BAB II LANDASAN TEORI. alat untuk menganalisis masalah yaitu teori negara kesatuan sebagai grand theory,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. alat untuk menganalisis masalah yaitu teori negara kesatuan sebagai grand theory,"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI Dalam penelitian ini akan dipergunakan beberapa landasan teori sebagai alat untuk menganalisis masalah yaitu teori negara kesatuan sebagai grand theory, teori pembagian kekuasaan sebagai middle range theory, dan otonomi daerah, demokrasi sebagai applied theory. Dalam teori negara kesatuan menggunakan teori C.F. Strong, sekaligus digunakan untuk membahas permasalahan pertama dan kedua tentang otonomi daerah dalam rangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut C.F. Strong, ada dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan, yaitu, pertama, adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan kedua, tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Dengan demikian, bagi para warga negara dalam negara kesatuan itu hanya terasa adanya satu pemerintahan saja. C.F Strong megajukan ciri utama negara kesatuan dengan desentralisasi, yaitu suatu Negara yang daerah-nya diorganisasikan di bawah pemerintah pusat, kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh daerah-daerah sebagai suatu keseluruhan di kendalikan oleh kebijakan pemerintah pusat, tanpa suatu pembatasan-pembatasan serta kekuasaan legislative tertinggi dipegang dan dijalankan oleh kekuasaan pusat. Teori pembagian kekuasaan digunakan untuk membahas permasalahan kedua tentang indikator suatu otonomi yang menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk membahas permasalahan kedua tentang indikator suatu otonomi yang menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 19

2 digilib.uns.ac.id 20 menggunakan teori pembagian kekuasaan CF Strong. Menurut CF Strong pembagian kekuasaan dalam Negara Federal dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung di mana letaknya Reserve of Powers atau dana kekuasaan :Pertama, Undang-Undang Dasar memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal (misalkan kekuasaan untuk mengurus soal hubungan luar negeri, mencetak uang dan sebagainya) sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terinci diserahkan kepada Negara-negara bagian. Sisa kekuasaan ini dinamakan reserve of powers atau dana kekuasaan.; Kedua, Undang-Undang Dasar merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan dana kekuasaan diserahkan kepada pemerintah federal. Permasalahan yang ketiga tentang model otonomi dalam menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan teori hans kelsen. Menurut Hans Kelsen, Pemberlakuan otonomi daerah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk organisasi negara atau tatanan hukum negara. Tatanan Hukum desentralisasi menunjukkan adanya berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada wilayah yang berbeda. Ada kaidah yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara (central norm) dan ada kaidah berlaku sah dalam wilayah yang berbeda disebut kaidah desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm) 194. Teori Hans Kelsen menjelaskan bahwa pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah sebagai tatanan hukum Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York Russell & Russell,1973, hlm

3 digilib.uns.ac.id 21 desentralistik yang dikaitkan dengan wilayah (territorial) sebagai tempat berlakunya kaidah hukum secara sah sebagai konsepsi statis dari desentralisasi 195, A. Konsep Negara Kesatuan 1 Pengertian Negara Kesatuan Menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/ pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaualtan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian, yang menjadi hakikat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan perkataan lain, kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, oleh karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat. Jadi, adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri itu tidak berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat. Sehingga kemudian, sampailah Srong pada kesimpulan bahwa ada dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan, yaitu, pertama, adanya supremasi dari Dewan 195 Ibid.

4 digilib.uns.ac.id 22 Perwakilan Rakyat Pusat dan kedua, tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Dengan demikian, bagi para warga negara dalam negara kesatuan itu hanya terasa adanya satu pemerintahan saja 196. Abu Daud Busroh 197 mengemukakan bahwa negara kesatuan disebut juga negara unitaris. Ditinjau dari susunannya, negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, seperti halnya negera federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal; artinya, hanya ada satu negara, tidak ada negara dalam negara. Jadi dengan demikian, di dalam negara kesatuan itu hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Mengenai perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, R.Kranenburg 198 mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif sebagai berikut : a. Negara bagian sesuatu federasi memiliki pouvoir contituant, yakni wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan organisasi bagian-bagian negara (yaitu pemerintah daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat; b. Dalam negara federal, wewenang bentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam kontitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. 196 C.F.Strong dalam Miriam Budiardjo, Loc Cit, hlm Abu Daud Busroh. Ilmu Negara. Bumi Aksara. Jakarta hlm R. Kranenburg, Algemen commit Staatsleer to (Haarlem: user H.D. Tjeenk Willink, 1951) Bab VI.dalam Miriam Budiarjo, hlm 143.

5 digilib.uns.ac.id 23 Menurut K.C. Wheare 199 dalam bukunya Federal Goverment, prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan dari pemerintah negara bagian, sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal. Menurut CF Strong pembagian kekuasaan dalam Negara Federal dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung di mana letaknya Reserve of Powers atau dana kekuasaan : 200 a. Undang-Undang Dasar memperinci satu persatuan kekuasaan pemerintah federal (misalkan kekuasaan untuk mengurus soal hubungan luar negeri, mencetak uang dan sebagainya) sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terinci diserahkan kepada Negara-negara bagian. Sisa kekuasaan ini dinamakan reserve of powers atau dana kekuasaan. Negara federal semacam ini dianggap lebih sempurna sifat federalnya dai pada negara federal dimana dana kekuasaannya terletak pada pemerintah federal, sebab maksud dari memperinci kekuasaan itu justru untuk membatasi kekuasaannya. Jadi dalam hal ini perincian dari kekuasaan pemerintah federal dimaksudkan untuk membatasi pemerintah federal dan memperkuat kekuasaan negaranegara bagian. b. Undang-Undang Dasar merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan dana kekuasaan diserahkan kepada pemerintah federal. Negara federal semacam ini dianggap kurang sempurna sifat federalnya dari pada penjelasan (a) tersebut diatas, oleh karena dianggap bahwa maksud dari perincian kekuasaan negara bagian ialah untuk membatasi kekuasaan negara bagian dan memperkuat kekuasaan federal. 199 K.C Wheare, dalam Miriam Budiarjo, Loc Cit, hlm CF.Strong dalam rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi luas dan isu federalism sebagai suatu alternative, Raja Grafindo commit Persada, to Jakarta, user 2000, hlm

