3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keragaman Udang Mantis di Kuala Tungkal, Jambi Udang mantis Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798 merupakan jenis udang yang hidup di daerah intertidal hingga subtidal pada kedalaman 2 meter hingga 43 meter dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (Manning 1969). Di perairan pesisir Kuala Tungkal, Jambi, juga ditemukan beberapa jenis udang mantis lain selain jenis H. raphidea, diantaranya H. harpax dan Oratosquillina gravieri. Namun demikian, udang mantis jenis H. raphidea adalah jenis yang paling banyak ditemukan dan menjadi salah satu komoditas ekspor andalan masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Selama penelitian, udang mantis jenis H. harpax dan O. gravieri hanya ditemukan di daerah intertidal dan tidak pernah dijumpai di penampungan udang mantis yang menunjukkan bahwa kedua jenis udang mantis tersebut selama penelitian tidak pernah ditemukan pada daerah subtidal. Ukuran kedua jenis udang mantis yang tertangkap juga jauh lebih kecil dari udang mantis H. raphidea. Secara morfologi, udang mantis H. harpax tidak jauh berbeda dengan H. raphidea. Perbedaan utama hanya ada di bagian punggung (dorsal), dimana pada setiap ruas bagian dorsal H. raphidea terdapat duri berwarna hijau tua, sedangkan pada H. harpax tidak ada. Sedangkan perbedaan utama antara udang mantis H. raphidea dan H. harpax dengan O. gravieri adalah bentuk lengan (propodus), bentuk ujung karapas, dan warna ujung telson. Secara ringkas, gambaran perbedaan morfologi antar jenis udang mantis yang terdapat di Kuala Tungkal, Jambi, dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

2 12 3 cm Gambar 3. Perbedaan morfologi antara udang mantis Harpiosquilla harpax (dua sebelah kiri), H. raphidea (tengah) dan Oratosquillina gravieri (kanan) Bentuk propodus seperti otot bisep pada manusia Bentuk propodus yang simetris Ujung karapas posterolateral terbuka (kiri) tertutup (kanan) Gambar 4. Perbedaan propodus (atas), ujung karapas (tengah), dan warna ujung telson (bawah) antara antara udang mantis Harpiosquilla raphidea dan H. harpax (kiri) dengan Oratosquillina gravieri (kanan)

3 Morfologi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Morfologi tubuh udang mantis secara umum menyerupai krustasea lain, terbagi atas dua bagian utama, yaitu bagian depan berupa kepala-dada yang menyatu (cephalothorax) dan bagian belakang (abdomen). Pada bagian depan, karapas udang mantis hanya menutupi bagian belakang kepala dan tiga ruas terakhir dari thorax (thoracic somite). Pada bagian kepala udang mantis terdapat 2 pasang antena, yaitu sepasang antena pertama (antennulla), tumbuh dan melekat dari labrum, bercabang tiga pada ujungnya, dan memiliki fungsi sebagai organ sensori; dan sepasang antena kedua (antenna) yang terletak di belakang bagian bawah antennulla, lebih pendek dan tidak memiliki cabang pada ujungnya, serta berfungsi juga sebagai organ sensori. Tubuh udang mantis bagian belakang terdiri atas bagian abdominal somite yang tertutup oleh 6 ruas yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis, dan bagian ekor, dimana kedua bagian tersebut saling menyambung. Pada abdomen bagian bawah, terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama hingga ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Diantara ekor kipas, terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya, yang disebut telson. Telson dan uropoda berfungsi sebagai organ proteksi dan kemudi pada saat berenang. Selain pleopoda dan uropoda, sebagai alat gerak, udang mantis juga mempunyai kaki jalan (pereopoda) yang berjumlah 3 pasang dan terletak pada bagian bawah tiga ruas utama thorax. Gambaran umum morfologi udang mantis disajikan pada Gambar 5.

4 14 Antenulla Antenna Mata Dactylus Propodus Kepal Kaki Jalan Thoracic Somites Cephalothora I II III Abdominal Somites Uropod IV V VI Abdome Telson Ekor Gambar 5. Morfologi udang mantis (Harpisquilla raphidea) bagian atas Untuk proses untuk mendapatkan mangsa dan memakannya, udang mantis mempunyai organ maksiliped, maksila, dan mandibula. Organ maksiliped terletak di kepala bagian bawah (sekitar mulut) dan terdiri dari 5 pasang. Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsa dan maksilliped II atau yang dikenal dengan

5 15 lengan penyerang atau lengan predator atau cakar, memiliki duri duri tajam pada dactylus (jari) yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Pada Harpiosqiulla raphidea terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV dan V, adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Chelone digunakan untuk membawa makanan ke dalam mulut. Makanan yang masuk ke dalam mulut akan digiling dengan menggunakan mandibula (rahang). Di luar mandibula terdapat maksila (maksila I dan II) yang berbentuk seperti gigi-gigi tajam dan berfungsi untuk memotong dan memamah makanan (Gambar 6). Maksiliped I Maksiliped III, IV & V Maksiliped II Gambar 6. Morfologi lengan udang mantis (Harpiosquilla raphidea) Untuk proses reproduksi, udang mantis juga mempunyai alat kelamin sebagaimana jenis udang yang lain. Alat kelamin udang mantis jantan terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga berbentuk tonjolan kecil yang disebut penis atau petasma, sedangkan alat kelamin betina terdapat di tengah-tengah kaki jalan pertama berbentuk datar yang disebut thelicum (Gambar 7).

