CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH TRI UMARDHANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH TRI UMARDHANI"

Transkripsi

1 1 CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH TRI UMARDHANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 2 ABSTRACT TRI UMARDHANI. Parasitic worm of one humped camel (Camelus dromedarius) in Serulingmas Zoological Garden, Banjarnegara, Central Java. Under supervision by RISA TIURIA and CHAIRUN NISA The objective of the study is to reveal the existance of parasitic worm of one humped camel (Camelus dromedarius) in Serulingmas Zoological Garden. The fresh fecal samples were taken from the male and female camel, every week for six weeks. The samples were observed qualitatively and quantitatively to reveal the existance of parasitic worm eggs. The result of the study showed that the infection occured only in the female camel, but none in the male camel one. The type of worm eggs was identified as nematode parasitic, of the genus Trichuris with characteristic of oval in shape, polar plug in each side, thick walled, sized around 71-77,6 µm and 30,8-37,9 µm in length and width respectively. The average number of EPG (eggs in each gram of feces) was 333. Some factors which might be able to affect the worm infections in case of one humped camel are were feed, environment, and the susceptibility of the camel itself. The study proves that the female camel is more susceptible to worm infections than those the male one. Keyword: One humped camel, parasitic worm, Trichuris

3 3 ABSTRAK TRI UMARDHANI. Cacing parasitik pada unta punuk satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara, Jawa tengah. Di bawah bimbingan RISA TIURIA dan CHAIRUN NISA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kasus infeksi oleh cacing parasitik pada unta punuk satu di TRMS Serulingmas. Sampel yang digunakan yaitu tinja unta punuk satu jantan dan betina yang masih segar. Sampel diambil sekali seminggu selama enam minggu. Hasil dari penelitian ditemukan adanya kasus infeksi oleh cacing parasitik pada unta betina saja, sedangkan pada jantan tidak ditemukan atau negatif. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah telur trematoda dari genus Trichuris yang mempunyai ciri-ciri khusus berbentuk oval, mempunyai dua polar plug di kedua sisinya, berdinding tebal, serta mempunyai ukuran panjang rata-rata 71-77,6 µm dan lebar 30,8-37,9 µm. Jumlah rata-rata TTGT (telur tiap gram tinja) adalah 333. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kasus infeksi cacing parasitik diantaranya; sumber pakan, lingkungan serta kepekaan hewan itu sendiri. Penelitian kali ini juga menunjukkan bahwa unta betina lebih peka terhadap infeksi cacing parasitik dibandingkan dengan jantan. Kata kunci: Unta punuk satu, cacing parasitik, Trichuris

4 4 CACING PARASITIK PADA UNTA PUNUK SATU (Camelus dromedarius) DI TAMAN REKREASI MARGASATWA SERULINGMAS BANJARNEGARA JAWA TENGAH TRI UMARDHANI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 5 HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP : Cacing Parasitik Pada Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara Jawa Tengah : Tri Umardhani : B Disetujui Komisi Pembimbing Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D. Pembimbing I Dr.drh, Chairun Nisa, M.Si, PAVet Pembimbing II Diketahui Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus:

6 6 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada drh. Risa Tiuria MS, Ph.D. dan Dr. drh. Chairun Nisa MSi, PAVet selaku dosen pembimbing atas segala waktu, bimbingan dan arahan serta dorongan moral kepada penulis. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Pak Suleman dan Ibu Erawati atas bantuannya selama berada di laboratorium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada TRMS Serulingmas terutama drh. Agung yang telah memberikan tempat penelitian dan bimbingan kepada penulis serta kepada teman-teman satu penelitian Unita, Tika, dan Putri. Tak lupa pula ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada temanteman Aesculapius atas semua kerjasama dan kebersamaan selama di FKH. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak ternilai kepada Ayah tercinta, KM Zuman dan Ibunda tercinta, Sundusiyah yang telah memberikan dorongan moral material serta doa kepada penulis. Selain itu penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh keluarga mba Umilatul, mba Umi ma rifatun, mas Joko, mas Irul, serta bulik dan paklik tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh pihak yang telah membantu sampai selesainya skiripsi ini penulis ucapkan terimakasih. Penulis meyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, pembaca serta dunia kedokteran hewan pada umumnya. Bogor, Juni 2011 Penulis

7 7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 1 Januari 1988 dari Bapak KM Zuman dan Ibu Sundusiyah. Penulis merupakan putra ke tiga dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis masuk SMU N 1 Wonosobo dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis juga diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun Selama Mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis aktif dalam BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) FKH IPB divisi Olahraga dan Seni. Penulis juga aktif di Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia.

8 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesa... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas... 3 Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius)... 3 Cacing Parasitik... 7 Cestoda Parasitik... 7 Morfologi Cestoda... 8 Siklus Hidup Cestoda... 9 Trematoda Parasitik Morfologi Trematoda Siklus Hidup Trematoda Nematoda Parasitik Morfologi Nematoda Siklus Hidup Nematoda METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Teknik Pengambilan Sampel Pemeriksaan Tinja Pemeriksaan Kualitatif Pemeriksaan Natif Metode Pengapungan Sedimentasi... 17

9 vii Pemeriksaan Kuantitatif Pemupukan tinja Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kualitatif Pemeriksaan Kuanitatif Sistem Pemeliharaan Unta Punuk Satu SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 26

10 viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Unta punuk satu (camelus dromedarius) Peta penyebaran unta punuk satu Sistem pencernaan unta punuk satu Morfologi cestoda Morfologi telur Taenia spp Siklus hidup Taenia saginata Morfologi trematoda Telur trematoda Siklus hidup trematoda Morfologi nematoda Siklus hidup nematoda Kondisi tinja unta punuk satu Telur Trichurid Bentuk telur Trichuris ovis Tempat pakan unta... 22

11 ix DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil pemeriksaan sampel tinja... 21

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas merupakan salah satu lembaga konservasi eksitu milik pemerintah daerah kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Sebagai salah satu lembaga konservasi eksitu, TRMS Serulingmas berfungsi untuk menyelamatkan dan melestarikan satwa-satwa yang terancam punah di luar habitat aslinya. Konservasi eksitu ini sebagai alternatif dan sebagai pendukung dari kegiatan konservasi insitu. Berbagai satwa liar dapat ditemukan di TRM Serulingmas dan sebagian besar adalah satwa endemis Indonesia. Salah satu satwa koleksi TRMS Serulingmas yang berasal dari luar Indonesia adalah unta punuk satu (Camelus dromedarius). Sebagai lembaga konservasi, TRMS Serulingmas dikatakan cukup berhasil karena keberhasilan reproduksi pada berbagai satwa cukup tinggi. Di sisi lain jika dilihat dari segi kesehatannya belum dapat tercapai secara optimum dikarenakan keterbatasan biaya, tenaga maupun fasilitas. Unta punuk satu masih tergolong hewan baru di TRMS Serulingmas yang didatangkan dari kebun binatang Surabaya dan kebun binatang Bandung sekitar tahun Sampai sekarang unta yang ada berjumlah dua ekor indukan jantan dan betina. Cacing parasitik merupakan organisme yang termasuk dalam endoparasit. Organisme ini banyak menimbulkan masalah kesehatan seperti diare, hipoproteinemia, kaheksia bahkan kematian. Selain itu, cacing parasitik menyebabkan penyakit yang dapat menular dari satu hewan ke hewan lainnya, bahkan dapat pula bersifat zoonosis. Diagnosa lebih dini perlu dilakukan agar adanya satwa yang terinfeksi cacing dapat segera dilakukan pengobatan dan pencegahan secara berkala. Pengobatan dan pencegahan akan menjadi efektif untuk dilakukan apabila didasarkan pada jenis cacing yang menginfeksi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan morfologi maupun siklus hidup setiap jenis cacing. Salah satu cara mendiagnosa keberadaan dan jenis cacing dalam tubuh satwa adalah dengan pemeriksaan tinja guna mencari ada tidaknya telur cacing. Bila berasal dari jenis cacing parasitik yang berbeda, telur tersebut akan memiliki morfologi dan ukuran yang berbeda pula. Perbedaan morfologi dan ukuran ini yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan identifikasi jenis cacing parasitik.

13 2 Sejak TRMS Serulingmas berdiri, data tentang kecacingan pada satwaliar yang ada di kebun binatang ini masih sangat minim termasuk onta punuk satu. Pemeriksaan pernah dilakukan pada berbagai satwa dan menunjukkan hasil positif pada berbagai binatang seperti harimau, unta serta orangutan. Pemeriksaan hanya dilakukan secara kualitatif dan hanya sekali selama berada di TRMS Serulingmas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang cacing parasitik pada satwa di TRMS Serulingmas, termasuk unta punuk satu. Penelitian ini dilakukan sebagai penunjang aspek kesehatan khususnya untuk unta punuk satu pada TRMS Serulingmas Banjarnegara. Tindakan pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan secara efektif apabila diketahui jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu. Oleh karena itu unta punuk satu dapat tetap lestari dengan kesehatan yang bagus. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tentang kecacingan unta punuk satu yang masih jarang ditemukan di Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kasus infeksi dan identifikasi jenis cacing parasitik pada unta punuk satu serta kaitannya dengan sistem pemeliharaan di TRMS Serulingmas. Hipotesa Hipotesa dari penelitian ini adalah H0: tidak menemukan jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu. H1: menemukan jenis cacing parasitik yang menginfeksi unta punuk satu. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui status kesehatan unta punuk satu terhadap infeksi cacing parasitik di TRMS Serulingmas. Selain itu untuk mengetahui jenis-jenis cacing parasitik pada unta punuk satu yang dapat dijadikan dasar untuk pengobatan maupun pencegahan terhadap infeksi cacing parasitik.

14 TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas terletak di hutan kota Banjarnegara yang dihijaukan sejak tahun Taman ini berada kurang lebih satu kilometer dari pusat kota Banjarnegara dan terletak tidak jauh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara (PNRI 2007). TRMS Serulingmas diresmikan pada tanggal 21 Agustus 1997 oleh Jenderal TNI Susilo Sudarman, ketika menjabat sebagai Ketua Paguyuban Seruan Eling Banyumas (Serulingmas). Pendirian TRMS Serulingmas bertujuan sebagai sarana rekreasi yang sehat bernuansa edukasi, riset, dan konservasi. TRMS Serulingmas pada awalnya merupakan obyek wisata yang dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II Banjarnegara dengan nama Taman Rekreasi Ki Ageng Selamanik. Selanjutnya pada tahun 1997 diganti nama menjadi Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas yang masih menjadi nama sampai saat ini. TRMS Serulingmas kini dikelola oleh Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara (Serulingmas 2009). Lebih dari 100 satwa berada di TRMS Serulingmas yaitu singa Afrika, harimau Benggala, gajah Sumatera, buaya, orang utan, dan berbagai jenis burung serta kera (Sumarwoto 2009). Jumlah satwa yang tercatat saat ini di TRMS Serulingmas adalah ± 161 satwa. Satwa-satwa tersebut terdiri dari 21 spesies burung, 21 spesies mamalia, dan 5 spesies reptil (Serulingmas 2009). Selain dapat melihat berbagai jenis satwa langka, pengunjung juga dapat menikmati berbagai fasilitas yang terdapat di tempat ini. Fasilitas-fasilitas yang ada di TRM Serulingmas meliputi kolam renang, taman bermain anak-anak, dan berkeliling taman dengan naik gajah tunggang (Sumarwoto 2009) Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) Unta adalah spesies hewan berkuku genap yang banyak terdapat pada daerah yang beriklim kering. Hewan ini ada dua jenis, yaitu unta punuk satu (C. dromedarius) yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika bagian utara serta unta punuk ganda (C. bactrianus) yang berasal dari daerah gurun di Asia bagian

15 4 timur. Unta punuk satu memiliki klasifikasi sebagai berikut. kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Camelidae, genus Camelus serta spesies Camelus dromedarius (Naumann 1999). Gambar 1 Unta punuk satu (C. dromedarius) jantan yang dipelihara di TRMS Serulingmas Unta punuk satu (C. dromedarius) atau lebih dikenal dengan unta arab memiliki karakteristik tubuh sebagai berikut: leher panjang yang melengkung, dada yang sempit, kakinya panjang dan ramping, bibir atas membelah, nostril hidung dapat menutup, bulu matanya panjang, dan mempunyai punuk berjumlah satu (Gambar 1). Punuk ini berisi lemak yang dibatasi dengan jaringan fibrosa dan berfungsi sebagai cadangan makanan pada saat dibutuhkan. Ukuran punuk ini bervariasi sesuai dengan status gizi unta. Punuk akan menjadi lebih kecil dan condong ke salah satu sisi di saat kondisi kelaparan. Kaki unta mempunyai bantalan (pad) yang sangat cocok untuk berjalan di atas pasir. Pad ini mudah terluka jika terkena batu tajam serta tidak cocok untuk berjalan di jalan yang licin dan berlumpur (Naumann 1999, Huffman 2004). Unta punuk satu (C. dromedarius) mempunyai kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan gurun yang sangat ekstrim. Mata unta dilengkapi dengan dua lapis bulu mata, sehingga bisa melindungi dari pasir maupun debu. Selain itu, saat badai pasir hidung unta dapat menutup sehingga pasir atau debu tidak bisa masuk ke lubang hidung. Unta mempunyai kemampuan untuk mempertahankan air dalam tubuhnya melalui berbagai jalan. Air di dalam tubuh akan tetap terjaga meskipun suhu tubuh unta berfluktuasi antara 34 0 C hingga 41,5 0 C, maupun suhu lingkungan yang naik, karena unta tidak berkeringat.