6 digilib.uns.ac.id 24 Tetapi bilamana ditinjau dari sudut politik maka terdapatlah perbedaan prinsipiil antara federasi dengan negara kesatuan. E. Etrecht dalam hubungan ini mengemukakan bahwa ada permulaan perkembangan kenegaraan, perlulah adanya desentralisasi kekuasaan supaya kekuatankekuatan yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru dicapai itu dapat dilenyapkan. Apabila kemudian ternyata kekuatan-kekuatan tersebut tidak ada lagi jadi hidup negara yang baru tidak terancam lagi oleh kekuatan-kekuatan yang bertujuan meruntuhkan kesatuan maka sentralisasi itu dapat dijadikan desentralisasi, bahkan lebih jauh lagi, suatu desentralisasi yang bersifat federasi Paham Negara Kesatuan Menurut Soepomo ada beberapa pendapat tentang teori bernegara, yaitu sebagai berikut 202 : 1. Ada suatu aliran yang menyatakan, bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan, teori individualistis. 2. Aliran pikiran lain lagi adalah teori yang dinamakan dengan teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.(abad ke-18 dan ke-19). Menurut pikiran ini, negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah susunan masyarakat yang integraal, segala 201 Op cit, hlm Risalah BPUPKI, Loc Cit, hlm 52.

7 digilib.uns.ac.id 25 golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integraal ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Menurut soepomo dalam sidang BPUPKI menyatakan: Jika kita hendak mendirikan Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (Staatsidee) Negara yang integralistik, Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. 203 Dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu Negara tetapi beberapa Negara. Sedang kita hendak mendirikan satu Negara. Jadi tinggal membicarakan eenheidsstaat atau bondsttaat. Jika benar, bahwa bondstaat itu juga satu Negara belaka, maka lebih baik kita tidak memakai etiket eenheidsstaat atau bondstaat, oleh karena perkataan-perkataan itu menimbulkan salah faham. Kemudian Moh Hatta melanjutkan pernyataan soepomo: maka dalam Negara itu soal sentralisasi atau desentralisasi pemerintahan tergantung daripada masa, tempat dan soal yang bersangkutan. Maka dalam Negara Indonesia yang berdasar pengertian Negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organic dari Negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung daripada 203 Ibid, hlm 55

8 digilib.uns.ac.id 26 doelmatigheid berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya. Jadi dalam Negara totaliter atau integralistik, Negara akan ingat kepada segala keadaan, hukum Negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya ditanah air kita itu. Dengan sendirinya dalam Negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. 204 Muhammad Yamin berpendapat 205 bahwa susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tentang pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segalagalanya pada pusat pemerintahan. Jadi dalam hal ini Yamin menyadari agar tidak terbentuk kekuasaan yang absolut maka pemilihan susunan negara antara kesatuan dan federasi sangat diperlukan. Yamin menyatakan bahwa 206 ia menolak pembentukan negara serikat dalam republik, berdasarkan pada pemandangan umum yang praktis dan dengan cita-cita pelaksanaan unitarisme. Bagi Yamin, untuk mendirikan negara serikat dalam Republik Indonesia ada beberapa syarat yang dapat dijalankan dan juga ada syarat-syarat yang tidak dapat dijalankan. Yamin mengemukakan bahwa syarat yang pertama yang dapat dijalankan sebenarnya bukanlah syarat, melainkan berisi nasihat-nasihat yang dikemukakan untuk mendirikan negara serikat, yaitu hendaklah kekuasaan pusat jangan bertumpuk-tumpuk di pusat dan juga supaya 204 Ibid, hlm Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi, dalam Syahda Guruh LS, Menimbang Otonomi VS Federal, PT Remaja Rosdakarya, commit Bandung, to user 2000, hlm Muhammad Yamin, Risalah Sidang BPUPKI, dalam Ibid.

9 digilib.uns.ac.id 27 daerah jangan kosong, melainkan dapat kekuatan sepenunya dari pemerintah pusat. Jadi kemauan atau aliran yang hendak memajukan Bodstaat (negara serikat) adalah supaya memenuhi nasihat-nasihat untuk memecahkan kekuasaan pusat mengenai dua perkara, yakni dekonsentralisasi kekuasaan antara pusat dengan daerah. Maka kedua syarat ini dapat kita penuhi, tetapi kita janganlah menyangka, bahwa syarat dekonsentrasi (pembagian kekuasaan pusat di antara badan-badan pusat) dan desentralisasi (pembagian kekuasaan pusat dengan daerah), hanya dapat dilakukan di dalam suatu negara serikat Indonesia, melainkan dapat pula seperti telah juga terdapat di Jerman dan dijalankan dengan negara persatuan dan eenheidstaat. Jadi, syarat-syarat dekonsentralisasi dan desentralisasi bagi Yamin dapat dijalankan dalam negara Indonesia yang berupa eenheidstaat (kesatuan/ unitarisme). Uraian di atas terlihat bahwa antara Soepomo dan Yamin memiliki kesamaan persepsi mengenai susunan negara. Kedua-duanya memilih kesatuan. Akan tetapi, terdapat perbedaan secara filosofis. Soepomo mendukung unitarisme berdasarkan paham kedaulatan negara (raja) yang ia anut sehingga sebuah kewajaran apabila corak negara yang diidamkan adalah totaliter, dan untuk mewujudkan ini haruslah dibentuk negara kesatuan. Pendapat Soepomo yang akhirnya menerima kedaulatan rakyat, kiranya hanyalah sebuah kompromis terhadap keinginan-keinginan agar dibentuknya sebuah republik ketimbang monarki.

10 digilib.uns.ac.id 28 Sedangkan Yamin berangkat dari pemahaman mengenai kedaulatan rakyat, dalam tataran benegara Indonesia yang luas dan sangat pluralistik, Yamin memandang adanya potensi perpecahan sehingga agar persatuan dapat terwujud, maka susunan negara yang harus dibentuk adalah kesatuan. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga rasa nasionalisme (kebangsaan Indonesia). Melihat konteks pemikiran Yamin yang demikian, terlihat sebuah ambiguitas nilai yang dipegang oleh Yamin. Di satu sisi, ia mendukung negara yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat, tapi di sisi lain ia juga mendukung negara yang berdasarkan pada kedaulatan penguasa (rakyat). Hatta mengemukakan bahwa karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlu tiap-tiap golongan, kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan-peraturan masingmasing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum. 3 Hakekat Negara Kesatuan Prinsip pada negara kesatuan, ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara, ialah pemerintah pusat (central government) tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (local government) Solly lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm 140.

