Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit"

Transkripsi

1 Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit 4.1 Aturan Pengujian RSCH Identifikasi kekuatan andesit dilakukan dengan menggunakan rock strength classification hammer (RSCH) secara langsung di lapangan. Pengujian ini dilakukan pada permukaan material andesit yang tersingkap di lokasi penelitian. Nilai pantulan yang terbaca pada RSCH sangat sensitif terhadap proses ubahan yang disebabkan oleh pelapukan. Hasil pengujian ini akan dijadikan salah satu acuan dalam penyusun skema klasifikasi derajat pelapukan andesit di lokasi penelitian. Pengujian RSCH dilakukan pada lima jalur yang menyusur dari puncak hingga dasar lereng (Gambar 4.1), hal ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil representatif yang dapat memperlihatkan perubahan nilai pantulan secara vertikal. Gambar 4.1 Kondisi lereng lokasi penelitian. Pengambilan data dilakukan secara acak tetapi terkontrol, tergantung pada kondisi permukaan batuan yang hendak diuji. Derajat pelapukan I dan II tidak memiliki batas yang jelas, maka dari itu peneliti membagi kedua derajat ini berdasarkan karakteristik fisik dan intensitas rekahannya. Pada derajat pelapukan I atau batuan segar, pengujian dilakukan pada permukaan andesit yang memperlihatkan 36

2 struktur dan tekstur asli tanpa kehadiran discoloration (Gambar 4.2a). Pada derajat pelapukan II atau lapuk ringan, pengujian dilakukan pada permukaan dengan gejala discoloration yang semakin meluas (Gambar 4.2b). Discoloration tipis pada permukaan andesit akan sangat mempengaruhi hasil pengujian RSCH. Gambar 4.2 Kondisi permukaan singkapan andesit; (a) Batuan segar; (b) Lapuk ringan. Pada derajat pelapukan III atau lapuk menengah, pengujian dilakukan pada permukaan andesit dengan warna yang semakin berubah dan gejala discoloration yang semakin tebal (Gambar 4.3a). Pada Derajat pelapukan IV atau lapuk kuat, pengujian dilakukan hanya pada material campuran antara batuan dan tanah (Gambar 4.3b). Pengujian pada derajat ini dilakukan menjauhi corestone atau batuan inti. Gambar 4.3 Kondisi permukaan singkapan andesit; (a) Lapuk menengah; (b) Lapuk kuat. 37

3 Derajat pelapukan V dan VI, pengujian dengan menggunakan RSCH tidak dapat dilakukan. Tanah residu dan lapuk sempurna tersusun atas material yang memiliki nilai pantulan RSCH kurang dari Hasil Pengujian RSCH Hasil pengujian RSCH akan ditampilkan dalam bentuk grafik. Di bawah ini adalah grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran. Hasil pengujian RSCH pada jalur 1 diperlihatkan Gambar Gambar 4.4 Grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran pada jalur 1. Hasil pengujian RSCH pada jalur 2 diperlihatkan Gambar Gambar 4.5 Grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran pada jalur 2. 38

4 Hasil pengujian RSCH pada jalur 3 diperlihatkan Gambar Gambar 4.6 Grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran pada jalur 3. Hasil pengujian RSCH pada jalur 4 diperlihatkan Gambar Gambar 4.7 Grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran pada jalur 4. Hasil pengujian RSCH pada jalur 5 diperlihatkan Gambar Gambar 4.8 Grafik nilai pantulan RSCH terhadap jarak pengukuran pada jalur 5. 39

5 Hasil pengujian RSCH pada kelima jalur menunjukkan perilaku yang sama, yaitu peningkatan nilai pantulan seiring dengan bertambahnya jarak pengukuran. 4.3 Klasifikasi Kekuatan Andesit Hasil pengujian RSCH menunjukkan bahwa pelapukan sangat berpengaruh terhadap nilai pantulan andesit. Derajat pelapukan yang semakin meningkat akan menyebabkan degradasi pada kekuatan andesit. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh kisaran-kisaran nilai pantulan yang dapat dibagi menjadi empat tingkat derajat pelapukan, di mana setiap derajat pelapukan memiliki rata-rata nilai pantulan yang berbeda. Tabel 4.1 memperlihatkan rata-rata nilai pantulan hasil pengujian RSCH dan Gambar 4.9 memperlihatkan grafik nilai pantulan rata-rata terhadap perkembangan derajat pelapukan. Tabel 4.1 Rata-rata nilai pantulan RSCH pada ke lima jalur pengukuran. Derajat Nilai pantulan rata-rata Pelapukan Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Jumlah Pengukuran I II III IV Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Derajat Pelapukan Gambar 4.9 Grafik rata-rata nilai pantulan RSCH terhadap perkembangan derajat pelapukan.

