KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI"

Transkripsi

1 KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In Vitro pada Sapi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Alvien Nur Aini NIM B

4 RINGKASAN ALVIEN NUR AINI. Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In Vitro pada Sapi. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA. Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan fertilisasi dan perkembangan awal embrio sapi yang diproduksi secara in vitro menggunakan spermatozoa sexing. Proses sexing spermatozoa dilakukan menggunakan gradien bovine serum albumin (BSA) yang diproduksi oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Oosit sapi dikoleksi dari ovarium menggunakan teknik pencacahan dan pembilasan (slicing dan flushing). Oosit yang digunakan dalam penelitian adalah oosit yang mempunyai sitoplasma yang homogen serta sel kumulus yang kompak. Oosit dimaturasi pada medium tissue culture medium (TCM) 199 yang disuplementasi dengan 10 IU/ml pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG), 10 IU/ml human chorionic gonadotropin (hcg) dan 10% fetal bovine serum (FBS) selama 24 jam dalam inkubator 5% CO 2 dan suhu 39 o C. Fertilisasi dilakukan menggunakan tiga jenis spermatozoa (X, Y dan spermatozoa tanpa proses sexing sebagai Kontrol) selama 14 jam dengan konsentrasi akhir 2x10 6 spermatozoa/ml. Kultur embrio dilakukan selama 96 jam menggunakan medium synthetic oviductal fluid (SOF) yang disuplementasi dengan asam amino esensial dan non esensial serta 0,3% bovine serum albumin (BSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan fertilisasi pada perlakuan X dan Y tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dibandingkan Kontrol dengan persentase masing-masing yaitu 49,1%, 51,4% dan 53,4%. Tingkat pembelahan embrio juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada perlakuan X, Y dan Kontrol dengan persentase masingmasing 47,7%, 48,2% dan 54,4%. Hanya sedikit embrio yang mampu melewati pembelahan lebih dari stadium 8 sel (23,8%, 26,0% dan 23,6%) pada spermatozoa X, Y dan Kontrol yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa spermatozoa sexing hasil pemisahan gradien BSA mempunyai kemampuan fertilisasi dan mendukung perkembangan awal embrio in vitro yang sama dengan spermatozoa unsexing. Kata kunci: embrio, in vitro, pemisahan, spermatozoa, sapi

5 SUMMARY ALVIEN NUR AINI. Fertilization Ability of Sexed Spermatozoa and Early Bovine Embryonic Development In Vitro. Supervised by MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA. The aim of this study was to evaluate the fertilization ability and early development bovine embryo produced in vitro with sexed sperm. Sexed sperm sorted by bovine serum albumin (BSA) gradient was produced by Center For Artificial Insemination Lembang, Bandung. Oocytes were collected from ovarium by flushing and slicing technique. Only oocytes with homogenous cytoplasm and intact cumullus cells were used in this study. Oocytes were matured in tissue culture medium (TCM) 199 supplemented with 10 IU/ml pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG), 10 IU/ml human chorionic gonadotropin (hcg) and 10% fetal bovine serum (FBS) for 24 h in 5% CO 2 incubator 39 o C. Oocytes were fertilized with three different spermatozoa (X,Y and unsexing spermatozoa as control) for 14 h with final concentration 2x10 6 spermatozoa/ml. Embryos were then cultured in synthetic oviductal fluid (SOF) supplemented with essential and non essential amino acid and 0,3% bovine serum albumin (BSA) for 96 h. Results of the study revealed that fertilization ability was not significant difference among the gruop (49,1%, 51,4% and 53,4%) for X, Y and control group, respectively (P>0,05). No significant difference (P>0,05) in the number of embryos development (47,7%, 48,2%, 54,4%) for X, Y and control group, respectively. Only small number of embryos in X, Y and control group could better develop reach more than 8 cells (23,8%, 26,0%, 23,6%), however it was not significant difference among the group (P>0,05). It is concluded that sexed spermatozoa separated by BSA gradient column which is able to support fertilization and early embryonic development produced in vitro that is the same as unsexing spermatozoa. Key words: bovine, embryo, in vitro, sexing, spermatozoa

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KEMAMPUAN FERTILISASI SPERMATOZOA SEXING DAN PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SECARA IN VITRO PADA SAPI ALVIEN NUR AINI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Drh Iman Supriatna

9

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tesis ini mengemukakan tentang kemampuan fertilisasi spermatozoa sapi sexing yang dipisahkan melalui metode gradien bovine serum albumin (BSA) serta kemampuannya mendukung perkembangan awal embrio in vitro. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi dan drh Ni Wayan Kurniani Karja MP, PhD sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing atas nasehat, arahan, koreksi, perhatian dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dengan baik. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Prof Dr drh Iman Supriatna selaku penguji luar komisi atas saran yang diberikan sehingga dapat memperkaya dan menyempurnakan substansi penulisan tesis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Program Fresh Graduate Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Tahun Anggaran Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan yang telah memberikan dukungan dana penelitian melalui Program Beasiswa Tesis dan Disertasi Periode II Tahun Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Mahriani, M.Si selaku Dosen Pembimbing di Universitas Jember atas segala doa, bimbingan, nasehat serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak Kotamadya Bogor atas penyediaan materi penelitian. Kepada Sdri. Magfira, Sdri. Yuli Danofa dan Gusti Agung P, penulis ucapkan terima kasih atas kontribusinya dalam penelitian ini. Kepada teman-teman Program Studi Biologi Reproduksi, penulis ucapkan terima kasih atas segala doa dan kerjasama yang terjalin dengan baik serta ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Ungkapan terima kasih mendalam disampaikan pula kepada Bapak, Ibu, Adik serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang serta dukungan moril dan materil yang tak hentinya diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Desember 2016 Alvien Nur Aini

11 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Kerangka Pemikiran 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Metode Sexing Spermatozoa 3 Mekanisme Fertilisasi 4 Perkembangan Embrio In Vitro 6 Bovine Serum Albumin (BSA) 7 3 BAHAN DAN METODE 8 Waktu dan Tempat Penelitian 8 Metode Penelitian 8 Penelitian I. Kemampuan Fertilisasi In Vitro Spermatozoa Sexing 8 Proses Sexing Spermatozoa Menggunakan Teknik Gradien BSA 8 Seleksi dan Maturasi Oosit In Vitro 9 Fertilisasi Oosit In Vitro 9 Evaluasi Tingkat Kemampuan Fertilisasi In Vitro 9 Penelitian II. Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro Menggunakan Spermatozoa Sexing 10 Seleksi, Maturasi dan Fertilisasi Oosit In Vitro 10 Kultur Embrio In Vitro 10 Evaluasi Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro 10 Analisa Data 10 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Hasil 11 Pembahasan 14 5 SIMPULAN DAN SARAN 17 DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN 22 RIWAYAT HIDUP 26 vi vi vi

12 DAFTAR TABEL 1 Kualitas spermatozoa sapi sexing dan unsexing post thawing 11 2 Tingkat fertilisasi oosit in vitro menggunakan spermatozoa sexing 12 3 Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio sapi yang diamati secara morfologi pada hari kedua kultur in vitro 13 4 Tingkat perkembangan embrio sapi yang diamati secara morfologi dan pewarnaan pada hari keempat kultur in vitro 14 5 Rekapitulasi persentase embrio yang berhasil melewati blokade perkembangan 14 DAFTAR GAMBAR 1 Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa pada mekanisme fertilisasi 5 2 Pembentukan pronukleus (PN) 12 3 Embrio sapi tahap 2-32 sel yang diproduksi secara in vitro 13 DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi medium transportasi ovarium 23 2 Komposisi medium koleksi oosit 23 3 Komposisi larutan PBS 23 4 Komposisi medium maturasi in vitro 24 5 Komposisi medium fertilisasi in vitro 24 6 Komposisi Medium Kultur in vitro Modified Synthetic Oviduct Fluid (MSOF) 25

