BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Universal-Diverse Orientation 1. Multikulturalisme Seiring dengan perubahan demografis budaya di masyarakat, rasanya wajar bila mengasumsikan akan ada individu yang mampu beradaptasi dengan lebih cepat dan lebih efektif terhadap masyarakat multikultur dibanding beberapa individu lainnya. Misalkan saja, pada masyarakat yang beragam, seorang individu diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya melalui cara berkomunikasi dan penghargaan atas nilai-nilai budaya sendiri maupun budaya orang lain. Dengan demikian, memahami bagaimana proses adaptasi individu serta atribut personal apa yang berperan dalam keefektivan berada di lingkungan multikultur menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas oleh peneliti, pendidik, maupun penyedia jasa profesional (Ponterotto, Utsey, & Pedersen, 2006). Multikulturalisme perlu dikembangkan di masyarakat karena menunjukkan peran yang amat penting sebagai alternatif mencegah konflik sosial. Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen (1997) menjelaskan multikulturalisme sebagai kompetensi yang menjadikan individu mampu mengembangkan kesehatan jati diri sekaligus mengembangkan sikap antar kelompok yang positif. Beberapa model konseptual telah diajukan untuk menjelaskan mengenai karakteristik individu yang efektif dalam lingkungan multikultur. Model-model tersebut berfokus pada topik-topik seperti membantu klien dalam konseling untuk 13

2 14 mengembangkan keterampilan bikultural dan orientasi multikultural dalam kehidupan (Ramirez, 1999), membantu siswa menjadi masyarakat multikultural ataupun individu multikultural (Banks, 2001; Nieto, 2000), dan memahami karakteristik personal individu yang berhasil mengatasi lingkungan kerja yang beragam latar belakang budaya, khususnya dalam setting internasional (Van Der Zee, Atsma, dan Brodbeck, 2004; Van Der Zee dan Van Oudenhoven, 2000). Dalam rentang dekade terakhir, penelitian mengenai multikulturalisme telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Istilah-istilah yang digunakan yang mengacu pada konsep ini berbeda-beda tergantung disiplin ilmu dan pendekatan yang digunakan. Misalnya saja, praktisi kerja sosial menggunakan istilah cultural competence sementara pakar teknik lebih memilih istilah global competence. Ada juga istilah-istilah lain yang digunakan seperti multicultural competence dan intercultural maturity. Fantini (2009) menemukan beragam istilah yang digunakan dalam literatur maupun alat ukur yang memiliki definisi kurang lebih sama seperti multiculturalism, cross-cultural adaptation, intercultural sensitivity, cultural intelligence, cross-cultural awareness, dan sebagainya. Model yang saat ini sedang menjadi fokus utama dalam riset multikultural adalah universal-diverse orientation atau UDO (Vargas, 2010). Sebelum membahas lebih dalam mengenai UDO, penulis akan mencoba merinci dimensi apa saja yang ada dalam masyarakat yang menjadikan masyarakat tersebut disebut multikultur atau beragam. Istilah kultur di masa sekarang ini telah berkembang dan tidak hanya merujuk pada kelompok etnis atau

3 15 budaya tertentu, melainkan juga termasuk kelompok bangsa-negara, kelompok agama, kelompok ras, serta perusahaan (Betancourt & Lopez, 1993). Dalton (2007) menjelaskan mengenai dimensi-dimensi kunci dari keberagaman manusia dalam perspektif psikologi komunitas sebagai berikut: a. Budaya Perdebatan panjang para ilmuwan sosial belum bisa mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya, namun ada beberapa elemen budaya yang dapat diidentifikasi. Elemen tersebut antara lain adanya seperangkat norma perilaku yang disepakati bersama, adanya persamaan bahasa, serta adanya tradisi yang diwariskan secara turun temurun. b. Ras Ras didefinisikan sebagai pengelompokan sosial yang didasarkan pada kriteria fisik. Manusia membedakan ras berdasarkan asumsi atas kualitas fisik yang dapat diobservasi seperti warna kulit. Perbedaan ras pada manusia sebenarnya tak berarti apa-apa. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat IQ ataupun atribut lain pada seseorang tidak ditentukan oleh ras melainkan variasi pada variabel sosial dan ekonomi. Meski demikian, perbedaan ras menjadi perbincangan karena konstruksi manusia yang menjadikan ras satu lebih superior dibanding ras lainnya. c. Etnis Etnis dapat didefinisikan sebagai identitas sosial yang didasarkan pada asal-usul nenek moyang yang dimodifikasi dengan budaya setempat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani ethnos yang dapat diartikan sebagai suku atau

