STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS"

Transkripsi

1 i STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI NOVI ARIYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i

2 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Novi Ariyanti C ii

3 iii RINGKASAN Novi Ariyanti. C Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Ali Mashar Udang mantis lebih dikenal dengan nama udang ronggeng, udang ketak, udang kipas, udang nenek, atau udang belalang, merupakan komoditas ekspor dan menjadi komoditas andalan sektor perikanan bagi Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Salah satu daerah penghasil udang mantis terbesar adalah Kuala Tungkal. Dari tahun 2003 hingga 2009 produksi udang mantis mengalami peningkatan dari ekor/tahun menjadi ekor/tahun. Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, nelayan di daerah ini menangkap udang mulai yang berukuran kecil hingga udang besar, termasuk udang yang sedang bertelur. Jika kondisi ini terus berlangsung dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian udang ini di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur demografi udang mantis di alam dan mengkaji pertumbuhan udang mantis berdasarkan hubungan panjang berat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dalam pengelolaan udang mantis sehingga kelestariannya tetap terjaga. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 hingga Juli 2010 di pantai berlumpur, Kuala Tungkal, Jambi. Penentuan lokasi dilakukan secara acak dimana setiap stasiun yang dipilih berdasarkan keterwakilan daerah, stasiun 1 dan 2 berada di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan dan stasiun 3 berada di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan, sedangkan pemilihan contoh udang juga dilakukan secara acak. Alat dan bahan yang digunakan antara lain timbangan digital dengan ketelitian 0,5 gram dan 0,05 gram, penggaris dan kaliper berketelitian 0,5 cm dan 0,05 cm, kamera digital, sondong, es dan wadah. Parameter yang diamati meliputi panjang dan bobot udang mantis. Analisis data mengenai biomasa menggunakan metode Brower et al., sedangkan kelompok umur dilakukan dengan metode battacharya dengan software FISAT II. Selama penelitian jumlah udang mantis yang ditemukan sebanyak 586 ekor, terdiri dari 333 ekor adalah udang betina dan 253 ekor adalah udang jantan. Selama pengamatan ditemukan 4 kelompok umur udang mantis artinya terdapat 4 generasi udang mantis. Ukuran udang yang ditemukan tergolong kecil yaitu 2,75 cm - 23,1 cm, hal ini mengindikasikan bahwa udang yang tertangkap merupakan udang muda. Biomassa stok udang mantis berkisar antara 118,7 g/km ,9 g/km 2. Biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3, hal ini diduga karena pada stasiun tersebut dekat dengan mangrove sehingga terdapat banyak sumber makanan bagi udang. Rata-rata biomasa stok yang diperoleh sebesar 488,1 g/km 2, luas total wilayah pengamatan adalah 19,15 km 2 sehingga diperoleh nilai biomasa stok total adalah 9349,29 g/area penelitian. Nilai biomassa yang diperoleh termasuk kecil dan sebagian besar udang yang diperoleh merupakan udang yang berukuran kecil, kondisi ini menggambarkan bahwa lokasi pengambilan contoh merupakan tempat mencari makan dan pembesaran udang mantis. Berdasarkan hasil penelitian, udang mantis betina dan jantan memiliki persamaan hubungan panjang bobot berturut-turut iii

4 iv adalah W=0,009L 2,933 (n=329; α=0,05) dan W= 0,008L 3,009 (n=250; α=0,05). Nilai koefisien pertumbuhan udang mantis betina dan jantan masing-masing adalah 2,933 dan 3,009. Setelah dilakukan uji lanjut dengan α=0,05 diperoleh nilai p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis adalah isometrik. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh maka rencana pengelolaan yang dapat disarankan antara lain adalah pengaturan upaya penangkapan meliputi pengaturan ukuran mata jaring dan pengaturan ukuran penangkapan. Selain itu, dapat dilakukan perlindungan daerah pembesaran dan mencari makan dengan konsep supply side ecology di daerah sekitar mangrove karena udang yang ditemukan berukuran kecil, serta diperlukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi stok dan kualitas lingkungan perairan sebagai habitat udang mantis. Kata Kunci : Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea), Struktur Demografi Populasi, Pola Pertumbuhan. iv

5 v STRUKTUR DEMOGRAFI POPULASI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG MANTIS (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI NOVI ARIYANTI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 v

6 vi PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa NIM Program Studi : Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. : Novi Ariyanti : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP Ali Mashar, S.Pi. NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP Tanggal Lulus : 20 Agustus 2010 vi

7 vii PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang berkat izin dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada Juni 2010 hingga Juli 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk lulus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing dan komisi pendidikan S1 serta semua pihak yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis vii

8 viii UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing skripsi dan pembimbing akademik dan Ali Mashar S.Pi. selaku anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji tamu, Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil. selaku ketua komisi pendidikan program S1 dan Ir. Zairion, M.Sc. atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. 3. Bapak H. Ibrahim selaku pemilik penampungan udang mantis di Kuala Tungkal yang telah banyak membantu selama proses pengambilan data di lapang. 4. Para staf Tata Usaha MSP yang sangat saya banggakan, terutama Mba Widar dan Mba Yani. 5. Keluarga tercinta, Ayah, Mama, Adinda Irma Hardini dan Sumara Widiyanti serta Harriansyah Hasibuan yang selalu memberikan semangat, doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya. 6. Tim mantis (Elin, Damora, dan Wahyu) atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama, dan semangatnya. 7. Teman-teman MSP 43 (Widya, Chika, Yuli, Friska, Frida, Dian, Dya) dan Rumah Ijo (Nirmaladewi, Noni Puspita, dan Silviana Novita Sari) atas motivasi dan dukungan serta kasih sayang serta semangatnya. 8. Rekan-rekan MSP 41, MSP 42 (Nayla dan Mumpuni), dan MSP 44 atas doa dan dukungannya. viii

9 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Sapat, pada tanggal 9 November 1988 dari pasangan Bapak Abdul Wahab Hsb dan Ibu Riati. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK Harapan Pertiwi Pematang Sapat-Rimbo (1994), SD N 81/II Muara Bungo (2000), SLTP N 1 Muara Bungo (2003), dan SMA N 1 Muara Bungo, Jambi (2006). Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dan masuk di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun Selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan penulis berkesempatan untuk menjadi asisten Mata Kuliah Metode Statistika (2008/2009 dan 2009/2010), Metode Penarikan Contoh (2009/2010), dan Oseanografi Umum (2009/2010) serta aktif sebagai Ketua Departemen Social And Environment (SAE) Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Struktur Demografi Populasi dan Pola Pertumbuhan Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798) Sebagai Dasar Pengelolaan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. ix

10 x DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi Morfologi Distribusi dan habitat Struktur Demografi Populasi Pertumbuhan Distribusi Frekuensi Panjang Hubungan Panjang dan Bobot Total METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang Metode Kerja Pengumpulan dan penanganan udang contoh Pengukuran panjang dan bobot Struktur demografi Analisis Data Struktur demografi a. Struktur umur b Biomassa stok Hubungan panjang dengan bobot total HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kondisi umum Kabupaten Tanjung Jabung Barat Struktur demografi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) Biomassa stok udang mantis Sebaran frekuensi panjang udang mantis Hubungan panjang bobot udang mantis Pembahasan Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan xii xiii xiv x

11 xi 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi lintang dan bujur stasiun pengamatan Hasil analisis kelompok ukuran udang mantis stasiun 1, 2, 3, dan total Hasil perhitungan biomasa stok udang mantis di alam Hasil perhitungan nilai b krustasea lain xii

13 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Morfologi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Pertumbuhan diskontinyu pada krustasea Carcarinus maenas, dari tingkat postlarva hingga tingkat instar VII (Dimodifiasi dari Klein Breteler in Hartnoll 1982) Peta lokasi penelitian Kelompok ukuran udang mantis (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3, (d) total Kurva sebaran frekuensi panjang udang mantis jantan dan betina Kurva hubungan panjang bobot udang mantis (a) betina, (b) jantan xiii

14 xiv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Wilayah Fishing Ground II Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Gambar alat tangkap sondong Hasil analisis kelompok umur dengan FISAT II Perhitungan biomassa stok udang mantis Analisis regresi panjang bobot udang mantis betina Analisis regresi panjang bobot udang mantis jantan xiv

15 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi perikanan yang menjadi sumber devisa bagi negara dan merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Saat ini, udang yang banyak digemari adalah udang dari kelas malacostraca. Udang dari kelas ini memiliki ukuran yang besar dan harga yang mahal. Permintaan udang ini terus meningkat sehingga mendorong nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapannya. Hal ini juga terjadi pada perikanan udang mantis (Harpiosquilla raphidea) di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Jambi. Udang mantis (H. raphidea) merupakan salah satu komoditi andalan dari Kuala Tungkal, yang mana produksinya mencapai sekitar 10% dari total produksi perikanan. Udang mantis dikenal dengan beberapa nama lokal antara lain udang ronggeng, udang nenek, udang belalang, atau udang ketak. Udang mantis merupakan komoditas ekspor, yang diekspor ke beberapa negara Asia antara lain Hongkong dan Taiwan. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanjabar hasil tangkapan udang mantis dari tahun 2003 hingga 2009 mengalami peningkatan dari ekor/tahun menjadi ekor/tahun. Berdasarkan informasi dari nelayan diketahui bahwa ukuran udang mantis yang biasa dijual oleh nelayan antara lain ukuran A (9 11 inchi), ukuran B (8,5 9 inchi), ukuran C (8 8,5 inchi), dan KK ( < 8 inchi). Penangkapan udang ini biasa dilakukan nelayan pada daerah fishing groud II yang merupakan wilayah perikanan Kabupaten Tanjabar (Lampiran 1). Dalam upaya untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan menangkap udang mantis dengan segala ukuran mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Penangkapan udang mantis dewasa atau sedang matang gonad dan berukuran kecil yang terus dilakukan nelayan dapat mengganggu kelestarian dan kondisi stok udang mantis di alam. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pengelolaan yang tepat. Salah satu cara agar pengelolaan udang mantis dapat dilakukan dengan tepat adalah dengan mengatur penangkapan berdasarkan data dan informasi struktur demografi dan pola pertumbuhannya. 1