16 5 Adaptasi unta terhadap lingkungannya sangat baik, sehingga hewan ini dapat bertahan hidup meskipun kehilangan lebih dari 30% air tubuhnya (Naumann 1999). Penyebaran unta punuk satu yaitu di daerah gurun Afrika utara serta Asia barat. Selain itu terdapat pula di kawasan Australia bagian tengah, di daerah Australia tengah ini juga merupakan kawasan kering. Peta penyebaran unta dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Peta penyebaran unta punuk satu (Huffman 2004) Sistem pencernaan unta punuk satu termasuk ke dalam pseudo ruminant atau ruminansia tidak sejati karena hanya memiliki tiga bagian lambung saja. Bagian pertama memiliki struktur seperti rumen yang terbagi menjadi bagian kanan dan kiri. Lambung bagian pertama ini tersusun dari otot yang kuat dan kelenjar mukus. Pada bagian ini pakan dicampur dengan air dan mukus yg dihasilkan oleh kelenjar mukus. Lambung bagian kedua juga sering disebut honeycomb. Bagian ini mirip dengan struktur retikulum pada hewan ruminansia. Lambung bagian kedua juga tersusun atas kelenjar yang menghasilkan mukus. Lambung bagian ketiga disebut sebagai lambung kelenjar. Lambung kelenjar ini mirip dengan abomasum pada ruminansia dan lambung monogastrik hewan lainnya (gambar 3A). Usus halus unta memiliki panjang kurang lebih 40 meter.

17 6 Bentuk sekum dan kolon hampir sama dengan sapi yaitu membentuk gulungan spiral atau sering disebut ansa spiralis coli (gambar 3B). Panjang sekum dan kolon ini kira-kira 19.5 meter (Mukasa-Mugerwa 1981). 9b a A B Gambar 3 Sistem pencernaan unta punuk satu A. bagian-bagian lambung (1. lambung bagian pertama sebelah kiri, 2. lambung bagian pertama sebelah kanan, 3 & 4. kantung air, 5. esofagus, 6. lambung bagian kedua, 7. lambung bagian ketiga, 8. duodenum) B. usus halus dan usus besar (9. usus halus, 9a. yeyunum, 9b. ileum, 10. sekum, 11. kolon asendens, 12. kolon desendens, 13. rektum) (Modifikasi Mukasa-Mugerwa 1981) Saluran pencernaan merupakan habitat sebagian besar cacing parasitik. Cacing parasitik yang ditemukan pada saluran pencernaan unta punuk satu sebagian besar sama dengan cacing parasitik pada hewan domestik laennya seperti sapi dan domba. Contoh cacing parasitik yang ditemukan pada lambung bagian ketiga unta yaitu: Haemonchus contortus, Teladorsagia circumcincta serta Trichostrongylus axei. Di bagian usus halus sering ditemukan T. colubriformis, Monieza benedeni dan M. expansa. Pada bagian usus besar unta sering ditemukan Oesophagostomum venulosum, O. columbianum, Trichuris ovis, dan T. globulosa (Taylor et al. 2007)

18 7 Unta punuk satu mempunyai masa kawin antara bulan Mei hingga Oktober. Masa kebuntingan unta sekitar bulan dan biasanya bunting anak tunggal. Anak unta akan disusui hingga umur 18 bulan. Unta mulai kawin pada umur 3-4 tahun. Umur hewan ini dapat mencapai tahun (DEWHA 2009). Cacing Parasitik Parasit merupakan suatu organisme yang hidupnya menumpang pada organisme lain (inang definitif). Parasit dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang berada di luar atau permukaan tubuh inang, sedangkan endoparasit adalah parasit yang berada di dalam tubuh inang (Dyah 2008). Helminthologi merupakan cabang ilmu endoparasit yang mempelajari tentang cacing khususnya cacing parasitik. Cacing dibagi dalam tiga filum yaitu Platyhelminthes, Nemathelminthes serta Acanthocephala. Filum Platyhelminthes terdiri dari dua kelas, yaitu Cestoda dan Trematoda sedangkan filum Nemathelminthes hanya ada satu kelas yaitu Nematoda. Ketiga kelas inilah yang sering menjadi parasit pada hewan maupun manusia. Filum Acanthocephala jarang dibahas karena jarang menimbulkan masalah pada hewan domestikasi. 1. Cestoda Parasitik Cestoda termasuk filum Platyhelminthes. Cacing ini lebih dikenal dengan sebutan cacing pita. Beberapa spesies cestoda merupakan parasit pada hewan dan manusia. Cestoda merupakan cacing yang struktur tubuhnya sederhana (Kusumamihardja 1995). Kelas Cestoda dibagi dalam dua ordo yaitu Cyclophyllidea dan Pseudophyllidea. Ordo Cyclophyllidea dibagi ke dalam tujuh famili yaitu Taeniidae, Anoplocephalidae, Dilepididae, Davaineidae, Hymenolepididae, Mesocestoididae serta Thysanosomidae. Adapun ordo Pseudophylliea hanya memiliki satu famili yaitu Diplhyllobothriidae. Beberapa contoh cestoda yang penting diantaranya genus Taenia dan Echinococcus dari famili Taeniidae, genus Monieza dari famili Anoplocephalidae serta genus Diphyllobothrium dari famili Diplhyllobothriidae.

19 8 a. Morfologi Cestoda Cestoda memiliki ciri-ciri morfologi tubuh memanjang yang pipih dorsoventral, panjang beruas-ruas, tidak memiliki saluran pencernaan, dan tidak memiliki rongga tubuh. Badan Cestoda terdiri dari kepala, sejumlah segmen dan di antara kepala dan segmen terdapat leher. Setiap segmen biasa disebut proglotida. Pada bagian kepala cestoda terdapat dua hingga empat batil hisap dan pada beberapa jenis cestoda dilengkapi rostelum atau kait (Gambar 4). Badan cestoda dilapisi dengan tegumen yang merupakan alat penyerapan utama pada cacing pita (Kusumamihardja 1995, Taylor et al 2007). Sistem syaraf cestoda tersusun dari beberapa ganglion, sedangkan sistem ekskresinya terdiri dari sel api atau solenosit dan saluran ekskresi utama. Disebut sebagai sel api karena memiliki silia yang bergerak menyerupai nyala api (Levine 1977). Cestoda merupakan cacing yang bersifat hermafrodit atau memiliki organ kelamin ganda. Dalam setiap segmen biasanya terdapat satu atau dua pasang alat kelamin jantan dan betina (Gambar 4) (Kusumadiharja 1995). Perkawinan cacing cestoda dapat terjadi dalam satu segmen maupun perkawinan silang antar segmen (Taylor et al 2007). Rostelum kait Batil hisap ovarium Lubang kelamin uterus testis Sauran ekskretoris a b Gambar 4 Morfologi cestoda a. kepala dengan kait dan batil hisap, b. skema segmen cestoda dengan dua alat kelamin (hermafrodit) (Hosie 2000)

20 9 b. Siklus Hidup Cestoda Siklus hidup cestoda adalah secara tidak langsung atau memerlukan satu atau lebih inang definitif. Cestoda dewasa secara umum ditemukan dalam usus halus inang definitif dan telurnya akan dikeluarkan bersama tinja. Telur cestoda sangat khas yaitu terdapat embrio heksakan yang diselimuti dengan dua lapis membran (Gambar 5). Telur yang termakan oleh inang antara akan menetas karena bereaksi dengan sekresi saluran pencernaan. Telur yang menetas disebut oncosphere, akan melakukan penetrasi di mukosa usus untuk dapat mencapai pembuluh darah, pembuluh limfe maupun di rongga tubuh pada invertebrata. Oncosphere yang telah tumbuh disebut metacestoda dan jika termakan oleh inang definitif, skoleks akan menempel pada mukosa usus dan berkembang hingga dewasa untuk menghasilkan telur (Gambar 6) (Taylor et al 2007). Cestoda sering sekali menimbulkan masalah pada hewan maupun manusia. Kasus kecacingan oleh cestoda juga dilaporkan pada unta diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) yang melaporkan jenis cacing cestoda yang paling sering menyerang C. domedarius di Riyadh Arab Saudi adalah Moniezia expansa, M. benedeni, Avitellina centripunctata, Stilesia vittata. Sementara itu Anwar dan Hayat (1999) melaporkan kasus kecacingan oleh cestoda di Pakistan disebabkan oleh M. expansa, M. benedeni serta S. globipunctata. Begitu juga Mohammed et al (2007) menemukan kasus kecacingan oleh cestoda yang disebabkan oleh Moniezia sp di Nigeria Gambar 5 Morfologi telur Taenia spp. dengan embrio heksakan (anak panah) (CDC 2010a)

21 10 Gambar 6 Siklus hidup Taenia saginata dan T. solium pada manusia (CDC 2010a) 2. Trematoda Parasitik Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes. Trematoda sendiri dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Monogenea dan Digenea. Sub kelas yang menimbulkan masalah bagi vertebrata adalah Digenea. Sub kelas Digenea dibagi ke dalam 15 famili. Beberapa contoh yang sering menimbulkan masalah kesehatan pada hewan diantaranya Fasciola sp., Paramphistomum sp. dan Schistosoma sp. Jenis Fasciola sp. dan Schistosoma sp. merupakan cacing yang bersifat zoonosis (Taylor et al 2007). a. Morfologi Trematoda Trematoda biasa disebut sebagai cacing daun karena bentuknya oval seperti daun, tubuhnya pipih dorsoventral, tidak bersegmen, memiliki dua batil hisap yaitu batil hisap anterior yang terletak di anterior tubuh dan batil hisap ventral yang terletak di sepertiga badan bagian bawah. Cacing daun dilapisi tegumen pada bagian luar tubuhnya yang berfungsi sebagai pembungkus badan dan merupakan struktur yang dinamis secara faali dan bertanggung jawab dalam

22 11 memasukkan makanan (Kusumamihardja 1995). Trematoda mempunyai alat pencernaan yang sederhana meliputi mulut, faring, esofagus serta sepasang saluran usus (Gambar 7). Trematoda pada umumnya bersifat hermafrodit kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al 2007). Sistem ekskresi trematoda adalah sel api (sel ekskresi berupa kantung yang mengumpulkan sisa-sisa metabolisme) dan hanya memiliki susunan syaraf yang sederhana (Levine 1977). Batil hisap anterior testis faring mulut Batil hisap ventral usus ovarium uterus vitelaria Gambar 7 Morfologi trematoda dengan dua batil hisap, saluran pencernaan dan dua alat kelamin (hermafrodit) (Tubitak 2002) b. Siklus Hidup Trematoda Sub kelas monogenea mempunyai daur hidup secara langsung sedangkan sub kelas Digenea tidak langsung atau memerlukan inang antara untuk daur hidupnya. Telur trematoda Digenea biasanya dikeluarkan melalui feses dan urin dengan ciri khas yaitu terdapat operculum pada salah satu kutubnya (Gambar 8a). Sub kelas Digenea merupakan trematoda yang paling sering menyerang pada hewan ternak maupun satwa liar. Trematoda dewasa biasanya ditemukan pada saluran empedu serta saluran pencernaan (Taylor et al 2007). Telur Schistosoma mempunyai ciri khusus yang agak berbeda dibandingkan telur trematoda pada umumnya, yaitu terdapat spina yang menjadi dasar identifikasi telur Schistosoma (Gambar 8b). Telur yang keluar dari inang definitif akan tumbuh menjadi larva bersilia yang disebut sebagai mirasidium. Mirasidium akan mencari inang antara (siput) sebagai tempat untuk pertumbuhan selanjutnya menjadi sporokista. Sporokista tumbuh menjadi redia dan bermigrasi ke hepatopankreas yang

23 12 kemudian tumbuh menjadi larva, disebut serkaria. Serkaria ini mempunyai ekor yang berfungsi untuk berenang di air menuju rumput. Serkaria yang melepaskan ekornya dan membentuk kista disebut sebagai metaserkaria. Serkaria dan metaserkaria adalah larva infektif bagi trematoda, jika larva masuk ke dalam inang definitif, larva akan tumbuh menjadi trematoda dewasa (Gambar 9) (Taylor et al 2007). operkulum a b spina Gambar 8 Telur trematoda dengan operculum (a) dan telur Schistosoma sp yang memiliki spina (b) (CDC 2010b) Gambar 9 Siklus hidup trematoda (Fasciola hepatica) (CDC 2010b)

24 13 Trematoda merupakan cacing yang paling banyak menimbulkan masalah pada hewan ruminansia. Trematoda ini juga sering menimbulkan masalah pada unta punuk satu. Beberapa contoh kasus kecacingan pada unta punuk satu yang ditimbulkan oleh trematoda diantaranya telah dilaporkan oleh Banaja dan Gandhour (1994) di Jeddah Arab Saudi akibat infestasi F. gigantica dan S. bovis. Infeksi F. gigantica lebih sering dibanding S. bovis. Di Pakistan juga temukan kasus kecacingan oleh trematoda pada unta punuk satu, seperti dilaporkan oleh Anwar dan Hayat (1999) bahwa unta punuk satu di Pakistan yang terinfeksi cacing trematoda mencapai 4,3 %. Infeksi trematoda ini meliputi Parampistomum cervi, Carmyierius spatious dan Gastrothylax crumenifer. 3. Nematoda Parasitik Kelas nematoda termasuk dalam filum Nemathelminthes. Memiliki lima Superfamili. Contoh nematoda yang biasa menyerang ruminansia diantaranya Trichuris spp, Cooperia sp dan Trichostrongylus sp. (Taylor et al 2007). a. Morfologi Nematoda mulut bibir Papila kelamin spikula rahang a ovarium a b Gambar 10 Morfologi nematoda a. jantan dengan testis dan spikula (kiri), betina dengan ovarium (kanan), b. penampang mulut nematoda (Hosie 2000) Badan nematoda berbentuk gilig meruncing pada kedua ujungnya. Cacing ini tidak bersegmen dan memiliki kutikula yang tebal. Jenis kelamin pada kebanyakan nematoda terpisah, biasanya ukuran jantan lebih kecil dari pada betina (Kusumamihardja 1995). Sistem saraf nematoda terdiri dari sejumlah

25 14 ganglia dan syaraf. Sistem ekskresi berupa alat ekskresi maupun osmoregulasi. Cacing ini tidak memiliki rongga badan sejati sehingga disebut pseudoseloma. Nematoda juga tidak mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan (gambar 10) (Levine 1977). b. Siklus Hidup Nematoda Siklus hidup dari nematoda ada dua yaitu langsung dan tidak langsung. Stadium infektif nematoda dapat berupa telur maupun larva tergantung kepada jenis nematodanya. Nematoda yang memiliki siklus langung diantaranya jenis Strongylidae dan Trichostrongylidae sedangkan yang tidak langsung contohnya Metastrongylidae dan Habronema spp. Stadium infektif larva biasanya pada stadium ketiga (L-3). Larva stadium ketiga ini berkembang dari telur yang menetas pada kondisi lingkungan yang mendukung. Jika stadium infektif berupa telur, larva yang dikandung biasanya adalah larva stadium kedua (L-2). Stadium infektif baik telur maupun larva akan masuk ke tubuh inang melalui saluran pencernaan, namun stadium infektif larva dapat aktif menembus melalui kulit. Setelah masuk ke dalam tubuh inang definitif, nematoda segera menuju dan menetap di mukosa usus dan berkembang menjadi stadium dewasa. Stadium dewasa akan mengeluarkan telur yang mempunyai tiga lapisan akan keluar besama tinja dari inang definitif (Gambar 11) (Levine 1977). Gambar 11 Siklus hidup nematoda (Trichuris spp) pada manusia merupakan siklus langsung (CDC 2010c)

26 15 Trichuris spp merupakan nematoda yang berbentuk seperti cambuk, salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis seperti cemeti. Cacing ini mempunyai siklus hidup secara langsung. Telur nematoda akan berkembang di tanah hingga mengandung larva stadium 3. Telur infektif (berisi larva stadium ke 3) sangat resisten di lingkungan dan dapat bertahan beberapa bulan atau tahun. Telur infektif yang masuk ke dalam tubuh hewan akan menetas di duodenum. Larva cacing akan berkembang di dalam vili-vili duodenum. Setelah dewasa, Trichuris akan menuju ke kolon. Cacing ini bersifat soil borne desease atau penularannya berasal dari tanah yang tercemar oleh telur infektif (Olsen 1974) Kasus kecacingan pada unta punuk satu yang disebabkan oleh nematoda pernah dilaporkan di beberapa tempat. Cacing Haemonchus longistipus, H. contortus, Trichuris spp, Parabonema skrjabini, Camelostrongylus mentulatus, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp. dilaporkan sering menyerang unta punuk satu di Saudi Arabia (Banaja dan Gandhour 1994). Selain itu musim dan keadaan tempat hidup unta juga mempengaruhi status kecacingan. Jumlah infeksi kecacingan nematoda tertinggi terjadi saat bulan Oktober hingga Januari. Kecacingan disebabkan oleh nematoda diantaranya oleh Haemonchus longistipes, H. contortus, T. ovis, T. globulosa, Trichostrongilus probolurus, C. mentulatus, Ostertagia circumcincta, Chabertia ovina dan Oesophagustomum venulosum juga pernah dilaporkan di Pakistan oleh Anwar dan Hayat (1999). Kasus kecacingan tertinggi disebabkan oleh H. contortus serta T. ovis. Sementara, Mohammed et al (2007) juga melaporkan tentang kasus kecacingan pada unta punuk satu di Nigeria. Nematoda yang menginfeksi yaitu Trichuris sp. serta Strongylus sp. Infeksi kecacingan pada unta di Nigeria tertinggi bila dibandingkan dengan parasit lainnya yaitu mencapai 70-80%. Unta terinfeksi selama musim kering dan akan terlihat infeksi terberat pada musim hujan karena periode pertumbuhan maksimal dari nematoda terjadi pada awal musim penghujan.

27 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilangsungkan di Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas dan di Fakultas Kedokteran Hewan. Waktu pengambilan tinja yaitu bulan Juli hingga Agustus Sementara pemeriksaan tinja dilakukan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010 di Laboratorium Helminthologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan tinja yang berasal dari C. dromedarius jantan dan betina yang berumur 5-6 tahun, air, methylen blue, dan larutan pengapung (campuran gula dan garam). Alat yang digunakan antara lain saringan teh dengan ukuran lubang x mm, gelas ukur, kamar hitung McMaster, alat penghitung, tabung reaksi, modifikasi gelas Baermann, gelas objek, gelas penutup, cawan petri, mikroskop cahaya, lemari es, timbangan, pipet gelas, lembar pencatatan dan kamera digital. Alat tambahan yang digunakan di laboratorium adalah alat videomikrometer. Metode Teknik Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah tinja unta punuk satu yang masih segar atau segera setelah jatuh ke tanah. Pengambilan sampel dilakukan seminggu satu kali selama enam minggu pada pukul WIB. Tinja diamati bentuk dan konsistensinya, kemudian disimpan dalam kantong plastik serta diberi label identitas. Berat tinja yang diambil kira-kira 5 gram dan tinja disimpan dalam lemari pendingin suhu 4 0 C, sampai proses pemeriksaan.

28 17 Pemeriksaan Tinja 1. Pemeriksaan Kualitatif a) Pemeriksaan Natif Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya telur cacing. Tinja diambil dengan menggunakan tusuk gigi dan dioleskan di atas kaca obyek. air ditambahkan dan dihomogenkan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995) b) Metode Pengapungan Metode ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya telur cestoda dan nematoda pada tinja. Caranya adalah sebagai berikut; tinja sebanyak 3 gram yang telah dilumatkan, diberi larutan pengapung 57 ml. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk dan disaring. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga penuh membentuk cembung pada permukaan tabung. Tabung reaksi ditutup menggunakan kaca penutup dan didiamkan. Setelah menit kaca penutup diambil dan diletakkan di atas gelas obyek. Sampel tersebut diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali (Kusumamihardja 1995). c) Sedimentasi Metode ini bertujuan untuk pemeriksaan telur cacing trematoda. Tinja sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam gelas Baerman dan ditambahkan 57 ml air. Campuran diaduk hingga homogen dan dibiarkan menit. Supernatan dibuang dengan hati-hati supaya endapan tidak ikut terbawa air. Air ditambahkan lagi ke dalam gelas hingga penuh, tunggu menit kemudian supernatan dibuang kembali. Hal tersebut diulangi hingga air supernatan menjadi bersih. Endapan kemudian difiltrasi dengan filter bertingkat dengan lubang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm. Endapan pada filter ketiga dituang ke dalam cawan petri lalu ditambah methylen blue dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 kali dan 40 kali (Shulaw 2004).

29 18 2. Pemeriksaan kuantitatif Perhitungan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) menggunakan metoda McMaster dengan perhitungan TTGT tiap jenis telur. Tiga gram tinja dilarutkan ke dalam 57 mililiter larutan pengapung. Campuran tinja dan larutan pengapung diaduk, disaring dan dihomogenkan. Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Kamar hitung diperiksa menggunakan miskroskop dengan perbesaran 10 kali (Soulsby 1982). Nilat TTGT diperoleh dengan rumus sebagai berikut: TTGT = n bt Vt Vh Keterangan: n : Jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vh Vt bt : Volume Kamar hitung (ml) : Volume total sampel (ml) : Berat tinja (gram) TTGT dengan menggunakan kamar hitung McMaster untuk telur cacing nematoda dan cestoda sedangkan untuk perhitungan telur cacing trematoda menggunakan rumus sebagai berikut (Shulaw 2004). Jumlah total telur Berat tinja Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan indentifikasi dan hasil perhitungan telur cacing. Telur yang didapat diukur panjang dan lebar kemudian dibandingkan secara morfologi terhadap telur cacing dari literatur. Pengamatan Sistem Pemeliharaan Pengamatan dilakukan terhadap sistem pemeliharaan unta punuk satu meliputi sistem perkandangan, kebersihan kandang, manajemen pakan serta pengelolaan kesehatan untuk dilihat pengaruhnya terhadap kasus kecacingan.

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada penelitian kali ini sampel tinja yang digunakan berasal dari tinja yang baru jatuh ke tanah. Tinja dalam kondisi padat berbentuk seperti koin tebal seperti terlihat pada gambar 12. Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. Tinja unta yang berbentuk padat dengan konsistensi yang lembek menunjukkan bahwa tinja unta dalam keadaan normal atau tidak dalam kondisi diare. Hal ini juga menunjukkan bahwa unta tidak menunjukkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasitik. 1. Pemeriksaan kualitatif Dari hasil pemeriksaan sampel tinja dua ekor unta punuk satu, hanya ditemukan telur cacing pada satu unta saja yaitu pada unta betina (Rubi). Telur cacing yang ditemukan pada sampel memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berbentuk oval tipe Trichurid, memiliki dua polar plug, berdinding tebal, dan memiliki ukuran rata rata x µm (Gambar 13) Ciri-ciri telur tipe yang ditemukan sama dengan ciri-ciri telur jenis Trichurid menurut literatur (FAO 2006, Levine 1977 dan Taylor et al 2007) yaitu

31 20 mempunyai dinding yang tebal, berbentuk oval, tidak memiliki blastomer, mempunyai dua polar plug pada kedua ujung serta memiliki ukuran panjang µm dan lebar µm (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa telur cacing parasitik yang ditemukan adalah dari genus Trichuris spp. Gambar 13 Telur Trichurid dari tinja unta punuk satu Gambar 14 Bentuk telur Trichuris ovis (FAO 2006) Infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu juga pernah dilaporkan diantaranya oleh Banaja dan Gandhour (1994) dan Magzoub et al. (2000) di Saudi Arabia. Di Pakistan juga pernah dilaporkan bahwa kasus kecacingan tertinggi di unta punuk satu disebabkan oleh Haemonchus contortus serta T. ovis (Anwar dan Hayat 1999). Mohammed et al. (2007) menyatakan unta punuk satu di Nigeria diinfeksi oleh cacing Trichuris sp. serta Strongylus sp. Harwinanto (2007) dari Indonesia, Rahman et al. (2001) dari Sudan, Brown (2004) dari Australia, serta Mahran (2006) dari Mesir juga melaporkan infeksi Trichuris spp. pada unta punuk satu. Infeksi oleh Trichuris pada unta punuk satu umum terjadi di berbagai tempat tidak terbatas pada regional tertentu.

32 21 2. Pemeriksaan Kuantitatif Pada pemeriksaan kuantitatif juga hanya ditemukan telur cacing pada sampel tinja unta betina (Rubi). Telur yang ditemukan memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang ditemukan dengan metode kualitatif. Jenis telur cacing yang ditemukan adalah tipe Trichurid. Berdasarkan hasil perhitungan TTGT (telur tiap gram tinja) ditemukan rata-rata jumlah telur sebesar 333 Tabel 1 Hasil pemeriksaan sampel tinja unta punuk satu dengan metode McMaster no Nama hewan / jenis kelamin sampel ke- Tipe telur Nilai TTGT Nilai rata-rata TTGT 1 Rubi / Betina 1 Trichurid Trichurid Trichurid Trichurid Trichurid Trichurid Oxy / Jantan Hasil nilai rata-rata TTGT yang didapatkan bisa dikatakan infeksi ringan. Hal ini dikarenakan belum adanya gejala klinis yang timbul akibat infeksi cacing. Taylor et al (2007) juga menyatakan infeksi cacing pada domba dengan jumlah TTGT di bawah 150 tergolong infeksi ringan, TTGT 500 tergolong infeksi sedang sedangkan nilai TTGT 1000 termasuk infeksi berat. Nilai TTGT yang berbeda dari tiap sampel ini dapat dikarenakan tidak meratanya distribusi telur dalam tinja. Selain itu pada sampel yang tidak ditemukan telur cacing parasitik belum tentu hewannya tidak terinfeksi. Beberapa hal yang dapat menyebabkan tidak ditemukannya telur cacing adalah kemungkinan cacing masih dalam tahap perkembangan serta jumlahnya sangat sedikit. Selain itu dapat juga disebabkan karena metode pengambilan sampel untuk pemeriksaan.

33 22 3. Sistem pemeliharaan unta punuk satu pada TRMS Serulingmas TRMS Serulingmas mempunyai sepasang unta yaitu Oxy (jantan) dan Rubi (betina). Kedua unta terletak dalam satu kandang besar namun dipisahkan oleh pagar besi. Hal ini dilakukan karena kondisi unta betina sedang bunting. Kandang unta dibersihkan sehari sekali pada waktu pagi hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali yaitu setiap pagi dan sore. Setiap pemberian diberikan pakan berupa rumput segar sekitar 20 kg dan konsentrat 2 kg untuk tiap-tiap unta. Pakan ditempatkan pada tempat yang terpisah. Tempat pakan yang tersedia cukup sempit sehingga pakan mudah jatuh dan tercemar dengan kotoran (Gambar 15) Gambar 15 Tempat pakan unta di TRMS Serulingmas yang kecil sehingga pakan mudah tercecer Manajemen kesehatan yang dilakukan di TRMS Serulingmas berupa tindakan pengobatan (curative). Hal ini karena pemberian obat atau suplemen hanya pada saat satwa ada yang menunjukkan gejala klinis, misalnya lemas, diare serta nafsu makan menurun. Tindakan curative dilakukan karena keterbatasan fasilitas maupun tenaga medis serta pendanaan yang jumlahnya terbatas. Pemeriksaan kecacingan pada unta pernah dilakukan, namun tidak teratur. Selain itu hanya dilakukan pemeriksaan secara kualitatif tanpa mengetahui tingkat keparahan infeksi. Pengobatan atau deworming hanya dilakukan pada saat unta menunjukkan gejala klinik berupa diare.

34 23 Kecacingan yang terjadi pada unta di TRMS Serulingmas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sumber infeksi, lingkungan yang mendukung serta dari kerentanan unta sendiri. Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi cacing. Unta betina lebih rentan dibandingkan dengan jantan yang terbukti dari hasil penelitian bahwa infeksi positif hanya pada unta betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahran (2006) dan Saeed et al. (2006) bahwa unta betina lebih rentan terhadap infeksi cacing dibandingkan dengan jantan, teramati dari jumlah infeksi pada betina lebih tinggi dibandingkan yang jantan. Ketahanan unta jantan terhadap infeksi kecacingan ini kemungkinan disebabkan karena genetis jantan yang lebih tahan terhadap infeksi kecacingan. Vanessa et al. (2008) menyatakan bahwa hewan jantan lebih resisten terhadap infeksi parasitik dikarenakan jantan memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat terhadap infeksi parasitik. Sumber infeksi kecacingan pada unta ini berasal dari pakan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing. Pencemaran pakan ini dapat terjadi pada saat pengiriman, pengolahan maupun saat pemberian. Seperti dijelaskan di atas, tempat pakan yang kecil menyebabkan pakan tercecer dan bercampur dengan kotoran unta sendiri sehingga dapat tercemar oleh telur. Pada musim kemarau saat rumput kurang, unta betina di TRMS Serulingmas ini mempunyai kebiasaan yaitu memakan kotoran mereka sendiri (coprophagy). Hal ini sangat mendukung terjadinya reinfeksi terhadap cacing khususnya jenis Trichuris spp. yang siklus hidupnya bersifat langsung atau tanpa inang antara. Pemisahan kandang kedua unta terbukti dapat mencegah terjadinya penularan kecacingan di antara unta. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada Oxy (jantan). Pemisahan kandang dapat dilakukan pada jenis hewan lainnya untuk program pemberantasan kecacingan. Sebulan sebelum penelitian dilakukan, seluruh unta sudah dilakukan deworming menggunakan obat anti cacing atau (antelmintik). Kedua unta diberikan anthelmintik jenis albendazole. Oxy (jantan) diberikan antelmintik secara rutin selama tiga hari berturut-turut, sedangkan Rubi (betina) hanya diberikan sekali karena kondisinya sedang bunting. Dari cara pemberian dapat disimpulkan bahwa pemberian obat tiga kali berturut-turut terbukti lebih efektif,

35 24 hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya infeksi cacing pada unta jantan (Oxy). Pemberian sekali dosis hanya dapat menurunkan tingkat infeksi kecacingan namun tidak dapat memberantas secara keseluruhan. Penggunaan antelmintik albendazole secara periodik juga dapat menyebabkan kemunculan kembali infeksi kecacingan. Hal ini juga dijelaskan oleh Keysker et al. (2008) bahwa penggunakan antelmentik secara periodik dapat menyebabkan pengulangan infeksi kecacingan. Adanya telur cacing dalam tinja setelah pemberian benzimidazole dan pyrantel adalah 1 bulan, untuk ivermectin adalah 8 minggu, sedangkan untuk moxidectine adalah 12 minggu. Jenis obat yang diberikan juga berbengaruh terhadap keberhasilan pengobatan seperti diungkapkan Jarvinen (2005) bahwa penggunaan albendazole secara oral dapat mengurangi 100% telur tipe Strongyloid namun hanya mengurangi sekitar 60-80% telur tipe Trichurid. Pemberian albendazole pada betina bunting juga dapat menyebabkan terjadinya kolik, gejala ini muncul satu dari tiga betina bunting. Penggunaan antelmintik thiabendazole (preparat satu golongan dengan albendazole) pada unta juga pernah dilaporkan Chandrasekharan et al. (1970) bahwa thiabendazole dapat menurunkan 100% jumlah telur Trichostrongylus namun tidak berefek pada Trichuris. Pemakaian albendazole terbukti kurang efektif dan dapat membahayakan bagi betina yang sedang bunting. Penggunaan ivermectin dapat dijadikan pilihan karena dapat menurunkan jumlah telur Trichurid di atas 85% (Boyce et al. 1984) Belum ada literatur yang menjelaskan tentang derajat infeksi pada unta. Namun, pada jumlah infeksi cacing kali ini belum menunjukkan adanya gejala klinis pada hewan.

36 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ditemukan adanya infeksi cacing parasitik pada unta betina (Rubi) sedangkan pada unta jantan (Oxy) tidak ditemukan. 2. Jenis cacing parasitik yg menginfeksi adalah jenis cacing Trichuris spp. 3. TTGT yang diperoleh adalah sebesar 333 dengan gejala klinis kecacingan yang tidak/belum dapat untuk diamati. 4. Pemisahan kandang dapat mencegah terjadinya penularan 5. Penggunaan antelmentik albendazole secara berulang dapat menyebabkan pengulangan infeksi. Saran Perlunya dilakukan penelitian serupa di tempat yang berbeda untuk menambah data kecacingan pada unta serta pengaruh manajemen pengelolaan terhadap kasus kecacingan. Perlunya Penerapan manajemen pakan, perkandangan serta kesehatan yang baik guna mencegah terjadinya infeksi kecacingan pada unta. Tindakan pencegahan, seperti pengolahan dan pemberian pakan yang baik serta diakukan tindakan deworming. Antelmintik yang disarankan untuk pemberantasan Trichuris spp. adalah ivermectin. Tindakan lain yang perlu dilakukan adalah peningkatan kebersihan kandang guna mencegah terjadinya reinfeksi.

37 DAFRAT PUSTAKA Anwar M, Hayat CS Gastrointestinal parasitic fauna of camel (Camelus dromedarius) slaughtered at Faisalabad abattoir. Pakisan Jornal of Bioogical Science, 2 (1): Banaja AA, Gandhour AM A Review of parasites of camel (Camelus dromedarius) in Saudi Arabia. JKAU: Sci. 6 : Boyce W, Kollias G, Courtney CH, Allen J, Chalmers E Efficacy of ivermectin against gastrointestinal nematodes in dromedary camels. J Am Vet Med Assoc. 185 (11): Brown A A Review of Camel Deseases in Central Australia. Alice Springs: Australia [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010a. Taenia spp. [terhubung berkala]. [20 Desember 2010a] [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010b. Trematoda. [terhubung berkala]. [20 Desember 2010b] [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010c. Trichuris spp. [terhubung berkala]. [20 Desember 2010] Chandrasekharan K, Nair KPD, Sundaram RK, Peter CT On the use of 'thiabendazole' against Trichostrongylus and Trichuris infections in camel (Camelus dromedarius). Kerala Journal of Veterinary Science. 1 (2): [DEWHA] Department of the Environment, Water, Heritage and the Arts. Australia Camel fact sheet. Australia Dyah Pengantar Parasitologi. Jogjakarta: UII [FAO] Food and Agriculture Organization Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology. Trichuris.htm [1 Desember 2010] Harwinanto L Kecacingan pada Onta Punuk Satu (Camelus domedarius) di Taman Margasatwa Ragunan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

38 27 Hosie AM Biodiversity & Conservation. [terhubung berkala]. [20 Desember 2010] Huffman B Camelus dromedaries. [terhubung berkala]. [10 Desember 2010] Jarvinen JA Anthelmintics for Use in Camelids. Iowa State University: USA Keysker M. Bakker J, van den Berg M, vandoorn DCK, Ploeger HW The use ofa ge clustered pooled faecal samples for monitoring worm control in horses. Journal Veterinary Parasitology, 151: Kusumamihardja S Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Levine ND Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Magzoub M, Omer OH, Haroun EM, Mahmoud OM Effect of season on gastrointestinal nematode infection in Saudi Arabian camels (Camelus dromedarius). Journal of Camel Practice and Research, 7 (1): Mahran OM Some epidemiological and parasitological studies on prevalence of gastrointestinal parasites of dromedary camels at Shalatin Region, Red Sea Governorate, Egypt and trials of treatment. Assiut Veterinary Medical Journal, 52 (111): Mohammed AK, Sackey AKB, Tekdek LB, Gefu JO Common health problems of the one humped camel (Camelus dromedarius) introduced into sub-humid climate in Zaria, Nigeria. Research Journal of Animal Sciences 1 (1): 1-5 Mukasa-Mugerwa The Camel (Camelus dromedarius): a Bibliographycal Review. Addis Ababa: Ethiopia. Naumann Camelus dromedarius. US: University of Michigan. _dromedarius.html [20 Juli 2009] Olsen OW Animal Parasites. University Park Press: USA

39 28 [PNRI] Portal Nasional Republik Indonesia Wisata Kabupaten Banjarnegara. &id=4839&itemid=1475 [20 Agustus 2009] Rahman AMB, Osman AY, Hunter AG Parasites of the one-humped Camel (Camelus dromedarius) in the Sudan:A review. The Sudan Journal Veterinary Research 17 Saeed A, Hussain MM, Gopal C, Al Yousuf RJ Gastrointestinal parasites of camels in United Arab Emirates. Indian Journal of Animal Sciences, 76(8): Serulingmas Populasi Satwa Serulngmas. Banjarnegara: Serulingmas Shulaw W Fecal Egg Counts: What Di They Tell Us? Dalam Sheep Team Newsletter. Edisi Sempetmber [20 Juli 2009] Soulsby EFL Helminths, Athropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindall. Sumarwoto Beragam Pesona dari Banjarnega. [2 Mei 2009] Taylor MA, Coop RL, Wall RL Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing. Tubitak Trematoda. [terhubung berkala]. [3 Januari 2011] Vanessa O, Ezenwa, Jolles AE Horns Shonestly Advertise Parasite Infection in Male and Female African Bufallo. Journal Animal Behaviour, 75:

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius)

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) TINJAUAN PUSTAKA Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Taman Rekreasi Margasatwa (TRMS) Serulingmas terletak di hutan kota Banjarnegara yang dihijaukan sejak tahun 1994. Taman ini berada kurang lebih satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica 14 TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit 39 BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

Kolokium: Ulil Albab - G

Kolokium: Ulil Albab - G Kolokium: Ulil Albab - G34100119 Ulil Albab (G34100119), Achmad Farajallah, Dyah Perwitasari, Eksplorasi Endoparasit pada Koleksi Hewan Kebun Binatang di Taman Margasatwa. Makalah Kolokium departemen Biologi

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN BAB 1. PENDAHULUAN Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, harus terus ditangani karena kebutuhan itu semakin bertambah disebabkan oleh pertambahan

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Novese Tantri 1, Tri Rima Setyawati 1, Siti Khotimah 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Jusmaldi dan Arini Wijayanti Jurusan Biologi FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik A. Karakteristik PLATYHELMINTHES 1.Tubuh terdiri atas 3 lapisan sel: ektodermis, mesodermis, dan endodermis (triploblastik) 2. Hidup bebas atau parasit 3. Alat ekskresi berupa sel api 4. Alat pencernaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI SUAKA RHINO SUMATERA RIZQI PUTRATAMA FAKULTAS

Lebih terperinci

Persentase positif

Persentase positif ISSN : 1411-8327 Kecacingan Trematoda pada Badak Jawa dan Banteng Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon PREVALENCE OF TREMATODES IN JAVAN RHINOCROS AND BANTENG AT UJUNG KULON NATIONAL PARK Risa Tiuria 1,

Lebih terperinci

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar IDENTIFY OOCYST OF ISOSPORA SPP. IN FAECAL CATS AT DENPASAR Maria Mentari Ginting 1, Ida Ayu Pasti Apsari 2, dan I Made Dwinata 2 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar Prevalence Parasites Gastrointestinal Cow Based On Maintenance Pattern In Indrapuri

Lebih terperinci

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA Dalam perkembangbiakannya,invertebrata memiliki cara reproduksi sebagai berikut 1. Reproduksi Generatif Reproduksi generative melalui fertilisasi antara sel kelamin jantan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA MADRASAH ALIYAH NEGERI SURADE 2016 KATA PENGANTAR Assallamu alaikum

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar (THE PREVALENCE OF HELMINTH INFECTION IN CATTLE GASTROINTESTINAL NEMATODES BALI IN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan 25 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan Januari selama satu bulan. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari. Pukul 06:00

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS Sulinawati 1), Saputra, I G.N.A. W.A 2), Ediwan 3), Priono, T.H. 4), Slamet 5), Candra,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang Gastrointestinal Helminths of The Syrian Hamster Mesocricetus auratus (Waterhause,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: Cacing Tanah (Lumbricus terrestris) I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus digestorius

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN

INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK SIONITA GLORIANA GUNAWAN. B04104180. Infestasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) de Wit. 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta

Lebih terperinci

POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING PADA TINJA LANDAK JAWA (Hystrix javanica)

POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING PADA TINJA LANDAK JAWA (Hystrix javanica) 1 POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING PADA TINJA LANDAK JAWA (Hystrix javanica) MUHNI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 3 ABSTRACT MUHNI. Defecation Pattern and Study

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

CACING TANAH (Lumbricus terrestris) CACING TANAH (Lumbricus terrestris) Kode MPB2b Fapet I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus

Lebih terperinci

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali (Epidemiology of Helminthiasis in Cattle in Bali Province )

Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali (Epidemiology of Helminthiasis in Cattle in Bali Province ) Epidemiologi Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali (Epidemiology of Helminthiasis in Cattle in Bali Province ) Ni Made Arsani, I Ketut Mastra, NKH Saraswati, Yunanto, IGM Sutawijaya Balai Besar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya melakukan pemeriksaan parasit cacing pada ternak sapi dan melakukan observasi lingkungan kandang

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

METODE LARVALCULTURE SEBAGAITEKNIKUNTUK MENGIDENTIFIKASI JENIS CACING NEMATODA SALURAN PERCERNAAN PADARUMINANSIAKECIL

METODE LARVALCULTURE SEBAGAITEKNIKUNTUK MENGIDENTIFIKASI JENIS CACING NEMATODA SALURAN PERCERNAAN PADARUMINANSIAKECIL METODE LARVALCULTURE SEBAGAITEKNIKUNTUK MENGIDENTIFIKASI JENIS CACING NEMATODA SALURAN PERCERNAAN PADARUMINANSIAKECIL Zaenal Kosasih Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor Domba merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Sistem Pencernaan Pada Hewan Sistem Pencernaan Pada Hewan Struktur alat pencernaan berbeda-beda dalam berbagai jenis hewan, tergantung pada tinggi rendahnya tingkat organisasi sel hewan tersebut serta jenis makanannya. pada hewan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta Hasil penangkapan ikan air tawar dari Kali progo, Yogyakarta diketahui terdapat 7 jenis

Lebih terperinci

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B04103159 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

RINGKASAN. Kata kunci : Cacing nematoda, Kuda, Prevalensi, Kecamatan Moyo Hilir, Uji apung. SUMMARY

RINGKASAN. Kata kunci : Cacing nematoda, Kuda, Prevalensi, Kecamatan Moyo Hilir, Uji apung. SUMMARY RINGKASAN Kuda di daerah Sumbawa memiliki peran penting baik dalam bidang budaya maupun bidang ekonomi. Kesehatan kuda sesuai perannya harus diperhatikan dengan baik. Kuda dapat terserang penyakit baik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu

Lebih terperinci