4 16 kebangsaan. Namun, kebangsaan tak selamanya berarti etnis. Sebagai contoh, bangsa Jepang terdiri atas beragam etnis, begitu pula Indonesia. Etnis ditentukan oleh bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, nilai, dan aspek lain dari budaya subjektif. d. Spiritualitas dan agama Spiritualitas dan agama mengacu pada tradisi ketuhanan dan segala perspektif yang berkaitan dengan aspek transenden. Spiritualitas dan agama saling berkaitan dengan budaya dan etnis. Mustahil untuk memahami budaya tanpa memahami terlebih dahulu institusi agama dan praktek spiritual yang ada dalam budaya tersebut. Di sisi lain, agama dan spiritualitas tak juga semata soal budaya. Banyak agama yang multikultural, sebaliknya ada pula budaya yang di dalamnya terdapat banyak agama. e. Gender Perbedaan lelaki dan perempuan menjadi dasar konstruksi sosial akan konsep dan makna perbedaan seksual. Gender mengacu pada bagaimana perbedaan tersebut diinterpretasi dan direfleksikan dalam sikap, peran sosial, dan institusi sosial, termasuk pembagian sumber daya dan kekuasaan. Gender merupakan aspek yang penting dalam identitas diri seseorang. f. Orientasi seksual Orientasi seksual mengacu pada kecenderungan dalam ketertarikan secara seksual, kedekatan romantis, seta emosi terkait lainnya. Orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. g. Kelas sosial / status sosioekonomi

5 17 Aspek ini terutama ditentukan oleh seberapa besar pendapatan atau aset material yang dimiliki serta status pekerjaan dan level pendidikan. Kelas sosial tidak hanya sekedar faktor demografis namun juga menentukan perbedaan dalam hal kekuasaan, khususnya kuasa atas sumber daya ekonomi dan peluang. h. Ability/disability Orang-orang dengan keterbatasan sering mengalami stigma, pengucilan, dan ketidakadilan karena keterbatasan mereka. Keterbatasan ini membuat mereka harus menjalani hidup dengan cara berbeda dengan orang normal. i. Usia Anak-anak, remaja, orang dewasa berbeda secara psikologis, tahap perkembangan, serta keterlibatan dalam komunitas. Menuanya usia juga membawa perubahan pada hal pemegang kekuasaan dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat. Selanjutnya, istilah keberagaman atau multikulturalisme dalam masyarakat yang disebutkan dalam penelitian ini akan mengacu pada beragamnya aspek-aspek yang disebutkan di atas dalam masyarakat tersebut. 2. Definisi Universal-Diverse Orientation Miville (1999) mengajukan bahwa kepekaan dan penerimaan atas perbedaan dan persamaan lah yang krusial dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan multikultur. UDO kemudian muncul dengan berlandaskan pada tulisan konseling eksistensial dari Vontress (1988, 1996).

6 18 Lebih spesifik, Vontress (1996) mengajukan bahwa kemampuan untuk secara terus-menerus menerima dan mengapresiasi perbedaan dan persamaan budaya dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam membangun hubungan antara orang-orang yang berbeda kebudayaan sama halnya dengan adaptasi individu dalam lingkungan multikultur. UDO dikembangkan oleh Miville, Gelso, Pannu, Liu, Touradji, Holloway, dan Fuertes (1999) yang didefinisikan sebagai, Sikap inklusif sekaligus menganggap unik setiap manusia dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki kesamaan serta perbedaan; pengalaman serupa sebagai manusia menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwa terdapat keberagaman di antara manusia. Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku dan afektif dari UDO. UDO didefinisikan sebagai kesadaran dan penerimaan terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara setiap manusia. Kesadaran atas persamaan (universal), atau aspek yang dimiliki bersama oleh setiap manusia, dapat menyatukan orang-orang. Sementara itu, perbedaan (diverse) merupakan aspek unik yang dimiliki manusia tergantung pada budaya maupun faktor individual lainnya (ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, nasionalisme, kepribadian). Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003). UDO muncul untuk memberi penjelasan lebih lanjut atas kompetensi multikultural yang mencakup kemampuan umum untuk menerima dan memahami perbedaan (Vargas, 2010). Miville (1999) menyatakan bahwa individu yang

7 19 menempatkan diri sendiri pada beragam situasi merupakan individu yang mampu mengapresiasi perbedaan dan persamaan sehingga memiliki keterikatan emosi yang dapat memperkuat UDO mereka. Konsep UDO dapat memberi arah baru yang penting dalam asesmen pada konseling multikultural maupun perancangan program diversitas (Fuertes dkk 2000; Miville dkk, 1999). Tak hanya sekedar ada tidaknya prasangka, UDO juga melihat apakah individu cenderung mendekati atau menghindari situasi keberagaman. Dengan mengetahui tingkat UDO, praktisi dan peneliti bisa menetapkan dasar dalam merancang program multikultural (Singley & Sedlacek, 2009). UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya kesamaan maupun perbedaan di antara manusia (Miville dkk, 1999). Menyadari adanya persamaan universal di antara setiap manusia membuat individu mampu melihat adanya koneksi dengan setiap manusia yang ada di dunia. Sebaliknya, secara sadar mengakui bahwa masing-masing manusia juga memiliki perbedaan membuat individu mampu melihat sisi unik dari setiap manusia. Penerimaan akan kesamaan dan perbedaan ini membuat individu menjadi lebih menghargai keunikan yang ada pada masing-masing manusia karena perbedaan latar belakang namun di sisi lain tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki persamaan (Yeh & Arora, 2003). Miville (1999) mengartikan persamaan atau universalitas sebagai aspekaspek dalam diri manusia yang dianggap sama antara satu orang dengan orang lainnya. Sementara itu perbedaan atau diversitas dimaknai sebagai aspek-aspek

8 20 unik dalam diri manusia yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan perbedaan individual. Menurut Miville, kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan (dalam Yeh & Arora, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi UDO yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kesadaran bahwa pada satu sisi setiap manusia memiliki persamaan sehingga muncul perasaan terhubung antar sesama manusia dan di sisi lain tiap-tiap manusia juga memiliki perbedaan yang memunculkan penerimaan dan penghargaan atas keunikan yang dimiliki masing-masing orang. 3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation UDO terdiri dari tiga aspek yang merepresentasikan dimensi kognitif, perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman. Dimensi kognitif disebut sebagai Relativistic Appreciation, dimensi perilaku disebut Diversity of Contact, dan dimensi afektif disebut Comfort with Differences (Miville dkk, 2000). Strauss & Connerley (2003) menjelaskan lebih terperinci mengenai ketiga aspek tersebut sebagai berikut: a. Diversity of Contacts Aspek perilaku dari UDO yang menjelaskan tentang tingkat ketertarikan atau kecenderungan individu untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman serta ikut serta dalam kegiatan-kegiatan lintas budaya. Aspek

9 21 ini melihat bagaimana individu secara aktif bersedia untuk berinteraksi dalam lingkungan yang plural. b. Relativistic Appreciation Aspek kognitif dari UDO yang melihat sejauh mana individu mampu merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Aspek ini menjelaskan tingkat apresiasi individu akan pentingnya menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara kelompok-kelompok yang beragam serta menyadari bahwa hal tersebut akan memberi dampak positif pada perkembangan dirinya. c. Comfort with Difference Aspek afektif dari UDO ini menjelaskan bagaimana individu merasa terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai manusia. Individu mampu merasa nyaman dengan ide untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya level UDO pada individu. Faktorfaktor tersebut antara lain: a. Faktor demografis Faktor yang paling banyak dikaitkan dengan UDO adalah faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan ras. Ras minoritas seperti ras Afrika- Amerika terbukti memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding ras kulit putih

10 22 (Strauss & Connerley, 2003; Singley & Sedlacek, 2009). Begitu pula dalam hal gender. Wanita ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding kaum pria (Singley & Sedlacek, 2009). Hal ini dikarenakan baik ras minoritas maupun wanita, secara umum mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sehingga membuat mereka lebih peka pada pentingnya bersikap menghargai keberagaman. b. Faktor kepribadian Penelitian Thompson dkk (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan kepribadian yang ditinjau dari Five Factor Model dengan level UDO seseorang. Individu dengan tipe kepribadian opennes to experience ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian lainnya. c. Faktor pengetahuan Pengetahuan tentang multikulturalisme dan multicultural competence yang didapat melalui seminar, pelatihan, maupun pelajaran di kelas terbukti berperan dalam meningkatkan level UDO individu (Yeh & Arora, 2003). d. Faktor interaksi Pendidikan inklusi dikatakan Allenby (2009) berperan dalam mengubah sikap terhadap keberagaman para siswa menjadi lebih positif. Hal ini dikarenakan siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa lain yang memiliki disability. Keterlibatan siswa dalam organisasi dan aktivitas yang memungkinkan mereka bertemu dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok berbeda latar belakang juga dapat meningkatkan level UDO siswa (Allenby, 2009).

11 23 B. Self Construal 1. Definisi Self Construal Dalam sejarahnya, psikolog sosial memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa konstruk diri merupakan suatu entitas yang independen dan terpisah dari orang lain. Akan tetapi, bukti-bukti terkini, terutama dari perspektif lintas budaya, menunjukkan bahwa konstruk diri sangat bergantung pada variabel sosial seperti hubungan dengan orang lain atau keanggotaan dalam suatu kelompok (Brewer & Gardner, 1996; Markus & Kitayama, 1991). Individu sering kali mencari makna akan dirinya melalui afiliasi dengan kelompok tertentu yang disebut social self (Brewer & Gardner, 1996). Faktanya, teori motivasi terkini menunjukkan bahwa keterkaitan dan perasaan memiliki dengan orang lain merupakan hal fundamental yang terus menerus dicari oleh manusia (Baumeister & Leary, 1995). Hal ini lah yang memunculkan konsep self construal. Self construal berbicara tentang cara individu memandang diri mereka dalam relasi dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Cara pandang yang dimaksud adalah apakah individu memandang diri mereka sebagai bagian yang otonom dari orang lain atau sebaliknya memiliki koneksi dan kelekatan dengan orang lain. Self construal merupakan pikiran dan perasaan individu terkait hubungannya dengan orang lain dan keunikannya dari orang lain (Singelis, 1994). Teori self construal melihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh cara individu itu sendiri dalam memandang dirinya, memandang orang lain, dan memandang hubungannya dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991).

12 24 Self construal sangat terkait dengan budaya dan merupakan hal yang paling banyak dikaji pada penelitian lintas budaya (Kam, Zhou, Zhang, & Ho, 2012). Budaya timur yang kolektivis dan budaya barat yang lebih individualistis dipercaya berkontribusi pada tipe self construal seperti apa yang dimiliki individu dari budaya tersebut. Dengan demikian, definisi self construal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara pandang individu terhadap dirinya dalam relasi dengan orang lain. 2. Interdependent dan Independent Self Construal Riset mengenai self construal membedakan variabel ini menjadi dua tipe yakni independent dan interdependent self construal yang didasarkan pada riset lintas budaya. Pada awalnya, peneliti mengajukan konsep bahwa interdependent dan independent self construal merupakan kutub yang berlawanan dari sebuah variabel kontinuum self construal (Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Akan tetapi, faktor analisis yang dilakukan terhadap aitem-aitem self construal menunjukkan hasil bahwa interdependent dan independent self construal merupakan konstruk yang terpisah. Seorang individu dapat memiliki kedua tipe self construal secara simultan. Tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tergantung pada tipe mana yang lebih sering diaktifkan dan menjadi norma perilaku pada budaya tempat individu berada (Miramontes, 2011). Penelitian Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa orang-orang dari budaya barat (seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa) yang memiliki budaya individualistis cenderung memiliki independent self construal

13 25 yang lebih dominan. Sementara itu, budaya kolektivis di timur (seperti negaranegara di Asia) memunculkan individu yang lebih dominan pada interdependent self construal. Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari orang lain. Perilaku interdependent self construal dicirikan dengan selalu berfokus pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan independen. Tujuan utama adalah tujuan diri sendiri. Independent self construal cenderung menghasilkan self esteem yang tinggi (Singelis, 1994). Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri sendiri ditempatkan setelah relasi. Gaya komunikasi tipe ini cenderung tidak langsung dan memikirkan perasaan lawan bicaranya (Markus & Kitayama, 1991; Singelis, 1994). Menurut Markus & Kitayama (1991), budaya memungkinkan tumbuhnya salah satu tipe self construal pada masyarakatnya. Budaya yang menekankan pentingnya relasi sosial sebagaimana terlihat pada budaya Jepang dan kebanyakan negara Asia lainnya memungkinkan tumbuhnya interdependent self construal.

14 26 Sebaliknya, budaya yang lebih mengutamakan prestasi personal seperti budaya Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa Barat, memungkinkan munculnya independent self construal. Budaya yang dimaksud Markus & Kitayama terdiri dari nilai dan norma dalam masyarakat. Meskipun demikian, Triandis (2001) menyatakan tidak benar bila interdependent dan independent self construal hanya dilihat semata dari kecenderungan individualis atau kolektivis pada suatu budaya. Proses kognitif individu dan situasi juga berpengaruh pada tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tersebut. Terlebih, globalisasi semakin mengaburkan batas antar negara sehingga budaya semata tidak dapat digeneralisasikan dalam memprediksi self construal. C. Kontak 1. Definisi Kontak Teori kontak menyatakan bahwa menyatukan anggota-anggota dari kelompak yang berbeda dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama, memiliki status yang setara, dan memiliki ikatan personal dapat meningkatkan sikap positif kepada out-group dan mampu menciptakan harmoni antar kelompok (Allport 1954; Janowski, 2000). Kontak yang dimaksud tidak hanya sekedar perjumpaan secara fisik karena pertemuan semata belum cukup untuk mempererat hubungan atau mengubah suatu sikap (Nisbet, 1992). Kontak yang berperan dalam mengurangi prasangka dan mendorong keharmonisan antar kelompok antara lain dicontohkan

15 27 seperti pertemuan terstruktur antar kelompok dimana setiap anggota kelompok dapat saling bekerjasama atau kontak yang terjadi dalam pertemanan (Pettigrew, 1998). Ada beberapa kunci penting yang menjadikan suatu kontak antar kelompok dapat merangsang perubahan perilaku dan sikap. Interaksi yang paling mungkin dapat memberikan dampak positif dalam perubahan sikap adalah interaksi dimana tiap individu memiliki status yang setara, individu-individu tersebut terlibat dalam kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama, dan interaksi yang memberikan waktu bagi semua partisipan untuk saling mengenal satu sama lain (Devine & O Brien, 2007). Brickson (2000) menemukan bahwa banyak literatur menunjukkan dampak positif dari kontak paling sering terjadi dalam setting sekolah atau pendidikan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat efektifnya kontak terpenuhi dalam setting pendidikan seperti status yang setara antar murid dan peluang terjadinya kerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Sejumlah penelitian mendukung teori kontak yang menyatakan bahwa perubahan sikap yang positif dapat didorong ketika individu memiliki kontak langsung dan positif dengan kelompok-kelompok yang berbeda dari kelompoknya (Allenby, 2009). Teori kontak merumuskan bahwa kontak positif antara kelompok-kelompok berbeda dapat mengurangi bias negatif, stereotype, ekspektasi, dan perilaku diskriminatif (Allport, 1954; Roper, 1990). Pada penelitian ini, kontak akan dimaknai sebagai interaksi langsung antara individu-individu dari kelompok berbeda namun memiliki status setara

16 28 yang melibatkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan serta aktivitas bersama untuk dapat saling mengenal satu sama lain. 2. Kondisi Kunci Kontak Antarkelompok Allport (dalam Pettigrew, 1998) berkeyakinan bahwa efek positif dari kontak antarkelompok hanya dapat terjadi apabila empat kondisi kunci di bawah ini terpenuhi, yakni: a. Status yang setara Allport menekankan pentingnya status yang setara dalam situasi kontak antarkelompok. Tiap kelompok yang berinteraksi haruslah merasa memiliki status yang setara satu sama lain. Ketika kelompok yang berinteraksi memiliki perbedaan status, kontak justru dapat menghasilkan efek negatif (Jackman & Crane, 1986). Ruang kelas adalah salah satu tempat dimana setiap kelompok yang berinteraksi dapat merasakan status yang setara (Allenby, 2009). b. Tujuan yang sama Menghilangkan prasangka melalui kontak membutuhkan usaha yang aktif dan berorientasi pada tujuan. Ketika kelompok-kelompok yang saling berinteraksi memiliki tujuan yang sama, akan tercipta kondisi saling membutuhkan antara kelompok tersebut agar tujuan dapat tercapai (Pettigrew, 1998). c. Adanya kerjasama antarkelompok

17 29 Tercapainya tujuan yang sama pada kelompok harus terjadi dengan adanya saling kerjasama antara kelompok yang terlibat dalam kontak (Bettencourt, 1992). d. Adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi Kondisi terakhir membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak lain yang terkait dengan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Sebagai contoh, adanya aturan atau sanksi sosial akan membuat kontak antarkelompok diterima lebih luas dan memberikan dampak positif yang lebih besar (Pettigrew, 1998) 3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antarkelompok Studi terkini dari Pettigrew (1998) merumuskan empat langkah yang saling berkaitan dalam proses perubahan sikap melalui kontak. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: a. Mempelajari kelompok lain Teori awal menyatakan bahwa langkah pertama ini merupakan cara yang paling utama agar kontak antarkelompok membuahkan hasil. Saat proses belajar mampu mengoreksi pandangan negatif yang keliru pada kelompok tertentu, maka kontak akan mampu mengurangi prasangka. Memberikan informasi-informasi baru tentang kelompok yang lain akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap menjadi lebih positif. b. Mengubah perilaku Kontak antarkelompok yang optimal merupakan salah satu bentuk awal dari modifikasi perilaku. Perubahan perilaku seringkali menjadi awal terjadinya

18 30 perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap. c. Generalisasi ikatan afektif Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok. Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif (Islam & Hewstone, 1993). Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan kelompokkelompok lain. d. Ingroup reappraisal Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang kelompok lain. 4. Kontak dan Perguruan Tinggi Flexner (dalam Syukri 2009) menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar memiliki daya nalar tinggi serta

19 31 kemampuan analisa yang tajam dan luas (Syukri, 2009). Misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009) yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana halnya setting sekolah (Brickson, 2000). Interaksi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar kelompok (Pettigrew, 1998). Peran perguruan tinggi dalam mendorong mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar. Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku terpuji (Syukri, 2009). Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti (2012), perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa. Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis. Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa. Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik yang berlatar belakang religius

20 32 maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk pemikiran sekaligus karakter mahasiswa. Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam. Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu, keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu mengenai agama itu sendiri. Schwartz (2000) bahkan menyatakan biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi. Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya kontakkontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena itu, perlu untuk dilihat bagaimana keberagaman kelompok di lingkungan

21 33 perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. D. Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya (Kondo, 1990). Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi bagian dalam berbagai relasi interpersonal (Yeh & Hwang, 2000). Kemampuan mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri (Markus & Kitayama, 1991). Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self yang di luar konteks (Sampson, 1989). Mereka dengan tipe self construal ini terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas. Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan interaksi dengan orang lain (Bellah, Madsen, dkk, 1996). Self esteem mereka

22 34 muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik (Markus dkk, 1997). Cross (2000) menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain. Baik interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan (Markus, 1997). Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya. Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan UDO. Individu dengan interdependent self construal dan independent self construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO. Sebagai contoh, Cross (2000) menemukan bahwa individu dengan interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang sebagai cara yang lebih responsif dan menunjukkan kepedulian.

23 35 Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Menyadari keberadaan orang lain dan mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO. Temuan Yeh & Arora (2003) menunjukkan individu dengan interdependent self construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda. Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok yang beragam. Liebkind (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain. Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport (dalam Pettigrew, 1998) kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok, dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi. Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling bekerjasama seperti adanya tugas kelompok, metode belajar dengan cara diskusi,

24 36 adanya kompetisi olahraga, minat, bakat dan sebagainya. Mahasiswa akan memiliki tujuan yang sama seperti lulus ujian, mendapatkan nilai tinggi, atau memenangkan kompetisi yang diharapkan akan memicu terjadinya kontak yang positif antara berbagai kelompok mahasiswa. Meski demikian, tidak semua perguruan tinggi memiliki kelompok mahasiswa yang beragam. Interaksi di perguruan tinggi yang sesuai dengan kondisi kunci terciptanya kontak positif akan sia-sia bila mahasiswa yang ada hanya berasal dari satu atau sedikit kelompok saja. Kondisi seperti ini justru akan memicu semakin menguatnya identitas kekelompokan. Individu yang memiliki kelekatan yang tinggi dengan kelompoknya akan cenderung menjadikan kelompoknya sebagai pusat segalanya, memandang kelompok di mana diri bernaung sebagai kelompok yang paling benar dan memandang kelompok lain melalui sudut pandang kelompok sendiri (Brehm & Kassim, 1989; Stephan & Stephan, 2000). Hal ini bisa saja berdampak negatif pada mahasiswa karena kurangnya interaksi dengan kelompok lain akan memicu munculnya prasangka, stereotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi (Brehm & Kassim, 1989). Sebaliknya, perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari latar belakang suku bangsa, etnis, dan agama yang beragam akan menjadi tempat yang sangat ideal untuk terciptanya kontak positif. Kerjasama serta perasaan memiliki status setara dan tujuan yang sama akan membuat mahasiswa dari kelompok berbeda menjadi lebih saling mengenal satu sama lain dan menemukan bahwa sebenarnya kelompok lain, meskipun berbeda, sebenarnya juga memiliki persamaan dengan kelompoknya sendiri. Hal ini diharapkan akan berkontribusi

25 37 pada meningkatnya level UDO mahasiswa dimana memiliki UDO berarti mampu menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki keterikatan meski masing-masing juga memiliki keunikannya sendiri. Oleh karena itu, baik self construal maupun kontak akan menjadi prediktor bagi UDO. Selanjutnya, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kontribusi kedua variabel tersebut terhadap UDO. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka dipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Self construal merupakan prediktor dari UDO 2. Kontak merupakan prediktor dari UDO 3. Self construal bersama-sama dengan kontak merupakan prediktor dari UDO

BAB I PENDAHULUAN. (Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan

BAB I PENDAHULUAN. (Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga internasional yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di dunia, Human Rights Watch, pada awal 2013 menyebut Indonesia berada pada kondisi gawat darurat yang

Lebih terperinci

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam Bab II Kajian Pustaka 2.1. Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berubah atau mati!, adalah kalimat yang diserukan oleh para manajer di seluruh dunia untuk menggambarkan keharusan setiap organisasi atau perusahaan untuk terus

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Harga Diri (Self Esteem) 2.1.1. Pengertian Harga Diri (Self Esteem) Harga diri merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap individu karena merupakan kemampuan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan BAB I LATAR BELAKANG MASALAH 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan yang sangat cepat di semua sektor kehidupan khususnya dunia kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intergroup anxiety adalah perasaan cemas dan tidak nyaman yang mungkin dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan kelompok outgroupnya (Stephan, 2014). Perasaan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVESITAS GUNADARMA MATA KULIAH : PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA KODE MATAKULIAH / SKS = IT / 2 SKS

SATUAN ACARA PERKULIAHAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVESITAS GUNADARMA MATA KULIAH : PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA KODE MATAKULIAH / SKS = IT / 2 SKS TIU : Mahasiswa mengenal dan memahami gambaran tentang psikologi lintas budaya, metode-metode psikologi lintas budaya, serta konsep-konsep dan hasilhasil penelitian dalam psikologi lintas budaya, sehingga

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE MUTHMAINNAH 131211132004 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA hmadib2011@gmail.com1 a. Judul Toleransi yang tak akan pernah pupus antar umat beragama di dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Nilai..., Dian Rahmi Iskandar, F.PSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Nilai..., Dian Rahmi Iskandar, F.PSI UI, 2008 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui setiap individu yang lahir ke dunia ini. Keluarga sebagai bagian dari suatu kelompok sosial mentransformasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam suatu kelompok kerja (Dale, dalam Widyatmini dan Izzati, 1995). Selain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam suatu kelompok kerja (Dale, dalam Widyatmini dan Izzati, 1995). Selain 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan kesatuan proses perencanaan mulai dari penyusunan, pengembangan dan pemeliharaan suatu struktur atau pola hubungan kerja dari orangorang

Lebih terperinci

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki beraneka ragam suku bangsa dan budaya. Masing-masing budaya memiliki adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu cita-cita besar dari kebijakan sistem pendidikan nasional saat ini adalah dapat terjadinya revolusi mental terhadap bangsa ini. Mengingat kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP)

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP) Standar Guru Penjas Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP) 1. Kompetensi Pedagogik 2. Kompetensi Kepribadian 3. Kompetensi Sosial 4. Kompetensi Profesional Kompetensi Pedagogik Menguasai karakteristik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

Oleh Oom S. Homdijah SPs. UPI Bandung

Oleh Oom S. Homdijah SPs. UPI Bandung Oleh Oom S. Homdijah SPs. UPI Bandung Pemimpin kelompok memiliki varitas pilihan untuk membuka sesi dalam kelompok yang bertemu secara reguler atau setiap minggu. 1. Partisipan dapat diminta menyatakan

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 50 6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Berdasarkan analisis data penelitian yang dilakukan dengan teknik statistik, maka didapatkan hasil-hasil yang membantu peneliti dalam menjawab permasalahan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Akulturasi. 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi. tertentu dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Akulturasi. 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi. tertentu dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Akulturasi 1. Pengertian dan Konsep Akulturasi Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktekpraktek

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang BAB II LANDASAN TEORI A. STUDENT ENGAGEMENT 1. Definisi Student Engagement Menurut National Research Council dan Institute of Medicine (2004), dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa

Lebih terperinci

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI Modul ke: Fakultas Psikologi Pengertian dan jenis prasangka; pembentukan, mengatasi prasangka; Peran stereotipe; Diskriminasi dan bentuk-bentuk diskriminasi. Sri Wahyuning Astuti,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK. Diadaptasi oleh: Sunardi, PLB FIP UPI

KARAKTERISTIK. Diadaptasi oleh: Sunardi, PLB FIP UPI KARAKTERISTIK KONSELOR YANG EFEKTIF Diadaptasi oleh: Sunardi, PLB FIP UPI KUALITAS KEPRIBADIAN KONSELOR 1. Memiliki minat tulus terhadap kesejahteraan orang lain 2. Kemampuan & kesediaan untuk hadir dalam

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengalaman hidup sebagai homoseksual dengan pendekatan studi fenomenologi ini, menyimpulkan dan menyarankan beberapa hal. 6.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel 1 PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel Abstrak Setiap etnik atau ras cenderung memunyai semangat dan ideologi yang etnosentris,

Lebih terperinci

Budaya dan Komunikasi 1

Budaya dan Komunikasi 1 Kejujuran berarti integritas dalam segala hal. Kejujuran berarti keseluruhan, kesempurnaan berarti kebenaran dalam segala hal baik perkataan maupun perbuatan. -Orison Swett Marden 1 Memahami Budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki komposisi penduduk dalam rentang usia produktif yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki komposisi penduduk dalam rentang usia produktif yang Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara dengan jumlah populasi penduduk terpadat keempat di dunia, Indonesia memiliki komposisi penduduk dalam rentang usia produktif yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia tidak pernah lepas dari perilaku konsumsi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan perilaku konsumsi, konsumen harus mampu untuk mengambil keputusan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. POSTPURCHASE DISSONANCE A.1 Definisi Postpurchase Postpurchase (pasca pembelian) adalah evaluasi setelah pembelian yang melibatkan sejumlah konsep, antara lain harapan konsumen,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu pengaruh kecerdasan emosional terhadap kepuasan kerja. Hal ini termasuk latar belakang penelitian, rumusan

Lebih terperinci

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya SETYA ROHADI dan MULYANTO Globalisasi budaya telah mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi. Televisi, musik, makanan, pakaian, film dan yang lainnya merupakan bentuk-bentuk budaya yang serupa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Permasalahan yang dialami para siswa di sekolah sering kali tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Permasalahan yang dialami para siswa di sekolah sering kali tidak dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dialami para siswa di sekolah sering kali tidak dapat dihindari, meski dengan pengajaran yang baik sekalipun. Hal ini terlebih lagi disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial didalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Profesi perawat diharapkan dapat membantu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Simpulan hasil penelitian ini mencakup: 1. Ekspresi emosional negatif pemimpin berpengaruh secara negatif signifikan

BAB 5 PENUTUP. Simpulan hasil penelitian ini mencakup: 1. Ekspresi emosional negatif pemimpin berpengaruh secara negatif signifikan BAB 5 PENUTUP A. Simpulan Simpulan hasil penelitian ini mencakup: 1. Ekspresi emosional negatif pemimpin berpengaruh secara negatif signifikan pada kinerja tugas bawahan. Penularan emosi menjadi bentuk

Lebih terperinci

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Modul ke: 09 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa bayi dianggap sebagai periode vital karena kondisi fisik dan psikologis pada masa ini merupakan fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan untuk masa selanjutnya

Lebih terperinci

Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender

Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Gender oleh : Sigit Sanyata Pelatihan Sadar Gender Untuk Mengoptimalkan Layanan Bimbingan dan Konseling Bagi Guru Bimbingan dan Konseling di Kabupaten Kulonprogo

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai pengertian Kemampuan Memecahkan Masalah sosial dan rasa Humor, faktorfaktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi atau pesan dalam ruang lingkup individu, antar individu, maupun kelompok. Pada dasarnya komunikasi adalah sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

SELF CONSTRUAL PADA REMAJA ETNIS MADURA: TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER

SELF CONSTRUAL PADA REMAJA ETNIS MADURA: TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER SELF CONSTRUAL PADA REMAJA ETNIS MADURA: TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER Yudho Bawono Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura dhobano@yahoo.co.id Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1).

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang multikultural. Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa besar dan kecil, banyak suku bangsa dengan bahasa dan identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang unik, tidak ada seorang individu yang sama persis dengan individu yang lain. Salah satunya adalah dalam hal kecepatan dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Effendy (2009: 5), komunikasi adalah aktivitas makhluk sosial. Dalam praktik komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, terutama di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Menurut Faradila, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

1. Mempraktikkan kesadaran budaya dalam praktikkerja. 2. Menerima keragaman budaya sebagai dasar hubungan kerja profesional yang efektif

1. Mempraktikkan kesadaran budaya dalam praktikkerja. 2. Menerima keragaman budaya sebagai dasar hubungan kerja profesional yang efektif KODE UNIT : O.842340.005.01 JUDUL UNIT : Melakukan Kerja Efektif dengan Keanekaragaman Budaya Klien Dan Rekan Kerja DESKRIPSIUNIT : Unit ini menjelaskan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat lebih dari 500 etnis di Indonesia (Suryadinata, 1999). Suku Batak merupakan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Emosi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sehari-hari setiap individu,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Emosi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sehari-hari setiap individu, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emosi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sehari-hari setiap individu, terutama dalam interaksi sosial. Dalam organisasi, peran dan konsekuensi emosi serta afektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang merupakan kumpulan gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007),

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang berada diantara masa anak dan dewasa. Masa ini dianggap sebagai suatu bentuk transisi yang cukup penting bagi pembentukan pribadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Sikap 1. Pengertian Sikap Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Encar Carwasih, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Encar Carwasih, 2013 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keunikan Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang memiliki penduduk yang beragam (multietnis). Keanekaragaman suku bangsa tumbuh dan berkembang karena perbedaan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Dalam bab ini dibahas lebih lanjut tentang ringkasan dari apa yang telah diuraikan dalam bab empat. Secara lebih rinci, bab lima ini akan diawali dengan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

KODE ETIK PSIKOLOGI. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

KODE ETIK PSIKOLOGI. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI. Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Fakultas PSIKOLOGI Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id BAB I. PEDOMAN UMUM Pasal 1. Pengertian Kode Etik Psikologi: seperangkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Antarbudaya Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ekonomi mendorong munculnya pelaku bisnis baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ekonomi mendorong munculnya pelaku bisnis baru sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan Ekonomi mendorong munculnya pelaku bisnis baru sehingga menimbulkan persaingan bisnis yang cukup tajam. Semua usaha bisnis tersebut berusaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi antarbudaya dengan baik. kemampuan komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter, 2010: 360).

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi antarbudaya dengan baik. kemampuan komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter, 2010: 360). BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan dunia bisnis yang ada membuat banyak perusahaan asing hadir di Indonesia. Berbagai perusahaan yang bergerak di bidang seperti telekomunikasi, transportasi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Social Identity 1. Definisi Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Penelitian ini bermaksud mengkaji persepsi tentang diskriminasi sebagai

BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Penelitian ini bermaksud mengkaji persepsi tentang diskriminasi sebagai BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bermaksud mengkaji persepsi tentang diskriminasi sebagai salah satu variabel penelitian dan melihat hubungannya terhadap harga diri pada Orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 2 Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Program Pengembangan Masyarakat (Community Development), seharusnya disesuaikan dengan persoalan yang terjadi secara spesifik pada suatu

Lebih terperinci

Gender, Interseksionalitas dan Kerja

Gender, Interseksionalitas dan Kerja Gender, Interseksionalitas dan Kerja Ratna Saptari Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan dan Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan Gender: Memastikan Peran Maksimal Lembaga Akademik, Masyarakat Sipil,

Lebih terperinci

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

Draft : GBHP. Bab 1 Pendahuluan. 1.1 Pengertian. 1.2 Landasan. 1.3 Tujuan. 1.4 Sistematika. Bab 2 Bidang-Bidang BP HIMATIKA ITB Periode

Draft : GBHP. Bab 1 Pendahuluan. 1.1 Pengertian. 1.2 Landasan. 1.3 Tujuan. 1.4 Sistematika. Bab 2 Bidang-Bidang BP HIMATIKA ITB Periode Draft : GBHP Bab 1 Pendahuluan 1.1 Pengertian 1.2 Landasan 1.3 Tujuan 1.4 Sistematika Bab 2 Bidang-Bidang BP Periode 2012-2013 2.1 Internal 2.2 Eksternal 2.3 Kemahasiswaan Bab 3 Penutup Bab 1 Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik eksternalnya adalah mereka yang berada di luar bagian dari organisasi atau

BAB I PENDAHULUAN. publik eksternalnya adalah mereka yang berada di luar bagian dari organisasi atau 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian orang menganggap organisasi sebagai suatu objek yang menyenangkan dan menarik. Tujuan utama organisasi adalah untuk memahami organisasi dengan mendeskripsikan

Lebih terperinci