13 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Spermatozoa sexing merupakan salah satu hasil teknologi reproduksi yang dinilai sebagai alternatif dalam upaya efisiensi reproduksi untuk menghasilkan anak dengan jenis kelamin sesuai keinginan. Aplikasi spermatozoa sexing telah diaplikasikan melalui inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio dengan hasil yang bervariasi. Vazquez et al. (2003) melaporkan bahwa persentase tingkat kebuntingan pada babi melalui teknik IB menggunakan spermatozoa sexing mencapai 54% dan pada kuda 47,6% (Mari et al 2011); serta pada sapi mencapai 52% (Morotti et al. 2014). Lebih lanjut, Pellegrino et al. (2016) melaporkan bahwa keberhasilan kebuntingan melalui teknik transfer embrio sebesar 35,4%. Teknik sexing spermatozoa dilakukan melalui pemisahan kromosom X dan Y berdasarkan perbedaan karakteristik morfologi, kandungan DNA, perbedaan protein makromolekul pada kedua kromosom serta perbedaan berat dan pergerakan spermatozoa (Yan et al. 2006). Diperkirakan kandungan DNA spermatozoa kromosom X adalah 3-5% lebih banyak dibandingkan dengan kromosom Y (Grant dan Chamley 2007; Sureka 2013). Berdasarkan kriteria tersebut, maka telah dikembangkan berbagai teknik pemisahan spermatozoa seperti metode flow cytometer (Blondin et al. 2009; Jo et al. 2014), metode gradien percoll (Machado et al. 2009; Villamil et al. 2012), serta metode gradien BSA. Metode sexing menggunakan gradien BSA dinilai efisien dan sederhana dibandingkan dengan metode-metode lainnya dan telah diterapkan pada berbagai spesies diantaranya untuk memisahkan spermatozoa domba (Maxwell et al. 1984); babi (Dixon et al. 1980); Hamster (Dow dan Bavister 1989). Teknik pemisahan spermatozoa dengan gradien BSA dianggap tidak memanipulasi spermatozoa secara berlebihan, selain itu spermatozoa dipaparkan pada medium BSA yang juga sering ditambahkan pada pengencer semen sehingga diharapkan mampu mencegah terjadinya penurunan kualitas spermatozoa setelah proses pemisahan. Lebih lanjut dilaporkan oleh Dixon et al. (1980) bahwa motilitas spermatozoa hasil sexing mencapai 70%. Afiati (2004) menambahkan bahwa persentase spermatozoa hasil sexing gradien albumin diprediksi membawa kromosom X sebesar 80.88% dan Y sebesar 58.82% dengan motilitas sesudah proses sexing mencapai 75.00%. Sejalan dengan itu, Maxwell et al. (1984) juga melaporkan bahwa konsentrasi gradien BSA 6% dan 12% mampu menghasilkan spermatozoa sexing dengan motilitas yang lebih tinggi pada gradien bawah. Hasil penelitian Kaiin et al. (2008) menyatakan bahwa motilitas spermatozoa sexing gradien kolom BSA 5-10% sesudah thawing tidak berbeda dengan spermatozoa unsexing yaitu 45%. Persentase motilitas tersebut masih memenuhi syarat sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk keperluan inseminasi buatan (IB). Pembuktian lebih lanjut tentang kemampuan fertilisasi spermatozoa sexing dan kemampuannya dalam mendukung perkembangan embrio secara in vitro belum banyak dilaporkan di Indonesia. Data ini diperlukan untuk menjawab potensi kesuburan dan keakuratan spermatozoa hasil sexing secara tepat. Oleh karena itu

14 2 penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan fertilisasi spermatozoa hasil sexing dengan metode gradien BSA dalam mendukung kemampuan perkembangan embrio secara in vitro. Kerangka Pemikiran Proses sexing spermatozoa metode gradien BSA didasarkan pada perbedaan kandungan DNA dan kecepatan spermatozoa kromosom X dan Y menembus gradien kolom BSA. Metode sexing gradien BSA mempunyai prinsip kerja yang sederhana sehingga diharapkan tidak menyebabkan terjadinya stres mekanik pada spermatozoa sesudah proses sexing. Motilitas yang baik dan keutuhan membran plasma spermatozoa sesudah proses sexing penting dipertahankan untuk mendukung keberhasilan proses penetrasi dan fusi spermatozoa dengan oosit. Spermatozoa harus mampu merespon sinyal oosit sehingga dapat berikatan dan menembus zona pelusida oosit melalui reseptor yang spesifik untuk keberhasilan proses fertilisasi. Keberhasilan proses sexing dinilai berdasarkan kemampuan spermatozoa sexing dalam memfertilisasi oosit dan mendukung perkembangan embrio lebih lanjut. Teknik fertilisasi dan produksi embrio in vitro dilakukan untuk mengetahui kemampuan fertilisasi spermatozoa sexing X dan Y serta kemampuan perkembangan awal embrio in vitro. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan fertilisasi dan perkembangan awal embrio sapi yang diproduksi menggunakan semen beku sexing X dan Y hasil pemisahan menggunakan gradien bovine serum albumin (BSA) secara in vitro. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kualitas spermatozoa sexing hasil pemisahan menggunakan gradien BSA serta efektivitas metode sexing tersebut berdasarkan kemampuan fertilisasi dan mendukung perkembangan embrio secara in vitro. Hipotesis Penelitian Spermatozoa hasil sexing menggunakan metode gradien BSA mempunyai kemampuan fertilisasi dan tingkat perkembangan embrio secara in vitro yang sama dengan spermatozoa unsexing.

15 3 Metode Sexing Spermatozoa 2 TINJAUAN PUSTAKA Spermatoza sexing merupakan hasil pemisahan berdasarkan perbedaan kromosom pada spermatozoa yaitu pembawa kromosom betina (X) dan kromosom jantan (Y). Beberapa jenis metode sexing yang telah dilakukan antara lain metode sedimentasi, albumin column, gradien BSA, sentrifugasi gradien percoll, elektroforesis, metode swim up, metode flow cytometry dan filtrasi dengan sephadex column. Prinsip teknik sexing spermatozoa secara umum didasarkan pada perbedaan karakteristik fisiologi spermatozoa seperti perubahan ion elektrik, perbedaan protein makromolekular serta perbedaan berat dan pergerakan spermatozoa sebagai pembeda kromosom X dan Y (Yan et al. 2006). Teknik sexing juga didasarkan pada perbedaan kandungan materi genetik yaitu spermatozoa kromosom X yang mempunyai materi genetik (DNA) 3-5% lebih banyak dibandingkan kromosom Y (Grant dan Chamley 2007; Kanesharatnam et al. 2012; Sureka et al. 2013). Teknik sexing spermatozoa menggunakan metode gradien BSA didasarkan pada perbedaan motilitas dan kecepatan bergerak antara spermatozoa X dan Y dalam menembus gradien pemisah larutan BSA. Spermatozoa pembawa kromosom Y mempunyai bentuk kepala yang lebih kecil dan ringan dibandingkan spermatozoa pembawa kromosom X sehingga dapat lebih mudah dan cepat bergerak. Konsentrasi spermatozoa sesudah proses sexing lebih rendah dibandingkan sebelum dilakukan proses sexing. Hal ini disebabkan terdapat spermatozoa yang tertinggal di kolom serta terdapat pula spermatozoa yang ikut terbuang bersama medium sexing diantara fraksi atas dan bawah. Konsentrasi spermatozoa pada fraksi atas lebih besar dibandingkan fraksi bawah, hal ini menunjukkan bahwa spermatozoa yang bermigrasi menuju fraksi bawah semakin berkurang. Konsentrasi medium BSA pada fraksi bawah lebih tinggi serta dapat meningkatkan viskositas pengencer. Hal ini menyebabkan hanya spermatozoa dengan motilitas tinggi saja yang dapat menembus kolom gradien BSA. Maxwell et al. (1984) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses sexing spermatozoa antara lain konsentrasi BSA yang digunakan sebagai gradien serta lama waktu spermatozoa menembus gradien BSA. Lebih lanjut dilaporkan bahwa proses sexing spermatozoa efektif pada konsentrasi BSA 6-12% dengan waktu pemisahan maksimal 2 jam. Perbedaan kromosom pada individu ternak jantan maupun betina digunakan untuk menentukan jenis kelamin anak yang akan dilahirkan. Sepasang kromosom umumnya terdiri dari pasangan kromosom homozigot (XX) dan pasangan kromosom yang heterozigot (XY). Kromosom homozigot dibawa oleh ternak betina yang hanya menghasilkan satu jenis gamet yaitu X sedangkan kromosom heterozigot dibawa oleh ternak jantan dengan produksi dua macam gamet yang seimbang yaitu gamet yang membawa kromosom X dan kromosom Y.

