ESTIMASI POTENSI KAPASITAS ADSORPSI GAS METANA PADA BATUBARA BERDASARKAN KELAS BATUBARA SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ESTIMASI POTENSI KAPASITAS ADSORPSI GAS METANA PADA BATUBARA BERDASARKAN KELAS BATUBARA SKRIPSI"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA ESTIMASI POTENSI KAPASITAS ADSORPSI GAS METANA PADA BATUBARA BERDASARKAN KELAS BATUBARA SKRIPSI BYAN MUSLIM PRATAMA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA DEPOK Juni 2012

2 UNIVERSITAS INDONESIA ESTIMASI POTENSI KAPASITAS ADSORPSI GAS METANA PADA BATUBARA BERDASARKAN KELAS BATUBARA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik BYAN MUSLIM PRATAMA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA DEPOK Juni 2012

3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Makalah Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Byan Muslim Pratama NPM : Tanda Tangan : Tanggal : Juni 2012 ii

4 iii

5 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul Estimasi Potensi Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Pada Batubara Berdasarkan Kelas Batubara ini. Teriring pula penulis panjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad S.A.W. beserta keluarga, sahabat dan pengikut-nya. Penulis berharap semoga makalah skripsi ini bermanfaat bagi setiap pembacanya. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, serta untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik. Dalam penyusunan Skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Ir. Mahmud Sudibandriyo, M.Sc., PhD., selaku pembimbing I atas bimbingan dan masukan yang diberikan kepada penulis, serta persetujuan nya sehingga makalah skripsi ini dapat selesai dengan baik. 2. Bapak Kosasih, ST. Selaku Pembimbing II yang telah berbagi pengetahuan dan memberikan bimbingan serta masukan yang bermanfaat. 3. Bapak Bambang Heru selaku pembimbing akademis yang telah memberikan arahan-arahannya selama ini. 4. Orang Tua tercinta atas motivasi, kasih sayang, dan perhatiannya sehingga penulis terus termotivasi menyelesaikan skripsi ini. 5. Pa Bambang Agus Widjayanto, ST sebagai staff ahli CBM serta personil Lab CBM Lemigas yang telah mau bertukar pendapat dan berbagi pengetahuannya. 6. Istri tercinta, atas semua dorongan semangat, bantuan dan doa yang diberikan selama ini. iv

6 7. Dika, Pepep, Ramly, Wiwid, Santo, Riki, bang jaka, kang rici dan temanteman seperjuangan yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. 8. Rekan-rekan Teknik Kimia khususnya angkatan 2009 yang telah mengisi keseharian penulis. 9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, penulis berharap Allah berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya hal-hal yang berkenaan dengan adsorpsi gas metana pada adsorben berupa batubara. Depok, Juni 2012 Penulis v

7 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Byan Muslim Pratama NPM : Program Studi : Teknik Kimia Departemen : Teknik Kimia Fakultas : Teknik Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Estimasi Potensi Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Batubara Berdasarkan Kelas Batubara beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juni 2012 Yang menyatakan (Byan Muslim Pratama) vi

8 ABSTRAK Nama : Byan Muslim Pratama Program Studi : Teknik Kimia Judul : Estimasi Potensi Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Pada Batubara Berdasarkan Kelas Batubara Kelas batubara dianggap sebagai parameter utama yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi metana (Kim, 1993). Batubara yang digunakan adalah batubara Lignit, Sub-Bituminus dan Bituminus yang diklasifikasi sesuai dengan ASTM D388 berdasarkan kandungan volatilnya yaitu antara (0-65 %wt) dalam basis DMMF. Penelitian ini dilakukan pada temperatur isotermal pada temperatur konstan pada suhu ± 50 o C, dengan variasi tekanan dari 0.7 MPa hingga 6,4 MPa. Hasil uji adsorpsi menunjukkan bahwa secara umum semakin meningkatnya kelas batubara maka semakin tinggi adsorpsi yang dihasilkan, pada batubara Lignit titik puncak minimal pengujian adsorpsi isotermal batubara sebesar 2,42 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya adalah 8,56 m 3 /ton, batubara Sub-Bituminus titik puncak minimal sebesar 4,87 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya mencapai 12,52 m 3 /ton, dan batubara Bituminus titik puncak minimal sebesar 4,93 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya adalah 13,41 m 3 /ton. Pada analisa proksimat kandungan air dan kandungan abu tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap daya adsorpsi, kadar karbon batubara cenderung meningkat seiring meningkatnya adsorpsi gas metana, sedangkan kandungan volatilnya semakin menurun seiring meningkatnya daya adsorpsi batubara. Kata Kunci: Adsorpsi, Kelas Batubara, Metana, Proksimat batubara vii

9 ABSTRACT Name : Byan Muslim Pratama Major Study : Chemical Engineering Title : Estimation of Gas Methane Potential Capacity in Coal Based on Coal Rank Coal Rank is considered as the main parameter affecting the adsorption capacity of methane (Kim, 1993). Coal used is Lignite coal, Sub-Bituminous coal and Bituminous coal Where the coal are classified in accordance with ASTM D388 under volatile content between (0-65 wt%) in DMMF based. The research was carried out at isothermal temperature at a constant operating temperature at 50oC, with variations in pressure from 0.7 MPa to 6.4 MPa. The results of adsorption tests showed that in general affect the grade of coal to coal methane adsorption in which the increasing grade, the higher adsorption of coal produced, the coal on the cusp of a minimum of Lignite coal adsorption isotherm testing of coal is 2.42 m 3 /ton cusp the maximum is 8.56 m 3 /ton, Sub-bituminous coal cusp minimal adsorption isotherm testing of coal is 4.87 m3/ton cusp maximum is m3/ton and minimum peak point of bituminous coal adsorption isotherm testing of coal is 4.93 m3/ton peak maximum is m3/ton. In the analysis proximate moisture content and ash content had no significant effect on the adsorption, the fixed carbon of coal tends to increase with increasing adsorption of methane gas, whereas the more volatile levels decreased with increasing adsorption of coal. Key words: Adsorption, Coal Rank, Methane, Coal Proximate viii

10 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Batasan Masalah Sistematika Penulisan... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Batubara Asal Usul Batubara Proses Pembentukan Batubara Unsur Pembentukan Batubara Maceral Batubara Kelas Batubara (Coal Rank) Kualitas Batubara Analisa Proksimat Batubara Coalbed Methane Reservoir Coalbed Methane Adsorpsi Definisi Adsorpsi Jenis-Jenis Adsorpsi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi Kesetimbangan Adsorpsi Adsorpsi Isotermal Langmuir i ii iii iv vi vii viii ix xi xiii xiv ix

11 BAB III METODE PENELITIAN Diagram Alir Penelitian Prosedur Penelitian Persiapan Alat dan Bahan Alat Bahan Preparasi Sampel Batubara Pengujian Kapasitas Adsorpsi Metana BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Batubara Hasil Uji Proksimat dan Pengklasifikasian Batubara Hasil Preparasi Peralatan Uji Adsorpsi Hasil Uji Kebocoran Hasil Pengukuran Volume Void Hasil Uji Kapasitas Adsorpsi l Pengaruh Kelas Batubara Terhadap Adsorpsi Metana Pengaruh Proksimat Batubara Terhadap Adsorpsi Metana Pengaruh Asal Batubara Terhadap Adsorpsi Metana BAB V KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Pembentukan Batubara 10 Gambar 2.2 Batubara Lignit 12 Gambar 2.3 Batubara Sub-Bituminus 13 Gambar 2.4 Batubara Bituminus 13 Gambar 2.5 Batubara Antrasit 14 Gambar 2.6 Hubungan Volume Gas yang Terbentuk Sebagai Fungsi Rank Batubara 20 Gambar 2.7 Makropori dan Mikropori Batubara 22 Gambar 2.8 Adsorpsi Isotermal 28 Gambar 2.9 Diagram Skema Mekanisme Adsorpsi Langmuir 31 Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian 36 Gambar 3.2 Skema Alat untuk Analisa Daya Adsorpsi Batubara 39 Gambar 4.1 Proses Penghancuran dan Penyaringan Batubara 42 Gambar 4.2 Diagram Alat Adsorption Isotherm 45 Gambar 4.3 Uji Kebocoran Pada Peralatan Adsorpsi 46 Gambar 4.4 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Lignit 48 Gambar 4.5 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Sub-Bituminus 49 Gambar 4.6 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Bituminus 49 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Pengaruh Kandungan Air pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Pengaruh Kandungan Abu pada Adsorpsi Gas metana Batubara xi

13 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Pengaruh Kandungan Karbon pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Regresi Linear Kandungan Karbon pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Pengaruh Kandungan Volatile pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Regresi Linear Kandungan Volatile pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Pengaruh Sumber Batubara terhadap Adsorpsi Gas Metana Batubara xii

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Klasifikasi Batubara Berdasarkan Rank Menurut ASTM 14 D388 Tabel 2.2 Klasifikasi Batubara Berdasarkan Rank Menurut ASTM 15 D388 (modifikasi) Tabel 2.3 Karakteristik Reservoir CBM dengan Gas Konvensional 21 Tabel 2.4 Perbedaan adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia 26 Tabel 4.1 Analisa Free Moisture Batubara 43 Tabel 4.2 Hasil Analisa Proksimat Batubara 44 Tabel 4.3 Volume Void Batubara D 47 xiii

15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Uji Kebocoran Pada Alat Adsorpsi Isotermal Perhitungan Volume Void Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Pada Batubara Pengaruh Analisa Proksimat Terhadap Adsorpsi Batubara Pada Tekanan 6.4 Mpa Regresi Linear Analisa Proksimat Batubara Terhadap Adsorpsi Batubara Pada Tekanan 6.4 Mpa Peralatan Pengujian Yang Digunakan. xiv

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan bakar minyak adalah sumber energi dengan konsumsi yang terbesar untuk saat ini diseluruh dunia jika dibandingkan dengan sumber energi lainya tetapi saat ini dunia mengalami krisis bahan bakar minyak. Banyak negara terutama Indonesia, memiliki kebutuhan energi yang semakin meningkat setiap tahunnya, sedangkan jumlah cadangan energi cenderung menurun yang membuat Indonesia sampai saat ini mengalami masalah kekurangan bahan bakar minyak (dari bahan bakar fosil) untuk negaranya sendiri, minyak bumi sebagai sumber utama energi di Indonesia diperkirakan akan habis dalam 9 tahun mendatang (ESDM, 2005). Kondisi tersebut mendorong pemerintah melakukan pengembangan dan pemanfaatan energi alternatif terbarukan untuk memenuhui kebutuhan energi saat ini serta dalam rangka menghemat sumber bahan bakar minyak yang ada, pencarian terhadap energi alternatif selain minyak bumi merupakan sebuah isu besar dalam kaitannya dengan politik dan menjadi salah satu primadona permasalahan lingkungan global di dunia internasional. Batubara adalah suatu bahan bakar fosil berupa mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap selama jutaan tahun yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia, selain jumlahnya yang melimpah dan energi yang dihasilkannya cukup besar batubara memiliki kandungan gas yang terdapat didalam pori-porinya yang selama ini belum banyak dimanfaatkan secara maksimal, oleh karena itu banyak kalangan berpendapat bahwa batubara sangat potensial untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif di Indonesia. Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas, meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras tetapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, kondisi inilah 1

17 2 yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Di dalam perkembangannya saat ini telah banyak metode-metode yang berkembang dalam pemanfaatan batubara mulai dari gasifikasi batubara, pencairan batubara, karbonisasi batubara, dan berbagai proses pembakaran batubara lainnya serta yang terbaru saat ini adalah pemanfaatan gas methane yang teradsorp dalam batubara atau lebih sering disebut Coalbed Methane (CBM). Coalbed methane adalah gas metana yang terkandung dalam batubara yang terperangkap dalam mikropori atau pori-pori batubara melalui proses mikrobial (biogenic) atau panas (thermogenic) selama proses pembentukan batubara, Pada tahun 1997, US Geological Survey meramalkan cadangan CBM sebesar 700 tcf (trillion cubic feet), atau sekitar 20,000 km3 di Amerika Serikat. Dengan harga gas alam sebesar USD 6,05 per MM BTU (USD 5,73/GJ), cadangan tersebut senilai USD 4,37 trilyun. Paling tidak sekitar 100 tcf (2,800 km3) sangat layak untuk diproduksi. Sedangkan wilayah British Columbia diperkirakan memiliki cadangan sekitar 90 tcf. Harga gas alam yang tinggi membuat CBM sangat layak untuk diproduksi saat ini. Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya Geologi hingga saat ini banyak melakukan kegiatan eksplorasi CBM dengan fokus pada pengumpulan data dasar secara primer serta membangun database batubara Indonesia yang cukup komprehensif. Data dasar yang diambil secara langsung ini sangat diperlukan dalam pengkajian potensi CBM di suatu daerah secara lebih akurat karena didalam suatu penambangan diperlukan prediksi yang tepat dalam menentukan kandungan gas yang ada didalam suatu reservoir batubara baik dari sisi ekonomi maupun kandungan gas yang mungkin tersedia dalam suatu reservoir batubara. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut Indonesia diprediksi memiliki cadangan CBM yang cukup besar untuk dikelola, yaitu sebesar 450 TCF yang tersebar dalam 11 coal basin dengan konsentrasi terbesar terdapat pada cekungan Sumatera Selatan sebesar 183 TCF dan cekungan Barito sebesar 101,6 TCF (Stevens dan Hadiyanto,2003). Namun, potensi sumber daya CBM yang besar tersebut, hasil produksinya masih dalam estimasi dan belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya (ESDM,

18 3 2005). Salah satu kendala dalam produksi CBM tersebut adalah sulitnya memprediksi berapa jumlah metana yang bisa diproduksi dalam suatu reservoir sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kapasitas adsorpsi metana pada batubara. Selain itu, banyak pula kendala lain dalam penelitian mengenai CBM, salah satu diantaranya yaitu struktur batubara yang kompleks dan karakteristik setiap batubara yang berbeda antara satu sumber dengan sumber lainnya (Meyers, 1982). Karakteristik tersebut meliputi kandungan air, kandungan mineral dan abu, kandungan oksigen, jumah maceral, rank batubara, jumlah micropore, dan lain-lain (Clarckson & Bustin, 1996). Penelitian yang telah dilaksanakan melalui Round Robin Project yang dilakukan oleh Departemen Energi USA, secara jelas menunjukkan perbedaan kapasitas adsorpsi hingga 200% untuk batubara dari berbagai lokasi di Amerika Serikat (Schroeder, 2003). Oleh karena karakteristiknya yang berbeda-beda untuk setiap lokasi, maka penelitian yang dilakukan harus spesifik sesuai dengan lokasi batubara tersebut. Kelas Batubara batubara dianggap sebagai parameter utama yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi metana (Kim, 1993). Namun hubungan jenis dan rangking batubara terhadap adsorpsi metana tidak sepenuhnya telah dipahami. Adsorpsi dan desorpsi isotermal dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi kapasitas penyimpanan gas metana dan faktor-faktor yang mempengaruhi parameter ini. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kapasitas gas methane serta coal ranknya. Penelitian untuk pengaruh kelas batubara terhadap adsorpsi gas methane pada batubara belum pernah dilakukan di Indonesia namun telah dilakukan oleh chikatamarla Laxminarayana, Peter J. Crosdale di Bowen Basin, Australia 1998, dengan tujuan mengetahui efek rank coal terhadap kapasitas adsorpsi batubara, dan hasilnya pada adsorpsi isotherm mengindikasikan volume Langmuir (V L ) untuk tipe bright dan dull coal yang berbeda. Trend Polynomial orde ke 2 dengan peningkatan coal rank. Bright coal memiliki V L Minimum pada volatile rendah kelas bituminous (17% R 0 max sama dengan V L sebesar 38.8 cm 3 /g), dan dull coal memiliki V L minimum sebesar 38.2 cm 3 /g pada volatile medium kelas bituminous (1.17% R 0 max ).

19 4 Tingkat kematangan batubara dapat berperan dalam mengontrol volume gas metana yang dihasilkan dan disimpan. Oleh karena itu peringkat atau kematangan batubara sangat menentukan potensi batubara tersebut dalam menghasilkan gas, Karena lapisan batubara bertindak sebagai batuan sumber (source bed) dari gas methane dan juga sebagai reservoir untuk gas tersebut, penyebaran/ distribusi batubara yang luas di suatu cekungan akan sangat berpengaruh terhadap besarnya sumberdaya gas metana. Kelas Batubara berhubungan erat dengan reservoir CBM karena terbentuknya gas-gas dibawah permukaan terjadi selama proses coalifikasi (proses transformasi material organik menjadi bentuk material organik yang lain yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya). Biasanya, tingkatan batubara meningkat sebanding dengan kedalaman karena batubara sangat sensitif terhadap temperatur, tekanan, dan lamanya terkubur yang mempengaruhi daya adsorpsi batubara dalam menyerap gas-gas disekitarnya. Kapasitas adsorpsi sangat tergantung dengan area permukaan (surface area) internal batubara dan volume pori batubata secara mendasar dalam mikrokopis. Gas metana berasal dari proses coalifikasi pada peringkat rendah biasanya tidak diserap oleh batubara. Peningkatan tekanan, tingkatan batubara dan penurunan temperatur dapat menyebabkan kapasitas metana dalam batubara meningkat. Jadi umumnya lapisan batubara yang lebih dalam memiliki jumlah metana yang lebih besar pada rank yang sama, semakin tinggi rank maka kapasitas penyimpanan akan meningkat pula. Berdasarkan beberapa sumber pendukung tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan percobaan penelitian mengenai estimasi kandungan gas metana pada batubara Indonesia berdasarkan kelas batubara tersebut, seperti bagaimana diketahui bahwa batubara memiliki pengaruh terhadap kapasias adsorbsi batubara, dengan mengetahui karakteristik adsorbsi gas methane pada masing-masing kelas batubara diharapkan untuk kedepannya kita dapat mengetahui sejauh mana pengaruh karakteristik batubara seperti temperatur, tekanan, surface area terhadap adsorpsi gas

20 5 methane pada kelas batubara yang berbeda, dan mungkin untuk kedepannya dapat digunakan sebagai acuan untuk memprediksi kisaran gas pada suatu reservoir serta meninjaunya secara ekonomis sebelum reservoir itu diproduksi Perumusan Masalah Belum adanya penelitian mengenai pengaruh coal rank batubara Indonesia terhadap kapasitas adsorpsi gas metana yang sangat diperlukan untuk estimasi kandungan gas metana pada reservoir Tujuan Penelitian 1. Mengetahui daya adsorpsi batubara terhadap gas metana berdasarkan Kelas Batubaranya. 2. Menentukan jenis batubara yang potensial baik dilihat dari daya adsorpsinya maupun sumber yang ada di daerah-daerah di Indonesia. 3. Meninjau pengaruh tekanan terhadap daya adsorpsi batubara. 4. Meninjau pengaruh proksimat batubara terhadap daya adsorpsi batubara 1.4 Batasan Masalah 1. Sampel yang digunakan adalah batubara Lignit, batubara Sub-Bituminus, batubara Bituminus. 2. Klasifikasi batubara ditentukan berdasarkan analisa proksimat yaitu kandungan volatilnya sesuai dengan ASTM D Alat yang digunakan untuk metoda adsorpsinya adalah adsorpsi isotermal. 4. Uji adsorpsi isotermal dilakukan dengan metode volumetric.

21 Sistematika Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Meliputi teori-teori tentang batubara, klasifikasi batubara, coalbed methane, adsorpsi, dan teori-teori tentang adsorpsi isotermal. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Menjelaskan diagram alir penelitian, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian, serta prosedur yang dilakukan pada percobaan yakni pengukuran kapasitas adsorpsi gas metana pada berbagai rank batubara BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Menjelaskan hasil dari eksperimen, yaitu jumlah gas metana yang teradsorb dengan metode adsorpsi isotermal dan membuat grafik Langmuir untuk mengetahui batubara potensi adsorpsi dan karakteristik berbagai jenis batubara. BAB V : KESIMPULAN Menarik hasil dari data eksperimen yang dilakukan menggunakan gravik Langmuir dari berbagai kelas batubara dengan metode adsorbsi dan menyimpulkan batubara yang paling potensial dari berbagai rank tersebut, dan menjelaskan pengaruh tekanan dalam pengukuran adsorpsi isotermal pada batubara. DAFTAR PUSTAKA

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batubara Asal Usul Batubara Beberapa ahli sejarah meyakini bahwa batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batubara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Petunjuk pertama tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan ilmuwan Yunani, yaitu Aristoteles yang menyebutkan adanya arang seperti batu. Abu batubara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM. Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batubara di Eropa, bahkan perdagangan internasional batubara laut dari lapisan batubara yang terdapat di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan terhadap batubara amat besar. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan penggunaan batubara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan batubara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap. Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara. Tetapi bukan berarti bahwa batubara tidak berperan sama sekali sebagai salah satu sumber energi primer. Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber energi primer saja akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan energi yang berkesinambungan. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah yang 7

23 8 merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer Proses Pembentukan Batubara Batubara adalah suatu bahan bakar fosil berupa mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap selama jutaan tahun yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara. Batubara terdiri dari campuran kompleks senyawa organik yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen yang berkombinasi secara kimia bersama dengan sebagian kecil nitrogen dan sulfur (Pitt dan Millward, 1979). Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba. Pada umumnya sisasisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara. Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi pada saat pembatubaraan (Berkowitz, 1979), yakni: Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta pembentukan gambut.

24 9 Tahap Metamorfik atau Pembangunan, dimulai ketika pembangunan sedimen anorganik menjadi kumpulan batubara, selanjutnya proses perubahan (abiotik) terjadi oleh adanya kompaksi, dehidrasi dan reaksi kondensasi. Proses ini diakhiri dengan terjadinya perubahan dari lignit menjadi bituminous dan akhirnya menjadi antrasit. Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.

25 10 Gambar 2.1. Skema Pembentukan Batubara (Ihwanudin, 2010) Unsur Pembentuk Batubara Sebagian besar komposisi batubara adalah unsur-unsur C-H-O-N-S-P. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank). Meskipun komposisi unsur organik pembentuk batubara berbeda-beda sesuai dengan jenis batubaranya, tapi kurang lebih dapat dinyatakan sebagai C 100 H 30~110 O 3~40 N 0.5~2 S 0.1~3. Sedangkan untuk unsur inorganik, terdiri dari unsur inorganik utama dan unsur inorganik minor. Unsur inorganik utama: Si, Al, Ca, Fe, Mg, Na, Ti, K. Unsur inorganik minor: Be, Se, V, Cr, Co, Ni, Cu, Zn, Ga, Ge, As, Hg, Pb, Rb, Sr, Y, Zr, Nb, Ba, La, Ce, Nd, Sm, dll Maceral Batubara Batubara adalah tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah yang prosesnya berlangsung sejak periode karbon (carboniferous period) kurang lebih 350 juta tahun lalu sampai dengan periode neosin (Neocene period) kurang lebih jutaan tahun lalu, yang kemudian terurai oleh sejenis jamur (fungi), dan selanjutnya

26 11 mengalami pembatubaraan (coalification) yang diakibatkan oleh tekanan seperti pergerakan lapisan kulit bumi. Struktur kimia dan fisika dari batubara adalah sebagai berikut: (Sudibandriyo, 2003) : a. Lithotype region, tersusun atas hidrokarbon organik yang memiliki perbedaan dalam densitas, reflektivitas, kekuatan dan volatilitas. b. Lithotype boundaries, tersusun atas komposisi non-hidrokarbon yang memiliki densitas 50% lebih besar dari komposisi yang terdapat pada lithotype. c. Microscope organic region, merupakan bahan pembangun lithotype, dengan ukuran m ; dikenal sebagai maceral. Maceral batubara dibagi menjadi tiga, yaitu: Exinite (Liptinite) Terbentuk dari daun, kulit pohon, serbuk sari, biji, dan resin pada pohon. Tingkat pantulannya sangat rendah. Vitrinite Terbentuk dari jaringan kayu. Tingkat pantulannya rendah, Semakin besar kandungan Vitrinite pada batubara, semakin besar pula volume Langmuir dan BET serta jumlah mikropori yang terdapat pada batubara. Selain itu, kandungan vitrinite juga berbanding lurus dengan kesetimbangan moisture content dari batubara (Clarckson & Bustin, 1996) Inertinite Terbentuk dari jaringan kayu yang mengalami oksidasi kuat. Memiliki tingkat pantulannya tinggi. Penelitian yang dilakukan Clarkson pada tahun 1996, menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan Inertinite pada batubara maka semakin kecil volume Langmuir dan BET.

27 Kelas Batubara (Coal Rank) Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut. Lignit Batubara lignite disebut juga batubara muda/brown coal, yaitu batubara yang merupakan batubara tingkat terendah dari batubara, berupa batubara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari beratnya. Batubara ini berwarna hitam, sangat rapuh, nilai kalor rendah dengan kandungan karbon yang sangat sedikit, kandungan air, abu dan sulfur yang banyak. Batubara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Gambar 2.2. Batubara Lignit Sumber: Klasifikasi Batubara (Ratna, dkk, 2005) Sub-Bituminus Karakteristik batubara sub-bituminus berada diantara batubara lignit dan bituminus. Batubara Sub-bituminus berwarna hitam, kurang kompak, nilai kalor cukup tinggi dengan kandungan karbon yang sedikit, kandungan air, abu dan sulfur yang banyak, sehingga batubara ini menjadi sumber panas yang tidak efisien. Umumnya batubara jenis ini digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU.

28 13 Gambar 2.3. Batubara Sub-Bituminus Sumber: Klasifikasi Batubara (Ratna, dkk, 2005) Bituminus Batubara bituminus merupakan batubara dengan keadaan fisik yang tebal dan kompak, berwarna hitam mengkilat, terkadang cokelat tua. Batubara bituminus memiliki nilai kalor yang tinggi, mengandung 86% karbon dari beratnya dengan sedikit kandungan air, abu dan sulfur. Batubara jenis ini umumnya digunakan untuk PLTU, dapat juga digunakan sebagai pemanas (steam coal) dan aplikasi sumber tenaga dalam industri (misalnya: baja, semen dan genteng) dengan membentuknya menjadi kokas-residu karbon berbentuk padat. Gambar 2.4. Batubara Bituminus Sumber: Klasifikasi Batubara (Ratna, dkk, 2005) Antrasit Batubara antrasit merupakan batubara dengan peringkat tertinggi atau disebut juga sebagai batubara tua. Batubara antrasit berbentuk padat (dense), keras dengan warna jet-black berkilauan (luster) metallic, mengandung antara 86-98% karbon dari beratnya dengan kandungan air, abu dan sulfur yang sangat sedikit. Pada saat pembakaran, batubara ini terbakar secara lambat dan menghasilkan batasan nyala api biru (pale blue flame) dengan sedikit sekali asap. Batubara antrasit dapat digunakan

29 14 untuk sintering bijih mineral, proses pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping dan membuat briket tanpa asap. Gambar 2.5. Batubara Antrasit Sumber: Klasifikasi Batubara (Ratna, dkk, 2005) Tabel 2.1. Klasifikasi Batubara Berdasarkan Rank Menurut ASTM D388 Sumber : ASTM D 388 (2004)

30 15 Tabel 2.2. Klasifikasi Batubara Berdasarkan Rank Menurut ASTM D388 (modifikasi) (sumber : modified from meissner, 1984)

31 Kualitas Batubara Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas batubara adalah suhu dan tekanan, serta lama waktu pembentukan yang disebut sebagai maturitas organik. Semakin tinggi maturitas organik, maka semakin bagus mutu batubara yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya (Darajat, 2009). Pada tahap awal coalification, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batubara lignit (batubara muda), yaitu batubara dengan maturitas organik rendah. Lalu batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara lignit menjadi batubara sub-bituminusn. Perubahan fisika dan kimiawi terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam, sehingga terbentuk bitumen atau antrasit (batubara tua). Batubara tua merupakan batubara yang memiliki maturitas organik yang tinggi, sehingga kualitasnya lebih baik daripada batubara muda. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Batubara yang berkualitas tinggi umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar. Kualitas batubara harus diketahui agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan digunakan, sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan lama. Umumnya dilakukan analisis kimia batubara di laboratorium untuk menentukan kulitas batubara berdasarkan kandungan kimianya, analisis yang dapat dilakukan adalah analisis proksimat dan analisis ultimat (Berkowitz, 1979).