11 digilib.uns.ac.id 29 Dalam negara kesatuan terdapat, baik persatuan (union) maupun kesatuan (unity) 208. L.J. Van Apeldoorn, mengatakan...suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Provinsi-provinsi itu tidak mempunyai hak mandiri 209. Menurut Sri Soemantri adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, akan tetapi karena masalah itu adalah merupakan hakikat daripada negara kesatuan. 210 Negara kesatuan sebagai negara dengan sentralisasi kekuasaan, menurut Thorsten V. Kalijarvi ialah negara-negara dimana seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau beberapa organ pusat, tanpa pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah bagian-bagian negara itu. Pemerintah bagian-bagian negara itu hanyalah bagian pemerintahan pusat yang bertindak sebagai wakil-wakil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan administrasi setempat 211 C.F Strong megajukan unsur-unsur pokok atau ciri-ciri utama negara kesatuan dengan desentralisasi, yaitu: (1) suatu Negara yang daerah-nya diorganisasikan di bawah pemerintah pusat, (2) kekuasaankekuasaan dalam wilayah diadministrasikan sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat, (3) kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki oleh daerah-daerah sebagai suatu keseluruhan di kendalikan oleh kebijakan 208 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik dalam Ni matul Huda, Loc Cit, hlm Bonar Simorangkir et.al., Otonomi Atau Federalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian, dalam Ni matul Huda, hlm J. Wajong, Asas dan tujuan commit Pemerintahan to user Daerah, dalam Ni matul Huda, hlm Freed Isjwara, dalam Ni matul Huda, Op Cit, hlm 21.

12 digilib.uns.ac.id 30 pemerintah pusat, (4) pemerintah pusat adalah tertinggi diatas keseluruhan tanpa suatu pembatasan-pembatasan yang ditimbulkan oleh suatu perizinan hokum terhadap kekuasaan-kekuasaan khusus kepada daerahdaerah bagiannya, serta (5) kekuasaan legislative tertinggi dipegang dan dijalankan oleh kekuasaan pusat. 212 Baik mengenai negara kesatuan dengan sentralisasi maupun negara kesatuan dengan desentralisasi menunjukan gambaran umum tentang identitas negara kesatuan sebagai negara : (1) satu negara, (2) satu kedaulatan, (3) satu wilayah/daerah, (4) satu bangsa, (5) satu system konstitusi, (6) satu system hokum, dan (7) satu system pemerintahan. 213 Dalam negara serikat (federasi) Negara-negara bagian itu asal mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dalam suatu negara serikat,maka negara yang tadinya berdiri sendiri itu dan sekarang menjadi negara bagian, melepaskan sebagian kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebut sebuah demi sebuah (limitatif), hanya kekuasaan yang disebutkan itu diserahkan kepada negara serikat (delegated powers). 214 Terdapat perbedaan prinsip antara federasi dengan negara kesatuan Menurut Kuntana Magnar menyatakan: 212 CF Strong dalam Astim Riyanto, Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18 UUD 1945, loc cit, hlm Astim Riyanto, Ibid, hlm C.S.T Kansil dan Cristine commit ST Kansil, to Ilmu user Negara, PT Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke 3, 2007, hlm 136.

13 digilib.uns.ac.id 31..salah satu perbedaan yang prinsipil dengan Negara serikat (federal) adalah di mana kewenangan pemerintah pusat disebutkan satu persatu dalam Undang-undang dasar, dan bahwa susunan pemerintah daerah dalam Negara kesatuan diatur dari pusat, sedang susunan pemerintah daerah yang disebut Negara bagian dalam Negara serikat, diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Bagian sendiri. Sehingga berbeda dari Negara kesatuan, dimana campur tangan pemerintah pusat dalam Negara serikat (federal) lebih terbatas terhadapo pemerintah Daerah. 215 Menurut L. Oppenheim, suatu konfederasi terdiri dari beberapa Negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdakaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga Negara-negara itu. 216 Menurut Hans Kelsen, suatu perserikatan negara-negara dalam arti antar bangsa yang sesungguhnya, yang berarti suatu masyarakat yang terorganisasi yang disebut konfederasi negara-negara, seperti misalnya liga bangsa-bangsa, dalam banyak hal bisa menyerupai suatu Negara federal. Konstitusi dari sebuah konfederasi negara-negara merupakan sebuah tatanan hukum yang berlaku bagi seluruh territorial Negara-negara yang bergabung dalam masyarakat internasional ini. Konstitusi ini memiliki karakter sebagai tatanan hokum pusat dan membentuk satu masyarakat bagian, yaitu, konfederasi. Masing-masing Negara secara tersendiri yang disebut negara-negara anggota, seperti negara-negara bagian di dalam 216 Edwar M Sait, Political Institutions, dalam nikmatul huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2012, hlm 41.

14 digilib.uns.ac.id 32 negara federal, juga merupakan masyarakat-masyarakat bagian, yang dibentuk oleh tatanan hukum daerah, yakni tatanan hukum nasionalnya masing-masing. 217 Hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua subyek hukum yang masingmasing berdiri sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan Pemerintah Pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi. Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, undangundang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian. Kedua, pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi. Ketiga, Pusat mengakui urusanurusan pemerintahan tertentu yang diciptakan atau yang kemudian diatur 217 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara dalam Nikmatul Huda, Ibid.

15 digilib.uns.ac.id 33 dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus Pusat maupun atas dasar semacam concurrent power. Keempat, membiarkan segala urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi. Cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu otonomi bersifat luas atau terbatas. 218 Perbedaan lain, hubungan antara kekuasaan federal dengan negara bagian bersifat ketatanegaraan. Sedangkan hubungan pusat dan daerah di bidang otonomi bersifat administratif Desentralisasi dalam Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan, diselenggarakan dengan prinsip atau asas negara kesatuan dalam kerangka desentralisasi, dengan prinsip atau asas tersebut maka urusan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, diselenggarakan dengan pembagian urusan antara Negara yang diwakili Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom Prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan menurut pasal 18 lama/ pasal 18 sebelum amandemen adalah bahwa setiap negara kesatuan dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan system sentralisasi atau desentralisasi; desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan Nikmatul Huda,Ibid, hlm J. Wajong, Asas dan tujuan commit Pemerintahan to user Daerah dalam Nikmatul Huda, Loc cit., hlm

16 digilib.uns.ac.id 34 oleh Pemerintahan pusat (central government), melainkan oleh satuansatuan pemerintahan tingkat lebih rendah yang mandiri (zelfstanding), bersifat otonom (territorial ataupun fungsional) ; pendapat ini mendorong penguatan prinsip Negara kesatuan yang didesentralisasikan. 220 Landasan pola kewenangan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang digariskan dalam pembukaan UUD, Pasal 1 Ayat 1, juncto Pasal 18 (lama) UUD Negara Republik Indonesia 1945 meliputi prinsip-prinsip: 221 a) Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, yang berarti urusan pemerintah Negara Republik Indonesia mencakup urusan seluruh urusan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, termasuk urusan menyelenggarakan pemerintah Negara Republik Indonesia. b) Urusan Negara Republik Indonesia (Bidang Eksekutif) yang diselenggarakan pemerintah Negara Republik Indonesia dibagi dan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Negara Republik Indonesia dengan pola pembagian urusan menurut prinsip atau asas desentralisasi, tugas pembantuan (medebewind), termasuk didalamnya penanganan urusan baru bagi kepentingan masyarakat yang belum ditangani menurut prinsip atau asas tersebut (dengan nama urusan yang belum termasuk urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/vjrijbestuur ) 220 Arief Muljadi, Loc Cit,hlm Ibid, hlm

17 digilib.uns.ac.id 35 Prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan menurut pasal 18 baru, pasca amandemen; 222 a) Prinsip Negara Kesatuan meletakkan kekuasaan/kewenangan pemerintah pada pemerintah pusat, dengan kata lain pemegang kekuasaan sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat, namun dalam rangka efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan tersebut dialirkan (dibagikan) kepada Pemerintah Daerah, melalui konsep yang diberikan ke daerah tetap memiliki batas hal tersebut juga disebutkan dalam pendapat J.Kaloh. b) Prinsip Negara Kesatuan dalam pasal 1 ayat 1 juncto pasal 18 baru ayat 1, pasal 25 A dan pasal 37 ayat 5/baru serta pembukaan UUD 1945 setelah perubahan/amandemen ke II dank e IV, berupa perubahan pasal 18 lama menjadi pasal 18 baru, pasal 18B dan pasal 25A, kemudian dalam pasal 18/baru (7 ayat), juncto pasal 18A (2 Ayat), dan pasal 18B (2 ayat), tertuang prinsip atau asas desentralisasi dan tugas pembantuan, ketentuan pasal-pasal tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-undang tentang pelaksanaan pasal-pasal dimaksud, berupa undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 222 Ibid, hlm 33-34

18 digilib.uns.ac.id 36 c) Philipus M. Hadjon mengemukakan pendapat, bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemerintah Daerah Pasca Amandemen khususnya prinsip yang terkandung dalam Pasal 18 (Baru) adalah: Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis (Ayat 1) 2 Prinsip Otonomi dan tugas pembantuan (Ayat 2) 3 Prinsip Demokrasi (Ayat 3 dan 4) 4 Prinsip otonomi seluas-luasnya (Ayat 5) 5 Negara Kesatuan dan Demokrasi Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh pendiri Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa: 224 Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sen-diri) dan zelfgbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi)... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lain. Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik dan menentukan nasibnya. Karena otonomi daerah merupakan wujud diterapkanya asas desentralisasi. maka pada 223 Ibid, hlm Mahfud MD, makalah Otonomi Daerah Sebagai Keharusan Agenda Reformasi MenujuTatanan Indonesia Baru dalam Jurnal commit Administrasi to user Negara Universitas Brawijaya VoL I, No. 1, September 2000: 1-10.

19 digilib.uns.ac.id 37 hakekatnya asas desentralisai inilah yang mendasari terwujudnya demokrasi. Dalam hubungaanya dengan demokrasi, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan syarat terwujudnya demokrasi dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencerminkan kepentingan tiap-tiap daerah yang berbeda-beda, melalui aturan pembagian kekuasaan antara badan-badan pusat dan badan-badan daerah secara adil dan bijaksana sehingga daerah dapat memelihara kepentingannya dalam kerangka negara kesatuan. Susunan pemerintahan yang demokratis tersebut memerlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Di sinilah dimunculkan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang dapat membendung arus sentralisasi. Adanya pembatasan kekuasaan ini jika dikaitkan dengan konstitusionalisme ditemukan di dalam berbagai literatur yang pada intinya menyebutkan bahwa konstitusi itu pada hakikatnya merupakan pembatas kekuasaan di dalam negara yang dapat disimpulkan dari materi muatannya yang selalu memuat pembatasan kekuasaan itu. Dari gagasangagasan ini tampak bahwa filosofi, formulasi, dan implementasi otonomi haruslah berorientasi pada : pertama, realisasi dan implementasi demokrasi; kedua, realisasi kemandirian secara nasional dan mengembangkan sensitivitas kemandirian daerah; ketiga; membiasakan daerah untuk mendewasakan diri dalam memanage permasalahan dan kepentingannya sendiri; keempat, menyiapkan political schooling untuk masyarakat; kelima, menyediakan saluran bagi aspirasi dan partisipasi

20 digilib.uns.ac.id 38 daerah; dan keenam, membangun efisiensi dan efektivitas pemerintahan. 225 Miriam Budirdjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik menegaskan bahwa perkembangan ide demokrasi dapat dilihat dalam dua mainstrem, pertama demokrasi pada negara hukum klasik dan kedua demokrasi pada negara hukum dinamis. 226 Mahfud MD mengistilahkan sebagai negara hukum formal (demokrasi abad XIX) dan terakhir sebagai negara hukum material (demokrasi abad XX). 227 Negara hukum formil yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini menurut F.J Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsur-unsur utamanya sebagai berikut: a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi. b. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politika (pemisahan kekuasaan). c. Pemerintahan didasarkan pada Undang-Undang. d. Adanya peradilan administrasi Mahfud MD, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Jakarta, Gama Media, 1999, hlm Miriam Budiardjo, Op cit, hlm Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan (Jakarta: commit Rineka to user Cipta), 2000, hlm Ni matul Huda, loc.cit, hlm 6.

21 digilib.uns.ac.id 39 Negara hukum materiil, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut daripada negara hukum formal. Jadi apabila pada negara hukum formal tindakan penguasa harus berdasarkan pada Undang- Undang atau harus berdasarkan asas legalitas, maka dalam negara hukum materiil tindakan dari penguasa dalam hal yang mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan bertindak menyimpang dari Undang-Undang atau berlaku asas ooportunitas 229. Kemudian dari ilmu politik, Franz Magnis Suseno mengambil empat ciri negara hukum yang secara etis relevan, yaitu: a. Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku b. Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif c. Berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hakhak Asasi manusia, dan d. Menurut pembagian kekuasaan. 230 Lahirnya ide dan keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan pada dasarnya disebabkan politik kekuasaan yang cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar ini, terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari penguasa yang despotik. 229 Ibid, hlm Franz Magnis Suseno, Etika commit Politik to Prinsip-Prinsip user Moral ketatanegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm

22 digilib.uns.ac.id 40 Di sinilah kemudian konstitusi menjadi penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil, government by laws, not by men (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan manusia). 231 Dalam hubungannya dengan pembatasan kekuasaan negara, Sri Soemantri mengatakan: "Dengan demikian, Konstitusi atau Undang Undang Dasar merupakan alat untuk membatasi kekuasaan dalam negara. 232 Bagi Indonesia, yang berlandasan pada Grundnorm Pancasila, maka demokrasinya dapat disebut Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila hendak menggambarkan suatu demokrasi yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945 dengan menjadikan prinsip musyawarahmufakat sebagai landasan utama. Landasan utama demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Penerapan demokrasi pancasila harus dijiwai oleh sila-sila pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila pada masa Presiden Soeharto berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong. 231 Miriam Budihardjo, op. cit hlm Sri Soemantri M, Ketetapan commit MPR(S) to user Sebagai Salah Satu Sumber Tata Negara. Bandung, Remaja Karya. hlm. 2.

23 digilib.uns.ac.id 41 Perkembangan demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang negara integralistik sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 di depan sidang paripurna BPUPKI. Soepomo mengemukakan bahwa yang pertama harus dibicarakan dan disepakati dulu oleh BPUPKI sebelum membahas soal persatuan negara dengan agama, bentuk negara Serikat, Republik atau Monarchi adalah soal pengertian negara dan dasar pengertian yang dianut oleh negara tersebut atau staatsidee. Pemikiran soepomo tentang integralistik mengikuti aliran pikiran integralistik seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain pada abad ke 18 dan 19 yang berpaham bahwa negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang maupun golongan, melainkan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara merupakan susunan masyarakat yang integral yang didalamnya segala golongan, segala bagian dan segala anggotanya saling berhubungan secara erat dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. 233 Paham integralistik menurut Soepomo memberi arti bahwa negara merupakan bangsa yang teratur, persatuan rakyat yang tersusun sehingga didalamnya tidak ada dualisme mengenai staat dan individu, tidak ada pertentangan antara susunan staat dengan susunan hukum individu sebab individu tidak lain suatu bagian organik dari negara, yang 233 Muhammad Yamin dalam Moh.Mahfud M.D, Loc cit, hlm 39.

24 digilib.uns.ac.id 42 mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemajuan negara; begitu pula sebliknya, karena negara bukan merupakan badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di dalam lingkungan suasana kemerdekaan seseorang. 234 Pada bagian lain dari pidatonya Soepomo mengemukakan: Menurut aliran pikiran tentang negara yang saya anggap sesuai dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat), akan tetapi mengatasi segala golongan dan segala seseorang, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. 235 Pada hari ketiga tersebut, sidang BPUPKI 31 Mei 1945 pada masa sidang I, R. Soepomo dalam pidatonya mengusulkan supaya Negara Indonesia yang hendak didirikan itu: (1). Berbentuk negara kesatuan (eerrlreidsstaat); (2). Negara yang mengakui dan menghormati daerahdaerah yang memiliki keistimewaan (sekarang menjadi daerah otonom ibukota negara, daerah otonomi istimewa dan daerah otonomi khusus); (3). Negara dibagi atas daerah besar dan kecil (sekarang menjadi Provinsi dan Kabupaten/Kota); (4). Negara dengan asas integralistik; 236 (5). Hukum negara memperhatikan golongan-golongan di tanah air, serta (6). Banyak soal-soal pemerintahan diserahkan kepada Pemerintah Daerah (sekarang dengan asas otonomi yang membentuk daerah-daerah otonom). 234 Ibid, hlm Ibid. 236 Meski kata integralistik sampai sidang ini dipermasalahkan, tetapi Soepomo menunjuk pada negara kesatuan. Jadi, pilihan terhadap commit to negara user kesatuan ini terlepas dari kontroversi tentang integralistik.

25 digilib.uns.ac.id 43 Dari pendapat-pendapat para tokoh pendiri Republik ini disepakatilah bahwa bentuk negara yang akan diproklamasikan kemerdekaannya nanti adalah negara kesatuan dengan sistem pemerintahannya desentralisasi dan otonomi daerah. Demikian pula UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:..dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan". Jadi artinya sebagai asas otonomi menurut UU No. 32/2004 adalah otonomi seluas-luasnya. Sistem sentralisasi atau desentralisasi bisa saja terjadi dalam Negara Kesatuan tergantung kesepakatan/persetujuan bersama antara pemerintah dengan rakyatnya atau wakil-wakil rakyat. Negara Kesatuan menurut UU No 32 Tahun 2004 adalah Negara kesatuan yang menghormati kekhususan dan keistimewaan daerah-daerah di Indonesia. Negara kesatuan harus diartikan sebagai unitary, yakni kesatuan yang tidak menghilangkan keragaman dari unsur-unsur yang menyatu itu. Kesatuan dimana didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan. Pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman itu, baik yang bersifat lahiriyah (situasi dan kondisi masing-masing daerah yang berbeda-beda) maupun batiniah (keragaman pemikiran anak-anak bangsa dalam turut memikirkan nasib bangsanya), hanya mungkin terwujud bila pemerintahan mendatang menganut sepenuhnya asas-asas

26 digilib.uns.ac.id 44 konstutisionalisme. Yang dimaksud pemerintahan konstitusional itu bukan sekedar pemerintahan Negara yang berkonstitusi atau pemerintahan yang hanya memiliki undang-undang dasar; melainkan pemerintahan yang kekuasaannya terbatas (dibatasi oleh hokum) dan bertanggung jawab kepada rakyat. 237 B. Teori Pembagian Kekuasaan Negara Untuk memutar roda pemerintahan kekuasaan dan wewenang adalah dianggap penting. Dalam ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi istilah kekuasaan dan wewenang terkait erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Menurut pengertian umum atau bahasa, kata kekuasaan berasal dari kata kuasa artinya kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan Sedangkan wewenang adalah (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak atau melakukan sesuatu; (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain Menurut Bagir Manan kekuasaan (macht) tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, 237 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Jakarta, Kata Hasta Pustaka, 2007, hlm Anton M Moeliono, dkk, Kamus Umum Bahasa Indonesia, dalam Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Malang,Setara Press, 2012, hlm Ibid.

27 digilib.uns.ac.id 45 wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten) Mengenai hak dan kewajiban, Nicolai memberikan pengertian; 241 Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aandpraak op het verichten van een hendeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting on enn bepaalde handeling te verihten of n ate laten..(hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Sedang kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu). Pengertian wewenang menurut H.D. Stout adalah: 242 Bevoegheid wat kan worden omschreven als het geheel van bestuurechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjec-ten in het betuurechtlijke rechtverkeer. (Wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum public dalam hubungan hukum public.) Sedangkan Nicolai memberikan pengertian; 243 Met bevoegheid wordt bedold: het vermogen tot het verichten van bepaalde rechtshendelingen (handelingen die op rechtgelvolg gericht zijn dus ertoestrekken dat bepaalde rechtsgevolgen ontstan of teniet gaan) (Kewenangan berarti: kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum, mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu). Dapat disimpulkan dari pendapat Bagir Manan, Stout dan Nicolai bahwa wewenang adalah kemampuan yang diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan tindakan tertentu yang dimaksud untuk menimbulkan 240 Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah dalam Lukman Hakim,ibid, hlm Nicolai, P.& Olever, B.K., Bestuursrecht, dalam Lukman Hakim,ibid, hlm Stout, HD., D e Betekenissen commit van de to wet,dalam user Lukman Hakim,ibid, hlm Nicolai, P & Oliver dalam Luman Hakim,ibid, hlm 119.

28 digilib.uns.ac.id 46 akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). 244 Implementasi konsep negara hukum menjadikan pembagian kekuasaan menjadi salah satu aspek yang memegang peranan penting. Kekuasaan dan kedaulatan menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan negara karena hal itu merupakan perpaduan keinginan (aspirasi) rakyat dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah 245. Istilah pembagian kekuasaan (division of powers) jauh sebelumnya telah diungkapkan oleh Kelsen. Menurut Kelsen, adalah suatu kesalahan untuk menggambarkan asas monarki konstitusional sebagai dasar dalam pemisahan kekuasaan (separate of powers).fungsi yang semula digabungkan pada pribadi raja tidak dipisahkan (separated), tetapi dibagi antara kerajaan (monarch), parlemen (parliament), dan pengadilan (court). Kelsen menyimpulkan bahwa penerapan asas atau prinsip pembagian kekuasaan sesungguhnya adalah merupakan asas atau prinsip pembagian kekuasaan (division of powers) 246. Konsep kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah kedaulatan yang senantiasa berada di tangan rakyat. Nagel menegaskan bahwa jangkauan kekuasaan (kedaulatan) meliputi dua hal penting, yaitu (1) siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara, ini bisa menyangkut mengenai seseorang atau sekelompok orang. 244 Lukman Hakim, Ibid, hlm Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Icthiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm Kedaulatan rakyat suatu negara tidak dapat dilepaskan dari ideologi serta dasar yang dianut suatu negara tersebut, yang akan terlihat dalam UUD nya. Sembilan puluh persen negara didunia dengan tegas mencantumkan didalam konstitusinya masing-masing bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat dan kekuasaan pemerintah bersumber kepada commit kehendak to user rakyat. 246 Hans Kelsen, General Theorie of Law and State, Loc Cit, hlm

29 digilib.uns.ac.id 47 Sesuatu badan yang melakukan legislasi dan administrasi dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan serta (2) apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan tertinggi itu 247. Kekuasaan cenderung absolute, untuk itu diperlukan suatu pembatasan dalam kerangka aturan hukum, yang dengan sendirinya berkembang seiring dengan perkembangan paham konstitusionalisme (constitutionalism) 248 yang bisa menjadi landasan dalam pembatasan kekuasaan dalam hukum dasar (konstitusi negara). Pembatasan kekuasaan termaktub dalam konstitusi karena konstitusionalisme merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk menjamin agar kekuasaan yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan tidak disalahgunakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Sejalan dengan ini, Sri Sumantri menyatakan tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar, yang didalamnya lazim diatur tentang pembagian kekuasan, baik secara vertical maupun horizontal 249. Menurut Arthur Mass, pembagian kekuasaan itu ada dalam dua hal, yaitu capital division of power sebagai pembagian kekuasaan secara horizontal atau sering dipersamakan dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) 247 Jack H Nagel, The Discriptive Analisis of Power, dalam Agussalim Andi Gandjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm Carl C Friedrich, Constutional Goverment and Democrazy Theory and Practice in Europe and America, 5 th ed, dalam Ibid, commit hlm.47. to user 249 Sri Sumantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, hlm 1.

30 digilib.uns.ac.id 48 dan areal division of power sebagai pembagian kekuasaan secara vertical 250. Pembagian dan pemisahan tergantung pada prinsip-prinsip yang dianut dalam landasan hukum suatu negara. Kekuasaan pemerintahan diartikannya sebagai total capacity to govern which is or can be exercised by a given political community. Kekuasaan pemerintahan ini dapat dibagi di antara badan-badan resmi di pusat pemerintahan dan di antara wilayah dengan cara yang berbedabeda 251. Pembagian kekuasan dapat dilakukan dengan cara : pertama, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut proses yang dianut dalam pemerintahan. Cara capital division of powers (CDP) atau pembagian kekuasaan secara horizontal, dilakukan dimana proses legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing-masing diberikan kepada satu badan. Sementara cara areal division of power adalah pembagian kekuasaan secara vertical, dilakukan dimana proses legislatif hanya dapat diberikan kepada pemerintah pusat atau secara bersama-sama kepada unit yang terdesentralisasi. Pembagian kekuasaan basis wilayah dengan cara ini dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (daerah otonomi) pada konteks negara kesatuan dan antara negara bagian dengan pemerintah daerah dalam konteks negara federal. Pembagian kekuasan ini didasari oleh suatu undang-undang. Oleh karena itu, Hans Antlov menyatakan bahwa kekuasaan daerah otonom diterima dari atas 250 Arthur Mass, Area and Power: A Theory of Local Government, Glencoe, lllinois:the free Press, 1959, hlm Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1997, hlm 2.

31 digilib.uns.ac.id 49 dan dapat ditarik kembali melalui undang-undang yang baru, tanpa persetujuan daerah otonom yang bersangkutan 252. Kedua, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi menurut fungsi atau aktivitas pemerintahan. Dengan cara areal division of power atau secara vertical, fungsi-fungsi pemerintahan tertentu (seperti moneter dan hubungan luar negeri) diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi pemerintahan yang lain kepada negara bagian dan fungsi-fungsi tertentu lagi kepada pemerintah daerah. Sementara itu, cara capital division of powers atau secara horizontal adalah fungsi-fungsi pemerintahan tertentu dapat diberikan kepada departemen-departemen pemerintahan yang dibentuk atau diadakan 253. Pembagian kekuasaan dengan cara demikian terjadi antara pemerintah federal dan negara bagian, yang diatur dalam undang-undang dasar negara federal. negara federal merupakan system pemerintahan yang dengan sengaja dibuat sulit bagi pemerintah pusat untuk mengubah kekuasaan negara bagian. Oleh karena itu, antara negara federal dan negara kesatuan mencakup pouvoir constituent, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang dasar dan undang-undang 254. Hubungan kekuasaan di antara kedua pemerintah (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah) tersebut bersifat ketatanegaraan. Pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah 252 Hans Antlov, Federation of Intent in Indonesia , Makalah, disajikan dalam International Conference Toward Structural Reform for Democratization in Indonesia, Problems and Prospects, yang diselenggarakan oleh Center for Political and Regional Studies- Indonesia of Sciences and the Ford Foundation, di Jakarta, tanggal Agustus. 253 M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Goverment, New Delhi: Sterling Publisher Private Limited, 1982, commit hlm to user 254 R. Kranenburg, Algemene Staatleer, Harlem Willink, 1951, hlm

32 digilib.uns.ac.id 50 otonom tidak mencakup kekuasaan legislatif dan yudikatif karena hanya bersifat administrasi negara 255. Ketiga, kekuasaan pemerintahan dapat dibagi lebih lanjut menurut konstituensi (constituency). Cara capital division of powers atau horizontal adalah suatu badan atau kamar yang lebih luas dalam legislative dapat dibuat untuk mewakili suatu kontituensi atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan kepresidenan mewakili konstituensi lain. Penugasan, proses, fungsi atau konstituensi kepada unit-unit pemerintahan di tingkat pusat dan kepada wilayah-wilayah komponen dapat dilakukan secara utuh atau sebagian 256. Pembagian kekuasaan berbasis wilayah yang berasal dari satu sumber selain dari konstitusi dapat ditarik kembali oleh sumber tersebut atau dapat pula melalui ketentuan konstitusi yang dapat diubah secara formal dengan amandemen konstitusi 257. Pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan sama dengan pembagian kekuasaan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal. Jadi, areal division of power dalam negara federal, antara pemerintah pusat 255 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII, 2001, hlm Arthur Mass, Area..., op cit., hlm 13 & 17. Arthur menyatakan...the assigments of exclusive or shared powers can be by delegation which proceeds from a single source (other than a constitution) and which can be withdrawn by that source, or it can be by constitutional provision which can be changed formally only by constitutional amendment. Misalnya, fungsi moneter hanya diberikan secara utuh kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi kesejahteraan umum dapat dilakukan bersama pemerintah pusat dan negara bagian (provinsi). Jadi pembagian kekuasaan berbasis wilayah yang berasal dari satu sumber selain dari konstitusi dan dapat ditarik kembali oleh sumber tersebut atau dapat pula melalui ketentuan konstitusi yang dapat diubah secara formal dengan amandemen konstitusi. 257 Arthur Mass, Area..., ibid., hlm 17. Arthur menyatakan:...the assigments of exclusive or shared powers can be by delegation which proceeds from a single source (other than constitution) and which can be withdrawn commit by that to source, user or it can be by constitution provision which can be changed formally only by constitutional amendment.

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation)

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation) MATERI KULIAH 1. PEMBAGIAN KEKUASAAN (8 Feb), 2. KEKUASAAN EKSEKUTIF (15 Feb), 3. KEKUASAAN LEGISLATIF (22 Feb), 4. KEKUASAAN YUDIKATIF (1 Mar), 5. LEMBAGA NEGARA & ALAT NEGARA (8 Mar), 6. STATE AUXILIARY,LPND,

Lebih terperinci

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia desentralisasi dan sentralisasi telah beberapa kali mengalami

Lebih terperinci

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1)

MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1) MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 10 BENTUK NEGARA DAN PEMERINTAHAN (Bagian 1) Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa situasi dalam pembahasan mengenai bentuk negara dan pemerintahan dalam Ilmu Negara

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 Di susun oleh : Nama : Garna Nur Rohiman NIM : 11.11.4975 Kelompok : D Jurusan Dosen : S1-TI : Tahajudin Sudibyo, Drs Untuk memenuhi Mata Kuliah Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA Disusun Oleh: Nama : Maria Alfonsa Chintia Dea P. NIM : A12.2013.04844 Kelompok : A12.6701 FAKULTAS ILMU KOMPUTER PROGRAM STUDI SISTEM

Lebih terperinci

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS)

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) Oleh : I WAYAN PARSA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (Suatu Pendekatan Teoritis) Oleh : I Wayan Parsa I.

Lebih terperinci

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Makalah NI & CIVIC SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Disusun oleh : Shofi Khaqul Ilmy (105070200131010) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN K3LN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

Macam-macam konstitusi

Macam-macam konstitusi Macam-macam konstitusi C.F Strong, K.C. Wheare juga membuat penggolongan terhadap konstitusi. Menurutnya konstitusi digolongkan ke dalam lima macam, yaitu sebagai berikut: 1. 1. 1. konstitusi tertulis

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan. 1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi

Lebih terperinci

PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah)

PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah) Sejarah Hukum, Pemerintahan Daerah 46 PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah) Oleh : Afif Syarif, SH,MH. ABSTRAK Pembagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1 Barama M : Pelaksanaan Pemerintah Daerah... Vol.22/No.5/Januari /2016 Jurnal Hukum Unsrat PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH Oleh : Michael Barama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA A. Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah dan Daerah Dalam Konstitusi Republik

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pemberian landasan berpijak dalam penulisan penelitian ini, maka akan Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri pembahasan dalam penelitian

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag 3.2 Uraian Materi 3.2.1 Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG, ADMINISTRASI PERTANAHAN, OTONOMI DAERAH, TANAH DAN PERUMAHAN A. Tinjauan Umum tentang Wewenang 1. Pengertian Wewenang Pelaksanaan tugas oleh setiap pejabat pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Hal tersebut merupakan penegasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi bidang pemerintahan daerah salah satunya adalah tuntutan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu sendiri, terutama optimalisasi peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam dunia akademik begitu banyak akademisi atau ahli yang membahas ciri konsep negara hukum. Pada kesempatan

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI

NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI I. Negara Hukum Aristoteles merumuskan negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya

Lebih terperinci

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara.. & Apakah KONSTITUSI? 1. Akte Kelahiran suatu Negara-Bangsa (the birth certificate of a nation state); 2. Hukum Dasar atau hukum yang bersifat fundamental sehingga menjadi sumber segala peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA A. SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER Sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada

Lebih terperinci

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas Oleh : FERY WIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dapat diketahui bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang

BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH. tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang BAB IV KEABSAHAN PENGANGKATAN PEJABAT DAERAH OLEH PEJABAT KEPALA DAERAH Kewenangan merupakan kekuasaan dan kemampuan melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi Republik Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) berdampak pada perubahan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto I. Pendahuluan Pada tahun 1999 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945 yang merupakan bagian

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: 05 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Sebagai Dasar Negara Modul ini membahas mengenai Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Merupakan Ideologi Terbuka, Batasan keterbukaan Pancasila sebagai

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh: I Putu Hendra Wijaya I Made Subawa Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

HAKIKAT PANCASILA TUGAS AKHIR. Disusun oleh : Sani Hizbul Haq Kelompok F. Dosen : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma.

HAKIKAT PANCASILA TUGAS AKHIR. Disusun oleh : Sani Hizbul Haq Kelompok F. Dosen : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma. HAKIKAT PANCASILA TUGAS AKHIR Disusun oleh : Sani Hizbul Haq 11.11.5585 Kelompok F Dosen : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma. JURUSAN S1 TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan,

Lebih terperinci

PANCASILA PANCASILA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG POLITIK, HUKUM, SOSIAL BUDAYA, DAN PERTAHANAN KEAMANAN. Nurohma, S.IP, M.

PANCASILA PANCASILA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG POLITIK, HUKUM, SOSIAL BUDAYA, DAN PERTAHANAN KEAMANAN. Nurohma, S.IP, M. PANCASILA Modul ke: PANCASILA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG POLITIK, HUKUM, SOSIAL BUDAYA, DAN PERTAHANAN KEAMANAN Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintahan Indonesia berdasarkan atas sistem konstitusi (peraturan dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu

Lebih terperinci

TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI

TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI TUGAS KONSTITUSI MATERI MUATAN KONSTITUSI DAN ISI KONSTITUSI KELOMPOK II : IIS FAIZAH HASRI (1212011148) IKA NURSANTI (1212011149) INNES G G (1212011152) JULIA SILVIANA (1212011161) LIDIA MAHARANI PURBA

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA Angga Setiawan P.U Ari Widido Bayu Gilang Purnomo Arsyadani Hasan Binabar Sungging L Dini Putri P K2510009 K2510011 K2510019 K2111007 K2511011 K2511017 N E G A R

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

BAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. 82 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain bertujuan untuk menutup penyalahgunaan atau penyimpangan praktek

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 BAB II ISI... 4 2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan... 2.2 Sistem Pemerintahan Indonesia 1945 s.d.1949...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh : RAMA PUTRA No. Mahasiswa : 03 410 270 Program Studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Artinya sebagai negara hukum menegaskan

Lebih terperinci

Negara dan Konstitusi

Negara dan Konstitusi Negara dan Konstitusi Negara dan Konstitusi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain Konstitusi merupakan hukum dasarnya suatu negara Penyelenggaraan bernegara Indonesia juga didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

Kewarganegaraan. Negara dan Sistem Pemerintahan. Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen

Kewarganegaraan. Negara dan Sistem Pemerintahan. Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi Manajemen Modul ke: Kewarganegaraan Negara dan Sistem Pemerintahan Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Yuvinus Elyus, Amd. IP., SH., MH. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Pengertian Bentuk Negara (staats-vorm)

Lebih terperinci

SUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA

SUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA SUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA SISTEM PEMERINTAHAN SISTEM PEMERINTAHAN Sistem Pemerintahan di seluruh dunia terbagi dalam empat kelompok besar: Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

NILAI HISTORIS PANCASILA DAN PERAN PANCASILA BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

NILAI HISTORIS PANCASILA DAN PERAN PANCASILA BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA NILAI HISTORIS PANCASILA DAN PERAN PANCASILA BAGI KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Disusun Oleh : Galang Swawinasis (11.02.8059) Dosen Pembimbing : Kalis Purwanto Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), Negara Indonesia ialah

Lebih terperinci

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) KTSP Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran Satuan Pendidikan Kelas/Semester : Pendidikan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA Oleh: Muchamad Ali Safa at 1 Persidangan MPR yang mulai dilakukan setelah pelantikkan ternyata berjalan cukup alot. Salah satu masalah yang mengemuka adalah komposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment) DESENTRALISASI PENYELENGGARA PENANAMAN MODAL (SUATU TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL) (The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku : Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

Negara Federasi dan Negara Kesatuan

Negara Federasi dan Negara Kesatuan Negara Federasi dan Negara Kesatuan Federasi berasal dari kata Latin foedus yang berarti perjanjian atau persetujuan. Dalam federasi atau negara serikat (bondstaat, Bundesstaat), dua atau lebih kesatuan

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada kenyataannya, otonomi daerah tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Karena otonomi daerah itu sendiri adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci