DI BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial SYAFRUDDIN KALO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DI BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial SYAFRUDDIN KALO"

Transkripsi

1 DI BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial SYAFRUDDIN KALO Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pengantar Sumatra Timur pada masa kolonial, khususnya sejak tahun 1870, merupakan suatu lahan eksploitasi ekonomi dan sasaran investasi agro-bisnis dari kekuatan kapitalis kolonial asing yang menanamkan modalnya di Indonesia 1. Prospek yang baik dari hasil-hasil percobaan tanam pertama dan lonjakan harga produk agraria perkebunan di Sumatra Timur ini menjadi rangsangan dan titik tolak utama bagi perluasannya. Berbagai macam perusahaan dengan kekuatan modal raksasa berlomba-lomba dalam menanamkan modal dan mencari segala macam cara untuk memperoleh lahan bagi usaha agrobisnisnya di wilayah tersebut Yang dimaksud Sumatra Timur pada jaman kolonial adalah daerah milik raja-raja Melayu yang terletak di sebelah utara sungai Kampar dan di selatan sungai Tamiang dengan luas wilayah sekitar km 2. Wilayah ini sering disebut sebagai Residentie van Oostkust Soematra yang mencakup daerah kesultanan Deli-Serdang, Asahan, Langkat dan Simalungun-Tanah Karo. Kecuali daerah Simalungun-Karo yang dikuasai oleh etnis Batak, daerah yang lain di Sumatra Timur merupakan kekuasaan para sultan Melayu dan dihuni oleh etnis Melayu dengan hak milik tanahnya yang berlaku menurut adat Melayu. Lihat tentang ini pada T.J. Boezemer, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie ( s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1921), halaman 267. Masuknya perkebunan Belanda yang dipelopori dengan investasi awal oleh Nienhuis pada tahun 1862 dengan percobaan tembakaunya ini semakin berkembang pesat setelah adanya dukungan juridis dan tehnis. Secara tehnis, para investor asing mengetahui dari hasil percobaan penanaman tembakau pertama oleh Nienhuis yang menerima harga penawaran tinggi di pasaran tembakau Amsterdam, sementara secara juridis formal dengan munculnya peraturan-peraturan hukum agraria seperti Agrarische Wet tahun 1870 yang meskipun berlaku untuk Jawa-Madura namun menjadi titik tolak pembuatan peraturan agraria bagi Sumatra Timur dan juga lewat tekanan politik kepada para Sultan Melayu oleh pemerintah kolonial Belanda melalui perjanjian-perjanjian dan kontrak-kontrak politik. Dalam berbagai perjanjian yang dibuat pemerintah Belanda dengan para Sultan Melayu ini terbuka jalan bagi para pengusaha pemilik modal (ondernemets) untuk menanamkan investasi di sektor perkebunan lewat sewa tanah milik Sultan. Lihat tentang ini dalam Karl. J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, terjemahanj. Rumbo (Jakarta, Sinar Harapan, 1985) halaman 51 dst. Ada empat faktor utama yang mendorong peralihan pandangan kapitalis dan perluasan lahan eksploitasi ekonominya di luar Jawa khususnya di Sumatra Timur. Pertama adalah semakin menurunnya daya produksi Jawa sebagai sasaran lahan eksploitasi kolonial sejak beberapa abad yang mengakibatkan semakin kritisnya kondisi kesuburan tanah, munculnya produk saingan baru dari negara koloni lain terhadap produk Jawa sehingga mengakibatkan anjloknya harga produk agraria Jawa, munculnya permintaan baru dari para konsumen internasional terhadap produkproduk agraria yang dihasilkan oleh luar Jawa dan akhirnya perlunya pembukaan lahan eksploitasi dan kolonisasi di luar Jawa dengan tujuan menjaga keseimbangan terhadap kepadatan penduduk dan merosotnya kesejahteraan di Jawa. Lihat Th. Lindblad, Het Belang van Buitengewesten (Amsterdam, NEHA, 1986) halaman Digitized by USU digital library 1

2 Di sisi lain, kondisi pemilikan lahan di Sumatra Timur khususnya di wilayah raja-raja swatantra (pemerintahan kasultanan), telah berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Dari sudut pandang suprastruktur yang bernuansa elitis, dalam bidang ini berlaku prinsip Vorstdomein yakni semua tanah di wilayah tersebut adalah milik raja yang berkausa, dalam hal ini Sultan Melayu. Sultan sebagai penguasa daerah memiliki hak kuasa atas tanah-tanah di negaranya dan berhak membagi-bagikan kepada kerabat dan birokrasinya hingga sampai kepada rakyat yang memiliki hak garap 3. Dalam penerapan sistem tersebut di wilayah Sumatra Timur, kekuasaan hak milik raja atas tanah ditunjukan melalui status karunia Sultan yang diberikan dalam bentuk tanah kepada penggarapnya. Pada sisi lain dalam kehidupan agraria masyarakat tradisional, berlaku juga sistem pemilikan tanah oleh rakyat yang bersifat komunal (volksdomein). Menurut sistem ini, sumber utama pemilikan tanah berdasarkan pada konsep bahwa pembuka lahan pertama menjadi pemegang hak utama bersama keturunan dan keluarganya, yang akan menggarapnya secara bergantian (komunal system). Dalam perkembangan selanjutnya, tanah-tanah komunal ini kemudian diakui sebagai tanah adat yang bisa dimiliki dan digarap bersama secara turun-temurun dalam bentuk hak ulayat. Keberadaan dan keabsahan tanah ulayat ini tidak bisa dilepaskan dari pelestarian dan eksistensi masyarakat adat pendukungnya yang menjadikannya sebagai titik tolak dan sumber kehidupan 4. Dalam menggunakan tanah-tanah ulayat tersebut, sistem pergiliran pakai biasanya diberlakukan dalam kurun waktu tertentu sehingga perputaran atau sirkulasi hak pakai tanah merata di antara para anggota masyarakat ini. 3 4 Dalam sistem pemerintahan monarkhi feodalistis, raja dianggap sebagai penguasa segala yang terdapat di atas permukaan tanah dan di bawah langit kekuasaannya. Dengan demikian sistem feodalisme bertumpu pada penguasaan tanah yang menjadi sumber kehidupan semua orang dan ditentukan penggunaannya oleh raja yang berkuasa. Semboyan raja Perancis Louis XIV L etat c est moi (negara adalah saya) menunjukan bahwa kekuasaan raja atas tanah bersifat absolut (mutlak) dan tidak bisa ditawar lagi. Dengan demikian menurut sistem pemilikan tanah feodalistis, rakyat sebagai kawula raja hanya berhak menggarap dan mengambil sebagian hasil garapannya untuk mencukupi kebutuhan sendiri, sedangkan sebagian besar hasilnya disetorkan kepada raja untuk mencukupi kebutuhan diri, keluarganya dan istananya. Sumber dari sistem penguasaan tanah feodal ini bertolak dari kepercayaan bahwa raja dianggap sebagai wakil dan manifestasi Tuhan di dunia (kultus dewa-raja) yang sering bisa dirujuk kembali dari konsep kepercayaan terhadap perwujudan tata pemerintahan monarki lama baik di Eropa (yang bersumber dari hukum Romawi) maupun di Timur (India dan Cina yang bertolak dari kepercayaan Hindu terhadap kasta-kasta). Lihat tentang ini konsep Gaetano Mosca dalam The Ruling Class (New York, McGraw Hill Book Company, 1939), halaman 51. Pertumbuhan dan perkembangan pemilikan tanah komunal tersebut secara antropologis bertolak dari pertumbuhan dan pembentukan masyarakat kesukuan. Perkembangan masyarakat yang dimulai dari kehidupan individu primitif dengan pola mata pencaharian berburu dan meramu telah memberikan dasar bagi kehidupan kerjasama dan gotong royong komunalistis yang diteruskan dengan perubahan dalam pola pemukiman serta tempat tinggal. Pemukiman bersama dalam suatu kelompok telah mempengaruhi pandangan dalam hubungan pergaulan serta sistem kekerabatan. Dari kondisi ini tumbuh nilai-nilai dan norma sosial tradisional dalam kaitannya dengan sumber penghidupan dan mata pencaharian. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kepemilikan tanah di antara penduduk tradisional tersebut. Lihat Mr. B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto (Prajnya Paramita, Jakarta, 1958), halaman Digitized by USU digital library 2

3 Melihat kondisi pemilikan tanah yang berlaku di wilayah swatantra Sumatra Timur ini, para pengusaha dan pemilik modal (ondernemer) merasa perlu menempuh jalur politik dan juridis formal untuk memenuhi kebutuhan agrobisnisnya. Langkah yang digunakan adalah menggunakan birokrasi kolonial untuk menekan raja-raja Melayu agar bersedia melepaskan tanahnya dalam bentuk hak sewa kepada para pengusaha perkebunan tersebut. Dengan kesepakatan yang menyangkut harga dan lama sewa, satu persatu lahan di wilayah para Sultan Melayu yang sebelumnya berstatus tanah ulayat atau karunia sultan berubah menjadi lahan onderneming yang ditanami dengan produk agraria sebagai tuntutan dari pasaran kapitalisme di Eropa 5. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi dalam penerapan kedua sistem tersebut pada tanah-tanah di Pantai Timur Sumatra dengan masuk dan berkembangnya sistem eksploitasi perkebunan besar (onderneming) dan penanaman kekuasaan serta kontrol pemerintah kolonial yang menjadi penopang utama investasi kapitalisme. Dengan demikian juga perlu digali sumber konflik dan benturan yang terjadi dalam pertemuan kedua sistem yang berbeda sehubungan dengan pemilikan tanah dan rakyat penunggu di sana. Bertolak dari hasil penelitian tersebut, diharapkan bisa ditemukan dan diketahui beberapa tindakan dan kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dan konflik yang berkepanjangan pada bidang tersebut. Ekploitasi Agraria dan Dampaknya bagi Kehidupan Petani 5 Penggunaan birokrasi kolonial bagi kepentingan pengusaha kapitalis asing ini tidak terlepas dari perubahan pemegang kekuasan di Belanda yang beralih dari kelompok konservatif kepada kelompok liberal. Dengan runtuhnya sistem Tanam Paksa yang didukung oleh kelompok konservatif dengan tekanan utama pada kepentingan kas kerajaan Belanda, sistem eksploitasi agraria swasta liberal yang ditandai dengan munculnya Agrarische Wet tahun 1870 oleh Menteri Koloni Franssen van de Putte telah berhasil menyerahkan hak penentu kebijakan negara kepada para pengusaha kapitalis swasta. Hal ini ditindaklanjuti dengan adanya perlombaan eksploitasi agraria di tanah jajahan dengan tujuan memenuhi tuntutan kapitalis internasional yang berpusat di sentra-sentra lelang hasil tanaman tropis dari koloni. Dengan demikian penentu kekuasaan di Belanda beralih dari para birokrat pemerintahan yang diangkat oleh raja/ratu Belanda kepada para pemegang saham perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa yang mengarahkan sasaran eksploitasi ekonominya ke tanah koloni. Lihat H. Idema, Parlementaire Geschiedenis van Nederland Indie ( s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1898) halaman Digitized by USU digital library 3

4 Bersama dengan penambahan lahan untuk kepentingan perkebunan, sebagai akibatnya banyak tanah petani yang diambil untuk disewa dan ditanami dengan tanaman perkebunan, sehingga para petani kehilangan ladang mereka. Dengan tidak adanya ladang petani, yang semuanya sudah dirubah menjadi tanah perkebunan (onderneming), ini terbukti bahwa hak ulayat tidak lagi diakui oleh pemerintah kolonial yang mengizinkan persewaan semua lahan milik petani kepada pengusaha perkebunan. Hal ini menciptakan ketegangan sosial. Sebagai akibatnya sering terjadi konflik yang muncul antara masyarakat pribumi di satu pihak versus perusahaan perkebunan (onderneming) yang didukung oleh pemerintah kolonial maupun sultan di lain pihak. Dalam salah satu peristiwa yang terjadi, penduduk pribumi menghadap Kontrolir untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kontrolir lalu membawa persoalan ini ke Kerapatan di Arnhemia pada tanggal 16 Juli 1918 dengan mengundang sultan dan para penghulu yang berkaitan. Semua keberatan rakyat yang disampaikan di atas dibenarkan oleh para penghulu yang hadir di sana. Kontrolir Winkelman kemudian memutuskan adanya pemberian batas jarak 9 kaki persegi yang jelas untuk digunakan sebagai lahan cocok tanam penduduk; penduduk juga berhak mengambil segala macam tanaman di lahan tanah tersebut. 6 Pengaduan penduduk memperoleh perhatian dari Sultan Deli yang melalui Keputusan Nomor 80 tanggal 1 Juli 1921 menetapkan bahwa para kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil tanah sebagai uang sewa untuk tanah yang disisihkan di luar lahan penanaman. Tanah ini sering disebut dengan istilah tanah jaluran. 7 Untuk mempertegas definisi tentang tanah jaluran ini, perlu dikutip penjelasan yang disampaikan oleh Mahadi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan tanah jaluran ialah tanah tempat tanaman tembakau yang baru selesai dipetik, di atas mana para petani diperbolehkan menanam tanaman semusim, ialah padi dan jagung, dan setelah tanaman tersebut habis dipanen tidak lagi boleh diolah dan ditanami karena perlu dihutankan sampai tiba giliran untuk kembali ditanami dengan tembakau (sistem rotasi). 8 6 Ginting Margana, Kabratan anak negeri dan toean toean kebon, Andalas, 19 Nopember Mv0. Pronk, op.cit; lihat juga, Beberapa Suggesties oentoek Commissie Ra jat Penoenggoe, Pewarta Deli, 20 Desember Tentang keputusan penyetoran ini lihat, Keputusan Sultan Deli Nomor 80, 1 Juli 1921 dan Keputusan Sultan Serdang Nomor 8/13 tanggal 13 Juli Dalam sistem sewa tanah oleh pengusaha perkebunan swasta dari Sultan, menurut konsep hukum dagang yang sah sewa mencakup seluruh lahan yang diserahkan dan ditetapkan oleh Sultan untuk ditanami dengan tanaman dagang demi kepentingan perusahaan perkebunan yang telah memenuhi kewajibannya dalam bentuk pembayaran uang sewa yang telah disepakati kepada Sultan selaku penguasa tanah. Dengan demikian pengusaha perkebunan merasa berhak untuk menggunakan tenaga yang sebelumnya menggarap tanah-tanah itu dan menyerahkan hasilnya kepada Sultan, atau mengusir mereka dan menggantinya dengan para kuli kontrak yang didatangkan oleh pengusaha perkebunan dari daerah lain. Kasus demikian sering menjadi sumber konflik. 8 Lihat Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra Timur (tahun ) (Bandung, Alumni, 1976), hal Dalam kutipannya tersebut, Mahadi mengritik pandangan tentang hak milik tanah jaluran yang dianggap telah dikuasai oleh petani. Menurut Mahadi, kelemahan pandangan tersebut bertolak dari status pemegang hak milik. Petani bukan merupakan status pemilik, melainkan penduduk (opgezetenen) yang memegang hak milik. Di sisi lain penduduk tidak selalu petani dan hal ini akan terlihat jelas dalam kaitannya dengan status pekerja perkebunan (kuli kontrak). Pekerja perkebunan bukan petani meskipun tugasnya sama seperti petani yakni menggarap tanah. Jadi dalam hal ini perlu diperjelas status pemegang hak tanah jaluran tersebut Digitized by USU digital library 4

5 Dengan melihat definisi oleh Mahadi tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam proses persewaan lahan bagi penanaman tembakau oleh perkebunan, telah terjadi penggunaan lahan secara bergiliran atas bagian tertentu dari luas perkebunan tersebut. Bagian yang digunakan ini diberikan kepada rakyat penunggu dikerjakan setelah berakhirnya musim panen tembakau 9. Sebelum mengupas persoalan ini lebih lanjut, perlu juga disampaikan tentang apa yang disebut dengan ra jat penunggu di sini. Menurut Mahadi, rakyat penunggu adalah golongan penduduk yang bertempat tinggal di dekat dan di sekitar tanah jaluran yang pada umumnya adalah kawula kerajaan pada masa lalu atau landschapsonderhorigen. 10 Pengukuhan hak ra jat penunggu ini atas tanah jaluran mendapat keberatan dari pengusaha pemegang konsesi karena mereka merasa terancam, mengingat tanah jaluran tersebut akan hilang apabila masa konsesi berakhir dan status tanah ini berubah menjadi erfacht. 11 Penyelesaian ini tidak tuntas, mengingat sanksi hukum tidak dimuat dalam keputusan tersebut. Sebagai akibatnya pemerasan dan penipuan masih terus berlangsung. 9 Di sini perlu diperjelas tentang sifat dan masa tumbuh tanaman tembakau dibandingkan dengan produk agraria lain yang dimaksudkan bagi kepentingan ekspor. Tembakau tidak ditanam secara terus-menerus pada sebuah lahan yang telah dibuka dan disewa dari penduduk oleh pengusaha, sehingga terdapat waktu luang atau istirahat bagi tanah untuk memulihkan kembali lapisan humusnya. Masa istirahat ini memberikan kesempatan bagi penduduk (opgezetenen) untuk menanaminya dengan produk pertanian yang terutama dimaksudkan memenuhi kebutuhan pangan seperti padi, jagung, ketela, dsb. Sistem tersebut bisa menjadi pengganti dari hilangnya sumber pendapatan penduduk tradisional lama yang sebelumnya diberi kuasa hak pakai oleh Sultan sebagai akibat persewaan tanah kepada pengusaha perkebunan. Ini menciptakan perbedaan besar dengan kondisi perkebunan di Jawa yang ditanami dengan (umumnya) tanaman keras jangka panjang seperti kopi, gula, teh, nila, dsb. di mana penggunaan tanah secara terus-menerus dituntut oleh pengusaha perkebunan. Sebagai akibatnya terjadi perubahan status penghuni tanah yang disewakan dari petani penggarap menjadi kuli perkebunan atau buruh pabrik gula. Tentu saja fenomena ini membuat proses dinamika kehidupan perkebunan di Jawa dan Sumatra menjadi sangat berbeda. Di Jawa proses pertumbuhan perkebunan berkembang menjadi dua sistem, yakni sistem perkebunan pabrik (onderneming fabricage) dan tanah-tanah partikelir (particuliere landerijen) yang menciptakan model tuan-tuan tanah asing di tengah kehidupan petani pribumi. Lihat tentang ini J. Faez, Particuliere Landerijen in Bewesten van Cimanoek Rivier ( s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1894). 10 Dengan terhapusnya sistem pemerintahan kerajaan swatantra sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, status kawula Sultan yang diwujudkan dalam bentuk rakyat penunggu ini menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini semakin dipertegas dengan keluarnya UUPA tahun Namun demikian penegasan yang diharapkan bisa diberikan oleh UUPA tersebut tidak terealisir, yakni dengan masih kaburnya status hak milik adat atas tanah-tanah ulayat yang berkaitan erat dengan status rakyat penunggu. Akibatnya masih sering terjadi sengketa agraria yang tidak terselesaikan setelah munculnya peraturan tersebut. Pergolakan setelah proklamasi tahun 1945 yang diikuti dengan terjadinya revolusi sosial di Sumatra Timur yang menghapuskan sistem kesultanan feodal Melayu membuat status rakyat penunggu ini tidak lagi bisa bertahan, bahkan struktur feodalisme lama yang terkait dengan pemilikan tanah di sana juga hancur bersamaan dengan penghapusan modal asing akibat revolusi. Dengan demikian setelah kemerdekaan status penduduk semuanya sama sebagai warga negara Republik Indonesia yang menjadi kawula pemerintah pusat RI. Lihat Mahadi, op.cit, hal Yang dimaksud dengan hak erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk mengenyam, menikmati atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar satu pacht atau canon untuk tiap tahunnya kepada yang mempunyainya, baik berupa uang atau hasil pendapatannya Digitized by USU digital library 5

6 Hal ini terungkap dengan adanya tanah-tanah jaluran bagi penduduk yang tidak memenuhi syarat atau sesuai dengan harapan penduduk. Suatu ungkapan keluhan disampaikan oleh G. Mergana dalam harian Andalas pada tahun 1918 : Di bawah ini saja toetoerken satoe persatoe kaberatan anak negri jang telah dilakoeken oleh toean toean kebon soepaja djangan kelak saja ini dikataken t.t. pembatja mengisep kabar dari oedjoeng djari sadja : Dimana ladang jang tanahnja soeboer dan rata sedikit t.t. kebon asingkan, itoe boeat ladang sewa, atawa boeat djoealan. Mana ladang jang tida saberapa baik, itoelah dibagi boeat anak negeri. Ladang-ladang dibagi oentoek anak negri, poen djangan di sangka, dibagi oleh toean toean kebon menoeroet sepandjang boenji Contract, itoelah sekali kali tida! Boektinja terseboet di dalam Contract ladang penoenggoel boeat anak negri dalem satoe tangga jaitoe (1 H Are) atawa M. Diladang j.t.s. selainnja dari pokok kajoe androng, toean kebon tanem poela sematjem kajoe jang diseboetken (oleh anak negeri kajoe emboen). Binatang anak negeri tida sekali boleh mengindjak tanah concessie kectjoeali pasar (djalan), anak negeri tida boleh mengembalaken lemboe atawa kerbaunja katanah jang diloear tanah kampoeng, itoelah sekali kali tida boleh, menoeroet prentah toean kebon. Disebelah satoe kebon, ada djoega dilarang anak negeri mengambilkajoe, ditanah consessie walaupoen dipergoenakan boeat roemah tangganja. Anak negeri dipaksa oleh toean toean kebon mengerdjaken pakerdjaan kebon seperti mentjoetjoek tembako dan mentjari oelat. Betoel, boeat itoe pakerdjaan diberi oepah menoeroet pendapatannja, tetapi tida lebih sabrapa dari orang contrack, begitoelah boeat anak negeri, itoepoen disertaken poela dengan antjeman : Kaloe loe tida maoe tjoetjoek tembako, saja tida kasih ladang. Pada tahun 1918 ini bertambah poela sematjem peratoeran dari kebon kebon, jaitoe: ladang ladang oentoek anak negeri lebih doeloe ditanemi djagoeng kapoenjaan kebon, kamoedian sasoedah habis boeah djagoeng jang ditkoetip oleh kebon, baroelah anak negeri bisa tanam padi. 12 Dari kutipan di atas bisa diketahui bahwa onderneming tidak mematuhi ketentuan kontrak dengan sultan, bahwa akan menyediakan tanah jaluran yang terbaik bagi penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Dalam hal ini onderneming telah melakukan wanprestasi, yaitu tidak melaksanakan kewajiban dalam kontrak. Sultan bukannya tidak mengetahui peristiwa ini, namun tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Lihat pasal 720 BW. Erfpacht dikeluarkan pada saat banyak permohonan masuk kepada Sultan Melayu sebagai penguasa tanah. Untuk memudahkan aktivitas perkebunan yang ada, sistem erfpacht jangka panjang merupakan salah satu cara terbaik. Lihat Hoe verkrijgt men gronden in erfpacht op Sumatra? dalam Algemeene Landbouwweekblad van Nederlandsch Indie, tahun , nomor 22, halaman 7, koleksi Perpustakaan Nasional RI nomor Ginting Margana, Kabratan anak negri dan toean toean kebon, Andalas, 22 Agustus Digitized by USU digital library 6

7 Para pengusaha yang memegang konsesi tanah dari sultan mempunyai kewajiban-kewajiban berikut ini; menyisihkan tanah jaluran setelah dipanen dari tembakau, menyisihkan tanah untuk kampung dan menyisihkan minimal 4 bau tanah bagi pertanian rakyat. ketentuan ini selalu dimuat dalam kontrak sewa meskipun dalam pelaksanaan masih harus diperhatikan. 13 Dalam prakteknya ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh pengusaha onderneming secara konsekuen dan sultanpun tidak mengambil tindakan terhadap pelanggaran syarat konsesi tersebut. Persoalan tanah yang timbul disebabkan adanya keseganan pengusaha perkebunan untuk menyisihkan lahan (jaluran) yang seharusnya digunakan bagi penduduk pribumi. Tanah tersebut tetap dipertahankan sendiri dan diberikan kepada pegawainya atas dasar sewa. Tindakan ini tidak bisa dikendalikan baik oleh sultan maupun oleh kontrolir, mengingat adanya kesepakatan antara pengusaha perkebunan dan pemerintah. Kesepakatan ini menyebutkan bahwa atas setiap konsesi yang dikeluarkan, seperempat tanah yang disepakati dan separuh cukai tahunan harus disetorkan ke kas negara demi kepentingan proyek pembangunan umum. Setelah memenuhi kewajiban ini, pengusaha perkebunan diberi kebebasan dalam hubungannya dengan sultan. 14 Tindakan pengusaha perkebunan yang tidak mematuhi akte konsesi yang mewajibkannya untuk memberikan tanah jaluran kepada masyarakat, ternyata tidak dicegah oleh Sultan, namun justru membiarkannya. Hal ini disebabkan karena sultan telah mendapat keuntungan yang besar dari pengusaha perkebunan. Pernyataan ini bisa dibuktikan dalam tahap penyelesaian perkara ini, yaitu dengan menyerahkan keputusannya kepada aparat pemerintah, khususnya Kontrolir setempat. 13 Memorie van Overgave, H. D. Moyenfeld Beneden Deli, 9 April 1934, hal. 38. Keseganan pengusaha perkebunan untuk menyisihkan lahan jaluran sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara pengusaha dan petani melalui pemerintah kolonial ini bersumber pada penerapan kebijakan agraria sebagai akibat kesulitan yang muncul dari berkurangnya lahan tembakau. Bagi pengusaha perkebunan, keuntungan akan lebih banyak diperoleh dengan menggunakan lahan yang ada untuk membuka koloni bagi para kuli kontrak daripada untuk menyerahkannya kepada penduduk setempat. Di sisi lain Sultan juga merasa berkepentingan dengan bertambahnya hasil tembakau yang berarti kenaikan jumlah setoran sewa oleh pengusaha kepadanya, daripada hasil agraria yang diperoleh lewat kawulanya yang berstatus rakyat penunggu. Keluhan muncul dari pengusaha kepada Kontrolir bahwa banyak juga rakyat penunggu yang tinggal di luar kompleks perkebunan namun ikut menuntut tanah jaluran dan ini dianggap merugikan quota produksi tembakau bagi pengusaha. 14 Memorie van 0vergave L. Kapoort, op.cit. Dalam perkembangan lebih lanjut, tanah-tanah yang diserahkan oleh pengusaha perkebunan sebagai hasil kontrak sewanya dengan Sultan ini oleh pemerintah digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti jalan, bangunan pemerintah, kantor pos, gudang-gudang, sekolah dsb. Persoalan muncul karena status tanah masih menjadi hak milik Sultan, sedangkan infrastruktur yang dibangun di atasnya menjadi hak milik pemerintah kolonial. Akan tetapi pemerintah kolonial tidak bisa membicarakan penyelesaiannya dengan Sultan, mengingat pemerintah kolonial merasa terikat dengan kesepakatannya kepada pengusaha perkebunan. Hal ini terjadi di daerah Tanjungbalei dan kota pelabuhan Tanjung Tiram. Selama tanah-tanah tersebut masih berguna bagi kepentingan pemerintah Belanda, maka status hak pakainya masih terus dipegang oleh pemerintah sementara sebagian tanah di daerah Labuhanbatu dikembalikan lagi karena menurut pemerintah tidak lagi efektif untuk dipertahankan pemilikannya. Persoalan kemudian muncul ketika pemerintah kolonial digantikan oleh pemerintah nasional RI yang harus menghadapi beberapa tuntutan dari keturunan para penguasa feodal pribumi sebagai pemegang hak atas tanah-tanah tersebut Digitized by USU digital library 7

8 Tengku A. Machmoed menulis sebuah artikel PENGAROEH CONCESSIE DI SOEMATRA TIMOER Motto : Kapitalis Minoem Soesoe, Zelfbestuurder toeroet memerah Ra jat, sebagai berikut : Menoeroet pendengaran kita, tidak ada terseboet dalam artikel politiek contract antara radja-radja kita dengan pemerintah Belanda, bahwa djikalau kaoem kapitaal itoe akan masoek mentjari kekajaannja di sini, mesti diberikan tanah setjoekoepnja. 0leh sebab itoe seandainja radja-radja kita tidak terlaloe leloeasa memberi tempat masoek kepada kapitalist itoe tentoelah kita ra jat tidak begini sengsara dalam peroesahaan. Adakan radja-radja itoe mendapat hoekoeman ataoe tjatjian djika kaoem kapitaal itoe tidak diberi masoek? Kita raja tentoe tidak! Tjoema tentoelah radja-radja kita itoe tidak lagi mendapat poeloehan riboe roepiah, karena tertoetoepnja pintoe oentoek kapitalist itoe. Kita pikir tentoelah radja-radja kita tidakkan senang memakan harta jang berpoeloeh riboe itoe, kalaoe ra jatnja sampai sengsara. Adakah senang seorang ajah memakan harta anaknja jang didjoeal? Moengkin kalaoe radja jang tjoema memikirkan hawa nafsoenja dan tidak memikir ra jat itoe oempama anak laginja. Walaupoen radja-radja itoe menerima poeloehan riboe roepiah seorang, tetapi kita kira beloem ada dari harta jang diterima mereka dipergoenakannja oentoek kepentingan ra jat, ketjoeali ada seorang doea di antara baginda-baginda itoe jang pengasih penjajang. Kesenangan yang diterima radja-radja itu adakah artinja bagi ra iat? Tentoe pembatja dapat djawab sendiri. Djikalaoe kita ra jat ini nanti soedah pergi semoea dari sini apakah radja itu nanti masih menjadi radja djoega? Oleh sebab itoe marilah pembatja kita tadahkan tangan kedoea boeahnja arah kelangit memohonkan koedrat Toehan jang esa agar terpoesinglah hati radja-radja itoe kepada memikirkan keperloean ra iatnja soepaja aman sentosa negerinja. Dan pengharapan kita djanganlah lagi bangsa kita teroetama anak Soematra Timoer selamanja beringin mendjadi hamba kapitalist itoe sahadja melainkan beroesahalah sedapatdapatnja bekerdja sendiri oentoek kita dan bersamasamalah kita pohonkan kehadapan radja-radja kita tanah tempat beroesaha walaupoen tanah itoe soedah dalam conssesie. 15 Sengketa yang muncul ini bukan hanya menyangkut status tanah sewaan, namun juga berkaitan dengan masalah tanah jaluran. Tanah jaluran muncul sebagai lahan yang disisihkan setelah panen tembakau, disediakan bagi penduduk pribumi setempat untuk lahan penanaman padi atau jagung, atau mungkin keduanya sekaligus, dalam jangka waktu sekali panen. Dalam kontrak sewa antara pengusaha onderneming dengan sultan, tanah jaluran ini dimasukkan sebagai salah satu ketentuan kontrak tersebut dan disepakati terletak di lahan konsesi. Setelah digunakan oleh penduduk pribumi untuk menanam tanaman pangan ini, tanah itu dikembalikan kepada pengusaha perkebunan untuk memulai lagi penanaman tembakau. 15 T. A. Machmoed, dalam Pewarta Deli, 11 Januari Menarik untuk diperhatikan di sini bahwa seorang bangsawan menulis keluhan tersebut dalam sebuah terbitan berkala. Tanpa mempertimbangkan ideologi dan aliran politik si penulis, perlu ditegaskan bahwa para Raja Melayu yang berkuasa pada saat itu kurang begitu memihak kepada penduduk dalam menghadapi ambisi kekuasaan Digitized by USU digital library 8

9 Namun tidak semua lahan konsesi milik onderneming ini dijadikan sebagai tanah jaluran bagi penanaman padi penduduk. Perhitungan batas-batas jaluran ini diserahkan atas dasar musyawarah dengan masyarakat kampung. Setiap warga menerima bagian satu lahan dengan tambahan kepada penghulu sebuah lahan selaku koordinator. Ada ketentuan bahwa yang menerima tanah jaluran ini adalah keluarga yang sudah menikah, sehingga apabila ada bujangan yang tinggal di desa tersebut maka dia harus segera menikah supaya menerima jatah tanah jaluran. Namun sebagai imbangannya bagi para penerima jaluran itu, mereka harus membayar pajak kepada pemerintah atau melakukan kerja wajib untuk kepentingan merawat infrastruktur seperti jalan, jembatan dsb. 16 Dalam pelaksanaan kesepakatan tentang jaluran ini terdapat beberapa problem yang mengarah pada sengketa atas tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh onderneming maupun oleh para kepala adat Melayu. Sebagai akibatnya terjadi kekurangan pangan dan penderitaan bagi penduduk pribumi setempat. Kondisi resah dan gelisah ini akhirnya mengarah pada protes yang diajukan kepada pejabat pemerintah kolonial, mengingat sultan dalam hal ini tidak bisa diharapkan bantuannya untuk terlibat dalam masalah itu. Sumber-Sumber Konflik Penyimpangan pertama atas tanah jaluran ini terjadi ketika perusahaan perkebunan tidak menyerahkan tanah jaluran kepada penduduk setempat sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam kontrak, melainkan menyerahkan kepada para pekerja mereka yang menganggur setelah panen tembakau. Sebagai akibatnya tanah-tanah jaluran ini dikerjakan oleh para pekerja bangsal, Cina dan Jawa seperti yang terjadi di beberapa perkebunan Deli Tua, Bakala, dan Tuntungan milik Deli Maatschappij, Arnhemia milik Rotterdam Deli dan Rimbun milik perusahan onderneming Rimbun. Setelah masa kerja jaluran ini berakhir, kadang-kadang para pekerja Cina ini tidak pergi, namun tetap terus berlangsung dan bahkan mengarah pada pemberian hak bangun. Ini terjadi di Medan, Sukarame, Arnhemia, Labuhan Deli, Kampung Baru, Pulau Brayan, Glugur, 16 Memorie van 0vergave G.L.J.D. Kok, op.cit, hal. 87. Dalam tahap akhir penyewaan lahan tersebut, tanah-tanah jaluran yang seharusnya digunakan untuk menanam padi disewakan kepada para pekerja bangsal, para pemilik kedai Cina dan Melayu. Dalam proses persewaan tersebut, para kepala adat Melayu juga ikut menerima bagian dari hasil sewanya. Ini menimbulkan banyak keluhan dari penduduk yang berhak menerima tanah jaluran yakni rakyat penunggu. Pimpinan adat setempat tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut karena kepentingan mereka juga terlibat dalam persewaan lahan jaluran kepada orang-orang Cina, sehingga para pejabat Belanda ikut campur untuk mencegah terjadinya pergolakan sebagai akibat ketimpangan yang muncul dalam penyerahan hak tanah jaluran ini. Beberapa keluhan muncul tentang penguasaan uang sewa tanahtanah jaluran kepada orang-orang Cina dari para pengusaha perkebunan oleh para kepala adat Melayu ini Digitized by USU digital library 9

10 Belawan, Kampung Besar, Sungai Agul, Hamparan Perak, Sungai Rampah, Bedagei, Bandar Sono dan Tebing Tinggi. 17 Akibatnya beberapa ketegangan terjadi antara penduduk setempat di sekitar perkebunan yang memegang hak atas tanah itu (ra jat penoenggoe) dengan para penggarap luar yang tidak sah. Sementara itu para penggarap ini merasa bahwa mereka berhak menggarap karena telah mendapat restu dari pengusaha onderneming. Onderneming berdalih, bahwa tanah yang diserahkan kepada pekerja ini adalah tanah di luar jaluran dan disewakan dengan pembayaran hasil panen padi. 18 Kasus penyimpangan dalam soal pembagian tanah jaluran yang lain adalah, bahwa pengusaha perkebunan tidak langsung menyerahkannya kepada ra jat penoenggoe, melainkan kepada kepala adat Melayu yang dianggap sebagai pimpinan rakyat setempat. Pimpinan Melayu ini tidak membagikan tanah jaluran kepada masyarakat, namun menggarapnya sendiri atau menyewakannya kepada para pemilik kedai dan petani sayur Cina dan Jawa. Persewaan ini dilakukan berdasarkan kontrak yang dibuat di depan para kepala adat Memorie van 0vergave W.P.F.L. Winckel, op.cit, hal. 54. Langkah untuk menyelesaikan perkara itu sebenarnya sudah diambil melalui keputusan Sultan Deli tanggal 10 Januari 1920 dan keputusan Sultan Serdang tanggal 28 Desember 1919 untuk melepaskan tanah-tanah liar bagi penanaman tanaman pangan. Diharapkan agar tanah seluas 500 bahu di daerah Serdang bisa berproduksi untuk menutup kebutuhan pangan penduduk, namun ternyata hasilnya terlalu kecil sehingga dibuat ketentuan untuk menanami padi minimal seluas ¾ bagian. Namun demikian perlu diawasi penggunaannya oleh Kontrolir karena penghulu sering meminta jatah lebih banyak lahan dari tanah-tanah yang disediakan tersebut. akibatnya Sultan Deli harus kembali mengeluarkan keputusan tanggal 1 Juli 1921 nomor 80 yang menyatakan bahwa para kepala adat ini tidak boleh mengambil lebih dari 25% jatah tanah jaluran dalam bentuk uang sewa yang menjadi hak penduduk setempat. Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Kontrolir Beneden Deli 30 Maret 1926, hal. 36. Alasan ini digunakan untuk menolak penduduk setempat menggarap jaluran karena dianggap mereka tidak mampu membayarnya. Pengusaha perkebunan menggunakan standard pembayaran hasil sewa tanahnya oleh para petani sayur Cina bekas kuli kontrak yang tinggal di sana. Harga sewa padi ini harus dibayar dengan hasil panen padi namun harus disesuaikan dengan harga setoran dari orangorang Cina ini. Di sisi lain para petani Cina tersebut juga menjadi konsumen pohon-pohon milik penduduk untuk dijual hasilnya ke Medan. Akibatnya rakyat mengadukan kasus ini kepada pejabat pemerintah. Tentang ini lihat artikel Tanah Djaloeran, dalam harian Benih Merdeka, 25 Mei Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Ibid, hal. 36. Persoalan menjadi bergeser ketika keabsahan para petani Cina yang menghuni tanah tersebut diragukan kebenarannya. Langkah segera diambil dengan mengadakan pendataan yang menetapkan adanya pendaftaran hak menghuni melalui pembayaran sejumlah uang tertentu oleh orang-orang Cina. Mengingat orang Cina adalah kawula pemerintah Belanda, maka pembayaran tidak disetorkan kepada pengusaha perkebunan, Sultan atau kepala adat Melayu setempat namun masuk ke kantong pemerintah kolonial. Hal ini hanya bisa menyelesaikan sementara saja, namun persoalan masih berlanjut mengingat orang-orang Cina merasa tidak bertanggungjawab dengan Sultan maupun penduduk pribumi, sementara penduduk pribumi memandang orang-orang Cina ini belum sah menghuni tanah mereka karena belum memenuhi kewajibannya. Konflik ini segera meledak setelah pasca kemerdekaan yang menyingkirkan kekuasaan kolonial dan mengakibatkan timbulnya ketegangan dalam status penghunian tanah oleh para bekas kuli kontrak Cina ini Digitized by USU digital library 10

11 Bekas kuli Cina ini menimbulkan masalah karena mereka menghuni tanah-tanah milik sultan atau penduduk tanpa izin. Akibatnya sering muncul konflik ketika mereka harus meninggalkan tempat itu. Kondisi ini baru berakhir setelah ada petak-petak khusus yang ditunjuk untuk pemukiman mereka dan sebagai jaminan, mereka harus menyisihkan hasil kerja kepada penduduk setempat atau pemerintah tempat mereka bermukim. 20 Laporan pertanggungjawaban D.F. Pronk, Controleur van Beneden Deli Oostkust Sumatra menyebutkan : Dari informasi yang dikumpulkan tentang hal ini pada tahun 1921 terbukti bahwa pada tahun tersebut kepada pemegang hak diberikan tanah seluas 2100 bahu jaluran; yang disewakan oleh perusahaan pada penduduk seluas 900 bahu jaluran, sisa jaluran yang lain disewakan atau secara cuma-cuma dipinjamkan kepada pegawai atau pendatang baru yang tinggal di perkebunan itu. Jumlah ini pada tahun 1921 mencakup seluruh jaluran. Sehubungan dengan penyewaan jaluran kepada penduduk kampung sampai sekarang ada aturan bahwa penduduk ini kepada perkebunan harus menyerahkan kantong padi per jaluran, dimana mereka menerima upah antara f 7 sampai f 10,50. Namun peraturan ini selalu memberi jalan bagi pemerasan, penipuan dan ketidakadilan, sehingga perkebunan sering menyerahkan penanganannya kepada pejabat pribumi sementara juga kepala adat dan penghulu tidak bisa diabaikan dengan membebani penduduk dari uang sewa dan penyewaan jaluran untuk memetik keuntungan yang berasal dari penyewaan jaluran. Atas dasar ini Sultan Deli dalam putusannya tanggal 1 Juli 1921 No.80 menetapkan bahwa para kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil sebagai uang sewa untuk satu jaluran. Sampai sekarang keputusan ini belum bisa berjalan, terutama yang menyangkut hukuman atas pelanggaran; seperti surat saya kepada Asissten Residen Deli-Serdang Nomor 5361/GZ tanggal 4 Agustus 1922 jo. Nomor 7028/GZ tanggal 9 Agustus Dengan tujuan untuk memungkinkan perkebunan membuat peraturan sendiri, komisi dibentuk yang terdiri dari seorang wakil pemerintah Eropa, pengusaha pribumi dan perkebunan yang harus menafsirkan nilai jaluran untuk bisa menentukan nilai sewanya (Asissten Residen Deli dan Serdang Nomor 6594/GZ tanggal 9 November 1922) Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 33. Namun demikian persoalan ini belum berakhir mengingat adanya peristiwa mirip yang terjadi. Perkara baru muncul ketika penduduk pribumi dari luar daerah ikut menjadi penguasa lahan jaluran tersebut. Hal ini terjadi ketika penduduk pribumi yang berasal dari luar daerah itu tinggal dalam jangka waktu lama dan memberikan modal kepada penduduk pribumi setempat untuk menanam karet sendiri. Lama-kelamaan tanah-tanah tersebut beralih penguasaan dari penduduk pribumi setempat (rakyat penungu) kepada penduduk pribumi lain, dalam hal ini para bekas pekerja perkebunan orang Jawa. dengan demikian dari sudut pandang status, penduduk pribumi setempat jelas tidak diuntungkan. Di sisi lain ada tuntutan yang tidak bisa dipenuhi ketika petani kecil setempat dipaksa harus memiliki lahannya sendiri untuk bisa mengelolah usahanya. Periksa Memorie van Overgave Reuvers, Kontroleur van Beneden Deli 15 Maret 1926 (koleksi MvO serie Ie, ANRI Jakarta) halaman 46. Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 34. Sebagai tindak lanjut untuk mencegah kondisi buruk itu, ada usaha bagi pembentukan komisi yang terdiri atas wakil penguasa Eropa, Sultan dan pihak perkebunan dalam rangka menafsirkan nilai jaluran dengan maksud agar bisa menentukan nilai sewanya. Di sisi lain pemerintah Eropa mulai berpikir untuk menempatkan para bekas kuli kontrak yang sudah selesai masa kerjanya di tempat-tempat penampungan terpisah (kolonisasi) seperti di Sisir Gunting, Paluh Kurau, Sungaiyu dan Paluhmana. Harapan besar dilontarkan supaya dengan proses kolonisasi tersebut, ikatan kerja yang eksploitatif dan merugikan bagi rakyat penunggu bisa dihindari Digitized by USU digital library 11

12 Berdasarkan keterangan Pronk, telah terjadi apa yang disebut multieksploitasi dengan korban penduduk setempat yang tinggal di onderneming. Sementara di sisi lain penduduk pendatang bersama para pegawai perkebunan diberi hak untuk menggarap tanah jaluran, meskipun sebagian hasilnya disetorkan kepada onderneming dengan alasan bahwa onderneming telah menyewa tanah itu dari sultan dan membayarkan pajak mereka kepada pemerintah. Namun hal ini membuat marah penduduk setempat, dengan sasaran onderneming dan penduduk pendatang. Untuk mencegah terjadinya konflik terbuka, pihak penguasa baik sultan maupun pemerintah kolonial berusaha melindungi penduduk dengan mengeluarkan keputusan formal seperti yang disebut dalam laporan Pronk. Keberatan yang diajukan oleh penduduk setempat kepada pimpinan Melayu dijawab dengan ketentuan bahwa apabila penduduk setempat bersedia menyerahkan antara kantong padi per jaluran (tolak), yang setara dengan nilai antara f 7,50 sampai f 10,50 maka penduduk setempat (ra jat penoenggoe) bisa menggarap tanah jaluran ini. Tingginya harga yang ditawarkan, yang sering membuka peluang bagi pemerasan, penipuan dan ketidakadilan, sangat membebani penduduk sehingga menganggap penggarapan tanah jaluran tidak mungkin mereka lakukan. Pihak onderneming menyerahkan penanganan persoalannya kepada pejabat pribumi setempat, namun para kepala adat dan penghulu ini justru menambah beban penduduk itu. 22 Pertikaian tanah jaluran memuncak pada tahun 1921 dan sultan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. Sultan baru menyidangkan persoalan ini di Kerapatan pada tanggal 27 Nopember Asisten Residen Deli-Serdang menghendaki agar kerapatan mengakui tanah-tanah dengan batas-batas yang jelas sebagai hak penduduk kampung besar, namun dengan ketentuan setiap orang hanya diberi jatah 2 bau tanah. Tanah-tanah harus ditetapkan kembali batas-batas pembagiannya mengingat batas-batas lama telah hilang akibat banjir. Keputusan ini ditolak oleh penduduk setempat dengan alasan kurang luas untuk bisa menghidupi mereka. Baru setelah adanya jaminan dari karapatan bahwa hak-hak penduduk atas tanah ini tidak bisa diganggu oleh pemegang konsesi, mereka menerimanya. 23 Namun jaminan dari kerapatan agar hak penduduk tidak terganggu tidak terealisasi, terutama yang menyangkut hukuman atas pelanggaran terhadap penyerahan tanah jaluran kepada bekas kuli kontrak Cina, masih menimbulkan kekecewaan rakyat dan ditambah dengan kasus penipuan oleh penghulu adat yang memihak perkebunan. Sebagai akibatnya situasi menjadi tegang. 22 Ibid, hal. 35. Ini terbukti dari jumlah uang yang harus diterima penduduk sebanyak f 7-10,50 dari hasil penyerahan kantong padi per jaluran. Apabila dijual tanpa melewati para kepala adat tersebut, penduduk akan menerima jauh di atas nilai itu. Namun mengingat bagi koordinasi pengelolaan tanah jaluran ini diserahkan kepada para kepala adat, maka dalam hal ini penghulu dan kepala adat berperan penting dalam eksploitasi ekonomi atas hasil tanah jaluran demi kepentingan kantong sendiri. 23 Memorie van 0vergave J. Reuvers, Kontrolir Beneden Deli 15 Maret 1926 hal ; lihat juga, Memorie van 0vergave J.W. Burger, Kontrolir Beneden Deli, 8 Pebruari 1932 hal Digitized by USU digital library 12

13 Protes-protes segera disampaikan oleh penduduk setempat kepada pemerintah kolonial yang segera memberikan perhatian dengan mengirimkan Inspektur Urusan Agraria Du Marchie Servaas ke Sumatera Timur untuk menyelidiki sejumlah keluhan yang menyangkut tanah antara penduduk setempat dan perkebunan. Menurut Du Marchie Servaas penyelesaian yang terbaik bagi masalah sengketa tanah ini adalah perubahan status dari konsesi menjadi hak erfacht. 24 Namun karena semua persoalan itu telah mengambang bertahun-tahun dan berkali-kali diselidiki oleh pemerintah setempat, maka penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan secara cepat. Du Marchie Servaas membuat Memorandum tanggal 31 Maret 1929 yang kemudian disampaikan oleh Gubernur Sumatera Timur kepada pengusaha onderneming tembakau Deli dan kepada persatuan pengusaha onderneming karet di Sumatera Timur. Isinya antara lain agar dilakukan perundingan antara pemerintah dan pengusaha onderneming mengenai pengalihan konsesi-konsesi menjadi hak erfacht atau sewa jangka panjang. 25 Dengan berakhirnya akte konsesi maka perlu diperhitungkan kepentingan tanaman tembakau atau kepentingan tanaman padi penduduk. 26 Du Marchie Servaas memusatkan perhatiannya untuk menambah bagian penduduk setempat atas tanah dan mengusulkan pengurangan daerah konsesi tembakau secara menyeluruh sebanyak 12,5% dan sewa jangka panjang harus dibatasi selama 50 tahun. Hal ini menimbulkan kemarahan dari para pemilik onderneming, dan mereka bertahan agar sewa jangka panjang selama 75 tahun dihitung sejak berakhirnya masa konsesi Onderzoek over Grondkwestie, Deli Courant, 20 Maret Yang dimaksud dengan erfpacht adalah hak guna usaha sebagai hak untuk menikmati sepenuhnya hasl pengolahan barang tidak bergerak atau tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah atau pemegang hak tanah tersebut sebagai pengakuan tentang kepemilikan hak, baik dalam bentuk uang maupun hasil bumi. Pemegang hak erfpacht ini berhak menikmati segala hak yang terkandung dalam hak kepemilikan tanah dalam usahanya namun tidak boleh mengurangi nilai tanah tersebut seperti melakukan penggalian batu atau bahan tambang di dalamnya. Lihat Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (Jakarta, PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989) hal Menurut pengertian hukum perdata modern hak erfpacht tersebut diserahkan secara formal atas dasar kontrak sewa antara dua pihak dan diakui keabsahannya melalui peraturan hukum tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini tidak bisa disamakan dengan hak sewa yang dimiliki oleh kawula raja dalam sistem kepemilikan tanah feodal tradisional yang mengakui raja sebagai pemilik seluruh tanah dan rakyat adalah pemegang hak pakai atau hak sewanya. Lihat Peter Butt, Land Law (Sydney, LBC Information Services, 1996) hal J.G.W. Lekkerkerker, Consessies en erfpachten voor landbouwondernemingen in de Buitengewesten, Groningen, 1928 hal Memorie van Overgave, S. Bouman, Afdeling Deli-Serdang 1 Desember 1929, hal Karl J. Pelzer, op.cit, hal Bagi para pengusaha perkebunan tembakau, sewa tanah untuk kepentingan perkebunannya pada mulanya mencapai 99 tahun. Namun karena dirasa terlalu lama untuk dilaksanakan oleh seorang pengusaha dan seringnya terjadi kesulitan dalam perpanjangan kontrak yang akan dilaksanakan oleh pengusaha baru, pemerintah Belanda melakukan pengurangan masa kontrak. Setelah mengadakan perundingan dengan para pengusaha perkebunan dan Sultan, masa kontrak itu ditetapkan maksimal menjadi 75 tahun pada tahun Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, masa berlakunya hak guna usaha ini dalam UUPA tahun 1960 diperpendek menjadi 25 tahun untuk individu atau 35 tahun untuk perusahaan bagi suatu periode dan bisa diperpanjang lagi sampai 25 tahun berikutnya setelah melewati prosedur yang ditetapkan oleh BPN Digitized by USU digital library 13

14 Ketika beberapa konsesi telah mendekati akhir masa berlakunya, maka muncul tuntutan dari penduduk terhadap hak atas tanah mereka di bekas tanah konsesi antara lain Kebun Mandi Angin yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1931, Sungai Braas yang berakhir pada 31 Mei 1932, Tanjung Balai berakhir pada 4 November 1937 dan Sungai Krio yang berakhir pada 1 Juli Semua perkebunan ini adalah milik perusahaan tembakau Arendsburg, yang akan mengalihkan konsesinya menjadi hak sewa jangka panjang/erfacht. 28 Permasalahan lain yang memperumit sengketa pertanahan di Sumatera Timur adalah persoalan kolonisasi. Kolonisasi merupakan suatu kompleks lahan yang disediakan untuk menampung para pekerja perkebunan yang berasal dari berbagai tempat seperti buruh Jawa, Banjar, Cina, dsb. Kolonisasi dibuka di antaranya di kompleks Sisir Gunting pada tahun 1920 untuk menampung para pekerja Banjar. Kemudian juga di tanah perkebunan Percut dibuka kolonisasi. Kedua lahan ini sebelumnya adalah kampung Sisir Gunting dan Paluh Kurau yang disewakan oleh Sultan Deli tanggal 7 Mei 1919 kepada pemegang konsesi untuk para penanam padi Banjar, kemudian ditambah dengan kampung Pematang Serai. Dari pembukaan lahan ini sultan melalui perantaraan Gubernur menerima uang sebesar f 7.300,-. Lahan yang sudah diduduki oleh penduduk setempat itu dijadikan daerah kolonisasi, sementara melalui Keputusan Sultan tanggal 10 Januari 1920 yang disetujui oleh Gubernur Pantai Timur Sumatera tanggal 4 Pebruari 1920 tanah-tanah liar disediakan sebagai pengganti bagi penduduk yang tersingkir. Tanah-tanah liar ini dikeluarkan dengan akte dari sultan (grant). 29 Lahan kolonisasi ini tetap dihuni oleh para pekerja perkebunan setelah kontrak mereka berakhir. Dengan demikian tanpa status yang jelas mereka bisa disebut sebagai penghuni liar. Mereka yang masih bertahan ini mengundang juga para pendatang luar (imigran) masuk ke daerah itu, khususnya orang-orang Batak Toba 30. Status ini terutama diberikan oleh penduduk setempat yang merasa tergusur atas kedatangan mereka. Dalam hal ini tidak ada tindakan baik dari pihak sultan maupun pemerintah kolonial dan pengusaha onderneming yang melakukan kolusi dengan menciptakan lahan-lahan tanpa status yang jelas. 28 Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal Memorie van 0vergave S. Bouman, ibid, hal. 10; lihat juga, Mv0 J. Reuvers, Deli 15 Maret 1926, hal. 56. Seperti yang telah disebutkan dalam teori pemilikan tanah vorstdomein, di tanah-tanah Melayu khususnya di wilayah Kesultanan Melayu Sultan dianggap sebagai pemilik semua tanah dan berhak untuk membagi-bagikan tanah tersebut kepada kawulanya. Jenis tanah yang dibagikan itu disebut sebagai karunia Sultan (grant Sultan). Persoalan baru muncul ketika kekuasaan Sultan mulai diambil alih oleh pemerintah Belanda dan Kontrolir menjadi pejabat tertinggi Belanda yang ditempatkan uintuk menggantikan Sultan. Kontrolir kemudian sering juga membagi-bagikan tanah yang dianggap sebagai milik pemerintah kepada penduduk petani sebagai jalan keluar sengketa antara petani dan perkebunan. Tanah ini disebut sebagai grant Controleur. 30 Menurut pengalaman yang diperoleh, orang-orang Batak Toba tergolong sebagai etnis Batak yang tekun dan kuat dalam menggarap tanah untuk kepentingan produktivitas. Orang-orang Batak Toba mulai membanjiri daerah Pantai Timur Sumatra dan bermukim di hampir semua wilayah. Di Simalungun misalnya orang-orang Batak Toba didatangkan oleh pemerintah kolonial untuk menggarap sawah-sawah milik raja-raja Simalungun dan membuka pemukiman di daerah Bah Bulian. Semakin lama jumlah mereka bertambah banyak dan akhirnya melebihi jumlah penduduk asli Simalungun sendiri. Lihat J. Tideman, Simeloengoen ( s Gravenhage, Van Doesburgh, 1922) Digitized by USU digital library 14

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara agraris yang berarti bahwa penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pendapatan nasional sebagian besar bersumber dari

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sejarah lahan tanah jaluran di Sumatera Timur bermula dari kedatangan onderneming swasta yang dimulai oleh J. Nienhuys yang mampu menghasilkan 50 bal tembakau dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kolonial Sumatera Timur merupakan wilayah di Pulau Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu menimbulkan sengketa antara pengusaha dengan rakyat. Hal ini disebabkan karena tanah perkebunan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN TAHUN telah dibangun berbagai fasisilitas yang menunjang dalam bidang perkebunan seperti

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN TAHUN telah dibangun berbagai fasisilitas yang menunjang dalam bidang perkebunan seperti BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN TAHUN 1945-1949 Pada awal kemerdekaan kota Medan adalah alah satu kota yang tergolong maju di Indoneisa. Sebagai kota yang berkembang dari perkebunan,pada masa kolonial,di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini didiami oleh beberapa kelompok etnis yaitu Etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan Indonesia sudah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan Indonesia sudah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkebunan Indonesia sudah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak datang ke Indonesia dengan keuntungan yang melimpah. Hal tersebut merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II P.T PP LONDON SUMATERA INDONESIA TBK. SEBELUM TAHUN 1964

BAB II P.T PP LONDON SUMATERA INDONESIA TBK. SEBELUM TAHUN 1964 BAB II P.T PP LONDON SUMATERA INDONESIA TBK. SEBELUM TAHUN 1964 P.T. PP London Sumatra Indonesia Tbk. sebelum dinasionalisasi bernama Harrison & Crossfield Ltd. Perusahaan ini berpusat di London, Inggris,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diawali dengan kebijakan Cultuurstelsel (budidaya tanam), cara-cara konservatif

BAB I PENDAHULUAN. Diawali dengan kebijakan Cultuurstelsel (budidaya tanam), cara-cara konservatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Eksistensi VOC yang telah berlangsung sejak 1609, harus berakhir karena jatuh pailit (1799) dengan utang 134,7 juta gulden. Keruntuhan tersebut, menyebabkan berlangsung

Lebih terperinci

BAB II GEOGRAFI DAN MASYARAKAT. Bengkalis di sebelah Tenggara, dan Selat Malaka di bagian Timur Laut. 14 Luas

BAB II GEOGRAFI DAN MASYARAKAT. Bengkalis di sebelah Tenggara, dan Selat Malaka di bagian Timur Laut. 14 Luas BAB II GEOGRAFI DAN MASYARAKAT 2.1 Selayang Pandang Sumatera Timur Ruang lingkup geografi sebagai unit analisis penelitian ini adalah Daerah Sumatera Timur. Sumatera Timur terletak diantara garis Khatulistiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi satu kesatuan yang utuh dan sekaligus unik.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi satu kesatuan yang utuh dan sekaligus unik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota selalu menjadi bahan kajian yang menarik untuk diperbincangkan dalam setiap level dengan segala permasalahan yang dihadapinya. Membicarakan sebuah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu sendiri, karena tanah merupakan ruang bagi manusia untuk menjalani

BAB I PENDAHULUAN. itu sendiri, karena tanah merupakan ruang bagi manusia untuk menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala aspek kehidupan manusia itu sendiri, karena tanah merupakan ruang bagi manusia untuk menjalani kehidupan didunia. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur di awal abad ke 18 merupakan salah satu kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur di awal abad ke 18 merupakan salah satu kawasan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Timur di awal abad ke 18 merupakan salah satu kawasan yang sangat sepi penduduknya, sejak berdirinya perkebunan tembakau pada tahun 1863 oleh Jacob

Lebih terperinci

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA FUNGSI UUPA 1. Menghapuskan dualisme, menciptakan unifikasi serta kodifikasi pada hukum (tanah)

Lebih terperinci

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn SEJARAH HUKUM TANAH DI INDONESIA A. SEBELUM BERLAKUNYA HUKUM TANAH NASIONAL Pengaturan

Lebih terperinci

Revolusi Fisik atau periode Perang mempertahankan Kemerdekaan. Periode perang

Revolusi Fisik atau periode Perang mempertahankan Kemerdekaan. Periode perang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kurun waktu 1945-1949, merupakan kurun waktu yang penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Karena Indonesia memasuki babakan baru dalam sejarah yaitu masa Perjuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang baru menginjak usia 8 tahun ini diresmikan tepatnya pada 15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapur barus dan rempah-rempah, jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kapur barus dan rempah-rempah, jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakikatnya, Indonesia telah mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional dengan penanaman tanaman-tanaman seperti kopi, lada, kapur barus dan rempah-rempah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pada masa kejayaan melayu di Sumatra Timur, Kesultanan Kotapinang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pada masa kejayaan melayu di Sumatra Timur, Kesultanan Kotapinang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pada masa kejayaan melayu di Sumatra Timur, Kesultanan Kotapinang merupakan suatu diantara kesultanan yang terkaya. Sebagai bukti, kesultanan tersebut memiliki istana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sejarah suatu kota maupun negara. Melalui peninggalan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sejarah suatu kota maupun negara. Melalui peninggalan sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peninggalan sejarah dan cagar budaya mempunyai peranan penting dalam perkembangan sejarah suatu kota maupun negara. Melalui peninggalan sejarah dan cagar budaya banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai traktaat Siak. Pada saat itu Siak dipimpin oleh seorang sultan yang bernama

BAB I PENDAHULUAN. sebagai traktaat Siak. Pada saat itu Siak dipimpin oleh seorang sultan yang bernama BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kekuasaan kolonial di Sumatera Timur dimulai setelah ditandatanganinya perjanjian antara Siak dengan Belanda pada 1 Pebruari 1858 yang kemudian dikenal sebagai traktaat

Lebih terperinci

SISTEM TANAM PAKSA. Oleh: Taat Wulandari

SISTEM TANAM PAKSA. Oleh: Taat Wulandari SISTEM TANAM PAKSA Oleh: Taat Wulandari E-mail: taat_wulandari@uny.ac.id TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA 1. Eduard Douwes Dekker (1820 1887) Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesultanan Asahan adalah salah satu Kesultanan Melayu yang struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesultanan Asahan adalah salah satu Kesultanan Melayu yang struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesultanan Asahan adalah salah satu Kesultanan Melayu yang struktur kerajaannya tidak jauh berbeda dari struktur kerajaan negeri-negeri Melayu di Semenanjung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Landasan Teori 1. Transportasi Kereta Api Transportasi merupakan dasar untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk

Lebih terperinci

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono*

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono* ABSTRAK Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia selalu mengalami yang namanya perubahan. Perubahan tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 31. besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Deli.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Hindia Belanda. Setelah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 31. besar di daerah Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Deli. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad 19 dalam sejarah merupakan abad terjadinya penetrasi birokrasi dan kekuasaan kolonialisme Belanda yang di barengi dengan Kapitalisme di beberapa wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk kota terbesar ketiga di Indonesia. Tidak hanya besar dari segi wilayah, namun juga besar

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389 BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN 1988 2.1. Kondisi Geografis Desa Namo Rambe merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bagi kelangsungan warga-warga masyarakat yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bagi kelangsungan warga-warga masyarakat yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deli Tua adalah sebuah kota kecil yang terletak di kecamatan Deli Tua kabupaten Deli Serdang, kota ini adalah kota yang bisa dipastikan sebagai sendisendi kehidupan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAMPAR NOMOR : 12 TAHUN1999 TENTANG HAK TANAH ULAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI II KAMPAR Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG PEMBANGUNAN, HAK MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MUSYAWARAH PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat yang multietnis. Hal ini tampak dari banyaknya suku yang beragam yang ada di provinsi ini misalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam 122 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam kesimpulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari beberapa suku bangsa yang berasal dari propinsi, yaitu Fukien dan Kwantung

BAB I PENDAHULUAN. dari beberapa suku bangsa yang berasal dari propinsi, yaitu Fukien dan Kwantung BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakangPenelitian Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asalnya dari satu daerah di negara Cina/Tiongkok, tetapi terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka

BAB I PENDAHULUAN. sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengusahaan tanaman kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditi perkebunan selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kerajaan Langkat diperkirakan berdiri pada abad ke 16. Raja pertama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kerajaan Langkat diperkirakan berdiri pada abad ke 16. Raja pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kerajaan Langkat diperkirakan berdiri pada abad ke 16. Raja pertama yang berkuasa di Langkat bernama Dewa Shahdan. Dewa Shahdan lahir pada tahun 1500, dan merupakan

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB II KEBERADAAN GRANT SULTAN SAAT INI SEBAGAI BUKTI HAK ATAS TANAH. A. Sejarah lahirnya atau diterbitannya Grant Sultan di Deli Sumatera Utara

BAB II KEBERADAAN GRANT SULTAN SAAT INI SEBAGAI BUKTI HAK ATAS TANAH. A. Sejarah lahirnya atau diterbitannya Grant Sultan di Deli Sumatera Utara BAB II KEBERADAAN GRANT SULTAN SAAT INI SEBAGAI BUKTI HAK ATAS TANAH A. Sejarah lahirnya atau diterbitannya Grant Sultan di Deli Sumatera Utara Di jaman kuno dimasa hidupnya Aristoteles, dia telah menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beraneka ragam Suku. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beraneka ragam Suku. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beraneka ragam Suku. Salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara merupakan Provinsi yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan Tembakau Deli, yang ditanam di wilayah Sumatera Timur.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan Tembakau Deli, yang ditanam di wilayah Sumatera Timur. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil dari perkebunan Tembakau di Indonesia sangat terkenal dengan kualitas dan aromanya yang khas. Salah satu Tembakau yang diproduksi dikenal dengan sebutan Tembakau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman tembakau sudah sejak lama menjadi komoditi ekspor di Sumatera Timur. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman tembakau sudah sejak lama menjadi komoditi ekspor di Sumatera Timur. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanaman tembakau sudah sejak lama menjadi komoditi ekspor di Sumatera Timur. 1 Ini berarti bahwa tembakau sudah menjadi tanaman yang diproduksi disamping tanaman-tanaman

Lebih terperinci

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian. Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian. Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincianrincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai untuk meneliti apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar di Negara Agraris. Tidak dapat dipungkiri fenomena sengketa pertanahan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Sumatera Utara, dan lambat laun banyak bermunculan perkebunan tembakau, karet,

BAB I PENDAHULUAN. di Sumatera Utara, dan lambat laun banyak bermunculan perkebunan tembakau, karet, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Sumatera Utara. Diawali dengan kedatangan Jacobus Nienhuys ke pesisir timur Sumatera Utara pada 6 Juli 1863 dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

Perubahan yang terjadi pada tata ruang Kota Medan dapat diungkapkan dalam fotofoto

Perubahan yang terjadi pada tata ruang Kota Medan dapat diungkapkan dalam fotofoto Perubahan yang terjadi pada tata ruang Kota Medan dapat diungkapkan dalam fotofoto di bawah ini: Gambar 1 (Sumber : Rini Tri A.Siagian) ( kawasan jembatan tua titi gantung peninggalan Belanda, yang sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolut dan vital, artinya kehidupan manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh eksistensi tanah. Kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asal-usul suku Banjar berasal dari percampuran beberapa suku, yang menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu dapat diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu upaya bagi manusia untuk mencapai suatu tingkat kemajuan, sebagai sarana untuk membebaskan dirinya dari keterbelakangan, dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera timur sudah menanam tembakau sebelum kedatangan orang Barat ke

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera timur sudah menanam tembakau sebelum kedatangan orang Barat ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Timur (Sumatera Ooskust) memiliki sejarah panjang tentang perkebunan khususnya tembakau. Menurut Anderson, masyarakat Melayu di Sumatera timur sudah menanam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Barat, pendidikan di Sumatra Timur bersifat magis religius yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Barat, pendidikan di Sumatra Timur bersifat magis religius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pendidikan sudah dimulai sejak adanya manusia. Manusia yang ingin mencapai tingkat kemajuan harus menempuh pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lagi sayuran dan buah buahan, karena kedua jenis bahan makanan ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. lagi sayuran dan buah buahan, karena kedua jenis bahan makanan ini banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu perhatian masyarakat sehubungan dengan meningkatnya pengetahuan tentang kesehatan adalah usaha untuk mengkonsumsi lebih banyak lagi sayuran dan buah buahan,

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu,

I. PENDAHULUAN. sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum tahun 1975, keikutsertaan petani dalam pengadaan tebu hanya terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu, sebagian besar bahan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA 1956 NOMOR 73) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 berimbas dengan kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur. Pada tanggal

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA 1956 N0. 73) DAN UNDANG-UNDANG NO. 29 TAHUN 1956 (LEMBARAN-NEGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedatangan imigran-imigran Tionghoa ke pantai timur Sumatra telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedatangan imigran-imigran Tionghoa ke pantai timur Sumatra telah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedatangan imigran-imigran Tionghoa ke pantai timur Sumatra telah menjadi perhatian sebagai suatu keajaiban yang menarik. Bangsa yang ulet ini datang ke Sumatra Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Etnis Tionghoa merupakan bahan kajian yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Etnis Tionghoa merupakan bahan kajian yang menarik untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Etnis Tionghoa merupakan bahan kajian yang menarik untuk diperbincangkandengan segala permasalahan yang dihadapinya. Membicarakan etnis Tionghoa adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 24 TAHUN 2009 TLD NO : 23

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 24 TAHUN 2009 TLD NO : 23 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 24 TAHUN 2009 TLD NO : 23 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap orang sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, apalagi kepastian yang berkaitan dengan hak atas sesuatu benda miliknya yang sangat berharga

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG, Menimbang a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kolonialisme berawal dari perkembangan situasi ekonomi, dimana

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kolonialisme berawal dari perkembangan situasi ekonomi, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kolonialisme berawal dari perkembangan situasi ekonomi, dimana rempah-rempah menjadi komoditas yang paling menguntungkan pasar internasional. Itulah yang mendorong para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka jumlah buruh pun semakin meningkat. Begitu pula dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. maka jumlah buruh pun semakin meningkat. Begitu pula dengan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki buruh dengan jumlah yang besar. Semakin berkembangnnya industri dalam suatu negara maka jumlah buruh pun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan

Lebih terperinci

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA (Bahan Kata Sambutan Gubernur Sumatera Utara pada Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kehutanan dan

Lebih terperinci

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. Latar Belakang Sifat pluralisme atau adanya keanekaragaman corak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG HAK GUNA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG HAK GUNA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG HAK GUNA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya, baik itu sumber daya manusia atau pun sumber daya alam. Dari aspek sumber daya alam, kekayaan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.207, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Hak Guna Air. Hak Guna Pakai. Hak Guna Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5578) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan. Oleh sebab itu, banyak

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan. Oleh sebab itu, banyak 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan. Berbicara tentang kelautan dan perikanan tidak lepas dari pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo.

BAB I PENDAHULUAN. kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Langkat adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Letaknya di barat provinsi Sumatera Utara, berbatasan dengan provinsi Aceh. Sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Sumatera BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ibukota Kabupaten ini berada di Lubuk Pakam. Kabupaten Deli Serdang di kenal

Lebih terperinci