2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Curah Hujan"

Transkripsi

1 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Pontianak adalah salah satu dari 12 daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Kalimantan Barat. Secara geografis Kabupaten Pontianak terletak pada 0 44' Lintang Utara dan 1 00' Lintang Selatan, serta diantara ' Bujur Timur dan ' Bujur Timur. Secara administratif Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berbatasan dengan : Sebelah Utara Kabupaten Bengkayang Sebelah Selatan Kabupaten Ketapang Sebelah Barat Laut Natuna Sebelah Timur Kabupaten Landak Kabupaten Pontianak sampai dengan akhir tahun 2005 membawahi 16 kecamatan dengan luas wilayah 8.262,10 km 2 atau sekitar 5,63% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat. Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Batu Ampar dengan luas 2.002,70 km 2 atau sekitar 24,24% dari luas wilayah kabupaten. Sedangkan yang terkecil wilayahnya adalah Kecamatan Anjungan seluas 80,58 km 2 atau sekitar 0,98% dari luas wilayah kabupaten Curah Hujan Secara umum jumlah curah hujan Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 tercatat sebesar mm per tahun atau rata-rata sebesar 250 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi selama tahun 2005 terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 389 mm, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan April sebesar 154 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada Kecamatan Anjungan sebesar mm, sedangkan untuk curah hujan terendah terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebesar 735 mm. Jumlah hari hujan di Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 sebanyak 162 hari per tahun atau rata-rata 14 hari per bulan. Rata-rata hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebanyak 22 hari sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus sebanyak 9 hari. Apabila dilihat dari angka per kecamatan, diperoleh

2 7 hari hujan tertinggi pada tahun 2005 yakni berada di Kecamatan Sungai Kunyit sebanyak 207 hari, sedangkan untuk hari hujan terendah berada di Kecamatan Sungai Kakap sebanyak 65 hari Penduduk Penduduk Kabupaten Pontianak pada tahun 2005 berjumlah jiwa yang terdiri dari jiwa (51,16%) orang pria dan jiwa (48,84%) orang wanita. Bila dibandingkan dengan tahun 2004, dengan jumlah penduduk jiwa, berarti telah terjadi pertambahan penduduk sekitar 2,22 % atau adanya pertambahan penduduk pada tahun 2005 sebanyak jiwa. Penyebaran penduduk di Kabupaten Pontianak tidak merata sehingga akan dijumpai adanya kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan ada juga kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang sedang bahkan sedikit. Hal ini terjadi pada Kecamatan Sungai Raya yang memiliki jumlah penduduk hingga mencapai jiwa (satu-satunya kecamatan di Kabupaten Pontianak dengan jumlah penduduk di atas jiwa), dan beberapa kecamatan dengan jumlah penduduk antara jiwa seperti terjadi pada Kecamatan Sungai Kakap sebanyak jiwa, Sungai Ambawang ( jiwa) dan Mempawah Hilir ( jiwa). Selain itu tergambar pula kelompok kecamatan yang jarang/kecil jumlah penduduknya yaitu di bawah jiwa seperti pada Kecamatan Segedong ( jiwa), Teluk Pakedai ( jiwa), Anjungan ( jiwa) dan Terentang (7.928 jiwa). Jumlah penduduk di Kecamatan Sungai Raya yang lebih besar dibandingkan dengan kecamatan lainnya dapat dimaklumi karena letak kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kota Pontianak (yang menjadi ibukota Propinsi Kalimantan Barat) serta banyak dijumpai perusahaan industri kayu yang berkategori industri besar dan sedang yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2005 sex ratio (rasio jenis kelamin) di Kabupaten Pontianak sebesar 104,8 yang berarti tiap 100 penduduk perempuan terdapat 104 penduduk laki-laki. Kemudian luas wilayah kabupaten ini adalah 8.262,10 km 2 dengan kepadatan penduduknya 88 jiwa per km 2. Kecamatan yang terpadat penduduknya adalah Kecamatan Sungai Pinyuh dengan kepadatan 372 jiwa per km 2 dan yang terkecil kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Terentang (10 jiwa per km 2 ).

3 8 Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Pontianak periode tahun sebesar 1,96% per tahun, dimana data tersebut tidak termasuk penduduk tidak tetap. Angka ini lebih besar dari angka Propinsi Kalimantan Barat yaitu 1,56% dan angka nasional 1,35%. Jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya, yaitu tahun yang sebesar 2,55%, maka laju pertumbuhan penduduk per tahunnya mengalami penurunan yang berarti pertambahan penduduk tiap tahun periode tahun lebih kecil dibandingkan periode tahun Dari data penduduk menurut golongan umur dapat terlihat bahwa komposisi penduduk Kabupaten Pontianak masih didominasi oleh penduduk usia muda (0-14 tahun), baik penduduk laki-laki maupun perempuan, yang berarti angka beban ketergantungan (Dependency Ratio) masih besar, yaitu 61,12. Sedangkan untuk golongan umur yang paling banyak penduduknya ada pada golongan umur 5 9 tahun, dan yang paling sedikit adalah pada golongan umur di atas 75 tahun Pendidikan Dalam upaya mengimbangi pertambahan penduduk khususnya usia sekolah maka salah satu usaha pemerintah maupun swasta di bidang pendidikan adalah menyediakan berbagai sarana fisik dan pengadaan tenaga guru yang memadai, hal ini dilaksanakan guna mencapai tahap mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada tahun 2005 terdapat beberapa jenjang sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak mengalami penambahan dari tahun sebelumnya antara lain: SD Negeri dari 477 sekolah menjadi 478 sekolah, SD Swasta dari 15 sekolah menjadi 19 sekolah, SMP Negeri dari 44 sekolah menjadi 51 sekolah. SLTP Swasta 43 sekolah menjadi 45 sekolah. Sementara itu SMA Negeri dari 14 sekolah menjadi 15 sekolah, SMA Swasta dari 20 sekolah menjadi 24 sekolah, SMK Negeri dari 3 sekolah menjadi 4 sekolah, SMK Swasta tidak ada penambahan. Hingga tahun 2005 Kabupaten Pontianak belum memiliki SMP Kejuruan, dari jumlah SMP sebanyak 96 buah semuanya SMP Umum. Untuk jumlah SLTA seluruh sebanyak 54 sekolah diantaranya SMK 15 buah (27,78%), dan SMA sebanyak 39 buah (72,22%).

4 Kondisi Perikanan Tangkap Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak yang tercatat pada periode mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar ,4 ton menjadi ,7 ton pada tahun 1993 (naik 1,83%), seperti terlihat pada Gambar 2. Namun nilai produksi perikanan laut tersebut meningkat terus setiap tahunnya, hal ini menggambarkan bahwa produksi ikan mengalami turun naik di lain pihak harga ikan terus meningkat. Seperti terjadi pada periode nilai produksi ikan laut mengalami kenaikan setiap tahun, tetapi pada periode mengalami penurunan, meningkat lagi pada periode dan mengalami penurunan kembali pada periode Produksi (ton) Tahun Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak (2006) Gambar 2 Produksi perikanan laut di Kabupaten Pontianak Periode Demikian pula halnya terjadi pada produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak periode yang mengalami fluktuasi produksi turun naik, seperti terjadi pada produksi perikanan tahun 1992 sebesar 573,60 ton meningkat menjadi 679,70 ton (naik 18,50%) pada tahun 1993, seperti terlihat pada Gambar

5 10 Produksi (ton) 800,0 700,0 600,0 500,0 400,0 300,0 200,0 100,0 0, Tahun Sumber: BAPPEDA Kabupaten Pontianak (2006) Gambar 3 Produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Pontianak Periode Selain data produksi perikanan laut dan perikanan perairan umum, berikut disajikan pula data-data lain yang berhubungan dengan bidang perikanan di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak, meliputi jumlah RTP (Tabel 1), jumlah trip (Tabel 2) dan perbanding jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut (Tabel 3) dan perikanan perairan umum (Tabel 4). Tabel 1 Jumlah RTP di Kabupaten Pontianak tahun 2005 No Uraian Jumlah 1 RTP perikanan tangkap di laut RTP perikanan tangkap di perairan umum Jumlah perahu/kapal motor di laut Jumlah perahu/kapal motor di perairan umum Jumlah unit alat tangkap di laut Jumlah unit alat tangkap di perairan umum Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006) Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah perahu/kapal motor di Laut dan di perairan umum lebih besar dari jumlah RTP perikanan tangkap (laut dan perairan umum), hal ini berarti bahwa RTP perikanan tangkap di laut dan di perairan umum memiliki perahu/kapal motor lebih dari satu. Hal tersebut dapat

6 11 terjadi disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap di laut dan di perairan umum merupakan alternatif untuk berusaha yang memberikan keuntungan. Tabel 2 Perbandingan jumlah trip perahu/kapal motor laut di Kabupaten Pontianak tahun 2004 dan 2005 No Perahu/Kapal Motor Jumlah Trip Keterangan 1 Perahu/Kapal tanpa motor a Jukung ,26% (naik) b Perahu Papan Kecil ,23% (naik) c Perahu Papan Sedang ,81% (naik) d Perahu Papan Besar ,11% (naik) 2 Motor Tempel ,63% (naik) 3 Perahu/Kapal Motor a 0-5 GT ,07% (turun) b 5-10 GT ,69% (turun) c GT ,12% (turun) Jumlah ,36% (turun) Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006) Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah trip pada tahun 2005 menurun sebesar 2,36% dari tahun Kenaikan trip pada tahun 2005 terjadi pada seluruh perahu/kapal tanpa motor dan motor tempel, terbanyak terjadi pada perahu papan besar sebesar 31,11%, sedangkan pada perahu/kapal motor terjadi penurunan secara keseluruhan, yang terbanyak terjadi pada perahu/kapal motor ukuran GT sebesar 47,12%. Hal ini disebabkan pada pertengahan tahun 2005 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai 100%, sehingga mengakibatkan biaya operasional meningkat, terutama bagi nelayan kapal motor berukuran GT, yang menggunakan alat tangkap pukat tarik untuk udang, sehingga produksi udang (Tabel 3) menurun sebesar 34,34%.

7 12 Tabel 3 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan laut menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun No Jenis Alat Tangkap Produksi (ton) Nilai (000) Produksi (ton) Nilai (000) 1 Pukat Tarik Udang 7.031, , , ,0 2 Payang/Pukat Bawal 98, ,0 79, ,0 3 Jaring Insang Hanyut 6.262, , , ,0 4 Jaring Insang Tetap 775, ,0 852, ,0 5 Jaring Tiga Lapis 403, ,0 427, ,0 6 Bgn. Tancap/Kelong 191, ,0 151, ,0 7 Rawai Hanyut 451, ,0 397, ,0 8 Rawai Tetap 262, ,0 295, ,0 9 Sero/Belat 59, ,0 71, ,0 10 Jermal 3.767, , , ,0 11 Bubu Ikan Merah 103, ,0 108, ,0 12 Togo/Ambai 435, ,0 449, ,0 13 Alat Kepiting 107, ,0 100, ,0 Jumlah , , , ,0 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006) Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi perikanan pada tahun 2005 dari tahun 2004 sebesar 16,59%, diikuti pula dengan penurunan nilai sebesar 5,74%. Penurunan produksi dan nilai tersebut terjadi pada perikanan Pukat Tarik Udang yang menggunakan kapal motor ukuran GT, disebabkan oleh kenaikan harga BBM pada pertengahan tahun 2005.

8 13 Tabel 4 Perbandingan jumlah produksi beserta nilainya pada perikanan perairan umum menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Pontianak tahun No Jenis Alat tangkap Produksi (ton) Tahun 2004 Tahun 2005 Nilai (000) Produksi (ton) Nilai (000) 1 Jaring insang tetap 252, ,0 248, ,0 2 Rawai 97, ,0 79, ,0 3 Pancing 58, ,0 58, ,0 4 Sero / Belat 80, ,0 93, ,0 5 Bubu Ikan 2, ,0 3, ,0 6 Jala Tebar 7, ,0 41, ,0 7 Rompong 53, ,0 59, ,0 Jumlah 583, ,0 583, ,0 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan (2006) Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jumlah produksi beserta nilainya pada kegiatan perikanan di perairan umum cukup stabil, tidak terjadi kenaikan atau penurunan yang drastis. Kenaikan harga BBM sebesar 100% pada pertengahan tahun 2005 tidak berpengaruh terhadap kegiatan perikanan di perairan umum. Hal ini disebabkan karena jarak fishing ground di perairan umum lebih kecil/pendek daripada jarak fishing ground di laut. 2.2 Deskripsi Ikan Morfologi Kakap Merah Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga genus yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya disebut kakap merah, dan jenis lainnya yaitu Lates calcarifer yang termasuk suku Latidae umumnya disebut kakap putih dan Lobotos surinamensis yang termasuk suku Lobotidae disebut kakap batu (Hutomo et al. 1986). Ikan kakap merah keluarga Lutjanidae mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Saanin, 1984) :

9 14 Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Perciodea Famili : Lutjanidae Sub famili : Lutjanidae Genus : Lutjanus Spesies : Lutjanus sp. Gambar 4 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.). Ciri-ciri kakap merah (Lutjanus sp.) mempunyai tubuh yang memanjang dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung atau sedikit cekung. Jenis ikan ini umumnya bermulut lebar dan agak menjorok ke muka, gigi konikel pada taring-taringnya tersusun dalam satu atau dua baris dengan serangkaian gigi caninnya yang berada pada bagian depan. Ikan ini mengalami pembesaran dengan bentuk segitiga maupun bentuk V dengan atau tanpa penambahan pada bagian ujung maupun penajaman. Bagian bawah pra penutup insang bergerigi dengan ujung berbentuk tonjolan yang tajam. Sirip punggung dan sirip duburnya terdiri dari jari-jari keras dan jari-jari lunak. Sirip punggung umumnya berkesinambungan dan berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak. Batas belakang ekornya agak cekung dengan kedua ujung sedikit tumpul. Warna sangat bervariasi, mulai dari yang kemerahan, kekuningan, kelabu hingga kecoklatan. Ada yang

10 15 mempunyai garis-garis berwarna gelap dan terkadang dijumpai adanya bercak kehitaman pada sisi tubuh sebelah atas tepat di bawah awal sirip punggung berjari lunak. Pada umumnya berukuran panjang antara cm, walaupun tidak jarang mencapai 90 cm (Gunarso, 1995). Ikan kakap merah menerima berbagai informasi mengenai keadaan sekelilingnya melalui beberapa inderanya, seperti melalui indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis dan sebagainya Makanan dan Kebiasaan Makan Menurut Effendi (1997), makanan merupakan faktor pengendali yang penting dalam menghasilkan sejumlah ikan disuatu perairan, karena merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan. Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky, 1963) Menurut Moyle dan Chech (1988), ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja. Menurut Effendi (1997), kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Effendi (1997) menambahkan bahwa faktorfaktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis oeganisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu. Jenis ikan kakap merah umumnya termasuk ikan buas, karena pada umumnya merupakan predator yang senantiasa aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal). Aktivitas ikan nokturnal tidak seaktif ikan diurnal (siang hari).

11 16 Gerakkannya lambat, cenderung diam dan arah geraknya tidak dilengkapi area yang luas dibandingkan ikan diurnal. Diduga ikan nokturnal lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman dibandingkan indera penglihatannya. Bola mata yang besar menunjukkan ikan nokturnal menggunakan indera penglihatannya untuk ambang batas intensitas cahaya tertentu, tetapi tidak untuk intesitas cahaya yang kuat (Iskandar dan Mawardi, 1997). Ikan kakap merah lebih suka memangsa jenis-jenis ikan. Adapun mangsa lain berupa jenis kepiting, udang, jenis crustacea, gastropoda serta berbagai jenis plankton utamanya urochordata. Umumnya kakap merah yang berukuran besar, baik panjang maupun tinggi tubuhnya, memangsa jenis-jenis ikan maupun invertebrata berukuran besar yang ada di dekat permukaan di perairan karang. Jenis kakap merah ini biasanya menghuni perairan pantai berkarang hingga kedalaman 100 meter, hidup soliter dan tidak termasuk jenis ikan yang berkelompok. Mereka umumnya dilengkapi dengan gigi kanin yang merupakan adaptasi sehubungan dengan tingkah laku makannya, agar mangsa tidak mudah lepas. Ikan dewasa umumnya berwarna merah darah pada punggungnya dan berwarna putih pada bagian perutnya (Gunarso, 1995) Sifat Hidup dan Pemijahan Ikan kakap merah tergolong diecious yaitu ikan ini terpisah antara jantan dan betinanya. Hampir tidak dijumpai seksual dimorfisme atau beda nyata antara jenis jantan dan betina baik dalam hal struktur tubuh maupun dalam hal warna. Pola reproduksinya gonokorisme, yaitu setelah terjadi diferensiasi jenis kelamin, maka jenis seksnya akan berlangsung selama hidupnya, jantan sebagai jantan dan betina sebagai betina. Jenis ikan ini rata-rata mencapai tingkat pendewasaan pertama saat panjang tubuhnya telah mencapai 41 51% dari panjang tubuh total atau panjang tubuh maksimum. Jantan mengalami matang kelamin pada ukuran yang lebih kecil dari betinanya. Kelompok ikan yang siap memijah, biasanya terdiri dari sepuluh ekor atau lebih, akan muncul ke permukaan pada waktu senja atau malam hari di bulan Agustus dengan suhu air berkisar antara 22,2 25,2ºC. Ikan kakap jantan yang mengambil inisiatif berlangsungnya pemijahan yang diawali dengan menyentuh dan menggesek-gesekkan tubuh mereka pada salah

12 17 seekor betinanya. Setelah itu baru ikan-ikan lain ikut bergabung, mereka berputarputar membentuk spiral sambil melepas gamet sedikit di bawah permukaan air. Secara umum ikan kakap merah yang berukuran besar akan bertambah pula umur maksimumnya dibandingkan yang berukuran kecil. Ikan kakap merah yang berukuran besar akan mampu mencapai umur maksimum berkisar antara tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal hingga kedalaman meter (Gunarso, 1995) Habitat dan Penyebaran Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) umumnya menghuni daerah perairan karang ke daerah pasang surut di muara, bahkan beberapa spesies cenderung menembus sampai ke perairan tawar. Jenis kakap merah berukuran besar umumnya membentuk gerombolan yang tidak begitu besar dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam daripada jenis yang berukuran kecil. Selain itu biasanya kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas ppt serta suhu antara 5-32ºC (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, 1991). Jenis yang berukuran kecil seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan karang pada waktu siang hari. Pada malam hari umumnya menyebar guna mencari makanannya baik berupa jenis ikan maupun crustacea. Ikan-ikan berukuran kecil untuk beberapa jenis ikan kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Potensi ikan kakap merah jarang ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan lingkungan yang beragam mulai dari perairan dangkal, muara sungai, hutan bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang atau batu karang. Famili Lutjanidae utamanya menghuni perairan tropis maupun sub tropis, walau tiga dari genus Lutjanus ada yang hidup di air tawar (Baskoro et al. 2004). Penyebaran kakap merah di Indonesia sangat luas dan hampir menghuni seluruh perairan pantai Indonesia. Penyebaran kakap merah arah ke utara mencapai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan serta Filipina. Penyebaran arah ke selatan mencapai perairan tropis Australia, arah ke barat hingga Arfika Selatan dan perairan tropis Atlantik Amerika, sedangkan arah ke

13 18 Timur mencapai pulau-pulau di Samudera Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan, 1983 dalam Baskoro et al. 2004). Menurut Djamal dan Marzuki (1992), daerah penyebaran kakap merah hampir di seluruh Perairan Laut Jawa, mulai dari Perairan Bawean, Kepulauan Karimun Jawa, Selat Sunda, Selatan Jawa, Timur dan Barat Kalimantan, Perairan Sulawesi, Kepulauan Riau. Untuk lebih lengkapnya penyebaran dan daerah penangkapan kakap merah di Indonesia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Penyebaran kakap merah di Perairan Indonesia Perairan Daerah penyebaran Daerah penangkapan utama Sumatera Seluruh perairan Sebagian perairan Aceh, terutama bagian utara dan barat, sebagian pantai timur Sumatra barat, sekitar Bengkalis, Bangka dan Belitung, pantai barat Sumatra Utara, pantai Sumatra Barat, Bengkulu dan pantai timur Lampung Jawa dan Nusa Tenggara Kalimantan dan Sulawesi Maluku dan Irian Jaya Seluruh perairan Seluruh perairan kecuali laut dalam Seluruh perairan Selat Sunda bagian timur, sekitar Cirebon, perairan utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Karimun Jawa, Utara Madura, Ujung Kulon, Cilacap, Nusa Barung, sekitar selat Lombok, perairan Sumbawa, Flores Timur dan pulau Rote Lepas pantai Kalimantan Barat, sebagian besar pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, perairan sekitar Samarinda, perairan sedikit di luar teluk Palu berikut lepas pantainya Perairan di luar antara Buru-Seram, perairan teluk Bintuni, teluk Cendrawasih, di luar pantai bagian tengah dan selatan Laut Banda Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (1991) 2.3 Alat Tangkap Perangkap (Traps) Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Alat ini bersifat pasif menunggu ikan/hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Pemasangannya berdasarkan

14 19 pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso, 1985). Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar. Selanjutnya Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen) dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap), dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Martasuganda (2003) mengatakan proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya : 1) Tertarik bau umpan; 2) Dipakai untuk berlindung; 3) Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan 4) Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi Alat Tangkap Bubu (Pots) Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah, 1999). Menurut Von Brant (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok alat perangkap (traps). IMAI (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikanikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring).

15 20 Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasa terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1989). Bubu kakap merah yang digunakan selama penelitian di Mempwah Hilir terlihat pada Gambar 5, dimensi kedua jenis bubu dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh nelayan di Mempawah Hilir pada saat pengoperasian bubu kakap. Posisi peletakan bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan menggunakan alat bantu GPS (Global Position System) sehingga hanya nelayan tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh kapal. Gambar 5 Bubu bambu (kiri) dan bubu jaring (kanan) yang digunakan Pengoperasian Bubu Kakap Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps; dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps.

16 21 Sumertha dan Soedharma (1975) menjelaskan bahwa penyebaran hidup biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Puslitkan, 1991), kakap merah (Lutjanus sanguineus) cenderung membentuk gerombolan dengan ukuran yang berbeda untuk kedalaman perairan yang berbeda. Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan (1977) menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan musuhnya. Larger et. al. (1977) menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung. Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso (1979) terjadi karena : 1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; 2) Keragaman ikan di dalam populasi; 3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap. 2.4 Teknik Penangkapan yang Diterapkan Di Kabupaten Pontianak, ikan kakap merah ditangkap dengan bubu, rawai hanyut dan rawai tetap. Salah satu kecamatan di Kabupaten Pontianak yang menangkap ikan kakap merah adalah Kecamatan Mempawah Hilir dengan menggunakan bubu, baik bubu bambu maupun bubu jaring. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu (single trap). Daerah penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang. Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996).

17 22 Bubu dan jaring penghalang (barrier net) adalah jenis-jenis alat tangkap yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak ditinggalkan sejak digunakannya sianida (pada perikanan karang) dan pukat harimau (pada perikanan laut dalam) yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat (Widyaningsih, 2004). 2.5 Capaian Penelitian Bubu sebelumnya Penelitian tentang perikanan bubu telah banyak dilakukan hingga saat ini, antara lain mengenai: 1) Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi, 1998). Pada penelitian ini menunjukkan hasil tangkapan bubu sayap dengan Leader net (DL) dan bubu sayap tanpa Leader net (TL) berbeda nyata. Demikian pula hasil tangkapan bubu sayap (DL) siang dan bubu sayap (TL) malam hari berbeda nyata. Berbeda dengan hasil tangkapan bubu sayap (TL) tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang berbeda nyata antara siang dan malam. Hasil rekaman tingkah laku ikan didapatkan proses dan kuantitas ikan pada saat mendekati dan menjauhi mulut bubu, ikan yang masuk kedalam bubu dan yang berhasil meloloskan diri serta menjauhi bubu. 2) Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengoperasian bubu (Urbinas, 2004). Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat trend kedalaman bahwa semakin dalam perairan, hasil tangkapan semakin tinggi atau sebaliknya semakin dangkal perairan, hasil tangkapan semakin sedikit. Kakap merah lebih banyak tertangkap pada kedalaman 109,6-123,6 m, 53,2-67,2 m, 67,3-81,3 m, 137,8-151,8 m dan 39,1-53,1 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit. Selain itu, ikan kakap merah memiliki pola penyebaran yang tinggi pada kedalaman 33,1-81,3 m dan 109,6-151,8 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit, sedangkan pola penyebaran rendah terjadi pada kedalaman 81,4-109,5 m dengan kontur dasar perairan yang landai.

18 23 3) Perbandingan hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat (Setiawan, 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat lebih efektif untuk menangkap jenis crustacea. 4) Hasil tangkapan dari bubu kawat dan bubu lipat (Purnama, 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu kawat dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat dapat digunakan sebagai pengganti bubu kawat dan lebih efektif dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan maupun biota lainnya. 5) dan lain-lain. 2.6 Analisis Kriteria Investasi Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali maupun perluasan proyek. Tujuan utama yaitu memperoleh manfaat keuangan atau non keuangan yang layak dikemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh orang perorangan, swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000). Hasil perhitungan kreteria investasi merupakan indikator dari modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit yang diterima dengan total biaya yang dikeluarkan dalam bentuk present value selama umur ekonomis proyek. Apabila hasil perhitungan telah menunjukkan feasible (layak), pelaksanaannya akan jarang mengalami kegagalan. Kegagalan hanya terjadi karena faktor-faktor uncontrolable seperti banjir, gempa bumu, perubahan peraturan pemerintah, di samping data yang digunakan tidak relevan (Ibrahim, 1998). Ibrahim (1998) menambahkan, perkiraan benefit (cash in flows) dan perkiraan cost (cast out flows) yang menggambarkan tentang posisi keuangan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai alat kontrol dalam pengendalian biaya untuk memudahkan dalam mencapai tujuan usaha/proyek. Di pihak lain, dengan adanya hasil perhitungan kreterian investasi, penanam modal dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah modal yang ditanam lebih baik pada proyek atau lembaga keuangan seperti bank dan lain sebagainya.

19 24 Hasil analisis kreteria investasi dinyatakan diterima dalam pengertian studi kelayakan bisnis adalah feasible untuk dilaksanakan dan dikembangkan karena dapat menghasilkan benefit dilihat dari segi financial benefit sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam studi kelayakan. Dalam pengertian evaluasi proyek, feasible adalah memberikan indikasi bahwa proyek tersebut telah masuk dalam urutan prioritas untuk dikerjakan karena proyek tersebut layak, sesuai dengan analisis proyek. Pelaksanaan proyek sangat tergantung pada kemampuan investasi yang tersedia (Ibrahim, 1998). Untuk mencari suatu ukuran menyeluruh mengenai baik tidaknya suatu proyek, maka di kenal kreteria Invesment Creteria atau kreteria investasi. Kreteria ini pada hakekatnya untuk mengukur hubungan antara manfaat dan biaya proyek. Kreteria investasi yang sering digunakan dalam menilai kelayakan proyek adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Average Rate of Return (ARR), Payback Period (PP), Net Benefit Cost Ratio (R/C Ratio) dan Return- Cost Ratio (R/C Ratio).

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan kakap (Lutjanus sp.)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan kakap (Lutjanus sp.) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Kakap (Lutjanus sp.) Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga genus yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan sumberdaya alam yang sering dijadikan objek atau target terakhir dari suatu proses pemanfaatan sumberdaya hayati akuatik. Ikan juga merupakan organisme

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Geografis Kabupaten Kubu Raya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 84 meter diatas permukaan laut. Lokasi Kabupaten Kubu Raya terletak pada posisi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Anatomi Ikan Kakap Merah. Ikan kakap merah ( Lutjanus sp.) mempunyai ciri tubuh yang memanjang dan

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Anatomi Ikan Kakap Merah. Ikan kakap merah ( Lutjanus sp.) mempunyai ciri tubuh yang memanjang dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kakap Merah 2.1.1 Morfologi dan Anatomi Ikan Kakap Merah Ikan kakap merah ( Lutjanus sp.) mempunyai ciri tubuh yang memanjang dan melebar, gepeng atau lonjong, kepala cembung

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER

PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER PERIKANAN BUBU DASAR DI KABUPATEN BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG JUSTIAR NOER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN

HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN The Relationship Between Bait Type Hook Size and Catch

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis Oleh: Ririn Irnawati Sub Bahasan: a. TLI terhadap jaring insang b. TLI terhadap pancing c. TLI terhadap perangkap d. TLI terhadap set net Jaring Insang (Gillnet)

Lebih terperinci

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) UPAYA, LAJU TANGKAP, DAN ANALISIS USAHA PENANGKAPAN UDANG PEPEH (Metapenaeus ensis) DENGAN TUGUK BARIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) PANCING Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata pancing (hook). Sedangkan bahan, ukuran tali

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek

Lebih terperinci

rovinsi alam ngka 2011

rovinsi alam ngka 2011 Buku Statistik P D A rovinsi alam ngka 2011 Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012 1 2 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Statistilk Provinsi Dalam Angka Provinsi Aceh... 1

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

PENANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp.) DI KABUPATEN KUPANG PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR ESTHER AFANIA ATAUPAH

PENANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp.) DI KABUPATEN KUPANG PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR ESTHER AFANIA ATAUPAH PENANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp.) DI KABUPATEN KUPANG PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR ESTHER AFANIA ATAUPAH MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PINTA PURBOWATI 141211133014 MINAT TIHP FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

Penggunaan rumpon dalam penangkapan ikan karang masih sangat jarang dan hanya masih pada taraf uji coba penangkapan melalui penelitian.

Penggunaan rumpon dalam penangkapan ikan karang masih sangat jarang dan hanya masih pada taraf uji coba penangkapan melalui penelitian. 6 PEMBAHASAN UMUM Terumbu karang termasuk salah satu ekosistem di daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya adalah ikan karang. Ikan karang berinteraksi dengan ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP 52 STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP Arif Mahdiana dan Laurensia SP. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik Unsoed Email : arifmahdiana@gmail.com

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Alat tangkap jaring insang hanyut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Alat tangkap jaring insang hanyut 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Menurut Martasuganda (2002) jaring insang (gillnet) adalah jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN BUPATI JEMBRANA,

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari   ABSTRAK EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU Oleh T Ersti Yulika Sari Email: nonnysaleh2010@hotmail.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha perikanan tangkap yang layak untuk

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan RUAYA IKAN Ruaya merupakan satu mata rantai daur hidup bagi ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi keberlangsungan suatu tahapan kehidupan ikan. Studi mengenai ruaya ikan menurut

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Tobelo 4.1.1 Kondisi kewilayahan Kecamatan Tobelo 1) Letak geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak pada posisi koordinat 0 o 40

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN aa 16 a aa a 4.1 Keadaan Geografis dan Topografis Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107 52' 108 36' BT dan 6 15' 6 40' LS. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008). TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Perikanan Indonesia terletak di titik puncak ragam jenis ikan laut dari perairan tropis Indo-Pasifik yang merupakan sistem ekologi bumi terbesar yang terbentang dari pantai

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Hasil Penelitian 4... Keadaan umurn perairan Secara geografis Perairan Pulau Mampu berada di sebelah Barat Laut perairan Dumai dan perairan ini terletak pada titik koordinat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci