PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER"

Transkripsi

1 PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 Justiar Noer C

3 RINGKASAN JUSTIAR NOER. Perikanan Bubu Dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dibimbing oleh : JOHN HALUAN dan MULYONO S. BASKORO Bubu dasar merupakan jenis alat tangkap utama yang digunakan dalam pemanfaatan ikan karang di Kabupaten Bangka Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman, menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar dari material kawat dan jaring terhadap hasil tangkapan, menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing dan deskriptif survei. Hasil tangkapan di analisis dengan rumus krebs, pengaruh perbedaan jenis material bubu dasar terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan kelayakan usaha perikanan bubu dasar dianalisis dengan analisis finansial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring didominasi oleh ikan tambangan (Lutjanus johni) dan kerapu sunu sebanyak 24 ekor. Berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar dari material jaring yaitu sebesar 90,05 kg. Sedangkan berat total tangkapan bubu dasar dari material kawat yaitu sebesar 82,58 kg. Berdasarkan lama perendaman didapatkan berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar yang direndam selama 5 (lima) hari yaitu sebesar 71,59 kg, kemudian perendaman 3 hari yaitu sebesar 53,96 kg, dan perendaman 4 hari yaitu sebesar 47,08 kg, sehingga lama perendaman sangat memberikan pengaruh. Tingkat keuntungan pada usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat adalah Rp ,93 per tahun dan nilai R/C sebesar 1,05, pada usaha alat tangkap bubu jaring, keuntungan yang diperoleh, yaitu sebesar Rp ,00 per tahun, dan nilai R/C sebesar Berdasarkan kriteria investasi usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat diperoleh NPV sebesar Rp ,15, sedangkan pada usaha alat tangkap bubu jaring diperoleh nilai NPV sebesar Rp ,14. Kata kunci: Perikanan, bubu dasar, Kabupaten Bangka Selatan

4 ABSTRACT JUSTIAR NOER. (Fishing Bottom Traps in South Bangka Regency, Bangka Belitung Archipelago Province). Under supervision by : JOHN HALUAN and MULYONO S. BASKORO Bottom traps is a main type of fishing gears which is used in the capturing reef fish on South Bangka Regency. This study was aimed to indentify and quantify soaking time of bottom trap which was made from wire and net to fish catches, to determine feasibility of bottom traps business on South Bangka Regency.The methods in this research were experimental fishing and descriptive survey. Fish catching was analyze using krebs formula. In addition, the influence of different traps material to fish cathing was analyze using randomized block design and feasibility of bottom traps business was analized using financial analysis. The results showed that bottom wire trap and bottom net trap were dominatedby Lutjanus johni and leopard coral grouper (24 pieces). Total weight of fish catchingfrom bottom net trap was Meanwhile, total weight of fish catches from bottom wire trap was kg. Based on soaking time, the highest total amount was obtained from 5 days soaking (71.59 kg), 3 days soaking (47.08 kg), and 4 days soaking (47.08 kg), respectively,so time soaking gave effect to total amount of fish catching. Rate of return on bottom wire traps was IDR 9,465, / year and R/C value was In addition, rate of return on net bottom traps was IDR 26,662, / year and R/C value was 1.10.Reffering to investment criterias, NPV of bottom wire traps business was obtained IDR 132,093,915.15, meanwhile NPV of bottom net traps business was obtained IDR 314,926, Keywords: Fisheries, the bottom traps, South Bangka Regency

5 PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER Tesis Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Perikanan Bubu Dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung : Justiar Noer : C : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 28 Mei 2011 Tanggal Lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Toboali Bangka Selatan pada tanggal 23 Desember 1950 sebagai anak ke 7 dari 12 bersaudara pasangan Bp H. Mohammad Noer (Alm) dengan Ibu Hj. Ratnasari (Almh). Pendidikan Strata Satu Jurusan Arsitektur FKIT IKIP Bandung diselesaikan pada tahun 1982, pada tahun 1996 menyelesaikan Program Strata Satu Jurusan Teknik Sipil dari Universitas Hazairin, SH Bengkulu, kemudian melanjutkan lagi kuliah Strata Dua dengan jurusan Magister Management di IPWI Jakarta dan lulus pada tahun Pada tahun 2007 penulis diterima pada Program Studi Sistem Permodelan Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun Perjalanan karier dimulai pada tahun 1967 dengan bekerja sebagai staf bagian bangunan pada Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) sampai tahun 1969 berhenti karena melanjutkan menuntut ilmu ke Bandung. Setelah menyelesaikan Bachelor Engineeringnya pada tahun 1975 mulailah bekerja sebagai drafter dan staf engineering pada Team 4 Consultan Bandung. Sampai pada tahun 1981 saat ditugaskan sebagai Resident Engineering pada proyek pembangunan Sekolah Pertanian Menengah Atas di Kepahyang dan Proyek proyek pendidikan serta Pertanian dan BLK di Provinsi Bengkulu, penulis direkrut oleh pejabat Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bengkulu untuk bergabung pada Dinas Pekerjaan Umum sebagai Abdi masyarakat dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil hingga tahun Era Otonomi Daerah, memanggilnya sebagai putra daerah untuk kembali membangun daerah kelahirannya pada tahun 2001 hingga saat ini.

8 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis panjatkan karena atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Tesis ini merupakan hasil penelitian dengan dengan judul Perikanan Bubu Dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman, menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar dari material kawat dan jaring terhadap hasil tangkapan serta menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. John Haluan, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing penelitian atas arahan dan saran kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai dengan selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Masyarakat Kabupaten Bangka Selatan, rekan-rekan Mahasiswa mayor Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap 2007 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan terima kasih yang penulis sampaikan kepada keluarga terdekat, istri terkasih Ekawati Widjanarko dan ananda tercinta Aditya Rizky Pradana yang secara tulus dan ikhlas telah memberikan dukungan, bantuan, pengorbanan, doa, serta kesabaran sampai diselesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga rencana tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Mei 2011 Justiar Noer

9 ii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Teknologi Penangkapan Alat Tangkap Perangkap (Traps) Alat tangkap bubu (pots) Pengoperasian bubu Teknik penangkapan Capaian Penelitian Bubu Sebelumnya Klasifikasi Ikan Karang Kelayakan Usaha Analisis usaha Analisis kriteria investasi Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Metode Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Jenis dan komposisi hasil tangkapan Pengaruh perbedaan jenis bubu dasar (material kawat dan jaring) terhadap hasil tangkapan Kelayakan usaha Analisis usaha Analisis kriteria investasi HASIL Keadaan Umum Lokasi Penelitian Keadaan daerah Keadaan perairan Unit Penangkapan Ikan Kapal Alat tangkap Nelayan/Anak Buah Kapal (ABK) iv v

10 iii metode pengoperasian bubu Hasil Tangkapan Jenis hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 3 hari Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 4 hari Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 5 hari Pengaruh lama perendamana bubu dasar terhadap hasil tangkapan Perbandingan berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar Perbandingan berat tangkapan berdasarkan lamanya Perendaman bubu dasar Analisis Finansial Analisis usaha Biaya Penerimaan Keuntungan Kriteria analisis usaha Analisis kriteria investasi PEMBAHASAN Komposisi Jenis Hasil Tangkapan Pengaruh Posisi Perendaman Bubu Ikan Terhadap Hasil Tangkapan Analisis Kelayakan Usaha KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 71

11 iv DAFTAR TABEL Halaman 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Daftar analisis ragam acak kelompok Perbedaan bubu kawat dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan tahun Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan bubu dasar Komponen investasi unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun Komponen biaya tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Kabupaten Bangka Selatan tahun Komponen biaya tidak tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun Biaya total unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 64,5% pada bubu kawat Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 160,5% pada bubu jaring Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 29,5% pada bubu kawat Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 25,82% pada bubu jaring... 57

12 v DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian Tahap penelitian Alat tangkap bubu dasar (a) bubu dasar dari material kawat, dan (b) bubu dasar dari material jaring Desain posisi pemasangan bubu dasar (a) Kapal bubu kawat (b) Kapal bubu jaring (c) Konstruksi kapal bubu kawat tampak atas (c) Konstruksi kapal bubu jaring tampak atas (a) Bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan (b) Rancang bangun mulut bubu (c) Rancang bangun alat tangkap bubu kawat (a) Bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan (b) Tampak atas bubu jaring (c) Tampa samping bubu jaring (d) Rancang bangun mulut bubu Tahap operasional alat tangkap bubu kawat Tahap operasional alat tangkap bubu jaring Ikan hasil tangkapan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 3 hari Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 4 hari Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 5 hari Komposisi berat jenis ikan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Perbandingan total berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar Perbandingan berat total tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman Berat ikan pada kedua jenis bubu dasar dengan perbedaan lama perendaman... 45

13 vi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan Peta penyebaran nelayan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Peta penyebaran nelayan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan Berat jenis ikan hasil tangkapan kedua jenis bubu dasar Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 3 hari Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 4 hari Posisi perendaman, jenis ikan, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan pada kedua jenis bubu dengan lama perendaman 5 hari Pengolahan data sidik ragam Analisis usaha unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Cash flow unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Cash flow sensitivitas unit penagkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% Cash flow sensitivitas unit penagkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% Analisis usaha unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Cash flow unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan Cash flow sensitivitas unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4% Cash flow sensitivitas unit penangkapan ikan dengan bubu kawat di Kabupayen Bangka Selatan pada kenaikan harga solar 65,4%... 88

14 DAFTAR ISTILAH Artisanal fisheries Kegiatan penangkapan ikan yang masih bersifat tradisional Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut. Body girth. Bagian mulut bubu berbentuk bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke dalam dengan bentuk lonjong atau oval menyerupai bentuk lingkar tubuh ikan Bubu Alat penangkap ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan dasar. Case study Suatu gambaran secara mendetail sebagai latar belakang sifat serta karakter yang khas Experimental fishing Metode yang digunakan dalam bidang penangkapan untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan menggunakan satu atau lebih kelompok experimental dan satu atau lebih kondisi perlakuan dengan perbandingan hasilnya Fishing ground Suatu daerah yang menjadi target penangkapan ikan Fishing base Tempat dimana kapal melakukan aktivitas bongkar muat hasil tangkapan ikan Funnel Bagian mulut yang terdapat pada alat tangkap bubu Global Position System Alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk (GPS) menentukan dan mencari posisi daerah penangkapan ikan. Gosong Area yang terdapat di dalam perairan berupa gorong-gorong

15 Gross Tonnage (GT) Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (volume) Hauling Proses pengangkatan alat tangkap dari dalam perairan ke atas kapal Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Net Benefit Cost (Net B/C) Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi. Net Present Value (NPV) Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Produktivitas Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan tangkap Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Payback Period (PP) Suatu periode yang diperlukan untuk menutup Return of Investment (ROI) Kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Setting Proses peletakan alat tangkap dari atas kapal ke dalam perairan.

16 Soaking Sumberdaya ikan Unit penangkapan ikan Traps Proses menunggu sebelum hasil tangkapan pada alat tangkap dinaikkan ke kapal Salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tetapi terbatas Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan. Semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan

17 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan merupakan modal dasar pembangunan perikanan dan pemanfaatannya diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Perlu diketahui bahwa sifat sumberdaya perikanan adalah tidak tak terbatas, sehingga pemanfaatannya harus lebih berhati-hati agar tidak terjadi kepunahan. Dewasa ini di beberapa tempat telah terjadi tekanan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang kurang terkendali, penggunaan bahan peledak dan pemakaian alat tangkap yang terlarang, sementara dalam pelaksanaan pembangunannya masih terdapat berbagai permasalahan yang bersumber dari sumberdaya perikanan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana perikanan, pascapanen dan pemasaran, pembangunan teknologi, agribisnis perikanan dan kelembagaan perikanan (Baskoro 2006). Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya mengarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu sendiri maupun lingkungannya. UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, juga mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan tangkap, harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (Baskoro 2006). Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar km 2. Luas perairan Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan sebesar km 2 yang potensi produksi perikanan tangkap sebesar ton (DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005). Kabupaten Bangka Selatan merupakan salah satu daerah sentra atau penghasil utama sektor perikanan di Kepulauan Bangka Belitung. Kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang cukup melimpah membuat banyak penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tetap, disamping nelayan yang mempunyai mata pencaharian sampingan seperti berkebun dan beternak (DPK. Kabupaten Bangka Selatan 2005).

18 2 Menurut DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008), hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Bangka Selatan pada tahun 2007 mencapai ,50 ton atau sekitar 17,23 % dari potensi yang ada ( ton per tahun). Produksi tersebut diperoleh dari alat tangkap bagan, bubu, pancing rawai, jaring. Hasil tangkapan bubu sekitar ton dengan jenis ikan utama kerapu (Epinephelus sp), kakap (Lates calcarifer), kurisi (Nemipterus nematophorus), dan ekor kuning (Caesio sp). Menurut DKP Kabupaten Bangka Selatan (2005), bubu merupakan jenis alat tangkap utama yang digunakan dalam pemanfaatan ikan karang di Kabupaten Bangka Selatan. Jenis bubu yang umumnya digunakan nelayan Kabupaten Bangka Selatan adalah jenis bubu dasar dengan bahan material yang terbuat dari kawat dan jaring. Jenis ikan yang tertangkap oleh bubu dasar dan didaratkan di Kabupaten Bangka Selatan adalah ekor kuning (Caesio sp), Kerapu (Epinephelus sp), baronang (Siganus sp), kakap merah/bambangan (Lutjanus spp). Bubu dasar mempunyai ukuran yang bervariasi tergantung kebutuhan nelayan. Bubu kecil ukuran panjangnya 1 m, lebar cm dan tinggi cm,sedangkan bubu besar mempunyai ukuran panjang bias mencapai 3,5 m, lebar 2 m dan tinggi cm. Pengoperasian bubu dasar biasaya dilakukan di perairan karang atau diantara bebatuan (Subani dan Barus 1988). Pemasangan bubu biasanya ditandai oleh adanya pelampung tanda melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa hari setelah pemasangan. Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik seperti kuwe (Caranx spp), baronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), kaji (Diagrama spp), lencam (Lethrinus spp), udang paneid udang barong (Subani dan Barus 1988). Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Bennet (1974) dalam Krouse (1988), menjelaskan bahwa ada hubungan antara durasi waktu saat setting dimulai sampai hauling, dan hal ini sangat berkaitan dengan pengaruh lama perendaman alat tangkap terhadap hasil tangkapan rata-rata dari spesies yang menjadi target tangkapan. Penelitian Anung dan Barus (2000), pada bubu dengan mulut dua yang di rendam selama satu hari di Selat Sunda memberikan hasil tangkapan yang lebih baik bila dibandingkan dengan bubu dengan mulut

19 3 satu dan dua yang di rendam selama tiga hari, dengan umpan ikan pelagis (banyar) dan ikan demersal (remang). Penelitian-penelitian tentang alat tangkap bubu dalam operasi penangkapan yang telah dilakukan, antara lain: pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) (Urbinas 2004); pengaruh kedalaman pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lujanus sanguineus) (Nurhidayat 2002); selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp.) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gaps) (Tirtana 2003); uji coba alat tangkap bubu dengan ukuran mesh size berbeda (Ariefandi 2005); pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada alat tangkap bubu (traps) (Mawardi 2001); pengoperasian bubu dengan umpan dan konstruksi funnel yang berbeda terhadap hasil tangkapan ikan laut dalam (Susanto 2006) dan studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi 1998). Nelayan perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dalam pengoperasiannya menggunakan bubu dasar dari material kawat dan jaring. Pada umumnya pengoperasian bubu dasar dari material kawat direndam selama 6 (enam) hari sedangkan material bubu dasar dari bahan jaring direndam selama 5 (lima) hari. Hingga saat ini, belum diketahui berapa lama perendaman yang efektif diantara kedua jenis bubu tersebut dan apakah usaha penangkapan ikan karang dengan menggunakan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan masih memberikan keuntungan atau telah mengalami kerugian. Hal ini perlu diketahui, karena selama ini usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dijalankan lebih kepada tradisi, belum memperhitungkan faktor ekonomi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga dilakukan analisis finansial untuk menentukan usaha perikanan bubu dasar yang menguntungkan di Kabupaten Bangka Selatan. Upaya pengembangan perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dengan menggunakan bahan material dari kawat maupun jaring membutuhkan identifikasi permasalahan beserta pemecahannya dilihat dari aspek teknis dan sosial ekonomi. Hal ini dapat dilakukan melalui penelitian perikanan bubu dasar di kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

