CEPI TRI SUMANTRI B

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "CEPI TRI SUMANTRI B"

Transkripsi

1 KEBERADAAN CAPLAK (Parasitiformes: Ixodidae) DI SUAKA RHINO SUMATERA TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG DAN KAITANNYA DALAM PENULARAN PENYAKIT PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) CEPI TRI SUMANTRI B FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 Von der soelischen Staerke dieser Menschheit aber haengt es ab, ob sie dem dunklen Willen unterwirft, oder ob sie den Zwang meistert Walter Rathenau (1939)

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2007 Cepi Tri Sumantri NIM B

4 ABSTRAK CEPI TRI SUMANTRI. Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan ANDRIANSYAH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan caplak dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung dan kaitannya dalam penularan penyakit pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Koleksi larva dan nimfa caplak dilakukan secara acak di seluruh area kandang SRS serta daerah di luar area kandang SRS, dengan menggunakan bendera caplak, pengamatan predileksi caplak dewasa di tubuh badak dilakukan pada seluruh badak yang terdapat di SRS (Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu), serta pengolahan spesimen caplak dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi FKH-IPB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tubuh badak diketahui terdapat dua jenis caplak yaitu Haemaphysalis hystricis dan Amblyomma testudinarium dengan predileksi paling banyak di lipatan kulit leher dan bahu. Dari 513 spesimen yang dikumpulkan di dalam area kandang SRS didapatkan persentase 80.70% untuk jenis Haemaphysalis hystricis dan 19.30% untuk Amblyomma testudinarium, sedangkan untuk daerah di luar area kandang SRS didapatkan persentase 30.68% untuk Haemaphysalis hystricis dan 69.32% untuk Amblyomma testudinarium dari 608 spesimen yang dikumpulkan. Jenis-jenis caplak tersebut diduga berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit protozoa darah di badak sumatera yang ada di SRS.

5 ABSTRACT CEPI TRI SUMANTRI. The Tick Abundance (Parasitiformes: Ixodidae) in Sumatran Rhino Sanctuary Way Kambas National Park Lampung and Its Role in Diseases Transmitting to Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI and ANDRIANSYAH. The purpose of this research was to identify the abundance of Ixodid ticks in Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), Way Kambas National Park, Lampung, and its role in diseases transmition to sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Larvae and nymph were collected by drag sampling method in the whole SRS paddock areas and outside the areas using tick flag. The observation of adult ticks predilection on rhinoceros s body was carried out to all rhinoceros in SRS (Rosa, Torgamba, Bina, and Ratu), while the specimen processing and identification were done at FKH-IPB Entomology Laboratory. The results showed two ticks species in rhinoceros, there were Haemaphysalis hystricis and Amblyomma testudinarium with the highest predilection at neck and shoulder fold region. From 513 specimen collected from inside the SRS paddock areas were identified about 80.70% and 19.30% as H. hystricis and A. testudinarium, respectively. Whereas, there were 30.68% H. hystricis and 69.32% A. testudinarium identified from 608 specimen collected from outside the areas. The ticks were considered as vector that transmit blood protozoa diseases to sumatran rhinoceros in SRS.

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

7 KEBERADAAN CAPLAK (Parasitiformes: Ixodidae) DI SUAKA RHINO SUMATERA TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG DAN KAITANNYA DALAM PENULARAN PENYAKIT PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) CEPI TRI SUMANTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

8 Judul : Nama NIM : : Keberadaan Caplak (Parasitiformes : Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Cepi Tri Sumantri B Disetujui Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S. NIP drh. Andriansyah Diketahui Wakil Dekan FKH-IPB Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.Sc. NIP Tanggal Lulus :

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari Juli 2006 sampai Mei 2007 ini adalah parasit pada badak sumatera, dengan judul Keberadaan Caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung dan Kaitannya dalam Penularan Penyakit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Penelitian ini dilakukan dalam rangka persiapan translokasi badak sumatera yang bernama Andalas dari Los Angeles Zoo ke Suaka Rhino Sumatera (SRS). Selain itu juga sebagai pengkayaan data tentang ektoparasit pada badak sumatera yang diharapkan akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen kesehatan badak sumatera di SRS khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1 Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. dan drh. Andriansyah, sebagai pembimbing pertama dan kedua, atas kesabaran dalam membimbing, ilmu dan pengalaman, serta dorongan yang selalu diberikan selama proses penelitian dan penulisan. 2 drh. Hj. Tutuk Astyawati, MS. atas masukannya selama penulisan dan kesediaannya sebagai penilai. 3 drh. Arief Boediono, PhD., sebagai pembimbing akademik, atas kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan, serta motivasi dan dukungan yang selalu diberikan selama proses penulisan. 4 Dr. drh. M. Agil, MSc. Agr. yang telah banyak membantu dalam penelitian di lapangan dan penulisan skripsi. 5 Kepala Taman Nasional Way Kambas Lampung dan staff karyawan atas bantuan perizinan dan dukungan dalam hal-hal administratif lainnya sampai penelitian ini dapat diselesaikan. 6 Ketua Yayasan Suaka Rhino Sumatera (YSRS) Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, pengurus dan staff sekretariat YSRS (Bpk. Juss Rustandi, Mas Inov, Mas Yanto, dan Mas Yangky) atas perizinan dan dukungannnya. 7 drh. Marcellus Adi C.T.R., drh. Dedi Candra, Bpk. Sumadi, seluruh keeper (Pak Dede, Mas Lamijo, Mas Rakimin, Mas Rois, Mas Sugiono, Pak Yuhadi,

10 Pak Sarno, dan Mas Sunar), karyawan SRS lainnya (Mas Ratno, Mas Surono, Ibu Sholehah), serta Polisi Hutan (Kang Harno, Mas Warji, Pak Pardi, dan Pak Firman) atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung. 8 Staff dosen di Laboratorium Entomologi FKH-IPB (Prof. Dr. Singgih H. Sigit, Dr. F.X. Koesharto, Dr. drh. Susi Soviana, MSi., dan Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, MSi.), atas saran-saran dan masukannya serta bantuannya, serta Laboran (Bpk. Yunus dan Bpk. Heri) dan Ibu Juju atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian di laboratorium. 9 Perpustakaan Balai Penelitian Veteriner, atas bantuannya dalam penelusuran literatur. 10 Rekan penelitian, Tim Way Kambas 06 (Silvi, Rani, Astri, dan Adam) atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. 11 The Rhino Team 05 (Mbak Nia, Mbak Yeni, Riki, Kang Eri, dan Mbak Reti) atas saran, masukan, serta bantuannya dalam proses penulisan. 12 Rekan Gymnolaemata 40, atas kebersamaan dan persahabatannya selama masa studi di FKH-IPB. 13 Keluarga Besar Tarung Derajat Satuan Latihan IPB atas kebersamaan dan persahabatannya. 14 Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB atas kebersamaan, persahabatan, dan ekspedisi yang selalu berkesan. 15 Apa, Mama, Aa, Ibnu dan seluruh keluarga besar Ali yang selalu menjadi sumber semangat dan inspirasi dalam menjalani proses studi di FKH-IPB. 16 Ratu Nurul Hanifah atas kesabaran, dukungan, serta bantuannya. 17 Semua pihak yang membantu. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang diajukan untuk penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu kedokteran hewan dan masyarakat pada umumnya. Bogor, September 2007 Cepi Tri Sumantri

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 11 Maret 1986 dari pasangan Sumardi dan Haryati. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Mardi Yuana Cicurug, Sukabumi pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Cibadak, Sukabumi yang diselesaikan pada tahun Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Jurusan Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan intra kampus, diantaranya UKM Tarung Derajat pada , UKM Uni Konservasi Fauna pada 2005-sekarang, DPM TPB pada , serta Himpro Ruminansia pada dan Himpro Satwaliar Selain itu penulis juga aktif di berbagai kegiatan luar kampus yang berhubungan dengan lingkungan dan satwaliar, diantaranya Komunitas Backpackers Indonesia , Ikatan Alumni PPS Cikananga 2005sekarang, Sahabat PILI 2005-sekarang, dan Forum Badak Indonesia 2007sekarang.

12 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Ektoparasit Caplak Famili Ixodidae (Caplak Keras) Morfologi Caplak Keras (famili Ixodidae) Daur Hidup dan Perilaku Peranan Caplak sebagai Vektor Parasit Badak Sumatera Morfologi Badak Sumatera Perilaku Badak Sumatera Habitat dan Distribusi Badak Sumatera Jenis-jenis Caplak pada Badak Sumatera Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Pengambilan Spesimen Pengolahan Spesimen Identifikasi Spesimen Analisis Data... 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Caplak Haemaphysalis hystricis Amblyomma testudinarium Populasi Larva dan Nimfa Caplak di SRS Predileksi Caplak Dewasa di Tubuh Badak Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di SRS Beberapa Alternatif Pengendalian KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 47

13 DAFTAR TABEL No 1 Teks Halaman Data Populasi Larva dan Nimfa Caplak di Dalam Area Kandang SRS Data Populasi Larva dan Nimfa di Luar Area Kandang SRS Predileksi Caplak Dewasa (famili : Ixodidae) pada Tubuh Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS... 30

14 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1 Morfologi Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) Siklus Hidup Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) Siklus Hidup Caplak Berumah Tiga pada Dermacentor variabilis Bagian Kepala (Kapitulum) pada Caplak Keras (famili: Ixodidae) Dua Ekor Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS; Bina (kiri), Torgamba (kanan) Peta Distribusi Badak Sumatera Skema Area Perkandangan di SRS Cara Manual Pengambilan Caplak Dewasa Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Haemaphysalis hystricis Morfologi Haemaphysalis hystricis Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Amblyomma testudinarium Morfologi Amblyomma testudinarium Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS Area Paddock (Kandang Lepas) di Suaka Rhino Sumatera Pembagian Regio pada Badak Sumatera untuk Predileksi Caplak Dewasa (Model: Bina) Siklus Hidup Babesia bigemina (Farmer 1980)... 35

15 DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1 Foto Badak Sumatera yang Berada di Suaka Rhino Sumatera Foto Kawasan dan Aktivitas Suaka Rhino Sumatera Foto Pengambilan Spesimen Foto Caplak Dewasa Saat Menghisap Darah pada Tubuh Badak Sumatera Foto Slide Preparat Caplak Foto Slide Preparat dilihat Menggunakan Mikroskop Compound Beberapa JenisCaplak (famili: Ixodidae) di Dunia, Peranannya sebagai Vektor, serta Akibat Langsung yang Ditimbulkan pada Inang... 56

16 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati, berupa flora dan fauna yang dimiliki Indonesia menduduki nomor dua di dunia setelah Brazil. Satu di antara fauna Indonesia yang khas dari Indonesia adalah badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak sumatera merupakan satwaliar yang hampir punah keberadaannya di dunia. Saat ini populasinya diperkirakan kurang dari 300 ekor. Statusnya dikategorikan dalam Critically Endangered (CR A1bcd, C2a) dalam the IUCN Red List 20061, dan terdaftar dalam Appendix I CITES2. Faktor yang mempengaruhinya berasal dari internal (fisiologi dan biologi) maupun eksternal (lingkungan). Faktor eksternal (lingkungan) merupakan satu di antara faktor yang banyak berperan dalam mempengaruhi keberlangsungan hidup badak sumatera. Satu diantara faktor eksternal tersebut merupakan keberadaan ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang untuk keberlangsungan hidupnya, baik seluruh daur hidupnya, maupun sebagian dari stadium pertumbuhannya. Caplak merupakan satu di antara ektoparasit yang berperan cukup besar sebagai vektor dan penyebab kelainan kulit, serta penyakit pada manusia maupun hewan. Data caplak dari famili Ixodidae pada badak sumatera masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang keberadaan ektoparasit dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera (SRS) dalam rangka pengkayaan data tentang ektoparasit pada badak sumatera yang diharapkan akan bermanfaat untuk manajemen kesehatan badak sumatera di SRS khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya. Di samping itu, penelitian ini merupakan satu diantara rangkaian dari persiapan translokasi badak sumatera dari Los Angeles Zoo yang bernama Andalas, ke SRS Taman Nasional Way Kambas Lampung. Data tentang keberadaan caplak ini merupakan satu di antara dari keseluruhan data parasit (baik endoparasit maupun ektoparasit) yang diteliti di SRS pada Juli Agustus 2006 yang melibatkan kerja satu tim [18 Maret 2007] [18 Maret 2007]

17 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Propinsi Lampung dengan tujuan mengetahui jenis-jenis caplak yang berada di SRS dan derajat infestasinya, serta kaitannya dalam penularan penyakit pada badak sumatera di SRS. 1.3 Manfaat Dengan adanya data tentang jenis ektoparasit dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera, maka akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen kesehatan badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan oleh caplak khususnya, dan pelestarian badak sumatera pada umumnya.