16 Perumusan Masalah Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan salah satu sumberdaya perikanan penting di Provinsi Jambi. Permintaan udang ini terus meningkat menyebabkan intensitas penangkapan udang ini juga meningkat. Udang mantis yang tertangkap oleh nelayan memiliki ukuran yang beragam. Selain menangkap induk udang, nelayan juga menangkap udang berukuran kecil bahkan juvenil udang juga ikut tertangkap. Hal ini disebabkan karena nelayan juga menangkap udang dengan menggunakan alat tangkap mini trawl dan sondong yang tidak selektif dan bersifat menyapu perairan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan populasi dari udang mantis tersebut. Jika hal ini masih berlanjut dikhawatirkan dapat menyebabkan terganggunya kelestarian udang mantis di alam sehingga diperlukan suatu pengelolaan dalam penangkapan udang mantis. Dalam pengelolaan udang mantis dibutuhkan informasi biologi seperti struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan udang mantis yang ada di alam. Pola pertumbuhan udang mantis dapat diamati dengan melihat pertambahan panjang total dari udang mantis. Secara umum pengukuran panjang total dari udang mantis merupakan salah satu parameter untuk melihat pertumbuhan udang. Dilihat dari hasil tangkapan udang yang semakin menurun maka diduga pola pemanfaatan dari udang ini masih kurang baik. Nelayan di Kuala Tungkal tetap menangkap udang yang berukuran kecil untuk memenuhi permintaan konsumen. Selain itu, menurut nelayan setempat saat ini udang yang ditangkap memiliki ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya penangkapan berlebih. Informasi mengenai aspek biologi antara lain struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan dari udang mantis (H. raphidea) Kuala Tungkal, Jambi hingga saat ini belum tersedia. Untuk menjaga kelestarian, maka perlu adanya strategi pengelolaan yang tepat berdasarkan karakteristik biologi populasi udang tersebut. 2

17 Tujuan Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai berikut: 1. Mengetahui struktur demografi populasi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) meliputi struktur umur dan biomassa stok. 2. Mengetahui pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang berat udang mantis (H. raphidea) Manfaat Studi struktur demografi populasi dan pola pertumbuhan udang mantis (H. raphidea) ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya pengelolaan berkelanjutan udang mantis di alam di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. 3

18 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi Menurut Fabricius (1798) in Manning (1969), kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah: Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Sub Kelas : Hoplocarida Ordo : Stomatopoda Sub Ordo : Unipeltata Super famili : Squilloidea Famili : Harpiosquillidae Genus : Harpiosquilla Spesies : Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798 (Gambar 1, Lampiran 2) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris) Nama lokal : Udang ketak, ronggeng, belalang, kipas atau udang nenek 5 cm Gambar 1. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) 4

19 Morfologi Menurut Aziz et al. (2001), morfologi tubuh udang mantis menyerupai krustasea yang lain. Udang ini memiliki tubuh yang terbagi atas tiga bagian utama yaitu thorax, abdomen, dan telson. Namun, udang ini memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan spesies lain yaitu memiliki kaki yang dapat berubah fungsinya sebagai senjata yang terdapat pada bagian thorax udang ini (Gambar 2). Antenulla Antena Mata Kepala Maxiliped II Karapas Pereiopod Thoracic Somites Abdominal Somites Abdomen 4 Uropod 5 6 Ekor Telson Gambar 2. Morfologi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Sumber: Wardiatno et al. (2009) 5

20 6 Kepala dan dada menyatu yang disebut dengan cephalothorax. Tubuh dari udang ini bersegmen-segmen, dengan karapas yang menutupi sebagian dari cephalothorax, memiliki mandibula dan 2 pasang antenna. Selain itu, udang ini juga memiliki 8 pasang alat gerak di dada, karapasnya pendek, tidak menutupi seluruh ruas dada sehingga yang terlihat adalah segmen ke 5, 6 dan 7 dari dada terdepan. Menurut Wardiatno et al. (2009), maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II atau yang dikenal dengan lengan penyerang atau lengan predator atau cakar dengan ukuran sangat besar, memiliki duri-duri tajam pada dactylus yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Pada udang mantis terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV, dan V adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Pasangan pertama dari alat gerak dada adalah sub chelat. Udang mantis memiliki sepasang antena pertama atau sering disebut dengan antennulla yang tumbuh dan melekat pada labrum. Antennulla ini bercabang tiga pada ujungnya. Organ ini berfungsi sebagai organ sensori. Antena kedua atau sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya, juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999), diketahui bahwa udang mantis memiliki garis hitam pada bagian belakang antara antena dan ophthalmic somite. Udang jantan memiliki alat kelamin yang terdapat di pangkal kaki jalan ketiga berupa tonjolan kecil yang disebut petasma sedangkan udang betina dapat diketahui dengan melihat bagian pangkal kaki jalan yang berbentuk datar yang disebut thelicum (Manning 1969). Stomatopoda memiliki mata yang unik dan menarik dikarenakan mata yang bertangkai dan dapat bergerak naik turun secara fleksibel serta memiliki kemampuan yang melebihi mata manusia dan hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Pada bagian ekor udang ini terdapat uropod dan telson yang berfungsi sebagai organ pelindung dan kemudi pada saat berenang. Udang ini memiliki warna tubuh yang bervariasi dan cerah mulai dari kecoklatan hingga warna terang seperti hijau, tergantung pada habitat hidupnya (Wardiatno et al. 2009). 6

21 Distribusi dan habitat Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah udang yang dapat ditemukan pada perairan dangkal dengan substrat dasar berupa lumpur (Manning 1969). Udang mantis memiliki wilayah penyebaran yang hampir sama dengan udang penaeid. Di Indonesia udang ini terdapat di perairan Selat Malaka, bagian timur dan barat Sumatera, Laut Jawa, serta bagian selatan Jawa (Dwiponggo dan Badrudin in Sumiono dan Priyono 1998). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999), Azmarina (2007), dan Ahyong dan Moosa (2004) diketahui bahwa udang ini juga terdapat di perairan Teluk Banten, Perairan Bagansiapiapi, dan Kepulauan Anambas, sedangkan di perairan Sulawesi Utara ditemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia (Erdmann dan Boyer 2003 in Wardiatno et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahyong et al. (2007), udang mantis jenis Gonodactylus juga ditemukan di daerah Sulawesi. Selain di Indonesia, Harpiosquilla juga memiliki daerah penyebaran di sekitar perairan Indo-Pasifik Barat mulai dari Jepang, Australia sampai ke Pasifik meliputi Laut Merah, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Wilayah penyebarannya meliputi Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Wales (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Thailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiopia (Teluk Arehico), Afrika Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedangkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura (Manning 1969). Udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik terdiri dari enam genera, yaitu Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus. Di antara keenam genera tersebut, genera Squilla atau saat ini berubah menjadi Harpiosquilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia (Haswell 1982 in Sumiono dan Priyono 1998). Menurut Manning (1969), udang mantis biasa ditemukan pada perairan dengan dasar berupa pasir, batu, dan lumpur. Genus Harpiosquilla bisa hidup pada kedalaman 2 hingga 93 meter di daerah sublitoral Selat Malaka. Udang mantis merupakan organisme yang hidup di perairan laut dan merupakan hewan karnivora yang memakan organisme yang berukuran lebih kecil 7

22 8 dan hidup pada substrat berlumpur. Menurut Caldwell (1991) in Wortham-Neal (2002) berdasarkan bentuk morfologi dan fungsi capitnya, udang mantis dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu kelompok yang hidup pada substrat keras dan memakan kerang, serta bersifat agonistik, kelompok ini dinamakan smasher. Kelompok kedua yaitu spearers, kelompok ini hidup pada substrat pasir atau tanah liat dan hidup dengan membuat liang sendiri. Kelompok ini memakan dan memangsa bagian lunak dari mangsanya dan biasanya kelompok ini bersifat kurang agresif dibandingkan kelompok smasher (Caldwell dan Dingle in Wortham-Neal 2002). Pada umumnya udang mantis betina bersifat parental care dan menjaga telurnya dengan menggunakan Maksiliped untuk membersihkan embrio yang dijaga dan untuk sirkulasi air diantara embrio yang dijaga. Di daerah Kuala Tungkal, udang mantis hidup pada habitat berlumpur dengan kedalaman lumpur mencapai 2 meter. Udang ini hidup meliang dalam lubang. Lubang yang merupakan rumah udang mantis dicirikan dengan adanya dua mulut lubang yang berfungsi sebagai lubang masuk dan keluar, dan air yang ada di atas mulut lubang berwarna jernih Struktur Demografi Populasi Menurut Odum (1971) menyatakan populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari spesies yang sama yang menduduki suatu ruang tertentu, selain itu kelompok ini juga memiliki ciri atau sifat yang unik. Beberapa sifat atau ciri unik itu adalah kepadatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk pertumbuhan. Dalam menganalisis populasi di perairan tidak akan terlepas dari perairan itu sendiri sebagai ekosistem dengan komponen-komponennya yang membentuk ekosistem itu yang terdiri dari unit biologi dan unit benda mati di sekelilingnya. Menurut Krebs in Effendie (1997) kepadatan diberi batasan sebagai jumlah per unit area. Kepadatan populasi pada suatu habitat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu imigrasi dan natalitas yang akan menambah jumlah populasi, emigrasi dan mortalitas yang akan mengurangi jumlah populasi. Setiap populasi mempunyai struktur populasi atau penyusunan individu yang dikenal dengan pola distribusi. Di alam terdapat tiga pola distribusi individu yaitu 8

23 9 acak, seragam, dan mengelompok. Di alam penyebaran acak relatif jarang terjadi, sedangkan penyebaran seragam dapat terjadi jika terdapat persaingan yang keras diantara individu dan terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama (Odum 1971). Distribusi individu yang terjadi di alam merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Suatu populasi cenderung akan mengelompok bila kondisi yang terjadi di alam fluktuatif (Effendie 1997). Proses natalitas dan mortalitas yang terjadi pada suatu populasi di alam akan menghasilkan satu set kelompok umur, dimana antar kelompok umur akan memiliki jumlah yang berbeda. Struktur umur suatu populasi yang ada di alam dipengaruhi oleh mortalitas masing-masing kohort. Pada suatu kondisi yang stabil proporsi setiap kelompok umur pada suatu saat adalah sama dengan proporsi masing-masing yang menunjukan umur dalam kehidupan kohort (Effendie 1997) Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu. Pertumbuhan populasi adalah penambahan jumlah individu dalam suatu populasi per satuan waktu. Krustasea merupakan hewan yang memiliki pertumbuhan yang tidak kontinyu. Hal ini dikarenakan rangka luar tubuh udang. Perubahan ukuran pada udang terjadi sangat lambat pada saat waktu antar moulting (pergantian kulit) disebabkan kulitnya yang keras. Setelah moulting pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit baru mengeras (Hartnoll 1982). Bagi hewan krustasea, proses ganti cangkang merupakan satu-satunya cara untuk melakukan pertumbuhan (Passano 1960). Dalam siklus hidupnya pergantian cangkang terjadi secara periodik dan kontinyu (Lavina 1980 in Barnes 1982). Para ahli fisiologi membagi siklus ganti cangkang menjadi empat tingkatan, yaitu pra lepas cangkang (pre molt), lepas cangkang (molt), pasca lepas cangkang (pastmolt), dan antar ganti cangkang (intermolt) (Barnes 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan krustasea (Hartnoll 1982) adalah: 1. Faktor dalam, yaitu jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan anggota tubuh yang hilang. 9

24 10 2. Faktor luar, yaitu ketersediaan makanan, cahaya, salinitas, suhu, dan parasit. Ukuran panjang total udang ronggeng (Harpiosquilla harpax) dari perairan Teluk Banten berkisar antara dari 8,4 cm hingga 20,3 cm untuk udang mantis jantan dan 6,3 cm hingga 24,5 cm untuk udang mantis betina (Halomoan 1999). Penelitian Pak Poon in Manning (1969) di Thailand, didapatkan hasil panjang maksimum udang mantis (Harpiosquilla raphidea) 25 cm untuk udang mantis betina dan 31 cm untuk udang mantis jantan. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktorfaktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan (Effendie 1997). Faktorfaktor dalam yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah umur, ukuran udang serta kematangan gonad (Effendie 1997). Menurut Effendie (1997), laju pertumbuhan organisme perairan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan yang merupakan tempat bagi organisme untuk hidup serta ketersediaan makanan yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Berdasarkan kondisi individu, maka pola pertumbuhan individu terbagi atas dua, yaitu pola pertumbuhan isometrik yaitu pertumbuhan panjang dan bobot seimbang dan pola pertumbuhan allometrik yaitu pertumbuhan panjang dan bobot tidak seimbang. Di dalam manajemen perikanan, mempelajari laju pertumbuhan sangat penting, karena laju pertumbuhan dapat mempengaruhi tingkat kematangan gonad pertama, komposisi umur dalam suatu stok biota, dan mortalitas (Anggraini 1991). Selain itu, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu, dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manajemen yang berbeda. Dengan mempelajari pertumbuhan, maka akan dapat dilakukan studi perbandingan tentang kesuburan antar perairan serta akan mempengaruhi strategi manajemen yang diterapkan (Anggraini 1991). Pada organisme yang tidak mempunyai kerangka luar, ukuran panjang berubah secara kontinyu, tetapi pada krustesea yang memiliki kerangka luar, pertumbuhan menjadi 10

25 Pertumbuhan (mm) 11 suatu proses yang diskontinyu (Gambar 3). Pada fase pertumbuhan krustasea terdapat beberapa kondisi dimana terjadi rangkaian lepas cangkang yang dipisahkan oleh rangkaian antar ganti cangkang. Cangkang akan menjadi lebih keras dan pertumbuhan udang menjadi terbatas pada fase antar ganti cangkang. Namun pertumbuhan udang akan menjadi lebih cepat dalam periode waktu yang lebih singkat pada fase lepas cangkang, pertumbuhan akan berlangsung sebelum cangkang menjadi keras kembali dengan waktu yang relatif lebih pendek (Hartnoll 1982) Usia (hari) Gambar 3. Pertumbuhan diskontinyu pada krustasea Carcinus maenas, dari tingkat postlarva hingga tingkat instar VII (Dimodifikasi dari Klein Breteler in Hartnoll 1982) Distribusi Frekuensi Panjang Pada umumnya dalam suatu perairan semua ukuran organisme tidak terdapat dalam satu tempat. Hal ini disebabkan karena organisme cenderung melakukan pergerakan, sehingga sulit untuk menentukan ukuran organisme yang terkecil dan terbesar berada pada satu tempat (Anggraeni 2001). Pergerakan udang pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah daur hidup udang. Menurut Naamin 1984 in Anggraeni 2001, udang penaeid memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup di perairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai 11

26 12 dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke perairan yang lebih dalam untuk memijah. Selain itu, pergerakan udang yang terjadi di alam juga dipengaruhi oleh siklus pemijahan, tingkat kedewasaan, perubahan iklim dan densitas makanan (Racek in Suwandi 1978). Beberapa jenis udang terdapat bersama-sama di dalam suatu daerah dari semua ukuran dan kelas umur kecuali pada musim pemijahan. Termasuk dalam golongan ini adalah Penaeus plebejus dan P. esculentus. Racek in Suwandi (1978) memasukkan udang jenis ini ke dalam golongan konsisten, yang penyebarannya mulai dari muara sungai sampai daerah laut terbuka (outtherlitoral). Golongan konsisten sangat dipengaruhi oleh keadaan ekologi dan perubahan iklim, dan mempunyai sifat mengelompok yang kuat, Penaeus merguensis dan Metapenaeus macleayi juga termasuk ke dalam golongan ini. Berbeda dengan golongan konsisten, golongan tidak konsisten selalu bergerak dan ada perbedaan kelas umur. Kelompok yang besar bisa ditemukan di suatu perairan dalam waktu tertentu dan mungkin pada musim berikutnya tidak ditemukan lagi pada daerah yang sama Hubungan Panjang dan Bobot Total Maksud dari hasil perhitungan hubungan panjang dan bobot adalah untuk memberikan pernyataan yang sistematis mengenai hubungan panjang dan bobot. Hal ini berfungsi untuk memudahkan dalam pengkonversian dari panjang ke bobot atau sebaliknya serta petunjuk mengenai indeks kemontokan dan tingkat perkembangan gonadnya. Analisis hubungan panjang karapas dan bobot individu udang untuk setiap spesies menggunakan teknik hubungan eksponensial dan hubungan linear (Pauly 1983 in Kartini 1998). Menurut Kartini (1998), perbedaan hubungan panjang bobot yang diperoleh dari berbagai perairan tersebut disebabkan oleh perbedaan kecepatan pertumbuhan dan kisaran panjang udang yang dianalisis. Menurut Hartnoll (1982), dalam manajemen perikanan terkadang dibutuhkan usaha pengkonversian antara panjang total (L) terhadap bobot tubuh (B). Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik, sehingga nilai b jarang sekali proposional terhadap pangkat tiga dari panjang total (L 3 ). Krustasea biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh, yang mana hal tersebut dikatakan sebagai pertumbuhan relatif atau 12

27 13 allometrik. Pada dasarnya, pertumbuhan relatif tidak hanya merupakan karakteristik dari hewan krustasea namun cangkang krustasea yang relatif keras, memudahkan dilakukannya ketepatan dalam pengukuran. Selain itu, terdapat perbedaan pertumbuhan antara udang jantan dan udang betina serta udang dewasa dan udang kecil. Hal ini merupakan salah satu faktor menarik dalam pengamatan studi allometrik. Hasil dari kajian morfometrik dapat digunakan sebagai salah satu perangkat manajemen sumberdaya biota di alam, menjadikan kajian morfometrik ini cukup banyak dipelajari oleh para ahli perikanan (Anggraini 1991). 13

28 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang diteliti merupakan udang yang diperoleh dari hasil tangkapan peneliti dan udang hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di penampungan. Pengambilan contoh udang dilakukan dengan metode pengambilan contoh acak. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada tiga lokasi berdasarkan keterwakilan daerah. Waktu pengambilan contoh dilakukan selama tiga hari yaitu pada tanggal 20 Juni 2010, 21 Juni 2010, dan 22 Juni Pengamatan contoh udang kecil dilakukan di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4. Kampung Nelayan St. Pengambilan Contoh Daratan Mangrove Laut KARTOGRAFER: NOVI ARIYANTI C SKALA 1 : TAHUN PEMBUATAN 2010 SUMBER PETA GOOGLE EARTH TAHUN 2009 SURVEY LAPANG TAHUN Gambar 4. Peta lokasi penelitian 14

29 Penentuan Lokasi Penangkapan Contoh Udang Lokasi pengambilan contoh dilakukan dengan cara membagi wilayah menjadi tiga stasiun ke arah laut berdasarkan keterwakilan daerah. Lokasi yang diambil sepanjang garis pantai untuk melihat struktur populasi udang mantis (Harpiosquilla raphidea). Lokasi stasiun 1 dan 2 berada di sebelah kiri Muara Sungai Pangabuan, hal ini dikarenakan wilayahnya yang luas. Stasiun 3 berada di sebelah kanan Muara Sungai Pangabuan dan lebih dekat ke arah mangrove. Posisi stasiun diketahui dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Selain itu, contoh udang juga diperoleh dari nelayan penangkap udang mantis (H. raphidea). Posisi koordinat masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Posisi Lintang dan Bujur Stasiun Pengamatan Stasiun Koordinat Lintang Bujur 1 00 o LU-00 o LU 103 o BT-103 o BT 2 00 o LU-00 o LU 103 o BT-103 o BT 3 00 o LU-00 o LU 103 o BT-103 o BT 3.3. Metode Kerja Pengumpulan dan penanganan udang contoh Pengumpulan contoh udang dilakukan melalui dua cara yaitu melakukan penangkapan sendiri pada lokasi penelitian dengan menggunakan sondong yang merupakan alat tangkap dasar yang biasa digunakan oleh nelayan (Lampiran 3), dan mengumpulkan udang hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan. Udang yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah yang diberi es untuk menjaga kesegaran udang, kemudian dilakukan pengukuran panjang tubuh dan bobot tubuh. Udang yang berukuran kecil, dimasukkan ke dalam botol film yang di dalamnya terdapat formalin dengan konsentrasi 10 % untuk dianalisis di laboratorium. 15

30 Pengukuran panjang dan bobot Udang contoh yang tertangkap diseleksi berdasarkan jenis udang (spesies) dan jenis kelamin. Setelah itu, udang diukur panjang total dengan menggunakan penggaris dan kaliper dengan ketelitian masing-masing adalah 0,5 cm dan 0,05 cm dan ditimbang bobot tubuhnya dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,5 g dan 0,05 g. Panjang total udang diukur dari ujung mata sampai bagian belakang tubuh udang. Perhitungan panjang udang digunakan untuk melihat pertumbuhan individu udang mantis Struktur demografi Untuk melihat distribusi ukuran panjang udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dilakukan dengan menghitung panjang total udang, kemudian dibuat selang kelas ukuran panjang dari udang jantan dan udang betina. Ukuran panjang udang mantis diperoleh dengan bantuan software FISAT II. Dengan demikian akan diketahui selang ukuran kelas panjang yang banyak terdapat di alam. Kemudian dapat diketahui kondisi stok udang yang masih banyak di alam sehingga dapat dilakukan pengelolaan. Kelompok ukuran yang dibentuk dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan populasi udang mantis pada masing-masing stasiun Analisis Data Struktur demografi a. Struktur umur Struktur umur udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dapat diperoleh dengan menggunakan data panjang total dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda-beda kemudian ditentukan frekuensi dari masing-masing kelas. Dari tabel sebaran frekuensi panjang tersebut dibuat grafik distribusi frekuensi panjang total dalam bentuk grafik poligon dan kurva normal. Grafik poligon memiliki beberapa kelemahan, misalnya bila data yang didapat tidak menyebar normal, maka tidak bisa menduga kenormalan data karena grafik ini hanya menggambarkan data mentah saja. Untuk itu, diperlukan kurva normal untuk menduga sebaran normalnya. 16

31 17 Kurva normal dibuat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Keterangan : F ( x) e, X 2 = Rata-rata panjang total = Standar deviasi panjang total e = 2,71 dan = 3,14 X 2 Langkah-langkah dalam menentukan distribusi frekuensi panjang udang mantis (H. raphidea) menurut Walpole (1995) adalah sebagai berikut : 1. Menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan (K). K 1 3,32.log( N)... 1 N = Banyaknya data. 2. Menentukan wilayah data yang diperoleh dari pengurangan data terbesar (X max) dengan data terkecil (X min). W X max X min Menentukan lebar selang kelas (r) dengan cara membagi wilayah data dengan banyaknya kelas. W r... 3 K 4. Menentukan limit bawah kelas terendah dan tertinggi dan menambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya. 5. Mendaftarkan seluruh limit kelas dan batas kelas dengan menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya. 6. Menentukan titik tengah kelas pada masing-masing selang dengan merata-ratakan limit kelas atau batas kelasnya. 7. Menentukan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan data pada selang kelas yang telah ditentukan. 8. Menjumlahkan kolom frekuensi untuk membuktikan banyaknya total data. 17

32 18 b. Biomassa stok Perhitungan biomassa stok udang mantis dilakukan dengan menghitung kepadatan udang dan luasan daerah per stasiun. Luasan daerah diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan jarak koordinat pada masing-masing stasiun. Dalam menghitung biomassa stok tidak digunakan koefisien alat tangkap. Nilai biomassa sering digunakan untuk mengetahui nilai stok biomassa populasi (Brower et al. 1990). Perhitungan biomassa adalah sebagai berikut: B D n i 1 n W Keterangan : B = Biomassa (g/km 2 ) W = Jumlah berat individu contoh (g) D = Kepadatan (individu/km 2 ) n = jumlah individu contoh (individu) Hubungan panjang dengan bobot total Melalui hubungan panjang dengan bobot total dapat diketahui pengaruh panjang terhadap bobot. Dalam menghitung hubungan panjang dan bobot, udang mantis jantan maupun betina yang sedang molting (berganti kulit) tidak diikutkan dalam perhitungan karena akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Rumus yang digunakan untuk melihat hubungan panjang dengan bobot total menurut Rousefell dan Everhart in Effendie (1997) yaitu: W = a L b LogW Loga b. LogL 2 LogW ( LogL) LogLx LogLxLogW Loga 2 Nx ( LogW ) LogL b LogW ( NxLoga) LogL Keterangan : W = Bobot Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (gram) N = Jumlah Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (ekor) L = Panjang Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) (cm) 18

33 19 Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis: H 0 : b = 3, hubungan panjang-bobot udang mantis adalah isometrik H 1 : b 3, hubungan panjang-bobot udang mantis adalah allometrik, yaitu: Allometrik positif (b>3), pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Allometrik negatif (b<3), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. t hitung = b 1 Sb b 1 0 Keterangan: b 1 = nilai b (dari hubungan panjang-bobot) b 0 = 3 Sb 1 = simpangan koefisien b Kemudian, bandingkan antara nilai t hitung dengan nilai t tabel dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya, kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H 0 ) t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (H 0 ) 19

34 20 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kondisi umum Kabupaten Tanjung Jabung Barat Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jambi dan terletak 125 km dari pusat kota Jambi. Luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah 5.009,82 km 2 (BPS 2008). Menurut BPS (2008), kabupaten ini memiliki 13 kecamatan meliputi Kecamatan Tungkal Ulu, Merlung, Batang Asam, Tebing Tinggi, Renah Mendaluh, Muara Papalik, Pengabuan, Senyerang, Tungkal Ilir, Bram Itam, Seberang Kota, Betara, dan Kecamatan Kuala Betara. Daerah ini memiliki ketinggian berkisar 10 m hingga 500 m di atas permukaan laut. Kabupaten Tanjung Jabung Barat terletak di Pantai Timur Provinsi Jambi, tepatnya pada koordinat antara 0 o o 41 LS dan antara 103 o o 21 BT. Berdasarkan letak geografisnya, batas-batas administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Barat adalah sebagai berikut: 1). Bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Riau 2). Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Batanghari 3). Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo 4). Bagian Timur berbatasan dengan Selat Berhala dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tungkal Ilir, yang beribukota di Kuala Tungkal. Jarak dari kecamatan menuju ibukota kecamatan sekitar 5 km. Kuala Tungkal merupakan wilayah kabupaten yang berhubungan langsung dengan laut. Di daerah ini mengalir satu sungai besar, yaitu Sungai Pangabuan yang bermuara di Selat Berhala. Kecamatan Tungkal Ilir berada 3 m di atas permukaaan laut dan memiliki luas sebesar 56,2550 Ha. Sebesar 25,5900 Ha tanahnya memiliki tekstur tanah yang halus dan 30,6650 Ha berupa tanah Gambut. Daerah ini mengandalkan sektor perikanan sebagai sumber pendapatannya, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan (BPS 2008). Kabupaten ini beriklim tropis dangan rata-rata temperatur sebesar 26,9 o C, suhu minimum daerah ini adalah 21,9 o C dan suhu maksimum 32 o C. Curah hujan rata-rata antara mm/tahun dengan hari hujan berkisar antara

35 21 hari/bulan. Puncak musim basah daerah ini adalah November-Januari dan bulan kering adalah Juni-Agustus. Frekuensi pasang surut terjadi pada setiap 12 jam dengan amplitudo antara 2-3 meter, bahkan pada saat pasang besar (spring tide) dapat lebih tinggi (BPS 2008). Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (2003), dikarenakan perairan laut Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan bagian dari Laut Cina Selatan, maka perhitungan potensi perikanan laut tidak terbatas pada potensi laut kewenangan kabupaten, tetapi meliputi juga potensi pemanfaatan pada perairan lepas pantai Wilayah Fishing Ground II (Lampiran 1). Potensi perikanan laut meliputi laut kabupaten sebesar ton/tahun, laut provinsi ton/tahun, dan ZEEI Laut Cina Selatan sebesar 1 juta ton/tahun Struktur demografi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) Struktur demografi merupakan gambaran mengenai kelompok ukuran umur udang yang terdapat di alam. Kelompok umur dapat menggambarkan kondisi udang mantis yang ada di alam. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tiga stasiun diketahui bahwa udang mantis di daerah Kuala Tungkal memiliki kelompok ukuran umur berkisar antara 3-4 kelompok umur. Tiga stasiun yang diamati masing-masing mewakili kondisi jumlah intensitas penangkapan, dimana stasiun 1 mewakili daerah dengan intensitas penangkapan tinggi, stasiun 2 mewakili intensitas penangkapan sedang, dan stasiun 3 mewakili intensitas penangkapan rendah. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa stasiun 1 memiliki 3 kelompok umur, hal ini dapat dilihat dengan adanya 3 puncak pada Gambar 5 (a). pada stasiun 2 dan 3 masing-masing memiliki 4 kelompok umur (Gambar 5 (b) dan (c), Lampiran 4). Secara keseluruhan diketahui bahwa di semua stasiun yang diamati diperoleh 4 kelompok umur, yang artinya terdapat empat umur udang mantis yang berbeda. Untuk mempertegas perbedaan kelompok umur pada masing-masing stasiun dapat digunakan nilai indeks separasi (SI). Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan menggunakan metode Bhattacharya indeks separasi (separation index, SI) sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Hasselblad (1969), McNew dan Summerflat (1978), dan Clark (1981) in Sparre dan Venema (1999), jika nilai I<2 21

36 22 maka pemisahan kelompok ukuran tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran ikan. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa stasiun 1 memiliki nilai SI berkisar antara 4,72-5,47. Nilai SI stasiun 2 dan 3 masing masing berkisar antara 2,05-4,89 dan 2,13-3,77 (Tabel 2). Berdasarkan hasil analisis dengan mengunakan metode Bhattacharya, diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 4 kelompok ukuran udang mantis yang terdapat pada Muara Sungai Pangabuan, Kuala Tungkal dengan nilai indeks separasi berkisar antara 2,92-4,59 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi udang mantis yang terdapat pada stasiun pengamatan hanya memiliki 4 kelompok umur yang berbeda. Tabel 2. Hasil analisis kelompok ukuran udang mantis stasiun 1, 2, 3, dan total Stasiun L rata-rata Standar Deviasi (SD) Populasi Indeks Separasi (SI) Total n.a n.a n.a n.a

37 23 n = 88 (a) n = 128 (b) n = 370 (c) n = 586 (d) Gambar 5. Kelompok ukuran udang mantis (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3, (d) total 23

38 Biomassa stok udang mantis Perhitungan mengenai biomassa stok dilakukan untuk mengetahui kondisi stok udang mantis yang terdapat di alam. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa rata-rata biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu 990,2 g/km 2. Rata-rata biomassa stok terkecil terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 213,9 g/km 2. Nilai biomassa stok terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 804,8 g/km 2 (Lampiran 5). Kondisi biomassa stok sangat dipengaruhi oleh kondisi kepadatan individu. Nilai biomassa stok berkorelasi positif dengan nilai kepadatan udang mantis. Setiap perhitungan biomassa stok dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Tabel 3. Hasil perhitungan biomassa stok udang mantis di alam St Ulangan Kepadatan (ind/km 2 ) Jumlah Berat Individu (g) Jumlah contoh individu (ind) Biomassa (g/km 2 ) 1 16, , ,0 2 22, ,7 3 9, , ,7 1 9, ,6 2 11, ,1 3 20, ,1 1 78, , ,8 2 77, , ,0 3 35, , ,9 Rata-rata SD 260,1 161,25 213,9 23,76 990,2 300, Sebaran frekuensi panjang udang mantis Jumlah udang mantis yang diamati selama penelitian adalah sebanyak 586 ekor yang terdiri dari 333 ekor udang mantis betina dan 253 ekor udang mantis jantan. Selama pengamatan diketahui bahwa panjang minimum dan maksimum udang mantis betina yang ditemukan berturut-turut adalah 2,75 cm dan 23,3 cm (Gambar 5). Ukuran panjang minimum udang mantis jantan yang ditemukan adalah 5,2 cm dan panjang maksimum sebesar 22,8 cm. Selama pengamatan udang mantis jantan dan betina yang paling banyak ditemukan pada kisaran panjang 8,36 cm - 10,22 cm masing-masing sebesar 90 ekor dan 123 ekor. Selama pengamatan yang dilakukan jumlah udang mantis betina paling sedikit ditemukan pada selang ukuran panjang 19,58 cm - 21,44 cm sebanyak 2 ekor. Jumlah udang mantis jantan paling sedikit ditemukan pada selang ukuran 21,45 cm - 24

39 Junlah Udang (ekor) 25 23,31 cm sebanyak 2 ekor, dan pada selang 2,75 cm - 4,61 cm tidak ditemukan adanya udang mantis jantan (Gambar 6) ,75-4,61 4,62-6,48 6,49-8,35 8,36-10,22 10,23-12,09 12,1-13,96 Selang Kelas (cm) n betina = 333 ekor n jantan = 253 ekor 13,97-15,83 15,84-17,7 17,71-19,57 19,58-21,44 21,45-23,31 Udang Jantan Udang Betina Gambar 6. Kurva sebaran frekuensi panjang udang mantis jantan dan betina Hubungan panjang bobot udang mantis Pada perhitungan mengenai hubungan panjang bobot udang mantis dilakukan pemisahan terhadap udang jantan dan udang betina. Hal ini dikarenakan biasanya terdapat perbedaan pertumbuhan antara udang mantis jantan dan udang mantis betina. Nilai koefisien pertumbuhan udang mantis betina adalah sebesar 2,933. Untuk udang mantis jantan diperoleh nilai koefisien pertumbuhan sebesar 3,009 (Gambar 7). Nilai koefisien determinasi yang diperoleh berkisar antara 0,939-0,965. Menurut hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang berat pada udang mantis memiliki korelasi yang sangat erat, hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi yang mendekati satu. Udang mantis betina memiliki persamaan hubungan panjang berat W=0,009L 2,933 (n=329; α=0,05) (Gambar 7, Lampiran 6). Persamaan hubungan panjang berat udang mantis jantan adalah W= 0,008L 3,009 (n=250; α=0,05) (Gambar 7, Lampiran 7). Jika dibandingkan dengan krustasea jenis lain dapat diketahui bahwa pertumbuhan betina lebih lambat dibandingkan dengan jantan, hal ini dapat terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2001), Nates dan Felder (1999), dan Muna (2009). Hal berbeda diperoleh oleh Halomoan (1999), dimana pertumbuhan betina lebih cepat dibandingkan jantan (Tabel 4). 25

40 26 Faktor-faktor penyebab berbedanya nilai koefisien pertumbuhan antara lain adalah perbedaan spesies, selain itu perbedaan juga dapat disebabkan faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Menurut Harttnoll (1982), perbedaan pertumbuhan krustasea juga dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, cahaya, salinitas, suhu, dan parasit. Setelah dilakukan uji lanjutan pada selang kepercayaan 95%, diperoleh nila p > 0,05 untuk kedua jenis kelamin artinya pola pertumbuhan udang mantis betina dan udang mantis jantan juga memiliki kondisi isometrik, yang artinya pertumbuhan bobot dan pertumbuhan panjangnya seimbang. Tabel 4. Hasil perhitungan nilai b krustasea lain Jenis Krustasea Jenis Lokasi Penelitian b Sumber Kelamin Udang api-api Betina Angke Kapuk 2,63 Anggraeni (2001) Jantan 2,64 Udang mantis Betina Teluk Banten 2,15 Halomoan (1999) (Harpiosquilla harpax) Jantan 1,78 Udang hantu Betina Estuari Cispata, 2,48 Nates and Felder (Lepidophthalmus Jantan Kolombia 3,09 (1999) sinuensis) Scylla oceanica Betina Sumatera 3,11 Muna (2009) Jantan 3,71 Scylla serrata Betina Jawa 2,02 Muna (2009) Jantan 3,07 26

41 Berat (gram) Berat (gram) W = 0,009L 2,933 R² = 0,939 n = W = 0,008L 3,009 R² = 0,965 n = 250 Panjang (cm) (a) Panjang (cm) (b) Gambar 7. Kurva hubungan panjang bobot udang mantis (a) betina, (b) jantan ( Udang mantis yang moulting tidak diikutkan) 4.2. Pembahasan Berdasarkan seluruh data panjang yang diperoleh selama pengamatan, maka frekuensi ukuran panjang dibagi ke dalam 21 kelompok ukuran panjang, dengan interval 1,0 cm. Berdasarkan Gambar 5 (a), (b), (c), dan (d) diketahui bahwa udang mantis pada selang < 4,745 cm dan selang kelas >21,745 cm memiliki jumlah yang sedikit, sedangkan pada selang kelas diantara 7,745 cm - 21,745 cm memiliki jumlah yang banyak. Menurut Ravero dan Sprocati (1997), bentuk distribusi 27

42 28 frekuensi panjang tersebut disebabkan oleh lebih tingginya laju kematian pada selang kecil dan selang besar, dan laju pertumbuhan yang lebih cepat pada selang kelas antara. laju kematian yang terjadi pada selang kelas kecil berkaitan dengan tingkat kelangsungan hidup, meliputi kondisi perairan. Selain itu, udang muda sangat sensitif terhadap tekanan lingkungan. Pada udang mantis yang berukuran besar kematian cenderung lebih disebabkan oleh penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Adanya suatu kelompok ukuran menandakan adanya suatu generasi yang dihasilkan. Pada dasarnya suatu kelompok ukuran menggambarkan adanya sekelompok individu pada umur atau ukuran yang sama menempati ruang yang sama, tumbuh, dan berkembang dalam kurun waktu tertentu yang sama. Adanya 4 kelompok ukuran pada populasi udang mantis menandakan populasi tersebut terdiri dari 4 generasi. Pada stasiun 1 terlihat bahwa udang yang tertangkap didominasi oleh panjang total 8,75 cm - 13,75 cm. Udang pada stasiun 1 dan 3 tidak sama, dimana terjadi kecenderungan bahwa semakin kecil jumlah udang yang tertangkap ukurannya semakin besar. Rata-rata ukuran panjang udang mantis yang terdapat di stasiun 1 adalah 11,87 cm dengan jumlah udang sebanyak 88 ekor dan pada stasiun 3 adalah 10,09 cm dengan jumlah udang sebanyak 370 ekor. Pada stasiun 2 dan 3 ditemukan udang yang berukuran besar. Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan udang pada kedua stasiun cukup baik. Hal ini dapat disebabkan kurangnya intensitas penangkapan pada daerah tersebut. Ukuran udang yang tertangkap ini termasuk kecil dan diduga merupakan udang muda. Selain ukuran yang kecil, tingkat kematangan gonad udang yang diperoleh menunjukan bahwa udang di sekitar Muara Sungai Pangabuan merupakan udang-udang muda. Seluruh udang yang tertangkap merupakan udang betina yang belum matang gonad. Menurut Yusuda in Suwandi (1978) keadaan tersebut disebabkan oleh pergerakan udang untuk beruaya yang disebabkan tingkat kedewasaan. Udang muda terdapat di daerah payau dekat pantai sedangkan udang dewasa terdapat pada perairan yang lebih jauh dari pantai dengan kadar garam yang lebih tinggi untuk memijah. Hal ini diperjelas oleh Racek in Suwandi (1978), pergerakan udang yang terjadi di alam juga dipengaruhi oleh siklus pemijahan, tingkat kedewasaan, 28

43 29 perubahan iklim dan densitas makanan. Menurut Naamin (1984) in Anggraeni (2001), udang penaeid memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup diperairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke peraian yang lebih dalam untuk memijah. Dari pengamatan diketahui bahwa pada stasiun 2 dan stasiun 3 terdapat 4 kelompok umur udang mantis, sedangkan pada stasiun 1 terdapat 3 kelompok umur. Tingginya intensitas penangkapan pada stasiun 1 menyebabkan struktur umur yang ditemukan lebih sedikit. Selain itu, udang dengan ukuran besar dijumpai dalam jumlah yang sedikit, hal ini dikarenakan udang tersebut telah banyak ditangkap oleh nelayan. Stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki kelompok ukuran yang lebih banyak diduga karena pada stasiun tersebut belum terjadi penangkapan. Pada stasiun 1 merupakan daerah yang dekat dari darat sehingga banyak nelayan yang telah melakukan penangkapan di sekitar daerah tersebut. Pada stasiun 3 lebih banyak ditemukan udang yang berukuran muda, hal ini menggambarkan bahwa stasiun 3 merupakan wilayah yang cocok untuk daerah mencari makan dan pembesaran udang mantis muda. Stasiun 1 dan stasiun 2 ukuran udang yang ditemukan lebih besar sehingga daerah ini cocok untuk daerah penangkapan. Stasiun 3 diduga merupakan daerah supply udang mantis. Banyaknya udang muda yang ditemukan pada stasiun ini juga dapat disebabkan migrasinya udang yang sudah mulai dewasa untuk mencari daerah yang lebih mendukung kehidupan udang dewasa. Kondisi kelompok ukuran panjang yang diperoleh menggambarkan bahwa kondisi udang mantis di alam sudah tidak stabil, hal ini dikarenakan proporsi masing-masing individu pada setiap kelompok umur berbeda. Menurut Effendi (1997), pada suatu kondisi yang stabil proporsi setiap kelompok umur pada suatu saat adalah sama dengan proporsi masing-masing yang menunjukkan umur dalam kehidupan kohort. Biomassa stok populasi dapat diduga dengan mengalikan data kepadatan dengan berat rata-rata contoh udang yang terdapat pada stasiun tersebut, dimana semakin tinggi kepadatan suatu populasi maka semakin tinggi pula biomassa stok populasi yang terdapat di daerah tersebut. Biomassa stok populasi ini menggambarkan potensi penangkapan pada suatu area penangkapan. Biomassa stok populasi udang mantis tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 804,8 g/km 2-29

44 ,9 g/km 2 dan biomassa stok populasi terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 189,6 g/km 2-237,1 g/km 2. Rata-rata biomassa stok yang diperoleh sebesar 488,1 g/km 2, luas total wilayah pengamatan adalah 19,15 km 2 sehingga diperoleh nilai biomassa stok total adalah 9349,29 g/area penelitian. Kondisi biomasa individu dalam suatu lingkungan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan diantaranya adalah oksigen terlarut dan kondisi musim angin yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan (Karen et al. 2006). Jika dilihat potensi penangkapan yang diperoleh tergolong rendah. Namun, jika dilihat luas daerah penangkapan yang terdapat di daerah Kuala Tungkal maka potensi yang dapat dihasilkan cukup besar. Potensi terbesar terdapat pada stasiun 3, hal ini diduga karena stasiun 3 merupakan daerah yang masih memiliki intensitas penangkapan yang masih rendah sehingga kondisi udang mantis masih baik. Selain itu, stasiun 3 berada dekat mangrove sehingga ketersediaan makanan besar. Hal ini menyebabkan banyak udang yang terdapat pada lokasi tersebut yang berpengaruh terhadap kepadatan dan meningkatkan nilai biomassa stok. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa stasiun 3 merupakan kawasan yang sebaiknya dipertahankan untuk menjaga kondisi stok udang mantis di alam. Biomassa stok dapat dipengaruhi oleh jumlah kelompok umur udang mantis yang terdapat pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada stasiun 3 terdapat empat kelompok ukuran udang mantis dan jumlah udang yang paling besar sehingga biomassa stok yang diperoleh juga besar. Pada stasiun 2 ditemukan empat kelompok ukuran umur, namun didominasi oleh udang yang berukuran kecil sehingga biomassa stoknya juga kecil. Pada stasiun 1 ditemukan tiga kelompok ukuran panjang udang mantis dengan rata-rata ukuran udang yang ditemukan relatif lebih besar sehingga meningkatkan nilai biomassa stok udang mantis. Secara umum berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa jumlah udang mantis betina yang ditemukan lebih besar dibandingkan udang mantis jantan. Udang betina yang ditemukan sebanyak 333 ekor dan udang mantis jantan sebanyak 253 ekor. Berdasarkan Gambar 6, ukuran udang mantis jantan dan betina yang paling banyak tertangkap pada ukuran 8,36 cm - 10,22 cm masing-masing sebanyak 90 ekor dan 123 ekor. Ukuran udang mantis jantan dan betina yang tertangkap tidak sama, hal ini menggambarkan kondisi yang tidak seimbang. Rata- 30

45 31 rata ukuran udang mantis betina yang tertangkap adalah 10,34 cm dan rata-rata udang mantis jantan yang tertangkap adalah 10,84 cm. Berdasarkan data terlihat kecenderungan dimana semakin banyak udang yang tertangkap maka ukurannya akan semakin kecil. Udang mantis jantan yang tertangkap lebih sedikit jumlahnya namun ukuran yang diperoleh lebih besar. Hal ini berkaitan dengan adanya kompetisi dalam perebutan ruang dan makanan. Ukuran panjang minimum dan maksimum udang mantis betina yang ditemukan adalah 2,75 cm - 23,31 cm, sedangkan ukuran panjang minimum dan maksimum udang jantan yang ditemukan adalah 4,62 cm - 23,31 cm. Ukuran udang yang tertangkap berkisar antara 2,75 cm - 23,1 cm. Rata-rata ukuran udang mantis jantan dan betina yang diperoleh selama pengamatan masing-masing adalah 10,85 cm dan 10,34 cm dengan berat rata-rata adalah 14,38 g dan 12,78 g. Panjang ratarata udang mantis yang didaratkan di tempat penampungan adalah 24,56 cm dengan berat 136,56 gram untuk udang betina dan 24,48 cm dan 134,52 g untuk udang jantan. Hal ini menggambarkan bahwa udang yang ditangkap memiliki ukuran panjang dan bobot yang lebih kecil dibandingkan udang yang didaratkan di tempat penampungan. Hal ini menggambarkan bahwa udang yang tertangkap di lokasi penelitian masih belum mencapai ukuran maksimum, dan masih banyak udang kecil. Udang mantis yang tertangkap selama pengamatan berukuran kecil, hal ini didukung oleh penelitian Pak Poon in Manning (1969) di Thailand, untuk udang mantis (Harpiosqilla raphidea) betina dapat mencapai panjang maksimum 25 cm, sedangkan untuk udang mantis jantan dapat memiliki panjang maksimum 31 cm. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999) di Teluk Banten, diketahui bahwa udang mantis betina dan jantan dapat yang diperoleh memiliki ukuran panjang masing-masing berkisar antara 8,4 cm - 20,3 cm dan 6,3 cm - 24,5 cm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ohtomi et al. (1994), untuk udang mantis jenis Oratosquilla oratoria ukuran tubuhnya sebesar 10,54 cm. Perbedaan pertumbuhan ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat udang mantis hidup dan jenis spesies dari udang mantis (Hartnoll 1982). Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian ini juga menjadi faktor penting. Alat tangkap yang digunakan adalah sondong dengan ukuran mata jaring berlapis mulai dari 0,5 inchi hingga 3 inchi pada bagian ujungnya. Alat ini bersifat menyapu 31

46 32 dasar dan tidak selektif sehingga udang-udang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap dengan ukuran yang beragam. Ukuran udang jantan yang tertangkap membentuk suatu sebaran normal dengan puncak pada ukuran 8,36 cm - 10,22 cm. Hal ini memperlihatkan bahwa udang jantan yang diperoleh merupakan satu ukuran panjang. Pada ukuran 10,23 cm - 12,09 cm jumlah udang jantan dan udang betina yang diperoleh hampir sama, hal ini memperlihatkan bahwa pada ukuran tersebut kondisi udang seimbang. Udang yang berukuran besar yang tertangkap memiliki jumlah yang sedikit, hal ini dikarenakan pengambilan contoh dilakukan di daerah sekitar mangrove yang diduga merupakan daerah mencari makanan dan pembesaran udang. Menurut Naamin 1984 in Anggraeni 2001, udang memiliki daur hidup yang khas, dimana udang yang dewasa hidup di perairan lepas pantai untuk memijah sedangkan larva udang bergerak ke arah pantai dan berkembang di sana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke perairan yang lebih dalam untuk memijah. Pertumbuhan udang mantis dapat diketahui melalui pengkajian mengenai hubungan panjang bobot udang mantis. Pertumbuhan udang jantan dan betina dipisahkan, hal ini dikarenakan dugaan adanya perbedaan pertumbuhan antara udang mantis jantan dan betina. Menurut Hartnoll (1982) salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jenis kelamin. Panjang udang betina yang tertangkap berkisar antara 2,75 cm - 23,1 cm dengan bobot berkisar antara 0,1 g 106 g. Pada udang betina persamaan hubungan panjang-bobot yang diperoleh adalah W=0,009L 2,933. Berdasarkan persamaan tersebut, nilai b sebesar 2,933. Setelah dilakukan uji t,pada selang kepercayaan 95 %, maka diperoleh bahwa p > 0,05 artinya nilai b = 3. Hal ini menggambarkan bahwa pola pertumbuhan udang mantis betina berdasarkan hubungan panjang-bobot adalah isometrik. Koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 0,939 yang artinya variasi panjang dapat diantisipasi bobot dan model ini dapat mewakili kondisi sebenarnya sebesar 93,9 %, sedangkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,97 artinya bobot memiliki hubungan yang sangat erat terhadap panjang. Menurut Walpole (1995), nilai koefisien korelasi yang mendekati 1 menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antar variabel. Ukuran panjang dan bobot udang mantis jantan berkisar antara 4,26 cm - 23,1 cm dan 0,45 g g. Udang mantis jantan memiliki persamaan hubungan panjang- 32

47 33 bobot W= 0,008L 3,009, nilai b yang diperoleh adalah 3,009. Untuk menentukan pola pertumbuhan udang mantis jantan dilakukan uji t, dimana pada selang kepercaya 95% hasil yang diperoleh p > 0,05 artinya nilai b = 3. Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa nilai tersebut menggambarkan pola pertumbuhan udang mantis jantan isometrik dikarenakan nilai b yang sama dengan 3. Persamaan ini memiliki koefisien determinasi sebesar 0,965 artinya variasi nilai panjang dapat diantisipasi bobot dan model ini dapat menggambarkan kondisi sebenarnya di alam sebesar 96,5%. Pola pertumbuhan udang mantis jantan dan betina yang diperoleh adalah isometrik, artinya pertumbuhan bobot dan panjang udang mantis seimbang. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hartnoll (1982), bahwa krustasea biasanya mengalami perubahan bentuk tubuh selama tumbuh, yang mana hal tersebut dikatakan sebagai pertumbuhan relatif atau allometrik. Pada dasarnya, pertumbuhan relatif tidak hanya merupakan karakeristik dari hewan krustasea namun cangkang krustasea yang relatif keras, memudahkan dilakukannya ketepatan dalam pengukuran. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan pertumbuhan pada masing-masing jenis, ketersediaan makanan, dan tekanan penangkapan. Berdasarkan nilai b pada hubungan panjang bobot udang mantis betina dan udang mantis jantan diketahui bahwa udang jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan udang mantis betina. Menurut Hartnoll (1982), pertumbuhan udang betina dan jantan akan mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan energi yang berasal dari makanan yang diperoleh oleh udang mantis betina lebih digunakan untuk pemeliharaan tubuh, pergerakan, dan reproduksi daripada untuk pertumbuhan dalam bentuk penambahan ukuran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2001) di Angke Kapuk pada spesies udang api-api, Nates dan Felder (1999) dengan spesies udang hantu, dan Muna (2009) dengan spesies Scylla serrata dan Scylla oceanica dimana koefisien pertumbuhan udang jantan lebih besar dibandingkan dengan udang betina. Namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halomoan (1999) udang mantis (Harpiosquilla harpax) di Teluk Banten pada bulan Februari hingga Agustus (1998), dimana koefisien pertumbuhan udang betina lebih besar dibandingkan udang jantan, perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan kualitas lingkungan perairan yang menjadi habitat udang dan perbedaan spesies. Hal ini dipertegas oleh Hartnoll 33

48 34 (1982), dimana pertumbuhan udang dipengaruhi oleh faktor luar meliputi kualitas lingkungan dan faktor dalam meliputi jenis spesies dan genetik. Selain itu, menurut Kartini (1998), perbedaan hubungan panjang bobot yang diperoleh dari berbagai perairan tersebut disebabkan oleh perbedaan kecepatan pertumbuhan dan kisaran panjang udang yang dianalisis Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pengelolaan Menurut Widodo (2002), pengelolaan perikanan dimaksudkan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan sehinggga kelestarian sumberdaya ikan terjamin. Berdasarkan Undang-Undang Perikanan No 45 tahun 2009, tujuan utama dari pengelolaan yaitu untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan, terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan pengkayaan yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan. Pada saat ini, permintaan pasar terhadap udang mantis terus meningkat, baik permintaan konsumen lokal maupun sebagai komoditas ekspor. Hal ini cukup mengkhawatirkan dikarenakan pemenuhan permintaan pasar tersebut masih mengandalkan tangkapan dari alam yang akan mengakibatkan penurunan populasi udang mantis di alam dan ukuran tangkapan udang mantis yang semakin kecil. Selain itu, penangkapan yang dilakukan oleh nelayan terhadap juvenil udang mantis untuk kegiatan budidaya di negara lain dapat mengganggu proses rekruitmen dari populasi udang mantis. Oleh karena itu, untuk menghindari rusaknya sumberdaya udang mantis dan agar pemanfaatannya dapat optimal, diperlukan suatu rencana pengelolaan secara rasional dan bijaksana yang berpedoman pada kaidah-kaidah pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Sehingga, dengan menerapkan perencanaan tersebut diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidup dan kelestarian sumberdaya udang mantis. Berdasarkan analisis yang telah diperoleh diketahui bahwa pola pertumbuhan udang mantis isometrik yang menggambarkan bahwa kondisi lingkungan yang masih baik untuk habitat hidupnya. Selain itu, selama pengamatan ukuran udang yang diperoleh masih kecil dan termasuk udang muda. Jika penangkapan udang ini terus dilakukan maka jumlah udang kecil yang ada di alam akan berkurang. 34

49 35 Meskipun kondisi lingkungan masih mampu menopang kehidupan udang mantis, namun diperlukan suatu monitoring kualitas perairan di perairan. Hal ini dikarenakan udang mantis merupakan hewan bentik yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi penangkapan udang muda oleh nelayan diperlukan adanya suatu pengaturan upaya penangkapan berupa pengaturan ukuran mata jaring yang digunakan oleh nelayan dan pengaturan ukuran tangkap. Dalam pengelolaan perikanan pengaturan dan perubahan terhadap kondisi yang telah ada sangat sulit dilakukan sehingga diperlukan suatu sosialisasi kepada nelayan. Tangkapan udang kecil yang diperoleh oleh nelayan sebaiknya dikembalikan ke alam, sehingga udang tersebut dapat tumbuh dan bereproduksi untuk menghasilkan individu-individu baru. Hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan adalah perlunya suatu monitoring dan pendataan secara sistematis terhadap produksi udang baik yang bernilai jual, dan konsumsi serta yang terbuang. Hal ini sangat penting untuk dilakukan untuk memperoleh data yang akurat sebagai bahan dasar dalam membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan udang mantis. Berdasarkan analisis mengenai biomassa stok, dan struktur demografi udang mantis diketahui bahwa dari semua lokasi pengamatan udang yang ditemukan merupakan udang dengan ukuran rata-rata terkecil. Hal ini menggambarkan bahwa lokasi pengamatan sangat cocok sebagai tempat untuk pemijahan dan pembesaran udang mantis. Lokasi ini juga dapat berfungsi sebagai supplier bagi daerah sekitarnya sehingga diperlukan pengaturan pengelolaan berupa pengadaan perlindungan habitat pembesaran dan mencari makan di sekitar daerah mangrove dengan konsep supply side ecology. Pengaturan ini perlu dilakukan untuk menjaga stok dan kelestarian udang mantis. Suatu pengelolaan perikanan tidak akan berjalan baik tanpa adanya kepedulian dari semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar semua pihak yang berkepentingan meliputi pemerintah, masyarakat, nelayan, dan peneliti. Pemerintah berperan sebagai instansi yang memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan pengelolaan demi menjaga kelestarian udang mantis. Peraturan pengelolaan yang diambil sebaiknya berdasarkan kondisi lapangan yang diinformasikan oleh peneliti agar keputusan pengelolaan yang diambil sesuai dengan 35

50 36 kondisi yang ada di alam. Peran serta masyarakat dan nelayan Kuala Tungkal sangat dibutuhkan untuk mengawasi jalannya suatu pengaturan pengelolaan perikanan udang mantis. Dengan adanya partisipasi semua pihak dalam pengelolaan perikanan udang mantis dapat berjalan dengan baik. 36

51 37 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa struktur umur udang mantis (Harpiosquilla raphidea) yang diperoleh sebanyak empat kelompok umur artinya terdapat empat generasi udang mantis di alam. Biomassa stok udang mantis berbeda pada setiap stasiun. Biomassa stok udang mantis terbesar terdapat pada stasiun 3, yang mengindikasikan bahwa stasiun 3 merupakan lokasi yang tepat untuk mencari makan dan pembesaran udang mantis. Pola pertumbuhan udang mantis jantan dan betina di Kuala Tungkal, Jambi adalah isometrik artinya pertumbuhan bobot dan pertumbuhan panjang udang mantis seimbang. Hal ini menggambarkan bahwa lingkungan masih dapat menopang kehidupan udang mantis Saran Pada penelitian selanjutnya diperlukan adanya pengkajian mengenai siklus hidup dan kebiasaan makanan udang mantis untuk mengatahui pola hidup dan makanan yang dikonsumsi oleh udang mantis. 37

52 38 DAFTAR PUSTAKA Ahyong ST & Moosa MK Stomapod crustacea from Anambas and Natuna Islands, South China Sea, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 11: Ahyong ST & Erdmann MV Two new spesicies of Gonodactylellus from the Western Pacific (Gonodactylidae : Stomatopoda). The Raffles Bulletin of Zoology. National University of Singapore 55(1): Anggraini E Regenerasi alat gerak, pertambahan bobot tubuh pasca lepas cangkang, dan kajian morfometrik kepiting bakau Scylla serrata (Forskal) di rawa payau muara Sungai Cikaso, Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggraeni D Studi beberapa aspek biologi udang api-api (Metapenaeus monoceros Fabr.) di perairan sekitar hutan lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aziz KA, Boer M, Widodo J, Djamali A, Gofar A, & Rahmawati R Perikanan udang di Perairan Indonesia. Pusat Kajian sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Azmarina Karakteristik morfometrik udang mantis, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) di perairan Bagansiapiapi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau. Pekanbaru. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Barat dalam angka. Tanjung Jabung Barat, Jambi. Barnes R Invertebrate zoology. 4 th Edition. Holt Saunders International Edition, Tokyo. pp Brower JE, Zar JH, & Von Ende CN Field and laboratory method for general ecology, third edition. WmC. Brown Publisher. USA. [DKP] Dinas Kelautan & Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun Tanjung Jabung Barat. Jambi. 38

53 39 Effendie MI Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Halomoan M Beberapa aspek biologi reproduksi udang ronggeng (Squilla harpax de Haan) di perairan Teluk Banten, Serang, Jawa Barat [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartnoll RG Growth. : D.E. Bliss (ed.-in-chief) dan L.G.Abele (ed.). The Biology of crustacea, Embryology, Morphology and Genetic. Academic Press, New York. II: Karen KYL, Jasmine SS, & Kenneth MYL Spatiol-temporal variation in the diversity and abundance of commercially important Decapoda and Stomatopoda in subtropical Hong Kong water. Science direct. The Swire Institute of Marine Science 72: Kartini D Parameter populasi udang api-api (Metapenaeus monoceros Fabricius) yang ditangkap di perairan Muara Angke, Teluk Jakarta [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manning RB A review of the genus Harpiosquilla (Crustacea, Stomatopoda) with description of three new species. Smithsonian Contribution of zoology. Smithsonian Institution Press. City of Washington. Muna NF Keragaan reproduksi kepiting bakau (Scylla spp) di Perairan Indonesia [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nates SF & Felder DL Growth and maturation of the ghost shrimp Lepidophthalmus sinuensis Lemaitre and Rodrigues, 1991 (Crustacea, Decapoda, Callianassidae), a burrowing pest in penaeid shrimp culture ponds. Fish.Bull. 97: Odum PE Fundamentals of ecology, third edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia. pp Ohtomi J & Shizumi M Theoretical growth during the recruitment period and estimation of growth parameters of the Japanese Mantis shrimp Oratosquilla oratoria in Tokyo Bay. University of Tokyo 58(1): Passano LM Molting and its control. Dalam : T.H. Waterman (ed.). The physiology of crustacean. Vol.I, Metabolism and growth. Academic Press, New York. pp

54 40 Ravero & Sprocati AR Population dynamics, production, assimilation and respiration of two fresh water mussels. Uniomanus, zhadin, and anadonta cyignea lam. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa- Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sumiono B & Priyono BE Sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya dalam Widodo J, Azis KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, & Djamali A, eds. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut dan P 2 O- LIPI. Jakarta Suwandi E Beberapa aspek bilogi udang Penaeid yang tertangkap oleh trawl di laut Arafura, Irian Jaya, dan Teluk Carpentaria, Australia [tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hlm. Walpole RE Pengantar statistika. Edisi ke-3. PT.Garmedia Pustaka Utama. Jakarta. Wardiatno Y, Fajarillah A, & Mashar A Kajian aspek reproduksi dan genetika udang mantis (Harpiosquilla raphidea Fabricus, 1798) di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi sebagai upaya lanjutan domestifikasi udang mantis. Institut pertanian Bogor. Bogor. Widodo J Pengantar pengkajian stok ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 16 hlm. Wortham-Neal JL Reproductive morphology and biology of male and female mantis shirmp (Stomatopoda: Squillidae). Journal of Crustacean Biology. 22(4):

55 41 LAMPIRAN 41

56 42 Lampiran 1. Wilayah Fishing Ground II 42

57 43 Lampiran 2. Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) 43

58 44 Lampiran 3. Gambar Alat tangkap Sondong 44

59 45 Lampiran 4. Hasil analisis kelompok umur dengan FISAT II Stasiun 1 Stasiun 2 45

60 46 Stasiun 3 Total 46

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi Menurut Fabricius (1798) in Manning (1969), kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) adalah: Filum : Crustacea Kelas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea 2.1.1. Klasifikasi Kedudukan taksonomi udang mantis menurut Manning (1969) & Bliss (1982) in Ahyong et al. (2008) adalah sebagai berikut.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK UDANG MANTIS (Oratosquillina gravieri dan Harpiosquilla raphidea) DI DAERAH PANTAI BERLUMPUR KUALA TUNGKAL, PROVINSI JAMBI WAHYU MUZAMMIL SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi xvii 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi Udang mantis termasuk ke dalam famili Squillidae. Klasifikasi menurut Fabricius (1798) in Manning (1969) kedudukan taksonomi udang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI ADRIAN DAMORA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS

SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS i SEGREGASI SPASIAL UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DAN Oratosquillina gravieri PADA PANTAI BERLUMPUR DI KUALA TUNGKAL, KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI ELIN PRATIWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keragaman Udang Mantis di Kuala Tungkal, Jambi Udang mantis Harpiosquilla raphidea Fabricius, 1798 merupakan jenis udang yang hidup di daerah intertidal hingga subtidal pada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR PUNGKY KUMALADEWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2013. Pengambilan sampel dilakukan selama 15 kali per stasiun secara kontinyu. Lokasi pengambilan sampel

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN

ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN Analisis Populasi Pertumbuhan Allometri (Alfretse Kalalo,dkk) ANALISIS POPULASI PERTUMBUHAN ALLOMETRI DAN INDEKS KONDISI Harpiosquilla Raphidea WAKTU TANGKAPAN SIANG HARI DI PERAIRAN JUATA KOTA TARAKAN

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL

INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL Oleh : Fadila Khoirunnisa Pembimbing Drs. Jodion Siburian dan Winda Dwi Kartika, S.Si., M.Si INVENTARISASI JENIS UDANG DI PASAR PARIT 1 KUALA TUNGKAL

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi. Jambi 205,43 0,41% Muaro Jambi 5.

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi. Jambi 205,43 0,41% Muaro Jambi 5. IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Geografis dan Persebaran Tanaman Perkebunan Unggulan Provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 0 45 sampai 2 0 45 lintang selatan dan antara 101 0 10

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara 1. Kondisi Goegrafis Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Gorontalo dengan luas yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan contoh ikan dan analisis kebiasaan makanan. Pengambilan contoh dilakukan selama enam bulan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C

UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C UJI COBA PENENTUAN FREKUENSI SUARA DALAM PEMIKATAN IKAN MAS ( Cyprinus carpio ) Oleh : YATNA PRIATNA C54101030 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci