KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS"

Transkripsi

1 87 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dan proses penelitian dimulai dari kondisi masyarakat di sekitar hutan yang masih rendah tingkat keberdayaannya sedangkan tingkat ketergantungan mereka terhadap sumberdaya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar hutan pada saat ini masih berada dalam kondisi kemiskinan, tingkat kesejahteraan yang rendah, kemampuan atau posisi tawar dengan pihak luar masih rendah, peranan sebagai inisiator aktivitas ekonomi untuk kesejahteraan anggotanya masih lemah, kemampuan memenuhi kebutuhan pokok dan kesadaran terhadap pentingnya fungsi pelestarian sumberdaya hutan masih rendah, atau dengan kata lain masih rendahnya tingkat keberdayaannya (Saragih & Sunito, 1994; Santosa, 2004; Pardosi, 2005; Awang, 2005; Sidu, 2006 ). Program pembangunan kehutanan pada masa lalu lebih berorientasi kepada ekonomi dari hasil hutan terutama kayu. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sangat terbatas. Adanya suatu program pembangunan kehutanan yang dilandasi konsep kehutanan masyarakat berarti membuka akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di P. Jawa berada di bawah Perum Perhutani yang telah meluncurkan program pengelolaan hutan bersama masyarakat. Pengelolaan hutan bersama masyarakat tersebut dilakukan dengan kerjasama antara pihak Perhutani yang diwakili oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KKPH) dengan - masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, yang bisa berbentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). LMDH ini merupakan asosiasi tani hutan yang anggotanya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kondisi tersebut dalam penelitian ini akan diteropong dari perspektif teori pemberdayaan dan teori. Hal ini sejalan dengan pendapat Lin (2004), yang menyatakan bahwa pendekatan pember-ayaan masyarakat lokal (dalam konteks kehutanan masyarakat) harus secara tepat mencari sasaran -

2 88 dalam komunitas pedesaan yang secara sosial dan ekonomi termarginalkan. Oleh karena itu pemberdayaan yang dilakukan harus mempertimbangkan dinamika tani yang akhirnya bisa mencapai tujuan yang diharapkan yaitu tingkat keberdayaan masyarakat yang semakin tinggi. Masalah penelitian yaitu sejauhmana dinamika masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya; sejauhmana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberdayaan masyarakat sekitar hutan; dan sejauhmana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi mereka dalam melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan. Masalah penelitian tersebut akan dicari jawabannya secara deduktif dan induktif. Penyusunan kerangka berpikir penelitian secara deduktif didasarkan pada teori tentang pemberdayaan (empowerment), teori, teori kepemimpinan, teori motivasi dan kebutuhan, dan teori social forestry atau kehutanan masyarakat serta teori partisipasi. Kajian secara induktif dilakukan dengan pengumpulan dan pengolahan data-data yang diperoleh dari pengukuran secara empirik untuk menguji model deduktif (model hipotetik) yang telah disusun. Pengukuran secara empirik dilakukan terhadap responden masyarakat sekitar hutan sebagai data pokok melalui metode survey dengan kuesioner. Selanjutnya dilakukan analisis data secara deskriptif dan inferensial untuk menyusun model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Model yang telah melalui respesifikasi dan teruji secara statistik digunakan sebagai bahan penyusunan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Proposisi pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa dinamika tani hutan yang didukung oleh kepemimpinan yang efektif dan ditunjang oleh potensi sumberdaya individu petani yang tinggi, proses pemberdayaan yang tepat, peran SDM Pemberdaya yang optimal, dan dukungan lingkungan yang memadai akan meningkatkan keberdayaan petani anggota tersebut. Proposisi yang kedua yaitu tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan yang tinggi perlu didukung oleh tani hutan yang dinamis, proses

3 89 pemberdayaan yang tepat, potensi sumberdaya individu petani yang tinggi, peran SDM Pemberdaya yang optimal, kepemimpinan yang efektif dan dukungan lingkungan memadai. Proposisi yang ketiga yaitu bahwa tingkat keberdayaan anggota akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anggota dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam hal ini diduga semakin tinggi tingkat keberdayaan anggota akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan mikro melalui survei terhadap responden individu petani sekitar hutan yang menjadi anggota tani hutan, di mana ini tergabung dalam LMDH dan bekerjasama mengelola sumberdaya hutan dengan pihak Perhutani. Peubah-peubah penelitian diukur berdasarkan perspektif individu petani sebagai kepala keluarga tani. Sesuai dengan pendapat Cartwright dan Zander (1968), salah satu metode yang bisa digunakan dalam studi tentang dinamika yaitu mempelajari perilaku individu dalam. Selanjutnya Teori Lapangan (Field Theory) menekankan bahwa dalam pandangan ilmu psikologi sosial fenomena yang penting adalah terletak pada individu dan bukan pada lingkungan. Apa yang dipersepsikan secara subyektif oleh individu sangat penting menjadi bahan untuk dipelajari. Teori Lapangan mendasarkan kepada lima asumsi yaitu : (1) bahwa fenomena yang dipelajari adalah apa yang dipersepsikan oleh individu terhadap lingkungannya; (2) bahwa seseorang menempati posisi tertentu dalam ruang kehidupannya; (3) bahwa seseorang berorientasi kepada tujuan yang melibatkan perubahan posisi individu terhadap ruang kehidupannya; (4) bahwa individu berperilaku tertentu untuk mencapai tujuannya; dan (5) dalam proses menuju tujuan, individu mungkin menemui kendala yang harus dihadapi dan mungkin bisa mengubah tujuan atau ruang kehidupannya (Lewin, diacu dalam Shepperd 1964). Penelitian berupaya merumuskan model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan berdasarkan perspektif ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) terutama ilmu penyuluhan pembangunan. Model pemberdayaan disusun dengan mengadopsi pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai subyek pembangunan. Menurut Korten (1984) paradigma alternatif pembangunan pasca

4 90 era industri adalah pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development) yang dicirikan perlunya pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan kesejahteraan, keadilan serta keberlanjutannya. Alasan pokok yang mendasari paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia, ditunjang sumberdaya utama berupa informasi dan inisiatif kreatif manusia, dengan tujuan bertumbuh-kembangnya sumberdaya manusia (human growth) berupa peningkatan kesadaran akan potensi dirinya. Sehingga manusia seharusnya menjadi subyek yang mampu merumuskan tujuannya, mengontrol sumber-sumberdaya, dan mengelola proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Paradigma baru ini sejalan dengan semangat UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang menyatakan bahwa petani hutan sebagai pelaku utama dalam pembangunan kehutanan. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengisyaratkan bahwa pengelolaan hutan ke depan harus berorientasi kepada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Hal ini juga mengandung makna bahwa masyarakat harus diposisikan sebagai subyek atau pelaku utama. Pemberdayaan terhadap pelaku utama pembangunan kehutanan menjadi hal yang sangat penting. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ke arah tingkat keberdayaan yang tinggi yang berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, dapat ditumbuhkan melalui proses pemberdayaan yang tepat dan yang dinamis dengan didukung oleh potensi sumberdaya individu petani yang tinggi, peran SDM Pemberdaya yang optimal, kepemimpinan yang efektif dan dukungan lingkungan yang memadai. Alur berpikir dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sistem yaitu masukan (inputs), proses (process), keluaran (outputs) dan dampak (outcomes) yang diadopsi dari Hikmat (2001), dan Sax (1980) diacu dalam Arikunto (2004). Model pemberdayaan dikembangkan dengan pemikiran apa masukannya, bagaimana proses pemberdayaannya, apa keluarannya, dan bagaimana dampak yang akan dihasilkan. Pemberdayaan diawali dari kondisi petani sekitar hutan yang kurang mempunyai keberdayaan (powerless) namun mereka mempunyai potensi yang bisa dikem-bangkan. Masukan dalam model ini adalah potensi sumberdaya

5 91 individu yang dimiliki petani, peran SDM Pemberdaya, keefektifan kepemimpinan, dan dukungan lingkungan. Proses dari model pemberdayaan ini adalah ketepatan proses pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak luar (Perum Perhutani) dalam bentuk program PHBM, dan dinamika tani hutan. Keluaran yang ingin dicapai adalah tingkat keberdayaan petani yang semakin tinggi. Sedangkan dampak jangka pendek yang diharapkan adalah tingkat partisipasi petani yang semakin tinggi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan bersama Perhutani. Dampak jangka panjang yang tidak diukur dalam penelitian ini adalah kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat dan kelestarian sumberdaya hutan yang tetap terjaga. Berdasarkan model tersebut akan bisa disusun strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian. Alur berpikir pemberdayaan masyarakat sekitar hutan disajikan pada Gambar 1. MASUKAN (INPUTS) PROSES (PROCESS) KELUARAN (OUTUTS) DAMPAK (OUTCOMES) Potensi Sumberdaya Individu Petani Ketepatan Proses Pemberdayaan Tingkat Keberdayaan Tingkat Partisipasi Peran SDM Pemberdaya Dinamika Kelompok Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan Keefektifan Kepemimpinan Kelompok Kelestarian Sumberdaya Hutan Dukungan Lingkungan Petani kurang berdaya Proses pemberdayaan Petani yang berdaya (powered) (powerless) (empowerment) Gambar 1. Alur berpikir penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Peubah terikat penelitian yaitu dinamika, tingkat keberdayaan dan tingkat partisipasi. Peubah bebas yaitu potensi sumberdaya individu, ketepatan proses pemberdayaan, peran SDM Pemberdaya, keefektifan kepemimpinan

6 92 dan dukungan lingkungan. Keterkaitan beberapa peubah penelitian beserta indikator-indikatornya ditunjukkan pada Gambar 2. Potensi Sumberdaya Individu Petani (X1) X 1.1 Luas lahan garapan X 1.2 Pengalaman berusahatani X 1.3 Umur X 1.4 Pendapaatan X 1.5 Jumlah tanggungan keluarga X 1.6 Pendidikan formal X 1.7 Pendidikan non formal X 1.8 Motivasi ber X 1.9 Keinovatifan Ketepatan Proses Pemberdayaan ( X2 ) X 2.1 Inisiatif program X 2.2 Penyadaran / sosialisasi X 2.3 Pembentukan lembaga masyarakat X 2.4 Pemanfaatan ruang kelola X 2.5 Penentuan bagi hasil Peran SDM Pemberdaya ( X3 ) X 3.1 Mengembangkan partisipasi petani X 3.2 Pemecahan masalah dan pembelajaran petani X 3.3 Mengorganisasikan petani X 3.4 Membangun jaringan X 3.5 Mencari peluang pasar X 3.6 Membangun komunikasi X 3.7 Kesetaraan status social dg petani Dinamika Kelompok (Y1) Y 1.1 Tujuan Y 1.2 Struktur Y 1.3 Fungsi/tugas Y 1.4 Pembinaan Y 1.5 Kekompakan Y 1.6 Suasana Y 1.7 Tegangan Y 1.8 Keefektifan Y 1.9 Maksud tersembunyi Y 1.10 Perkembangan usaha kelmpok Tingkat Keberdayaan (Y2) Y 2.1 Kemampuan interpersonal Y 2.2 Kemampuan interaksional Y 2.3 Kapasitas mengambil tindakan Y 2.4 Kemampuan kolektif Y 2.5 Kemampuan bertahan Keefektifan Kepemimpinan Kelompok (X4) X 4.1 Peran pemimpin X 4.2 Perilaku kepemimpinan X 4.3 Gaya kepemimpinan Dukungan Lingkungan ( X5 ) X 5.1 Akses lahan X 5.2 Potensi sumberdaya hutan X 5.3 Ketersediaan saprodi X 5.4 Kemudahan memasarkan hasil X 5.5 Potensi modal sosial X 5.6 Potensi pengembangan usaha X 5.7 Tersedianya alternatif usaha X 5.8 Ketergantungan pada hutan X 5.9 Intervensi lingkungan sosial Kesejahteraan Masyarakat Sekitar hutan Tingkat Partisipasi (Y3) Y 3.1 Perencanaan Y 3.2 Pelaksanaan Y 3.3 Evaluasi Y 3.4 Pemanfaatan hasil Kelestarian Sumberdaya Hutan Gambar 2. Hubungan antar peubah-peubah penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Pendekatan Kelompok

7 93 Ketepatan Proses Pemberdayaan Berdasarkan pernyataan pada proposisi pertama dan kedua ketepatan proses pemberdayaan dipandang sebagai peubah yang penting. Pemberdayaan sebagai suatu proses merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap individu atau yang kurang mampu dan kekurangan sumberdaya, dengan melibatkan rasa saling menghargai, kepedulian, partisipasi, kesetaraan dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat, agar mereka mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam mengakses dan mengontrol sumbersumberdaya sehingga bisa meningkatkan kualitas kehidupannya (Perkins & Zimmerman, 1995; Horvath, 1999; Ashman, 2000; Adi, 2002). Dalam pandangan Ife (2002) beberapa prinsip yang berhubungan dengan proses pembangunan masyarakat yaitu : 1) sesuai dengan harapan masyarakat terhadap keberlanjutan dan keadilan sosial; 2) meningkatkan kesadaran; 3) memaksimalkan partisipasi,; 4) mendorong kerjasama dan konsensus; dan 5) mendorong keterikatan antar warga. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan Burkey (2002) yang menyatakan bahwa dalam pembangunan pedesaan yang partisipatif diantaranya perlu memperhatikan : 1) adanya kerjasama yang baik antara individu dalam dan dengan agen perubahan; 2) berorientasi kepada permasalahan dan kebutuhan masyarakat; 3) sumberdaya perlu dimobilisasi; 4) individu dan harus memikul tanggungjawab dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi; dan 5) tindakan kolektif diperlukan untuk menghadapi permasalahan yang tidak bisa dipecahkan individu. Dikaitkan dengan penelitian ini maka masyarakat sekitar hutan yang berada dalam tingkat keberdayaan rendah (kemiskinan, kesejahteraan, kemampuan mengakses sumberdaya hutan, dan lain-lain) perlu memperoleh perlakuan dari pihak luar berupa proses pemberdayaan secara tepat. Ketepatan proses pemberdayaan dimaknai sebagai seberapa jauh langkah-langkah penerapan program pengelolaan hutan bersama masya-rakat (PHBM) sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Beberapa aspek yang dilihat meliputi inisiatif program, proses penyadaran/sosialisasi yang dilakukan terhadap, pembentukan lembaga masyarakat yang akan bekerjasama dengan Perhutani, pemanfaatan ruang

8 94 pengelolaan, dan penentuan bagi hasil. Paradigma yang dibangun tentang proses pemberdayaan yang tepat diulas melalui aspek-aspek proses pemberdayaan, gambaran proses pemberdayaan yang tidak memberdayakan dan yang memberdayakan sebagaimana dituangkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pemikiran tentang Ketepatan Proses Pemberdayaan No Aspek-aspek Proses Pemberdayaan yang tidak Memberdayakan 1 Inisiatif program -Inisiasi dan tujuan program didominasi oleh pihak luar 2 Penyadaran / sosialisasi -Materi sosialisasi program seputar aspek pengelolaan sumberdaya hutan -Pemberian informasi bersifat satu arah kepada petani -Saluran komunikasi melalui organisasi formal (kantor-kantor Perhutani, desa) -Sumber informasi dari kantor Perhutani / petugas Perhutani Proses Pemberdayaan yang Memberdayakan -Inisiasi program dari sistem sosial masyarakat, dan penetapan tujuan oleh masyarakat difasilitasi pihak luar -Materi sosialisasi program menonjolkan pemenuhan kebutuhan petani -Pemberian informasi program bersifat dialogis dan tidak formal -Saluran komunikasi melalui tani dan sesama petani / tokoh petani -Sumber informasi program dari LMDH dan tani 3 Pembentukan lembaga masyarakat 4 Penentuan hak dan kewajiban parapihak -Kelembagaan masyarakat dibentuk dari atas sesuai kepentingan pihak luar -Hak dan kewajiban pihak-pihak yang bekerjasama ditentukan oleh Perhutani -Kelembagaan masyarakat tumbuh dari kebutuhan masyarakat bawah, dilakukan secara musyawarah dengan dukungan pihak luar -Hak dan kewajiban pihak-pihak yang bekerjasama dilakukan secara musyawarah dalam kesetaraan 5 Pemanfaatan ruang kelola 6 Penentuan bagi hasil -Ketentuan tentang pemanfaatan ruang pengelolaan oleh masyarakat dibuat secara seragam, top down, kurang mengakomodir kepentingan masyarakat setempat -Proporsi bagi hasil ditentukan secara top down, dan pemanfaatannya ditentukan oleh pengurus LMDH -Pemanfaatan ruang pengelolaan sesuai dengan kondisi setempat, secara musyawarah dalam kesetaraan dengan, dan mengedepankan pemenuhan kebutuhan riil masyarakat -Proporsi bagi hasil ditentukan dengan musyawarah secara berkeadilan, dan pemanfaatannya dilakukan melalui musyawarah anggota Keterangan : Diadaptasi dari Perkins & Zimmerman (1995); Horvath (1999); Ashman (2000); Adi (2002); Ife (2002); Burkey (2002) dan TPKHR (2006).

9 95 Upaya pemberdayaan terhadap masyarakat di sekitar hutan dilakukan melalui -. Kelompok yang paling kecil di lapangan yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH). Kelompok tani hutan bergabung dalam wadah lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) di tingkat desa. Kelompok tani merupakan informal para petani yang turut serta dalam program PHBM. Penerapan program di lapangan dipandang sebagai sebuah proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap masyarakat sekitar hutan. Proses pemberdayaan itu melibatkan dan terkait dengan tani. Proses pemberdayaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu akan menjadi wahana pembelajaran bagi tani. Pembelajaran karena pengalaman mereka berinteraksi dengan program dan melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan pengelolaan hutan diantaranya mengelola andil lahan tumpangsari atau mengelola andil sadapan tanaman pinus. Oleh karena itu perlu diuraikan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan. Dinamika Kelompok Dinamika pada dasarnya menekankan pada hubungan secara psikologis yang saling mempengaruhi antar anggota dan terwujud dalam perilaku anggota tersebut. Pengertian dinamika mengandung makna adanya interaksi dan interdependensi antara anggota secara keseluruhan (Cartwright & Zander, 1968). Menurut cabang ilmu psikologi sosial tersebut, dinamika lebih menekankan pada tingkat pengaruh interaksi sosial individu di dalam terhadap masing-masing individu sebagai anggotanya. Dalam penelitian ini dinamika merupakan tingkat kualitas interaksi dari perilaku anggota tani hutan mencakup perkembangan struktur dan pembagian tugas anggota dalam mencapai tujuan yaitu peningkatan keberdayaan para anggotanya. Dinamika akan diukur melalui sepuluh indikator yaitu tujuan, struktur, fungsi / tugas, pembinaan, kekompakan, suasana, tegangan, dan keefektifan. Pemikiran dan paradigma dinamika yang akan diuji dalam penelitian ini dituangkan pada Tabel 4.

10 96 Tabel 4. Pemikiran tentang Dinamika Kelompok No Aspekaspek 1 Tujuan 2 Struktur 3 Fungsi / tugas 4 Pembinaan 5 Kekompakan 6 Suasana Kelompok yang tidak Dinamis -Tujuan kurang jelas, tidak ditulis, anggota kurang paham -Tujuan dan tujuan anggota kurang ada kesesuaian -Pengambilan keputusan dilakukan oleh pengurus sendiri -Pembagian tugas dan tanggungjawab tidak jelas -Prosedur pelaksanaan tugas tidak ada/tidak jelas -Arus informasi kegiatan dalam tidak lancar -Tingkat kepuasan anggota atas pencapaian tujuan rendah -Informasi tentang kegiatan tidak sampai pada anggota -Anggota tidak mampu memahami sehingga tidak melakukan tugasnya -Anggota tidak paham hubungan antara kegiatan dalam -Anggota tidak berpartisipasi dalam kegiatan -Anggota tidak merasa bertanggung-jawab untuk melakukan tugas -Anggota tidak mendapat fasilitas dalam melakukan kegiatan -Tidak ada kejelasan aturan bagi anggota -Anggota tidak merasa bangga menjadi bagian dari -Tidak ada kebersamaan anggota dalam melakukan kegiatan -Tidak ada rasa solidaritas / saling membantu antar sesama anggota -Anggota tidak memiliki semangat melakukan pekerjaan -Suasana keakraban tidak muncul diantara anggota -Anggota tidak nyaman dalam melakukan kegiatan karena selalu diawasi pengurus Kelompok yang Dinamis -Kelompok memiliki tujuan yang jelas, tertulis atau dipahami anggotanya -Tujuan dan tujuan anggota sinkron dan sejalan satu sama lain -Pengambilan keputusan melibatkan dan disepakati anggota -Pembagian tugas dan tanggungjawab dipahami dan dimengerti oleh anggota -Tersedia prosedur pelaksanaan tugas dan dipahami serta diindahkan anggota -Arus informasi kegiatan mengalir dengan lancar -Anggota mencapai kepuasan yang tinggi atas pencapaian tujuan -Anggota menerima informasi kegiatan secara lengkap dan jelas -Anggota memahami dan mampu melakukan tugasnya dengan baik -Anggota sangat paham dengan hubungan antara kegiatan dalam -Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan -Anggota memiliki tanggungjawab yang tinggi dalam melakukan tugas -Anggota memperoleh fasilitas untuk melakukan kegiatan -Aturan telah ditetapkan, dipahami dan dipatuhi anggotanya -Anggota merasa sangat bangga menjadi bagian dari -Adanya kebersamaan yang tinggi dalam melakukan kegiatan -Anggota saling membantu dan saling kerjasama dalam kehidupan dan kegiatan -Anggota sangat bersemangat bekerja dalam kegiatan -Suasana jalinan keakraban antar anggota tinggi -Anggota merasa nyaman melakukan kegiatan tanpa harus diawasi secara ketat

11 97 Tabel 4 (lanjutan) No Aspek-aspek Kelompok yang tidak Dinamis Kelompok yang Dinamis 7 Tegangan 8 Keefektifan 9 Maksud tersembunyi 10 Perkembangan usaha -Anggota yang berprestasi tidak diberikan penghargaan -Anggota yang melanggar aturan tidak diberi sanksi -Tidak ada tantangan bagi anggota untuk bekerja lebih keras -Tidak umpan balik bagi anggota atas hasil kerjanya -Tujuan tidak tercapai sesuai harapan anggota -Anggota tidak puas atas pencapaian tujuan nya. -Pengurus tidak mempunyai maksud tersembunyi yang menunjang tujuan -Anggota tidak mempunyai maksud tersembunyi yang menunjang tujuan -Tidak ada upaya mengembangkan usaha -Skala usaha tidak pernah berkembang -Tidak ada aset dan keuntungan yang dikumpulkan dari usaha - Anggota yang berprestasi diberikan penghargaan dengan baik -Anggota yang melanggar aturan diberikan sanksi -Anggota merasa tertantang untuk bekerja lebih keras -Anggota diberikan umpan balik atas hasil kerjanya -Pencapaian tujuan sesuai harapan anggota -Anggota merasa puas atas tujuan yang bisa dicapainya -Pengurus mempunyai maksud tersembunyi yang sangat menunjang tujuan -Anggota mempunyai maksud tersembunyi yang sejalan dengan tujuan -Ada upaya nyata dan terencana untuk mengembangkan usaha -Skala usaha selalu berkembang semakin maju -Aset dan keuntungan yang dikumpulkan dari usaha semakin banyak Keterangan : Diadaptasi dari Shepperd (1964); Beal et al. (1974); Cartwright & Zander (1968); Soebiyanto (1998); Slamet (2006). Kelompok yang semakin dinamis diduga akan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan para anggotanya. Hal ini karena interaksi yang terjadi diantara anggota akan menjadikan mereka saling belajar sehingga bisa terjadi perubahan perilaku dan kemampuan para anggotanya. Pemikiran ini didukung hasil penelitian Soebiyanto (1998) yang pada intinya menyatakan bahwa peran tani perlu lebih difungsikan sebagai wahana belajar, unit produksi usahatani dan kerjasama yang dinamis agar terjadi peningkatan kemandirian petani dan ketangguhannya berusahatani (keberdayaan petani). Selanjutnya temuan Tampubolon (2006) juga menunjukkan bahwa dinamika kehidupan (kasus program Kelompok Usaha Bersama Ekonomi) berpengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan yang meliputi keberhasilan ekonomi dan sosial.

12 98 Oleh karena itu di bawah ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan tingkat keberdayaan anggota dalam. Tingkat Keberdayaan Anggota dalam Kelompok Keberdayaan merupakan hasil dari proses pemberdayaan yang telah dilakukan. Hasil pemberdayaan pada level individu merupakan kemampuan individu mengontrol situasi dan ketrampilannya memobilisasi sumber-sumberdaya. Tingkat keberdayaan juga bisa dipandang secara lebih luas yang meliputi keterkaitan dari segi daya personal dari dalam diri individu (power-from within), kapasitas untuk mengambil tindakan (power to), dorongan kolektif untuk mencapai tujuan (power with), dan kekuatan bertahan terhadap daya dominan dan struktur yang tidak menguntungkan (power over) (Perkins & Zimmerman, 1995; Wong, 2003; Suharto, 2005). Dalam konteks masyarakat sekitar hutan, Sardjono (2004) menyatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah yang memiliki kapasitas dalam menetapkan prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib mereka. Mengacu kepada pendapat Perkins dan Zimmerman (1995) dan Wong (2003) tersebut, dalam penelitian ini tingkat keberdayaan adalah hasil dari proses pember-dayaan yang merupakan keterkaitan dari kemampuan personal individu yang berupa persepsi terhadap kapasitasnya dan pengertian kritis terhadap lingkungannya, kapasitas untuk mengambil tindakan, kemampuan kolektif untuk mencapai tujuan dan kekuatan bertahan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh petani anggota tani hutan dalam melakukan kegiatanpengelolaan sumberdaya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan diukur dari lima indikator yaitu kemampuan interpersonal, kemampuan interaksional, kapasitas mengambil tindakan, kemampuan kolektif, dan kekuatan bertahan dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada paradigma tentang tingkat keberdayaan yang diharapkan dituangkan pada Tabel 5.

13 99 Tabel 5. Pemikiran tentang Tingkat Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan No Aspek-aspek Masyarakat Desa Sekitar Hutan yang tidak Berdaya Masyarakat Desa Sekitar Hutan yang Berdaya 1 Kemampuan interpersonal 2 Kemampuan interaksional 3 Kapasitas mengambil tindakan 4 Kemampuan kolektif 5 Kemampuan bertahan -Wawasan dan pemahaman tentang program rendah -Kemampuan melakukan berbagai kegiatan teknis pengelolaan sumberdaya hutan rendah -Petani tidak mempunyai sikap kritis terhadap penerapan prinsipprinsip pemberdayaan dalam kegiatan program yang mereka lakukan -Petani tidak mempunyai kemauan untuk berperan aktif dalam program pemberdayaan yang meliputi kegiatan sosial, teknis kehutanan, pengembangan usahataninya -Kebersamaan dan kepedulian terhadap kegiatan dan permasalahan petani rendah -Petani merasa dalam posisi yang lebih rendah / subordinasi dari Perhutani -Kemampuan menggali kebutuhan petani, memecahkan masalah petani, dan memperjuangkan kebutuhan anggotanya rendah -Kemampuan petani dalam mengenali hambatan, tantangan, dan mencari pemecahan terhadap hambatan dan tanntangan yang mereka hadapi masih rendah -Wawasan dan pemahaman tentang program tinggi -Kemampuan melakukan berbagai kegiatan teknis pengelolaan sumberdaya hutan tinggi -Petani mempunyai kesadaran yang kritis terhadap penerapan prinsipprinsip pemberdayaan dalam kegiatan program yang mereka terlibat di dalamnya -Petani mempunyai kemauan yang tinggi untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya pemberdayaan yang meliputi kegiatan sosial, teknis kehutanan dan pengembangan usahataninya -Adanya kebersamaan dan kepedulaian yang tinggi terhadap kegiatan dan permasalahan para petani -Petani merasa kedudukan setara dengan pihak Perhutani -Kemampuan dalam menggali kebutuhan petani, memecahkan permasalahan petani dan memperjuangkan aspirasi anggotanya tinggi -Petani mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengenali hambatan, tantangan dan mampu mencari pemecahan terhadap hambatan dan tantangan yang mereka hadapi dengan baik Keterangan : Diadaptasi dari Perkins & Zimmerman (1995); Wong (2003); dan Suharto (2005) Masyarakat desa hutan yang memiliki tingkat keberdayaan tinggi berarti memiliki pemahaman tentang program yang memadai, sikap dan kesadaran yang kritis terhadap penerapan prinsip-prinsip pemberdayaan dalam program, kemauan yang tinggi untuk mengambil peran aktif dalam upaya pemberdayaan, dan kemampuan yang tinggi untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan

14 100 dan memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Keberdayaan masyarakat yang semakin tinggi diduga akan meningkatkan keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan pemberdayaan. Dengan kata lain bahwa keberdayaan yang tinggi diduga akan berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam upaya-upaya pemberdayaan.hal ini didukung oleh Zimmerman (1995) yang pada intinya menyatakan bahwa diantara beberapa dampak dari pemberdayaan yaitu subyek mampu memo-bilisasi sumberdaya yang dimiliki, dan mampu menampilkan perilaku partisipasi. Dalam konteks masyarakat sekitar hutan, Sardjono (2004) menekankan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat diperlukan agar partisipasi masyarakat dan kerjasama yang dibangun bersifat setara atau tidak ada dominasi salah satu pihak. Mengingat dalam bidang kehutanan, masyarakat lokal memiliki daya tawar yang paling lemah. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Partisipasi memiliki makna sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, yang menyangkut pengambilan keputusan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya. Hal ini sebagaimana konsep partisipasi yang diutarakan oleh Colfer dan Wadley (1996), Khan (1997), Pretty dan Vodouhё (1997), Van den Ban dan Hawkins (1999), Singh (2000), Slamet (2003), Kesby (2005), Thompson et al. (2005) dan Syahyuti (2006). Partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam penelitian ini dipandang sebagai dampak dari adanya masyarakat yang telah memiliki keberdayaan. Artinya perilaku partisipasi yang mereka tampilkan tidak terlepas dari kemampuan atau daya yang mereka miliki. Tabel 6 menunjukkan pemikiran-pemikiran mengenai tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan yang meliputi aspek-aspek yang dibahas, perilaku petani yang kurang partisipatif, perilaku petani yang partisipatif yang merupakan paradigma yang akan diuji dalam penelitian.

15 101 Tabel 6. Pemikiran tentang Tingkat Partisipasi No Aspekaspek Perilaku Petani Yang Kurang Partisipatif 1 Perencanaan -Perencanaan program ditentukan dari atas, dan petani diberikan informasi program yang sudah jadi -Kelembagaan petani dibentuk dari atas, petani tinggal menerima saja -Petani tidak ikut menyusun rencana kerja, dan tidak mengetahui tentang isi perjanjian kerjasama dengan Perhutani 2 Pelaksanaan -Keputusan pelaksanaan program ditentukan sepenuhnya dari atas -Petani tidak mengambil peran dalam kegiatan-kegiatan teknis kehutanan -Petani bersikap pasif tidak berperan dalam menentukan tatacara & jenis tanaman pangan/empon-empon pada andil -Petani hanya fokus melakukan budidaya tanaman palawija pada andilnya 3 Evaluasi -Petani tidak menyumbangkan pemikirannya tentang kriteria penilaian dan penilaian keberhasilan program -Petani tidak ikut melakukan penilaian program -Petani tidak mampu melihat kelemahan program dan menyampaikan sarannya kepada pihak Perhutani Perilaku Petani Yang Partisipatif -Petani selalu berperan aktif merumuskan perencanaan program dan berperan dalam proses komunikasi yang dialogis -Petani selalu berperan aktif dalam pembentukan kelembagaan -Petani selalu berperan aktif menyusun rencana kegiatan, dan turut serta merumuskan perjanjian kerjasama -Petani secara aktif turut mengambil keputusan pelaksanaan program -Selalu aktif menyediakan tenaga melakukan kegiatan-kegiatan teknis kehutanan -Menyumbangkan pikiran secara aktif dalam menentukan tatacara & jenis tanaman pangan/ empon-empon pada andil -Selalu berupaya mengembangkan budidaya tanaman pangan / empon-empon pada andilnya -Petani selalu menyumbangkan pemikirannya tentang kriteria penilaian dan penilaian keberhasilan program -Petani selalu aktif berperan menyumbangkan tenaga melakukan penilaian program -Petani mampu melihat kelemahan program, dan mampu menyampaikannya kepada pihakperhutani 4 Pemanfaatan hasil -Petani tidak pernah menikmati manfaat dari sumberdaya hutan di sekitarnya, meliputi : hasil budidaya tanaman pangan dan empon-empon, hasil non kayu (getah pinus), kayu bakar, hijauan makanan ternak, kayu hasil penjarangan, dan sharing kayu / non kayu -Petani selalu mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan di sekitarnya yang meliputi : hasil budidaya tanaman pangan dan empon-empon, hasil non kayu (getah pinus), kayu bakar, hijauan makanan ternak, kayu hasil penjarangan, dan haring kayu / non kayu Keterangan : Diadaptasi dari Colfer & Wadley (1996); Khan (1997); Pretty & Vodouhё (1997); Van den Ban & Hawkins (1999); Singh (2000); Slamet (2003); Kesby (2005); dan Thompson et al. (2005) Tingkat keberdayaan masyarakat dalam suatu yang merupakan hasil dari proses pemberdayaan diduga juga dipengaruhi sejauhmana SDM Pemberdaya (agent of change) mampu melakukan peran yang disandangnya. Oleh

16 102 karena itu di bawah ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang berkaitan konsep peran SDM Pemberdaya tersebut. Peran SDM Pemberdaya dalam Memberdayakan Petani Sumberdaya manusia pemberdayaan dalam penelitian ini memiliki makna yang sama dengan konsep agen perubahan (agent of change) yaitu seorang profesional yang mempengaruhi sasaran penyuluhan untuk mengadopsi suatu inovasi agar sesuai dengan tujuan penyuluhan sebagaimana diharapkan. Dalam pandangan Rogers & Shoemaker (1971) fungsi dari agen perubahan yaitu menjembatani antara dua sistem, yaitu sistem sosial masyarakat sasaran dan sistem pemerintah yang menyelenggarakan pembangunan (penyuluhan). Dalam hal ini SDM Pemberdaya harus bisa mengkomunikasikan antara kebijakan pembangunan pemerintah sebagai sebuah inovasi yang disampaikan kepada sasaran, dan kebutuhan masyarakat sasaran serta umpan balik dari sasaran atas program yang mereka terima. Keberhasilan penyuluh dalam menjembatani kedua sistem tersebut tergantung dari sejauhmana proses perubahan secara terencana itu dilaksanakan. Dalam konteks masyarakat lokal sekitar hutan, Sardjono (2004) juga menggarisbawahi perlunya fasilitasi pihak luar yang dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat terlibat (dalam pembangunan kehutanan) dan kemudian secara perlahan meningkat ke arah mobilisasi secara mandiri. Menurut Chamala dan Shingi (1997) terdapat empat peran utama penyuluhan dalam mengembangkan organisasi petani, yang bisa dipandang juga sebagai peran dari SDM Pemberdaya, yaitu : 1) peran pemberdayaan, 2) peran mengorga-nisasikan komunitas, 3) peran pengembangan sumberdaya manusia, dan 4) peran pemecahan masalah dan pendidikan. Dalam penelitian ini peransumberdaya Manusia Pemberdaya adalah kemampuan yang dimiliki pelaku pemberdayaan untuk melakukan tugasnya memberdayakan petani / tani hutan melalui program PHBM. Peran SDM Pemberdaya diukur melalui enam indikator yaitu mengembangkan partisipasi petani, pemecahan masalah dan pembelajaran petani, mengorganisasikan petani, membangun jaringan, mencari peluang pasar, membangun komunikasi, dan kesetaraan status sosialnya dengan

17 103 petani. Tabel 7 menggambarkan pemikiran mengenai peran SDM Pemberdaya tersebut dan merupakan paradigma yang akan diuji dalam penelitian. Tabel 7. Pemikiran tentang Peran SDM Pemberdaya No Aspek-aspek Pendamping /SDM yang kurang Memberdayakan Pendamping /SDM yang Memberdayakan 1 Mengembangkan partisipasi petani 2 Pemecahan masalah dan pembelajaran petani 3 Mengorganisasikan petani 4 Membangun jaringan 5 Mencari peluang pasar 6 Membangun komunikasi 7 Kesetaraan status sosial dengan petani -Pendamping bersikap kurang peduli terhadap partisipasi petani, kurang memberikan penyadaran akan kemampuan petani, dan tidak memberikan motivasi kepada petani -Pendamping bersikap kurang peduli terhadap kebutuhan dan masalah petani, dan bersikap pasif terhadap proses pembelajaran petani -Pendamping tidak bisa menyesuaikan dengan budaya setempat, kurang bisa bekerjasama dengan pemimpin lokal dan pasif dalam membina kegiatan -Pendamping tidak menjalin hubungan dengan pihak terkait, dan tidak mendorong untuk menjalin hubungan dengan pihak terkait -Pendamping bersikap pasif terhadap potensi usahatani, dan pemasaran usahatani -Pendamping tidak menyediakan informasi bagi petani, dan kurang bisa memberikan penjelasan dengan baik terhadap petani dan tani -Pendamping merasa lebih tinggi dari petani dan kurang bisa diterima di kalangan petani -Pendamping secara aktif mendorong partisipasi petani, menyadarkan akan kemampuan petani, dan memotivasi petani -Pendamping aktif dan mampu menggali kebutuhan dan permasalahan petani, memberikan solusi, dan aktif mendorong proses pembelajaran petani -Pendamping mampu menyesuaikan dengan kondisi sosial setempat, mampu bekerjasama dengan pemimpin lokal, dan aktif mengembangkan tani -Pendamping sangat aktif menjalin hubungan dengan pihak-pihak terkait, mengkomuni-kasikannya dengan, dan mendorong untuk aktif menjalin hubungan dengan pihak terkait. -Pendamping sangat aktif mengidentifikasi potensi pasar hasil usahatani, menyampaikan kepada, dan memfasilitasi transaksi dengan pasar -Pendamping selalu menyediakan informasi bagi petani, dan mampu menjelaskan dengan baik terhadap petani dan tani -Pendamping mempunyai kedudukan yang sejajar dengan petani, dan bisa diterima dengan baik di lingkungan petani Keterangan : Diadaptasi dari Chamala dan Shingi (1997) Hipotesis

18 104 Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris (Suryabrata, 2003). Hipotesis merupakan sarana penelitian ilmiah yang penting dan tidak bisa ditinggalkan karena merupakan instrumen kerja dari teori. Sebagai hasil deduksi dari teori atau proposisi, hipotesis lebih spesifik sifatnya sehingga lebih siap untuk diuji secara empirik. Suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan antara dua peubah atau lebih (Effendi, 1995). Berdasarkan rumusan masalah penelitian dan kerangka berpikir yang diuraikan sebelumnya, hipotesis kerja yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dinamika dipengaruhi secara nyata oleh potensi sumberdaya individu, ketepatan proses pemberdayaan, peran SDM Pemberdaya, keefektifan kepemimpinan, dan dukungan lingkungan. Uji statistik yang digunakan : Analisis persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) Hipotesis 1 digambarkan dalam pola hubungan antar peubah pada Gambar 3. X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 Y1 Keterangan : - Potensi Sumberdaya Individu Petani (X1) - Ketepatan Proses Pemberdayaan (X2) - Peran SDM Pemberdaya (X3) - Keefektifan Kepemimpinan Kelompok (X4) - Dukungan Lingkungan (X5) - Dinamika Kelompok (Y1) Gambar 3. Model hipotetik faktor-faktor yang mempengaruhi Dinamika Kelompok 2. Tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dipengaruhi secara nyata oleh dinamika, potensi sumberdaya individu, ketepatan proses pember-

19 105 dayaan, peran SDM Pemberdaya, keefektifan kepemimpinan, dan dukungan lingkungan. Uji statistik yang digunakan : Analisis persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) Hipotesis 2 digambarkan dalam pola hubungan antar peubah pada Gambar 4. X 1 X 4 X 5 X 2 X 3 Y 1 Y2 Keterangan : - Potensi Sumberdaya Individu Petani (X1) - Ketepatan Proses Pemberdayaan (X2) - Peran SDM Pemberdaya (X3) - Keefektifan Kepemimpinan Kelompok (X4) - Dukungan Lingkungan (X5) - Dinamika Kelompok (Y1) - Tingkat Keberdayaan (Y2) Gambar 4. Model hipotetik faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Keberdayaan masyarakat sekitar hutan 3. Tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan berpengaruh secara nyata terhadap tingkat partisipasinya. Uji statistik yang digunakan : Analisis persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) Hipotesis 3 digambarkan dalam pola hubungan antar peubah pada Gambar 5. Y 2 Y 3 Keterangan : - Tingkat Keberdayaan (Y2) - Tingkat Partisipasi (Y3) Gambar 5. Model hipotetik pengaruh antara Tingkat Keberdayaan masyarakat sekitar hutan terhadap Tingkat Partisipasi METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel

20 106 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan Januari Pengambilan data pokok di lapangan dilakukan pada bulan Juli 2008 sampai Agustus Penelitian dilakukan terhadap masyarakat sekitar hutan produksi pada wilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang meliputi tiga KPH yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih. Pemilihan tiga KPH sampel yang mewakili tiga wilayah dengan mempertimbangkan karakteristik kelas hutannya (Perhutani Unit I, 2007) dan tipologi masyarakat sesuai kebudayaan Jawa (Gautama, 2003). Kelompok A (wilayah Jawa Tengah bagian Utara Barat) dengan ciri kelas hutan produksi Jati dan sebagian Pinus dengan ciri budaya masyarakat Jawa Pesisiran Kilen, terpilih sampel KPH Pekalongan Timur yang mempunyai kelas perusahaan Pinus. Kelompok B (wilayah Jawa Tengah bagian Selatan) dengan ciri kelas perusahaan produksi yang dominan Pinus, sebagian Jati, Damar, Mahoni dan Rhizopora (KPH Banyumas barat bagian pesisir selatan), dengan ciri budaya masyarakat bagian barat yaitu Jawa Banyumasan dan bagian timur yaitu Jawa Nagarigung, terpilih sebagai sampel KPH Kedu Selatan. Kelompok C (wilayah Jawa Tengah bagian Utara Timur) dengan ciri kelas perusahaan yang dominan Jati dan ciri budaya masyarakatnya termasuk Jawa Pesisiran Wetan, terpilih sebagai sampel yaitu KPH Gundih. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan, penelitian meliputi 7 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) termasuk 1 BKPH untuk uji coba instrumen penelitian. Sedangkan berdasarkan wilayah administratif pemerintahan, lokasi penelitian ini meliputi 6 Kabupaten, dan 9 Kecamatan (termasuk wilayah untuk ujicoba instrumen penelitian). Ikhtisar lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8.

21 107 Tabel 8. Ikhtisar lokasi penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan berdasarkan Wilayah Pengelolaan Hutan dan Wilayah Administratif No Wilayah Pengelolaan Hutan / KPH 1 KPH Pekalongan Timur Wilayah Pemerintahan Kabupaten Kab. Pekalongan Wilayah Pengelolaan Hutan /BKPH BKPH Karanganyar BKPH Doro Wilayah Administratif Kecamatan Kec. Lebakbarang Kec. Petung Kriyono Kec. Doro Kab. Batang * BKPH Bandar * Kec. Bandar* 2 KPH Kedu Selatan Kab. Wonosobo BKPH Purworejo Kec. Kepil Kab. Purworejo Kec. Loano Kab. Kebumen BKPH Gombong Selatan Kec. Buayan Kec. Ayah BKPH Juoro Kec. Geyer 3 KPH Gundih Kab. Grobogan BKPH Monggot Kec. Geyer 3 KPH 5 Kabupaten 6 BKPH 8 Kecamatan Keterangan : *). Lokasi uji coba instrumen penelitian di BKPH Bandar Populasi Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 2003). Populasi atau universe juga berarti jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Mantra dan Kasto, 1989). Corbetta (2003) mendefinisikan populasi sebagai kumpulan (agregat) dari unit-unit yang merupakan obyek studi yang dipelajari. Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan kepala keluarga petani sekitar hutan yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) pada tiga lokasi penelitian di sekitar hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Berdasarkan Tabel 9 maka jumlah populasi petani pada daerah penelitian setelah disusun kerangka sampling yaitu sebanyak orang petani sebagai kepala keluarga.

22 108 Sampel Sampel ialah sebagian dari populasi. Sedangkan sampling adalah cara pengumpulan data kalau hanya elemen sampel yang diteliti (tidak seluruh elemen populasi) dan hasilnya merupakan data perkiraan atau estimate (Supranto, 2004). Hal ini senada dengan Corbetta (2003) yang menyatakan bahwa sampling merupakan prosedur di mana kita mengambil, dari seperangkat unit-unit yang membentuk obyek penelitian (populasi), sejumlah tertentu dari kasus-kasus (sampel) yang dipilih berdasarkan kriteria yang memungkinkan hasil yang didapatkan dari mempelajari sampel itu bisa diekstrapolasikan ke dalam keseluruhan populasi. Pengambilan sampel dalam proyek yang berkaitan dengan pertanian menurut Casley dan Kumar (1987) bisa mempertimbangkan beberapa hal berikut : (1) Sampel yang diambil tidak perlu harus besar untuk bisa mengambil kesimpulan tertentu. (2) Sampel tidak tergantung dari ukuran besarnya populasi sehingga tidak perlu harus mengambil sejumlah persen tertentu dari populasi. (3) Sampel bisa diambil dari yang didefinisikan secara lebih sempit / spesifik sesuai tujuan yang dikehendaki, dan tidak harus siambil dari populasi secara keseluruhan. (4) Ukuran sampel terutama tergantung dari variasi di dalam populasi berdasarkan peubah yang diamati, dan bukan dari ukuran besarnya populasi. Sampel dalam penelitian ini yaitu kepala keluarga petani sekitar hutan yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH). Jumlah sampel dihitung berdasarkan pendugaan proporsi populasi dan tingkat kepercayaan yang diinginkan yaitu sebesar 95 persen.

23 109 Menurut Yamane (1967), diacu dalam Rahmat (2002), ukuran sampel didasarkan pada pendugaan proporsi populasi dihitung dengan rumus sederhana sebagai berikut: N n = Nα 2 +1 di mana: n = jumlah sampel N = populasi α = 1 - presisi (tingkat kepercayaan) Berdasarkan rumus tersebut, dengan jumlah populasi (N) sebanyak KK, dan presisi (tingkat kepercayaan) diambil 95 persen, maka jumlah sampel (n) sebanyak atau 400 orang. Ukuran sampel sebesar ini juga diperkuat oleh pendapat Corbetta (2003), yaitu apabila tingkat akurasi diambil 5 persen (derajat error absolut) dan ukuran populasi (N) misalnya lebih dari maka sudah cukup memadai apabila diambil ukuran sampel (n) sebesar 400. Dalam kajian ini peneliti memutuskan untuk mengambil sampel sebanyak 408 orang agar diperoleh sampel yang sama untuk setiap LMDH. Sebaran jumlah sampel digambarkan dalam kerangka sampel pada Tabel 9. Tabel 9. Kerangka sampel penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah Sampel KPH Jumlah BKPH Sampel BKPH Jumlah Desa PHBM (LMDH) Sampel LMDH * Jumlah KTH* Sampel KTH Populasi (Jumlah KK Desa PHBM) Sampel (Jml KK Petani) Bobot Sampel KPH Pekalongan Timur KPH Kedu Selatan KPH Gundih Jumlah Sumber : Diolah dari data Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007) dan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2008) *Keterangan : - Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan organisasi setingkat desa, yang masing-masing terdiri dari sekitar 5 Kelompok Tani Hutan (KTH). LMDH mengadakan kerjasama pengelolaan hutan dengan Kepala KPH setempat.

24 110 Pengambilan sampel petani sebagai responden penelitian ini dilakukan dengan metode pengambilan sampel gugus bertahap secara acak atau multistage cluster random sampling (mengacu pada Mantra & Kasto, 1989; Kerlinger, 1990; Nawawi, 2003). Jumlah sampel setiap gugus diambil secara disproporsional atau diambil sampel dengan jumlah yang sama untuk setiap gugus /. Mengacu pada Rakhmat (2004b), karena jumlah sampel setiap gugus tidak proporsional dengan jumlah populasi pada gugus tersebut, data pada setiap gugus dikalikan dengan bobot. Bobot sampel diperoleh dengan rumus = 1/ps (satu dibagi pecahan sampling). Untuk memudahkan perhitungan, bobot dibulatkan dengan angka terendah sebagai standar atau angka 1. Berdasarkan perhitungan maka bobot sampel untuk KPH Pekalongan Timur = 1, KPH Kedu Selatan = 13 dan KPH Gundih = 1. Populasi dalam penelitian ini letaknya sangat tersebar secara geografis sehingga sangat sulit mendapatkan kerangka sampel dari semua unsur-unsur yang terdapat dalam populasi itu. Oleh karena itu unit analisis dikan ke dalam gugus-gugus (cluster) yang merupakan satuan dari mana sampel akan diambil. Gugus dalam penelitian ini yaitu KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan), BKPH (bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan), LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan KTH (Kelompok Tani Hutan). Pengambilan sampel dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Pengambilan sampel tahap I. Wilayah pengelolaan hutan Perhutani Unit I Jawa Tengah terbagi kedalam 20 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) diambil 3 (tiga) buah KPH sampel. Pengambilan sampel KPH dilakukan dengan mengelompokkan KPH-KPH kedalam tiga besar berdasarkan karakterisik kelas hutannya (Perhutani Unit I, 2007) dan berdasarkan peta wilayah Kebudayaan Jawa (Gautama, 2003). Tiga KPH yang terpilih sebagai sampel yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih. Pemilihan sampel KPH dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Kelompok A : Wilayah Jawa Tengah Bagian Utara Barat, dengan ciri kelas hutan produksinya yang dominan jenis Jati dan sebagian kecil jenis Pinus, sedangkan ciri budaya masyarakatnya Jawa Pesisiran Kilen.

25 111 Kelompok ini meliputi KPH Pekalongan Barat, KPH Balapulang, KPH Pemalang, KPH Pekalongan Timur, dan KPH Kendal. Dari lima KPH ini terpilih secara acak satu KPH yaitu KPH Pekalongan Timur. b) Kelompok B : Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan, dengan ciri kelas hutan produksi dominan jenis Pinus, dan sebagian kecil jenis Jati. Ciri budaya masyarakatnya pada bagian barat yaitu budaya Jawa Banyumasan, dan Bagian Timur budaya Jawa Nagarigung. Kelompok ini meliputi KPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Timur, KPH Kedu Selatan, KPH Kedu Utara (bagian selatan) dan KPH Surakarta. Dari lima KPH tersebut terpilih sampel secara acak yaitu KPH Kedu Selatan. c) Kelompok C : Wilayah Jawa Tengah bagian Utara Timur, dengan ciri kelas hutan produksi yang dominan Jati, sedangkan ciri budaya masyarakatnya termasuk Jawa Pesisiran Wetan. Kelompok ini meliputi sepuluh KPH yaitu KPH Semarang, KPH Kedu Utara (bagian utara), KPH Telawa, KPH Pati, KPH Purwodadi, KPH Gundih, KPH Mantingan, KPH Blora, KPH Kebonharjo, KPH Cepu dan KPH Randublatung. Dari ini terpilih secara acak KPH Gundih sebagai sampel. 2. Pengambilan sampel tahap II. Setiap KPH sampel diambil secara acak masing-masing 2 (dua) buah BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan). KPH Pekalongan Timur yang meliputi 7 BKPH secara acak terpilih 2 BKPH sampel yaitu BKPH Karanganyar dan BKPH Doro. KPH Kedu Selatan terdiri dari 7 BKPH akhirnya secara acak terpilih dua BKPH sampel yaitu BKPH Purworejo dan BKPH Gombong Selatan. Sedangkan KPH Gundih yang terdiri dari 10 BKPH akhirnya terpilih secara acak dua BKPH sampel yaitu BKPH Monggot dan BKPH Juoro. Dengan demikian terpilih 6 (enam) BKPH sampel. 3. Pengambilan sampel tahap III. Setiap BKPH sampel diambil secara acak 2 (dua) buah LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang telah melakukan kerjasama program PHBM dengan Perhutani (Kepala KPH). Pengambilan sampel LMDH dilakukan secara purposif dan acak (purposif random sampling), yaitu diambil LMDH-LMDH yang telah mendapatkan sharing hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 144 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tiga wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu program pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya kelompok tani adalah organisasi yang memiliki fungsi sebagai media musyawarah petani. Di samping itu, organisasi ini juga memiliki peran dalam akselerasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kepemimpinan kelompok merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi anggota kelompoknya, sehingga anggota kelompoknya bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan alur berpikir proses penelitian yang akan dilakukan. Alur berpikir dimulai dari kenyataan masalah tentang kerawanan pangan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK LINGKUNGAN, KARAKTERISTIK PETANI PESANGGEM, DAN PERAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PHBM KPH KENDAL TUGAS AKHIR Oleh: TRI JATMININGSIH L2D005407 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Dinamika Kelompok Tani Hutan pada Pengelolaan Hutan Produksi Bersama Masyarakat di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah

Dinamika Kelompok Tani Hutan pada Pengelolaan Hutan Produksi Bersama Masyarakat di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah Jurnal Penyuluhan, Maret 2010 Vol. 6 No.1 Dinamika Kelompok Tani Hutan pada Pengelolaan Hutan Produksi Bersama Masyarakat di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah Factors that Influence Group Dynamic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Strategi Strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah

Lebih terperinci

Hubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan

Hubungan Karakteristik Individual Anggota Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan 101 HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DAN SOSIAL EKONOMI ANGGOTA MASYARAKAT SERTA DUKUNGAN PEMIMPIN, PROGRAM DAN KELEMBAGAAN NON FORMAL DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN HUTAN Kajian hubungan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH

PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH Tim Peneliti Balitbang Prov. Jateng Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM)

PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) PROGRAM PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Proses Penyusunan Rencana Program Pelaksanaan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di tingkat Desa Tonjong

Lebih terperinci

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah Kecamatan Kahayan Kuala merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau yang sangat

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di 63 BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil analisis kesesuaian, pengaruh proses pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende dapat dibahas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Gabungan Kelompok Tani (Gapokan) PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) menetapkan

Lebih terperinci

SISTEM. Oleh: Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky. Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto

SISTEM. Oleh: Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky. Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto LAPORAN AKHIR TA. 2013 PERAN PENYULUH SWADAYA DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN Oleh: Kurnia Suci Indraningsih Syahyuti Sunarsih Ahmad Makky Ar-Rozi Sri Suharyono Sugiarto PUSAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian merupakan faktor penunjang ekonomi nasional. Program-program pembangunan yang dijalankan pada masa lalu bersifat linier dan cenderung bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting berdampingan dengan sektor lainnya. Walaupun sektor

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting berdampingan dengan sektor lainnya. Walaupun sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian di Indonesia sampai saat ini masih memegang peranan penting berdampingan dengan sektor lainnya. Walaupun sektor tersebut sudah berkurang kontribusinya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah telah membawa perubahan pada sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Perubahan ini berdampak pada pembangunan. Kini pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kerangka Berpikir 43 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Untuk menjelaskan kerangka penelitian ini, dimulai dari alasan penelitian ini dilakukan, kemudian mencoba mencari jawaban secara deduktif

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Implementasi Program PHBM di Perum Perhutani KPH Cepu Salah satu bentuk kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Perhutani untuk menangani masalah pencurian kayu dan kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai ,71 km 2. Hutan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas kawasan hutan di Pulau Jawa berdasarkan catatan BKPH Wilayah IX Jawa Madura pada tahun 2012 mencapai 129.600,71 km 2. Hutan tersebut dikelilingi ±6.807 desa dengan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan BAB IV PENUTUP Pada Bab IV ini peneliti akan menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran dipaparkan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya. 4.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai salah satu sumber devisa negara. Dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dinyatakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi, populasi dan Sampel Penelitian. Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. KPH Bandung Selatan

METODE PENELITIAN. Lokasi, populasi dan Sampel Penelitian. Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. KPH Bandung Selatan METODE PENELITIAN Lokasi, populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pangalengan yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan, KPH Bandung

Lebih terperinci

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

BAB III Tahapan Pendampingan KTH BAB III Tahapan Pendampingan KTH Teknik Pendampingan KTH 15 Pelaksanaan kegiatan pendampingan KTH sangat tergantung pada kondisi KTH, kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi oleh KTH dalam melaksanakan

Lebih terperinci

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR i PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR (Studi Kasus: Kecamatan Randublatung) TUGAS AKHIR Oleh: MEILYA AYU S L2D 001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Wirosari memiliki visi menjadikan SD Negeri Wirosari sekolah yang unggul, kreatif, inovatif, kompetitif dan religius. Sedangkan misinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sosial (social development); pembangunan yang berwawasan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sosial (social development); pembangunan yang berwawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terkenal dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, sering ditemukan pemanfaatan sumber daya alam oleh pelaku pembangunan yang hanya berorientasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia. 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pembangunan ekonomi nasional meletakkan pembangunan pertanian sebagai langkah awal yang mendasar bagi pertumbuhan industri. Diharapkan dengan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 115 8.1 Kesimpulan Dari hasil kajian tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) (suatu kajian penguatan kapasitas

Lebih terperinci

DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT

DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT Dayat Program Studi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Bogor E-mail: sttp.bogor@deptan.go.id RINGKASAN Indonesia merupakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA Kasus Kelompok Tani Karya Agung Desa Giriwinangun, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi NOVRI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR Oleh : INDAH SUSILOWATI L2D 305 134 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

di kawasan Asia Pasifik melalui Asia Pacific Economic

di kawasan Asia Pasifik melalui Asia Pacific Economic PENDAHULUAN Latar Belakang Bersamaan dengan diawalinya PJP I1 pada tahun 1994, perubahan lingkungan global telah memasuki tahap operasional. Dengan diterapkannya General Agreement on Tariffs and Trade

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Undang-Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan seperti yang diamanatkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 2 dan 3 harus berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Kemitraan Dalam UU tentang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995, konsep kemitraan dirumuskan dalam pasal 26 sebagai berikut: 1. Usaha menengah dan besar melaksanakan hubungan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk mendorong terjadinya perubahan yang

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 55 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Sebagai badan, suatu peran tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya partisipasi masyarakat. Selain sebagai institusi ekonomi, peran juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Kelompok tani adalah petani yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan kesamaan kondisi lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Hubungan antara Karakteristik Petani dan Dinamika Kelompok Tani dengan Keberhasilan Program PUAP

Hubungan antara Karakteristik Petani dan Dinamika Kelompok Tani dengan Keberhasilan Program PUAP Prosiding SNaPP011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 089-590 Hubungan antara Karakteristik Petani dan Dinamika Kelompok Tani dengan Keberhasilan Program PUAP Achmad Faqih Jurusan Agribisnis Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir. kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir. kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam 28 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah adanya peningkatan kualitas hidup rakyat melalui peningkatan partisipasinya secar aktif dalam pembangunan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Konsep Perhutanan Sosial secara keseluruhan menempatkan posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian subsektor perkebunan mempunyai arti penting dan strategis terutama di negara yang sedang berkembang, yang selalu berupaya: (1) memanfaatkan kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Landasan berpikir penelitian ini dimulai dari pemikiran bahwa setiap insan manusia termasuk petani memiliki kemampuan dalam melaksanakan suatu tindakan/perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan PENGANTAR Latar Belakang Pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI RELAWAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB VI PERSEPSI RELAWAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 57 BAB VI PERSEPSI RELAWAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 6.1 Persepsi Relawan terhadap PNPM-MP Persepsi responden dalam penelitian ini akan dilihat dari tiga aspek yaitu persepsi terhadap pelaksanaan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 105 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan Penelitian ini memfokuskan kepada upaya untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman terhadap aspek-aspek

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan di Indonesia telah sejak lama mengedepankan peningkatan sektor pertanian. Demikian pula visi pembangunan pertanian tahun 2005 2009 didasarkan pada tujuan pembangunan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian

METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian 22 3. Terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik personal, karakteristik lingkungan sosial, dan tingkat pengelolaan program dengan tingkat penghargaan masyarakat terhadap PDPT. 4. Terdapat hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi X (PT X) memiliki visi yaitu menjadi. Salah satu cara untuk mewujudkan visi tersebut adalah menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi X (PT X) memiliki visi yaitu menjadi. Salah satu cara untuk mewujudkan visi tersebut adalah menyelenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perguruan Tinggi X (PT X) memiliki visi yaitu menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif, mengabdi pada kepentingan bangsa, dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Kehidupan masa mendatang cenderung semakin kompleks dan penuh tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap insan yang kompeten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

Lebih terperinci

MAKALAH DASAR - DASAR PENYULUHAN ( PENYULUHAN BERAZASKAN PARTISIPATIF ) DOSEN PENGAMPU: Drs. AKIMI. MM

MAKALAH DASAR - DASAR PENYULUHAN ( PENYULUHAN BERAZASKAN PARTISIPATIF ) DOSEN PENGAMPU: Drs. AKIMI. MM MAKALAH DASAR - DASAR PENYULUHAN ( PENYULUHAN BERAZASKAN PARTISIPATIF ) DOSEN PENGAMPU: Drs. AKIMI. MM SEMESTER. I JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM: 06.2.4.10.375 SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN MAGELANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis. Kondisi ini menyebabkan iklim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan PKBM merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang lahir dari kesadaran tentang betapa

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN. Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat

BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN. Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Sebagai jawaban atasrumusan pertanyaan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil analisis regresi untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Kekuatan yang dimiliki oleh kelompok pengrajin tenun ikat tradisional di desa Hambapraing, sehingga dapat bertahan sampai sekarang adalah, kekompakan kelompok, suasana

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI

54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI 54 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PNPM MANDIRI Oleh: Dhio Adenansi, Moch. Zainuddin, & Binahayati Rusyidi Email: dhioadenansi@gmail.com; mochzainuddin@yahoo.com; titi.rusyidi06@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kondisi hutan yang semakin kritis mendorong pemerintah membuat sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan pengelolaan hutan. Komitmen tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian hingga kini masih menjadi andalan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selama krisis ekonomi berlangsung prioritas kebijakan lebih besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, membawa dampak yang sangat besar terhadap hampir semua lapisan masyarakat. Angka kemiskinan dan pengangguran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelompok Wanita Tani Kelompok tani adalah kumpulan petani yang terikat secara non formal dan dibentuk atas dasar kesamaan, kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi

I. PENDAHULUAN. Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun terakhir pengelolaan hutan di Indonesia berorientasi pada konglomerasi dan bersifat sentralistik. Dalam situasi politik yang masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas

BAB I PENDAHULUAN. ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan perekonomian Indonesia secara keseluruhan ternyata mendorong meningkatnya permintaan dan kosumsi komoditas-komoditas pertanian tertentu, seperti

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat).

Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat). 123 Lampiran 1 : Pedoman Pengumpulan Data (Wawancara, FGD, dan Observasi Kajian Pengembangan Masyarakat). A. PETA SOSIAL DESA 1. Bagaimana sejarah terbentuknya Desa Glandang, Program Pemerintahan Desa

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kinerja penyuluh pertanian yang baik merupakan dambaan setiap stakeholder pertanian. Petani yang terbelenggu kemiskinan merupakan ciri bahwa penyuluhan pertanian masih perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. kabupaten/kota dapat menata kembali perencanaan pembangunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki keleluasaan untuk mengelola daerah dan sumberdaya alam yang ada di daerahnya. Dengan keleluasaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI 10 HUBUNGAN ANTARA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI Oleh : Arip Wijianto*, Emi Widiyanti * ABSTRACT Extension activity at district

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi pioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Lebih terperinci