18 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ektoparasit Caplak Saat ini terdapat 867 jenis caplak yang sudah diidentifikasi di dunia. Semuanya merupakan parasit obligat yang bersifat haematophagus atau penghisap darah dan bersifat kosmopolitan, tersebar di berbagai habitat dan kondisi ekologi yang berbeda (Jongejan & Uilenberg 2004). Caplak secara umum tergolong ke dalam tiga famili, yaitu: Argasidae, Nuttalliellidae, dan Ixodidae (Wolley 1988, Camicas et al. 1998, Horak et al. 2002, Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004) Famili Ixodidae (Caplak Keras) Ixodidae merupakan famili terbesar dari caplak yang mendominasi sebanyak 80% dari keseluruhan fauna caplak di dunia. Berdasar Tickbase3, famili ini terdiri dari 19 genus dengan 683 spesies dari 867 spesies caplak yang sudah diketahui. Beberapa genus yang penting diantaranya Dermacentor, Ixodes, Rhipicephalus, Haemaphysalis, Hyalomma, Boophilus, dan Amblyomma (Woolley 1988, Jongejan & Uilenberg 2004). Klasifikasi caplak keras (famili Ixodidae) menurut Krantz (1978) dan Camicas et al. (1998) sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Arachnida Subkelas : Acari Ordo : Parasitiformes (Caplak, tick) Famili : Ixodidae Genus : Haemaphysalis Amblyomma Boophilus Rhipicephalus Dermacentor Ixodes Hyalomma 3 Tickbase adalah Global Species Database yang berisi keseluruhan nama spesies caplak di dunia yang sudah valid dan dapat diakses melalui Species 2000 (internet-based catalogue) [5 Mei 2007]

19 Walaupun saat ini genus Boophilus yang terdiri lima spesies oleh Horak et al. (2002) digolongkan ke dalam Rhipicephalus karena kedekatan secara filogenik dan evolusi, perubahan tersebut menjadikan Boophilus menjadi subgenus dari Rhipicephalus (Barker & Murrell 2002, Horak et al. 2002) Morfologi Caplak Keras (famili Ixodidae) Tubuh caplak keras bentuknya bulat telur dan mempunyai kulit luar (integumen) yang liat (Gambar 1). Secara umum tubuh caplak terbagi atas dua bagian yaitu gnatosoma (kepala dan toraks) dan idiosoma (abdomen). Pada gnatosoma terdapat kapitulum (kepala) dan bagian-bagian mulut yang terletak dalam rongga kamerostom. Bagian mulut caplak terdiri atas sepasang hipostom, kelisera, dan pedipalpus. Hipostom merupakan organ yang berfungsi memperkokoh pertautan caplak pada tubuh inangnya. Kelisera terdiri atas dua ruas, dimana ujungnya memiliki dua kait yang berfungsi untuk membuat sayatan pada kulit inang secara horizontal agar hipostom dapat ditusukkan ke dalam kulit inang. Pedipalpus terletak di bagian lateral hipostom yang terdiri atas tiga atau empat ruas. Organ tersebut berfungsi sebagai alat sensoris sederhana yang membantu proses makan caplak (Krantz 1978, Kierans & Durden 1998, Hadi & Soviana 2000). Bagian idiosoma merupakan abdomen dimana terdapat kaki. Larva memiliki tiga pasang kaki, sedangkan nimfa dan caplak dewasa memiliki empat pasang kaki. Peruasan kaki caplak secara berturut-turut dimulai dari koksa yang tidak bisa digerakkan, trokanter, femur, tibia, tarsus, dan pedikel yang memiliki sepasang kuku tarsus dan pulvilus. Di bagian pasangan kaki pertama terdapat organ haller yang berfungsi sebagai sensor kelembaban, kimia, olfaktori, dan mekanis. Pada bagian dorsal tubuh caplak terdapat bagian piringan yang keras sebagai pelindung yang disebut skutum. Pada larva, nimfa, dan caplak dewasa betina bagian tersebut menutupi kira-kira sepertiga bagian dorsal anterior tubuh, sedangkan pada caplak jantan menutupi hampir seluruh bagian dorsal tubuhnya. Bagian skutum memiliki karakteristik yang khas pada setiap genus. Pada beberapa caplak, ornata pada skutum dapat dijadikan sebagai patokan identifikasi. Pada batas posterior dorsal terdapat deretan legokan yang disebut feston (Krantz 1978, Kierans & Durden 1998, Hadi & Soviana 2000).

20 Gambar 1 Morfologi Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) (Stafford 2004) Daur Hidup dan Perilaku Caplak Menurut Sonenshine (1993), tahap perkembangan caplak dibagi ke dalam empat fase: satu inaktif (telur) dan tiga aktif (larva, nimfa, serta dewasa). Siklus hidup dari Ixodidae cukup sederhana (Gambar 2). Caplak betina menyimpan sejumlah besar telur di tanah. Larva berkaki enam menetas dari telur. Kemudian larva makan pada inang yang sesuai. Setelah larva penuh dengan darah, mereka melakukan molting dan berubah menjadi nimfa. Nimfa memiliki delapan kaki dan memiliki bentuk yang hampir sama dengan caplak betina dewasa, walaupun ukurannya lebih kecil dan alat kelaminnya yang belum matang. Nimfa yang penuh dengan darah akan molting menjadi caplak jantan atau betina dewasa. Baik jantan maupun betina dewasa menghisap darah. Caplak jantan memiliki integumen yang tidak elastis, maka dari itu tidak membesar secara signifikan setelah menghisap darah. Ukuran caplak betina dapat menjadi lebih besar lagi dibandingkan caplak jantan. Setelah kopulasi dan kenyang darah, caplak betina siap untuk meletakkan telur-telurnya (Whitlock 1960). Siklus hidup

21 caplak bisa berkembang dengan cepat (2 4 bulan pada iklim yang tropis) atau lebih lambat dengan terhentinya perkembangan pada satu fase atau lebih. Dalam iklim yang dingin, satu siklus hidup bisa membutuhkan waktu 3 5 tahun (Gaafar 1985). Gambar 2 Siklus Hidup Umum Caplak Keras (famili Ixodidae) (Gaafar 1985) Caplak betina yang sudah penuh dengan darah dan kawin akan menjatuhkan diri ke tanah dan meletakkan sekitar beberapa ribu telur di tanah, kemudian mati. Ixodidae meletakkan telurnya secara acak di tanah. Telur berubah menjadi larva setelah hari, atau lebih jika tertunda. Larva yang baru menetas, nimfa setelah molting, dan dewasa awal memerlukan saat berdiam diri (untuk beberapa hari) untuk memperkeras tubuhnya dan memakan cadangan makanan yang dimiliki dari fase sebelumnya. Setelah itu diikuti dengan tahap pencarian inang, menempel dari tanah atau vegetasi dengan tipe dan ketinggian tertentu, menghisap darah selama 6 10 hari, melepaskan diri dari inang, mencerna darah selama satu minggu atau lebih, selanjutnya berubah ke fase berikutnya (Bowman et al. 2003). Larva, nimfa, dan caplak dewasa (betina) biasanya menghisap darah selama 6 10 hari kemudian melepaskan diri. Prosesnya terbagi menjadi dua

22 fase: (a) lambat dan bertahap (termasuk kawin pada caplak dewasa); diikuti dengan (b) tahap akhir berupa pemenuhan darah dengan cepat dan membesar melalui neosomy (dengan melebarkan integumen dan pertumbuhan integumen yang baru) (Gaafar 1985). Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi satu siklus hidupnya, caplak digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu caplak berumah satu, berumah dua, dan berumah tiga. (a) Caplak Berumah Satu. Semua stadiumnya (larva, nimfa, dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama, begitu pula proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan (Hadi & Soviana 2000). Kelima jenis spesies Boophilus dan tiga dari spesies Margaroporus, dan dua dari 30 spesies Dermacentor memilki satu induk semang dalam siklus hidupnya (Bowman et al. 2003). Menurut Gaafar (1985) induk semang dari jenis caplak ini biasanya berukuran besar (sapi, kuda, dan jerapah) atau ukuran sedang seperti kambing atau domba. Mamalia tersebut biasanya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Hanya caplak betina yang sudah kawin dan akan melepaskan telur-telurnya yang jatuh ke tanah tempat dimana mereka akan meletakkan telurnya. (b) Caplak Berumah Dua. Larva dan nimfa tinggal dalam satu inang, sedangkan dewasa tinggal dalam inang yang lain, jadi dalam melengkapi siklus hidupnya memerlukan dua inang (Hadi & Soviana 2000). Beberapa jenis dari spesies Hyalomma, Haemaphysalis, dan Rhipicephalus. Biasanya berada di daerah sabana atau stepa dengan curah hujan rendah dan musim kemarau yang panjang, sehingga caplak beradaptasi memilki dua induk semang. Larva molting menjadi nimfa pada induk semang (tidak di tanah); nimfa yang penuh darah jatuh ke tanah kemudian molting menjadi caplak dewasa, dan mencari induk semang kedua (biasanya ukurannya lebih besar dari induk semang yang pertama). Setelah kenyang darah dan kawin, caplak betina akan jatuh ke tanah dan meletakkan telur-telurnya (Gaafar 1985). (c) Caplak Berumah Tiga. Setiap stadium, yaitu larva, nimfa, dan dewasa memerlukan inang yang berbeda (Hadi & Soviana 2000). Sekitar 600 dari 683 spesies Ixodidae merupakan caplak berinduk semang tiga. Setiap fase aktif menginfeksi hewan yang berbeda, walaupun terkadang

23 hewan yang sama diinfeksi tiga kali karena hewan tersebut masih berada di daerah yang sama, dan satu-satunya yang bisa diinfeksi oleh nimfa maupun caplak dewasa yang sedang mencari induk semang. Larva dan nimfa dari beberapa spesies menghisap darah pada mamalia yang ukurannya kecil atau burung. Beberapa jenis lainnya menghisap darah baik dari mamalia kecil maupun besar, jenis ini lebih adaptif dibandingkan yang lainnya. Contohnya Amblyomma (Gaafar 1985). Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University Gambar 3 Siklus Hidup Caplak Berumah Tiga pada Dermacentor variabilis (Stafford 2004) Peranan Caplak sebagai Vektor Parasit Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus (Lampiran 7) yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia (Jongejan & Uilenberg 2004, Kim et al. 2006). Menurut Kahl et al. (2002) spesies caplak tertentu dapat dikatakan sebagai vektor sebuah jenis patogen tertentu jika: (a) menghisap darah pada inang vertebrata yang terinfeksi; (b) memiliki kemampuan untuk menularkan patogen saat menghisap darah inang; (c) dapat mempertahankan

24 patogen dalam tubuhnya lebih dari satu stadium dari siklus hidupnya; dan (d) dapat menyebarkan patogen saat menghisap darah lagi pada inang lain. Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: (a) caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; (b) kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti antihemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh darah; (c) cara makan caplak yang lambat dan berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; (d) caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; (e) memiliki variasi inang yang luas; (f) sedikit musuh alamnya; (g) caplak dapat menularkan agen penyakit transovarial (melalui telur) dan transtadial (dari larva ke nimfe ke caplak dewasa); (h) caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil (Woolley 1988, Valenzuela 2004). Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University Gambar 4 Bagian Kepala (Kapitulum) pada Caplak Keras (famili Ixodidae) pada genus Ixodes (Stafford 2004) Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara, yaitu secara transtadial dan transovarial. Transtadial artinya setiap stadium caplak, baik larva, nimfa, maupun dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan

25 transovarial artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat menularkannya pada generasi berikutnya atau sel-sel telurnya (Hadi & Soviana 2000). Caplak berumah dua dan tiga dapat menularkan organisme patogen secara transtadial. Pada transovarial, organisme patogen hanya dimungkinkan oleh caplak berumah satu sebagai vektornya, misalnya pada transmisi Babesia bigemina oleh caplak Boophilus yang menurunkan ke keturunannya melalui ovariumnya (Bowman et al. 2003). 2.2 Badak Sumatera Badak sumatera merupakan badak terkecil dari lima spesies badak yang ada di dunia. Keberadaannya di alam kurang dari 300 ekor, dengan populasinya yang berkurang dengan cepat akibat kerusakan habitat dan perburuan liar(miller 1999; Macdonald 2001). Statusnya dikategorikan dalam Critically Endangered (CR A1bcd, C2a) dalam the IUCN Red List 20064, dan terdaftar dalam Appendix I CITES5. Klasifikasi badak sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria (WWF 20026) Ordo : Perissodactyla Subordo : Ceratomorpha Famili : Rhinoceratidae Genus : Dicerorhinus Spesies : Dicerorhinus sumatrensis, Fischer Morfologi Badak Sumatera Kulitnya kasar dan keras berwarna abu-abu coklat, yang bentuknya berlipat-lipat membentuk seperti baju zirah (Gambar 5). Salah satu ciri yang paling unik yang membedakan dari badak lainnya, seluruh tubuhnya ditutupi dengan rambut yang kasar, berwarna coklat kemerahan (Schenkel 1990). Tubuhnya relatif pendek dan gemuk. Dua cula berada di moncongnya baik jantan maupun betina, dengan cula bagian depannya yang lebih panjang dibandingkan 4 [18 Maret 2007] [18 Maret 2007] 6 [11 Maret 2007] 5

26 dengan yang bagian belakang. Cula pada badak jantan biasanya lebih besar dibandingkan pada badak betina. Bagian bibir atasnya berbentuk kait dan dapat mengkait (prehensile) (Wilson & Reeder 1993). Panjang tubuhnya diukur dari ujung moncong hidung sampai dengan ujung otot pinggul belakang cm, tinggi badan cm. Panjang cula depan cm, sedangkan cula belakang 5 12 cm. Berat badan antara kg (SRS, unpublish). Gambar 5 Dua Ekor Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS; Bina (kiri), Torgamba (kanan) (SRS 2005) Badak sumatera memiliki masa kebuntingan selama 477 hari (berdasar data badak sumatera di Cincinnati Zoo), dengan angka kelahiran sebanyak satu ekor per partus. Masa menyusui selama 18 bulan. Badak sumatera betina mencapai dewasa kelamin pada usia empat tahun, sedangkan jantan pada usia tujuh tahun. Badak sumatera captive dapat mencapai usia sampai dengan 35 tahun (Foose & van Strien 1997) Perilaku Badak Sumatera Badak sumatera biasanya hidup soliter. Pada siang hari, mereka menghabiskan waktu dengan berkubang di kolam lumpur. Kubangan lumpur tersebut biasanya dibuat oleh badak itu sendiri, dengan keadaan dalam radius meter relatif bebas gangguan, karena biasanya digunakan untuk tempat beristirahat (Nowak 1991). Aktifitas berkubang berfungsi untuk mempertahankan suhu kulit agar tetap dingin dan melindungi dari kekeringan (Macdonald 2001).

27 Badak sumatera dilaporkan melakukan pergerakan musiman, bergerak ke dataran yang lebih tinggi selama musim hujan, dan bergerak ke lembah-lembah selama bulan-bulan dengan cuaca lebih cerah. Mereka mampu melakukan pergerakan di tebing-tebing, serta mampu berenang dengan baik (Foose & van Strien 1997). Badak sumatera memiliki perilaku menggaram (menjilat garam) untuk memenuhi kebutuhan mineral esensial, yang juga berhubungan dengan populasi mereka. Di sekitar satu tempat bergaram, kepadatan populasinya sekitar ekor tiap satu kilometer perseginya (Schenkel 1990). Wilayah jelajah (home range) dari badak sumatera jantan dewasa sekitar 30 kilometer persegi, dengan batasan yang saling bertindih antar individunya (overlapping). Badak sumatera betina memiliki wilayah jelajah yang lebih kecil, dengan rata-rata kilometer persegi. Keduanya (jantan maupun betina) menandai wilayahnya dengan garukan kaki, kotoran, dan urin (Wilson & Reeder 1993). Badak sumatera umumnya mencari makan pada saat pagi (setelah fajar) dan menjelang malam, serta di malam hari. Jenis makanan yang disukai badak sumatera kebanyakan ditemukan di daerah perbukitan, berupa tumbuhan, semak, dan pohon-pohonan. Merumput tidak dilakukan kecuali untuk jenis-jenis bambu seperti Melocana bambusoides. Terdapat 102 jenis tanaman dalam 44 famili yang disukai badak sumatera. Sebanyak 82 jenis tanaman dimakan daunnya, 17 jenis dimakan buahnya, 7 jenis dimakan kulit dan batang mudanya, dan 2 jenis dimakan bunganya (Nowak 1991). Rata-rata konsumsi harian badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera sebanyak kg daun-daunan (yang diberikan pada badak atau hand feeding) dan 3 6 kg buah-buahan, ditambah konsumsi di area paddock yang merupakan hutan alami yang belum diketahui secara pasti (Candra 2005) Habitat dan Distribusi Badak Sumatera Badak sumatera awalnya tersebar dari Assam dan Burma (Myanmar), Thailand, sampai Indocina, serta Sumatera dan Kalimantan (Indonesia) (Gambar 6). Saat ini terbatas di Selatan Malaya (Sumatera), Sarawak di bagian Utara Kalimantan, serta beberapa di Myanmar (Foose & van Strien 1997). Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat (PHVA) badak sumatera tahun 1993, populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara ekor atau turun sekitar 50% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebelumnya populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara ekor. Sebagian besar di wilayah Gunung Kerinci Seblat ( ekor), Gunung

28 Leuser ( ekor), dan Bukit Barisan Selatan (25 60 ekor). Sebagian yang lainnya tidak diketahui jumlahnya terdapat di wilayah Gunung Patah, Gunung Abong-abong, Lesten-Lokop, Torgamba, dan Berbak (Foose & van Strien 1997). Menurut IUCN/SSC African and Asian Rhino Specialist Group Maret 2001, jumlah populasi badak sumatera berkisar kurang lebih 300 ekor dan tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Observasi Lapangan tahun , RPU PKBI memperkirakan jumlah populasi badak sumatera di TNBBS berkisar antara ekor. Sementara TNWK berkisar antara ekor (Anonimus 20077). Gambar 6 Peta Distribusi Badak Sumatera (Foose dan van Strien 1997) Beberapa Jenis Caplak pada Badak Fowler (1993) melaporkan telah ditemukannya beberapa jenis caplak pada badak sumatera secara umum. Ektoparasit tersebut adalah Amblyomma testudinarium, Hyaloma walkeriaii, Aponoma sp., dan Haemaphysalis sp., yang ditemukan pada badak sumatera yang tesebar di Semenanjung Malaya. Hasil penelitian di SRS oleh Saraswati (2005) ditemukan jenis-jenis caplak dari genus Amblyomma, Boophillus, dan Haemaphisalis, serta Qodriyah (2006) menemukan jenis Amblyomma testudinarium dan Haemaphisalis sp. Kocan et al. (1993) melaporkan bahwa Anaplasma marginale ditemukan pada kelenjar saliva caplak jantan Dermacentor andersoni, pada nimfa maupun dewasanya. Hal tersebut dilakukan dengan mendeteksi keberadaan DNA Anaplasma marginale pada kelenjar saliva nimfa maupun caplak dewasa D. 7 [18 Januari 2007]

29 andersoni yang menginfeksi sapi. Penularan parasit protozoa melalui caplak seperti Theileria dan Babesia, dimulai dengan proses perkembangan di sel ususnya, kemudian berpindah ke kelenjar saliva. Caplak jantan dapat tetap menempel pada induk semangnya untuk menghisap darah beberapa kali selama beberapa hari sampai minggu. Maka dari itu, kemungkinan besar dapat menularkan A. marginale ke induk semang yang rentan. Nijhof et al. (2003) melaporkan bahwa Amblyomma rhinocerotis dan Dermacentor rhinocerinus berperan sebagai vektor Babesia bicornis dan Theileria bicornis pada badak Hitam dan badak Putih di Zimbabwe, Afrika. Selain itu juga melaporkan kejadian babesiosis sebelumnya yang menyebabkan kematian pada dua badak Hitam betina (Bahati dan Maggie) di Ngorongoro, Tanzania, pada tahun 2001 dengan temuan Amblyomma variegatum dan Rhipicephalus compositus di daerah perianalnya. 2.3 Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera Suaka Rhino Sumatera (SRS) merupakan tempat yang didirikan pada tahun 1998 dengan tujuan sebagai breeding centre untuk badak sumatera yang ditangkap (captive). Selain itu berfungsi juga sebagai objek ecotourism dalam program konservasi badak sumatera di Indonesia, termasuk diantaranya program RPU (Rhino Protection Unit). SRS dikelola oleh yayasan multi-nasional (Yayasan Suaka Rhino Sumatera), dengan IRF (International Rhino Foundation) sebagai anggota dan sumber pendanaan utamanya8. Kompleks SRS memiliki area perkandangan badak seluas 100 ha yang merupakan hutan alami di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Saat ini area perkandangan dibagi ke dalam 10 bagian dengan luasan 10 ha dan 20 ha tiap kandangnya. Keseluruhan kawasan perkandangan dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC) yang dibangun dengan meminimalkan efek negatif terhadap habitat hutan tropis yang ada. Fasilitas untuk staff, dokter hewan, serta keeper terletak berdekatan dengan area perkandangan9. Dengan konsep penangkaran semi-insitu, diharapkan SRS dapat dijadikan tempat pusat program breeding badak sumatera yang baik. Secara umum terdapat tiga jenis kandang di SRS, yaitu: 8 ndex.htm [27 Juli 2007] 9 [18 Maret 2007]

30 (a) Kandang Observasi. Terdapat empat kandang observasi di SRS yang digunakan sebagai tempat memberi pakan, pemeriksaan kesehatan, serta pengobatan untuk tiap badak. Masing-masing kandang observasi tersebut memiliki luas 8 x 6 m serta kandang jepit 2.5 m x 1.5 m. Struktur pagar kandang ini terdiri dari pipa besi dengan diameter 0.9 m dengan tinggi 1.6 m. Lantai kandang memiliki alas beton. Kandang dilengkapi dengan fasilitas berupa sumber air, tempat pakan dan minum, timbangan pakan, perlengkapan kebersihan, serta kotak perlengkapan berisi H2O2, ZnSO4, SWAT (Fly Repellent), KY Jelly, dan Alkohol 70%. (b) Kandang Lepas (Paddock). Keseluruhan area perkandangan dibagi menjadi 10 bagian kandang lepas (paddock), dimana tiap badak akan menempati kandang dengan luasan 10 dan 20 ha. Kawasan ini berupa hutan alami sesuai dengan habitat asli dari badak sumatera. Sekeliling area perkandangan dan batas antar paddock dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC) terbuat dari kawat baja setinggi 1.7 m, terdiri dari tiga kawat baja yang diperkuat strukturnya oleh tiang beton tiap jarak 4 m. (c) Central Area. Central Area merupakan daerah yang berada tepat di tengah area perkandangan, dengan kondisi yang sama dengan paddock, yang digunakan sebagai tempat menyatukan badak disaat betina sedang estrus. Area ini merupakan tempat untuk proses reproduksi badak yang merupakan fungsi utama SRS sebagai breeding centre.

31 3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan spesimen dilakukan di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung pada Juli Agustus 2006, selanjutnya dilakukan pengolahan spesimen dan identifikasi di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan September 2006 Mei Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah spesimen caplak (larva, nimfa, dan dewasa), alkohol 70%, 80%, 90%, serta alkohol absolut, KOH 10%, minyak cengkih, canada balsam, xylol, dan asam asetat. Alat yang digunakan untuk koleksi caplak di lapangan adalah tick flag (bendera caplak), botol film, dan pinset. Adapun pada proses pembuatan slide preparat, peralatan yang digunakan adalah pembakar api bunsen, gelas piala, tabung reaksi, penjepit kayu, cawan petri, object glass, cover glass, inkubator, kamera digital, mikroskop compound, dan mikroskop stereo. 3.3 Pengambilan Spesimen Pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak dilakukan dengan cara menggunakan bendera caplak, yaitu alat khusus yang digunakan untuk mengumpulkan larva caplak (famili Ixodidae) yang banyak terdapat pada ujungujung rumput atau semak-semak (Borror et al. 1989). Alat yang digunakan berupa handuk yang permukaannya kasar sehingga spesimen akan mudah menempel pada alat tersebut. Cara yang digunakan dengan menyapukan handuk tersebut (Lampiran 3) pada bagian atas rumput atau semak-semak yang akan dialokasikan pada beberapa titik di lokasi tertentu di area perkandangan SRS (Gambar 7). Area yang disapu oleh handuk tiap titiknya seluas kurang lebih satu meter persegi. Pengambilan spesimen dilakukan pada 10 titik untuk tiap satuan kandang lepas (paddock) secara acak pada jalur yang biasa dilewati badak. Jarak tiap titik antara 10 sampai dengan 20 meter.

32 Gambar 7 Skema Area Perkandangan di SRS (Riyanto MACT 2006) Selain itu dilakukan pula pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak di luar area perkandangan SRS, dengan lokasi pada radius kurang lebih 100 meter dari jalan lingkaran area kandang SRS ke arah hutan. Daerah pengambilan spesimen dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan urutan kandang yang ada di hadapannya. Di daerah ini dilakukan pengambilan spesimen sebanyak lima titik di setiap daerahnya. Pengambilan spesimen caplak dewasa dilakukan dengan cara pengambilan manual caplak dewasa yang menempel dan menghisap darah di tubuh badak (Gambar 8), khususnya di seluruh badak sumatera yang ada di SRS yaitu Torgamba, Bina, Rosa, dan Ratu. Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Puerdue University Gambar 8 Cara Manual Pengambilan Caplak Dewasa (Stafford 2004)

33 Caplak yang diperoleh dari berbagai tempat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi alkohol 70% secukupnya sebagai koleksi basah. Pada tiap wadah dimasukkan label yang tahan air untuk memudahkan proses identifikasi. Setelah itu caplak dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengolahan spesimen sebagai prasyarat untuk identifikasi selanjutnya. 3.4 Pengolahan Spesimen Proses pembuatan slide preparat dilakukan dengan metode Ashadi dan Pantosoedjono (1991) sebagai berikut ini. Koleksi caplak yang telah dikumpulkan, disimpan dalam cairan alkohol 70% kemudian direndam dalam aquades. Setelah itu wadah berisi KOH 10% disiapkan dan caplak perlahan-lahan dimasukkan ke dalam wadah, yang bertujuan agar lapisan kitin caplak menipis, selain itu dapat juga dipanaskan akan tetapi tidak sampai mendidih. Setelah selesai lalu dibilas dengan air sampai bersih sebanyak 3-4 kali. Jika di bagian abdomen menggembung, maka bagian tersebut ditusuk dengan jarum supaya isi abdomen dapat dikeluarkan. Selanjutnya dilakukan dehidratasi dengan alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol 95%. Dalam proses dehidratasi dibutuhkan waktu 10 menit untuk setiap fasenya. Cleaning dilakukan dengan merendam caplak selama menit di dalam minyak cengkih. Kemudian caplak dicuci dengan larutan xylol. Pencucian pertama kali terlihat akan berkabut oleh karena itu larutan xylol dibuang lalu diganti dengan yang baru. Spesimen yang telah bersih tersebut kemudian disimpan dalam object glass yang telah ditetesi medium canada balsam dan ditutup dengan cover glass. Setelah itu preparat slide dimasukkan ke dalam inkubator selama 4 5 hari dibiarkan pada suhu kamar selama 7 10 hari. 3.5 Identifikasi Spesimen Identifikasi dilakukan dari September Mei 2007 di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan disertai dengan perhitungan kuantitas dari tiap spesiesnya. Identifikasi

34 caplak dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo yang dicocokkan dengan kunci identifikasi dari Anastos (1950). 3.6 Analisis Data Analisis data predileksi dilakukan dengan menghitung secara langsung caplak dewasa yang menempel dan menghisap darah di tubuh badak dibagi berdasarkan empat regio, yaitu : kepala; leher & pundak; punggung & ekor; serta ventral tubuh & kaki, sekaligus dilakukan secara manual dengan proses removal dari tubuh badak. Data predileksi caplak dewasa yang didapat menempel dan menghisap darah di tubuh badak dianalisis dengan kategori sebagai berikut : : : : : Nihil < 5 ekor (sedikit) 5 10 ekor (banyak) > 10 ekor (banyak sekali) Data infestasi larva dan nimfa caplak dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

35 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-jenis Caplak Jenis ektoparasit dari famili Ixodidae yang ditemukan di Suaka Rhino Sumatera (SRS) terdiri atas dua jenis, yaitu Haemaphysalis hystricis dan Amblyomma testudinarium Haemaphysalis hystricis Spesies ini merupakan parasit pada mamalia, walaupun pernah dilaporkan pernah ditemukan pada kura-kura, Geoemyda spinosa (Anastos 1950). Dilaporkan pertama kali ditemukan di Sumatera pada 1915 oleh Nuttall dan Warburton (Anastos 1950). Menurut Yamaguti et al. (1971) H. hystricis tersebar di daerah beriklim subtropis sampai tropis dengan inang yang cukup beragam diantaranya manusia, anjing, kerbau, babi, babi hutan, dan harimau. Saat ini sudah diketahui 168 spesies dari genus Haemaphysalis. Genus Haemaphysalis dicirikan dengan tidak berornata, tidak mempunyai mata, adanya feston, palpus yang pendek dan berbentuk kerucut, dimana artikel keduanya mengarah ke lateral, terilhat secara jelas. Trochanter dari pasangan kaki pertamanya memiliki prosessus dorsal. Spirakel pada betina berbentuk oval atau seperti koma, pada jantan berbentuk oval. Permukaan ventral pada jantan tidak memiliki piringan kitin. Spesies ini biasanya berukuran kecil (Soulsby 1974, Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004). Jenis caplak yang ditemukan pada badak-badak sumatera yaitu Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu (Gambar 9) ini mempunyai ciri-ciri morfologi sama dengan yang diuraikan oleh Anastos (1950) (Gambar 10) berikut ini. Jantan. Tiga spesimen yang diambil di Sumatera memiliki panjang 3.0, 2.7, dan 2.5 mm serta lebar 2.1, 2.0, dan 2.0 mm, tidak termasuk kapitulumnya. Badan berbentuk oval memanjang, agak mengecil di bagian anteriornya, lebih lebar di bagian tengahnya. Skutum berwarna kuning hingga kecoklatan; memiliki punctata-punctata yang kecil, dangkal, dan tersebar tidak merata; lekuk servical yang kecil, membentuk celah yang dalam di anteriornya, serta melebar di bagian posteriornya; permukaan dorsal tidak rata serta melandai ke tepinya; pseudoskutum memiliki kemiringan yang kecil; tidak adanya celah lateral, atau seringkali keberadaan celah sangat pendek di depan feston pertama di tiap

36 sisinya; feston berjejer sepanjang lekukan posteriornya. Badan bagian ventral berwarna kuning muda, memiliki punctata yang pendek-pendek, putih, serta memiliki rambut yang tidak terlalu mencolok; arah lekuk genital berlawanan dengan koksa II; arah anus berlawanan dengan spirakel; spirakelnya berbentuk koma menonjol ke dorsal; lekuk genital meluas melingkari anus; pelebaran dari lekuk anal hampir menyentuh lekuk genital. Kakinya panjang, kokoh, dan berambut banyak; koksa I relatif panjang taji eksternalnya; koksa II IV dengan taji yang lebih pendek, trokhanter I memiliki ventral dan dorsal taji yang arahnya ke posterior; tarsinya melandai; pulvillus memiliki panjang kira-kira dua sampai tiga kalinya cakar. Kapitulum memiliki panjang 0.56 mm; basisnya berbentuk persegi panjang, dengan sisinya yang hampir lurus; kornuanya besar, hampir memiliki lebar yang sama dengan panjangnya; palpinya menonjol tegak lurus ke lateral; palpi artikel kedua dan ketiga hampir setara; artikel kedua memiliki perpanjangan seperti cuping di batas antero-internal; artikel ketiga memiliki taji dorsal yang kuat di bagian tengah dari batas posterior; hipostomnya pendek; formula pergigiannya 4 : 4, dengan gigi tiap file-nya. Betina. Spesimen betina yang belum menghisap darah memiliki panjang 3.3 mm, lebar 2.3 mm, tidak termasuk kapitulum. Badan berbentuk oval memanjang, melebar di bagian tengahnya. Skutum memiliki panjang mm dan lebar mm, kuning, dengan skapula yang berwarna lebih gelap; punctata berukuran sedang, sedikit, dan merata; lekuk servical sama dalamnya dengan saluran yang keluar dari batas anterior, berlanjut melebar ke posterior, lekuk yang dangkal tidak mencapai batas skutum. Abdomennya memiliki punctata yang sangat kecil; spirakel hampir berbentuk melingkar, dekat dengan bagian tepi dorsal; arah genital berlawanan dengan koksa II; arah anal berlawanan dengan spirakel; lekuk genital meluas secara bertahap, tapi terbuka sangat lebar di bagian anal; perpanjangan dari lekuk anal menyatu dengan lekuk genital. Kaki dan koksa memiliki ciri yang sama dengan jantan. Panjang dari kapitulum 0.64 mm; basisnya berbentuk persegi panjang, sekitar tiga kali panjang lebarnya, bagian area berpori luas, oval, dalam, dan tumpul; palpus memiliki panjang sekitar dua kali dari lebarnya, menonjol ke arah lateral; artikel ke-2 lebih panjang, dengan penonjolan seperti lobus di bagian batas antero-internal; artikel ke-3 dengan taji dorsal yang jelas, dan taji ventralnya lebih panjang; hipostomnya pendek; formula pergigiannya 4:4, dengan gigi tiap file-nya.

37 A B Gambar 9 Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Haemaphysalis hystricis Keterangan : A E, Jantan : A, Skutum; B, Koksa I IV; C, Spirakel; D, Kapitulum dilihat dari dorsal; E, Kapitulum dilihat dari ventral. F K, Betina : F, Skutum; G, Koksa I IV; H, Tarsus IV; I, Spirakel; J, Kapitulum dilihat dari dorsal; K, Kapitulim dilihat dari ventral Gambar 10 Morfologi Haemaphysalis hystricis (Anastos1950)

38 4.1.2 Amblyomma testudinarium Distribusi dari Amblyomma testudinarum di Indonesia tersebar pada daerah Jawa, Sumatera, Lombok dan Sumba, serta inang yang disukainya adalah Rhinoceros sondaicus atau sejenis badak lainnya (Anastos 1950). Saat ini sudah diketahui 129 spesies dari genus Amblyomma. Genus Amblyomma dicirikan dengan bagian mulutnya yang mecolok dengan panjang melebihi basis kapituli, segmen palpus kedua memiliki panjang setidaknya dua kali dari palpus ketiganya. Genus ini memiliki mata dan feston, skutumnya memiliki ornata yang khas, serta tidak memiliki keping adanal. Jenis Aponoma elaphensis mirip dengan genus ini, tapi bisa dibedakan dari ukurannya yang lebih kecil dan tidak memiliki mata. Genus ini tersebar dari daerah subtropis sampai tropis. Genus Amblyomma memiliki inang yang cukup variatif yaitu mamalia, amphibi, dan reptil. Stadium yang belum dewasa bahkan diketahui menginfestasi burung, sebagai satu di antara faktor yang menyebabkan genus ini memiliki distribusi yang cukup luas (Bowman et al. 2003, Jongejan & Uilenberg 2004). Jenis caplak yang ditemukan pada badak-badak sumatera yaitu Rosa, Torgamba, Bina, dan Ratu (Gambar 11) ini mempunyai ciri-ciri morfologi sama dengan yang diuraikan oleh Anastos (1950) (Gambar 12) berikut ini. Jantan. Panjang tubuh mm dan lebar mm, tidak termasuk kapitulum. Tubuhnya berbentuk oval meluas, dan mengkerucut di anterior. Skutum berwarna kuning jingga dan coklat muda, memiliki ornata dibandingkan jenis lainnya; punctata sedikit, besar dan menyebar tidak merata, dengan adanya pertemuan yang jelas dengan feston di bagian anterior; lekuk servicalnya pendek, dalam, dan berbentuk koma ; mata terlihat cukup besar, kuning, dan rata. Feston terlihat menonjol. Permukaan ventral badan berwarna kuning, agak mengkerut dan memiliki beberapa punctata; arah bukaan genital berhadapan dengan koksa II; lubang anal berhadapan dengan bagian batas posterior dari keping spirakel; keping spirakel berbentuk koma dan terletak oblique; otot scutes di bagian feston berwarna coklat tua; peltae paralel dengan feston dan terletak secara jelas di postero-internal. Kaki panjang dan kokoh, adanya tanda melingkar yang terlihat samar-samar di bagian ujung distal tiap ruasnya; koksa I memiliki dua taji yang tidak sama, dimana taji eksternal lebih panjang; koksa II dan III masing-masing lebar, memiliki taji yang melingkar; koksa IV memilki satu taji yang panjangnya kira-kira dua kali dari lebarnya; tarsinya pendek, di ujungnya terdapat taji terminal dan sub-terminal; pulvillus kira-kira setengah