20 4 1.2 Perumusan Masalah Kondisi perikanan tangkap yang mempunyai kendala dan permasalahan yang demikian kompleks, maka di masa yang akan datang, diperlukan teknologi penangkapan ikan yang lebih mengarah pada penggunaan teknologi penangkapan ikan yang efektif dan efisien, ramah lingkungan, dan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Untuk merealisasikan hal tersebut, alternatif penggunaan alat tangkap traps atau bubu sangat diperlukan. Operasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu dasar merupakan salah satu metode pemanfaatan ikan karang yang ada di Perairan Kabupaten Bangka Selatan. Upaya pemanfaatan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang efektif sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pemenuhan konsumsi masyarakat lokal serta mendukung ekspor. Peningkatan produktivitas dapat dipengaruhi oleh kemampuan armada, jenis alat tangkap yang digunakan, daerah penangkapan dan lain-lain. Upaya yang dapat dilakukan agar penggunaan bubu dasar di Perairan Kabupaten Bangka Selatan lebih efektif dan efisien dalam menangkap ikan karang. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menentukan jenis material yang digunakan pada bubu dasar (kawat dan jaring) guna mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal dan lama perendaman yang efektif oleh bubu dasar. Selain itu juga, penting untuk diketahui tingkat pendapatan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan apakah masih memberikan keuntungan atau telah mengalami kerugian. Setelah diketahui lama perendaman dan jenis material bubu yang efektif untuk menangkap ikan karang serta tingkat pendapatan usaha perikanan bubu dasar yang menguntungkan, maka hasil ini dapat direkomendasikan kepada nelayan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan setempat untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karang dengan menggunakan bubu dasar. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dihadapi dalam perikanan bubu dasar adalah belum diketahuinya tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar yaitu dari material kawat dan jaring berdasarkan jenis hasil tangkapan, lama perendaman dan investasi serta biaya operasional alat tangkap bubu dasar. Dengan demikian diperlukan pengkajian terhadap usaha perikanan bubu dasar yang efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga sumberdaya perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan dengan tanpa menganngu keberlangsungan sumberdaya yang ada.

21 5 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi dan mengkuantifikasi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 2) Menentukan pengaruh lama perendaman bubu dasar dari material kawat dan jaring terhadap hasil tangkapan. 3) Menentukan tingkat kelayakan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1) Sebagai bahan informasi kepada pengusaha dan nelayan dalam mengembangkan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. 2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan mengenai pengembangan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan. 1.5 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah: 1) Lama perendaman dan jenis bubu berpengaruh terhadap produktivitas hasil tangkapan ikan karang. 2) Hasil tangkapan ikan karang memiliki tingkah laku yang berbeda ketika merespons adanya umpan. 1.6 Kerangka Pemikiran Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu merupakan salah satu metode pemanfaatan ikan karang yang ada di Perairan Bangka Selatan. Upaya pemanfaatan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang efektif sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pemenuhan konsumsi masyarakat lokal serta mendukung ekspor. Peningkatan produktivitas dapat dipengaruhi oleh kemampuan armada, jenis alat tangkap yang digunakan, daerah penangkapan dan lain-lain. Upaya pengembangan bubu di Kabupaten Bangka Selatan membutuhkan identifikasi permasalahan beserta pemecahannya dilihat dari jenis dan komposisi hasil tangkapan, lama perendaman alat tangkap serta investasi dan biaya

22 6 operasional dari usaha bubu. Hal ini dapat dilakukan melalui penelitian perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 1).

23 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya. (2) Secara teknis efektif digunakan (3) Dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan (4) Secara ekonomi, teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek tambahan yang perlu diperhatikan adalah adanya ijin pemerintah yang berupa kebijakan dan peraturan pemerintah (Haluan dan Nurani 1988). Menurut Monintja (1987) jika pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan yang relatif mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan para nelayan yang memadai. Dalam kaitannya dengan penyediaan protein hewani untuk masyarakat luas harus dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Nelayan kecil kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi baru karena beberapa alasan, yaitu mereka enggan untuk mengambil resiko dengan modal mereka yang terbatas. Menurut Mubiyarto (1996), alasan utama mengapa nelayan berlaku tetap pada cara-cara yang lama dalam lingkungan ekonomi tertentu adalah mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terutama pada faktor ketidakpastian, selanjutnya dikatakan bahwa mereka beranggapan bahwa keuntungan yang mereka peroleh dari penggunaan teknologi baru kenyataannya akan lebih rendah hasilnya. 2.2 Alat Tangkap Perangkap (Traps) Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Pada prinsipnya perangkap bersifat statis sewaktu dipasang dan efektivitasnya tergantung pada

24 8 gerakan ikan menuju alat tersebut (Sainsbury 1982). Alat ini juga bersifat pasif menunggu ikan/hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Ikan dapat masuk dengan mudak ke dalam perangkap tanpa ada pemaksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar meloloskan diri keluar karena dihalangi dengan bermacam-macam cara untuk meloloskan (Von Brant 1984) Pemasangannya berdasarkan pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar. Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen) dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap), dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Martasuganda (2003) mengatakan proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya : (1) Tertarik bau umpan; (2) Dipakai untuk berlindung; (3) Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan (4) Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi Alat tangkap bubu (pots) Alat penangkap ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan dasar adalah bubu, jaring, pancing, muroami, tombak dan menyelam (Widodo et al. 1998). Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah 1999). Menurut Rounsefelt dan Everhart (1962), bubu merupakan alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik di laut maupun danau. Bubu banyak digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias.

25 9 Bubu didesain untuk menangkap crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Pada pengoperasiannya bisa diberi umpan maupun tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung. Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan Prado 1990). Menurut Von Brant (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok alat perangkap (traps). IMAI (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring). Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu rangka (frame) badan (body), mulut (funnel) dan pintu masuk. Rangka biasanya terbuat dari bahan yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan dengan konstruksi bubu yang diinginkan. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendirisendiri. Rangka berfungsi untuk mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu berfungsi untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989). Bubu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan karang karena mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah: (1) Pembuatan alat mudah dan murah; (2) Pengoperasiannya mudah; (3) Kesegaran hasil tangkapan baik; dan (4) Daya tahan tinggi dan dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan (Tirtana 2003).

26 10 Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan memerangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain : (1) Pergerakan acak ikan; (2) Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung; (3) Tingkah laku sosial interspesies; (4) Pemasangan; dan (5) Mencari pasangan. Menurut Martasuganda (2003), secara umum ikan masuk ke dalam bubu karena faktor-faktor berikut : (1) Mencari makan; (2) Mencari tepat berlindung; (3) Mencari tempat beristirahat; dan (4) Sifat thigmotaxis ikan. Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus 1989). Posisi peletakan bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan menggunakan alat bantu Global Poition System (GPS) sehingga hanya nelayan tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh kapal Pengoperasian bubu Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps. Sumertha dan Soedharma (1975) menjelaskan bahwa penyebaran hidup biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Puslitkan 1991), kakap merah (Lutjanus sanguineus) cenderung membentuk gerombolan dengan ukuran yang berbeda

27 11 untuk kedalaman perairan yang berbeda. Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan (1977) menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan musuhnya. Larger et. al. (1977) menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung. Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso (1979) terjadi karena : (1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; (2) Keragaman ikan di dalam populasi; dan (3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap. Menurut Reppie (1989), metode penangkapan dengan alat tangkap bubu tergantung pada tingkah laku ikan sebagai objek penangkapan dan objek ukuran mata bubu. Metode penangkapan dengan bubu mempunyai beberapa karakteristik yang memberikan keuntungan yaitu: (1) Pembuatan alat tangkap bubu mudah; (2) Pengoperasiannya mudah; (3) Kesegaran hasil tangkapan bagus; dan (4) Daya tangkap dapat diandalkan dan bisa dioperasikan pada lokasi yang alat tangkap lain tidak mengoperasikannya (Monintja dan Martasuganda 1990) Teknik penangkapan Di Kabupaten Bangka Selatan, ikan karang ditangkap dengan bubu dan muroami. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu (single trap). Daerah penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang. Semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan (ikan dasar, kepiting, udang, keong, belut, cumi-cumi, gurita serta habitat lainnya yang bisa ditangkap

28 12 oleh bubu) yang akan dijadikan sebagai daerah penangkapan. Pemasangannya ada yang dipasang satu persatu dan secara berantai (sistem rawai). Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury 1996). Bubu dan jaring penghalang (barrier net) adalah jenis-jenis alat tangkap yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak ditinggalkan sejak digunakannya sianida (pada perikanan karang) dan pukat harimau (pada perikanan laut dalam) yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat (Widyaningsih 2004). 2.3 Capaian Penelitian Bubu Sebelumnya Penelitian tentang perikanan bubu telah banyak dilakukan hingga saat ini, antara lain mengenai: 1) Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi, 1998). Pada penelitian ini menunjukkan hasil tangkapan bubu sayap dengan Leader net (DL) dan bubu sayap tanpa Leader net (TL) berbeda nyata. Demikian pula hasil tangkapan bubu sayap (DL) siang dan bubu sayap (TL) malam hari berbeda nyata. Berbeda dengan hasil tangkapan bubu sayap (TL) tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang berbeda nyata antara siang dan malam. Hasil rekaman tingkah laku ikan didapatkan proses dan kuantitas ikan pada saat mendekati dan menjauhi mulut bubu, ikan yang masuk kedalam bubu dan yang berhasil meloloskan diri serta menjauhi bubu. 2) Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengoperasian bubu (Urbinas, 2004). Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat trend kedalaman bahwa semakin dalam perairan, hasil tangkapan semakin tinggi atau sebaliknya semakin dangkal perairan, hasil tangkapan semakin sedikit. Kakap merah lebih banyak tertangkap pada kedalaman 109,6-123,6 m, 53,2-

29 13 67,2 m, 67,3-81,3 m, 137,8-151,8 m dan 39,1-53,1 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit. Selain itu, ikan kakap merah memiliki pola penyebaran yang tinggi pada kedalaman 33,1-81,3 m dan 109,6-151,8 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit, sedangkan pola penyebaran rendah terjadi pada kedalaman 81,4-109,5 m dengan kontur dasar perairan yang landai. 3) Perbandingan hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat (Setiawan 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat lebih efektif untuk menangkap jenis crustacea. 4) Hasil tangkapan dari bubu kawat dan bubu lipat (Purnama 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu kawat dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat dapat digunakan sebagai pengganti bubu kawat dan lebih efektif dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan maupun biota lainnya. 5) Respon Penciuman ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan (Riyanto 2008). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis umpan dan waktu perendaman (siang dan malam) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Selain itu juga, umpan alami memiliki efektifitas yang lebuh baik untuk penangkapan ikan kerapu dengan bubu dibandingkan umpan buatan 2.4. Klasifikasi Ikan Karang Menurut Wiryawan et al. (2002) Ikan karang yang ditemukan di daerah terumbu karang di Sumatera (Lampung) sebanyak 168 spesies yang berasal dari 28 famili. Menurut Adrim (1993) diacu oleh Nasution (2001) dan Terangi (2004), mengelompokkan ikan karang dalam tiga kategori, yaitu : 1) Kelompok ikan target, yaitu ikan yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti : Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae; 2) Kelompok ikan indikator, yaitu ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk kelompok ikan indikator yaitu family Chaetodotidae. 3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogontidae.

30 Kelayakan Usaha Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi Analisis usaha Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio), Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI) Analisis kriteria investasi Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek. Analisis ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan dalam analisis ini, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net Benefit Cost Ratio (net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh di kemudian hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain semua aliran biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis kita ukur dengan nilai sekarang (Gray et al. 1993) Net present value (NPV) Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih PV (present value) arus benefit dengan PV arus biaya. Menurut Suratman (2001, NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif, usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya. Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur

31 15 ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001) Internal rate of return (IRR) Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah suatu usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment). Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari metode IRR (Suratman 2001) Net benefit cost ratio (Net B/C) Menurut Umar (2003), net B/C merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan kriteria investasi net B/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan net B/C biaya tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yang positif dan negatif. Kemudian jumlah PV yang positif dibandingkan dengan jumlah PV yang negatif. Sebaliknya, dalam perhitungan gross B/C pembilang adalah jumlah nilai sekarang arus manfaat dan penyebut jumlah nilai sekarang biaya bruto. Metode net B/C ini membandingkan nilai discount net benefit positif dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C < 1 maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian biaya proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek (Kadariah et al. 1999).

32 16 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga November Lokasi penelitian mengambil tempat di Perairan Kabupaten Bangka Selatan (Gambar 2). Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bangka Selatan dengan pertimbangan bahwa pusat perikanan bubu dasar di Pulau Bangka berada di Kabupaten Bangka Selatan (DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2008). SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Gambar 2 Peta lokasi penelitian Adapun tahap penelitian Perikanan Bubu Dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi kepulauan Bangka Belitung ditunjukkan pada Gambar 3. Tujuan Penelitian Rancangan Penelitian Pengumpulan Data Pengumpulan Data Sekunder : - Keadaan umum Kabupaten Bangka Selatan - Data kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Bangka Selatan Pengumpulan Data Primer : - Data teknis unit tangkap bubu dasar - Data hasil tangkapan yang dihitung dalam jumlah (ekor), bobot (gram) dan panjang (cm) pada setiap hasil tangkapan/trip penangkapan - data investasi dan biaya serta pendapatan unit usaha bubu Analsis Awal dan Identifikasi Masalah Analisis Data Pengambilan Kesimpulan Gambar 3 Tahap penelitian

33 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan bubu dasar yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian No Alat dan Bahan Kegunaan 1 a). Bubu dari material kawat (12 unit) Alat penangkap ikan b). Bubu dari meterial jaring (12 unit) Alat penangkap ikan 2 Kapal/Perahu (5 GT) Sarana tranportasi 3 Penggaris (skala terkecil 1 mm) Mengukur ikan hasil tangkapan 4 Timbangan (skala terkecil 0,1 kg) Mengukur berat hasil tangkapan 5 Global Position System (GPS), merek Menentukan dan mencari posisi Furuno GPS/WAAS Navigator GP-32 bubu dasar pada saat setting dan hauling 6 Pengait/gancu Mengambil/mengangkat bubu dari dasar perairan ke atas kapal 8 Kamera Dokumentasi kegiatan penelitian 9 Coolbox Menampung ikan hasil tangkapan (a) Gambar 4 Alat tangkap bubu dasar; (a) bubu dasar dari material kawat, dan (b) bubu dasar dari material jaring 3.3 Metode Penelitian Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental fishing dan metode deskriptif survei yang bersifat studi kasus (case study). Metode experimental fishing digunakan pada pengoperasian bubu dasar dari material kawat; 12 unit dan bubu dasar dari material jaring 12 unit dengan lama perendaman bubu dasar 3 hari, 4 hari dan 5 hari. Experimental fishing adalah metode yang digunakan dalam bidang penangkapan untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan menggunakan satu atau (b)

34 18 lebih kelompok experimental dan satu atau lebih kondisi perlakuan dengan perbandingan hasilnya (Monintja et al. 1996). Metode deskriptif survei yang bersifat case study, yaitu memberikan gambaran secara mendetail sebagai latar belakang sifat serta karakter yang khas (Arikunto 2000). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang mendukung penelitian yaitu pengembangan usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi kepulauan Bangka Belitung. 3.4 Pengumpulaan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengikuti operasi penangkapan ikan yang dilakukan nelayan. Penelitian menggunakan 12 unit bubu dasar dari material kawat dan 12 unit bubu dasar dari material jaring (perbedaan material ini dijadikan sebagai kelompok). Operasi penangkapan berdasarkan lama perendaman bubu dari kedua jenis yang dijadikan sebagai perlakuan yaitu; (a) perendaman bubu dasar selama 3 hari; (b) perendaman bubu dasar selama 4 hari; dan (c) perendaman bubu dasar selama 5 hari. Adapun prosedur pengambilan data di lapangan adalah sebagai berikut : 1) Lama perendaman 3 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 3 hari. 2) Lama perendaman 4 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 4 hari. 3) Lama perendaman 5 hari; menggunakan 8 unit bubu; terdiri dari 4 unit bubu kawat dan 4 unit bubu jaring. Satu unit bubu kawat dirangkai dengan satu unit bubu jaring, dengan jarak antar bubu ± 100 m, sehingga diperoleh 4 rangkaian untuk kedelapan unit bubu yang digunakan pada lama perendaman 5 hari. Masing-masing rangkaian bubu pada setiap perlakuan perbedaan lama perendaman diletakkan pada lokasi yang berbeda. Lokasi peletakan bubu yang akan direndam sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi penelitian. Pemilihan lokasi penelitian diusahakan menghindari dari kegiatan operasi penangkapan ikan menggunakan trawl dan dipilih lokasi dasar perairan berkarang. Posisi peletakan bubu tersebut kemudian dicatat menggunakan GPS. Banyaknya

35 19 hauling dinyatakan sebagai banyaknya ulangan. Masing-masing perlakuan lama perendaman dilakukan sebanyak 5 kali hauling, yang berarti lima kali ulangan. Beberapa asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah bahwa kondisi perairan di lokasi penelitian relatif sama, sumberdaya ikan karang menyebar merata di seluruh lokasi penelitian dan dalam pengoperasian kedudukan bubu di dasar perairan adalah normal dan kemungkinan terbalik atau terkait satu dengan yang lainnya tidak mungkin terjadi. Desain posisi pemasangan bubu dasar di perairan dapat dilihat pada Gambar m Main line 100 m Bubu jaring Bubu kawat Gambar 5 Desain posisi pemasangan bubu dasar 3.5 Analisis Data Jenis dan komposisi hasil tangkapan Jenis hasil tangkapan dianalisis dengan melakukan determinasi, yaitu mencocok ikan hasil tangkapan dengan gambar yang ada dibuku kunci indentifikasi ikan. Buku kunci indentifikasi ikan yang digunakan merujuk pada buku karangan Peristiwady tahun Komposisi jenis hasil tangkapan dianalisis dengan membandingkan jenis hasil tangkapan untuk setiap perlakuan (bubu dari material kawat dan jaring). Komposisi jenis hasil tangkapan dihitung dengan menggunakan rumus Krebs (1989) yaitu :

36 20 ni P = N Keterangan: kurva Pie. x100% P = Presentasi jenis ikan yang tertangkap (%) ni = Berat individu dari setiap Jenis (kg) N = Berat seluruh jenis yang ada (kg) Pengolahan data ini menggunakan program excel dan dibuat dalam bentuk Pengaruh perbedaan jenis bubu dasar (material kawat dan jaring) terhadap hasil tangkapan Penelitian ini dibagi atas dua perlakuan yaitu Perlakuan A. (perendaman 3 hari), dan B. (perendaman 4 hari), dan C. (perendaman bubu 5 hari). Setiap perlakuan dikelompokkan kedalam dua kelompok. Pengelompokan berdasarkan jenis bubu dasar yaitu: Kelompok I bubu dasar dari material kawat dan kelompok II bubu dasar dari material jaring, sehingga diperoleh 6 satuan percobaan. Proses untuk mengetahui Rancangan Perlakuan yang dicoba, maka dilakukan Pengujian dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) (Steel and Torrie 1981) sebagai berikut : Yij = µ + τ + β + ε i j ij Dimana : Y ij = Nilai pengamatan pada suatu percobaan ke-i dalam kelompok ke-j µ = Nilai tengan populasi T i = Pengaruh faktor perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j Єij = Kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i pada kelompok ke-j Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa bobot (kg) ikan sebelumnya dilakukan Uji normalitas. Jika data normal, maka dilanjutkan pada Analisis Ragam (ANOVA), tetapi apabila data tidak normal, maka dilakukan transformasi data menggunakan rumus 1 + N, N = bobot (gr) hasil tangkapan. Analisis Ragam (ANOVA) digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan perbedaan lama perendaman dan jenis bubu yang digunakan terhadap hasil tangkapan ikan. Langkah-langkah analisa rancangan acak kelompok (RAK) (Tabel 2) adalah sebagai berikut :

37 21 (1) Perhitungan faktor korelasi (FK), jumlah kuadrat total (JKT), Jumlah kuadrat kelompok (JKK), jumlah kuadrat perlakuan (JKP) dan jumlah kuadrta galat (JKG), sebagai berikut: 2 Y 2 FK = JKT = Σ Yij FK rt i, j ΣYi i JKP = r 2 FK (2) Penentuan derajat bebas sebagai berikut: db total db kelompok JKG = JKT JKK JKP = rt 1= total banyaknya pengama tan 1 = r 1= banyaknya kelompok 1 db perlakuan = t 1= banyaknya perlakuan 1 db galat ΣY j JKK = t = ( r 1)( t 1) = db total db kelompokj db perlakuan 2 j FK (3) Masing-masing kuadrat tengah (KT) ditentukan melalui pembagian antara JK dengan derajat bebasnya, yaitu: JKK KTK = r 1 JKP KTP = t 1 JKG KTG = ( r 1)( t 1) (4) Dalam penelitian ini menggunakan statistik penguji F dengan tingkat kepercayaan α 0.05 (5 %). Statistik penguji F dihitung sebagai berikut: KTP F hitung = KTG (5) Penyusunan analisis ragam (Tabel 4) Tabel 2 Daftar analisis ragam acak kelompok Sumber Keragaman DB JK KT F hitung Kelompok (r-1) JKK KTK KTK/ KTG Perlakuan (t-1) JKP KTP KTP/ KTG Galat (r-1) (t-1) JKG KTG Total rt-1 JKT Kelayakan usaha Analisis usaha Komponen yang dipakai dalam analisis usaha meliputi biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Analisis usaha dilakukan melalui analisis pendapatan usaha, analisis imbangan

38 22 penerimaan dan biaya, analisis Payback Period (PP) serta analisis Return of Investement (ROI) (Hernanto 1989). (1) Analisis pendapatan usaha Analisis ini umumnya digunakan untuk mengukur apakah kegiatan usaha yang dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Penghitungan pendapatan usaha dilakukan dengan menggunakan persamaan: π =TR TC Keterangan : π = Keuntungan TR = Total penerimaan TC = Total biaya Dengan kriteria : Jika TR > TC, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan Jika TR < TC, kegiatan usaha tidak mendapatkan keuntungan Jika TR=TC, kegiatan usaha berada pada titik impas atau usaha tidak mendapatkan untung atau rugi. (2) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue-cost ratio) Menurut Hernanto (1989) dan Sugiarto et al. (2002), analisis revenue-cost dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Kegiatan usaha yang paling menguntungkan mempunyai R/C paling besar. Penghitungannya menggunakan persamaan berikut : R TR = C TC Dengan kriteria: Jika R/C > 1, kegiatan usaha mendapatkan keuntungan Jika R/C < 1, kegiatan usaha menderita kerugian Jika R/C = 1, kegiatan usaha tidak memperoleh keuntungan/kerugian (3) Payback Period (PP) Menurut Umar (2003), PP adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas. PP dapat diartikan sebagai rasio antara initial cash investment dengan cash inflow-nya yang hasilnya dengan satuan waktu. Rumus yan digunakan adalah:

39 23 Nilai investasi PP = x 1 tahun Keuntungan (4) Return of Investment (ROI) ROI adalah kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Rumus yang digunakan adalah : ROI = Keuntungan Investasi x 100% Analisis kriteria investasi Analisis kelayakan investasi dalam perikanan bubu dasar menggunakan instrumen-instrumen analisis seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan analisis sensitivitas. Metode NPV memiliki beberapa kelebihan, yaitu telah memasukkan faktor nilai waktu dari uang, mempertimbangkan semua arus kas proyek, dan mengukur besaran absolut sehingga mudah mengikuti kontribusinya terhadap usaha meningkatkan kekayaan perusahaan atau pemegang saham. Keputusan yang sulit dalam penggunaan NPV adalah menentukan besarnya tingkat arus pengembalian (i) atau hurdle rate. Metode net B/C menghasilkan angka komparatif (relatif) dan lebih dikenal pengunaannya untuk mengevaluasi proyek publik. Penekanan metode pada manfaat bagi kepentingan umum, tetapi dapat juga digunakan untuk manfaat perusahaan dan swasta yang dilihat dari pendapatan proyek (Gray et al. 1993). Kegunaan evaluasi finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melihat biaya manfaat usaha perikanan bubu dasar di dalam mengahasilkan produk. Adapun formulasi perhitungan masing-masing metode yang digunakan dalam kelayakan investasiadalah sebagai berikut : (1) Net Present Value (NPV) NPV menyatakan nilai bersih investasi saat ini yang diperoleh dari selisih antara nilai sekarang invsestasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang, setelah memperhitungkan discount factor. Suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV 0. Jika NPV = 0 berarti proyek dapat mengembalikan sebesar opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, maka proyek ditolak atau proyek tidak dapat

40 24 dilaksanakan, berarti ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah et al. 1999). Rumus untuk menghitung NPV adalah: NPV = Keterangan : B t n ( Bt Ct ) t ( i) t 1 1+ = Benefit dari suatu proyek pada tahun ke-t Ct = Biaya dari proyek pada tahun ke-t n = Umur teknik proyek i = Tingkat suku bunga yang berlaku Kriteria kelayakannya adalah: Jika nilai NPV = 0 berarti investasi layak untuk dilaksanakan dan Jika nilai NPV < 0 maka investasi rugi atau tidak layak untuk dilaksanakan. (2) Internal Rate of Return (IRR) IRR menunjukkan tingkat bunga pada saat jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran atau tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV = 0. Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku maka suatu proyek dapat dilaksanakan dan sebaliknya proyek tidak dapat dilaksanakan jika nilai lrr lebih kecil dari tingkat suku bunga. IRR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : ( D N D ) PVP IRR = D f P + f f P PVP PVN Keterangan: D f P D fn PVP PVN = Discount factor yang menghasilkan present value positif. = Discount factor yang menghasilkan present = Present value positif. = Present value negatif. Keriteria kelayakannya adalah: jika nilai IRR > i, maka investasi layak untuk dilaksanakan dan jika nilai IRR < i, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan. (3) Net Benefif Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan perbandingan antara total present value dari keuntungan bersih dalam tahun-tahun dengan B t -C t, positif sebagai pembilang terhadap total present value dari biaya bersih dalam tahuntahun dengan B t- C t negatif sebagai penyebut. Jika nilai B/C-ratio > 1 berarti proyek dapat dilaksanakan sebaliknya kalau nilai B/C < 1 berarti proyek tidak dapat dilaksanakan, dan jika B/C = 1 maka keputusan proyek dilaksanakan atau

41 25 tidak bergantung pada investor (Kadariah et al. 1999). B/C dapat dihitung dengan rumus : Net B / C ratio = n t= 1 n t= 1 B C t t (1 + i) C B t (1 + i) t t t [( B C ) > 0] t [( B C ) < 0] t t t Keriteria : jika nilai R/C > 1, berarti investasi layak untuk dilaksanakan jika nilai B/C < 1, maka investasi tidak layak untuk, dilaksanakan dan jika nilai B/C = 1, maka keputusan pelaksanaan tergantung pada investor. (4) Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik untuk menunjukkan seberapa besar perubahan kriteria investasi diakibatkan oleh perubahan masukan dengan asumsi bahwa hal lain tidak terjadi perubahan (Sutoyo 1993). Analisis sensitivitas biasanya didasarkan pada suatu kondisi awal, misalnya: setiap input sesuai dengan yang diharapkan (expected value), kemudian diikuti dengan skenario bagaimana kalau suatu variabel naik dan sebaliknya bagaimana kalau turun. Analisis skenario dapat juga digunakan untuk menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan variabel kunci yang memungkinkan. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, terbaik dan terburuk atau skenario rendah, sedang dan tinggi. Metode dalam analisis sensitivitas adalah metode switching value, yaitu dicari nilai presentase dari faktor yang dianggap penting dalam usaha, sehingga usaha tersebut tidak layak. Komponen yang dianggap paling peka dalam usaha penangkapan ikan karang dengan menggunakan bubu dasar.

42 4 HASIL 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Keadaan daerah Kabupaten Bangka Selatan merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang resmi menjadi daerah otonom sejak tanggal 25 Februari 2003 dengan Ibukota kabupaten Toboali yang memiliki luas Wilayah ± 3.607,08 km 2. Kabupaten ini memiliki 7 kecamatan, 3 kelurahan, 45 desa, dan 165 dusun. Kecamatan meliputi Kecamatan Simpang Rimba, Payung, Air Gegas, Toboali, Lepar Pongok, Tukak Sadai (pecahan dari Kecamatan Toboali), dan Kecamatan Pulau Besar (pecahan dari Kecamatan Payung). Untuk batas-batas 7 kecamatan ini belum diperoleh literatur yang dituangkan ke dalam peta tata ruang wilayah kabupaten. Posisi geografis Kabupaten Bangka Selatan terletak pada LS dan BT. (Peta administratif wilayah Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1) Batas fisik wilayah dapat digambarkan sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sungai Selan dan Kecamatan Koba Kabupaten Bangka Tengah Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Bangka Sebelah barat berbatasan dengan Selat Bangka Sebelah timur berbatasan dengan Selat Gaspar. Pulau-pulau yang ada di kabupaten Bangka Selatan sebanyak 52 pulau, 6 buah Kecamatan di Pulau Bangka sedangkan 1 satu kecamatan terpisah dari Pulau Bangka yaitu Kecamatan Lepar Pongok. Berdasarkan data, pulau-pulau kecil terdapat di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Simpang Rimba (3 pulau), Kecamatan Payung (2 pulau), Kecamatan Toboali (12 pulau) dan Kecamatan Lepar Pongok (25 pulau), selebihnya dari kecamatan lainnya Keadaan perairan Konfigurasi dasar perairan Kabupaten Bangka Selatan relatif datar dengan sedikit cekungan. Kedalaman rata-rata pada rataan terumbu di sekeliling pulau bervariasi antara 1 sampai dengan 5 m. Kedalaman laut di luar rataan terumbu bervariasi antara 20 sampai dengan 40 m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai.

43 27 Sesuai dengan kondisi geografis, Kabupaten Bangka Selatan beriklim tropis dengan 2 musim, yaitu musim kemarau pada bulan April-September dan musim penghujan antara bulan Oktober-Maret. Curah hujan rata-rata 50,2 mm- 292 mm, suhu udara berkisar antara 25,9 0 C C, dengan kelembaban udara 55,70% 95,58% (BOOST Centre DKP Provinsi Kep. Bangka Belitung 2009). Ada 3 (tiga) musim yang mempengaruhi kondisi perairan Kabupaten Bangka Selatan, yaitu musim angin barat, musim angin timur dan musim peralihan. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Pada musim ini angin bertiup kencang dari arah barat ke timur, dengan arus kuat disertai hujan cukup deras. Kondisi ini mengakibatkan perairan keruh. Kecepatan arus rata-rata pada musim barat di perairan Kabupaten Bangka Selatan adalah 0,13-0,17 m/s. Keadaan angin bervariasi dengan kecepatan antara 0,3-9,3 m/s (BOOST Centre DKP Provinsi Kep. Bangka Belitung 2009). Musim angin timur berlangsung dari bulan Juni hingga September. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat yang disertai dengan arus laut sedang. Pada musim timur hujan jarang turun sehingga air laut jernih. Kecepatan angin bervariasi antara 7-15 knot. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November. Karakter angin dan gelombang relatif lemah dan kondisi perairan tidak keruh. Penelitian ini dilaksanakan dalam periode musim peralihan. 4.2 Unit Penangkapan Ikan Kapal Armada penangkapan yang digunakan dalam melakukan operasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu dasar memiliki bahan yang terbuat dari kayu dimana kasko kapal bagian haluan berbentuk V (Gambar 6a dan 6b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata panjang (L) kapal bubu kawat = 9,5 meter, lebar (B) = 2,5 meter, dan tinggi (H) = 1,2 meter (Gambar 6). Berdasarkan perhitungan nilai ukuran dimensi utama kapal L/B = 3,8; L/H = 7,92 dan B/H = 2,08. Rata-rata panjang (L) kapal bubu jaring = 13 meter, lebar (B) = 3 meter, dan tinggi (H) = 1,7 meter. Berdasarkan perhitungan nilai ukuran dimensi utama kapal L/B = 4,3; L/H = 4,8 dan B/H = 1,7.

44 28 (a) (b) (c) Tampak samping Keterangan: (d) Tampak atas 1. Palkah 3. Ruang mesin 2. Ruang kemudi 4. Ruang perlengkapan dan tempat beristirahat (e) Tampak samping Keterangan: (f) Tampak atas 1. Palkah 4. Ruang perlengkapan dan tempat beristirahat 2. Ruang kemudi 5. Dapur dan ruang akomodasi 3. Ruang mesin Gambar 6 (a) Kapal bubu kawat (b) Kapal bubu jaring (c) Kontruksi kapal bubu kawat tampak samping (d) Kontruksi kapal bubu kawat tampak atas (e) Kontruksi kapal bubu jaring tampak samping (d) Kontruksi kapal bubu jaring tampak atas

45 29 Pada umumnya nilai B yang tidak besar dapat memudahkan kapal dalam melakukan penangkapan dengan stabil, karena dengan bentuk kapal yang ramping dan panjang serta tinggi yang tidak terlalu besar, maka tidak membebani kapal saat penarikan alat tangkap. Nilai H tidak boleh terlalu besar, karena akan menghambat laju perahu. Menurut Zarochman (1996), untuk ukuran dimensi utama kapal tersebut sesuai dengan yang diisyaratkan untuk kapal yang memiliki panjang <18 meter harus memiliki syarat L/B < 4,5; L/H = <10,0; dan B/H = < 2,10. Berdasarkan perhitungan di atas, perahu dengan alat tangkap bubu dasar dengan material terbuat dari kawat dan jaring memenuhi syarat untuk operasi penangkapan. Kapal yang digunakan untuk pengoperasian bubu dasar memiliki ruang di atas dek. Posisi ruang mesin berada di bawah dek di bagian tengah kapal. Kapal bubu dilengkapi dengan tiang-tiang penyangga disisi kanan kiri kapal yang digunakan untuk membentangkan atap apabila hujan datang yang terbuat kayu. Apabila kapal membawa bubu dasar, bubu tersebut diletakkan di atas atap atau di bagian haluan kapal. Palka pada kapal bubu dasar berada di bagian haluan kapal beserta dengan keranjang-keranjangnya. Perbekalan biasanya diletakkan di bagian buritan kapal didekat pengemudi, sedangkan solar minyak tanah dan oli diletakkan di bawah lantai dek dan beberapa perlengkapan lainnya. Kapal penangkap ikan karang dengan alat tangkap bubu dasar menggunakan mesin inboard dengan bahan bakar solar. Sebagai mesin utama/ mesin penggerak umumnya menggunakan mesin PS 120 dan Dongfeng 20 HP yang berjumlah 1 buah yang berdaya PK. Gross ton yang digunakan < 10 GT Alat tangkap Trend pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan dengan harapan dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (Arimoto et al. 1999). Sesuai dengan kondisi perairan yang relatif berkarang, kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Bangka Selatan didominasi oleh alat penangkapan ikan yang ditujukan untuk ikan karang dan pelagis. Jika dikaitkan dengan kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Bangka Selatan pada umumnya masih bersifat tradisional (artisanal fisheries) dan tergolong ramah lingkungan. Alat tangkap yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan karang adalah bubu dasar yang terbuat dari material kawat dan jaring atau yang lebih

46 30 dikenal dengan istilah bubu kawat dan bubu jaring. Bubu tersebut memiliki beberapa kelebihan berikut kekurangannya. Bentuk bubu kawat dan jaring yang rata dibagian bawah memudahkan saat pemasangannya di dasar perairan dan di sela-sela gugusan karang. Bentuk mulut yang mengerucut dan posisi mulut dalam menghadap ke bawah menyulitkan ikan untuk lolos setelah masuk ke dalam bubu. Mulut bubu berbentuk bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke dalam dengan bentuk lonjong atau oval menyerupai bentuk lingkar tubuh ikan (body girth). Alat tangkap yang dominan di Kabupaten Bangka Selatan terdiri dari pukat pantai 154 unit, bubu 225 unit, payang 124 unit dan jaring insang 1148 unit (DKP Kabupaten Bangka Selatan 2007). Wilayah pengoperasian alat tangkap bubu berada di daerah karang yang berada di sekitar pulau-pulau kecil. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang pengoperasian di perairan karang di Kabupaten Bangka Selatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, bubu yang berada di Kabupaten Bangka Selatan yaitu bubu dasar. Bahan pembuatan bubu biasanya menggunakan jaring dan kawat yang sangat berpengaruh terhadap ketahanan bubu. Jika bubu yang terbuat dari jaring ketahanannya 4 bulan, sedangkan yang dari kawat 6-7 bulan. Bubu yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Perbedaan antara kedua jenis bubu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbedaan bubu kawat dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 No Uraian Bubu Kawat Bubu Jaring 1. Rangka Rotan (tebal 2,5 inch) Besi (tebal 0,75 inch) 2. Bentuk Silinder, bagian depan Empat persegi panjang dan belakang mengerucut 3. Panjang 0,9 m - 1,30 m 1,55 m 4. Lebar 0,7 m -1 m 1 m 5. Tinggi 0,3 m 0,6 m 6. Bahan funnel Kawat weldingmesh Kawat loket (tebal 1 mm, Ø 1 inch) 7. Lebar funnel 0,3 m - 0,5 m 0,5 m 8. Tinggi funnel 0,3 m 0,6 m 9. Panjang funnel 0,4 m - 0,6 m 0,7 m 10. Mesh size 2,5 inch 3 inch 11. Bahan Kawat PE 12. Rangka rotan Besi 13. Daya tahan 4 bulan 6-7 bulan 14 Pemberat Batu 5-10 kg Batu granit kg Sumber : Hasil wawancara dan pengukuran langsung di lapangan 2009

47 31 1. Bubu kawat Bubu kawat yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan termasuk dalam klasifikasi bubu dasar. Dalam satu unit penangkapan bubu kawat, nelayan mengoperasikan bubu. Bubu kawat yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan termasuk sederhana, terdiri atas badan bubu, mulut dan rangka (Gambar 7). 2,5 inch (a) 0,3-0,5 m m (b) 0,9-1,3 m 0,4-0,6 m 0,3 m 0,7-1 m (c) Gambar 7 (a) Bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan (b) Rancang bangun mulut bubu (c) Rancang bangun alat tangkap bubu kawat

48 32 Badan bubu terdapat pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pintu terbuat dari kawat yang berukuran 0,2 x 0,2 m, serta memakai rotan sebagai alat pengunci. Mulut bubu berfungsi sebagai tempat masuknya ikan, berbentuk mengerucut dengan ukuran lebar mulut bagian luar sebesar 0,3-0,5 m, dan tinggi mulut bagian luar 0,3 m, sedangkan lebar mulut bagian tengah adalah 0,2 m, dan tinggi 0,3 m, serta lebar mulut bagian dalam berukuran 0,15 m dan tinggi 0,2 m. Panjang bagian mulut bubu kawat ini 0,4-0,6 m, yaitu jarak dari mulut terluar sampai bagian dalam. Konstruksi utama dalam badan bubu terbentuk dari kawat berukuran mata 2,5 inch. Konstruksi rangka bubu kawat bervariasi pada ukuran mulut dan badan bubu, disesuaikan dengan komoditas yang menjadi sasaran tangkap. Hal ini dimaksudkan agar mutu ikan bagus dan tidak mengalami luka akibat konstruksi bubu kawat. Menurut nelayan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan, pembuatan rangka bubu kawat biasanya membutuhkan rotan sepanjang 10 meter untuk membuat bubu kawat sebanyak 1 buah dengan harga Rp ,00 dengan pemakaian operasi empat bulan. 2. Bubu jaring Bubu jaring yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan termasuk dalam klasifikasi bubu dasar. Dalam satu unit penangkapan bubu jaring, nelayan mengoperasikan 5-10 bubu. Bubu jaring yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan termasuk sederhana, terdiri atas badan bubu, mulut dan rangka. Konstruksi rangka bubu jaring bercvariasi pada ukuran mulut dan badan bubu, disesuaikan dengan komoditas yang menjadi sasaran tangkap agar mutu ikan baik dan tidak cacat. Bentuk bubu jaring adalah empat persegi panjang, yang dilengkapi 1 mulut sebagai pintu untuk masuknya ikan. Rangka bubu jaring terbuat dari besi dengan diameter 0,8 cm. Panjang bubu jaring adalah 1,55 m dengan lebar 1,23 m dan tinggi 0,6 m. Funnel terbuat dari bahan kawat loket dengan ketebalan 1 mm dan diameter 1 inch lebar dan tinggi funnel 0,45 m dengan panjang 0,65 m. mesh size dari bubu jaring adalah 3 inch dengan bahan jaring terbuat dari PE (polyethilene). Konstruksi alat tangkap bubu jaring disajikan pada Gambar 8. Alat tangkap bubu jaring yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan, konstruksi rangka bubu kawat bervariasi pada ukuran mulut dan badan bubu, disesuaikan dengan komoditas yang menjadi sasaran tangkap agar mutu ikan

49 33 baik dan tidak cacat. Menurut nelayan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan, pembuatan rangka bubu biasanya membutuhkan besi sepanjang 14 meter untuk membuat bubu jaring sebanyak 1 buah dengan harga Rp ,00 dengan pemakaian operasi 6 (enam)-7 (tujuh) bulan. (a) 1 m 1,55 m 0,7 m 0,45 m (b) Tampak Atas (c) Tampak Samping 0,65 m 3 inch 0,45 m (d) Gambar 8 (a) Bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan (b) Tampak atas bubu jaring (c) Tampak samping bubu jaring (d) Rancang bangun mulut bubu Nelayan/Anak Buah Kapal (ABK) Nelayan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan pada umumnya hanya mengandalkan kemampuan fisik dan tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan bagi nelayan, namun yang penting adalah keterampilan dan

50 34 semangat kerja. Nelayan tersebut dikategorikan kedalam nelayan kecil, yaitu nelayan yang pendapatan dari hasil operasi penangkapan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nelayan merupakan faktor utama dalam penentuan keberhasilan suatu operasi penangkapan. Jumlah nelayan yang beroperasi di Kabupaten Bangka Selatan sekitar 4881 orang, 103 orang diantaranya merupakan nelayan bubu (Kabupaten Bangka Selatan 2006). Nelayan bubu jaring dan bubu kawat dalam pengoperasiannaya melibatkan 2-4 orang nelayan. Tiap nelayan tidak mempunyai tugas khusus, dalam arti semua pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama Sebagian besar nelayan bubu jaring berdomisili di kecamatan Tukak Sadai, Toboali, Simpang Rimba, dan Batu Betumpang, sedangkan untuk nelayan bubu kawat sebagian besar berdomisili di Kecamatan Tukak Sadai dan Lepar Pongok (Lampiran 3 dan Lampiran 4) Metode pengoperasian bubu 1) Bubu kawat Pengoperasian bubu kawat bersifat pasif berada di dasar perairan. Pengopersian bubu kawat di bagi menjadi 4 tahap, yaitu : persiapan, setting, soaking dan hauling. Tahapan pertama yaitu persiapan perlengkapan alat dan pembekalan. Persiapan yang dilakukan dimulai dari mempersiapkan bubu kawat yang akan digunakan, pembekalan bagi nelayan, mesin kompresor serta mesin kapal yang akan digunakan. Satu trip pengoperasian unit penangkapan bubu kawat biasanya dilakukan satu trip dalam 1-2 hari, yaitu pagi hari pada pukul WIB. Setelah semua persiapan selesai, lalu nelayan segera menuju fishing ground atau daerah penangkapan ikan (Lampiran 1). Jarak dari fishing ground sekitar 1-2 mil, ditempuh selama kurang lebih 30 menit - 1 jam. Setelah tiba di fishing ground mesin dimatikan dan jangkar diturunkan, kemudian segera mencari daerah pengoperasian. Nelayan memulai pencarian dengan cara menyelam atau snorkling. Penyelaman dilakukan nelayan bubu untuk melihat gerombolan ikan dan pencarian gorong-gorong karang atau biasa disebut gosong. Setelah menemukan daerah yang cocok, kemudian nelayan menurunkan selang kompresor sebagai alat bantu pernafasan serta bubu kawat yang akan dipasang sebanyak 4 buah untuk 1 kali proses penyelaman. Pengoperasian bubu kawat dimulai dengan pemasangan bubu di dasar perairan

51 35 dengan posisi mulut bubu menghadap kearah tempat ikan berlindung. Kemudian bubu kawat ditutupi dengan tumpukan batuan karang yang sudah mati, kecuali bagian mulut bubu. Peletakan bubu diletakkan di sekitar artificial coral reef. Peletakan harus diusahakan sedemikian rupa, agar bubu tersebut tidak terbalik. Gelombang dan arus laut yang besar akan berpengaruh terhadap kestabilan bubu karena dapat menyebabkan posisi bubu bergeser dan akhirnya terbalik. Selanjutnya setelah pemasangan bubu I selesai diikuti pemasangan bubu kawat yang lainya, dengan jarak m antar bubu. Waktu yang dibutuhkan dalam pemasangan bubu kawat sekitar 3-5 jam. Umpan yang digunakan adalah jenis ikan hidup seperti ikan-ikan yang berukuran kecil yang telah disediakan yang tertangkap pada pemasangan sebelumnya ataupun hewan karang yang biasa melalui bagian dalam bubu kawat tersebut dan menjadi target ikan utama. Gambaran pengoperasian bubu kawat dan tahapan pengoperasian bubu kawat dapat dilihat pada Gambar 9. (a) Kapal menuju fishing ground (b) ABK bersiap melakukan setting (c) ABK pada saat hauling (d) Hasil tangkapan bubu kawat Gambar 9 Tahap operasional alat tangkap bubu kawat Setelah pemasangan bubu kawat selesai seluruhnya, nelayan mulai membereskan perlengkapan dan menaikkan jangkar, serta kembali ke fishing base. Bubu kawat yang telah terpasang akan direndam selama 3-5 hari.

52 36 Hauling dilakukan di atas perahu pada pada pagi hari. Hasil tangkapan dimasukan ke dalam bak penampung ikan. Biasanya setelah proses pengangkatan, nelayan akan mencari dan memasang bubu kawat kembali jika kondisinya masih baik dan masih ada waktu untuk beropersi. Apabila bubu kawat mengalami kerusakan, maka nelayan akan kembali ke fishing base untuk memperbaiki bubu tersebut. 2 ) Bubu jaring Pengoperasian bubu jaring bersifat pasif berada di dasar perairan. Setelah kapal berlayar selama 1,5-3 jam dan tiba di fishing ground (Lampiran 2) yang berjarak antara 7-14 mil, maka setting dimulai dengan menununggu aba-aba dari nahkoda kapal (sambil merekam posisi bubu pada GPS), setelah aba-aba diberikan, maka ABK siap menjatuhkan bubu pertama diawali dengan mengulurkan tali utama dilanjutkan dengan tali cabang kemudian bubu I tanpa perlu melakukan penyelaman ke dasar perairan guna membantu proses peletakannya, kemudian menjatuhkan bubu kedua juga setelah ada aba-aba dari nahkoda kapal (sambil merekam posisi bubu pada GPS juga), untuk satu rangkaian bubu. Tahapan pengoperasian bubu jaring dapat dilihat pada Gambar 10. (a) Kapal menuju fishing ground (b) Penurunan bubu kawat (c) ABK bersiap untuk menjatuhkan (d) Hasil tangkapan bubu jaring pengait pada saat hauling Gambar 10 Tahap operasional alat tangkap bubu jaring

53 37 Umpan yang digunakan pada bubu jaring adalah jenis ikan hidup yang telah tertangkap pada pemasangan sebelumnya seperti ikan-ikan yang menjadi target ikan utama ikan karang. Selain itu juga, hewan karang dan tumbuhan laut seperti alga yang biasa melalui bagian dalam bubu jaring tersebut juga bisa menjadi umpan pada penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu jaring. Pada proses peletakan bubu ini diusahakan agar funnel saling berhadapan. Hal ini dilakukan pada semua rangkaian bubu pada semua perlakuan (dua, tiga, empat dan lima hari). Proses setting untuk satu rangkaian bubu berlangsung selama 5-10 menit. Setelah semua bubu diletakkan, bubu direndam selama 3-5 hari. Proses hauling sama untuk semua perlakuan bubu, yaitu mula-mula dengan mempersiapkan gancu, yang digunakan untuk mengait tali antara bubu bambu dengan bubu jaring di dasar perairan. Setelah tiba di lokasi peletakan bubu, maka nahkoda kapal memberikan aba-aba kepada ABK untuk menjatuhkan gancu. Alat bantu ini dijatuhkan antara bubu bambu dan bubu jaring, kemudian nahkoda kapal menjalankan kapal secara perlahan diantara bubu, sambil sesekali melihat ke GPS dan ABK. Apabila dirasa gancu telah tersangkut tali bubu, maka ABK memberikan aba-aba kepada nahkoda untuk menghentikan kapal (mesin kapal tetap hidup) dan proses hauling pun dilakukan dengan menarik tali gancu tersebut. Tarikan demi tarikan dilakukan oleh ABK hingga gancu sampai di atas kapal, setelah itu maka giliran tali bubu (main line) diangkat dan diletakkan melintang pada kapal. Kemudian kapal menyisir main line pada salah satu sisi kapal untuk memperpendek jarak bubu. Apabila diperkirakan jarak bubu hampir dekat dengan kapal, maka ABK mulai menarik main line hingga bubu naik ke kapal. Apabila bubu jaring telah terlihat, maka seluruh ABK membantu menaikkan bubu ke atas kapal secara bersamaan. Pada saat pengangkatan bubu, kapal mengalami ketidakstabilan dikarenakan beban yang ditimbulkan akibat proses pengangkatan bubu. Setelah bubu naik ke kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan. Proses hauling ini dapat berlangsung selama menit. Hauling dilakukan sebanyak 5 (lima) kali dan dinyatakan sebagai 5 (lima) kali ulangan. Masing-masing perlakuan (lama perendaman tiga hari, empat hari dan lima hari) melakukan 5 (lima) kali ulangan.

54 38 Setelah proses hauling selesai dilakukan, maka kapal kembali menuju fishing base. Hasil tangkapan tersebut diusahakan agar tetap hidup karena memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan hasil tangkapan yang telah mati. Hasil tangkapan langsung dimasukkan ke dalam palkah yang telah diisi air laut. Pencatatan semua hasil tangkapan dilakukan setelah kapal tiba di fishing base (pukul WIB WIB), yang meliputi jenis, jumlah (ekor), berat (kg) hasil tangkapan. 4.3 Hasil Tangkapan Hasil tangkapan bubu dasar dari material kawat dan bubu dasar dari material jaring yang diletakkan dalam air dengan lama perendaman 3 (tiga) hari, 4 (empat) hari, dan 5 (lima) hari menunjukkan perbedaan, baik dalam jumlah berat (kg) maupun jenis. Berat jenis ikan hasil tangkapan kedua jenis bubu dasar dapat dilihat pada Lampiran Jenis hasil tangkapan Pengoperasian alat tangkap bubu jaring dan kawat yang berada didasar laut, maka ikan target tangkapan merupakan ikan-ikan dasar. Semua hasil tangkapan berada dalam kedaan hidup dan diketahui jenisnya adalah ikan ekonomis penting. Di antara sekian banyak jenis yang tertangkap, 8 (delapan) jenis diantara ikan yang tertangkap selama penelitian merupakan kelompok ikan target yang umumnya dikonsumsi masyarakat (ikan ekonomis). Oleh karena itu hanya kedelapan jenis ini yang dianalisis beratnya. Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan bubu dasar yang dioperasikan selama penelitian di perairan sekitar Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat dalam Tabel 4 dan Gambar 11. Tabel 4 Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan bubu dasar No. Nama Indonesia Nama Latin 1. Kerapu sunu Plectopomus leopardus 2. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus 3. Kerapu malabar Epinephelus malabaricu 4. Kakap merah Lutjanus sanguineus 5. Baronang Siganus javus 6. Ekor kuning Caesio cuning 7. Swanggi Holocentridae 8. Tambangan Lutjanus johni

55 39 Plectopomus leopardus Lutjanus johni Holocentridae Epinephelus malabaricus Siganus javus Caesio cunning Lutjanus sanguineus Epinephelus fuscoguttatus Gambar 11 Ikan hasil tangkapan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan 2009

56 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 3 hari Total hasil tangkapan terbanyak bubu dasar dengan lama perendaman selama 3 hari yang dioperasikan di perairan sekitar Bangka Selatan adalah ikan tambangan (Lutjanus sp) yaitu sebesar 39,18 % dan yang paling sedikit adalah ikan swanggi (Holocentridae) yaitu sebesar 5,39 % (Gambar 12). Gambar 12 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 3 hari Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 4 hari Total hasil tangkapan terbanyak bubu dasar dengan lama perendaman selama 4 hari yang dioperasikan di perairan sekitar Bangka Selatan adalah ikan ikan swanggi (Holocentridae) yaitu sebesar 5,14 % (Gambar 13). Gambar 13 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 4 hari

57 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman 5 hari Total hasil tangkapan terbanyak bubu dasar dengan lama perendaman selama 5 hari yang dioperasikan di perairan sekitar Bangka Selatan adalah ikan tambangan (Lutjanus sp) yaitu sebesar 33,85 % dan yang paling sedikit adalah ikan swanggi (Holocentridae) yaitu sebesar 5,89 % (Gambar 14). Gambar 14 Komposisi hasil tangkapan bubu dasar dengan lama perendaman 5 hari Pengaruh lama perendaman bubu dasar terhadap hasil tangkapan Bubu dasar dari material kawat dan jaring yang dioperasikan dengan lama perendaman 3 (tiga) hari, 4 (empat) hari dan 5 (lima) hari memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil tangkapan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan material yang digunakan dan perbedaan lamanya perendaman di dalam air. Pengaruh ini dapat dilihat dari berat total ikan tangkapan (Gambar 15). Selama penelitian ini telah berhasil ditangkap 24 ekor kerapu sunu (berat rata rata-rata 0,83 kg); 21 ekor kerapu macan (berat rata-rata 0,68 kg); 30 ekor kerapu malabar (berat rata-rata 0,66 kg); dan 28 ekor kakap merah (berat ratarata 0,64 kg), dan 35 ekor beronang (berat rata-rata 0,47 kg), dan 45 ekor ekor kuning (dengan rata-rata berat 0,38 Kg), dan 20 ekor swanggi (dengan rata-rata berat 0,64 kg), dan 24 ekor tambangan (dengan rata-rata berat 2,3 kg). Diantara kedelapan jenis ikan hasil tangkapan, Tambangan (Lutjanus johni) yang memilki berat hingga 2,01 Kg per ekor, jenis lainnya umumnya hanya kurang dari 2,01 kg per ekor.

58 42

59 43 Gambar 15 Komposisi berat jenis ikan yang tertangkap menggunakan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Perbandingan berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar Analisis ragam yang dilakukan hanya terhadap data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan berupa berat (kg) hasil tangkapan pada kedua material bubu dasar. Data primer berupa berat (kg) hasil tangkapan yang diperoleh menyebar tidak normal. Hal ini disebabkan karena banyak terdapat pencilan.

60 44 Selanjutnya untuk dapat dilakukan analisis sidik ragam, maka data primer tersebut ditransformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis. Berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar dari material jaring yaitu sebesar 90,05 kg. Sedangkan berat total tangkapan yang paling sedikit adalah bubu dasar dari material kawat yaitu sebesar 82,58 kg. Perbandingan total berat tangkapan dapat dilihat pada Gambar 16. Total Tangkapan (kg) 92,00 90,05 90,00 88,00 86,00 84,00 82,58 82,00 80,00 78,00 Bubu Kawat Bubu Jaring Jenis Bubu Gambar 16 Perbandingan total berat tangkapan berdasarkan jenis bubu dasar Gambar 16 menunjukkan bahwa pengoperasian bubu dasar dari material jaring menangkap ikan lebih banyak daripada bubu dasar dari material kawat. Berdasarkan uji statistika, F hitung < F tabel dengan nilai F hitung = 4,49 dan F tabel = 18.51, maka Ho diterima. Uji hipotesis menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% jenis material yang digunakan dalam pembuatan bubu dasar tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap berat total hasil tangkapan. Ini berarti bahwa alat tangkap bubu kawat dan jaring dapat digunakan untuk menangkap ikan karang. Hasil tangkapan bubu dasar yang optimal dengan menggunakan bahan material jaring. Pengolahan data sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran Perbandingan berat tangkapan berdasarkan lamanya perendaman bubu dasar Analisis ragam digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan perbedaan lama perendaman dari kedua bubu dasar yang digunakan terhadap hasil tangkapan. Berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar yang direndam selama 5 hari yaitu sebesar 71,59 kg. Berat total hasil tangkapan bubu dasar paling sedikit adalah bubu dasar yang direndam selama 4 hari yaitu sebesar 47,08 kg. Perbandingan total hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 17.

61 Total Tangkapan (kg) Perendaman 3 hari Perendaman 4 hari Perendaman 5 hari Lamanya perendaman (hari) Gambar 17 Perbandingan berat total tangkapan bubu dasar berdasarkan lama perendaman Gambar 17 menunjukkan bahwa pengoperasian bubu dasar dengan lama perendaman 5 (lima) hari menangkap ikan lebih banyak daripada bubu dasar yang direndam selama 3 (tiga) hari dan 4 (empat) hari. Berdasarkan uji statistika, F hitung > F tabel dengan nilai F hitung = 38,59 dan F tabel = 19,00, maka Ho ditolak. Uji hipotesis menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95 % lama perendaman bubu dasar dalam air memberikan pengaruh yang berbeda pada total hasil tangkapan (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa lama perendaman berbeda nyata terhasil tangkapan ikan karang. Hasil tangkapan ikan karang yang optimal terjadi pada lama perendaman 5 (lima) hari. Pengolahan data sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 9. Gambar 18 Berat ikan pada kedua jenis bubu dasar dengan perbedaaan lama perendaman

62 Analisis Finansial Analisis usaha Analisis usaha perikanan bubu dasar dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha yang akan dicapai secara finansial. Analisis usaha yang dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan meliputi biaya, penerimaan usaha, keuntungan, kriteria analisis usaha terhadap 2 (dua) jenis alat tangkap bubu dasar yaitu bubu kawat dan bubu jaring. Hasil analisis usaha dari alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring dilakukan sebagai ukuran keberhasilan pengembangan usaha tersebut pada saat ini dan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha perikanan bubu dasar Biaya Biaya dalam usaha perikanan bubu dasar terdiri atas biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Biaya investasi merupakan nilai investasi yang ditanamkan pada usaha perikanan bubu dasar (Lampiran 10 dan Lampiran 14). Total investasi yang dibutuhkan untuk penangkapan ikan dengan bubu kawat sebesar Rp ,00 dan bubu jaring sebesar Rp (Tabel 5). Besarnya biaya investasi merupakan nilai investasi rata-rata responden yang ditanamkan pada unit usaha penangkapan bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan. Tabel 5 Komponen investasi unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 No. Jenis investasi Nilai investasi (Rp.) Bubu kawat Bubu jaring 1. Kapal , Mesin , Alat tangkap , Peti fiber GPS , Peralatan elektrik , Kompresor , Masker , Selang , Jangkar+tali , Jerigen solar dan air , Total , Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Biaya tetap (fixed cost) didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walau pun produksi yang diperoleh banyak

63 47 atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh (Soekartawi 1995). Biaya tetap dalam usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring terdiri atas biaya penyusutan dan perawatan. Biaya penyusutan pada bubu kawat meliputi penyusutan kapal, mesin, alat tangkap, GPS, peralatan elektrik, kompresor, masker, selang, jangkar dan tali, serta jerigen solar dan air. Sedangkan pada bubu jaring terdapat biaya penyusutan peti fiber. Biaya perawatan pada bubu kawat dan bubu jaring meliputi perawatan kapal, mesin dan alat tangkap. Biaya tetap pada unit usaha bubu jaring lebih besar dibandingkan dengan unit usaha bubu kawat yaitu sebesar Rp dan Rp (Tabel 6). Biaya untuk penyusutan unit usaha perikanan bubu dasar dengan alat tangkap bubu jaring lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap bubu kawat. Hal ini disebabkan modal yang dikeluarkan untuk membeli bubu jaring lebih besar yaitu Rp ,00 daripada modal untuk membeli bubu kawat yaitu Rp , sedangkan umur teknis dari bubu jaring yaitu 6-7 bulan lebih lama dibandingkan bubu kawat yaitu 4 bulan (Lampiran 10 dan Lampiran 14). Tabel 6 Komponen biaya tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 No. Uraian Nilai (Rp.) Bubu Kawat Bubu Jaring 1. Penyusutan kapal , ,00 2. Penyusutan mesin , ,33 3. Penyusutan alat tangkap , ,00 4. Penyusutan peti fiber ,00 5. Penyusutan GPS , ,00 6. Penyusutan geralatan elektrik , ,00 7. Penyusutan kompresor , ,00 8. Penyusutan masker , ,20 9. Penyusutan selang , , Penyusutan jangkar+tali , , Penyusutan jerigen solar dan air , , Perawatan kapal , , Perawatan mesin , , Perawatan alat tangkap , Perawatan alat bantu , ,00 Total , ,03 Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya (variable cost) dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (Soekartawi 1995). Biaya tidak tetap dalam usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap

64 48 bubu kawat dan bubu jaring terdiri atas biaya solar, oli, perbekalan (ransum) dan upah ABK. Komponen biaya tidak tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Komponen biaya tidak tetap unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 No. Uraian Nilai (Rp) Bubu Kawat Bubu Jaring 1. Solar , ,00 2. Oli , ,00 3. Perbekalan , ,00 4. Upah ABK , ,00 Total , ,00 Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Total biaya tidak tetap pada unit usaha perikanan bubu dasar dengan alat tangkap bubu kawat berbeda jauh dengan alat tangkap bubu jaring, yaitu Rp ,40 dan Rp ,00 Biaya tidak tetap yang paling besar pada unit usaha perikanan bubu dasar dengan material terbuat dari kawat dan jaring adalah upah ABK, yaitu sebesar Rp ,40 dan ,00 Hal ini dikarenakan besarnya biaya solar yang digunakan pada saat menuju daerah penangkapan dan operasi penangkapan dan ukuran GT kapal. Upah ABK juga menjadi salah satu biaya tidak tetap yang paling besar. Hal ini di karenakan sistem bagi hasil yang dilakukan usaha bubu kawat dan bubu jaring berbeda, yaitu Rp ,40 dan Rp ,00. Total biaya merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi yaitu hasil penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Total biaya dalam usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat sebesar Rp ,07, sedangkan dengan mengunakan alat tangkap bubu jaring sebesar Rp ,03. Total biaya usaha bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan lebih besar daripada bubu kawat. Hal ini disebabkan oleh biaya bahan bakar solar dan upah ABK yang lebih besar (Tabel 8). Tabel 8 Biaya total unit usaha perikanan bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan tahun 2009 No. Jenis biaya Nilai (Rp.) Bubu Kawat Bubu Jaring 1. Biaya tetap , ,03 2. Biaya Tidak tetap , ,00 Total biaya , ,03 Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember 2009.

65 Penerimaan Penerimaan (output) dalam usaha penangkapan ikan merupakan nilai penjualan hasil tangkapan. Besarnya pendapatan dipengaruhi oleh produktivitas alat tangkap, perubahan musim yang disebabkan perubahan cuaca dan iklim dan fluktuasi harga ikan baik perubahan harga dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh produk hasil perikanan bersifat sangat mudah rusak dan akibat perubahan sementara dalam penawaran dan permintaan serta nilai ekonomis atau nilai jual hasil tangkapan. Rata-rata penerimaan yang diperoleh selama satu trip penangkapan pada pengoperasian alat tangkap bubu kawat sebesar Rp , sedangkan untuk rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp ,07 per trip. Keuntungan yang diperoleh unit usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan sebesar Rp per trip. Penerimaan yang diperoleh dari unit usaha perikanan bubu dasar dengan alat tangkap bubu kawat selama satu tahun penangkapan sebesar Rp ,00, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp ,07. Keuntungan yang diperoleh selama satu tahun sebesar Rp ,65. Penerimaan rata-rata unit usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan sebesar Rp per trip. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pada pengoperasian alat tangkap ini sebesar Rp ,75. Keuntungan yang diperoleh usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu jaring adalah sebesar Rp ,25 per trip. Penerimaan yang diperoleh dari usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu jaring selama satu tahun penangkapan sebesar Rp ,00, sedangkan total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp ,03. Keuntungan yang diperoleh selama satu tahun sebesar Rp ,97 (Lampiran 10 dan Lampiran 14) Keuntungan Keuntungan usaha yang diperoleh dari unit penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan merupakan hasil selisih antara total penerimaan dan total biaya. Total penerimaan ditentukan oleh nilai penjualan hasil tangkapan ikan, sedangkan total biaya ditentukan oleh biaya produksi, baik biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan untuk

66 50 operasi usaha unit penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring. Pendapatan yang diperoleh juragan dan ABK melalui sistem bagi hasil pada alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring berbeda. Pada bubu kawat, pemilik mendapat bagian 40% dan nelayan mendapat bagian 60% dari setiap kali penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi dengan biaya operasional yaitu Sedangkan pada bubu jaring, pemilik mendapat bagian 50% dan nelayan mendapat bagian 50% Kriteria analisis usaha 1) Rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C) R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Setiap pelaku usaha selalu mengharapkan keuntungan dari kegiatanusaha yang dilakukan, begitupun dengan nelayan. Rasio imbang penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha sehingga dapat memberikan sejumlah keuntungan dari penerimaan yang diperoleh. Analisis R/C merupakan perbandingan antara nilai penerimaan per tahun dengan biaya yang telah dikeluarkan setiap tahun. Analisis R/C juga dapat digunakan untuk menilai efisiensi biaya yang telah dikeluarkan (Djamin 1984). Analisis R/C dilakukan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan. Hasil analisis unit penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan diperoleh nilai R/C sebesar 1,37 dan 1,56 yang artinya setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan untuk usaha akan menghasilkan total penerimaan sebesar Rp 1,37 dan Rp 1,56 atau memberikan keuntungan sebesar Rp 0,13 dan Rp 0,15 (Lampiran 16 dan Lampiran 20). Analisis imbangan penerimaan dan biaya merupakan perbandingan antara besarnya penerimaan dengan total biaya. Pada usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan ini diperoleh nilai R/C>1, sehingga dapat diartikan usaha tersebut mendapatkan keuntungan (Lampiran 10 dan Lampiran 24). 2) Return of investment (ROI)

67 51 ROI bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan. ROI dari unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan sebesar 137% dan 106%. Hal ini berarti bahwa setiap seratus rupiah yang diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar Rp 1,37 dan Rp 1,06 (Lampiran 10 dan Lampiran 24). 3) Payback period (PP) PP dalam studi kelayakan usaha berfungsi untuk mengetahui berapa lama usaha yang diusahakan dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat dalam pengembalian biaya investasi sebuah usaha, semakin baik usaha tersebut karena semakin lancar perputaran modal. Analisis PP digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutupi modal investasi dalam hitungan tahun atau bulan, jika seluruh pendapatan usaha yang dihasilkan digunakan untuk menutupi modal investasi (Umar 2003). PP dari unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan adalah 0,7 tahun dan 0,9 tahun. Hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian biaya investasi yang telah dikeluarkan akan kembali dengan keuntungan sebesar Rp ,93 dan Rp ,97 per tahun dalam waktu 0,7 tahun dan 0,9 tahun (Lampiran 10 dan Lampiran 24) Analisis kriteria investasi Analisis kriteria investasi digunakan untuk membuat keputusan suatu kegiatan bisa atau tidak untuk dijalankan serta menilai dan mengevaluasi kegiatan tersebut. Perhitungan analisis kriteria investasi tersebut menggunakan beberapa asumsi dasar untuk membatasi permasalahan yang ada. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan terhadap unit usaha yang ada dengan umur kegiatan ditentukan 8 tahun, karena umur teknis untuk investasi kapal baru adalah 8 tahun. Investasi yang telah dihitung dengan penyesuaian IHK yang berlaku di Kabupaten Bangka Selatan untuk komoditas ikan segar, sehingga menunjukkan nilai saat penelitian;

68 52 2) Tahun pertama proyek dimulai tahun 2009 dengan penilaian investasi dinilai pada tahun tersebut, penggantian investasi berikutnya menggunakan barang baru dan harga baru; 3) Sumber modal yang digunakan adalah modal sendiri; 4) Populasi ikan berada di daerah penangkapan ikan karang; 5) Hasil tangkapan yang masuk ke dalam perhitungan adalah jenis ikan karang ekonomis; 6) Jumlah trip unit penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat jumlah dalam setahun 56 trip atau selama 8 bulan dan jumlah trip unit penangkapan dengan alat tangkap bubu jaring dalam setahun 52 trip 7 bulan 3 minggu. 7) Harga ikan hasil tangkapan merupakan harga yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan bubu kawat dan bubu jaring setempat dan harga ikan per satuan hasil tangkapan adalah konstan; 8) Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini disebabkan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5% per tahun proyek; 9) Discount factor pada tahun 2009 didasarkan pada tingkat suku bunga 15% per tahun yang berlaku pada Bank Sumsel Babel Cabang Bangka Selatan; 10) Biaya operasional yang digunakan sepanjang umur proyek dianggap tetap. 11) Kebutuhan solar dan minyak tanah meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin, tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah; dan 12) Kebutuhan oli meningkat 5% per tahun proyek, hal ini disebabkan oleh umur teknis mesin semakin tua, sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah. Analisis kriteria investasi usaha perikanan bubu dasar dengan material kawat dan jaring di Kabupaten Bangka Selatan terdiri dari Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). 1) Net Present Value (NPV) Suatu usaha layak untuk dilanjutkan jika nilai NPV adalah selisih antara benefit (pendapatan) dengan cost (pengeluaran) yang telah di present valuekan lebih dari nol. Dalam metode ini discount rate yang digunakan adalah sebesar 12 % sesuai dengan tingkat bunga bank rata-rata yang berlaku saat ini. Nilai NPV pada unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring bernilai positif yaitu sebesar ,14 dan Rp

69 ,15 yang berarti bahwa usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring akan memperoleh net benefit sebesar Rp ,14 dan Rp ,15 selama umur proyek (10 tahun) pada discount rate sebesar 15 % per tahun, apabila dinilai sekarang (Lampiran 11 dan Lampiran 15). Nilai NPV bubu jaring lebih besar dari nilai NPV bubu kawat dikarenakan jumlah aliran kas pada net cash flow yang merupakan selisih total inflow (pendapatan) dengan total outflow (investasi dan biaya total) yang besar. Hal ini disebabkan oleh biaya total unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu jaring lebih kecil dibandingkan dengan bubu kawat, sehingga berpengaruh pada nilai NPV nya. Pada usaha perikanan bubu dasar dengan terbuat dari kawat dan jaring, maka nilai dari kriteria investasi (NPV>0, net B/C>1 dan IRR>interest rate) layak untuk dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2006), jika dilihat dari kriteria investasi NPV>0, net B/C>1 dan IRR>internal rate, maka dapat dikatakan bahwa usaha tersebut layak memenuhi persyaratan dan masih layak untuk dikembangkan. 2) Internal Rate of Return (IRR) Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan present value dari investasi (initial investment). Jika perhitungan IRR dari discount rate dikatakan usaha tersebut feasible (layak) dijalankan, bila sama dengan discount rate berarti pulang pokok dan di bawah discount rate usaha tersebut tidak feasible. Nilai IRR dari unit usaha penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan layak diusahakan sebab nilai IRR-nya memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai discount rate (15%) yaitu sebesar 148% dan 114%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tersebut akan memberikan manfaat baik internal dari nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring sebesar 148% dan 114% tiap tahunnya selama umur proyek (Lampiran 11 dan Lampiran 15). Usaha penangkapan alat tangkap bubu jaring lebih layak diusahakan karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dibandingkan dengan nilai IRR jaring. Hal ini disebabkan oleh besarnya NPV dan discount rate yang digunakan untuk membuat nilai NPV negatif.

70 54 3) Net B/C Net B/C unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring yaitu sebesar 4,16 dan 4,25 (net B/C>1), artinya selama tahun proyek pada tingkat discount rate 15% per tahun setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan benefit bersih sebesar Rp 4,16 dan Rp 4,25, sehingga dapat dikatakan usaha tersebut layak untuk dikembangkan (Lampiran 11 dan Lampiran 15). Net B/C tidak menggambarkan besarnya keuntungan tetapi menggambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal. Pada usaha perikanan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring, maka nilai dari kriteria investasi (NPV>0, net B/C>1 dan IRR>interest rate) layak untuk dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2006), jika dilihat dari kriteria investasi NPV>0, net B/C>1 dan IRR>internal rate, maka dapat dikatakan bahwa usaha tersebut layak memenuhi persyaratan dan masih layak untuk dikembangkan. 4) Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan nilai input atau perubahan nilai output yang akan berdampak pada akhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang dianalisis adalah perubahan harga solar sebagai komponen variabel terbesar yaitu untuk kebutuhan solar pada bubu kawat sebesar 65,4 % sedangkan untuk bubu jaring sebesar 160,5% dari total biaya variabel. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring. Berdasarkan metode switching value diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar pada bubu kawat dan bubu jaring sebesar 65,4% dan 160,5% menyebabkan usaha penangkapan menjadi tidak layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar, maka nilai kriteria investasi juga akan mengalami perubahan. Nilai kriteria investasi setelah dilakukan analisis sensitivitas pada usaha penangkapan dengan bubu kawat dan bubu jaring dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29 dan untuk perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 16. Pada Tabel 9 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar pada bubu kawat sebesar 65,4% dari harga solar Rp

71 ,00 menjadi Rp 8.270,00 pada unit penangkapan dengan bubu kawat menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bubu kawat tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan sebesar 14,8% merupakan nilai dibawah tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 15% berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bubu kawat tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar 65,4%. Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar pada bubu jaring sebesar 160,5% menjadikan harga solar yang semula seharga Rp 5.000,00 berubah menjadi Rp ,00, sedangkan unit penangkapan dengan bubu jaring menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bubu jaring tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan sebesar 14,99% merupakan nilai dibawah tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 15% berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bubu kawat tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar 160,5%. Tabel 9 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 65,4% pada bubu kawat No. Kriteria Sebelum kenaikan Sesudah kenaikan Perubahan Investasi harga solar harga solar (65,4%) 1. NPV (Rp) ,15 (43.927) ,98 2. Net B/C 4,16 0,999 3,16 3. IRR (%) 148% 14,8% 1,33% Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan kenaikan harga solar menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp ,98 dari Rp ,15 setelah mengalami kenaikan solar menjadi Rp (43.927), menunjukkan bahwa net benefit yang akan

72 56 diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp ,98. Net B/C sebesar 0,99 menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp 0,99 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan bubu kawat. Nilai IRR menjadi 14,8% menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan dengan bubu kawat tersebut berkurang sebesar 1,33% dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar. Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 160,5% pada unit penangkapan bubu jaring. Harga solar sebelum terjadi kenaikan sebesar Rp 5.000,00 menjadi Rp ,00. Hal ini menyebabkan nilai NPV negatif (Tabel 10). Berarti usaha penangkapan dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan juga tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,999. Berarti usaha ini tidak memberi manfaat bersih, sehingga akan mengalami kerugian. Tabel 10 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar sebesar 160,5% pada bubu jaring No. Kriteria Sebelum kenaikan Sesudah kenaikan Perubahan Investasi harga solar harga solar (160,5%) 1. NPV (Rp) ,14 (62.800) Net B/C 4,25 0,999 3,25 3. IRR (%) 114% 14,99% 0,99% Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Nilai IRR yang dihasilkan, yaitu 14,99% sama atau dibawah tingkat suku bunga 15% yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini mengalami kerugian dan tidak layak dikembangkan apabila kenaikan harga solar mencapai 160,5%. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan harga solar menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR mengalami perubahan. Nilai NPV berkurang sebesar Rp dari Rp ,14 menjadi Rp (62.800) setelah kenaikan harga solar, menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp Net B/C berkurang sebesar 3,25 yang menunjukkan bahwa manfaat bersih dalam usaha ini berkurang sebesar Rp 3,25 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dengan alat tangkap bubu kawat. Nilai IRR yang berkurang sebesar 0,99% menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bubu jaring tersebut menurun sebesar 0,99% dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadi kenaikan harga solar.

73 57 Pada penurunan harga ikan pada unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu kawat sebesar 29,5% dari Rp per kg menjadi Rp ,25 per kg dan unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu jaring sebesar 25,82% dari harga rata-rata Rp per kg menjadi Rp ,65 per kg usaha menjadi tidak layak (Lampiran 13 dan Lampiran 17). Nilai kriteria investasi sebagai akibat penurunan harga ikan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 29,5% pada bubu kawat No. Kriteria Sebelum penurunan Sesudah penurunan Perubahan Investasi harga ikan harga ikan (29,5%) 1. NPV (Rp) ,15 ( ) Net B/C 4,16 0,99 3,11 3. IRR (%) 148% 0, ,32 Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember Nilai NPV pada alat tangkap bubu jaring sesudah penurunan harga ikan sebesar 25,82% yaitu sebesar Rp (45.896). Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan harga ikan pada usaha penangkapan dengan alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring sebesar 25,82%, maka manfaat sekarang yang akan diterima adalah sebesar Rp Rp (45.896). Nilai net B/C pada alat tangkap bubu jaring sebesar 0,99 sedangkan nilai IRR yaitu sebesar 12,57% (Tabel 12). Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan dengan bubu dengan adanya penurunan harga ikan tidak layak untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan nilai NPV<0, net B/C<1 dan IRR< tingkat suku bunga yang berlaku 15%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut mengalami sensitif apabila penurunan harga ikan hingga mencapai 25,82%. Tabel 12 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 25,82% pada bubu jaring No. Kriteria Sebelum penurunan Sesudah penurunan Perubahan Investasi harga ikan harga ikan (25,82%) 1. NPV (Rp) ,15 (45.896) Net B/C 4,16 0,9995 3,08 3. IRR (%) 148% 12,57% 1,01 Sumber : Data diolah dari data primer, November-Desember 2009.

74 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis Hasil Tangkapan Jumlah ikan yang tertangkap pada bubu sangat dipengaruhi oleh sifat ikan tersebut. Ikan-ikan yang biasa hidup berkelompok (schooling) cenderung untuk tertangkap dalam jumlah banyak; sedangkan ikan-ikan yang bersifat soliter cenderung tertangkap dalam jumlah sedikit. Hal ini terlihat jelas pada bubu dasar yang menangkap ikan-ikan dari famili Lutjanidae, Siganidae dan Caesionidae yang biasa hidup berkelompok, dimana ikan-ikan tersebut tertangkap dalam jumlah yang relatif banyak. Sebaliknya, pada bubu dasar yang menangkap ikanikan yang bersifat soliter, seperti family Holocentridae dan Epinephelus fuscogutatus terlihat bahwa ikan-ikan tesebut tertangkap dalam jumlah yang relatif sedikit. Proses tertangkapnya ikan pada bubu dasar diduga juga mempengaruhi hasil tangkapan. Jika ikan yang tertangkap oleh bubu dasar di awal setting adalah jenis predator, maka ikan-ikan lainnya cenderung tidak mau memasuki bubu; sedangkan jika di awal setting bubu dasar yang tertangkap adalah jenis non predator, maka ikan ini berikutnya dapat menjadi umpan untuk menarik ikanikan lainnya termasuk predator. Karena bubu dasar yang dioperasikan tanpa umpan, maka kemungkinan besar ikan masuk ke dalam bubu dasar karena tingkah laku ikan tersebut. Setiap jenis ikan dari populasi ikan karang memiliki kesempatan yang sama untuk mendiami suatu habitat sehingga ikan yang tertangkap diduga mencari tempat berlindung dari arus maupun ikan predator yang lebih besar dari populasi ikan karang pada habitat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Saputro dan Isa (2008), bahwa setiap individu atau koloni dari populasi ikan karang memiliki kesempatan yang sama untuk mendiami suatu habitat terumbu karang. Pengaturan alat tangkap tidak diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamdan et al. (2006), bahwa pengaturan alat tangkap tidak diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan yang berakibat buruk kepada produksi perikanan.

75 59 Beberapa famili ikan karang mendekati bubu dasar karena rasa keingintahuan dari ikan tersebut terhadap benda asing atau dikenal dengan sifat tigmotaksis. Beberapa famili menjadikan bubu dasar sebagai area mencari makan, seperti ikan dari famili Lutjanidae, Siganidae, Caesionidae, Holocentridae dan Serranidae. Selain itu bubu dasar diduga sebagai tempat beristirahat atau menunggu mangsa lewat, ikan karnivora masuk ke dalam bubu dasar karena tertarik oleh mangsa yang terperangkap di dalam bubu dasar. Hal ini sesuai dengan pendapat High dan Beardsley (1970) diacu oleh Furevik (1994), bahwa ada 6 (enam) alasan ikan tertarik pada bubu selain mengejar umpan, juga melakukan pergerakan secara acak/tidak beraturan, menggunakan bubu sebagai tempat tinggal atau berlindung, keingintahuan, tingkah laku sosial di dalam spesies ikan atau pemangsaan. Hasil pengamatan High dan Beardsley (1970) pada bubu tanpa umpan menunjukkan bahwa jenis ikan squirefish dan goatfish (Mullidae) masuk ke dalam bubu secara bergerombol (schooling) sedangkan jenis parrotfish (Scaridae) dan big eye (Priacanthidae) masuk ke dalam bubu secara individu. High dan Ellis (1973) mengamati ikan four-eyed butterfly (Chaetodon sp) dan spotted goat fish (Pseudupeneus maculatus) disekitar bubu berenang maju mundur ketika melihat ikan lain terperangkap ke dalam bubu. Munro et al. (1971) mengamati spesies ikan di sekitar bubu berenang beriringan pada sisi lain mata jaring kawat. Riyanto et al. (2008) mengamati tentang perbandingan hasil tangkapan antara bubu dengan umpan dan bubu tanpa umpan yang menunjukkan bahwa bubu dengan umpan memiliki keragaman spesies dan famili lebih tinggi. Lolosnya ikan-ikan yang terlihat pada waktu pengamatan awal lebih disebabkan oleh ukuran mesh size bubu dasar yang lebih besar dari ukuran ikan, sehingga ikan dengan mudah meloloskan diri. Selektivitas bubu dasar bergantung pada hubungan antara keliling tubuh maksimum ikan (body girth) dan keliling mata bubu (mesh perimeter) dan juga hubungan antara panjang tubuh ikan dan mesh size. Hal ini sesuai dengan pendapat Riyanto et al (2008), bahwa ukuran layak tangkap ikan diduga dipengaruhi oelh mesh size dan konstruksi bubu. Hal tersebut juga diperkuat oleh Tirtana (2003), bahwa ikan yang masuk ke dalam bubu bisa meloloskan diri sangat ditentukan oleh tinggi tubuh (body depth) atau lingkar tubuh (body girth) dan celah pelolosan. Jadi semakin besar tinggi tubuh dan lingkar tubuh, maka peluang untuk meloloskan diri semakin kecil dan

76 60 bila semakin tinggi tubuh atau lingkar tubuh, maka peluang untuk meloloskan diri semakin besar (Tirtana 2003). FAO (1999) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidental catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Selain itu, pengaturan alat tangkap tidak diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamdan et al. (2006), bahwa pengaturan alat tangkap tidak diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada akan menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan yang berakibat buruk kepada produksi perikanan. Bubu dasar dengan material kawat memiliki meshsize lebih kecil di bandingkan dengan bubu dasar dengan material jaring, sehingga ikan-ikan yang tertangkap oleh bubu dasar dengan material kawat lebih kecil dibandingkan dengan bubu dasar dengan material jaring. Hal ini sesuai dengan pendapat matsuoka (1995), dimana bubu dikatakan selektif ukuran apabila ukuran badan ikan pada bagian operculum (tutup insang) lebih kecil dari keliling mata bubu atau keliling maksimum badan ikan lebih besar dari keliling mata bubu. Sebaliknya jika ukuran badan ikan pada bagian operculum sangat besar atau keliling maksimum badan ikan sangat kecil dibandingkan dengan keliling mata bubu, ikan kemungkinan tidak tertangkap (lolos). Dominasi ikan yang tertangkap pada bubu dasar yang dioperasikan di perairan sekitar Bangka Selatan berlaku untuk semua perlakuan baik untuk perlakuan lama perendaman bubu dasar 3 hari, 4 hari, dan 5 hari adalah ikan tambangan (Lutjanus johni). Hal tidak lepas dari pola penyebaran, struktur komunitas, dan musim penangkapan ikan di fishing ground. Jika suatu spesies ikan mendominasi suatu komunitas ikan dimana bubu dasar dioperasikan, maka dapat diduga hasil tangkapannya akan didominasi oleh spesies tersebut. Komposisi hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh struktur komunitas dan musim ikan yang ada di fishing ground. Dalam hal ini jumlah populasi dari suatu spesies pada daerah penangkapan merupakan faktor yang sangat berpengaruh. Dominasi ikan tambangan (Lutjanus johni) dikarenakan

77 61 kemungkinan merupakan spesies dengan populasi yang besar dibanding dengan spesies lainnya di perairan sekitar Bangka Selatan. 5.2 Pengaruh Posisi Perendaman Bubu Ikan Terhadap Hasil Tangkapan Berat total hasil tangkapan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar baik bubu dasar dari material kawat maupun bubu dasar dari material jaring dengan lama perendaman 5 hari dibandingkan dengan lama perendaman 3 hari maupun 4 hari, hal ini diduga sangat berkaitan erat dengan adanya bau-bauan yang berasal dari material yang digunakan untuk membuat bubu dasar. Bau-bauan ini dapat memanipulasi ikan bahwa di tempat tersebut ada makanan. Selain itu dengan lamanya perendaman bubu dasar maka ikan memanfaatkan bubu tersebut untuk tempat berlindung maupun tempat untuk beristirahat pada saat bermigrasi. Menurut Martasuganda (2003), proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan disebabkan oleh: (1) tertarik bau umpan; (2) dipakai untuk berlindung; (3)karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; (4) tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi. Berdasarkan uji statistika untuk lama perendama bubu dasar dalam air, F hitung > F tabel dengan nilai F hitung = 38,59 dan F tabel = Uji hipotesis didapatkan tolak H 0, maka pada selang kepercayaan 95 % lama perendaman bubu dasar dalam air memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah hasil tangkapan. Pada jenis bubu dasar F hitung < F tabel dengan nilai F hitung = 4,49 dan F tabel = 18,51. Uji hipotesis didapatkan tolak H 0, maka pada selang kepercayaan 95 % jenis bubu dasar (material kawat dan jaring) tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah hasil tangkapan. Hal memberikan arti bahwa pengoperasian bubu dasar dari material kawat dan jaring menghasilkan tangkapan yang sama. 5.3 Analisis Kelayakan Usaha Pada usaha perikanan bubu dasar dengan material kawat dan jaring dengan analisis usaha, maka nilai ROI dan PP memiliki nilai yang layak untuk dikembangkan. Nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) telah memberi manfaat yang positif, artinya usaha tersebut dapat dilaksanakan. Usaha tersebut akan lebih banyak memberikan keuntungan dan layak untuk dikembangkan, apabila modal usaha berasal dari bantuan. Usaha perikanan bubu dasar dengan

78 62 material kawat dan jaring dengan analisis kriteria investasi, maka nilai NPV>0, net B/C>1 dan IRR> tingkat suku bunga yang berlaku 15%. Besarnya nilai Net B/C dan ROI dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan biaya usaha yang dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobari et al. (2006), bahwa besarnya nilai Net B/C, BEP dan ROI sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapn yang diperoleh dan besarnya biaya usaha yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan usaha tersebut layak untuk dikembangkan (Lampiran 10 dan 14). Kenaikan harga bahan bakar solar pada usaha perikanan bubu dasar dengan alat tangkap bubu kawat sebesar 65,4% dan dan bubu jaring sebesar 160,% dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha tersebut tidak sensitif terhadap kenaikan harga bahan bakar solar. Apabila sampai terjadi kenaikan harga bahan bakar solar, maka sebaiknya harga jual ikan per kg dinaikkan. Selain itu, perlu adanya bantuan subsidi solar dari pemerintah atau membentuk agen yang khusus untuk menjual alat dan bahan untuk perbekalan dan peralatan melaut seperti solar, sehingga harga beli solar akan sama dengan harga yang beredar di pasaran atau pemerintah memberikan subsidi solar, sehingga harga beli solar akan terjangkau oleh nelayan. Penurunan harga ikan pada usaha perikanan bubu dasar dengan alat tangkap bubu kawat sebesar 29,5% dari harga rata-rata Rp ,00 per kg menjadi Rp ,25 per kg dan pada alat tangkap bubu jaring sebesar 25,82% dari harga rata-rata Rp ,00 per kg menjadi Rp ,00 per kg usaha menjadi tidak layak dan menjadi sensitif terhadap pengembangan usaha. Hal ini harus diperhatikan oleh stakeholder (pelaku usaha) untuk tetap menjaga mutu ikan agar harga ikan tetap stabil di pasaran.

79 63 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi tentang Perikanan Bubu dasar di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Komposisi dan jumlah hasil tangkapan bubu dasar dengan material terbuat dari kawat dan jaring merupakan kelompok ikan target dan memiliki komposisi yang sama yaitu kerapu sunu (Plectopomus leopardus) yaitu, kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu malabar (Epinephelus malabaricus), kakap merah (Lutjanus sanguineus), baronang (Siganus javus), ekor kuning (Caesio cuning), swanggi (Holocentridae) dan tambangan (Lutjanus johni). Pada alat tangkap bubu kawat dan bubu jaring didominasi oleh ikan tambangan (Lutjanus johni) dan kerapu sunu sebanyak 24 ekor. 2) Berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar dari material jaring yaitu sebesar 90,05 kg. Sedangkan berat total tangkapan bubu dasar dari material kawat yaitu sebesar 82,58 kg. Berdasarkan lama perendaman didapatkan berat total tangkapan ikan terbanyak pada pengoperasian bubu dasar yang direndam selama 5 (lima) hari yaitu sebesar 71,59 kg, kemudian perendaman 3 hari yaitu sebesar 53,96 kg, dan perendaman 4 hari yaitu sebesar 47,08 kg, sehingga lama perendaman sangat memberikan pengaruh. 3) Tingkat keuntungan pada usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat adalah Rp ,93 per tahun dan nilai R/C sebesar 1,05, pada usaha alat tangkap bubu jaring, keuntungan yang diperoleh, yaitu sebesar Rp ,00 per tahun, dan nilai R/C sebesar Berdasarkan kriteria investasi usaha perikanan bubu dasar dengan menggunakan alat tangkap bubu kawat diperoleh NPV sebesar Rp ,15, sedangkan pada usaha alat tangkap bubu jaring diperoleh nilai NPV sebesar Rp ,14, sehingga kedua alat tangkap tersebut layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan dan tidak mengalami sensitive terhadap kenaikan harga bahan bakar solar dan penurunan harga ikan di pasaran.

80 Saran Pengoperasian bubu dasar dengan material jaring dan kawat yang direndam selama 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima) hari cukup efektif terhadap penangkapan ikan karang di Kabupaten Bangka Selatan. Guna meningkatkan efektivitas penangkapan dengan alat tangkap bubu dasar dengan material jaring dan kawat, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1) Komparasi teknologi bubu dasar dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan; 2) Penggunaan beberapa jenis atraktan yaitu umpan yang berbeda dan cahaya pada pengoperasian bubu dasar; 3) Pengaruh bentuk pintu (funnel) bubu terhadap hasil tangkapan dan tingkah laku ikan; 4) Sistem pengelolaan usaha perikanan bubu dasar beserta pengembangannya.

81 DAFTAR PUSTAKA Adrim M Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan karang dan Metoda Pengkajiannya dalam Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi, LIPI, Jakrta. 34 hal. Anung A. dan H.R. Barus Pengaruh Jumlah Mulut, Jenis Umpan dan Lama Perendaman Bubu terhadap Hasil Tangkapan Ikan Demersal di Selat Sunda. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta. Hal Ariefandi Z Uji Coba Alat Tangkap Bubu dengan Ukuran mesh size Berbeda di Perairan Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Skripsi (tidak dipublikaskan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hal. Arikunto S Manajemen Penelitian, Edisi Baru. Jakarta : Rieneka Cipta. 645 hlm. Arimoto T, SJ Choi and YG Choi Trend and perspectives for Fishing Technology Research Towards the sustainable Development. In Proceeding of 5th Internasional Symposium on Efficient Aplication and Preservation of Marine Biological Resorces OSU National University. Japan. P Bennet DB The Effects of Pot Immersion Time on Catches of Crabs, Cancer pagurus (L) And Lobsters, Humarus gammarus (L). J. Cons. Int. Explor. BOOST Centre DKP Provinsi Kep. Bangka Belitung Laporan Bulanan. BOOST Centre Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan, Pangkalpinang, 32 hlm. Budiman J, S Fuwa, K Ebata and MV Archdale Fundamental Study on The Flow Speed Distribution Around Small Traps. Fisheries Science 71(6): Choliq A, O Sofwan, RA Wirasasmita Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar). Bandung : Pionir Jaya. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan, Pangkalpinang, 32 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan Data Perikanan Kabupaten Bangka Selatan DKP Kabupaten Bangka Selatan, Toboali. 118 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan, Toboali. 66 hlm.

82 66 Djamin Z Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta : Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm. FAO Regional Guidelines for Responsible Fisheries in Southeast Asia. South Asian Fisheries Development Centre. 71 pp. Ferno A and Olsen S Marine Fish Behaviour and Abudance Estimation. Fishing News Books, England. 221 hal. Furevik DM Behaviour of Fish in Relation to Pots. In Ferno, A and S. Olsen, Editor. Marine Fish Behaviour in Capture and Abudance Estimation. Fishing News Books. 221 : Gray C, P Simanjuntak, KS Lien, PFL Maspaitella dan RCG Varley Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 328 hlm. Gunarso W Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Diktat Kuliah (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 149 hal. Haluan J dan TW Nurani Penerangan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai dengan dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Bulletin Jurusan PSP 2:3-16. Hamdan, DR Monintja, J Purwanto, S Budiharsono dan A Purbayanto Analisis Kebjakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Buletin PSP 15(3) : Hernanto F Ilmu Usaha Tani. Jakarta : Penebar Swadaya. 309 hlm. High WL, AJ Beardsley Fish Behaviour Studies From and Undersea Habitat. Comm. Fish Ref High WL, IE Ellis Underwater Observation of Fish Behaviour In Traps. Helgollander Wiss. Meeresunters IMAI Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Pedagangan dalam Perikanan Karang di Indonesia. International Marinelife Alliance Indonesia. Bogor. Iskandar MD. dan Diniah Modifikasi Bubu Dasar (Bottom traps) Untuk Menangkap Ikan Karang dan Ikan Demersal Lainnya di Teluk Pelabuhanratu, Sukabumi. Bulletin PSP 8 : 1. Hal Kadariah, L Karlina, C Gray Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hlm. Krebs, 1989, Ecological Methologi, Herpan and Bauw Publisher New York, Canbridge Philadelpla Sanfransisco.

83 67 Krouse JS Performance and Selectivity of Trap Fisheries for Crustaceans. Departement of Marine Resources West Woothbay Harbon, Maine. Marine Invertebrate Fisheries. Page Larger KF, JE Bardech, RR Miller and DRM. Possino Ichtiology. Second Edition. Ptinted in the United States Of America. 506 p. Martasuganda, S Bubu (Traps). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 69 hal. Mattjik, AA, dan I Made Sumertajaya Rancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. 282 hal. Matsuoka T Selectivity of Fishing Gear and Its Application for Sustainable Development of Fisheries. Kagoshima University. Japan : 31 pp. Mawardi MI Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu (traps) di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Skripsi (tidak dipublikaskan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 63 hal. Mawardi W Studi tentang Pengaruh Pemasangan leader net terhadap Hasil Tangkapan dan Tinjauan Tingkah Laku Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu Sayap di Teluk Belebuh, Lampung. Tesis (tidak dipublikaskan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal. Monintja DR Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Buletin PSP 1(2):4-25. Monintja DR., M F A Sondita, C Nasution, H R Barus, W Mawardi dan Zulkaril Studi alat tangkap ikan yang berwawasan lingkungan. Lembaga Penelitian IPB dan ARMP-II (tidak dipublikasikan), Badan Litban-Pertanian. 62 hal. Monintja DR, Sulaiman M Teknologi Sumberdaya Hayati Laut II. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hal. Munro JL, Reeson PH, Gant VC Dynamic Factors Affecting Performance of The Antilean Fish Traps. Proceeding. Gulf Caribb. Fish. Inst. 23 : Mursbahan A Perikanan Laut Indonesia. Ganesha. Bandung. 44 hal. Nasution HA Uji Coba Bubu Buton di Perairan Pulau Batanta, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua. Skripsi (tidak dipublikasikan). ). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hal. Nedelec C, and J Prodo Definition and Classification of Fishing Gear Categories. Rome : FAO. 235 pp.

84 68 Peristiwady T Ikan-Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Petunjuk Identifikasi. LIPI Press Anggota IKAPI. Purnama RH Hasil Tangkapan dari Bubu Kawat dan Bubu Lipat di Perairan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikaskan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Petunjuk Teknis Pemanfaatan dan Pengelolaan Beberapa Spesies Sumberdaya Ikan Demersal Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. 63 hal. Reppie E A Mathematical Study on Catching Mechanisme ofg Pot Fishery. Laboratory of Fisheries Resources Management System. Departemen of Marine of Science and Technology. Tokyo University of Fisheries. Tokyo. Riyanto M, A Purbayanto dan B Wiryawan Respon Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 16(1) : Rounsefelt, WH Everhart Fishery Science. John Willey and Sons Inc. New York. Pg Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Bina Cipta. Bogor. Sainsbury JC Comercial Fishing Methods. Fishing News Books Ltd. London. 199p. Sainsbury JC Commercial Fishing Methods an Introduction to Vessel and Gears. Third Edition. Fishing News Books Ltd. London. 354 p. Saputro GB dan NE Isa Sumber Daya Ikan Karang Perairan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.12(1) : Setiawan PAK Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Bambu dan Bubu Lipat di Perairan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikaskan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal. Subani W, Barus HR, Alat Penangkap Ikan Dan Udang Laut Di Indonesia (Fishing Gears for marine Fish and Shrimp in Indonesia). No.50 Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jumal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 248 hal. Sumertha IN dan D Soedharma Biota Laut dan Lingkungannya. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 35 hal.

85 69 Susanto A Pengoperasian Bubu dengan Umpan dan Konstruksi funnel Yang Berbeda: Pengaruhnya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Laut Dalam di Teluk Pelabuhanratu. Skripsi (tidak dipublikaskan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hal. Soeharto Studi Kelayakan Proyek Industri. Jakarta : Penerbit Erlangga. Sobari MP, Karyadi, Diniah Kajian aspek Bio-Teknik dan Finansial Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teri di Perairan Pamekasan Madura. Buletin Ekonomi Perikanan 6(3) : Steel RGD, Torrie JH Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Bionetric. Jakarta: Gramdia Pustaka Utama. 748 hal. Soekartawi Analisis Usaha Tani. Jakarta: Universitas Indonesia. UI-Press. 110 hlm. Sugiarto, T Herlambang, Brastoro, R Sudjana dan S Kelana Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 514 hlm. Suratman Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : J&J Learning. 264 hlm. Sutoyo Studi Kelayakan Proyek : Teori dan Praktek. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Terangi Panduan Dasar untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual. Indonesia. Indonesian Coral Reef Foundation (TERANGI). (Maret 2004). 24 hal. Tirtana S Selektivitas Ukuran Ikan Kakap (Lutjanus sp.) pada Bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gaps). Skripsi (tidak dipublikaskan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 60 hal. Tiyoso SJ Alat-alat Penangkapan Ikan yang Tak Memungkinkan Ikan Kembali (Non-Return Traps). Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 106 hal. Umar H Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 459 hlm. Urbinas MP Pengaruh Kedalaman dan Kontur Dasar Perairan terhadap Hasil Tangkapan Kakap Merah (Lutjanus malabaricus) dalam Pengoperasian Bubu di Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua. Tesis (tidak dipublikaskan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.79 hal. Von Brant A Fish Catching Methods of The World. Fishing News Books Ltd. Farnham Surrey, England. 166 p.

86 70 Widyaningsih S Model Pengembangan Perikanan Tangkap Kakap Merah di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascassarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hal. Wiryawan B, DG Bengen, I Yulianto, HA Susanto, AK Mahi dan M Ahmad Profil Sumberdaya Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. Penerbitan Khusu Proyek Pesisir, Coastal Resources Center- Rhode Island : University of Rhode Island. Narraganset, Rhode Island. 49 hal. Zarohman Hubungan Ukuran Kapal Ikan Daya Penggerak dan Alat Tangkap. Semarang : BPPI. 85 hlm.

87 Lampiran 1 Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan TESIS PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KETERANGAN : DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN BUBU KAWAT SUMBER RTRW KABUPATEN BANGKA SELATAN DAN HASIL PENELITIAN 2009

88 Lampiran 2 Peta daerah penangkapan ikan karang dengan bubu jaring di Kabupaten Bangka Selatan TESIS PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KETERANGAN : DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN BUBU JARING SUMBER RTRW KABUPATEN BANGKA SELATAN DAN HASIL PENELITIAN 2009

89 Lampiran 3 Peta penyebaran nelayan bubu kawat di Kabupaten Bangka Selatan TESIS PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KETERANGAN : PENYEBARAN NELAYAN BUBU KAWAT SUMBER RTRW KABUPATEN BANGKA SELATAN DAN HASIL PENELITIAN 2009

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1)

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1) 4 HASIL 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan daerah Kabupaten Bangka Selatan merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang resmi menjadi daerah otonom sejak tanggal 25 Februari

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Tempat penelitian dan pengambilan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Blanakan, Kabupaten Subang. 3.2 Alat

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA Ficka Andria Pratama *), Herry Boesono, dan Trisnani Dwi H. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data

3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Responden 3.5 Metode Pengumpulan Data 19 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian di lapangan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama 1 bulan,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL UNIT PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DI DESA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OKI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS FINANSIAL UNIT PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DI DESA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OKI PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2015, 7(1): 29-34 ANALISIS FINANSIAL UNIT PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DI DESA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OKI PROVINSI SUMATERA SELATAN FINANSIAL ANALYSIS OF DRIFT GILL NET IN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap Karakteristik merupakan satu hal yang sangat vital perannya bagi manusia, karena hanya dengan karakteristik kita dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal Ismail, Indradi 1, Dian Wijayanto 2, Taufik Yulianto 3 dan Suroto 4 Staf Pengajar

Lebih terperinci

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28 Jurnal perikanan dan kelautan 17,2 (2012): 28-35 ANALISIS USAHA ALAT TANGKAP GILLNET di PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PINTA PURBOWATI 141211133014 MINAT TIHP FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 2.1.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Pontianak adalah salah satu dari 12 daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Kalimantan Barat.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan selama 6 bulan dari Bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),

Lebih terperinci

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi keberhasilankzr ggpj, PENGARUH KEDALAMAN POSISI MATA PANCING

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2009, hlm 1 14 ISSN

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2009, hlm 1 14 ISSN Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2009, hlm 1 14 ISSN 0126-4265 Vol. 37. No.1 1 Berkala The Influence Perikanan Of Terubuk, Injection Februari Ovaprim 2009, hlm 86 92 Berkala Perikanan Terubuk Vol 37

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pancing Ulur Pancing Ulur (Gambar 2) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang sering digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Pancing Ulur termasuk

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Baskoro. M. S, Ronny. I.W, dan Arief Effendy Migrasi dan Distribusi Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 152 hal.

DAFTAR PUSTAKA. Baskoro. M. S, Ronny. I.W, dan Arief Effendy Migrasi dan Distribusi Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 152 hal. 61 DAFTAR PUSTAKA Anung, A. dan H.R. Barus. 2000. Pengaruh Jumlah Mulut, Jenis Umpan dan Lama Perendaman Bubu terhadap Hasil Tangkapan Ikan Demersal di Selat Sunda. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari semakin menginginkan pola hidup yang sehat, membuat adanya perbedaan dalam pola konsumsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

Lebih terperinci

THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE

THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE 1 THE FEASIBILITY ANALYSIS OF SEINE NET THE MOORING AT PORT OF BELAWAN NORTH SUMATRA PROVINCE By Esra Gerdalena 1), Zulkarnaini 2) and Hendrik 2) Email: esragerdalena23@gmail.com 1) Students of the Faculty

Lebih terperinci

KELAYAKAN USAHA PERIKANAN PAJEKO DI TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA

KELAYAKAN USAHA PERIKANAN PAJEKO DI TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA KELAYAKAN USAHA PERIKANAN PAJEKO DI TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA Feasibility effort of Fisheries, in North Halmahera Regency J Deni Tonoro 1, Mulyono S. Baskoro 2, Budhi H. Iskandar 2 Abstract The

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL PENANGKAPAN IKAN DENGAN ALAT TANGKAP DRIFT GILLNET DI KECAMATAN TOBOALI KABUPATEN BANGKA SELATAN BANGKA BELITUNG

ANALISIS FINANSIAL PENANGKAPAN IKAN DENGAN ALAT TANGKAP DRIFT GILLNET DI KECAMATAN TOBOALI KABUPATEN BANGKA SELATAN BANGKA BELITUNG MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):19-24 ANALISIS FINANSIAL PENANGKAPAN IKAN DENGAN ALAT TANGKAP DRIFT GILLNET DI KECAMATAN TOBOALI KABUPATEN BANGKA SELATAN BANGKA BELITUNG FINANCIAL ANALYSIS OF FISHING CAPTURE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDIDAYA JAMUR TIRAM DI PERUSAHAAN JAKA MAKMUR SEMARANG SKRIPSI. Oleh HAPOSAN IMMANUEL SORMIN

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDIDAYA JAMUR TIRAM DI PERUSAHAAN JAKA MAKMUR SEMARANG SKRIPSI. Oleh HAPOSAN IMMANUEL SORMIN ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDIDAYA JAMUR TIRAM DI PERUSAHAAN JAKA MAKMUR SEMARANG SKRIPSI Oleh HAPOSAN IMMANUEL SORMIN PROGRAM STUDI S1 AGRIBISNIS FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes Oleh: Muh. Ali Arsyad * dan Tasir Diterima: 0 Desember 008; Disetujui:

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN JENIS SHELTER YANG BERBEDA PADA BUBU DASAR TERHADAP HASILTANGKAPAN DI PERAIRAN KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

PENGARUH PENGGUNAAN JENIS SHELTER YANG BERBEDA PADA BUBU DASAR TERHADAP HASILTANGKAPAN DI PERAIRAN KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Jurnal Galung Tropika, 3 (2) Mei 2014, hlmn 1-7 ISSN 2302 4178 PENGARUH PENGGUNAAN JENIS SHELTER YANG BERBEDA PADA BUBU DASAR TERHADAP HASILTANGKAPAN DI PERAIRAN KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN THE INFLUENCE

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN DI PESISIR BARAT SELATAN PULAU KEI KECIL KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA

KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN DI PESISIR BARAT SELATAN PULAU KEI KECIL KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jurnal Galung Tropika, 3 (3) September 2014, hlmn. 127-131 ISSN 2302-4178 KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN DI PESISIR BARAT SELATAN PULAU KEI KECIL KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Fishing Activity In South West

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGEMBANGAN PEMBIBITAN (BREEDING)SAPI POTONG PADA PT LEMBU JANTAN PERKAS (LJP), SERANG, PROPINSI BANTEN

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGEMBANGAN PEMBIBITAN (BREEDING)SAPI POTONG PADA PT LEMBU JANTAN PERKAS (LJP), SERANG, PROPINSI BANTEN ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGEMBANGAN PEMBIBITAN (BREEDING)SAPI POTONG PADA PT LEMBU JANTAN PERKAS (LJP), SERANG, PROPINSI BANTEN Oleh: RONA PUTRIA A 14104687 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008). TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Perikanan Indonesia terletak di titik puncak ragam jenis ikan laut dari perairan tropis Indo-Pasifik yang merupakan sistem ekologi bumi terbesar yang terbentang dari pantai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Penelitian Usaha warnet sebetulnya tidak terlalu sulit untuk didirikan dan dikelola. Cukup membeli beberapa buah komputer kemudian menginstalnya dengan software,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pulau Nusa Penida Pulau Nusa Penida secara umum berada pada 155º30 00 dan 155º36 00 bujur timur dan -8º40 00 sampai -8º45 00 lintang selatan. Kecamatan nusa Penida

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Usaha pengembangan kerupuk Ichtiar merupakan suatu usaha yang didirikan dengan tujuan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Melihat dari adanya peluang

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan Penelitian 3.3 Metode Penelitian 3.4 Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan Penelitian 3.3 Metode Penelitian 3.4 Pengumpulan Data 13 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data lapang penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2011. Tempat penelitian berada di dua lokasi yaitu untuk kapal fiberglass di galangan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI. Oleh: NI WAYAN NARITA SUGAMA A

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI. Oleh: NI WAYAN NARITA SUGAMA A ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBENIHAN KERAPU KECAMATAN GEROKGAK, KABUPATEN BULELENG, BALI Oleh: NI WAYAN NARITA SUGAMA A14104079 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) PANCING Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata pancing (hook). Sedangkan bahan, ukuran tali

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DENGAN ALAT TANGKAP BUBU LIPAT (TRAPS) DI PERAIRAN TEGAL

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DENGAN ALAT TANGKAP BUBU LIPAT (TRAPS) DI PERAIRAN TEGAL ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DENGAN ALAT TANGKAP BUBU LIPAT (TRAPS) DI PERAIRAN TEGAL Shiffa Febyarandika Shalichaty, Abdul Kohar Mudzakir *), Abdul Rosyid

Lebih terperinci

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM Deka Berkah Sejati SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI BUNGA KRISAN DI DAUN HIJAU NURSERY KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI. Oleh : SALSABILA AYU BESTARI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI BUNGA KRISAN DI DAUN HIJAU NURSERY KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI. Oleh : SALSABILA AYU BESTARI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI BUNGA KRISAN DI DAUN HIJAU NURSERY KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Oleh : SALSABILA AYU BESTARI PROGRAM STUDI S1 AGRIBISNIS FAKULTAS PETERNAKAN DAN

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Lift Net & Traps Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa yg mengikuti materi ini

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SIBOLGA KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS USAHA PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SIBOLGA KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS USAHA PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SIBOLGA KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA THE ANALYSIS OF PURSE SEINE AT THE PORT OF SIBOLGA ARCHIPELAGO FISHERY TAPANULI REGENCY

Lebih terperinci