (Sparringa dan Rahayu, 2011b). Pada dasarnya, program penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui kegiatan kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kegiatan kajian risiko yang perlu dilakukan antara lain meningkatkan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan mengkaji penyebabnya di laboratorium. Kegiatan manajemen risiko dilakukan dengan cara melakukan pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan, pilot project KLB keracunan pangan, pelatihan SDM penanggulangan KLB keracunan pangan, pengembangan Jejaring Intelijen Pangan (JIP), dan membentuk pusat kewaspadaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan. Sedangkan dalam komunikasi risiko yang perlu dilakukan adalah kegiatan informasi pencegahan KLB keracunan pangan yang lebih intensif (Sparringa dan Rahayu, 2011a). Peningkatan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan pengkajian penyebab dapat dilakukan dengan pengumpulan data KLB keracunan pangan secara proaktif, penggunaan informasi epidemiologi untuk pengolahan data KLB keracunan pangan, pengkajian laporan yang masuk dan memberi umpan balik, melakukan penguatan kapasitas laboratorium dan secara berkala menginformasikan data-data tersebut. Selama ini, data KLB keracunan pangan telah diinformasikan kepada publik melalui laporan tahunan BPOM RI (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 15

8 Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 3.6 Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan Menurut Sparringa dan Rahayu (2011b), ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan. 2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan di provinsi. 3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya mikrobiologi. 4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau bahan berbahaya penyebab keracunan pangan. 5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat metode sampling yang benar. 6. Dana untuk investigasi kurang memadai. 7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan. 8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya. Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap (protap) yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan. 3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.00.SJ.SE.D.0147 pada tanggal 29 Januari 1999 tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan. Surat edaran ini berisi penjelasan singkat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para petugas terkait (puskesmas, dinas kesehatan, kantor wilayah, bupati, dan lai-lain) dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, terdapat skema atau diagram yang menjelaskan mekanisme penanganan KLB keracunan pangan sesuai hierarki kelembagaan atau instansi. Surat edaran ini tidak merinci halhal teknis atau prosedur yang seharusnya ada dalam sebuah prosedur tetap. Selain itu, surat edaran tersebut tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan penanganan KLB keracunan pangan, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan bagi para petugas terkait, seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan lain-lain. Akan tetapi, pada tahun 2009, BPOM RI telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM RI RI Nomor: HK tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian 16

9 Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan dan di dalam peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya. Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan cara-cara epidemiologi untuk mengetahui penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi (tempat, orang, dan waktu) (Imari, 2002). Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktor-faktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi (Sharp dan Reilly, 2000). Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus, kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban. 2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi. 3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB. 4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit. 6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang. Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan sembilan langkah yaitu: 1. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan. 2. Menetapkan formulasi hipotesis awal. 3. Merencanakan investigasi. 4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data. 6. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi. 7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan. 8. Menghitung dampak ekonomi. 9. Membuat laporan. Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus positif yang memiliki konsentrasi 10 5 per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereus positif dan memiliki konsentrasi 10 6 per gram pangan disertai gejala pertama mual/ muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar (Sparringa dan Rahayu, 2011a). Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang tuntas mengenai KLB keracunan pangan adalah epidemiologi study yang meliputi pengamatan atau kajian observasi yang dapat dilakukan dengan kajian deskriptif dan kajian analisis. Dalam kajian deskriptif, faktor yang diamati adalah waktu, tempat, dan korban kasus kejadian. Sedangkan untuk kajian analisis dilakukan berdasarkan cohort atau case-control studies (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 17

10 Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktor-faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang (jenis kelamin, umur, dll.). Tujuan utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan (Imari, 2002). Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan (Rahayu, 2011). Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktor-faktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan (Sparringa, 2002). Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: (1) menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, (2) memantau kecenderungannya, (3) mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, (4) menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu, (5) mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, (6) mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan (7) memberikan informasi untuk menyusun formulasi kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan (BPOM, 2001). Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan (Rahayu dan Sparringa, 2011). Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua pihak yang terlibat. 3.8 Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan masih kurang baik, sehingga menimbulkan akibat menjadi beberapa kendala, diantaranya yaitu sebagai berikut: (1) lemahnya koordinasi antara lembaga atau pihak terkait, (2) kesalahan penanganan sampel, (3) ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan, (4) keterbatasan sumberdaya manusia, (5) keterbatasan laboratorium dalam analisis, dan (6) keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa, 2002). 18

11 Kesalahan yang sering terjadi adalah keterlambatan pengamanan dan ketidaktepatan sampel yang dicurigai sebagai penyebab keracunan pangan. Selama ini, umumnya sampel yang diterima oleh laboratorium kurang memadai, akibatnya laboratorium tidak mampu menganalisis dengan baik. Hal ini sangat berkaitan dengan penanganan sampel saat di lapangan, sehingga pengambilan sampel harus diperhatikan. Sampel yang tidak memadai diantaranya, yaitu sebagai berikut: (1) sampel tidak cukup mewakili (representatif), (2) jumlah sampel, (3) kondisi sampel tidak sesuai untuk dianalisis, (4) pengiriman sampel sering terlambat dan dalam kondisi yang tidak tepat, (5) informasi sampel dan penderita keracunan tidak ada, (6) sarana pengujian laboratorium tidak lengkap (Tahir et al., 2002). Kendala lain dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah kurangnya kesadaran pemerintah daerah terhadap tanggung jawabnya menangani KLB keracunan pangan. Dalam era otonomi daerah, pihak yang bertanggung jawab melaksanakan penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan adalah pemerintah daerah kabupaten atau kota. Menurut Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bupati atau walikota adalah penanggung jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah, termasuk KLB keracunan pangan (Depkes, 2003). Begitu pula dengan sumberdaya dan dana untuk penyelidikan dan penanggulangan yang juga merupakan tanggung jawab kepala daerah setempat. Salah satu unit kesehatan yang ditanggung oleh tiap daerah adalah puskesmas. Oleh karena itu, setiap puskesmas di daerah berhak mendapatkan alokasi dana yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 008/ MENKES/ SK/I/ 2012 (Menkes, 2012). 3.9 Puskesmas Konsep dasar puskesmas dijelaskan dalam Kepmenkes RI No 128/ MENKES/ SK/ II/ 2004 (Menkes, 2004), salah satunya berisi tentang pengertian puskesmas. Ada beberapa hal yang dijelaskan dalam pengertian puskesmas tersebut, antara lain unit pelaksana teknis, pembangunan kesehatan, penanggungjawab penyelenggaraan, dan wilayah kerja. Pengertian puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksanan teknis (UPTD) dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten atau kota adalah dinas kesehatan kabupaten atau kota, sedangkan puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa atau kelurahan atau RW). Masingmasing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. Pada umumnya, satu puskesmas mempunyai penduduk binaan antara jiwa. 19

12 Menurut Menkes (2004), peran puskesmas dalam kajian epidemiologi ancaman KLB adalah menyelenggarakan kegiatan seperti: a. melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data dan kondisi rentan KLB di daerah puskesmas; b. melakukan kajian epidemiologi terus menerus secara sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan faktor-faktor risikonya, sehingga dapat mengidentifikasi adanya ancaman KLB di daerah puskesmas; c. melaksanakan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB. Menkes (2004) juga menyatakan bahwa fungsi puskesmas dalam peringatan kewaspadaan dini KLB adalah apabila teridentifikasi adanya ancaman KLB yang sangat penting dan mendesak, maka dalam waktu secepat-cepatnya, puskesmas memberikan peringatan kewaspadaan dini KLB kepada program terkait di lingkungan puskesmas, dan sektor terkait wilayah puskesmas, termasuk rumah sakit, klinik dan masyarakat, serta melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Puskesmas melaksanakan kegiatan untuk peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB, seperti peningkatan kegiatan surveilan, dan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB dan mendorong upaya-upaya pencegahan KLB. Kegiatan surveilan yang dimaksud adalah pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB di wilayah puskesmas (Menkes, 2004) Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI RI No. HK tahun 2009 (BPOM, 2009), dimana pada peraturan tersebut dijelaskan mengenai prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan seperti mengidentifikasi jenis contoh makanan yang terkait berdasarkan kategori makanan, mengelompokkan contoh makanan berdasarkan wujudnya (padat atau cair), mengambil contoh menggunakan peralatan yang telah ditentukan, memberi label pada setiap contoh setelah dikemas, memasukkannya ke dalam boks pendingin, membuat berita acara pengambilan contoh makanan, membawa semua contoh dengan sarana transportasi tercepat ke tempat penyimpanan, memasukkan semua contoh makanan ke dalam lemari pendingin pada suhu sekitar 4 o C atau -18 o C (freezer) untuk makanan beku, memilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan, dan mengirim contoh makanan ke tempat pengujian (laboratorium) terdekat. Alat dan bahan pengamanan contoh makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Uraian mengenai isi Peraturan Kepala BPOM RI tahun 2009 dan prosedur tetap (protap) pengambilan contoh makanan KLB keracunan makanan dapat dilihat pada Lampiran 3. 20

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Profil Puskemas Lokasi puskesmas yang menjadi bahan penelitian berada di Kabupaten Bogor dan tersebar di kecamatan yang berbeda-beda, yaitu Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang,

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI DIAH AYU KARTIKA F2488 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN

MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN PELATIHAN SURVEILAN KEAMANAN PANGAN MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. utama di daerah perkotaan ( Media Aeculapius, 2007 ). Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007),

BAB 1 PENDAHULUAN. utama di daerah perkotaan ( Media Aeculapius, 2007 ). Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang membutuhkan pertolongan segera, karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera maka

Lebih terperinci

OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN

OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Keracunan Pangan. Kejadian Luar Biasa. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KEJADIAN LUAR BIASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization atau WHO (2006), mendefinisikan foodborne disease sebagai istilah umum untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

KLB KERACUNAN PANGAN

KLB KERACUNAN PANGAN STRATEGI PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Roy Sparringa dan Winiati P. Rahayu Agenda presentasi

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Bimbingan Teknis Ujian Dinas Tingkat I dan Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tahun 2017 Jakarta, 18 Juli 2017 DASAR HUKUM, TUGAS,

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR Oleh : Drs. Adang Suptandar, Ak. MM Disampaikan Pada : KULIAH PROGRAM SARJANA (S1) DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, IPB Selasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat memperbesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering di pahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan dana dan penanggulangan KLB, pengertian seperti itu menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia. Penggemar makanan jajanan ini merata mulai dari anak-anak sampai orang dewasa sehingga pedagang makanan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebab makanan yang kita makan bukan saja harus memenuhi gizi tetapi harus juga aman dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keamanan pangan memegang peranan yang sangat strategis. Terjaminnya kondisi keamanan pangan di Indonesia berarti telah memenuhi hak-hak masyarakat Indonesia untuk memperoleh

Lebih terperinci

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Sensus Penduduk dan Perumahan Tahun 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia hidup membutuhkan pangan untuk pertumbuhan dan mempertahankan hidup. Selain itu pangan juga berfungsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DI PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya yang berkaitan dengan makanan dan minuman masih menjadi masalah yang paling sering ditemukan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda-benda yang

BAB 1 PENDAHULUAN. mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda-benda yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia.keamanan pangan menurut UU RI No. 7 Tahun (1996) adalah upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat negara kita baru mulai bangkit dari krisis, baik krisis ekonomi, hukum dan kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terkontaminasi baik secara bakteriologis, kimiawi maupun fisik, agar

I. PENDAHULUAN. terkontaminasi baik secara bakteriologis, kimiawi maupun fisik, agar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan makanan serta efektivitas dalam proses produksi menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. keamanan makanan serta efektivitas dalam proses produksi menjadi suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di era globalisasi ini perkembangan zaman yang diingiringi dengan inovasi-inovasi dalam bidang pangan khususnya. Pola konsumsi masyarakat terhadap suatu produk makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat Indonesia ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya ditentukan oleh pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana prasarana kesehatan saja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Diare

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.21.3592 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 05018/SK/KBPOM TAHUN 2001 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia yang diperlukan setiap saat dan memerlukan pengolahan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Makanan juga

Lebih terperinci

OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL. Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL. Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Press Release Hasil Operasi Pangea VIII tahun 2015 Jakarta, 25 Juni 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan sandang dan papan. Sandang dan papan menjadi kebutuhan pokok manusia karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman diperlukan peraturan dalam memproses makanan dan pencegahan terjadinya food borne disease. Selain itu

Lebih terperinci

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU RI No. 36 Tahun 2009 pasal 3 yaitu pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mikroba patogen. Pangan juga dapat menimbulkan masalah serius jika

BAB I PENDAHULUAN. mikroba patogen. Pangan juga dapat menimbulkan masalah serius jika 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidupnya. Namun dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disebut penyakit bawaan makanan (foodborned diseases). WHO (2006)

BAB 1 : PENDAHULUAN. disebut penyakit bawaan makanan (foodborned diseases). WHO (2006) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paradigma kesehatan lingkungan mengatakan, kontaminasi yang terjadi pada makanan dan minuman dapat menyebakan makanan tersebut menjadi media bagi suatu penyakit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Makanan penting baik untuk pertumbuhan maupun untuk mempertahankan kehidupan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari tiga dasawarsa, derajat kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan angka kematian bayi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Sumantri, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Sumantri, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan zat yang memiliki peranan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.tanpa air, berbagai proses kehidupan tidak dapat berlangsung. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100),

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100), Umum Banda Aceh 216,59 246,43 278,90 295,67 112,07 139,01 172,41 190,86 109,37 115,47 119,06 124,90 127,19 Lhokseumawe 217,73 242,90 273,06 295,55 111,38 124,28 143,10 154,71 108,33 116,24 121,61 130,52

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN

KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Winiati P. Rahayu dan Roy A. Sparringa AGENDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tujuan dan upaya pemerintah dalam memberikan arah pembangunan ke depan bagi bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk pertumbuhan dan perkembangan badan. Makanan yang dikonsumsi harus aman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan dalam dunia bisnis terutama bisnis makanan semakin ketat sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah makan, kantin maupun kafetaria

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

LIST PENGADILAN TINGGI YANG SUDAH KIRIM SOSIALISASI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 14:10)

LIST PENGADILAN TINGGI YANG SUDAH KIRIM SOSIALISASI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 14:10) 1 PT Banda Aceh - tgl 26 Januari 2017 via ) 2 PT Medan (Lengkap) 3 PT Padang (Lengkap) 4 PT Pekanbaru 5 PT Jambi - 6 PT Palembang (Lengkap) tgl 31 Januari 2017 via ) 7 PT Bangka Belitung 8 PT Bengkulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh kali sehari, ada yang sehari 2-3 kali sehari atau ada yang hanya 2

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh kali sehari, ada yang sehari 2-3 kali sehari atau ada yang hanya 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyakit yang sering mengenai bayi dan balita. Seorang bayi baru lahir umumnya akan buang air besar sampai lebih dari sepuluh kali sehari,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR 3.7. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah

Lebih terperinci

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah. kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah. kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah dijelaskan bahwa upaya penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatankegiatan kesehatan keluarga,

Lebih terperinci

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat,

Lebih terperinci

Palembang Zuhri, Tangerang Christiyanto, 2002

Palembang Zuhri, Tangerang Christiyanto, 2002 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melanjutkan kehidupan. Makanan yang dikonsumsi dapat berasal dari kafe, restoran, kantin, dan industri katering yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut molekul. Setiap tetes air yang terkandung di dalamnya bermilyar-milyar

BAB I PENDAHULUAN. disebut molekul. Setiap tetes air yang terkandung di dalamnya bermilyar-milyar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air adalah zat di alam yang dalam kondisi normal di atas permukaan bumi ini berbentuk cair, akan membeku pada suhu di bawah nol derajat celcius dan mendidih pada suhu

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I No.1273, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. ORTA. UPT Monitor Frekuensi Radio. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Jawa Barat yang pada tahun 2004 memiliki luas wilayah 2.301,95 kilometer persegi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Visi pembangunan kesehatan yaitu hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat diantaranya memiliki kemampuan hidup sehat, memiliki kemampuan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. E. coli termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan adalah produk pangan yang siap hidang atau yang langsung dapat dimakan, biasanya dihasilkan dari bahan pangan setelah terlebih dahulu diolah atau di masak.

Lebih terperinci

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 16:00 WIB FIX)

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 16:00 WIB FIX) 1 PT Banda Aceh Lengkap 2 PT Medan Lengkap 3 PT Padang Lengkap 4 PT Pekanbaru Belum Lengkap - 5 PT Jambi Belum Lengkap - 6 PT Palembang Lengkap tgl 31 Januari 2017 via ) tgl 31 Januari 2017 via ) 7 PT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Rancangan sistem..., Putih Sujatmiko, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Rancangan sistem..., Putih Sujatmiko, FKM UI, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan modal pokok dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Pemerintah telah telah merencanakan gerakan pembangunan berwawasan kesehatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit cacar ular telah terjadi dari waktu ke waktu selama ribuan tahun, penyakit cacar muncul disebabkan oleh virus cacar yang muncul dalam populasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersih. 4 Penyakit yang menonjol terkait dengan penyediaan makanan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. bersih. 4 Penyakit yang menonjol terkait dengan penyediaan makanan yang tidak bersih. 4 Penyakit yang menonjol terkait dengan penyediaan makanan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan hal yang penting bagi kesehatan manusia. Saat ini banyak terjadi penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat. Letusan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

1. Tujuan kontak dengan ULPK BPOM yang sering dilakukan sebagian besar. 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen

1. Tujuan kontak dengan ULPK BPOM yang sering dilakukan sebagian besar. 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen tahun 2014 diselenggarakan oleh PT. Indikator Daya Cendekia dengan waktu pelaksanaan 17 September 5 Nopember 2014.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus. BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk keperedaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus aedes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan subtropik di seluruh

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dikonsumsi. Maka dari itu, dalam hal ini higienitas sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. untuk dikonsumsi. Maka dari itu, dalam hal ini higienitas sangat berperan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan yang bergizi sangat penting untuk kebutuhan tubuh tetapi makanan yang aman atau terjamin mutunya juga sangat penting agar tidak merusak tubuh karena penularan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat melangsungkan kehidupan selain kebutuhan sandang dan papan. Makanan mengandung nilai gizi yang dibutuhkan

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

Food-borne Outbreak. Saptawati Bardosono

Food-borne Outbreak. Saptawati Bardosono Food-borne Outbreak Saptawati Bardosono Pendahuluan Terjadinya outbreak dari suatu penyakit yang disebabkan oleh makanan merupakan contoh yang baik untuk aplikasi epidemiologi dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 1 FEBRUARI 2017)

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 1 FEBRUARI 2017) 1 PT Banda Aceh Lengkap 2 PT Medan Lengkap 3 PT Padang Lengkap 4 PT Pekanbaru Belum Lengkap - 5 PT Jambi Belum Lengkap - 6 PT Palembang Lengkap 7 PT Bangka Belitung Belum Lengkap - - 8 PT Bengkulu Belum

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN)

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN) KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN) TANTAN R. WIRADARYA Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Pangan produk peternakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, -1- SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN Yth. (Daftar terlampir) SURAT EDARAN NomorSE- 2./PB/2018 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENCAIRAN DANA DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia yang terus terjadi di suatu tempat tertentu biasanya daerah pemukiman padat penduduk, termasuk penyakit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gastroenteritis atau diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit gastroenteritis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas periode pertumbuhan (Golden Age Periode) dimana pada usia ini sangat baik untuk pertumbuhan otak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN APBD MENURUT TAHUN ANGGARAN 205 KODE PENDAPATAN DAERAH 2 3 4 5 = 4 3 URUSAN WAJIB 5,230,252,870,000 5,84,385,696,000 584,32,826,000 0 PENDIDIKAN 0 0 Dinas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Kondisi tersebut menjadikan Kota Yogyakarta semakin padat penduduknya, sehingga

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT. keterkaitannya dengan penyakit akibat pangan di mana masalah keamanan pangan di suatu

KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT. keterkaitannya dengan penyakit akibat pangan di mana masalah keamanan pangan di suatu KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menekankan tentang tantangan dan peluang terkait Keamanan Pangan. Keamanan pangan sangat penting karena keterkaitannya

Lebih terperinci

PROGRAM SURVEILAN KESEGARAN IKAN, RESIDU DAN BAHAN BERBAHAYA TA. 2017

PROGRAM SURVEILAN KESEGARAN IKAN, RESIDU DAN BAHAN BERBAHAYA TA. 2017 PROGRAM SURVEILAN KESEGARAN IKAN, RESIDU DAN BAHAN BERBAHAYA TA. 2017 TUGAS FUNGSI BIDANG SURVEILAN DAN SERTIFIKASI PRODUK SUB BIDANG SURVEILAN SUB BIDANG SERTIFIKASI PRODUK Melaksanakan koordinasi pelaksanaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH 57 BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.838,304 Ha,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL Yth. (Daftar terlampir) SURAT EDARAN Nomor SE- 7 /PB/2018 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENCAIRAN DANA DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENERIMAAN

Lebih terperinci