39 panjang cakarnya. Kapitulumnya panjang; basis berbentuk persegi panjang dengan sisi-sisinya yang konveks dan pada batas posteriornya berbentuk konkaf; palpusnya panjang, dengan artikel ke-2 sedikit lebih panjang, kira-kira dua kali dari artikel ke-3; hipostom panjang dan ramping; formula pergigiannya 4:4, dengan 8 9 gigi tiap filenya. A B Gambar 11 Caplak Dewasa (A) dan Larva (B) Amblyomma testudinarium

40 Keterangan : A G, Jantan : A, Skutum; B, Koksa I IV; C, Kapitulum dilihat dari dorsal; D, Spirakel; E, Tarsus I; G, Ventral muscle sentes. H M, Betina : H, Skutum; I, Koksa I IV; J, Kapitulum tampak dari dorsal; K, Spirakel; J, Tarsus IV; M, Tarsus I. Gambar 12 Morfologi Amblyomma testudinarium (Anastos 1950) Betina. Betina yang telah penuh darah panjangnya 25 mm dengan lebar 18 mm serta lebar 15 mm. Bentuk tubuh yang belum menghisap darah hampir bulat. Skutum berbentuk segitiga, lebih panjang lebarnya dibandingkan panjangnya sendiri, sudut posteriornya tumpul, panjang 3.15 mm dengan lebar 3.9 mm, jumlah dan corak dari ornamennya sangat variatif; punctata tidak sama, tersebar tidak merata, dengan satu bentukan yang cukup besar di batas lateral dekat mata; lekuk servical kecil dan berbentuk koma ; mata berwarna kuning, besar, mencolok. Bagian dorsal abdomen memiliki beberapa punctata yang besar dan adanya rambut pendek yang berwarna putih; bagian dorsal fovea kecil, gelap, dan mencolok.

41 4.2 Populasi Larva dan Nimfa Caplak di SRS Jumlah caplak yang didapatkan dari dalam area kandang SRS sebanyak 513 ekor, dengan rincian sebanyak 99 ekor dari spesies Amblyomma testudinarium dan 414 ekor Haemaphysalis hystricis (Tabel 1, Gambar 13, dan Gambar 14). Sebanyak 603 ekor yang didapatkan dari luar area kandang SRS, dengan rincian sebanyak 418 ekor dari spesies Amblyomma testudinarium dan 185 ekor Haemaphysalis hystricis (Tabel 2, Gambar 15, dan Gambar 16). Tabel 1 Data Populasi Larva dan Nimfa Caplak di Dalam Area Kandang SRS Spesies (%) A. testudinarium H. hystricis (n=10) ( /n) 1 12/07/06 I A (23.08) 10 (76.92) 2 16/07/06 I B (51.61) 15 (48.39) 3 19/07/06 II A (100) 4 11/07/06 II B (35.71) 18 (64.29) 5 14/07/06 III A (33.33) 14 (66.67) 6 10/07/06 III B (16.13) 26 (83.87) 7 07/08/06 IV A (23.33) 23 (76.67) 8 07/08/06 IV B (14.93) 57 (85.07) 9 07/08/06 V A (15.49) 180 (84.51) 10 07/08/06 V B (11.76) 60 (88.24) Jumlah ( ) (19.30) 414 (80.70) Keterangan : I -A dan I -B: Kandang Bina; II -A dan II -B: Kandang Torgamba; III -A: Kandang Ratu; III -B: Kandang Rosa; IV -A, IV -B, V -A, dan V -B: Kosong No Tanggal Lokasi Jumlah Rata-rata Jumlah I-B 6% V-B 13% I-A 3% II - A 2% II - B 5% III - A 4% III - B 6% IV - A 6% V-A 42% IV - B 13%

42 Keterangan : I -A dan I -B: Kandang Bina; II -A dan II -B: Kandang Torgamba; III -A: Kandang Ratu; III -B: Kandang Rosa; IV -A, IV -B, V -A, dan V -B: Kosong Gambar 13 Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Amblyomma testudinarium At 19% At Hh Hh 81% Haemaphysalis hystricis Gambar 14 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Area Kandang SRS Tabel 2 Data Populasi Larva dan Nimfa di Luar Area Kandang SRS No Tanggal Lokasi Jumlah Rata-rata 09/08/06 DK I /08/06 DK II /08/06 DK III /08/06 DK IV Jumlah 09/08/06 DK V Jumlah ( ) Keterangan : DK : daerah di depan kandang ke-... DK - V 9% Spesies (%) A. testudinarium H. hystricis 63 (56.76) 48 (43.24) 14 (41.18) 20 (58.82) 82 (57.34) 61 (42.66) 239 (91.92) 21 (8.08) 20 (36.36) 35 (63.64) 418 (69.32) 185 (30.68) DK - I 18% DK - II 6% DK - IV 43% DK - III 24% Keterangan : DK : daerah di depan kandang ke-... Gambar 15 Diagram Populasi Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS

43 Haemaphysalis hysricis Hh 31% At 69% Amblyomma testudinarium Gambar 16 Diagram Persentase Populasi Jenis Caplak (Famili : Ixodidae) di Luar Area Kandang SRS Berdasarkan data-data pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat disederhanakan sebagai berikut: a Jumlah caplak di luar area kandang SRS lebih banyak dibandingkan di area kandang SRS sendiri. b Urutan banyaknya caplak di area kandang SRS dari yang terbanyak yaitu kandang V A (42%); V B dan IV B (13%); I B, III B, IV - A (6%); II - B (5%); II - A (4%); I - A (3%); serta II - A (2%). c Urutan banyaknya caplak di luar area kandang SRS dari yang terbanyak yaitu DK-IV (43%); DK - III (24%); DK-I (18%); DK-V (9%); serta DK-II (6%). d Jenis caplak Haemaphysalis hystricis (81%) lebih banyak di bandingkan Amblyomma testudinarium (19%) di area kandang SRS, sebaliknya persentase berbalik di luar area kandang SRS, jenis Amblyomma testidunarium (69%) lebih banyak dibandingkan Haemaphysalis hystricis (31%). Pada saat pengambilan spesimen ditemukan bahwa jumlah larva atau nimfa caplak yang berada di daerah kosong lebih banyak dibandingkan di daerah yang dihuni oleh badak. Faktor inang diduga berpengaruh pada keadaan tersebut, dimana daerah-daerah yang kosong jarang dilewati oleh badak sebagai inang, sehingga larva dan nimfa caplak tidak tersebar akibat tidak pernah menempel pada inang mengakibatkan terbentuknya titik-titik (spot) yang memiliki populasi yang tinggi di daerah-daerah kosong pada umumnya. Hal tersebut bertolakbelakang dengan Swai et al. (2006) yang meneliti bahwa jumlah caplak yang rendah di padang penggembalaan di Amani, Tanzania berhubungan

44 dengan jumlah ternak yang sedikit di daerah tersebut walaupun ada inang reservoirnya. Keadaan serupa juga terjadi di SRS, walaupun sebuah kandang kosong tidak diisi oleh badak, tapi keberadaan satwaliar lain seperti siamang, babi hutan, dan tupai tetap ada (Andriansyah 2007, komunikasi pribadi). Seperti pada kandang IV dan kandang V, jumlah keberadaan larva dan nimfa sangat banyak. Ditemukan titik-titik dimana populasinya begitu tinggi, misal di kandang V-A rata-rata temuan tiap titiknya mencapai 21.8 caplak dibandingkan dengan rataan di titik lainnya yang berkisar antara caplak saja (Tabel 1).

45 Gambar 17 Area Paddock (Kandang Lepas) di Suaka Rhino Sumatera Selain itu, saat pengambilan spesimen ditemukan kecenderungan populasi larva dan nimfa caplak tinggi di tempat (spot) dengan ciri-ciri tertentu, yaitu mendapat cahaya matahari yang cukup, berada di sepanjang tepian jalur badak, banyak terdapat tumpukan daun-daun kering, dan pada vegetasi yang rendah (Gambar 17). Untuk data keberadaan jenis-jenis caplak di dalam dan di luar area perkandangan SRS dari jenis A. testudinarium dan H. hystricis, dimana hasil yang ditemukan seperti disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2, populasi H. hystricis lebih banyak daripada A. testudinarium di dalam area kandang SRS (Tabel 1) dan keadaan sebaliknya terjadi di luar area kandang SRS (Tabel 2). Dari data tersebut bisa dikatakan tidak ada pola yang pasti untuk penyebaran jenis-jenis caplak. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku caplak yang meletakkan telurnya secara acak di tanah setelah kenyang menghisap darah inang (Bowman et al. 2003). Pola oviposisi dari caplak belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga sulit untuk memetakan kecenderungan jenis-jenis caplak dalam menyebarkan telurnya. Menurut Norval dan Lightfoot (1982) keberadaan jenis-jenis caplak dipengaruhi waktu (antar musim dan antar tahun) dan area (antara habitat dan zona ekologi) yang dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti keberagaman inang, dan mikroklimat. 4.3 Predileksi Caplak Dewasa di Tubuh Badak Caplak pada kenyataannya memiliki kecenderungan tertentu dalam memilih tempat saat menempel di inangnya untuk menghisap darah. Menurut Fraser et al. (1991) setiap spesies caplak memiliki tempat yang disenangi pada tubuh inang. Caplak Boophilus sp. menyukai daerah kepala, leher dan bahu, sedangkan caplak Amblyomma sp. menyukai daerah gumba, ventral tubuh, ambing, dan alat kelamin hewan jantan (Fraser et al. 1991). Ketchum et al. (2005) melaporkan jenis caplak Amblyomma maculatum menyukai regio kepala dan leher pada sapi gembala (ranch) di Amerika Utara dengan persentase sebanyak 69% dari keseluruhan populasi. Fielden dan Reckav (1994) melaporkan jenis Amblyomma marmoreum menyukai regio posterior kaki depan pada kura-kura Leopard (Geochelone pardalis) di National Zoological Gardens,

46 Pretor, Afrika Selatan dengan persentase sebanyak 87% dari keseluruhan populasi. Predileksi caplak dewasa pada tubuh badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Predileksi Caplak Dewasa (famili : Ixodidae) pada Tubuh Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di SRS No Nama Badak Kepala Predileksi Punggung & Leher & bahu Ekor Ventral Tubuh & Kaki ++ 1 Bina + 2 Ratu Torgamba Rosa Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa tempat infestasi yang paling disukai yaitu regio leher dan bahu (Gambar 18). Badak sumatera memiliki banyak lipatan kulit pada daerah tersebut, sehingga sangat kondusif bagi caplak untuk berlindung di bawah lipatan-lipatan tersebut, terhindar dari gangguan mekanis (misalnya tersapu dahan semak-semak ketika badak melintasinya) maupun biologis (misalnya burung). Regio leher dan bahu juga merupakan daerah yang memiliki pembuluh darah besar seperti vena jugularis yang cenderung dekat ke permukaan kulit (superficial) sehingga memungkinkan caplak dalam mengambil darah dengan mudah dan banyak. Berbeda dengan daerah lain seperti punggung dan kepala sangat rentan terhadap gangguan mekanis ataupun biologis berupa predator (misalnya jenis burung tertentu). A B C D

47 Keterangan: A: Kepala, B: Leher & Bahu, C: Punggung & Ekor, D: Ventral Tubuh & Kaki Gambar 18 Pembagian Regio pada Tubuh Badak Sumatera untuk Pengamatan Predileksi Caplak Dewasa (Model: Bina) Faktor yang mempengaruhi predileksi ini belum diketahui secara pasti. Menurut Fielden dan Rechav (1994) caplak memerlukan bagian kulit yang tipis dan area terlindung pada inang untuk memudahkan dalam proses menghisap darah. Caplak dewasa betina biasanya memilih menempel dan menghisap darah di area posterior regio leher dan kaki depan agar terhindar dari gangguan mekanis, dan caplak dewasa jantan biasanya memilih daerah sekitarnya dimana signal feromon masih bisa dideteksi. Ketchum et al. (2005) melaporkan keberadaan caplak Amblyomma maculatum yang lebih memilih tempat yang banyak memiliki rambut pada sapi gembala di Amerika Utara dikarenakan aman dari gangguan mekanik dan predator. Menurut Hadi dan Soviana (2000) caplak memiliki organ sensoris yang disebut organ haller. Alat tersebut berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia, olfaktori, dan mekanis. Organ haller digunakan caplak untuk mendeteksi adanya inang yang cocok serta menterjemahkan feromon yang dikeluarkan caplak lain. Bisa dimungkinkan fungsi sensoris kimia dan mekanis yang juga dimiliki oleh organ haller tersebut berperan dalam predileksi caplak di tubuh inangnya. Fungsi sensoris kimia bisa berfungsi dalam melacak kimia darah yang menjadi makanan caplak, sehingga ditemukan tempat yang tepat, seperti pembuluh darah yang lebih superfisial dijadikan tempat yang disukai caplak untuk berinfestasi; dan fungsi mekanis bisa berperan dalam mencari tempat berlindung kondusif di inang yang aman dari gangguan luar mekanis. 4.4 Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di Suaka Rhino Sumatera Caplak merupakan ektoparasit yang penting dalam kedokteran hewan. Semua caplak merupakan parasit pada vertebrata darat setidaknya pada satu tahap dalam siklus hidupnya. Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus yang

48 menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia (Noble & Noble 1982, Jongejan & Uilenberg 2004, Kim et al. 2006). Menurut Cheng (1964), efek yang ditimbulkan akibat gigitan caplak secara umum bisa dikategorikan menjadi lima, yaitu: (a) Anemia. Faktor penyebabnya masih belum jelas, walaupun banyak dugaan gejala klinis ini disebabkan oleh parasit darah yang ditularkan oleh caplak; (b) Paralisis. Kejadian paralisis biasanya terjadi setelah caplak betina menghisap darah, penyebabnya merupakan neurotoxin. Walaupun tidak semua jenis caplak betina bisa mengeluarkan neurotoxin. Pemulihannya bisa dilakukan dengan dilepaskannya caplak dari tubuh induk semang. Beberapa jenis caplak yang diketahui menyebabkan paralisis diantaranya adalah: Ixodes holocylus menyebabkan paralisis pada anjing dan manusia (Australia), Dermacentor andersoni dan Dermacentor variabilis menyebabkan paralisis pada manusia, sapi, domba, dan bison (di Amerika dan Inggris), Ixodes pilosus (Afrika Selatan dan Eropa), Amblyoma americanum menyebabkan paralisis pada berbagai mamalia (Amerika); (c) Kerusakan Mekanis. Gigitan caplak menyebabkan kerusakan akut pada integumen induk semang dan jaringan di bawahnya. Selanjutnya, bekas gigitan tersebut dapat menyebabkan infeksi bakteri dan fungi, serta sebagai jalan masuk bagi larva insekta (pada kejadian miasis); (d) Toksin dan Venom. Gigitan dari beberapa jenis Ixodidae seperti Dermacentor occidentalis, Dermacentor variabilis, dan Ixodes ricinus, dapat menyebabkan gangguan sistemik aklibat sekresi yang dikeluarkan caplak setelah melakukan gigitan. Pada Argasidae, Ornithodorus moubata di Afrika menyebabkan pembengkakan akut dan iritasi. Asal toksin belum diketahui, walaupun Ixodes ricinus diketahui mengeluarkan antikoagulan sewaktu menghisap darah untuk mencegah pembekuan darah di tempat gigitan serta koagulasi darah di traktus alimentarius caplak tersebut. Diduga kebanyakan caplak mengeluarkan sekreta serupa dimana terkandung pula toksin di dalamnya; (e) Vektor Mikroorganisme. Caplak merupakan vektor untuk protozoa, bakteri, rickettsia, dan spirochaeta. Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: (a) caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; (b) kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti antihemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh

49 darah; (c) cara makan caplak yang lambat dan bertahap (gradual) dapat berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; (d) caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; (e) memiliki variasi inang yang luas; (f) sedikit musuh alamnya; (g) caplak dapat menularkan agen penyakit secara transovarial (melalui telur) dan transtadial (dari larva ke nimfe ke caplak dewasa); (h) caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil (Woolley 1988, Sonenshine 1991, Labuda & Nuttal 2004, Valenzuela 2004).

50 Untuk genus Haemaphysalis telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Uchida et al. (1995) menemukan antigen gen sekuen Rickettsia rickettsii pada jenis Haemaphysalis longicornis. Parola et al. (2003) melaporkan jenis Haemaphysalis hystris yang ditemukan pada babi hutan di Vietnam menjadi vektor Ehrlichia sp. strain Ebm52 yang mirip Ehrlichia chaffee, jenis ini juga merupakan satu diantara penyakit zoonosis yang penting. Dilaporkan juga bahwa tiga kejadian ehrlichiosis pada manusia sejak tahun 1991 dari jenis ini (Dumler et al. 2001). Sementara itu Kim et al. (2006) menemukan bahwa Haemaphysalis sp. berperan sebagai vektor Anaplasma phagocytophilum, Anaplasma platys, Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii, Ehrlichia canis, dan Rickettsia rickettsii dengan menggunakan PCR. Thekisoe et al. (2007) menemukan Trypanosoma sp. dengan PCR yang diisolasi dari kelenjar air liur Haemaphysalis hystricis yang diambil di Osumi Peninsula, Jepang. Khan et al. (2004) melaporkan kematian lima badak sumatera yang ada di Sumatran Rhino Conservation Center di Sungai Dusun, Malaysia, pada Oktober sampai dengan November 2003 disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Hal tersebut didasarkan pada temuan parasit tersebut melalui ulas darah pada dua badak. Dengan demikian resiko badak sumatera di SRS untuk terinfeksi Trypanosoma sp. dengan adanya H. hystricis yang merupakan vektor alami dari Trypanosoma sp. harus diwaspadai agar tidak terulang kasus yang sama. Untuk genus Amblyomma telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Yano et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia japonica penyebab Japanese spotted fever. Cao et al. (2000) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Cina Selatan berperan sebagai vektor Ehrlichia chaffensis dengan menggunakan PCR yang dicocokkan dengan DNA sequencing. Parola et al. (2003) melaporkan bahwa jenis Amblyomma javanense yang dikoleksi dari Myanmar berperan sebagai vektor Anaplasma sp. strain AnAj360. Swai et al. (2006) melaporkan bahwa jenis Amblyomma variegatum berperan sebagai vektor Theileria parva pada ternak sapi di Tanga, Tanzania. Fournier et al. (2006) melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia tamurae sp.nov.

51 Gambar 19 Siklus Hidup Babesia bigemina (Farmer 1980) Menurut Saraswati (2005) jenis parasit darah (Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp.) yang ada pada badak sumatera di SRS diakibatkan oleh adanya caplak sebagai vektor mekaniknya (Gambar 19), yaitu Amblyomma sp., Haemaphysalis sp., dan Boophilus sp. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Stokes-Greene (2006) di SRS, dimana ditemukan insidensi parasitemia berbagai protozoa darah pada badak sumatera di SRS yaitu: Anaplasma marginale ( 27 % tiap individu); Anaplasma centrale ( 10 % tiap individu); serta Theileria sp. ( 15 % tiap individu). Menurut Homer et al. (2000) semua jenis Babesia sp., yang merupakan protozoa darah, ditransmisikan oleh caplak Ixodidae ke inang vertebratanya, sehingga jenis-jenis caplak yang ditemukan di SRS diduga berperan sebagai vektor protozoa darah. Namun demikian pemeriksaan spesifik pada caplak untuk tick-borne pathogens menggunakan pemeriksaan molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) yang biasanya digunakan untuk mengetahui anti-antibodi dari agen yang dibawa oleh caplak.

52 4.5 Beberapa Alternatif Pengendalian Pengendalian caplak didasarkan pada jenis dan siklus hidupnya. Jenis caplak (berumah satu, dua, atau tiga) harus diketahui dengan pasti untuk menentukan metode dan waktu pengendalian. Ada beberapa cara pengendalian caplak, yaitu pengendalian alami, mekanik, biologi (biokontrol), kimia, penggunaan inang resisten, pengendalian terpadu, serta anti-tick vaccine (vaksin anti caplak) (Williams et al. 1985, Willadsen & Jongejan 1999, Hadi & Soviana 2000, Willadsen 2004). Pengendalian alami bisa dilakukan dengan rotasi kandang terhadap badakbadak yang ada di SRS. Rotasi kandang yang biasa dilakukan di SRS setiap 2 3 bulan sekali. Rotasi tempat sangat efektif untuk mencegah meluasnya infestasi caplak keras berinang satu (Hall 1985). Cara rotasi ini biasa dilakukan pada ternak gembala (ranch), dimana larva caplak yang menetas di setiap padang penggembalaan akan mati dalam waktu paling lama 16 minggu karena tidak menemukan inang, sampai ternak tersebut kembali digembalakan di padang penggembalaan tersebut. Selain itu cuaca yang panas dan kelembaban yang rendah akan mempercepat kematian larva (Seddon 1967). Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan membakar rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfeksi (Williams et al. 1985). Menurut Hall (1985) pembakaran rumput, ilalang, atau semak di daerah yang terinfestasi caplak efektif mengurangi populasi caplak dalam jumlah besar, terutama larva yang menunggu inang mereka di ujung rumput atau tumbuhan lainnya. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan di SRS karena kondisi kandang lepas (paddock) badak yang merupakan hutan yang cukup rapat sehingga bisa mengakibatkan kerusakan yang besar jika menggunakan metode pembakaran tersebut. Pengendalian mekanik yang sudah dilakukan di SRS adalah dengan melakukan pemotongan rumput di area kandang lepas (paddock) SRS. Dengan pemotongan rumput ini efek yang ditimbulkan diharapkan sama yaitu pengurangan populasi caplak. Selain itu, pengeringan padang penggembalaan (drained pasture) pernah dilakukan di Afrika dan Jepang untuk mengendalikan populasi caplak Rhipicephalus appendiculatus dan Haemaphysalis longicornis (Youdewei & Service 1983). Pengendalian biologi (biokontrol) terutama bertujuan mengendalikan populasi caplak seminimal mungkin agar tidak menimbulkan masalah dengan melibatkan beberapa agen biokontrol caplak yaitu patogen, parasitoid, dan

53 predator alami caplak (Williams et al. 1985, Mwangi et al. 1991, Samish & Rehacek 1999, Kaaya 2003). Caplak secara alami memiliki beberapa musuh alami, tapi hanya sedikit yang telah diteliti sebagai tick biocontrol agents (BCAs). Dengan kondisi SRS yang berupa hutan alami, sangat dimungkinkan terdapat predator atau pemangsa alaminya walaupun tanpa perlakuan khusus dengan menyebarkannya di dalam area kandang SRS. Metode ini lebih sulit dan hasilnya lebih lambat terlihat dibandingkan penggunaan zat kimia (insektisida) karena umumnya musuh alami yang bersifat tidak spesifik terhadap suatu jenis ektoparasit, akan optimal jika merupakan bagian dari suatu pengendalian terpadu (Hadi & Soviana 2000). Pengendalian caplak secara kimia merupakan cara paling banyak digunakan sampai saat ini. Bahan kimia yang digunakan disebut akarisida. Penggunaan arsenik sebagai akarisida merupakan yang tertua sejak awal ditemukannya sekitar 40 tahun sebelum Perang Dunia II, sampai banyak terjadi resistensi caplak. Setelah itu penggunaan akarisida organik sintetik lebih banyak dipilih sebagai alternatif. Penggunaan akarisida harus memperhatikan keuntungan, batasan pemakaian, dan potensi kerugian dengan setiap metode aplikasi dan variasi produk akarisida (George et al. 2004). Penggunaan akarisida pada satwaliar seperti badak sumatera akan lebih sulit jika dibandingkan pada ternak, seperti misalnya metode dipping dan spraying pada ternak akan sulit diterapkan pada badak (Candra 2007, komunikasi pribadi). Menurut Hadi dan Soviana (2000) penggunaan insektisida yang tidak bijaksana dalam upaya pengendalian serangga hama dapat menimbulkan berbagai akibat yaitu: (a) pesticide resistance, munculnya populasi serangga target yang menjadi resisten, sehingga perlu insektisida dalam jumlah yang lebih tinggi; (b) pest resurgence, populasi serangga hama yang baru yang lebih ganas; (c) secondary pest outbreak, peningkatan populasi serangga non target hingga mencapai tingkat yang merugikan; (d) residual due problems, penumpukan residu insektisida pada tanaman, tanah, air atau udara yang menimbulkan masalah baru pada hewan; (e) hazzard to nontarget species, senyawa kimia insektisida dapat mengganggu proses penyerbukan, satwaliar, dan segala bentuk kehidupan alami; (f) legal problems, kontaminasi atau pencemaran insektisida dapat menimbulkan reaksi hukum. Masalah hazzard to nontarget menjadi pertimbangan utama bagi manajemen SRS mengingat kondisi area perkandangan yang memang didesain dengan konsep semi-insitu harus mempertahankan segala bentuk kehidupan

54 alami (pertimbangan ekologis), disamping bahaya secara langsung terhadap badak dengan adanya residu (residual due problems) pada tanaman yang juga merupakan sumber pakan bagi badak di SRS. Biasanya di SRS hanya digunakan SWAT untuk repellen ektoparasit secara umum, walaupun tidak secara khusus untuk mencegah infestasi caplak di tubuh badak namun cukup berhasil mengurangi jumlahnya (Candra 2007, komunikasi pribadi). Pengembangan anti-tick vaccines merupakan sebuah terobosan terbaru, walaupun masih banyak perlu dilakukan penelitian. Menurut Willadsen (2004) vaksinasi dengan menggunakan protein antigen caplak tertentu terbukti dapat menginduksi pembentukan imunitas yang signifikan terhadap infestasi caplak. Pembuatan vaksin caplak dilakukan dengan membuat anti-antigen dari patogen yang terdapat pada kelenjar saliva dan saluran usus caplak. Sampai saat ini, vaksin caplak hanya dapat bekerja untuk mencegah infestasi nimfa dan caplak dewasa pada inang, tetapi tidak pada larva caplak (Jongejan & Uilenberg 2004). Penggunaan vaksin caplak biasanya masih harus dikombinasikan dengan akarisida. Strategi pengendalian terpadu merupakan cara pengendalian dengan memadukan berbagai metode pengendalian yang ada. Strategi ini dilakukan dengan mengetahui resistensi yang terjadi pada caplak serta patogen yang ditularkan, dinamika populasi caplak, analisis biaya terhadap penggunaan akarisida, serta ketersediaan vaksin terhadap tick-borne diseases (penyakit yang ditularkan oleh caplak). Data akurat mengenai ekologi caplak (distribusi geografis, seasonal activity, dan inang definitif caplak) dan prevalensi dari tickborne diseases dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam tindakan pengendaliannya (Willadsen & Jongejan 1999). Pengendalian terpadu yang bisa dilakukan di SRS saat ini masih terbatas pada kombinasi metode pengendalian alami (rotasi kandang) dan mekanik (pemotongan rumput di area paddock).

55 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Terdapat dua jenis caplak (famili: Ixodidae) yang ditemukan di SRS, yaitu: Haemaphysalis hystricis dan Amblyomma testudinarium. Keduanya diduga berperan dalam penularan penyakit protozoa darah ke badak. 2 Jenis caplak Haemaphysalis hystricis (81%) lebih banyak di bandingkan Amblyomma testudinarium (19%) di area kandang SRS, sebaliknya persentase di luar area kandang SRS, jenis Amblyomma testidunarium (69%) lebih banyak dibandingkan Haemaphysalis hystricis (31%). 3 Larva dan nimfa caplak banyak ditemukan di daerah yang jarang dilewati oleh hewan. 4 Predileksi caplak dewasa di tubuh badak paling banyak ditemukan di regio leher dan bahu daripada regio lainnya. 5 Pengendalian yang paling memungkinkan dilakukan di SRS adalah pengendalian terpadu yaitu perpaduan cara alami (rotasi kandang) dan mekanik (pemotongan rumput di area paddock). 5.2 Saran 1 Perlu dilakukan penelitian berkala di SRS untuk mengetahui seasonal activity dan dinamika populasi caplak sehingga akan lebih memudahkan dalam pengendaliannya. 2 Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai agen yang dapat ditularkan oleh jenis-jenis caplak di SRS menggunakan metode yang lebih spesifik melalui pemeriksaan pada kelenjar saliva caplak.

56 DAFTAR PUSTAKA Anastos G The Scutate Ticks or Ixodidae of Indonesia. J. Entomol. Am. Vol. 30 (35-38): Aryani L Caplak Keras (Acari: Ixodidae) pada Mamalia [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Barker SC, A Murrell Phylogeny, Evolution, and Historical Zoogeography of Ticks: a review of recent progress. Exp. Appl. Acarol. Vol.28: Borror DJ, CA Triplehorn, NF Johnson An Introduction to the Study of Insects. Ed ke-6. Ohio: The Ohio State University. Bowman DD, RC Lynn, ML Eberhard, A Alcaraz Georgis Parasitology for Veterinarians. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders-Elsevier. Camicas JL, JP Hervy, F Adam, PC Morel The Ticks of the World. Nomenclatur, Described Stages, Hosts, and Distribution (Acari, Ixodida). Paris: Orstom Editions. Candra D Curator s Report 2004 [laporan]. M Agil, MACT Riyanto, NJ van Strien, editor. Bogor: Yayasan Suaka Rhino Sumatera. Cao WC, YM Gao, PH Zhang, XT Zhang, QH Dai, JS Dumler, LQ Fang, H Yang Identification of Ehrlichia chaffensis by Nested PCR in Ticks from Southern China. J. Clin. Microbiol. Vol. 38 (7): Chandler AC, CP Read Introduction to Parasitology. New York: John Wiley & Sons Inc. Cheng TC General Parasitology. Orlando: Harcourt Brace Jovanovich. Dumler JS, AF Barbet, CP Bekker, GA Dasch, GH Palmer, SC Ray, Y Rikihisa, FR Rurangirwa Reorganization of Genera in the Families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in Order Rickettsiales: Unification of Some Species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia with Neorickettsia, Descriptions of Six New Species Combinations and Designation of Ehrlichia equi and HGE agent as Subjective Synonyms of Ehrlichia phagocytophila. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. Vol. 51 (4): Farmer JN The Protozoa: Introduction to Protozoology. London: Mosby Company.

57 Fielden LJ, Y Rechav Attachment Sites of the Tick Amblyomma marmoreum on its Tortoise Host, Geochelone pardalis. J. Exp. Appl. Acarol. Vol. 18 (6): Foose TJ, NJ van Strien Asian Rhinos Status Survey and Conservation Action Plan. Gland, Switzerland and Cambridge, UK: IUCN. Foster WA, ED Walker Medical and Veterinary Entomology. London: Academic Press. Fournier PE, N Takada, H Fujita, D Raoult Rickettsia tamurae sp.nov., isolated from Amblyomma testudinarium Ticks. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. Vol. 56 (8): Fowler ME Zoo and Wid Animal Medicine. Ed ke-5. Colorado: W.B. Saunders Company Denver. Fraser CM, JA Bergeron, A Mays, SE Aiello The Merck Veterinary Manual. Ed ke-7. USA: Merck & Co. Inc. Freeman P Insects. Ed ke-5. London: British Museum of Natural History. Gaafar SM Parasites, Pests, and Predators. New York: Elsevier. Gandahusada S Parasitologi Kedokteran. Ed ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. George JE, JM Pound, RB Davey Chemical Control of Ticks on Cattle and the Resistance of These Parasites to Acarisides. Supplement. J. Parasitol. Vol. 129: Gunawan AW, SS Achmadi, L Arianti Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press. Hadi UK, S Soviana Ektoparasit: Pengenalan, Pengendalian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diagnosa, dan Hall HTB Diseases and Parasites of Livestock in the Tropics. England: Longman Scientific & Technical. Homer MJ, IA Delfin, SR Telford III, PJ Krause, DH Persing Babesiosis. J. Clin. Microbiol. Rev. Vol. 72 (5):

58 Horak IG, JL Camicas, JE Kierans The Argasidae, Ixodidae, and Nuttalliellidae (Acari: Ixodida): a world list of valid tick names. Exp. Appl. Acarol. Vol. 28: Jongejan F, G Uilenberg The Global Importance of Ticks. Supplement. J. Parasitol. Vol. 129: Kaaya GP Prospects for Innovative Methods of Ticks Control in Africa. Insect Sci. Appl. Vol. 23: Kahl O, L Gern, L Eisen, RS Lane Ecological Research on Borrelia burgdorferi sensu lato: Terminology and Some Methodological Pitfalls. In Lyme Borreliosis. Biology, Epidemiology, and Control. Wallingford, UK: CABI Publishing. Kahn M, TJ Foose, NJ van Strien Peninsula Malaysia. Asian Rhino Specialist Report. Pachyderm (36): Ketchum HR, PD Teel, OF Strey, MT Longnecker Feeding Predilection of Gulf Coast Tick, Amblyomma maculatum Koch, Nymphs on Cattle. J. Vet. Parasitol. Vol. 133 (4): Kierans JE, LE Durden Illustrated Key to Nymph of the Tick Genus Amblyomma (Acari: Ixodidae) Found in United States. J. Med. Entomol. Vol. 35 (4): Kim CM, YH Yi, DH Yu, MJ Lee, MR Cho, AR Desai, S Shringi, TA Klein, HC Kim, JW Song, LJ Baek, ST Chong, ML O Guinn, JS Lee, IY Lee, JH Park, J Foley, JS Chae Tick-Borne Rickettsial Pathogens in Ticks and Small Mammals in Korea. Appl. Environ. Microbiol. J. Vol. 72 (9): Kocan KM, WL Goff, D Stiller, W Edwards, SA Ewing, PL Claypool, TC McGuire, JA Hair, SJ Barron Development of Anaplasma marginale in salivary glands of Male Dermacentor andersoni. Am. J. Vet. Vol. 54 (1): Krantz GW A Manual of Acarology. Corvallis, Oregon: Oregon State University Book Stores Inc. Levine ND Parasitologi Veteriner. Gatot A, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Terjemahan dari: Veterinary Parasitology. Macdonald D The New Encyclopedia of Mammals. Oxford: Oxford University Press.

59 Mwangi EN, OO Dipeolu, RM Newson, GP Kaaya, SM Hassan Predators, Parasitoids, and Pathogens of Ticks: a review. Biocontrol Sci. Tech. Vol. 1: Nijhof AM, BL Penzhorn, G Lynen, JO Mollel, P Morkel, CPJ Bekker, F Jongejan Babesia bicornis sp. nov. and Theileria bicornis sp. nov.: TickBorne Parasites Associated with Mortality in the Black Rhinoceros (Diceros bicornis). J. Clin. Microbiol. Vol. 41 (5): Noble ER, GA Noble Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardiarto, penerjemah; Soeripto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: the Biology of Animal Parasites 5th Ed. Norval RAI, CJ Lightfoot Tick Problems in Wildlife in Zimbabwe. Factors Influencing the Occurence and Abbudance of Rhipicephalus appendiculatus. Zimbabwe Vet. J. Vol. 13 (6): Nowak RM Walker s Mammals of the World. Ed ke-5. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Pantosoedjono S Praktikum Entomologi Veteriner. Bogor: Lab. Biologi Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Parola P, JP Cornet, YO Sanogo, RS Miller, HV Thien, JP Gonzalez, D Raoult, SR Telford III, C Wongsrichanalai Detection of Ehrlichia spp., Anaplasma spp., and Other Eubacteria in Ticks from Thai-Myanmar Border and Vietnam. J. Clin. Microbiol. Vol. 41 (4): Qodriyah H Identifikasi dan Predileksi Beberapa Jenis Ektoparasit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas Lampung [skripsi]. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam As-Syafi iyah. Samish M, J Rehacek Pathogens and Paredators of Ticks and their Potential in Biological Control. Ann. Rev. Entomol. Vol. 44: Saraswati Y Parasit-parasit pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Schmidt GD, LS Roberts Foundations of Parasitology. Ed ke-2. Toronto: The C.V. Mosby Company.

60 Scott DW Large Animal Dermatology. Philadelpia: W.B. Saunders Company. Seddon HR Diseases of Domestic Animals in Australia, Arthropod Infections (Tick and Mites). Ed ke-2. Canberra: Department of Health, Commonwealth of Australia. Schenkel R Grzimek s Encyclopedia of Mammals. Volume ke-4, Asiatic Rhinoceroses. Parker SP, editor. New York: McGraw-Hill. hlm Sonenshine DE Biology of Ticks. Vol ke-1. Oxford: Oxford University Press. Sonenshine DE Biology of Ticks. Vol ke-2. Oxford: Oxford University Press. Soulsby EJL Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-6. London: Monnig s Veterinary Helminthology and Entomology. Stafford KC Tick Management Handbook: A Integrated Guide for Homeowners, Pest Control Operators, and Public Health Officials for the Prevention of Tick-Associated Diseases. Connecticut: Connecticut Agricultural Experiment Station. Stookes-Greene L Evaluation of Infectious Disease Risks to the Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) by Hematologic and Serologic Survey of Domestic Animals and Captive Wildlife Surrounding Way Kambas National Park, Indonesia [laporan]. Ohio: The Ohio State University. Swai ES, ED Karimuribo, EA Rugaimukamu, DM Kambarage Factors Influencing the Distribution of Questing Ticks and the Prevalence Estimation of T. parva infection in Brown Ear Ticks in the Tanga Region, Tanzania. J. Vec. Ecol. Vol. 31 (2): Thekisoe OMM, T Honda, H Fujita, B Battsetseg, T Hatta, K Fujisaki, C Sugimoto, N Inoue A Trypanosoma Species Isolated from Naturally Infected Haemaphysalis hystricis Ticks in Kagoshima Perfecture, Japan. J. Parasitol. Vol. 134: Uchida T, Y Yan, S Kitaoka Detection of Rickettsia japonica in Haemaphysalis longicornis Ticks by Restriction Fragment Length Polymorphism of PCR Product. J. Clin. Microbiol. Vol. 33 (4): Urquhart GM, J Armour, JL Duncan, AM Dunn, FW Jennings Veterinary Parasitology. Glasgow: Longman Scientific & Technical.

61 Wellcome HK Cattle Tick Control. London: Cooper Division Wellcome Found Ltd. Whitfield PJ The Biology of Parasitism: an Introduction to the Study of Associating Organisms. London: Edward Arnold. Whitlock JH Diagnosis of Veterinary Parasitisms. Philadelpia: Lea & Febiger. Willadsen P, F Jongejan Immunology of the Tick-Host Interaction and the Control of Ticks and Tick-Borne Diseases. Parasitol. Today Vol. 15: Willadsen P Anti-Tick Vaccines. Supplement. Parasitol. Vol. 129: Williams RE, RD Hall, AB Broce, PJ Scholl Livestock Entomology. New York: John Willey & Sons. Wilson DE, DM Reeder Mammal Species of the World. Ed ke-2. Washington: Smithsonian Institution Press. Woolley TA Acarology: Mites and Human Welfare. New York: John Willey & Sons. Yamaguti N, VJ Tipton, HL Keegan, S Tashioka Ticks of Japan, Korea, and the Ryuku Islands. Brigham Young University Sci. Bull. Vol. 15: Yano Y, N Takada, H Fujita. Ultrastructure of Spotted Fever Group Rickettsiae in Tissue of Larval Amblyomma testudinarium (Acari: Ixodidae). J. Acarol. Soc. Jpn. Vol 9 (2): Youdewei A, MW Service Pest and Vector Management in the Tropics with Particular Reference to Insects, Ticks, Mites, and Snails. London and New York: Longman Group Ltd.

62 LAMPIRAN

63 Ratu Rosa Lampiran 1 Foto Badak Sumatera yang Berada Di Suaka Rhino Sumatera Torgamba Bina

64 Lampiran 2 Foto Kawasan dan Aktivitas Suaka Rhino Sumatera B A A: daerah di luar area perkandangan SRS; B: area kandang lepas (paddock) SRS yang dibatasi oleh pagar listrik (6000 volt DC), kedua daerah dipisahkan oleh jalan yang melingkari keseluruhan area perkandangan Badak sumatera betina (Ratu) sedang diperiksa ovariumnya menggunakan USG di kandang observasi SRS.

65 Salah satu keeper (Sunar) di SRS yang sedang melakukan recording aktivitas harian Torgamba saat di paddock SRS.

66 Lampiran 3 Foto Pengambilan Spesimen Pengambilan spesimen larva dan nimfa caplak pada vegetasi rendah dengan menggunakan tick flag di sepanjang jalur yang biasa dilewati badak di area kandang lepas (paddock) SRS. Pengambilan spesimen caplak dewasa secara manual yang menempel dan menghisap darah pada tubuh badak di SRS. Hal tersebut dilakukan sambil memandikan badak di kandang observasi di saat badak kembali dari kandang lepas (paddock).

67 Lampiran 4 Foto Caplak Dewasa Saat Menghisap Darah pada Tubuh Badak Sumatera Caplak dewasa Amblyomma testudinarium saat menghisap darah pada tubuh badak sumatera Rosa di SRS. Caplak dewasa Haemaphysalis hystricis saat menghisap darah pada tubuh badak sumatera Torgamba di SRS.

68 Lampiran 5 Foto Slide Preparat Caplak Slide preparat Haemaphysalis hystricis. Slide preparat Amblyomma testudinarium.

69

70 Lampiran 6 Foto Slide Preparat Caplak dilihat Menggunakan Mikroskop Compound A B C Kapitulum dari Amblyomma testidunarium. A: kelisera, B: hipostom, C: palpus. Bagian ini sangat khas pada genus Amblyomma, dicirikan dengan ukurannya yang lebih besar 23 kali dari basis kapituli-nya, dan palpus kedua yang lebih panjang 2 kali dari palpus pertama, sehingga dijadikan salah satu patokan dalam identifikasi genus tersebut. C A B Kapitulum dari Haemaphysalis hystricis. A: kelisera, B: hipostom, C: palpus. Bagian palpus ke-2 yang melebar ke arah lateral merupakan salah satu ciri khas genus Haemaphysalis.

71 A B Bagian idiosoma dari Haemaphysalis hystricis tampak ventral. A: lekuk anal posterior, B: feston. X Spirakel (X) dari Haemaphysalis hystricis di bagian ventro lateral sebelah posterior koksa IV yang berfungsi sebagai alat pernapasan.

CEPI TRI SUMANTRI B

CEPI TRI SUMANTRI B KEBERADAAN CAPLAK (Parasitiformes: Ixodidae) DI SUAKA RHINO SUMATERA TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG DAN KAITANNYA DALAM PENULARAN PENYAKIT PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) CEPI TRI SUMANTRI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

PROTOZOA PARASITIK PADA TINJA BADAK SUMATERA

PROTOZOA PARASITIK PADA TINJA BADAK SUMATERA PROTOZOA PARASITIK PADA TINJA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis), GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus), DAN HEWAN TERNAK DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS RANI OCTALIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif dengan kegiatan secara eksploratif yaitu observasi dengan mengambil sampel secara langsung.

Lebih terperinci

2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies badak yang ada di Indonesia yang keberadaannya terancam punah. IUCN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B04103159 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN. Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI SUAKA RHINO SUMATERA RIZQI PUTRATAMA FAKULTAS

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pinjal 1. Morfologi Pinjal Pinjal penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk kedalam kulit

Lebih terperinci

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS Sulinawati 1), Saputra, I G.N.A. W.A 2), Ediwan 3), Priono, T.H. 4), Slamet 5), Candra,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan ... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan seek~r lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk rnenciptakannya. Dan jika lalat itu rnerarnpas sesuatu dari

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus)

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) R. DANG PINA MANGGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Kethley (1982) menempatkan tungau sebagai anggota Filum Arthropoda, Sub Filum Chelicerata, Kelas Arachnida, Sub Kelas Acari. Ciri yang membedakan tungau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung

II. TINJAUAN PUSTAKA. lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas disisihkan sebagai daerah hutan lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung didalamnya.

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Badak Jawa Di dunia terdapat lima jenis badak, badak hitam (Diceros bicornis), badak putih (Ceratotherium simum), badak india (Rhinoceros unicornis),

Lebih terperinci

KECACINGAN PADA TINJA BADAK SUMATERA

KECACINGAN PADA TINJA BADAK SUMATERA KECACINGAN PADA TINJA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DAN GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG (semi Insitu) ASTRI MURYANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Parasit Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergangung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit sperti

Lebih terperinci

J U R N A L M E T A M O R F O S A Journal of Biological Sciences ISSN:

J U R N A L M E T A M O R F O S A Journal of Biological Sciences ISSN: JURNAL METAMORFOSA IV (2): 189-195 (2017) J U R N A L M E T A M O R F O S A Journal of Biological Sciences ISSN: 2302-5697 http://ojs.unud.ac.id/index.php/metamorfosa JENIS-JENIS PARASIT PADA SAPI PERAH

Lebih terperinci

Musca domestica ( Lalat rumah)

Musca domestica ( Lalat rumah) PARASITOLOGI LALAT SEBAGAI VEKTOR PENYAKT Musca domestica ( Lalat rumah) Oleh : Ni Kadek Lulus Saraswati P07134013007 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tikus dan mencit adalah hewan pengerat (rondensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang dan hewan pengganggu yang menjijikan di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 di Suaka Rhino Sumatera, Taman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 di Suaka Rhino Sumatera, Taman 26 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas. B. Alat dan Objek Penelitian Alat-alat yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Status satwa liar di Indonesia terutama satwa badak mencapai tingkat yang paling mengkhawatirkan, populasi badak sumatera berkurang hingga 30% dalam 20 tahun terakhir sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pediculus Humanus Capitis Pediculus humanus capitis merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam famili pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) Juga salah satu titipan Tuhan bagi Bangsa Indonesia Oleh : Sudarsono Djuri *)

BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) Juga salah satu titipan Tuhan bagi Bangsa Indonesia Oleh : Sudarsono Djuri *) Seri : Mengenal Fauna Langka. BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) Juga salah satu titipan Tuhan bagi Bangsa Indonesia Oleh : Sudarsono Djuri *) Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sepatutnya harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KEMANGI (Ocimmum basilicum forma citratum) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA LALAT RUMAH (Musca domestica)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KEMANGI (Ocimmum basilicum forma citratum) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA LALAT RUMAH (Musca domestica) PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KEMANGI (Ocimmum basilicum forma citratum) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA LALAT RUMAH (Musca domestica) Oleh : DATTU IFFAH HANIDHAR B04103121 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberi tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d pada lembar jawaban yang tersedia!

I. Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberi tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d pada lembar jawaban yang tersedia! IKHLAS BERAMAL KEMENTRIAN AGAMA KABUPATEN JEPARA ULANGAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2009/2010 Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Alam Hari/tanggal : 2010 Kelas : VII (tujuh) Waktu : 90 menit

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI RUKAYAH. Gambaran Sel

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengoleksian Kutu Tanaman

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengoleksian Kutu Tanaman BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dengan mengoleksi kutu putih dari berbagai tanaman hias di Bogor dan sekitarnya. Contoh diambil dari berbagai lokasi yaitu : Kelurahan Tanah baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Spesies Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class

Lebih terperinci