16 4 Mekanisme Fertilisasi Fertilisasi merupakan suatu proses kompleks penggabungan dari spermatozoa dan oosit sebagai indikator terbentuknya embrio (Gordon 2003). Proses tersebut terdiri dari beberapa tahapan yaitu perjalanan spermatozoa yang akan membuahi oosit, penetrasi spermatozoa menembus zona pelusida oosit, fusi antara spermatozoa dan membran plasma oosit serta terjadinya syngami yaitu pada saat genom kedua gamet bergabung membentuk genom embrio (Gardner et al. 2007). Fertilisasi diawali dengan proses pengenalan yang diduga melibatkan suatu protein tertentu pada spermatozoa dan oosit. Kemampuan fertilisasi spermatozoa pada kondisi in vitro dapat diketahui melalui teknik fertilisasi in vitro (FIV), Hal ini dikarenakan teknik tersebut mampu mengevaluasi interaksi antara spermatozoa dengan oosit yang terjadi seperti pada fertilisasi in vivo (Papadopoulos et al. 2005). Perubahan spermatozoa yang terjadi selama proses fertilisasi meliputi perubahan motilitas, kapasitasi, reaksi akrosom, penetrasi serta kemampuan fusi dengan oosit. Glikoprotein membran plasma spermatozoa mengalami perubahan selama terjadi proses kapasitasi. Hal tersebut terjadi agar spermatozoa dapat merespon sinyal dari oosit sehingga mampu mengikat dan menembus zona pelusida oosit melalui reseptor yang spesifik. Kegagalan fertilisasi terjadi karena kemampuan penetrasi spermatozoa menembus zona pelusida rendah (Plachot 2000). Spermatozoa terlebih dahulu harus melalui tahapan reaksi akrosom sebelum memasuki proses fertilisasi. Reaksi akrosom terjadi karena adanya interaksi antara oosit yang dikelilingi sel kumulus yang mengalami ekspansi dengan integrin yang spesifik pada membran spermatozoa. Proses tersebut diawali dengan terjadinya kenaikan Ca 2+ yang masuk melalui membran plasma spermatozoa sehingga memicu terjadinya reaksi akrosom. Oosit yang siap dibuahi adalah oosit yang telah mengalami proses maturasi yaitu pada fase metafase II (MII) yang ditandai dengan terbentuknya badan polar I. Proses aktivasi oosit oleh spermatozoa pada saat fertilisasi dijelaskan oleh Alberio et al. (2001) dengan ilustrasi sebagai berikut:

17 5 Gambar 1. Mekanisme aktivasi oosit oleh spermatozoa pada mekanisme fertilisasi (Alberio et al. 2001) Spermatozoa sebagai aktivator menempel pada sperm reseptor (SR) yang terdapat pada permukaan membran plasma oosit. Ikatan spesifik antara keduanya dapat mengaktifkan protein G atau Protein Tyrosine Kinase (PTK) yang kemudian mengaktifkan phosphorilase C (PLC). PLC yang aktif menyebabkan terjadinya proses hidrolisis phosphatidylinositol 4,5-biphosphate (PIP 2 ) pada membran plasma dapat berjalan. Hidrolisis PIP 2 menghasilkan diacylgliserol (DAG) dan inositol 1,4,5- triphosphate (IP 3 ) yang meningkatkan konsentrasi Ca 2+ melalui induksi terhadap retikulum endoplasmik. Peningkatan Ca 2+ menyebabkan terjadinya beberapa kejadian antara lain meningkatkan ph sehingga terjadi pertukaran Na+ dari luar sel dan H+ dari dalam oosit. Meningkatnya konsetrasi Ca 2+ menyebabkan terjadinya dua hal yaitu pelepasan kortikal granula yang berisi enzim dan glikoprotein kedalam ruang perivitelin oosit yang kemudian mengubah kondisi zona pelusida menjadi keras untuk mencegah polispermia serta inisiasi berlanjutnya siklus pembelahan meiosis sel yang ditandai dengan menurunnya aktivitas maturation promoting factor (MPF) (Alberio et al. 2001; Jones 2007). Aktivasi oosit oleh spermatozoa terjadi pada saat proses fertilisasi yaitu pada saat spermatozoa melakukan inisiasi terhadap fluktuasi Ca 2+ dalam oosit sampai terbentuk pronukleus. Fluktuasi Ca 2+ dimulai beberapa saat setelah fusi antara kedua gamet dan berhenti pada saat pembentukan pronukleus (Jones 2007 dan Toth et al. 2006). Fluktuasi Ca 2+ selama fertilisasi terjadi beberapa jam sampai terbentuk pronukleus kemudian berhenti dan terjadi lagi pada saat membran inti pecah pada awal pembentukan mitosis embrio. Fluktuasi Ca 2+ ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor inisiasi spermatozoa dan faktor oosit. Faktor dari spermatozoa dikontrol oleh suatu protein spermatozoa yaitu PLC-zeta yang terdapat pada inti spermatozoa. Fluktuasi Ca 2+ tersebut dapat berhenti ketika terbentuk pronukleus, hal ini terjadi karena PLC-zeta dilokalisir dalam membran pronukleus bersama inti sehingga tidak

18 6 dapat mempengaruhi fluktuasi Ca 2+. Faktor kedua yaitu faktor dari oosit yang berhubungan dengan keberadaan IP 3 dan reseptornya yang berfungsi mengatur keluarnya Ca 2+ (Jones 2007). Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit menyebabkan oosit kembali mengalami pembelahan meiosis II. Konsentrasi cytostatic factor (CSF) yang terkandung dalam oosit mengalami penurunan setelah penetrasi spermatozoa dan oosit akan memasuki fase interfase kemudian mengeluarkan badan kutub II dan membentuk pronukleus. Inisiasi pembentukan pronukleus terjadi sesudah penetrasi spermatozoa, pada sapi hal ini terjadi pada 4-6 jam sesudah penetrasi spermatozoa (Alberio et al. 2001). Mekanisme fertilisasi in vitro pada umumnya dilakukan pada medium yang mempunyai komposisi menyerupai kondisi di dalam uterus dan oviduk. Fungsi utama dari medium tersebut adalah mendukung proses kapasitasi spermatozoa dan pematangan oosit serta penentuan oosit yang mempunyai kompetensi perkembangannya untuk fertilisasi. Hal tersebut perlu diperhatikan karena proses fertilisasi in vitro hanya dapat terjadi apabila spermatozoa tersebut telah mengalami proses kapasitasi. Glikoprotein dalam membran plasma spermatozoa mengalami perubahan selama proses kapasitasi agar dapat merespon sinyal dari oosit sehingga memiliki kemampuan menembus zona pelusida yang mengelilingi oosit melalui reseptor yang spesifik yang terdapat pada membran plasma. Kapasitasi merupakan suatu proses perubahan fisiologis spermatozoa didalam saluran reproduksi betina agar dapat meningkatkan daya fertilisasi. Proses kapasitasi ditandai dengan terjadinya perubahan morfologi spermatozoa serta mekanisme metabolismenya yang berkaitan dengan kemampuan spermatozoa dalam melakukan fusi dan berikatan dengan oosit sebagai faktor penentu keberhasilan fertilisasi (Elder dan Dale 2003). Perkembangan Embrio In Vitro Kultur embrio in vitro merupakan tahapan akhir dalam penerapan teknologi produksi embrio in vitro sesudah tahapan fertilisasi dan pematangan oosit. Zigot yang terbentuk dari hasil fertilisasi in vitro mengalami perkembangan dan pembelahan dalam beberapa stadium awal mulai dari 2-32 sel sampai membentuk morula dan blastosis. Blastosis umumnya dapat terbentuk dari embrio yang mencapai tahapan 8 sel pada 48 jam sesudah fertilisasi (Boediono et al. 2003). Persentase zigot yang dapat berkembang mencapai tahap blastosis selama kultur adalah berkisar 30-40% (Rizos et al. 2002). Faktor utama yang berpengaruh terhadap kemampuan perkembangan embrio adalah kualitas oosit serta medium kultur yang digunakan (Lonergan et al. 2004; Nedambale et al. 2006). Upaya yang dapat dilakukan agar kualitas embrio yang dihasilkan baik serta meningkatkan efisiensi sistem produksi embrio in vitro antara lain adalah dengan penggunaan medium dan sistem kultur yang sesuai serta melakukan kultur embrio dalam kelompok besar. Hal ini disebabkan kemampuan perkembangan embrio akan lebih baik apabila dikultur secara kelompok yaitu 20 embrio dalam 500 µl media kultur (Khurana dan Niemann 2000). Embrio hasil produksi secara in vitro mengalami perkembangan dalam medium kultur yang mengandung protein, sumber energi dan buffer. Hal ini dikarenakan metode kultur embrio secara in vitro berpengaruh terhadap keberhasilan

19 7 perkembangan embrio. Kultur embrio harus dilakukan dalam kondisi CO 2 5% agar sel dapat tumbuh dan membelah secara normal. Salah satu komposisi dalam medium kultur yang berperan penting dalam mendukung perkembangan embrio adalah asam amino. Asam amino berperan penting sebagai regulator pada awal perkembangan embrio. Penambahan asam amino non esensial dapat meningkatkan perkembangan embrio mencapai tahap 8-16 sel dan blastosis. Glutamin yang ditambahkan kedalam medium kultur mampu bersinergi dengan asam amino non esensial. Glutamin berfungsi sebagai sumber energi dan mengatur osmolaritas medium. Efek negatif dari asam amino dalam medium kultur adalah dapat meningkatkan level amonium sehingga menghambat perkembangan dan pembelahan embrio (Elder dan Dale 2003). Embrio bersifat rentan terhadap stres in vitro, beberapa hal yang menjadi penyebab stres embrio antara lain formulasi dan suplementasi medium kultur yang kurang tepat serta terjadinya permasalahan dalam sistem kultur. Efek jangka pendek terjadinya stres embrio in vitro adalah terjadinya perubahan morfologi, proliferasi dan apoptosis sel. Asam amino dalam medium dapat menyebabkan terjadinya peningkatan fragmentasi sitoplasma pada embrio domba sehingga medium kultur embrio harus diganti dengan medium baru setiap jam (Gardner et al. 1994). Perkembangan embrio pada tahapan awal sering kali terdapat beberapa hambatan, embrio sapi dan domba seringkali mengalami hambatan pembelahan pada 8 sel (Gordon 2003). Sumber energi berupa glukosa yang terkandung dalam medium kultur bersama dengan piruvat dan laktat berfungsi untuk mendukung perkembangan embrio hingga mencapai tahapan blastosis. Metabolisme glukosa rendah pada saat awal perkembangan embrio atau tahap preimplantasi, selanjutnya mengalami peningkatan sesudah tahap 8-16 sel. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme aktivasi genom embrionik (Goeseels dan Panich 2002; Meirelles et al. 2004). Titik kritis perkembangan embrio pada saat umumnya terjadi pada tahapan pembelahan 8 sel. Embrio yang belum mengalami aktivasi genom maka aktivitas sintesa protein dan ekspresi gen bergantung pada maternal sampai terjadi proses aktivasi genom dan embrio mampu melakukan transkripsi protein sendiri sesuai dengan tahapan perkembangannya. Embrio yang gagal melakukan transkripsi genomnya sendiri akan mengalami kegagalan dalam perkembangannya (Meirelles et al. 2004; Young dan Beaujean 2004). Bovine Serum Albumin (BSA) Bovine serum albumin mempunyai peran fisiologis yang penting untuk mendukung perkembangan embrio. Bovine serum albumin mengandung asam amino, vitamin, asam lemak, hormon, bersifat sebagai surfaktan serta dapat berperan sebagai media transportasi zat nutrisi antar molekul (Blake et al. 2002). Albumin merupakan makromolekul, memiliki permukaan sel yang luas dan bersifat mengikat. Francis (2010) menyatakan bahwa albumin merupakan molekul yang mampu berikatan dengan ligan, antara lain lemak, ion logam dan asam amino yang selanjutnya ditransportasikan ke dalam sel dan meningkatkan pertumbuhan sel. Bovine serum albumin secara umum merupakan salah satu komponen medium kultur. Hal ini disebabkan albumin merupakan sumber energi dan protein untuk proses metabolik.

20 8 Penambahan BSA mampu mencukupi komponen steroid, vitamin, asam lemak serta kolesterol (Wrenzycki et al. 2001). 3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Ovarium diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bubulak, Kotamadya Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium In Vitro Fertilization (IVF), Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret hingga dengan Juni Metode Penelitian Penelitian I. Kemampuan Fertilisasi In Vitro Spermatozoa Sexing a. Proses Sexing Spermatozoa Menggunakan Teknik Gradien BSA Spermatozoa sexing yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Prosedur sexing berikut mengacu pada BBIB Lembang yaitu menggunakan gradien Bovine Serum Albumin (BSA) dengan persentase 5% dan 10%. BSA dengan kandungan 5% dan 10% serta medium sexing disiapkan kemudian disimpan di dalam water bath. Semen segar hasil koleksi diencerkan dengan medium sexing, kemudian sebanyak 1 ml semen yang telah diencerkan ditempatkan di atas kolom BSA 5% dan 10% dalam tabung-tabung yang sebelumnya telah disimpan dalam water bath. Spermatozoa selanjutnya didiamkan selama 45 menit sampai terbentuk tiga lapisan. Lapisan paling atas diambil sebanyak 1 ml kemudian dibuang. Lapisan tengah merupakan lapisan yang diprediksi sebagai spermatozoa X sedangkan lapisan paling bawah merupakan spermatozoa Y. Lapisan tengah dan lapisan bawah pada masing masing tabung kemudian digabung menjadi satu pada tabung baru. Masing-masing ditambahkan dengan medium sexing untuk pencucian menggunakan sentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 1800 rpm dan suhu 25 o C. Spermatozoa X dan Y yang telah dicuci selanjutnya ditambah dengan pengencer ± 1 ml dan dilakukan evaluasi. Evaluasi pada masing-masing jenis spermatozoa meliputi motilitas, viabilitas, konsentrasi dan evaluasi membran plasma utuh (MPU). Spermatozoa yang sudah dievaluasi dan dilakukan perhitungan volume akhir serta jumlah straw selanjutnya dikemas dalam straw kemudian dilakukan equilibrasi di dalam cool top selanjutnya disimpan di dalam tabung berisi nitrogen cair.

21 9 b. Seleksi dan Maturasi Oosit In Vitro Ovarium ditransportasikan dari RPH menuju Laboratorium menggunakan larutan NaCl 0.9% ditambahkan 100 IU/mL Penisilin (Sigma-Aldrich, St. Louis, MO, USA) dan 0.1 mg/ml Streptomisin (Sigma-Aldrich). Koleksi oosit dilakukan dengan teknik pencacahan dan pembilasan (slicing dan flushing) menggunakan Phosphate Buffer Saline (PBS) yang mengandung 5% Fetal Bovine Serum (FBS). Seleksi oosit dilakukan dibawah mikroskop stereo berdasarkan kekompakan sel kumulus dan homogenitas sitoplasma. Oosit dimatangkan pada Tissue Culture Medium (TCM) 199 (Sigma, USA) yang disuplementasi dengan 10% FBS, 10 IU/mL Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 10 IU/mL Human Chorionic Gonadotrophin (hcg) (Chorulon, intervet international B.V. Boxmeer- Holand) dan 50 µg/ml Gentamisin (Sigma-Aldrich). Medium dibuat dalam bentuk drop (100 µl) yang ditutup menggunakan mineral oil (Sigma-Aldrich. Inc, M-8410) dalam petridish steril (Nunclon, Denmark) untuk 10 hingga 15 oosit. Pematangan oosit dilakukan dalam inkubator 5% CO 2 suhu 39 o C selama 24 jam. c. Fertilisasi Oosit In Vitro Fertilisasi in vitro dilakukan menggunakan spermatozoa unsexing sebagai kontrol serta spermatozoa sexing X dan Y sebagai perlakuan. Thawing straw semen beku dilakukan pada air suhu 37 o C selama 30 detik. Semen ditempatkan pada tabung yang berisi medium fertilisasi untuk menghilangkan pengencer melalui sentrifugasi dengan kecepatan 700 g selama 8 menit. Selanjutnya bagian supernatan dibuang dan endapan spermatozoa diencerkan menggunakan medium fertilisasi dengan konsentrasi akhir 2x10 6 spermatozoa/ml (Lopez et al. 2013; Muttaqin et al. 2015). Medium fertilisasi yang berisi spermatozoa tersebut dibuat dalam bentuk drop (100 µl) untuk 10 hingga 15 oosit. Oosit yang telah dimaturasi dipindahkan ke dalam drop medium fertilisasi sesuai perlakuan (spermatozoa sexing X (X), sexing Y (Y) dan Kontrol) setelah dilakukan pencucian terlebih dahulu. Inkubasi oosit dan spermatozoa dilakukan selama 14 jam dalam inkubator CO 2 5% dengan suhu 39 o C. d. Evaluasi Tingkat Kemampuan Fertilisasi In Vitro Tingkat kemampuan fertilisasi in vitro dievaluasi berdasarkan pada terbentuknya dua atau lebih pronukleus (PN). Oosit hasil fertilisasi pada masingmasing perlakuan didenudasi (dihilangkan sel kumulusnya), kemudian dibuat preparat dan difiksasi dalam larutan asam asetat dan ethanol absolut (1:3) selama 48 jam, setelah itu dilakukan pewarnaan dengan 2% Aceto Orcein. Hasil pewarnaan diamati di bawah mikroskop fase kontras (Olympus IX 70, Japan) terhadap jumlah PN yang terbentuk. Oosit yang memiliki dua PN dianggap sebagai oosit yang mengalami fertilisasi normal. Persentase tingkat fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah oosit yang terfertilisasi dengan jumlah keseluruhan oosit yang difertilisasi.