32 Analisis Proksimat Batubara Analisis proksimat merupakan analisis batubara yang paling sederhana yang dilakukan berdasarkan teknik gravimetri. Gravimetri merupakan penentuan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan, dalam hal ini penimbangan hasil reaksi setelah bahan yang dianalisa direaksikan. Hasil reaksi ini didapat: sisa bahan, suatu gas yang terbentuk atau endapan yang dibentuk dari bahan yang dianalisis tersebut (Harjadi, 1990). Analisis proksimat batubara dilakukan dengan cara menimbang bobot basah, memanaskan atau membakar, lalu menimbang bobot kering. Dalam lingkup analisis batubara, analisis proksimat didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk menganalisis kadar air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon) dan kadar abu (ash content) (Clarence, 1978). Kadar Kelembaban (Moisture) Moisture atau kelembaban adalah kandungan air essensial yang terdapat pada batubara. Moisture sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, sehingga penetapan moisture harus dilakukan dengan cara mengkondisikan suhu ruang (± o C) dan kelembaban ruang (± 58 RH) konstan hingga stabil untuk mendapatkan nilai free moisturenya. Air yang berhubungan dengan batubara merupakan elemen penting yang mempengaruhi bentuk dan penggunaan deposit batubara (Clarence, 1978). Sedangkan untuk Inherent Moisture ditetapkan dengan cara memanaskan sampel batubara pada suhu antara 104 o C sampai 110 o C dan dibantu oleh aliran udara kering. Dari hasil analisis laboratorium akan didapat nilai free moisture (FM) dan inherent moisture (IM). Kemudian total moisture (TM) dapat dihitung secara matematis berdasarkan perolehan nilai free moisture dan inherent moisture. Moisture suatu batubara mempengaruhi pada proses pengangkutan, penanganan, penggerusan, pembakaran dan jumlah pemakaian udara primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser.

33 18 Secara teoritis titik didih air adalah 100 o C. Jadi, suhu pemanasan pada saat penetapan harus dikondisikan berada di atas suhu 100 o C agar kandungan air bebas dalam sampel dapat teruapkan. Tetapi suhu pemanasan tidak boleh terlalu tinggi karena dikhawatirkan ada senyawa-senyawa selain air di dalam sampel yang dapat terurai, sehingga mengganggu penetapan sampel secara kuantitatif. Oleh karena itu, suhu penetapan kadar air diatur pada suhu o C. Kadar Abu (Ash Content) Ash Content adalah kandungan mineral dan senyawa anorganik yang tidak menguap ketika dibakar, sehingga akan menjadi residu sisa pembakaran yang disebut sebagai abu. Kadar abu di dalam batubara dipengaruhi oleh jumlah mineral yang terdapat di dalam batubara itu sendiri dan juga dipengaruhi oleh abu dari lingkungan yang mungkin menempel pada batubara. Ketika pembakaran, abu akan terbawa bersama gas pembakar melalui ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80% dan abu dasar sebanyak 20%. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin rendah nilai kalorinya dan secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan dan korosi peralatan yang dilalui. Zat Terbang (Volatile Matter atau VM) Volatile Matter adalah zat organik di dalam batubara yang dapat diuapkan pada suhu tertentu. Zat terbang memiliki kaitan yang erat dengan kelas batubara, semakin tinggi kandungan zat terbang, maka kelas batubara semakin rendah karena proses pembakaran karbon padat semakin cepat, sedangkan kandungan zat terbang yang rendah akan membuat proses pembakaran semakin sukar. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yaitu rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio, maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika nilai fuel ratio lebih dari 1,2, maka pengapian akan kurang bagus dan akan menyebabkan penurunan kecepatan pembakaran.

34 Coalbed Methane (CBM) Coalbed methane adalah gas metana yang terkandung dalam batubara yang terperangkap dalam mikropori atau pori-pori batubara melalui proses microbial (biogenic) atau panas (thermogenic) selama proses pembentukan batubara dan berada dalam kedalaman m dibawah tanah. Coalbed methane ini merupakan salah satu sumber daya energi bersih lingkungan yang telah dimanfaatkan diberbagai Negara. Melalui proses tertentu, CBM diambil tanpa mengurangi deposit batubaranya. Coalbed Methane (CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih baru, sumber energi ini merupakan salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metana yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan batubara tersebut ada. Coalbed Methane terbentuk dengan beberapa tahapan. Selama tahap awal pembentukan batubara, metana biogenic terbentuk dari by-product respirasi bakteri. Bakteri aerobic terlebih dahulu memetabolisme oksigen yang tersisa pada sisa-sisa tanaman dan sedimen sekitar. Namun, dalam lingkungan air tawar, produksi gas metana mulai terbentuk setelah oksigen habis (Rice dan Claypool, 1981). Spesies bakteri anaerobic kemudian mengurangi karbondioksida dan menghasilkan gas metana melalui pernapasan anaerobik (Rice & Claypool, 1981). Ketika batubara mencapai temperatur sekitar 122 o F, dan setelah beberapa lama, gas metana biogenic terbentuk. Pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar dua pertiga kelembabannya dikeluarkan dan batubara telah mencapai tingkatan sub-bituminus (Rightmare, 1984). Setelah batubara telah melebihi temperatur 122 o F berdasarkan gradien geothermal, proses termogenik mulai membentuk tambahan gas berupa karbondioksida, nitrogen, metana, dan air. Pada tahap ini, sejumlah hidrokarbon atau zat volatil meningkat dan mencapai coal rank bituminus (Rightmire, 1984). Kemudian setelah temperatur lebih dari 210 o F, produksi gas karbondioksida juga meningkat dengan sedikit penambahan gas metana. Produksi termogenik tidak melebihi produksi karbondioksida pada tingkatan batubara volatil tinggi hingga

35 20 mencapai temperatur 250 o F. Pembentukan maksimum gas metana pada batubara bituminus terjadi pada temperatur 300 o F (Rightmire, 1984). Hubungan volume gas yang terbentuk dengan rank batubara dapat dilihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6. Hubungan Volume Gas yang terbentuk sebagai Fungsi Rank Batubara (Anderson, 2003) Gas metana yang dihasilkan akan teradsorpsi ke permukaan Micropore dan disimpan dalam cleats, patah tulang dan bukaan lainnya dalam batubara. Hal ini dapat terjadi juga di groundwaters di dalam lapisan batubara. CBM tidak memerlukan perangkap tertutup seperti yang dilakukan pada akumulasi gas konvensional. Batubara bertindak sebagai sumber dan reservoir untuk gas metana. Jumlah gas metana yang teradsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (Pophare, 2008) 1. Karakteristik adsorben 2. Sifat fisika dan kimia gas yang teradsorpsi 3. Volume dan jumlah mikropori, serta total luas permukaan. 4. Tekanan dan temperatur kritis adsorben dan adsorbat. 5. Moisture content dan kandungan abu.

36 Reservoir Coalbed methane Karakteristik reservoir CBM berbeda dari gas konvensional pada berbagai tempat. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini. Tabel 2.3. Karakteristik Reservoir CBM dengan Gas Konvensional (sumber : Suci Ayunda, 2011) Komponen reservoir CBM terdiri atas batuan reservoir, isi dari reservoir yang terdiri atas komponen utama yaitu gas alam sedangkan air sebagai komponen ikutan, batuan penutup (seal) reservoir dan kondisi reservoir. Berbeda dengan reservoir gas konvensional, batubara adalah reservoir batuan dan sumber gas metana. Batubara adalah media heterogen dan media pori yang mempunyai karakteristik oleh dua jenis sistem porositas yaitu: makropori dan mikropori seperti pada gambar 2.7. Makropori yang dikenal sebagai cleat, merupakan rekahan batubara pada setiap lapisan batubara. Mikropori atau matrix merupakan tempat penyimpanan sebagian besar gas. Cleat

37 22 terdiri atas face cleat yang merupakan jalur rekahan dan bersifat menerus sepanjang pelapisan dan butt cleat yang merupakan jalur rekahan bersifat tidak menerus. Uniknya, face cleat dan butt cleat saling tegak lurus. Gambar 2.7. Makropori dan Mikropori Batubara (Yi & Akkutlu, 2009)

38 Adsorpsi Definisi Adsorpsi Adsorpsi merupakan suatu peristiwa dimana molekul-molekul dari suatu senyawa terikat oleh permukaan zat padat. Molekul-molekul pada zat padat atau zat cair mempunyai gaya dalam keadaan tidak seimbang dimana gaya kohesi cenderung lebih besar daripada gaya adhesi. Ketidakseimbangan gaya-gaya tersebut menyebabkan zat padat atau zat cair tersebut cenderung menarik zat-zat lain atau gas yang bersentuhan pada permukaaannya. Fenomena konsentrasi zat pada permukaan padatan atau cairan disebut fasa teradsorpsi atau adsorbat, sedangkan zat yang menyerap atau menariknya disebut adsorben. Proses adsorpsi pada suatu adsorben terutama terjadi pada pori-pori kecilnya (mikropori). Sementara itu, makropori hanya berperan sebagai tempat transfer adsorbat dari permukaan luar ke mikropori (Ding & Bhatia, 2003). Dalam adsorpsi gas, jumlah molekul yang teradsorpsi pada permukaan padatan bergantung pada kondisi dalam fasa gas. Jumlah molekul adsorbat yang teradsorpsi pada permukaan tersebut akan meningkat dengan kenaikan tekanan dan temperatur. Ketika ketebalan dari fasa yang teradsorpsi pada permukaan padatan sama dengan diameter molekul adsorbat, maka adsorpsi dikatakan membentuk monolayer. Setelah terbentuknya monolayer ini, maka peningkatan tekanan akan menghasilkan multilayer Jenis-jenis Adsoprsi Adsorpsi dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sifat interaksi antara permukaan adsorben dengan adsorbat (Treybal, 1980): a. Adsorpsi fisik (Physisorption) Proses adsorpsi ini sangat bersifat dinamik dimana terdapat suatu keadaan setimbang antara molekul dan adanya kesetimbangan interaksi antara adsorbat dan adsorben. Dalam proses adsorpsi fisik, tidak terdapat suatu ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorben dan molekul adsorbat. Ikatan antara molekul adsorbat dan adsorben terjadi karena adanya gaya elektrostatik,

39 24 seperti gaya London atau gaya van der Waals yang berasal dari induksi dipoldipol. Ikatan ini juga bisa dipengaruhi oleh karakteristik fisik dari adsorben, seperti porositas adsorben. Penyebaran gaya antar molekul-molekul itu merupakan dampak dari fluktuasi induksi yang sangat cepat pada muatan elektron dari molekul adsorben dan adsorbat (Gregg, 1982). Adsorpsi fisik adalah suatu peristiwa yang reversible, sehingga jika kondisi operasinya diubah akan membentuk suatu kesetimbangan baru. Peristiwa adsorpsi gas terjadi sangat cepat dan mekanismenya tergantung dari ukuran molekul adsorbat dibandingkan dengan lebar pori adsorben. Hal ini berhubungan dengan interaksi antara adsorbat dan pori-pori. Mula-mula molekul adsorbat terserap pada pori-pori adsorben dengan energi sangat besar, dengan mengabaikan efek aktivasi difusi, proses adsorpsi dilanjutkan dengan pengisian pori-pori adsorben sehingga energi adsorpsi yang digunakan menurun. Beberapa macam pori adsorben dapat menampung antara dua sampai tiga molekul adsorbat. Dengan adanya proses adsorpsi fisik, volume elemen adsorbat akan berkurang dengan cara meningkatkan potensi adsorptif pada pori. Dikarenakan adsorpsi fisik bersifat isotermis, maka bila temperatur dinaikkan maka jumlah gas yang terserap akan berkurang, hal ini sesuai dengan prisip Le Chatelier. Untuk kasus adsorpsi fisik yang disertai aktivasi difusi, hipotesa ini tidak berlaku. Lamond dan Mars melaporkan bahwa data interpretasi dari adsorpsi fisik Nitrogen pada permukaan yang polar ataupun yang nonpolar menunjukkan bahwa adsorpsi fisik tidak tergantung dari sifat kimia dari permukaan adsorben. Panas yang dikeluarkan pada peristiwa adsorpsi disebut panas adsorpsi. Panas adsorpsi fisik pada umumnya rendah (5-10 kkal/gmol gas) dan terjadi pada temperatur rendah yaitu di bawah temperatur didih adsorbat. Hal ini menyebabkan adsorpsi fisika bersifat reversible dan berlangsung sangat cepat. Proses adsorpsi fisik dapat terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi, sehingga proses tersebut akan membentuk lapisan multilayer pada permukaan adsorben.

40 25 Ikatan yangterbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputus dengan mudah, yaitu dengan cara pemanasan pada temperatur C selama 2-3 jam. b. Adsorpsi Kimia (Chemisorption) Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan kovalen dan ion antara molekul-molekul adsorbat dan adsorben. Adsorpsi jenis ini melibatkan transfer elektron antara adsorben dan adsorbat dengan membentuk ikatan kimia, sehingga menyebabkan adanya adhesi pada molekul adsorben. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk adalah lapisan monolayer. Adsorpsi kimia bersifat irreversible dan pada umumnya terjadi pada temperatur tinggi di atas temperatur kritis adsorbat, sehingga panas adsorpsi yang dilepaskan juga tinggi, sekitar kkal/gmol, sedangkan untuk dapat terjadinya desorpsi (pada proses regenerasi) dibutuhkan energi yang lebih tinggi lagi untuk memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dan adsorbat. Energi aktivasi yang dibutuhkan sekitar kkal/gmol. Adsorpsi kimia biasanya menyebabkan perubahan kimia dari adsorbat karena pada saat desorpsi fasa teradsorpsi, adsorbat mengalami proses pelepasan secara kimia. Pada Tabel 2.4 dijelaskan mengenai beberapa karakteristik yang berhubungan dengan adsorpsi fisika dan kimia (Ruthven D. M., 1984) yaitu :

41 26 Tabel 2.4. Perbedaan adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia (sumber : Suci Ayunda, 2011) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi Jumlah fluida yang teradsorpsi pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Bahl & Tuli, 1997; Treybal, 1980): 1. Jenis Adsorbat a. Ukuran molekul adsorbat Ukuran molekul adsorbat yang sesuai merupakan hal yang penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. b. Kepolaran zat Jika molekul adsorben dan adsorbat memiliki ukuran yang sama, molekulmolekul polar yang lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang kurang polar. Molekul-molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul kurang polar yang telah lebih dahulu teradsorpsi.

42 27 2. Karakteristik Adsorben Karakteristik adsorben yang penting adalah adsorben ini memiliki porositas yang tinggi. Selain itu, untuk adsorben karakteristik secara fisik lebih penting dibandingkan karakteristik kimianya. Struktur mikroskopis adsorben dapat diketahui dengan metode standar, diantaranya : a. Kemurnian adsorben Kemurnian adsorben dari zat pengotor dapat meningkatkan daya adsorpsi, hal ini menyangkut luas permukaan adsorben yang akan semakin besar apabila kadar zat pengotor yang dapat menutupi pori-pori semakin kecil. b. Luas Permukaan dan Volume Pori Adsorben Jumlah molekul adsorbat yang teradsorp meningkat seiring dengan meningkatnya luas permukaan dan volum pori adsorben. Dalam proses adsorpsi seringkali adsorben diberikan perlakuan awal untuk meningkatkan luas permukaannnya karena luas permukaan adsorben merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi proses adsorpsi Untuk mengetahui volum pori, baik volum total pori maupun distribusinya serta diameter pori yang dibutuhkan digunakan didasarkan pada penentuan densitas (penempatan) dari merkuri dan helium. Helium digunakan karena ukuran atomnya yang kecil serta adsorpsi yang menyertainya dapat diabaikan menunjukkan total kekosongan dimana merkuri tidak berpenetrasi kedalam pori pada tekanan ambient dan memberikan kekosongan antar partikel. c. Tekanan Adsorbat Pada adsorpsi fisika, jumlah zat yang diadsorpsi akan bertambah dengan menaikkan tekanan dari adsorbat (tekanan sistem) karena dapat memperkuat ikatan van der Waals antar molekul adsorben dan adsorbat, sebaliknya pada adsorpsi kimia, jumlah zat yang diadsorpsi akan berkurang dengan menaikkan tekanan adsorbat.

43 28 d. Temperatur Proses adsorpsi merupakan proses yang eksotermis, berarti peningkatan temperatur pada tekanan yang tetap akan mengurangi jumlah senyawa yang teradsorpsi, sesuai dengan prinsip Le Chatelier. Adsorpsi fisika yang substansial biasa terjadi pada temperatur di bawah titik didih adsorbat, terutama dibawah 50 0 C Kesetimbangan Adsorpsi Pada saat fluida yang mengandung adsorbat dikontakkan dengan padatan adsorben, molekul-molekul adsorbat berpindah dari fluida ke padatan sampai konsentrasi adsorbat di aliran fluida berada dalam keadaan setimbang dengan adsorbat yang teradsorpsi dalam padatan adsorben. Data kesetimbangan adsorpsi yang dihasilkan pada temperatur konstan biasa disebut adsorpsi isotermis, dimana terdapat hubungan antara jumlah zat yang teradsopsi per unit massa padatan dan tekanan gas adsorbatnya. Adsorpsi isotermis dapat dihitung dengan mengukur tekanan adsorbat pada saat awal (sebelum terjadi kesetimbangan) dan pada saat terjadinya kesetimbangan. (Bahl & Tuli, 1997; Sundstrom & Herbert, 1993; Ruthven D. M., 1993). Brunauer mengklasifikasikan adsorpsi isotermis dengan klasifikasi adsorpsi fisika menjadi lima kelas (Maron & Lando, 1974; Ruthven D. M., 1984) seperti yang ditunjukkan pada Gambar Gambar 2.8 Adsorpsi Isotermal (Suci, 2011)

44 29 Profil dari adsorpsi isotermis harus memilki kesamaan profil sedikitnya dengan satu kurva di atas atau kombinasi dari dua atau lebih kurva adsorpsi di atas. Tipe adsorpsi isotermis yang ke-enam merupakan tipe terbaru yang diklasifikasikan oleh metode Brunauer, Deming, Deming dan Teller (sistem B.D.D.T). Beberapa informasi tentang tipe adsorpsi isotermis adalah sebagai berikut : 1. Isotermis tipe I Proses adsorpsi ini biasanya terjadi secara sempurna pada tekanan parsial 0,5 Mpa. Jenis adsorpsi ini disebut juga Langmuir Isoterm dan menggambarkan adsorpsi satu lapis (monolayer). Jumlah adsorbat mendekati harga pembatas saat P/P0 mendekati satu. 2. Isotermis tipe II Jenis adsorpsi ini adalah jenis adsorpsi fisik dari gas pada media non-pori atau padatan berpori besar, yang menunjukan sifat adsorpsi monolayer-multilayer. Lapisan monolayer akan diikuti oleh pembentukan multilayer apabila tekanan sistem dinaikkan. Pada profil kurva tipe II terlihat ada kemiripan dengan tipe pertama, tetapi kurva kemudian naik kembali. Pada transisi dimana slope kurva bernilai 0 maka pada bagian ini mengindikasikan tekanan relatif pada saat pelapisan monolayer selesai. Adsorben campuran karbon mesopori dan mikropori menghasilkan adsorpsi tipe II. 3. Isotermis tipe III Plot kurva yang dihasilkan berbentuk cembung berdasarkan perubahan tekanan relatif pada axis plot. Kelompok adsorpsi isotermis ini merupakan karakteristik khas dari interaksi adsorbat-adsorben yang lemah (Kiselev, 1968). Tipe ini sering terjadi pada adsorben yang memiliki ukuran pori yang cukup lebar, dan tipe ini juga biasanya diasosiasikan dengan adsorben mikropori dan tak berpori. Interaksi yang lemah antara adsorben dan adsorbat menyebabkan penyerapan adsorbat yang sedikit pada tekanan rendah. Sekali molekul telah teradsorp pada tempat proses adsorpsi, maka interaksi adsorbat-adsoben akan semakin kuat, sehingga dapat menjadi driving force dari proses adsorpsi tipe ini.

45 30 Hal ini menghasilkan daya adsorpsi yang tinggi pada tekanan relatif yang tinggi pula. Tipe adsorpsi yang terjadi pada tekanan relatif yang besar biasa dikenal dengan teori cluster. 4. Isotermis tipe IV Jenis ini hampir sama dengan tipe II pada rentang tekanan yang relatif redah sampai menengah. Loop histerisis, yang keberadaannya sering diasosiasikan dengan pori berukuran mesopori (2-50 nm), sering terjadi pada tipe ini. Kondensasi kapiler (capillary condensation) meningkat sampai daerah histerisis. Volume terbesar adsorbat yang teradsorpsi dapat dihitung dari capillary condensation yang telah sempurna mengisi pori. Profil adsorpsi isotermis tipe ini menunjukkan batasan kapasitas maksimum pada tekanan relatif yang tinggi. 5. Isotermis tipe V Profil adsorpsi tipe ini berbentuk cembung terhadap tekanan relatif disumbu x, adsorpsi ini merukapan karakteristik interaksi yang lemah antara adsorbat dan adsorben. Adsorpsi ini mengindikasikan pemakaian adsorben mikropori atau mesopori, alasan kenapa bentuk profil seperti ini dapat dijelaskan oleh teori adsorpsi tipe III, perbedaan hanya terjadi pada besarnya pengaruh daya tarik intermolekul yang sangat besar pada adsorpsi tipe V. 6. Isotermis tipe VI Pada awalnya adsorpsi tipe ini dikenalkan sebagai profil adsorpsi hipotetik. Bentuk kurva merupakan penggambaran dari pembentukan sempurna lapisan monomolekuler sebelum proses pembentukan lapisan selanjutnya Adsorpsi Isotermal Langmuir Percobaan adsorpsi yang paling umum adalah menentukan hubungan jumlah gas teradsorpsi (pada adsorben) dan tekanan gas. Pengukuran ini dilakukan pada suhu tetap, dan hasil pengukuran digambarkan dalam grafik dan disebut model adsorpsi isotermis.

46 31 Banyak model teori dan empiris yang telah dikembangkan untuk menjelaskan berbagai fenomena adsorpsi isotermis. Pada saat ini, tidak ada satupun persamaan yang dapat menerangkan seluruh mekanisme dengan sempurna. Model Langmuir dapat ditentukan dengan melihat dari sisi kesetimbangan, cara yang terbaik dalam menentukan model Langmuir tersebut adalah dengan menggunakan teori kinetika. Ketika suatu molekul berbenturan dengan suatu permukaan adsorbat, maka akan ada dua kemungkinan yaitu molekul tersebut akan terpantul atau teradsorpsi. Apabila suatu molekul membentur situs yang sudah terisi oleh molekul, maka molekul tersebut akan terpantulkan. Jadi adsorpsi hanya akan terjadi pada suatu situs yang kosong. Setelah menempati suatu situs, molekul yang teradsorpsi mungkin akan terevaporasi dari situs yang ditempatinya. Proses kemungkinan teradsorpsi atau terpantulkannya suatu molekul pada suatu permukaan dapat dilihat pada gambar 2.11 Gambar 2.9 Diagram Skema Mekanisme Adsorpsi Langmuir (Suci Ayunda, 2011)

47 32 Dari penjelasan diatas, maka dalam model Langmuir ada beberapa hal yang diasumsikan, antar lain: 1. Gas yang teradsorpsi berkelakuan ideal dalam fasa uap 2. Molekul teradsorpsi pada jumlah pori yang ada secara pasti dan membentuk satu lapisan 3. Setiap situs adsorben hanya dapat ditempati oleh satu molekul adsorbat. 4. Semua pori adsorben memiliki jumlah energi/entalpi yang sama 5. Tidak ada interaksi antara molekul-molekul yang teradsorpsi (tidak bergerak bebas di satu tempat dengan tempat yang lainnya. Pendekatan ini merupakan tinjauan dalam hal kinetika, dimana mengasumsikan sistem adsorpsi sebagai kesetimbangan dinamik. Pada kesetimbangan dinamik, laju evaporasi sama dengan laju kondensasi yang terjadi pada proses adsorpsi. Persamaan isotherm Langmuir dapat diturunkan dari kesetimbangan yang terjadi antara molekul fasa gas dengan permukaan adsorben, serta spesi adsorbat pada permukaan dalam suatu proses adsorpsi gas. Diantara gas yang tidak teradsorpsi dan gas yang teradsorpsi terdapat kesetimbangan dinamik. Per satuan waktu jumlah molekul gas yang teradsorpsi sama dengan jumlah molekul yang terdesorpsi. Laju adsorpsi akan sebanding dengan kesetimbangan tekanan gas dan permukaan yang terbuka.

48 33 Pada proses adsorpsi nondisosiasi, kita dapat menunjukkan adsorpsi dalam suatu persamaan kimia : S * + P SP (2.1) Dimana : S* menunjukkan situs permukaan yang kosong P menunjukkan partikel gas SP menunjukkan situs pada adsorben yang terisi oleh partikel Konstanta kesetimbangan untuk proses diatas adalah (2.2) Untuk merepresentasikan konstanta kesetimbangan juga dapat digunakan notasi b. karena fraksi dari situs yang terisi sama dengan θ, dan fraksi yang tidak terisi sama dengan 1- θ, maka persamaan diatas dapat menjadi : Dengan menyusun ulang persamaan diatas maka akan didapatkan (2.3) (2.4) Persamaan diatas merupakan persamaan Langmuir dimana b (atau K) merupakan konstanta Langmuir dan θ merupakan fraksi permukaan monolayer. Persamaan digunakan untuk menentukan nilai konstanta Langmuir. Dimana : α = konstanta adsorpsi; β = konstanta desorpsi T = temperatur; Q = energi aktivasi R = konstanta gas ideal; m = massa adsorben k = konstanta Boltzman; π = spread pressure (2.5)

49 34 Nilai konstanta b ini, secara nyata menunjukkan kekuatan ikatan yang terbentuk antara adsorben dengan adsorbat. Semakin besar nilai konstanta b berarti semakin kuat ikatan antara adsorben dengan adsorbat. Pada persamaan Langmuir, nilai b sama dengan slope ketika nilai P => 0. Pada persamaan Langmuir awal, terdapat dua efek temperature, yaitu laju ketika molekul gas mengenai permukaan menurun seiring dengan peningkatan temperatur dan laju desorpsi yang dimodelkan sebagai proses aktivasi. Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada persamaan Langmuir terkait dengan kondisi adsorpsi yang sebenarnya adalah : Pada persamaan Langmuir diasumsikan bahwa satu molekul hanya akan menempati satu situs adsorben padahal pada kenyataannya, terdapat molekul yang besar yang dapat berikatan dengan situs adsorben lebih dari satu. Asumsi bahwa molekul yang teradsorpsi sama dengan molekul dalam fasa gas tidak valid. Asumsi bahwa hanya akan ada lapisan yang teradsorpsi hanya satu molekul tidak valid. Sebagai contoh, apabila kita akan menghitung jumlah air yang terdasorpsi didalam suatu zeolit, didasarkan pada area permukaan dan monomolekul, kapasitas yang dihitung lebih rendah dengan kapasitas yang diukur.

50 8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dibahas diagram alir proses penelitian, peralatan dan bahan yang digunakan, variabel penelitian, dan prosedur penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium Coalbed Methane (CBM), gedung Eksploitasi, PPPTMGB LEMIGAS, Jakarta. 3.1 Diagram Alir Penelitian Prosedur penelitian secara keseluruhan terbagi menjadi dua bagian besar yaitu proses pengklasifikasian batubara dan pengujian adsorpsi isotermal batubara. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan data experimental yang sudah ada dari sampel didaerah Sumatra dan Kalimantan serta data yang akan diperoleh dari experimental sendiri. Analisis data daya adsorpsi dilakukan berdasarkan prinsip adsorpsi isotermal Langmuir. Pada penelitian ini variabel yang akan divariasikan (variabel bebas) adalah tekanan (0-16 Mpa) pada temperatur ±50 0 C adsopsi gas oleh adsorben berupa batubara, dan yang menjadi variabel terikat adalah jumlah mol gas metana yang teradsorpsi oleh batubara. Penelitian ini dilakukan seperti diagram alir proses yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini, untuk langkah-langkah yang lebih jelas dan lebih detail dapat dilihat pada bagian prosedur penelitian pada gambar 3.1 dibawah ini.

51 36 Gambar 3.1. Diagram alir Penelitian

52 37 Data yang akan diambil adalah sebanyak ± 20 buah sampel yang terdiri dari 10 data experimental yang sudah ada hasil analisa proksimat dan adsorpsi isotermalnya (2 batubara Lignit, 3 batubara Sub-Bituminus, dan 5 batubara Bituminus) serta 10 data yang akan diperoleh dari experimental sendiri (3 batubara Lignit, 2 batubara Sub-Bituminus, dan 5 batubara Bituminus) dari sampel didaerah Sumatra dan Kalimantan dengan pengklasifikasiaanya berdasarkan analisa proksimat dengan range kandungan karbon antara (60-98%) dan kandungan volatilnya dengan range antara (0% - 65%) dalam basis DMMF (% Wt) sesuai dengan ASTM D Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengukuran analisa proksimat (untuk klasifikasi batubara), void volume dan uji adsorpsi metana (untuk uji adsorption isotherm) Persiapan Alat dan Bahan Alat 1. Crusher (penghalus batubara) 2. furnace 3. Dozing cylinder. 4. Sampling cylinder. 5. Pressure transducer. 6. Water bath 7. Kompresor 8. vakum. 9. Termometer. 10. Timbangan. 11. Spatula

53 Bahan 1. Sampel batubara lignit 2. Sampel batubara sub bituminous 3. Sampel batubara bituminous 4. Gas Helium 5. Gas Metana Preparasi Sampel Batubara Sampel batubara adalah bahan yang didapat dari beberapa daerah di Indonesia dengan kelas yang berbeda-beda. masing-masing batubara akan digerus/dihaluskan dengan crusher lalu diayak hingga mencapai ukuran < mm pada suhu ruang yang terkendali kelembaban dan suhunya (±28 0 C) hingga sampel tersebut stabil dan siap untuk dianalisa proksimat dan pengujian adsorpsi isotermal. Adapun alat uji adsorpsi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah peralatan uji adsorpsi yang sudah ada di Laboratorium Coaldbed Methane yang berada di Gedung Eksploitasi, PPPTMGB LEMIGAS, sinyal keluaran transducer juga akan dihubungkan dengan data aquisisi, sehingga dapat diamati perubahan tekanan adsorpsi setiap waktu Pengujian Kapasitas Adsorpsi Metana Pada analisis ini adsorbat yang dipakai adalah gas metana (CH 4 ). Prosedur penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Sebelum pengujian adsorpsi metana dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengetesan kebocoran. Alat diisi dengan adsorben dan gas Helium dengan tekanan tertentu kemudian dibiarkan selama ±2 jam (hingga stabil). Kebocoran diindikasikan dengan terbentuknya gelembung sabun jika peralatan diolesi cairan sabun serta terjadi penurunan tekanan. Peralatan yang digunakan adalah seperti pada Gambar 3.2.

54 39 Gambar 3.2. Skema Alat untuk Analisa Daya Adsorpsi Batubara 2. Kalibrasi volume void Sampling Cylinder Pada sampling cylinder terdapat batubara sebagai adsorben dengan mencatat massa adsorbennya (gr). Volume void dari Sampling Cylinder adalah volume total dari ruang kosong yang terdapat pada Sampling Cylinder. V void V V V (3.1) SC ruang yang terisi batubara pori poribatubara Prosedur pencarian volume void Sampling Cylinder adalah sebagai berikut: a. Mengisi dozing cylinder dengan gas He sampai penuh dengan cara membuka valve helium dan valve dozyng cylinder serta mengalirkan gas He ke dalam alat tersebut. Sementara itu, valve sample dalam keadaan tertutup dan semua pompa vakum dalam keadaan mati. Valve helium dan valve dozyng cylinder ditutup ketika dozing cylinder telah terisi penuh. Setelah itu, mencatat temperatur (T i ) dan tekanan (P i ) dozing cylinder. Dengan data ini, maka kita bisa mengetahui jumlah mol He yang terdapat pada dozing cylinder menurut persamaan 3.2. PV i dozingcylinder n (3.2) Z RT He i i Pada prosedur ini V dozing cylinder = V He b. Membuka valve sample 1 dan mengalirkan gas He tersebut ke dalam Sampling Cylinder 1. Ketika semua gas He telah masuk ke dalam Sampling

55 40 Cylinder 1, menutup valve sample 1 serta mencatat temperatur (T f ) dan tekanan (P f ) dari Dozing Cylinder 1. Dengan data ini,maka kita akan dapat mengetahui jumlah mol (n i ) dari gas He yang dimasukkan ke Sampling Cylinder 1 dengan persamaan 3.3. n P Pf i i Vdozingcylinder (3.3) Z He RT i i Z He RT f f c. Mencari volume void dari Sampling Cylinder 1. Data yang sudah diketahui adalah n i, temperatur sampling cylinder (T f ), tekanan sampling cylinder 1(P f ). Persamaan 3.4 digunakan untuk menghitung volume void. f niz HeRT f Vvoid (3.4) P d. Untuk mencari volume void dari sampling cylinder 2,3,dan 4 dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sampling cylinder 1. e. Mengeluarkan gas He dari Sampling Cylinder dengan menyalakan vacuum pump Adsorpsi Gas Metana a. Mengisi dozing cylinder dengan gas CH 4 dengan membuka valve helium dan mengalirkannya ke dozing cylinder sampai penuh. Setelah penuh, valve dozyng cylinder ditutup dan mencatat temperatur (T i ) dan tekanan (P i ) CH 4 di dozing cylinder. Semua pompa dalam keadaan mati. b. Mengalirkan gas CH 4 ke Sampling Cylinder 1 dengan membuka valve sample 1. Ketika semua gas CH 4 telah masuk ke dalam Sampling Cylinder, menutup valve sample 1 serta mencatat temperatur (T f ) dan tekanan (P f ) dari gas CH 4 pada Sampling Cylinder 1. c. Mencari jumlah mol zat yang teradsorp dengan menggunakan persamaan 3.5.

56 41 n n CH4 teradsorp CH4 teradsorp n CH4 i Z n P i CH4i CH4 tidak teradsorp RT i Z P f CH4 f RT f V dozingcylinder Pf Vvoid Z CH f RT 4 f (3.5) 4. Prosedur di atas dilakukan untuk setiap sampel batubara. Setelah semua data jumlah mol CH 4 yang teradsorp untuk semua variasi tekanan proses didapatkan maka dapat dibuat grafik hubungan antara tekanan proses dengan jumlah mol CH 4 yang teradsorp.

57 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi Batubara Batubara yang digunakan merupakan berbagai jenis batubara (Lignit, Sub- Bituminus, dan Bituminus) dari berbagai daerah di Indonesia terutama batubara dari pulau Kalimantan dan Sumatera, dalam pengujian ini digunakan data uji batubara yang sudah ada ditambah dengan data analisa yang dilakukan pengujian sendiri, sehingga didapatkan berbagai data yang bisa diambil kesimpulan pada akhir penelitian ini, analisa untuk pengujian sendiri dilakukan di Lab.CBM, Gedung Eksploitasi PPPTMGB LEMIGAS. Sampel batubara diambil dari berbagai daerah yang berbeda bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik-karakteristik sampel batubara terhadap kemampuan adsorpsi batubara tersebut Pada tahapan preparasi sampel ini batubara dihaluskan dengan alat penghalus (crusher) hingga halus hal ini bertujuan untuk memperoleh ukuran sampel batubara yang lebih kecil sehingga memperbesar luas permukaan dan mempermudah proses adsorpsi. Selain itu, sampel di saring menggunakan mesh untuk didapatkan ukuran yang sama pada semua sampel, ukuran partikel yang berbeda dapat menyebabkan hasil uji yang berbeda karena adanya kemungkinan luas permukaan yang berbeda. Gambar 4.1 dibawah ini menunjukkan proses preparasi sampel batubara. Gambar 4.1 Proses Penghancuran dan Penyaringan Batubara 42

58 43 Setelah batubara tersebut dihaluskan batubara tersebut didiamkan didalam suhu kamar untuk menghilangkan air bawaan atau biasa disebut free moisture yang mungkin menempel pada batubara, free moisture dapat berasal dari air hujan, cipratan air, maupun kontaminasi baik pada waktu pemboran maupun pada saat transportasi batubara tersebut, free moisture tersebut akan hilang pada suhu kamar tetapi inherent moisture tidak akan hilang pada suhu kamar karena inheren moisture hanya akan hilang pada suhu ± C. penghilangan free moisture ini dibutuhkan karena batubara yang digunakan dalam analisa proximat dan uji adsorbsinya adalah sampel batubara pada basis adb (air dry basis). Tabel 4.1 dibawah ini menunjukkan hasil analisa free moisture batubara dari pengujian sendiri. Tabel 4.1 Analisa Free Moisture Batubara No ID Sampel free moisture (%wt) 1 BKS BKS BSS BSS BKT BKT BSS BSS BSS BSS Hasil Uji Proksimat dan Pengklasifikasian Batubara Setelah sampel selesai dipreparasi sampel siap untuk dianalisa proximat, hasil pengujian proksimat dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini:

59 44 Tabel 4.2: Hasil Analisa Proksimat Batubara Data Lama No Lokasi ID sample PROXIMATE ANALYSIS %Wt (adb) Inherent Moisture Ash Volatile Fixed carbon PROXIMATE %Wt (DMMF) Volatile Fixed Carbon Kesimpulan 1 LSS-1 21,69 8,95 50,35 19,01 57,70 16,86 Lignit 2 LSS-2 12,40 7,64 53,20 26,76 55,86 25,54 lignit 3 LSS-3 20,91 4,59 41,51 32,99 49,61 28,36 sub-bituminus Sumsel 4 LSS-4 20,03 4,75 42,60 32,62 50,28 28,30 sub-bituminus 5 LSS-5 17,16 9,34 38,53 34,97 41,80 32,43 Bituminus 6 LSS-6 21,81 10,36 33,22 34,61 37,52 39,09 Bituminus 7 LKT-7 10,52 3,88 38,25 47,36 40,97 50,73 Bituminus Kaltim 8 LKT-8 7,61 4,09 40,36 47,95 41,83 46,32 Bituminus 9 LKS-9 17,15 3,26 43,07 36,52 50,02 42,41 Sub-Bituminus Kalsel 10 LKS-10 3,02 9,61 46,33 41,04 43,47 38,50 Bituminus Data Baru PROXIMATE ANALYSIS %Wt (adb) PROXIMATE %Wt (DMMF) No Lokasi ID sample Inherent Fixed Kesimpulan Ash Volatile Volatile Fixed Carbon Moisture carbon 1 BKS-1 20,6 9,6 52,7 17,2 53,1 34,1 lignit Kalsel 2 BKS-2 10,2 3,3 49,2 3,3 52,8 3,1 lignit 3 BSS-3 16,8 10,3 45,1 27,8 48,3 29,7 Sub-Bituminus Sumsel 4 BSS-4 18,3 5,3 40,5 35,9 46,5 41,3 Sub-Bituminus 5 BKT-5 6,9 12,2 36,0 44,8 34,2 47,4 Bituminus Kaltim 6 BKT-6 8,3 2,6 40,1 49,0 42,6 46,4 Bituminus 7 BSS-7 22,5 7,4 47,3 22,8 55,7 19,8 lignit 8 BSS-8 23,9 5,1 34,2 36,9 42,1 31,1 Bituminus Sumsel 9 BSS-9 20,3 14,4 33,6 31,8 35,6 30,0 Bituminus 10 BSS-10 7,1 1,7 38,3 52,9 40,5 50,1 Bituminus

60 Hasil Preparasi Peralatan Uji Adsorpsi Uji adsorpsi isotermal diperlukan berat massa lebih-kurang 100 gram, batubara dihancurkan dengan alat penghancur (crusher) hingga berwujud bubuk berukuran butir lolos bukaan saringan (screen) mm (#80 mesh). Didalam proses awal uji adsorpsi isotermal, sesuai prosedur ASTM D maka rekondisi sampel harus dilakukan dengan menimbang dan meletakan sampel didalam desikator yang dibawahnya diberi larutan K 2 SO 4, kemudian dalam keadaan vakum dikondisikan pada temperatur 30 C. Penimbangan secara berkala dilakukan hingga memperoleh berat yang tetap (konstan) dan biasanya dapat dicapai setelah 48 jam atau lebih. Setelah diperoleh berat konstan maka sampel batubara tersebut siap untuk diuji adsorpsi isotermal. Gambar 4.2 dibawah ini menjelaskan skema atau diagram dari konfigurasi alat adsorpsi isothermal yang digunakan, Gambar 4.2 Diagram Alat Adsorption Isotherm

61 Hasil Uji Kebocoran Tes kebocoran dilakukan terlebih dahulu sebelum alat digunakan. Gelembung sabun digunakan untuk mendeteksi kebocoran, cara penggunaannya adalah dengan mengoleskan cairan sabun di permukaan luar pipa dan sambungan-sambungan, jika terjadi kebocoran, maka gelembung sabun akan terlihat dan kebocoran dapat langsung diatasi, uji kebocoran sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada massa gas yang keluar dari alat uji adsorpsi. Apabila kebocoran terjadi maka akan mempengaruhi hasil perhitungan kapasitas adsorpsi yang menggunakan metode volumetrik. Selain itu, kebocoran juga dapat membahayakan lingkungan sekitar serta peneliti dan orang-orang yang berada di laboratorium karena pada adsorpsi ini menggunakan gas bertekanan tinggi. Tes kebocoran juga dapat diketahui dengan melihat trend pembacaan tekanan pada alat data acquisition. Jika terjadi kebocoran tekanan cenderung terus menurun, Hasil uji kebocoran dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini. Gambar 4.3. Uji Kebocoran Pada Peralatan Adsorpsi

62 Hasil Pengukuran Volume Void Pengukuran volume void dilakukan terhadap sampel cell yang akan digunakan pada analisa, dimana dengan mengukur total volume sampel cell, dibutuhkan pula massa yang akan dimasukkan kedalam sampel cell dan densitas batubara tersebut, hasil analisa void volume dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini : Tabel 4.3 Volume Void Batubara No ID sample void volume (ml) 1 BKS BKS BSS BSS BKT BKT BSS BSS BSS BSS Hasil Uji Kapasitas Adsorpsi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh rank batubara terhadap kapasitas adsorpsi gas metana pada batubara Indonesia. Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang dilakukan dapat dilihat kapasitas adsorpsi batubara lignit, sub-bituminus dan batubara bituminus. Adsorpsi yang terjadi pada penelitian ini merupakan adsorpsi fisik, dimana tidak ada reaksi kimia yang terjadi selama proses uji adsorpsi berlangsung. Proses adsorpsi fisik ini hanya dipengaruhi oleh sifat fisik gas metana sebagai adsorbat dan karakteristik adsorben, yaitu batubara Lignit, Sub-Bituminus dan batubara Bituminus. Karakteristik adsorben yang dimaksud antara lain, kadar karbon (fixed carbon), kadar abu (ash content), zat terbang batubara (volatile) dan kandungan air (inherent moisture) batubara tersebut.

63 48 Penelitian ini dilakukan pada temperatur isothermal, sehingga temperatur operasi harus dijaga konstan pada suhu ± 50 o C, dengan variasi tekanan dari 0.7 MPa hingga 6,4 MPa. Sampel yang diujikan yaitu batubara 5 batubara kelas Lignit, 5 batubara kelas Sub-Bituminus dan 10 batubara kelas Bituminus dari beberapa daerah potensial di Indonesia Pengaruh Kelas Batubara Terhadap Adsorpsi Metana Gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 merupakan grafik hasil uji adsorpsi pada batubara Lignit, Sub-Bituminus dan Bituminus. Gambar 4. 4 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Lignit

64 49 Gambar 4. 5 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Sub-Bituminus Gambar 4.6 Adsorpsi Isotermal Pada Batubara Bituminus Pada Gambar 4.4, 4.5 dan 4.6, terlihat bahwa kapasitas adsorpsi gas metana pada setiap kelas batubara akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan, peningkatan tekanan akan mengakibatkan pergerakan molekul adsorbat yaitu gas metana menjadi terbatas dan mampat sehingga densitas adsorbat pun meningkat. Selain itu, adsorbat juga akan mengalami gaya dorong untuk mengadsorpsi ke dalam pori-pori suatu adsorben sehingga kapasitas adsorpsinya pun meningkat seiring dengan kenaikan tekanan.

65 50 Pada batubara Lignit titik puncak minimal yang didapatkan dari daya adsorpsi batubara Lignit adalah 2,42 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya adalah 8,56 m 3 /ton. Sedangkan untuk batubara Sub- Bituminus dengan titik puncak minimal 4,87 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya dapat mencapai 12,52 m 3 /ton, sedangkan untuk batubara Bituminus dengan titik puncak minimal 4,93 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya adalah 13,41 m 3 /ton. Dari Gambar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum daya adsorpsi gas metana akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya rank batubara tersebut dimana peningkatan tersebut disebabkan jumlah mikropori batubara yang semakin meningkat yang diindikasikan melalui kadar karbon yang semakin meningkat pada setiap kenaikan rank batubara. Namun pada penelitian ini, belum bisa dibuktikan bahwa batubara dengan kadar karbon yang lebih tinggi mempunyai distribusi permukaan mikropori yang lebih baik sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsinya lebih tinggi. Ada pula dari daya adsorpsi masing-masing kelas diatas yang tidak dapat disimpulkan demikian, karena daya adsorpsi masing-masing kelas hampir memiliki daya adsorpsi yang tidak jauh berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena sampel yang digunakan tidak berasal dari tempat yang sama, dimana sangat dimungkinkan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik batubara yang berbeda-beda seperti kandungan air (equilibrium moisture, ash content, volatile batubara, dan jumlah fixed carbon) cukup berpengaruh terhadap daya adsorpsi batubara. Sampai saat ini, masih terjadi perdebatan mengenai pengaruh komposisi batubara terhadap kapasitas adsorpsi. Levine dkk pada tahun 1993 menyebutkan bahwa kapasitas adsorpsi gas pada batubara meningkat seiring dengan peningkatan rank batubara. Namun, menurut Clarkson dan Bustin (1996) peningkatan rank batubara tidak berlaku secara umum pada kapasitas adsorpsi gas.

66 Pengaruh Proksimat Batubara Terhadap Adsorpsi Metana Analisis proksimat didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk menganalisis kadar air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon) dan kadar abu (ash content) (Clarence, 1978). Analisis proksimat merupakan analisis batubara yang paling sederhana yang dilakukan berdasarkan teknik gravimetri. dalam hal ini penimbangan hasil reaksi setelah bahan yang dianalisa direaksikan. Hasil reaksi ini didapat: sisa bahan, suatu gas yang terbentuk atau endapan yang dibentuk dari bahan yang dianalisis tersebut (Harjadi, 1990). Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 menunjukan hubungan antara kandungan gas metana yang teradsorpsi pada tekanan 6.4 Mpa terhadap kandungan moisture dan terhadap kandungan abu. Gambar 4.7 Pengaruh Kandungan Air pada Adsorpsi Gas Metana Batubara

67 52 Gambar 4.8 Pengaruh Kandungan Abu pada Adsorpsi Gas metana Batubara Kadar air adalah kandungan air yang terdapat pada pori-pori batubara yang terbentuk akibat proses pelapukan pada saat batubara tersebut terbentuk sedangkan kadar abu adalah kandungan mineral dan senyawa anorganik dimana kadar abu di dalam batubara dipengaruhi oleh jumlah mineral yang terdapat di dalam batubara itu sendiri dan juga dipengaruhi oleh abu dari lingkungan yang mungkin menempel pada batubara. Kadar air dan kadar abu merupakan purity/pengotor dalam batubara yang dapat menghambat daya adsorpsi batubara terhadap gas metana, dimana molekul-molekul air dan abu tersebut dapat mengisi poripori batubara oleh karena itu pada dasarnya semakin banyak air dan abu yang mengisi pori-pori batubara, semakin sedikit luas permukaan kontak antara gas metana dan adsorben sehingga mengakibatkan adsorbat gas metana sulit teradsorpsi batubara. Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa adanya penurunan dan kenaikan daya adsorbsi batubara terhadap kenaikan kadar air dan kadar abu hal ini menyimpulkan bahwa dalam kasus ini dapat dikatakan kadar air dan kadar abu tidak begitu mempengaruhi daya adsorpsi gas metana, dimana hal tersebut dapat dilihat dengan titik-titik masing-masing kelas batubara tersebar secara acak terhadap kanaikan daya adsorpsi

68 53 batubaranya, hal ini dapat disebabkan karena pengambilan sampel tidak berasal dari satu titik daerah yang sama dimana seperti yang kita ketahui bahwa kandungan suatu batubara dipengaruhi oleh kultur daerah dan keadaan iklim dan cuaca dimana batubara tersebut terbentuk serta mungkin juga terjadi perbedaan luas pori-pori pada setiap batubara yang ada. Gambar 4.9 dan 4.10 menunjukkan hubungan antara kandungan fixed carbon batubara terhadap kandungan gas metana pada tekanan 6.4 MPa. Gambar 4.9 Pengaruh Kandungan Karbon pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Gambar 4.10 Regresi Linear Kandungan Karbon pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Kandungan karbon merupakan kandungan yang paling diharapkan dalam suatu komposisi batubara dimana karbon merupakan sumber/wadah dimana gas metana dapat teradsorpsi, karena kandungan karbon berisi pori-pori yang mampu mengikat/berikatan dengan gas metana. Pada

69 54 umumnya semakin banyak jumlah karbon suatu batubara maka semakin luas permukaan pori batubara tersebut namun kembali lagi dalam kasus ini hal tersebut bisa jadi tidak berlaku karena sampel yang digunakan tidak berasal dari satu titik daerah, untuk itu penting untuk menganalisa sejauh mana pengaruh kadar karbon terhadap daya adsorpsi batubara. Dari gambar diatas dengan menggunakan regresi linear dengan merata-ratakan nilai dari masing-masing jenis batubara baik kandungan karbonnya maupun daya adsorpsinya maka diperoleh hubungan antara total adsorpsi terhadap kandungan karbon batubara seperti pada persamaan y = 0.165x dengan nilai R 2 = 0.968, dapat dilihat bahwa secara umum terdapat kenaikan daya adsorpsi seiring dengan meningkatnya kandungan fixed carbon pada batubara. Batubara Lignit umumnya memiliki daya adsorpsi yang lebih kecil dibandingkan dengan batubara Sub-Bituminus dan batubara Bituminus, dan batubara Bituminus cenderung memiliki daya adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara Lignit dan Sub-Bituminus, dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa kandungan karbon mempengaruhi daya adsorpsi batubara dimana semakin meningkatnya kandungan karbon maka semakin meningkat pula daya adsorpsi batubara tersebut. Gambar 4.11 dan 4.12 menunjukkan hubungan antara kandungan volatile batubara terhadap kandungan gas metana pada tekanan 6.4 MPa. Gambar 4.11 Pengaruh Kandungan Volatile pada Adsorpsi Gas Metana Batubara

70 55 Gambar 4.12 Regresi Linear Kandungan Volatile pada Adsorpsi Gas Metana Batubara Kandungan Volatile adalah zat organik di dalam batubara yang dapat diuapkan pada suhu pada suhu ±950 0 C, Dari gambar diatas terdapat penurunan daya adsorpsi batubara seiring meningkatnya kandungan volatile batubara tersebut, dimana kandungan volatile batubara Bituminus lebih kecil dibandingkan dengan batubara Sub-Bituminus dan lignit namun memiliki daya adsorpsi yang lebih besar dibandingkan batubara yang lainnya. hal ini disebabkan karena kandungan volatile ini dapat mengisi pori-pori batubara sehingga memperkecil luas permukaan batubara tersebut. Dari gambar diatas dengan menggunakan regresi linear dengan merata-ratakan nilai dari masing-masing jenis batubara baik kandungan volatilnya maupun daya adsorpsinya diperoleh hubungan antara total adsorpsi terhadap volatile batubara seperti pada persamaan y = x dengan nilai R 2 = 0.968, dapat dilihat bahwa secara umum terjadi penurunan daya adsorpsi batubara seiring meningkatnya kandungan volatile batubara tersebut, maka dapat dikatakan dalam proses adsorpsi ini kandungan volatile juga merupakan pengotor (purity) dalam batubara dimana kandungan zat organik yang berada dalam batubara akan menghalangi gas metana yang akan berkontak dengan pori-pori batubara tersebut sehingga menyebabkan daya adsorpsi batubara akan menurun.

71 Pengaruh Asal Batubara Terhadap Adsorpsi Metana Adsropsi batubara terhadap gas metana sangat berhubungan erat dengan reservoir CBM karena terbentuknya gas-gas tersebut terjadi dibawah permukaan selama proses coalifikasi (proses transformasi material organik menja lainnya di bentuk material organik yang lain yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya) seperti temperatur, tekanan, dan lamanya terkubur yang mempengaruhi daya adsorpsi batubara dalam menyerap gas-gas disekitarnya, oleh karena itu betubara umumnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya walaupun dalam satu kelas batubara yang sama. Gambar 4.13 menunjukkan sejauh mana hubungan antara adsorpsi gas metana terhadap asal sumber batubara tersebut pada tekanan 6.4 MPa. Gambar 4.13 Pengaruh Sumber Batubara terhadap Adsorpsi Gas Metana Batubara Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa titik-titik daya adsorbsi batubara terhadap sumber batubara tersebut sangat tidak konsisten, dimana titik-titik tersebut tersebar secara acak, hal ini menyimpulkan bahwa secara umum dalam kasus ini dapat dikatakan sumber Batubara tidak begitu mempengaruhi daya adsorpsi gas metana, hal ini dapat disebabkan karakteristik batubara yang berbeda-beda walaupun batubara tersebut berasal dari sekitar daerah yang sama. Gradien suhu, kedalaman dan berbedanya lama waktu pembentukan serta keadaan lingkungan sekitar yang berbeda (ph, mikroba, kelembaban, dll) ikut menunjang terjadinya perbedaan tersebut.

72 BAB V KESIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian, pengolahan data, dan analisa yang dilakukan adalah sebagai berikut: 5. Batubara Lignit titik puncak minimal pengujian adsorpsi isotermal batubara sebesar 2,42 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya adalah 8,56 m 3 /ton. 6. Batubara Sub-Bituminus titik puncak minimal pengujian adsorpsi isotermal batubara sebesar 4,87 m 3 /ton dan titik puncak maksimalnya dapat mencapai 12,52 m 3 /ton. 7. Batubara Bituminus titik puncak minimal pengujian adsorpsi isotermal batubara sebesar 4,93 m 3 /ton dan titik puncak maksiimalnya adalah 13,41 m 3 /ton. 8. Daya adsorpsi gas metana semakin meningkat seiring meningkatnya kelas batubara. 9. Batubara Sub-Bituminus dan batubara Bituminus sangat potensial terhadap daya adsorpsi gas metananya. 10. Sebagian besar batubara Indonesia lebih banyak didominasi oleh batubara Sub-Bituminus dan batubara Bituminus sehingga batubara Sub-Bituminus dan Bituminus potensial untuk diproduksi gasnya. 11. Kadar air dan kandungan abu dalam kasus ini tidak mempengaruhi daya adsorpsi batubara karena titiknya tersebar secara acak. 12. Semakin tinggi kandungan karbon batubara maka semakin tinggi pula daya adsorpsi batubara, dengan hubungan pesamaan yang diperoleh dari regresi linear adalah y = 0.165x dengan nilai R 2 = sebaliknya semakin tinggi kandungan volatile batubara maka semakin rendah daya adsorpsi batubara tersebut dengan hubungan pesamaan yang diperoleh dari regresi linear adalah y = x dengan nilai R 2 =

73 58 DAFTAR PUSTAKA American Society For Testing And Materials Annual Book of ASTM Standard section five Petroleum Products, Lubricants, and Fossil Fuels, Vol ASTM International. Philadelphia Aminian, K. (2003). Coalbed Methane Fundamental Concept. Petroleum & Natural gas Engineering Department West Virginia University. Bwrkowitz, N An Introduction to Coal Technology. Academic Press. London Darajat, M Gambaran Umum Batubara. www. blog.unsri.ac.id/ darajat/ batubara/ gambaran-umumbatubara. 7 maret 2010, ESDM. (2005). Potensi CBM Cukup Besar dan Siap Dimanfaatkan. Retrieved April 18, 2010, from index. Php. Option.com. content&task. view&id. 336&itemid.94 Laxminarayana, C., & Crosdale, P. J. (1999). Roal of Coal Type and Rank on Methane Sorption Characteristics of Bower Basin, Australia Coal. International Journal of Coal Geology, Lestari, Rahmawati Uji Kapasitas Adsorpsi Karbon Aktif dari Batubara Dan Tempurung Kelapa Untuk Penyimpanan Gas Hidrogen Dan Metana. Skripsi, Depok, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia FTUI. Richardson, T.X Coalbed Methane. Society of Petroleum Engineers. USA Rachmalia, Suci Ayunda Pengaruh Kandungan Air Terhadap Adsorpsi Tekanan Tinggi Gas Metana Pada Batubara Indonesia. Skripsi, Depok, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia FTUI. Raharjo, I.B Mengenal Batubara. 03/05/ mengenal-batubara /. 23 Mei 2010, Ratna, Klasifikasi Batubara Maret 2010, 13:29.

74 59 LAMPIRAN Lampiran 1. Uji Kebocoran Pada Alat Adsorpsi Isotermal

75 60

76 61

77 62 Lampiran 2. Perhitungan Void Volume No ID Sample Cell Sample No Massa Batubara (gr) Volume Cell Sampel (Cm3) Densitas (gr/cm3) Void Volume (cm3) 1 BKS BKS BSS BSS BKT BKT BSS BSS BSS BSS

78 63 Lampiran 3. Perhitungan Kapasitas Adsorpsi Gas Metana Pada Batubara Step BKS-1 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START Step BKS-2 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START

79 64 Step BSS-3 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START Step BSS-4 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START

80 65 Step BKT-5 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START Step BKT-6 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START

81 66 Step BSS-7 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START Step BSS-8 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START

82 67 Step BSS-9 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START Step BSS-10 Ref Cell, Start Pressure Ref Cell, Final Pressure Sample Cell, Start Pressure Sample Cell, Final Pressure Gas adsorbed (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (m3/t) START

83 68 Lampiran 4. Pengaruh Analisa Proksimat Terhadap Adsorpsi Batubara Pada Tekanan 6.4 MPa. No a. Batubara Lignit ID sample PROXIMATE ANALYSIS %Wt (adb) Inherent Moisture Ash Volatile Fixed carbon PROXIMATE %Wt (DMMF) Volatile Fixed Carbon Adsoption (m3/ton) 1 BKS LSS LSS BKS BSS No b. Batubara Sub-Bituminus ID sample PROXIMATE ANALYSIS %Wt (adb) Inherent Moisture Ash Volatile Fixed carbon Volatile PROXIMATE %Wt (DMMF) Fixed Carbon Adsoption (m3/ton) 1 LSS LSS BSS LKS BSS No c. Batubara Bituminus ID sample PROXIMATE ANALYSIS %Wt (adb) Inherent Moisture Ash Volatile Fixed carbon PROXIMATE %Wt (DMMF) Volatile Fixed Carbon Adsoption (m3/ton) 1 BKT BKT BSS LKT BSS BSS LSS LSS LKS LKT

84 69 Lampiran 5. Regresi Linear Analisa Proksimat Batubara Terhadap Adsorpsi Batubara Pada Tekanan 6.4 MPa. a. Fixed Carbon Terhadap Adsorpsi Metana

85 70 b. Volatile batubara terhadap Adsopsi Metana Lignit `

86 71 Lampiran 6. Peralatan Pengujian Yang Digunakan 1. Penghalus Batubara (Crusher) 2. Furnace 3. Desikator 4. Adsorpsi Isotermal

87 72

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. BATUBARA Batubara merupakan batuan sedimentasi berwarna hitam atau hitam kecoklat-coklatan yang mudah terbakar, terbentuk dari endapan batuan organik yang terutama terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang melimpah adalah batubara. Cadangan batubara

Lebih terperinci

Bab II Teknologi CUT

Bab II Teknologi CUT Bab II Teknologi CUT 2.1 Peningkatan Kualitas Batubara 2.1.1 Pengantar Batubara Batubara merupakan batuan mineral hidrokarbon yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati dan terkubur di dalam bumi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batubara Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Joko Triyanto, Subroto, Marwan Effendy Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.

Lebih terperinci

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank) PERINGKAT BATUBARA (Coal rank) Peringkat batubara (coal rank) Coalification; Rank (Peringkat) berarti posisi batubara tertentu dalam garis peningkatan trasformasi dari gambut melalui batubrara muda dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam. AZT2.5 = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam +

HASIL DAN PEMBAHASAN. = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam. AZT2.5 = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam + 6 adsorpsi sulfur dalam solar juga dilakukan pada AZT2 dan AZT2.5 dengan kondisi bobot dan waktu adsorpsi arang aktif berdasarkan kadar sulfur yang terjerap paling tinggi dari AZT1. Setelah proses adsorpsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mesin pada mulanya diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan kegiatan yang melebihi kemampuannya. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 4. Indonesia Mt

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 4. Indonesia Mt BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Batubara adalah sumber energi terpenting untuk pembangkitan listrik dan berfungsi sebagai bahan bakar pokok untuk produksi baja dan semen.namun demikian, batubara juga

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM :

KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM : KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM : 0831010048 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan BAB III TEORI DASAR 11 3.1 Batubara Peringkat Rendah Batubara termasuk kedalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai densitas pada briket arang Ampas Tebu. Nilai Densitas Pada Masing-masing Variasi Tekanan Pembriketan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Nilai densitas pada briket arang Ampas Tebu. Nilai Densitas Pada Masing-masing Variasi Tekanan Pembriketan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Densitas Densitas atau kerapatan merupakan perbandingan antara berat dengan volume briket. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan penyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhtumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kendaraan bermotor merupakan salah satu alat yang memerlukan mesin sebagai penggerak mulanya, mesin ini sendiri pada umumnya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara 1. Bagaimana terbentuknya? Gas metana batubara terbentuk selama proses coalification, yaitu proses perubahan material tumbuhan menjadi batubara. Bahan organik menumpuk di rawa-rawa sebagai tumbuhan mati

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI PENGARUH PENAMBAHAN KARBON PADA PROSES REDUKSI LANGSUNG BATU BESI SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI PENGARUH PENAMBAHAN KARBON PADA PROSES REDUKSI LANGSUNG BATU BESI SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA STUDI PENGARUH PENAMBAHAN KARBON PADA PROSES REDUKSI LANGSUNG BATU BESI SKRIPSI KOMARUDIN 0405040414 FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL DEPOK DESEMBER 2008 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS THERMOGRAVIMETRY DAN PEMBUATAN BRIKET TANDAN KOSONG DENGAN PROSES PIROLISIS LAMBAT

ANALISIS THERMOGRAVIMETRY DAN PEMBUATAN BRIKET TANDAN KOSONG DENGAN PROSES PIROLISIS LAMBAT ANALISIS THERMOGRAVIMETRY DAN PEMBUATAN BRIKET TANDAN KOSONG DENGAN PROSES PIROLISIS LAMBAT Oleh : Harit Sukma (2109.105.034) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara

BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara BAB II TEORI DASAR 2.1 Batubara Batubara merupakan bahan bakar padat organik yang berasal dari batuan sedimen yang terbentuk dari sisa bermacam-macam tumbuhan purba dan menjadi padat disebabkan tertimbun

Lebih terperinci

TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH : PUTRI MERIYEN BUDI S

TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH : PUTRI MERIYEN BUDI S TUGAS ESSAY EKONOMI ENERGI TM-4021 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA OLEH NAMA : PUTRI MERIYEN BUDI S NIM : 12013048 JURUSAN : TEKNIK GEOLOGI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015 POTENSI INDUSTRI CBM DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat 81 BAB V PEMBAHASAN Pada pengujian kualitas batubara di PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, menggunakan conto batubara yang diambil setiap ada pengiriman dari pabrik. Conto diambil sebanyak satu sampel

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). BAB III TEORI DASAR Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). Istilah batubara banyak dijumpai dari berbagai

Lebih terperinci

), bikarbonat (HCO 3- ), dan boron (B). Hal ini dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan dan perkembangan pada sektor pertanian.

), bikarbonat (HCO 3- ), dan boron (B). Hal ini dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan dan perkembangan pada sektor pertanian. 1. Apa yang dimaksud dengan gas metana batubara (Coal Bed Methane) Gas metana batubara (Coal Bed Methane) adalah suatu gas alam yang terperangkap di dalam lapisan batubara (coal seam). Gas metana ini bisa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Adsorption nomenclature [4].

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Adsorption nomenclature [4]. BAB II DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI Adsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul molekul gas atau cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul molekul tadi mengembun

Lebih terperinci

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL PT. Globalindo Inti Energi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2 miliar ton dengan cadangan 21.13 miliar ton (menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Adsorpsi Adsorpsi adalah fenomena fisik yang terjadi saat molekul-molekul gas atau cair dikontakkan dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekulmolekul tadi mengembun

Lebih terperinci

STUDI KAPASITAS ADSORPSI SERTA DINAMIKA ADSORPSI DAN DESORPSI DARI NANOTUBE KARBON SEBAGAI PENYIMPAN HIDROGEN TESIS PROLESSARA PRASODJO

STUDI KAPASITAS ADSORPSI SERTA DINAMIKA ADSORPSI DAN DESORPSI DARI NANOTUBE KARBON SEBAGAI PENYIMPAN HIDROGEN TESIS PROLESSARA PRASODJO UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KAPASITAS ADSORPSI SERTA DINAMIKA ADSORPSI DAN DESORPSI DARI NANOTUBE KARBON SEBAGAI PENYIMPAN HIDROGEN TESIS PROLESSARA PRASODJO 0806423192 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

1. MOISTURE BATUBARA

1. MOISTURE BATUBARA 1. MOISTURE BATUBARA Pada dasarnya air yang terdapat di dalam batubara maupun yang terurai dari batubara apabila dipanaskan sampai kondisi tertentu, terbagi dalam bentuk-bentuk yang menggambarkan ikatan

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI 39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada

Lebih terperinci

seekementerian PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS TEKNIK SOAL UJIAN PERIODE SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2012/2013

seekementerian PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS TEKNIK SOAL UJIAN PERIODE SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2012/2013 seekementerian PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS TEKNIK SOAL UJIAN PERIODE SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2012/2013 Mata Uji : Coal Bed Methane (CBM) Jurusan : Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara BAB VII ANALISA TOTAL MOISTURE 7.1. Tujuan Adapun tujuan dari praktikum analisa total moisture adalah untuk mengerti, mampu melaksanakan, menganalisa serta membandingkan cara kerja total moisture batubara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Studi kapasitas..., Prolessara Prasodjo, FT UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Studi kapasitas..., Prolessara Prasodjo, FT UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan hidrogen sebagai energi alternatif pengganti energi dari fosil sangat menjanjikan. Hal ini disebabkan karena hidrogen termasuk energi yang dapat diperbarui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis industri didirikan guna memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Analisis proksimat adalah salah satu teknik analisis yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik biobriket. Analisis proksimat adalah analisis bahan

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK Subtitle PENGERTIAN ZAT DAN SIFAT-SIFAT FISIK ZAT Add your first bullet point here Add your second bullet point here Add your third bullet point here PENGERTIAN ZAT Zat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Prarancangan Pabrik Karbon Aktif dari BFA dengan Aktifasi Kimia Menggunakan KOH Kapasitas Ton/Tahun. A.

BAB I PENGANTAR. Prarancangan Pabrik Karbon Aktif dari BFA dengan Aktifasi Kimia Menggunakan KOH Kapasitas Ton/Tahun. A. BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah yang salah satu hasil utamanya berasal dari sektor pertanian berupa tebu. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Diagram konsumsi energi final per jenis (Sumber: Outlook energi Indonesia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Diagram konsumsi energi final per jenis (Sumber: Outlook energi Indonesia, 2013) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hingga kini kita tidak bisa terlepas akan pentingnya energi. Energi merupakan hal yang vital bagi kelangsungan hidup manusia. Energi pertama kali dicetuskan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PELAPIS EPOKSI TERHADAP KETAHANAN KOROSI PIPA BAJA ASTM A53 DIDALAM TANAH SKRIPSI

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PELAPIS EPOKSI TERHADAP KETAHANAN KOROSI PIPA BAJA ASTM A53 DIDALAM TANAH SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PELAPIS EPOKSI TERHADAP KETAHANAN KOROSI PIPA BAJA ASTM A53 DIDALAM TANAH SKRIPSI SITI CHODIJAH 0405047052 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

Bab III Gas Metana Batubara

Bab III Gas Metana Batubara BAB III GAS METANA BATUBARA 3.1. Gas Metana Batubara Gas metana batubara adalah gas metana (CH 4 ) yang terbentuk secara alami pada lapisan batubara sebagai hasil dari proses kimia dan fisika yang terjadi

Lebih terperinci

Analisa Injection Falloff Pada Sumur X dan Y di Lapangan CBM Sumatera Selatan dengan Menggunakan Software Ecrin

Analisa Injection Falloff Pada Sumur X dan Y di Lapangan CBM Sumatera Selatan dengan Menggunakan Software Ecrin Analisa Injection Falloff Pada Sumur X dan Y di Lapangan CBM Sumatera Selatan dengan Menggunakan Software Ecrin Yosua Sions Jurusan Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Kebumian dan Energi Universitas Trisakti

Lebih terperinci

Proses Pembakaran Dalam Pembakar Siklon Dan Prospek Pengembangannya

Proses Pembakaran Dalam Pembakar Siklon Dan Prospek Pengembangannya 5 Proses Pembakaran Dalam Pembakar Siklon Dan Prospek Pengembangannya 43 Penelitian Pembakaran Batubara Sumarjono Tahap-tahap Proses Pembakaran Tahap-tahap proses pembakaran batu bara adalah : pemanasan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008 BAB II DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI Adsorpsi adalah proses yang terjadi ketika gas atau cairan berkumpul atau terhimpun pada permukaan benda padat, dan apabila interaksi antara gas atau cairan yang terhimpun

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA 4.1. Stratigrafi Batubara Lapisan batubara yang tersebar wilayah Banko Tengah Blok Niru memiliki 3 group lapisan batubara utama yaitu : lapisan batubara A, lapisan batubara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar minyak (BBM) dan gas merupakan bahan bakar yang tidak dapat terlepaskan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi

Lebih terperinci

PENGUJIAN ALAT PENDINGIN ADSORPSI DUA ADSORBER DENGAN MENGGUNAKAN METHANOL 250 ml SEBAGAI REFRIGERAN TUGAS AKHIR ANDI TAUFAN FAKULTAS TEKNIK

PENGUJIAN ALAT PENDINGIN ADSORPSI DUA ADSORBER DENGAN MENGGUNAKAN METHANOL 250 ml SEBAGAI REFRIGERAN TUGAS AKHIR ANDI TAUFAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA PENGUJIAN ALAT PENDINGIN ADSORPSI DUA ADSORBER DENGAN MENGGUNAKAN METHANOL 250 ml SEBAGAI REFRIGERAN TUGAS AKHIR ANDI TAUFAN 0606041863 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN EKSPERIMENTAL TERHADAP KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH AMPAS KOPI INSTAN DAN KULIT KOPI ( STUDI KASUS DI PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA ) Oleh : Wahyu Kusuma

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA ISOTHERM ADSORPSI Oleh : Kelompok 2 Kelas C Ewith Riska Rachma 1307113269 Masroah Tuljannah 1307113580 Michael Hutapea 1307114141 PROGRAM SARJANA STUDI TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara yang cukup banyak. Sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alternatif sebagai pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa sekarang kecenderungan pemakaian bahan bakar sangat tinggi sedangkan sumber bahan bakar minyak bumi yang di pakai saat ini semakin menipis. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI Yunus Zarkati Kurdiawan / 2310100083 Makayasa Erlangga / 2310100140 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM ADSORPSI DENGAN DUA ADSORBER SKRIPSI BOBI WAHYU SAPUTRA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM TEKNIK MESIN DEPOK DESEMBER 2008

DESAIN SISTEM ADSORPSI DENGAN DUA ADSORBER SKRIPSI BOBI WAHYU SAPUTRA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM TEKNIK MESIN DEPOK DESEMBER 2008 UNIVERSITAS INDONESIA DESAIN SISTEM ADSORPSI DENGAN DUA ADSORBER SKRIPSI BOBI WAHYU SAPUTRA 0606041913 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM TEKNIK MESIN DEPOK DESEMBER 2008 UNIVERSITAS INDONESIA DESAIN SISTEM ADSORPSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuatan mesin pada awalnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 7 Universitas Indonesia

BAB II DASAR TEORI. 7 Universitas Indonesia BAB II DASAR TEORI 2.1 Adsorpsi 2.1.1 Pengertian Adsorpsi Adsopsi adalah proses dimana molekul-molekul fluida menyentuh dan melekat pada permukaan padatan (Nasruddin,2005). Adsorpsi adalah fenomena fisik

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI OLEH : ANDY CHRISTIAN 0731010003 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na +

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na + BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 85-95% bersifat plastis dan koloidal tinggi.

Lebih terperinci

PROSES UBC. Gambar 1. Bagan Air Proses UBC

PROSES UBC. Gambar 1. Bagan Air Proses UBC Penulis: Datin Fatia Umar dan Bukin Daulay Batubara merupakan energi yang cukup andal untuk menambah pasokan bahan bakar minyak mengingat cadangannya yang cukup besar. Dalam perkembangannya, batubara diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenting di dalam menunjang kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. terpenting di dalam menunjang kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin menipisnya sumber daya alam yang berasal dari sisa fosil berupa minyak bumi diakibatkan karena kebutuhan manusia yang semakin meningkat dalam penggunaan energi.

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi

Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi Material dengan Kandungan Karbon Tinggi dari Pirolisis Tempurung Kelapa untuk Reduksi Bijih Besi Anton Irawan, Ristina Puspa dan Riska Mekawati *) Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknik, Universitas Sultan

Lebih terperinci

Soal-soal Open Ended Bidang Kimia

Soal-soal Open Ended Bidang Kimia Soal-soal Open Ended Bidang Kimia 1. Fuel cell Permintaan energi di dunia terus meningkat sepanjang tahun, dan menurut Proyek International Energy Outlook 2013 (IEO-2013) konsumsi energi dari 2010 sampai

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0

KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0 KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0 Handri Anjoko, Rahmi Dewi, Usman Malik Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI CAMPURAN BIOSOLAR DAN MINYAK JELANTAH SERTA SUHU PEMANASAN TERHADAP PENINGKATAN MUTU BATUBARA LIGNIT

PENGARUH KOMPOSISI CAMPURAN BIOSOLAR DAN MINYAK JELANTAH SERTA SUHU PEMANASAN TERHADAP PENINGKATAN MUTU BATUBARA LIGNIT PENGARUH KOMPOSISI CAMPURAN BIOSOLAR DAN MINYAK JELANTAH SERTA SUHU PEMANASAN TERHADAP PENINGKATAN MUTU BATUBARA LIGNIT Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mahasiswa Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB IV ANALISIS SAMPEL BAB IV ANALISIS SAMPEL 4.1 PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian dilakukan pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Busui yang mewakili Formasi Warukin pada Cekungan

Lebih terperinci

Gambar Batubara Jenis Bituminous

Gambar Batubara Jenis Bituminous KUALITAS BATUBARA A. Batubara Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Pengaruh Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung Kelapa Rosita Idrus, Boni Pahlanop Lapanporo, Yoga Satria Putra Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Penyediaan energi listrik secara komersial yang telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia terus berjalan seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia terus berjalan seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia terus berjalan seiring dengan timbulnya masalah yang semakin kompleks diberbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang

Lebih terperinci

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Pengaruh Arus Listrik Terhadap Hasil Elektrolisis Elektrolisis merupakan reaksi yang tidak spontan. Untuk dapat berlangsungnya reaksi elektrolisis digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam Berat Istilah "logam berat" didefinisikan secara umum bagi logam yang memiliki berat spesifik lebih dari 5g/cm 3. Logam berat dimasukkan dalam kategori pencemar lingkungan

Lebih terperinci

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten)

Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II. Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten. (Asisten) Lembaran Pengesahan KINETIKA ADSORBSI OLEH: KELOMPOK II Darussalam, 03 Desember 2015 Mengetahui Asisten (Asisten) ABSTRAK Telah dilakukan percobaan dengan judul Kinetika Adsorbsi yang bertujuan untuk mempelajari

Lebih terperinci

Aditya Kurniawan ( ) Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Aditya Kurniawan ( ) Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ANALISA KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT DENGAN VARIASI PEREKAT DAN TEMPERATUR DINDING TUNGKU 300 0 C, 0 C, DAN 500 0 C MENGGUNAKAN METODE HEAT FLUX CONSTANT (HFC) Aditya Kurniawan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification)

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertambangan Batubara Indonesia Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang

Lebih terperinci

ANALISIS GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DENGAN MEDIA ABSORBSI KARBON AKTIF JENIS GAC DAN PAC

ANALISIS GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DENGAN MEDIA ABSORBSI KARBON AKTIF JENIS GAC DAN PAC ANALISIS GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DENGAN MEDIA ABSORBSI KARBON AKTIF JENIS GAC DAN PAC Disusun Oleh: Roman Hidayat NPM. 20404672 Pembimbing : Ridwan ST., MT http://www.gunadarma.ac.id/ Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PERILAKU KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR PADA PERVIOUS CONCRETE SKRIPSI

PERILAKU KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR PADA PERVIOUS CONCRETE SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA PERILAKU KUAT TEKAN DAN KUAT LENTUR PADA PERVIOUS CONCRETE SKRIPSI ROY IMMANUEL 04 04 01 066 X FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL DEPOK DESEMBER 2008 844/FT.01/SKRIP/12/2008

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit Penelitian ini menggunakan zeolit alam yang berasal dari Lampung dan Cikalong, Jawa Barat. Zeolit alam Lampung

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Karbon Aktif Grade Industri Dari Tempurung Kelapa dengan Kapasitas 4000 ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Karbon Aktif Grade Industri Dari Tempurung Kelapa dengan Kapasitas 4000 ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia mengalami peningkatan secara kualitatif maupun kuantitatif, khususnya industri kimia. Hal ini menyebabkan kebutuhan bahan baku dan bahan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI BAB 2 DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

ANALISIS KERUSAKAN PADA LINE PIPE (ELBOW) PIPA PENYALUR INJEKSI DI LINGKUNGAN GEOTHERMAL

ANALISIS KERUSAKAN PADA LINE PIPE (ELBOW) PIPA PENYALUR INJEKSI DI LINGKUNGAN GEOTHERMAL UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KERUSAKAN PADA LINE PIPE (ELBOW) PIPA PENYALUR INJEKSI DI LINGKUNGAN GEOTHERMAL SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik WIRDA SAFITRI

Lebih terperinci

LAMPIRAN I DATA ANALISIS. Tabel 7. Data Hasil Cangkang Biji Karet Setelah Dikarbonisasi

LAMPIRAN I DATA ANALISIS. Tabel 7. Data Hasil Cangkang Biji Karet Setelah Dikarbonisasi 53 LAMPIRAN I DATA ANALISIS 1.1 Data Analisis Bahan Baku Pembuatan Biobriket Data hasil analisis bahan baku yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon tetap, dan nilai kalor dapat

Lebih terperinci

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT.

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT. PENGARUH VARIASI PERBANDINGAN UDARA- BAHAN BAKAR TERHADAP KUALITAS API PADA GASIFIKASI REAKTOR DOWNDRAFT DENGAN SUPLAI BIOMASSA SERABUT KELAPA SECARA KONTINYU OLEH : SHOLEHUL HADI (2108 100 701) DOSEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ditegaskan oleh BP Plc. Saat ini cadangan minyak berada di level 1,258 triliun barrel

I. PENDAHULUAN. ditegaskan oleh BP Plc. Saat ini cadangan minyak berada di level 1,258 triliun barrel I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia telah membuktikan bahwa cadangan minyak mulai menyusut sejak tahun lalu; penurunan pertama sejak 1998 yang dipimpin oleh Rusia, Norwegia, dan China. Hal ini ditegaskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. KARAKTERISTIK BATUBARA Sampel batubara yang digunakan dalam eksperimen adalah batubara subbituminus. Dengan pengujian proksimasi dan ultimasi yang telah dilakukan oleh

Lebih terperinci

UJICOBA PEMBAKARAN LIMBAH BATUBARA DENGAN PEMBAKAR SIKLON

UJICOBA PEMBAKARAN LIMBAH BATUBARA DENGAN PEMBAKAR SIKLON UJICOBA PEMBAKARAN LIMBAH BATUBARA DENGAN PEMBAKAR SIKLON Stefano Munir, Ikin Sodikin, Waluyo Sukamto, Fahmi Sulistiohadi, Tatang Koswara Engkos Kosasih, Tati Hernawati LATAR BELAKANG Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi pada saat ini dan pada masa kedepannya sangatlah besar. Apabila energi yang digunakan ini selalu berasal dari penggunaan bahan bakar fosil tentunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk pembuatan kampas rem. Dalam perkembangan teknologi, komposit

I. PENDAHULUAN. untuk pembuatan kampas rem. Dalam perkembangan teknologi, komposit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan komposit merupakan salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan untuk pembuatan kampas rem. Dalam perkembangan teknologi, komposit mengalami kemajuan yang sangat

Lebih terperinci

Oleh RIO LATIFAN Pembimbing DIAH SUSANTI, ST., MT., P.hD. Surabaya, 11 Juli 2012

Oleh RIO LATIFAN Pembimbing DIAH SUSANTI, ST., MT., P.hD. Surabaya, 11 Juli 2012 Surabaya, 11 Juli 2012 Aplikasi Karbon Aktif dari Tempurung Kluwak (Pangium Edule) dengan Variasi Temperatur Karbonisasi dan Steam Sebagai Electric Double Layer Capasitor (EDLC) Oleh RIO LATIFAN 2708100056

Lebih terperinci