BAB II KAJIAN PUSTAKA. ini. Konsep dasar yang digunakan dalam menganalisis konvergensi dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. ini. Konsep dasar yang digunakan dalam menganalisis konvergensi dan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Dalam kajian pustaka ini diuraikan penelitian yang terkait dengan disertasi ini. Konsep dasar yang digunakan dalam menganalisis konvergensi dan divergensi ini adalah konsep konvergensi dan divergensi, konsep variasi bahasa, konsep pemahahaman timbal balik (mutual intelligibility), konsep ciri pembeda, konsep korespondensi dan variasi, dan konsep inovasi dan retensi. Selanjutnya, kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori dialektologi generatif, akomodasi, migrasi bahasa, dan linguistik historis komparatif. 2.2 Penelitian yang Terkait Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan teori akomodasi dan yang mengkaji masalah konvergensi dan divergensi linguistik, antara lain Giles dkk, Masinambow, Thakerar, Platt dkk, Trudgill, dan peneliti lainnya yang mengkaji masalah yang mirip. H. Giles, Donald M. Taylor dan Richard Bourhis (1973) dalam Towards a Theory of Interpersonal Accommodation through Language: Some Canadian Data menyimpulkan bahwa terdapat empat belas kategori akomodasi tutur dalam penutur English-Canadian (EC) dalam bentuk pesan-pesan yang direkam. Keempatbelas kategori ini terjadi dalam empat kondisi, yaitu Nonfluent English, 56

2 Fluent English, Mix-mix, dan French. Kategori akomodasi yang penting mencakup istilah orientasi penyesalan pendengar (listener-oriented regrets). Bentuk akomodasi ini terjadi ketika penutur EC mengekspresikan permintaan maaf pada pendengar French-Canadian (FC) dalam bentuk sebuah rekaman. Dalam hal ini kemampuan berbahasa Prancis penutur EC tidak cukup baik untuk mendeskripsikan pernyataan tersebut. Pada penelitian tersebut dibedakan empat jenis akomodasi yang digunakan oleh EC dalam menyampaikan pesan antara lain, dua pesan EC yang alami dalam empat kondisi (Nonfluent English, Fluent English, Mix-mix, dan French), yaitu akomodasi pesan (accommodating messages) dan bukan akomodasi pesan (nonaccomodating messages); dua akomodasi pesan EC yang alami dalam tiga kondisi (Nonfluent English, Fluent English, dan French), yaitu akomodasi pesan yang sempurna (fully accommodated messages) (mis, berbicara dalam bahasa Prancis) dan akomodasi pesan yang parsial (partially accommodated messages). Pada sisi lain Masinambow (1977) mengkaji masalah konvergensi dalam disertasinya yang berjudul Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah. Pembahasan yang dilakukannya berkenaan dengan konvergensi urutan konstituen sintaksis dari bahasa Tobelo dan bahasa Melayu Halmahera. Istilah yang digunakan adalah konvergensi ke (arah), tidak ada konvergensi, dan konvergensi dengan. Istilah konvergensi ke (arah) hanya digunakan jika menyangkut dua bahasa yang berbeda jenis dan salah satu tidak mengikuti urutan konstituen yang 57

3 sesuai dengan konstituen yang khas bagi jenis bahasa yang kedua. Istilah konvergensi dengan digunakan menurut sudut pandang bahasa yang kedua itu, yaitu bersama-sama dengan kasus-kasus mengenai bahasa sejenis yang memperlihatkan urutan konstituen yang sama dan sesuai dengan jenisnya itu. Istilah tidak ada konvergensi digunakan jika salah satu bahasa tidak sesuai urutan konstituennya dibandingkan dengan urutan konstituen kedua bahasa yang lain. Kajian akomodasi kembali diulas oleh J. Platt (1980) dalam The Relation between Accommodation and Code Switching in a Multilingual Society: Singapore. Disimpulkan bahwa dalam ranah campuran antara keluarga dan teman terutama yang jelas berbeda verbal reportoar di antara para partisipannya dibutuhkan strategi yang dapat memecahkan konflik yang muncul akibat berbedanya keperluan berakomodasi. Strategi ini selalu ditandai dengan alih kode, baik yang spontan maupun yang diminta (langsung atau tidak langsung). Tipe strategi ini bisa berbeda menurut situasi dan keberhasilannya dan selalu bergantung pada pencapaiannya, paling tidak sementara, yaitu suatu sisi pendekatan sebuah kondisi yang seolah-olah mirip dalam verbal reportoar. Pada tahun 1984 John Platt dan Heidi Weber kembali membahas akomodasi dalam Speech Convergence Miscarried: an Investigation into Inappropriate Accommodation Strategies dan menyimpulkan bahwa adanya interferensi dari latar belakang bahasa dan dari strategi budaya dalam komunikasi 58

4 antarkelompok etnik di Singapura yang berbeda menjadi alasan gagalnya akomodasi dalam pertukaran tuturan terutama antara imigran dan penutur Inggris asli. Selain itu, tidak adanya pengetahuan yang cukup dalam strategi komunikatif dan variasi gaya dalam variasi bertutur terutama bagi mereka yang telah menanggalkan kewarganegaraannya (ekspatriatis) dan berdomisili di Singapura. Misalnya, seorang ekspariatis yang edukatif menggunakan bahasa percakapan Inggris Singapura yang rendah (colloquial basilect) dalam situasi informal atau menggunakan bahasa percakapan itu dengan penutur yang berbahasa rendah (basilektal). Kesalahan konvergensi adalah ketika orang-orang Singapura menggunakan bahasa Inggris formal, bergaya sastra, atau arkais dalam percakapan kepada para turis atau ekspatriatis; dan pekerja imigran menggunakan bahasa percakapan Australia yang arkais ketika berbicara dengan sesama pekerja Australia. Teori akomodasi juga telah dipergunakan Trudgill (1986) dalam Dialect and Contact. Dia meneliti tentang kecenderungan penutur memodifikasi tuturannya. Sebelumnya, Trudgill (1983) dalam Language Contact in Greece juga secara tersirat sebenarnya telah menggunakan teori akomodasi, hanya saja ketika meneliti proses pembentukan bahasa pidgin dan kreol, dia menggunakan istilah reduction, simplification, stability, dan unintelligibility. Keempat istilah tersebut sebenarnya muncul karena adanya kecenderungan seseorang untuk berakomodasi. Demikian juga halnya dengan Hamers dan Blanc (1989) dalam 59

5 Bilinguality and Bilingualism dan Holnecht (1994) dalam artikelnya The Mechanism of Language Change in Labu. Asmah (1996) juga menggunakan teori akomodasi dalam Beberapa Persoalan Teoretis mengenai Bahasa Standard dan Penstandardan Bahasa. Dikatakannya bahwa akomodasi sebagai proses penyesuaian berlaku apabila penutur mencoba menyesuaikan bahasanya dengan mitra tuturnya. Penyesuaian ini dapat terjadi pada aspek fonologi, tatabahasa, dan leksikal. Dhanawaty (2002) dalam disertasinya yang berjudul Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah mencoba mengaitkan teori akomodasi dalam penelitian dialektologi. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bahasa Bali di Lampung tengah secara fonologis berbeda dengan bahasa Bali di daerah asalnya di Bali. Keberbedaan ini tercermin pada variasi distribusi dan realisasi fonem. Variasi-variasi itu sebagian besar muncul karena adanya kecenderungan berakomodasi pada penutur bahasa Bali di Lampung Tengah. Kecenderungan berakomodasi tertinggi di daerah itu terdapat pada penutur lek Nusa Penida, kelompok usia muda, di desa Rama Dewa. Perilaku akomodatif mereka menyebabkan terjadinya suatu perbedaan terbesar yang terdapat di antara kelompok usia muda di desa Rama Dewa dan lek Nusa Penida di daerah asal. Arah akomodasi antarlek paling banyak tertuju ke lek Karangasem, sedangkan arah akomodasi antarbahasa paling banyak tertuju kepada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada saat akomodasi, pewicara memodifikasi tuturannya secara 60

6 fonologis sehingga semakin mirip dengan lek mitra wicara. Terdapat tujuh faktor penyebab terjadinya akomodasi, yaitu (1) meningkatkan efektivitas komunikasi, (2) mengurangi jarak sosial di antara peserta wicara, (3) menghapus stigma, (4) meningkatkan prestasi dan prestise, (5) mengurangi formalitas tutur, (6) meningkatkan formalitas tutur, dan (7) meningkatkan kesantunan tutur. Pada tahun 2004 Dhanawaty juga menulis tentang Teori Akomodasi dalam Penelitian Dialektologi dalam Jurnal Linguistik Indonesia. Selain itu, teori akomodasi komunikasi juga diterapkan oleh Dian Sulastri (2005) dalam makalahnya yang berjudul Konvergensi Linguistis Penutur Asli Bahasa Jawa terhadap Pemakaian Bahasa Melayu Palembang dalam Komunitas Pasar Tradisional di Palembang (makalah yang disajikan dalam Pertemuan Linguistik Asean, November 2005 di Jakarta). Disimpulkan bahwa fenomena yang terjadi dalam kontak bahasa menunjukkan upaya penutur asli bahasa Jawa membuat sebuah modifikasi terhadap bahasa Melayu Palembang agar sesuai dengan pola pemakaian bahasa Melayu Palembang atau agar konvergen. Akomodasi yang berlangsung secara intensif dan dalam jangka waktu lama (long term accommodation) bukan tidak mungkin akan menghasilkan sebuah varian bahasa yang baru, meskipun varian baru tersebut berawal dari kesalahan berbahasa yang mungkin berlangsung terusmenerus. Hasil penelitian tentang BMA yang pernah diteliti dan yang mendukung penelitian ini adalah Manurung (1978) Morfologi Bahasa Melayu Asahan. Dia 61

7 mendeskripsikan morfologi BMA berdasarkan teori struktural. Lubis, dkk. (1985) telah menyusun kamus Bahasa Melayu Asahan. Kamus ini telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta. Mulyadi dan Dwi Widayati (1993) telah membahas fonologi BMA berdasarkan teori struktural, yaitu Fonologi Bahasa Melayu Asahan yang diterbitkan Lembaga Penelitian USU. Mulyadi (1997) telah menulis dalam jurnal Komunikasi Penelitian USU tentang sistem konsonan bahasa Melayu Asahan dengan menggunakan teori generatif. Widayati (1997) dalam rangka penulisan tesis di UGM juga membahas BMA dari sudut pandang dialektologi. Peneliti ini mengambil fokus bahasa Melayu Asahan yang terdapat di sebelah timur Asahan, dengan mengambil delapan daerah pengamatan. Daerah timur Asahan dijadikan titik pengamatan karena mayoritas penutur Melayu berada di daerah tersebut. Titik berat kajian penelitian ini adalah upaya pengidentifikasian status dialek Melayu yang terdapat di timur Asahan. Selain itu, pada tahun yang berbeda (2001) peneliti yang sama mencoba menguraikan pengaruh migrasi etnik Minangkabau dan etnik Batak ke Timur Asahan terhadap keberadaan bahasa Melayu di Asahan. Penelitian ini melanjuti penelitian terdahulu dengan menambahkan sejumlah informasi terhadap keberadaan bahasa Melayu di Asahan. Pada tahun selanjutnya (2004) bersama rekannya dia mendeskripsikan kekerabatan dialek-dialek tersebut dengan membandingkannya dengan bahasa Melayu Purba. 62

8 Beberapa kajian dialektologi yang juga memberi sumbangan penting dalam kajian ini, terutama dalam upaya pemaparan hasil analisis kajian ini adalah Ayatrohaedi (1978) dalam penelitiannya yang berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Penelitian disertasi ini telah diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1985; Danie (1991) dalam disertasi yang telah diterbitkan berjudul Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut; Lauder (1993) dalam disertasinya yang juga telah diterbitkan berjudul Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang; Mahsun (1994) dalam disertasinya yang berjudul Dialek Geografis Bahasa Sumbawa ; Putra (2007) dalam disertasinya yang berjudul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi. Penerapan teori dialektologi generatif yang dilakukan Putra (2007) dalam penelitiannya memberikan sumbangan dalam penelitian ini terutama dalam analisis ciri pembeda. Demikian juga halnya dengan Fautngil (2007) dalam disertasinya yang berjudul Varietas-Varietas Bahasa di Lembah Grime Jayapura: Kajian Dialektologi Regional. Cara kerja mereka dalam mendeskripsikan variasi dialek memberi sumbangan pemikiran yang sangat berharga dan dijadikan sebagai perbandingan dalam menganalisis penelitian ini. 63

9 2.3 Kerangka Konsep dan Kerangka Teori Kerangka Konsep Konsep Konvergensi dan Divergensi Konvergensi dan divergensi yang merupakan proses dalam peristiwa tutur adalah dua aspek dalam akomodasi. Seseorang dalam bertutur atau berinteraksi selalu berusaha untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra tuturnya. Proses penyesuaian itu apabila menuju ke arah penyamaan tuturan dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Dengan kata lain seorang penutur berusaha mengakomodasikan tuturannya dengan mitra tuturnya agar tercapai keseimbangan atau kesesuaian di antara mereka. Weinreich (1954: 359 dalam Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill 2005: 2) mendefinisikan konvergensi sebagai kesamaan yang parsial yang selanjutnya meningkat pada adanya perbedaan. Konvergensi dan divergensi adalah gagasan yang berhubungan, yakni mengacu pada proses dan hasil dari proses tersebut. Selanjutnya, Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill (2005: 4) menjelaskan bahwa proses perubahan bahasa hanya menyelesaikan hal-hal yang ada dibalik perubahan bahasa, baik secara intrasistemik (misalnya, perubahan bunyi secara leksikal yang menyebar) maupun di antara variasi bahasa yang berdekatan (misalnya, dialek atau gaya/style). Dalam dialektologi tradisional banyak perhatian telah diberikan 64

10 pada variasi intrasistemik. Alam dan manusia dianggap berpotensi menjelaskan lokasi batas dialek sebagai hasil dari divergensi dialek (atau tidak konvergensi). Dalam Masinambow (1976: ) dijelaskan bahwa konvergensi terjadi karena adanya persamaan aspek struktur bahasa A dengan bahasa B atau sebaliknya pada masyarakat yang bilingualisme. Misalnya, persamaan pola urutan konstituen sintaksis tertentu. Persamaan pola dapat juga terjadi tanpa adanya persentuhan langsung antara bahasa A dan bahasa B. Ini terjadi karena adanya hubungan genetis (cognat) yang sama dari dua bahasa itu. Dalam rangka interaksi antaretnis (sehubungan dengan penelitiannya) persamaan pola sebelum persentuhan mengakibatkan pengukuhan (reinforcement) dari persamaan itu, sedangkan perubahan pola berbeda yang menjadi identik menghasilkan penyimpangan dari norma bahasa yang dipengaruhi. Dalam penelitian Mahsun (2005) dijelaskan bahwa terjadinya konvergensi dan divergensi dalam masyarakat bahasa adalah karena adanya kesepadanan adaptasi linguistik dengan adaptasi sosial. Adaptasi linguistik adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial yang melibatkan dua 65

11 kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi kehidupan yang solider dan harmoni di antara mereka. Apabila adaptasi sosial lebih tinggi (melalui adaptasi linguistik), akan terbentuklah kondisi harmoni, tetapi sebaliknya, apabila adaptasi sosial rendah, kondisi tidak harmonilah yang terbentuk. Ini berkaitan dengan penyesuaian bahasa atau pilih bahasa atau konvergensi dan divergensi bahasa. Di sini Mahsun menerapkan konsep konvergensi dan divergensi dengan menghubungkannya dengan situasi dalam masyarakat demi terciptanya keharmonisan dalam sosial masayakat. Konsep ini tidak sepenuhnya menjadi acuan dalam penelitian ini. Konsep konvergensi dan divergensi yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya masyarakat untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra wicaranya sehingga komunikasi di antaranya dapat terjalin. Munculnya variasi bahasa/dialek dalam kajian sosiolinguistik ditandai dengan adanya perbedaan daerah, status sosial penuturnya, usia, ragam, gender, dan keetnisan. Dengan mengandalkan teori ini, akan diperoleh variasi bahasa dari proses konvergensi dan divergensi karena penutur berusaha menyeimbangkan tuturannya. Penutur berusaha mengakomodasikan tuturan dengan mitra wicaranya atau sebaliknya, baik itu dengan cara penyederhanaan tuturan maupun pembakuan tuturan ke arah yang lebih formal. Semua tuturan 66

12 yang dihasilkan penutur ketika berinteraksi akan selalu bervariatif bergantung pada siapa yang bertutur, kepada siapa, bagaimana, kapan, dan topik apa. Dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini mengamati sejauh mana penutur dialek BMA mengakomodasikan tuturannya pada mitra tuturnya yang berbeda etnis. Jadi, konvergensi dan divergensi yang diamati dari peristiwa tutur ini adalah pilih bahasa atau campur bahasa yang akan muncul dan ini dapat disejajarkan dengan campur kode atau alih kode, yang merupakan peristiwa yang lazim dalam masyarakat yang multilingual. Linguistik historis komparatif (diakronis) diterapkan dalam penelitian ini juga mengamati bagaimana konvergensi dan divergensi dialek yang muncul. Apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari bahasa protonya, artinya telah terjadi konvergensi. Namun, apabila variasi itu merupakan bentuk yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri kekognatannya dengan bahasa proto atau tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa kognatnya, artinya telah terjadi divergensi. Divergensi merupakan pemisahan ketika terjadi inovasi, yaitu ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan mengalami pemisahan. Dalam Auer Peter, Hinskens Frans, dan Paul Kerswill (2005: 3) dijelaskan bahwa manifestasi dari divergensi dialek sangat tampak jelas dalam sejarah bahasa. Proses yang cukup panjang membedakan bahasa Proto Indo Eropa ke dalam keluarga bahasa dan keluarga bahasa ke dalam bahasa-bahasa 67

13 yang terjadi dalam prasejarah linguistik. Hasil divergensi direpresentasikan secara visual dalam garis cabang diagram pohon dalam linguistik sejarah. Dalam Mbete (2002:13) dijelaskan bahwa jika kesamaan dan kemiripan yang ditemukan setelah perbandingan yang dilakukan secara cermat dan sistematis tidak hanya dijelaskan sebagai pinjaman dari bahasa kerabat dan nonkerabat, tidak hanya diterima sebagai gejala kebetulan, dan tidak hanya diterima sebagai kecenderungan semesta, kekuatan divergensi menjadi tumpuan teoretis tentang adanya warisan bersama. Warisan bersama itu dihipotesiskan sebagai berasal dari protobahasa yang sama pula. Dengan demikian, melalui hipotesis keterhubungan keasalan dan hipotesis keteraturan perubahan, protobahasa dapat dijajaki dan dirakit kembali sebagai suatu sistem. Analisis konvergensi dan divergensi ini memanfaatkan sejumlah perubahan bunyi dari leksikon yang dibandingkan. Selain itu, linguistik historis komparatif dalam kajian ini juga dimanfaatkan dalam upaya penelusuran kekognatannya apakah lebih dekat pada bahasa penuturnya atau lebih dekat kepada bahasa mitra tuturnya. Bila penutur yang berakomodasi itu menggunakan bahasa Indonesia, penelusuran kognat dilakukan bertumpu pada bahasa Melayu. Pembakunya adalah Kamus Bahasa Melayu Wilkinson. Variasi bahasa yang dibandingkan, yaitu leksikon, disusun dalam perangkat ciri-ciri yang berkorespondensi dalam wujud korespondensi fonemis. Korespondensi dalam kajian ini disebut juga sebagai perubahan bunyi yang 68

14 muncul secara teratur, sedangkan yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Jadi, variasi-variasi bahasa yang muncul itu akan dikaji dengan teori ini apakah kemunculannya beraturan atau tidak beraturan. Langkah terakhir, setelah diperoleh perangkat ini adalah penelusuran bagaimana bahasa proto itu merefleksikan variasi itu. Singkatnya, kajian konvergensi dan divergensi dalam disertasi ini berlandaskan pada konsep dasar bahwa masyarakat yang berbeda latar belakang geografi, etnis, dan sejarah cenderung memodifikasi tuturannya menjadi sama atau berbeda dengan gaya tutur mitra tuturnya. Masyarakat yang selalu cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam berinteraksi sehingga tuturannya menjadi sama merupakan proses konvergensi. Sebaliknya, apabila ada kecenderungan untuk memodifikasikan tuturan sehingga menjadi tidak mirip atau berbeda merupakan proses divergensi. Terjadinya pemodifikasian tutur melalui peristiwa konvergensi dan divergensi menyebabkan terjadinya perubahan dalam bahasa, tetapi perubahan yang dihasilkan berbeda. Perbedaan perubahan ini juga terjadi karena tidak semua pelaku konvergensi dan divergensi memodifikasi fitur linguistik yang sama pada derajat yang sama dan situasi yang sama. Di samping itu, juga tidak semua penutur berkonvergensi atau berdivergensi pada situasi tutur tertentu. Perubahan yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya variasi bahasa (lihat Francis 1983: 15 dalam Dhanawaty 2004: 2). 69

15 Apabila masyarakat yang merupakan komunitas tutur itu terpisah dengan komunitas tutur lainnya, berada dalam wilayah geografi yang berbeda, lama-kelamaan akan mengalami pergeseran, baik lafal maupun kosa katanya. Dalam kajian dialek peristiwa akomodasi ini termasuk dalam jenis akomodasi jangka panjang (long-term accomodation) (lihat Trudgill 1986) karena sifatnya menjadi permanen dan menjadi identitas bagi sekelompok komunitas yang berbeda latar belakang sejarah atau geografi. Pada sisi lain, adanya upaya menyamakan tuturan dengan mitra tuturnya karena adanya perbedaan sosial dan situasi tutur yang juga dapat mewujudkan konvergensi dan divergensi bahasa/dialek termasuk dalam jenis akomodasi jangka pendek (short-term accomodation) karena sifatnya tidak permanen. Namun, sifat yang tidak permanen ini apabila berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan perubahan/pergeseran yang diwujudkannya, akibat adanya keinginan untuk berakomodasi, akan dapat menjadi suatu identitas atau ciri yang permanen dalam suatu komunitas tutur. Selanjutnya, identitas itu tetap ada ketika mereka berinteraksi dengan latar sosial dan situasi yang berbeda. Dalam kajian lingusitik diakronis gejala seperti ini dapat disejajarkan dengan variasi untuk akomodasi jangka pendek dan korespondensi untuk akomodasi jangka panjang. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa konvergensi dan divergensi dapat dikaji secara sinkronis maupun diakronis. Kedua-duanya bertumpu pada 70

16 usaha menyamakan dan membedakan. Dalam kajian sinkronis adanya akomodasi tuturan dari para peserta tutur dapat berwujud konvergensi dan divergensi. Apabila proses penyesuaian itu menuju ke arah penyamaan tuturan dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Secara diakronis, disebut konvergensi apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari bahasa protonya. Sebaliknya disebut divergensi apabila variasi itu merupakan bentuk yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri kekognatannya dengan bahasa proto maupun tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa kognatnya Konsep Variasi Bahasa Istilah variasi dalam konsep penelitian ini merupakan padanan dari kata variety dan bukan variation. Variation dipadankan dengan kevariasian atau keragaman. Karena itu, istilah variasi di sini dapat disejajarkan dengan ragam (menurut istilah yang dipakai oleh Asim Gunarwan). Variasi bahasa bukan hanya terjadi karena penuturnya tidak homogen, melainkan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan juga beragam. Secara garis besar variasi dapat dibedakan atas variasi yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Variasi yang bersifat internal terjadi karena adanya faktor-faktor intralinguistik, misalnya mencakup perbedaan 71

17 realisasi morfem {-s} pemarkah jamak dalam bahasa Inggris yang direlisasikan sebagai [s], [z], [iz], atau [Ø]. Variasi yang bersifat eksternal terjadi karena adanya faktor-faktor ekstralinguistik, seperti perbedaan wilayah, dimensi sosial, dan situasi tutur. Variasi yang bersifat internal lebih hakiki, yang merupakan ciri alamiah sebuah bahasa dan ini dianggap sebagai variasi dalam linguistik, sedangkan variasi yang bersifat eksternal bukan ciri yang hakiki dan karenanya mudah berubah sesuai dengan faktor-faktor eksternal tadi. Sehubungan dengan pandangan de Sussure, keragaman bahasa terjadi pada tingkat parole dan bukan pada tingkat langue, sedangkan variasi atau ragam berada pada tingkat langue. Alasannya adalah karena dalam wujud ragam/variasi itu telah terkandung aspek sosial yang turut membentuk variasi tersebut dan akhirnya menjadi sistem dalam variasi bahasa/dialek tersebut. Ini dapat disejajarkan dengan etik dan emik (konsep Pike). Karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dan dialektologi variasi yang dikaji adalah variasi bahasa yang bersifat eksternal (band. Nababan 1984 dan Gunarwan 2004). Variasi bahasa dapat dibedakan berdasarkan (a) latar belakang geografi, (b) latar belakang sosial penutur, (c) medium yang digunakan, (d) pokok pembicaraan, dan (d) latar belakang sejarah. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang geografi disebut dialek. Dialek ini lazim disebut sebagai dialek regional atau dialek geografi. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang sosial penuturnya disebut juga sosiolek atau dialek sosial. Dialek ini 72

18 berkenaan dengan dimensi sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Variasi yang ketiga, yaitu berdasarkan medium yang digunakan adalah bahasa tulis dan bahasa lisan. Berdasarkan pokok pembicaraan bahasa dibedakan atas bahasa ilmu, bahasa hukum, bahasa niaga, bahasa jurnalistik, dan bahasa sastra. Variasi yang terakhir, yaitu berdasarkan latar belakang sejarah atau variasi historis, dibedakan atas bahasa yang inovatif dan bahasa konservatif. Kedua jenis variasi yang terakhir ini diacu dari sejauhmana bahasa tuturan mengalami perkembangan dari bahasa protonya. Bila bertahan atau terwaris secara linier berarti konservatif. Sebaliknya, bila mengalami perubahan atau pergantian disebut inovatif. Variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis merupakan objek kajian dialektologi, sebaliknya, variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register merupakan objek kajian sosiolinguistik. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Halliday. Halliday (1979: 184 dan lihat juga Kridalaksana 1993: 42) mengklasifikasikan variasi bahasa sebagai dialek dan register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Lebih lanjut Petyt (1980: 11 16) berpendapat bahwa dialek adalah variasi yang berbeda dari bahasa yang sama. Istilah dialek mengacu pada 73

19 perbedaan antara jenis-jenis bahasa yang berbeda kosa kata atau bahasanya, begitu pula pelafalannya. Hal ini berbeda dengan aksen yang semata-mata mengacu pada perbedaan lafal. Pada kajian dialek, variasi bahasa tidak hanya dapat direkam dalam wilayah geografi dan variasi bahasa tidak semata-mata bergantung pada transkripsi fonetis saja tanpa memperhatikan sistem dan struktur bahasa atau dialek yang diperamati. Kajian dialek harus memahami bahwa variasi bahasa dapat muncul karena bahasa mempunyai sistem tersendiri dan mempunyai sistem fonemik dalam struktur fonologi bahasa tersendiri. Sistem fonemik, misalnya dapat dikaji berdasarkan prinsip (1) penyebaran bunyi yang saling melengkapi, (2) kesamaan bunyi, (3) adanya pasangan minimal (Petyt 1980: ; Chambers dan Trudgill 2004: 43-35). Kajian dialek yang berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda disebut geografi dialek. Wardhaugh (1988: 42) menjelaskan bahwa geografi dialek adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan usaha pembuatan peta pada distribusi ciri-ciri variasi linguistik yang menunjukkan asal lokasi bahasa tersebut. Selanjutnya, variasi-variasi linguistik tersebut sampai pada usaha memetakan sebagaimana langkah akhir penelitian geografi dialek. Selanjutnya, Trudgill (1984: 33) memberikan gambaran tentang tujuan kerja dialektologi, yaitu membuktikan kesinambungan dan perkembangan sejarah bahasa dan menyediakan sebagai suatu dasar sejarah terhadap studi 74

20 lebih lanjut yang dapat diukur. Seorang dialektolog secara khusus memusatkan perhatian pada perekaman dan pemeliharaan dialek yang lebih kuno sebelum dialek tersebut punah. Beberapa ahli memberi pendapat tentang kerja dialektologi, seperti Bloomfield (1995: ) mengatakan bahwa geografi dialek tidak hanya membantu kita untuk mengilhami fakor-faktor di luar bahasa, tetapi juga melalui bukti-bukti berupa bentuk-betuk peninggalan dan stratifikasistratifikasi, memberikan banyak hal yang terperinci mengenai sejarah setiap bentuk. Begitu juga dengan Collins (1986: 75) mengatakan bahwa penyelidikan geografi dialek sangat penting untuk menentukan batas-batas dialek serta menyelidiki jaringan dialek dari segi linguistik. Berdasarkan uraian di atas semakin jelas bahwa variasi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis. Kajian variasi regional dalam penelitian ini adalah mengamati kemungkinan variasi dialek yang muncul dari dua dialek yang dituturkan oleh peserta tutur saat berinteraksi. Kedua dialek tersebut adalah DTB dan DBB yang status kedialektalannya telah diuji secara geografis dan historis. Kajian variasi sosial yang dimaksudkan di sini adalah mengamati variasi dialek yang muncul saat peserta tutur yang berbeda etnis berinteraksi. Selanjutnya, kajian variasi historis adalah membandingkan variasi dialek yang muncul dari dua kajian sebelumnya dan kemudian membandingkannya dengan bahasa proto. 75

21 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek kajian dialektologi yang mengamati variasi bahasa adalah variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis. Ini berbeda dengan objek kajian sosiolinguistik yang mengamati variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register. Dialek adalah variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Variasi regional adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan tempat atau daerah. Variasi sosial adalah variasi bahasa/dialek berdasarkan perbedaan sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Jadi, variasi bahasa adalah keragaman yang terjadi karena adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan peserta tutur sangat beragam. Variasi bahasa ini bersifat internal dan eksternal. Bersifat internal karena adanya perbedaan di dalam bahasa itu sendiri, seperti perbedaan fonologi, sedangkan bersifat eksternal adalah karena adanya perbedaan di luar bahasa, seperti perbedaan geografi, sosial, sejarah, dan sebagainya Konsep Pemahaman Timbal Balik (Mutual Intelligibility) Istilah mutual intelligibility atau pemahaman timbal balik pertama kali dikemukakan oleh Voegelin dan Haris (1951) untuk menyatakan persetujuan pada pendapat Guiraud (1978: 28 dalam Mahsun 1995: 112). Dijelaskan 76

22 bahwa pada dua bahasa atau dialek yang bertetangga akan terjadi proses peminjaman unsur-unsur kosa kata, struktur, dan cara pelafalan. Hal ini mengisyaratkan bahwa telah ada pemahaman timbal balik antara dua bahasa atau dialek yang bertetangga. Lebih lanjut, Mahsun (1995: 113) menjelaskan bahwa pemahaman timbal balik memiliki prinsip bahwa jarak spasial berbanding lurus dengan tingkat pemahaman. Maksudnya, suatu daerah pakai isolek memiliki pemahaman timbal balik sesuai dengan jarak kedekatannya dengan pusat penyebaran. Semakin dekat dengan pusat penyebaran, semakin tinggi tingkat pemahaman timbal baliknya. Sebaliknya, semakin jauh dari pusat penyebaran, semakin rendah pemahaman timbal baliknya. Namun demikian, terdapat mata rantai pemahaman (continuum). Konsep pemahaman timbal balik ini dapat disejajarkan dengan teori gelombang Scmidt ( ). Dikatakan bahwa bahasa-bahasa digunakan secara berantai dalam suatu wilayah tertentu dan dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Perubahan-perubahan ini menyebar ke semua arah, seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam yang disebabkan oleh barang yang dijatuhkan ke dalam kolam itu. Dengan kata lain, perubahan-perubahan linguistik dapat tersebar seperti gelombang pada sebuah wilayah bahasa dan tiap perubahan dapat meliputi suatu wilayah yang tidak tumpang tindih dengan wilayah terdahulu. Daerah yang berdekatan 77

23 dengan pusat penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan penyebarannya (lihat Saussure 1988 [terj]: dan Keraf 1984: 110). Konsep pemahaman timbal balik antarpenutur secara kualitatif merupakan parameter pembeda pengertian dua istilah, yaitu bahasa dan dialek. Secara kuantitatif pembeda bahasa dan dialek dapat dilakukan dengan perhitungan statistik (yaitu, dialektometri). Jika parameter pemahaman timbal balik diterapkan secara kualitatif, penutur bahasa yang berbeda atau dialek yang berbeda dapat diamati pada tingkat pemahaman timbal baliknya, yaitu ada yang tinggi dan ada yang rendah atau bahkan sangat rendah sehingga tidak tercapai lagi efek komunikasi antarpenutur. Bila kadarnya tinggi, yang dihadapi bukan bahasa melainkan dialek. Sebaliknya, jika tingkatnya rendah atau sangat rendah dan tidak terjadi pemahaman timbal balik, yang dihadapi bukan dialek melainkan bahasa (band. Fernandez 1992). Chambers dan Trudgill (2004: 3-4) membedakan konsep bahasa dengan dialek menggunakan konsep pemahaman timbal balik. Dijelaskan bahwa bahasa adalah sekumpulan dialek yang bersifat saling memahami (mutually intelligible) antara satu dengan lainnya. Konsep ini mengimplikasikan bahwa penentuan isolek sebagai dialek/subdialek bertumpu pada prinsip: Apabila penutur-penutur dari satu atau lebih sistem isolek yang melakukan kontak dengan menggunakan isoleknya masing-masing terdapat pemahaman timbal balik satu sama lain, isolek-isolek tersebut merupakan 78

24 dialek/subdialek dari satu bahasa; sebaliknya, apabila dalam kasus di atas tidak terdapat pemahaman timbal balik, isolek-isolek itu harus dianggap masing-masing sebagai bahasa yang berbeda. Namun, penentuan bahasa, dialek, atau subdialek dengan cara pemahaman timbal balik tidak selalu tegas. Dua isolek yang secara geografis berdekatan letaknya akan dapat memahami satu sama lain tanpa kesulitan, sehingga kita mengatakan mereka berbicara dalam bahasa yang sama, meskipun di antara sistem isoleknya terdapat perbedaan kosa kata, gramatika, ataupun sistem fonologi. Namun, jika penutur dari dua wilayah yang berlawanan yang secara geografis berjauhan melakukan komunikasi dengan menggunakan isoleknya sendiri-sendiri, mungkin saja antarmereka tidak lagi terjadi pemahaman timbal balik karena perbedaan di antara isoleknya begitu tinggi jumlahnya. Secara umum terdapat tingkat-tingkat pemahaman timbal balik antara pemahaman secara spontan dengan ketidakpahaman mutlak. Di sisi lain, pemahaman timbal balik mungkin terjadi pada pokok masalah tertentu, sedangkan pada pokok masalah yang lain tidak terdapat pemahaman timbal balik. Seorang Prancis misalnya, umumnya mengerti dengan mudah apa yang dikatakan orang Quebec, tetapi begitu ia menggunakan bahasa Inggris, ia mungkin mendapat kesulitan untuk berinteraksi dengan montir atau pelayan restoran. Seperti yang dinyatakan Martinet (1987: 150), bahwa pemahaman timbal balik yang pada mulanya tidak ada akan menjadi hilang 79

25 dan selanjutnya terjadi pemahaman timbal balik pada saat kewaswasan awal hilang dan beberapa korelasi sistematika mulai dikenali. Misalnya seorang Denmark dan seorang Norwegia akan saling memahami bahwa yang dikatakan [sk] oleh yang satu diucapkan [s] oleh yang lain, seperti pada kata [ski]. Kasus di Indonesia dapat diilustrasikan pada contoh bahasa Simalungun dan bahasa Karo. Dengan perjalanan sejarah yang cukup panjang kedua dialek ini menjadi dua bahasa yang berbeda. Namun, pada beberapa kosa kata masih dapat dipahami oleh kedua penutur yang berbeda itu, misalnya kata [mb rg h] dingin dalam bahasa Karo diucapkan [mborgoh] dingin dalam bahasa Simalungun. Analisis awal membuktikan bahwa ada perbedaan ucapan dalam kedua bahasa tersebut, yaitu [ə] dalam bahasa Karo berkorespondensi dengan [o] dalam bahasa Simalungun. Begitupun analisis lebih lanjut masih tetap diperlukan lagi (lihat juga Mahsun 1995: 114). Lebih lanjut Mahsun (1995: ) menguraikan bahwa adanya tingkatan dalam pemahaman timbal balik, serta adanya pokok-pokok masalah tertentu tempat terjadinya pemahaman timbal balik itu membuat kesulitan dalam menerapkan metode ini bagi penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek. Belum lagi ditambah oleh kemungkinan seorang linguis memasukkan unsur luar seperti unsur politis dalam penentuan tersebut sehingga meskipun terjadi pemahaman timbal balik, tetapi karena isolek itu digunakan pada negara yang berbeda, dianggap sebagai bahasa yang berbeda. 80

26 Sebagai contoh isolek-isolek Norwegia, Swedia, dan Denmark sekarang diangap sebagai bahasa yang berbeda meskipun antarpenuturnya masih terdapat pemahaman timbal balik. Demikian pula antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu Brunei. Meskipun terdapat pemahaman timbal balik, tetap dikatakan sebagai tiga bahasa yang berbeda karena perbedaan politis. Kesukaran penentuan istilah dialek atau bahasa selalu menjadi persoalan. Ada bermacam kriteria yang digunakan untuk menetapkan batas antara bahasa dan dialek. Perbedaan kriteria ini terjadi karena acuannya disesuaikan dengan sudut pandang linguistik yang dipilih. Dari segi ilmu bahasa struktural, bahasa merupakan sistem tanda yang berartikulasi ganda yang berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia (Martinet 1987: 32). Artikulasi ganda maksudnya, pengungkapan makna-makna lewat bentuk yang tidak terbatas jumlahnya dan bentuk tersebut diungkapkan dengan bantuan bunyi bahasa yang terbatas jumlahnya. Sebaliknya, dialek merupakan bahasa yang tersendiri karena mempunyai sistem tersendiri. Karena itu, dalam ilmu bahasa struktural tidak ada tempat untuk istilah dialek. Dari segi ilmu sosiolinguistik, bahasa sudah dibakukan sebagai bahasa budaya. Bahasa tersebut kemudian menjadi titik tolak untuk menilai bahasa lain. Apabila persamaan yang ada cukup tinggi dengan bahasa yang dipakai 81

27 sebagai parameter, tetapi belum dibakukan sebagai bahasa budaya, bahasa itu lazim disebut sebagai dialek. Di sini dialek mengandung konotasi negatif karena dalam arti ini dialek selalu merupakan penilaian dari hasil perbandingan dengan salah satu bahasa yang dianggap lebih unggul. Dalam ancangan linguistik diakronis, bahasa dan dialek termasuk rangkaian istilah yang menggambarkan bermacam-macam tingkat persamaan leksikal yang dapat ditemukan di antara pasangan variasi bahasa yang dibandingkan. Peringkat persentase tersebut dapat memberi penjelasan bagaimana hubungan dengan variasi bahasa tertentu pula. Mutual Intelligibility atau pemahaman timbal balik adalah adanya pemahaman antara dua peserta tutur saat berinteraksi. Namun, konsep pemahaman timbal balik antarpenutur dalam kajian dialek haruslah dibatasi pada bahasa/dialek yang berasal dari etimon yang sama atau serumpun. Perbedaan jarak waktu pisah dan letak geografis yang berjauhan akan memungkinkan pemahaman timbal balik antara dua dialek atau lebih akan semakin rendah, tetapi apabila jarak waktu pisah dan letak geografis berdekatan akan mungkin pemahaman timbal baliknya tinggi. Ini harus dibedakan dengan bilingualitas/multilingualitas seseorang terhadap bahasa yang tidak serumpun karena penutur yang bilingualitas/multilingualitas akan selalu muncul pemahaman timbal balik dengan mitratuturnya. 82

28 Konsep Ciri Pembeda Ciri pembeda adalah ciri yang menandai suatu fonem segmental. Dalam kajian fonologi generatif ciri pembeda merupakan satuan terkecil. Ciri pembeda ini merupakan unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian (band. Chomsky 1968: 64 dalam Putra 2007: 39). Misalnya, bunyi [i] ditandai dengan seperangkat ciri yang kompleks, yaitu [+silabis, -konsonan, +tinggi, - belakang, dan bulat]. Konsep ciri pembeda atau distinctive feature pertama kali diperkenalkan oleh N. Trubetzkoy dari aliran Praha. Dia menemukan adanya ciri-ciri pada bunyi segmental dalam konteks yang kontras. Kontras yang diamatinya ada yang bersifat bilateral dan ada juga yang bersifat multilateral. Kontras-kontras inilah yang membedakan antara satu bunyi segmental dan bunyi segmental lain. Kontras ini menunjukkan ciri pembeda. Misalnya, kontras antara bunyi [p] dan [b] (lihat Asmah 1995: 13). Ciri pembeda juga dikemukakan oleh Roman Jakobson dan Moris Halle. Bedanya dengan Trubetzkoy adalah dalam penggolongan utama (Jakobson dan Halle 1971; Jakobson, Cherry dan Halle 1971 dalam Asmah 1995: 15). Jakobson dan Halle membagi ciri pembeda ini atas dua jenis, yaitu ciri prosodi dan ciri inherent. Pada sisi lain Chomsky dan Halle dalam The Sound Paterns of English (1958) memperkenalkan lima jenis ciri, yaitu ciri golongan utama 83

29 (major class features), ciri rongga (cavity features), ciri cara artikulasi (manner of articulative features), ciri sumber (source features), dan ciri prosodi (prosodic features). Selanjutnya, mereka membagi ciri golongan utama yang terdiri atas tiga pasangan kontras, yaitu (1) nyaring taknyaring (sonorant nonsonorant), (2) vokalis bukan vokalis, (3) konsonantal bukan konsonantal (lihat Asmah 1995: 18-19). Oposisi binner-nya Jakobson dijelaskan oleh Chomsky dan Halle bahwa ciri-ciri bersifat binner hanya pada tataran penggolongan atau fonemis sistematis, sedangkan pada fonetis sistematis, ciri-ciri itu tidak harus binner (Schanne 1992: 28). Dengan mengadopsi pendapat Chomsky dan Halle, ciri pembeda dapat dipilah menjadi (1) golongan utama: a) silabis [i, e, Ε,, a, o, u], b) sonoran [ i, e, Ε,, a, o, u, m, n,,, l, r, w, y], c) konsonantal [p, b, t, d, c&, j&, k, g, s, z,, l, r, m, n,, ]; (2) ciri cara artikulasi: a) malar (kontinuan) [i, e, Ε,, a, o, u, s, z,, l, r, m, n,, ], b) penglepasan tertunda [c&, j&, ], c) kasar (striden) [s, z, h, ], dan d) nasal [m, n,, ], e) lateral [l] ; (3) ciri daerah artikulasi: a) anterior [p, b, s, z, l, r, m, n] dan koronal [t, d, s, z, r, l, c&, j&, n, ]; (4) ciri batang lidah: a) tinggi [i, u, c&, j&, k, g,,, w, j], b) rendah [a,, h], c) belakang [u, o, k, g,,, w], dan d) ciri bentuk bibir: bulat [u, o, w]; (5) ciri tambahan: a) tegang [vokal i, e, a, o, u dan konsonan], b) bersuara [konsonan bersuara]; (6) ciri prosodi: a) 84

30 tekanan [i, e, a, o, u ] dan b) panjang [i:, a:, o:, u:] (Schane 1992: dan band. Putra 2007). Dari konsep di atas disimpulkan bahwa ciri pembeda adalah satuan terkecil dalam kajian generatif. Ciri pembeda ini terdiri atas (1) golongan utama, (2) ciri cara artikulasi, (3) ciri daerah artikulasi, (4) ciri batang lidah, (5) ciri tambahan, dan (6) ciri prosodi Konsep Korespondensi dan Variasi Unsur-unsur bahasa/dialek yang ditemukan disusun dalam sebuah perangkat perbandingan. Ciri-ciri yang dibandingkan selanjutnya disusun dalam perangkat korespondensi. Korespondensi adalah perubahan bunyi yang muncul secara teratur pada sejumlah data yang diamati, sementara perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Korespondensi berdasarkan sudut pandang dialektologi adalah suatu kaidah perubahan yang berkaitan dengan aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan yang berupa korespondensi itu terjadi karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu dan variasi terjadi bukan karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu. Karena itu, data yang menyangkut peubahan bunyi yang berupa variasi terbatas pada satu atau dua contoh saja. Dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi jika sebaran leksemleksem yang menjadi realisasi kaidah perubahan bunyi itu terjadi pada daerah 85

31 pengamatan yang sama dan disebut variasi jika daerah sebaran geografinya tidak sama (Mahsun 1995: 28-29). Korespondensi dalam kajian dialektologi diakronis melibatkan refleksi fonem proto dalam fonem turunannya. Fonem turunan ini pun harus pula ditentukan pada dialek mana dan bagaimana bentuk refleksnya. Misalnya, *u/ ---K -dv # > [i] [I]. Kaidah ini menjelaskan bahwa fonem proto *u yang berakhir dengan konsonan yang bukan dorsovelar berubah menjadi [i] yang berkorespondensi dengan [I]. Karena korespondensi bersifat teratur dan terkondisi, proses perubahan itu terjadi pada seluruh data vokal [u] yang disyarati oleh lingkungan tersebut. Berbeda dari korespondensi, variasi sifatnya sporadis dan tidak disyarati oleh lingkungan linguistik tertentu. Perubahan bunyi yang tergolong jenis ini adalah (1) asimilasi, (2) disimilasi, (3) metatesis, (4) kontraksi, (5) aferesis, (6) sinkope, (7) apokope, (8) protesis, (9) epentesis, dan (10) paragog (band. Lehman 1975: ; Bynon 1979: 29-30; Crowley 1987: 25-47; de Saussure 1988: 25; Hock 1988: ). Jenis yang tergolong variasi ini juga dibedakan atas perubahan bunyi yang berdasarkan kualitas bunyi dan perubahan berdasarkan tempat. 86

32 Konsep Inovasi dan Retensi Pemahaman terhadap konsep korespondensi dan variasi sangat bermanfaat dalam memahami konsep inovasi dan retensi karena penelusuran keinovatifan dan kekonservatifan sebuah dialek ditelusuri melalui perangkat korespondensi. Konsep inovasi dan retensi yang diacu di sini didasarkan pada tulisan Llamzon (1969: 1 7). Diuraikan bahwa inovasi adalah kelangsungan perubahan fitur-fitur tertentu dari sebuah bahasa, sedangkan bila kelangsungan itu tidak berubah dinamakan retensi. Namun, fitur yang inovatif dapat tidak berubah sampai dengan tahap tertentu dalam perkembangannya dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai retensi dari tahap inovasi. Pada bidang fonologi, inovasi atau pembaharuan berkaitan dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosa kata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa. Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan, misalnya yang menyangkut jumlah dan distribusi seperti merger (paduan) dan split (pisahan/pembelahan), pelesapan, dan substitusi. Perubahan fonem yang teratur pada bahasa-bahasa sekerabat merupakan warisan bahasa yang lebih awal, sementara perubahan yang tidak teratur terjadi lebih kemudian. Inovasi seperti split adalah perubahan sebuah protofonem menjadi dua atau lebih pada bahasa sekarang. Sebaliknya, apabila dua fonem atau lebih dari protobahasa berubah menjadi satu fonem pada bahasa sekarang, inovasi itu dinamakan merger. Pada sisi lain, partial merger 87

33 dapat terjadi jika inovasi yang berupa split terjadi secara serentak dengan merger dari dua fonem proto yang berbeda, misalnya *x menjadi x dan y; *y menjadi y. Jenis inovasi fonologis yang lain adalah pelesapan dan substitusi. Pada proses pelesapan, fonem proto menjadi zero atau menghilang pada pada bahasa sekarang dan pada proses substitusi, fonem proto berubah menjadi fonem yang lain pada bahasa sekarang (lihat Fernandez 1996: 22). Dalam inovasi dikenal juga konsep fitur linguistik menyeluruh (Exclusively Shared Linguaistic Feature [ESLF]). ESLF adalah fitur linguistik yang umum terjadi dalam dua bahasa atau lebih. ESLF terjadi akibat dari inovasi tunggal yang terjadi selama dua bahasa atau lebih memiliki fitur bersama dan mengalami perkembangan historis yang umum. Secara umum terdapat dua inovasi yaitu pergantian (replacement) dan bentuk baru (emerging forms). Pergantian adalah perubahan dalam bentuk dan makna asli dari satu kognat bahasa induk (parent language). Artinya, bahwa apabila bentuk rekonstruksi angka tiga dalam Proto Melayu Polinesia misalnya, adalah telu dan dalam bahasa Tagalog adalah tatlu berarti telah ada sebuah inovasi karena bentuk asli telu telah mengalami penambahan elemen ulang. Bentuk baru adalah bentuk dan makna yang ada bukan saja berubah dalam bentuk dan makna asli bahasa kognat suatu proto bahasa, melainkan karena memang tidak ada bentuk aslinya. 88

34 Konsep inovasi berbeda dari konsep retensi. Retensi adalah proses pemertahanan bahasa proto pada bahasa sekarang. Bahasa proto tidak mengalami perubahan apapun pada bahasa sekarang. Pewarisan seperti ini disebut juga dengan pewarisan linier. Greenberg (Fernandez 1996: 22) menjelaskan bahwa dalam perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri melalui suatu masa/periode perkembangan yang sama. Ini merupakan kebalikan dari inovasi bahwa inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama. Pengenalan suatu perangkat perubahan yang umum berlaku bagi suatu kelompok bahasa merupakan masalah pokok dalam pengelompokan bahasa. Inovasi diasumsikan terjadi ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan mengalami pemisahan (divergensi) dan ketika terjadi pencabangan suatu kelompok bahasa menjadi sejumlah subkelompok tertentu. Secara teoretis, kebertahanan (retensi) bersama berkaitan dengan seperangkat kata yang diasumsikan sukar berubah. Perangkat kebahasaan yang memiliki daya awet ini merupakan komponen inti yang ada pada bahasa manapun. Inovasi bersama memerlihatkan dinamika bahasa dalam perjalanan waktu. Penjejakan perubahan bersama yang eksklusif sangat penting, bahkan dapat dipandang sebagai evidensi yang lebih kuat dibandingkan dengan ketahanan bersama. Hal ini berkaitan dengan dasar teoretis bahwa adanya 89

35 kesamaan ciri perubahan pada subkelompok bahasa tertentu, tidak ada pada subkelompok yang lain, merupakan bukti bahwa bahasa-bahasa itu pernah hidup sebagai bahasa tunggal. Inovasi bersama tidak terjadi setelah kedua bahasa itu berpisah karena perubahan aspek tertentu suatu bahasa terjadi satu kali dalam perjalanan waktu dan pada periode sebelum atau sesudahnya terjadi perubahan yang lain (Bynon 1979: 25-26; Hock 1988: dalam Mbete 2002:6-7) Kerangka Teori Penelitian konvergensi dan divergensi ini menerapkan beberapa teori, yaitu teori dialektologi generatif, akomodasi, linguistik historis. Variasi fonologis bahasa Melayu Asahan dengan dua dialeknya dianalisis berdasarkan dialektologi generatif. Prinsip teori generatif yang diterapkan adalah (1) adanya struktur lahir dan struktur batin yang diaplikasikan pada bentuk turunan dari bentuk asal; (2) unit bahasa yang terkecil bukan fonem, melainkan ciri pembeda; (3) perubahan bunyi disebabkan tidak hanya oleh perubahan bunyi bahasa, tetapi terjadi pada perbatasan morfem dan kata; (4) adanya kaidahkaidah berurutan di samping kaidah fonologis tertentu (Schane 1992 dalam Putra 2007). Berdasarkan prinsip teori generatif itu dirumuskan prinsip kerja dialektologi generatif dalam penelitian ini, yaitu (1) mengidentifikasikan bunyi dan fonem dalam empat dialek di Asahan, (2) mengidentifikasikan karakter 90

BAB I PENDAHULUAN. proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian tentang konvergensi dan divergensi berkaitan erat dengan proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan sejumlah pemahaman terhadap

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Dialektologi merupakan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialekto syang berarti varian

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Linguistik Historis Komparatif Linguistik historis komparatif adalah cabang ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7).

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). Dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI. isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi.

BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI. isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi. BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Penelitian Bagian ini menjelaskan konsep dialek, dialektometri, isoglos dan berkas isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS 2.1 Pengantar Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta dipelihara sebaik mungkin. Bidang ilmu yang mengkaji dialek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri dalam suatu masyarakat. Berbagai status sosial dan budaya dalam masyarakat sangat memengaruhi perkembangan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah BAB II KERANGKA TEORETIS Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam dialek. Istilah dialek merupakan sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Dialek Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan dalam menyusun landasan atau kerangka teori. Kajian pustaka berfungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa-bahasa yang hidup dewasa ini tidak muncul begitu saja. Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami perjalanan

Lebih terperinci

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk BAB IX TEMUAN BARU Berdasarkan penyajian dan analisis data yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, berikut ini disajikan kristalisasi hasil penelitian sekaligus merupakan temuan baru disertasi ini. 9.1

Lebih terperinci

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. BAB X SIMPULAN DAN SARAN 10.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia sudah banyak dilakukan. Namun tidak demikian penelitian mengenai ragamragam bahasa dan dialek.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian dialektologi yang meletakkan titik fokus pada kajian kebervariasian penggunaan bahasa dalam wujud dialek atau subdialek di bumi Nusantara, dewasa ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa mengalami perubahan dan perkembangan dari bahasa Proto (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf (1996:29), bahasa Proto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Batak Simalungun merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Batak Simalungun merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran, hal-hal, atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46).

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi 180 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kajian relasi kekerabatan bahasa-bahasa di Wakatobi memperlihatkan bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi sebagai bahasa tersendiri dan

Lebih terperinci

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA Nama : Laela Mumtahanah NIM : 1402408305 BAB III OBJEK LINGUISTIK = BAHASA Objek kajian linguistik yaitu bahasa 3. 1. Pengertian Bahasa Objek kajian linguistik secara langsung adalah parole karena parole

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian mengenai isoglos dialek bahasa Jawa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini termasuk dalam penelitian lapangan (field study) baik penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan (1) latar belakang, (2) masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut. 1.1

Lebih terperinci

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan waktunya. Hal itu dimungkinkan oleh perubahan dan perkembangan pola kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Ibrahim (1993:125 126), berpendapat bahwa semua kelompok manusia mempunyai bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU 2.1 Konsep Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang menyangkut objek, proses, yang berkaitan dengan penelitian. Dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian dialek geografi yang dipandang erat relevansinya dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan bahasa adalah alat komunikasi verbal manusia yang berwujud ujaran yang dihasilkan oleh alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini diawali dengan pendeskripsian data kebahasaan aktual yang masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. Anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia (Chaer dan Agustina,2010:11). Bahasa Jawa (BJ) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Sepanjang pengetahuan peneliti permasalahan tentang Kajian Historis Komparatif pada Bahasa Banggai, Bahasa Saluan, dan Bahasa Balantak belum pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki status sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang kebanggaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau kelompok masyarakat untuk bekerja sama dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1983: 17), dengan

Lebih terperinci

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN Pendahuluan Pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1950-an fonologi adalah cabang linguistik yang banya dibicarakan di antara cabang-cabang linguistik lainnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan baik antarsesama. (Keraf, 1971:1), bahasa merupakan alat

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan baik antarsesama. (Keraf, 1971:1), bahasa merupakan alat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi dalam lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi

Lebih terperinci

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul Judul Skripsi : Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul Nama : Eli Rahmat Tahun : 2013 Latar Belakang Menurut Keraf bahasa memiliki empat fungsi, yaitu (1) sebagai alat untuk mengekpresikan diri, (2)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa bervariasi karena anggota masyarakat penutur itu pun beragam. Banyak faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas di sekolah, di

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas di sekolah, di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Mentawai merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Bahasa Mentawai digunakan untuk berkomunikasi dalam aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang masuk ke dalam kelompok bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa Melayu Standar, Serawai,

Lebih terperinci

Review Buku. Dialektologi Sebuah Pengantar oleh Ayat Rohaedi. Dialectology oleh J. K. Chambers dan Peter Trudgill

Review Buku. Dialektologi Sebuah Pengantar oleh Ayat Rohaedi. Dialectology oleh J. K. Chambers dan Peter Trudgill Review Buku Dialektologi Sebuah Pengantar oleh Ayat Rohaedi Dialectology oleh J. K. Chambers dan Peter Trudgill Dosen Pengampu: Dr. Inyo Yos Fernandez Oleh Intan Rawit Sapanti 12 / 339581 / PSA / 07324

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK Jurnal Skripsi Oleh : Nursirwan NIM A2A008038 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012 Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan

Lebih terperinci

Pengertian Universal dalam Bahasa

Pengertian Universal dalam Bahasa Pengertian Universal dalam Bahasa Istilah bahasa didefinisikan sebagai wujud komunikasi antarmanusia untuk dapat saling mengerti satu sama lain, sebagaimana yang dilansir oleh Edward Sapir tahun 1921.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi penelitian yang mencakup desain penelitian, partisipasi dan tempat penelitian, pengumpulan data, dan analisis data. Adapun pemaparan

Lebih terperinci

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya Abstrak Difusi leksikal merupakan fenomena lingusitik yang dapat terjadi pada bahasa apa pun. Difusi leksikal merupakan unsur inovasi bahasa yang menyebar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. tetap monolingual. Sedangkan masyarakat tutur terbuka adalah masyarakat yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. tetap monolingual. Sedangkan masyarakat tutur terbuka adalah masyarakat yang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS 2.1 Kontak Bahasa Masyarakat tutur terdiri atas dua, yakni masyarakat tutur tertutup dan masyarakat tutur terbuka. Masyarakat tutur tertutup adalah masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan bentuk komunikasi masyarakat untuk saling berinteraksi sosial. Berbagai macam kelas sosial memengaruhi perkembangan bahasa yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab 8.1 Simpulan BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. akal budi untuk memahami hal-hal tersebut. Sebuah konsep yang kita tulis harus

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. akal budi untuk memahami hal-hal tersebut. Sebuah konsep yang kita tulis harus BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kridalaksana (1984:106), konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Pendekatan yang dipakai dalam kajian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Dalam bab ini dijelaskan mengenai kajian pustaka, konsep, dan landasan teori

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK LINGUISTIK : BAHASA. Linguistik adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.

BAB 3 OBJEK LINGUISTIK : BAHASA. Linguistik adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. BAB 3 OBJEK LINGUISTIK : BAHASA Linguistik adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. 1. Pengertian Bahasa Kridalaksana (1983) : bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan

Lebih terperinci

VARIASI DIALEKTAL DALAM MUATAN LOKAL BAHASA MADURA DI JAWA TIMUR. Agusniar Dian Savitri 1 Universitas Negeri Surabaya

VARIASI DIALEKTAL DALAM MUATAN LOKAL BAHASA MADURA DI JAWA TIMUR. Agusniar Dian Savitri 1 Universitas Negeri Surabaya VARIASI DIALEKTAL DALAM MUATAN LOKAL BAHASA MADURA DI JAWA TIMUR Agusniar Dian Savitri 1 Universitas Negeri Surabaya Hasil kajian dialektologis dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan, begitupula

Lebih terperinci

PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU. Oleh

PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU. Oleh PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU Oleh Dr. Andoyo Sastromiharjo, M.Pd., Sri Wiyanti, S.S.,M.Hum., Yulianeta, M.Pd. Dra. Novi Resmini, M.Pd., Hendri Hidayat, dan Zaenal Muttaqin FPBS Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster angin selatan dan kata Greek 1 BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek nêsos "pulau". Para

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur BAB II KERANGKA TEORETIS 2.1 Sejarah Singkat Penutur Bahasa Austronesia Penutur bahasa Austronesia diperkirakan telah mendiami kepulauan di Asia Tenggara sekitar 5000 tahun yang lalu. Mereka diduga berasal

Lebih terperinci

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional.

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional. 1.4.2 Manfaat Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemakaian kata sapaan dalam bahasa Batak Toba. b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1982:17). Bahasa

Lebih terperinci

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun adalah bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Simalungun merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia pada umumnya memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional dan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Alor. Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa dapat digunakan manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan serta pengalamannya kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi,

Lebih terperinci

DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... viii ABSTRACT...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit

BAB I PENDAHULUAN. diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu, sebagai salah satu kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. (Keraf, 1971:1) bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. (Keraf, 1971:1) bahasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan penting bagi manusia. (Keraf, 1971:1) bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan sebagai alat untuk berinteraksi dalam menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lisan. Secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan secara. sebuah percakapan antar individual atau kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. lisan. Secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan secara. sebuah percakapan antar individual atau kelompok. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasai untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Ada dua cara untuk dapat melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat dari perbedaan dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat Minangkabau di berbagai wilayah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang beragam dan memiliki bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Para linguis historis komparatif Indonesia selama ini pada umumnya lebih tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama diakui bahwa di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sarana komunikasi yang paling penting sesama masyarakat adalah bahasa. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini keberadaan talk show atau dialog interaktif sebagai sarana dalam berkomunikasi menjadi sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya talk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat dipisahkan dari pengembangan bahasa nasional. Salah satu upaya untuk mengembangkan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sarana komunikasi yang paling penting pada manusia adalah bahasa. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Sarana komunikasi yang paling penting pada manusia adalah bahasa. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sarana komunikasi yang paling penting pada manusia adalah bahasa. Oleh karena kedudukannya yang sangat penting, maka membuat bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan,

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan, karena bahasa mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbahasa merupakan pengalaman universal yang dimiliki oleh manusia. Bahasa adalah sistem bunyi ujar. Bunyi bahasa yang tidak sesuai diucapkan oleh seorang pengguna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi antar sesama, baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai makna tertentu. Sebagai sistem lambang bunyi yang mempunyai makna,

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai makna tertentu. Sebagai sistem lambang bunyi yang mempunyai makna, 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan mempunyai makna tertentu. Sebagai sistem lambang bunyi yang mempunyai makna, bahasa digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisi dan budaya yang sangat tinggi. Bahasa merupakan Sistem lambang bunyi

BAB I PENDAHULUAN. tradisi dan budaya yang sangat tinggi. Bahasa merupakan Sistem lambang bunyi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dapat saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan ekspresi verbal yang disebut bahasa. Bahasa

Lebih terperinci

KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA

KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedudukan bahasa sangat penting untuk manusia. Bahasa juga mencerminkan identitas suatu negara. Masalah kebahasaan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA. Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik

BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA. Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik dan teori tradisional. Teori sosiolinguistik yang digunakan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana,1983).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa terjadi karena antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak memiliki hubungan

Lebih terperinci

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 365-351 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dialek Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah tersebut dipergunakan dalam hubungan bahasa. Di Yunani terdapat

Lebih terperinci

BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK)

BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK) BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Lebih terperinci