22 10 Penelitian II. Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro Menggunakan Spermatozoa Sexing a. Seleksi, Maturasi dan Fertilisasi Oosit In Vitro Proses seleksi, maturasi dan fertilisasi oosit in vitro dilakukan seperti prosedur penelitian I. b. Kultur Embrio In Vitro Oosit hasil fertilisasi didenudasi sebagian kumulusnya kemudian dipindahkan dalam drop medium kultur setelah dilakukan pencucian terlebih dahulu. Medium kultur yang digunakan adalah Modified Synthetic Oviduct Fluid (msof) yang disuplementasi dengan 1% Minimum Essential Medium (MEM) (Sigma, M-7145), 2% Basal Medium Eagle (BME) (Sigma, B-6766), 50 µg/ml Gentamisin (Sigma- Aldrich) dan BSA 0,3%. Medium kultur dibuat dalam bentuk drop (100 µl) untuk 10 hingga 15 oosit dalam petridish steril (Nunclon, Denmark) dan ditutup dengan mineral oil (Sigma-Aldrich.Inc, M-8410). Kultur dilakukan selama 96 jam dalam inkubator CO 2 5% suhu 39 o C. c. Evaluasi Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro Pengamatan perkembangan embrio dilakukan pada hari kedua (jam ke 48) dan hari keempat (jam ke 96) kultur dibawah mikroskop (Olympus IX 70, Japan) untuk melihat stadium perkembangan embrio. Pewarnaan Aceto Orcein 2% dilakukan sebagai pembuktian jumlah sel embrio yang terbentuk, Teknik pembuatan preparat dan pewarnaan dilakukan sama seperti evaluasi pada penelitian I kemudian diamati di bawah mikroskop fase kontras (Olympus IX 70, Japan). Persentase tingkat pembelahan embrio merupakan perbandingan antara jumlah oosit yang membelah dengan keseluruhan jumlah oosit yang diduga telah dibuahi. Analisa Data Persentase oosit yang terfertilisasi dan tingkat perkembangan embrio pada setiap hari pengamatan pada ketiga perlakuan dianalisa secara statistik menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 95%. Perbandingan jumlah embrio yang mampu melewati blokade perkembangan (16-32 sel) pada hari keempat juga dianalisa menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 95% untuk melihat potensi oosit yang mampu berkembang. (Steel dan Torrie 1993). Data diolah menggunakan program SPSS versi 15.

23 11 4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Evaluasi Kualitas Spermatozoa Post Thawing Semen beku sapi yang layak digunakan harus mempunyai syarat motilitas post thawing minimal 40% berdasarkan ketentuan SNI : Sebelum digunakan untuk proses fertilisasi in vitro, telah dilakukan evaluasi spermatozoa untuk mengetahui kualitas spermatozoa post thawing. Hasil evaluasi kualitas spermatozoa disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kualitas spermatozoa sapi sexing dan unsexing post thawing Kelompok PTM (%±SEM) Viabilitas (%±SEM) MPU (%±SEM) Abnormalitas (%±SEM) K 56,1±2,0 66,6±1,2 62,9±1,7 4,2±0,7 X 51,1±2,1 64,5±1,1 60,5±1,5 4,3±0,8 Y 53,8±1,8 65,6±1,4 64,2±1,0 3,5±0,9 Keterangan: K : Kontrol (Spermatozoa unsexing) X : Spermatozoa sexing X Y : Spermatozoa sexing Y PTM : Post Thawing Motility MPU : Membran Plasma Utuh Hasil evaluasi spermatozoa menunjukkan bahwa persentase motilitas post thawing, viabilitas, MPU serta abnormalitas pada spermatozoa unsexing sebagai Kontrol, sexing X dan Y tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil evaluasi post thawing, dinilai bahwa spermatozoa sexing yang dipisahkan menggunakan metode gradien BSA mempunyai motilitas yang masih memenuhi syarat berdasarkan ketentuan SNI. Spermatozoa unsexing serta sexing X dan Y post thawing mempunyai kualitas yang tetap baik sehingga dapat digunakan untuk fertilisasi dan produksi embrio in vitro. Kemampuan Tingkat Fertilisasi In Vitro Indikasi keberhasilan fertilisasi in vitro diketahui berdasarkan pembentukan pronukleus (PN). Kemampuan tingkat fertilisasi dihitung berdasarkan jumlah oosit yang berhasil membentuk dua pronukleus (2PN) atau lebih dari dua pronukleus (>2PN) seperti disajikan pada Gambar 2.

24 12 (2PN), B. Gambar 2 Pembentukan pronukleus (PN). A. Oosit dengan dua pronukleus (2PN) Oosit dengan lebih dari dua pronukleus (>2PN) (Tanda panah); perbesaran 200x. Hasil penelitian kemampuan spermatozoa sexing serta kemampuan pembentukan pronukleus leus (PN) disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa sexing tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol, persentase tingkat fertilisasi berturutturut yaitu 49,1%, 51,4% dan 53,4% untuk spermatozoa sexing X, Y dan Kontrol Kontrol. Lebih lanjut berdasarkan erdasarkan pengamatan pronukleus, tingkat fertilisasi normal yang ditandai dengan terbentuknya 2PN pada spermatozoa sexing juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) (P>0 dibandingkan dengan Kontrol dengan persen persentase berturut-turut Kontrol, ontrol, X dan Y yaitu 52,3%, 46,4% dan 48,0%. Tabel 2.. Tingkat fertilisasi oosit in vitro menggunakan spermatozoa sexing Kelompok Jumlah oosit Total terfertilisasi (% ±SEM) K X Y ,4±1,9 49,1±1,7 51,4±2,4 Keterangan: K : Kontrol (Spermatozoa Spermatozoa unsexing) X : Spermatozoa sexing X Y : Spermatozoa sexing Y Pembentukan pronukleus (% ±SEM) Normal (2PN) 52,3±1,9 46,4±1,5 48,0±2,9 Polispermia (>2PN) 1 1,0±1,0 2 2,7±1,7 3 3,3±2,1

25 13 Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro Keberhasilan perkembangan embrio secara in vitro menggunakan spermatozoa sexing X dan Y hasil pemisahan gradien BSA ditentukan berdasarkan persentase embrio yang membelah. Stadium pembelahan embrio mulai dari sel hasil produksi secara in vitro disajikan dalam Gambar 3. Gambar 3 Embrio sapi tahap sel yang diproduksi secara in vitro; A. tahap pembelahan 2 sel; sel B. 4 sel; C. 8 sel; D. 16 sel dan E. 32 sel; perbesaran 200x. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan perkembangan dan stadium pembelahan embrio yang diproduksi secara in vitro menggunakan spermatozoa X dan Y tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dibandingkan ingkan dengan Kontrol (47,7%, 48,2% % dan 54,4%). 54, Tingkat ingkat pembelahan dan perkembangan embrio pada hari kedua dan keempat kultur disajikan pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3.. Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio sapi yang diamati secara morfologi pada hari kedua kultur in vitro Kel. Jumlah embrio Tingkat pembelahan (rata-rata% ±SEM) Perkembangan awal embrio n (% ± SEM) Pengamatan hari kedua K X Y (54,4±2,3) 47(54 42(47 42(47,7±1,6) 41(48 41(48,2± 2,8) 2 sel 16(36,3±12,5) 17(37,1±5,3) 14(32,6 ±10,1) Keterangan: Kel. : Kelompok K : Kontrol (Spermatozoa Spermatozoa unsexing) X : Spermatozoa sexing X Y : Spermatozoa sexing Y 4 sel 24(49,1±6,7) 7) 22(54,7±6,1) 1) 20(49,3±8,6) 6) 8 sel 7(14,5±8,1) 3(8,0±4,0) 7(18,0±6,7)

26 14 Tabel 4. Tingkat perkembangan embrio sapi yang diamati secara morfologi dan pewarnaan pada hari keempat kultur in vitro Kel. Perkembangan awal embrio n (% ± SEM) Pengamatan hari keempat 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel U 2(4,7±4,7) 17(38,3 ±7,8) 17(33,2 ±8,8) 8(17,3±6,8) 3(6,2±2,9) X 2(6,1±3,8) 18(37,2±10,2) 14(32,8±8,7) 8(23,8±11,0) 0(0,0±0,0) Y 0(0,0 ±0,0) 16(35,7 ±12,0) 15(38,1±11,5) 9(22,7 ±3,6) 1(3,3±3,3) Keterangan: Kel. : Kelompok K : Kontrol (Spermatozoa unsexing) X : Spermatozoa sexing X Y : Spermatozoa sexing Y Lebih lanjut, berdasarkan keseluruhan jumlah embrio yang berhasil membelah diketahui bahwa persentase embrio yang mampu melewati blokade perkembangan (stadium pembelahan 16 hingga 32 sel) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada ketiga perlakuan sexing X, Y dan Kontrol (23,8%; 26,0% dan 23,6%). Rekapitulasi persentase embrio yang berhasil melewati blokade perkembangan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi persentase embrio yang berhasil melewati blokade perkembangan Kelompok Tingkat pembelahan embrio 16 s/d 32 sel (% ± SEM) K 23,6± 9,2 X 23,8± 11,0 Y 26,0± 4,5 Keterangan: K : Kontrol (Spermatozoa unsexing) X : Spermatozoa sexing X Y : Spermatozoa sexing Y PEMBAHASAN Kemampuan Tingkat Fertilisasi In Vitro Indikator keberhasilan fertilisasi in vitro diketahui berdasarkan kemampuan pembentukan pronukleus (PN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa spermatozoa sexing masih memiliki kemampuan memfertilisasi oosit yang sama dengan spermatozoa yang tidak dilakukan proses sexing (unsexing). Spermatozoa hasil sexing metode gradien BSA (perlakuan X dan Y) diduga mempunyai kemampuan motilitas dan integritas membran yang tetap baik berdasarkan kemampuan memfertilisasi oosit. Hal ini didukung oleh data kualitas spermatozoa post thawing yang disajikan dalam Tabel 1. Okabe (2013) menyatakan bahwa faktor yang mendukung keberhasilan

27 proses fertilisasi yaitu kemampuan spermatozoa menembus zona pelusida (ZP), kemampuan membentuk pronukleus serta mendukung perkembangan embrio. Integritas membran plasma dan akrosom spermatozoa penting diperlukan untuk mendukung keberhasilan proses fertilisasi. Spermatozoa dengan membran plasma rusak maka tidak memiliki kemampuan berikatan dengan ZP (zona binding). Hal ini disebabkan hilangnya reseptor pada membran yang berfungsi untuk mengikat zona pelusida (Ducha et al. 2012) serta kemampuan perkembangan embrio (Okabe 2013). Integritas membran spermatozoa penting diperlukan karena komponen seperti protein, phospholipid, kolesterol serta beberapa komponen lain berfungsi melindungi dan menjaga kestabilan membran plasma serta mencegah terjadinya kapasitasi dini dan reaksi akrosom (Carvalho et al. 2014). Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan fertilisasi dinilai berdasarkan kemampuan motilitas post thawing spermatozoa. Maxwell et al. (1984) dan Kaiin et al. (2008) melaporkan bahwa proses sexing menggunakan BSA mampu mempertahankan motilitas spermatozoa sexing post thawing masing-masing sebesar 49% dan 45%. Persentase motilitas tersebut masih memenuhi SNI untuk keperluan inseminasi buatan, yaitu sesuai dengan SNI :2008 bahwa semen beku sapi yang digunakan untuk inseminasi buatan harus mempunyai motilitas post thawing minimal 40% (Direktorat Pembibitan dan Produksi Ternak 2015). Spermatozoa sexing X dan Y memiliki kemampuan yang sama dalam membuahi oosit. Data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa proses sexing dengan gradien BSA tidak mengurangi kemampuan spermatozoa untuk melakukan pembuahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa medium BSA pada proses sexing tidak merusak spermatozoa. Bovine serum albumin (BSA) merupakan protein makromolekul yang berperan penting dalam proses metabolik. Komponen yang terkandung didalam BSA meliputi faktor pertumbuhan serta sumber energi yang penting untuk mendukung perkembangan embrio. Oleh karena itu BSA sering dijadikan suplemen dalam beberapa medium pada proses produksi embrio in vitro. Proses sexing spermatozoa metode gradien BSA dilakukan menggunakan konsentrasi yang bertingkat, kemudian spermatozoa dibiarkan bergerak menembus gradien tersebut. Mekanisme sexing tesebut dinilai lebih sederhana dibandingkan dengan metode lainnya seperti flow cytometer. Hal ini dikarenakan spermatozoa tidak terlalu banyak terpapar perlakuan selama proses sexing sehingga mampu mempertahankan motilitas dan mengurangi kerusakan morfologi spermatozoa (Dixon et al. 1980). Tingginya kualitas spermatozoa sexing menggunakan gradien BSA karena dalam perlakuannya, spermatozoa hanya terpapar maksimal dua jam sehingga kualitas spermatozoa dapat dipertahankan (Maxwell et al. 1984). Dow dan Bavister (1989) melaporkan bahwa terpaparnya spermatozoa secara langsung pada BSA dikhawatirkan terjadinya kapasitasi dan reaksi akrosom dini apabila terpapar lebih dari empat jam. Hal ini karena protein pada serum albumin dapat mengikat kolesterol dan ion zinc pada membran plasma spermatozoa yang menyebabkan kehilangan kolesterol sehingga mengakibatkan membran menjadi tidak stabil dan meningkatkan fluiditas membran (Visconti et al. 1999; Breitbart 2003). Membran plasma yang tidak stabil maka dapat meningkatkan permeabilitasnya terhadap ion kalsium (Ca 2+ ) yang pada akhirnya terjadi fusi membran akrosom luar dan memicu terjadinya reaksi 15

28 16 akrosom. Konsentrasi ion Ca 2+ intraseluler yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan fosforilasi protein tirosin yang memicu pergerakan flagellum spermatozoa. Namun konsentrasi ion Ca 2+ yang tinggi pada periode yang lama sebelum terjadi fertilisasi tidak diharapkan karena menyebabkan kematian spermatozoa. Tingkat Perkembangan Awal Embrio In Vitro Keberhasilan perkembangan embrio secara in vitro menggunakan spermatozoa sexing X dan Y hasil pemisahan gradien BSA ditentukan berdasarkan persentase embrio yang membelah. Kemampuan perkembangan embrio tersebut mengindikasikan bahwa spermatozoa sexing yang digunakan mempunyai daya fertilisasi yang baik. Hasil penelitian ini didukung oleh laporan Underwood et al. (2010a) bahwa proses sexing spermatozoa secara umum tidak menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan embrio. Keberhasilan perkembangan oosit yang telah difertilisasi ditentukan berdasarkan kemampuannya untuk membelah dan melanjutkan perkembangan. Inisiasi perkembangan awal embrio didukung oleh ketersediaan mrna dan aktivitas transkripsi oleh maternal sebelum aktivasi genom dimulai. Goeseels dan Panich (2002) menyatakan bahwa aktivasi genom pada embrio sapi dimulai pada stadium pembelahan 8-16 sel sedangkan Meirelles et al. (2004) menyatakan bahwa aktivasi genom dimulai pada stadium 8 sel. Elder dan Dale (2003) menambahkan bahwa sintesis protein baru sebagai penanda dimulainya aktivasi genom pada embrio sapi terjadi pada stadium pembelahan 4-8 sel. Transisi dari maternal ke embrio ditandai dengan aktifnya transkripsi oleh genom embrio karena mrna maternal dan protein yang tersimpan pada oosit mengalami degradasi (Gandolfi dan Gandolfi 2000; Graf et al. 2014). Apabila terjadi kegagalan proses tersebut maka menyebabkan hambatan ekspresi gen sehingga embrio tidak mampu mengalami pembelahan lebih lanjut (Betts dan King 2001). Selama masa transisi tersebut, nukleus memprogram aktivasi proses transkripsi oleh genom embrio yang sebelumnya mengalami inaktivasi. Keberhasilan aktivasi genom ditandai dengan kemampuan embrio melakukan transkripsi mrna serta tidak lagi bergantung pada maternal genom (Graf et al. 2014). Mengacu pada uraian diatas, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase embrio yang mampu melewati blokade perkembangan (stadium pembelahan sel) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) (Tabel 4) pada ketiga perlakuan. Data tersebut menunjukkan hanya sekitar 23-26% embrio yang mampu melewati blokade perkembangan dari keseluruhan embrio yang berhasil membelah sehingga diharapkan mampu berkembang ke tahap blastosis. Rendahnya angka perkembangan embrio yang diperoleh kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas oosit (Goeseels dan Panich 2002; Lonergan dan Fair 2008) serta sistem kultur yang digunakan (Lonergan et al. 2004; Nedambale et al. 2006; Underwood et al. 2010b; Setiadi dan Karja 2013). Lebih lanjut, Meirelles et al. (2004) melaporkan bahwa rata-rata laboratorium kehilangan 60-70% kemampuan oosit yang berhasil difertilisasi untuk berkembang menjadi embrio. Hal ini karena oosit yang digunakan untuk produksi embrio secara in vitro

29 17 dikoleksi dari ovarium yang pada umumnya berasal dari individu yang berbeda, sehingga terjadi variasi kemampuan untuk berkembang menjadi embrio lebih lanjut. Oleh karena itu diperlukan kemampuan teknik pemilihan oosit yang lebih cermat sehingga mampu menghasilkan embrio dengan kualitas baik agar mampu melakukan aktivasi genom untuk mendukung perkembangan dan kelangsungan hidupnya (Meirelles et al. 2004). 5 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa spermatozoa sexing metode gradien BSA mempunyai kemampuan fertilisasi dan mendukung perkembangan embrio yang sama dengan spermatozoa unsexing. Sebagai saran, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi ketepatan jenis kelamin embrio yang diproduksi secara in vitro menggunakan spermatozoa sexing X dan Y.