6 16 Betina Petasma Thelicum Jantan Gambar 7. Alat kelamin udang mantis (Harpiosquilla raphidea) 3.3. Distribusi Udang Mantis Distribusi Udang Mantis di Indonesia Penyebaran udang mantis di Indonesia hampir sama dengan penyebaran udang kelompok penaeid. Udang mantis genus Harpiosquilla di Indonesia tersebar mulai dari pantai timur Pulau Sumatera, pantai utara Pulau Jawa hingga pantai utara Nusa Tenggara pada kedalaman 2-43 meter pada daerah intertidal hingga subtidal (Manning 1969). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa udang mantis genus Harpiosquilla banyak tersebar di daerah-daerah tersebut, diantaranya Harpiosquilla harpax de Haan, 1844 di Teluk Banten (Halomoan 1999), dan H. raphidea di Bagansiapiapi (Azmarina 2007). Dan dari pengalaman peneliti, selain di perairan pesisir Jambi, udang mantis H. raphidea juga ditemukan di perairan Muara Gembong, Bekasi, dan Teluk Bintuni, Papua Barat. Adapun di lokasi penelitian, udang mantis H. raphidea ditemukan pada daerah intertidal hingga subtidal dengan substrat dasar lumpur, sesuai dengan hasil penelitian Manning (1977). Dari tiga jenis udang mantis yang ditemukan di lokasi penelitian, yaitu Harpiosquilla raphidea, H. harpax, dan Oratosquillina gravieri, udang mantis H. raphidea atau genus Harpiosquilla secara umum dijumpai paling banyak dan mendominasi perairan pesisir Kuala Tungkal, Jambi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Haswell (1982) in Sumiono dan Priyono (1998) bahwa udang mantis genera Squilla atau Harpiosquilla merupakan udang mantis yang paling banyak dijumpai di perairan laut Indonesia diantara 6 genera udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik, diantaranya Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus.

7 17 Selain dari genus Harpiosquilla, di perairan Indonesia juga banyak ditemukan jenis udang mantis dari genus lain, diantaranya Areosquilla indica, Carinosquilla carinata, Oratosquillina perpensa, dan O. quinquedentata di Kepualuan Anambas, Natuna (Ahyong & Moosa 2004); Erdmann and Boyer (2003) menemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia di perairan laut Sulawesi Utara; dan di perairan pesisir barat Aceh ditemukan udang mantis jenis Miyakea nepa Latreille, 1828 dan Erugosquilla woodmasoni Kemp, 1911 (koresponden peneliti) Distribusi Kelompok Ukuran Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Jumlah udang mantis yang terdata selama penelitian adalah ekor yang terdiri dari ekor (549 ekor jantan dan 745 ekor betina) yang tertangkap di daerah subtidal dan 815 ekor (331 ekor jantan dan 484 ekor betina) yang tertangkap di daerah intertidal (Gambar 8). Nilai tengah kelas panjang (mm) Gambar 8. Distribusi kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina Berdasarkan Gambar 8 terlihat terdapat dua sebaran kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea dengan pola relatif sama, baik pada jantan maupun betina. Dua sebaran kelompok ukuran tersebut menunjukkan perbedaan sebaran kelompok ukuran udang mantis yang tertangkap di daerah intertidal dan subtidal. Kelompok ukuran sebelah kiri, baik pada jantan maupun betina, menunjukkan kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal, sedangkan kelompok ukuran sebelah kanan menunjukkan kelompok ukuran udang mantis daerah subtidal. Gambaran yang menunjukkan bahwa dua sebaran kelompok ukuran tersebut merupakan kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal dan

8 18 subtidal akan semakin jelas dengan menampilkan hasil tangkapan udang mantis pada daerah intertidal dan subtidal pada grafik yang berbeda (Gambar 9). Nilai tengah kelas panjang (mm) Gambar 9. Distribusi kelompok ukuran udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina pada daerah intertidal dan subtidal Berdasarkan Gambar 9 semakin terlihat jelas adanya perbedaan distribusi kelompok ukuran antara udang mantis yang tertangkap di daerah intertidal dan subtidal. Pada daerah intertidal, udang mantis yang tertangkap berada pada kisaran panjang 25 mm hingga 233 mm dengan didominasi oleh udang mantis ukuran mm, baik jantan maupun betina. Sedangkan di daerah subtidal, udang mantis yang tertangkap berada pada kisaran panjang 160 mm hingga 366 mm yang didominasi oleh udang mantis ukuran mm, baik jantan maupun betina. Hasil uji t pada analisis perbedaan dua regresi (Fowler & Cohen 1992) antara regresi sebaran kelompok ukuran udang mantis daerah intertidal dengan daerah subtidal menunjukkan adanya perbedaan nyata (pada selang kepercayaan 95%) pada kedua regresi tersebut (Lampiran 3). Hasil uji t ini menunjukkan bahwa kelompok ukuran populasi udang mantis yang ada di daerah intertidal berbeda dengan kelompok ukuran populasi udang mantis yang ada di daerah subtidal. Artinya bahwa dalam keadaan normal, kelompok ukuran udang mantis

9 19 pada daerah intertidal tidak akan ditemukan pada daerah subtidal, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, jumlah udang mantis betina yang tertangkap di lokasi penelitian, baik di daerah intertidal maupun subtidal, lebih tinggi dari udang mantis jantan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Abello and Martin (1993) dan Hamano et al. (1987) pada udang mantis jenis Squilla mantis yang juga menunjukkan jumlah udang mantis betina yang tertangkap selama penelitian lebih tinggi dari udang mantis jantan. Secara umum terlihat bahwa ukuran panjang udang mantis di lokasi penelitian sangat beragam dan mempunyai kisaran panjang yang cukup lebar antara 25 mm hingga 366 mm. Hal tersebut dapat mencerminkan bahwa perairan pesisir Kuala Tungkal Jambi merupakan habitat yang sangat cocok dan disukai udang mantis, khususnya jenis Harpiosquilla raphidea. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa udang mantis jenis H. raphidea sudah dieksploitasi lebih dari 30 tahun di Kuala Tungkal dan hingga saat ini, secara kuantitatif, hasil tangkapan udang mantis masih cukup tinggi, antara 1,8 juta hingga 2,4 juta ekor per tahun dalam tujuh tahun terakhir (DPK Kabupaten Tanjabar 2010). Selanjutnya, panjang maksimum udang mantis yang tertangkap selama penelitian, yaitu 366 mm di daerah subtidal, merupakan udang mantis paling panjang yang pernah ditemukan. Udang mantis tersebut mempunyai ukuran panjang maksimum yang lebih besar dari udang mantis H. raphidea yang pernah dilaporkan oleh Manning (1969), sebesar 335 mm dan Moosa (1991, 2000) sebesar 266 mm dan 335 mm, Halomoan (1999) sebesar 245 mm untuk H. harpax. dan Ahyong (2001) sebesar 262 mm untuk H. harpax dan 257 mm untuk H. japonica. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa udang mantis jenis H. raphidea mempunyai sebaran cukup luas, mulai dari daerah intertidal hingga daerah subtidal. Hal tersebut makin memperkuat hasil penelitian Manning (1969) dan Moosa (1991; 2000) bahwa udang mantis (terutama genus Harpiosquilla) mempunyai sebaran cukup luas dari mulai kedalaman 2 meter hingga kedalaman 43 meter, bahkan beberapa spesies dapat mencapai kedalaman 92 meter.

10 20 Hasil penelitian ini juga dapat menjadi informasi awal dalam upaya untuk mengetahui daur hidup udang mantis, khususnya jenis H. raphidea, bahwa daerah intertidal merupakan habitat bagi udang mantis muda. Kondisi ini dapat dimengerti karena di daerah intertidal cukup banyak tersedia sumber makanan yang sangat dibutuhkan pada masa pertumbuhannya. Dengan demikian daerah intertidal dapat dikatakan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang mantis. Ketika menjelang dewasa, udang mantis bermigrasi ke daerah subtidal untuk melakukan proses perkawinan hingga pemijahan, kemudian udang mantis muda bermigrasi ke daerah intertidal untuk melanjutkan proses pertumbuhannya, demikian seterusnya. Tingkah laku udang mantis tersebut sama sebagaimana tingkah laku kelompok udang secara umum, dimana ketika masih ukuran muda, mereka berada di daerah intertidal, kemudian ketika menjelang dewasa bermigrasi ke perairan laut lebih dalam untuk melakukan perkawinan dan pemijahan (Anggraeni 2001) Pertumbuhan Hubungan Panjang dan Berat Hasil analisis hubungan panjang dan berat udang mantis contoh menunjukkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis, baik jantan maupun betina, bersifat allometrik negatif (b<3), yaitu pertambahan berat tidak secepat pertambahan panjang (Tabel 1). Tabel 1. Hubungan panjang dan berat udang mantis Harpiosquilla raphidea Stasiun Intertidal N=815 Subtidal N=1294 Jenis Kelamin Persamaan Hubungan Panjang-Berat Jantan W = 3E-05L 2,743 R 2 =0,876; r=0,936 Betina W = 4E-05L 2,687 R 2 =0,885; r=0,941 Jantan W = 0,0003L 2,356 R²=0,896; r=0,947 Betina W = 0,0002L 2,413 R²=0,779; r=0,883 Kisaran Nilai b (α=0,05) 2,686-2,800 2,643-2,731 2,322-2,390 2,366-2,460 Pola Pertumbuhan (Setelah Dilakukan Uji t dan α=0,05) Alometrik Negatif Berdasarkan hasil uji t terhadap nilai koefisien pertumbuhan (b) pada selang kepercayaan 95% didapatkan bahwa nilai b berbeda nyata pada tiap stasiun pengamatan. Perbedaan nilai b tersebut menunjukkan bahwa perbedaan habitat

11 21 dan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan pertumbuhan atau kegemukan udang mantis. Persamaan hubungan panjang bobot udang mantis secara umum memiliki korelasi yang sangat erat. Hal tersebut didasarkan pada nilai koefesien korelasi (r) yang mendekati satu pada seluruh stasiun pengamatan, baik intertidal maupun subtidal. Besarnya koefesien korelasi ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang udang mantis diikuti dengan pertambahan bobot tubuhnya. Hal tersebut juga merupakan sifat umum dari krustasea yang biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh (Hartnoll 1982). Pola pertumbuhan biota perairan yang bersifat allometrik negatif secara umum dapat disebabkan oleh tangkap lebih, kompetensi, dan potensial trofik. Pada udang mantis, dengan memperhatikan kondisi daerah penelitian, pola pertumbuhan udang mantis yang bersifat allometrik negatif lebih disebabkan oleh tingkat kompetensi yang tinggi, baik kompetisi antar populasi udang mantis maupun antara udang mantis dengan ikan dan jenis krustasea lainnya. Lokasi penelitian udang mantis ini banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan/krustasea dengan populasi yang cukup tinggi. Hal tersebut terbukti selama penelitian bahwa jumlah udang mantis yang tertangkap, baik dengan alat tangkap sondong maupun trawl mini persentasenya relatif sedikit atau bahkan sangat kecil dibanding total hasil tangkapan, baik dari sisi jenis maupun kelimpahannya (Gambar 10). Gambar 10. Hasil tangkapan ikan/krustasea yang tertangkap bersama udang mantis Harpiosquilla raphidea dengan alat tangkap sondong dan trawl mini Dengan demikian, udang mantis sebenarnya dapat dikatakan sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch) dari alat tangkap sondong dan trawl mini.

12 22 Kondisi ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa udang mantis merupakan bycatch dari alat tangkap yang menggunakan jaring dasar, seperti trawl (Dell & Sumpton 1999; Zynudheen et al. 2004; Lui et al. 2007) Pendugaan Parameter pertumbuhan Berdasarkan hasil analisis plot Ford-Walford didapatkan nilai parameter pertumbuhan (K dan L ) dan t 0 udang mantis, baik pada jantan maupun betina, sebagaimana tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter pertumbuhan K, L, dan t 0 udang mantis Harpiosquilla raphidea jantan dan betina Parameter Jantan Betina K (per bulan) L (mm) t 0 (bulan) 0,14 381,68-0,5533 0,11 381,68-0,3802 Nilai panjang maksimum dugaan (L ) udang mantis jantan sama dengan udang mantis betina, yaitu 381,68 mm. Nilai koefesien pertumbuhan (K) udang mantis H. raphidea hampir sama atau tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan udang mantis jenis lain dalam satu ordo stomatopoda. Nilai K H. raphidea hampir sama dengan nilai K Squilla mantis, yaitu 1,6 dan 1,3 per tahun (0,13 dan 0,11 per bulan) masing-masing pada jantan dan betina (Abello & Martin 1993) dan nilai K rata-rata Oratosquilla stephensoni, yaitu 1,52 per tahun (0,13 per bulan) (Dell & Sumpton 1999), namun sedikit lebih besar dari nilai K Oratosquilla oratoria, yaitu 0,898 dan 1,102 per tahun (0,07 dan 0,09 per bulan) masing-masing pada jantan dan betina (Ohtomi & Shimizu 1994). Jika dibandingkan dengan kelompok udang-udangan diluar ordo stomatopoda, nilai K H. raphidea tersebut secara umum lebih kecil, diantaranya udang Aristeus antennatus di Laut Mediterania Barat dengan nilai K 0,25 dan 0,3 per bulan masing-masing pada jantan dan betina (Cartes & Demestre 2003), udang jenis Pandalus borealis di Teluk Skjalfandi, Islandia Utara dengan nilai K rata-rata 0,46 per bulan (Mamie 2008), dan udang Penaeus indicus di Teluk Maputo, Mozambik Selatan dengan nilai K rata-rata 0,39 per bulan (Jorgensen et al in Franco et al. 2006).

13 23 Perbedaan laju pertumbuhan udang mantis H. raphidea atau kelompok stomatopoda dengan kelompok udang-udangan diluar ordo stomatopoda tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik, yaitu perbedaan spesies dan ukuran tubuh. Hal ini sebagaimana pernyataan Pauly (1994) in Welcomme (2001) bahwa perbedaan laju pertumbuhan biota perairan dapat disebabkan oleh faktor internal, diantaranya faktor genetik yang secara langsung membatasi umur maksimum dan ukuran tubuh biota tersebut. Selanjutnya, nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan persamaan von Bertalanffy udang mantis, yaitu L t =381,68*(1-e [-0,14(t+0,5533)] ) untuk jantan dan L t =381,68*(1-e [-0,11(t+0,3802)] ) untuk betina. Berdasarkan persamaan-persamaan von Bertalanffy tersebut, didapatkan kurva pertumbuhan udang mantis (Gambar 11). Gambar 11. Kurva pertumbuhan udang mantis Harpiosquilla raphidea Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa pada tahun pertama fase kehidupannya, udang mantis mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat cepat, dan sudah dapat mencapai ukuran besar dengan panjang lebih dari 275 mm. Kemudian memasuki tahun ke-2, pertumbuhan udang mantis mulai menurun, namun belum terlau lambat. Setelah itu, memasuki tahun ke-3 fase kehidupannya, pertumbuhan udang mantis sudah sangat lambat dan cenderung stagnan hingga mencapai ukuran maksimum. Dari sisi jenis kelamin, pertumbuhan antara udang

14 24 mantis jantan dan betina relatif seragam, tidak ada perbedaan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji t pada analisis beda dua regresi antara regresi pertumbuhan udang mantis jantan dan betina yang menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara pola pertumbuhan udang mantis betina dengan pola pertumbuhan udang mantis jantan (Lampiran 4). Berdasarkan kurva pertumbuhan udang mantis pada Gambar 11 di atas juga dapat diketahui bahwa udang mantis betina mencapai panjang asimtotik yang lebih lama (102 bulan) dari udang mantis jantan (80 bulan). Hal tersebut dikarenakan udang mantis betina mempunyai koefisien pertumbuhan paling kecil sehingga lebih lambat mencapai L dari udang mantis jantan. Selain itu, sumber energi dari makanan yang dikonsumsi udang mantis betina lebih diprioritaskan untuk pembentukan dan pematangan gonad daripada untuk pertumbuhan. Dengan demikian, udang mantis H. raphidea mempunyai rentang waktu hidup (life-span) antara 80 bulan hingga 102 bulan (6,7-8,5 tahun) dan tergolong biota yang berumur panjang dengan pertumbuhan yang lambat. Life-span udang mantis ini lebih tinggi dari beberapa jenis udang mantis lainnya, diantaranya Squilla mantis dengan life-span 1,5 tahun (Abello & Martin 1993), Oratosquilla oratoria dengan life-span 3-3,5 tahun (Hamano et al. 1987), dan Oratosquilla stephensoni dengan life-span 2,5 tahun (Dell & Sumpton 1999). Life-span udang mantis Harpiosquilla raphidea lebih tinggi dibandingkan life-span udang mantis jenis lain walaupun mempunyai nilai K yang hampir sama dapat disebabkan karena udang mantis H. raphidea mempunyai panjang maksimum dugaan (L ) yang jauh lebih besar dari udang mantis jenis lain (L Squilla mantis = 200 mm (Abello & Martin 1993); L Oratosquilla oratoria = 139,9 mm (Ohtomi & Shimizu 1994); dan L O. stephensoni = 163 mm (Dell & Sumpton 1999)) Laju Eksploitasi Udang Mantis Pada populasi udang mantis yang telah diekspliotasi mortalitas merupakan kombinasi mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Laju mortalitas total (Z) udang mantis H. raphidea adalah 0,820; dengan laju mortalitas alami (M) 0,473; dan laju mortalitas penangkapan (F) 0,347 dengan laju eksploitasi (E) 0,42. Jika dibandingkan dengan laju ekploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984), yaitu 0,5; maka laju eksploitasi udang mantis di

15 25 Kuala Tungkal, Jambi masih dibawah nilai optimum. Dengan demikian, upaya penangkapan udang mantis di Kuala Tungkal masih ada peluang untuk ditingkatkan Sumber Makanan Potensial Udang Mantis Pendugaan sumber makanan potensial bagi udang mantis dilakukan dengan menggunakan analisis isotop stabil. Analisis isotop stabil (Stable Isotopes Analysis/SIA) telah menjadi alat yang semakin populer untuk mempelajari jaring makanan biota perairan, meliputi preferensi makanan dan informasi tentang tingkat trofik pada suatu ekosistem (Hesslein et al in Kholik 2008; Dawson & Siegwolf 2007). Penelitian-penelitian tentang penggunaan isotop stabil dalam menentukan jaring makanan suatu biota perairan dan tingkat trofik suatu ekosistem belum banyak dilakukan di Indonesia, namun demikian di negara-negara lain penelitianpenelitian tersebut sudah banyak dilakukan, diantaranya kajian jaring makanan di Lapalme Lagoon, Laut Mediterania bagian timur laut (Carlier et al. 2007), kajian struktur komunitas dan jaringan makanan di Teluk Brest dan Teluk Biscay, Atlantik bagian timur laut (Grall et al. 2006; Loc h et al. 2008), kajian pergeseran spasial sumber makanan untuk makrozoobenthos pada ekosistem estuari (Doi et al. 2005), kajian struktur jaringan makanan dan tropodinamika makrofauna cekungan Aljazair (Fanelli et al. 2009), dan kajian sumber-sumber makanan udang callianasid (Shimoda et al. 2007). Dengan demikian, penggunaan analisis isotop stabil untuk penentuan sumber makanan potensial bagi udang mantis dapat merupakan penelitian awal atau pelopor bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam penggunaan isotop stabil untuk menentukan jaringan makanan, baik bagi udang mantis maupun biota-biota perairan secara umum. Hasil analisis isotop stabil udang mantis, yang direpresentasikan dengan nilai 13 C dan 15 N, secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 12.

16 26 Gambar 12. Nilai 13 C dan 15 N pada isi usus dan jaringan otot udang mantis Harpiosquilla raphidea Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa nilai isotop stabil udang mantis, yaitu nilai 13 C dan 15 N, baik pada isi usus maupun jaringan otot, membentuk dua kelompok yang berbeda. Nilai isotop stabil pada isi usus menunjukkan nilai isotop stabil sumber-sumber makanan udang mantis, sedangkan pada jaringan otot menunjukkan nilai isotop stabil udang mantis itu sendiri. Nilai 13 C pada jaringan otot udang mantis rata-rata adalah -17,978 0 / 00 (antara -19,917 hingga -17,070 0 / 00 ), sedangkan nilai 15 N rata-rata adalah 12,142 0 / 00 (antara 11,334 hingga 12,839 0 / 00 ). Adapun nilai 13 C pada isi usus udang mantis contoh rata-rata adalah -19,785 0 / 00 (antara -22,264 hingga -18,283 0 / 00 ), sedangkan nilai 15 N rata-rata adalah 10,891 0 / 00 (antara 10,446 hingga 11,221 0 / 00 ). Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa walaupun kelompok nilai isotop stabil isi usus udang mantis berbeda dengan kelompok nilai isotop stabil pada jaringan otot udang mantis, namun nilai-nilai tersebut berdekatan. Dengan demikian, sumber-sumber makanan potensial udang mantis secara umum memiliki karakteristik atau merupakan kelompok biota yang tidak jauh berbeda dengan udang mantis. Berdasarkan nilai isotop stabil pada isi usus tersebut, dapat ditelusuri sumber makanan potensial udang mantis dengan menyesuaikan nilai isotop stabil jaringan otot biota perairan yang habitatnya sama dengan habitat udang mantis

17 27 dengan nilai isotop stabil isi usus udang mantis. Dari hasil penelusuran tersebut didapatkan hasil bahwa beberapa biota perairan yang potensial menjadi sumber makanan bagi udang mantis, terutama di daerah intertidal, adalah sebagian besar biota perairan kelompok deposit feeder dan filter feeder, diantaranya Assiminea japonica (kelompok Gastropoda), Notomastus sp. (kelompok Polychaeta) dan Deiratonotus cristatus (kelompok kepiting) (Doi et al. 2005), Eupolymnia nebulosa (kelompok Annelida) dan Pyura tesselata (kelompok Tunicata) (Grall et al. 2006), dan Trematomus bernachii (Conlan et al. 2006), serta beberapa jenis plankton, seperti Grastrosaccus brevifissura dan Pseudodiaptomus hessei (Richoux & Froneman 2007) Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi distribusi biota perairan. Demikian juga dengan udang mantis, distribusinya di alam juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, diantaranya kondisi lingkungan perairan pada habitatnya. Hasil pengamatan kondisi kualitas perairan di lokasi penelitian di daerah intertidal disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 5. Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas air di lokasi penelitian daerah intertidal Parameter Satuan Hasil Pengukuran BM* Suhu C 30,0-33,1 Alami ph - 7,5-8,0 7,0 8,5 DO mg/l 5,2-8,0 > 5,0 Salinitas 0 / Alami Keterangan: BM* = Baku Mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air seperti tersebut pada tabel di atas secara umum menunjukkan nilai yang masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut, termasuk untuk kehidupan udang mantis (Kepmen LH 2004). Nilai parameter kualitas air ini menunjukkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah yang cocok atau habitat yang sesuai untuk kehidupan biota laut, termasuk diantaranya untuk udang mantis. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya beberapa jenis udang mantis diantara beberapa jenis ikan/krustasea yang tertangkap selama penelitian dan hasil tangkapan udang mantis yang masih cukup besar dan relatif stabil dari tahun ke tahun.

18 Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Mantis Pemanfaatan sumberdaya udang mantis Harpiosquilla raphidea di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjabar, Jambi oleh para nelayan sudah berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun. Keberadaan udang mantis di Kuala Tungkal ini tidak mengenal musim sehingga dapat ditangkap kapan saja. Oleh karena itu, wajar apabila udang mantis menjadi komoditas andalan, baik bagi para nelayan, penampung maupun pemerintah daerah. Alat tangkap utama yang selama ini digunakan oleh para nelayan untuk menangkap udang mantis adalah jaring insang (gillnet) dengan lebar mata jaring 4 inchi sehingga hanya udang mantis ukuran besar atau dewasa yang akan tertangkap jaring insang ini. Untuk daerah penangkapan nelayan jaring insang, saat ini telah terjadi pergeseran daerah penangkapan semakin jauh ke arah laut (daerah subtidal), yaitu sekitar 10 mil dari garis pantai, dari sebelumnya sekitar 5 mil dari garis pantai. Selain jaring insang, beberapa alat tangkap yang juga biasanya dapat menangkap udang mantis, walaupun hanya sebagai hasil tangkap sampingan (bycatch) adalah sondong dan trawl mini. Kedua alat tersebut beroperasi di daerah intertidal dengan target utama tangkapan adalah udang putih atau udang bakau dan ikan. Kedua alat tangkap ini prinsip kerjanya sama, yaitu dengan menyapu dasar perairan, sehingga semua ukuran udang mantis yang hidup di daerah intertidal dapat tertangkap, dan biasanya dibuang kembali ke laut (dalam keadaan sudah mati) karena mayoritas udang mantis yang tertangkap berukuran kecil atau udang mantis muda. Selanjutnya dari sisi hasil tangkapan, total hasil tangkapan per tahun udang mantis cukup fluktuatif (DPK Kabupaten Tanjabar 2010). Secara ringkas, gambaran perkembangan hasil tangkapan udang mantis di Kuala Tungkal, Jambi, disajikan pada Gambar 13.

19 29 Gambar 13. Hasil tangkapan udang mantis Harpiosquilla raphidea di Kabupaten Tanjabar, Jambi Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa secara total, hasil tangkapan udang mantis di Kabupaten Tanjabar cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun secara rataan, hasil tangkapan udang mantis per trip penangkapan di Kabupaten Tanjabar telah mengalami penurunan dari dari 462 ekor per trip pada tahun 2005 menjadi 160 ekor per trip pada tahun 2008 (DPK Kabupaten Tanjabar 2010). Kondisi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara tidak terstruktur terhadap beberapa nelayan udang mantis Kuala Tungkal bahwa saat ini (selama penelitian), hasil tangkapan udang mantis mereka rata-rata kurang dari 20 ekor per hari, padahal 5-10 tahun sebelumnya rata-rata mereka dapat menangkap lebih dari 30 ekor per hari udang mantis. Selain itu, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, juga sudah ada peningkatan upaya penangkapan, yaitu penggunaan umpan. Jika sebelumnya mereka tidak pernah menggunakan umpan, namun sejak 5 tahun terakhir mereka menggunakan umpan, berupa ikan keting atau sembilang yang segar, untuk menangkap udang mantis sehingga ada penambahan biaya penangkapan yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan nelayan Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Udang Mantis Udang mantis Harpiosquilla raphidea merupakan jenis udang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas perikanan andalan bagi nelayan Kuala Tungkal, Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah

20 30 intertidal Kuala Tungkal merupakan habitat bagi udang mantis muda, sedangkan daerah subtidal merupakan habitat bagi udang mantis dewasa. Udang mantis H. raphidea tergolong jenis udang yang mempunyai umur panjang, namun pertumbuhannya lambat dan dalam kondisi tertentu dapat bersifat kanibal (memangsa sesama jenis udang mantis). Dengan demikian, udang mantis tersebut memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laju eksploitasi udang mantis di Kuala Tungkal masih dibawah laju eksploitasi optimum sehingga masih ada peluang peningkatan hasil tangkapan udang mantis. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut diatas dan berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan sumberdaya udang mantis H. raphidea di Kuala Tungkal, Jambi saat ini, maka harus segera dilakukan pengelolaan udang mantis agar pemanfaatan sumberdaya udang mantis dimasa mendatang memperhatikan kelestarian stok udang mantis agar dapat berkelanjutan, baik secara ekologi maupun ekonomis. Secara ekologi, pemanfaatan udang mantis tidak melebihi laju eskploitasi udang mantis optimum, sedangkan secara ekonomi, nilai ekonomis udang mantis pada saat sekarang dengan pada masa mendatang relatif sama. Adapun langkah-langkah pengelolaan udang mantis yang dapat dilakukan diantaranya adalah: 1. Perlindungan habitat udang mantis Perlindungan habitat udang mantis ini terkait dengan perlindungan terhadap daerah asuhan (nursery ground) udang mantis di daerah intertidal dan perlindungan terhadap daerah pemijahan (spawning ground) udang mantis di daerah subtidal sehingga proses rekruitmen udang mantis dapat berlangsung dengan baik. Perlindungan terhadap habitat udang mantis yang dapat dilakukan di Kuala Tungkal, Jambi, saat ini minimal dengan tetap mempertahankan pola penangkapan udang mantis yang sudah dilakukan beberapa nelayan udang mantis selama ini, yaitu hanya menangkap udang mantis ukuran komersial atau ekonomis di daerah subtidal. Untuk meningkatkan upaya perlindungan habitat udang mantis, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman dan

21 31 pembinaan intensif, terutama kepada nelayan udang mantis, tentang pentingnya menjaga kelestarian udang mantis secara ekologi dan ekonomi serta bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Pembinaan ini sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tanjabar dengan bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang terpercaya dan bertanggung jawab. Selanjutnya, agar upaya perlindungan habitat udang mantis mempunyai kekuatan hukum, maka diperlukan aturan yang mendukung upaya perlindungan habitat udang mantis tersebut, diantaranya dengan diterbitkannya kebijakan atau peraturan daerah (perda) Kabupaten Tanjabar khusus tentang perlindungan habitat udang mantis di Kuala Tungkal, Jambi. Seiring dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran para nelayan sebagai hasil dari pembinaan intensif, maka kebijakan atau perda tentang perlindungan habitat udang mantis tersebut akan dapat dimengerti masyarakat, khususnya nelayan, dan mereka akan mematuhinya dengan penuh kesadaran. 2. Domestikasi udang mantis Udang mantis Harpiosquilla raphidea adalah jenis udang yang mempunyai umur panjang, pertumbuhan lambat dan dalam kondisi tertentu dapat bersifat kanibal (seperti memakan udang mantis lain yang sedang ganti kulit) sehingga sangat beresiko mengalami kepunahan. Disisi lain, upaya penangkapannya masih terus berlangsung. Oleh karena itu, upaya domestikasi udang mantis H. raphidea dalam jangka panjang harus menjadi salah satu alternatif pengelolaan udang mantis di Kuala Tungkal untuk mengantisipasi penurunan populasi udang mantis di alam. Domestikasi udang mantis tersebut memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, upaya domestikasi tersebut harus sudah dimulai dari sekarang melalui kegiatan penelitianpenelitian intensif yang terencana dan terstruktur yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang bekerjasama dengan peneliti, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Satu hal lagi yang sangat penting adalah harus ada dukungan dan komitmen dana penelitian yang jelas dari pemerintah selama penelitian-penelitian tersebut berlangsung.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi Menurut Fabricius (1798) in Manning (1969), kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah: Filum : Crustacea Kelas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea 2.1.1. Klasifikasi Kedudukan taksonomi udang mantis menurut Manning (1969) & Bliss (1982) in Ahyong et al. (2008) adalah sebagai berikut.

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi xvii 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi Udang mantis termasuk ke dalam famili Squillidae. Klasifikasi menurut Fabricius (1798) in Manning (1969) kedudukan taksonomi udang

Lebih terperinci

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS (Oratosquillina gravieri dan Harpiosquilla raphidea) DI DAERAH PANTAI BERLUMPUR KUALA TUNGKAL, PROVINSI JAMBI WAHYU MUZAMMIL SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI ADRIAN DAMORA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS

STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS i STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI NOVI ARIYANTI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS i SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DAN Oratosquillina gravieri PADA PANTAI BERLUMPUR DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI ELIN PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES UDANG MANTIS (STOMATOPODA) DI PERAIRAN KOTA BENGKULU. Nopia Santri Situmeang, Dewi Purnama, Dede Hartono

IDENTIFIKASI SPESIES UDANG MANTIS (STOMATOPODA) DI PERAIRAN KOTA BENGKULU. Nopia Santri Situmeang, Dewi Purnama, Dede Hartono IDENTIFIKASI SPESIES UDANG MANTIS (STOMATOPODA) DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Nopia Santri Situmeang, Dewi Purnama, Dede Hartono Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara 1. Kondisi Goegrafis Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Gorontalo dengan luas yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL

INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL Oleh : Fadila Khoirunnisa Pembimbing Drs. Jodion Siburian dan Winda Dwi Kartika, S.Si., M.Si INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

MODEL POPULASI PENDEKATAN PERTUMBUHAN DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla raphidea WAKTU TANGKAPAN PADA PAGI HARI DI PERAIRAN UTARA PULAU TARAKAN

MODEL POPULASI PENDEKATAN PERTUMBUHAN DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla raphidea WAKTU TANGKAPAN PADA PAGI HARI DI PERAIRAN UTARA PULAU TARAKAN Model Populasi Pendekatan Pertumbuhan (Tomy Chandra, dkk) MODEL POPULASI PENDEKATAN PERTUMBUHAN DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla raphidea WAKTU TANGKAPAN PADA PAGI HARI DI PERAIRAN UTARA PULAU TARAKAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan) LOBSTER LAUT Salah satu jenis komoditas yang biasa ditemukan di kawasan terumbu karang adalah udang barong atau udang karang (lobster).

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau 19 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Simping adalah kelompok moluska laut (bivalvia) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan tersebut di antaranya sebagai sumber makanan, maupun bahan baku

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 56-64 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares BEBERAPA ASPEK BIOLOGI UDANG MANTIS (Oratosquilla

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL BATCH

LAPORAN AKHIR HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL BATCH ~. " - LAPORAN AKHIR HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL BATCH KAJIAN ASPEK REPRODUKSI DAN GENETIKA < UOANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea, Fabricius 1798) 01 KUALA TUNGKAL, KABUPATEN

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) menurut Ruppert dan Barnes (1994); adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkatnya permintaan udang baik di pasar domestik maupun di pasar

PENDAHULUAN. meningkatnya permintaan udang baik di pasar domestik maupun di pasar PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78.800 ton per tahun. Udang merupakan komoditas unggulan perikanan Indonesia

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP 52 STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP Arif Mahdiana dan Laurensia SP. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik Unsoed Email : arifmahdiana@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus Bertepatan dengan perayaan hari paus internasional yang jatuh pada Selasa (30/8/2016), masyarakat dunia ditantang untuk bisa menjaga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bulu Babi Bulu babi merupakan organisme dari divisi Echinodermata yang bersifat omnivora yang memangsa makroalga dan beberapa jenis koloni karang (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN

ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN Analisis Populasi Pertumbuhan Allometri (Alfretse Kalalo,dkk) ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN

Lebih terperinci

JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA. Disusun oleh : Mesi Verianta

JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA. Disusun oleh : Mesi Verianta JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA Disusun oleh : Mesi Verianta 090801117 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS TEKNOBIOLOGI PROGRAM STUDI BIOLOGI YOGYAKARTA 2016 JENIS LOBSTER

Lebih terperinci