6 Berdasarkan Deere dan Miller (1966 op cit. Johnson dan DeGraff, 1988) Nilai pantulan yang terukur pada rock strength classification hammer merupakan kekerasan permukaan suatu material batuan. Kekerasan permukaan ini kemudian dapat dikonversikan menjadi nilai kuat tekan uniaksial yang mencerminkan nilai kekuatan. Katz pada tahun 2, mempublikasikan grafik konversi nilai pantulan RSCH menjadi nilai kuat tekan uniaksial dalam satuan MPa (Gambar 4.1). Grafik ini dibuat berdasarkan hasil pengujian Katz pada berbagai jenis batuan. Gambar 4.1 Grafik konversi nilai pantulan RSCH menjadi nilai kuat tekan uniaksial dalam MPa. Tabel 4.2 memperlihatkan nilai kuat tekan uniaksial andesit yang diperoleh dari konversi nilai pantulan rata-rata RSCH dengan menggunakan grafik konversi di atas. Tabel 4.2 Nilai kuat tekan uniaksial hasil konversi nilai pantulan rata-rata RSCH. Derajat pelapukan Nilai pantulan rata-rata Nilai kuat tekan uniaksial (MPa) I II III IV

7 Hasil konversi di atas menunjukkan bahwa keberadaan pelapukan sangat berpengaruh terhadap kekuatan andesit. Berikut ini adalah grafik nilai kuat tekan uniaksial terhadap derajat pelapukan (Gambar 4.11). Kuat tekan uniaksial (MPa) Derajat pelapukan Gambar 4.11 Grafik nilai kuat tekan uniaksial andesit terhadap perkembangan derajat pelapukan. Attewell dan Farmer (1976) telah mengklasifikasikan batuan berdasarkan kekuatannya (Tabel 4.3). Skema ini mengklasifikasikan kekuatan batuan menjadi lima tingkatan, yaitu very weak, weak, medium, strong, dan very strong. Tabel 4.3 Klasifikasi kekuatan batuan (Attewell dan Farmer, 1976). Strength Classification Strength range (MPa) Very weak 1-2 Weak 2- Medium -8 Strong 8-16 Very strong

8 Berdasarkan tabel klasifikasi di atas, derajat pelapukan I dengan nilai kuat tekan uniaksial sebesar 26 MPa, termasuk dalam kategori sangat kuat. Derajat pelapukan II dengan nilai kuat tekan uniaksial sebesar 135 MPa, termasuk dalam kategori kuat. Derajat pelapukan III dengan nilai kuat tekan uniaksial sebesar 49 MPa, termasuk dalam kategori menengah. Derajat pelapukan IV dengan nilai kuat tekan uniaksial sebesar 12 MPa, termasuk dalam kategori sangat lemah. 4.4 Diskusi Derajat pelapukan I atau batuan segar memiliki nilai pantulan RSCH yang sangat tinggi dengan nilai rata-rata pengukuran yaitu Derajat pelapukan II atau lapuk ringan, nilai pantulan RSCH dipengaruhi oleh discoloration tipis pada permukaannya. Pada derajat ini nilai pantulan rata-rata RSCH berkurang menjadi Discoloration yang semakin meluas dan mendalam, sangat mempengaruhi nilai pantulan RSCH pada derajat pelapukan III atau lapuk menengah. Nilai pantulan RSCH semakin berkurang dengan nilai rata-rata pengukuran sebesar Derajat pelapukan IV atau lapuk kuat, nilai pantulan RSCH sangat berkurang karena kondisi material yang sebagian besar telah terubah menjadi tanah. Nilai pantulan RSCH sangat rendah dan terkadang tidak terukur. Derajat ini memiliki rata-rata pengukuran sebesar Derajat pelapukan V atau lapuk sempurna, hampir seluruh material telah terubah menjadi tanah dan meninggalkan fragmen-fragmen batuan berukuran kerikil hingga bongkah. Derajat pelapukan VI atau tanah residu seluruh material telah terubah menjadi tanah. Kedua derajat ini tidak dapat ditentukan nilai pantulannya dengan menggunakan RSCH. Berdasarkan tabel klasifikasi kekuatan batuan (Attewell dan Farmer, 1976) andesit di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu sangat kuat, kuat, menengah, sangat lemah. Penurunan kekuatan dari derajat pelapukan I hingga III memperlihatkan perubahan yang cukup stabil. Penurunan yang drastis terjadi pada derajat pelapukan IV, derajat ini berada dua kategori di bawah derajat pelapukan III. Tabel 4.4 mempresentasikan skema klasifikasi derajat pelapukan andesit berdasarkan hasil karakterisasi lapangan dan laboratorium. 43

9 Tabel 4.4 Skema klasifikasi derajat pelapukan andesit. di Desa Cipatik, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat 44

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA 4.1 Analisis Hasil Uji Schmidt Hammer Hasil uji Schmidt hammer pada andesit di Gunung Pancir, Soreang menunjukkan bahwa tingkat kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan memiliki peran penting dalam konstruksi dan daya guna pada semua rancangan yang menyangkut struktur yang dibangun di atas ataupun di dalam batuan tersebut. Parameter

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKUATAN BATUAN BERDASARKAN PENGUJIAN SCHMIDT HAMMER

KARAKTERISASI DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKUATAN BATUAN BERDASARKAN PENGUJIAN SCHMIDT HAMMER KARAKTERISASI DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEKUATAN BATUAN BERDASARKAN PENGUJIAN SCHMIDT HAMMER DI DAERAH SOREANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

BAB III KARAKTERISTIK PELAPUKAN ANDESIT

BAB III KARAKTERISTIK PELAPUKAN ANDESIT BAB III KARAKTERISTIK PELAPUKAN ANDESIT 3.1 Geologi Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian secara umum terdiri dari perbukitan dan dataran yang terbentuk oleh hasil volkanisme masa lampau. Kemiringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini pendirian suatu konstruksi terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia terhadap kegiatan tersebut yang terus meningkat. Lebih lanjut lagi,

Lebih terperinci

PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA BATUAN BASAL. Departemen Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin 2

PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA BATUAN BASAL. Departemen Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin 2 PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA BATUAN BASAL Purwanto 1, Abdul Muhaimin 1, Djamaluddin 1, Ratna Husain 2, Busthan 2 1 Departemen Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin 2 Departemen

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan BAB II DASAR TEORI 2.1 Kestabilan Lereng Batuan Kestabilan lereng batuan banyak dikaitkan dengan tingkat pelapukan dan struktur geologi yang hadir pada massa batuan tersebut, seperti sesar, kekar, lipatan

Lebih terperinci

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016 Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept. 2015 Feb. 2016 KARAKTERISASI MASSA BATUAN DAN ANALISIS KESTABILAN LERENG UNTUK EVALUASI RANCANGAN PADA PENAMBANGAN BIJIH EMAS DI DINDING

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG Selain analisis kinematik, untuk menganalisis kestabilan suatu lereng digunakan sistem pengklasifikasian massa batuan. Analisis kinematik seperti yang telah dibahas

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam melakukan evaluasi kestabilan lereng batuan, pada bab ini dibahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008 4.1. Geoteknik Tambang Bawah Tanah Geoteknik adalah salah satu dari banyak alat dalam perencanaan atau design tambang. Data geoteknik harus digunakan secara benar dengan kewaspadaan dan dengan asumsiasumsi

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI ANALISIS KESTABILAN LERENG DENGAN MENGGUNAKAN METODE KINEMATIK DAN KLASIFIKASI MASSA BATUAN; STUDI KASUS DI AREA PENAMBANGAN ANDESIT, DESA JELEKONG, KECAMATAN BALE ENDAH, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran. Geotetra Research Group

Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran. Geotetra Research Group Karakteristik Dan Kualitas Potensi Andesit Di Daerah Kecamatan Soreang Dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat Arif R. Darana 1,2, Dicky Muslim 1 1 Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 5.1 Definisi dan Terminologi Rekahan Rekahan merupakan bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Karena itu dalam

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT

Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Karakteristik batuan beku andesitik & breksi vulkanik, dan kemungkinan penggunaan sebagai bahan bangunan KARAKTERISTIK BATUAN BEKU ANDESIT & BREKSI VULKANIK, DAN KEMUNGKINAN PENGGUNAAN SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

Lebih terperinci

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan klasifikasi Mendel (1980) sistem hidrogeologi daerah penelitian adalah sistem akifer volkanik. Pada sistem akifer volkanik ini batuan segar yang mempunyai

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM

PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM PEMBAHASAN TEKNIK KOLEKSI, PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM Oleh: Hill. Gendoet Hartono Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta E-mail: hilghartono@yahoo.co.id Disampaikan pada : FGD Pusat Survei Geologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013 PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Budi SANTOSO 1*, Yan Restu FRESKI 1 dan Salahuddin

Lebih terperinci

TATA TERTIB PRAKTIKUM

TATA TERTIB PRAKTIKUM TATA TERTIB PRAKTIKUM 1. Praktikan telah melengkapi semua persyaratan untuk mengikuti praktikum dan telah mendaftarkan diri di Laboratorium Mekanika Batuan. 2. Praktikan harus sudah hadir 10 menit sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tugas akhir merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP POTENSI MENGEMBANG BATULEMPUNG FORMASI SUBANG

PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP POTENSI MENGEMBANG BATULEMPUNG FORMASI SUBANG PENGARUH DERAJAT PELAPUKAN TERHADAP POTENSI MENGEMBANG BATULEMPUNG FORMASI SUBANG A. Nurjamil, I. A. Sadisun, dan Bandono Departemen Geologi, Institut Teknologi Bandung ABSTRAK Sifat mengembang batulempung

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal. 003 013 P. Setiadji I. A. Sadisun Bandono Pengamatan dan Pengujian Lapangan dalam Karakterisasi Pelapukan Andesit di Purwakarta Diterima : 6 Februari 2006

Lebih terperinci

SIFAT FISIK & MANFAAT BATUAN BEKU DI DESA SAPULANTE, KECAMATAN PASREPAH KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR

SIFAT FISIK & MANFAAT BATUAN BEKU DI DESA SAPULANTE, KECAMATAN PASREPAH KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR SIFAT FISIK & MANFAAT BATUAN BEKU DI DESA SAPULANTE, KECAMATAN PASREPAH KABUPATEN PASURUAN, JAWA TIMUR Zanuar Ifan Prasetya Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Abstrak Daerah telitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam pengertian yang lebih sempit, desain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan tugas akhir yang berjudul Geologi dan Analisis Struktur Geologi Daerah Cileungsi dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN Kejadian gerakan tanah dan banjir bandang pada tanggal 20 April 2008 di Kecamatan Rembon, Kabupaten Tanatoraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Suranta) KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI III-1

BAB III METODOLOGI III-1 BAB III METODOLOGI 3.1 Persiapan Pendahuluan Tahap ini merupakan kegiatan sebelum memulai pengumpulan data dan pengolahannya. Tahap persiapan ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Menentukan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii SURAT PERNYATAAN KARYA ASLI TUGAS AKHIR... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN MOTTO... vi ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang ahli geologi merupakan salah satu sumber daya manusia yang berperan sebagai pemikir untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI Tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan merupakan suatu petunjuk yang sangat penting dalam menilai keberhasilan dari suatu kegiatan peledakan, dimana

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau

BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN. Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau BAB IV INTERPRETASI KUANTITATIF ANOMALI SP MODEL LEMPENGAN Bagian terpenting dalam eksplorasi yaitu pengidentifikasian atau pengasumsian bentuk dan kedalaman benda yang tertimbun. Berbagai macam metode

Lebih terperinci

Bab VI Model Makroskopis Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal Hasil Percobaan Direct Shear

Bab VI Model Makroskopis Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal Hasil Percobaan Direct Shear Bab VI Model Makroskopis Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal Hasil Percobaan Direct Shear VI.1 Pengertian Model Makroskopis Bonding Antar Lapis Perkerasan Beraspal Model makroskopis adalah model yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT 4.1 ANALISA GROUND SUPPORT Ground support merupakan perkuatan dinding terowongan meliputi salah satu atau atau lebih yaitu Rib, wiremesh, bolting dan shotcrete

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beton merupakan bahan kebutuhan untuk masyarakat modern masa kini. Di Indonesia hampir seluruh konstruksi bangunan menggunakan beton sebagai bahan bangunan, seperti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Hasil Pengujian Sampel Tanah Berdasarkan pengujian yang dilakukan sesuai dengan standar yang tertera pada subbab 3.2, diperoleh hasil yang diuraikan pada

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Uraian Umum Dalam suatu penelitian agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, maka dilaksanakan suatu metode. Metode penelitian merupakan langkah-langkah penelitian suatu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana adalah debit maksimum di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa

Lebih terperinci

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER Tommy Trides 1, Muhammad Fitra 1, Desi Anggriani 1 1 Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

Metode Analisis Kestabilan Lereng Cara Yang Dipakai Untuk Menambah Kestabilan Lereng Lingkup Daerah Penelitian...

Metode Analisis Kestabilan Lereng Cara Yang Dipakai Untuk Menambah Kestabilan Lereng Lingkup Daerah Penelitian... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

Oleh : Tri Budi Amperadi 1 dan Edward Andi Ashari Sinaga 2. Dosen Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Kutai Kartanegara 2.

Oleh : Tri Budi Amperadi 1 dan Edward Andi Ashari Sinaga 2. Dosen Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Kutai Kartanegara 2. EVALUASI PRODUKTIVITAS ALAT GARU (RIPPER) BERDASARKAN KEKUATAN BATUAN PT. KITADIN SITE EMBALUT KECAMATAN TENGGARONG SEBERANG KUTAI KARTANEGARA PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Tri Budi Amperadi 1 dan Edward

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Proyek konstruksi adalah suatu kegiatan yang tidak pernah lepas dari sumber

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Proyek konstruksi adalah suatu kegiatan yang tidak pernah lepas dari sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proyek konstruksi adalah suatu kegiatan yang tidak pernah lepas dari sumber daya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan suatu hunian (rumah, kantor, hotel,

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN KUAT TEKAN DAN MODULUS ELASTISITAS BETON BERAGREGAT KASAR BATU RINGAN APE DARI KEPULAUAN TALAUD

PEMERIKSAAN KUAT TEKAN DAN MODULUS ELASTISITAS BETON BERAGREGAT KASAR BATU RINGAN APE DARI KEPULAUAN TALAUD Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.7, Juni 213 (479-485) ISSN: 2337-6732 PEMERIKSAAN KUAT TEKAN DAN MODULUS ELASTISITAS BETON BERAGREGAT KASAR BATU RINGAN APE DARI KEPULAUAN TALAUD Maria M. M. Pade E. J. Kumaat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keliatan dan kekuatan yang tinggi. Keliatan atau ductility adalah kemampuan. tarik sebelum terjadi kegagalan (Bowles,1985).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keliatan dan kekuatan yang tinggi. Keliatan atau ductility adalah kemampuan. tarik sebelum terjadi kegagalan (Bowles,1985). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja Bahan konstruksi yang mulai diminati pada masa ini adalah baja. Baja merupakan salah satu bahan konstruksi yang sangat baik. Baja memiliki sifat keliatan dan kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan kebutuhan hidup dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan kebutuhan hidup dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan sesama. Berdasarkan kebutuhan manusia akan pentingnya berkomunikasi maka jalan merupakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN IV.1 ANALISIS PEMBUATAN SAMPEL Penelitian dimulai dengan melakukan pengujian material untuk mengecek kualitas dan perhitungan rancang campuran. Material yang diuji

Lebih terperinci

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28 Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28!! Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28 Lereng Kupasan (cut slope) dan Manajemen Lingkungan di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. perlakuan panas atau annealing pada lapisan sehingga terbentuk butiran-butiran

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. perlakuan panas atau annealing pada lapisan sehingga terbentuk butiran-butiran BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen dengan membuat lapisan tipis Au di atas substrat Si wafer, kemudian memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

REKAMAN DATA LAPANGAN

REKAMAN DATA LAPANGAN REKAMAN DATA LAPANGAN Lokasi 01 : M-01 Morfologi : Granit : Bongkah granit warna putih, berukuran 80 cm, bentuk menyudut, faneritik kasar (2 6 mm), bentuk butir subhedral, penyebaran merata, masif, komposisi

Lebih terperinci

PENENTUAN PENGARUH AIR TERHADAP KOHESI DAN SUDUT GESEK DALAM PADA BATUGAMPING

PENENTUAN PENGARUH AIR TERHADAP KOHESI DAN SUDUT GESEK DALAM PADA BATUGAMPING PENENTUAN PENGARUH AIR TERHADAP KOHESI DAN SUDUT GESEK DALAM PADA BATUGAMPING Oleh: Singgih Saptono, Raden Hariyanto, Hasywir Thaib s dan M. Dadang Wahyudi Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Proses ini merupakan tahap pasca pengolahan contoh yang dibawa dari lapangan. Dari beberapa contoh yang dianggap mewakili, selanjutnya dilakukan analisis mikropaleontologi, analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi dalam bidang konstruksi terus mengalami peningkatan, hal ini tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas infrastruktur,

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA ABSTRAK ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA Arin Chandra Kusuma, Bagus Wiyono, Sudaryanto Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR ISI Halaman SARI... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

KLASIFIKASI TANAH SI-2222 MEKANIKA TANAH I

KLASIFIKASI TANAH SI-2222 MEKANIKA TANAH I KLASIFIKASI TANAH SI-2222 MEKANIKA TANAH I 1 Pembagian Kelompok Tanah Tanah Khusus: Quick Clay: Tanah yang sangat peka terhadap gangguan. Apabila terganggu kekuatannya berkurang drastis. Kadar kepekaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 51 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Bahan Pembuatan Beton Pemeriksaan bahan penyusun beton dilakukan di laboratorium Teknologi Bahan Konstruksi, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat ditentukan oleh kecepatan infiltrasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan adalah benda padat yang terbentuk secara alami dan terdiri atas mineralmineral tertentu yang tersusun membentuk kulit bumi. Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu

Lebih terperinci

Kata kunci: limbah batu tabas, nilai slump, berat volume, kuat tekan beton, kuat tarik belah beton

Kata kunci: limbah batu tabas, nilai slump, berat volume, kuat tekan beton, kuat tarik belah beton ABSTRAK Batu tabas merupakan batuan beku jenis basalt yang terbentuk dari magma yang sudah membeku atau mengeras. Batu tabas ini dapat juga dijadikan alternative pengganti agregat kasar dalam campuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam bahan galian, yang kemudian bahan galian tersebut dimanfaatkan oleh industry pertambangan untuk memnuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. UJI SIFAT FISIK Parameter uji sifat fisik dari sampel batuan didapatkan dengan melakukan perhitungan terhadap data berat natural contoh batuan (Wn), berat jenuh

Lebih terperinci

Tekstur dan Struktur Pada Batuan Sedimen

Tekstur dan Struktur Pada Batuan Sedimen Tekstur dan Struktur Pada Batuan Sedimen Tekstur Batuan Sedimen a. Ukuran butir Dalam pemerian ukuran butir digunakan pedoman ukuran dari Skala Wentworth yaitu b. Sortasi atau Derajat Pemilahan Derajat

Lebih terperinci

KAJIAN TEKNIK STABILITAS LERENG PADA TAMBANG BATUGAMPING DI CV. KUSUMA ARGA MUKTI NGAWEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA

KAJIAN TEKNIK STABILITAS LERENG PADA TAMBANG BATUGAMPING DI CV. KUSUMA ARGA MUKTI NGAWEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA KAJIAN TEKNIK STABILITAS LERENG PADA TAMBANG BATUGAMPING DI CV. KUSUMA ARGA MUKTI NGAWEN GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA Aris Herdiansyah, Aditya Denny Prabawa, Rudi Hartono Magister Teknik Pertambangan, Universitas

Lebih terperinci

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line Scan Line dan RQD 1. Pengertian Scan Line Salah satu cara untuk menampilkan objek 3 dimensi agar terlihat nyata adalah dengan menggunakan shading. Shading adalah cara menampilkan objek 3 dimensi dengan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING DI DAERAH NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Kesarjanaan Strata Satu,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi

Lebih terperinci

Bab IV Kalibrasi dan Pengujian

Bab IV Kalibrasi dan Pengujian Bab IV Kalibrasi dan Pengujian 4.1 Kalibrasi Rumus untuk mencari jarak yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya mempunyai dua konstanta yang perlu dicari nilainya, yaitu jarak antara kamera dengan

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

Bab VII Kesimpulan, Kontribusi Penelitian dan Rekomendasi

Bab VII Kesimpulan, Kontribusi Penelitian dan Rekomendasi Bab VII Kesimpulan, Kontribusi Penelitian dan Rekomendasi VII.1 Kesimpulan Penelitian ini mencakup penyelidikan kondisi bonding antar lapis perkerasan beraspal dengan menggunakan pendekatan teoritis maupun

Lebih terperinci