30 18 DAFTAR PUSTAKA Afiati F Proporsi dan karakteristik spermatozoa X dan Y hasil separasi kolom albumin. Media petern. 27(1): Alberio R, Zakhartchenko V, Motlik J, Wolf E Mammalian oocyte activation: lessons from the sperm and implication for nuclear transfer. Int J Dev Biol. 45: Betts DH, King WA Genetic regulation of embryo death and senescence. Theriogenology. 55: Blake D, Svalander P, Jin M, Silversand C, Hamberger L Protein supplementation of human IVF culture media. J Assist Reprod Genet. 19(3): Blondin PM, Beaulieu V, Fournier N, Morin L, Crawford P, Madan WA, King Analysis of bovine sexed sperm for IVF from sorting to the embryo. Theriogenology. 71: Boediono A, Suzuki T, Godke R Comparison of hybrid and purebred in vitroderived cattle embryos during in vitro culture. Anim Reprod Sci. 78:1-11. Breitbart H Signaling pathways in sperm capacitation and acrosome reaction. Cell Mol Biol. 49(3):1-7. Carvalho JO, Sartori R, Machado GM, GB Mourao, MA Dode Quality assessment of bovine cryopreserved sperm after sexing by flow cytometry and their use in in vitro embryo production. Theriogenology. 74: Dixon KE, Songy EA Jr, Thrasher DM Effect of bovine serum albumin on the isolation of boar spermatozoa and their fertility. Theriogenology. 13(6): Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Standar Nasional Indonesia (SNI): Semen beku sapi [Internet][diunduh 2016 Okt 28]. Tersedia pada: http// Dow MP, Bavister BD Direct contact is required between serum albumin and hamster spermatozoa for capacitation in vitro. Gamete Res. 23: Ducha N, Susilawati T, Aulanni am, Sri Wahyuningsih, Pangestu M Ultrastructure and Fertilizing Ability of Limousin Bull Sperm After Storage in CEP 2 Extender with and without Egg Yolk. Pak. J Biol Sci. 15 (20): Elder K, Dale B In Vitro Fertilization 2nd ed. USA: Cambridge University Press. Francis GL Albumin and mammalian cell culture: implications for biotechnology applications. Cytotechnology. 62:1-16. Gandolfi TAIB, Gandolfi F The Maternal Legacy to The Embryo: Cytoplasmic Components and Their Effects on Early Development. Theriogenology. 55: Gardner DK, Lane M, Spitzer A, Batt PA Enhanced rates of cleavage and development for sheep zygotes cultured to the blastocyst stage in vitro in the absence of serum and somatic cells: amino acids, vitamins and culturing embryos in groups stimulate development. Biol Reprod. 50:

Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In Vitro pada Sapi

Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In Vitro pada Sapi JSV 34 (2), DESEMBER 2016 Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In Vitro pada Sapi Kemampuan Fertilisasi Spermatozoa Sexing dan Perkembangan Awal Embrio Secara In

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN (Fertilization and Development of Oocytes Fertilized in Vitro with Sperm after Sexing) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN, SYAHRUDDIN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO (The Effects of Spermatozoa Concentration of Postcapacity on In Vitro Fertilization Level) SUMARTANTO EKO C. 1, EKAYANTI

Lebih terperinci

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Teguh Suprihatin* *Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati, 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

Lebih terperinci

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro JITV Vol. 11 No. 2 Th. 2006 Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro YULNAWATI 1, M. A. SETIADI 2 dan A. BOEDIONO 3 1 Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong,

Lebih terperinci

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN HEMIKALSIUM DALAM MEDIUM FERTILISASI IN VITRO TERHADAP VIABILITAS DAN AGLUTINASI SPERMATOZOA SAPI [The Usage effect of Hemicalcium in a Medium of In Vitro Fertilization on Viability

Lebih terperinci

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME TIPE 1 Sel Sperma ( haploid/ n) Sel telur (haploid/ n) Fertilisasi Zigot (Diploid/ 2n) Cleavage Morfogenesis Individu Sel Sperma ( haploid/

Lebih terperinci

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (1): 39-44 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Embrio ternak - Bagian 1: Sapi ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan kuning telur itik

Lebih terperinci

Proporsi dan Karakteristik Spermatozoa X dan Y Hasil Separasi Kolom Albumin

Proporsi dan Karakteristik Spermatozoa X dan Y Hasil Separasi Kolom Albumin Media Peternakan, April 2004, hlm. 16-20 ISSN 0126-0472 Vol. 27 N0. 1 Proporsi dan Karakteristik Spermatozoa X dan Y Hasil Separasi Kolom Albumin F. Afiati Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jl. Raya Bogor

Lebih terperinci

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan Media Peternakan, April 2008, hlm. 22-28 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 31 No. 1 Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan E.

Lebih terperinci

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel 2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang

Lebih terperinci

TINGKAT PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SAPI IN VITRO MENGGUNAKAN MEDIA TUNGGAL BERBAHAN DASAR TISSUE CULTURE MEDIUM (TCM) 199

TINGKAT PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SAPI IN VITRO MENGGUNAKAN MEDIA TUNGGAL BERBAHAN DASAR TISSUE CULTURE MEDIUM (TCM) 199 ISSN : 1978-225X TINGKAT PERKEMBANGAN AWAL EMBRIO SAPI IN VITRO MENGGUNAKAN MEDIA TUNGGAL BERBAHAN DASAR TISSUE CULTURE MEDIUM (TCM) 199 Early Bovine Embryonic Development Rate in Vitro Using Single Medium

Lebih terperinci

KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 o C

KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 o C KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DISIMPAN PADA SUHU 3-5 o C Takdir Saili, Hamzah, Achmad Selamet Aku Email: takdir69@yahoo.com Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL THE EFFECT OF PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) ON MATURATION AND IN VITRO FERTILIZATION

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI METODE THAWING TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU SAPI

PENGARUH BERBAGAI METODE THAWING TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU SAPI PENGARUH BERBAGAI METODE THAWING TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU SAPI (The Effect of Thawing Method on Frozen Bull Semen Quality) DAUD SAMSUDEWA dan A. SURYAWIJAYA Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL EFFICIENCY OF CUMULUS CELL ON CULTURE MEDIUM IN VITRO ONE CELL STAGE IN MICE EMBRYOS E. M. Luqman*, Widjiati*, B. P. Soenardirahardjo*,

Lebih terperinci

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Semen Segar Kambing PE Semen ditampung dari satu ekor kambing jantan Peranakan Etawah (PE) menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Pelapisan Spermatozoa Sapi Pada Media TALP yang Disuplementasi bovine serum albumin (BSA) Terhadap Jenis Kelamin Embrio In vitro

Pengaruh Waktu Pelapisan Spermatozoa Sapi Pada Media TALP yang Disuplementasi bovine serum albumin (BSA) Terhadap Jenis Kelamin Embrio In vitro Jurnal Peternakan Indonesia, Juni 2011 Vol. 13 (2) ISSN 1907-1760 Pengaruh Waktu Pelapisan Spermatozoa Sapi Pada Media TALP yang Disuplementasi bovine serum albumin (BSA) Terhadap Jenis Kelamin Embrio

Lebih terperinci

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian: Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN 0854-0675 Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian: 183-189 Agregasi Embrio Tahap Pembelahan 8 Sel pada Medium Kultur KSOMaa untuk Menghasilkan Embrio Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer dalam Meningkatkan Kualitas Semen Beku Kerbau Lumpur (Bubalzts bztbalis). Dibimbing oleh MOZES R. TOELlHERE sebagai Ketua, TUTY

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT (Artificial Insemination Application Using Sexed Sperm in West Sumatera) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN dan BAHARUDDIN TAPPA Pusat Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO (Effect of Various Diluter on Frozen Semen Quality of Dombos Texel in Wonosobo Regency) YON SUPRI ONDHO, M.I.S.

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH The Influence of Time and Temperature Media Storage on The Quality of The Oocyte

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh : 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan babi yang ada di Indonesia khususnya di daerah Bali masih merupakan peternakan rakyat dalam skala kecil atau skala rumah tangga, dimana mutu genetiknya masih kurang

Lebih terperinci

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM SeminarNasional Peternakan dan Peteriner 1999 KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM MoHAMADAGus SETIADI Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan

Lebih terperinci

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah TINJAUAN PUSTAKA Spermatozoa Spermatozoa adalah sel kelarnin jantan yang dibentuk pada tubuli semineferi testes melalui proses yang disebut spermatogenesis (Toelihere, 1993a dan Salisbury dan VanDemark,

Lebih terperinci

Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross

Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (1): 72-76 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Beku Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam straw dan dibekukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

Semen beku Bagian 3 : Kambing dan domba

Semen beku Bagian 3 : Kambing dan domba Standar Nasional Indonesia Semen beku Bagian 3 : Kambing dan domba ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Jarak Tempuh; Waktu Tempuh; PTM; Abnormalitas; Semen ABSTRACT

ABSTRAK. Kata Kunci : Jarak Tempuh; Waktu Tempuh; PTM; Abnormalitas; Semen ABSTRACT On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH JARAK DAN WAKTU TEMPUH TERHADAP POST THAWING MOTILITY, ABNORMALITAS DAN SPERMATOZOA HIDUP SEMEN BEKU (The Effect of Travel Distance and

Lebih terperinci

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom Fertilisasi dan Penurunan Kromosom Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Indikator Pencapaian Fungsi fertilisasi: fungsi reproduksi (penurunan genetik), fungsi perkembangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai 22 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai Inseminasi Buatan Daerah (UPTD-BIBD) Lampung Tengah. Kegiatan penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus) PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus) The effect of Thawing Lenght in Ice Water (3 o C) to viability and motility of Bali

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2015 sampai 25 Mei 2015.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2015 sampai 25 Mei 2015. 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2015 sampai 25 Mei 2015. Berlokasi di Laboratorium Reproduksi, Pemuliaan dan Kultur Sel Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YULNAWATI.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis...

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM...i PRASYARAT GELAR...ii LEMBAR PERSETUJUAN...iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI...iv RIWAYAT HIDUP...v UCAPAN TERIMAKSIH...vi ABSTRAK...vii ABSTRACT...viii RINGKASAN...ix DAFTAR

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Sains Peternakan Vol. 9 (2), September 2011: 72-76 ISSN 1693-8828 Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Nilawati

Lebih terperinci

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SAPI Limousin SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN GRADIEN DENSITAS ALBUMIN PUTIH TELUR ABSTRACT

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SAPI Limousin SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN GRADIEN DENSITAS ALBUMIN PUTIH TELUR ABSTRACT KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SAPI Limousin SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN GRADIEN DENSITAS ALBUMIN PUTIH TELUR Aria Mahendra Putra 1), Trinil Susilawati 2), Nurul Isnaini 2) 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein

BAB I PENDAHULUAN. yang baik pun meningkat. Salah satu sumber gizi yang paling penting adalah protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di negara Republik Indonesia semakin meningkat yang menyebabkan kebutuhan akan sumber makanan yang memiliki gizi yang

Lebih terperinci

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN (Artificial Insemination Using Sexing of Semen After Freezing) TRINIL SUSILAWATI Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT Alternative

Lebih terperinci

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro FERRY LISMANTO SYAIFUL, ZESFIN BP., R. SALADIN, JASWANDI dan HENDRI Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

Kualitas spermatozoa epididimis sapi Peranakan Ongole (PO) yang disimpan pada suhu 3-5 C

Kualitas spermatozoa epididimis sapi Peranakan Ongole (PO) yang disimpan pada suhu 3-5 C Kualitas spermatozoa epididimis sapi Peranakan Ongole (PO) yang disimpan pada suhu 3-5 C Takdir Saili *, Hamzah, Achmad Selamet Aku Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan semakin meningkat pula permintaan masyarakat terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK ACTA VETERINARIA INDONESIANA ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373 Vol. 1, No. 1: 15-19, Januari 2013 Penelitian Kualitas Morfologi Oosit Sapi Peranakan Ongole yang Dikoleksi secara In Vitro Menggunakan Variasi

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di. Balai Inseminasi Buatan Tenayan Raya, Pekanbaru.

III. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di. Balai Inseminasi Buatan Tenayan Raya, Pekanbaru. III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 013 di Balai Inseminasi Buatan Tenayan Raya, Pekanbaru. 3.. Materi Materi yang digunakan dalam

Lebih terperinci

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO ISSN : 1978-225X TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO Fertilization Rate of Sheep Oocytes Collected From Stored Ovaries at Difference

Lebih terperinci

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK Beni,V, Marhaeniyanto, E 2) dan Supartini, N Mahasiswa PS Peternakan, Fak. Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi

Lebih terperinci

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN Tim Penyusun: Dr. Agung Pramana W.M., MS. Dr. Sri Rahayu, M.Kes. Dr. Ir. Sri Wahyuningsih, MS. Drs. Aris Soewondo, MS. drh. Handayu Untari drh. Herlina Pratiwi PROGRAM KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Tugas Akhir SB 091351 Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Ika Puspita Ningrum 1507100059 DOSEN PEMBIMBING: Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si N. D. Kuswytasari,

Lebih terperinci

Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro

Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro J. WATTIMENA dan M. VEERMAN Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.

Lebih terperinci

Semen beku Bagian 2: Kerbau

Semen beku Bagian 2: Kerbau Standar Nasional Indonesia Semen beku Bagian 2: Kerbau ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2017 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap evaluasi semen domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian menggunakan data sekunder di Laboratorium Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Bandung, Jawa Barat. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder produksi

Lebih terperinci

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi ZAITUNI UDIN¹, JASWANDI¹, TINDA AFRIANI¹ dan LEONARDO E. 2 1 Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus

Lebih terperinci

Efektivitas Albumen Sebagai Media Pemisah Spermatozoa Sapi Pembawa Kromosom X dan Y

Efektivitas Albumen Sebagai Media Pemisah Spermatozoa Sapi Pembawa Kromosom X dan Y Efektivitas Albumen Sebagai Media Pemisah Spermatozoa Sapi Pembawa Kromosom X dan Y (Effectivity of Albumen as Separation Medium of X and Y Chromosomes Bearing Bovine Spermatozoa) TAKDIR SAILI 1, MOZES

Lebih terperinci

EVALUASI KUALITAS SPERMATOZOA HASIL SEXING PADA KEMASAN STRAW DINGIN YANG DISIMPAN PADA SUHU 5 C SELAMA 7 HARI

EVALUASI KUALITAS SPERMATOZOA HASIL SEXING PADA KEMASAN STRAW DINGIN YANG DISIMPAN PADA SUHU 5 C SELAMA 7 HARI EVALUASI KUALITAS SPERMATOZOA HASIL SEXING PADA KEMASAN STRAW DINGIN YANG DISIMPAN PADA SUHU 5 C SELAMA 7 HARI (Evaluation on Sexed Sperm Quality in Chilling Straw Which was Kept Chilling at 5 C Along

Lebih terperinci

DAYA FERTILISASI SPERMATOZOA KAUDA EPIDIDIMIS DOMBA DENGAN ATAU TANPA SWIM UP SEBELUM FERTILISASI NUR AISYAH AMRAH SAFITRI

DAYA FERTILISASI SPERMATOZOA KAUDA EPIDIDIMIS DOMBA DENGAN ATAU TANPA SWIM UP SEBELUM FERTILISASI NUR AISYAH AMRAH SAFITRI DAYA FERTILISASI SPERMATOZOA KAUDA EPIDIDIMIS DOMBA DENGAN ATAU TANPA SWIM UP SEBELUM FERTILISASI NUR AISYAH AMRAH SAFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan 4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan

Lebih terperinci

OBSERVASI KUALITAS SEMEN CAIR SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERBEDAAN WAKTU INKUBASI PADA PROSES PEMISAHAN SPERMATOZOA

OBSERVASI KUALITAS SEMEN CAIR SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERBEDAAN WAKTU INKUBASI PADA PROSES PEMISAHAN SPERMATOZOA OBSERVASI KUALITAS SEMEN CAIR SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERBEDAAN WAKTU INKUBASI PADA PROSES PEMISAHAN SPERMATOZOA (Observation of Chilled Semen Quality of the Ongole Crossbred Cattle at Different

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR A. Winarto dan N. Isnaini Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang Abstrak

Lebih terperinci

EFEK PENAMBAHAN LAKTOSA DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS MARMUT (Cavia cobaya) SELAMA PRESERVASI SKRIPSI

EFEK PENAMBAHAN LAKTOSA DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS MARMUT (Cavia cobaya) SELAMA PRESERVASI SKRIPSI EFEK PENAMBAHAN LAKTOSA DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA EPIDIDIMIS MARMUT (Cavia cobaya) SELAMA PRESERVASI SKRIPSI Oleh: Alvien Nur Aini 091810401001 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR - SB Oleh: ARSETYO RAHARDHIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Ir. Ninis Trisyani, MP.

TUGAS AKHIR - SB Oleh: ARSETYO RAHARDHIANTO NRP DOSEN PEMBIMBING : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Ir. Ninis Trisyani, MP. TUGAS AKHIR - SB 091358 Oleh: ARSETYO RAHARDHIANTO NRP. 1507 100 016 DOSEN PEMBIMBING : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Ir. Ninis Trisyani, MP. Kebutuhan pangan (ikan air tawar) semakin meningkat Kualitas

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI YANG DISELEKSI MENGGUNAKAN TEKNIK PEWARNAAN BRILLIANT CRESYL BLUE SECARA IN VITRO ZULTINUR MUTTAQIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci